2. LANDASAN TEORI 2.1 Umum · 2013. 3. 11. · 2. LANDASAN TEORI 2.1 Umum Proyek konstruksi...
Transcript of 2. LANDASAN TEORI 2.1 Umum · 2013. 3. 11. · 2. LANDASAN TEORI 2.1 Umum Proyek konstruksi...
2. LANDASAN TEORI
2.1 Umum
Proyek konstruksi merupakan salah satu industri yang rawan terhadap
kecelakaan kerja karena karakteristiknya yang berbahaya, berubah-ubah setiap
saat. Kecelakaan kerja pada proyek konstruksi dapat disebabkan oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam proyek konstruksi, mulai dari pihak manajemen sampai
dengan pekerja lini depan.
Anton (1989) dan Hinze (1997) mendefinisikan kecelakaan sebagai
sesuatu yang tidak terencana, tidak terkendali, dan tidak diinginkan yang
mengacaukan fungsi-fungsi normal dari seseorang dan dapat mengakibatkan luka
pada seseorang. Reason (1997) mendefinisikan kecelakaan menjadi dua yaitu
kecelakaan individual dan kecelakaan organisasi.
Beberapa teori telah dikemukakan oleh Dahlback, Denning, Kerr (Hinze,
1997) untuk menjelaskan dan menelusuri penyebab dari terjadinya kecelakaan
kerja. Teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian secara umum, yaitu teori yang menggunakan pendekatan
secara perorangan (Person Approach) dan teori yang menggunakan pendekatan
sistem (System Approach). Contoh teori dengan pendekatan perorangan adalah
The Accident-Proneness Theory, yang menyatakan bahwa perilaku manusia
memegang peranan yang besar pada terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkan
contoh teori dengan pendekatan sistem adalah The Goals-Freedom-Alertness
Theory, The Adjustment-Stress Theory, The Distractions Theory, The Distractions
Theory, Mental Stresses, The Chain-of-events Theory (Hinze, 1997), dan Domino
Theory. Teori-teori tersebut mengungkapkan bahwa kecelakaan kerja dapat terjadi
karena pengaruh banyak hal seperti lingkungan kerja yang buruk, tekanan yang
berlebihan, kondisi tidak aman, serta hal-hal lainnya.
Kecelakaan kerja menurut Anton (1989) dan Pipitsupaphol (2003) dapat
terjadi karena beberapa faktor yaitu faktor kepemimpinan, kondisi tempat kerja
dan tindakan pekerja dalam melaksanankan pekerjaannya. Terjadinya kecelakaan
kerja membuktikan kurang atau tidak mencukupinya tindakan pencegahan yang 4
Universitas Kristen Petra
5
dilakukan oleh pihak manajemen, kegagalan dapat terletak pada pihak
manajemen, pekerja, mesin, proses, atau mungkin pada perencanaannya.
Suraji (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa 88% penyebab
terjadinya kecelakaan pada proyek konstruksi adalah akibat kesalahan yang terjadi
pada fase operasional. Kesalahan pada fase operasional tersebut disebabkan oleh
pelanggaran terhadap peraturan, tanda bahaya, maupun kesalahan secara praktek
kerja, sisanya didominasi oleh kesalahan prosedur, fasilitas keselamatan kerja
yang tidak memadai, perlengkapan yang rusak, tenaga kerja yang tidak terlatih.
Suraji (2001) juga menemukan bahwa tindakan pekerja yang secara
langsung menyebabkan kecelakaan pada proyek konstruksi adalah sebesar 29,8 %,
diantaranya adalah penggunaan perlengkapan pelindung yang salah atau rusak,
kegagalan dalam memenuhi instruksi dan peraturan yang berlaku, kurang berhati-
hati, terlalu percaya diri.
Sebelum ditetapkannya peraturan mengenai keselamatan kerja seringkali
para pekerja bertanggung jawab terhadap keselamatannya sendiri di lapangan dan
segala luka yang didapat sebagai resiko pekerjaannya Hal ini dikarenakan para
pimpinan perusahaan sebagai pemberi pekerjaan mendapat keringanan dari
peraturan dan hukum yang berlaku sehingga para pimpinan perusahaan dapat
melepaskan tanggung jawab terhadap para pekerja. Pada pertengahan abad 21,
peraturan dan hukum yang berlaku memberikan perlindungan terhadap para
pekerja dengan melimpahkan semua tanggung jawab keselamatan kerja pada
organisasi tempat pekerja tersebut bekerja. Dengan adanya peraturan ini maka
organisasi mulai menetapkan berbagai prosedur dan peraturan dalam program
keselamatan kerja untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja pekerja
(Hinze, 1997).
Kunci sukses suatu program keselamatan kerja adalah bila program
keselamatan kerja tersebut dapat berfungsi dengan baik pada semua lapisan
perusahaan, terutama bila semua pekerja menyadari pentingnya melakukan segala
aktifitas dengan aman (Hinze, 1997). Program keselamatan kerja dapat berfungsi
dengan efektif bila program tersebut dikomunikasikan dalam bentuk budaya
keselamatan kerja kepada seluruh lapisan individu yang terlibat pada proyek
konstruksi. Dengan adanya budaya keselamatan kerja diharapkan dapat
Universitas Kristen Petra
6
mempengaruhi perilaku individu dalam bentuk meminimalisasi tindakan tidak
amandi lapangan. Budaya keselamatan kerja pada proyek konstruksi juga dapat
dikatakan baik apabila keselamatan kerja menjadi prioritas utama semua anggota
proyek tersebut, mulai dari tingkatan pekerja, sampai pada tingkat pimpinan,
bahkan pihak pemberi pekerjaan. Pihak pekerja hendaknya mendapat informasi
mengenai prosedur keselamatan kerja yang ditetapkan oleh perusahaan.
2.2 Bahaya, Pertahanan, dan Kecelakaan Kerja
Menurut Reason (1997) kecelakaan kerja dapat terjadi akibat hancurnya
pertahanan yang dibuat oleh organisasi, sehingga bahaya yang timbul tidak dapat
diantisipasi (Gambar 2.1). Semua pertahanan yang dibentuk oleh organisasi
merupakan perencanaan maupun tindakan untuk mengantisipasi bahaya yang
mungkin muncul, dapat berupa tindakan pengawasan, perlengkapan pelindung,
peraturan dan prosedur, dan sebagainya. Pertahanan yang dibentuk oleh organisasi
secara umum hendaknya memenuhi fungsi-fungsi sebagai berikut:
• Memberikan pengertian dan kesadaran akan bahaya yang dihadapi
• Memberikan panduan kegiatan operasional yang aman
• Memberikan tanda bahaya atau peringatan bila timbul bahaya.
• Mengembalikan system operasional pada keadaan yang aman.
• Menetapkan batasan keselamatan antara bahaya dan kerugian yang mungkin
terjadi
• Meminimalkan bahaya yang terjadi apabila bahaya sudah melewati pertahanan
yang dibentuk.
• Menghindari bahaya dan melakukan tindakan penyelamatan apabila timbul
bahaya.
PERTAHANAN (Defences)
Kecelakaan Kerja
BAHAYA
Gambar 2.1 Bahaya, Sistem Pertahanan dan Kecelakaan Kerja (Reason, 1997)
Universitas Kristen Petra
7
Reason (1997) membagi penyebab kecelakaan kerja menjadi dua, yang
pertama karena tindakan tidak aman yang dilakukan oleh pekerja dan yang kedua
disebabkan oleh kondisi tidak aman pada lingkungan kerja. Reason (1997)
menyatakan bahwa pendorong utama timbulnya tindakan tidak aman dan kondisi
tidak aman adalah faktor organisasi, yang selanjutnya mempengaruhi faktor
lingkungan kerja.
Faktor lingkungan kerja meliputi hal-hal yang berhubungan dengan proyek
konstruksi secara langsung seperti tekanan yang berlebihan terhadap jadwal
pekerjaan, peralatan dan perlengkapan keselamatan kerja yang tidak memadai,
kurangnya pelatihan keselamatan kerja yang diberikan pada pekerja, kurangnya
pengawasan terhadap keselamatan kerja pekerja. Faktor lingkungan kerja dapat
mendorong munculnya kesalahan dan pelanggaran pada pihak pekerja, kesalahan
dan pelanggaran tersebut dapat berupa tindakan tidak aman dari pekerja, seperti
melanggar peraturan dan prosedur keselamatan kerja, dan salah satu hasil akhir
dari tindakan tidak aman adalah munculnya kecelakaan kerja pada pihak pekerja.
Di lain pihak faktor organisasi dan faktor lingkungan kerja juga dapat
menyebabkan munculnya kondisi tidak aman yang berupa kondisi laten. Disebut
kondisi laten karena kondisi tidak aman tersebut muncul pada lingkungan kerja
bila berinteraksi dengan tindakan tidak aman dari pihak pekerja, yang kemudian
dapat menyebabkan kecelakaan kerja (Gambar 2.2).
Salah satu contoh kondisi laten adalah kebijakan organisasi yang tidak
memberikan perlengkapan keselamatan kerja pada pekerjanya dengan melakukan
pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan. Hal ini
sangat beresiko karena bila suatu saat pengawasan tidak dilakukan, dapat muncul
resiko terjadinya kecelakaan kerja.
Oliver, et al (2002) mengemukakan bahwa kecelakaan kerja yang
disebabkan oleh tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman dapat terjadi karena
adanya pengaruh dari faktor organisasi, kondisi lokal tempat kerja, serta perilaku
dan kesehatan pekerja kurang baik atau tindakan tidak aman, yang tidak disadari
oleh pekerja maupun yang disadari oleh pekerja, berupa pelanggaran.
Universitas Kristen Petra
8
BAHAYA Kecelakaan
Kerja
Kondisi tidak aman
PERTAHANAN (Defences)
Faktor organisasi
Faktor lingkungan kerja
Tindakan tidak aman
Gambar 2.2 Mekanisme Kecelakaan Kerja (Reason, 1997)
Faktor organisasi dan faktor lingkungan kerja dapat mempengaruhi
terjadinya kecelakaan kerja secara langsung maupun secara tidak langsung.
Contoh pengaruh secara langsung apabila organisasi tidak menetapkan kebijakan,
peraturan dan prosedur terhadap keselamatan kerja, tidak memberikan per-
lengkapan pelindung sehingga tidak ada perlindungan keselamatan kerja untuk
pekerjanya, pengaruh secara tidak langsung apabila sudah ada kebijakan,
komitmen dan peraturan keselamatan kerja tetapi mengeluarkan keputusan yang
kurang tepat sehingga menyebabkan pekerja mengambil tindakan yang tidak aman
karena terpaksa dan terjadilah kecelakaan kerja.
2.3 Perilaku Pekerja Terhadap Keselamatan Kerja
Penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja adalah tindakan tidak aman
yang merupakan refleksi dari perilaku pekerja tersebut terhadap keselamatan
kerja. Tindakan tidak aman dapat berupa tindakan yang tidak disadari oleh pekerja
maupun tindakan yang disadari, dapat berupa pelanggaran.
Universitas Kristen Petra
9
Perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja merupakan perilaku pekerja
yang mencerminkan tanggapan pekerja terhadap keselamatan kerja. Perilaku
manusia yang kurang baik dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial dan faktor-faktor lingkungan yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya
kecelakaan maupun sekedar luka (Suraji, 2001). Tanggapan atau respon pekerja
terhadap keselamatan kerja akan terlihat pada perilakunya di tempat kerja
(Garavan and O’Brien, 2001). Peningkatan perilaku pekerja terhadap keselamatan
kerja dapat mengurangi atau mencegah timbulnya kecelakaan kerja (Garavan and
O’Brien, 2001). Perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja merupakan
perwujudan dari budaya keselamatan kerja pada proyek konstruksi (Mohamed,
2002).
Menurut Reason (1997) tindakan tidak aman dapat disebabkan oleh
kesalahan atau kelalaian manusia (Human-erorr) dalam melakukan pekerjaanya.
Reason (1997) menguraikan kesalahan yang dilakukan oleh pekerja menjadi
empat yaitu:
• Skill-based error (Slips and Lapses), Kesalahan yang dilakukan
berhubungan dengan keahlian yang dimiliki. Pekerja yang telah terbiasa
dalam melakukan suatu pekerjaan suatu saat dapat melakukan kesalahan
tanpa disadari (slips) karena tidak sesuai dengna kebiasaannya, selain itu
pekerja dapat melakukan kesalahan karena lupa (Lapses).
• Rule-based error (Mistakes), meliputi kesalahan dalam memenuhi standar
dan prosedur yang berlaku, menggunakan peraturan dan prosedur yang
salah, menggunakan peraturan dan prosedur lama.
• Knowledge-based error (Mistakes), disebabkan kurangnya pengetahuan
sehingga menyebabkan kesalahan dalam mengambil keputusan dan asumsi
asumsi.
• Violation atau pelanggaran, merupakan kesalahan yang dilakukan dengan
sengaja seperti melanggar peraturan keselamatan kerja dengan tidak
menggunakan perlengkapan pelindung.
Universitas Kristen Petra
10
Pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya
sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi (Reason, 1997).
Kesadaran terhadap bahaya yang mengancam dapat diwujudkan dengan
menggunakan perlengkapan keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati
peraturan dan prosedur yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya.
Seringkali pekerja melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan perlengkapan
pelindung maupun menggunakan perlengkapan pelindung yang rusak, menyalah-
gunakan perlengkapan pelindung, mengambil jalan pintas dengan mengabaikan
peraturan dan rambu-rambu yang ada (Anton, 1989).
Anton (1989) mendefinisikan tindakan tidak aman sebagai tindakan yang
dilakukan oleh seseorang sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan. Tindakan tidak aman ini dapat dianggap sebagai hasil dari kesalahan
yang dilakukan baik oleh pekerja yang terlibat secara langsung maupun kesalahan
yang dilakukan oleh organisasi yaitu pihak manajemen.
Contoh tindakan tidak aman (Anton, 1989):
• Menggunakan peralatan yang rusak atau tidak memadai
• Tidak menggunakan perlengkapan pelindung keselamatan
• Tidak mengikuti atau mengabaikan prosedur keselamatan kerja
• Tidak menjaga kebersihan tempat kerja dengan baik.
Anton (1989) juga mengungkapkan bahwa tindakan tidak aman muncul
karena pekerja tidak terlatih dengan baik, kurang termotivasi, tidak belajar dari
pengalaman yang lalu, selain itu juga dapat disebabkan oleh tugas-tugas maupun
pekerjaan yang tidak biasa dilakukan, pekerja kurang berpengalaman terhadap
pekerjaan.
Untuk meminimalisasi tindakan tidak aman yang dilakukan oleh pekerja
sebaiknya pekerja diberi pengarahan maupun informasi yang berhubungan dengan
pekerjaannya terlebih dahulu, seperti:
• Pengenalan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan,
personel kunci, dan lain-lain.
• Gambaran umum kebijakan perusahaan pada proyek konstruksi.
• Gambaran umum kebijakan keselamatan kerja.
Universitas Kristen Petra
11
• Pengenalan terhadap ruang lingkup pekerjaan, jadwal kerja, penataan lokasi
proyek, dan lain sebagainya.
• Penekanan terhadap tempat-tempat yang berbahaya pada proyek konstruksi.
• Pengarahan yang jelas mengenai pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
• Informasi tentang bahaya-bahaya yang mungkin muncul.
• Informasi mengenai jam kerja, waktu istirahat, pembersihan tempat kerja,
persetujuan pekerja, kerja lembur, dan sebagainya.
Pada penelitian ini perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja dianggap
sebagai tindakan-tindakan tidak aman yang dilakukan oleh pekerja yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku pekerja yang semakin
baik diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya kecelakaan kerja pada pekerja
tersebut.
Frey (1999) mengkategorikan perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja
menjadi lima, yaitu: menjaga dan memperhatikan tempat kerja, penggunaan
peralatan dan perlengkapan pelindung, pakaian yang digunakan, perilaku pekerja
dalam penanganan dan operasional material (Garavan and O’Brien, 2001, p.147).
Hofmann dan Stetzer (1996) menyarankan enam kategori perilaku pekerja
terhadap keselamatan kerja yang kurang benar, seperti: penggunaan peralatan
yang kurang benar, strategi pekerjaan membahayakan diri sendiri, kegagalan
untuk melengkapi peralatan pelindung, penyimpanan peralatan yang kurang
benar, penyimpanan dilakukan orang lain, dan strategi pekerjaan yang
membahayakan orang lain (Garavan and O’Brien, 2001, p.147).
Secara umum perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja dapat terlihat
melalui kegiatan pekerja sehari-hari seperti menanggapi peraturan dan prosedur
keselamatan kerja, contohnya dalam hal penggunaan perlengkapan keselamatan
kerja, pelanggaran terhadap peraturan dan prosedur keselamatan kerja, dan
menjaga kebersihan tempat kerja. Selain itu pekerja bergurau, melakukan tindakan
berbahaya seperti melempar, berlari-lari, melompat, dan tindakan-tindakan berba-
haya lainnya yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan kerja.
Rangkuman variabel perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja yang
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Universitas Kristen Petra
12
Tabel 2.1 Sumber Variabel Perilaku Pekerja Terhadap Keselamatan Kerja
Sumber Variabel Perilaku Pekerja Terhadap Keselamatan Kerja C F O M T P
1 Saya melaporkan kecelakaan yang terjadi ● ● 2 Saya mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan
keselamatan kerja ● ●
3 Saya menggunakan perlengkapan keselamatan kerja ● ● ● ● ● 4 Saya meletakkan material dan peralatan pada tempat yang
ditentukan ●
5 Saya bekerja mengikuti semua prosedur keselamatan kerja ● ● ● 6 Saya mengikuti semua instruksi dari atasan saya ● 7 Saya bergurau dengan rekan kerja saya waktu bekerja ● 8 Saya sering melakukan gerakan berbahaya seperti berlari,
melempar, melompat. ●
Keterangan: C = Cheyne, 1998; F = Frey, 1999; O = Oliver, 2002; M = Mohamed, 2002;
T = Tony, 2004; P = Paramita, 2005.
2.4 Budaya Keselamatan Kerja
Untuk mencegah munculnya tindakan tidak aman dari pekerja, kondisi
tidak aman pada lingkungan kerja dan terutama untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja, pertama-tama harus dibentuk budaya keselamatan kerja yang
baik. Untuk membentuk budaya keselamatan kerja yang baik diperlukan waktu
dan biaya tambahan. Dalam hal inimemerlukan waktu tambahan, untuk
membudayakan keselamatan kerja yang merupakan hal baru. Memerlukakn biaya
tambahan, untuk biaya perencanaan dan operasional program keselamatan kerja.
Budaya Keselamatan kerja merupakan sub komponen dari budaya
organisasi yang membahas keselamatan kerja individu, pekerjaan dan hal-hal
yang diutamakan oleh organisasi mengenai keselamatan kerja. Beberapa definisi
budaya keselamatan kerja antara lain: menurut Uttal (1983) “Merupakan
gabungan dari nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang berinteraksi dengan
struktur organisasi dan sistem pengendalian yang membentuk norma-norma
perilaku” (Cooper, 2000, p.113), menurut Turner (1989) “ Merupakan kumpulan
kepercayaan-kepercayaan, norma-norma, sikap-sikap, peraturan-peraturan dan
praktek-praktek sosial serta teknis yang memperhatikan minimalisasi tenaga kerja,
manajer, pelanggan dan anggota masyarakat pada kondisi yang dianggap
berbahaya” (Cooper, 2000, p.113).
Universitas Kristen Petra
13
Budaya keselamatan kerja pada proyek konstruksi dapat dikatakan baik
apabila keselamatan kerja menjadi prioritas utama semua anggota proyek tersebut,
mulai dari tingkat pimpinan, tingkatan pekerja, maupun pihak pemberi pekerjaan.
Anton (1989) menyebutkan bahwa pihak pimpinan harus bertanggung jawab
terhadap keselamatan kerja para pekerjanya dan harus menetapkan suatu
kebijakan keselamatan kerja, menumbuhkan kesadaran terhadap pentingnya
keselamatan kerja serta menunjukkan perhatian terhadap keselamatan kerja.
Pengawas pekerjaan memegang peranan penting terhadap keselamatan kerja
karena berhubungan langsung dengan para pekerja di lapangan.
Budaya keselamatan kerja yang meliputi faktor organisasi dan faktor
lingkungan kerja menurut Mintzberg (1989) terdiri dari tiga kendali utama
penggerak budaya keselamatan kerja yaitu komitmen, kompetensi dan kesadaran
(Reason, 1997, p.113).
• Komitmen
Terdiri dari dua komponen utama yaitu motivasi dan sumber daya.
Motivasi berhubungan dengan besarnya keinginan organisasi untuk menerapkan
keselamatan kerja. Komponen keadua berhubungan dengan sumber daya yang
dialokasikan oleh organisasi untuk mewujudkan keselamatan kerja pada proyek
konstruksi, terutama berupa sumber daya manusia yang secara khusus menangani
masalah keselamatan kerja dan perlengkapan pendukung keselamatan kerja.
Tingkat komitmen yang tinggi sulit untuk ditemukan karena pihak organisasi
lebih mementingkan segi komersial daripada meningkatkan kinerja keselamatan
kerja, hal ini berhubungan dengan biaya yang diperlukan untuk meningkatkan
kinerja keselamatan kerja cukup besar. Sumber daya yang dialokasikan untuk
mencapai tujuan keselamatan kerja hendaknya memperhatikan aspek kualitas
setara dengan aspek kuantitas (Reason, 1997).
• Kompetensi
Kompetensi pada lingkup ini berhubungan dengan kemampuan dalam
menanggapi masalah keselamatan kerja. Kesalahan yang dilakukan pekerja
(Human Erorr) salah satunya dapat disebabkan oleh kompetensi pekerja yang
kurang baik, sehingga dapat timbul kesalahan karena keahlian kurang (skill-based
error), kesalahan karena tidak mengetahui dan tidak menjalankan peraturan
Universitas Kristen Petra
14
dengan benar (rule-based error), maupun kesalahan karena pengetahuan kurang
(knowledge-based error) (Reason, 1997).
• Kesadaran.
Manajerial memegang peranan penting dalam menerapkan keselamatan
kerja, dimulai dari kesadaran dan pengetahuan akan bahaya yang mengancam.
Kesadaran pada tingkatan pekerja, agar pekerja juga mempunyai kesadaran dan
pengetahuan akan bahaya yang mengancam, sehingga program keselamatan kerja
dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya dan penuh kesadaran.
Contoh dasar operasional program keselamatan kerja (IAEA, 2002)
• Membentuk rencana strategis dan penerapan keselamatan kerja secara
menyeluruh pada semua aspek dan aktifitas organisasi.
• Mengutamakan kualitas dari sistem pengendalian resiko.
• Mengutamakan kualitas dari sistem informasi manajemen keselamatan kerja.
• Mengutamakan kualitas pekerjaan yang berhubungan dengan keselamatan
kerja.
• Memberikan program pelatihan keselamatan kerja.
Resiko terjadinya kecelakaan kerja tidak mungkin dihilangkan sama
sekali, tetapi memungkinkan untuk diminimalisasi atau diantisipasi. Secara umum
selama organisasi dapat mengantisipasi dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja
maka dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut berada pada daerah aman
(Gambar 2.3).
Bantuan Navigasi
Reaktif Proaktif
Penggerak
Komitmen
Kompetensi
Kesadaran
Daerah Aman
Gambar 2.3 Daerah Aman (Reason, 1997)
Daerah aman merupakan daerah mempunyai batasan tertentu terhadap
keselamatan kerja, dimana pertahanan yang dibentuk oleh organisasi masih dapat Universitas Kristen Petra
15
mengantisipasi bahaya yang mengancam, dan biaya yang dikeluarkan masih
sesuai dengan toleransi dan kebutuhan organisasi, tidak berlebihan dan tidak
kekurangan.
Agar organisasi dapat berada pada daerah aman, menurut Reason (1997)
diperlukan adanya bantuan “navigasi”, bantuan tersebut dapat berupa bantuan
secara reaktif maupun secara proaktif (Gambar 2.3). Bantuan secara reaktif ini
berupa pengukuran yang dilakukan setelah adanya suatu kejadian, sementara
bantuan secara proaktif dilakukan untuk mencegah kejadian yang tidak
diinginkan. Tindakan reaktif seharusnya memberikan gambaran mengenai
kelemahan pertahanan yang ada sehingga pertahanan tersebut hancur. Tindakan
proaktif bersifat pemeriksaan secara rutin terhadap pertahanan yang dibentuk dan
tanda-tanda yang muncul seperti ‘near misses’ (hampir terjadi kecelakaan),
terutama pada faktor-faktor tempat kerja yang berubah setiap saat yang
memerlukan interval pemeriksaan lebih rutin.
Faktor-faktor budaya keselamatan kerja dibagi menjadi enam faktor utama
yaitu komitmen top manajemen, peraturan dan prosedur keselamatan kerja,
komunikasi, kompetensi pekerja, keterlibatan pekerja dan lingkungan kerja.
2.6.1 Komitmen Top Manajemen
Menurut Reason (1997), pada proyek konstruksi program keselamatan
kerja hendaklah dimulai dari awal, dalam hal ini dimulai dari perusahaan
konstruksi tersebutoleh komitmen pimpinan organisasi atau top manajemen. Top
manajemen yang memiliki komitmen baik terhadap program keselamatan kerja
akan mewujudkannya pada proyek konstruksi.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Cheyne, 1998; Mohamed
2002; Pipitsupaphol, 2003, dan Reason, 1997), menemukan bahwa faktor
komitmen merupakan salah satu faktor utama budaya keselamatan kerja, tanpa
dukungan dari pihak manajemen sangatlah sulit untuk meraih keberhasilan dalam
menjalankan program keselamatan kerja.
Komitmen top manajemen dapat berupa perhatian terhadap keselamatan
kerja, tindakan-tindakan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan kerja,
dapat berupa tindakan proaktif yang merupakan pencegahan atau antisipasi
Universitas Kristen Petra
16
terhadap bahaya seperti melengkapi pekerja dengan perlengkapan pelindung
keselamatan kerja, memberikan pekerja pelatihan keselamatan kerja, memberikan
pengawasan terhadap keselamatan kerja pekerja maupun tindakan reaktif yang
dilakukan bila terjadi kecelakaan kerja seperti menyediakan obat-obatan, bila
terjadi kecelakaan fatal mengantarkan ke rumah sakit (Cheyne, 1998; Davies,
2001; Harper and Koehn, 1998; Mohamed, 2002; Pipitsupaphol, 2003; Reason,
1997; Tony, 2004).
2.6.2 Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja
Peraturan dan prosedur keselamatan kerja merupakan faktor yang penting
pada proyek konstruksi karena dapat membantu dan memudahkan penerapan
program keselamatan kerja pada proyek konstruksi. Peraturan dan prosedur
keselamatan kerja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalisasi
kecelakaan yang diakibatkan adanya kondisi tidak aman (Pipitsupaphol, 2003).
Peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang diterapkan oleh
perusahaan hendaknya mudah dipahami dan tidak sulit untuk diterapkan pada
proyek konstruksi. Mohamed (2002) mengungkapkan bahwa peraturan dan
prosedur keselamatan kerja hendaknya tidak terlalu rumit hingga sulit dipahami,
mudah diterapkan dengan benar, ada sanksi bila peraturan dan prosedur
keselamatan kerja dilanggar, diperbaiki secara berkala sesuai dengan kondisi
proyek konstruksi. Seringkali perusahaan menerapkan peraturan dan prosedur
yang tidak sesuai dengan keadaan proyek konstruksi, maupun sulit diterapkan
pada pekerjaan, sehingga pekerja sering melanggar peraturan dan prosedur
keselamatan kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
2.6.3 Komunikasi
Program keselamatan kerja hendaknya didukung oleh sistem manajemen
informasi yang baik, pengumpulan informasi, terutama informasi tentang keadaan
di lapangan dan penyampaian informasi, yang meliputi informasi dari pihak
manajemen kepada para pekerja maupun informasi dari pekerja tentang kondisi
tidak aman kepada pihak manajemen (Davies, 2001; Hinze and Gambatese, 2003;
Reason, 1997; Tony, 2004).
Universitas Kristen Petra
17
Komunikasi yang terjalin hendaknya dapat tersampaikan sampai pada
tingkat pekerja, karena pekerja seringkali berhadapan dengan bahaya. Cheyne
(1998) dalam penelitiannya mengungkapkan perlunya komunikasi yang baik
antara pihak manajemen dan pihak pekerja, komunikasi yang baik antara sesama
pekerja, serta proses penyampaian informasi terbaru pada pekerja. Informasi
terbaru yang diberikan pada pekerja tersebut sangatlah penting, terutama yang
berhubungan dengan peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang terbaru, dan
keadaan bahaya di lingkungan proyek.
2.6.4 Kompetensi Pekerja
Kompetensi pekerja berhubungan dengan kemampuan, pengetahuan,
ketrampilan, dan pengalaman pekerja. Mohamed (2002) mengemukakan
kompetensi pekerja dapat berupa pengetahuan, pengertian, dantanggung jawab
pekerja terhadap pekerjaannya, terhadap program keselamatan kerja, maupun
pengetahuan terhadap resiko dan bahaya yang mengancam pekerja dalam
melakukan pekerjaannya. Kompetensi pekerja juga seringkali dinilai dari
pengetahuan, pengertian serta penerapan peraturan dan prosedur keselamatan
kerja, juga dapat dinilai dari penerapan atas pelatihan keselamatan kerja yang
diperoleh (Davies, 2001). Pekerja dengan tingkat kompetensi yang baik
diharapkan dapat meminimalisasi resiko terjadinya kecelakaan kerja dan dapat
membatu meningkatkan kompetensi pekerja yang lain terhadap keselamatan kerja.
2.6.5 Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Pekerja hendaknya merasa aman dan
tidak merasa asing dalam melakukan pekerjaannya. Mohamed (2002)
mengemukakan lingkungan kerja yang mendukung pekerja seperti jangan ada
budaya saling menyalahkan bila ada tindakan tidak aman atau kecelakaan yang
terjadi pada pekerja, tidak memberikan tekanan berlebihan terhadap pekerja dalam
melakukan pekerjaaannya. Lingkungan kerja mendukung program keselamatan
kerja bila seluruh pekerja mengutamakan program keselamatan kerja, dan
diharapkan lingkungan kerja semakin kondusif dan motivasi pekerja meningkat.
Universitas Kristen Petra
18
2.6.6 Keterlibatan Pekerja
Cheyne (1998) dalam penelitiannya menemukan bahwa keterlibatan
pekerja pada program keselamatan kerja sangatlah penting sebagai bentuk
kesadaran pekerja terhadap program keselamatan kerja. Pekerja yang menyadari
pentingnya program keselamatan kerja akan menerapkannya dengan sepenuh hati
dan tanpa paksaan, merasa bahwa program keselamatan kerja merupakan hak
pekerja bukan merupakan kewajiban dalam melakukan pekerjaannya (Harper and
Koehn, 1998).
Keterlibatan dapat berupa peranan pekerja bila ada tindakan-tindakan tidak
aman dari pekerja lain maupun kondisi tidak aman pada lingkungan kerja, saling
mengingatkan pekerja yang lain terhadap program keselamatan kerja dan bahaya
yang mengancam, memberikan informasi pada pihak yang bertanggung jawab,
saling mengingatkan untuk bekerja dengan aman, saling membantu untuk
menciptakan kondisi aman, saling menyadari pentingnya program keselamatan
kerja.
2.6.7 Rangkuman faktor dan variabel budaya keselamatan kerja
Rangkuman faktor dan variabel budaya keselamatan kerja yang digunakan
pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2. Sumber Faktor dan Variabel Budaya Keselamatan Kerja
Sumber Faktor dan Variabel Budaya Keselamatan Kerja C D O M T P
Komitmen Manajemen mengenai keselamatan kerja ● ● ● ● ● ● 1 Perusahaan sangat memperhatikan masalah keselamatan kerja ● ● ● ● 2 Perusahaan akan memberhentikan pekerjaan yang membahayakan ● ● 3 Ada usaha peningkatan kinerja keselamatan kerja pada periode
tertentu ● ●
4 Ada pengawasan terhadap keselamatan kerja pekerja ● ● ● ● ● ● 5 Perusahaan memberikan perlengkapan keselamatan kerja ● ● 6 Perusahaan memberikan pelatihan keselamatan kerja ● ● ● ● ● ● Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja ● ● ● ● ● ● 1 Peraturan/ prosedur keselamatan kerja sangat diperlukan ● 2 Prosedur keselamatan kerja mudah diterapkan pada pekerjaan saya ● ● ● 3 Ada sanksi terhadap pelanggaran prosedur keselamatan kerja ● ● ● ● 4 Peraturan dan prosedur keselamatan kerja diperbaiki secara berkala ● ● ● 5 Peraturan dan prosedur keselamatan kerja mudah dimengerti ● ● ● ●
Universitas Kristen Petra
19
Tabel 2.2 Sumber Faktor dan Variabel Budaya Keselamatan Kerja (Sambungan)
Faktor dan Variabel Budaya Keselamatan Kerja
C D O M T P Komunikasi ● ● ● ● ● ● 1 Saya puas dengan penyampaian informasi pekerjaan kepada saya ● ● ● ● 2 Saya selalu mendapat informasi terbaru mengenai keselamatan
kerja ● ● ● ● ● ●
3 Terjalin komunikasi yang baik antara pekerja dan pihak manajerial ● ● ● ● ● 4 Terjalin komunikasi yang baik antara pergantian pekerja ● 5 Saya mendapat Informasi mengenai kecelakaan yang terjadi ● ● ● Kompetensi ● ● ● ● 1 Saya mengerti tanggung jawab saya terhadap keselamatan kerja ● ● ● ● 2 Saya mengerti sepenuhnya resiko pekerjaan saya ● ● ● 3 Pelatihan memberikan saya pengetian yang jelas terhadap
keselamatan kerja. ● ●
4 Saya tidak pernah melakukan pekerjaan diluar tanggung jawab saya
● ●
5 Saya menolak untuk melakukan pekerjaan yang membahayakan. ● ● ● Lingkungan kerja ● ● ● ● ● 1 Pekerja mengutamakan keselamatan kerja ● ● 2 Tidak ada budaya saling menyalahkan bila terjadi kecelakaan. ● ● 3 Saya tidak merasa pekerjaan saya membosankan dan berulang-
ulang ● ●
4 Motivasi kerja pekerja meningkat karena program keselamatan kerja
●
5 Saya puas dengan keamanan lingkungan kerja saya ● ● (alat pengaman, kebersihan, suasana terang/tidak gelap) 6 Saya tidak pernah mendapatkan tekanan pada pekerjaan ● ● Keterlibatan pekerja dalam keselamatan kerja ● ● ● ● ● 1 Pihak manajemen melibatkan pekerja dalam penyampaian
informasi ● ● ●
2 Pekerja dilibatkan dalam pengembangan prosedur keselamatan kerja
● ● ● ● ●
3 Pekerja diminta melaporkan kecelakaan yang terjadi ● ● ● ● ● 4 Pekerja diminta mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan ● ● ● ● keselamatan kerja
Keterangan: C = Cheyne, 1998; D = Davies, 2001; O = Oliver, 2002; M = Mohamed, 2002;
T = Tony, 2004; P = Paramita, 2005.
2.5 Model Penelitian Yang Telah Dilakukan
Pembuatan model pada penelitian ini berdasarkan pada penelitian-
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dedobbeleer dan German (1989),
Cheyne (1998), Oliver (2002), dan Mohamed (2002). Hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2.4 sampai Gambar 2.6 beserta dengan
besarnya pengaruh, yang digambarkan pada anak panah.
Universitas Kristen Petra
20
Dedobbeleer dan German (1989) telah melakukan penelitian pada industri
konstruksi untuk mengidentifikasi hubungan antara faktor-faktor individual dan
situasional dengan praktek keselamatan kerja pekerja konstruksi serta menentukan
dampak individu dan kombinasi keduanya. Ada tiga faktor menurut Dedobbeleer
dan German (1989) yang mempengaruhi perilaku pekerja, yaitu predisposing,
enabling, dan reinforcing factors.
• Predisposing factors yaitu Pengetahuan tentang praktek keselamatan kerja,
perhatian terhadap keselamatan kerja, pandangan mengenai pengambilan
resiko, catatan terjadinya luka atau kecelakaan, faktor sosial seperti usia,
pengalaman kerja, maupun keluarga.
• Enabling factors berupa tekanan untuk pelatihan keselamatan kerja, instruksi
pada saat penerimaan awal, perlengkapan keselamatan kerja, tekanan terhadap
pertemuan rutin keselamatan kerja, keadaan tempat kerja.
• Reinforcing factors berupa perhatian top manajemen terhadap keselamatan
kerja dan praktek keselamatan kerja, tindakan pengendalian top manajemen
terhadap keselamatan kerja, perhatian terhadap keselamatan kerja secara
keseluruhan, keselamatan kerja pada tempat kerja.
Cheyne (1998) telah melakukan penelitian dan membuat model (Gambar
2.4) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas-aktifitas
terhadap keselamatan kerja (safety activities). Penelitian ini juga dilakukan
terhadap faktor-faktor manajemen dan faktor-faktor lingkungan kerja. Penelitian
dimulai dari pedoman dan tujuan keselamatan kerja (Safety satandards and goals)
Ditemukan dua faktor yang mempengaruhi aktifitas terhadap keselamatan
kerja yaitu keadaan fisik lingkungan kerja dan tanggung jawab individu. Selain itu
hal yang mencolok adalah pengaruh pedoman dan tujuan keselamatan kerja
terhadap manajemen keselamatan kerja, dimana manajemen keselamatan kerja
dapat memberikan banyak pengaruh yang cukup besar terhadap faktor-faktor
lainnya.
Universitas Kristen Petra
21
and Goals
Personal
Involvement Safety
Standards 0.197 0.505
Individual Responsibilities 0.720
0.796 0.450 Communication 0.867 -0.332
Safety Management
0.317 -0.232
Workplace Hazards
Safety Activities
0.284 -0.266 0.102
Physical Work Environment
Gambar 2.4 Model Cheyne (1998)
Oliver (2002) membuat model penelitian yang terdiri dari lima faktor
utama (Gambar 2.5) yaitu organizational ivolvement, physical work environment,
general health, safe behaviour dan accidents. Pada penelitian ini Oliver (2002)
menemukan bahwa faktor organisasi (organizational involvement) memberikan
pengaruh yang cukup kuat pada perilaku terhadap keselamatan kerja (safe
behaviour).
Faktor-faktor organisasi meliputi manajemen keselamatan kerja (Safety
management), seperti prioritas dan perhatian terhadap keselamatan kerja, sanksi
terhadap pelanggaran peraturan, pelatihan-pelatihan keselamatan kerja, dan
pengawasan terhadap keselamatan kerja pekerja.
Perilaku terhadap keselamatan kerja meliputi penggunaan perlengkapan
dan peralatan keselamatan kerja, pengambilan jalan pintas dalam melakukan
pekerjaan, perilaku dalam mengikuti peraturan dan prosedur keselamatan kerja
serta keseimbangan dalam melakukan pekerjaan secara cepat dan aman.
Universitas Kristen Petra
Universitas Kristen Petra
22
-0.296 Organizational Ivolvement 0.367
General Health
0.700 -0.234 -0.654
Accidents -0.211 -0.332 Safe
Behaviour -0.001 Physical Work
Environment 0.268
Gambar 2.5 Model Oliver (2002)
Mohamed (2002) memiliki pandangan lain terhadap perilaku yang aman
dalam bekerja (Safe work behaviour). Model yang dibuat (Gambar 2.6) meneliti
pengaruh iklim keselamatan kerja pada proyek konstruksi terhadap perilaku yang
aman dalam bekerja.
Safety Rules & Procedures
Communication Commitment
0.290 0.330 0.460 Supportive
Environment
0.370 Supervisory
Environment 0.330 Safe Work Behaviour
Safety Climate
0.410
0.260 Worker’s Involvement
-0.390 Competence 0.520 -0.190 0.280
Personal Risk Appreciation
Appraisal of Work Hazards
Work Pressure
Gambar 2.6 Model Mohamed (2002)
23
Mohamed (2002) dalam penelitiannya mengusulkan iklim keselamatan
kerja dipengaruhi oleh sepuluh faktor yang terdiri dari faktor-faktor organisasi dan
faktor lingkungan kerja. Hasil dari penelitian yang dilakukan terdapat dua faktor
yang memberikan pengaruh cukup besar dalam meningkatkan iklim keselamatan
kerja, yaitu faktor tanggapan terhadap resiko perorangan dan faktor komitmen.
2.6. Hipotesa Model Pengaruh Budaya Keselamatan Kerja Pada Perilaku
Pekerja Terhadap Keselamatan Kerja
Model yang dimaksud pada penelitian ini adalah sesuatu untuk
menggambarkan pengaruh yang terjadi diantara faktor-faktor budaya keselamatan
kerja dan menggambarkan pengaruh faktor-faktor budaya keselamatan kerja pada
perilaku pekerja. Model yang dibuat harus diuji kebenarannya untuk
membuktikan pengaruh yang terjadi. Langkah pertama adalah membentuk suatu
model hipotesa untuk diuji kebenarannya. Pembentukan model hipotesa dilakukan
berdasarkan penelitian sebelumnya (Cheyne, 1998; Oliver, 2002; Mohamed,
2002; Tony, 2004), terutama untuk menentukan arah pengaruh faktor-faktor pada
model yang dibuat.
Hipotesa model pada penelitian ini terdiri dari enam faktor budaya
keselamatan kerja (Komitmen top manajemen, peraturan dan prosedur
keselamatan kerja, komunikasi, kompetensi pekerja, keterlibatan pekerja dan
lingkungan kerja) dan satu faktor perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja
(Gambar 2.7). Penentuan urutan arah pengaruh adalah sebagai berikut: komitmen
top manajemen sebagai faktor pertama, diikuti berturut-turut oleh faktor peraturan
dan prosedur keselamatan kerja, komunikasi, kompetensi pekerja, keterlibatan
pekerja, lingkungan kerja, dan perilaku pekerja. Pengaruh yang terjadi bersifat
satu arah dan tidak berlaku untuk arah sebaliknya.
Hipotesa pada model yang dibuat adalah adanya pengaruh pada semua
jalur yang dibuat (Gambar 2.7). Terdapat dua puluh satu garis pengaruh dengan
perincian sebagai berikut:
Faktor komitmen top manajemen memberikan enam pengaruh, yaitu pada
faktor peraturan dan prosedur keselamatan kerja, komunikasi, kompetensi pekerja,
keterlibatan pekerja, lingkungan pekerja, dan perilaku pekerja. Faktor peraturan Universitas Kristen Petra
24
dan prosedur keselamatan kerja memberikan lima pengaruh, yaitu pada faktor
komunikasi, kompetensi pekerja, keterlibatan pekerja, lingkungan kerja dan
perilaku pekerja. Faktor komunikasi memberikan empat pengaruh, yaitu pada
faktor kompetensi pekerja, keterlibatan pekerja, lingkungan kerja dan perilaku
pekerja. Faktor kompetensi pekerja memberika tiga pengaruh, yaitu pada faktor
keterlibatan pekerja, lingkungan kerja dan perilaku pekerja. Faktor keterlibatan
pekerja memberikan dua pengaruh yaitu pada faktor lingkungan kerja dan
perilaku pekerja. Faktor lingkungan kerja sebagai faktor terakhir pada model
hipotesa hanya memberikan satu pengaruh pada faktor perilaku pekerja.
Komitmen
Top
Manajemen
Peraturan dan
Prosedur
Keselamatan
Kerja
Komunikasi
Kompetensi
Pekerja
Keterlibatan
Pekerja Perilaku Pekerja
Terhadap
Keselamatan
Kerja Lingkungan
Kerja
Gambar 2.7 Hipotesa Model Pengaruh Budaya Keselamatan Kerja Pada Perilaku Pekerja Terhadap Keselamatan Kerja
Universitas Kristen Petra