2. CBD TB REV
-
Upload
tri-ratnawati -
Category
Documents
-
view
247 -
download
0
Transcript of 2. CBD TB REV
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
1/19
BAB I
PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG
Indonesia berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi
insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya (WHO, 2010). Kasus Tuberkulosis di
Semarang juga mengalami peningkatan. Dinas Kesehatan Kota Semarang
mencatat suspect atau dugaan TB pada tahun 2010 sebanyak 11.047 kasus
melonjak menjadi 15.001 kasus pada tahun 2011 dari target suspect sebanyak
16.120 kasus. Sehingga secara langsung peningkatan TB Basil Tahan Asam
(BTA) positif juga meningkat dari 879 di tahun 2010 menjadi 989 kasus di tahun
2011 (Dinkes Semarang, 2011).
Di Puskesmas Bangetayu jumlah suspeck penderita TB pada Januari 2012
hingga April 2012 jumlah pasien yang mengikuti pengobatan sebanyak 16 orang
dan jumlah pasien yang tingkat kepatuhannya tinggi ada 12 orang (75%). Kunci
keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru antara lain dipengaruhi oleh kepatuhan
pasien minum obat. Pengobatan TB yang memerlukan waktu relatif lama
menimbulkan kebosanan pada penderita dalam mengkonsumsi OAT. Hal tersebut
mengakibatkan tidak tuntasnya pengobatan TB paru (Rachmadi, 2010).
Kegagalan pengobatan merupakan salah satu yang berpengaruh tingginya
angka kematian dan kesakitan tuberkulosis. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, di tingkat global digunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse). Strategi ini bermanfaat menurunkan angka kesakitan dan kematian,
mencegah resistensi obat, dan memberikan angka kesembuhan yang tinggi (StopTB Partnership, 2012). Tahun 1995, Indonesia mengadopsi strategi DOTS untuk
penanggulangan TB, dan pada tahun 2001 seluruh propinsi dan lebih dari 95 %
Puskesmas, dan 30% Rumah Sakit/BP.4 telah mengadopsi strategi DOTS. Secara
harfiah DOTS berarti pengobatan jangka pendek dengan pengawasan ketat.
Kepatuhan penderita minum OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan
determinan utama menentukan keberhasilan pengobatan (Haziq, M, 2012).
1
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
2/19
Indonesia memiliki masalah dalam pengobatan tuberkulosis karena
banyaknya pasien yang mengalami drop out dan tidak patuh pada pengobatan, hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Firdausiyah (2008) bahwa dari 60 pasien TB
yang menjalani pengobatan TB di Puskesmas Karang Tengah Demak sebanyak 30
pasien mengalami drop out dan terdapat hubungan bermakan antara tingkat
pendapatan keluarga, tingkat pengetahuan dan efek samping dari obat dengan
pasien yang mengalami drop out. Kepatuhan penderita untuk minum obat juga
mempengaruhi kesembuhan. Penelitian oleh Eka (2009) menyebutkan bahwa ada
hubungan bermakna antara jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan dan pekerjaan
dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB di Puskesmas Kayen Pati. Strategi
DOTS yang dijalankan oleh Pemerintah memberi angka kesemubuhan bagi
penderita TB, adanya hubungan antara pelaksanaan strategi DOTS dengan angka
kesembuhan di Puskesmas Se-kota semarang (Triningsih, 2005).
B RUMUSAN MASALAH
Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien tuberkulosis
paru di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang?
C TUJUAN
Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien
tuberkulosis paru di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang.
D MANFAAT
1. MANFAAT BAGI PESERTA
Memberi masukan dan informasi ilmiah untuk memperkaya keilmuan
Menjadi bahan rujukan untuk penelitian yang lebih lanjut.
2. MANFAAT BAGI MASYARAKAT
Memberi rekomendasi langsung kepada masyarat untuk memperhatikan
perilaku dan lingkungan tempat tinggalnya.
Memberi rekomendasi kepada tenaga kesehatan untuk lebih
memberdayakan masyarakat dalam upaya kesehatan promotif dan
preventif
2
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
3/19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN
A) Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang diderita manusia sama tuanya
dengan sejarah manusia. Penemuan lesi pada tulang-tulang belakang
mummi yang sesuai dengan TB ditemukan di Heidelberg, diduga berasal
dari tahun 5000 SM. Demikian juga halnya di Italia diduga berasal dari
tahun 4000 SM. Keadaan ini juga dijumpai di Denmark dan lembah
Jordan. Di Mesir juga ditemukan lukisan-lukisan pada dinding berupa
bentuk kelainan tulang belakang yang sesuai dengan penemuan TB spinalpada mummi. Di Indonesia catatan paling tua dari penyakit ini adalah
seperti didapatkan pada salah satu relief di candi Borobudur yang
tampaknya menggambarkan kasus tuberculosis. Hipokrates juga
mendeskripsikan tentang penyakit ini dan menyebutnya Pthisis.
Akhirnya pada tahun 1882 Robert Koch menemukan basil tuberkulosis
sebagai penyebabnya dan hasil penemuannya dipresentasikan pada
tanggal 24 Maret 1882 di Berlin. Hal ini di peringati sebagai hari TB
sedunia (TB Day) (Aditama, dkk, 2008).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat
TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan
nifas Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar
20 30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB
3
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
4/19
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar
10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004,
setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.
Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk
(DepKes RI, 2006).
B) Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Werdhani, 2006).
C) Strategi Penanggulangan
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah
mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-course). Strategi ini
dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices, dan hasil
implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade.
Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat merubah
kasus menular menjadi tidak menular, juga mencegah berkembangnya
MDR-TB (DepKes RI, 2006).
4
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
5/19
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens
TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan
cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Pada tahun 1995,
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai
salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi
DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi
efisiensi dan efektifitasnya.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB
dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan (DepKes RI, 2006).
D) Kepatuhan Berobat
Kepatuhan adalah suatu perbuatan untuk bersedia melaksanakan
aturan pengambilan dan minum obat sesuai jadwal yang telah ditetapkan
(Rusmani, 2002). Penderita yang teratur berobat adalah penderita yang
berobat teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan hingga
8 bulan, sedangkan pasien yang tidak teratur berobat dan minum obat
adalah pasien yang tidak melaksanakan pengobatan sesuai rencana yang
telah ditetapkan (DepKes RI, 2006). Menurut Aditama (2008) kepatuhan
pasien dinilai dari datang atau tidaknya pasien setelah mendapat anjuran
untuk kontrol. Pasien dikatakan patuh apabila minum obat sesuai aturan
paket obat dan ketepatan waktu pengambilan obat hingga masa
pengobatan selesai.
5
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
6/19
E) Faktor Pengaruh Kepatuhan Berobat
Menurut Green (1997), kepatuhan pengobatan dipengaruhi oleh :
1. Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing Factor) adalah
faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya
perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,
kepercayaan,nilai-nilai, tradisi.
(a) sikap dan tekad untuk sembuh.
Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan
bahwa dirinya sembuh akan mempengaruhi perilakunya dalam
menghadapi suatu penyakit.
(b) Tingkat pengetahuan penderita tentang penyakitnya.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang
didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Seseorang
dengan pengetahuan rendah akan berdampak pada ketaatan yang
rendah, dimana seseorang yang tidak teridentifikasi mempunyai
gejala, mereka akan berfikir bahwa merekasudah merasa sembuh dan
sehat sehingga menghentikan pengobatan.
(c) Sosial, ekonomi dan budaya
Keadaan sosial ekonomi berpengaruh pada ketaatan penderita
untuk berobat. Hal ini dikarenakan apabila penderita berada pada
tingkat pendapatan yang rendah maka penderita akan
mengeluarkan biaya yang besar untuk transportasi ke fasilitas
kesehatan sedangkan kebutuhan sehari-hari memaksanya untuktidak mengeluarkan biaya sehingga menggoyahkan kepatuhan.
2. Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing factor) adalah faktor-
faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
(a) Motivasi keluarga
Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluargamerupakan unit
terkecil dalam masyarakat dan sebagai penerimaasuhan keperawatan.
6
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
7/19
Oleh karena itu keluarga sangat berperan dalam menentukan cara
asuhan yang diperlukan oleh anggota keluarga yang sakit, apabila
dalam keluarga tersebut salah satu anggota keluarganya ada yang
sedang mengalami masalah kesehatan maka sistem dalam keluarga
akan terpengaruhi.
(b) Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Dukungan dari petugas kesehatan misalnya, sangat membantu passion
mengalami kepatuhan, dimana dengan adanya dukungan petugas
berpengaruh besar artinya bagi seseorang dalamketaatan melakukan
pearwatan. sebab petugas adalah yang merawat dan sering
berinteraksi, sehingga pemahaman terhadap kondisi fisik maupun
psikis lebih baik, dengan sering berinteraksi akan sangat
mempengaruhi rasapercaya dan menerima kehadiran petugas bagi
dirinya, sertamotivasi atau dukungan yang diberikan petugas sangat
besarartinya terhadap ketaatan passion.
2. Faktor pemungkin (Enabling Factor) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan.
(a) Tersedianya fasilitas kesehatan
ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas mempermudah niat
suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik.
Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut
sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin.
(b) Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan
Pemanfaatan sarana kesehatan biasanya terkendala oleh lingkungan
yang jauh yang memberikan kontribusi rendahnya kepatuhan
B) Program Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Bangetayu
1. Proporsi suspek yang diperiksa dahaknya
Target penemuan suspek baru pada bulan berjalan hingga April 2012
yaitu 114 orang sedangkan suspek yang tercatat hanya 98 orang (86%).
2. Proporsi penderita BTA (+) diantara suspek
Pada bulan Januari 2012 hingga April 2012 didapatkan jumlah suspek
7
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
8/19
TB sebanyak 98 orang dengan kasus TB BTA (+) sebanyak 12 orang
dewasa dan 4 anak-anak. Sehingga proporsi penderita BTA (+)
diantara suspek yaitu 16 % (batasan 10 %). Sehingga ditemukan angka
yang besar yang mungkin disebabkan oleh penjaringan atau criteria
suspek yang terlalu ketat atau adanya masalah dalam pemeriksaan
laboratorium sehingga banyak penderita tidak terdeteksi atau lolos.
3. Case Detection Rate atau Penderita TB dengan BTA (+)
Target penderita TB dengan BTA (+) pada bulan berjalan hingga April
2012 yaitu 19 orang dan jumlah penderita BTA (+) yang ditemukan
Puskesmas sudah mencapai target yaitu 16 orang (84 %).
Beberapa program yang dilaksanakan puskesmas untuk
penanggulangan TB yaitu :
1. Untuk meningkatkan jumlah suspek Puskesmas melakukan
pemeriksaan pada anggota keluarga yang kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA (+)
2. Untuk meningkatkan penemuan kasus baru yaitu edukasi
pada masyarakat sekitar baik melalui penyuluhan di posyandu,
kerjasama dengan tokoh masyarakat dan kader secara berkala
setiap bulan sehingga diharapkan bagi masyarakat yang
mempunyai keluhan dapat datang di Puskesmas.
3. Kerjasama lintas sektoral dengan bahan bangunan sehingga
bagi pasien dengan TB yang memiliki rumah tanpa ventilasi
diberikan pembagian genting secara gratis. Untuk pelaksanaannya
dilakukan penilaian kriteria rumah sehat melalui kunjungan rumah
(kerjasama dengan bagian Kesling) dilaksanakan tiap bulan.
4. Untuk meningkatkan kepatuhan berobat, pasien yang positif
menderita TB mendapatkan perjanjian pada awal pengobatan
dengan isi perjanjiannya berupa jika pasien tidak mengambil obat
pada tanggal seharusnya pasien mengambil obat (max.
keterlambatan 1 minggu) maka tenaga kesehatan akan melakukan
kunjungan rumah dan mengganti biaya transport Rp. 50.000,-. Jika
8
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
9/19
pasien telat lebih dari 1 minggu maka harus mengganti biaya
sebesar Rp. 500.000,-
BAB III
ANALISA SITUASI
A. CARA DAN WAKTU PENGAMATAN
Cara pengamatan dilakukan dengan pengumpulan data primer dari
wawancara dan data sekunder dengan menggunakan rekam medik. Pengamatan
dilakukan dalam dua tempat yaitu di Puskesmas saat penderita berobat yaitu
tanggal 24 Mei 2012 dan di rumah penderita (Home Visite) untuk mencari faktor
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan berobat yaitu tanggal 28 Mei 2012
B. HASIL PENGAMATAN
1. Daftar Penderita (Pasien )
Identitas pasien
Nama : Tn. BY
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : tukang parkir di pasar Johar
Alamat : Bangetayu wetan
Mulai berobat : 24 Mei 2012
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang oleh Dokter di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut menderita Tuberkulosis Paru BTA +
dan mendapatkan pengobatan berupa OAT KDT Kategori I.
Pasien memiliki tingkat kepatuhan pengobatan yang tinggi
dengan alas an rutin mengambil obat saat tanggal habis obat,
9
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
10/19
pengambilan obat tanpa perwakilan dan pasien menelan obat setiap hari.
2. Hasil kunjungan
1. Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing Factor)
1. Sikap dan tekad untuk sembuh
Pasien memiliki keinginan untuk sembuh. Pasien merasa sangat
menderita dengan penyakitnya. Penyakitnya membuatnya terbatas
untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Sudah tidak bisa bekerja seperti
dulu lagi. Pasien juga merasa badannya tidak enak untuk dibawa
kemanapun. Atas dasar itulah pasien berkeyakinan untuk sembuh agar
kehidupannya kembali normal.
Namun diakui pula oleh pasien bahwa pengobatan yang panjang
hingga 6 bulan dan setiap hari harus minum obat dengan ukuran yang
besar membuat pasien terganggu dan bosan. Bahkan kadang ingin
muntah karena merasa jenuh. Pasien juga merasa batuknya tak kunjung
berhenti padahal sudah meminum obat setiap hari. Pasien meragukan
kemanjuran dari pengobatannya. Pasien juga tidak nyaman dengan
efek samping dari pengobatan. Pasien awalnya takut karena air
kencingnya berubah merah namun karena sudah di edukasi oleh
petugas kesehatan maka pasien menganggap biasa. Pasien juga
mengatakan setiap selesai minum obat rasanya mual
2. Tingkat pengetahuan penderita tentang penyakitnya
Pasien masih tidak paham untuk mencegah penularan dan
pengetahuan tentang kemanjuran obat. Sehingga meskipun sudah
minum obat dari Puskesmas, pasien juga masih meminum obat batuk
dari apotek. Masalah yang berbahaya dan ditakutkan terjadinya
multidrug resistant adalah pasien mengatakan sering membeli obat
paten dari apotek karena merasa obat dari puskesmas adalah obat
generik murahan. Setelah diketahui, ternyata obat tersebut berisi INH.
3. Sosial, ekonomi dan budaya
Selama ini untuk pengobatan pasien menyisihkan uang dari
10
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
11/19
bekerja. Uang yang didapatkan dengan menggabungkan uang istri dan
beberapa anaknya yang sudah bekerja. Selama ini semua tercukupi
dengan baik. Tidak ada faktor budaya yang menghambat pengobatan.
Namun pasien pergi ke dukun untuk mengobati penyakitnya. Pasien
juga datang ke pengobatan cina dan alternatif.
2. Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing factor)
1. Motivasi keluarga
Pasien mengatakan bahwa istrinya adalah alasannya untuk
sembuh. Istri pasien rutin untuk mengambilkan obat ke Puskesmas dan
menjadi PMO. Anak-anak pasien juga sangat mendukung pasien untuk
terus berobat. Keluarga ingin pasien sembuh dari penyakitnya karena
merasa pasien menderita setiap malam tidak bisa tidur karena batuk.
Pada pasien ini istri bertanggungjawab sebagai pengawas minum
obat. Istrinya memiliki check list tentang rutinitas minum obat. Istri
mengawasi hingga obat benar-benar tertelan dan menghitung kapan
obat habis dan harus mengambil lagi ke Puskesmas
2. Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitar
Motivasi untuk sembuh juga didapatkan dari masyarakat sekitar
seperti dari kader kesehatan yang datang ke rumah untuk mengajak
anggota keluarga yang kontak datang periksa dahak. Tokoh agama
juga mengajak penderita untuk ke masjid, sabar dalam mengahadapi
cobaan dan berdoa demi kesembuhannya. Masyarakat juga merasa
nyaman karena tidak ada masyarakat yang mengucilkan.
3. Faktor yang mendukung (Enabling Factor)
1. Tersedianya fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan terdekat yaitu dokter praktek swasta, bidan praktek
swasta dan Puskesmas. Mengenai kualitas pelayanan di Puskesmas,
pasein mengatakan sangat baik, pasien mendapatkan informasi dan
perhatian yang baik dari petugas puskesmas. Pasien juga mendapatkan
edukasi yang baik dari petugas. Juga diingatkan untuk di mangkir dari
pengobatan.
2. Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan
11
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
12/19
Jarak tempuh rumah ke Puskesmas dapat dijangkau dengan sepeda
motor dan angkutan umum lainnya sehingga memudahkan pasien
untuk sewaktu-waktu datang ke Puskesma
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor pengaruh tingkat kepatuhan berobat berdasar Green
Predisposing Factor Reinforcing Factor Enabling Factor
Sikap dan tekad untuk
sembuh
Motivasi keluarga Tersedianya fasilitas
kesehatan
Tingkat pengetahuan
penderita tentang
penyakitnya
Motivasi masyarakat
dan lingkungan sekitar
Terjangkaunya akses
menuju fasilitas
kesehatan
Sosial, ekonomi dan
budaya
Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing Factor)
Sikap dan tekad untuk sembuh
Pasien memiliki keinginan untuk sembuh. Pasien merasa sangat
menderita dengan penyakitnya. Penyakitnya membuatnya terbatas untuk
menjalani aktivitas sehari-hari. Sudah tidak bisa bekerja seperti dulu lagi.
Pasien juga merasa badannya tidak enak untuk dibawa kemanapun. Atas dasar
itulah pasien berkeyakinan untuk sembuh agar kehidupannya kembali normal.
Keinginan pasien untuk sembuh adalah faktor internal terpenting dalam
kepatuhan berobat. Penelitian oleh Sitepu (2009) menyebutkan bahwa adanya
keinginan pasien untuk sembuh telah membuat 75,5 % pasien TB relapsmenglami kesembuhan pada akhir pengobatannya.
Namun diakui pula oleh pasien bahwa pengobatan panjang hingga 6
bulan dan setiap hari harus minum obat dengan ukuran yang besar membuat
pasien terganggu dan bosan. Bahkan kadang ingin muntah karena merasa
jenuh. Pengobatan TB yang memerlukan waktu relatif lama menimbulkan
kebosanan pada penderita dalam mengkonsumsi OAT. Hal tersebut
12
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
13/19
mengakibatkan tidak tuntasnya pengobatan TB paru (Rachmadi, 2010).
Pasien juga merasa batuknya tak kunjung berhenti padahal sudah
meminum obat setiap hari. Pasien meragukan kemanjuran dari pengobatannya.
Beberapa pasien TB tidak memiliki pengetahuan yang benar bahwa
pengobatan TB membutuhkan waktu yang lama dengan penyembuhan yang
lambat. Masalah yang sering terjadi oleh hal tersebut adalah menurunnya
kepatuhan berobat (Yudha, 2010).
Pasien juga tidak nyaman dengan efek samping dari pengobatan.
Pasien awalnya takut karena air kencingnya berubah merah namun karena
sudah di edukasi oleh petugas kesehatan maka pasien menganggap biasa.
Pasien juga mengatakan setiap selesai minum obat rasanya mual. Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Ariani (2008) yang melakukan penelitian pada
pasien TB yang berobat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Banjarmasin
menunjukkan bahwa adanya efek samping pengobatan menjadi faktor resiko
terjadinya drop out.
Tingkat pengetahuan penderita tentang sakitnya
Pasien masih tidak paham untuk mencegah penularan dan pengetahuan
tentang kemanjuran obat. Sehingga meskipun sudah minum obat dari
Puskesmas, pasien juga masih meminum obat batuk dari apotik. Masalah yang
berbahaya dan ditakutkan terjadinya multidrug resistant adalah pasien
mengatakan sering membeli obat paten dari apotek karena merasa obat dari
puskesmas adalah obat generik murahan. Setelah diketahui, ternyata obat
tersebut berisi INH.
Salah satu faktor yang menjadi hambatan terhadap kepatuhan penderita
TB paru dalam melakukan pengobatan adalah tingkat pengetahuan. Tingkat
pengetahuan tentang penyakit dan kemanjuran pengobatan menentukan pasien
akan menyelesaikan pengobatannya atau tidak. Kepercayaan kultural juga
mendukung penderita untuk mencari penyembuhan tradisional. Semakin
rendah tingkat pengetahuannya semakin tidak patuh penderita untuk datang
berobat (erawatyningsih, 2008)
Sosial, ekonomi dan budaya
Selama ini untuk pengobatan pasien menyisihkan uang dari bekerja.
13
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
14/19
Uang yang didapatkan dengan menggabungkan uang istri dan beberapa
anaknya yang sudah bekerja. Selama ini semua tercukupi dengan baik. Tidak
ada faktor budaya yang menghambat pengobatan. Namun pasien pergi ke
dukun untuk mengobati penyakitnya. Pasien juga datang ke pengobatan cina
dan alternatif untuk mengurangi keluhan.
Pasien TB paru di masyarakat sebagian besar berada pada pendapatan
menengah ke bawah. Sehingga selain untuk memikirkan biaya kehidupan
sehari-hari, penderita harus memperhitungkan biaya transport pengobatan, dan
hal tersebut menjadi alasan ketidakpatuhan. Penelitian oleh Erawatyningsih
(2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan lurus antara penghasilan
keluarga yang rendah dengan ketidakpatuhan berobat
Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing factor)
Motivasi keluarga
Pasien mengatakan bahwa istrinya adalah alasannya untuk sembuh.
Istri pasien rutin untuk mengambilkan obat ke Puskesmas dan menjadi PMO.
Anak-anak pasien juga sangat mendukung pasien untuk terus berobat.
Keluarga ingin pasien sembuh dari penyakitnya karena merasa pasien
menderita setiap malam tidak bisa tidur karena batuk.
Pada pasien ini istri bertanggungjawab sebagai pengawas minum obat.
Istrinya memiliki check list tentang rutinitas minum obat. Istri mengawasi
hingga obat benar-benar tertelan dan menghitung kapan obat habis dan harus
mengambil lagi ke Puskesmas.
Pada umumnya, individu cenderung memiliki sikap yang searah
dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain di
motivasi oleh keinginan untuk bervariasi dan keinginan untuk menghindari
konflik dengan orang yang dianggap penting. Melalui pemberdayaan keluarga
sehingga anggota rumah tangga yang lain dapat berperan sebagai pengawas
menelan obat (PMO), sehingga tingkat kepatuhan minum obat penderita dapat
ditingkatkan yang pada gilirannya kesembuhan dapat dicapai. Penelitian oleh
Hendrawati (2008) menyebutkan bahwa sikap penderita tuberkulosis paru
dipengaruhi oleh partisipasi pengawas menelan obat keluarga dengan nilai
rasio prevalens sebesar 1,778. Sehingga dapat disimpulkan bahwa partisipasi
14
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
15/19
PMO di keluarga mempunyai potensi 2x mempengaruhi secara positif sikap
penderita tuberkulosis paru terhadap pengobatan.
Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitarMotivasi untuk sembuh juga didapatkan dari masyarakat sekitar seperti
dari kader kesehatan yang datang ke rumah untuk mengajak anggota keluarga
yang kontak datang periksa dahak. Tokoh agama juga mengajak penderita
untuk ke masjid, sabar dalam mengahadapi cobaan dan berdoa demi
kesembuhannya. Masyarakat juga merasa nyaman karena tidak ada
masyarakat yang mengucilkan. Cara terbaik mengubah perilaku adalah dengan
memberikan informasi serta diskusi dan partisipasi dari penderita. Dukungan
keluarga adalah dengan mendorong penderita agar patuh meminum obatnya,
memberi dorongan keberhasilan pengobatan dan tidak menghindari penderita
karena penyakitnya. Penelitian oleh Hutapea (2009) menyebutkan dari analisis
regresi ordinal dari 4 variabel dukungan keluarga menunjukkan bahwa yang
paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kepatuhan minum OAT
penderita TB Paru adalah perhatian keluarga disusul dengan bantuan
transportasi, dorongan berobat dan tidak menghindarnya keluarga dari
penderita TB tersebut.
Faktor yang mendukung (Enabling Factor)
Tersedianya fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan terdekat yaitu dokter praktek swasta, bidan praktek
swasta dan Puskesmas. Mengenai kualitas pelayanan di Puskesmas, pasein
mengatakan sangat baik, pasien mendapatkan informasi dan perhatian yang
baik dari petugas puskesmas. Pasien juga mendapatkan edukasi yang baik dari
petugas. Juga diingatkan untuk di mangkir dari pengobatan.
Kualitas pelayanan kesehatan yang baik ditunjukkan dengan adanya
perhatian dan pemberian informasi yang jelas dari tenaga kesehatan dengan
penderita TB sehingga timbul hubungan yang baik dan membuat penderita
rutin berkunjung. Penelitian oleh Rusmani (2009) menyebutkan bahwa
tingginya kualitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan tingginya
kepatuhan pasien untuk berobat
15
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
16/19
Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan
Jarak tempuh rumah ke Puskesmas dapat dijangkau dengan sepeda
motor dan angkutan umum lainnya sehingga memudahkan pasien untuk
sewaktu-waktu datang ke Puskesmas. Keterjangkauan akses pelayanankesehatan dengan sarana pribadi ataupun dengan transportasi umum
mempengaruhi kepatuhan penderita TB. Penelitian Erawatyningsih (2009)
menyebutkan fasilitas kesehatan yang tidak strategis menurunkan tingkat
kepatuhan berobat penderita TB.
.
16
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
17/19
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kepatuhan berobat pada pasien dengan tuberkulosis dinilai tinggi apabila
penderita berobat teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan
hingga 8 bulan, sedangkan pasien yang kepatuhannya rendah adalah pasien yang
tidak melaksanakan pengobatan sesuai rencana yang telah ditetapkan (DepKes
RI, 2006). Menurut Aditama (2008) kepatuhan pasien juga dinilai dari datang
atau tidaknya pasien setelah mendapat anjuran untuk kontrol. Pasien dikatakan
patuh apabila minum obat sesuai aturan paket obat dan ketepatan waktu
pengambilan obat hingga masa pengobatan selesai.
Faktor Pengaruh Kepatuhan Berobat Menurut Green (1997) :
a. Faktor yang ada dalam diri individu (Predisposing
Factor)
Sikap dan tekad untuk sembuh
Tingkat pengetahuan penderita tentang penyakitnya
Sosial, ekonomi dan budaya
b. Faktor penguat dan faktor pendorong (reinforcing
factor)
Motivasi keluarga
Motivasi masyarakat dan lingkungan sekitar
c. Faktor yang mendukung (Enabling Factor)
Tersedianya fasilitas kesehatan
Terjangkaunya akses menuju fasilitas kesehatan
Saran
Untuk Individu
17
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
18/19
Memotivasi penderita agar minum obat dan kontrol secara teratur
Meningkatkan kandungan makanan yang tinggi kalori dan protein.
Untuk Keluarga
Memberitahukan keluarga pasien agar menjaga kontak dengan pasien.
Menganjurkan kepada keluarga pasien agar orang yang tinggal satu
rumah dengan pasien diberobatkan ke puskesmas terdekat untuk
mengetahui adanya penularan atau tidak.
Memotivasi keluarga agar penderita tidur terpisah dengan anggota
keluarga yang lain
Memberitahukan keluarga dan pasien agar pasien tidak membuang
ludah sembarangan.
Memberitahukan pasien dan keluarga pasien pentingnya sirkulasi udara
supaya ventilasi rumah selalu dibuka.
Intervesi
Dilakukan tanggal 28 Mei 2012
Evaluasi
Dilakukan tanggal 31 Mei 2012
Mencegah ketidakpatuhan, meliputi :
Edukasi PMO untuk pengawasanlangsung hingga obat tertelan
Seluruh anggota rumah menjadiPMO
Mencegah keparahan, meliputi :
Edukasi untuk membuka jendela Sudah dilakukan setiap hari
Edukasi pada anggota keluarga
yang merokok untuk mengurangi
merokok dalam rumah
Anggota keluarga mau merokok di
luar rumah
Edukasi untuk mengkonsumsi
makanan bergizi
Pasien membeli suplemen penguat
imun
Edukasi untuk mengurangi
konsumsi obat luar tanpa resep
Pasien masih menggunakan
pengobatan tradisional saja
Pemberian genting kaca Tidak dipasang karena atap di cor
Edukasi pembuatan ventilasi Tidak dilakukan, karena tembok
menyatu dengan tetangga
Mencegah penularan, meliputi :
18
-
7/30/2019 2. CBD TB REV
19/19
Edukasi untuk tidur terpisah Anggota keluarga yang balita tidur
terpisah dengan pasien
Penyuluhan cuci tangan dan
menutup mulut saat batuk
Pasien sudah menutup mulut saat
batuk namun belum terbiasa cuci
tangan dengan sabun setelah batuk
Penyuluhan PHBS Pasien sudah mau cuci tangan
sebelum makan dengan sabun
Edukasi untuk pembuangan dahak
khusus
Tidak dilakukan, belum ada waktu,
pembuangan dahak masih di kamar
mandi
Pemberian masker Tidak di pakai, tidak terbiasa dan
tidak nyaman
Edukasi keluarga untuk periksa
dahak
Tidak dilakukan, tidak ada biaya
Untuk puskesmas
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat dengan melakukan
penyuluhan tentang Tuberkulosis
meningkatkan cakupan suspek Tuberculosis
19