2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal...
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya
Menurut UU No.11 tahun 2010, kawasan cagar budaya adalah satuan ruang
geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khusus. Smith (2004)
menyatakan bahwa lanskap budaya adalah suatu susunan gagasan atau ide dan
praktik yang tertanam di suatu tempat. Sedangkan menurut UNESCO (2005),
lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia,
ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu,
dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya, baik
eksternal maupun internal. Lanskap budaya adalah suatu area fisik yang memiliki
fitur alami dan elemen-elemen buatan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan
pola-pola dalam lanskap, yang memberikan karakter khusus, mencerminkan
hubungan antara manusia terhadap lanskap (Lennon dan Mathews 1996).
Lanskap atau bentang alam memiliki sifat yang dinamis karena selalu
berubah dari waktu ke waktu. Perubahan lanskap ini bisa menuju ke arah yang
lebih baik namun juga bisa menuju ke arah perubahan yang lebih buruk.
Perubahan lanskap ke arah yang lebih buruk sering dikenal dengan istilah
degradasi lanskap. Degradasi lanskap ini biasanya disebabkan oleh faktor alam
dan manusia. Pada masa modern seperti saat ini, manusia menjadi pengaruh
dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lanskap. Seperti pernyataan
Golley (1990) dalam Naveh (1995), manusia merupakan organisme yang tidak
hanya melihat dan merasakan lanskap tetapi juga berinteraksi dengannya dalam
proses transaksional yang dinamis. Mengolah dan merawat alam hingga alam
tersebut sesuai bagi tempat hidup manusia bukan berarti bahwa alam takluk oleh
dominansi manusia (Ahrendt dalam Naveh 1995).
Landscape Character Assessment (LCA)
Karakter adalah suatu pola dari elemen-elemen lanskap yang berbeda,
konsisten dan dapat dikenali yang membuat satu lanskap berbeda dengan yang
lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen yang
memberi kontribusi terhadap perbedaan karakter. Elemen adalah komponen-
komponen individu yang menghiasi lanskap seperti pohon, bangunan, dan
sebagainya. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area-area yang memiliki
kesamaan karakter, mengklasifikasi dan memetakannya serta mendeskripsikan
karakternya.
Karakter lanskap adalah keseluruhan visual dan impresi budaya dari atribut-
atribut lanskap atau penampilan fisik dan konteks budaya dari sebuah lanskap
yang memberikan suatu identitas dan sense of place. Karakter lanskap
memberikan image budaya dan visual pada suatu area geografis dan terdiri atas
kombinasi atribut fisik, biologi, dan budaya yang membuat setiap lanskap dapat
dikenali dan unik (USDA 1995).
6
Landscape Character Assessment (LCA) adalah suatu alat yang dapat
membuat kontribusi yang signifikan terhadap tujuan yang berhubungan dengan
perlindungan lingkungan dan penggunaan sumber daya secara bijaksana sebagai
pilar pembangunan berkelanjutan (Swanwick 2002). Dalam penilaian karakter
suatu lanskap, aspek estetika dan persepsi menjadi salah satu bagian yang penting
untuk dinilai. Estetika merupakan hal yang berkaitan erat dengan persepsi
seseorang terhadap suatu objek. Estetika lingkungan atau lanskap sebenarnya
bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal sejak abad ke-18. Namun,
estetika terhadap lingkungan maupun lanskap ini masih kurang mendapatkan
perhatian di Indonesia. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah melalui peraturan
daerahnya belum memasukkan aspek estetika lingkungan sebagai aspek yang
harus diperhatikan dan dilindungi. Nilai-nilai yang terdapat dalam estetika
lingkungan sangat mempengaruhi suatu bangsa, budaya, dan individu. Estetika
terhadap lanskap budaya di Indonesia belum mendapatkan apresiasi baik dari
masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah. Menurut Carlson (2009), nilai
estetika suatu lanskap budaya tidak hanya dilihat dari fisik luarnya saja (estetika
formal) tetapi juga memiliki nilai estetika yang tersirat di dalamnya (estetika
ekspresif) seperti makna, simbol, mistik, dan sebagainya.
Sejak tahun 1960, kepedulian dan perhatian terhadap isu-isu lingkungan
meningkat termasuk peraturan daerah di Amerika Serikat menyebabkan
munculnya kebutuhan akan metode untuk mengevaluasi keindahan atau estetika
lanskap. Para profesional arsitek lanskap berupaya menemukan berbagai macam
model untuk melakukan penilaian terhadap lingkungan (Gorski 2007). Menurut
Daniel (2001) dalam Kivanc (2013), kualitas visual lanskap adalah produk
bersama dari proses psikologi para pengamat (persepsi, kognisi, emosi) dalam
interaksinya dengan karakteristik visual lanskap yang terlihat jelas. Kivanc (2013)
menyatakan ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai kualitas visual
suatu lanskap. Pertama, pendekatan evaluasi yang berdasarkan pada opini ahli
(expert) dalam hal ini yaitu para ahli yang memahami nilai-nilai estetika
lingkungan. Pendekatan ini biasanya diaplikasikan pada pengelolaan lingkungan.
Pengalaman mempengaruhi respon, apresiasi, dan penilaian seseorang terhadap
estetika suatu lanskap (Brook 2013). Kedua, pendekatan evaluasi berdasarkan
pada persepsi user. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam proyek penelitian,
kegiatan akademik, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan evaluasi dengan
mengkombinasikan atau mengintegrasikan preferensi user dan opini para ahli.
Pendekatan ini bisa digunakan dalam proyek, studi, atau manajemen lingkungan.
Teknik Semantic Differential (SD) adalah metode yang sesuai digunakan
untuk mengukur nilai emosional terhadap suatu produk. Metode ini sudah
dikembangkan dalam variasi konsep yang luas. SD sudah digunakan sebagai
instrumen dalam menilai desain furnitur jalan, kursi kantor, mobil, telepon
genggam, maskot dalam olahraga, dan juga terhadap arsitektur, desain
lingkungan, ergonomik dan desain produk untuk komersil. SD juga banyak
digunakan untuk menilai persepsi seseorang maupun suatu populasi terhadap
sebuah produk (Mondragon et al. 2005). Teknik SD ini pun juga dapat digunakan
untuk menilai persepsi seseorang atau populasi terhadap suatu lanskap.
7
Signifikansi Budaya
Menurut Australia ICOMOS (1999) dalam piagam Burra, signifikansi
budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual yang penting
untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi estetis tidak
hanya dibatasi pada visual saja tetapi juga estetika yang bisa dirasakan oleh panca
indera lainnya seperti suara dan aroma. Signifikansi historis berhubungan dengan
nilai dari suatu tempat yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian penting di
masa lalu. Signifikansi sosial yaitu terkait dengan nilai-nilai atau tempat-tempat
yang memiliki nilai penting bagi suatu masyarakat. Selain itu juga berhubungan
dengan aktivitas, budaya, serta norma yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan
signifikansi ilmiah terkait dengan potensi yang dimiliki oleh lanskap atau tempat
tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Signifikansi budaya itu tersirat
dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya,
maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Tempat-
tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan untuk generasi kini dan yang
akan datang.
Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, nilai penting yang
dimiliki oleh suatu cagar budaya yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Namun, belum ada penjelasan dan
penjabaran secara rinci dalam peraturan pemerintah mengenai nilai-nilai penting
tersebut. Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya
memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang
berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan
erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam
bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar
budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab
masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur,
dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut
dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan
budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu.
Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan 5 nilai penting
yang dimiliki oleh suatu sumberdaya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting
estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Nilai penting estetika
didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan,
membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa
ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting
arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni
rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta
teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data
atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan
baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan
perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi
kelompok tertentu.
Berdasarkan berbagai definisi dan pengelompokan nilai penting di atas,
maka dapat diketahui bahwa nilai penting menurut Piagam Burra sudah mencakup
semua nilai penting yaitu terdiri atas nilai penting estetis, historis, ilmiah, sosial
atau spiritual. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai signifikansi
8
suatu lanskap budaya adalah metode Cultural Heritage Landscape Assessment
yang mengacu pada metode penilaian Heritage Victoria Landscape Assessment.
Metode ini digunakan untuk menilai signifikansi lanskap budaya yang ada di
Victoria, Australia. Metode ini juga mengacu pada piagam Burra yang ditetapkan
pada tahun 1999 di Burra, Australia. Hasil dari penilaian signifikansi ini dapat
bermanfaat untuk proses registrasi warisan budaya (cultural heritage), kegiatan
perencanaan, rencana pengelolaan, dan penilaian warisan budaya lainnya.
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi lanskap budaya Rumah Larik Kota
Sungai Penuh, Provinsi Jambi yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik
Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 3). Kegiatan penelitian
dilakukan selama 9 bulan mulai dari bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014.
Jenis dan Sumber Data
Data-data yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini untuk menilai
karakter lanskap, karakter estetika, dan nilai penting lanskap yaitu data
kesejarahan, data biofisik, data sosial, budaya, ekonomi, dan data pengelolaan.
Data-data tersebut diperoleh melalui studi pustaka, observasi lapang, dan
wawancara terhadap beberapa narasumber yang terpercaya (Tabel 1).
Gambar 3 Lokasi penelitian
9
Tabel 1 Jenis dan sumber data yang diperlukan
No. Jenis Data Sumber
1 Data Kesejarahan:
- sejarah Kerinci
- sejarah Rumah Larik
- sejarah lanskap/elemen lanskap
- sejarah budaya dan masyarakat Kerinci
- Dinas Pariwisata
- Studi pustaka
- Ahli sejarah
- Ketua/lembaga
adat
- Tokoh masyarakat
2 Data Bio-Fisik:
- peta administrasi Kota Sungai Penuh
- peta landuse dan sejarah landuse
- peta landform, geologi, landcover, dsb.
- peta sejarah kota/kawasan
- citra satelit - geologi, tanah, landform, hidrologi/drainase, vegetasi
- sistem sirkulasi
- kondisi fisik lanskap budaya Rumah Larik
- elemen-elemen lanskap budaya
- visual
- BAPPEDA
- BPN
- Kantor Kelurahan
- Pengamatan
- Masyarakat lokal
- Internet - Studi pustaka
3 Data Sosial, Budaya, Ekonomi:
- kependudukan
- suku bangsa
- aktivitas budaya/tradisi/seni
- adat istiadat
- Kantor
Kecamatan
- Dinas
Kependudukan
- Dinas Pariwisata
- Masyarakat lokal
- Pengamatan
- Studi pustaka
4 Data Pengelolaan: - status kepemilikan
- pengelola
- sistem/teknis pengelolaan
- kebijakan/peraturan pemerintah
- rencana pemerintah, RTRW/RTRK
- Ketua/lembaga adat
- Dinas Pariwisata
- Masyarakat lokal
- Studi pustaka
Prosedur Analisis Data
Ada 3 jenis metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA). Prosedur analisis dari masing-
masing metode ini dijelaskan sebagai berikut:
Landscape Character Assessment (LCA)
Penilaian karakter lanskap budaya Rumah Larik dilakukan dengan metode
LCA (Swanwick 2002). Pada metode ini dilakukan beberapa modifikasi dalam
tahapan prosesnya menyesuaikan dengan topik yang diteliti. Metode ini terdiri
dari 4 tahap:
Tahap 1, meliputi kegiatan persiapan yaitu menentukan ruang lingkup seperti,
menentukan objek dan tujuan analisis, menentukan skala objek yang di analisis,
data-data yang diperlukan beserta sumbernya, dan pihak-pihak yang terkait
dengan kegiatan penilaian ini.
10
Tahap 2, kegiatan pengumpulan data sekunder seperti data geologi, landform,
hidrologi/drainase, tanah, landcover/vegetasi (Natural factors); serta data landuse,
permukiman, batas-batas, dan sejarah (Cultural/social factors).
Tahap 3, melakukan kegiatan survei lapang untuk pengambilan data yang meliputi
aspek estetika dan persepsi. Pada tahap ini dilakukan pengambilan data berupa
sampel foto yang akan digunakan untuk penilaian estetika. Pengambilan sampel
foto untuk penilaian estetika dilakukan dengan menentukan titik-titik terbaik atau
vantage points terlebih dahulu pada peta ketiga Rumah Larik. Selain itu, juga
dilakukan pengamatan (groundcheck) kesesuaian data sekunder dengan kondisi
aktual di lapangan. Kegiatan survei lapang ini membutuhkan beberapa peralatan
seperti kamera digital untuk dokumentasi, alat tulis dan papan jalan, dan peta
lokasi penelitian.
Tahap 4, meliputi kegiatan klasifikasi dan deskripsi karakter lanskap berdasarkan
analisis terhadap semua data yang telah dikumpulkan. Output dari proses ini yaitu,
peta tipe karakter lanskap, deskripsi tipe karakter lanskap, area karakter lasnkap,
dan identifikasi karakteristik kunci lanskap (key characteristics). Peta tipe
karakter lanskap diolah menggunakan laptop jenis Toshiba Satellite L505D
dengan perangkat lunak Adobe Photoshop CS3, dan program pendukung grafis
lainnya. Karakter setiap lanskap Rumah Larik ini masing-masing dijabarkan
dalam bentuk poin-poin sehingga dapat dengan mudah diketahui persamaan
maupun perbedaannya.
Semantic Differential (SD)
Metode Semantic Differential (SD) digunakan untuk mengukur atau menilai
reaksi responden terhadap konsep atau kata-kata stimulus melalui rating pada
skala bipolar yang dibatasi oleh kata sifat (adjectives) yang berlawanan. Konsep
atau kata sifat yang digunakan dapat berupa situasi, kondisi, setting lingkungan
atau lanskap, dan sejenisnya. Adapun prosedur penilaian estetika berdasarkan
metode SD antara lain sebagai berikut:
1. Menentukan topik, tujuan, dan objek yang dinilai. Dalam kasus ini yang akan
dinilai dengan menggunakan metode SD adalah karakter estetika lanskap
budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh yang terdiri atas Rumah Larik
Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru.
2. Mempersiapkan kuesioner SD yang terdiri dari kata-kata bipolar. Kata-kata
bipolar dipilih berdasarkan topik yang akan dinilai. Pada penelitian ini topik
yang akan dinilai yaitu karakter estetika lanskap budaya Rumah Larik. Kata-
kata bipolar yang sudah dipilih selanjutnya diseleksi kembali dengan cara
eliminasi untuk menentukan kata-kata bipolar yang paling tepat dan sesuai
dengan topik untuk digunakan dalam penilaian. Melalui seleksi ini maka
terpilihlah 12 kata bipolar yang paling tepat untuk digunakan dalam penilaian
(Tabel 2). Setiap kata bipolar dibatasi dengan 7 skala penilaian mulai dari (-3)
yang paling rendah, 0 untuk nilai yang netral, dan (+3) untuk nilai tertinggi.
11
Tabel 2 Kata-kata bipolar untuk penilaian SD
No. Kata-kata Bipolar
Negatif Positif
K1 Buruk Indah
K2 Modern Tradisional
K3 Profan Sakral
K4 Semrawut Harmoni
K5 Biasa Unik
K6 Lemah Kuat
K7 Tidak penting Penting/bernilai
K8 Palsu Asli
K9 Baru Lama/Antik
K10 Pasif Aktif/Hidup
K11 Rusak Terpelihara
K12 Membosankan Menarik
3. Menentukan responden penilai. Responden yang digunakan dalam penilaian
karakter estetika lanskap budaya ini bisa menggunakan pendekatan menurut
Kivanc (2013) yaitu menurut persepsi para ahli, user, atau kombinasi antara
persepsi ahli dan user. Pada penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan
adalah penilaian oleh responden ahli. Teknik pengambilan sampel dilakukan
secara purposif (purposial sampling), sampel ditetapkan secara sengaja oleh
peneliti dan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Faisal 2008).
Responden ahli yang dipilih sebagai sampel adalah mahasiswa Departemen
Arsitektur Lanskap program Sarjana dan Pascasarjana. Responden ini dipilih
karena dianggap telah memiliki pemahaman terhadap nilai estetika lanskap.
Responden ahli bisa lebih mendalam dalam menilai karena mereka memiliki
banyak pengetahuan, pengalaman, dan kepekaan yang kuat dalam menilai
suatu lanskap (Porteous 1996). Jumlah responden yang digunakan dalam
penilaian berjumlah 30 orang (n = 30).
4. Mempersiapkan sampel foto objek atau lanskap yang dinilai. Jumlah sampel
foto yang diambil harus mewakili gambaran umum lanskap secara keseluruhan.
Foto yang diambil adalah foto bagian lanskap Rumah Larik dari ketiga lokasi
pengamatan. Foto yang dijadikan sampel berjumlah 30 foto, yang terbagi
menjadi 14 foto dari Rumah Larik Enam Luhah, 12 foto dari Rumah Larik
Pondok Tinggi, dan 4 foto dari Rumah Larik Dusun Baru (Lampiran 2).
Perbandingan jumlah sampel foto 14 : 12 : 4 tersebut diperoleh berdasarkan
pertimbangan dan perhitungan luas area permukiman. Rumah Larik Enam
Luhah memiliki luas area permukiman sekitar 59 926.25 m2, Rumah Larik
Pondok Tinggi sekitar 55 667.88 m2, dan Rumah Larik Dusun Baru seluas 10
306.58 m2. Teknik pengambilan foto untuk sampel yaitu dengan menentukan
lokasi vantage points pada peta kawasan. Penentuan lokasi vantage points
dilakukan berdasarkan hasil LCA yang menghasilkan area karakter lanskap
yaitu area yang memiliki karakter paling kuat dalam lanskap budaya Rumah
Larik. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan foto di lapangan dengan
menggunakan kamera DSLR Nikon tipe D3100 dengan lensa standar 18-55
mm. Foto yang digunakan dalam penilaian ini adalah foto berwarna. Kamera
diatur dengan ukuran gambar 3456x2304 pixel (medium) dan pengaturan
12
lainnya agar setiap foto yang diambil memiliki kualitas gambar yang sama.
Waktu pengambilan foto di lapangan dilakukan pada pukul 09.00 hingga 14.00
karena dianggap sebagai waktu dengan penyinaran matahari yang baik.
5. Penilaian oleh responden dilakukan secara bersama-sama. Responden
dikumpulkan dalam sebuah ruangan dan diberikan kuesioner SD yang sudah
disiapkan. Sebelum penilaian dimulai, dilakukan simulasi penilaian dengan
menggunakan 2 sampel foto yang ditampilkan melalui LCD. Simulasi ini
bertujuan agar responden menjadi lebih familiar dengan kata-kata bipolar yang
digunakan. Setelah simulasi selesai dilakukan, maka langsung dilanjutkan
dengan proses penilaian. Foto lanskap sebanyak 30 foto ditayangkan melalui
LCD secara acak. Responden diminta untuk menilai dalam waktu 4 detik untuk
setiap kata bipolar sehingga untuk menilai 1 buah foto membutuhkan waktu 48
detik.
6. Hasil dari penilaian setiap responden ini kemudian diolah dan dianalisis secara
deskriptif dan statistik. Uji statistik yang digunakan adalah uji KMO-MSA dan
Bartlett. Uji lanjutnya menggunakan analisis biplot untuk mengetahui korelasi
atau hubungan antar variabel dan analisis faktor (factor analysis) untuk
mereduksi sejumlah variabel menjadi variabel baru yang jumlahnya lebih
sedikit yang dapat mewakili variabel asalnya. Proses analisis ini menggunakan
laptop dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Minitab 16, SPSS 17 dan
Microsoft Word 2007. Dari metode ini dihasilkan kesimpulan mengenai
karakter estetika untuk mendukung penilaian karakter lanskap budaya Rumah
Larik.
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA)
Metode Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA) digunakan untuk
menilai signifikansi/nilai penting dari suatu lanskap budaya. Metode ini diadaptasi
dari Heritage Victoria Landscape Assessment Guidelines dalam Heritage Council
of Victoria (2009). Adapun proses penilaian berdasarkan metode ini yaitu dengan
cara mengumpulkan informasi tentang lanskap melalui survei lapang, penelusuran
sejarah, sumber primer, fotografi dan koleksi seni, direktori dan buku yang
relevan, wawancara sejarah (oral history interviews), dan pengetahuan masyarakat
lokal. Pengumpulan data-data ini akan memerlukan beberapa peralatan seperti alat
tulis, kamera digital dan voice recorder.
Setelah data-data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi
nilai dari lanskap budaya (cultural heritage values) dan melakukan pembobotan
berdasarkan kriteria kelangkaan, keunikan, dan keaslian. Mengacu pada piagam
Burra, maka ada 4 kriteria utama yang harus diidentifikasi dan dinilai untuk
signifikansi lanskap budaya yaitu estetika, sejarah, sosial atau spiritual, dan ilmiah
(Tabel 3). Skor hasil pembobotan lalu dijumlahkan dan dibuat interval kelas untuk
mengetahui tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi akan dibagi menjadi 3
yaitu signifikansi rendah, sedang, dan tinggi. Langkah terakhir yaitu
mendeskripsikan nilai penting (significant) lanskap budaya tersebut berdasarkan
hasil pembobotan dari setiap kriteria. Adapun rumus yang digunakan untuk
menentukan interval kelas menurut Selamet (1983) dalam Anggraeni (2011)
adalah sebagai berikut:
13
Interval Kelas (IK) = Skor maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)
Jumlah Kategori
Signifikansi Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa
Signifikansi Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK)
Signifikansi Rendah = SMi sampai SMi + IK
Tabel 3 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya
No Kriteria Skor
Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)
1 Estetikab
a. Landusea
b. Arsitektur rumah
c. Elemen lanskap
d. Integritas/Unitya
Terjadi perubahan
penggunaan lahan
>50%
Didominasi >50% oleh rumah bergaya
arsitektur modern
Keaslian elemen
baik bentuk,
material, dan
letaknya <50%
Lanskap tidak memiliki
kesatuan/unity dan
karakternya tidak
harmonis dengan
lingkungan sekitar
Terjadi perubahan
penggunaan lahan
sebesar 25-50%
Didominasi >50% oleh rumah semi
modern tapi tetap
memiliki
corak/gaya
tradisional
Keaslian elemen
baik bentuk,
material, dan
letaknya 50-75%
Lanskap memiliki unity dan integritas
karakter yang
lemah dengan
sekitarnya
Terjadi perubahan
penggunaan lahan
<25%
Didominasi >50% oleh rumah yang
memiliki gaya
arsitektur
tradisional dan
keaslian
Keaslian elemen
baik bentuk,
material, dan
letaknya >75%
Lanskap memiliki unity yang kuat dan
karakter yang
harmonis dengan
sekitarnya
2 Sejarahb
a. Elemen lanskapa
Terdapat hanya satu
elemen bersejarah
dengan umur >50
tahun
Terdapat 2-5
elemen bersejarah
dengan umur >50
tahun
Terdapat lebih
dari 5 elemen
bersejarah dengan
umur >50 tahun
b. Area/ruanga Tidak terdapat area atau tempat yang
memiliki nilai
sejarah kejadian
penting di masa lalu
Terdapat area atau tempat bersejarah di
masa lalu namun
saat ini sudah
berubah fungsi
Area atau tempat bersejarah masih
dipertahankan dan
terdapat landmark
/penanda
3 Sosial/Spiritualb
a. Area/ruang
Area/ruang dan
aktivitas sosial
budaya masyarakat
sudah tidak ada lagi
Aktivitas sosial
budaya masyarakat
masih berjalan
namun area atau
ruang untuk
beraktivitas sudah
tidak ada atau sebaliknya
Masih terdapat
area atau tempat
penting bagi
masyarakat dalam
melakukan
aktivitas sosial
budaya
14
b. Norma/aturan adat
c. Tradisi budaya
Setidaknya masih
terdapat satu norma
atau aturan adat
yang masih
dijalankan oleh
masyarakat
Masyarakat sudah
sepenuhnya
meninggalkan
tradisi adat yang mengandung nilai
spiritual
Beberapa norma
atau aturan adat
sudah mulai
ditinggalkan oleh
masyarakat
Nilai spiritual
dalam tradisi
masyarakat mulai
menghilang/hanya dilakukan oleh
sebagian
masyarakat
Norma atau
aturan adat masih
sepenuhnya
dijalankan oleh
masyarakat
Masyarakat
umumnya masih
melakukan tradisi
ritual adat pada acara tertentu
4 Ilmiahb
a. Aktivitas
b. Elemen lanskap
Aktivitas atau
kearifan lokal yang
bernilai pendidikan
sudah hilang
Tidak ada elemen yang memiliki nilai
pengetahuan/ilmiah
Masih terdapat
aktivitas atau
kearifan lokal yang
bernilai pendidikan
namun sudah mulai
hilang
Hanya beberapa elemen saja yang
memiliki nilai
pengetahuan yang
tinggi
Terdapat kearifan
lokal yang
dipertahankan dan
berpotensi bagi
pengembangan
ilmu pengetahuan
Setiap elemen memiliki nilai
pengetahuan yang
tinggi sehingga
dapat bermanfaat
bagi pendidikan
[Dimodifikasi dari Harris dan Dines (1988)a dan Australia ICOMOS (1999)]
b.
Hasil dari analisis terhadap karakter dan signifikansi lanskap budaya ini
kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menghasilkan rekomendasi tindakan
pelestarian untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini sesuai dengan
tingkat signifikansinya. Tindakan pelestarian ini tetap memperhatikan tatanan,
fungsi atau penggunaan, interpretasi, pengelolaan, dan pengembangan ke
depannya. Tindakan pelestarian yang akan digunakan mengacu pada Piagam
Burra yaitu, perubahan (change), pemeliharaan (maintenance), preservasi
(preservation), restorasi (restoration), rekonstruksi (reconstruction), adaptasi
(adaptation), penambahan (new work), melestarikan fungsi (conserving use),
mempertahankan asosiasi dan makna (retaining association and meanings), dan
interpretasi (interpretation). Piagam Burra digunakan karena piagam ini
merupakan sebuah model adaptif yang dapat disesuaikan secara budaya pada
pengelolaan tapak beberapa tempat di dunia (Mason 2008). Sementara
berdasarkan UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bentuk tindakan
pelestariannya yaitu perlindungan yang meliputi penyelamatan, pengamanan,
pemeliharaan, pemugaran; pengembangan meliputi penelitian, revitalisasi, dan
adaptasi; serta pemanfaatan.