2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal...

10
5 2 TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya Menurut UU No.11 tahun 2010, kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khusus. Smith (2004) menyatakan bahwa lanskap budaya adalah suatu susunan gagasan atau ide dan praktik yang tertanam di suatu tempat. Sedangkan menurut UNESCO (2005), lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia, ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya, baik eksternal maupun internal. Lanskap budaya adalah suatu area fisik yang memiliki fitur alami dan elemen-elemen buatan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan pola-pola dalam lanskap, yang memberikan karakter khusus, mencerminkan hubungan antara manusia terhadap lanskap (Lennon dan Mathews 1996). Lanskap atau bentang alam memiliki sifat yang dinamis karena selalu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan lanskap ini bisa menuju ke arah yang lebih baik namun juga bisa menuju ke arah perubahan yang lebih buruk. Perubahan lanskap ke arah yang lebih buruk sering dikenal dengan istilah degradasi lanskap. Degradasi lanskap ini biasanya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Pada masa modern seperti saat ini, manusia menjadi pengaruh dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lanskap. Seperti pernyataan Golley (1990) dalam Naveh (1995), manusia merupakan organisme yang tidak hanya melihat dan merasakan lanskap tetapi juga berinteraksi dengannya dalam proses transaksional yang dinamis. Mengolah dan merawat alam hingga alam tersebut sesuai bagi tempat hidup manusia bukan berarti bahwa alam takluk oleh dominansi manusia (Ahrendt dalam Naveh 1995). Landscape Character Assessment (LCA) Karakter adalah suatu pola dari elemen-elemen lanskap yang berbeda, konsisten dan dapat dikenali yang membuat satu lanskap berbeda dengan yang lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen yang memberi kontribusi terhadap perbedaan karakter. Elemen adalah komponen- komponen individu yang menghiasi lanskap seperti pohon, bangunan, dan sebagainya. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area-area yang memiliki kesamaan karakter, mengklasifikasi dan memetakannya serta mendeskripsikan karakternya. Karakter lanskap adalah keseluruhan visual dan impresi budaya dari atribut- atribut lanskap atau penampilan fisik dan konteks budaya dari sebuah lanskap yang memberikan suatu identitas dan sense of place. Karakter lanskap memberikan image budaya dan visual pada suatu area geografis dan terdiri atas kombinasi atribut fisik, biologi, dan budaya yang membuat setiap lanskap dapat dikenali dan unik (USDA 1995).

Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal...

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Budaya

Menurut UU No.11 tahun 2010, kawasan cagar budaya adalah satuan ruang

geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya

berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khusus. Smith (2004)

menyatakan bahwa lanskap budaya adalah suatu susunan gagasan atau ide dan

praktik yang tertanam di suatu tempat. Sedangkan menurut UNESCO (2005),

lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia,

ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu,

dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh

lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya, baik

eksternal maupun internal. Lanskap budaya adalah suatu area fisik yang memiliki

fitur alami dan elemen-elemen buatan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan

pola-pola dalam lanskap, yang memberikan karakter khusus, mencerminkan

hubungan antara manusia terhadap lanskap (Lennon dan Mathews 1996).

Lanskap atau bentang alam memiliki sifat yang dinamis karena selalu

berubah dari waktu ke waktu. Perubahan lanskap ini bisa menuju ke arah yang

lebih baik namun juga bisa menuju ke arah perubahan yang lebih buruk.

Perubahan lanskap ke arah yang lebih buruk sering dikenal dengan istilah

degradasi lanskap. Degradasi lanskap ini biasanya disebabkan oleh faktor alam

dan manusia. Pada masa modern seperti saat ini, manusia menjadi pengaruh

dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lanskap. Seperti pernyataan

Golley (1990) dalam Naveh (1995), manusia merupakan organisme yang tidak

hanya melihat dan merasakan lanskap tetapi juga berinteraksi dengannya dalam

proses transaksional yang dinamis. Mengolah dan merawat alam hingga alam

tersebut sesuai bagi tempat hidup manusia bukan berarti bahwa alam takluk oleh

dominansi manusia (Ahrendt dalam Naveh 1995).

Landscape Character Assessment (LCA)

Karakter adalah suatu pola dari elemen-elemen lanskap yang berbeda,

konsisten dan dapat dikenali yang membuat satu lanskap berbeda dengan yang

lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen yang

memberi kontribusi terhadap perbedaan karakter. Elemen adalah komponen-

komponen individu yang menghiasi lanskap seperti pohon, bangunan, dan

sebagainya. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area-area yang memiliki

kesamaan karakter, mengklasifikasi dan memetakannya serta mendeskripsikan

karakternya.

Karakter lanskap adalah keseluruhan visual dan impresi budaya dari atribut-

atribut lanskap atau penampilan fisik dan konteks budaya dari sebuah lanskap

yang memberikan suatu identitas dan sense of place. Karakter lanskap

memberikan image budaya dan visual pada suatu area geografis dan terdiri atas

kombinasi atribut fisik, biologi, dan budaya yang membuat setiap lanskap dapat

dikenali dan unik (USDA 1995).

6

Landscape Character Assessment (LCA) adalah suatu alat yang dapat

membuat kontribusi yang signifikan terhadap tujuan yang berhubungan dengan

perlindungan lingkungan dan penggunaan sumber daya secara bijaksana sebagai

pilar pembangunan berkelanjutan (Swanwick 2002). Dalam penilaian karakter

suatu lanskap, aspek estetika dan persepsi menjadi salah satu bagian yang penting

untuk dinilai. Estetika merupakan hal yang berkaitan erat dengan persepsi

seseorang terhadap suatu objek. Estetika lingkungan atau lanskap sebenarnya

bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal sejak abad ke-18. Namun,

estetika terhadap lingkungan maupun lanskap ini masih kurang mendapatkan

perhatian di Indonesia. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah melalui peraturan

daerahnya belum memasukkan aspek estetika lingkungan sebagai aspek yang

harus diperhatikan dan dilindungi. Nilai-nilai yang terdapat dalam estetika

lingkungan sangat mempengaruhi suatu bangsa, budaya, dan individu. Estetika

terhadap lanskap budaya di Indonesia belum mendapatkan apresiasi baik dari

masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah. Menurut Carlson (2009), nilai

estetika suatu lanskap budaya tidak hanya dilihat dari fisik luarnya saja (estetika

formal) tetapi juga memiliki nilai estetika yang tersirat di dalamnya (estetika

ekspresif) seperti makna, simbol, mistik, dan sebagainya.

Sejak tahun 1960, kepedulian dan perhatian terhadap isu-isu lingkungan

meningkat termasuk peraturan daerah di Amerika Serikat menyebabkan

munculnya kebutuhan akan metode untuk mengevaluasi keindahan atau estetika

lanskap. Para profesional arsitek lanskap berupaya menemukan berbagai macam

model untuk melakukan penilaian terhadap lingkungan (Gorski 2007). Menurut

Daniel (2001) dalam Kivanc (2013), kualitas visual lanskap adalah produk

bersama dari proses psikologi para pengamat (persepsi, kognisi, emosi) dalam

interaksinya dengan karakteristik visual lanskap yang terlihat jelas. Kivanc (2013)

menyatakan ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai kualitas visual

suatu lanskap. Pertama, pendekatan evaluasi yang berdasarkan pada opini ahli

(expert) dalam hal ini yaitu para ahli yang memahami nilai-nilai estetika

lingkungan. Pendekatan ini biasanya diaplikasikan pada pengelolaan lingkungan.

Pengalaman mempengaruhi respon, apresiasi, dan penilaian seseorang terhadap

estetika suatu lanskap (Brook 2013). Kedua, pendekatan evaluasi berdasarkan

pada persepsi user. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam proyek penelitian,

kegiatan akademik, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan evaluasi dengan

mengkombinasikan atau mengintegrasikan preferensi user dan opini para ahli.

Pendekatan ini bisa digunakan dalam proyek, studi, atau manajemen lingkungan.

Teknik Semantic Differential (SD) adalah metode yang sesuai digunakan

untuk mengukur nilai emosional terhadap suatu produk. Metode ini sudah

dikembangkan dalam variasi konsep yang luas. SD sudah digunakan sebagai

instrumen dalam menilai desain furnitur jalan, kursi kantor, mobil, telepon

genggam, maskot dalam olahraga, dan juga terhadap arsitektur, desain

lingkungan, ergonomik dan desain produk untuk komersil. SD juga banyak

digunakan untuk menilai persepsi seseorang maupun suatu populasi terhadap

sebuah produk (Mondragon et al. 2005). Teknik SD ini pun juga dapat digunakan

untuk menilai persepsi seseorang atau populasi terhadap suatu lanskap.

7

Signifikansi Budaya

Menurut Australia ICOMOS (1999) dalam piagam Burra, signifikansi

budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual yang penting

untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi estetis tidak

hanya dibatasi pada visual saja tetapi juga estetika yang bisa dirasakan oleh panca

indera lainnya seperti suara dan aroma. Signifikansi historis berhubungan dengan

nilai dari suatu tempat yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian penting di

masa lalu. Signifikansi sosial yaitu terkait dengan nilai-nilai atau tempat-tempat

yang memiliki nilai penting bagi suatu masyarakat. Selain itu juga berhubungan

dengan aktivitas, budaya, serta norma yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan

signifikansi ilmiah terkait dengan potensi yang dimiliki oleh lanskap atau tempat

tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Signifikansi budaya itu tersirat

dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya,

maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Tempat-

tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan untuk generasi kini dan yang

akan datang.

Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, nilai penting yang

dimiliki oleh suatu cagar budaya yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Namun, belum ada penjelasan dan

penjabaran secara rinci dalam peraturan pemerintah mengenai nilai-nilai penting

tersebut. Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya

memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang

berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan

erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam

bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar

budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab

masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur,

dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut

dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan

budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu.

Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan 5 nilai penting

yang dimiliki oleh suatu sumberdaya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting

estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Nilai penting estetika

didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan,

membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa

ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting

arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni

rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta

teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data

atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan

baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan

perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi

kelompok tertentu.

Berdasarkan berbagai definisi dan pengelompokan nilai penting di atas,

maka dapat diketahui bahwa nilai penting menurut Piagam Burra sudah mencakup

semua nilai penting yaitu terdiri atas nilai penting estetis, historis, ilmiah, sosial

atau spiritual. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai signifikansi

8

suatu lanskap budaya adalah metode Cultural Heritage Landscape Assessment

yang mengacu pada metode penilaian Heritage Victoria Landscape Assessment.

Metode ini digunakan untuk menilai signifikansi lanskap budaya yang ada di

Victoria, Australia. Metode ini juga mengacu pada piagam Burra yang ditetapkan

pada tahun 1999 di Burra, Australia. Hasil dari penilaian signifikansi ini dapat

bermanfaat untuk proses registrasi warisan budaya (cultural heritage), kegiatan

perencanaan, rencana pengelolaan, dan penilaian warisan budaya lainnya.

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi lanskap budaya Rumah Larik Kota

Sungai Penuh, Provinsi Jambi yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik

Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 3). Kegiatan penelitian

dilakukan selama 9 bulan mulai dari bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data-data yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini untuk menilai

karakter lanskap, karakter estetika, dan nilai penting lanskap yaitu data

kesejarahan, data biofisik, data sosial, budaya, ekonomi, dan data pengelolaan.

Data-data tersebut diperoleh melalui studi pustaka, observasi lapang, dan

wawancara terhadap beberapa narasumber yang terpercaya (Tabel 1).

Gambar 3 Lokasi penelitian

9

Tabel 1 Jenis dan sumber data yang diperlukan

No. Jenis Data Sumber

1 Data Kesejarahan:

- sejarah Kerinci

- sejarah Rumah Larik

- sejarah lanskap/elemen lanskap

- sejarah budaya dan masyarakat Kerinci

- Dinas Pariwisata

- Studi pustaka

- Ahli sejarah

- Ketua/lembaga

adat

- Tokoh masyarakat

2 Data Bio-Fisik:

- peta administrasi Kota Sungai Penuh

- peta landuse dan sejarah landuse

- peta landform, geologi, landcover, dsb.

- peta sejarah kota/kawasan

- citra satelit - geologi, tanah, landform, hidrologi/drainase, vegetasi

- sistem sirkulasi

- kondisi fisik lanskap budaya Rumah Larik

- elemen-elemen lanskap budaya

- visual

- BAPPEDA

- BPN

- Kantor Kelurahan

- Pengamatan

- Masyarakat lokal

- Internet - Studi pustaka

3 Data Sosial, Budaya, Ekonomi:

- kependudukan

- suku bangsa

- aktivitas budaya/tradisi/seni

- adat istiadat

- Kantor

Kecamatan

- Dinas

Kependudukan

- Dinas Pariwisata

- Masyarakat lokal

- Pengamatan

- Studi pustaka

4 Data Pengelolaan: - status kepemilikan

- pengelola

- sistem/teknis pengelolaan

- kebijakan/peraturan pemerintah

- rencana pemerintah, RTRW/RTRK

- Ketua/lembaga adat

- Dinas Pariwisata

- Masyarakat lokal

- Studi pustaka

Prosedur Analisis Data

Ada 3 jenis metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

metode Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan

Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA). Prosedur analisis dari masing-

masing metode ini dijelaskan sebagai berikut:

Landscape Character Assessment (LCA)

Penilaian karakter lanskap budaya Rumah Larik dilakukan dengan metode

LCA (Swanwick 2002). Pada metode ini dilakukan beberapa modifikasi dalam

tahapan prosesnya menyesuaikan dengan topik yang diteliti. Metode ini terdiri

dari 4 tahap:

Tahap 1, meliputi kegiatan persiapan yaitu menentukan ruang lingkup seperti,

menentukan objek dan tujuan analisis, menentukan skala objek yang di analisis,

data-data yang diperlukan beserta sumbernya, dan pihak-pihak yang terkait

dengan kegiatan penilaian ini.

10

Tahap 2, kegiatan pengumpulan data sekunder seperti data geologi, landform,

hidrologi/drainase, tanah, landcover/vegetasi (Natural factors); serta data landuse,

permukiman, batas-batas, dan sejarah (Cultural/social factors).

Tahap 3, melakukan kegiatan survei lapang untuk pengambilan data yang meliputi

aspek estetika dan persepsi. Pada tahap ini dilakukan pengambilan data berupa

sampel foto yang akan digunakan untuk penilaian estetika. Pengambilan sampel

foto untuk penilaian estetika dilakukan dengan menentukan titik-titik terbaik atau

vantage points terlebih dahulu pada peta ketiga Rumah Larik. Selain itu, juga

dilakukan pengamatan (groundcheck) kesesuaian data sekunder dengan kondisi

aktual di lapangan. Kegiatan survei lapang ini membutuhkan beberapa peralatan

seperti kamera digital untuk dokumentasi, alat tulis dan papan jalan, dan peta

lokasi penelitian.

Tahap 4, meliputi kegiatan klasifikasi dan deskripsi karakter lanskap berdasarkan

analisis terhadap semua data yang telah dikumpulkan. Output dari proses ini yaitu,

peta tipe karakter lanskap, deskripsi tipe karakter lanskap, area karakter lasnkap,

dan identifikasi karakteristik kunci lanskap (key characteristics). Peta tipe

karakter lanskap diolah menggunakan laptop jenis Toshiba Satellite L505D

dengan perangkat lunak Adobe Photoshop CS3, dan program pendukung grafis

lainnya. Karakter setiap lanskap Rumah Larik ini masing-masing dijabarkan

dalam bentuk poin-poin sehingga dapat dengan mudah diketahui persamaan

maupun perbedaannya.

Semantic Differential (SD)

Metode Semantic Differential (SD) digunakan untuk mengukur atau menilai

reaksi responden terhadap konsep atau kata-kata stimulus melalui rating pada

skala bipolar yang dibatasi oleh kata sifat (adjectives) yang berlawanan. Konsep

atau kata sifat yang digunakan dapat berupa situasi, kondisi, setting lingkungan

atau lanskap, dan sejenisnya. Adapun prosedur penilaian estetika berdasarkan

metode SD antara lain sebagai berikut:

1. Menentukan topik, tujuan, dan objek yang dinilai. Dalam kasus ini yang akan

dinilai dengan menggunakan metode SD adalah karakter estetika lanskap

budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh yang terdiri atas Rumah Larik

Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru.

2. Mempersiapkan kuesioner SD yang terdiri dari kata-kata bipolar. Kata-kata

bipolar dipilih berdasarkan topik yang akan dinilai. Pada penelitian ini topik

yang akan dinilai yaitu karakter estetika lanskap budaya Rumah Larik. Kata-

kata bipolar yang sudah dipilih selanjutnya diseleksi kembali dengan cara

eliminasi untuk menentukan kata-kata bipolar yang paling tepat dan sesuai

dengan topik untuk digunakan dalam penilaian. Melalui seleksi ini maka

terpilihlah 12 kata bipolar yang paling tepat untuk digunakan dalam penilaian

(Tabel 2). Setiap kata bipolar dibatasi dengan 7 skala penilaian mulai dari (-3)

yang paling rendah, 0 untuk nilai yang netral, dan (+3) untuk nilai tertinggi.

11

Tabel 2 Kata-kata bipolar untuk penilaian SD

No. Kata-kata Bipolar

Negatif Positif

K1 Buruk Indah

K2 Modern Tradisional

K3 Profan Sakral

K4 Semrawut Harmoni

K5 Biasa Unik

K6 Lemah Kuat

K7 Tidak penting Penting/bernilai

K8 Palsu Asli

K9 Baru Lama/Antik

K10 Pasif Aktif/Hidup

K11 Rusak Terpelihara

K12 Membosankan Menarik

3. Menentukan responden penilai. Responden yang digunakan dalam penilaian

karakter estetika lanskap budaya ini bisa menggunakan pendekatan menurut

Kivanc (2013) yaitu menurut persepsi para ahli, user, atau kombinasi antara

persepsi ahli dan user. Pada penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan

adalah penilaian oleh responden ahli. Teknik pengambilan sampel dilakukan

secara purposif (purposial sampling), sampel ditetapkan secara sengaja oleh

peneliti dan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Faisal 2008).

Responden ahli yang dipilih sebagai sampel adalah mahasiswa Departemen

Arsitektur Lanskap program Sarjana dan Pascasarjana. Responden ini dipilih

karena dianggap telah memiliki pemahaman terhadap nilai estetika lanskap.

Responden ahli bisa lebih mendalam dalam menilai karena mereka memiliki

banyak pengetahuan, pengalaman, dan kepekaan yang kuat dalam menilai

suatu lanskap (Porteous 1996). Jumlah responden yang digunakan dalam

penilaian berjumlah 30 orang (n = 30).

4. Mempersiapkan sampel foto objek atau lanskap yang dinilai. Jumlah sampel

foto yang diambil harus mewakili gambaran umum lanskap secara keseluruhan.

Foto yang diambil adalah foto bagian lanskap Rumah Larik dari ketiga lokasi

pengamatan. Foto yang dijadikan sampel berjumlah 30 foto, yang terbagi

menjadi 14 foto dari Rumah Larik Enam Luhah, 12 foto dari Rumah Larik

Pondok Tinggi, dan 4 foto dari Rumah Larik Dusun Baru (Lampiran 2).

Perbandingan jumlah sampel foto 14 : 12 : 4 tersebut diperoleh berdasarkan

pertimbangan dan perhitungan luas area permukiman. Rumah Larik Enam

Luhah memiliki luas area permukiman sekitar 59 926.25 m2, Rumah Larik

Pondok Tinggi sekitar 55 667.88 m2, dan Rumah Larik Dusun Baru seluas 10

306.58 m2. Teknik pengambilan foto untuk sampel yaitu dengan menentukan

lokasi vantage points pada peta kawasan. Penentuan lokasi vantage points

dilakukan berdasarkan hasil LCA yang menghasilkan area karakter lanskap

yaitu area yang memiliki karakter paling kuat dalam lanskap budaya Rumah

Larik. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan foto di lapangan dengan

menggunakan kamera DSLR Nikon tipe D3100 dengan lensa standar 18-55

mm. Foto yang digunakan dalam penilaian ini adalah foto berwarna. Kamera

diatur dengan ukuran gambar 3456x2304 pixel (medium) dan pengaturan

12

lainnya agar setiap foto yang diambil memiliki kualitas gambar yang sama.

Waktu pengambilan foto di lapangan dilakukan pada pukul 09.00 hingga 14.00

karena dianggap sebagai waktu dengan penyinaran matahari yang baik.

5. Penilaian oleh responden dilakukan secara bersama-sama. Responden

dikumpulkan dalam sebuah ruangan dan diberikan kuesioner SD yang sudah

disiapkan. Sebelum penilaian dimulai, dilakukan simulasi penilaian dengan

menggunakan 2 sampel foto yang ditampilkan melalui LCD. Simulasi ini

bertujuan agar responden menjadi lebih familiar dengan kata-kata bipolar yang

digunakan. Setelah simulasi selesai dilakukan, maka langsung dilanjutkan

dengan proses penilaian. Foto lanskap sebanyak 30 foto ditayangkan melalui

LCD secara acak. Responden diminta untuk menilai dalam waktu 4 detik untuk

setiap kata bipolar sehingga untuk menilai 1 buah foto membutuhkan waktu 48

detik.

6. Hasil dari penilaian setiap responden ini kemudian diolah dan dianalisis secara

deskriptif dan statistik. Uji statistik yang digunakan adalah uji KMO-MSA dan

Bartlett. Uji lanjutnya menggunakan analisis biplot untuk mengetahui korelasi

atau hubungan antar variabel dan analisis faktor (factor analysis) untuk

mereduksi sejumlah variabel menjadi variabel baru yang jumlahnya lebih

sedikit yang dapat mewakili variabel asalnya. Proses analisis ini menggunakan

laptop dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Minitab 16, SPSS 17 dan

Microsoft Word 2007. Dari metode ini dihasilkan kesimpulan mengenai

karakter estetika untuk mendukung penilaian karakter lanskap budaya Rumah

Larik.

Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA)

Metode Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA) digunakan untuk

menilai signifikansi/nilai penting dari suatu lanskap budaya. Metode ini diadaptasi

dari Heritage Victoria Landscape Assessment Guidelines dalam Heritage Council

of Victoria (2009). Adapun proses penilaian berdasarkan metode ini yaitu dengan

cara mengumpulkan informasi tentang lanskap melalui survei lapang, penelusuran

sejarah, sumber primer, fotografi dan koleksi seni, direktori dan buku yang

relevan, wawancara sejarah (oral history interviews), dan pengetahuan masyarakat

lokal. Pengumpulan data-data ini akan memerlukan beberapa peralatan seperti alat

tulis, kamera digital dan voice recorder.

Setelah data-data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi

nilai dari lanskap budaya (cultural heritage values) dan melakukan pembobotan

berdasarkan kriteria kelangkaan, keunikan, dan keaslian. Mengacu pada piagam

Burra, maka ada 4 kriteria utama yang harus diidentifikasi dan dinilai untuk

signifikansi lanskap budaya yaitu estetika, sejarah, sosial atau spiritual, dan ilmiah

(Tabel 3). Skor hasil pembobotan lalu dijumlahkan dan dibuat interval kelas untuk

mengetahui tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi akan dibagi menjadi 3

yaitu signifikansi rendah, sedang, dan tinggi. Langkah terakhir yaitu

mendeskripsikan nilai penting (significant) lanskap budaya tersebut berdasarkan

hasil pembobotan dari setiap kriteria. Adapun rumus yang digunakan untuk

menentukan interval kelas menurut Selamet (1983) dalam Anggraeni (2011)

adalah sebagai berikut:

13

Interval Kelas (IK) = Skor maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)

Jumlah Kategori

Signifikansi Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa

Signifikansi Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK)

Signifikansi Rendah = SMi sampai SMi + IK

Tabel 3 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya

No Kriteria Skor

Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)

1 Estetikab

a. Landusea

b. Arsitektur rumah

c. Elemen lanskap

d. Integritas/Unitya

Terjadi perubahan

penggunaan lahan

>50%

Didominasi >50% oleh rumah bergaya

arsitektur modern

Keaslian elemen

baik bentuk,

material, dan

letaknya <50%

Lanskap tidak memiliki

kesatuan/unity dan

karakternya tidak

harmonis dengan

lingkungan sekitar

Terjadi perubahan

penggunaan lahan

sebesar 25-50%

Didominasi >50% oleh rumah semi

modern tapi tetap

memiliki

corak/gaya

tradisional

Keaslian elemen

baik bentuk,

material, dan

letaknya 50-75%

Lanskap memiliki unity dan integritas

karakter yang

lemah dengan

sekitarnya

Terjadi perubahan

penggunaan lahan

<25%

Didominasi >50% oleh rumah yang

memiliki gaya

arsitektur

tradisional dan

keaslian

Keaslian elemen

baik bentuk,

material, dan

letaknya >75%

Lanskap memiliki unity yang kuat dan

karakter yang

harmonis dengan

sekitarnya

2 Sejarahb

a. Elemen lanskapa

Terdapat hanya satu

elemen bersejarah

dengan umur >50

tahun

Terdapat 2-5

elemen bersejarah

dengan umur >50

tahun

Terdapat lebih

dari 5 elemen

bersejarah dengan

umur >50 tahun

b. Area/ruanga Tidak terdapat area atau tempat yang

memiliki nilai

sejarah kejadian

penting di masa lalu

Terdapat area atau tempat bersejarah di

masa lalu namun

saat ini sudah

berubah fungsi

Area atau tempat bersejarah masih

dipertahankan dan

terdapat landmark

/penanda

3 Sosial/Spiritualb

a. Area/ruang

Area/ruang dan

aktivitas sosial

budaya masyarakat

sudah tidak ada lagi

Aktivitas sosial

budaya masyarakat

masih berjalan

namun area atau

ruang untuk

beraktivitas sudah

tidak ada atau sebaliknya

Masih terdapat

area atau tempat

penting bagi

masyarakat dalam

melakukan

aktivitas sosial

budaya

14

b. Norma/aturan adat

c. Tradisi budaya

Setidaknya masih

terdapat satu norma

atau aturan adat

yang masih

dijalankan oleh

masyarakat

Masyarakat sudah

sepenuhnya

meninggalkan

tradisi adat yang mengandung nilai

spiritual

Beberapa norma

atau aturan adat

sudah mulai

ditinggalkan oleh

masyarakat

Nilai spiritual

dalam tradisi

masyarakat mulai

menghilang/hanya dilakukan oleh

sebagian

masyarakat

Norma atau

aturan adat masih

sepenuhnya

dijalankan oleh

masyarakat

Masyarakat

umumnya masih

melakukan tradisi

ritual adat pada acara tertentu

4 Ilmiahb

a. Aktivitas

b. Elemen lanskap

Aktivitas atau

kearifan lokal yang

bernilai pendidikan

sudah hilang

Tidak ada elemen yang memiliki nilai

pengetahuan/ilmiah

Masih terdapat

aktivitas atau

kearifan lokal yang

bernilai pendidikan

namun sudah mulai

hilang

Hanya beberapa elemen saja yang

memiliki nilai

pengetahuan yang

tinggi

Terdapat kearifan

lokal yang

dipertahankan dan

berpotensi bagi

pengembangan

ilmu pengetahuan

Setiap elemen memiliki nilai

pengetahuan yang

tinggi sehingga

dapat bermanfaat

bagi pendidikan

[Dimodifikasi dari Harris dan Dines (1988)a dan Australia ICOMOS (1999)]

b.

Hasil dari analisis terhadap karakter dan signifikansi lanskap budaya ini

kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menghasilkan rekomendasi tindakan

pelestarian untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini sesuai dengan

tingkat signifikansinya. Tindakan pelestarian ini tetap memperhatikan tatanan,

fungsi atau penggunaan, interpretasi, pengelolaan, dan pengembangan ke

depannya. Tindakan pelestarian yang akan digunakan mengacu pada Piagam

Burra yaitu, perubahan (change), pemeliharaan (maintenance), preservasi

(preservation), restorasi (restoration), rekonstruksi (reconstruction), adaptasi

(adaptation), penambahan (new work), melestarikan fungsi (conserving use),

mempertahankan asosiasi dan makna (retaining association and meanings), dan

interpretasi (interpretation). Piagam Burra digunakan karena piagam ini

merupakan sebuah model adaptif yang dapat disesuaikan secara budaya pada

pengelolaan tapak beberapa tempat di dunia (Mason 2008). Sementara

berdasarkan UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bentuk tindakan

pelestariannya yaitu perlindungan yang meliputi penyelamatan, pengamanan,

pemeliharaan, pemugaran; pengembangan meliputi penelitian, revitalisasi, dan

adaptasi; serta pemanfaatan.