repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/25387/2/034114011_Full[1].pdf · KEKERASAN STRUKTURAL OLEH...

343
KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS RIANTIARNO TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Airani Sasanti NIM: 034114011 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2007

Transcript of repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/25387/2/034114011_Full[1].pdf · KEKERASAN STRUKTURAL OLEH...

KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH

TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA

DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA

KARYA NORBERTUS RIANTIARNO

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Airani Sasanti

NIM: 034114011

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

SEPTEMBER 2007

selesaikan setiap hal yang telah kita mulai

terlintas dalam pikirku: seharusnya tak ada yang perlu

menjadi masalah ketika menjalani hidup ini

yang ada hanya:

sesuatu yang selalu kita tunda penyelesaiannya

atau sesuatu yang sudah berada

pada ruangnya tapi letaknya kita ubah;

tindakan kita mungkin benar, namun ternyata sering kurang tepat

kita merasa tidak bisa menyelesaikan suatu hal

sebab menjadikannya beban dan terjebak oleh diri sendiri

_airani sasanti, 08082007_

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, September 2007

Penulis

Airani Sasanti

ABSTRAK

Sasanti, Airani. 2007. Kekerasan Struktural oleh Pemerintah terhadap Kaum Urban Miskin di Jakarta dalam Drama Trilogi Opera Kecoa Karya Norbertus Riantiarno: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa dengan pendekatan sosiologi sastra. Analisis struktur dibatasi pada tokoh dan penokohan serta latar yang terkait dengan kehidupan para tokoh. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis unsur tokoh, penokohan serta latar; kemudian menggunakan hasil analisis struktur drama untuk lebih memahami kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa. Kesimpulan hasil penelitian berupa pembagian tokoh menurut peran dalam perkembangan plot menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis; pembagian latar menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial; serta analisis kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa.

Tokoh protagonis yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, Abung; tokoh antagonis yaitu Kumis, Bleki, Camat, Pejabat. Latar tempat yaitu lokasi urban miskin di dekat tempat tinggal kelas menengah ke atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk, pepohonan “rumah” Abung, kantor hansip, kantor Camat, emperan Plaza Monumen, kawasan pembangunan pemda yang bersebelahan dengan kawasan kumuh dan padang golf milik pemerintah, daerah mangkal para waria, sekitar patung Julini, Plaza Julini, rumah Pejabat, jalanan ibukota, kawasan kumuh Lokasari, markas besar dan markas rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima.

Latar waktu terdiri atas pagi, siang, sore, malam; masa pembangunan Indonesia antara 1980-1995; prapemilu hingga pascapemilu pada tahun 1980 dalam “Bom Waktu”; “Opera Kecoa” berlatar tahun 1985 atau lima tahun setelah “Bom Waktu”; “Opera Julini” berlatar tahun 1995 atau sepuluh tahun sesudah “Opera Kecoa”. Latar sosial berupa pembagian masyarakat berdasar kelas sosial menjadi kelas atas, yaitu pemerintah dan kelas bawah, yaitu kaum urban miskin. Pemerintah digambarkan sebagai pihak yang berkuasa dan merugikan kelas bawah; sementara kaum urban miskin adalah pihak lemah yang berusaha agar keberadaan mereka diperhatikan oleh pemerintah.

Kekerasan struktural disebabkan ketidaksamaan struktur sosial, perekonomian tidak merata, dan kekuasaan pemerintah yang berlebih. Bentuk kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap para urban miskin adalah kerusakan solidaritas, penipuan yang mengatasnamakan tingkatan sosial, pemaksaan, intimidasi, ancaman, eksploitasi

vi

kemiskinan, peniadaan kemampuan dan partisipasi untuk menentukan nasib serta mengambil keputusan, pembatasan kesempatan hidup masyarakat, penggusuran, pengendalian dengan imbalan yang membatasi potensi individu, korupsi, diskriminasi politik dalam pemilu, diskriminasi kelas sosial, campurtangan yang menghilangkan otonomi masyarakat, ketidakadilan dalam hukum, monopoli kekuasaan. Akibat kekerasan struktural antara lain ketimpangan sosial ekonomi; kemiskinan; kekurangan dalam hal kesehatan, produktivitas, pendidikan, kekuasaan; hilangnya kemampuan untuk menentukan nasib diri sendiri; serta renggangnya hubungan antarkelas sosial.

vii

ABSTRACT

Sasanti, Airani. 2007. Structural Violence by the Government to the Poor Urban People in Jakarta in the Trilogy Plays Opera Kecoa Written by Norbertus Riantiarno: a Literary Sociological Approach. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Sanata Dharma University.

This research studies the structural violence by the government to the poor urban people in Jakarta in trilogy plays Opera Kecoa using a literary sociological approach. The structure analysis is limited by the character and characterization and the setting related with the life of the character. The method used in this study is descriptive method. The steps which are done is analysing the character, characterization, and the setting. After that, using results from analysis of plays structure to get deeper understanding about structural violence in trilogy plays Opera Kecoa. The conclusion of this study is the division of the characters based on their role in the development of the plot, that is the protagonist and the antagonist; the setting is divided into setting of place, setting of time, and social setting; and the structural violence analysis on trilogy plays Opera Kecoa. The protagonists are represented by Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, and Abung; the antagonists are Kumis, Bleki, Camat, and Pejabat. The setting of place are poor urban place near the residence of upper-middle class society, localization above the river bank, the huts, the trees of “Abung’s house”, hansip office, Camat office, the verandah of Plaza Monumen, the teritory of the district development which is side by side with the slum area and the golf-field owned by the government, homosexual teritory, near the Julini statue, Julini Plaza, the house of the ruler, the subway, Lokasari slum area, head-quarter and the criminal’s quarter, localization office owned by Tibal-Roima. The setting of time is mostly happened in the morning, in the afternoon, in the night, and in the evening; the period of Indonesia development from 1980 until 1995; the period of “Bom Waktu” is before and after general election in 1980; “Opera Kecoa” is published in 1985 or five years after “Bom Waktu”; “Opera Julini” is published in 1995 or ten years after “Opera Kecoa”. The social setting is the division of society based on the social class, that is upper class consists of the goverments and lower class that is the poor urban people. The government describes as the party which has an authority and disadvantages the lower class; while the poor urban people is the weak party who struggle for getting the government attention toward their existence. Structural violence causes by the difference in social structure, unequality in economic, and the excessment of the goverment power. The shape of structural

viii

violence done by the government to the poor urban people is by breaking their solidarity, deceit in the name of social strata, compulsory, intimidation, threatening, exploitation, poverty, nullify the ability and participation to determine the life and making decision, limition of people’s chances of life, a haul, control by comission which limit the individual potential, corruption, discrimination, politic in general election, social class discrimination, intervention which disappears the autonomy of the society, injustice in law, power monopoly. The result of structural violence is the lameness in social economic; poverty; lack of healthiness, productivity, education, and authority; disable to determine his own life; and the social interclass relation is in space.

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis

menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada

Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan

mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman

penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran

dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan,

pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian

skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis

akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang secara tidak

langsung telah memberikan motivasi kepada penulis untuk tetap semangat

dalam menyelesaikan skripsi ini.

x

3. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum. selaku pembimbing akademik angkatan

2003 yang selalu rajin mengingatkan anak-anaknya untuk segera

menyelesaikan skripsi.

4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra

Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan.

5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia untuk

persahabatannya.

6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra

untuk pelayanannya yang ramah.

7. Bapak, Ibu, Mas Asa, dan Mbak Arda. Terima kasih atas doa, semangat,

dukungan, cinta, dan pertanyaan “Wis tekan bab pira?” yang memotivasi

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Seluruh kawan seperjuangan di Sastra Indonesia 2003, terima kasih atas

pertemanannya selama empat tahun ini dan selalu menanyakan kabar

skripsiku.

9. Astri, Anton, Aning, Aic, Aji, Bayu, Bekti, Doan, Dhita, Diar, Eci, Gayung,

Jati, Rinto, Simpli, Vonny. Maturtengkyu untuk persahabatan, cekakak-

cekikik, cerita-cerita bahagia dan mengharukan, serta waktu luang untuk

nongkrong bareng di kantin. Terima kasih telah hadir dalam perjalanan

hidupku di Sastra Indonesia. Kapan kita kongkow lagi? Hehehe....

xi

10. Mbak Ari yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran. Terima kasih

atas dukungannya.

11. Butet, Inga, Adin yang dulu berjuang bareng di bangku SMP+SMA, dan

selalu memberikan semangat saat aku menyelesaikan skripsi. Terima kasih

untuk dukungannya.

12. Teman-teman Komisi Pemuda GKJ Condongcatur. Terima kasih atas

semangatnya dan pertanyaan-pertanyaan seputar skripsiku.

13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan

skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih

yang mendalam.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan memiliki

banyak kekurangan. Seluruh kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini sepenuhnya

merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca dapat

memberikan saran yang membangun bagi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata,

semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penulis

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii

MOTTO ....................................................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................... vi

ABSTRACT ................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ................................................................................. x

DAFTAR ISI ................................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 6

1.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7

1.6 Landasan Teori ........................................................................ 14

1.6.1 Teori Struktural ........................................................... 15

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan .................................. 15

xiii

1.6.1.1.1 Tokoh ............................................ 15

1.6.1.1.2 Penokohan ..................................... 17

1.6.1.2 Latar ............................................................. 17

1.6.2 Teori Sosiologi Sastra ................................................. 18

1.6.3 Teori Kekerasan Struktural ......................................... 21

1.7 Metode Penelitian ................................................................... 23

1.7.1 Pendekatan .................................................................. 23

1.7.2 Metode Penelitian ....................................................... 24

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................... 24

1.7.4 Sumber Data ................................................................ 25

1.8 Sistematika Penyajian ............................................................. 25

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA

NORBERTUS RIANTIARNO ..................................................... 27

2.1 Tokoh dan Penokohan ............................................................. 27

2.1.1 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Bom Waktu”

(Trilogi Bagian Pertama) ............................................ 28

2.1.1.1 Julini ............................................................. 28

2.1.1.2 Roima ........................................................... 34

2.1.1.3 Tibal ............................................................. 38

xiv

2.1.1.4 Tuminah ....................................................... 42

2.1.1.5 Abung ........................................................... 46

2.1.1.6 Tarsih ........................................................... 50

2.1.1.7 Kumis ........................................................... 54

2.1.1.8 Bleki ............................................................. 59

2.1.1.9 Camat ........................................................... 61

2.1.2 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Kecoa”

(Trilogi Bagian Kedua) ............................................... 65

2.1.2.1 Julini ............................................................. 66

2.1.2.2 Roima ........................................................... 71

2.1.2.3 Tarsih ........................................................... 76

2.1.2.4 Tibal ............................................................. 79

2.1.2.5 Tuminah ....................................................... 81

2.1.2.6 Pejabat .......................................................... 84

2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Julini”

(Trilogi Bagian Ketiga) .............................................. 86

2.1.3.1 Roima ........................................................... 86

2.1.3.2 Tibal ............................................................. 89

2.1.3.3 Tuminah ....................................................... 92

2.1.3.4 Pejabat........................................................... 94

2.1.4 Rangkuman ................................................................. 99

xv

2.1.4.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Per-

kembangan Plot ............................................ 99

2.1.4.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Opera

Kecoa ............................................................ 99

2.1.4.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Tri-

logi Opera Kecoa .......................................... 104

2.2 Latar ........................................................................................ 107

2.2.1 Latar Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama) 108

2.2.1.1 Latar Tempat ................................................ 108

2.2.1.2 Latar Waktu ................................................. 109

2.2.1.3 Latar Sosial ................................................... 113

2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua) . 128

2.2.2.1 Latar Tempat ................................................ 128

2.2.2.2 Latar Waktu ................................................. 131

2.2.2.3 Latar Sosial ................................................... 133

2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga) .. 142

2.2.3.1 Latar Tempat ................................................ 142

2.2.3.2 Latar Waktu ................................................. 144

2.2.3.3 Latar Sosial ................................................... 146

2.2.4 Rangkuman ................................................................. 156

2.2.4.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa .. 156

xvi

2.2.4.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa .... 157

2.2.4.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa ..... 158

BAB III KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH

TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM

DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS

RIANTIARNO .............................................................................. 163

3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi

Bagian Pertama)....................................................................... 164

3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih ......................... 165

3.1.2 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ........................... 171

3.1.3 Kekerasan Struktural terhadap Julini .......................... 173

3.1.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima ........................ 175

3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung ......................... 176

3.1.6 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ..................... 181

3.1.7 Kekerasan Struktural oleh Bleki ................................. 187

3.1.8 Kekerasan Struktural oleh Kumis ............................... 189

3.1.9 Kekerasan Struktural oleh Camat ............................... 200

3.2 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi

Bagian Kedua) ......................................................................... 218

3.2.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih ......................... 219

xvii

3.2.2 Kekerasan Struktural terhadap Julini ........................... 225

3.2.3 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ..................... 227

3.2.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima ........................ 229

3.2.5 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ........................... 230

3.2.6 Kekerasan Struktural oleh Pejabat .............................. 231

3.3 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi

Bagian Ketiga) ........................................................................ 261

3.3.1 Kekerasan Struktural terhadap Roima ........................ 262

3.3.2 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ..................... 265

3.3.3 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ........................... 267

3.3.4 Kekerasan Struktural oleh Pejabat .............................. 269

3.4 Rangkuman ............................................................................. 285

BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 294

4.1 Kesimpulan Hasil Analisis Drama Trilogi Opera Kecoa ........ 294

4.1.1 Kesimpulan Tokoh dan Penokohan dalam Drama Tri-

logi Opera Kecoa ......................................................... 294

4.1.1.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Per

kembangan Plot ............................................ 295

4.1.1.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Ope-

ra Kecoa ....................................................... 295

xviii

4.1.1.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Tri

logi Opera Kecoa .......................................... 300

4.1.2 Kesimpulan Latar Drama Trilogi Opera Kecoa .......... 303

4.1.2.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa .. 303

4.1.2.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa .... 304

4.1.2.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa ..... 305

4.1.3 Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilo

gi Opera Kecoa ............................................................ 309

4.2 Saran ....................................................................................... 311

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 312

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa ... 105

Tabel 2: Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera

Kecoa ........................................................................................................... 286

LAMPIRAN ................................................................................................. 315

SINOPSIS ..................................................................................................... 316

BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 324

xix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan karya seni yang memuat kreativitas dan imajinasi

manusia yang diwujudkan dalam tulisan fiktif. Karena sifat rekaannya, karya sastra

secara tidak langsung mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak

menggugah kita untuk langsung bertindak (Luxemburg via Hartoko, 1989: 5). Karya

sastra memberi kesempatan kepada pembacanya untuk merenungkan dan

merefleksikan isi serta pesan-pesan dalam sebuah karya sastra. Dalam proses kreatif

penciptaan karya sastra, sastrawan seringkali tidak hanya mengandalkan

imajinasinya, tetapi sastrawan juga melakukan pengamatan terhadap lingkungannya.

Bahkan tidak jarang sastrawan mencipta karya melalui pengalaman yang dialaminya

secara langsung. Sebuah karya sastra sangat erat hubungannya dengan latar belakang

pengarangnya, baik lingkungan pengarang maupun kepribadian pengarang.

Salah satu bentuk kehidupan yang seringkali muncul dalam karya sastra

adalah gambaran tokoh dengan lingkungan sekitarnya atau masyarakat. Dalam

pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat

dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin

seseorang (Damono, 1978: 1). Keadaan seseorang dapat dipengaruhi atau

mempengaruhi keadaan suatu kelompok masyarakat. Dalam hubungannya dengan

masyarakat, karya sastra dapat berisi realitas atau kenyataan kehidupan manusia yang

1

2

tidak jarang menggunakan hubungan antarmanusia, antara manusia dengan kelompok

tertentu, atau antara kelompok dengan kelompok sebagai objek karya sastra yang

disajikan dalam bahasa imajiner.

Drama trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno (selanjutnya disebut

Riantiarno) adalah wujud kehidupan sosial yang disajikan pengarang berupa

hubungan antara kelompok tertentu dengan kelompok lain, yaitu antara pemerintah

dengan kaum urban miskin. Kedua kelompok ini biasa terlibat bersama dalam

berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan. Oleh

karena itu, peristiwa hubungan kemasyarakatan ini dimunculkan pengarang dengan

bahasa yang imajinatif dan sesuai kapasitas pengarang untuk memahami hubungan

sosial antara pemerintah dan kaum urban miskin.

Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya

tentang hidup (Wellek dan Austin Warren via Budianta, 1989: 110), sehingga karya

sastra dapat menjadi cermin kehidupan masyarakat atau menjadi refleksi bagi

pembacanya. Georg Lukács menyatakan karya sastra mencerminkan realitas, tidak

dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan

memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih

lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” (Selden via Pradopo, 1991: 27). Pengarang

sering mendapat ide atau gagasan untuk karyanya dari pengamatan terhadap perilaku

masyarakat seperti halnya pengamatan pengarang terhadap kehidupan sosial antara

pemerintah dan kaum urban miskin. Ide atau gagasan pengarang juga muncul karena

dalam hubungan sosial antara pemerintah dan kaum urban miskin terdapat berbagai

3

bentuk ketimpangan sosial seperti tindakan sewenang-wenang pemerintah sebagai

penguasa, diskriminasi gender atau kelas sosial, penindasan yang tidak manusiawi.

Dalam trilogi Opera Kecoa kekerasan terjadi karena adanya ketimpangan

yang disebabkan oleh pihak pemerintah sendiri. Kekerasan itu tidak dapat dipisahkan

dari masalah sosial ekonomi. Akar dari kekerasan itu bukanlah kekerasan itu sendiri,

tetapi sesuatu di luar kekerasan seperti soal kesulitan, kekurangan, dan frustasi

material-ekonomis (Darmaningtyas dkk., 1996: 57). Penjelasan ini menyangkut

kegagalan negara memainkan perannya dalam kontrak sosial, dalam menyediakan

manfaat ekonomi atau layanan sosial. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa

stabilitas sosial secara implisit berpijak pada kontrak sosial antara rakyat dan

pemerintah: menurut kontrak ini rakyat menerima wewenang negara sepanjang

negara memberikan layanan dan menciptakan kondisi ekonomi yang memadai

(Stewart via Maris, 2005: 193). Dalam masyarakat, konflik yang tidak terpecahkan

atau tidak tertransformasi; fenomena yang ada di mana-mana dalam realitas manusia,

mudah menimbulkan frustasi karena tujuan-tujuan terhambat, mengejutkan, dengan

potensi untuk melawan pihak-pihak yang dipersepsikan sebagai penghambat (Galtung

via Maris, 2005: 401).

Sarjono dalam “Urban Poor Opera, Riantiarno”, pengantar trilogi Opera

Kecoa, menuliskan bahwa pembangunan yang berapi-api telah melahirkan kaum

urban miskin perkotaan yang tentu saja setelah pembangunan gedung-gedung

pencakar langit itu tidak bisa ikut bernaung di sana (Riantiarno, 2004: vi). Oleh sebab

itu, dapat diketahui bahwa ketimpangan sosial masih terjadi meskipun pembangunan

4

telah dilakukan di mana pun. Kaum urban miskin tetap menjadi kelompok yang

tersisih dan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah.

Johan Galtung (Galtung via Lubis, 1988: 150) mengelompokkan kekerasan

menjadi dua. Yang pertama adalah kekerasan personal, yaitu kekerasan yang bisa

dilihat sebagai suatu hal yang menimbulkan perubahan dan dinamis, memperlihatkan

fluktuasi yang hebat sepanjang masa, dan akan diperhatikan masyarakat. Yang kedua

adalah kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang selalu dianggap wajar dalam

masyarakat, suatu hal yang memperlihatkan stabilitas tertentu. Alasan utama peneliti

memilih trilogi Opera Kecoa karena terdapat hubungan kemasyarakatan yang justru

menimbulkan permasalahan sosial berupa kekerasan personal dan kekerasan

struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta. Peneliti akan

mengkhususkan pembahasan mengenai kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta sebagai kekerasan yang dominan

terjadi dalam trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

Untuk meneliti karya sastra, pertama-tama penulis mencari unsur-unsur

pembangun karya sastra tersebut atau menganalisis secara struktural. Dalam

penelitian ini, analisis struktural yang diteliti adalah unsur tokoh dan penokohan,

serta latar yang berkaitan erat dengan permasalahan yang terjadi dalam drama trilogi

ini. Penulis memilih meneliti unsur tokoh dan penokohan serta latar untuk

menganalisis lebih jauh mengenai para tokoh yang terlibat konflik serta menentukan

tempat dan waktu kejadian serta keadaan sosial masyarakat yang menjadi penyebab

konflik dalam drama trilogi Opera Kecoa. Dengan demikian, kodrat setiap unsur

5

dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam

hubungannya dengan unsur-unsur lain yang terkandung di dalamnya (Nurgiyantoro,

1998: 37). Untuk membatasi penelitian terhadap para tokoh yang mewakili kondisi

masyarakat dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno, maka akan

dipaparkan teori kekerasan struktural. Selain itu, penulis juga menggunakan

pendekatan sosiologi sastra yang beranggapan bahwa sastra merupakan cermin

masyarakat.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah unsur tokoh dan penokohan, serta latar dalam drama

trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno?

1.2.2 Bagaimanakah bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi

Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah:

1.3.1 Mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan, serta latar dalam drama

trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno.

6

1.3.2 Mendeskripsikan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi

Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dipaparkan di atas, maka manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap studi sastra

khususnya dalam bidang sosiologi sastra, yaitu mengenai kekerasan

struktural dalam hubungan sosial masyarakat.

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca dan sastrawan

untuk mengetahui peran sosiologi sastra dalam karya sastra dan dalam

kehidupan bermasyarakat.

1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan membantu pembaca dan sastrawan

untuk menafsirkan karya sastra dalam permasalahan sosial yang

berupa kekerasan struktural serta relevansinya terhadap zaman yang

sedang berlangsung.

1.4.4 Hasil penelitian ini diharapkan membantu pembaca dan sastrawan

untuk lebih peka dalam mengenali dan menggunakan bentuk kritik

dalam karya sastra.

7

1.5 Tinjauan Pustaka

Seni Apriliya dalam http://www.isola-pos.upi.edu dengan tulisannya yang

berjudul “Ketika Hidup Layak Sebagai Manusia Hanya Sebatas Angan-angan”

mengulas tentang garis besar cerita trilogi Opera Kecoa dan permasalahan sosial

yang diangkat dalam drama tersebut. Apriliya secara tidak langsung menyatakan

bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Dalam hal ini Apriliya menunjukkan

keadaan rakyat Indonesia pada pertengahan 1980. Kondisi pemerintah dan kaum

urban miskin di Jakarta terlihat sangat kontras karena situasi sosial yang sangat

timpang. Hal seperti ini juga terbaca dalam drama trilogi Opera Kecoa yang

menceritakan penindasan pemerintah sebagai penguasa negara terhadap kaum urban

miskin di Jakarta. Apriliya membandingkan sebuah situasi yang sama dalam dunia

yang berbeda, yaitu dunia sastra dan dunia nyata, seperti dalam kutipan berikut.

“Drama sebagai sastra berakar dari kehidupan manusia, tragedi dan komedi yang dialaminya. Demikian halnya dengan Opera Kecoa; drama fenomenal dramawan Riantiarno. Berlatar kehidupan bangsa Indonesia pertengahan tahun 1980-an, di mana negeri ini giat mengatasnamakan pembangunan untuk setiap proyek yang didirikan. Di Jakarta yang metropolis, hidup tak selalu manis, terutama bagi kaum urban miskin yang memang tidak mempunyai keahlian sebagai sandaran untuk mencari penghidupan. Kemiskinan yang seperti diwariskan terus-menerus membuat mereka sulit untuk keluar dari kungkungan penderitaan. Hidup mereka seperti yang dilontarkan tokoh Julini, yaitu ‘hidup-hidupan’ (Riantiarno, 2004: 178).” (Apriliya, 2005). Dalam tulisannya, Apriliya juga memaparkan beberapa bentuk kekerasan

yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin dalam trilogi Opera

Kecoa, seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Drama ini bercerita sisi lain dari peradaban kota yang gemerlap. Tentang kecoa-kecoa di gorong-gorong yang gelap. Di pinggiran itu tersimpan banyak

8

derita dan kelaparan, mimpi-mimpi yang tak kunjung jadi kenyataan. Bermacam-macam tragedi, berbagai keputusasaan. Mengingatkan kita dari lupa, tentang nasib sebagian dari manusia seperti Julini dan Roima tengah bergulat dan memperjuangkan kehidupan mereka. Hidup di ujung razia para petugas negara. Dikejar-kejar, diabaikan haknya, dicaci dan dihina perilakunya, menjadi tontonan tanpa memperoleh tuntunan nyata dan solusi nyata dari kegetiran dan nasib buruk mereka.” (Apriliya, 2005). Ketimpangan hubungan sosial antara pemerintah dan rakyat kecil pun disorot

Riantiarno seperti yang ditulis Soni Farid Maulana dengan judul “Kita dan Teater

Koma” dalam http://www.pikiran-rakyat.com. Melalui artikel ini juga ditegaskan

bahwa Riantiarno merupakan penulis lakon teater yang memiliki perhatian mendalam

terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah yang tidak pernah mempunyai

kesempatan melakukan apapun selama masa pembangunan.

“Setidaknya dengan menulis lakon teater trilogi Opera Kecoa perhatian Riantiarno terhadap kehidupan orang-orang kecil yang selalu jadi korban pembangunan, tak putus-putusnya diutarakan dari berbagai sisi. Apa yang disajikan Nano juga mempunyai perhatian demikian besar terhadap masalah tersebut, tidak bisa dianggap angin lalu. Mengapa? Karena di dalam naskah yang sering membuat kuping pemerintah jadi merah itu ada suara kebenaran yang mengharap pihak-pihak terkait siapa pun ia, untuk senantiasa bersikap adil terhadap nasib orang-orang kecil atau rakyat pada umumnya yang posisinya semata-mata diletakkan sebagai korban dalam gerak pembangunan dewasa ini.” (Maulana, 2005). Riantiarno dalam pengantar Cermin Merah yang berjudul “eM dan iM”

menceritakan tentang kehidupan salah satu anggota kaum urban miskin di Jakarta,

yaitu kehidupan para waria. Menurut pengamatan Riantiarno, waria di Jakarta

merupakan kaum yang sering dianggap sebagai pengganggu ketertiban kota, sehingga

tidak jarang mereka menjadi sasaran razia petugas keamanan pemda. Melalui

9

pengamatan ini, Riantiarno memperoleh motivasi untuk melahirkan karya trilogi

Opera Kecoa.

“Pada 1968 hingga 1973, saya sering nongkrong di sepanjang rel kereta api Jalan Krakatau, sekarang Jalan Latuharhary Jakarta. Pekerjaan saya hanya mengamati. Saya menyerap impian mereka, kaum yang tersisih dari pergaulan sopan kota besar Jakarta. Kadang saya ikut lari lintang pukang jika ada razia dari polisi pemda. Dalam sebuah razia, seorang waria nekat terjun ke Kali Malang (yang mengalir di sepinggir rel kereta api), demi menghindari kejaran para petugas. Celakanya, si waria tidak bisa berenang. Mayatnya yang biru dan kaku ditemukan keesokan harinya. Peristiwa itu sering disebut sebagai ‘Tragedi Kali Malang’. Yang menjadi korban selalu orang kecil. Dari pengamatan itu, kemudian lahir pula tiga karya drama panggung, trilogi Opera Kecoa. Ketiganya sudah dipentaskan.” (Riantiarno, 2004: x-xi). Naskah Riantiarno seringkali menampilkan orang-orang kelas menengah ke

bawah di Indonesia yang mempunyai kehidupan tergolong miskin. Riantiarno sebagai

salah satu penulis drama yang hidup pada masa Orde Baru tidak jarang mengambil

kehidupan orang-orang miskin dan keadaan pemerintahan di Indonesia sebagai latar

dalam naskah dramanya. Oleh karena itu, tidak jarang pula Riantiarno dianggap

sebagai penyusup dalam dunia politik di Indonesia. Indra Tranggono melalui

tulisannya yang berjudul “Nano, Teater Koma dan Simbol Kelas Menengah” dalam

Fresh Magazine menyatakan bahwa Riantiarno seringkali dianggap sebagai musuh

pemerintah karena naskah-naskah dramanya sarat dengan kritik sosial, termasuk

dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua).

“Perjalanan Koma tidak mudah, ternyata. Di era Orde Baru, Koma menjadi salah satu grup yang “dibidik” penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam. Dikelilingi intel dan diinterogasi polisi atau tentara sudah menjadi hal biasa bagi Nano. Pelarangan pentas juga menjadi sangat akrab. “Penguasa Orba selalu bertanya, apa motif pertunjukan Koma? Siapa yang berada di belakang saya? Partai apa yang menjadi afiliasi saya? Saya cuma tertawa, wong saya ini cuma seniman yang mencoba jujur merefleksikan realitas,”

10

cerita Nano. Beberapa pementasan Koma pun akhirnya dicekal. Misalnya Opera Kecoa dan Suksesi.” (Tranggono, 2007: 87). Sebuah artikel yang dimuat dalam http://www.kompas.co.id (2003) dengan

judul “N. Riantiarno: Opera Kecoa, Setelah Pelarangan Itu” mengungkapkan bahwa

“Opera Kecoa”, trilogi bagian kedua, merupakan bukti bahwa pemerintah tetap

memperlakukan rakyat kecil dengan tidak adil. Riantiarno menyatakan hal ini terlihat

dari pelarangan pementasan “Opera Kecoa” yang dianggap pemerintah sebagai

gangguan karena menceritakan masalah penggusuran yang pada kenyataannya telah

marak terjadi di Jakarta pada masa pembangunan, seperti kutipan berikut.

“Kisah Opera Kecoa sendiri sebetulnya bercerita seputar masalah penggusuran. Apabila Opera Kecoa lolos sensor ketika pertama kali dipentaskan di tahun 1985, barangkali penggusuran masih belum terlalu populer. Tapi seperti kita ketahui bersama, setelah itu penggusuran kawasan miskin untuk hotel dan lapangan golf merebak sedemikian rupa. Ketika tahun 1990 dipentaskan, Opera Kecoa menjadi semacam tamparan bagi penguasa karena penggusuran telah menjadi hiasan warga ibukota.” (www.kompas.co.id, 2003). Penggusuran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan

pemerintah terhadap rakyat kecil karena setelah penggusuran terjadi, rakyat kecil

tidak pernah mendapat jaminan perbaikan hidup dari pemerintah. Bahkan tidak jarang

nasib rakyat kecil menjadi bertambah buruk setelah mengalami penggusuran.

Achmad Syaiful Anwar dalam tesisnya yang berjudul “N. Riantiarno: Dari

Rumah Kertas ke Pentas Dunia (Sebuah Biografi)” mengatakan, “Penulisan jenis

trilogi berlanjut, yaitu Bom Waktu (trilogi 1), ditulis tahun 1982. Periode ini diakui

oleh Nano adalah periode mengekspresikan ‘penderitaan’ menjadi daya kreatif di

bidang penulisan naskah drama. Kemudian Opera Kecoa (trilogi 2) ditulis tahun

11

1985, dan Opera Julini (trilogi 3) ditulis tahun 1986. Naskah Opera Kecoa dianggap

sebagai naskah yang kuat menampilkan gaya penulisan Nano secara khusus.

Keberpihakannya terhadap masalah ‘wong cilik’ dan mengangkat tema sosial yang

sarat kritik terhadap penguasa menjadi model penulisan Nano yang khusus tersebut.

Lakon Opera Kecoa bercerita tentang gelandangan, pelacur, dan masyarakat yang

biasa disebut ‘sampah’” (Anwar, 2004: 180-181). Pernyataan Anwar tersebut

menggambarkan latar belakang penulisan trilogi Opera Kecoa beserta nasib para

tokoh sebagai rakyat kecil sebagai cermin masyarakat pada masa pembangunan di

Jakarta. Anwar juga berpendapat bahwa Nano merupakan penulis naskah drama yang

peka terhadap keberadaan kaum urban miskin dan penguasa yang mengatur

semuanya tanpa memikirkan nasib urban miskin.

Menurut Anwar, ketimpangan sosial antara kaum urban miskin dengan

penguasa yang disebabkan tindak sewenang-wenang penguasa dalam mengatur

keuangan negara juga digambarkan dengan jelas oleh Riantiarno dalam trilogi Opera

Kecoa. Hal ini terlihat dalam pernyataan berikut.

“Perubahan nasib seolah sesuatu hal yang mustahil buat mereka (kaum urban miskin), sebab posisi mereka tetap di bawah selamanya. Demikian pula dengan para pejabat penguasa, posisi mereka selalu berada di atas. Menentukan dan mengatur segalanya secara absolut. Hal ini diungkap Nano melalui dialog antara tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam kutipan berikut.

PEJABAT: Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera, ‘kan?

Kami sangat membutuhkan, lho.

TAMU: Pasti. Pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen. Bagaimana?

12

PEJABAT: Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan

bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak penting. Tapi, kalau bisa, yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya,

nomor.... (MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)

TAMU:

Baik, baik.

(PARA HADIRIN BERTEPUKTANGAN) Untuk sekadar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-daerah yang

Tuan anggap sudah sukses dalam pembangunan.

PEJABAT: Oo, bisa, bisa.

(MEMANGGIL PETUGAS, BISIK-BISIK. PETUGAS KE WARTAWAN-WARTAWAN)

PETUGAS:

Saudara-saudara, acara resmi telah selesai. Bapak dan Yang Mulia tamunya hendak menikmati acara yang sifatnya lebih pribadi. Mohon maaf. Press-

release akan dibagikan secara tertulis. Juga amplopnya sekalian.

(WARTAWAN-WARTAWAN BUBAR TANPA PROTES) (Riantiarno, 2004: 186-187)

Adegan pada bagian ini jelas menunjukkan kejelian Nano memotret kondisi realitas penguasa kita yang korup tanpa malu-malu lagi. Mengatasnamakan kepentingan kesejahteraan rakyat demi kepentingan dan kekayaan sendiri” (Anwar, 2004: 183-185). Kutipan dialog tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam pernyataan Anwar di

atas memperlihatkan bahwa para penguasa telah mengalami kelemahan mental

sebagai aparat negara sehingga mereka tidak sungkan lagi untuk menggunakan hak

rakyat sebagai penunjang kesejahteraan pribadi. Mental penguasa telah menjadi

mental orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi tanpa

mempertimbangkan kepentingan bersama. Pemenuhan kepentingan pribadi oleh

13

penguasa menjadi salah satu pemicu munculnya kekerasan struktural dalam drama

trilogi Opera Kecoa.

Selain pemenuhan kepentingan pribadi oleh penguasa, hal lain yang dapat

dilihat dari drama trilogi Opera Kecoa adalah sikap penguasa dalam menghadapi

kaum urban miskin sebagai anggota masyarakat. Drama Riantiarno ini pada

hakikatnya hendak menggambarkan tiga kelompok masyarakat (orang kaya,

penguasa, pelaksana) dalam menyikapi para gelandangan dan kehidupan para

gelandangan itu sendiri. Dalam drama Bom Waktu (trilogi bagian pertama) tokoh-

tokoh yang berinteraksi ialah “gepeng”, kaum gelandangan dan pengemis, dengan

para aparat pemerintah daerah (pemda) (Sitanggang dkk., 1995: 64, 69). Drama ini

menggambarkan penguasa yang tidak mempedulikan keberadaan kaum urban miskin

dalam masyarakat perkotaan sebagai warga yang juga memiliki kepentingan untuk

hidup di kota. Di tengah kesulitan mencari penghidupan di kota, ternyata kaum urban

miskin justru mendapat tekanan dari pemerintah. Tekanan dari pemerintah dapat

berupa paksaan untuk meninggalkan “rumah” mereka, pembatasan tempat kerja utuk

mencari nafkah bagi para gelandangan, pemanfaatan tenaga manusia untuk

memenuhi kebutuhan pribadi, dan adanya anggapan bahwa kaum urban miskin

merupakan pengacau yang harus segera disingkirkan dari kota. Pemerintah tidak

berusaha menciptakan lapangan kerja maupun tempat tinggal yang layak bagi kaum

urban miskin. Mereka (kaum urban miskin) harus tergusur oleh rencana

pembangunan kota yang sebenarnya hanya sampai pada pembangunan fisik dan

14

masalah spiritual seperti bagaimana mengangkat si lemah pada taraf kehidupan yang

lebih baik belum mendapat perhatian (Sitanggang dkk., 1995: 73).

Dari keseluruhan sumber tinjauan pustaka di atas, penulis memperoleh

gambaran berbagai pandangan mengenai drama trilogi Opera Kecoa, terutama tema

besar drama trilogi ini, yaitu tentang kehidupan kaum urban miskin. Selain itu,

penulis juga lebih dapat memahami latar belakang kemunculan drama trilogi ini serta

relasi kelas-kelas sosial yang menjadi penyebab konflik dalam drama trilogi Opera

Kecoa.

1.6 Landasan Teori

Di dalam penelitian sebuah karya sastra terdapat beberapa model pendekatan

yang dapat diterapkan. Salah satunya adalah pendekatan struktural. Pendekatan

struktural menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang

bersangkutan. Analisis struktural karya yang bersifat fiksi dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur

intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 37). Struktur karya sastra

dipaparkan dengan tujuan agar sebuah karya sastra lebih mudah dipahami.

Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri,

dengan mekanisme antarhubungan, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu

dengan yang lainnya, di pihak lain antarunsur (unsur) dengan totalisnya (Ratna, 2004:

91). Tujuan pemaparan unsur-unsur struktur karya sastra adalah mengenal kerangka

karya sastra dan mengaitkan unsur-unsurnya agar menjadi kesatuan karya yang utuh.

15

Hasil analisis tokoh, penokohan, serta latar memberi referensi pada penulis untuk

memahami bentuk kekerasan struktural yang dilakukan pemerintah terhadap kaum

urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

Penulis akan memaparkan teori sosiologi sastra sebagai dasar pembahasan

hubungan kemasyarakatan yang terjadi antara pemerintah dengan kaum urban miskin.

Selain teori sosiologi sastra, penulis juga akan memaparkan teori kekerasan struktural

menurut Johan Galtung. Teori struktural, teori sosiologi sastra, dan teori kekerasan

struktural akan dijelaskan sebagai berikut.

1.6.1 Teori Struktural

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori struktural berupa tokoh dan

penokohan serta latar untuk menganalisis tokoh, penokohan, serta latar dalam drama

trilogi Opera Kecoa. Dengan menganalisis unsur-unsur tersebut, penulis dapat

mengetahui hubungan antara para tokoh dalam kehidupan sosial mereka serta konflik

yang terjadi dalam drama trilogi Opera Kecoa berupa kekerasan struktural.

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan

1.6.1.1.1 Tokoh

Definisi tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman, 1988: 16). Pembedaan tokoh

dapat dilakukan berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot menjadi tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis disebut juga sebagai tokoh yang

16

mendukung jalan cerita. Protagonis yaitu tokoh yang pertama-tama berparakarsa dan

dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Karena perannya itu, protagonis

adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-

kesukaran (Sumardjo dan Saini, 1986: 144). Protagonis merupakan peran utama yang

menjadi pusat cerita (Harymawan, 1988: 22). Tokoh yang selalu menentang tokoh

protagonis disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis mempunyai konflik dengan

tokoh protagonis. Antagonis merupakan peran lawan protagonis, sering juga menjadi

musuh yang menyebabkan konflik (Harymawan, 1988: 22). Citra tokoh itu disusun

dengan memadukan berbagai faktor, yakni apa yang difokalisasinya (hubungan antara

unur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur tersebut), bagaimana ia

memfokalisasi, oleh siapa dan bagaimana ia sendiri difokalisasi, kelakuannya sebagai

pelaku dalam deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis

di dalam karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh

(Hartoko dan Rahmanto, 1986: 144). Seorang tokoh selalu merupakan hasil dari

penjelmaan fisik dan pengaruh-pengaruh lingkungannya (Oemarjati, 1971: 67),

sehingga tokoh dianggap mampu menggambarkan lingkungan yang melingkupinya

dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan menganalisis

tokoh protagonis dan antagonis dalam drama trilogi Opera Kecoa untuk menentukan

konflik yang dipicu oleh tokoh-tokoh antagonis terhadap para tokoh protagonis.

Dalam penelitian ini tokoh-tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis

karena tokoh protagonis menampilkan hal-hal yang sesuai dengan pandangan serta

harapan pembaca, sedangkan antagonis merupakan penentang utama dari protagonis.

17

Melalui hubungan antara protagonis dan antagonis, maka konflik yang terjadi dalam

karya sastra lebih dapat dipahami dengan jelas.

1.6.1.1.2 Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan tidak hanya

menyebutkan siapa nama tokoh, tetapi juga memperkenalkan pembaca kepada watak

tokoh. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya

yang membedakannya dengan tokoh lain (Sudjiman, 1986: 80). Penokohan

memerikan ciri lahir (fisik) maupun batin (watak) tokoh (Sudjiman, 1988: 25).

Penokohan diperlukan untuk membantu memahami ciri fisik, perilaku dan sikap

tokoh dalam menghadapi lingkungan sekitarnya. Selain itu, penokohan satu tokoh

dapat membantu menjelaskan penokohan tokoh lain sehingga karakter tokoh-tokoh

dapat diketahui dengan lebih rinci di dalam sebuah karya sastra.

1.6.1.2 Latar

Latar atau setting biasanya menyaran pada waktu, tempat, dan lingkungan

sosial tokoh. Dalam penelitian ini akan dipakai latar tipikal atau latar yang memiliki

dan menonjolkan sifat khas latar tertentu; baik yang menyangkut unsur tempat,

waktu, maupun sosial (Nurgiyantoro, 1998: 78). Peristiwa-peristiwa di dalam cerita

tentulah terjadi pada suatu waktu atau di dalam suatu rentang waktu tertentu atau

pada suatu tempat tertentu. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan

18

masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya; sedangkan latar fisik adalah

tempat di dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman,

1988: 41). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk,

pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa

dalam suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1986: 46). Berdasarkan

penjelasan tersebut, penulis akan menganalisis latar tempat, waktu, dan sosial dalam

drama trilogi Opera Kecoa. Latar tempat berfungsi untuk mengetahui lokasi-lokasi

yang biasa dipakai sebagai tempat beraktivitas suatu kelompok masyarakat sehingga

menunjukkan kelas sosial kelompok masyarakat tersebut dan mengetahui tempat

terjadinya konflik antarkelas sosial. Latar waktu digunakan untuk merunut berbagai

peristiwa dalam drama trilogi Opera Kecoa dan membuktikan bahwa konflik

antarkelas sosial berupa kekerasan struktural yang dilakukan oleh kelas atas terhadap

kelas bawah dalam drama trilogi Opera Kecoa terjadi terus-menerus sejak awal

hingga akhir drama trilogi ini. Latar sosial berfungsi mengetahui kehidupan beberapa

kelompok masyarakat sebagai dasar untuk memahami hubungan dan konflik yang

terjadi antarkelas sosial dalam drama trilogi Opera Kecoa.

1.6.2 Teori Sosiologi Sastra

Segi-segi kemasyarakatan dalam sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan

sosiologi sastra. Hal ini mencakup hubungan antarmanusia, antara manusia dengan

sekelompok orang, dan antarkelompok manusia. Kehidupan sosial menjadi picu

lahirnya karya sastra (Endraswara, 2004: 77). Karya sastra yang berdasar pada

19

sosiologi tidak akan bisa lepas dari perilaku masyarakat. Dalam sosiologi manusia

dalam masyarakat dapat dikaji mengenai keberadaannya dalam lingkungan, lembaga,

ataupun proses sosial. Manusia menjadi anggota masyarakat dan mempengaruhi

pergerakan sistem masyarakat sehingga manusia diharuskan mampu menyesuaikan

diri dengan keberadaannya dalam lingkungan sosial. Di samping itu, manusia juga

ikut andil dalam proses budaya yang menyebabkan manusia mempunyai kapasitasnya

sendiri sebagai anggota masyarakat.

Sosiologi sastra merupakan gabungan antara ilmu sosiologi dan ilmu sastra.

Persamaan antara ilmu sosiologi dan ilmu sastra adalah kedua ilmu tersebut selalu

berkaitan dengan masyarakat dan manusia sebagai objeknya sehingga ilmu itu tidak

pernah bisa dikaji tanpa memperhatikan latarnya. Sosiologi sastra mempunyai

beberapa definisi, antara lain pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai

dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya atau pemahaman

terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya

(Ratna, 2003: 2). Sosiologi yang terdapat dalam sebuah karya sastra dapat

menjelaskan permasalahan sosial yang termuat dalam karya.

Pemakaian pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji suatu karya sastra

membantu pembaca lebih peka dengan permasalahan sosial yang terjadi pada masa

karya itu dibuat. Dengan sosiologi sastra juga sikap pengarang dapat terlihat dalam

menanggapi kondisi sosial masyarakat yang sedang berlangsung. Penulis akan

menggunakan analisis mengenai kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah

terhadap kaum urban miskin di Jakarta untuk mengetahui hubungan sosial yang

20

terjadi di antara kelas-kelas masyarakat yang terdapat pada drama trilogi Opera

Kecoa karya Riantiarno. Kelas tidak harus diidentifikasikan dengan sumber

penghasilan ataupun kedudukan fungsional di dalam pembagian kerja (Giddens via

Kramadibrata, 1985: 45). Kapitalisme membuat kebanyakan orang mengesampingkan

kepentingan bersama demi kepentingan individual serta mengubah kehidupan

masyarakat. Pertumbuhan ekonomi kapitalis-liberal, yang motornya adalah egoisme

dan individualisme, telah membuat hidup masyarakat makin terdeferensiasi, makin

terorganisasi, bagian-bagiannya menjadi terpisah satu sama lain (Sindhunata, 1997:

14). Ketimpangan sosial yang terjadi dalam trilogi Opera Kecoa disebabkan adanya

kelompok yang menggunakan kekuasaan secara berlebih, dalam hal ini termasuk

penguasaan terhadap perekonomian masyarakat serta pembatasan kemampuan tiap

individu. Pihak yang berkuasa akan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil

keuntungan dari pihak yang lemah. Kekerasan, kerusuhan hanyalah akibat lanjut dan

menyeluruh dari brutalisasi yang diakibatkan oleh pembangunan (“pertumbuhan”)

ekonomi yang demikian cepat (Sindhunata, 1997: 17). Pengarang drama trilogi Opera

Kecoa juga menekankan ideologi yang sering diungkapkan selama masa

pembangunan sekitar tahun 1980-an, yaitu penekanan bahwa semua yang dilakukan

pemerintah semata-mata hanya untuk kesejahteraan rakyat, walaupun pada

kenyataannya pembangunan yang dilakukan pemerintah pada masa itu justru

cenderung merugikan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama rakyat kecil

yang seringkali tidak mendapat pemerataan hasil pembangunan karena perekonomian

negara terlalu dikuasai oleh pemerintah. Berbagai ideologi yang mengitari manusia

21

itu sendiri menjadi semacam lingkungan ideologis. Hanya lewat lingkungan itu dan

dengan pertolongannya kesadaran manusia mencapai persepsi dan penguasaan

terhadap eksistensi sosio-ekonomik dan alamiahnya (Faruk, 2005: 128). Dalam

penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena ada hubungan

yang erat antara sosiologi dengan sastra. Sastra merupakan cermin tingkah laku

masyarakat dan dapat menampilkan fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan suatu

masyarakat. Melalui teori sosiologi sastra, penulis berharap dapat menganalisis dan

menemukan fakta-fakta terjadinya kekerasan struktural yang dilakukan oleh kelas

atas terhadap kelas bawah dalam drama trilogi Opera Kecoa.

1.6.3 Teori Kekerasan Struktural

Kekerasan menurut Galtung (via Windhu, 1992: 64) terjadi bila manusia

dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya (nyata)

berada di bawah realisasi potensialnya (mungkin). Dengan kata lain bila yang

potensial lebih tinggi dari yang aktual, terjadilah kekerasan. Kekerasan telah terjadi

dalam masyarakat terutama karena tujuan memperebutkan aset ekonomi. Menurut

Johan Galtung, kekerasan struktural (kekerasan tidak langsung) merupakan kekerasan

yang bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak (Santoso,

2002: 169). Kekerasan struktural cenderung tidak menampakkan pelaku manusia

secara langsung karena kekerasan ini sudah menjadi bagian dari struktur dan terwujud

sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat, serta sering dianggap

wajar. Kekerasan struktural bersumber pada ketidaksamaan dalam struktur sosial,

22

terutama dalam distribusi kekuasaan yang dipengaruhi oleh pelaku, sistem, struktur,

kedudukan, dan tingkat dalam masyarakat. Kekerasan model ini terjadi dalam kasus-

kasus penggusuran, ketimpangan sosial ekonomi, persoalan korupsi, kolusi,

manipulasi, ketidakadilan dalam hukum, kemiskinan, dan rendahnya upah buruh

(Darmaningtyas dkk., 1996: 58). Struktur tidak memungkinkan mereka (pelaku yang

berkedudukan paling rendah) membangun kekuatan, mengorganisir dan mewujudkan

kekuasaannya berhadapan dengan “pihak yang kuat”. Galtung (via Windhu, 1992:

70) juga menyatakan bahwa kekerasan struktural ini juga mencuatkan “situasi-situasi

negatif” seperti ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian,

pendidikan, serta wewenang untuk mengambil keputusan mengenai distribusi

sumberdaya pun tidak merata. Pokok yang terakhir itulah yang paling penting, karena

kekuasaan untuk memutuskan dimonopoli oleh sekelompok orang saja. Idealnya

bahwa setiap orang, khususnya dari massa bawah, mempunyai akses yang sama

untuk menentukan kehidupan bersama.

Kekerasan struktural timbul akibat pertumbuhan kapital yang tidak merata dan

berkembang tidak terbatas. Bentuk kekerasan struktural antara lain eksploitasi yang

harus dipahami dalam relasi pertukaran antara dua orang, kelompok atau dua negara.

Secara umum, eksploitasi terjadi bila totalitas keuntungan kegiatan dalam pertukaran

ekonomi berbagai kelompok berbeda sehingga beberapa kelompok memperoleh

keuntungan lebih banyak daripada yang lain. Bentuk lain kekerasan struktural adalah

rusaknya solidaritas, campurtangan kekuatan luar yang menghilangkan otonomi

masyarakat, marginalisasi masyarakat serta meniadakan partisipasi masyarakat dalam

23

mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Selain itu, beberapa bentuk lain

kekerasan struktural yang memiliki dimensi karakteristik psikologis antara lain

kebohongan, intimidasi, serta ancaman. Karakter kekerasan struktural dapat juga

berupa pendekatan negatif dan positif yang mengacu pada sistem orientasi imbalan.

Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila ia bersalah, tetapi

juga dengan memberi imbalan. Dalam sistem imbalan terdapat pengendalian, tidak

bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif. Pengendalian merupakan

pembatasan terhadap realisasi potensi-potensi yang dimiliki individu (Sihombing,

2005: 9).

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan struktural adalah

kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan

alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga negara

(Sihombing, 2005: 9).

1.7 Metode Penelitian

Dalam metode penelitian akan dikemukakan pendekatan, metode, teknik

pengumpulan data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

1.7.1 Pendekatan

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi

sastra. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah gambaran

kehidupan yang memaparkan kenyataan sosial. Peristiwa-peristiwa yang terjadi

24

dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan

seseoarang dengan orang lain atau masyarakat (Damono, 1978: 1). Pendekatan ini

mempertimbangkan aspek-aspek kenyataan sosial atau kemasyarakatan. Penelitian ini

menggunakan sosiologi sastra yang mengutamakan naskah sastra sebagai bahan

telaah. Naskah sastra terlebih dahulu dianalisis strukturnya, kemudian analisis

struktur tersebut dipakai untuk memahami gejala sosial yang ada dalam masyarakat.

1.7.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-

fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2004: 53). Pendeskripsian fakta-

fakta di sini bertujuan untuk memaparkan gambaran atas suatu hal sampai sejelas

mungkin.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka.

Dalam teknik ini, peneliti akan menggunakan data yang terdapat dalam drama trilogi

Opera Kecoa; yang terdiri dari tiga bagian, yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian

pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian

ketiga); maupun sumber pustaka lain yang berupa buku-buku, karya tulis, atau

sumber dari internet yang berkaitan dengan objek penelitian.

25

1.7.4 Sumber Data

Data adalah bahan penelitian. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian

dapat dijelaskan karena di dalam bahan terdapat objek penelitian yang dimaksud

(Sudaryanto, 1988: 9-10). Sumber data adalah tempat data diambil atau diperoleh

yang berupa karya sastra, buku-buku, karya tulis, serta data dari internet yang

berkaitan dengan objek penelitian. Karya sastra yang menjadi objek dalam penelitian

ini adalah naskah drama dengan identitas sebagai berikut.

Judul : Opera Kecoa (Drama Trilogi)

Pengarang : Norbertus Riantiarno

Tahun terbit : 2004

Penerbit : Mahatari

Tebal : xii + 446 halaman

Cetakan : Pertama

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Keempat bab tersebut adalah:

Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian, serta sistematika penyajian.

Bab II berupa pembahasan struktur karya drama trilogi Opera Kecoa yang

meliputi tokoh dan penokohan, serta latar.

26

Bab III berupa pembahasan analisis kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa

karya Riantiarno.

Bab IV berupa kesimpulan hasil analisis data dan saran, serta diakhiri dengan

pemaparan daftar pustaka.

27

BAB II

ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS

RIANTIARNO

Dalam bab II penulis akan menganalisis beberapa unsur intrinsik drama trilogi

Opera Kecoa yang meliputi tokoh dan penokohan, serta latar. Analisis unsur intrinsik

akan dilakukan berdasarkan pembagian trilogi yang terdiri dari “Bom Waktu” (trilogi

bagian pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi

bagian ketiga). Analisis unsur intrinsik yang berupa tokoh dan penokohan, serta latar

sebagai unsur pembangun karya diperlukan untuk mengetahui penggambaran suatu

kondisi sosial masyarakat tertentu dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan fungsinya,

dalam drama trilogi Opera Kecoa akan dianalisis unsur intrinsik berupa tokoh yang

meliputi tokoh protagonis dan antagonis; sedangkan analisis latar meliputi latar

tempat, waktu, dan sosial. Selanjutnya, akan diuraikan analisis unsur intrinsik dalam

drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

2.1 Tokoh dan Penokohan

Salah satu unsur penting dalam karya sastra adalah tokoh. Pembedaan tokoh

dapat dilakukan berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot menjadi tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Protagonis merupakan tokoh yang pertama-tama

berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Karena

28

perannya itu, protagonis adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan

terlibat dalam kesukaran-kesukaran (Sumardjo dan Saini, 1986: 144). Tokoh

antagonis merupakan peran lawan protagonis, sering juga menjadi musuh yang

menyebabkan konflik (Harymawan, 1988: 22). Penokohan adalah pelukisan

gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita

(Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan tidak hanya menyebutkan siapa nama tokoh,

tetapi juga memperkenalkan pembaca kepada watak tokoh. Yang dimaksud dengan

watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan

tokoh lain (Sudjiman, 1986: 80). Jadi, penokohan dapat membantu mengetahui

dengan jelas perilaku, sifat, dan ciri fisik para tokoh.

2.1.1 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian

Pertama)

Tokoh protagonis dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) yang akan

dianalisis adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih; sedangkan tokoh

antagonis yaitu Kumis, Bleki, dan Camat. Selanjutnya, pengenalan tokoh Julini,

Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih, Kumis, Bleki, dan Camat akan dibahas dalam

penokohan tiap tokoh.

2.1.1.1 Julini

Julini, seorang waria, merupakan salah satu penghuni kawasan kumuh yang

sangat dikenal oleh para penghuni kawasan kumuh lainnya. Sebagai seorang waria,

29

Julini mempunyai seorang kekasih, yaitu Roima. Saat menjadi penghuni kawasan

kumuh, Julini yang berprofesi sebagai PSK sudah tinggal dalam satu gubuk dengan

Roima dan hidup selayaknya suami-istri walaupun mereka sebenarnya sama-sama

lelaki.

(1) JULINI: Ampun, Bang, ampun. Jangan jewer saya. Aduh, aduh....

ROIMA:

Nginap di mana semalem? Nginap di mana?

JUMINI: Kejem betul? Masa sama pacar begitu?

ROIMA:

Tak usah ikut-ikut campur, ini urusan pribadi. (hlm. 28)

(2) JULINI: Jangan main-main, Juli bukan ketengan. Biar jelek, Juli adalah PTS

dengan sertifikat.

JUMINI: Apa itu PTS, Jul? Perguruan Tinggi Swasta?

JULINI:

Bukan. Pedagang Tjinta dan Sukaria. Pakai ejaan lama, bukan Ce tapi Te.

(hlm. 30)

(3) (SEMINGGU KEMUDIAN. ROIMA DAN JULINI DI DEPAN GUBUKNYA)

ROIMA:

Setelah kita tidak omong selama seminggu, sekarang saya mau tanya, apa sebetulnya mau kamu?

Begini salah begitu salah, apa kamu pikir enak tiggal satu atap sama patung bau?

JULINI:

30

Julini emang patung bau, kenapa situ mau. Dari dulu kan saya sudah bilang, berikan kepastian.

(hlm. 99)

Julini adalah seorang waria yang sering menggunakan istilah khas waria

dalam percakapannya dengan tokoh lain; misalnya istilah bencong ‘banci’, cewong

‘cewek’, wanetong ‘wanita’, kerong ‘kara’ seperti dalam kutipan (4) dan (5). Selain

itu, sebagai seorang waria Julini memiliki sifat genit dan suka merayu. Kebiasaan

Julini yang suka merayu lelaki lain seringkali membuat Roima menjadi cemburu

sebab Julini melakukannya langsung di depan Roima.

(4) ROIMA: Sialan, cobeek ....

JULINI:

Jangan bilang begitu. Julini bukan cobek, bukan cebong yang suka pekenang-pekenong. Julini cuma seorang wanetong yang kesepian.

Oh, Tuhan ... kasihanilah Juli yang sebatang kerong .... (hlm. 29)

(5) JULINI: Jadi Abang mau pukul Julini?

ROIMA:

Tidak di sini.

JULINI: Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa

saja. Bukankah kita belum suami-isteri. Kita tidak punya ikatan apa-apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong

lain, Julini juga tidak akan ambil pusing. (hlm. 85)

(6) JULINI: Baru pulang?

TIBAL:

Ya.

31

JULINI: Capek dong.

TIBAL:

Ya.

JULINI: Butuh dukun urut dong.

TIBAL:

Kalau tidak bayar boleh-boleh saja.

JULINI: Saya pintar mengurut ....

ROIMA:

(MEMBEKAP MULUT JULINI) Brengsek, genit.

(hlm. 50-51)

Julini merupakan waria yang pasrah dan perasa. Julini pasrah kepada nasib,

pasrah terhadap keadaannya sebagai waria yang mendambakan cinta sejati dan sangat

mencintai Roima. Julini juga tidak ingin hanya menjadi waria yang berperan menjadi

pemuas kebutuhan seks lelaki, tapi dia juga sangat mengharapkan cintanya dibalas

oleh Roima. Julini seorang yang perasa karena merasa dirinya hanyalah seorang

waria yang kesepian tanpa mendapat perhatian Roima serta selalu merasa disakiti

hatinya oleh Roima.

(7) KASIJAH: Selalu kemari, kalau sedang gawat sama Roima.

JULINI:

Lari ke mana lagi kalau bukan kemari? Aku sebatang kerong. Tak ada tempat mengadu. Aku bagai bunga kering dihembus angin dan selalu jatuh ke comberan. Kapankah bisa memiliki laki-laki yang kucintai

dan mencintai, bukan hanya melulu bernapsu karena layananku di atas kasur.

32

Hidupku ‘kan bukan hanya melulu persoalan kasur...

KASIJAH: Ranjang...

JULINI:

Ya, ranjang kan ada kasurnya. Biarpun kita masih belum mampu beli kasur, cuma tikar. Oh, tikar... Roima tidak pernah paham, feelingku juga peka. Oh, cintaku selembut salju. Dia selalu menyakiti hatiku karena tahu tak mungkin aku lari dari genggamannya. Minggat ke

mana juga, lambat atau cepat aku pasti mendarat tepat di pangkuannya lagi. Nasib, ya nasib....

(hlm. 23)

Karena cintanya sangat dalam kepada Roima, Julini memiliki impian untuk

menikah dengan Roima walaupun Julini menyadari bahwa dirinya adalah seorang

waria dan pria tidak boleh menikah dengan sesama pria. Julini ingin membangun

rumahtangga dan hidup sebagai istri Roima yang sah secara hukum. Beberapa kali

Julini meminta kepastian Roima untuk menikahinya, tapi beberapa kali juga Roima

belum memberikan kepastian kepada Julini. Hingga pada akhirnya Roima

menyanggupi permintaan Julini.

(8) JULINI: Ah, masa? Tapi Roima memang jantan kok, pria mandom. Ibarat petani, cangkulannya ahli dan jitu. Itu yang bikin Juli jatuh cinta setengah mati. Sayangnya dia tidak mau kawin syah sama Juli.

JUMINI:

Kawin syah bagaimana? Apa bisa? Boleh?

JULINI: Kalau memang cinta, semuanya bisa ditembus.

(hlm. 34)

(9) JULINI: Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa

saja. Bukankah kita belum suami-isteri. Kita tidak punya ikatan apa-

33

apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong lain, Julini juga tidak akan ambil pusing.

ROIMA:

Jadi maunya apa?

JULINI: Kawini Julini sekarang juga, Julini akan setia sepanjang masa.

(hlm. 85)

(10) JULINI: Abang kan tidak sudi kawin sama Julini. Ya kan? Ya kan?

ROIMA:

Siapa bilang?

JULINI: (TERKESIMA) Hah? Jadi sudi?

ROIMA:

Tentu dong.

JULINI: Tidak malu?

ROIMA:

Tidak dong.

JULINI: Beneran nih?

ROIMA: Sumpah.

JULINI: Kapan?

ROIMA: Terserah.

JULINI:

(TERHARU)

34

Abang, inilah kalimat paling romantis yang baru Julini dengar selama kita pacaran. Seakan-akan, suaranya datang dari surga. Abang

sungguh-sungguh, tidak mempermainkan saya?

ROIMA: Aturlah persiapannya. Kita adakan pada hari yang baik.

JULINI:

(MELUAPKAN KEGEMBIRAANNYA) Aduhai, Julini mau kawin. Julini mau kawin. Jumini, Turkana, Sawil,

Bilun, Julini mau kawin. Julini ketiban bulan. Ibarat menang lotre, Julini cuma bisa bilang: horeee... Julini mau dikawinin sama Roima....

(hlm. 100-101)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan penokohan tokoh

Julini adalah Julini adalah seorang waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki

yaitu Roima (1); berprofesi sebagai PSK (2); tinggal dalam satu gubuk dengan Roima

(3); serta seringkali menggunakan istilah kaum waria dalam percakapannya dengan

tokoh lain (4), (5). Julini juga memiliki sikap genit dan suka merayu lelaki lain (6);

bersifat pasrah dan perasa (7). Selain itu, Julini juga mempunyai satu keinginan, yaitu

menikah dengan Roima (8), (9), (10).

2.1.1.2 Roima

Roima, seorang pengangguran, adalah pacar Julini yang tinggal segubuk

dengan Julini di kawasan kumuh. Roima merupakan lelaki yang pemarah; gegabah

dalam mengambil keputusan; sering berkata-kata kasar; bersikap kasar bukan hanya

kepada Julini, tapi juga kepada penghuni kawasan kumuh lainnya.

(11) ROIMA: Siapa yang mau menyakiti dia kamu itu. Pulang.

35

JULINI: Ogah, kalau Abang kasar begitu.

ROIMA:

Pulang, Neng. Aku sudah mencarimu sedari tadi.

JULINI: Asal Abang tidak pukul dia.

ROIMA:

Mengapa harus dipukul. Yang merayu kan kamu, bukan dia.

JULINI: Jadi Abang mau pukul Julini?

(hlm. 84-85)

(12) JULINI: Apa bicara Abang tentang perkawinan kita.

ROIMA:

Kita bicarakan di rumah, cobek. Kalau tidak mau, kuseret kamu biar jadi tontonan anak-anak kampung.

JULINI:

Ogah, ogah, ogah.

ROIMA: Terpaksa.

(KEPADA TIBAL)

Dan kamu, bandot kecil, jangan coba-coba lagi mendekati Julini. Dia bukan jodohmu.

TIBAL:

Jodohmu?

ROIMA: Bukan urusanmu, brengsek. Apa mau adu tonjok?

JULINI:

Jangan, jangan. Juli ikut pulang kalau begitu. (hlm. 86)

36

(13) JUMINI: Kejem betul? Masa sama pacar begitu?

ROIMA:

Tak usah ikut-ikut, ini urusan pribadi. Nginap di mana semalam? Jawab monyong, kampret, mak-di....

JULINI:

Aduh, duh duh duh, jangan marah dulu, Bang, jangan marah dulu, jangan gampar.

(hlm. 28)

Sebagai pacar Julini, Roima termasuk lelaki yang mudah cemburu. Roima

akan cepat tersinggung ketika Julini membicarakan lelaki lain atau jika Julini merayu

lelaki lain di depan Roima. Roima cemburu karena merasa dirinya selama ini ternyata

belum cukup memuaskan Julini.

(14) JULINI: Mereka selalu bertengkar, seperti kita. Padahal Juli tahu, Turkana

mencintai Jumini. Cinta setengah mati. Ibaratnya, disuruh terjun ke sumur juga mau. Kalau Abang seperti Turkana, alangkah bahagianya

Juli.

ROIMA: Kurang puas sama aku?

JULINI:

O, puas, puas. Abang adalah segala-galanya buat Julini. Ibaratnya, Abang adalah Qais dan saya Laila.

(hlm. 50)

(15) JULINI: Capek dong.

TIBAL:

Iya.

JULINI: Butuh dukun urut dong.

37

TIBAL: Kalau tidak bayar boleh-boleh saja.

JULINI:

Saya pintar ngurut....

ROIMA: (MEMBEKAP MULUT JULINI)

Brengsek, genit. (hlm. 50-51)

Roima merupakan orang yang pasrah pada nasib seperti penghuni kawasan

kumuh lainnya. Ketika kawasan kumuh terancam digusur, Roima masih bingung

menentukan nasib sendiri dalam mencari tempat tinggal lain karena merasa tidak bisa

mengubah keadaan.

(16) JULINI: Kalau tidak pergi lantas mau ke mana. Tapi meski Juli sama Roima

pergi bareng, tujuannya berbeda-beda.

JUMINI: Lho, Roima ke mana, Julini ke mana?

ROIMA:

Belum tahu pergi ke mana, Yu. Apa kata nanti saja-lah. (hlm. 120)

Roima sebenarnya sangat mencintai Julini. Hal ini dibuktikan dengan

kesanggupan Roima dalam memenuhi permintaan Julini untuk menikah, walaupun

Roima tahu bahwa dia dan Julini sama-sama lelaki.

(17) JULINI: Abang kan tidak sudi kawin sama Julini. Ya kan? Ya kan?

ROIMA:

Siapa bilang?

JULINI:

38

(TERKESIMA) Hah? Jadi, sudi?

ROIMA:

Tentu dong. (hlm. 100-101)

Dari analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Roima yaitu Roima

merupakan seorang pengangguran yang menjadi pacar Julini dan bersifat pemarah,

gegabah dalam mengambil keputusan, senang berkata-kata serta bersikap kasar (11),

(12), (13). Roima juga merupakan orang yang mudah cemburu karena Julini merayu

lelaki lain (14), (15). Selain itu, Roima mudah pasrah pada nasib (16) dan sangat

mencintai Julini sehingga bersedia menikahi Julini (17).

2.1.1.3 Tibal

Tibal, kakak kandung Tuminah, merupakan seorang lelaki yang berasal dari

udik (desa). Karena hanya mampu bertani, Tibal bercita-cita menjadi petani kota

dengan menggarap tanah kosong di pinggir sungai di Jakarta. Tibal merupakan lelaki

yang lugu, jujur, pasrah pada nasib, pekerja keras, dan mempunyai keinginan

sederhana untuk mengubah nasib dengan cara mengolah lahan. Agar bisa

memperoleh lahan untuk digarap, Tibal harus meminta izin kepada aparat pemda

setempat. Karena sifatnya yang masih lugu dan belum tahu banyak tentang cara hidup

di kota besar, Tibal terpaksa mengikuti semua kemauan Kumis yang saat itu menjabat

sebagai kepala keamanan daerah calon lahan Tibal.

(18) KUMIS: Ini siapa namanya tadi?

39

TIBAL: Tuminah?

BLEKI:

Cantik, ya?

KUMIS: Adik, betul?

TIBAL:

Betul. Ada surat dari lurah desa kami, kalau Om Hansip kurang percaya....

(hlm. 43)

(19) TIBAL: Begini, Om Hansip, kami bawa surat dari lurah desa kami di udik. Kami juga bawa surat dari Pak RT dan Pak RW yang mengizinkan

kami menggarap tanah kosong di pinggir kali dekat-dekat sini. Rencananya, mau kami tanami sayur-mayur. Sama Pak RW kami disuruh menemui Om Hansip dulu. Apa kata Om Hansip, kami

menurut saja. Soal hasilnya, ya bagaimana kata Om Hansip saja. Barangkali dibagi empat, untuk saya, Om Hansip, Pak RT dan Pak

RW.

KUMIS: Stop, stop, saya tahu, tahu. Kamu ingin jadi....

BLEKI:

Petani kota....

KUMIS: (MAU MENGGAMPAR) Eittt....

BLEKI:

Ampun, Bang. Ampun. Ya deh, diam, diam.

KUMIS: Bagus.

(KEPADA TIBAL)

Bagus, kamu datang seperti cahaya matahari pagi—penuh harapan. Jakarta, makin lama makin gersang. Sehari-hari yang kita lihat cuma

gubuk-gubuk, sampah, mobil dan motor dengan asap knalpotnya,

40

gedung-gedung tinggi dan monumen. Sayur-mayur? Brrrr... kita cuma bisa lihat di... pasar. Di tengah-tengah sliweran mobil-mobil

metropolitan, kamu berniat jadi petani. Kenapa tidak ingin jadi kenek atau tukang parkir? Atau jaga malam? Duitnya lebih banyak, kerjanya

lumayan enak....

TIBAL: Saya cuma bisa bertani.

(hlm. 44-45)

Tibal sangat menyayangi Tuminah, sehingga Tibal berusaha untuk menjaga

harga dirinya maupun adiknya ketika Kumis mulai melakukan tindakan licik demi

mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri. Kumis memanfaatkan kelemahan Tibal,

yaitu keadaan Tibal yang sedang tersudut karena harus memilih menyelamatkan

ladang atau pergi meninggalkan kawasan kumuh, termasuk meninggalkan ladang

yang sudah lumayan lama digarapnya. Kumis memberikan syarat licik kepada Tibal,

yaitu meminta keperawanan Tuminah jika Tibal masih menginginkan ladangnya

utuh.

(20) TUMINAH: Tum harus tahu. Si Kumis tadi minta apa supaya kita bisa tetap tinggal

di sini.

TIBAL: Diam, kubilang! Diam!

TUMINAH:

Tum akan diam kalau Akang katakan apa yang diminta oleh Kumis. Kalau sulit, kita kan bisa berusaha. Asal ladang yang sudah capek-

capek kita tanami tidak digusur begitu saja. Tum akan berusaha membantu sekuat tenaga.

TIBAL:

(MELEDAK)

41

Dia minta kamu, keperawananmu, kehormatanmu sebagai imbalan. Bagaimana aku bisa kuat mendengarnya. Bagaimana aku tidakmarah. Kalau saja aku sendirian tadi, aku sudah adu nyawa. Ini penghinaan.

TUMINAH:

(TERMENUNG) Jadi itu yang dia minta. Kita dikasih waktu tiga hari untuk berpikir,

tadi aku dengar Kumis bilang begitu.

TIBAL: Biarlah ladang kita hancur, asal jangan kamu. Lupakan semua, kita

usaha di tempat lain. Dunia tidak selebar daun kelor. Kamu pulanglah, aku akan pergi ke tempat temanku. Mungkin dia bisa memberiku

kerja. (hlm. 112-113)

Pada akhir “Bom Waktu” sewaktu penggusuran kawasan kumuh, ternyata

ladang Tibal juga ikut digusur walaupun Tuminah sudah memberikan

keperawanannya kepada Kumis. Saat proses penggusuran terjadi, Tibal tiba-tiba

menjadi seorang yang pemarah dan pendendam karena merasa ditipu oleh Kumis

serta melakukan pemberontakan sehingga diamankan oleh petugas penggusuran.

(21) TIBAL: (MELEDAK)

Ladangku digusur juga. Lalu apa gunanya Tuminah tidur sama kamu setiap kali kamu ingin?

Berapa kali? Anjing.... Jahanam kamu.

(CAMAT DAN SEKRETARIS DAN BEBERAPA PENGAWAL DATANG. TIBAL YANG MENGAMUK SEGERA DIRINGKUS.

PENYANYI DI JENDELA HOTEL MENYANYI MEMEKAKKAN TELINGA)

CAMAT:

Pemberontakan? Ringkus! Bawa laki-laki gila ke kantor polisi. Jangan biarkan dia menyebar bibit kekacauan!

(TIBAL YANG DIRINGKUS MENATAP MEREKA DENGAN

DENDAM. TUMINAH MENANGIS)

42

(hlm. 134-135)

(22) TIBAL: Tum, sekarang kita belum bisa berbuat apa-apa. Tapi nanti kalau

kesempatan kita tiba, mereka pasti menyesal. Aku bersumpah, mereka pasti akan menyesal.

(hlm. 135)

Tibal bertekat membalas dendam kepada semua orang yang telah merusak

masa depannya dan masa depan Tuminah.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tibal yaitu Tibal,

kakak kandung Tuminah, berasal dari udik (desa) dan ingin menjadi petani kota agar

kehidupannya lebih baik (18), (19). Tibal sangat menyayangi Tuminah dan selalu

berusaha menjaga harga diri mereka (20). Ketika proses penggusuran berlangsung,

Tibal berubah menjadi orang yang pemarah dan pendendam (21), (22).

2.1.1.4 Tuminah

Tuminah, adik Tibal, adalah gadis yang cantik, lugu, pemalu, menurut pada

Tibal. Ketika pertama kali datang ke kota dan menghadap Kumis, Tuminah terlihat

sebagi gadis desa yang masih benar-benar lugu dan pemalu. Dia mengikuti semua

yang dilakukan oleh Tibal karena Tuminah belum tahu banyak tentang pergaulan di

ibukota. Selain itu, ketika sudah tinggal di kawasan kumuh Tuminah tidak banyak

bicara dengan penghuni lain. Tuminah lebih terkesan pendiam.

(23) TUMINAH: Saya ikut apa yang kakak saya kerjakan.

KUMIS:

Tidak ingin jadi pelayan restoran, pramuniaga, pramuria?

43

TUMINAH: (MALU-MALU)

Saya cuma bisa bergaul dengan tanah. (hlm. 46)

(24) ROIMA: Jul, Julini. Jul. Brengsek, ke mana cobek satu itu. Juuul. Juuul, gila.

Apa dia ngeteng lagi? Katanya hari ini prei?

(KEPADA TUMINAH) Lihat Julini? Ke mana? Sama siapa?

TUMINAH:

(DENGAN JARI MENUNJUK ARAH JULINI DAN TIBAL PERGI. LALU MASUK GUBUK, MENUTUP PINTU, DENGAN DIAM-

DIAM)

ROIMA: He, he, jangan masuk dulu. Jawab dulu. Ke mana? Pergi sama siapa?

Sialan. Bego, lu.

(PERGI KE ARAH YANG DITUNJUK OLEH TUMINAH)

Juuul....

TUMINAH: (NONGOL DI PINTU GUBUK LAGI. JUGA DIAM-DIAM)....

(hlm. 71-72)

Tuminah mudah khawatir terhadap Tibal sehingga Tuminah selalu berusaha

melakukan apa saja agar bisa membantu Tibal, bahkan ikut mengusahakan agar

ladang garapan Tibal tidak ikut digusur. Karena cara berpikir Tuminah yang masih

terlalu lugu, maka ia juga mengikuti apa yang diinginkan oleh Kumis, yaitu

menyerahkan keperawanannya demi pembatalan penggusuran ladang Tibal. Tuminah

tetap melakukan hal ini walaupun dia tahu Tibal telah melarangnya dengan keras agar

tidak mengikuti kemauan Kumis. Dia berpikir bahwa dengan menyerahkan

44

keperawanannya ladang dan gubuk Tibal tidak akan ikut dihancurkan pada hari

penggusuran nanti.

(25) TUMINAH: Tum akan diam kalau Akang katakan apa yang diminta oleh Kumis. Kalau sulit, kita kan bisa berusaha. Asal ladang yang sudah capek-

capek kita tanami tidak digusur begitu saja. Tum akan berusaha membantu sekuat tenaga.

TIBAL:

(MELEDAK) Dia minta kamu, keperawananmu, kehormatanmu sebagai imbalan.

Bagaimana bisa kuat aku mendengarnya. Bagaimana aku tidak marah. Kalau saja aku sendirian tadi, aku sudah adu nyawa. Ini penghinaan.

(hlm. 112-113)

(26) (BEBERAPA JAM SESUDAHNYA. TUMINAH BERHIAS SECANTIK MUNGKIN DENGAN CERMIN KECIL. DIA BERGINCU)

TUMINAH:

(BERCERMIN, BERNYANYI)

Bagi cacing seperti aku Adakah pilihan lain?

Yang disodorkan memang racun

Tapi adakah pilihan lain?

Bumi gelap di sudut-sudut Panah tajam siap di busur Piasu-pisau siap menusuk

Dan sembilu ‘kan menyobekku

Di sini dan di sana racun Adakah pilihan lain?

Oh, adakah pilihan lain?

(TUMINAH PERGI KE TEMPAT KUMIS) (hlm. 114)

(27) TUMINAH:

45

Kita tidak akan digusur, Kang. Tidak akan.

TIBAL: Apa?

(BARU MEMPERHATIKAN)

Apa-apaan ini, kamu pakai kain bagus, kebaya bagus, pakai gincu. Kamu habis dari mana. Bilang, kamu habis dari mana.

TUMINAH:

Tum baru datang dari kantornya Kumis.

TIBAL: Jadi kamu... Tuminah, jadi kamu....

TUMINAH:

Ya, dan kita tidak akan digusur. Sehabis peninjauan Bapak Gubernur, kita akan tetap tinggal di sini. Mendirikan gubuk dan berladang. Itu

janji Mas Kumis tadi.

TIBAL: Kamu... kamu....

(BERTERIAK)

Anjing, jadi untuk apa semua jerih payahku selama ini. Untuk apa, untuk siapa.

TUMINAH:

Tidak ada apa-apa, Kang, aku tidak merasa sakit, kok. Yang penting Akang bisa tenang bekerja. Dan kita tidak bakal digusur.

(hlm. 117-118)

Ternyata usaha Tuminah menyerahkan keperawanannya kepada Kumis benar-

benar membuat Tibal marah. Tuminah dianggap tidak menghargai jerih payah Tibal

untuk mempertahankan harga diri mereka selama ini. Pada hari penggusuran,

Tuminah baru benar-benar tahu bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh Kumis.

Gubuk dan ladang Tuminah juga ikut digusur walaupun Tuminah telah menyerahkan

keperawanannya.

46

(28) TUMINAH: (KAGET. BERTERIAK)

Lho? Gubukku kok dibongkar juga? Apa-apaan ini? Tunggu!

BLEKI: Komandan, bagaimana ini? Dibongkar, jangan?

KUMIS: Bongkar!

TUMINAH:

Kok dibongkar juga? Bagaimana janjimu? Aku sudah kasih apa yang kamu ingin, masa tetap kamu bongkar juga?

KUMIS:

Aku tidak janji apa-apa. Bongkar! (hlm. 133)

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tuminah yaitu

Tuminah, adik Tibal, merupakan gadis cantik yang lugu, pemalu, dan menurut pada

Tibal (23), (24). Tuminah juga ingin membantu Tibal dengan cara mendatangi Kumis

agar ladang garapan Tibal tidak digusur (25), (26), (27). Tuminah mudah ditipu oleh

Kumis sehingga Tuminah tetap menjadi korban penggusuran (28).

2.1.1.5 Abung

Abung, penghuni kawasan kumuh yang punya kebiasaan aneh bergerak dari

satu pohon ke pohon lain, merupakan satu-satunya tokoh yang selalu mencari

penyebab persoalan hidup, terutama menyangkut kehidupan kaum urban miskin yang

tidak pernah mengalami perubahan nasib atau tidak pernah merasakan kehidupan

yang lebih baik. Abung seringkali berbicara sendiri dan melontarkan pertanyaan atau

47

pernyataan menyangkut keberadaan kaum urban miskin sehingga dianggap gila oleh

para penghuni kawasan kumuh.

(29) ABUNG: Apa yang ditunggu? Aku di sini untuk apa. Mengapa. Siapa oh siapa?

Siapa dia, siapa aku?

TURKANA: Lama-lama aku tidak tahu harus bikin apa.

ABUNG:

Dilemparkan di sini, tanpa penjelasan aku harus berbuat apa. Lalu aku ini apa, tokoh? Kalau tokoh, aku cuma tokoh tak keruan juntrungan. Mana lakon yang harus kumainkan? Kapan aku harus bermain dan

kapan harus istirahat di pinggir panggung?

(MARAH) Aku capek. Aku capek tapi tak bisa berhenti. Begitu banyak orang dibiarkan hidup tanpa persiapan, tanpa bekal apa-apa. Jiwa mereka menjerit, benjol-benjol, bahkan sampai luka mengucurkan darah. Berderet orang antri untuk mencari apa yang mereka pikir bisa

membuat hidup bahagia. Tapi antreannya mandek, padahal yang antre makin bertambah banyak. Setan kredit, menagih hutang-hutang kita

setiap detik. (hlm. 64)

(30) (ABUNG NONGKRONG DI POHON. BICARA SENDIRIAN DENGAN LANGIT)

ABUNG:

Aku ada di mana-mana, hadir dalam setiap peristiwa. Tapi apa peranan yang sekarang sedang kumainkan? Apakah aku pemeran utama, atau cuma embel-embel pelengkap penderita? Aku tahu apa yang sedang terjadi, tapi cuma itu. Aku kan tidak boleh berbuat apa-apa, sebab

memang tidak ada di dalam rancangan. Lagipula aku selalu merasa ada di luar peristiwa. Lama-lama tidak enak juga jadi penonton.

(KEPADA LANGIT)

Ke mana aku harus pergi dan bertanya. Ke mana, katakan. Ke mana? Brengsek. Brengseeek....

48

(BERPINDAH DARI PUCUK POHON KE PUCUK POHON YANG LAIN)

(hlm. 93)

Abung yang semula suka berbicara sendiri dan tidak pernah berbicara dengan

tokoh lain ternyata pada waktu terjadi proses penggusuran kawasan kumuh

mengalami perubahan. Abung sebagai satu-satunya tokoh yang menyadari keadaan

kaum urban miskin sebagai kaum yang tidak pernah diberi kesempatan untuk

merasakan hasil pembangunan untuk pertama kalinya melakukan komunikasi dengan

tokoh lain, yaitu Camat, dan tiba-tiba mengamuk. Dia merasa bahwa selama ini

pemerintah kurang memperhatikan kaum urban miskin, bahkan tidak peduli dengan

nasib kaum urban miskin yang menjadi korban penggusuran. Abung melakukan

pemberontakan saat terjadi proses penggusuran, sehingga akhirnya ia ditembak mati

oleh Bleki sebagai aparat pemda yang bertugas mengamankan proses penggusuran

kawasan kumuh.

(31) CAMAT: Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya

jangan tanya sama saya. Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.

ABUNG:

Pak Gubernur? Orang yang ada di atas itu? Orang yang kerjanya cuma makan saja?

CAMAT:

Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak melihat ada orang di atas.

ABUNG:

Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe,

bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya

49

waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak mau.

BLEKI:

Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?

KUMIS: Nih, pestolnya.

BLEKI:

Aduh, tugas berat.

(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA MEMBIDIK. ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG

KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)

ABUNG: Aku iki opo? Opo iki aku? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.

Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.

(SEMUA TERDIAM)

(ABUNG MATI) (hlm. 137-138)

Dalam kutipan (31) juga dapat diperkirakan bahwa Abung adalah salah satu

anggota urban miskin yang berasal dari luar kota Jakarta, yaitu salah satu daerah yang

ada di Pulau Jawa, kemungkinan daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini

bisa diketahui melalui istilah bahasa Jawa ngoko yang digunakan Abung antara lain

kowe ‘kamu’, wudel ‘pusar’ dan beberapa kata khas dalam bahasa Jawa yang tidak

mempunyai arti tapi sering diucapkan dalam kalimat; yaitu lha wong, mbok. Ada juga

kata yang diucapkan dengan logat bahasa Jawa, yaitu njawab yang seharusnya dalam

bahasa Indonesia diucapkan “menjawab”. Selain itu, Abung juga mengucapkan

50

kalimat dalam bahasa Jawa; yaitu “Aku iki opo? Opo aku iki?” ‘Aku ini apa? Apa aku

ini?’.

Melalui analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Abung yaitu

Abung, salah satu penghuni kawasan kumuh yang tinggal di pepohonan, merupakan

satu-satunya tokoh yang selalu mencari hakikat persoalan hidup mengenai nasib

buruk kaum urban miskin yang tidak pernah berubah dan dia sering berbicara sendiri

(29), (30). Abung yang semula hanya bicara sendiri, pada saat proses penggusuran

tiba-tiba berbicara kepada tokoh lain dan mengamuk, sehingga akhirnya dia ditembak

mati oleh petugas (31). Selain itu, dalam kutipan (31) dapat diketahui bahwa Abung

adalah salah satu urban miskin yang berasal dari luar Jakarta, yaitu dari daerah di

Pulau Jawa, kemungkinan berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau

Yogyakarta. Hal ini bisa diketahui dari bahasa yang digunakan Abung, yaitu bahasa

Jawa ngoko yang bercampur dengan bahasa Indonesia.

2.1.1.6 Tarsih

Tarsih adalah salah satu penghuni kawasan kumuh yang berprofesi sebagai

PSK. Tarsih merupakan sahabat Julini sekaligus PSK paling cantik di antara para

PSK lainnya. Tarsih seringkali dicari oleh Kumis yang ingin memakai jasa Tarsih

sebagai PSK, tapi Tarsih pada akhirnya menolak melayani Kumis karena Kumis tidak

pernah membayar jasa Tarsih sebagai PSK. Selain itu, Tarsih juga menjadi PSK

langganan Camat. Bagi Tarsih menjadi langganan Camat merupakan suatu

51

kebanggaan karena menjadi langganan orang besar serta membuktikan bahwa pada

saat itu Tarsih adalah PSK yang paling sering dicari oleh banyak pelanggan.

(32) KUMIS: (DARI BALIK TANGGUL)

Cuma malam ini, besok kalau aku datang lagi, aku kasih kamu empat kali lipat. Sekarang aku tidak bawa uang.

TARSIH:

Besok, besok. Selalu besok. Sudah berapa besok.

KUMIS: Masa tidak percaya sama aku sih, sama Kumis?

TARSIH:

Sudah habis kesabaranku....

(KEDENGARAN BARANG PECAH. KUMIS NAIK TANGGUL TERGOPOH HANYA BERCELANA KOLOR. DIA LARI MASUK

GANG. SEMENTARA ITU BLEKI LARI MENYUSUL DI BELAKANGNYA MEMBAWA CELANA DAN BAJU SERAGAM

KUMIS) (hlm. 57-58)

(33) TARSIH: Masuklah.

(ORANG-1 BISIK-BISIK SAMA ORANG-2 YANG SEGERA MENGANGGUK DAN BERJALAN MENGIKUTI TARSIH.

ORANG-1, JONGKOK DIAM-DIAM DI SAMPING KASIJAH)

KASIJAH: Kamu sendiri tidak?

ORANG-1:

Diam ah, jangan ganggu aku.

KASIJAH: Siapa kamu sih, pakai kerudung segala kayak dukun beranak.

ORANG-1:

Tidak mau diam, kugebuk kamu.

52

(KASIJAH MAU MARAH TAK JADI. DIA MEMASANG ROKOK DAN PERLAHAN MENGHAMPIRI)

(KETIKA ORANG-1 LENGAH DENGAN SEBAT DIA MENCABUT KERUDUNG ORANG-1. DUA-DUANYA

TERKEJUT)

KASIJAH: Jadi kamu, kamu sekretarisnya Pak Camat. Sekretarisnya Pak Camat.

Jadi yang masuk ke sana itu....

ORANG-1: Kugebuk kamu, kugebuk.

KASIJAH:

(LARI-LARI DIKEJAR ORANG-1) Dia ini sekretarisnya Pak Camat. Dan yang masuk ke sana itu tentu

Pak Camat... Ooii, Pak Camat nyabo... (hlm. 81-82)

(34) KUMIS: Oo, jadi Pak Camat juga sudah menjadi langgananmu, ya? Pantes.

Mana mungkin aku bisa bersaing dengan beliau. (hlm. 89)

Tarsih punya keinginan untuk mengubah nasibnya. Dia tidak ingin terus-

menerus menjadi PSK. Keinginan Tarsih untuk mengubah nasib akhirnya terwujud.

Dia dilamar oleh Camat untuk menjadi istri muda. Setelah menjadi istri muda Camat,

Tarsih pindah tempat tinggal ke rumah Camat dan diberi uang tunjangan setiap bulan.

Kesejahteraan hidup Tarsih benar-benar dijamin oleh Camat.

(35) TARSIH: (MENGGELENG. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MATANYA

BERCAHAYA) Mengapa tidak bisa. Apa beda kita dengan mereka yang hanya bisa

makan di atas sana. Yang tidak mau berbuat apa-apa padahal sebetulnya mereka bisa.Apa beda kita dengan mereka, yang punya mata tapi tidak melihat. Yang punya mulut tapi tidak mau bicara.

53

Yang punya otak tapi tak mau peduli. Yang punya kekuasaan untuk mengubah keadaan tapi sontoloyo?

KASIJAH:

Tarsih, Tarsih. Kau sehat?

TARSIH: Aku sehat. Sehat. Aku hanya ingin supaya kita berbuat sesuatu:

mengubah keadaan masa depan kita sendiri. (hlm. 61)

(36) KASIJAH: Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Jul, Tarsih tidak bisa datang,

nasibnya jauh lebih bagus dari kita.

JUMINI: Kenapa rupanya.

KASIJAH:

Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, ada uang setiap bulan. Dia bisa tenang. Kita?

Akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan tetep dikejar-kejar....

(hlm. 119)

(37) TARSIH: Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang

semuanya bukan milikku lagi.

KASIJAH: Kenapa?

TARSIH:

Waktu isteri tua Pak Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu

aku diperlakukan seperti pengemis. (hlm. 127)

Baru sebentar Tarsih merasakan hidup bahagia menjadi istri muda Camat,

Tarsih diusir oleh istri tua Camat yang membawa tentara sebagai bentuk otoritas istri

54

tua Camat. Semua yang telah diperoleh Tarsih selama menjadi istri muda diminta

oleh istri tua Camat. Tarsih tidak memperoleh ganti rugi sedikit pun dan tidak dapat

menuntut haknya sebagai istri muda Camat karena Tarsih tidak punya wewenang

melakukan perlawanan terhadap istri tua Camat. Kemudian Tarsih terpaksa tinggal di

kawasan kumuh dan menjadi anggota kaum urban miskin lagi.

Dari analisis di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tarsih yaitu Tarsih

merupakan PSK tercantik di antara para PSK lainnya dan menjadi langganan Kumis

dan Camat (32), (33), (34). Tarsih mempunyai keinginan untuk mengubah nasibnya

menjadi lebih baik. Akhirnya impian itu terwujud dengan cara Tarsih menjadi istri

muda Camat (35), (36). Namun, impian Tarsih tidak berlangsung lama karena dia

diusir oleh istri tua Camat ketika baru sebentar menjadi istri muda Camat (37).

2.1.1.7 Kumis

Kumis, seorang aparat keamanan pemda, bertugas sebagai komandan hansip

yang biasa melakukan patroli keamanan di kawasan kumuh dan bekerja sebagai anak

buah Camat. Kumis merupakan orang yang takut sekaligus patuh pada atasan. Kumis

juga merupakan simbol anak buah yang memanfaatkan situasi untuk mencari untung

dari atasan; misalnya dengan mencari keuntungan berupa dana untuk kepentingan

pribadi ketika proses penggusuran sedang direncanakan.

Kumis adalah gambaran pihak aparat pemda yang senang menekan anggota

kaum urban miskin. Dengan mengatasnamakan diri sebagai pelindung daerah, Kumis

mempunyai tugas untuk mengusir secara halus kaum urban miskin dari tempat

55

tinggal mereka dalam rangka penggusuran kawasan kumuh sebagai bentuk

pembangunan.

(38) BLEKI: Eee, tunggu dulu komandan. Jangan putus asa dulu. Cerita sama Bleki, apa yang merisaukan hati komandan. Tapi ngomong-ngomong, siapa

sih orang yang berkerudung tadi? Kelihatannya, kelihatannya komandan....

KUMIS:

Takut setengah mati? Tentu aku takut setengah mati, dia itu Pak Camat.

(hlm. 91)

(39) CAMAT: Itu tugas negara yang penting. Tentunya untuk, untuk... wooahh, mana saya tahu. Yang jelas beliau mau meninjau, titik. Itu saja. Dan kamu

harus jalanken perintah saya tadi. Titik. Siap?

KUMIS: Siap, Pak.

CAMAT:

Kapan mulai kerja?

KUMIS: Kalau dana operasinya sudah turun, tentu saya akan segera

memulainya, Pak. Kan harus ada visibiliti studinya dulu, Pak. Berapa biayanya, bujet tak terduganya....

CAMAT:

Omong kosong itu. Saya perintahken supaya kamu bertindak jangan sampai lewat minggu ini. Senin depan saya sudah harus terima

laporannya.

KUMIS: Siap, Pak, akan kami kerjakan segera, Pak.

(hlm. 95-96)

(40) KUMIS: [...]

56

Nah, saya sebagai pelindung daerah ini, akan mencoba bertindak lunak. Saya harap kalian tidak perlu buru-buru pindah. Nenek-nenek dan kakek-kakek kagak perlu gedebukan beres-beres pindahan. Nanti

kalau kepleset, malah bisa koit. Tenang saja. Kita akan tungguin pindahannya sampai orang yang terakhir. Yang perlu bantuan, akan

kami bantu. Kita harus saling membantu sesama, ya nggak? Ini bentuk pengabdian saya sebagai aparat pemda. Tulus dan murni....

(hlm. 104)

Kumis merupakan orang yang merasa paling berkuasa di daerah kumuh.

Sebagai komandan keamanan di kawasan kumuh, Kumis merasa kedudukannya harus

dihormati oleh semua orang, baik para penghuni kawasan kumuh maupun para

pelanggan pelacur di kawasan tersebut.

(41) KUMIS: Apa dehem-dehem. Aku komandan keamanan daerah sini, kalau aku sedang ada urusan sama perempuan ini, kamu boleh minggir. Atau

datang sesudah aku selesai urusan. (hlm. 89)

Kumis termasuk orang yang senang mencari keuntungan untuk dirinya

sendiri. Banyak penghuni kawasan kumuh mengetahui watak Kumis yang sering

mengambil keuntungan dari orang lain. Kumis seringkali meraup keuntungan dari

para penghuni kawasan kumuh yang memiliki posisi lemah. Misalnya dalam kasus

ladang Tibal, Kumis tidak hanya menginginkan setoran dari ladang Tibal, tapi Kumis

juga memanfaatkan posisi Tibal yang lemah dan mengancam Tibal demi mendapat

keperawanan Tuminah.

(42) JULINI: Nyogok berapa sama si Kumis?

TIBAL:

Tidak nyogok. Tapi bagi-bagi hasil. Itu perjanjiannya.

57

JULINI: Jangan percaya sama si Kumis. Dia hanya bikin apa yang

menguntungkan untuk dirinya sendiri. Hati-hati saja. (hlm. 69-70)

(43) TIBAL: Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit?

Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.

KUMIS: (PURA-PURA TAK MENDENGAR)

Ini setorannya?

TIBAL: Ya, bagian Mas Kumis itu.

KUMIS:

Tidak ada tipu-menipu ‘kan?

TIBAL: Ada perinciannya, Mas. Kalau mau lihat, boleh.

KUMIS:

Percaya, percaya.

(PADA BLEKI) Bleki, hitung!

BLEKI:

Apa nih, upeti?

KUMIS: Hitung saja, jangan banyak tanya. Kamu dapat bagian sepuluh persen.

BLEKI:

Siap, Komandan. Segera saya kerjakan. (MENGHITUNG)

TIBAL:

Soal penggusuran itu, Mas. Saya minta keringanan. Kalau boleh, ladang jangan digusur. Gubuk sih tak apa-apa asal jangan ladang.

KUMIS:

58

Boleh, boleh, tapi ada imbalannya.

(MEMBERI TANDA) Sini kubisiki....

TIBAL:

(MENDEKAT. KUMIS BERBISIK. TIBAL MERAH MUKANYA)....

KUMIS: Tuh kan, sudah saya duga pasti marah. Ya sudah tidak jadi. Tapi

jangan harap kamu bisa tinggal di sini lagi. (hlm. 109-111)

Kumis adalah anak buah Camat. Dia selalu menyertai kepergian Camat,

termasuk ketika Camat melakukan peninjauan ke kawasan kumuh. Dalam kunjungan

Camat, sempat terjadi protes dari para PSK. Situasi ini menjadi cukup panas dan

demi mengamankan diri sendiri karena tidak ingin disalahkan atas situasi yang

sedang terjadi, Kumis mengajak Camat untuk segera mengakhiri acara peninjauan.

(44) TARSIH: Apa gunanya kalian datang. Meninjau? Untuk apa? Berikan kami kerja

yang layak dan dengan sendirinya kami akan berhenti jadi cabo. Jangan cuma ngomong, meninjau, ngomong. Tidak habis-habis.

Diperhatiken, nasib kami diperhatiken, tai babi semuanya.

KUMIS: Pak, lebih baik kita pergi. Suasana sudah panas. Kalau ada apa-apa,

nanti saya yang dipersalahkan.

CAMAT: Diperhatiken, nasib kalian diperhatiken....

(hlm. 79)

Kumis juga dikenal para PSK di kawasan kumuh sebagai pengumbar janji.

Kumis yang biasa menjadi pemakai jasa PSK ternyata sudah seringkali tidak

membayar upah jasa setelah memakai Tarsih. Kumis hanya sekadar berjanji akan

59

membayar jasa Tarsih padahal Kumis sudah terlalu banyak berhutang. Bahkan ketika

hutang-hutangnya belum dilunasi, Kumis dengan tidak sungkan-sungkan masih

meminta Tarsih untuk melayaninya.

(45) TARSIH: (DARI BALIK TANGGUL)

Janji melulu, janji melulu. Apa kamu pikir aku bisa hidup hanya dari janji-janji?

KUMIS:

(DARI BALIK TANGGUL) Cuma malam ini, besok kalau aku datang lagi, aku kasih kamu empat

kali lipat. Sekarang aku tidak bawa uang.

TARSIH: Besok, besok. Selalu besok. Sudah berapa besok.

(hlm. 57)

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Kumis adalah

Kumis merupakan komandan hansip kawasan kumuh yang takut sekaligus patuh

kepada atasan, yaitu Camat (38), (39). Kumis mempunyai sifat suka mencari

keuntungan untuk diri sendiri (40); merasa paling berkuasa di kawasan kumuh (41);

memanfaatkan kelemahan orang lain (42), (43); mencari aman untuk dirinya sendiri

(44); dan mengumbar janji (45).

2.1.1.8 Bleki

Bleki adalah anak buah Kumis. Dia selalu menurut pada perkataan Kumis,

mendukung, dan sangat bergantung pada Kumis. Bleki merupakan orang yang suka

mengancam, termasuk ancaman dengan senjata, dan tidak segan-segan mengancam

para penghuni kawasan kumuh. Bleki digambarkan sebagai anak buah yang menurut

60

pada atasan dan mudah terpengaruh oleh atasan demi mendapat keuntungan untuk

diri sendiri.

(46) KUMIS: Stop dulu, stop dulu pestanya. Stop dulu, ini saya bawa kabar baik.

Stop dulu, musiknya....

BLEKI: (IKUT REPOT)

Hoii, stop dulu musiknya. Berhenti dulu ronggengannya. Hoii, gua tembak lu kalau kagak mau berhenti....

(AKHIRNYA BUNYI-BUNYIAN BERHENTI. PENYANYI DIAM.

SEMUA MELIHAT KUMIS DAN BLEKI PENUH TANDA TANYA)

(hlm. 103)

(47) KUMIS: Percaya, percaya.

(PADA BLEKI) Bleki, hitung!

BLEKI:

Apa nih, upeti?

KUMIS: Hitung saja, jangan banyak tanya. Kamu dapat bagian sepuluh persen.

BLEKI:

Siap, Komandan. Segera saya kerjakan. (MENGHITUNG)

(hlm. 110)

Melalui analisis di atas dapat ditarik kesimpulan penokohan tokoh Bleki.

Bleki merupakan anak buah Kumis yang selalu menurut pada perkataan Kumis dan

tidak segan mengancam penghuni kawasan kumuh dengan senjata (46). Selain itu,

Bleki suka mencari untung untuk diri sendiri dan mudah dipengaruhi Kumis (47).

61

2.1.1.9 Camat

Camat merupakan tokoh yang suka menjanjikan sesuatu kepada para

penghuni kawasan kumuh. Dia menjanjikan perbaikan untuk kawasan kumuh

menjadi tempat yang lebih baik lagi. Namun, di sisi lain sebenarnya Camat

menginginkan tempat itu bersih dari kaum urban miskin. Jadi, pembangunan yang

akan diadakan di tempat itu sebenarnya bukan ditujukan untuk kesejahteraan kaum

urban miskin, tapi justru untuk kesejahteraan orang-orang kelas atas.

(48) CAMAT: (BERSAMA SEKRETARIS DAN PENGAWAL DI JEMBATAN)

Pemandangan ini sunguh luar biasa. Saudara-saudaraku, mengapa nasib kalian seburuk ini? Tinggal di gubuk-gubuk jorok dekat kali,

berkubang seperti babi. Oh, saudara-saudaraku, siapa yang seharusnya peduli pada nasib kalian? Aku hanya bisa memandang, cuma bisa

melihat, dan sekarang ini... tak bisa berbuat banyak. Sapu tangan....

SEKCAM:

(MEMBERIKAN SAPUTANGAN)....

CAMAT: (MENANGIS)

Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus. Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan

gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak

Presiden. (hlm. 12)

Camat juga melakukan peninjauan ke tempat kumuh dan berpura-pura simpati

terhadap keadaan memprihatinkan para PSK agar memperoleh keuntungan untuk diri

sendiri, yaitu mendapat perhatian dari rakyat kecil. Berawal dari peninjauan ke

tempat kumuh ini Camat mulai tertarik untuk menyewa jasa PSK. Camat tertarik

62

kepada Tarsih, PSK paling cantik di kalangan pelacur yang bertempat tinggal di

kawasan kumuh tersebut. Bahkan Camat rela sembunyi-sembunyi hanya untuk

menyewa jasa Tarsih.

(49) CAMAT: Sudahlah, apa Tarsih tidak pernah memikirken masa depan?

TARSIH:

(MULAI DENDAM) Tarsih tidak punya masa depan. Semua orang tahu, kita yang ada di

sini tidak punya masa depan. Hanya Bapak dan orang-orang semacam Bapak saja yang punya masa depan.

(BERPUISI)

Pelacur-pelacur kota Jakarta, bersatulah!

(PARA PELACUR BERTEPUK TANGAN. MERIAH)

CAMAT: Lho, kok gitu.

TARSIH:

Memang begitu. Bapak masih punya harapan naik pangkat, kalau kerja bagus. Kita? Makin tua umur kita semakin berkurang langganan. Padahal kita terus dipajaki. Padahal kerja setengah mati. Goyang kanan, goyang kiri. Mana dikejar-kejar oleh orang-orang macam Kumis yang sering minta imbalan aneh-aneh. Kalau kita berhenti,

lantas mau kerja di mana?

CAMAT: Banyak bidang pekerjaan. Di pabrik-pabrik, di kantor-kantor. Tidak

seharusnya orang secantik kamu bekerja seperti ini. (hlm. 77-78)

(50) ORANG-1: Kalau bukan, jangan banyak omong. Biar dia yang jawab. Nganggur? Kalau nganggur, majikan saya mau pakai. Kalau memuaskan, jangan

kuatir soal honornya.

(TARSIH MELENGGANG MASUK KE DALAM LEMBAH SUNGAI)

63

TARSIH: Masuklah.

(ORANG-1 BISIK-BISIK SAMA ORANG-2 YANG SEGERA MENGANGGUK DAN BERJALAN MENGIKUTI TARSIH.

ORANG-1, JONGKOK DIAM-DIAM DI SAMPING KASIJAH)

KASIJAH: Kamu sendiri tidak?

ORANG-1:

Diam ah, jangan ganggu aku.

KASIJAH: Siapa kamu sih, pakai kerudung segala kayak dukun beranak.

ORANG-1:

Tidak mau diam, kugebuk kamu.

(KASIJAH MAU MARAH TAK JADI. DIA MEMASANG ROKOK DAN PERLAHAN MENGHAMPIRI)

(KETIKA ORANG-1 LENGAH DENGAN SEBAT DIA MENCABUT KERUDUNG ORANG-1. DUA-DUANYA

TERKEJUT)

KASIJAH: Jadi kamu, kamu sekretarisnya Pak Camat. Sekretarisnya Pak Camat.

Jadi yang masuk ke sana itu....

ORANG-1: Kugebuk kamu, kugebuk.

KASIJAH:

(LARI-LARI DIKEJAR ORANG-1) Dia ini sekretarisnya Pak Camat. Dan yang masuk ke sana itu tentu

Pak Camat... Ooii, Pak Camat nyabo.... (hlm. 81-82)

Camat juga digambarkan sebagai atasan Kumis yang memanfaatkan jabatan

untuk mengendalikan orang lain. Dia merasa bahwa Kumis harus benar-benar tunduk

64

kepadanya dan mengikuti semua yang diperintahkan tanpa kecuali. Semua yang

dilakukan oleh Kumis harus sesuai dengan perintah Camat.

(51) CAMAT: Ini perintah yang wajib kamu jalanken! Pada tanggal 1 bulan Maret, jadi masih tiga bulan lagi, daerah ini akan diperiksa Pak Gubernur. Pak Gubernur akan datang dikawal Pak Bupati dan Pak Walikota.

Bersama rombongan Gubernur, hadir juga dua menteri senior. Saya diperintahken untuk membersihken seluruh daerah ini. Dan sekarang, saya perintahken kamu untuk membersihken seluruh daerah ini. Tanpa

pandang bulu. Beresken gubuk-gubuk liar, sarang pelacuran, tempat judi dan sebangsanya. Bikin rata tanah. Caranya bagaimana, terserah kamu. Yang membangkang, boleh kamu tangkap! Kalau kerja bagus, kamu bisa naik pangkat, naik gaji. Itu saja yang ingin saya kataken.

KUMIS:

Siap, Pak. Tapi ngomong-ngomong apa daerah tempat Tarsih praktek juga di....

CAMAT:

Saya bilang apa tadi? Semuanya! Dan jangan kamu sebut lagi nama itu. Dia sudah bukan Tarsih lagi. Dia sudah insaf lantaran saya. Luar

biasa. (hlm. 94-95)

Pada proses penggusuran kawasan kumuh, Camat terlihat sebagai orang yang

tidak mau bertanggung jawab atas nasib para penghuni kawasan kumuh yang menjadi

korban penggusuran.

(52) (CAMAT LARI-LARI DIKEJAR ABUNG)

CAMAT: Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya

jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa. Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.

ABUNG:

Pak Gubernur? Orang yang ada di atas itu? Orang yang kerjanya cuma makan saja?

65

CAMAT: Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak

melihat ada orang di atas. (hlm. 137)

Camat berpura-pura tidak tahu tentang rencana penggusuran, padahal perintah

penggusuran yang dikerjakan oleh Kumis datangnya langsung dari Camat. Camat

melemparkan masalah penggusuran tersebut kepada Gubernur untuk menghindari

tanggung jawab terhadap kaum urban miskin.

Melalui penjelasan di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Camat yaitu

Camat adalah tokoh yang suka menjanjikan sesuatu kepada para penghuni kawasan

kumuh (48). Camat bahkan berpura-pura simpati terhadap keadaan para PSK di

kawasan kumuh dan sebagai orang yang sudah beristri tidak malu untuk memakai

jasa pelacur (49), (50). Di samping itu, Camat juga digambarkan sering

memanfaatkan jabatan untuk mengendalikan orang lain (51). Sewaktu proses

penggusuran kawasan kumuh, Camat tidak mau bertanggung jawab atas nasib kaum

urban miskin yang menjadi korban penggusuran (52).

2.1.2 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian

Kedua)

Tokoh protagonis dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) yang akan

dianalisis adalah Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh

antagonis yaitu Pejabat. Selanjutnya, pengenalan tokoh Julini, Roima, Tarsih, Tibal,

Tuminah, dan Pejabat akan dibahas dalam penokohan tiap tokoh.

66

2.1.2.1 Julini

Setelah penggusuran kawasan kumuh tempat tinggalnya yang dulu, Julini dan

Roima sempat tinggal sebentar di kampung. Namun, lima tahun setelah peristiwa

penggusuran Julini dan Roima kembali lagi ke kawasan kumuh yang pernah menjadi

tempat tinggalnya dulu. Kawasan ini tidak begitu banyak mengalami perubahan,

hanya saja di sebelah kawasan kumuh tersebut berdiri sebuah lapangan golf yang

cukup luas milik pemerintah. Dalam kawasan ini juga berdiri gubuk-gubuk milik

kaum urban miskin. Ketika sudah berada di kawasan kumuh ini Julini belum

mempunyai tempat tinggal yang tetap. Dia dan Roima hanya berjalan-jalan di sekitar

kawasan tersebut. Seorang penghuni kawasan kumuh menawari Julini untuk memakai

sepetak tanah kosong yang lumayan sempit sebagai tempat tinggal. Akhirnya Julini

dan Roima memakai tanah kosong tersebut sebagai “rumah” mereka.

(53) ASNAH: Terus, mau tinggal di mana?

JULINI:

Tahu deh.

ASNAH: Kalau mau, itu masih ada tanah kosong. Biar cuma dua meter persegi,

lumayan. Itu bagian saya. Mau tinggal, tinggal saja. (hlm. 189-190)

Setelah tinggal di “rumah” barunya, Julini bekerja lagi sebagai PSK. Dari

pekerjaan ini Julini memperoleh penghasilan yang lebih baik. Julini memiliki lebih

banyak pelanggan dibanding dulu. Selain itu, Julini juga didukung oleh penghasilan

67

dari Roima sebagai bandit sehingga Julini bisa berdandan lebih baik dan membeli

barang-barang bagus.

(54) PSK-1: Aihh, Julini modern sekarang, pakai wig merah. Jadi kayak perek.

Punk rock, ya? Ikut-ikutan mode?

JULINI: Biar perek, biar pangrok-pangcelana, yang penting ini usaha. Servis, servis. Langganan maunya yang aneh-aneh. Kita bikin yang aneh-aneh. Kalau langganan minta yang tradisionil, ya nanti Julini pake

kebaya. Biar jalannya jatuh-jatuh, demi langganan, Julini nurut.

PSK-4: Makin laris, ya?

JULINI:

Makin. Tamu-tamu di sini masih kalah jauh, dibanding tamu-tamu yang datang mengantre ikke.

(hlm. 206-207)

(55) PSK-4: Usaha makin maju, Jul?

JULINI:

Yaaah, lumayan. Bisa beli BH baru, celana bikinan luar negeri. Langganan kan seneng kalau kita bersih, apalagi lihat celana dalam

warna-warni, makin hot dia. Sekarang modelnya celana dalam bordiran merah jambu. Ya kan, ya kan?

(hlm. 209)

(56) ROIMA: Jangan ngaco, ah, sontoloyonya keluar lagi. Kamu kan tahu aku kerja. Untuk kamu. Nasib kita sekarang lebih baik dibanding dulu. Rokmu bagus-bagus, tidak bau seperti dulu. Kamu bisa pakai kalung, gelang,

cincin, biarpun cuma imitasi. Semua itu karena aku kerja. (hlm. 227)

Julini adalah seorang banci sekaligus pacar Roima yang sangat mencintai

Roima. Di sisi lain, Julini juga mulai kelihatan mudah cemburu jika Roima dekat

68

dengan wanita lain. Julini sempat memergoki Roima sedang berdekatan dengan

Tuminah. Hal ini membuat Julini sangat marah kepada Roima. Julini merasa cintanya

dikhianati oleh Roima.

(57) TUMINAH: (MEMELUK ROIMA)

Roima, kita harus bikin apa? Duh, Gusti Pangeran, kita harus bikin apa? Aku takut....

(TUMINAH MENANGIS DALAM PELUKAN ROIMA. SEMULA

ROIMA RAGU-RAGU, TAPI KEMUDIAN DIA MEMBALAS MEMELUK TUMINAH DAN MENGELUS-ELUS RAMBUT

PEREMPUAN ITU DENGAN RASA SAYANG)

(JULINI DI PERSEMBUNYIAN LEBIH CEMBURU. TAPI DIA MASIH COBA MENAHAN DIRI)

ROIMA:

Jangan takut, aku akan selalu ada di dekat kamu. Melindungi kamu selamanya.

JULINI:

(TIDAK TAHAN. MELEDAK. KELUAR DARI PERSEMBUNYIAN) Melindungi kamu, melindungi kamu, aduh-aduh-aduh, melindungi

kamu. Lalu Julini bagaimana? Habis sudah semuanya, dunia kiamat, bumi ambles, langit runtuh, bintang-bintang pada jatuh. Aduh-aduh-

aduh. Julini patah hati, dibuang, ditendang, didepak, didorong jatuh ke jurang.

(ROIMA DAN TUMINAH TERKESIMA)

Ini yang dibilang Abang kerja keras: ngelonin cewong. Ini yang dibilang Abang sibuk, padahal pacar-pacaran. Kiamat, kiamat, kiamat. Laki-laki mana lagi yang mesti Julini percayai. Semuanya kambing,

badak, kecoa, kodok, kuda nil... aduh-aduh-aduh, kiamat, kiamat, kiamat....

(hlm. 235-236)

Pada suatu malam di daerah pelacuran para waria terjadi insiden antara para

waria dengan satpam dan petugas razia. Petugas razia memperingatkan agar para

69

waria tidak beroperasi di daerah tersebut. Namun, para waria tidak menggubris

peringatan petugas dan melakukan pemberontakan brutal. Akibatnya terjadi insiden

penembakan yang dilakukan oleh satpam atas perintah petugas razia. Salah satu

peluru mengenai dada Julini yang kebetulan tidak ikut memberontak dan tembakan

ini menyebabkan Julini mati.

(58) JULINI: Tidak peduli. Pokoknya Julini bahagia betul. Goodbye Abang...

goodbye teman-teman seperjuangan. Julini pergi dulu. Di akherat nanti, Julini akan mengadukan nasib kita, mengadukan penderitaan

kita. Penonton, Julini mati dulu ya? Wonderful.

(MATI) (hlm. 249)

Karena Julini dikenal baik di kalangan waria, Julini dianggap sebagai

pahlawan setelah kematiannya. Para waria menginginkan kasus kematian Julini

dilaporkan kepada instansi negara dan pembela HAM. Mereka juga menginginkan

kasus Julini diusut hingga tuntas dan pelaku penembakannya diberi hukuman yang

setimpal. Para waria juga menginginkan hari kematian Julini dijadikan hari nasional,

yaitu “Hari Waria Nasional” serta mengabadikan Julini dalam bentuk patung

peringatan.

(59) WARIA-2: Ya, kenapa harus dia? Julini tidak ikut-ikutan mengeroyok. Dia diam

saja. Kok, pelurunya malah nyasar ke dadanya.

WARIA-4: Pelurunya karet, apa tajem?

WARIA-5:

Peluru karet apa tajem, kalau bikin mati ya tetep tajem namanya.

70

WARIA-3: Sudah, sudah jangan dibahas lagi. Ini tidak bisa kita diamkan. Kita

harus lapor kepada Gubernur. Kalau perlu ke DPR, ke Menteri Peranan Wanita, ke LBH, Ke Komnas HAM. Ingat tragedi Kali

Malang? Sekarang terjadi lagi. Kita tidak ingin hal ini terjadi berulang kali. Kita warga negara juga, punya KTP dan membayar pajak. Kita

harus lapor. Julini orang baik, dia sahabat kita semua, suka menolong. Dia orang baik....

(hlm. 250)

(60) WARIA-1: Julini pahlawan kita.

WARIA-2:

Kebanggaan kita.

WARIA-4: Idola kita. Dia ‘The Best Waria Tahun 1985’.

WARIA-3:

Kesadisan macam ini harus distop. Mentang-mentang kita tidak punya beking, kita diburu-buru, digencet, dibunuhi.

ROIMA:

(BERTERIAK) Kita berangkat ke rumah pak pejabat.

(SEMUA MENYATAKAN SETUJU)

WARIA-3:

Tunggu. Kita harus catat hari ini sebagai peristiwa bersejarah bagi kaum waria, baik yang profesional maupun yang amatiran. Kita

jadikan hari ini ‘Hari Waria Nasional’. Kita bikinkan patung Julini di sini, supaya bisa jadi peringatan bagi generasi waria selanjutnya: bahwa di sini pernah terjadi tragedi berdarah, Julini jadi korban.

(hlm. 251)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Julini adalah lima

tahun setelah peristiwa penggusuran, Julini kembali lagi ke kawasan kumuh yang

menjadi tempat tinggalnya dulu. Dia menempati sepetak tanah kosong sebagai

71

“rumahnya” (53). Ketika telah tinggal di “rumah” barunya, Julini bekerja lagi sebagai

PSK. Dengan penghasilan dari bekerja sebagai PSK dan ditambah dengan

penghasilan Roima, Julini dapat mempunyai kehidupan yang lebih baik (54), (55),

(56). Julini ternyata juga mulai terlihat mudah cemburu ketika Roima dekat dengan

wanita lain (57). Pada suatu razia di daerah pelacuran, Julini mati terkena tembakan

peluru nyasar (58). Setelah kematiannya, Julini dianggap sebagai pahlawan kaum

waria (59), (60).

2.1.2.2 Roima

Roima, pacar Julini, merupakan seorang pengangguran yang mudah marah.

Selain itu, Roima juga mudah cemburu ketika mengingat Julini pernah punya

kedekatan dengan lelaki lain.

(61) ROIMA: Dan kamu bilang aku sudah bekerja di pabrik kabel. Kabel apa?

Bilang saja mau minta tolong dicarikan pekerjaan, susah amat. Belit-belit.

JULINI:

Jangan begitu dong. Julini kenal Abang sudah lama. Paham watak Abang, suka gengsi. Kalau bilang langsung-langsung, Abang pasti marah. Kita butuh pertolongan, tapi jangan sampai minta. Kalau

mereka mau tolong, ya, tolong. (hlm. 182)

(62) JULINI: Ya, orang tidak tahu, ditanya. Saya sudah nggak inget lagi.

ROIMA:

Terang, yang diinget cuma Tibal.

JULINI:

72

Idiiih, cemburu. Tibal sudah lewat. Yang ada sekarang cuma Abang. (hlm. 152-153)

Roima mulai mencari pekerjaan. Dalam mencari pekerjaan, Roima meminta

bantuan kepada Tuminah sudah menjadi PSK profesional. Tuminah mengantarkan

Roima menghadap Kumis yang saat itu telah menjadi pimpinan kelompok bandit.

Dengan bujukan Tuminah, akhirnya Kumis menerima Roima sebagai anak buahnya.

(63) KUMIS: Roima, kamu datang kepada alamat yang tepat. Banyak orang

melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas.

Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya, tidak gampang jadi bandit.

TUMINAH:

Jadi diterima?

BLEKI: Diterima dong....

(LARI MENGHINDAR)

Nggak, Bang, maaf kelepasan lagi.

TUMINAH: Diterima, Mas Kumis?

KUMIS: (ALOT)

Ya. (hlm. 202)

Roima juga mulai memiliki kedekatan dengan Tuminah. Hal ini berawal dari

Tuminah yang ketakutan karena Tibal akan keluar dari penjara. Tibal saat itu belum

mengetahui bahwa Tuminah telah menjadi PSK. Tuminah takut Tibal marah jika

mengetahui keadaannya sekarang. Ketika mendengar berita Tibal telah keluar dari

73

penjara, Roima bertekat akan melindungi Tuminah agar tidak terkena dampak

kemarahan Tibal.

(64) TUMINAH: Saya takut. Dia pasti marah. Dia kira aku tetap perempuan baik-baik.

Dia tidak akan menduga aku....

ROIMA: Tibal harus mengerti. Dia tidak boleh seenaknya saja. Kamu hanya

korban.

TUMINAH: Tapi Tibal berangasan. Wataknya keras. Kalau dia tahu aku begini,

aku pasti dia bunuh. Aku takut.

ROIMA: Tibal salah. Mengapa dulu, jadi gelap dan membunuh petugas? Dia

lupa ada kamu.

TUMINAH: Sekarang dia sudah bebas. Dia pasti marah sama aku dan makin

dendam sama Kumis. Aku harus bagaimana?

ROIMA: Biar aku yang bicara. Kalau ada apa-apa, aku akan melindungi kamu.

(hlm. 217-218)

Kedekatan Roima dengan Tuminah sempat membuat Julini cemburu. Hal ini

mengakibatkan Roima harus berpisah dari Julini. Bahkan di hari yang sama, Roima

harus melihat Julini mati ditembak petugas razia. Insiden penembakan Julini

menyebabkan Roima dan para waria menuntut Pejabat yang dianggap sebagai

penanggung jawab kasus penembakan Julini. Roima meminta agar Pejabat

menghukum pelaku penembakan Julini.

(65) ROIMA: Dia cuma ingin hidup. Dia tak pernah mengganggu. Tidak pernah

memaksa. Apa yang dia lakukan cuma kerja. Supaya tidak kelaparan.

74

Dia mungkkin sampah. Keahliannya cuma memijat. Nasib melemparkan dia ke got, dan sampai tua dia akan tetap ada di got,

berdesakan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang kecil. Masalah kami cuma masalah perut. Tapi

kenapa dia yang ahrus ditembak mati? Kenapa dia?

PEJABAT: Jadi maunya apa. Omong langsung, jangan muter-muter.

ROIMA:

Kami menuntut tindakan hukum yang setimpal bagi penembaknya. (hlm. 253-254)

Roima mulai menampakkan sikap sebagai orang yang peduli pada kaum

urban miskin melalui tekat mencari kebenaran atas musibah kebakaran yang

menimpa kompleks para PSK. Roima berniat mengusut pelaku penyebab musibah

kebakaran ini dan mencurigai pihak Pejabat. Ketika telah tiba di rumah Pejabat,

orang-orang urban miskin menjadi lebih marah kepada Pejabat, sementara Roima

mendadak berubah menjadi orang yang tidak gegabah dan meminta kaum urban

miskin untuk bersabar menghadapi Pejabat dan menyikapi dengan tenang peristiwa

kebakaran ini.

(66) (BEBERAPA JAM SESUDAH PERISTIWA KEBAKARAN ITU. SELURUH KORBAN BERKUMPUL DI BAWAH PATUNG

JULINI. MEREKA LEMAH DAN TAK BERDAYA)

ASNAH: Habis, habis semuanya.

ORANG-1:

Cabo gila itu juga habis.

TUMINAH: Dan Mbak Tarsih....

75

(ROIMA MUNCUL. MELIHAT SEMUA KEJADIAN DENGAN PEDIH)

TUMINAH:

Roima....

ROIMA: Ya, aku dengar semuanya, aku lihat semuanya. Ini bukan kejadian

biasa. Ini pasti ada apa-apanya.

TIBAL: (MUNCUL BERLUMURAN DARAH, DAN PISAU DI

GENGGAMANNYA) Aku sudah bunuh Kumis.

TUMINAH: (MENJERIT)

Kaang....

ROIMA: Kita harus tanyakan ini semua. Kita menghadap.

Kita harus bertanya.

(SEMUA SETUJU. DAN SEREMPAK MEREKA BERGERAK KE KANTOR PAK PEJABAT)

(hlm. 278-279)

(67) ROIMA: Tenangkan darah yang menggelegak. Kekerasan bukan penyelesaian.

(ORANG-ORANG BERHENTI)

Pakai otak kita, Saudara-saudara. Jangan melulu pakai tinju dan

tendangan. Saatnya belum tiba. Ini masih belum zaman kita. Zaman kita mungkin besok, atau lusa, atau satu tahun lagi, satu abad lagi.

Tapi pasti tiba.

ORANG-1: Ngomong apa sih kamu? Memangnya kamu pemimpin kami? Tangan sudah gatal nih. Sudah kepalang basah. Kita tidak punya apa-apa lagi,

mati juga kagak rugi. Ayo, tancap saja! Jangan gubris dia. Ayo! Tancap!

76

(ORANG-ORANG KEMBALI BERGERAK)

(TIBAL MAJU KE DEPAN, MENGHALANGI ORANG-ORANG)

TIBAL: Roima betul. Kalau mau menang jangan dengan pisau di tangan tapi

dengan akal di kepala. Aku baru saja bunuh orang. Ini, pisauku masih berdarah. Siapa tidak setuju dengan Roima, maju, biar kuhabisi

sekaligus. Maju, siapa berani? (hlm. 282)

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Roima yaitu

Roima, seorang pengangguran, bersifat mudah cemburu kepada Julini (61), (62).

Roima yang semula pengangguran akhirnya bekerja dalam kelompok bandit

pimpinan Kumis (63). Di samping itu, Roima mulai mempunyai kedekatan dengan

Tuminah (64) dan hubungan Roima-Tuminah menyebabkan Julini cemburu.

Setelah insiden penembakan Julini, Roima berubah menjadi orang yang

sangat peduli kepada nasib kaum urban miskin (65), (66) dan tidak gegabah dalam

mengambil keputusan (67).

2.1.2.3 Tarsih

Tarsih telah tinggal di kompleks PSK yang baru. Di sana dia dianggap sebagai

pimpinan kompleks PSK dan menentukan aturan-aturan bagi para PSK. Tarsih

menginginkan semua PSK menaikkan tarif pelanggan. Hal ini disebabkan oleh

kenaikan pajak yang telah ditetapkan pemerintah kepada kompleks PSK. Tarsih juga

telah berubah menjadi orang yang keras kepala. Tarsih sempat berdebat dengan

petugas karena tidak ingin lokasi kompleks PSK dipindahkan ke tempat lain. Selain

77

itu, Tarsih mulai menjadi orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Pada

saat kedatangan Julini dan Roima ke kompleks PSK, Tarsih mencurigai mereka dan

menyangka kedatangan mereka dikarenakan maksud tertentu. Tarsih tidak mudah

percaya kepada orang lain dengan alasan merasa sakit hati karena lima tahun yang

lalu dia dihina dan diusir oleh istri Camat saat Tarsih menjadi istri muda Camat.

Tarsih beranggapan bahwa sejak saat itu setiap orang perlu diwaspadai; termasuk

teman-teman lamanya, yaitu Julini dan Roima.

(68) TARSIH: Ya, kan wajar. Setiap usaha di mana saja pasti ada pajaknya. Kita

malah harus bangga lantaran hasil keringat kita ada yang kita sumbangkan demi negara. Di dalam surat edaran ini, setiap bulannya kita bakal dipungut pajak pendapatan sebesar 17 %, ppn 10%, pajak

penghasilan 25 % dan pajak kenikmatan 20 % dihitung dari tarif umum.

Mereka akan mengontrol dengan ketat sehingga tidak mungkin ada penipuan atau pembukuan ganda.

Lagipula kalau terbukti ada penipuan hukuman penjara menanti. Jadi saya punya akal. Terpaksa kalian harus menaikkan tarif sebesar jumlah

pajak yang harus kita bayar, berapa tadi? 17 tambah 10 tambah 25 tambah 20, jadi 72 %. Dan pajak itu kita bebankan kepada konsumen.

(hlm. 196)

(69) TARSIH: Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari

mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.

SATPAM-1:

Pendeknya, Bu, tugas kami cuma mengingatkan. Mumpung waktunya masih lama. Sebaiknya Ibu siap-siap dari sekarang.

(MENANGIS)

78

Aduh, bagaimana sih, diingetin baik-baik malah marah. Saya kan cuma tugas. Kalau mau marah, sana marah sama yang di atas....

TARSIH:

Saya tidak akan menyerah. Saya akan tetap bertahan di sini. Ini hak milik saya, siapa saja tidak boleh mengganggu gugat. Pergi, pergi,

pergi.... (hlm.157)

(70) TARSIH: Jadi Julini datang mau apa?

TUMINAH:

Bagaimana kalau nanti saja itu kita tanyakan, Mbak Tarsih? Kasihan, masih capek. Sudah makan, Jul? Roima?

TARSIH:

Tidak, Tum. Kita sekarang harus tahu jelas tujuan orang biarpun dia itu teman kita sendiri.

Ingat pengalaman kita dulu. Aku tidak mau lagi diremehkan orang. Ingat juga masa lalu kamu. Kamu serahkan kehormatan jadi nyamikan

orang konyol. Kamu lakukan itu untuk kepentingan kakakmu. Tapi apa hasilnya? Kamu dihancurkan juga dan kakakmu masuk

penjara. Kita harus keras, Tum, harus. Itu kalau kita sayang kepada diri sendiri. Menolong orang boleh, tapi kita tetap harus meminta

imbalan. Begitulah tata cara hidup di kota besar. Kalau kita lemah, habis kita.

TUMINAH:

Lho, ini apa-apaan? Kita belum tahu Julini datang mau apa, kok sudah curiga. Mentang-mentang dia datang dari desa.

TARSIH:

Orang-orang sudah tahu kita sukses. Kalau mereka datang sama kita, apalagi yang diharapkan kalau bukan pertolongan.

(hlm. 179-180)

Tarsih termasuk orang yang keras kepala. Dia tidak ingin hasil jerih payahnya

selama ini hilang. Hingga pada suatu hari ketika terjadi peristiwa kebakaran di

kompleks PSK, Tarsih lebih memilih menyelamatkan sertifikat tanahnya dibanding

79

menyelamatkan nyawanya sendiri. Tarsih mengira dengan menyelamatkan sertifikat

tanahnya tersebut, dia bisa mendapat jaminan tanah sebagai tempat tinggal. Akhirnya

Tarsih memutuskan untuk mengambil sertifikat tanahnya di dalam rumah ketika

kebakaran sedang terjadi. Hal ini mengakibatkan Tarsih ikut terbakar dan mati demi

menyelamatkan sertifikat tanah.

(71) TARSIH: Barang-barang berhargaku. Sertifikat tanah. Kalau aku tidak punya apa-apa lagi, mereka bisa mengusir seenaknya. Lepaskan. Sertifikat

tanahku....

TUMINAH: Mbak Tarsiih....

(TARSIH TERKURUNG DI DALAM RUMAHNYA SENDIRI.

KEMUDIAN API MELAHAPNYA TANPA AMPUN) (hlm. 276)

Dari analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Tarsih yaitu Tarsih

merupakan pimpinan kompleks PSK yang bersifat keras kepala dan tidak mudah

percaya kepada orang lain (68), (69), (70), (71).

2.1.2.4 Tibal

Tibal, kakak Tuminah, adalah bekas napi yang pernah dipenjara karena

membunuh orang ketika penggusuran kawasan kumuh. Setelah lima tahun dipenjara,

Tibal berubah menjadi orang yang egois dan nekat. Tibal menganggap tindakannya

membunuh orang sebagai pembelaan terhadap dirinya dan Tuminah, serta bisa

menyelamatkan masa depannya. Namun, ternyata pikiran Tibal keliru. Justru setelah

80

Tibal dipenjara, Tuminah harus berjuang sendirian untuk mencari nafkah dengan

jalan menjadi PSK.

(72) TIBAL: Aku membunuh untuk Tuminah. Apa saja kukerjakan. Semuanya

untuk Tuminah.

ROIMA: Tidak. Kamu cuma memikirkan diri sendiri.

TIBAL:

Diri sendiri bagaimana?

ROIMA: Kamu pikir Tuminah ingin terus-terusan jadi pelacur? Dia juga punya

cita-cita. Sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri. Kamu datang lagi untuk apa? Untuk mengobrak-abrik nasibnya lagi? Yang lewat biarlah

lewat, yang ada di depan kita sekarang, itu yang paling penting. Bisa saja kamu bunuh Tuminah, lalu kamu masuk penjara lagi. Terus,

untuk apa? Kita orang kecil, Tibal. Kita selalu kalah. (hlm. 232-233)

(73) TIBAL: Percuma teriak-teriak minta tolong. Sudah lama aku mengintip gerak-

gerikmu. Mampus kamu....

KUMIS: Aku sudah mampus. Sudah mampus....

TIBAL:

Aku ingin lihat bagaimana kamu mampus berkali-kali. Anjing.

KUMIS: Tibal, tolong aku. Tolong. Bawa aku ke Puskesmas. Aku sudah tidak

kuat lagi. Darah, darah, aku tidak kuat melihat darah.

TIBAL: Sebentar lagi kamu mampus dan orang boleh menemukan mayatmu. Paling-paling mereka akan bilang kamu kena korban penembakan

misterius.

(KUMIS MATI)

81

(hlm. 272)

Setelah bebas dari penjara, Tibal bertekat melakukan balas dendam dengan

cara membunuh Kumis karena Tibal menganggap Kumis telah merusak masa

depannya. Akhirnya Tibal menemukan Kumis dan membunuhnya.

Kesimpulan penokohan tokoh Tibal dari analisis di atas adalah Tibal, bekas

napi, merupakan orang yang egois, nekat, dan pendendam (72), (73).

2.1.2.5 Tuminah

Tuminah, adik Tibal, telah berubah menjadi PSK profesional di kompleks

PSK pimpinan Tarsih. Pada awal Tuminah menjadi PSK profesional, dia sempat

ketakutan karena jika Tibal yang akan keluar dari penjara tahu adiknya telah menjadi

PSK, maka Tibal akan sangat marah kepada Tuminah. Dulu Tibal telah berjuang agar

Tuminah mendapatkan hidup yang layak. Namun, pada saat insiden penggusuran

kawasan kumuh Tibal telanjur membunuh orang dan dipenjara. Sejak saat itu

Tuminah menjadi PSK agar dapat memperoleh penghasilan untuk menyambung

hidup.

(74) TUMINAH: Saya takut. Dia pasti marah. Dia kira aku tetap perempuan baik-baik.

Dia tidak akan menduga aku....

ROIMA: Tibal harus mengerti. Dia tidak boleh seenaknya saja. Kamu hanya

korban.

TUMINAH: Tapi Tibal berangasan. Wataknya keras. Kalau dia tahu aku begini,

aku pasti dia bunuh. Aku takut.

82

(hlm. 217)

Tuminah merupakan PSK langganan Pejabat. Hal ini menunjukkan bahwa

Tuminah merupakan PSK berkelas tinggi di dalam kompleks PSK. Dia tidak

memiliki pelanggan lain kecuali Pejabat.

(75) TUMINAH: (KELUAR BERSAMA TAMUNYA)

Jangan takut, Pak.

PEJABAT: (KETAKUTAN. KELUAR CUMA BERCELANA PENDEK DAN

TANPA BAJU. SAMBIL BERPAKAIAN, BERBICARA) Mas....

TUMINAH:

Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.

PEJABAT: Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu

Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran. Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?

(MERAYU)

Tuminah, besok aku datang lagi ya? Di rumah, aku dapat kiriman kondom dari Jepang. Bisa kita coba, enak mana dibanding dengan

kondom bikinan Tangerang. (hlm. 158-159)

Tuminah termasuk orang yang peduli pada teman. Pada awal kedatangan

Julini dan Roima ke kompleks PSK, Tuminah menawarkan bantuan kepada mereka.

Selain itu, Tuminah juga berusaha mencarikan Roima pekerjaan di perkumpulan

bandit pimpinan Kumis.

(76) TARSIH: Jadi Julini datang mau apa?

TUMINAH:

83

Bagaimana kalau nanti saja itu kita tanyakan, Mbak Tarsih? Kasihan, masih capek. Sudah makan, Jul? Roima?

(hlm. 179)

(77) KUMIS: Roima, kamu datang kepada alamat yang tepat. Banyak orang

melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas.

Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya, tidak gampang jadi bandit.

TUMINAH:

Jadi diterima?

BLEKI: Diterima dong....

(LARI MENGHINDAR)

Nggak, Bang, maaf kelepasan lagi.

TUMINAH: Diterima, Mas Kumis?

KUMIS: (ALOT)

Ya. (hlm. 202)

Kesimpulan penokohan tokoh Tuminah dari penjelasan di atas adalah

Tuminah memiliki ketakutan terhadap Tibal karena Tuminah telah menjadi PSK

tanpa sepengetahuan Tibal (74). Sebagai PSK profesional Tuminah merupakan

langganan Pejabat (75). Selain itu, Tuminah termasuk orang yang peduli teman dan

sempat mencarikan pekerjaan untuk Roima (76), (77).

84

2.1.2.6 Pejabat

Pejabat digambarkan sebagai tokoh yang selalu ingin mencari aman. Pejabat

adalah tokoh yang memiliki PSK langganan, yaitu Tuminah. Namun, Pejabat tidak

berani mengambil resiko hubungannya dengan PSK diketahui oleh masyarakat.

Pejabat tidak siap mendapat malu di depan publik. Selain itu, salah satu cara Pejabat

menjaga nama baik diri sendiri dari saingan politiknya adalah dengan berusaha

mencari simpatik rakyat. Pejabat tidak ingin namanya menjadi buruk di depan

saingan politiknya. Pejabat akhirnya memanfaatkan situasi kasus kematian Julini.

Pejabat memberikan apa yang diminta oleh kaum urban miskin sebagai ganti rugi

dalam insiden penembakan Julini sebagai jalan meminta simpatik rakyat.

(78) TUMINAH: Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.

PEJABAT:

Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran.

Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan? (hlm. 158-159)

(79) PEJABAT: Apa waria itu betul-betul mati?

SATPAM-2:

Betul mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat.

PEJABAT: Adih, jadi bagaimana ini? Saya pasti yang lebih dulu kena getahnya.

(MEMBACA KORAN)

“Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu didukung oleh...”. Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.

Cepat amat dia merespon. Brengsek.

85

PETUGAS: Boleh saya usul, Pak?

PEJABAT:

Usul!

PETUGAS: Terima kasih, Pak. Begini. Agar kita selalu nampak simpatik di depan

rakyat, sebaiknya apa saja tuntutan mereka kita penuhi. Minta dibikinkan monumen, kita bikin. Minta dibikinkan patung, kita bikin. Apa saja. Keuntungannya banyak, Pak. Kemarahan mereka bisa reda, dan kita malah bakal disanjung sebagai pejabat yang tanggap kepada hati nurani rakyat. Kalau tidak, bisa-kisa kita dihadiahi ayam betina

sama mereka. Kan malu, Pak? Jatuh wibawa kita. (hlm. 258-259)

Ketika ada kunjungan tamu dari luar negeri, Pejabat tidak sungkan

mengatasnamakan kesejahteraan rakyat untuk mendapat keuntungan pribadi. Tamu

dari luar negeri datang dengan tujuan memberikan bantuan dana kredit kepada rakyat

kecil. Pejabat memanfaatkan situasi ini dengan melakukan korupsi secara terang-

terangan dan meminta bagian dana tersebut dari tamu luar negeri. Bahkan

digambarkan juga bahwa Pejabat bekerjasama dengan tamu luar negeri dalam

melakukan korupsi.

(80) PEJABAT: Yang penting, dana kredit itu akan segera keluar dengan segera, ‘kan?

Kami sangat membutuhkan, lho.

TAMU: Pasti, pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen.

Bagaimana?

PEJABAT: Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak

penting. Tapi, kalau bisa, yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor....

86

(MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)

TAMU: Baik-baik.

(PARA HADIRIN BERTEPUK TANGAN)

Untuk sekedar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-

daerah yang Tuan anggap sudah sukses dalam pembangunan. (hlm. 186)

Kesimpulan penokohan tokoh Pejabat dari analisis di atas adalah Pejabat

digambarkan sebagai orang yang selalu ingin mencari aman untuk diri sendiri (78),

(79). Pejabat juga tidak sungkan melakukan korupsi dengan mengatasnamakan

kesejahteraan rakyat (80).

2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian

Ketiga)

Tokoh protagonis dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) yang akan

dianalisis yaitu Roima, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis yaitu Pejabat.

Selanjutnya, pengenalan tokoh Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat akan dibahas

dalam penokohan tiap tokoh.

2.1.3.1 Roima

Setelah kematian Kumis, Roima diangkat menjadi ketua kelompok bandit

yang semula dipimpin oleh Kumis. Bersama dengan Tibal, Roima menjalankan

rencana-rencana kelompok bandit. Roima merupakan pemimpin yang sangat berhati-

87

hati dalam merencanakan sesuatu dan berusaha menjaga kerahasiaan kelompok.

Roima juga masih memiliki impian bahwa suatu saat dia dan kelompok bandit serta

anggota kaum urban miskin lainnya punya kehidupan yang lebih baik dibanding

dengan kehidupan mereka sekarang. Namun, sebenarnya di dalam memimpin

kelompok bandit, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal yang juga

pemimpin kelompok bandit karena keduanya sama-sama keras kepala.

(81) ROIMA: Kami sedang merencanakan sesuatu yang besar. Kalau berhasil

keuntungannya bakal berlipat. Kalian sebagai para kepala cabang harus simpan rahasia ini rapat-rapat. Bocor sedikit saja, kita semua

mampus. (hlm. 312)

(82) ROIMA: Aku belum selesai omong. Kita ini orang rendah, karena kita bandit-bandit kasar yang hanya mengandalkan tinju dan belati. Kehormatan? Apa itu tidak penting untuk orang-orang macam kita yang selama ini

‘ngumpet di dalam comberan?

TIBAL: Sudah, sudah.

ROIMA:

Apa kamu tidak ingin suatu saat nanti, kita bisa bergaul dengan kalangan jas dan dasi itu, membicarakan golf, lukisan dan turunnya

harga minyak di pasaran dunia? Aku ingin. Aku ingin suatu saat nanti, kita satu meja makan dengan kalangan jas

dan dasi itu, membicarakan macam-macam soal, tanpa malu-malu. Kita sedang bergerak ke arah itu. Masa kita tidak mau belajar? Kita

orang bodoh, tapi kita punya kesempatan untuk jadi pintar. Jangan sia-siakan. Kita punya uang sebagai modal. Kita tidak ingin terus-menerus

jadi kuda tunggangan. Kita harus jadi majikan. (hlm. 336)

(83) ROIMA: Kita memang tidak sepaham.

88

TIBAL: Betul, kita memang tidak sepaham.

(PERGI DENGAN MARAH, DIIKUTI OLEH BAJENET DAN BLEKI)

(hlm. 396)

Roima sebenarnya masih mencintai Julini. Setelah ditinggal mati oleh Julini,

Roima masih selalu teringat kepadanya. Roima memang pernah dekat Tuminah, tapi

hal itu tidak membuat Roima melupakan Julini. Sebenarnya yang dicintai oleh Roima

bukan Tuminah, tapi Roima hanya mencintai Julini. Bahkan Roima seringkali merasa

bersalah atas kematian Julini.

(84) ROIMA: Aku masih tetap ingat kamu, aku tidak tahu kalau itu yang dinamakan cinta. Kamu tidak ada bandingannya. Biar kamu jelek seperti celepuk.

JULINI:

Aih, ini yang Julini suka. Abang selalu terus terang. Julini memang jelek, tapi servis, servis kan memuaskan?

ROIMA:

Jul, kamu mau memaafkan? Aku selalu merasa bersalah.

JULINI: Abang tak pernah salah. Tidak ada yang perlu Julini maafkan. Abang

bersih di mata Julini.

ROIMA: (MENANGIS)

Peristiwa itu dulu. Aku penyebabnya. Kalau kamu tidak mati, kita pasti sudah bahagia. Kita cari duit supaya kamu bisa operasi ganti kelamin. Lalu kita pergi ke penghulu, menikah. Dua kali kita gagal menikah. Sekarang kamu jangan pergi. Aku tidak mau gagal lagi.

(hlm. 415-416)

Kesimpulan penokohan tokoh Roima dari penjelasan di atas adalah Roima

menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima selalu bertindak

89

hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan yang lebih baik

(81), (82). Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal (83).

Roima juga masih mencintai Julini walaupun Roima dekat dengan Tuminah (84).

2.1.3.2 Tibal

Tibal merupakan pemimpin kelompok bandit yang merasa sangat berkuasa

atas para anak buah dan mengharuskan anak buahnya setia. Tibal termasuk orang

yang tidak suka dengan pengkhianatan, tapi dia seringkali gegabah dalam

merencanakan sesuatu, berpikir terlalu pendek, dan memanfaatkan para anak buahnya

demi membalas dendam kepada banyak orang yang dianggap pernah merusak masa

depannya.

(85) TIBAL: Tidak bisa kuterima, tidak bisa. Masa ada mata-mata dalam kelompok

kita? Ini akibat kamu terlalu lemah. Dunia kita dunia keras, dunia penuh darah, tidak bisa kita bersikap seperti pendeta. Bandit-bandit

harus dikendalikan dengan tangan besi.

ROIMA: Betul, tangan besi. Tapi jangan sewenang-wenang.

TIBAL:

Mereka harus takut kepada kita. Dengan darah kita rebut kelompok ini, dengan darah pula kita harus pertahankan kelompok ini di bawah

perintah kita. Aku pikir, rencanamu terlalu bertele-tele.

ROIMA: Bagaimana?

TIBAL:

Kita harus segera wujudkan rencana itu, lurus, tanpa belok-belok. Kekuatan adalah kekuasaan. Siapa kuat, dia kuasa. Tenaga para bandit

hanya dibutuhkan untuk mengantar kita ke puncak kekuasaan.

90

ROIMA: Tibal, kamu terlalu dikuasai dendam masa lalu. Dulu, Kumis

mengobrak-abrik masa depanmu. Kemudian kamu bunuh Kumis. Dan sekarang, kamu punya rencana mengobrak-abrik masa depan banyak

orang. Kamu selalu buru-buru, tidak mau pakai otak. (hlm. 333-334)

Dalam memimpin kelompok bandit, ternyata Tibal mengalami

ketidakcocokan dengan Roima. Tibal merasa sudah tidak sepaham dan dendam

kepada Roima sebab Roima tidak mau mengikuti keinginan Tibal serta menganggap

Roima tidak menghormati Tibal sebagai pemimpin kelompok bandit. Dendam Tibal

berlanjut menjadi rencana untuk membunuh Roima. Tibal menganggap dalam sebuah

kelompok bandit tidak boleh ada dua pemimpin sehingga akhirnya Tibal

memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Roima.

(86) TIBAL: Siapa yang membunuh Kumis? Siapa yang seharusnya mewarisi

komplotan yang dulu dipimpin Kumis? Siapa yang seharusnya jadi pemimpin besar? Tibal, Tibal, Tibal. Tapi apa kenyataannya? Roima

mengambil alih semuanya. Aku tidak boleh berbuat semaunya.

BAJENET: Kapal memang tidak boleh punya dua kapten.

BLEKI:

Bunuh saja dia, Bos.

BAJENET: Apa? Bunuh siapa?

BLEKI:

Eh, nggak. Kelepasan. Saya omong apa tadi?

TIBAL: Bleki, sini!

(BLEKI KETAKUTAN)

91

Jangan takut. Kadang-kadang kamu punya pikiran cemerlang. Betul kata kamu Bajenet, kapal yang punya dua kapten selalu oleng. Apa

kamu berdua bisa dipercaya?

BAJENET: Saya selalu setia sama Bos.

BLEKI:

Saya juga.

TIBAL: Bagus. Kalau begitu, mari kita susun rencana untuk membunuh

Roima. (hlm. 400-401)

(87) TIBAL: (MASUK BERGEGAS DENGAN PISAU BELATI DI TANGAN)

Di sini aku pernah membunuh Kumis. Dan di sini juga aku membunuh kamu, Roima. Mampus kamu, mampus.

(MENUSUK ROIMA BERTUBI-TUBI)

Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa mencegah aku. Akulah pemimpin, akulah yang terbesar, kepala bandit yang berkuasa.

(MENYINGKAP SELUBUNG KAIN YANG MENUTUP KEPALA

ROIMA) Lihat mukaku baik-baik. Lihat. Inilah dunia kita, penuh kekerasan,

pengkhianatan, penuh darah. Kamu tidak mungkin bisa mengubahnya. Kita orang kasar, orang bodoh, orang kampung. Hidup kita ada di

ujung belati. Dan siapa kuat, dia berkuasa.

ROIMA: (TERENGAH-ENGAH)

Kamu salah Tibal, salah. Sebentar lagi kamu akan menyaksikan kelompok kita hancur berantakan. Kamu berangasan. Cuma dendam

yang ada di kepalamu. Kamu tidak pantas jadi pemimpin. Kamu serakah. Kamu akan terima akibatnya nanti.

(MENYANYI PERLAHAN)

Siapa bisa membendung kecoa-kecoa yang bersatu .....................

BAJENET:

92

Dia sudah sekarat, Bos.

BLEKI: Habisi, Bos.

(TIBAL MENUSUK LAGI)

TIBAL:

Selamat jalan, Roima, mampus kamu.

(ROIMA MATI) (hlm. 417-418)

Bersama Bleki dan Bajenet, akhirnya Tibal berhasil membunuh Roima.

Dengan demikian Tibal sekarang menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit.

Kesimpulan penokohan tokoh Tibal dari analisis di atas adalah Tibal

merupakan pemimpin kelompok bandit dan termasuk orang yang gegabah dalam

memutuskan sesuatu (85). Di samping itu, Tibal sering berselisih paham dengan

Roima dan akhirnya membunuh Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin

kelompok bandit (86), (87).

2.1.3.3 Tuminah

Setelah menjadi PSK profesional, Tuminah mulai mengalami banyak

perubahan. Dia mulai gemar berdandan dan berfoya-foya. Tuminah juga dipercaya

sebagai pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Cara hidup seperti ini

membuat Tuminah cenderung tidak peduli pada situasi yang terjadi di sekitarnya.

(88) TUMINAH: Duing.

DUING:

93

Ya, Zus Tuminah?

TUMINAH: Jangan lupa kopor alat-alat riasku.

(hlm. 319)

(89) TUMINAH: Memang aku ingin hidup senang, apa tidak boleh? Aku ingin

menikmati apa saja yang kita miliki sekarang, apa tidak boleh? Sepuluh tahun jadi cabo, pengalaman jelek untukku. Apa sekarang

setelah kaya, kita juga harus tetap sengsara? Lalu untuk apa ini semua, ditabung? Siapa nanti yang akan menikmati? Aku makan rezeki yang ada di tangan, aku tidak mengharapkan yang masih di angan-angan.

Apa itu salah? Masa bodoh, bagaimana cara kalian memperoleh kekayaan atau kekuasaan. Yang penting, aku tidak ganggu kalian. Aku makan

bagianku sendiri. Lebih baik kamu ngomong blak-blakan daripada terus menyindir. Tanyakan pada dirimu sendiri, untuk apa kamu kerja

keras. (hlm. 335)

Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima. Tuminah menganggap bahwa

yang dilakukannya selama ini sia-sia sebab ternyata Roima hanya mencintai Julini

dan Tuminah tidak berhasil merebut hati Roima selama kedekatan mereka.

(90) TUMINAH: (SADAR. MENANGIS LAGI)

Duing, Roima tidak benar-benar mencintaiku. Dia tetap masih ingat Julini. Sakit hatiku, Duing. Apa yang kulakukan ini sebetulnya hanya

untuk menarik perhatiannya. Tapi dia tidak menyadari. (hlm. 339)

Dari analisis di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tuminah adalah

Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya sehingga cenderung tidak peduli

pada keadaan di sekitarnya (88), (89). Tuminah juga merasa tidak lagi dicintai oleh

Roima (90).

94

2.1.3.4 Pejabat

Pejabat sebagai tokoh masyarakat ternyata selama ini tidak pernah mengetahui

keadaan kaum urban miskin yang sebenarnya. Pejabat sempat terkejut ketika

melewati daerah tempat tinggal kaum urban miskin. Ketika selesai melewati kawasan

kumuh tersebut, mata Pejabat tiba-tiba buta. Kebutaan Pejabat yang sangat tiba-tiba

tidak dapat diketahui penyebabnya. Pejabat yang mendadak sakit mata ternyata dulu

juga pernah menjadi langganan Tuminah. Bahkan ketika mata Pejabat sedang sakit,

peristiwa perselingkuhan Pejabat dengan Tuminah yang terjadi bertahun-tahun lalu

tetap saja membuat istri Pejabat merasa cemburu hingga sekarang.

(91) PEJABAT: Ya sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok

kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.

(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)

Apa yang ada di depan kita, Paijo?

ASPRI:

Sampah yang menggunung, Pak.

PEJABAT: Di samping kiri kita?

ASPRI:

Jembatan roboh, Pak.

PEJABAT: Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya?

ASPRI:

Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP.

PEJABAT:

95

Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju? Apa tidak kedinginan?

ASPRI:

Makan saja sulit, apalagi beli pakaian.

PEJABAT: Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran?

ASPRI:

Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada

di dalam rumah mereka sendiri, Pak. (hlm. 297-298)

(92) PEJABAT: Aduh, Paijo. Aduh, mataku tiba-tiba jadi gelap. Ada apa ini? Aduh,

nyeri. Paijo, aku buta.

ASPRI: Ah, Bapak main-main. Masa joging bisa bikin buta?

PEJABAT:

Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aduh. Sakit. Paijo, mataku sakit. Gelap tiba-tiba. Paijo.

(hlm. 300)

(93) PEJABAT: Bu, aku sakit, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mataku sakit. Aku cuma

minta tolong, kompres mataku, siapa tahu bisa lebih baik.

ISTRI: Kompres sendiri. Atau minta tolong sana sama Tuminah.

PEJABAT:

Aduh, nama itu lagi, nama itu lagi. Sudah sepuluh tahun yang lalu aku tobat, aku akui kesalahan itu, kekhilafan itu. Maklum namanya juga

lelaki, sering jalannya melenceng. Tapi kan cuma sebentar, dan sudah kuakui. Aduh, mataku, aduuh.

(hlm. 305)

96

Pejabat ternyata merupakan tokoh yang kalah terhadap istri. Ketika sakit mata

dia kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin masyarakat karena semua wewenang

untuk memerintah bawahan dan memecat petugas diambil alih oleh istrinya. Selain

itu, Pejabat juga terpaksa mengikuti semua keputusan yang diambil oleh istrinya,

termasuk keputusan menyangkut penumpasan kelompok bandit yang seharusnya

tidak terlalu menjadi urusan istri Pejabat.

(94) ISTRI: Tumpas sampai habis komplotan itu. Kalian boleh pakai biaya tanpa batas. Ini perintah dari Bapak. Seret yang namanya Tuminah kemari, aku ingin tahu kayak apa muka badak betina yang tidak tahu malu itu.

Sekarang kalian pergi. Laksanakan perintah dengan baik!

POLISI-1: Perintah Bapak bagaimana?

PEJABAT:

Lho, sudah dengar tadi kan? Ya seperti tadi, seperti yang sudah diucapkan Ibu.

(hlm. 372)

(95) ISTRI: Petugas macam apa kalian? Sudah jelas banci yang melarikan diriitu

ada hubungannya dengan komplotan bandit. Kok dibiarkan lolos? Kelalaian ini harus kalian bayar mahal. Catat nomor stambuk mereka

dan urus pemecatan mereka nanti.

ASPRI: Sudah dicatat.

ISTRI:

Coba, sekarang di mana lagi kamu bisa memperoleh informasi? Hah? Siapa bisa ditanya di mana markas para bandit itu? Hah? Di mana

Tuminah bersaudara itu ngumpet? Hah? Jawab!

POLISI-2: Bu, maaf ya, yang wajib memarahi kami, Ibu atau Bapak?

97

PEJABAT: (MARAH)

Tutup mulut kamu. Suara istriku sama seperti suaraku. Dia penyambung lidahku selama aku sakit. Patuhi dia.

(hlm. 402)

Setelah sekian lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui

kesalahan selama menjalankan tugas sebagai pemerintah. Pejabat menganggap bahwa

selama dirinya menjalankan tugas sebagai pemerintah, dia tidak pernah peduli dengan

keadaan masyarakat urban miskin sehingga matanya menjadi sakit. Pejabat

menganggap sakit matanya ini karena selama ini dia tidak pernah mau melihat

keadaan rakyat kecil.

(96) PEJABAT: Lalu, apa yang selama ini sudah aku lakukan? Sibuk dengan berkas-berkas rencana anggaran? Seminar dan penataran demi masa depan

gemilang. Lalu apa yang sudah kulakukan demi masa sekarang? Dan pertanyaan itu berulang-ulang nongol di kepalaku. Lalu aku tak bisa menemukan jawabannya. Lalu tiba-tiba aku merasa dunia gelap. Aku

buta seketika karena ngeri dan nyeri. Selama ini aku ada dalam gedung, dalam kantor, dalam mobil, dalam hotel. Aku hanya

mendengar kemiskinan lewat buku-buku dan koran dan selalu merasa itu hanyalah ulah mereka yang iri dan dengki, berita yang dibesar-

besarkan. Sekarang aku sudah melihatnya, dan langsung buta karena sadar tidak mampu berbuat apa-apa. Karena aku seluruhnya bukan

milikku lagi. Tanganku, kakiku, mulutku harus kumanfaatkan semata-mata demi keutuhan korps. Demi kesatuan dan persatuan. Intinya, aku

cuma wayang. Demikian yang terjadi, baru sekarang kusadari. Dan kamu, tidak mungkin sanggup mengobati aku. Sakitnya sudah parah,

aduuuuh.... (hlm. 331)

Pada akhir cerita “Opera Julini” Pejabat memutuskan untuk mengundurkan

dari jabatannya, tapi permintaan pengunduran diri tersebut ditolak oleh Menteri.

98

Pejabat justru diberi penghargaan dan kenaikan pangkat serta wewenang untuk

mengurus ibukota.

(97) PEJABAT: Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya

sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab

tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.

ISTRI:

Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau-balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung jawab terhadap segala macam urusan suami saya. Sayalah tulang

punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah dia....

MENTERI: Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat

pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus

kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.

(hlm. 440)

Kesimpulan penokohan tokoh Pejabat dari analisis di atas adalah Pejabat

merupakan tokoh masyarakat yang tidak pernah mengetahui keadaan kaum urban

miskin yang sebenarnya (91). Pejabat tiba-tiba mengalami sakit mata setelah

melewati kawasan kumuh (92), (93). Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat

diambil alih oleh istrinya sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pimpinan

masyarakat (94), (95). Sesudah beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat

mengakui kesalahannya selama menjalankan tugas pemerintahan (96) dan

mengundurkan diri dari jabatan, tapi justru pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri

(97).

99

2.1.4 Rangkuman

Analisis tokoh dan penokohan yang terdapat dalam drama trilogi Opera

Kecoa dapat dirangkum secara umum. Rangkuman tersebut meliputi pembedaan

tokoh berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot pada setiap bagian trilogi;

penokohan tiap tokoh dalam bagian-bagian trilogi; serta perkembangan karakter

beberapa tokoh yang terlihat dalam tiap bagian trilogi.

2.1.4.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Perkembangan Plot

Tokoh berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot pada tiap bagian trilogi

dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dalam “Bom

Waktu” (trilogi bagian pertama) para tokoh protagonis terdiri atas Julini, Roima,

Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Tokoh antagonis antara yaitu Kumis, Bleki, dan

Camat. “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) mempunyai tokoh protagonis Julini,

Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis adalah Pejabat.

Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) tokoh protagonis terdiri atas Roima,

Tibal, dan Tuminah; tokoh antagonis adalah Pejabat.

2.1.4.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa

Penokohan para tokoh akan disimpulkan berdasarkan setiap bagian trilogi.

Penokohan dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) akan diuraikan sesuai

dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih, Kumis,

Bleki, dan Camat. Penokohan para tokoh akan dipaparkan sebagai berikut.

100

Julini merupakan waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki, yaitu Roima,

dan mereka tinggal dalam satu gubuk seperti sepasang suami-istri. Julini berprofesi

sebagai PSK serta seringkali menggunakan istilah waria dalam percakapan dengan

tokoh lain. Sebagai seorang waria, Julini bersifat genit dan suka merayu lelaki. Julini

yang merasa dirinya adalah seorang wanita memiliki sifat pasrah dan perasa, serta

mempunyai impian menikah dengan Roima.

Roima adalah seorang pengangguran yang menjadi pacar Julini. Dia pemarah,

gegabah dalam mengambil keputusan; sedangkan sikap dan perkataannya sering

kasar. Dia juga mudah cemburu jika Julini merayu atau membicarakan lelaki lain.

Roima mudah pasrah pada nasib, agak susah menentukan pilihan. Beberapa kali

Roima diminta Julini untuk menikah, tapi Roima belum bisa menentukan sikap.

Namun, akhirnya Roima bersedia menikahi Julini karena cintanya kepada Julini.

Tibal, kakak kandung Tuminah, berasal dari desa. Dia datang ke Jakarta untuk

menjadi petani kota. Tibal yang lugu sangat menyayangi Tuminah dan selalu

berusaha menjaga harga diri mereka. Namun, ketika proses penggusuran kawasan

kumuh, Tibal berubah menjadi orang yang pemarah dan pendendam sebab ditipu oleh

pemda.

Tuminah, adik Tibal, adalah gadis cantik, lugu, pemalu, dan sangat menurut

kepada Tibal. Tuminah merasa telah membantu Tibal dengan cara menyerahkan

keperawanannya kepada Kumis agar ladang garapan Tibal tidak ikut digusur.

Tuminah yang lugu pada akhirnya ternyata mudah ditipu oleh Kumis sehingga

Tuminah tetap menjadi korban penggusuran.

101

Abung merupakan satu-satunya penghuni kawasan kumuh yang selalu tinggal

di pepohonan. Abung juga diperkirakan sebagai salah satu urban miskin yang berasal

dari luar kota Jakarta, yaitu dari daerah di sekitar Pulau Jawa, kemungkinan berasal

dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari

bahasa Jawa bercampur dengan bahasa Indonesia yang digunakan Abung dalam

percakapannya dengan tokoh lain. Dia sering berbicara sendiri mencari hakikat

persoalan hidup mengenai nasib buruk kaum urban miskin yang tidak pernah

berubah. Abung yang semula hanya bicara sendiri, sewaktu proses penggusuran

untuk pertama kali dia berbicara kepada tokoh lain dan mengamuk sehingga akhirnya

dia ditembak mati oleh petugas.

Tarsih adalah PSK tercantik yang menjadi langganan Kumis dan Camat.

Tarsih berkeinginan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Keinginan itu

terwujud ketika Tarsih menjadi istri muda Camat. Namun, status sebagai istri muda

Camat tidak berlangsung lama karena Tarsih diusir oleh istri tua Camat.

Kumis berperan sebagai komandan hansip kawasan kumuh yang takut

sekaligus patuh kepada Camat. Kumis senang mencari keuntungan untuk diri sendiri,

merasa paling berkuasa di kawasan kumuh, memanfaatkan kelemahan orang lain,

mencari aman untuk dirinya sendiri, dan suka mengumbar janji.

Bleki digambarkan sebagai anak buah Kumis yang selalu menuruti perkataan

Kumis dan tidak segan mengancam para penghuni kawasan kumuh dengan senjata.

Dia termasuk orang yang suka mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mudah

dipengaruhi oleh Kumis.

102

Camat adalah orang sering menjanjikan sesuatu kepada para penghuni

kawasan kumuh. Camat bahkan berpura-pura simpati terhadap keadaan para PSK dan

sebagai orang yang sudah beristri dia tidak malu untuk memakai jasa PSK. Camat

juga digambarkan sering memanfaatkan jabatan untuk mengendalikan orang lain.

Sewaktu proses penggusuran Camat tidak mau bertanggung jawab atas nasib kaum

urban miskin yang menjadi korban penggusuran.

Penokohan dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) akan dipaparkan

sesuai dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah, dan Pejabat.

Penokohan para tokoh akan dijelaskan sebagai berikut.

Julini pada saat lima tahun setelah peristiwa penggusuran kembali lagi ke

kawasan kumuh yang pernah menjadi tempat tinggalnya dulu. Dia menempati sepetak

tanah kosong sebagai “rumah”. Setelah tinggal di “rumah” barunya, Julini bekerja

lagi sebagai PSK. Dari penghasilan sebagai PSK ditambah dengan penghasilan

Roima, Julini bisa memiliki kehidupan perekonomian yang lebih baik. Julini juga

terlihat mulai mudah cemburu ketika Roima dekat dengan wanita lain. Pada suatu

razia di daerah pelacuran, Julini mati terkena peluru nyasar. Setelah kematiannya,

Julini dianggap sebagai pahlawan kaum waria.

Roima merupakan pengangguran yang bersifat mudah cemburu kepada Julini.

Roima yang semula pengangguran akhirnya dengan bantuan Tuminah dapat bekerja

dalam kelompok bandit pimpinan Kumis. Di samping itu, Roima mulai memiliki

kedekatan dengan Tuminah dan hubungan Roima-Tuminah membuat Julini cemburu.

103

Setelah insiden penembakan Julini, Roima berubah menjadi orang yang sangat peduli

kepada nasib kaum urban miskin dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Tarsih menjadi pimpinan kompleks PSK. Hal ini membuat Tarsih menjadi

orang yang keras kepala mempertahankan kawasannya. Selain itu, Tarsih mulai

menjadi tidak mudah percaya kepada orang lain.

Tibal adalah bekas napi yang bersifat egois, nekat, dan pendendam.

Tuminah mempunyai ketakutan terhadap Tibal karena Tuminah telah menjadi

PSK tanpa sepengetahuan Tibal. Sebagai PSK profesional, Tuminah merupakan

langganan Pejabat. Tuminah termasuk orang yang peduli kepada teman dan sempat

mencarikan pekerjaan untuk Roima, sehingga mereka mempunyai hubungan dekat.

Pejabat digambarkan sebagai orang yang selalu ingin mencari aman untuk diri

sendiri. Pejabat juga tidak sungkan melakukan korupsi dengan mengatasnamakan

kesejahteraan rakyat.

Penokohan dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) akan dijelaskan

sesuai dengan para tokoh, yaitu Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat. Penokohan para

tokoh akan dipaparkan sebagai berikut.

Roima menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima

selalu bertindak hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan

yang lebih baik. Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal

dalam memimpin kelompok bandit, sehingga Roima mati dibunuh oleh Tibal. Roima

juga masih masih mencintai Julini walaupun Roima sempat dekat dengan Tuminah.

104

Tibal adalah pemimpin kelompok bandit yang gegabah dalam mengambil

keputusan. Tibal sering berselisih paham dengan Roima dan akhirnya membunuh

Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit.

Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya, sehingga cenderung tidak

peduli pada keadaan di sekitarnya. Selain itu, Tuminah juga menjadi pengelola kantor

urusan bordil milik Tibal-Roima. Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima.

Pejabat merupakan tokoh masyarakat yag tidak pernah mengetahui keadaan

kaum urban miskin yang sebenarnya. Dia tiba-tiba mengalami sakit mata setelah

melewati kawasan kumuh. Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat diambil alih

oleh istrinya sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pemimpin masyarakat.

Sesudah beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui

kesalahannya selama menjalankan tugas pemerintahan dan mengundurkan diri dari

jabatan, tapi justru pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri.

2.1.4.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa

Dalam drama trilogi Opera Kecoa beberapa tokoh mengalami perubahan

karakter. Perubahan karakter ini terlihat dalam setiap bagian trilogi. Para tokoh yang

mengalami perubahan karakter adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih,

Kumis, Bleki, dan Pejabat. Perubahan karakter setiap tokoh akan dijelaskan dalam

tabel berikut.

105

Tabel 1: Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa

No.

Pembagian Trilogi Tokoh

“Bom Waktu” (Trilogi Bagian

Pertama)

“Opera Kecoa” (Trilogi Bagian

Kedua)

“Opera Julini” (Trilogi Bagian

Ketiga) 1 Julini -Pasrah

-Perasa -Sangat mencintai Roima -Julini merasa dia adalah satu-satu- nya “wanita” yang dicintai Roima -Perekonomian-nya terkesan ku-rang mapan.

-Pencemburu -Merasa tidak dicintai lagi oleh Roima se-bab Roima dekat de-ngan Tuminah -Perekonomian lebih baik dengan peng- hasilan sebagai PSK dan ditambah peng-hasilan Roima. -Julini ditembak mati oleh petugas di “par-kiran” waria

---

2 Roima -Pengangguran -Pasrah pada na-sib -Cenderung ku-rang peduli pada keadaan sekitar

-Bekerja sebagai anak buah Kumis da-lam kelompok bandit -Lebih peduli pada para urban miskin -Dekat dengan Tumi-nah -Mudah mempenga- ruhi Tibal

-Menjadi pimpin-an kelompok ban-dit menggantikan Kumis -Ingin kehidupan-nya lebih baik -Sebagai pemim-pin bandit, sering berselisih paham dengan Tibal

3 Tibal -Lugu -Pasrah pada nasib -Tiba-tiba beru- bah menjadi pe-marah dan pen-dendam terhadap Pemda

-Bekas napi -Pendendam -Egois -Membunuh Kumis

-Pemimpin bandit bersama Roima -Karena merasa tidak cocok de-ngan Roima, Ti-bal nekat membu-nuh Roima

4 Tuminah -Lugu -Pemalu -Pendiam

-Bekerja sebagai PSK profesional -Langganan Pejabat

-Cenderung tidak peduli keadaan sekitar

106

-Mudah ditipu sehingga membe-rikan keperawan- nya pada Kumis

-Punya kedekatan de-ngan Roima -Peduli pada teman

-Lebih suka ber-foya-foya -Hubungan de-ngan Roima reng-gang

5 Abung -Satu-satunya to-koh yang menya-dari nasib buruk kaum urban mis-kin -Sering bicara sendiri menanya-kan persoalan hi-dup -Saat penggusur- an, pertama kali-nya Abung bicara pada tokoh lain -Akhirnya mati ditembak petugas

---

---

6 Tarsih -PSK yang mu-dah ditipu Camat -Punya impian mengubah nasib hingga mudah di-perdaya

-Tidak mudah per-caya kepada orang lain sebab pernah ditipu Camat -Tarsih mati ketika kompleks PSK milik-nya terbakar

---

7 Kumis -Kepala keaman-an daerah kumuh -Merasa paling berkuasa di ka-wasan kumuh

-Kepala bandit -Dipecat dari satuan keamanan karena di-anggap kurang mam-pu -Mati dibunuh Tibal

---

8 Bleki -Aparat keaman-an -Anak buah Ku-mis

-Anak buah Kumis -Dipecat satuan ke-amanan, dianggap ti-dak mampu

-Anak buah Tibal dalam kelompok bandit

107

9 Pejabat

---

-Menjaga perseling-kuhan dengan Tumi-nah agar tidak ter-bongkar oleh umum -Cenderung tidak pe-duli nasib kaum ur-ban miskin -Tidak sungkan ko-rupsi menggunakan nama rakyat

-Mengalami sakit mata, simbol se-lama bertugas se-bagai pemerintah Pejabat tidak mau melihat masyara-kat kelas bawah -Selama sakit ma-ta, wewenang Pejabat dipegang oleh istrinya, se-hingga Pejabat kehilangan otori-tas sebagai pe-mimpin -Karena sakit ma- ta Pejabat mundur dari jabatan, tapi pengunduran diri-nya ditolak Men-teri

Dari seluruh tokoh yang dianalisis dalam penelitian ini, satu-satunya tokoh

yang tidak mengalami perubahan karakter adalah tokoh Camat. Tokoh Camat dari

awal hingga akhir “Bom Waktu” tetap merupakan tokoh yang sering menjanjikan

sesuatu kepada para urban miskin, suka mengambil simpati rakyat kecil, dan

menggunakan jabatan untuk mengendalikan orang lain.

2.2 Latar

Latar mengacu pada unsur tempat, waktu, dan lingkungan sosial para tokoh.

Analisis latar drama trilogi Opera Kecoa dibagi menjadi tiga bagian menurut judul

setiap bagian trilogi, yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera Kecoa”

108

(trilogi bagian kedua), “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Ketiga bagian trilogi

mencakup analisis latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Analisis latar tempat

meliputi penggambaran lokasi tempat terjadinya peristiwa yang dialami para tokoh.

Analisis latar waktu meliputi gambaran waktu terjadinya berbagai peristiwa dalam

sebuah cerita. Analisis latar sosial meliputi keadaan masyarakat berdasarkan

kelompok sosial. Selanjutnya, penjelasan latar akan dibahas beserta kutipan

pendukungnya.

2.2.1 Latar Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)

2.2.1.1 Latar Tempat

Latar tempat secara umum menggambarkan keadaan lokasi tempat tinggal

kaum urban miskin yang dikelilingi oleh tempat-tempat kelas menengah ke atas.

(98) (DI SUDUT BAWAH JEMBATAN NAMPAK TEMARAM. PARA GELANDANGAN TENGAH BERMIMPI TENTANG MASA

DEPAN DAN NASIB BAIK)

(JUMINI MENATAP BULAN. ABUNG TERMENUNG, MERENUNG. GUBUK-GUBUK MEREMANG DI LATAR BELAKANG. DI BALIK JENDELA HOTEL MURAHAN,

SEORANG CALON PENYANYI SEDANG BERLATIH. DI RUANG MAKAN GOLONGAN KAYA, LIMA SOSOK

MENYANTAP HIDANGAN TANPA BICARA. MEREKA BAGAI PATUNG-PATUNG)

(hlm. 7)

Dari kutipan (98) digambarkan bahwa para gelandangan memiliki tempat

tinggal di sudut bawah jembatan. Selain itu, terdapat juga gubuk-gubuk milik kaum

109

urban miskin. Kawasan tersebut dikelilingi oleh hotel murahan dan diperlihatkan juga

ada ruang makan golongan kaya.

Lokasi lain sebagai tempat terjadinya berbagai peristiwa adalah tempat

pelacuran di atas tanggul sungai; gubuk-gubuk anggota kaum urban miskin seperti

gubuk Tuminah dan gubuk Roima; pepohonan sebagai tempat tinggal Abung; kantor

hansip sebagai tempat Kumis bekerja; serta kantor Camat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan latar tempat dalam “Bom Waktu”

(trilogi bagian pertama) adalah tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan

dengan tempat orang-orang kelas menengah ke atas (98), tempat pelacuran di atas

tanggul sungai, gubuk-gubuk urban miskin, pepohonan yang menjadi “rumah”

Abung, kantor hansip, kantor Camat.

2.2.1.2 Latar Waktu

Latar waktu terjadinya peristiwa dalam “Bom Waktu” disebutkan pagi, siang,

sore, dan malam. Selain itu, latar waktu yang diceritakan melalui nyanyian para

pengemis antara lain waktu menjelang pemilu. Para pengemis bernyanyi tentang

situasi yang akan mereka hadapi nanti setelah pemilu.

(99) NYANYIAN PARA PENGEMIS

Seratus perak harga sepiring nasi Dibanding tujuh juta

Nilai kado ulang tahun

Seratus-ribu perak sebulan gaji Dibanding satu milyar

Nilai sepuluh persen komisi

110

Tanahku, negeriku yang kucinta

Kandang brengsek pinggir kali Dibanding istana gemerlap Investasi tanpa penghuni

Rasa takut, luka dan was-was Dibanding tawa kemenangan Sehabis pemilu tanpa nurani

Tanahku, negeriku yang kucinta

Oh, masa depan kita semua (hlm. 14-15)

Latar waktu bisa dirunut berdasarkan tanggal. Hal ini tampak dalam

pemberitahuan mandat dari Camat kepada Kumis. Isi mandat Camat antara lain

kewajiban membersihkan kawasan kumuh dalam rangka rencana kunjungan

Gubernur ke kawasan tersebut.

(100) CAMAT: Ini perintah yang wajib kamu jalanken! Pada tanggal 1 Maret, jadi masih tiga bulan lagi, daerah ini akan diperiksa Pak Gubernur....

(hlm. 94)

Dari kutipan (100) dapat diperkirakan bahwa Camat memberikan mandat pada

saat tiga bulan sebelum tanggal 1 Maret, yaitu tanggal 1 Desember. Kumis

mengumumkan mandat Camat kepada seluruh penghuni kawasan kumuh seminggu

setelah Camat memberikan mandat kepada Kumis. Jadi, kemungkinan Kumis

mengumumkan mandat Camat kepada penghuni kawasan kumuh pada tanggal 8

Desember, bersamaan dengan pesta pernikahan Julini dan Roima yang ternyata gagal.

Kumis memberitahukan kepada seluruh penghuni kawasan kumuh agar segera pindah

dari tempat tinggal mereka paling lambat satu bulan setelah Kumis mengumumkan

111

mandat Camat. Artinya, para penghuni kawasan Kumuh diminta pindah paling

lambat satu bulan setelah tanggal 8 Desember, yaitu pada tanggal 8 Januari bertepatan

dengan pelaksanaan penggusuran.

(101) KUMIS: [...]

Tapi pembersihan ini saya kasih waktu satu bulan. Longgar, kan?.... (hlm. 104)

Pada suatu malam saat ronda, Kumis dan Bleki kembali mengingatkan para

penghuni kawasan kumuh tentang rencana penggusuran.

(102) (BAUR DENGAN NYANYIAN PENYANYI HOTEL, MUNCUL BLEKI DAN KUMIS MERONDA)

BLEKI:

Ingat, sebulan sejak pengumuman penggusuran dikeluarkan. Sekarang sudah seminggu lagi. Daerah ini harus bersih. Ingat, sebulan sejak

pengumuman penggusuran dikeluarkan. Sekarang batas waktu tinggal seminggu lagi... ingat....

(hlm. 121)

Dari pernyataan Bleki dalam kutipan (102) dapat diketahui bahwa peringatan

itu dilakukan pada waktu satu minggu sebelum penggusuran dilaksanakan, yaitu

tanggal 1 Januari.

Rencana penggusuran akhirnya terwujud. Penggusuran dilaksanakan sebagai

bentuk kegiatan pembangunan bersamaan dengan waktu pasca pemilu.

(103) BLEKI: Ingat, satu bulan sejak pengumuman dikeluarkan, semuanya akan

dibongkar. Hari ini tiba waktunya. Ingat.... (hlm. 131)

(104) KUMIS: Jangan takut, Bleki. Ini cuma ekses dari pembangunan. Kalau mau maju ya harus begini ini; rela berkorban. Artinya, satu dibongkar

112

semua dibongkar. Tidak boleh pilih kasih. Sehabis pembongkaran, akan ada pembangunan. Begitu akan terjadi, berulangkali. Jadi jangan

berhenti! Terus bongkar, bongkar! (hlm. 134)

(105) SUARA: Terima kasih sebesar-besarnya kepada mereka yang telah

memungkinkan terselenggaranya pemilihan umum ini. Dengan berakhirnya pemilu yang telah berjalan hampir selama satu bulan, dan

dalam keadaan tertib-aman-damai-saling menghormati, dunia luar akan tahu bahwa negara kita adalah negara hukum yang telah

menjalankan pesta demokrasi dengan sangat sukses... luber dan jurdil....

(hlm. 139)

Jadi, dapat diketahui bahwa dalam “Bom Waktu” peristiwa yang paling

dominan adalah penggusuran kawasan kumuh. Rencana penggusuran diumumkan

hampir berdekatan dengan pelaksanaan pemilu. Penggusuran sendiri dilaksanakan

pada saat pasca pemilu sebagai bentuk kegiatan selama masa pembangunan.

Dari analisis di atas dapat disimpulkan latar waktu “Bom Waktu” (trilogi

bagian pertama) yaitu pembagian waktu menjadi pagi, siang, sore, dan malam. Latar

waktu lainnya ditandai dengan pengadaan suatu peristiwa yaitu menjelang pemilu

(99). Selain itu, latar waktu juga dapat dirunut melalui tanggal. Perunutan tanggal ini

diawali dengan pemberian mandat “pembersihan” kawasan kumuh oleh Camat

kepada Kumis dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke kawasan tersebut.

Kunjungan Gubernur yang akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret, sedangkan

mandat ini diberikan tiga bulan sebelum kunjungan yaitu tanggal 1 Desember (100).

Kumis mengumumkan mandat dari Camat seminggu setelah mandat diturunkan atau

seminggu sesudah tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember. Sebagai bentuk

113

“pembersihan” kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta pindah paling

lambat satu bulan sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah tanggal 8

Desember, yaitu tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan penggusuran atau

beberapa waktu pasca pemilu (101), (102), (103), (104), (105).

2.2.1.3 Latar Sosial

Latar sosial dalam “Bom Waktu” dapat diketahui melalui keadaan

masyarakat. Keadaan masyarakat dalam “Bom Waktu” terdiri dari dua kelompok

masyarakat, yaitu pemerintah dan kaum urban miskin. Dalam hal ini pihak

pemerintah diwakili oleh Kumis, Bleki, dan Camat. Pihak kaum urban miskin

diwakili oleh Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih.

Sebagai bagian dari pemerintah, Bleki dan Kumis dikenal sebagai aparat

keamanan yang harus menjaga daerah kumuh tempat tinggal kaum urban miskin.

Mereka berdua diberi wewenang untuk melakukan pengamanan kawasan kumuh

dengan cara mereka sendiri. Karena merasa sebagai aparat keamanan yang harus

menjaga ketertiban kawasan kumuh, mereka menggunakan senjata api secara

sembarangan tanpa melihat situasi yang terjadi ketika melakukan tugas aparat

keamanan, bahkan terkesan tidak memikirkan resiko jika senjata api tersebut melukai

salah satu penghuni kawasan kumuh. Selain itu, Kumis dan Bleki merasa sebagai

penguasa kawasan kumuh. Kumis dan Bleki sering tidak segan-segan menyebut diri

mereka sebagai petugas dengan tujuan agar mereka dihormati penghuni kawasan

kumuh. Mereka sering menggunakan kekuasaan untuk mencari keuntungan dari para

114

penghuni kawasan kumuh dan mengatasnamakan jabatan untuk melakukan kekerasan

kepada anggota urban miskin.

(106) (PARA PENGEMIS MENJERIT BERBARENGAN LALU BUBAR. CALON PENYANYI BERHENTI MENYANYI, MENUTUP

JENDELA. ABUNG LEMAS)

(TEMBAKAN TERDENGAR BERTUBI-TUBI, MAKIN MENDEKAT)

(PARA PATUNG TETAP TENANG MELAHAP SANTAPAN,

SEAKAN TAK TERJADI APA-APA. MUNCUL DUA HANSIP: KUMIS DAN BLEKI)

KUMIS:

Bubar! Bubar! Bubar!

BLEKI: Sudah bubar.

(MEMASANG PETASAN)

KUMIS: Dari jauh aku kira ada banyak orang. Dilihat dari suaranya, mungkin lebih dari sepuluh ribu orang yang terkumpul. Kalau terjadi apa-apa,

aku bisa dipersalahkan. Jadi kambing hitam. Kena marah, kena mutasi. Keamanan daerah ini sepenuhnya ada di bawah tanggung jawabku,

kan? (hlm. 15)

(107) BLEKI: Hoii, stop dulu musiknya. Berhenti dulu ronggengannya. Hoii, gua

tembak lu kalau kagak mau berhenti.... (hlm. 103)

(108) BLEKI: Eh, jangan bercanda sama petugas, ya? Jangan main-main, tidak

serius. Kalian pikir kami ini apa, hah? Tempe? Ditanya serius malah muter-muter. Nanti kami angkut kalian semua ke markas, baru nyaho.

(hlm. 25)

(109) BLEKI: (MARAH)

115

Kalau komandan saya memerlukan malam ini, siapa itu kingkong yang berani menggaet Tarsih. Katakan sama Bleki cepat, siapa itu bangkong

yang berani membawa....

KUMIS: (MENYERET KELUAR)

BLEKI:

... Tarsih. Siapa yang begitu berani mati mau bersaing sama petugas yang berseragam. Ya, Komandan. Ya. Ampun, Komandan....

(hlm. 26-27)

(110) KUMIS: Apa dehem-dehem. Aku komandan keamanan daerah sini, kalau aku sedang ada urusan sama perempuan ini, kamu boleh minggir. Atau

datang sesudah aku selesai urusan. (hlm. 89)

(111) KUMIS: [...]

Dan sogokan! Apa-apaan ini? Kamu kira saya aparat yang gampang disogok apa? Enak saja. Ini namanya sudah menuduh. Dan kamu yang

sudah kasih saya amplop begini, bisa saya bawa ke markas untuk diproses verbal. Tapi ini amplop, tetap akan saya bawa sebagai barang

bukti. Jangan main sogok sembarangan lagi, ya? Awas! .... (hlm. 105)

(112) TIBAL: Terus terang saja, Om Hansip, bener kita tidak boleh lagi tinggal di

sini, ya? Ya?

KUMIS: Saya tidak bilang begitu. Saya hanya diperintahkan untuk melakukan

pembongkaran.

TIBAL: Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit?

Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.

KUMIS: (PURA-PURA TAK MENDENGAR)

Ini setorannya?

116

TIBAL: Ya, bagian Mas Kumis itu.

(hlm. 109)

(113) KUMIS: Menyesal? Bagaimana? Tentara, polisi, hansip akan tetap ada.

Kekuasaan puncak boleh pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Tapi polisi, tentara, dan hansip tetap akan diperlukan. Tetap akan ada. Mungkin dengan sebutan yang berbeda, tapi inti tugasnya tetap sama:

menegakkan tramtibmas! Kalau bukan aku yang jadi hansip, tentu orang lain. Dan demi

ketertiban, hansip boleh bersikap keras. (hlm. 136)

Sama halnya dengan Camat yang juga merupakan bagian dari pemerintah.

Camat merupakan orang yang menggunakan jabatannya untuk menarik simpatik

rakyat dan mendapat keinginannya serta seringkali berpura-pura memperlihatkan rasa

simpatiknya sebagai pemerintah yang ikut prihatin terhadap keadaan kaum urban

miskin.

(114) CAMAT: Luar biasa, pemandangan ini luar biasa. Kalau mereka yang di atas sana seakan menutup mata terhadap nasib kalian, maka aku, camat

kalian, akan segera turun tangan. Akan kubongkar kawasan ini, akan kubongkar semuanya! Handuk....

(hlm. 13)

(115) CAMAT: Sudah-sudah... Tarsih, kamu bisa bahasa Inggris?

TARSIH:

Kalau saya bisa, masa saya ada di sini. Tarip saya tentu lebih mahal dan saya akan ada di hotel-hotel mewah. Di situ tentu lebih enak, lebih bebas. Orang macam kalian kan lebih suka mengejar-ngejar kami yang

tidak berdaya, yang tidak punya beking, yang lemah....

(SUITAN-SUITAN)

CAMAT:

117

Diperhatiken, nasib kalian akan diperhatiken. Tenang, tenang.... (hlm. 78-79)

(116) (ORANG-2 YANG JUGA BERKERUDUNG MAJU MENDEKATI KUMIS DAN MENGANGKAT SEDIKIT KERUDUNGNYA.

KUMIS KAGET)

Ya, ampun. Siap, Pak.

ORANG-2: Besok kita ketemu di kantor.

KUMIS:

Siap, Pak.

ORANG-2: Sekarang kamu pergi, jangan bikin kacau.

KUMIS:

Ya, Pak. Siap, Pak. Ayo, Bleki kita ronda keliling.

BLEKI: Siapa orang itu, komandan. Apa perlu bogem mentah saya?

KUMIS:

(MENYERET BLEKI) Jangan membantah, tolol. Ayo, goblok.

(PERGI BERSAMA BLEKI, DIIRINGI SUITAN PARA PELACUR)

ORANG-2:

(MENGGANDENG TARSIH MASUK GUBUK) (hlm. 90)

Keberadaan pemerintah dalam mengendalikan kawasan urban miskin dapat

dikatakan terlalu berlebihan. Demi menegaskan kedudukannya, pihak pemerintah

kadang tidak sungkan mengatasnamakan tanggung jawab agar tetap mendapat

kepercayaan rakyat, bahkan aparat keamanan pun tidak segan lagi menggunakan

ancaman untuk menunjukkan otoritas mereka.

118

Kaum urban miskin sendiri digambarkan sebagai kaum yang tidak memiliki

kesempatan untuk mengembangkan diri. Beberapa dari mereka tidak memiliki

pekerjaan seperti Roima dan Abung. Mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang

jelas. Abung digambarkan sebagai urban yang berasal dari luar Jakarta, yaitu dari

daerah di Pulau Jawa, kemungkinan sekitar Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini

dapat diketahui dari bahasa yang digunakan Abung, yaitu bahasa Jawa ngoko yang

bercampur dengan bahasa Indonesia.

(117) ABUNG: Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang

makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe, bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya

waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok nggak mau.

BLEKI: Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?

KUMIS:

Nih, pestolnya.

BLEKI: Aduh, tugas berat.

(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA

MEMBIDIK, ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG

KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)

ABUNG: Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.

Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu. (hlm. 138)

Dalam kutipan di atas Abung menggunakan istilah bahasa Jawa ngoko, antara

lain kowe ‘kamu’, wudel ‘pusar’ dan beberapa kata khas dalam bahasa Jawa yang

119

tidak mempunyai arti tapi sering diucapkan dalam kalimat; yaitu lha wong, mbok.

Ada juga kata yang diucapkan dengan logat bahasa Jawa, yaitu njawab yang

seharusnya dalam bahasa Indonesia diucapkan “menjawab”. Selain itu, Abung juga

mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa; yaitu “Aku iki opo? Opo aku iki?” ‘Aku ini

apa? Apa aku ini?’.

Tarsih dan Julini harus bekerja sebagai PSK, padahal mereka seharusnya bisa

mendapat pekerjaan yang lebih layak. Bahkan Tarsih yang sudah dijadikan istri muda

oleh Camat dan tidak perlu bekerja lagi pada akhirnya tetap tidak memperoleh

kehidupan yang lebih baik.

(118) TARSIH: Dia jatuh cinta.

(MELIHAT KUMIS DAN BLEKI DATANG)

Ah, mereka lagi. Meminta banyak tapi selalu ingin gratis. Jah, bilang

aku sedang dibuking. (hlm. 24)

(119) TARSIH: Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang

semuanya bukan milikku lagi.

KASIJAH: Kenapa?

TARSIH:

Waktu isteri tua Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu

aku diperlakukan seperti pengemis.... (hlm. 127)

(120) JULINI:

120

Jangan main-main, Juli bukan ketengan. Biar jelek, Juli adalah PTS dengan sertifikat.

JUMINI:

Apa itu PTS, Jul? Perguruan Tinggi Swasta?

JULINI: Bukan. Pedagang Tjinta dan Sukaria. Pakai ejaan lama, bukan Ce tapi

Te. (hlm. 30)

Julini digambarkan sebagai wakil dari kaum waria yang berprofesi sebagai

PSK. Julini sering mengucapkan istilah yang sering digunakan dalam kelompok

waria ketika melakukan percakapan dengan tokoh lain. Penggunaan istilah dari

kelompok waria menunjukkan bahwa waria termasuk anggota urban miskin yang

juga tinggal di kawasan kumuh dan berinteraksi dengan penghuni kawasan kumuh

lainnya. Istilah tersebut antara lain wanetong ‘wanita’, kerong ‘kara’, bencong

‘banci’, cewong ‘cewek’.

(121) JULINI: Jangan bilang begitu. Julini bukan cobek, bukan cebong yang suka pekenang-pekenong. Julini cuma seorang wanetong yang kesepian.

Oh, Tuhan... kasihanilah Juli yang sebatang kerong.... (hlm. 29)

(122) JULINI: Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa saja. Bukankah kita belum suami-istri. Kita tidak punya ikatan apa-

apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong lain, Julini juga tidak akan ambil pusing.

ROIMA:

Jadi maunya apa? (hlm. 85)

121

Tibal dan Tuminah pun digambarkan sebagai kaum urban miskin yang baru

saja datang dari desa dan tidak punya keahlian apapun kecuali bertani. Mereka jauh-

jauh datang ke kota cuma untuk menggarap lahan di pinggir sungai kota Jakarta dan

belum mengenal keadaan Jakarta yang sebenarnya bagi pengadu nasib seperti

mereka. Selain itu, mereka hanya bisa memiliki sumber penghasilan dari bertani.

Bahkan dari hasil bertani itu pun Tibal bercita-cita bisa menabung untuk perkawinan

Tuminah.

(123) KUMIS: Bagus.

(KEPADA TIBAL)

Bagus, kamu datang seperti cahaya matahari pagi – penuh harapan. Jakarta, makin lama makin gersang. Sehari-hari yang kita lihat cuma

gubuk-gubuk, sampah, mobil dan motor dengan asap knalpotnya, gedung-gedung tinggi dan monumen. Sayur-mayur? Brrrr... kita cuma

bisa lihat di... pasar. Di tengah-tengah sliweran mobil-mobil metropolitan, kamu berniat jadi petani. Kenapa tidak ingin jadi kenek atau tukang parkir? Atau jaga malam? Duitnya lebih banyak, kerjanya

lumayan enak....

TIBAL: Saya cuma bisa bertani.

(hlm. 45)

(124) KUMIS: Juga mau jadi petaniwati?

TUMINAH:

Saya ikut apa yang kakak saya kerjakan.

KUMIS: Tidak ingin jadi pelayan restoran, pramuniaga, pramuria?

TUMINAH:

(MALU-MALU) Saya cuma bisa bergaul dengan tanah.

122

(hlm. 46)

(125) JULINI: Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya?

TIBAL:

Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan.

TUMINAH: (NONGOL DI PINTU GUBUK) Beli rok bagus untuk aku, Kang?

TIBAL:

Ya. Kalau cukup, kita nabung untuk hari kawinmu.

TUMINAH: Jangan, Kang, lebih baik uangnya belikan kalung atau giwang. Kalau

kita kehabisan uang, bisa dijual lagi. (hlm. 69)

Perbedaan kelas sosial juga dibedakan secara tegas dalam “Bom Waktu”

melalui keadaan tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat

tinggal kelas menengah ke atas. Selain itu, dalam rencana pembangunan tempat

tinggal kaum urban miskin akan dirombak menjadi tempat yang berkelas lebih tinggi

atau menjadi tempat yang sangat sulit dijangkau oleh kaum urban miskin.

(126) (DI SUDUT BAWAH JEMBATAN NAMPAK TEMARAM. PARA GELANDANGAN TENGAH BERMIMPI TENTANG MASA

DEPAN DAN NASIB BAIK)

(JUMINI MENATAP BULAN. ABUNG TERMENUNG, MERENUNG. GUBUK-GUBUK MEREMANG DI LATAR BELAKANG. DI BALIK JENDELA HOTEL MURAHAN,

SEORANG CALON PENYANYI SEDANG BERLATIH. DI RUANG MAKAN GOLONGAN KAYA, LIMA SOSOK

MENYANTAP HIDANGAN TANPA BICARA. MEREKA BAGAI PATUNG-PATUNG)

(hlm. 7)

123

(127) CAMAT: (MENANGIS)

Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus. Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan

gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak

Presiden. (hlm. 12)

Para PSK sebagai anggota kaum urban miskin biasa bersikap tidak sopan

walaupun sedang berhadapan dengan Camat sebagai pemerintah daerah. Ketika

Camat meninjau kawasan kumuh, para PSK malah seringkali bertingkah kurang

sopan karena memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari orang-orang penghuni

kawasan kumuh. Bukan hanya sikap yang kurang sopan, perkataan mereka pun

seringkali melewati batas sopan.

(128) CAMAT: Saudariku mengapa jadi seperti ini?

KASIJAH:

Jadi seperti apa, Pak Camat?

CAMAT: Seperti ini, ya, seperti ini....

PELACUR-1:

Jadi cabo gitu, susah amat.

KASIJAH: (HABIS SABAR)

Sialan, lu, cabo lu. Comberan, lu, loncer amat mulutnya. Gua cakar lu, biar muka belang-bonteng. Gua jambak rambut lu biar gundul kayak

Kojek. (hlm. 75)

(129) KUMIS: He, kamu kemari. Ya, Pak Camat mau bicara.

124

TARSIH: (MELENGGANG) Mau buking nih?

KUMIS:

Huss, sopan dong, sopan....

TARSIH: Lepaskan tanganmu yang jorok, nanti kulaporkan baru nyaho.

KUMIS:

Sialan, disopani malah....

CAMAT: Tarsih, kok mau jadi wanita seperti ini.

TARSIH:

Kok tahu nama saya....

CAMAT: (MALU) Ya, ya....

KASIJAH:

Baca di koran kali, Sih.

TARSIH: Terkenal amat ya kita ini.

PELACUR-1:

Hahahaha, Pak Camat kemaluan.

TARSIH: Huss, kemalu-maluan.

(hlm. 76-77)

Para PSK mempunyai anggapan bahwa dengan belajar bahasa asing, dalam

hal ini bahasa Inggris, bisa mengubah kelas sosial mereka yang semula hanya sebagai

anggota masyarakat kelas bawah menjadi kelas sosial yang lebih tinggi atau menjadi

bagian masyarakat kelas atas. Pada hari-hari tertentu para PSK belajar bahasa Inggris

125

di kawasan tempat tinggal mereka. Mereka berharap jika sudah menguasai bahasa

Inggris, maka kehidupan mereka kelak akan menjadi lebih baik atau mendapat

pekerjaan yang lebih terjamin.

(130) GURU: (TERIAK)

Salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup adalah mempelajari bahasa dan kebudayaan asing. Jangan cuma puas jadi cabo. Mengapa tidak kita impikan sekali waktu nasib baik mampir,

dan kita jadi bini orang gedean... bini pejabat...

MURID: Bini ketujuh, Bu Guru?

GURU:

(TERIAK) Bini ketujuh juga tetap bini namanya. Kesejahteraan terjamin. Coba

kita ulangi pelajaran kemarin....

(MENGEJA) Ini sa-pii.

MURID:

I-niii sa-piiiiiii....

GURU: This is cow.

MURID:

This is cooooowww.... (hlm. 18-19)

(131) MURID: Ndat aaarrr piiiig.

GURU:

This is kerbauu....

MURID: This is kerbauuuuu....

126

GURU: Bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan, bahasa internasional. Kita, sebagai pekerja sosial, akan melayani semua bangsa tanpa pandang bulu. Bahasa Inggris penting untuk kita. Supaya kita jangan ditipu.

MURID:

Ya, Bu Guruuuu.... (hlm. 56)

Pada akhir “Bom Waktu” kaum urban miskin dianggap sebagai orang-orang

yang sebenarnya tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Tanah di kawasan kumuh

yang mereka tempati selama ini dilegalkan sebagai milik negara dengan alasan di

tempat tersebut akan dilakukan pembangunan dan mengubahnya menjadi kawasan

yang elit dan hal ini sudah diprogramkan oleh pemerintah. Dalam peristiwa

penggusuran kawasan kumuh, para urban miskin diharuskan pergi meninggalkan

gubuk-gubuk mereka sebab mereka berada di posisi lemah, yaitu tidak mempunyai

sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan sebagai bukti. Di samping itu, kaum urban

miskin tidak diberi tempat tinggal yang baru oleh pemerintah. Mereka dibiarkan

tersebar dan mencari tempat tinggal sendiri, serta beberapa di antara anggota kaum

urban miskin ada yang terpaksa dibawa ke kantor polisi untuk diamankan karena

dianggap telah membuat kekacauan.

(132) KUMIS: [...]

Kalian datang dan tinggal di sini, kemudian mengaku ini semua punya kalian. Kami tidak boleh mengganggu gugat. Apa dasarnya kami tidak boleh mengusir kalian? Ini semua tanah milik negara tahu? Dari dulu

tanah ini bukan milik kalian. Minggat! Pergi, bawa dia pergi! Juga perempuan itu, serahkan saja kepada polisi.

(hlm. 136)

127

Dari analisis di atas dapat disimpulkan latar sosial dalam “Bom Waktu”

(trilogi bagian pertama) berdasarkan keadaan masyarakat yang terbagi dalam dua

kelompok yaitu pemerintah yang terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kaum

urban miskin antara lain Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih.

Kumis dan Bleki sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang

lebih di kawasan kumuh, termasuk wewenang penggunaan senjata api secara

sembarangan (106), (107). Selain itu, Kumis dan Bleki sering mengatasnamakan

jabatan agar dihormati oleh para penghuni kawasan kumuh (108), (109), (110);

memperoleh keuntungan untuk pribadi (111), (112); dan menjaga otoritas sebagai

aparat keamanan (113). Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat sering

menggunakan jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama kaum urban miskin

(114), (115), (116).

Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota urban miskin

yang tidak memiliki pekerjaan yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta,

kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta (117) dan

Roima. Tarsih berprofesi sebagai PSK (118) dan tidak jadi menikmati kehidupan

yang lebih baik sebagai istri muda Camat (119). Julini juga berprofesi menjadi PSK

(120) dan sering menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai

waria (121), (122). Tibal dan Tuminah berasal dari desa (123); mereka ingin menjadi

petani kota (124); dan bercita-cita mempunyai masa depan yang lebih baik (125).

Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak

kawasan kumuh yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas menengah ke atas

128

(126), (127). Sikap kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian

para PSK yang kurang sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak

pemda (128), (129). Para PSK juga belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak

kehidupan mereka menjadi lebih baik (130), (131). Pada akhir “Bom Waktu” para

penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan mudah karena mereka dianggap

bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka tempati (132).

2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)

2.2.2.1 Latar Tempat

“Opera Kecoa” diawali dengan menampilkan secara khusus emperan Plaza

Monumen sebagai tempat menginap Julini dan Roima setelah mereka menetap di

desa selama lima tahun. Julini dan Roima kembali ke desa karena mereka belum

mempunyai tempat tinggal yang tetap setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh

lima tahun yang lalu.

(133) EMPERAN PLAZA MONUMEN. PAGI.

(JULINI BANGUN TIDUR. ROIMA MASIH NGOROK)

JULINI: Sesejuk embun pagi, seharum bunga melati, hmmm....

(MENGHIRUP UDARA, MENGGELIAT)

... hmmm. Sudah siang. Kang, bangun, bangun. Kita harus pergi sebelum diusir satpam.

(hlm. 151)

Di sekitar emperan Plaza Monumen secara umum digambarkan dua kawasan

yang sangat berlawanan, yaitu kawasan metropolitan bukti proses pembangunan yang

129

dilakukan pemda dan kawasan kumuh sebagai kawasan yang luput dari

pembangunan. Kedua kawasan ini merupakan perbandingan antara kawasan yang

biasa melingkupi masyarakat kelas atas dan kawasan yang melingkupi masyarakat

kelas bawah.

(134) (BUMI MENGGELEPAR. TERKELUPAS. ANGIN MENGGEDOR, MENYERET ROIMA DAN JULINI KE

EMPERAN PLAZA MONUMEN. TERHAMPAR DUA KAWASAN YANG KONTRAS)

(METROPOLITAN YANG LENGANG PENUH MONUMEN. JALAN LAYANG YANG RUWET MELINGKAR-LINGKAR

SEPERTI USUS. JALAN TOL MEMBELAH KOTA. BANGUNAN TINGGI DI LATAR BELAKANG, DAN IKLAN-IKLAN NEON MENGOTORI LANGIT KOTA. DI TAMAN MILIK PEMDA,

NAMPAK PANGGUNG TEMPAT “TOPI BAJA CLUB BAND” MENGHIBUR PARA PENGUNJUNG TAMAN. ADA BANYAK

MONUMEN DI SITU. JAM RAKSASA TERHAMPAR DI RUMPUTAN. JARUMNYA MACET. MATI)

(SEBUAH KAWASAN KUMUH, DENGAN GUBUK-GUBUK

SALING HIMPIT, ATAPNYA SANGAT RENDAH. GOT KOTOR, JEMBATAN REYOT, MCK UMUM, POS HANSIP DAN

PUSKESMAS, MELENGKAPI KAWASAN ITU. JEMURAN DI MANA-MANA. DI DEPAN PINTU GUBUK, IBU-IBU SALING CARI KUTU. KOMPLEKS KUMUH ITU MASIH DIBAGI DUA: KAWASAN RUMAH TANGGA BAIK-BAIK DAN KOMPLEKS

PELACURAN) (hlm. 149-150)

Kawasan kumuh merupakan kawasan yang ramai karena ada kompleks PSK

yang dipimpin oleh Tarsih. Kawasan ini terletak di kolong jembatan, penuh dengan

gubuk dan rumah yang ditempati oleh para PSK. Kompleks PSK kepunyaan Tarsih

dan kawasan kumuh yang berisi orang baik-baik terletak bersebelahan dengan padang

130

golf. Selain padang golf, di dekat kawasan kumuh terdapat sebuah lahan luas sebagai

kawasan proyek yang akan dibangun menjadi lokasi elit.

(135) LAHAN LUAS, KAWASAN PROYEK. PAGI. (DI TEMPAT ITULAH DANA BANTUAN KREDIT LUAR

NEGERI DIRENCANAKAN AGAR DIGELAR MENJADI LOKASI ELIT. PADAHAL SEBAGIAN BESAR KAWASAN ITU MASIH

KUMUH. GUBUK-GUBUK DITUTUPI SELUBUNG KAIN PUTIH OLEH SATPAM, SEBELUM PEJABAT DAN TAMU DATANG

MENINJAU) (hlm. 213)

Lokasi lain yang dipakai para tokoh mewakili kaum urban miskin dalam

“Opera Kecoa” adalah markas para bandit pimpinan Kumis yang pada kemudian hari

diambil alih oleh Tibal dan Roima. Selain markas para bandit, ditampilkan juga

daerah pelacuran para waria yang menjadi tempat insiden penembakan Julini. Setelah

kematian Julini, beberapa latar yang dimunculkan berkaitan dengan kepahlawanan

Julini adalah monumen Julini atau daerah di sekitar patung Julini serta Plaza Julini.

Latar lain yang berada di luar wakil kaum urban miskin adalah rumah Pak

Pejabat. Peristiwa yang terjadi di rumah Pak Pejabat yaitu protes kaum urban miskin

atas insiden penembakan Julini serta permintaan tanggung jawab Pejabat sebagai

pemerintah dalam menangani kasus kematian Julini.

Dari penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan latar tempat dalam “Opera

Kecoa” (trilogi bagian kedua). Latar tempat tersebut antara lain emperan Plaza

Monumen sebagai tempat menginap Julini dan Roima setelah kembali dari desa

(133). Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang, yaitu

kawasan metropolitan hasil pembangunan yang dilakukan oleh pemda dan kawasan

131

kumuh yang luput dari pembangunan (134). Kawasan kumuh tersebut juga

berdekatan dengan lapangan golf milik pemerintah (135). Latar tempat yang

mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas para bandit, daerah pelacuran para

waria, daerah sekitar patung Julini, dan Plaza Julini. Selain itu, ditampilkan juga

rumah Pak Pejabat.

2.2.2.2 Latar Waktu

Latar waktu dalam “Opera Kecoa” digambarkan dalam penggalan-penggalan

waktu terjadinya peristiwa yang didominasi oleh pagi, siang, sore, malam. Rentang

waktu antara “Bom Waktu” dan “Opera Kecoa” adalah lima tahun. Latar waktu awal

“Opera Kecoa” adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh.

(136) ROIMA: Tunggu. Kalau tidak salah, gubuk kita dulu di sini. Di situ ada kali, jembatan, dan di sana gubuk Tarsih, gubuk Jumini dan Turkana di

mana ya?

JULINI: Di sini ‘kali.

(MEMULAS BIBIRNYA DENGAN LIPSTIK)

ROIMA: Ditinggal pergi lima tahun, bisa jadi begini. Luar biasa. Ke mana

mereka semua? (hlm. 152)

Peristiwa yang terdapat dalam “Opera Kecoa” merupakan peristiwa yang

terjadi selama masa pembangunan. Bantuan dana kredit dari luar negeri adalah

peristiwa yang terjadi sewaktu pembangunan sedang gencar dilaksanakan oleh bangsa

Indonesia.

132

(137) TAMU: (BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG)

Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangasa Tuan yang berbunyi....

(hlm. 185)

Latar waktu berupa tahun dapat diketahui melalui insiden penembakan Julini.

Dalam insiden ini, seorang waria teman Julini menyebutkan bahwa Julini adalah “The

Best Waria Tahun 1985” karena kepahlawanan Julini setelah kematiannya.

(138) WARIA-4: Idola kita. Dia ‘The Best Waria Tahun 1985’.

(hlm. 251)

Jadi, dapat diperkirakan bahwa peristiwa-peristiwa dalam Opera Kecoa

berlatar waktu tahun 1985. Jika dihitung mundur, maka peristiwa penggusuran yang

terjadi lima tahun sebelum “Opera Kecoa” bisa dipastikan berlangsung pada tahun

1980.

Melaui analisis di atas dapat disimpulkan latar waktu dalam “Opera Kecoa”

(trilogi bagian kedua) yaitu pagi, siang, sore, dan malam. Awal “Opera Kecoa”

adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (136).

Peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia sedang giat

melaksanakan pembangunan (137). Dapat diperkirakan berbagai peristiwa dalam

“Opera Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985 (138).

Jadi, terjadinya peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung lima

tahun sebelum insiden penembakan Julini, yaitu tahun 1980.

133

2.2.2.3 Latar Sosial

Latar sosial dalam “Opera Kecoa” digambarkan dengan sikap para anggota

dari keberadaan kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah dan kaum urban

miskin. Pihak pemerintah diwakili oleh Pejabat. Kelompok urban miskin diwakili

oleh Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah.

Pejabat adalah tokoh yang selalu ingin tampak baik di depan masyarakat. Dia

tidak mau rahasia perselingkuhannya dengan Tuminah terbongkar di depan publik.

Pejabat termasuk orang yang mengatasnamakan pembangunan untuk mendapat

keuntungan pribadi dan simpati masyarakat tanpa mempedulikan ada rakyat yang

harus tersingkir akibat program pembangunan ini. Di samping itu, Pejabat selalu

ingin namanya bersih di depan masyarakat, termasuk ketika terjadi insiden

penembakan Julini dan kebakaran di kompleks PSK. Ketika terjadi peristiwa

penembakan Julini, Pejabat terpaksa mengikuti kemauan kaum urban miskin yang

menuntut tanggung jawab Pejabat dalam menangani kasus tersebut. Hal ini bukan

hanya dilatarbelakangi tuntutan dari kaum urban miskin saja, tapi juga karena Pejabat

tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya. Sewaktu terjadi

kebakaran kompleks PSK, Pejabat tidak ingin ikut campur terlalu banyak dalam

mengusut pelaku pembakaran dan tidak mau dirinya dikaitkan dengan peristiwa

kebakaran tersebut.

(139) TUMINAH: Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.

PEJABAT:

134

Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran.

Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?.... (hlm. 158-159)

(140) TUMINAH: Cari istri lain, dong.

PEJABAT:

Istri lain? Mau diturunkan pangkatnya, apa? Bagi orang penting macam Mas, tidak boleh punya istri dua. Atasan bisa marah-marah.

Main-main di luaran boleh, tapi punya istri lagi? Nanti dulu. Persatuan istri-istri pejabat pengaruhnya kua sekali. Dan itu pula yang membuat

mereka makin sewenang-wenang. Kami para suami, hanya bisa mengurut dada. Sudah, sekarang Mas pulang dulu ya?

(hlm. 175)

(141) PEJABAT: Persahabatan kami dengan bangsa Tuan, sudah sampai ke taraf yang saling menjanjikan. Perhatian dunia terbetot ke sini semua. Tawaran

Tuan untuk bersedia memberikan kredit bunga lunak, sungguh simpatik sekali. Dana yang Tuan sumbangkan itu, percayalah, pasti

akan sangat bermanfaat bagi kehidupan rakyat kami. Dan mereka akan sangat berterimakasih.

(hlm. 185)

(142) (MEMANG TERDAPAT PAPAN-PAPAN PLANG RENCANA PEMBANGUNAN. TAPI YA CUMA ITU. SELEBIHNYA MASIH

BERUPA LAHAN)

TAMU: (BASA-BASI)

Luar biasa. Wonderful. Great. Satisfied. Dana bantuan yang sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan sangat tepat sekali. Semua ini akan

saya laporkan.

PEJABAT: Ini masih belum apa-apa. Hamparan tanah kosong yang di depan sana

itu kelak akan kita bangun sekolah-sekolah, perpustakaan umum, tempat-tempat ibadat dan pasar bagi pedagang modal kecil. Itulah

realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan yang kita anut. Pendeknya, semua demi kesejahteraan rakyat, demi pemerataan kue hasil

pembangunan.

135

(hlm. 213)

(143) PEJABAT: Diam semua! Diam! Bagus.

(PARA WARIA TERDIAM)

Baik. Laporan kalian akan dipelajari. Dan tunggu sampai kami selesai memproses kasus ini. Yang salah tentu tidak akan luput dari hukuman.

Soal lain-lain tunggu putusan! (hlm. 254)

(144) PEJABAT: Belum lagi 24 jam, dunia sudah ribut, Susah jadi pejabat.

Kelihatannya saja enak, padahal tidurnya kurang dan selalu jadi sasaran omelan rakyat. Dan dalam kasus ini, jelas itu bukan kesalahan

saya. Ini kesalahan oknum.

SATPAM-1: (MASUK LAGI)

Pak, koran pagi memuat lengkap reportase peristiwa penembakan Julini.

PEJABAT:

Kurang sambel, begitu cepatnya jadi berita? Lihat, lihat! Aduh, foto ini bisa menambah kemarahan orang banyak. Bagaimana mereka bisa mengambil foto sesadis ini? Saya curiga, jangan-jangan sebelumnya sudah ada skenarionya. Bisa jadi, ini rekayasa pihak-pihak tertentu.

He, kamu, usir wartawan-wartawan itu!

SATPAM-1: Baik, Pak.

(PERGI KELUAR)

PEJABAT: Apa waria itu betul-betul mati?

SATPAM-2:

Betul, mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat.

PEJABAT: Aduh, jadi bagaimana ini? Pasti saya yang lebih dulu kena getahnya.

136

(MEMBACA KORAN) “Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu

didukung oleh....” Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.

Cepat amat dia merespons. Brengsek. (hlm. 257-258)

(145) SATPAM-2: (MASUK DENGAN LEBIH BERGEGAS)

Paak! Utusan dari Menteri Sosial, datang bersama utusan dari Menteri Urusan Peranan Wanita, dan utusan dari Mendikbud dan Kejaksaan

Tinggi.

PEJABAT: (LEMAS)

Baik, baik. Saya menyerah. Kita bikin patung, monumen, kalau itu yang mereka mau. Kita

ciptakan martir. Kita ciptakan pahlawan waria. Sontoloyo! (hlm. 260-261)

(146) PEJABAT: (MARAH)

Lho, memangnya saya serba tahu? Musibah, ya, musibah. Kita akan selidiki itu semua dan menyeret yang bersalah. Tapi kalau memang ini musibah, mau bilang apa? Api kan sulit diduga. Percayalah, ini cuma

musibah. Pendek kata, saya berjanji, di tempat bekas kebakaran nanti akan kita

dirikan bangunan yang lebih baik lagi. Puas?

ROIMA: Dan bangunan itu bukan untuk kami. Memang itu yang Bapak maui,

kan? Kami sudah dikorbankan.

PEJABAT: (MARAH)

Setan, goblok. Jangan menuduh sembarangan. Kebakaran di mana pun bisa terjadi. Tidak boleh bercuriga dulu, selidiki dulu.

(hlm. 280)

Kaum urban miskin pun masih tidak luput dari akibat proses pembangunan

yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa anggota urban miskin sempat tersebar

137

karena penggusuran kawasan kumuh lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pula

Tarsih menabung uang dari hasil kerjanya sebagai PSK dan membeli tanah dan

membangun kompleks PSK di sana. Kompleks PSK milik Tarsih pun terancam

dipindah oleh petugas dinas sosial dengan alasan mengganggu keindahan dan

ketertiban kota dalam rangka pembangunan.

(147) SATPAM-1: Lho, iya. Coba lihat saja, kompleks pelacuran,eh, maaf, kompleks

PSK ini ada di tengah-tengah kampung. Di sana ada masjid, di sana gereja, dan di sana kelenteng. Biar mereka belum protes tapi kami dari dinas tata kota dan dinas sosial, memperhatikan. Ini kompleks harus

dipindahkan.

TARSIH: Ini kompleks sudah di pinggir kota.

SATPAM-1:

Kota berkembang sangat pesat. Mulanya ya di pinggir, ya, beberapa tahun kemudian, sementara kita lupa, tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah. Kita tidak ingin timbulnya ekses-ekses negatif di kemudian

hari kalau kompleks ini tetap dipertahankan.

TARSIH: Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari

mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.

(hlm. 156-157)

Selama lima tahun itu pula Julini dan Roima kemali ke desa. Namun, mereka

balik lagi ke kota dan mencari pekerjaan agar mereka bisa bertahan hidup. Julini

kembali menjadi PSK dan Roima yang semula hanya seorang pengangguran sekarang

ikut bekerja dalam kelompok bandit yang dipimpin oleh Kumis. Dari hasil pekerjaan

138

mereka, kini Julini dan Roima mampu memperbaiki sedikit perekonomian mereka.

Julini dan Roima juga mempunyai cita-cita untuk membuka usaha sendiri.

(148) JULINI: Yaa, untuk sementara saya jadi cabo lagi.

(hlm. 183)

(149) KUMIS: Roima, kamu datang kepada lamat yang tepat. Banyak orang melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak

diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas. Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya,

tidak gampang jadi bandit.

TUMINAH: Jadi diterima?

BLEKI:

Diterima dong....

(LARI MENGHINDAR) Nggak, Bang, maaf, kelepasan lagi.

TUMINAH:

Diterima, Mas Kumis?

KUMIS: (ALOT)

Ya. (hlm. 202)

(150) TUMINAH: Baju kamu bagus-bagus sekarang, ya?

JULINI:

Ya, namanya rezeki. Roima sekarang juga sering pulang bawa uang. Nggak kayak dulu, gratisan melulu. Kita nabung, rencananya kalau uang sudah terkumpul, mau buka salon. Nggak di sini, di pinggiran.

(hlm. 219)

139

Selama lima tahun Tibal harus tinggal di penjara karena telah membunuh

petugas saat peristiwa penggusuran kawasan kumuh. Kini dia telah bebas dan tidak

melanjutkan pekerjaannya sebagai petani kota serta belum mempunyai pekerjaan lain.

Sementara Tuminah, adik Tibal, yang dulu hanya mengikuti pekerjaan kakaknya

sebagai petani kini telah bekerja sebagai PSK profesional di kompleks PSK milik

Tarsih dan menjadi PSK kesayangan Pejabat. Tuminah menjadi PSK karena dia tidak

mempunyai keahlian lain untuk bekerja.

(151) TIBAL: Bangsat. Bajingan. Cacing. Tidak punya sikap. Lalu untuk siapa aku membunuh orang? Untuk siapa aku dipenjara? Untuk apa? Anjing.

Sialan. Lebih baik kamu aku bunuh sekalian. (hlm. 231)

(152) TUMINAH: Bukan. Akang dengar dulu ceritaku. Selama Akang dipenjara, dari mana aku bisa hidup? Siapa mau menanggung aku? Masa depanku hancur, tapi aku tidak ingin ikut hancur. Aku harus bisa berdiri, biar

untuk itu aku harus jadi cabo. Itu satu-satunya jalan sesudah semuanya buntu. Akang boleh marah,

tapi coba pikir lagi dalam-dalam, apa yang bisa dikerjakan perempuan bodoh macam aku? Sendiri, di Jakarta. Pulang kampung? Di mana

kampung kita? Aku sebatang kara. (hlm. 232)

Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok pemerintah dan

kelompok urban miskin, ada juga penggambaran secara simbolik tentang kelompok

masyarakat yang menjadi bagian dalam pembangunan yang dilaksanakan di

Indonesia pada saat itu. Pembangunan yang dikerjakan di Indonesia dan di kota

Jakarta sebagai ibukota negara sewaktu itu masih sangat labil. Digambarkan secara

gamblang bahwa negara Indonesia belum mempunyai sistem kehidupan yang teratur,

140

baik dalam pembangunan secara fisik maupun sistem pemerintahan yang

dibandingkan dengan luar negeri.

(153) TK. SULAP: (MELANJUTKAN PIDATONYA)

Kecoa ada di mana-mana, Saudara-saudara, di seluruh dunia. Coba bayangkan: di Amerika, yang kita sudah kenal kampiun dalam segala hal: sanitasinya bagus, demokrasinya berjalan mulus, tetap ada kecoa. Kata orang, satu orang Amerika berbanding 150 kecoa. Hitung berapa

penduduk Amerika. Wouww... serem. Di negeri kita? Jangan tanya lagi. Di sini, sanitasinya buruk,

demokrasinya sangat tidak mulus. Banyak teror, penculikan dan pembunuhan yang tidak terungkap. Wouww... bisa-bisa satu orang berbanding 2000 kecoa. Masya Allah, Tuhan Maha Besar. Kalau

penduduk kita 200 juta, maka ada 400 milyar kecoa di sekeliling kita. Gila, gila. Apa itu harus kita biarkan? Tidak, no, nehi, niet. Kita wajib

membasminya. Ini tugas kita semua. (hlm. 166)

Dari kutipan di atas terdapat penggambaran kemiskinan di suatu negara yang

disimbolkan dengan kecoa. Di sebuah negara maju yang telah mempunyai sistem

pemerintahan yang dapat dikatakan nyaris sempurna pun ternyata masih ada

kemiskinan dalam sebagian kecil masyarakatnya. Hal ini dibandingkan dengan

negara Indonesia. Indonesia tergolong sebagai negara yang sedang mengadakan

pembangunan di sana-sini dan bisa dipastikan bahwa Indonesia mempunyai tingkat

kemiskinan yang lebih tinggi. Kemiskinan masih dialami oleh sebagian besar

masyarakat Indonesia, apalagi di Jakarta yang seringkali menjadi kota tujuan para

urban yang ingin mengadu nasib. Maka diperlukan kekuatan besar dari pemerintah

dan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan yang semakin banyak tersebar di

Indonesia.

141

Selain kemiskinan, negara Indonesia juga mempunyai kelabilan dalam bidang

perekonomian walaupun pembangunan telah diadakan di mana-mana. Perekonomian

di Indonesia dianggap belum cukup kuat untuk menyokong program pembangunan

yang diadakan oleh pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bantuan dari luar

negeri dalam bentuk dana kredit untuk menopang pembangunan negara Indonesia.

(154) TAMU: (BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG)

Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangsa Tuan yang berbunyi....

(MENGAMBIL CATATAN DARI SAKUNYA DAN MEMBACA)

“... yang akan memanfaatkan dana kredit untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yang akan dibangun, hanyalah usaha-usaha yang manfaatnya

bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Semua proyek mercusuar akan kembali ditinjau dan digantikan dengan proyek-proyek

multiguna. Dengan demikian, bantuan kredit ini tidak boleh hanya ditinjau dari segi keuangannya saja, tapi lebih merupakan usaha

manusia untuk membantu saudara-saudaranya sesama manusia....” (hlm. 185)

Dari kutipan tersebut dapat diketahui juga bahwa negara Indonesia yang

belum kuat perekonomiannya ini berani mengambil resiko berhutang kepada luar

negeri melalui dana kredit.

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan latar sosial “Opera Kecoa”

(trilogi bagian kedua) melalui sikap para anggota dari keberadaan kelompok-

kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili oleh Pejabat dan kaum urban

miskin yang terdiri atas Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah.

Pejabat merupakan tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik di depan

orang banyak (139), Pejabat termasuk orang yang suka mencari aman (140), mencari

142

simpati orang lain (141), (142); tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan

politiknya (144), (145); dan tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang

menimpa urban miskin (146).

Keadaan anggota kaum urban miskin dapat digambarkan melalui Tarsih yang

telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini dianggap

mengganggu keindahan kota (147). Julini yang baru saja kembali dari desa terpaksa

menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota (148); Roima yang semula

pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam kelompok bandit

(149) dan memperoleh penghasilan sendiri (150). Tibal adalah bekas napi yang belum

mempunyai pekerjaan tetap (151) dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional sejak

Tibal dipenjara (152).

Latar sosial juga ditampilkan melalui kemiskinan dalam pembangunan negara

Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa (153). Indonesia yang

memiliki perekonomian yang tergolong belum mapan berani mengambil resiko

berhutang kepada luar negeri lewat dana kredit (154).

2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)

2.2.3.1 Latar Tempat

Latar awal dalam “Opera Julini” adalah jalanan ibukota dan kawasan kumuh.

Kawasan kumuh yang juga merupakan kawasan sengketa antara pemda dan rakyat

kecil disebut sebagai kawasan Lokasari. Keadaan kawasan Lokasari dapat diketahui

melalui dialog antara Pejabat dengan Aspri yang menyatakan bahwa di dalam

143

kawasan kumuh tersebut terdapat sampah yang menggunung, jembatan roboh, gubuk-

gubuk, dan anak-anak penghuni kawasan kumuh yang berkeliaran karena tidak punya

rumah.

(155) PEJABAT: Ya sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok

kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.

(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)

Apa yang ada di depan kita, Paijo?

ASPRI:

Sampah yang menggunung, Pak.

PEJABAT: Di samping kiri kita?

ASPRI:

Jembatan roboh, Pak.

PEJABAT: Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya?

ASPRI:

Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP.

PEJABAT: Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju?

Apa tidak kedinginan?

ASPRI: Makan saja sulit, apalagi beli pakaian.

PEJABAT:

Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran?

ASPRI:

144

Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada

di dalam rumah mereka sendiri, Pak. (hlm. 297-298)

Latar tempat lainnya berupa markas besar para bandit milik Tibal-Roima dan

markas rahasia para bandit sebagai tempat berkumpulnya bandit-bandit yang ingin

menyerahkan setoran kepada Tibal dan Roima serta sebagai tempat rapat para bandit,

kantor urusan bordil milik Tibal-Roima yang dikelola oleh Tuminah sebagai tempat

pendaftaran calon-calon PSK, di bawah Plaza Julini dan di sekitar patung Julini

menjadi tempat “parkir” para wadam, daerah sekitar patung Julini merupakan tempat

para wadam mati tertimpa patung Julini yang roboh karena ditembaki oleh polisi.

Plaza Julini juga merupakan tempat ‘perang’ antara kelompok bandit pimpinan Tibal

dengan pihak keamanan negara.

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan latar tempat “Opera Julini” (trilogi

bagian ketiga) adalah jalanan ibukota dan kawasan Lokasari yang ada di dalam gang-

gang daerah kumuh (155). Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas

rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, sekitar Plaza Julini dan

patung Julini.

2.2.3.2 Latar Waktu

Latar waktu dalam “Opera Julini” adalah pagi, siang, sore, malam. Latar

waktu berupa tahun juga dapat diketahui dalam “Opera Julini”.

(156) PAIJO:

145

Mereka berdua yang memimpin wadam-wadam demonstrasi ke kantor kita sekitar 10 tahun yang lalu. Kemudian Bapak mengeluarkan

keputusan untuk mendirikan patung salah seorang wadam yang mati kena peluru nyasar.

(hlm. 371)

Dari kutipan (156) dapat diperkirakan bahwa peristiwa yang terjadi dalam

“Opera Julini” merupakan peristiwa berlatar tahun 1995 atau sekitar sepuluh tahun

setelah kematian Julini pada tahun 1985. Selain itu, latar waktu juga dapat diketahui

dengan menghitung mundur lima belas tahun sebelum kemunculan berbagai peristiwa

dalam “Opera Julini” yang kebanyakan terjadi pada tahun 1995.

(157) ROIMA: Betul, aku harus banyak teman. Ah, Tuminah, kenapa kita jadi begini?

Mungkin lebih enak hidup seperti lima belas tahun lalu. Miskin dan dikejar-kejar, tapi tidak rumit seperti sekarang.

(hlm. 398)

Melalui kutipan (157) bisa dipastikan bahwa lima belas tahun yang lalu

adalah tahun 1980 atau saat menjelang peristiwa penggusuran kawasan kumuh dalam

“Bom Waktu”. Selain latar waktu berupa tahun, ada juga latar waktu berupa hitungan

hari.

(158) PEJABAT: Sudah berapa lama aku sakit mata, Paijo?

ASPRI:

Memasuki bulan keempat, Pak. Tepatnya 99 hari.

PEJABAT: (MENGELUH)

Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Hidup kita bukannya makin tenteram, malah semakin ricuh. Aku ingin menulis surat pengunduran

diri.

ASPRI:

146

Aduh, jangan, Pak. Nanti saya bagaimana.

PEJABAT: Syarat utama bagi seorang pejabat adalah sehat jiwa raga.

Aku ini sudah boleh dibilang buta. Tidak memenuhi syarat. Celakanya lagi, aku malu penyakitku diketahui umum.

(hlm. 406)

Ketika tepat memasuki hari ke-99 sakit mata, Pejabat akhirnya

mengungkapkan keinginannya untuk mengundurkan diri karena sakit mata yang tidak

segera sembuh. Dia merasa seorang pejabat yang mengalami sakit mata tidak pantas

menjadi pemimpin.

Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) dapat disimpulkan

terdapat latar waktu pagi, siang, sore, dan malam. Peristiwa dalam “Opera Julini”

adalah sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya sepuluh tahun

sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa

penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) (156),

(157). Selain itu, terdapat juga hitungan berupa hari yaitu sembilan puluh sembilan

hari Pejabat sakit mata (158).

2.2.3.3 Latar Sosial

Latar sosial dalam “Opera Julini” terdiri dari pembagian kelompok

masyarakat menjadi pihak pemerintah dan kaum urban miskin. Pihak pemerintah

diwakili oleh Pejabat, sedang kaum urban miskin diwakili oleh Roima, Tibal, dan

Tuminah. Dalam trilogi bagian ketiga ini Pejabat bertekat menumpas kelompok

147

bandit pimpinan Tibal dan Roima yang dianggap telah mengganggu ketenangan

masyarakat.

(159) PEJABAT: Bandit-bandit bagaimanapun bisa bikin masyarakat resah. Cegah

sebelum telanjur. Selidiki.

POLISI-2: Saya yakin mereka punya rencana besar, Pak....

(hlm. 296)

Diceritakan bahwa Pejabat sempat mengalami sakit mata. Selama sakit mata,

Pejabat dibantu oleh istri Pejabat yang mengambil alih wewenang untuk

memberantas kelompok bandit.

(160) ISTRI: Tumpas sampai habis komplotan itu. Kalian boleh pakai biaya tanpa batas. Ini perintah dari Bapak. Seret yang namanya Tuminah kemari, aku ingin tahu kayak apa muka badak betina yang tidak tahu malu itu.

Sekarang kalian pergi. Laksanakan perintah dengan baik!

POLISI-1: Perintah Bapak bagaimana?

PEJABAT:

Lho, sudah dengar tadi kan? Ya seperti itu tadi, seperti yang sudah diucapkan Ibu.

(hlm. 372)

(161) ISTRI: Coba, sekarang di mana lagi kamu bisa memperoleh informasi? Hah?

Siapa bisa ditanya di mana markas para bandit itu? Hah? Di mana Tuminah bersaudara itu ngumpet? Hah? Jawab!

POLISI-2:

Bu, maaf ya, yang wajib memarahi kami, Ibu atau Bapak?

PEJABAT: (MARAH)

148

Tutup mulut kamu. Suara istriku sama seperti suaraku. Dia penyambung lidahku selama aku sakit. Patuhi dia.

(hlm. 402)

Akhirnya semua rencana kelompok bandit dapat digagalkan dengan bantuan

tentara. Namun, bagi Pejabat pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok bandit

hampir saja terjadi karena kelalaian Pejabat dalam mengawasi pemerintahan ibukota.

Oleh karena itu, Pejabat mengajukan pengunduran diri kepada Menteri sebab

menganggap dirinya kurang mampu mengatasi permasalahan di ibukota, termasuk

mengatasi gerakan kelompok bandit. Pada akhir “Opera Julini” pengunduran diri

Pejabat ditolak oleh Menteri. Justru Pejabat diberi kenaikan pangkat dan wewenang

untuk mengurus ibukota kembali. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sebuah

struktur pemerintahan seorang pejabat yang mempunyai kelalaian dalam tugasnya

kadang dibenarkan dan kelalaiannya hanya dianggap sebagai kesalahan kecil yang

masih bisa diperbaiki walaupun kelalaian tersebut mencakup kehidupan orang

banyak, termasuk kehidupan rakyat kecil.

(162) ASPRI: Tidak perlu kuatir lagi. Bantuan datang. Tentara sudah mengepung

markas bandit-bandit itu. Kerusuhan ini, kata komandan tentara, bukan kerusuhan besar. Mereka jamin, dua atau tiga jam, kota bisa

dikendalikan lagi. (hlm. 432)

(163) PEJABAT: Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya

sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab

tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.

ISTRI:

149

Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung jawab terhadap segala macam urusan suami saya. Sayalah tulang

punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah dia....

MENTERI: Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat

pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus

kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.

(hlm. 440)

Kaum urban miskin pun telah mengalami beberapa perubahan yang nantinya

berdampak pada cara hidup mereka. Tuminah tidak hanya menjadi PSK profesional,

tetapi juga menjadi pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Tuminah juga

mengusahakan adanya pelajaran etiket dan bahasa Inggris untuk keperluan para PSK

“berdagang”. Dalam hal ini Tuminah cukup banyak mengalami perubahan karena

hidupnya cenderung ingin setara dengan masyarakat kelas atas. Roima yang semula

hanya menjadi anak buah Kumis kini telah beralih menjadi pimpinan kelompok

bandit setelah kematian Kumis. Sementara Tibal yang dulu hanyalah seorang bekas

napi dan pengangguran, sekarang juga telah menjadi pemimpin kelompok bandit

bersama Roima.

(164) TUMINAH: Bagaimana, Bajenet?

BAJENET:

Ya, bagaimana lagi? Bakat sebegini bagus masa ditolak? Mereka bisa kita minta kerja rangkap nantinya, sebagai penyanyi dan sebagai

gituan. Kan untung kita.

TUMINAH:

150

Kalian diterima. Datang tiga hari lagi kemari, kalian akan ditampung dan diberi segala macam yang dibutuhkan. Kerja dimulai tanggal 15

bulan depan. (hlm. 359-360)

(165) GURU: Kalau anjuran saya dipatuhi, kalian akan kelihatan seksi. Percayalah. Langganan akan tergila-gila, tarif pasti naik. Coba. Satu, dua, tiga,

empat. Bagus. Ingat baik-baik “good whore is a good sales girl, okay?”.

Kalian ini semua pedagang. Apa yang dijual? Tubuh kalian. Artinya, jangan sekali-kali jatuh cinta. Berabe. Begitu, Zus Tuminah?

TUMINAH:

Betul.

GURU: Jadi, ingat. Nomor satu, jangan jatuh cinta. Nomor dua, jangan bicara

uang. Utamakan pelayanan. Pelayanan memuaskan, otomatis uang datang seperti hujan. Nomor tiga, pelihara badan. Ini penting, karena itu modal utama kalian. Jika latihan tubuh dan etiket finish, saya akan

kasih pelajaran kesenian.

(CABO-CABO TERTAWA)

Weeh, kenapa tertawa? Jangan lupa kalian high class, kesenian penting sebagai bahan pembicaraan. Kalian harus bisa menyanyi,

harus bisa baca puisi, harus tahu novel-novel best seller. Sesudah itu pelajaran bahasa. Penting.

ADE:

Apa bahasa penting? Kalau tamu sudah naik syahwat, kan bahasa kita cuma aah-uuh-ooh-uuh. Paling-paling menjerit.

GURU:

Ee, dibilangi membantah. Kalau kamu pura-pura naik syahwat ucapkan itu dalam bahasa Inggris, gengsi kalian langsung naik.

(hlm. 419-420)

Roima dan Tibal mempunyai rencana rahasia untuk melakukan

pemberontakan terhadap pemerintah ibukota, tapi berita rencana rahasia itu tersebar

151

dan telah sampai kepada petugas keamanan serta Pejabat. Rencana untuk mengacau

kota ini bisa sampai terdengar oleh pemerintah karena pada saat penataran P-6 ada

salah seorang anggota waria yang ikut dibawa petugas ke markas polisi secara tidak

sengaja telah membocorkan rahasia para bandit, terutama tentang Tibal sebagai

pimpinan kelompok bandit. Berita penataran P-6 ini juga telah didengar oleh

Tuminah yang mengelola kantor urusan bordil. Tuminah menjadi khawatir karena

tidak ingin keberadaan kelompok bandit diketahui oleh petugas, terutama rahasia

keberadaan Tibal sebagai pemimpin para bandit yang ingin mengacau ibukota.

(166) SUARA: Itu maksud tujuan kami datang malam ini. Kalian semua akan ditatar P-6 dulu, untuk kemudian ditingkatkan ke penataran-penataran lain yang bisa membuat kalian jadi warga yang baik, jadi manusia yang

baik.

SYENI: P-6 apaan sih, Pak?

SUARA:

Itu singkatan dari Pendidikan Pedoman Penghayatan Perilaku Pantang Pertengkaran.

(hlm. 354)

(167) DUING: Wadam-wadam itu mau ditatar P-6, bahaya kan tuh?

BAJENET:

Setan kamu Duing, aku kira ada apa. Ya biar saja mereka ditatar, apa urusan kita?

DUING:

Bukan hanya itu. Yang digiring itu termasuk Laila dan Wanda. Kalau mereka bocor mulut, cerita tentang kita? Laila ‘kan langganan Mas

Tibal? Eh, maaf ya, Zus Tuminah.

TUMINAH:

152

Betul. Kalau mereka bocor mulut, kita semua pasti celaka. (hlm. 367-368)

Semula para waria diberi penataran P-6 oleh petugas agar tidak membuat

keributan terus-menerus di tempat “parkir” mereka. Namun, ternyata petugas

menggunakan penataran P-6 ini untuk mengorek informasi dari para waria mengenai

kelompok bandit. Petugas tahu bahwa para waria mempunyai kedekatan dengan

kelompok bandit pimpinan Tibal.

Akhirnya Tibal mengetahui kalau rahasia keberadaan kelompok bandit telah

dibocorkan oleh salah satu waria yang mengikuti penataran P-6. Tibal menjadi sangat

marah karena keberadaannya telah diketahui oleh pihak pemerintah, yaitu Pejabat.

(168) TIBAL: Baru sesudah terjadi kamu menyesal, nangis apa gunanya. Mulut

becekmu itu menyebabkan kami semua terancam. Padahal kamu sudah disumpah. Masih ingat apa sumpah yang paling penting? Hah? Masih

ingat? Jawab!

LAILA: Setia kepada kelompok.

TIBAL:

Terus? Yang lebih penting lagi.

LAILA: Kalau tertangkap polisi, urus diri sendiri... jangan bawa-bawa teman.

TIBAL:

Dan sekarang apa yang sudah kamu lakukan? Kamu berkhianat. (hlm. 390)

(169) ISTRI: Rencanakan apa saja asal bandit-bandit bisa ditumpas.

PEJABAT:

153

Dan kalian kuberi waktu dua minggu. Gagal, aku pecat. Sukses, kenaikan pangkat menunggu.

(hlm. 405)

Keadaan semakin kacau setelah Tibal membunuh Roima. Kerusuhan yang

direncanakan Tibal untuk mengacau kota ternyata masih terlihat sebagai rencana

mentah karena Tibal terlalu gegabah dan kurang memperhitungkan resiko dari

rencana tersebut. Tibal dan kelompoknya terlalu tergesa-gesa dalam menjalankan

rencana tersebut sehingga semua usaha kelompok bandit gagal. Hal ini menunjukkan

bahwa organisasi kelompok bandit kurang rapi dalam merencanakan sesuatu.

(170) TIBAL: Tidak perlu pikirkan Roima lagi, yang sudah mati biarkan mati. Kita memang harus membalas dendam apa yang sudah mereka lakukan

terhadap kita. Kamu lihat, api di kejauhan? Itu adalah pertanda gerakan kelompok kita dimulai. Hari ini, mereka bergerak di seluruh

pelosok kota. Semua orang kita berkumpul di sini, untuk bikin kerusuhan. Dalam keadaan kacau segalanya bisa terjadi. Dan kita tinggal mengeruk keuntungan. Kita akan menguasai semuanya,

Tuminah. Kamu dan aku. Tidak ada lagi orang yang akan menghina kita. Tidak akan ada lagi, inilah cita-citaku sejak aku keluar penjara.

[...]

BAJENET:

Sebaiknya kita hentikan gerakan, Bos. Kita kewalahan. Roima betul. Rencana kita memang masih mentah. Erlalu pagi kita bergerak.

BONAR:

Bos, Bos Tibal. (TERENGAH-ENGAH)

TIBAL:

Kenapa kemari. Kamu kan aku suruh jaga markas?

BONAR: Kita mampus, Bos. Mampus. Tiga puluh truk tentara dan tank-tank

baja mengepung kita.

154

(hlm. 430-431)

Kegagalan rencana kerusuhan ini merupakan bentuk kehancuran kelompok

bandit. Kelompok bandit berhasil ditumpas oleh tentara walupun pemimpinnya,

Tibal, beserta Tuminah sebagai atasan kelompok PSK tidak tertangkap.

Selain keadaan kelompok-kelompok masyarakat, pada awal “Opera Julini”

dalam dialog Pejabat dengan Aspri diceritakan situasi penggusuran kawasan kumuh

di sebuah daerah sengketa bernama Lokasari.

(171) PEJABAT: Banyak traktor dan pasukan anti huru-hara. Ada apa, Paijo?

ASPRI:

Penggusuran, Pak. Kawasan ini memang pantas digusur, sebab dianggap sebagai sumber

kemaksiatan.

PEJABAT: Apa nama kawasan itu, Paijo?

ASPRI:

Lokasari, Pak.

PEJABAT: Apa? Lokasari? Itu kawasan sengketa. Dan di pengadilan, Pemda

dinyatakan kalah perkara. Kok masih terus dibongkar?

ASPRI: Ah, mana mungkin Pemda bisa kalah, Pak? Ada-ada saja.

(hlm. 299)

Dari kutipan di atas diceritakan bahwa kawasan kumuh tersebut tetap dalam

proses penggusuran walaupun pihak Pemda dinyatakan kalah di pengadilan. Kawasan

kumuh yang masih ditempati oleh banyak anggota urban miskin tetap berada dalam

wewenang Pemda, bukan menjadi hak penghuninya yaitu kaum urban miskin.

155

Kesimpulan latar sosial dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) yaitu ada

penggambaran sikap para tokoh yang mewakili pihak pemerintah yaitu Pejabat dan

pihak kaum urban miskin yang diwakili oleh Tuminah, Tibal, dan Roima. Pejabat

diperlihatkan sebagai orang yang mempunyai tekat menghancurkan kelompok bandit

(159). Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginan untuk menumpas

kelompok bandit dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih wewenang Pejabat

sebagai pemimpin (160), (161). Pada akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para

bandit dapat diatasi tentara (162). Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat meminta untuk

mundur, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak dan Pejabat malah diberi

kenaikan pangkat (163).

Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang

semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket

dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya (164), (165). Roima yang hanya anak

buah Kumis kini telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang

semula cuma pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan

penataran P-6 oleh petugas (166). Dalam penataran tersebut, salah satu waria

langganan Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas (167),

(168). Karena keberadaan kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat

merencanakan penumpasan kelompok tersebut (169). Akhirnya kelompok bandit

benar-benar hancur oleh pihak pemerintah karena rencana para bandit yang kurang

matang (170).

156

Selain keadaan para tokoh yang mewakili pemerintah dan kaum urban miskin,

dalam “Opera Julini” juga ditampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa

penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas

bawah dan pemda (171).

2.2.4 Rangkuman

Latar dalam drama trilogi Opera Kecoa dapat dirangkum secara keseluruhan.

Rangkuman ini meliputi pembagian latar tempat, latar waktu, dan latar sosial dalam

tiap bagian trilogi; yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera Kecoa”

(trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Kesimpulan tersebut

akan dipaparkan sebagai berikut.

2.2.4.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa

Dalam drama “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) latar tempat terdiri dari

tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas

menengah ke atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk urban

miskin, pepohonan sebagai “rumah” Abung, kantor hansip, dan kantor Camat.

Latar tempat dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) terdiri atas emperan

Plaza Monumen sebagai tempat tinggal sementara Julini dan Roima sesudah kembali

dari desa. Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang,

yaitu kawasan hasil pembangunan oleh pemda dan kawasan kumuh yang luput dari

perhatian pembangunan. Dekat kawasan kumuh tersebut juga ada lapangan golf milik

157

pemerintah. Latar tempat yang mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas

para bandit, daerah pelacuran para waria, daerah sekitar patung Julini, dan Plaza

Julini; serta rumah Pak Pejabat.

“Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) mempunyai latar tempat jalanan ibukota

dan kawasan kumuh Lokasari. Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas

rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, daerah sekitar Plaza

Julini dan patung Julini.

2.2.4.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa

Pada latar waktu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) dapat diketahui

bahwa ada waktu yang disebutkan dengan pagi, siang, sore, dan malam. Latar waktu

lainnya ditandai dengan suatu peristiwa yaitu menjelang pemilu. Di samping itu,

waktu juga dapat dirunut dengan penanggalan. Urutan tanggal ini dimulai dengan

peristiwa pemberian mandat “pembersihan” kawasan kumuh oleh Camat kepada

Kumis dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke kawasan tersebut. Kunjungan

Gubernur akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret, sedangkan mandat ini diberikan

tiga bulan sebelum kunjungan, yaitu tanggal 1 Desember. Kumis mengumumkan

mandat dari Camat seminggu setelah mandat diturunkan atau semunggu sesudah

tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember. Sebagai bentuk “pembersihan”

kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta pindah paling lambat satu bulan

sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah tanggal 8 Desember, yaitu

158

tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan penggusuran atau beberapa waktu

pasca pemilu.

Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) disebutkan latar waktu adalah

pagi, siang, sore, dan malam. Awal trilogi bagian kedua ini adalah lima tahun setelah

peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Berbagai

peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia sedang giat

melaksanakan pembangunan. Dapat diperkirakan bermacam kejadian dalam “Opera

Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985. Jadi, peristiwa

penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung mundur lima tahun sebelum insiden

penembakan Julini, yaitu tahun 1980.

Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) kebanyakan hanya

disebutkan pagi, siang, sore, dan malam. Bermacam peristiwa dalam “Opera Julini”

terjadi sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya, sepuluh tahun

sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa

penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Selain

itu, terdapat juga hitungan berupa hari yang dapat diketahui sejak Pejabat mengalami

sakit mata, yaitu sembilan puluh sembilan hari. Selama itu pula wewenang Pejabat

diambil alih oleh istrinya.

2.2.4.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa

Latar sosial dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disimpulkan

berdasar pada masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu pemerintah yang

159

terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kelompok urban miskin antara lain Julini,

Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Dari pihak pemerintah Kumis dan Bleki

sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang lebih di kawasan kumuh,

termasuk wewenang penggunaan senjata api secara sembarangan. Selain itu, Kumis

dan Bleki sering mengatasnamakan jabatan agar dihormati oleh para penghuni

kawasan kumuh; memperoleh keuntungan untuk pribadi; dan menjaga otoritas

sebagai aparat keamanan. Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat

juga sering memakai jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama simpati dari

kaum urban miskin.

Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota kaum urban

miskin yang tidak memiliki pekerjaan, yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta,

kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta serta Roima.

Tarsih berprofesi sebagai PSK dan tidak jadi menikmati kehidupan yang lebih baik

sebagai istri muda Camat. Julini juga berprofesi sebagai PSK dan sering

menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai waria. Tibal dan

Tuminah berasal dari desa; mereka ingin menjadi petani kota; dan bercita-cita

memiliki masa depan yang lebih baik.

Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak

kawasan kumuh yang berada di sekitar tempat orang-orang kelas menengah ke atas.

Sikap kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian para PSK yang

kurang sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak pemda. Para PSK

juga belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak kehidupan mereka menjadi lebih

160

cerah. Pada akhir “Bom Waktu” para penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan

mudah karena mereka dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka

tempati.

Latar sosial dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) dapat dilihat melalui

sikap para nggota kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili

oleh Pejabat dan kaum urban miskin yang terdiri dari Julini, Roima, Tarsih, Tibal,

dan Tuminah.

Pejabat digambarkan sebagai tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik

di depan orang banyak; Pejabat juga termasuk orang yang suka mencari aman,

mencari simpati orang lain, tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan

politiknya, serta tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang menimpa

para urban miskin.

Keadaan anggota kaum urban miskin dapat diketahui melalui Tarsih yang

telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini terancam

digusur sebab dianggap mengganggu keindahan kota oleh petugas. Julini yang baru

saja kembali dari desa terpaksa menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota;

Roima yang semula pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam

kelompok bandit dan memperoleh penghasilan sendiri. Tibal adalah bekas napi yang

belum mempunyai pekerjaan tetap dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional

untuk menghidupi dirinya sendiri sejak Tibal dipenjara.

Latar sosial juga ditampilkan lewat kemiskinan dalam pembangunan negara

Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa. Indonesia yang termasuk

161

sebagai negara yang belum mapan perekonomiannya ternyata berani mengambil

resiko berhutang kepada luar negeri melalui dana kredit.

Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) terdapat penggambaran sikap

para tokoh yang mewakili latar sosial. Para tokoh tersebut adalah pihak pemerintah

yang diwakili oleh Pejabat serta kaum urban miskin yang terdiri dari Roima, Tibal,

dan Tuminah. Pejabat diperlihatkan sebagai orang yang bertekat menghancurkan

kelompok bandit. Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginannya untuk

menumpas kelompok bandit tetap dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih

wewenang Pejabat sebagai pimpinan. Pada akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para

bandit dapat diatasi dengan bantuan tentara. Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat

meminta untuk mengundurkan diri, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak

oleh Menteri. Pejabat justru diberi kenaikan pangkat.

Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang

semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket

dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya. Roima yang hanya anak buah Kumis

sekarang telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang sebelumnya

cuma seorang pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan

penataran P-6 oleh petugas. Dalam penataran tersebut, salah satu waria langganan

Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas. Karena keberadaan

kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat mulai mengetahui kelemahan mereka

dan membuat rencana penumpasan kelompok bandit. Akhirnya kelompok bandit

162

benar-benar dihancurkan oleh pihak pemerintah sebab strategi kerusuhan para bandit

dapat dikatakan kurang matang.

Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok-kelompok dalam

masyarakat, “Opera Julini” juga menampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa

penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas

bawah dengan pemda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah tidak

pernah menang dalam menghadapi pihak pemerintah. Pihak pemerintah dalam hal ini

digambarkan sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dominan dalam kehidupan

bersama suatu masyarakat, termasuk dalam memutuskan sesuatu.

163

BAB III

KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH TERHADAP KAUM

URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA

KARYA NORBERTUS RIANTIARNO

Dari analisis tokoh dan penokohan serta latar pada bab II dapat diketahui

gambaran kehidupan orang-orang yang mewakili kelas-kelas sosial masyarakat di

Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa. Dalam bab III kehidupan masyarakat

tersebut akan dianalisis lebih lengkap dengan cara mencari bentuk kekerasan

struktural melalui pelaku dan korban kekerasan struktural, terutama kekerasan

struktural yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin, sehingga

dampak dari kekerasan struktural itu dapat dilihat secara langsung. Pelaku kekerasan

struktural memang tidak dapat dilacak secara langsung oleh pihak yang menjadi

korban, tapi bentuk kekerasan struktural dan dampaknya dapat dirasakan langsung

oleh korbannya. Dalam drama trilogi Opera Kecoa pihak pemerintah yang

seharusnya merupakan institusi yang bertugas membantu mengurangi permasalahan

justru menimbulkan banyak konflik dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah

cenderung menjadi sekelompok elit penguasa yang dalam berbagai kasus ternyata

memiliki kepentingan sendiri. Kekerasan struktural muncul karena pertumbuhan

kapital yang tidak merata dan berkembang tidak terbatas sehingga hanya

menguntungkan sekelompok masyarakat saja. Biasanya kekerasan struktural bersifat

statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, tidak menampakkan pelaku secara langsung

164

sebab kekerasan ini sudah menjadi bagian dari struktur sehingga sering dianggap

wajar, dan terwujud sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat.

Akibat kekerasan struktural yang paling tampak adalah kemiskinan, pendapatan atau

kekayaan yang tidak merata, ketidakadilan sosial, serta peniadaan individu karena

proses penyeragaman warga negara. Analisis bentuk kekerasan struktural akan

dilakukan sesuai dengan pembagian trilogi yang terdiri dari “Bom Waktu” (trilogi

bagian pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi

bagian ketiga). Selanjutnya, akan diuraikan analisis bentuk kekerasan struktural

dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian

Pertama)

Dalam “Bom Waktu” terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok

pemerintah yang diwakili oleh Bleki, Kumis, dan Camat sebagai para pelaku

kekerasan struktural. Kelompok yang kedua adalah kaum urban miskin yang terdiri

dari Tarsih, Tibal, Julini, Roima, Abung, dan Tuminah sebagai para korban kekerasan

struktural. Dalam trilogi bagian pertama ini berbagai bentuk kekerasan struktural

dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap kaum urban miskin. Hal tersebut dapat

dilihat pada analisis berikut ini.

165

3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih

Tarsih merupakan salah satu anggota kaum urban miskin yang mengalami

kekerasan struktural. Selama hidupnya, Tarsih belum pernah mengalami perbaikan

nasib, terutama perekonomian dan keberadaannya sebagai anggota kelas bawah

dalam kehidupan bersama kelas atas. Tarsih mengalami kekerasan struktural dalam

bentuk ketidakpedulian pihak pemerintah untuk mengusahakan perbaikan nasib

perekonomian Tarsih dan kaumnya sehingga timbul ketimpangan sosial ekonomi

dengan perbedaan kesejahteraan yang tajam antara kelas bawah dan kelas atas.

Bahkan dalam hal ini Tarsih tidak dapat mengetahui secara langsung pihak yang

terus-menerus membuatnya tetap berada dalam kemiskinan, tapi dampak dari

kemiskinan ini benar-benar dapat dialami Tarsih. Dampak kemiskinan yang dirasakan

Tarsih antara lain ketimpangan pendapatan, terbatasnya produktivitas, dan tidak

memperoleh pendidikan yang seharusnya bisa dia dapatkan. Tarsih merasa bahwa

kemiskinan akan menjadi nasibnya seumur hidup, tapi di sisi lain justru kemiskinan

itu membuat Tarsih merasa harus mempertahankan kehormatannya sebagai manusia.

(172) TARSIH: Julini benar, seumur hidup kita tak akan kebagian apa-apa lagi. Sudah nasib kita untuk selalu memberi, berapa lama bisa tahan? Kita bukan

laut yang tak bisa kering.

KASIJAH: Tapi apa bisa berbuat lain?

TARSIH:

(MENGGELENG. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MATANYA BERCAHAYA)

Mengapa tidak bisa. Apa beda kita dengan mereka yang hanya bisa makan di atas sana. Yang tidak mau berbuat apa-apa padahal

166

sebetulnya mereka bisa. Apa beda kita dengan mereka, yang punya mata tapi tidak melihat. Yang punya mulut tapi tidak mau bicara.

Yang punya otak tapi tak mau peduli. Yang punya kekuasaan untuk mengubah keadaan tapi sontoloyo?

KASIJAH:

Tarsih, Tarsih. Kau sehat?

TARSIH: Aku sehat. Sehat. Aku hanya ingin supaya kita berbuat sesuatu:

mengubah keadaan masa depan kita sendiri.

KASIJAH: Dengan cara apa, mengangkat senjata? Senjata yang kita punya cuma

kehormatan diri sendiri.

TARSIH: Kehormatan. Kalau seumur hidup cuma berkubang di comberan, mana bisa punya kehormatan. Makin lama kita hanya akan makin jadi sisa.

(hlm. 61-62)

Dengan adanya kelas-kelas sosial yang masing-masing mempunyai

kesejahteraan hidup berbeda jauh, Tarsih juga merasakan hilangnya kemampuan

untuk menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini Tarsih dibatasi oleh kemiskinan

untuk dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sekarang

dijalaninya, terutama dalam memperoleh pekerjaan yang lebih layak yang mampu

meningkatkan perekonomiannya. Tarsih memiliki tekat untuk mengubah masa

depannya menjadi lebih baik, tapi untuk mewujudkan hal tersebut Tarsih akan

kesulitan sebab kedudukannya sebagai anggota masyarakat kelas bawah akan

membuatnya tidak diberi kesempatan oleh kelas sosial yang lebih tinggi dalam

masyarakat.

167

Tarsih sebagai anggota urban miskin merasa tidak mempunyai masa depan,

tidak mempunyai kesempatan untuk mengubah nasibnya menjadi orang dengan

kesejahteraan hidup yang lebih baik. Bahkan ketika sedang tanya jawab dengan

Camat sewaktu Camat meninjau kawasan kumuh, Tarsih mengeluarkan pernyataan

yang menunjukkan dirinya mengalami kekerasan struktural. Hal ini dapat diketahui

ketika Tarsih mengatakan bahwa dia dan kaumnya tidak memiliki kesempatan untuk

mendapat pekerjaan yang lebih layak sebab dia berasal dari masyarakat kelas bawah.

Pekerjaan layak yang mampu memperbaiki perekonomian seseorang seakan-akan

hanya milik masyarakat kelas atas. Tarsih menganggap pekerjaannya selama ini tidak

akan memberinya kesejahteraan di masa depan walaupun dia sudah bekerja keras.

Pernyataan Tarsih tersebut menunjukkan adanya kekerasan struktural yang berbentuk

pembatasan masyarakat dengan meniadakan partisipasi anggota urban miskin dalam

mengambil keputusan tentang nasib diri sendiri dan adanya ketimpangan pendapatan

sebab keuntungan hanya dapat dirasakan oleh pihak lain, bukan oleh Tarsih sendiri.

Anggota kelas bawah terbatas oleh kemiskinan sehingga mereka seolah-olah tidak

berhak mendapat pekerjaan yang layak untuk memperbaiki kehidupan. Namun, dalam

kekerasan struktural yang dialaminya, Tarsih tidak dapat melacak pelaku yang

membuatnya miskin terus-menerus. Kekerasan yang dialami Tarsih ini dianggap

wajar oleh Tarsih karena Tarsih sebagai korban kekerasan tidak merasa bahwa hal

yang dialaminya adalah suatu kekerasan.

(173) CAMAT: Sudahlah, apa Tarsih tidak pernah memikirken masa depan?

168

TARSIH: (MULAI DENDAM)

Tarsih tidak punya masa depan. Semua orang tahu, kita yang ada di sini tidak punya masa depan. Hanya Bapak dan orang-orang semacam

Bapak saja yang punya masa depan.

(BERPUISI) Pelacur-pelacur kota Jakarta, bersatulah!

(PARA PELACUR BERTEPUK TANGAN. MERIAH)

CAMAT:

Lho, kok gitu.

TARSIH: Memang begitu. Bapak masih punya harapan naik pangkat, kalau kerja

bagus. Kita? Makin tua umur kita semakin berkurang langganan. Padahal kita terus dipajaki. Padahal kerja setengah mati. Goyang kanan, goyang kiri. Mana dikejar-kejar oleh orang-orang macam

Kumis yang sering minta imbalan aneh-aneh. Kalau kita berhenti, lantas mau kerja di mana?

(hlm. 77-78)

Dari kutipan (173) Tarsih juga membandingkan nasib yang dialami antara

masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Tarsih mengungkapkan bahwa

kesempatan memperoleh kehidupan layak akan lebih mudah didapat oleh masyarakat

kelas atas dibandingkan masyarakat kelas bawah. Tarsih sebagai anggota masyarakat

kelas bawah merasa bahwa pihak pemerintah saja yang akan memperoleh kesempatan

perbaikan hidup lewat pekerjaan, pendapatan, dan pangkat. Secara tidak langsung hal

ini menunjukkan kekerasan struktural yang berbentuk kerusakan solidaritas sebab ada

perbedaan kesempatan hidup layak antarkelas sosial. Pemerintah sebagai pihak yang

mempunyai struktur sosial lebih tinggi telah mengadakan pembatasan terhadap

masyarakat berstruktur sosial lebih rendah. Dalam kekerasan struktural berupa

169

kerusakan solidaritas ini sekali lagi kaum urban miskin tidak bisa merasakannya

secara langsung sebagai sebuah bentuk kekerasan karena kekerasan tersebut tidak

dapat diamati secara jelas, tapi dampak dari kerusakan solidaritas dapat dirasakan

oleh masyarakat kelas bawah.

Tarsih sebagai wakil para PSK menyatakan bahwa selama ini dia merasa tidak

diberi keahlian apapun oleh pemerintah walaupun Camat sudah menyatakan nasib

kaum urban miskin akan diperhatikan. Tidak adanya usaha dari pihak pemerintah

untuk membantu kaum urban miskin dalam memperbaiki kehidupan menyebabkan

nasib membawa Tarsih tetap menjadi PSK. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa

kekerasan struktural terjadi terhadap Tarsih dalam bentuk pembatasan kemampuan

individu. Seandainya Camat sebagai pihak pemerintah peduli dengan keadaan urban

miskin, setidaknya Camat akan mengadakan pemberian keahlian lain kepada para

PSK, yaitu keahlian sesuai dengan kemampuan individu agar dapat digunakan dalam

pekerjaan yang lebih layak.

(174) CAMAT: Sudah-sudah... Tarsih, kamu bisa bahasa Inggris?

TARSIH:

Kalau saya bisa, masa saya ada di sini. Tarip saya tentu lebih mahal dan saya akan ada di hotel-hotel mewah. Di situ tentu lebih enak, lebih bebas. Orang macam kalian kan lebih suka mengejar-ngejar kami yang

tidak berdaya, yang tidak punya beking, yang lemah....

(SUITAN-SUITAN)

CAMAT: Diperhatiken, nasib kalian akan diperhatiken. Tenang, tenang....

TARSIH:

170

(SUDAH MEMUNCAK) Apa gunanya kalian datang. Meninjau? Untuk apa? Berikan kami kerja

yang layak dan dengan sendirinya kami akan berhenti jadi cabo. Jangan cuma ngomong, meninjau, ngomong. Tidak habis-habis.

Diperhatiken, nasib kami diperhatiken, tai babi semuanya. (hlm. 78-79)

Dalam kutipan (174) diketahui bahwa Tarsih merupakan anggota urban

miskin yang tidak mempunyai keahlian apapun. Hal ini membuat Tarsih harus tetap

berprofesi sebagai PSK. Tarsih juga merasakan kedatangan Camat dalam rangka

meninjau kawasan kumuh tidak ada gunanya karena kunjungan tersebut tidak

membawa perubahan apa-apa bagi kaum urban miskin, termasuk perubahan nasib

anggota masyarakat kelas bawah penghuni kawasan kumuh. Dalam hal ini

sebenarnya Camat sebagai pemerintah daerah telah melakukan kekerasan struktural,

yaitu penipuan kepada urban miskin dengan cara mengatakan bahwa pemerintah

memperhatikan nasib urban miskin. Namun, pernyataan Camat terbukti sebagai

kebohongan karena selama kunjungan ke kawasan kumuh Camat datang hanya untuk

menyaksikan keberadaan urban miskin serta menarik simpati rakyat; bukan

memberikan tindak nyata untuk membantu memperbaiki kehidupan kaum urban

miskin.

(175) TARSIH: (MENYANYI)

Mereka selalu datang Dan pura-pura peduli

Sambil mengintip kesempatan

Mereka selalu datang Hanya bikin jurang pemisah

Semakin bertambah renggang

171

Apa manfaatnya mereka datang? (hlm. 79-80)

Tarsih sempat merasakan jarak yang sangat lebar antara kaumnya dengan

anggota masyarakat kelas atas. Dari nyanyian Tarsih di atas dapat diketahui bahwa

pihak pemerintah; yaitu Camat, Kumis, dan Bleki; seringkali meninjau kawasan

kumuh, tapi kedatangan mereka hanya sekadar formalitas agar pemerintah daerah

tidak dikira telah mengabaikan masyarakat urban miskin. Sebenarnya Camat tidak

peduli dengan keadaan kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Tarsih telah

mengalami kekerasan struktural berupa kerusakan solidaritas antara pihak pemerintah

dengan masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan renggangnya hubungan

antarkelas sosial.

3.1.2 Kekerasan Struktural terhadap Tibal

Selain Tarsih, anggota urban lain yang merasakan kemiskinan adalah Tibal.

Kemiskinan yang dialaminya merupakan dampak dari kekerasan struktural yang

dilakukan oleh Kumis dan pihak pemerintah lainnya. Dalam kutipan (176) Tibal

sebenarnya telah mengalami kekerasan struktural berupa eksploitasi yang dilakukan

oleh Kumis. Kumis melakukan eksploitasi dengan memanfaatkan kemiskinan Tibal.

Kumis mengetahui bahwa Tibal sebagai orang miskin dapat dihisap tenaganya untuk

memenuhi kebutuhan pribadi Kumis, sehingga Kumis menggunakan kekuasaan yang

berlebih sebagai pemerintah untuk mengeksploitasi Tibal. Tibal yang saat itu masih

menjadi penghuni baru di kawasan kumuh belum mengetahui watak Kumis yang

172

sebenarnya. Pada awal kedatangannya, Tibal mempunyai kesepakatan dengan Kumis,

yaitu Kumis memberikan izin kepada Tibal membuka lahan untuk berladang dengan

syarat Tibal membagi hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Hal ini termasuk

bentuk eksploitasi karena secara tidak langsung Kumis telah memeras tenaga Tibal

untuk mengerjakan ladang sementara Kumis hanya menunggu Tibal menyerahkan

hasil penjualan tanamannya. Bentuk kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis

adalah menghilangkan kesempatan Tibal untuk mengambil keputusan tentang nasib

Tibal sendiri sehingga mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan antara Kumis

sebagai aparat pemerintah daerah dan Tibal sebagai anggota masyarakat kelas bawah.

Artinya, pertukaran ekonomi antara Tibal dan Kumis hanya memberikan keuntungan

yang besar kepada Kumis saja, sementara Tibal memperoleh keuntungan yang sangat

sedikit. Kumis telah mengendalikan Tibal dengan cara mengharuskan Tibal membagi

hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Padahal sebenarnya Tibal bisa saja

menggunakan hasil penjualan tanamannya untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini

Kumis telah mempengaruhi Tibal dengan cara memberikan imbalan, yaitu izin

berladang; dan di sisi lain Kumis juga telah mengendalikan Tibal dengan cara

mewajibkan Tibal menyetorkan hasil penjualan tanamannya. Pengendalian ini bisa

menjadi pembatasan terhadap potensi Tibal, juga merupakan bentuk monopoli

wewenang untuk memutuskan suatu hal, dan merupakan wujud kekuasaan Kumis

yang tidak terbatas sehingga merugikan pihak lain.

(176) JULINI: Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya?

173

TIBAL: Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan.

[...]

JULINI:

Nyogok berapa sama si Kumis?

TIBAL: Tidak nyogok. Tapi bagi-bagi hasil. Itu perjanjiannya.

JULINI:

Jangan percaya sama si Kumis. Dia hanya bikin apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri. Hati-hati saja.

(hlm. 69-70)

3.1.3 Kekerasan Struktral terhadap Julini

Dari kutipan (176) juga dapat diketahui bahwa Julini sebagai penghuni lama

kawasan kumuh telah mengenal watak Kumis yang sering mengambil keuntungan

untuk diri sendiri, padahal sebagai aparat pemerintah daerah Kumis seharusnya

memberikan perlindungan kepada masyarakat urban miskin dan bukannya menakuti

mereka dengan cara mengadakan wajib bayar bagi urban miskin yang ingin

mengadakan kegiatan di kawasan kumuh. Kumis mempunyai kebiasaan melakukan

korupsi sebagai bentuk kekerasan struktural. Kebiasaan menerima sogokan dari para

penghuni kawasan kumuh dilakukan Kumis dengan tujuan mencari keuntungan untuk

diri sendiri. Selain itu, secara tidak langsung sogokan merupakan syarat dari Kumis

kepada penghuni kawasan kumuh agar para penghuni kawasan kumuh mendapat

kebebasan untuk mengerjakan atau mendapat apa yang mereka inginkan.

174

Dalam kutipan (177) sebagai PSK Julini merasa tidak pernah mendapat

penghasilan cukup untuk memperbaiki perekonomian hidupnya. Upah yang rendah

dari pekerjaan sebagai PSK menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan dan

menyebabkan penghuni kawasan kumuh tetap miskin.

(177) ROIMA: Memang jelek nasib kita.

JUMINI:

Tak pernah senang, selalu kepepet.

JULINI: Selalu jelek, padahal kita sudah cukup keras berusaha.

KASIJAH:

Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Jul, Tarsih tidak bisa datang, nasibnya jauh lebih bagus dari kita.

JUMINI:

Kenapa rupanya.

KASIJAH: Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, ada uang setiap bulan. Dia bisa tenang. Kita?

Akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan tetep dikejar-kejar....

(hlm. 119)

Sebagai PSK, dalam kutipan (177) kehidupan Julini tidak akan pernah

mengalami perkembangan dalam perekonomian sebab peluangnya untuk mendapat

pekerjaan yang lebih baik telah dibatasi oleh masyarakat kelas atas. Dalam hal ini

pemerintah sebagai anggota masyarakat kelas atas secara langsung tidak memberikan

pengarahan kepada Julini agar Julini bisa memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan

dapat diterima oleh masyarakat luas. Secara tidak langsung sebenarnya pihak

175

pemerintah telah mengabaikan keberadaan Julini serta tidak menganggap Julini dan

urban miskin lainnya sebagai anggota masyarakat yang perlu mendapat perhatian dari

pemerintah, termasuk dalam masalah penyediaan lapangan kerja.

3.1.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima

Roima pun merasakan akibat dari kekerasan struktural yang berupa

kemiskinan. Roima menganggap bahwa nasibnya tidak akan bisa berubah sebab dia

dan anggota urban miskin lainnya selalu diposisikan sebagai anggota masyarakat

yang harus disisihkan. Dari kutipan (177) di atas, nasib Roima dan urban miskin

lainnya dibandingkan dengan nasib Tarsih yang sudah menjadi istri muda Camat.

Secara tidak langsung sebenarnya Roima telah mengalami kekerasan struktural

berupa kerusakan solidaritas karena Camat ternyata tidak mampu memberikan

kesejahteraan kepada seluruh penghuni kawasan kumuh seperti yang pernah

dijanjikannya. Camat yang telah mengatasnamakan diri sebagai bagian dari

pemerintah daerah ternyata telah memakai kekuasaan yang berlebih untuk

memberikan kesejahteraan hanya kepada Tarsih karena keinginan pribadi Camat.

Selain itu, bentuk kekerasan struktural lainnya adalah pernyataan adanya upah rendah

dalam pekerjaan anggota urban miskin dan hal ini berarti terjadi ketimpangan

pendapatan antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Masyarakat

kelas bawah menganggap bahwa orang yang telah berada dalam lingkungan

masyarakat kelas atas akan mempunyai jaminan memperoleh kehidupan yang lebih

layak melalui perekonomian.

176

Menjelang akhir “Bom Waktu” Roima yang seorang pengangguran terpaksa

pergi meninggalkan kawasan kumuh karena tempat tersebut akan digusur. Roima dan

penghuni kawasan kumuh lainnya tidak memperoleh ganti rugi apapun saat

meninggalkan “rumah” mereka, termasuk ganti rugi berupa tempat tinggal yang baru.

(178) JUMINI: Lho, Roima ke mana, Julini ke mana?

ROIMA:

Belum tahu pergi ke mana, Yu. Apa kata nanti saja-lah.

JUMINI: Hati-hati. Aku akan kehilangan kalian....

TURKANA:

Kita semua akan berpencar-pencar. Belum tahu lagi harus tinggal di mana.

(hlm. 120)

3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung

Tokoh lain yang mengalami kekerasan struktural adalah Abung. Abung

merupakan penghuni kawasan kumuh yang tidak pernah bercakap-cakap dengan

orang lain. Namun, sebenarnya Abung mengamati kehidupan kaumnya yang tidak

pernah mendapat perbaikan nasib. Abung merasa kehidupan kaum urban miskin

selalu dibatasi oleh pemerintah. Sebenarnya Abung telah mengalami kekerasan

struktural berbentuk ketimpangan sosial ekonomi, kerusakan solidaritas, dan

partisipasinya sebagai anggota masyarakat ditiadakan sehingga dia tidak mempunyai

hak untuk menentukan nasib diri sendiri. Abung merasa bahwa kaum urban miskin

177

tidak akan pernah mendapatkan perubahan nasib menjadi lebih baik karena

pemerintah tidak memperhatikan mereka.

(179) ABUNG: Dilemparkan di sini, tanpa penjelasan aku harus berbuat apa. Lalu aku ini apa, tokoh? Kalau tokoh, aku cuma tokoh tak keruan juntrungan. Mana lakon yang harus kumainkan? Kapan aku harus bermain dan

kapan harus istirahat di pinggir panggung?

(MARAH) Aku capek. Aku capek tapi tak bisa berhenti. Begitu banyak orang dibiarkan hidup tanpa persiapan, tanpa bekal apa-apa. Jiwa mereka menjerit, benjol-benjol, bahkan sampai luka mengucurkan darah. Berderet orang antri untuk mencari apa yang mereka pikir bisa

membuat hidup bahagia. Tapi antreannya mandek, padahal yang antre makin bertambah banyak. Setan kredit, menagih hutang-hutang kita

tiap detik. (hlm. 64)

Abung merasakan dirinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasib

sendiri sebab dia berasal dari masyarakat kelas bawah. Bahkan Abung tetap berusaha

mencari kebahagiaan di dalam kemiskinannya, tapi dia tidak pernah menemukan.

Dari kutipan di atas dapat diketahui Abung sangat mengamati keadaan kaumnya yang

mengalami ketimpangan sosial ekonomi. Kaum urban miskin adalah kelompok

masyarakat yang tidak memiliki kemungkinan untuk mengubah nasib mereka dengan

meraih kesejahteraan hidup sebab mereka tidak pernah diberi kesempatan.

Dalam kutipan (179) dan (180) dapat diketahui bahwa kelompok masyarakat

kelas bawah dan kelas atas mempunyai jarak yang sangat renggang dalam tingkat

perekonomian sehingga hal itu mempengaruhi hubungan pada kehidupan sosial

mereka. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan solidaritas antarkelas sosial. Kutipan

(180) menunjukkan Abung sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasi kesulitan

178

perekonomiannya dan hal ini mengakibatkan Abung tidak dapat dengan leluasa

menentukan nasibnya sendiri. Permasalahan kelas sosial membuat Abung harus

mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi, termasuk

mengikuti keinginan pihak pemerintah.

(180) ABUNG: Aku ada di mana-mana, hadir dalam setiap peristiwa. Tapi apa peranan yang sekarang sedang kumainkan? Apakah aku pemeran utama, atau cuma embel-embel pelengkap penderita? Aku tahu apa yang sedang terjadi, tapi cuma itu. Aku kan tidak boleh berbuat apa-apa, sebab

memang tidak ada dalam rancangan. Lagipula aku selalu merasa ada di luar peristiwa. Lama-lama tidak enak juga jadi penonton.

(KEPADA LANGIT)

Ke mana aku harus pergi dan bertanya. Ke mana, katakan. Ke mana? Brengsek. Brengseeek....

(hlm. 93)

Abung melewati masa hidupnya di kawasan kumuh dengan selalu

menanyakan guna keberadaan dirinya. Dalam hal ini Abung merasa tersisih sebagai

anggota kaum urban miskin sebab masyarakat kelas atas tidak ada yang

memperhatikan nasib kelas bawah. Dalam kutipan (181) Abung mempertanyakan

nasibnya sebagai anggota urban miskin, tapi Abung tidak tahu bagaimana cara

mengubah nasibnya sebab kebebasannya untuk menentukan hidup secara tidak

langsung telah dibatasi oleh kelas sosial yang lebih tinggi. Abung telah mengalami

dampak kekerasan struktural berupa ketimpangan sosial ekonomi karena keuntungan

hanya diperoleh pihak yang mendominasi kekuasaan, termasuk dominasi wewenang

dalam pemerintahan.

(181) ABUNG: (MEMBACA)

179

Semua tahu, kita punya hak untuk bertanya. Punya hak untuk mendapatkan jawaban. Semua orang tahu, kalau kita bertanya itu tidak

berarti kita sedang menyulut api perang. Kalau kita bertanya, tidak berarti kita tidak setia.

Kalau kita tanyakan apa peranan kita sebetulnya, tidak berarti kita tidak percaya. Tapi sekarang, hampir semua orang tidak tahu kepada

siapa harus bertanya. (MENUTUP BUKU)

(hlm. 122)

Kutipan (182) merupakan hari pelaksanaan penggusuran kawasan kumuh.

Dalam penggusuran ini Abung sempat mempertanyakan nasib kaum urban miskin

kepada Camat sebagai pemerintah daerah yang saat itu ikut mengawasi penggusuran.

Ketika penggusuran sebenarnya Abung telah mengalami kekerasan struktural.

Kekerasan struktural yang pertama adalah penggusuran itu sendiri. Penggusuran

merupakan pembatasan terhadap hak seseorang untuk memilih dan memakai tempat

tinggalnya. Selain itu, penggusuran ini lebih tepat merupakan pengusiran yang

dilakukan oleh pemerintah daerah dan para penghuni kawasan kumuh yang menjadi

korban penggusuran tidak mendapat ganti rugi apapun. Kekerasan struktural yang

lainnya adalah penipuan yang dilakukan oleh Camat kepada Abung. Dalam hal ini

Camat berpura-pura tidak tahu tentang penggusuran ini dan lebih memilih

melemparkan masalah tersebut kepada Gubernur. Padahal sebagai pemerintah daerah

seharusnya Camat mengetahui hal-hal yang terkait dengan penggusuran ini dan

mengusahakan agar penghuni kawasan kumuh yang menjadi korban penggusuran

mendapat ganti rugi karena masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh pun masih

menjadi tanggung jawab pemerintah.

(182) ABUNG:

180

(MELEDAK) Dan inilah saatnya aku memperoleh jawaban. Siapa aku, siapa aku?

Kenapa ada di sini, untuk apa aku di sini. Mengapa semua orang diberi persoalan dan dihabiskan oleh persoalan mereka sendiri tapi aku tetap

seperti wayang yang tinggal di kotak? Siapa aku ini, apa aku ini?

(TIBA-TIBA ABUNG MENGAMUK)

KUMIS: Wehh, ‘ngamuk lagi dianya.

BLEKI:

Gawat... Komandan, kita tembak saja?

(CAMAT LARI DIKEJAR-KEJAR ABUNG)

CAMAT: Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya

jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa. Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.

ABUNG:

Pak Gubernur? Orang yang ada di atas sana? Orang yang kerjanya cuma makan saja?

CAMAT:

Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak melihat ada orang di atas.

ABUNG:

Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe,

bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak

mau.

BLEKI: Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?

KUMIS:

Nih, pestolnya.

BLEKI:

181

Aduh, tugas berat.

(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA MEMBIDIK ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG

KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)

ABUNG: Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.

Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.

(SEMUA TERDIAM)

(ABUNG MATI) (hlm. 137-138)

Dalam kutipan di atas Abung sangat merasakan adanya ketimpangan sosial

ekonomi antara kelas atas dan kelas bawah. Sampai pada saat penggusuran Abung

tidak memperoleh perbaikan nasib sedikit pun. Dia sempat membandingkan antara

kehidupan yang dijalani masyarakat kelas atas yang terkesan mudah dan serba

tercukupi serta kehidupan yang harus dilalui masyarakat kelas bawah yang selalu

dipersulit dan selalu kekurangan. Akhirnya Abung hanya bisa mengamuk sebab

pemerintah tidak memberi jalan keluar untuk mengatasi kemiskinannya. Setelah

mengamuk cukup lama, Abung ditembak mati oleh Bleki yang saat itu menjadi

petugas penggusuran.

3.1.6 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah

Tuminah pun mejadi korban kekerasan struktural berupa kebohongan yang

dilakukan oleh Kumis; hal ini dapat dirunut melalui kutipan (183), (184), (185),

(186), (187). Dalam kutipan (183) Tibal benar-benar tersudut karena dalam tiga hari

182

dia harus mempertimbangkan keputusannya untuk menyelamatkan ladang serta

mempertahankan kehormatannya dan Tuminah. Tibal memberitahukan kepada

Tuminah bahwa Kumis menginginkan keperawanan Tuminah jika Tibal ingin

mempertahankan ladang. Kumis telah melakukan eksploitasi kepada Tuminah sebab

Kumis ingin menggunakan tenaga Tuminah untuk memenuhi keuntungan pribadi

Kumis dalam hal pemenuhan kebutuhan seks. Selain itu, ternyata Kumis juga telah

berhasil mempengaruhi Tuminah sehingga Tuminah mulai percaya bahwa Kumis

akan membebaskan ladang Tibal jika Tuminah mau memberikan keperawanannya

kepada Kumis. Bahkan Tuminah berharap bahwa dengan memberikan

keperawanannya kepada Kumis, maka bukan hanya ladang, tapi juga tempat tinggal

Tibal dan Tuminah akan luput dari penggusuran.

(183) TUMINAH: Tum harus tahu. Si Kumis tadi minta apa supaya kita bisa tetap tinggal

di sini.

TIBAL: Diam, kubilang! Diam!

TUMINAH:

Tum akan diam kalau Akang katakan apa yang diminta oleh Kumis. Kalau sulit, kita kan bisa berusaha. Asal ladang yang sudah capek-

capek kita tanami tidak digusur begitu saja. Tum akan berusaha membantu sekuat tenaga.

TIBAL:

(MELEDAK) Dia minta kamu, keperawananmu, kehormatanmu sebagai imbalan.

Bagaimana bisa kuat aku mendengarnya. Bagaimana aku tidak marah. Kalau saja aku sendirian tadi, aku sudah adu nyawa. Ini penghinaan.

TUMINAH:

(TERMENUNG)

183

Jadi itu yang dia minta. Kita dikasih waktu tiga hari untuk berpikir, tadi aku dengar Kumis bilang begitu.

(hlm. 112-113)

Kutipan (184) menunjukkan bahwa Tuminah sudah benar-benar di bawah

pengaruh Kumis. Tuminah yang merasa harus menyelamatkan kehidupan

perekonomiannya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor Kumis dan

memberikan keinginan Kumis, yaitu keperawanan Tuminah. Dalam nyanyian di

bawah ini Tuminah benar-benar tidak diberi pilihan lain kecuali menyerahkan

keperawanannya demi menyelamatkan ladang Tibal. Sebenarnya Tuminah telah

mengalami kekerasan struktural berupa hilangnya hak Tuminah untuk menentukan

nasib diri sendiri. Karena terhimpit masalah perekonomian Tuminah harus

mempertahankan ladang yang menjadi satu-satunya sumber penghasilannya di kota.

(184) TUMINAH: (BERCERMIN, MENYANYI)

Bagi cacing seperti aku

Adakah pilihan lain?

Yang disodorkan memang racun Tapi adakah pilihan lain?

Bumi gelap di sudut-sudut Panah tajam siap di busur Pisau-pisau siap menusuk

Dan sembilu ‘kan menyobekku

Di sini dan di sana racun Adakah pilihan lain?

Oh, adakah pilihan lain?

(TUMINAH PERGI KE TEMPAT KUMIS) (hlm. 114)

184

Dalam kutipan (185) Tuminah telah menyerahkan keperawanannya kepada

Kumis tanpa sepengetahuan Tibal. Tuminah menganggap setelah keperawanannya

diambil oleh Kumis, maka Tuminah dan Tibal akan dibebaskan dari penggusuran.

Tuminah benar-benar termakan janji Kumis tanpa mendapat jaminan bahwa janji

Kumis nantinya akan dipenuhi.

(185) TUMINAH: Kita tak akan digusur, Kang. Tidak akan.

TIBAL:

Apa?

(BARU MEMPERHATIKAN) Apa-apaan ini, kamu pakai kain bagus, kebaya bagus, pakai gincu.

Kamu habis dari mana. Bilang, kamu habis dari mana.

TUMINAH: Tum baru datang dari kantornya Kumis.

TIBAL:

Jadi kamu... Tuminah, jadi kamu....

TUMINAH: Ya, dan kita tidak akan digusur. Sehabis peninjauan Bapak Gubernur, kita akan tetap tinggal di sini. Mendirikan gubuk dan berladang. Itu

janji Mas Kumis tadi. (hlm. 117)

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Tibal yang sejak awal tidak

percaya kepada Kumis kini merasa telah gagal menjaga kehormatannya dan Tuminah,

serta kebohongan yang dilakukan Kumis mulai terlihat. Tibal menganggap apa yang

telah dilakukan oleh Tuminah tidak akan dapat menyelamatkan apapun, bahkan Tibal

merasa nasibnya dan nasib Tuminah sebagai masyarakat kelas bawah akan semakin

185

bertambah buruk sebab kebebasan hidup mereka semakin dibatasi oleh kelompok

masyarakat yang lebih berkuasa.

Kutipan (186) dan (187) menceritakan hari pelaksanaan penggusuran kawasan

kumuh. Pada hari itu Tuminah baru benar-benar merasakan bahwa dia telah ditipu

oleh Kumis. Tuminah yang semula menganggap bahwa keperawanannya dapat

menjadi jaminan pembatalan penggusuran gubuk dan ladang, kini Tuminah mulai

mengetahui kalau semua yang dilakukan oleh Kumis adalah suatu penipuan. Ketika

gubuknya sedang dibongkar, Tuminah sempat menanyakan kembali janji-janji

Kumis. Namun, Kumis tidak mau mengakui bahwa dia pernah menjanjikan

pembatalan penggusuran gubuk dan ladang.

(186) TUMINAH: (KAGET. BERTERIAK)

Lho? Gubukku kok dibongkar juga? Apa-apaan ini? Tunggu!

BLEKI: Komandan, bagaimana ini? Dibongkar, jangan?

KUMIS: Bongkar!

TUMINAH:

Kok dibongkar juga? Bagaimana janjimu? Aku sudah kasih apa yang kamu ingin, masa tetap kamu bongkar juga?

KUMIS:

Aku tidak janji apa-apa. Bongkar!

TUMINAH: Tunggu! Tunggu!

(MASUK HANSIP-HANSIP MENYERET TIBAL)

HANSIP:

186

Komandan! Komandan!

TIBAL: (LEMAS)

Tum, ladang kita mereka gusur....

TUMINAH: Kang, rumah kita dibongkar juga....

(hlm. 133)

Dari kutipan (186) dan (187) dapat diketahui bahwa Kumis melakukan

kekerasan struktural berupa penipuan dan eksploitasi kepada kaum urban miskin.

Dalam hal ini Kumis melanggar janjinya untuk membatalkan penggusuran jika

Tuminah menyerahkan keperawanannya. Karena merasa ditipu, akhirnya Tibal

mengamuk kepada petugas penggusuran. Akibatnya Tibal dianggap sebagai

pemberontak yang mengacau pelaksanaan penggusuran dan dibawa ke kantor polisi

untuk ditahan. Penahanan Tibal dalam akhir kutipan (187) menunjukkan adanya

kekerasan struktural berupa penghilangan orang yang dianggap sebagai sumber

kesulitan. Pemerintah daerah menganggap bahwa semua urban miskin yang

memberontak dalam pelaksanaan penggusuran ini adalah orang-orang yang dapat

menggagalkan proses pembangunan sebab penggusuran ini merupakan salah satu cara

agar pembangunan yang dilakukan oleh negara dapat berhasil.

(187) KUMIS: Jangan takut, Bleki. Ini cuma ekses dari pembangunan. Kalau mau maju ya harus begini ini; rela berkorban. Artinya, satu dibongkar

semua dibongkar. Tidak boleh pilih kasih. Sehabis pembongkaran, akan ada pembangunan. Begitu akan terjadi, berulangkali. Jadi jangan

berhenti! Terus bongkar, bongkar!

TUMINAH: Tapi janji-janjinya... mana?

187

KUMIS: Aku tidak pernah janji apa-apa.

TIBAL:

(MELEDAK) Ladangku digusur juga.

Lalu apa gunanya Tuminah tidur sama kamu setiap kali kamu ingin? Berapa kali? Anjing, bangsat.... Jahanam kamu.

(CAMAT DAN SEKRETARIS CAMAT DAN BEBERAPA

PENGAWAL DATANG. TIBAL YANG MENGAMUK SEGERA DIRINGKUS. PENYANYI DI JENDELA HOTEL MENYANYI

MEMEKAKKAN TELINGA)

CAMAT: Pemberontakan? Ringkus! Bawa laki-laki gila ini ke kantor polisi.

Jangan biarkan dia menyebar bibit kekacauan! (hlm. 134-135)

3.1.7 Kekerasan Struktural oleh Bleki

Bleki menjadi pelaku kekerasan struktural di kawasan kumuh. Kekerasan

struktural yang dilakukan Bleki berupa ancaman dengan mengatasnamakan diri

sebagai petugas keamanan yang menjadi bagian dari aparat pemerintah daerah dan

dengan statusnya tersebut Bleki menunjukkan dominasi kekuasaan terhadap kaum

urban miskin. Dalam kutipan (188) Bleki yang sedang bertugas malam merasa

diremehkan oleh para pelacur sehingga dengan tidak segan Bleki mengancam para

pelacur tersebut dengan mengatakan bahwa Bleki akan membawa pelacur-pelacur

tersebut ke markas.

(188) BLEKI: Apa aman semuanya, tidak ada ribut-ribut?

PELACUR-1:

188

Aman, Oom. Tapi tidak ada hujan duit malam ini.

BLEKI: Sialan, lu. Hujan duit nenek moyang.

PELACUR-2:

Iya, Oom. Cuma hujan debu.

PELACUR-1: Galunggung meletus lagi, sih.

BLEKI:

Eh, jangan bercanda sama petugas, ya? Jangan main-main, tidak serius. Kalian pikir kami ini apa, hah? Tempe? Ditanya serius malah

muter-muter. Nanti kami angkut kalian semua ke markas, baru nyaho. (hlm. 25)

Dengan mengatasnamakan diri sebagai petugas keamanan Bleki telah

memperlihatkan bahwa kelas atas dan kelas bawah mempunyai jarak yang cukup

tajam. Hal ini menunjukkan bahwa Bleki mempunyai tingkatan yang lebih tinggi

dalam struktur masyarakat dibanding dengan masyarakat kelas bawah. Dengan

demikian, hal ini membuat Bleki merasa mempunyai wewenang lebih tinggi daripada

anggota urban miskin.

Dalam kutipan (189) Bleki mengancam Tarsih karena menganggap Tarsih

telah menghina atasannya dan bagi Bleki hal itu berarti Tarsih telah menghina aparat

pemerintah daerah. Dalam hal ini Bleki telah membatasi kebebasan Tarsih untuk

berpendapat atas tindakan Kumis dan secara tidak langsung Bleki menggunakan

wewenangnya sebagai petugas keamanan untuk ikut campurtangan dalam tindakan

Tarsih untuk mengambil keputusan.

(189) KUMIS: Menghina, dari mana kamu tahu uangku uang haram?

189

TARSIH: Hasil keringat orang lain uangmu itu. Seharusnya kamu tidak berhak.

Cuma uncang-uncang kaki, dapat duit.

BLEKI: Paksa saja, Bos, apa dia berani bertindak.

(hlm. 88)

3.1.8 Kekerasan Struktural oleh Kumis

Kekerasan struktural juga dilakukan oleh Kumis sebagai hansip yang bertugas

menjaga keamanan kawasan kumuh. Dalam kutipan (190) Kumis sebagai bagian dari

pemerintah daerah melakukan kekerasan struktural berupa ancaman kepada para

pengemis. Ancaman ini dilakukan Kumis untuk membubarkan kumpulan para

pengemis dengan cara menakut-nakuti melalui suara tembakan. Kumis merasa

dirinya bebas menggunakan senjata api karena dia adalah petugas keamanan di

kawasan kumuh yang memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur masyarakat urban

miskin. Namun, Kumis memakai senjata api tersebut tanpa melihat permasalahan

yang terjadi sehingga dia asal menembak saja dan Kumis menggunakan senjata api

sebagai alasan agar bisa menjaga keamanan daerah kumuh tanpa memperhatikan

bahaya pemakaian senjata api secara sembarangan bagi keselamatan para penghuni

kawasan kumuh.

(190) (BUNYI TEMBAKAN)

(PARA PENGEMIS MENJERIT BEBARENGAN LALU BUBAR. CALON PENYANYI BERHENTI MENYANYI, MENUTUP

JENDELA. ABUNG LEMAS)

190

(TEMBAKAN TERDENGAR BERTUBI-TUBI, MAKIN MENDEKAT)

(PARA PATUNG TETAP TENANG MELAHAP SANTAPAN,

SEAKAN TAK TERJADI APA-APA. MUNCUL DUA HANSIP: KUMIS DAN BLEKI)

KUMIS:

Bubar! Bubar! Bubar!

BLEKI: Sudah bubar.

(MEMASANG PETASAN)

KUMIS: Dari jauh aku kira ada banyak orang. Dilihat dari suaranya, mungkin lebih dari sepuluh ribu orang yang berkumpul. Kalau terjadi apa-apa,

aku bisa dipersalahkan. Jadi kambing hitam. Kena marah, kena mutasi. Keamanan di daerah ini sepenuhnya ada di bawah tanggung jawabku,

kan? (hlm. 15)

Kumis merupakan petugas keamanan yang biasa menyewa jasa Tarsih sebagai

PSK. Dari kutipan (191) dapat diketahui bahwa Kumis seringkali tidak membayar

setelah memakai jasa Tarsih. Hal ini menyebabkan Kumis dikenal sebagai orang yang

hanya suka mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Di samping itu, Kumis

sebenarnya telah melakukan kekerasan struktural berupa eksploitasi terhadap Tarsih

dengan mengatasnamakan dirinya sebagai bagian dari pemerintah daerah yang berhak

memanfaatkan tenaga maupun kemiskinan setiap urban miskin yang ada di kawasan

kumuh. Kumis sudah memeras tenaga Tarsih untuk memenuhi keinginannya sendiri

dalam hal pemenuhan kebutuhan seks, dan pada akhirnya Kumis juga tidak

membayar jasa Tarsih. Tindakan Kumis ini menyebabkan Tarsih mengalami

ketimpangan pendapatan.

191

(191) TARSIH: Dia jatuh cinta.

(MELIHAT KUMIS DAN BLEKI DATANG)

Ah, mereka lagi. Meminta banyak tapi selalu ingin gratis. Jah, bilang aku sedang dibuking.

KASIJAH:

Kumis dan anjingnya?

TARSIH: Siapa lagi. Bilang begitu ya....

(PERGI BURU-BURU)

KASIJAH: (KEPADA PENONTON)

Di sekeliling kita, lebih banyak orang-orang yang selalu ingin meminta banyak tapi tak mau memberi. Ibarat benalu, hanya bagus

tampangnya tapi sungguh berbahaya tabiatnya. (hlm. 24)

Eksploitasi yang dilakukan Kumis masih terus berlanjut. Selain itu, Kumis

juga melakukan kekerasan struktural berupa penipuan. Kumis masih tetap saja

memanfaatkan tenaga Tarsih sebagai PSK tanpa mau membayar jasa pekerjaan

Tarsih. Kumis hanya sanggup berjanji akan membayar, tapi tetap saja Kumis masih

berhutang kepada Tarsih. Dari janji-janji yang tidak kunjung terwujud, Kumis

sebenarnya telah melakukan penipuan kepada Tarsih seperti dalam kutipan (192).

(192) TARSIH: (DARI BALIK TANGGUL)

Janji melulu, janji melulu. Apa kamu pikir aku bisa hidup hanya dari janji-janji?

KUMIS:

(DARI BALIK TANGGUL) Cuma malam ini, besok kalau aku datang lagi, aku kasih kamu empat

kali lipat. Sekarang aku tidak bawa uang.

192

TARSIH: Besok, besok. Selalu besok. Sudah berapa besok.

KUMIS:

Masa tidak percaya sama aku sih, sama Kumis?

TARSIH: Sudah habis kesabaranku....

(KEDENGARAN BARANG PECAH. KUMIS NAIK TANGGUL

TERGOPOH HANYA BERCELANA KOLOR. DIA LARI MASUK GANG. SEMENTARA ITU BLEKI LARI MENYUSUL DI

BELAKANGNYA MEMBAWA CELANA DAN BAJU SERAGAM KUMIS)

(hlm. 57-58)

Selain menipu dan melakukan eksploitasi terhadap Tarsih, Kumis juga dikenal

sebagai orang yang suka mengambil keuntungan dari orang lain. Dalam kutipan (193)

dapat diketahui bahwa Kumis seringkali mendapat uang dari hasil pekerjaan

penghuni kawasan kumuh lainnya. Kebiasaan Kumis ini merupakan salah satu bentuk

kekerasan struktural, yaitu korupsi. Kumis sebenarnya telah melakukan korupsi

dengan meminta pungutan dari para penghuni kawasan kumuh yang seharusnya

bukan menjadi hak Kumis.

(193) KUMIS: Aku punya uang banyak sekarang. Hutang-hutangku yang dulu akan

kubayar dua kali lipat dan yang sekarang kuberi kamu berapa pun yang kamu minta.

TARSIH:

Aku tak butuh uang haram.

KUMIS: Menghina, dari mana kamu tahu uangku uang haram?

TARSIH:

193

Hasil keringat orang lain, uangmu itu. Seharusnya kamu tidak berhak. Cuma uncang-uncang kaki, dapat duit.

BLEKI:

Paksa saja, Bos, apa dia berani bertindak. (hlm. 88)

Tibal dan Tuminah adalah penghuni baru di kawasan kumuh yang juga

menjadi korban Kumis. Mereka datang dari desa dan ingin menjadi petani kota. Sejak

awal kedatangannya, Tibal dan Tuminah sebenarnya telah mengalami kekerasan

struktural yang dilakukan oleh Kumis dan Bleki yang menjadi aparat keamanan

daerah kumuh. Tibal sendiri mengalami kekerasan struktural berupa eksploitasi yang

dilakukan oleh Kumis. Tibal yang belum mengetahui watak Kumis sebenarnya

dipengaruhi oleh Kumis untuk mengikuti kemauan Kumis. Pada awal kedatangan di

kantor Kumis, Tibal mempunyai kesepakatan dengan Kumis, yaitu Kumis

memberikan izin kepada Tibal membuka lahan untuk berladang dengan syarat Tibal

membagi hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Hal ini termasuk bentuk

eksploitasi kemiskinan karena secara tidak langsung Kumis telah memeras tenaga

Tibal untuk mengerjakan ladang sementara Kumis hanya menunggu Tibal

menyerahkan hasil penjualan tanamannya. Kumis menganggap bahwa masyarakat

kelas bawah tidak boleh diberi kesempatan untuk berkembang, baik dalam kehidupan

ekonomi maupun sosialnya. Dengan meminta hasil penjualan tanaman Tibal, secara

tidak langsung Kumis telah membuat keuntungan hanya akan diperoleh satu

kelompok saja sebagai pihak yang kuat, sementara kelompok lain sebagai pihak yang

lebih rendah tidak mendapat keuntungan apa-apa dari usaha mereka. Bentuk

194

kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis adalah menghilangkan kesempatan

Tibal untuk mengambil keputusan tentang nasib Tibal sendiri dalam menggarap

ladang. Kumis telah mengendalikan Tibal dengan cara mengharuskan Tibal membagi

hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Padahal sebenarnya Tibal bisa saja

menggunakan hasil penjualan tanamannya untuk kebutuhan sehari-hari dan

menabung untuk masa depan. Dalam hal ini Kumis yang memanfaatkan

kedudukannya sebagai aparat keamanan pemerintah daerah telah mempengaruhi

Tibal dengan cara memberikan imbalan, yaitu izin berladang; tapi di sisi lain Kumis

juga telah mengendalikan Tibal dengan cara mewajibkan Tibal menyetorkan hasil

penjualan tanamannya. Pengendalian ini bisa menjadi pembatasan terhadap potensi

Tibal dalam mengembangkan diri dan mengembangkan usaha serta tetap membuat

Tibal berada dalam kemiskinan terus-menerus.

(194) JULINI: Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya?

TIBAL:

Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan.

[...]

JULINI: Nyogok berapa sama si Kumis?

TIBAL:

Tidak nyogok. Tapi bagi-bagi hasil. Itu perjanjiannya.

JULINI: Jangan percaya sama si Kumis. Dia hanya bikin apa yang

menguntungkan untuk dirinya sendiri. Hati-hati saja. (hlm. 69-70)

195

Dalam kutipan (194) bentuk kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis

adalah secara tidak langsung dia telah korupsi melalui pembagian hasil penjualan

tanaman Tibal. Izin berladang sebenarnya tidak perlu diganti dengan hasil penjualan

tanaman. Namun, Kumis mewajibkan Tibal memberi setoran dari hasil panen yang

terjual. Dengan kata lain, Kumis telah memakai hasil penjualan tanaman untuk

kepentingan pribadinya dan sebenarnya hasil penjualan tersebut bukan menjadi

haknya sehingga keuntungan hanya diperoleh satu kelompok tertentu saja sebagai

pihak yang kuat dan kelompok lain sebagai pihak yang lemah tidak mendapat

keuntungan apapun.

Kutipan (195) menceritakan keadaan Tibal dan Tuminah menjelang

penggusuran kawasan kumuh. Tibal sempat mengkhawatirkan nasib ladangnya yang

diperkirakan juga akan ikut digusur. Tibal juga sempat melakukan tawar-menawar

dengan Kumis agar ladangnya tidak ikut digusur dan mengatakan bahwa tanaman di

ladang baru bisa dipanen beberapa bulan sesudah penggusuran. Dalam situasi ini

Kumis justru memanfaatkan kelemahan Tibal. Kumis melakukan kekerasan struktural

kepada Tibal berupa intimidasi. Secara tidak langsung Kumis telah menakuti Tibal

dengan mengatakan bahwa penggusuran itu hanya perintah dari atasan dan artinya

ladang Tibal juga akan ikut digusur karena ladang tersebut berada di kawasan kumuh.

Intimidasi ini dilakukan oleh Kumis dengan tujuan agar Tibal lebih tertekan dan

mengikuti semua kemauan Kumis.

Selain intimidasi, kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis dalam

kutipan (195) adalah pendekatan kepada Tibal yang mengacu pada sistem orientasi

196

imbalan dengan tujuan mempengaruhi serta mengendalikan Tibal. Kumis membalik

keadaan dengan membatalkan penggusuran ladang Tibal sebagai imbalan, tapi

dengan syarat Tibal harus menyerahkan keperawanan Tuminah kepada Kumis.

Secara tidak langsung Kumis sudah mengendalikan dan mempengaruhi Tibal agar

Tibal melakukan semua keinginan pribadi Kumis.

Dalam pertemuan ini Kumis juga masih saja melakukan korupsi, yaitu dengan

meminta setoran hasil penjualan tanaman Tibal. Setoran ini bisa dikatakan sebagai

korupsi karena sebenarnya Kumis tidak mempunyai hak apapun atas hasil panen

ladang Tibal. Namun, Kumis menjadikan hasil penjualan tanaman sebagai syarat

pemberian izin bagi Tibal dan Tuminah untuk menempati kawasan kumuh. Kumis

benar-benar membuat Tibal tersudut sehingga Tibal tidak bisa menentukan nasib

ladangnya sendiri serta tidak bisa menikmati hasil ladangnya secara utuh.

Dari semua kekerasan struktural yang dilakukan oleh Kumis terhadap Tibal,

maka Tibal sebagai korban tidak akan merasakan hal itu sebagai suatu kekerasan

sebab hal yang dilakukan oleh Kumis sudah dianggap wajar terjadi dalam relasi

antara aparat pemerintah daerah dengan anggota urban miskin. Kekerasan strutural ini

juga terwujud sebagai bagian dari struktur masyarakat dan terkesan berada dalam

peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan harus dipetuhi oleh penghuni

kawasan kumuh.

(195) TIBAL: Terus terang saja, Om Hansip, bener kita tidak boleh lagi tinggal di

sini, ya? Ya?

KUMIS:

197

Saya tidak bilang begitu. Saya hanya diperintahkan untuk melakukan pembongkaran.

TIBAL:

Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit? Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.

KUMIS:

(PURA-PURA TAK MENDENGAR) Ini setorannya?

TIBAL:

Ya, bagian Mas Kumis itu.

KUMIS: Tidak ada tipu-menipu ‘kan?

TIBAL:

Ada perincian tertulisnya, Mas. Kalau mau lihat, boleh.

KUMIS: Percaya, percaya.

(PADA BLEKI) Bleki, hitung!

BLEKI:

Apa nih, upeti?

KUMIS: Hitung saja, jangan banyak tanya. Kamu dapat bagian sepuluh persen.

BLEKI:

Siap, Komandan. Segera saya kerjakan. (MENGHITUNG)

TIBAL:

Soal penggusuran itu, Mas. Saya minta keringanan. Kalau boleh, ladang jangan digusur. Gubuk sih tak apa-apa asal jangan ladang.

KUMIS:

Boleh, boleh, tapi ada imbalannya.

198

(MEMBERI TANDA) Sini kubisiki....

TIBAL:

(MENDEKAT. KUMIS BERBISIK. TIBAL MERAH MUKANYA)

KUMIS: Tuh kan,sudah saya duga pasti marah. Ya sudah tidak jadi. Tapi

jangan harap kamu bisa tinggal di sini lagi.

TIBAL: Maksiat, otak kamu sudah dipenuhi oleh belatung. Ayo, Tum, kita

pergi. Jahanam.

(MENYERET TUMINAH KELUAR MARKAS HANSIP)

KUMIS: Aku beri waktu tiga hari. Lewat dari itu jangan harap pintu kantor ini

sudi saya buka lagi. Lalu kalian boleh minggat ke comberan!

(hlm. 109-111)

Pada akhir pertemuannya dengan Tibal, Kumis kembali melakukan kekerasan

struktural berupa pemaksaan kepada Tibal. Tibal disudutkan untuk memilih antara

menyelamatkan ladang tapi harus mengorbankan keperawanan Tuminah atau

mempertahankan keperawanan Tuminah tapi Tibal harus kehilangan ladang dan

tempat tinggalnya. Dalam hal ini sebenarnya Kumis juga telah merusak solidaritas

karena Kumis tidak mau memahami keadaan Tibal sebagai kaum urban miskin dan

tetap menjadikan Tibal sebagai korban penggusuran tanpa mau memberikan ganti

rugi apapun kepada Tibal.

Akibat dari kekerasan struktural berupa eksploitasi kemiskinan yang

dilakukan Kumis terhadap Tibal adalah ketimpangan sosial serta pendapatan dan

kekayaan yang tidak merata bagi anggota masyarakat kelas bawah. Hal ini terjadi

199

karena Kumis tetap meminta setoran dari Tibal, sementara situasi Tibal saat itu

terancam digusur tempat tinggal maupun ladangnya, artinya Tibal tidak akan punya

sumber penghasilan lagi. Di samping itu, masyarakat kelas bawah menjadi tidak

punya peluang untuk memperbaiki kesejahteraan mereka karena semakin sempitnya

lapangan pekerjaan, sedangkan pihak pemerintah tidak memberikan solusi apapun

bagi permasalahan perekonomian kelas bawah. Maka, hubungan antarmasyarakat

kelas atas dan kelas bawah akan semakin renggang.

Kaum urban miskin digambarkan sebagai masyarakat yang tidak memiliki

tempat tinggal tetap; bahkan untuk mendapat tempat tinggal pun mereka masih

kesulitan. Dalam kutipan (196) melalui pernyataan Kumis dapat diketahui adanya

kekerasan struktural berupa ketimpangan sosial ekonomi, kerusakan solidaritas,

campurtangan kekuatan luar yang menghilangkan kebebasan masyarakat kelas

bawah. Adanya kekuasaan pihak pemerintah yang berlebih mengakibatkan kaum

urban miskin tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib mereka, baik secara

sosial maupun ekonomi; padahal seharusnya pihak pemerintah membantu

penyelesaian masalah sosial ekonomi yang masih sering dirasakan oleh masyarakat

kelas bawah. Kaum urban miskin pun dianggap tidak berhak menempati tanah negara

dan diusir dari kawasan kumuh. Dalam hal ini pemerintah tidak memberikan solusi

atau ganti rugi berupa tempat tinggal yang baru walaupun sebenarnya masyarakat

urban miskin masih menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang seharusnya ikut

merasakan hasil pembangunan. Pelaksanaan penggusuran ini juga menunjukkan

bahwa hanya kelompok masyarakat tertentu saja yang akan diuntungkan sedangkan

200

kerugian akan ditanggung oleh kelompok masyarakat lainnya. Ketika pelaksanaan

penggusuran sebenarnya pemerintah telah melakukan penghilangan orang-orang yang

dianggap sebagai sumber kesulitan. Artinya pemerintah menganggap bahwa

kelompok urban miskin tidak diperlukan kehadirannya di tengah pembangunan

karena mereka tidak dapat dijamin kehidupan masa depannya serta dianggap tidak

dapat membantu kelancaran pembangunan yang sedang gencar dilakukan pemerintah.

Kelompok urban miskin justru dianggap sebagai penghambat pembangunan karena

kelompok ini terus-menerus berada dalam kemiskinan dan tidak akan memberikan

sumbangan apapun bagi perekonomian negara.

(196) KUMIS: Menyesal? Bagaimana? Tentara, polisi, hansip akan tetap ada.

Kekuasaan puncak boleh pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Tapi polisi, tentara, dan hansip tetap akan diperlukan. Tetap akan ada. Mungkin dengan sebutan yang berbeda, tapi inti tugasnya tetap sama:

menegakkan tramtibmas! Kalau bukan aku yang jadi hansip, tentu orang lain. Dan demi

ketertiban, hansip boleh bersikap keras. Kalian datang dan tinggal di sini, kemudian mengaku ini semua punya kalian. Kami tidak boleh mengganggu gugat. Apa dasarnya kami tidak boleh mengusir kalian? Ini semua tanah milik negara tahu? Dari dulu

tanah ini bukan milik kalian. Minggat! (hlm. 136)

3.1.9 Kekerasan Struktural oleh Camat

Selain Bleki dan Kumis, Camat juga merupakan orang yang melakukan

kekerasan struktural terhadap Tarsih. Melalui kutipan (197) dapat diketahui Camat

yang merasa mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib urban miskin termasuk orang

yang senang memakai jasa Tarsih sebagai PSK. Dalam hal ini sebenarnya Tarsih

201

telah dieksploitasi oleh Camat yang telah memakai jabatannya untuk alasan akan

meningkatkan kesejahteraan kaum urban miskin. Tarsih hanya dimanfaatkan

tenaganya untuk memenuhi kebutuhan seks Camat. Selain itu, Camat juga

menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan dari Tarsih. Pada akhirnya

Camat memakai jabatannya untuk mempengaruhi Tarsih dengan menjanjikan hidup

sejahtera bagi Tarsih. Hal ini berarti Camat telah mengeksploitasi kemiskinan Tarsih

dengan tujuan Camat mendapat simpati agar dianggap sebagai pemerintah daerah

yang masih peduli kepada nasib urban miskin melalui cara mengangkat Tarsih dari

kemiskinan dan menjadikannya istri muda.

(197) ORANG-1: Kalau bukan, jangan banyak omong. Biar dia yang jawab. Nganggur? Kalau nganggur, majikan saya mau pakai. Kalau memuaskan, jangan

kuatir soal honornya.

(TARSIH MELENGGANG MASUK KE DALAM LEMBAH SUNGAI)

TARSIH: Masuklah.

(ORANG-1 BISIK-BISIK SAMA ORANG-2 YANG SEGERA MENGANGGUK DAN BERJALAN MENGIKUTI TARSIH.

ORANG-1, JONGKOK DAN DIAM-DIAM DI SAMPING KASIJAH)

KASIJAH:

Kamu sendiri tidak?

ORANG-1: Diam ah, jangan ganggu aku.

KASIJAH:

Siapa kamu sih, pakai kerudung segala kayak dukun beranak.

202

ORANG-1: Tidak mau diam, kugebuk kamu.

(KASIJAH MAU MARAH TAK JADI. DIA MEMASANG ROKOK

DAN PERLAHAN MENGHAMPIRI)

(KETIKA ORANG-1 LENGAH DENGAN SEBAT DIA MENCABUT KERUDUNG ORANG-1. DUA-DUANYA

TERKEJUT)

KASIJAH: Jadi kamu, kamu sekretarisnya Pak Camat. Sekretarisnya Pak Camat.

Jadi yang masuk ke sana itu....

ORANG-1: Kugebuk kamu, kugebuk.

KASIJAH:

(LARI-LARI DIKEJAR ORANG-1) Dia ini sekretarisnya Pak Camat. Dan yang masuk ke sana itu tentu

Pak Camat.... Ooii, Pak Camat nyabo.... (hlm. 81-82)

Dalam kutipan (198) dan (199) Tarsih telah diangkat Camat menjadi istri

muda Camat. Camat sebagai pemerintah daerah telah berhasil mempengaruhi Tarsih.

Sebenarnya Camat telah melakukan kekerasan struktural kepada Tarsih, yaitu berupa

pemberian imbalan untuk mengendalikan Tarsih. Imbalan yang diberikan Camat

adalah janji Camat untuk memberi hidup sejahtera kepada Tarsih berupa penyediaan

rumah dan tunjangan uang setiap bulan, tapi sebaliknya Tarsih berada di bawah

kendali Camat karena Tarsih harus menjadi istri muda Camat dan menuruti semua

keinginan Camat. Pengendalian yang dilakukan Camat telah membatasi perwujudan

potensi Tarsih dalam menentukan nasibnya sendiri. Tarsih telah dibuat bergantung

kepada Camat padahal Camat saat itu telah mempunyai istri.

203

(198) KUMIS: Siap, Pak. Tapi ngomong-ngomong, apa daerah tempat Tarsih praktek

juga di....

CAMAT: Saya bilang apa tadi? Semuanya! Dan jangan kamu sebut lagi nama itu. Dia sudah bukan Tarsih lagi. Dia sudah insaf lantaran saya. Luar

biasa.

KUMIS: Insaf? Maksud Bapak?

CAMAT:

Itu bukan urusanmu, Kumis. Pendeknya apa yang saya perintahken tadi, segera jalanken. Kasih waktu satu atau dua bulan untuk mereka siap-siap pindah. Semua yang tidak punya izin bangunan, bongkar

saja. Paham? (hlm. 95)

(199) KASIJAH: Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Jul, Tarsih tidak bisa datang,

nasibnya jauh lebih bagus dari kita.

JUMINI: Kenapa rupanya.

KASIJAH:

Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, ada uang setiap bulan. Dia bisa tenang. Kita?

Akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan tetep dikejar-kejar....

(hlm. 119)

Ketika baru sebentar menjadi istri muda Camat, ternyata Tarsih tetap tidak

mendapat jalan keluar bagi permasalahan perekonomiannya. Tarsih diusir oleh istri

tua Camat dan Tarsih tetap diperlakukan sebagai anggota kelas bawah walaupun dia

sudah menjadi istri muda Camat. Dalam kutipan (200) Camat yang telah

memanfaatkan jabatannya sebagai pemerintah daerah melakukan kekerasan struktural

204

kepada Tarsih berupa penipuan karena Camat pernah menjanjikan hidup sejahtera

kepada Tarsih dengan menjadikannya sebagai istri muda. Namun, walaupun Tarsih

telah menjadi istri muda Camat, Tarsih tetap saja mengalami kekerasan struktural

yaitu pembedaan antarkelas sosial yang menyebabkan ketimpangan sosial yang

tajam. Tarsih tidak dianggap telah menjadi anggota kelas menengah ke atas walaupun

sudah berstatus sebagai istri Camat dan mendapat fasilitas hidup yang bisa dikatakan

mampu meningkatkan perekonomiannya berupa rumah dan tunjangan setiap bulan.

Menjadi istri Camat pun tidak menjamin akan adanya perubahan kelas sosial Tarsih.

(200) KASIJAH: Tarsih, Tarsih. Kenapa....

TARSIH:

Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang

semuanya bukan milikku lagi.

KASIJAH: Kenapa?

TARSIH:

Waktu isteri tua Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu

aku diperlakukan seperti pengemis....

(BERTERIAK MENYANYI) Luka, tapi adakah daya Luka, itulah bagian kita Luka, luka, dan luka....

KASIJAH:

Kukira cuma aku saja yang sengsara, yang setiap hari minum kencing lelaki iseng. Ternyata kamu juga mengalami.

(TERTAWA)

205

Bisa kubayangkan wajah perempuan yang lakinya direbut sama kamu itu. Dan dia bawa tentara? Apa dia juga bawa tank baja? Hahahaha....

TARSIH:

(KEMBALI SEPERTI BIASA) Mana mungkin ada perubahan nasib.

(hlm. 127-128)

Dengan diusirnya Tarsih dari rumah Camat, Tarsih terpaksa kembali lagi ke

kawasan kumuh dan menjadi anggota masyarakat kelas bawah. Hal ini menyebabkan

Tarsih merasa bahwa dia dan anggota urban miskin lainnya tidak akan pernah

mengalami perubahan nasib sebab ruang gerak mereka untuk memutuskan tindakan

dalam menentukan nasib dan mengubah kehidupan menjadi lebih baik telah dibatasi

oleh masyarakat kelas atas. Hal ini juga menunjukkan bahwa hidup sejahtera telah

dimonopoli oleh masyarakat kelas atas.

Pada awal “Bom Waktu” ditampilkan Camat yang meninjau kawasan kumuh.

Dalam kunjungannya ini Camat menyaksikan keadaan kaum urban miskin yang

hanya tinggal di gubuk-gubuk dekat sungai. Di hadapan para pengemis sebagai wakil

dari kaum urban miskin, Camat berjanji untuk mengubah kawasan kumuh tersebut

menjadi daerah yang layak ditempati oleh kaum urban miskin agar mereka mendapat

kehidupan yang lebih sejahtera. Camat juga sempat menyatakan bahwa dia peduli

dengan nasib kaum urban miskin dan bertekat membawa permasalahan kesejahteraan

masyarakat kelas bawah tersebut kepada Gubernur.

(201) CAMAT: (BERSAMA SEKRETARIS DAN PENGAWAL DI JEMBATAN)

Pemandangan ini sungguh luar biasa. Saudara-saudaraku, mengapa nasib kalian seburuk ini? Tinggal di gubuk-gubuk jorok dekat kali,

berkubang seperti babi. Oh, saudara-saudaraku, siapa yang seharusnya

206

peduli kepada nasib kalian? Aku hanya bisa memandang, cuma bisa melihat, dan sekarang ini... tak bisa berbuat banyak.

Saputangan....

SEKCAM: (MEMBERIKAN SAPUTANGAN)....

CAMAT:

(MENANGIS) Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus.

Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus

lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak Presiden. Tisu....

(SEKRETARIS MEMBERIKAN TISU)

(CAMAT MENYEKA INGUSNYA)

CAMAT:

Luar biasa, pemandangan ini sungguh luar biasa. Saudara-saudaraku, aku bersumpah akan berjuang sampai titik darah yang penghabisan.

Tujuannya: agar kelak kalian bisa hidup dengan lebih layak. Sekretaris....

(PARA PENGEMIS MASUK)

SEKCAM:

Ya, Pak.

(PARA PENGEMIS BERKUMPUL BAGAI SEGEROMBOLAN ANJING)

CAMAT:

Catat. Dalam tempo pendek, daerah ini harus sudah bersih. Semua hal yang jorok dan menjijikken harus disapu sampai bersih. Kita akan

bongkar semuanya, ya kita harus bongkar semuanya. Cari waktu baik untuk kita menghadap Gubernur.

SEKCAM:

Siap, Pak. Sudah dicatat semuanya.

207

(CAMAT MENERUSKAN TANGISANNYA)

(PARA PENGIKUTNYA JUGA IKUT-IKUTAN MENANGIS. SOLIDER)

CAMAT:

Luar biasa, pemandangan ini luar biasa. Kalau mereka yang di atas sana seakan menutup mata terhadap nasib kalian, maka aku, camat

kalian, akan segera turun tangan. Akan kubongkar kawasan ini, akan kubongkar semuanya! Handuk....

(hlm. 12-13)

Dari kutipan (201) dapat diketahui bahwa Camat telah melakukan kekerasan

struktural berupa awal kebohongan kepada kaum urban miskin dengan menjanjikan

kehidupan yang lebih baik kepada mereka. Camat juga menyatakan bahwa segala

perbaikan yang dilakukan dalam kawasan kumuh kelak akan dapat dinikmati oleh

anggota kaum urban miskin. Dalam hal ini, Camat tidak memberikan jaminan apapun

untuk memenuhi janjinya tersebut.

Dalam kutipan (202) Camat memberikan mandat kepada Kumis untuk

“membersihkan” kawasan kumuh. Isi mandat tersebut bertolak belakang dengan apa

yang pernah dijanjikan Camat kepada kaum urban miskin. Dalam mandat tersebut

Camat mewajibkan agar penduduk yang tidak punya izin bermukim di kawasan

kumuh pindah dari tempat tinggalnya tanpa memperoleh ganti rugi apapun.

(202) CAMAT: Ini perintah yang wajib kamu jalanken! Pada tanggal 1 bulan Maret, jadi masih tiga bulan lagi, daerah ini akan diperiksa Pak Gubernur. Pak Gubernur akan datang dikawal Pak Bupati dan Pak Walikota.

Bersama rombongan Gubernur, hadir juga dua menteri senior. Saya diperintahken untuk membersihken seluruh daerah ini. Dan sekarang, saya perintahken kamu untuk membersihken seluruh daerah ini. Tanpa

pandang bulu.

208

Beresken gubuk-gubuk liar, sarang pelacuran, tempat judi dan sebangsanya. Bikin rata tanah. Caranya bagaimana, terserah kamu.

Yang membangkang, boleh kamu tangkap! Kalau kerja bagus, kamu bisa naik pangkat, naik gaji. Itu saja yang ingin saya kataken.

KUMIS:

Siap, Pak. Tapi ngomong-ngomong, apa daerah tempat Tarsih praktek juga di....

CAMAT:

Saya bilang apa tadi? Semuanya! Dan jangan kamu sebut lagi nama itu. Dia sudah bukan Tarsih lagi. Dia sudah insaf lantaran saya. Luar

biasa.

KUMIS: Insaf? Maksud Bapak?

CAMAT:

Itu bukan urusanmu, Kumis. Pendeknya apa yang saya perintahken tadi, segera jalanken. Kasih waktu satu atau dua bulan untuk mereka siap-siap pindah. Semua yang tidak punya izin bangunan, bongkar

saja. Paham? (hlm. 94-95)

Dalam kutipan (203) Kumis mengumumkan mandat Camat kepada kaum

urban miskin yang bermukim di kawasan kumuh. Pengumuman yang diberikan

Kumis kepada para penghuni kawasan kumuh berupa perintah bahwa kaum urban

miskin harus segera mengungsi dari tempat tinggalnya yang sekarang dan mencari

tempat tinggal baru. Selain itu, pemerintah daerah tidak memberikan ganti rugi

apapun kepada para penghuni yang kehilangan tempat tinggalnya.

(203) KUMIS: Nah. Kebetulan kumpul semua. Ini ada berita baik, ya? Pak Gubernur

akan berkenan datang meninjau daerah kita. Dan sebagaimana biasanya, Pak Gubernur ingin daerah ini bersih. Beliau ingin gubuk-

gubuk ini dibersihkan. Boleh tidak usah dibongkar asal memang punya izin bangunannya. Sampah-sampah juga harus out. Pokoknya, apa saja

209

yang berbau bacin, out. Tidak akan ada kompromi, sebab pembersihan ini sudah diperintahkan dari atas sono noh!

Nah, saya sebagai pelindung daerah ini, akan mencoba bertindak lunak. Saya harap kalian tidak perlu buru-buru pindah. Nenek-nenek dan kakek-kakek kagak perlu gedebukan beres-beres pindahan. Nanti

kalau kepeleset, malah bisa koit. Tenang saja. Kita akan tungguin pindahannya sampai orang yang terakhir. Yang perlu bantuan, akan

kami bantu. Kita harus saling membantu sesama, ya nggak? Ini bentuk pengabdian saya sebagai aparat pemda. Tulus dan murni....

Tapi pembersihan ini saya kasih waktu satu bulan. Longgar, kan? Bongkarlah gubuk-gubuk ini, pelan-pelan saja. Okey? Lalu mau

pindah ke mana? Ya terserah kalian, dah! Kita akan “tut wuri handayani” saja. Tuh. Pokoknya saya sudah sampaikan instruksi,

perkara lain, silakan, harap urus sendiri-sendiri. Paham? Ya sudah. Pokoknya paham tidak paham harus paham. Ingat, ya, satu bulan.

Jangan lupa. (hlm. 103-104)

Dari kutipan (203) kekerasan struktural berupa kebohongan yang dilakukan

oleh Camat mulai terlihat. Sebelum ada rencana penggusuran Camat pernah

menjanjikan perbaikan kesejahteraan kaum urban miskin lewat pembangunan ulang

daerah kumuh menjadi kawasan yang lebih layak dihuni. Bagi masyarakat urban

miskin, kebohongan yang dilakukan Camat tidak dirasa menampilkan pelaku manusia

secara nyata sebab kekerasan ini sudah menjadi bagian dalam struktur pemerintah dan

terwujud sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat kelas bawah.

Selain kebohongan, bentuk lain kekerasan struktural yang diterima kaum

urban miskin dalam mandat Camat adalah pemaksaan dan intimidasi. Mandat tersebut

secara tidak langsung telah memaksa masyarakat urban miskin pergi dari tempat

tinggal mereka dengan alasan kawasan tersebut akan ditinjau oleh Gubernur.

Intimidasi dilakukan dengan gertakan bahwa Gubernur ingin daerah kumuh tersebut

210

bersih dari gubuk-gubuk dan sampah. Intimidasi ini bertujuan agar pihak kaum urban

miskin segera membongkar tempat tinggal mereka dan pindah dari daerah tersebut.

Mandat Camat juga memuat kekerasan struktural berupa campurtangan Camat

yang menyebabkan hilangnya otonomi masyarakat urban miskin. Campurtangan

Camat melalui pengaturan tempat tinggal urban miskin menyebabkan para penduduk

kawasan kumuh harus mencari tempat tinggal yang baru tanpa bantuan dari

pemerintah sekaligus masyarakat urban miskin kehilangan kebebasan dalam

menentukan tempat tinggal bagi diri mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa

dalam hubungan antara pemerintah daerah dan kaum urban miskin terdapat

ketimpangan sosial, termasuk ketimpangan kekuasaan karena massa bawah pun

mempunyai akses yang sama untuk menentukan kehidupan bersama.

Kutipan (204) membuktikan Camat benar-benar melakukan kebohongan

terhadap masyarakat urban miskin. Situasi pembongkaran paksa tempat tinggal kaum

urban miskin memperlihatkan bahwa Camat tidak pernah sungguh-sungguh membela

nasib urban miskin maupun memberikan tempat tinggal yang layak dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah.

(204) ABUNG: (MELEDAK)

Dan inilah saatnya aku memperoleh jawaban. Siapa aku, siapa aku? Kenapa ada di sini, untuk apa aku di sini. Mengapa semua orang diberi persoalan dan dihabiskan oleh persoalan mereka sendiri tapi aku tetap

seperti wayang yang tinggal di kotak? Siapa aku ini, apa aku ini?

(TIBA-TIBA ABUNG MENGAMUK)

KUMIS: Wehh, ‘ngamuk lagi dianya.

211

BLEKI: Gawat... Komandan, kita tembak saja?

(CAMAT LARI DIKEJAR-KEJAR ABUNG)

CAMAT:

Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa.

Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.

ABUNG: Pak Gubernur? Orang yang ada di atas sana? Orang yang kerjanya

cuma makan saja?

CAMAT: Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak

melihat ada orang di atas.

ABUNG: Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang

makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe, bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak

mau.

BLEKI: Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?

KUMIS:

Nih, pestolnya.

BLEKI: Aduh, tugas berat.

(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA

MEMBIDIK ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG

KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)

ABUNG: Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.

Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.

212

(SEMUA TERDIAM)

(ABUNG MATI) (hlm. 137-138)

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Camat melakukan marginalisasi atau

pembatasan terhadap masyarakat kelas bawah sehingga para urban miskin tidak dapat

ambil bagian dalam mengambil keputusan untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Pembongkaran paksa ini juga merupakan bukti wujud kekuasaan yang tidak

seimbang sehingga masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi dapat menentukan nasib

masyarakat kelas sosial yang lebih rendah.

Kutipan (204) juga memperlihatkan bahwa Camat ingin melepas tanggung

jawab sebagai pemerintah daerah yang seharusnya ikut membantu mengatasi

kemiskinan masyarakat urban. Camat melemparkan tanggung jawab penggusuran

kepada Gubernur dengan berpura-pura tidak tahu tentang apa-apa, padahal sebagai

pemerintah daerah seharusnya Camat mengetahui tentang rencana penggusuran ini.

Camat juga seharusnya memberikan solusi bagi kaum urban miskin yang menjadi

korban penggusuran atau memberikan ganti rugi yang sepadan sebab masyarakat

urban miskin pun sebenarnya masih menjadi tanggung jawab pemerintah.

Ketika penggusuran terjadi belum ada satu pun anggota urban miskin yang

merasakan hasil pembangunan di kota Jakarta. Bahkan dari pernyataan Abung

sebelum dia ditembak mati dapat diketahui bahwa kerenggangan antara masyarakat

kelas atas dan kelas bawah semakin terasa lebar sebab tidak ada jalan keluar dari

pemerintah untuk mengatasi ketimpangan sosial.

213

Pelaksanaan penggusuran kawasan kumuh direncanakan sebelum pemilu

berlangsung. Penggusuran sendiri menjadi salah satu bagian dari proses

pembangunan kota Jakarta. Dengan adanya penggusuran ini, pemerintah berharap

kota Jakarta akan menjadi lebih tertib pada masa pascapemilu. Namun, di balik

kesuksesan proses pemilu, sebenarnya masih banyak rakyat Indonesia yang berada di

dalam kemiskinan dan belum mendapat peningkatan kesejahteraan sedikit pun.

(205) (SALAH SATU YANG ADA DI ATAS MEMENCET RADIO. TERDENGAR SUARA, SAYUP-SAYUP SAMPAI)

SUARA:

Terima kasih sebesar-besarnya kepada mereka yang telah memungkinkan terselenggaranya pemilihan umum ini. Dengan

berakhirnya pemilu yang telah berjalan hampir selama satu bulan, dan dalam keadaan tertib-aman-damai-saling menghormati, dunia luar

akan tahu bahwa negara kita adalah negara hukum yang telah menjalankan pesta demokrasi dengan sangat sukses... luber dan

jurdil.... (hlm. 138-139)

Mulai dari awal hingga akhir “Bom Waktu” tidak diceritakan sedikit pun

tentang kaum urban miskin yang diikutsertakan sebagai pemilih dalam pemilu. Hal

ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang memperhatikan hak mereka sebagai

warga negara yang boleh ikut menjadi pemilih dalam pemilu. Kutipan (205)

menunjukkan bahwa masyarakat urban miskin masih mengalami kekerasan struktural

berupa diskriminasi dalam bidang politik. Hal ini ditunjukkan dengan sikap

pemerintah daerah, dalam hal ini Camat yang tidak mensosialisasikan kewajiban

warga negara untuk ikut serta sebagai pemilih dalam pemilu. Para penghuni kawasan

kumuh yang tidak diikutsertakan dalam pemilu oleh pemerintah daerah setempat

214

menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak memiliki pengaruh besar terhadap

pemerintah, termasuk adanya anggapan bahwa suara masyarakat urban miskin

menjadi tidak penting dalam pemilu.

Kesimpulan analisis kekerasan struktural dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian

pertama) adalah masyarakat dalam “Bom Waktu” terdiri atas dua tingkatan anggota

masyarakat, yaitu pemerintah sebagai kelas atas dan kaum urban miskin sebagai

masyarakat kelas bawah. Kekerasan struktural dominan dilakukan oleh pemerintah.

Dalam hal ini kaum urban miskin sebagai korban tidak dapat melacak secara

langsung pelaku kekerasan struktural karena ketika kekerasan ini terjadi kebanyakan

korbannya menganggap bahwa hal yang mereka alami sudah wajar terjadi dalam

kehidupan mereka dan dalam hubungan sosial mereka sehingga bagi kaum urban

miskin bentuk kekerasan ini tidak dapat diketahui secara langsung, tapi dampak dari

kekerasan inilah yang akan sangat mereka rasakan.

Dalam “Bom Waktu” para tokoh yang mewakili pihak pemerintah adalah

Bleki, Kumis, dan Camat; sedangkan kaum urban miskin diwakili oleh Tarsih, Tibal,

Julini, Roima, Abung, serta Tuminah. Kekerasan struktural timbul akibat adanya

ketidaksamaan struktur sosial serta perekonomian yang tidak merata. Kekerasan

struktural dapat diketahui melalui keseharian Tarsih sebagai PSK yang seringkali

mengalami kekerasan struktural berupa ketidakpedulian pemerintah dalam

mengusahakan perbaikan perekonomian kaum urban miskin; hilangnya kemampuan

untuk menentukan nasib diri sendiri, termasuk dalam memilih pekerjaan (172). Hal

ini mengakibatkan muncul ketimpangan sosial; kesejahteraan yang tidak merata, dan

215

semakin renggangnya hubungan antarkelas sosial. Dalam kutipan (173) dan (174)

Tarsih mengalami pembatasan masyarakat karena dia tidak memiliki kesempatan

untuk mendapat pekerjaan yang layak, mengalami ketimpangan pendapatan, dan

partisipasinya sebagai anggota urban miskin ditiadakan sehingga dia tidak bisa

mengambil keputusan tentang nasib diri sendiri. Selain itu, Tarsih juga mengalami

kerusakan solidaritas karena hanya kelas atas saja yang akan memperoleh pekerjaan

layak, pendapatan yang selalu meningkat, dan pangkat (173). Melalui kutipan (174)

dan (175) Camat melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan dengan

menjanjikan perbaikan nasib bagi kaum urban miskin, termasuk kepada Tarsih.

Pemerintah juga merusak solidaritas yang seharusnya dibangun antara masyarakat

kelas atas dan kelas bawah sebab ketika mereka melakukan kunjungan ke kawasan

kumuh sebenarnya mereka bukan ingin membantu kaum urban miskin, tapi hanya

ingin meminta simpati rakyat (175).

Anggota urban miskin lainnya yang mengalami kekerasan struktural adalah

Julini, Roima, dan Tibal. Julini dan Roima telah mengalami eksploitasi kemiskinan

yang dilakukan oleh Kumis (176), (177), (178). Sedangkan Tibal mengalami

eksploitasi yang menyebabkan ketimpangan pendapatan karena Kumis telah

mengendalikan Tibal dengan cara memberi imbalan berupa izin berladang, tapi

dengan syarat Tibal membagi hasil penjualan tanamannya (176). Tibal sebagai petani

kota telah dimanfaatkan oleh Kumis yang korupsi dengan cara mewajibkan Tibal

memberikan sebagian hasil penjualan tanamannya. Hal ini menunjukkan bahwa

216

keuntungan hanya diperoleh pihak yang kuat saja, sementara pihak yang lemah akan

selalu dirugikan

Abung juga merasakan kekerasan struktural berupa kerusakan solidaritas

karena renggangnya hubungan kelas atas dan kelas bawah serta hilangnya partisipasi

Abung untuk menentukan nasib sendiri, termasuk menentukan hidup

perekonomiannya; sehingga hal ini menimbulkan ketimpangan sosial ekonomi bagi

Abung karena adanya dominasi kekuasaan oleh pemerintah (179), (180), (181).

Ketika terjadi penggusuran Abung merasa bahwa haknya untuk mendapat tempat

tinggal telah dihilangkan oleh pemerintah. Selain itu, Abung juga telah ditipu oleh

pemerintah daerah yang berpura-pura tidak tahu tentang rencana penggusuran itu

(182).

Tuminah merupakan anggota urban miskin yang mengalami kekerasan

struktural. Tuminah mengalami eksploitasi karena dia miskin. Kekerasan struktural

lain yang dialami oleh Tuminah adalah penggusuran sebab dia kehilangan hak untuk

berladang dan hak memiliki tempat tinggal. Selain itu, Kumis yang memanfaatkan

statusnya sebagai aparat pemerintah daerah juga melakukan intimidasi dan

mempengaruhi Tuminah dengan memberikan janji bahwa ladang tidak akan digusur

dengan syarat Tibal harus menyerahkan keperawanan Tuminah. Kumis juga masih

melakukan korupsi dengan menerima hasil penjualan tanaman yang seharusnya

bukan menjadi hak Kumis. Kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Kumis

adalah menipu Tibal dan Tuminah. Tibal dan Tuminah yang pada akhirnya

menyetujui keinginan Kumis untuk menyerahkan keperawanan Tuminah ternyata

217

pada hari penggusuran mereka berdua tetap menjadi korban. Ladang dan gubuk

mereka ikut digusur oleh Kumis yang semula telah berjanji jika mendapat

keperawanan Tuminah, maka Kumis akan membatalkan penggusuran (183), (184),

(185), (186), (187).

Bentuk kekerasan struktural lain adalah ancaman terhadap masyarakat kelas

bawah yang dilakukan oleh Bleki (188), (189). Kumis, atasan Bleki, dikenal sering

melakukan eksploitasi terhadap PSK dengan mengatasnamakan diri sebagai aparat

pemerintah daerah (190) dan menipu dengan cara tidak membayar jasa Tarsih

sehingga Tarsih mengalami ketimpangan pendapatan (191), (192). Kumis juga tidak

segan untuk mengambil keuntungan dari penghuni kawasan kumuh (193), (194),

(195), (196).

Penipuan dengan memanfaatkan kemiskinan penghuni kawasan kumuh

dilakukan Camat terhadap Tarsih. Camat menggunakan jabatannya untuk

memperoleh keuntungan dari Tarsih dan menjanjikan kesejahteraan hidup kepada

Tarsih dengan cara menjadikan Tarsih sebagai istri muda. Namun, akhirnya semua

hal itu terbukti bohong karena status sebagai istri muda Camat ternyata tidak menjadi

jaminan bagi Tarsih untuk memperoleh perbaikan ekonomi; sehingga Tarsih tetap

dianggap sebagai orang yang berasal dari kelas bawah (197), (198), (199), (200).

Camat sebagai pelaku kekerasan struktural telah melakukan penipuan

terhadap kaum urban miskin. Semula Camat menjanjikan akan memperbaiki kawasan

kumuh menjadi tempat tinggal yang layak dihuni oleh masyarakat urban miskin.

Namun, akhirnya janji Camat terbukti sebagai penipuan, pemaksaan, dan sempat juga

218

terjadi intimidasi sebab kawasan kumuh dibongkar paksa dan para penghuninya

diwajibkan untuk pindah dari “rumah” mereka tanpa mendapat ganti rugi (201),

(202), (203), (204).

Masyarakat urban miskin juga mengalami ketimpangan sosial ekonomi sebab

mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentukan tempat tinggal mereka. Dalam

peristiwa penggusuran kaum urban miskin dianggap bukan sebagai anggota

masyarakat sebab mereka tidak punya tempat tinggal tetap, miskin, tidak memberikan

sumbangan apapun bagi negara, dan tidak punya masa depan (204). Kaum urban

miskin pun mengalami kekerasan struktural selama masa pelaksanaan pemilu.

Kekerasan ini berbentuk diskriminasi terhadap hak politik mereka. Anggota urban

miskin tidak diberi kesempatan untuk menyumbang suara sebagai pemilih dalam

pemilu. Bahkan pemerintah daerah, dalam hal ini Camat dan jajarannya, tidak

mensosialisasikan proses pemilu kepada masyarakat kelas bawah ini. Suara mereka

dalam pemilu dianggap tidak penting oleh pemerintah (205).

3.2 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)

Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) terdapat dua kelompok

masyarakat, yaitu kelompok pemerintah yang diwakili oleh tokoh Pejabat dan

kelompok urban miskin yang terdiri dari Tarsih, Julini, Roima, Tuminah, dan Tibal.

Kekerasan struktural masih terjadi di dalam kehidupan kaum urban miskin pada

trilogi bagian kedua ini. Berikut analisis bentuk kekerasan struktural yang dilakukan

oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin.

219

3.2.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih

Pada awal “Opera Kecoa” diperlihatkan Tarsih yang kini sudah mempunyai

kompleks PSK sendiri sedang menghadapi petugas dari dinas tata kota. Dalam

kutipan (206) Tarsih mengalami kekerasan struktural berupa ancaman penggusuran

oleh petugas dari pemerintahan. Dalam hal ini Tarsih disudutkan posisinya oleh

pemerintah agar segera pindah dari lokasi yang sekarang ditempatinya. Penggusuran

merupakan penghilangan tempat tinggal seseorang dan hal itu berarti Tarsih akan

kembali kehilangan tempat tinggalnya seperti dulu dia juga pernah kehilangan

“rumah” di kawasan kumuh.

(206) TARSIH: Rumah ini rumah saya. Saya punya sertifikatnya. Mengapa harus

digusur juga? Aduh, saya bisa mata gelap ini. Saya bisa bunuh orang....

SATPAM-1:

Begini, Bu, tenang dulu. Keindahan dan ketertiban adalah prioritas utama bagi dinas tata kota.

TARSIH:

Prioritas, prioritas....

SATPAM-1: Bukan digusur, jangan salah, dilokalisir. Ibu bakal dapat penggantian. Percayalah.

TARSIH:

Hohoho, percaya....

SATPAM-1: Lho, iya. Coba lihat saja, kompleks pelacuran, eh, maaf, kompleks PSK ini ada di tengah-tengah kampung. Di sana ada masjid, di sana

gereja, dan di sana kelenteng. Biar mereka belum protes tapi kami dari dinas tata kota dan dinas sosial, memperhatikan. Ini kompleks harus

dipindahkan.

220

TARSIH: Ini kompleks sudah di pinggir kota.

SATPAM-1:

Kota berkembang sangat pesat. Mulanya ya di pinggir, ya, beberapa tahun kemudian, sementara kita lupa, tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah. Kita tidak ingin timbulnya ekses-ekses negatif di kemudian

hari kalau kompleks ini tetap dipertahankan.

TARSIH: Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari

mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.

SATPAM-1:

Pendeknya, Bu, tugas kami cuma mengingatkan. Mumpung waktunya masih lama. Sebaiknya Ibu siap-siap dari sekarang.

(MENANGIS)

Aduh, bagaimana sih, diingetin baik-baik malah marah. Saya kan cuma tugas. Kalau mau marah, sana marah sama yang di atas....

TARSIH:

Saya tidak akan menyerah. Saya akan tetap bertahan di sini. Ini hak milik saya, siapa saja tidak boleh mengganggu gugat.

Pergi, pergi, pergi.... (hlm. 156-157)

Dari kutipan (206) Tarsih yang sudah mempunyai sertifikat tanah tetap

terancam digusur dengan alasan kompleks Tarsih mengganggu keindahan kota.

Dalam pemberitahuan rencana penggusuran ini secara tidak langsung petugas dinas

tata kota menyatakan bahwa perintah penggusuran datangnya langsung dari

pemerintah tingkat atas. Hal ini akan semakin menyudutkan Tarsih yang berasal dari

masyarakat kelas bawah sebab pemerintah telah menggunakan wewenang yang

221

berlebih dalam rencana penggusuran ini walaupun Tarsih mempunyai sertifikat tanah.

Melalui kutipan di atas dapat dilihat bahwa petugas pemerintah menggunakan alasan

kompleks PSK mengganggu keindahan kota hanya sebagai bentuk mengalihkan

perhatian Tarsih. Hal yang sebenarnya terjadi adalah kompleks PSK digusur karena

pemerintah beranggapan kompleks PSK dan penghuninya harus disisihkan sebab

kaum urban miskin tidak akan memberikan peningkatan dalam perekonomian negara.

Rencana penggusuran ini juga merupakan bentuk pembatasan terhadap masyarakat

urban miskin. Di satu sisi mereka tidak mendapat jaminan penggantian kerugian

akibat penggusuran berupa tempat tinggal baru, dan di sisi lain pemerintah seolah-

olah ingin menyingkirkan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai sumber

kesulitan proses pembangunan. Pemerintah tidak mau berinisiatif untuk membantu

memperbaiki perekonomian masyarakat kelas bawah.

Dalam kutipan (207) Tarsih memberitahukan rencana penggusuran kepada

Tuminah yang saat itu telah menjadi PSK profesional. Sejak peristiwa penggusuran

dalam “Bom Waktu” hingga saat rencana penggusuran kompleks PSK ini

diberitahukan, Tarsih maupun Tuminah sudah dapat menjadi bukti sebagai wakil dari

masyarakat urban miskin yang mengalami kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah. Setelah digusur lima tahun yang lalu, Tarsih dan Tuminah tidak

mendapat ganti rugi sedikit pun; baik dalam bentuk tempat tinggal yang baru maupun

pekerjaan yang layak dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa

penggusuran lima tahun yang lalu adalah bentuk dari kekuasaan pemerintah yang

berlebih. Walaupun petugas dinas tata kota mengatakan lokasi kompleks PSK hanya

222

dilokalisir, tapi hal itu tidak pernah terwujud sebagai rencana lokalisir dan pihak

pemerintah pun tidak memberikan bukti sebagai jaminan bahwa para penghuni

kompleks PSK akan mendapat ganti rugi nantinya. Kekerasan struktural model ini

hanya akan menimbulkan ketimpangan sosial ekonomi, terutama jika penggusuran

benar-benar dilaksanakan maka banyak anggota urban miskin yang akan kehilangan

tempat tinggal dan secara tidak langsung peluang untuk mendapat penghasilan akan

lenyap sebab mereka juga terancam akan kehilangan pekerjaan sebagai PSK. Dari

rencana penggusuran ini terlihat adanya kekuasaan yang tidak seimbang dari

pemerintah sehingga menghilangkan hak yang seharusnya dimiliki oleh anggota

urban miskin; seperti hak mendapat tempat tinggal, hak memperoleh pekerjaan, dan

hak mendapat perlindungan dari pemerintah.

Selain penggusuran, dalam kutipan (207) Tarsih juga menganggap bahwa

pemerintah hanya akan mengeksploitasi kemiskinannya sehingga dengan mudah

melakukan penipuan untuk kesekian kali. Dulu Tarsih pernah ditipu oleh Camat yang

mengatasnamakan jabatannya dan menjanjikan akan memberikan kesejahteraan bagi

kehidupan Tarsih. Namun, Tarsih tidak pernah mendapat bukti bahwa hidupnya telah

menjadi lebih sejahtera dengan perekonomian yang lebih baik walaupun telah

menjadi istri muda Camat.

(207) TARSIH: Kita bakal digusur. Tinggal tunggu waktu.

BODIGAR:

Dilokalisir, kata mereka.

TARSIH:

223

Minggat kamu, buldok, jaga di bawah sana!

BODIGAR: Ya, ya.... (PERGI)

TUMINAH:

Lagi-lagi digusur. Lalu kita mesti pindah ke mana?

TARSIH: Sudah, jangan dibicarakan lagi. Segala usaha akan kita jalankan, dan

tetap di sini. Kalau perlu kita mengadu ke DPR, mengadu ke Komnas HAM. Enak saja. Tapi mulai sekarang, kita harus bekerja lebih lagi. Kumpulkan

duit sebanyak-banyaknya, sebab masa depan kelihatannya bakal lebih berat lagi.

TUMINAH:

Selalu begitu, Mbak, selalu lebih berat lagi....

TARSIH: Aku tidak ingin hasil keringatku ini dirampas begitu saja. Sudah cukup

aku jadi cabo comberan, sudah cukup aku ditipu camat sialan itu, sudah cukup aku merasakan kelaparan, sudah cukup aku jadi orang

usiran. Ini tempatku, dan aku mau mati di sini. (hlm. 161-162)

Dengan adanya rencana penggusuran ini, Tarsih menggiatkan para PSK yang

ada di kompleks untuk bekerja lebih keras lagi agar penghasilan mereka meningkat.

Dalam kutipan (208) Tarsih adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin di

kompleks PSK sehingga dia membuat ketentuan untuk tarif para PSK. Para PSK pun

ternyata dikenai wajib pajak yang cukup tinggi oleh pemerintah. Dengan adanya

pajak yang tinggi ini sebenarnya pemerintah telah melakukan kekerasan struktural

berupa pembatasan terhadap otonomi atau kekuasaan atas diri sendiri bagi para PSK.

Melalui pembatasan ini pemerintah telah menekan para PSK dengan cara

224

memberikan pajak yang terlalu tinggi dibandingkan penghasilan tidak seberapa yang

diperoleh para PSK. Di sini terjadi ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran

para PSK dan hal ini menunjukkan bahwa para PSK akan selalu kekurangan dalam

perekonomian mereka.

(208) TARSIH: Ya, kan wajar. Setiap usaha di mana saja pasti ada pajaknya. Kita

malah harus bangga lantaran hasil keringat kita ada yang kita sumbangkan demi negara. Di dalam surat edaran ini, setiap bulannya kita bakal dipungut pajak pendapatan sebesar 17%, ppn 10%, pajak

penghasilan 25%, dan pajak kenikmatan 20% dihitung dari tarif umum.

Mereka akan mengontrol dengan ketat sehingga tidak mungkin ada penipuan atau pembukuan ganda.

Lagipula kalau terbukti ada penipuan hukuman penjara menanti. Jadi saya punya akal. Terpaksa kalian harus menaikkan tarif sebesar jumlah

pajak yang harus kita bayar, berapa tadi? 17 tambah 10 tambah 25 tambah 20, jadi 72%. Dan pajak itu kita bebankan kepada konsumen.

(hlm. 196)

Dari kutipan (208) juga dapat diketahui bahwa pemerintah kurang peka dalam

menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah. Mereka tetap

dibiarkan menjadi PSK dan pemerintah tidak segan menambah beban hidup mereka

dengan menarik pajak yang cukup tinggi. Bagi pemerintah pemasukan keuangan

negara melalui pajak adalah hal yang lebih penting dibanding mengentaskan

masyarakat kelas bawah dari kemiskinan, atau setidaknya mengurangi rakyat miskin

di dalam negara Indonesia. Dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat

kelas bawah seperti para PSK sebenarnya pemerintah bisa mendapat pemasukan

untuk keuangan negara melalui sektor informal, tapi dengan menarik pajak yang

lumayan tinggi dari para PSK sebenarnya pemerintah sedikit demi sedikit telah

225

menambah kemiskinan di dalam masyarakat karena tidak ada usaha perbaikan dalam

perekonomian negara.

3.2.2 Kekerasan Struktural terhadap Julini

Julini sebagai salah satu anggota urban miskin juga merasakan bahwa

pekerjaan sebagai PSK adalah pekerjaan yang terpaksa sebab dia tidak bisa

melakukan pekerjaan lain. Kutipan (209) menunjukkan pemerintah tidak

menyediakan lapangan pekerjaan bagi anggota urban miskin dan membiarkan mereka

tetap mengalami kesulitan dalam perekonomian. Selain itu, kurang tersedianya

lapangan pekerjaan membuat masyarakat kelas bawah semakin mengalami

kemunduran dalam mencari keahlian lain. Mereka menjadi tidak punya keahlian

dalam bidang tertentu untuk bisa memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan bisa

menjadi jaminan bagi perbaikan ekonomi mereka.

(209) JULINI: Idiih, betul. Mereka bilang. Eh, saya tanya: kok nggak datang ke

tempat Mbak Tarsih, sih? Kan banyak yang cakep-cakep? Mereka bilang: bosen sama cewek. Bosen. Saya bilang lagi, kan sama saja. Eh,

mereka malah marah: nggak sama dong, kalau sama lubang knalpot juga bisa.

(SEMUA TERTAWA)

Aduh, ini maaf saja ya, penonton, maaf lho, ini pembicaraan untuk

ibu-ibu yang sudah berumahtangga. Yang masih perawan tutup kuping saja deh. Maaf, ini pendidikan seks lho. Maksud Julini baik. Ah, biar di luar tertawa, tapi di batin menangis. Betul. Ini pekerjaan terpaksa.

Kalau bisa jadi sekretaris sih, lebih baik jadi sekretaris. Yaa, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan keseleo. Eh,

keseleo....

226

PSK-1: Roima nggak cemburu, Jul?

JULINI:

Cemburu? Gombal. Orang dia yang nyuruh. Kalau nggak begini mana bisa makan. Mau makan cemburu? Angin dong, kentut melulu. Yaah, namanya juga usaha. Semua resiko kita sendiri yang nanggung. Orang lain cuma bisa bilang: maksiat, maksiat. Eee, begitu kita minta kerjaan atau duit, mereka ngumpet. Baru datang di luar pagar, sudah disuguhi

tulisan: Awas Anjing Galak. Bisa saja mereka bilang: masa cari kerjaan yang baik tidak bisa? Bisa, bisa.

Tapi apa? Mustinya kan bukan ocehan, tapi nih, nasi, nasi, kerjaan, kerjaan. Baru betul.

(hlm. 208-209)

Dalam kutipan (209) dapat diketahui bahwa Julini sebagai anggota

masyarakat kelas bawah sering disingkirkan sebab pekerjaannya sebagai PSK.

Masyarakat kelas atas menganggap bahwa pekerjaan sebagai PSK bukanlah

pekerjaan yang baik serta memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat luas.

Padahal Julini menjadi PSK karena tidak memiliki keahlian lain yang dapat

digunakannya untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Dalam hal ini seharusnya

pemerintah mengupayakan adanya pembelajaran keahlian khusus bagi anggota urban

miskin agar mereka tidak terus-menerus didiskriminasikan karena pekerjaan mereka

dianggap tidak layak dan memberi pengaruh buruk untuk masyarakat. Pemerintah

juga seharusnya menunjukkan tanggung jawab sebagai suatu institusi yang mampu

mengatur perekonomian daerah dan negara, termasuk mengusahakan perbaikan

perekonomian masyarakat kelas bawah sebab masyarakat kelas bawah pun

sebenarnya mampu memberikan sumbangan bagi perekonomian daerah yang

nantinya dapat ikut menyokong perekonomian negara.

227

Dengan adanya diskriminasi karena anggapan pekerjaan yang kurang layak

sebenarnya Julini telah mengalami kekerasan struktural. Berawal dari tidak diterima

oleh masyarakat karena pekerjaan yang kurang layak, maka Julini telah dibatasi

kemampuannya untuk mengembangkan diri secara pribadi karena dia berasal dari

masyarakat kelas bawah. Penolakan terhadap Julini karena pekerjaannya akan

membuat Julini ditolak dalam hal lain, termasuk dalam menentukan tempat tinggal

ketika Julini ingin mendapat tempat tinggal yang lebih nyaman dan memperoleh

pendapatan yang lebih baik agar cukup untuk biaya hidupnya ketika dia ingin

memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Sekuat apapun usaha Julini sebagai PSK

untuk memperoleh pendapatan yang lebih tidak akan membuat Julini dibebaskan dari

diskriminasi yang dilakukan masyarakat kelas atas, termasuk pemerintah, terhadap

kelas bawah. Keberadaan masyarakat kelas bawah di dalam masyarakat secara luas

akan dianggap tidak memberi pengaruh apapun, kecuali hanya sebagai salah satu

sumber kesulitan perekonomian negara.

3.2.3 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah

Tuminah pun mengalami nasib yang hampir sama dengan Julini. Melalui

kutipan (210) dapat diketahui setelah peristiwa penggusuran lima tahun yang lalu,

Tuminah yang tidak memiliki keahlian apapun terpaksa bekerja sebagai PSK.

Penggusuran membuat Tuminah kehilangan tempat tinggalnya dan pekerjaan, yaitu

membantu Tibal berladang, dan secara otomatis menghilangkan sumber

penghasilannya juga. Sesudah peristiwa penggusuran ternyata pemerintah tidak

228

memberikan upaya untuk menangani korban penggusuran sehingga banyak anggota

urban miskin yang tetap berada dalam kemiskinan dan tidak memperoleh kemajuan

kesejahteraan sedikit pun. Hal ini menunjukkan pemerintah yang telah melakukan

kekerasan struktural berupa diskriminasi bahwa kaum urban miskin bukanlah

kelompok masyarakat yang berhak mendapat kehidupan lebih baik. Digambarkan

bahwa sebelum dan sesudah peristiwa penggusuran nasib masyarakat urban miskin

tetaplah berada dalam kekurangan, baik dalam perekonomian maupun sosial. Kaum

urban miskin yang menjadi korban penggusuran tidak pernah mendapat ganti rugi

berupa tempat tinggal baru dan tidak terbukanya lowongan kerja bagi mereka.

Pemerintah juga tidak mengusahakan adanya pembinaan dan pendidikan agar mereka

dapat diterima di tengah masyarakat luas. Hal ini juga memperlihatkan bahwa

pemerintah tidak mengikutsertakan kaum urban miskin menjadi bagian dari program

pembangunan sebagai kelompok masyarakat yang perlu dikembangkan potensinya

dan sebagai individu yang mandiri agar mereka bisa meningkatkan kesejahteraan

melalui pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.

(210) TIBAL: Oo, itu sebabnya kamu tetap jadi cabo, karena sudah punya pelindung.

Apa lelaki ini yang menyuruhmu jadi beginian? Hah?

TUMINAH: Bukan. Akang dengar dulu ceritaku. Selama Akang dipenjara, dari mana aku bisa hidup? Siapa mau menanggung aku? Masa depanku hancur, tapi aku tidak ingin ikut hancur. Aku harus bisa berdiri, biar

untuk itu aku harus jadi cabo. Itu satu-satunya jalan sesudah semuanya buntu. Akang boleh marah,

tapi coba pikir lagi dalam-dalam, apa yang bisa dikerjakan perempuan bodoh macam aku? Sendiri, di Jakarta. Pulang kampung? Di mana

kampung kita? Aku sebatang kara.

229

[...]

ROIMA: Kamu pikir Tuminah ingin terus-terusan jadi pelacur? Dia juga punya

cita-cita. Sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri. Kamu datang lagi untuk apa? Untuk mengobrak-abrik nasibnya lagi? Yang lewat biarlah

lewat, yang ada di depan kita sekarang, ini yang paling penting. Bisa saja kamu bunuh Tuminah, lalu kamu masuk penjara lagi. Terus,

untuk apa? (hlm. 231-233)

3.2.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima

Dari kutipan (211) bisa dilihat Roima merupakan korban penggusuran yang

luput dari program pembangunan pemerintah. Setelah digusur, Roima juga tidak

diberi ganti tempat tinggal yang baru. Pemerintah telah melakukan kekerasan

struktural kepada Roima, yaitu menghilangkan partisipasi Roima untuk mengambil

keputusan tentang nasib sendiri. Pemerintah telah membuat anggota urban miskin

terlalu bergantung dan hanya mengandalkan pemerintah saja, serta tidak memberikan

pilihan tentang tempat tinggal, pekerjaan, dan partisipasi mereka sebagai warga yang

berhak mendapat perlindungan dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah sebagai

pihak dengan tingkat yang lebih tinggi telah menghilangkan peluang Roima untuk

mendapat pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka. Selain itu, pemerintah juga

secara tidak langsung telah membatasi ruang gerak anggota urban miskin karena

masyarakat kelas bawah harus terus-menerus mengikuti keinginan pemerintah

sebagai pihak yang lebih kuat.

(211) ROIMA: [...]

230

Kita orang kecil, Tibal. Kita selalu kalah. Kita akan lebih kalah kalau kita kalap. Orang-orang yang sudah

berhasil mengalahkan kita adalah orang-orang yang kalem, semua langkah dihitung. Kalau kita mau menang, kita juga harus kalem.

Semua langkah dihitung. Kalau perlu, licik juga tidak apa-apa. Pakai siasat.

(hlm. 233)

3.2.5 Kekerasan Struktural terhadap Tibal

Dari kutipan (212) dapat diketahui Tibal yang telah bebas dari penjara pun

ternyata tidak punya keahlian khusus yang bisa diterapkan dalam pekerjaan. Sebagai

anggota urban miskin sebenarnya Tibal telah dibatasi ruang geraknya sebagai

individu yang seharusnya boleh mendapat pekerjaan layak. Selain itu, keberadaan

Tibal telah diabaikan oleh pemerintah sehingga masa depan Tibal tidak mempunyai

jaminan apapun untuk mejadi lebih baik. Melalui kutipan (212) juga dapat dilihat

bahwa Tibal merasa dirinya tidak akan bisa mengubah keadaan sebab dia berasal dari

kelas bawah dan hal ini berarti dia tidak akan diberi peluang untuk maju oleh

masyarakat kelas atas.

(212) TIBAL: Tidak. Aku tidak akan ikut-ikutan makan uang lendir. Roima betul.

Kita memang ditakdirkan untuk selalu kalah. Apa saja usaha kita, tetap akan kalah. Jadi aku tidak peduli lagi. Aku punya rencana sendiri.

Sudah kadung. Begini kalah, begitu kalah. Lebih baik nekat. Selamat tinggal, Tuminah.

(hlm. 233)

231

3.2.6 Kekerasan Struktural oleh Pejabat

Kutipan (213) dan (214) menceritakan Pejabat sebagai langganan Tuminah

yang telah menjadi PSK profesional. Dalam percakapan antara Tuminah dan Pejabat

secara tidak langsung sebenarnya telah terjadi kekerasan struktural. Pejabat

mengatasnamakan diri sebagai pemerintah demi keamanan dirinya sendiri ketika

bertransaksi dengan Tuminah. Hal ini memperlihatkan bahwa Pejabat tidak mau

diketahui mempunyai hubungan dengan kelompok urban miskin, terutama PSK sebab

Pejabat ingin mengamankan dirinya dari publik. Pejabat ingin tetap nama baiknya

terjaga, tapi di sisi lain Pejabat juga tetap ingin dapat mempergunakan jasa Tuminah

sebagai PSK. Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat adalah memberi imbalan

kepada Tuminah demi mendapat apa yang diinginkan oleh Pejabat. Artinya di dalam

memberi imbalan, sebenarnya Tuminah telah berada di bawah kendali Pejabat. Hal

ini berwujud jasa Tuminah digunakan Pejabat tetap dengan transaksi pembayaran

yang wajar, tapi di lain sisi sebenarnya Pejabat secara tidak langsung telah meminta

Tuminah untuk merahasiakan hubungannya dengan Pejabat sebab Pejabat tetap ingin

dikenal sebagai tokoh masyarakat yang “bersih” di depan rakyat. Dalam kutipan

(213) Pejabat ingin dirinya tetap aman dalam menjalin hubungan dengan Tuminah

dan sebagai tokoh masyarakat dia tidak ingin jabatannya dipertaruhkan seandainya

hubungannya dengan Tuminah diketahui khalayak umum, apalagi menjadi berita di

koran. Tuminah sebagai anggota urban miskin tentu saja hanya bisa mengikuti

keinginan Pejabat sebab dia berada di bawah pengaruh Pejabat dan tidak bebas untuk

membuat keputusan sendiri. Seandainya Pejabat melakukan kecurangan dalam

232

transaksi pembayaran terhadap jasa Tuminah, maka Tuminah tidak akan bisa

melakukan apapun, termasuk menuntut Pejabat. Pejabat mampu membalik keadaan

dengan mengatakan bahwa Tuminah hanya ingin meraup keuntungan dari masyarakat

kelas atas.

(213) TUMINAH: (KELUAR BERSAMA TAMUNYA)

Jangan takut, Pak.

PEJABAT: (KETAKUTAN. KELUAR CUMA BERCELANA PENDEK DAN

TANPA BAJU. SAMBIL BERPAKAIAN, BICARA) Mas....

TUMINAH:

Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.

PEJABAT: Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu

Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran. Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?

(MERAYU)

Tuminah, besok aku datang lagi ya? Di rumah, aku dapat kiriman kondom dari Jepang. Bisa kita coba, enak mana dibanding dengan

kondom bikinan Tangerang.

TUMINAH: Pergilah, Mas, sudah hampir pagi kan?

(hlm. 158-159)

Dalam kutipan (214) diperlihatkan bahwa Pejabat masih ingin

mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat yang terpandang dan

menghindari dirinya diturunkan dari pangkat. Di sini Pejabat mengatakan bahwa dia

tidak diperbolehkan mempunyai dua istri. Posisi Tuminah sebagai PSK langganan

Pejabat tidak akan ada kemajuan sebab Pejabat tidak boleh beristri dua. Tuminah

233

tidak bisa berharap terlalu banyak dari Pejabat untuk memperoleh perbaikan

ekonomi. Tuminah akan tetap menjadi anggota urban miskin yang dibayar sebagai

PSK langganan dan berada di bawah kendali Pejabat yang ingin menjaga reputasinya.

Dalam hal ini Pejabat telah membuat ketimpangan dengan menunjukkan keberadaan

dirinya sebagai anggota masyarakat kelas atas yang tetap harus dijaga nama baiknya

sehingga tetap terlihat jelas adanya perbedaan kelas sosial antara Pejabat dan

Tuminah.

(214) PEJABAT: Selalu datang lagi, selalu. Kamu luar biasa, Tuminah. Luar biasa. Mas

puas, selalu puas. Kamu lain dengan yang lain-lain.

TUMINAH: Apanya yang lain, Mas?

PEJABAT:

Lho, malah tanya. Pokoknya lain. Bersedia main dengan pose-pose lain, buat Mas itu pengalaman luar biasa.

TUMINAH:

Di rumah sendiri, apa tidak bisa anu dengan pose-pose lain, Mas?

PEJABAT: Di rumah? Woo, monoton. Satu posisi saja selama 30 tahun. Kan bosen. Ya, nggak? Istriku tidak gemar yang aneh-aneh. Dicolek,

lampu dimatikan, buka daster, dor-dor-dor, tiga menit, sudah. Lalu ngorok. Tidak ada rayu-rayuan, tidak ada mesra-mesraan. Istriku

menganggap variasi itu gombal.

TUMINAH: Cari istri lain, dong.

PEJABAT:

Istri lain? Mau diturunkan pangkatnya, apa? Bagi orang penting macam Mas, tidak boleh punya istri dua. Atasan bisa marah-marah.

Main-main di luaran boleh, tapi punya istri lagi? Nanti dulu. Persatuan istri-istri pejabat pengaruhnya kuat sekali. Dan itu pula yang membuat

234

mereka makin sewenang-wenang. Kami para suami, hanya bisa mengurut dada. Sudah, sekarang Mas pulang dulu ya?

(hlm. 175)

Kutipan (215) dan (216) memperlihatkan Pejabat melakukan kerjasama

dengan tamu dari Jepang. Dalam kutipan (215) Pejabat telah melakukan kekerasan

struktural berupa korupsi dan eksploitasi kemiskinan melalui kerjasamanya dengan

elit ekonomi yang memiliki modal. Kondisi penguasaan sumber daya ekonomi dan

akses pengambilan kebijakan publik saat itu ada di tangan Pejabat, sehingga kondisi

struktural ini sangat menguntungkan Pejabat untuk mengambil keuntungan sebanyak-

banyaknya dan merugikan masyarakat strata menengah ke bawah yang berada di

bawah kekuasaan Pejabat. Pejabat berusaha agar dana dari luar negeri dapat segera

diperoleh dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Pejabat memanfaatkan

kemiskinan rakyat agar bisa mendapat keuntungan untuk diri sendiri. Dana bantuan

ini sebenarnya ditujukan untuk pembangunan yang nantinya diharap dapat menunjang

kesejahteraan rakyat banyak. Selain itu, Pejabat memakai kemiskinan rakyat untuk

memperoleh simpati dari bangsa lain, sehingga bangsa lain bersedia memberikan

bantuan. Dengan adanya bantuan dana dari luar negeri sebenarnya bisa diketahui

bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini belum dapat dikatakan sebagai

keberhasilan program pemerintah, justru bantuan luar negeri memperlihatkan jika

perekonomian negara Indonesia masih labil. Selain itu, pemerintah sebenarnya telah

melakukan pembatasan terhadap potensi masyarakat yang seharusnya dibina dan

diberi keterampilan agar dapat bekerja dengan layak sehingga nanti dapat memberi

pemasukan bagi perekonomian negara. Namun, dari kutipan (215) pemerintah

235

terkesan lebih menggantungkan perekonomian negara dengan meminta dana bantuan

dari luar negeri tanpa melihat potensi yang dimiliki oleh masyarakat.

(215) PEJABAT: Persahabatan kami dengan bangsa Tuan, sudah sampai pada taraf yang

saling menjanjikan. Perhatian dunia terbetot ke sini semua. Tawaran Tuan untuk bersedia memberikan kredit bunga lunak, sungguh

simpatik sekali. Dana yang Tuan sumbangkan itu, percayalah, pasti akan sangat bermanfaat bagi kehidupan rakyat kami. Dan mereka akan

sangat berterimakasih.

TAMU: (BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG)

Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangsa Tuan yang berbunyi....

(MENGAMBIL CATATAN DARI SAKUNYA DAN MEMBACA)

“... yang akan memanfaatkan dana kredit untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yang akan dibangun, hanyalah usaha-usaha yang manfaatnya

bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Semua proyek mercusuar akan kembali ditinjau dan digantikan dengan proyek-proyek

multiguna. Dengan demikian, bantuan kredit ini tidak boleh hanya ditinjau dari segi keuangannya saja, tapi lebih merupakan usaha

manusia untuk membantu saudara-saudaranya sesama manusia....”

(SEMUA YANG HADIR BERTEPUK TANGAN) Bravo. Artikel ini sungguh menarik.

PEJABAT:

Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera, ‘kan? Kami sangat membutuhkan, lho.

TAMU:

Pasti. Pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen. Bagaimana?

PEJABAT:

Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak

penting. Tapi, kalau bisa, yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor....

236

(MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)

TAMU: Baik, baik.

(hlm. 185-186)

Di akhir percakapannya dengan tamu dari Jepang dalam kutipan (215) Pejabat

sempat menawar agar dia diberi keuntungan pribadi yang diambil dari dana bantuan

luar negeri itu. Hal ini menunjukkan bahwa Pejabat merupakan perwakilan pihak

pemerintah yang tidak sungkan melakukan korupsi. Dana bantuan yang seharusnya

digunakan sepenuhnya untuk pembangunan dan menunjang kebutuhan masyarakat,

ternyata diambil sedikit bagian oleh Pejabat untuk kepentingan pribadi. Dengan

melakukan korupsi Pejabat telah membuat rakyat akan semakin kekurangan dalam

perekonomian mereka. Walaupun dana yang diambil Pejabat hanya terkesan sebagian

kecil saja, tapi bagi masyarakat dana yang hanya sebagian kecil itu memiliki arti yang

cukup besar, yaitu bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat di berbagai

bidang yang bersifat menunjang kepentingan umum. Pejabat telah menggunakan

kekuasaan yang berlebih sehingga dia merasa berhak memakai dana bantuan luar

negeri untuk kepentingannya sendiri.

Kutipan (216) diceritakan Pejabat sedang mempresentasikan alokasi dana

bantuan dari luar negeri. Dalam presentasinya, Pejabat menjelaskan rencana

pembangunan yang akan dilakukan pihak pemerintah nanti dengan dana bantuan dari

luar negeri tersebut. Di sini pemerintah berencana membangun fasilitas-fasilitas

umum yang nantinya dapat digunakan oleh masyarakat. Namun, di sisi lain

sebenarnya Pejabat telah lupa apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat.

237

Kebanyakan rakyat menginginkan mereka bisa lepas dari kemiskinan. Dalam hal ini

sebenarnya Pejabat telah mempergunakan kekuasaan yang berlebih dengan

menunjukkan dirinya sebagai pihak pemerintah yang memiliki wewenang

menentukan kebijakan penggunaan dana bantuan. Pejabat menggunakan dana

bantuan hanya berdasar pada apa yang diinginkannya, bukan pada apa yang menjadi

prioritas untuk bisa membantu masyarakat.

(216) TAMU: (BASA-BASI)

Luar biasa. Wonderful. Great. Satisfied. Dana bantuan yang sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan sangat tepat sekali. Semua ini akan

saya laporkan.

PEJABAT: Ini masih belum apa-apa. Hamparan tanah kosong yang di depan sana

itu kelak akan kita bangun sekolah-sekolah, perpustakaan umum, tempat-tempat ibadat dan pasar bagi pedagang modal kecil. Itulah

realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan yang kita anut. Pendeknya, semua demi kesejahteraan rakyat, demi pemerataan kue hasil

pembangunan.

[...]

PEJABAT: (BANGGA)

Dan musium juga akan kita dirikan di mana-mana. Ini penting, sebab kita pikir hanya bangsa yang goblok saja yang tidak mempedulikan

dokumentasi sejarah masa lampau. Dan monumen. Kita akan dirikan monumen bagi setiap peristiwa, baik yang sifatnya umum maupun

yang kepahlawanan. Ada sejuta pahlawan, kita dirikan sejuta monumen.

Pendek kata, setiap peristiwa yang menyentuh hati masyarakat, langsung kita tanggapi. Hasilnya: monumen. Mereka yang masuk

dalam Barisan Sakit Hati bilang: beras lebih penting dari monumen. Tapi, kita dan rakyat bilang: monumen itu penting. Monumen itu

ibarat celana. Kebudayaan.

TAMU:

238

Great. Sekali lagi, luar biasa. Kalau begitu saya bisa pulang ke negeri saya dengan hati yang sangat puas. Wonderful. Thank you.

(hlm. 213-215)

Karena hanya memikirkan apa yang menjadi kepentingannya saja, maka

Pejabat tidak menggubris ketika ada masyarakat yang mengatakan bahwa pemenuhan

kebutuhan pangan lebih penting daripada membuat bangunan seperti monumen dalam

kutipan (216). Sebenarnya pemerintah telah melakukan kekerasan struktural berupa

campurtangan yang terlalu banyak sehingga menghilangkan otonomi masyarakat. Hal

ini ditunjukkan melalui Pejabat sebagai pihak pemerintah ternyata kurang bijak

menentukan apa yang menjadi prioritas dalam program pembangunan, sehingga

kebutuhan pokok masyarakat menjadi luput dari perhatian pemerintah. Tindakan

pemerintah ini menjadi kelemahan pihak pemerintah dan dibuktikan dengan masih

adanya masyarakat yang mengalami kelaparan atau kekurangan pangan di tengah

giatnya pembangunan negara.

Kutipan (217) menceritakan para waria yang sedang diperingatkan oleh

petugas. Para waria ini terancam harus pindah dari tempat mangkal mereka karena di

tempat tersebut akan dibangun terminal kabel. Dalam percakapan para waria dengan

petugas dapat diketahui bahwa para waria telah mengalami kekerasan struktural

berupa campurtangan pihak pemerintah sehingga mereka kehilangan otonomi atau

kemampuan untuk menentukan tujuan bagi diri sendiri yang berkaitan dengan nasib

mereka. Petugas hanya meminta para waria pindah tanpa memberikan solusi bagi

pekerjaan mereka. Jika para waria diminta pindah tentu saja hal itu akan berpengaruh

terhadap pekerjaan mereka sebab dengan kewajiban untuk pindah ini berarti para

239

waria harus kehilangan tempat kerja mereka dan terpaksa mencari tempat mangkal

lain. Melalui percakapan antara para waria dengan petugas sebenarnya terdapat

diskriminasi terhadap kelompok waria karena pekerjaan sebagai waria sekaligus

pelacur dianggap kurang sehat dan dapat mengganggu kehidupan masyarakat di

sekitar. Namun, sebenarnya diskriminasi ini muncul sebab pemerintah belum bisa

memberikan solusi bagi para waria. Jika pihak pemerintah ingin para waria

menghentikan kegiatan mereka, maka seharusnya pihak pemerintah memberikan

jalan keluar berupa pembinaan melalui pemberian keterampilan dan pengadaan

lapangan kerja. Dengan adanya peringatan dari petugas, sebenarnya pihak pemerintah

memberikan tekanan yang menyudutkan para waria. Di satu sisi pihak pemerintah

ingin para waria menghentikan kegiatan melacur mereka, tapi di sisi lain pemerintah

mewajibkan mereka mencari jalan keluar sendiri sebab pada kenyataannya

pemerintah tidak memberikan tindakan apapun sebagai solusi.

Dari kutipan (217) juga dapat diketahui bahwa pejabat juga sering melakukan

kekerasan struktural berupa korupsi. Para waria ini mengetahui bahwa pejabat

melakukan korupsi karena para waria telah mengalami dampak kekerasan struktural

ini. Jika pemerintah korupsi, maka rakyat kecil yang dirugikan. Penggunaan uang

negara oleh pemerintah sebenarnya telah mengurangi peluang masyarakat kelas

bawah untuk memperbaiki kehidupan mereka. Uang negara yang seharusnya dipakai

untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat ternyata tidak dipakai sesuai dengan

alokasi yang sebenarnya, tapi justru digunakan untuk kepentingan pribadi saja.

(217) SATPAM-1:

240

Eee, ini bukan guyonan. Ini penting. Dalam rangka pembangunan mental-spiritual, segala perilaku yang menyinggung perasaan akan

disikat habis. Apalagi perilaku yang amoral, seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Menjadi waria dan sekaligus menjadi pelacur.

WARIA-3:

Jangan main-main, Mas. Itu namanya dwifungsi, kayak saya ini lho. Siang jadi tukang jagal, malam hari ngebanci untuk cari duit

tambahan. Anak saya lima, satu hampir sarjana. Isteri saya tahu kerja saya apa kalau malam. Ini profesi tahu, profesi....

SATPAM-1:

Apa tidak bisa kerja lain?

WARIA-3: Bisa. Korupsi. Tapi kita ‘kan bukan pejabat? Apalagi? Merampok?

Maling?

SATPAM-1: Melacur juga dilarang, tahu nggak? Dan saya datang untuk

memperingatkan kalian, mumpung masih ada waktu. Sadarlah kalian. Jangan mau jadi begini. Ini maksiat. Dalam rangka pembangunan

mental-spiritual....

[...]

SATPAM-1: Begini, Mbak-Mbak. Beberapa bulan lagi, di tempat ini akan dibangun

terminal kereta kabel. Saya datang hanya memperingatkan supaya kalian siap-siap. Mumpung waktunya masih panjang.

(hlm. 243-244)

Peristiwa dalam kutipan (217) berlanjut menjadi keributan antara petugas

dengan para waria. Dalam kutipan (218) para waria tidak mau mengikuti keinginan

petugas untuk menyanggupi pindah dari tempat mangkal mereka. Di dalam keributan

ini petugas menggunakan senjata api secara sembarangan walaupun hanya untuk

mengancam para waria. Dengan adanya ancaman menggunakan senjata ini

sebenarnya petugas sebagai aparat pemerintah telah melakukan kekerasan struktural.

241

Kekerasan struktural berupa ancaman ini terwujud karena adanya pemakaian

kekuasaan berlebih oleh petugas, sehingga petugas merasa boleh menggunakan

senjata api secara sembarangan walaupun dengan alasan untuk melindungi diri.

Sebenarnya petugas bisa saja melakukan gertakan hanya dengan menembakkan

senjata ke udara, tapi yang dilakukan oleh petugas ternyata lebih dari wewenangnya,

yaitu mengarahkan senjata kepada para waria. Ternyata peluru petugas mengenai

Julini yang saat itu tidak terlibat dalam keributan dan menyebabkan Julini mati.

Setelah insiden penembakan ini, petugas tidak segera memberikan pertolongan

kepada korban penembakan; tetapi justru saling melempar tanggung jawab.

(218) (KERIBUTAN PUN MELEDAK. PETUGAS DIKEROYOK PARA WARIA. HANYA JULINI SAJA YANG TETAP BENGONG DI TEMPATNYA. DIA SAMA SEKALI TIDAK TERPENGARUH OLEH SUASANA DI SEKITARNYA YANG MEMANG MAKIN

MEMANAS)

PETUGAS: Tolong, Mas Satpam, tolong. Pakai pistolnya. Jangan bengong saja

kamu.

(SATPAM YANG MULANYA KEDER, AKHIRNYA MENURUT. DAN TERDENGAR BUNYI ‘DOR’ SEKALI. SEMUA BUYAR.

DAN PARA WARIA MENJERIT-JERIT KETAKUTAN. TERDENGAR BUNYI ‘DOR’ LAGI. DAN ‘DOR’ LAGI

BERUNTUN)

(JULINI NAMPAK MEMEGANG DADANYA. DIA MERASAKAN DARAH MENGALIR DI SELA-SELA JEMARINYA. DIA KAGET.

LIMBUNG. RASA NYERI MENYERANG DADANYA)

JULINI: Darah. Astaganaganaganya. Darah. Aduh, darah. Ini darah betulan apa

saus tomat.

(MENCICIPI DARAH DI JARI-JARINYA)

242

Betul-betul darah. Julini mampus dah, kiamat dah.

SATPAM-1: Saya jadi pembunuh.

Peluru itu datang dari pistol saya, ya? Tidak, tidak, pasti dari pistol kamu. Saya cuma punya peluru karet. Tidak bikin mati. Kamu.

SATPAM-2:

Enak saja. Pasti kamu. Asapnya jelas keluar dari pistol kamu. Kalau dari aku, pasti tidak bikin mati. Aku pakai peluru hampa. Nih. Kamu

yang membunuh. (hlm. 247-248)

Akibat insiden penembakan Julini, Roima dan para waria menjadi sangat

marah. Mereka mengalami dampak dari kekerasan struktural yaitu ketimpangan

sosial. Mereka sebagai anggota urban miskin telah disingkirkan seakan-akan mereka

tidak boleh mendapat pembelaan apapun dari siapa saja. Semua yang dialami oleh

kaum urban miskin adalah dampak dari kekerasan struktural berupa diskriminasi

kelas sosial yang dilakukan oleh kelas atas sebagai pihak yang lebih kuat. Dari

kutipan (219) dapat diketahui bahwa kaum urban miskin sebagai korban kekerasan

struktural tidak pernah dibela oleh siapa pun, termasuk pemerintah, sebab mereka

telah dianggap sebagai kelompok masyarakat yang harus disisihkan. Akhirnya, para

waria dan Roima memutuskan untuk pergi ke rumah Pejabat dengan tujuan meminta

pertanggungjawaban.

(219) WARIA-3: Kesadisan macam ini harus distop. Mentang-mentang kita tidak punya

beking, kita diburu-buru, digencet, dibunuhi.

ROIMA: (BERTERIAK)

Kita berangkat ke rumah Pak Pejabat. (hlm. 251)

243

Kutipan (220) menceritakan Roima dan para waria telah sampai di rumah

Pejabat. Roima mengatakan bahwa sebagai anggota urban miskin, Julini hanya ingin

mendapat hak untuk hidup, bekerja, dan mendapat penghasilan. Di samping itu,

kedatangan Roima dan para waria ke rumah Pejabat adalah untuk meminta

pertanggungjawaban Pejabat agar segera menindak pelaku penembakan Julini dengan

memberi hukuman yang setimpal. Namun, setelah mendapat pengaduan dari Roima

sikap Pejabat malah mengesankan bahwa Pejabat tidak begitu peduli dengan nasib

kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Pejabat telah melakukan kekerasan

struktural lewat ketidakpeduliannya itu. Bagi Pejabat, kasus yang menimpa kaum

urban miskin bukan menjadi urusannya dan Pejabat terlihat cenderung mengabaikan

keselamatan nyawa masyarakat urban miskin. Bahkan Pejabat menerima kedatangan

Roima dan para waria hanya sebagai formalitas saja agar dianggap tetap mempunyai

perhatian kepada rakyat kecil. Di akhir pertemuan Pejabat dengan Roima dan para

waria, Pejabat sempat menjanjikan bahwa dia akan mengusut kasus penembakan

Julini dan mencari pelakunya. Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat bisa

mengakibatkan ketimpangan sosial yang cukup tajam. Pejabat membedakan antara

mengusut kasus anggota masyarakat urban miskin dengan kasus yang menimpa

masyarakat kelas atas. Seandainya kasus penembakan ini menimpa masyarakat kelas

atas, Pejabat akan segera bertindak memerintah anak buahnya untuk mencari pelaku

penembakan. Namun, dalam trilogi bagian kedua ini yang menjadi korban

penembakan hanyalah Julini, anggota urban miskin yang tidak begitu berpengaruh

244

bagi Pejabat. Pejabat tidak akan ambil tindakan secepatnya untuk mengusut pelaku

penembakan karena Julini cuma berasal dari masyarakat kelas bawah.

(220) PEJABAT: Bawa masuk mereka yang mau menghadap.

ROIMA:

Kami semua sudah di sini, Pak.

PEJABAT: Oo, iya? Ah, kalian? Langsung saja apa yang mau dilaporkan. Waktu saya sempit. Dan ini sudah larut malam. Mana ada pejabat yang sudi

menerima rakyat pada malam hari, kecuali saya. Ayo, ngomong!

ROIMA: Dia cuma ingin hidup. Dia tak pernah mengganggu. Tidak pernah

memaksa. Apa yang dia lakukan cuma kerja. Supaya tidak kelaparan. Dia mungkin sampah. Keahliannya cuma memijat. Nasib

melemparkan dia ke got, dan sampai tua dia akan tetap ada di got, berdesakan dengan kutu dan kecoa.

Kami orang-orang kecil. Masalah kami cuma masalah perut. Tapi kenapa dia yang harus ditembak mati? Kenapa dia?

PEJABAT:

Jadi maunya apa. Omong langsung, jangan muter-muter.

ROIMA: Kami menuntut tindakan hukum yang setimpal bagi penembaknya.

[...]

PEJABAT:

Diam semua! Diam! Bagus.

(PARA WARIA TERDIAM)

Baik. Laporan kalian akan dipelajari. Dan tunggu sampai kami selesai memproses kasus ini. Yang salah tentu tidak akan luput dari hukuman.

Soal lain-lain tunggu putusan! (hlm. 253-254)

245

Setelah Roima dan para waria pergi dari rumah Pejabat, Pejabat sempat

memarahi anak buahnya. Dalam kutipan (221) dapat diketahui ternyata pelaku

penembakan Julini adalah bawahan Pejabat yang saat itu bertugas patroli. Namun,

Pejabat tidak memberitahukan kepada Roima dan para waria bahwa pelaku insiden

penembakan Julini adalah anak buah Pejabat. Berawal dari laporan anak buahnya,

Pejabat mulai melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum

urban miskin. Pejabat yang semula menjanjikan akan mengusut pelaku penembakan

Julini, tentu saja tidak jadi mengusut pelaku penembakan Julini. Jika pelaku

penembakan dibawa ke pengadilan, Pejabat jelas juga ikut dibawa sebagai orang

pertama yang harus bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya. Bahkan ada

kemungkinan Pejabat dianggap telah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan

tindak kekerasan terhadap para waria. Sebisa mungkin Pejabat menjaga kedudukan

dan reputasinya, termasuk ketika menghadapi wartawan-wartawan yang menanyakan

kasus penembakan para waria.

Selain kebohongan, kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Pejabat

dalam kutipan (221) adalah tidak adil dalam persoalan hukum. Ketika tadi

berhadapan dengan Roima, Pejabat sempat meyakinkan Roima bahwa pelaku

penembakan akan diberi hukuman yang setimpal. Namun, setelah mengetahui bahwa

pelaku penembakan adalah anak buahnya sendiri, Pejabat tentu saja tidak akan

membawa bawahannya ke pengadilan untuk diberi hukuman yang setimpal. Pejabat

akan berusaha melakukan apa saja agar anak buahnya selamat dari jerat hukum sebab

jika bawahannya sampai diberi hukuman lewat pengadilan, maka reputasi Pejabat

246

akan jatuh dan bisa saja jabatan yang sekarang disandang Pejabat akan dilepas oleh

atasannya.

Melalui kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat dalam kutipan (221)

berupa kebohongan dan ketidakadilan dalam hukum, sebenarnya Pejabat telah

memanfaatkan posisinya sebagai anggota kelas atas untuk menyelamatkan

kepentingan pribadinya. Sebagai tokoh masyarakat, Pejabat tentu saja akan

melakukan apa saja agar dia tidak perlu turun dari jabatan, termasuk dengan

menjadikan kaum urban miskin sebagai korban demi menjaga nama baik Pejabat.

Kaum urban miskin bukanlah kelompok masyarakat yang berpengaruh bagi Pejabat.

Justru Pejabat terkesan ingin menyingkirkan kaum urban miskin dari masyarakat luas

sebab masyarakat urban miskin telah dianggap menyulitkan proses pembangunan

yang dilakukan pemerintah saat ini.

(221) PEJABAT: Masuk, goblok!

(PETUGAS DAN DUA SATPAM MASUK DENGAN MUKA

PUCAT)

Kalian ini memang goblok. Kerja pakai dengkul, bukan pakai otak. Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan? Mau masuk penjara,

hah?

SATPAM-2: Nggak, Pak. Tapi saya disuruh Pak Petugas untuk menembak.

PEJABAT:

Menembak boleh, tapi tidak usah pakai pestol. Tembak pakai tangan, kaki, pentungan. Kamu kan lebih ahli.

PETUGAS:

Tapi mereka mulai beringas, Pak.

247

PEJABAT: Gertak! Orang yang maju rame-rame, biasanya penakut. Kita boleh

ringan tangan, asal jangan ringan pistol. Bahaya.

(SATPAM-1 KELUAR RUANGAN KARENA DIPANGGIL SESEORANG, KEMUDIAN DIA MASUK LAGI)

SATPAM-1:

Pak, ada lima wartawan ingin menghadap Bapak.

PEJABAT: Mau apa mereka?

SATPAM-1:

Katanya mau menanyakan kejelasan peristiwa penembakan para waria.

PEJABAT:

Para waria? Kok, sudah jadi banyak? Padahal yang mati cuma satu waria. Astaga, kalau wartawan tahu, celaka kamu.

PETUGAS:

Celaka kita, Pak. (hlm. 256-257)

Kutipan (222) menceritakan kepanikan Pejabat setelah mengetahui berita

insiden penembakan Julini telah tersebar di surat kabar. Situasi pasca penembakan

Julini ini ternyata dimanfaatkan oleh lawan politik Pejabat untuk mencari simpati

rakyat. Karena terpancing oleh lawan politiknya, maka Pejabat juga berusaha dia

tetap mendapat simpati masyarakat. Agar wibawanya di depan rakyat banyak tetap

terjaga, tidak disalahkan oleh orang banyak, dan demi mempertahankan nama baik di

depan lawan politiknya; Pejabat akhirnya mengikuti apa saja kemauan masyarakat

urban miskin, termasuk mendirikan monumen untuk memperingati kematian Julini.

248

Dengan menuruti apa saja kemauan para urban miskin, sebenarnya Pejabat

telah berusaha membuat masyarakat urban miskin lupa pada tuntutan yang

sebenarnya, yaitu menegakkan hukum yang adil atas kasus penembakan Julini. Pada

akhirnya memang Pejabat membangun monumen dan patung untuk memperingati

kematian Julini, tapi Pejabat tidak mengusut pelaku penembakan Julini seperti yang

pernah dijanjikannya kepada Roima dan para waria. Dalam kasus penembakan Julini,

Pejabat sebagai pihak pemerintah tidak memberikan kepedulian yang cukup padahal

Julini dan anggota urban lainnya masih menjadi anggota masyarakat luas di kota

Jakarta, dan artinya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia kaum urban miskin

tetap membutuhkan perhatian dari pemerintah.

(222) PEJABAT: Apa waria itu betul-betul mati?

SATPAM-2:

Betul, mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat.

PEJABAT: Aduh, jadi bagaimana ini? Pasti saya yang lebih dulu kena getahnya.

(MEMBACA KORAN)

“Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu didukung oleh....” Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.

Cepat amat dia merespon. Brengsek.

PETUGAS: Boleh saya usul, Pak?

PEJABAT:

Usul!

PETUGAS:

249

Terima kasih, Pak. Begini. Agar kita selalu nampak simpatik di depan rakyat, sebaiknya apa saja tuntutan mereka kita penuhi. Minta

dibikinkan monumen, kita bikin. Minta dibikinkan patung, kita bikin. Apa saja. Keuntungannya banyak, Pak. Kemarahan mereka bisa reda, dan kita malah bakal disanjung sebagai pejabat yang tanggap kepada hati nurani rakyat. Kalau tidak, bisa-bisa kita dihadiahi ayam betina

sama mereka. Kan malu, Pak? Jatuh wibawa kita. (hlm. 258-259)

Beberapa waktu setelah insiden penembakan Julini, terjadi peristiwa

kebakaran yang menimpa kompleks PSK milik Tarsih. Dalam kutipan (223) peristiwa

kebakaran telah menghabiskan seluruh bagian kompleks PSK. Para penghuni

kompleks benar-benar mengalami kerugian yang cukup besar karena mereka tidak

hanya kehilangan tempat tinggal, tapi juga kehilangan tempat kerja dan hal itu bisa

menghambat pekerjaan mereka yang nanti akan berpengaruh terhadap penghasilan

mereka. Kebakaran kompleks ini diperkirakan sebagai sabotase yang dilakukan oleh

pihak pemerintah. Pada awal “Opera Kecoa” sempat diceritakan Tarsih mendapat

himbauan dari petugas bahwa kompleks PSK harus dipindahkan karena dianggap

mengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Namun, waktu itu Tarsih menolak

dengan keras pemindahan kompleks PSK sebab Tarsih menganggap pemindahan ini

adalah penggusuran secara halus walaupun petugas menyebutnya sebagai lokalisir

dan berjanji akan memberi ganti rugi. Kebakaran ini oleh para penghuni kompleks

PSK dianggap sebagai sabotase pemerintah sebab para penghuni mengetahui rencana

penggusuran kompleks PSK pernah digagalkan oleh Tarsih. Akhirnya dengan

dipimpin oleh Roima, para penghuni PSK memutuskan pergi menghadap Pejabat

untuk meminta penjelasan mengenai peristiwa kebakaran ini.

250

(223) (BEBERAPA JAM SESUDAH PERISTIWA KEBAKARAN ITU. SELURUH KORBAN BERKUMPUL DI BAWAH PATUNG

JULINI. MEREKA LEMAH DAN TAK BERDAYA)

ASNAH: Habis, habis semuanya.

ORANG-1:

Cabo gila itu juga habis.

TUMINAH: Dan Mbak Tarsih....

(ROIMA MUNCUL. MELIHAT SEMUA KEJADIAN DENGAN

PEDIH)

TUMINAH: Roima....

ROIMA:

Ya, aku dengar semuanya, aku lihat semuanya. Ini bukan kejadian biasa. Ini pasti ada apa-apanya.

[...]

ROIMA:

Kita harus tanyakan ini semua. Kita menghadap. Kita harus bertanya.

(SEMUA SETUJU. DAN SEREMPAK MEREKA BERGERAK KE KANTOR PAK PEJABAT)

(hlm. 278-279)

Para penghuni kompleks PSK dan Roima telah sampai di rumah Pejabat.

Dalam kutipan (224) mereka meminta penjelasan mengenai peritiwa kebakaran ini.

Namun, Pejabat merespon kedatangan mereka dengan kemarahan. Pejabat

menganggap peristiwa kebakaran ini sebagai musibah, bukan sabotase. Di dalam

percakapannya dengan Roima, Pejabat sempat menjanjikan akan mendirikan bagunan

baru sebagai tempat tinggal para PSK. Melalui pernyataannya itu, sekali lagi Pejabat

251

melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban miskin sebab

tidak ada jaminan bahwa nantinya Pejabat akan membangun tempat baru untuk para

penghuni kompleks PSK. Sikap Pejabat memperlihatkan adanya ketimpangan sosial

yang tajam antara kelas atas dan kelas bawah sebab Pejabat tidak sungguh-sungguh

berniat membantu menyelesaikan permasalahan para urban miskin. Bagi Pejabat

peristiwa kebakaran ini bukan permasalahan penting. Permasalahan yang menimpa

kaum urban miskin tidak pernah benar-benar diperhatikan oleh pihak pemerintah.

(224) PEJABAT: Bawa masuk semua yang ingin menghadap.

ROIMA:

Kami semua sudah ada di sini, Pak. Kami ingin tanyakan kenapa musibah ini terjadi.

PEJABAT: (MARAH)

Lho, memangnya saya serba tahu? Musibah, ya, musibah. Kita akan selidiki itu semua dan menyeret yang bersalah. Tapi kalau memang ini musibah, mau bilang apa? Api kan sulit diduga. Percayalah, ini cuma musibah. Pendek kata, saya berjanji, di tempat bekas kebakaran nanti

akan kita dirikan bangunan yang lebih baik lagi. Puas?

ROIMA: Dan bangunan itu bukan untuk kami. Memang itu yang Bapak maui,

kan? Kami sudah dikorbankan.

PEJABAT: (MARAH)

Setan, goblok. Jangan menuduh sembarangan. Kebakaran di mana pun bisa terjadi. Tidak boleh bercuriga dulu, selidiki dulu.

ROIMA:

(BERTERIAK) Dua kali kita diusir.

Sekarang dengan cara yang lebih sadis lagi. Pergi ke mana lagi kita? Kita ini memang cuma kecoa. Yang selalu mengintip kesempatan tapi

252

kesempatan yang kita dapat cuma tai. Itu bagian kita. Kita harus kembali ke lubang-lubang bawah tanah, ke got-got, ke gorong-gorng,

ke lubang WC. Itu tempat kita. (hlm. 280-281)

Melalui peristiwa kebakaran ini kaum urban miskin merasa bahwa di mana

pun mereka berada tidak akan pernah mendapat tempat yang layak sebab mereka

telah didiskriminasikan lebih dulu oleh pihak yang lebih kuat. Perbedaan kelas sosial

membuat urban miskin tidak mempunyai kesempatan apapun, termasuk hak tempat

tinggal dan mendapat ganti rugi ketika mereka mengalami musibah. Walaupun nanti

Pejabat membuat bangunan baru di bekas lokasi kebakaran tersebut, para urban

miskin yakin bahwa tempat itu bukanlah untuk mereka.

Kaum urban miskin tetap merasa bahwa peristiwa kebakaran itu adalah

sabotase pihak tertentu dan memaksa Pejabat untuk mengusut tuntas kasus ini.

Namun, dalam kutipan (225) Pejabat menanggapi sikap para urban miskin dengan

marah. Pada akhirnya Pejabat tidak memberikan jalan keluar sedikit pun kepada

kaum urban miskin, termasuk tidak memberikan ganti rugi kepada penghuni

kompleks PSK yang telah kehilangan tempat tinggalnya.

(225) PEJABAT: Ini apa, diskusi di tengah medan perang? Mau perang tidak? Ayo, maju, aku sudah tidak sabar lagi. Jangan banyak omong. Pelatuk

senjata sudah ditekuk, tinggal dor! Mampus! Ayo, maju, dan mampus!

ROIMA:

Jangan kuatir, Pak. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita akan kembali ke tempat kita, kalau memang itu kehendak Bapak.

(hlm. 283)

253

Setelah berdebat cukup lama dengan Pejabat, akhirnya Roima dan para

penghuni kompleks PSK mengalah dan kembali ke kawasan kumuh. Hingga “Opera

Kecoa” selesai, Pejabat tidak pernah mewujudkan janjinya untuk membangun

bangunan baru di tempat bekas kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa Pejabat telah

melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban miskin.

Selain itu, Pejabat juga tidak memberikan ganti rugi apapun kepada korban kebakaran

ini. Sikap Pejabat membuat hubungan antara kelas atas dan kelas bawah semakin

renggang karena Pejabat lebih mengutamakan kepentingan kelas atas dan

menyisihkan kepentingan kelas bawah. Akibat jarak yang cukup besar antarkelas

sosial, maka peluang untuk mendapat kehidupan yang lebih baik bagi kelas sosial

yang lebih rendah akan semakin berkurang dan mereka tetap berada di bawah kendali

kelas atas sebagai pihak yang kuat.

Kesimpulan analisis kekerasan struktural dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian

kedua) adalah masyarakat dalam “Opera Kecoa” terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

pemerintah sebagai kelas atas dengan tokoh Pejabat dan kaum urban miskin yang

diwakili oleh Tarsih, Julini, Tuminah, Roima, dan Tibal. Pada awal “Opera Kecoa”

diperlihatkan Tarsih yang sedang menghadapi petugas dari dinas tata kota dan

mengalami kekerasan struktural berupa ancaman penggusuran dari pemerintah.

Dalam rencana penggusuran ini pemerintah telah menggunakan wewenang yang

berlebih untuk menyudutkan Tarsih dan membatasi kaum urban miskin dalam

menentukan nasib sendiri (206). Penggusuran kompleks PSK yang mengatasnamakan

lokalisir merupakan bentuk kekerasan struktural yang akan menimbulkan

254

ketimpangan sosial ekonomi sebab kekerasan model ini dapat menghilangkan tempat

tinggal seseorang dan secara tidak langsung mengurangi peluang individu untuk

mendapat penghasilan akibat hilangnya pekerjaan (207). Lokalisir juga dianggap

sebagai bentuk penipuan yang dilakukan pemerintah sebab dengan cara ini

pemerintah menggunakan jabatannya untuk mendapat apa yang seharusnya bisa

menjadi milik rakyat.

Para PSK di kompleks Tarsih ternyata juga dikenai pajak yang cukup tinggi

oleh pemerintah (208). Pengadaan pajak merupakan pembatasan terhadap otonomi

atau kekuasaan atas diri pribadi para PSK dan hal ini adalah bentuk kekerasan

struktural yang dilakukan pemerintah. Dengan adanya pajak yang cukup tinggi, maka

akan terjadi ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran para PSK. Selain itu,

pemerintah juga kurang peka dalam menyediakan lapangan kerja bagi kelas bawah

sehingga rakyat Indonesia yang termasuk kelompok miskin akan semakin bertambah.

Julini sebagai anggota urban miskin pun terpaksa bekerja sebagai PSK karena

dia tidak memiliki keahlian lain yang dapat dipakai dalam pekerjaan yang layak

(209). Justru karena pekerjaannya sebagai PSK, Julini mengalami kekerasan

struktural berupa diskriminasi oleh kelas atas yang menganggap bahwa pekerjaan

PSK adalah pekerjaan yang negatif dan secara tidak langsung sebenarnya masyarakat

kelas atas telah menolak keberadaan Julini. Berawal dari penolakan masyarakat

terhadap Julini karena profesinya, maka Julini dapat ditolak juga dalam hal lain

seperti ketika menentukan tempat tinggal dan memperoleh pekerjaan yang lebih baik

255

agar pendapatannya juga meningkat. Akibatnya Julini telah dibatasi kemampuannya

dalam mengembangkan diri secara pribadi sebagai anggota urban miskin.

Tuminah sebagai anggota urban miskin juga mengalami kekerasan struktural

ketika dia menjadi korban penggusuran dalam “Bom Waktu”. Penggusuran membuat

Tuminah, Roima, dan Tibal kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan (210), (211),

(212). Pemerintah daerah juga tidak memberikan ganti rugi kepada para korban

penggusuran. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah melakukan

kekerasan struktural berupa diskriminasi terhadap kaum urban miskin dengan

menganggap kelompok kelas bawah ini tidak berhak mendapat kehidupan yang lebih

baik. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak mengikutsertakan kaum urban miskin

menjadi bagian dari program pembangunan sebagai kelompok masyarakat yang perlu

dikembangkan potensinya dan sebagai individu yang mandiri agar kesejahteraan

hidup semakin meningkat melalui pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.

Pemerintah secara tidak langsung telah membatasi ruang gerak anggota urban miskin

karena masyarakat kelas bawah harus mengikuti keinginan pemerintah sebagai pihak

yang lebih kuat.

Pejabat telah menjadi langganan Tuminah yang berprofesi sebagai PSK

profesional. Pejabat mengatasnamakan diri sebagai pemerintah demi keamanan

dirinya sendiri ketika bertransaksi dengan Tuminah (213). Hal ini memperlihatkan

bahwa Pejabat tidak mau diketahui mempunyai hubungan dengan kelompok urban

miskin, terutama PSK sebab Pejabat ingin mengamankan dirinya dari publik.

Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat adalah memberi imbalan kepada

256

Tuminah demi mendapat apa yang diinginkan oleh Pejabat. Artinya di dalam

memberi imbalan, sebenarnya Tuminah telah berada di bawah kendali Pejabat. Hal

ini berwujud jasa Tuminah digunakan Pejabat tetap dengan transaksi pembayaran

yang wajar, tapi di lain sisi sebenarnya Pejabat secara tidak langsung telah meminta

Tuminah untuk merahasiakan hubungannya dengan Pejabat sebab Pejabat tetap ingin

dikenal sebagai tokoh masyarakat yang “bersih” di depan rakyat. Pejabat juga terlihat

masih ingin mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat yang

terpandang dan menghindari dirinya diturunkan dari pangkat (214). Posisi Tuminah

sebagai PSK langganan Pejabat tidak akan ada kemajuan sebab Pejabat tidak boleh

beristri dua. Tuminah tidak bisa berharap terlalu banyak dari Pejabat untuk

memperoleh perbaikan ekonomi. Tuminah akan tetap menjadi anggota urban miskin

yang dibayar sebagai PSK langganan dan berada di bawah kendali Pejabat yang ingin

menjaga reputasinya. Dalam hal ini Pejabat telah membuat ketimpangan dengan

menunjukkan keberadaan dirinya sebagai anggota masyarakat kelas atas yang tetap

harus dijaga nama baiknya sehingga tetap terlihat jelas adanya perbedaan kelas sosial

antara Pejabat dan Tuminah.

Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa korupsi dan eksploitasi

kemiskinan (215). Pejabat berusaha agar dana dari luar negeri dapat segera diperoleh

dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Pejabat juga memanfaatkan

kemiskinan rakyat agar bisa mendapat keuntungan untuk diri sendiri. Selain itu,

pemerintah sebenarnya telah melakukan pembatasan terhadap potensi masyarakat

yang seharusnya dibina dan diberi keterampilan agar dapat bekerja dengan layak

257

sehingga nanti dapat memberi pemasukan bagi perekonomian negara. Pejabat sempat

menawar agar dia diberi keuntungan pribadi yang diambil dari dana bantuan luar

negeri itu. Hal ini menunjukkan bahwa Pejabat merupakan perwakilan pihak

pemerintah yang tidak sungkan melakukan korupsi. Pejabat telah menggunakan

kekuasaan yang berlebih sehingga dia merasa berhak memakai dana bantuan luar

negeri untuk kepentingannya sendiri.

Pejabat dalam presentasinya menjelaskan rencana pembangunan yang akan

dilakukan pihak pemerintah nanti dengan dana bantuan dari luar negeri tersebut

(216). Namun, di sisi lain sebenarnya Pejabat telah lupa apa yang sebenarnya

dibutuhkan oleh masyarakat. Kebanyakan rakyat menginginkan mereka bisa lepas

dari kemiskinan. Sebenarnya pemerintah telah melakukan kekerasan struktural berupa

campurtangan yang terlalu banyak sehingga menghilangkan otonomi masyarakat. Hal

ini ditunjukkan melalui Pejabat sebagai pihak pemerintah ternyata kurang bijak

menentukan apa yang menjadi prioritas dalam program pembangunan, sehingga

kebutuhan pokok masyarakat menjadi luput dari perhatian pemerintah.

Ada juga para waria yang terancam harus pindah dari tempat mangkal mereka

karena di tempat tersebut akan dibangun terminal kabel (217). Dalam percakapan

para waria dengan petugas dapat diketahui bahwa para waria telah mengalami

kekerasan struktural berupa campurtangan pihak pemerintah sehingga mereka

kehilangan otonomi atau kemampuan untuk menentukan tujuan bagi diri sendiri yang

berkaitan dengan nasib mereka. Jika para waria diminta pindah tentu saja hal itu akan

berpengaruh terhadap pekerjaan mereka sebab dengan kewajiban untuk pindah ini

258

berarti para waria harus kehilangan tempat kerja mereka dan terpaksa mencari tempat

mangkal lain. Melalui percakapan antara para waria dengan petugas sebenarnya

terdapat diskriminasi terhadap kelompok waria karena pekerjaan sebagai waria

sekaligus pelacur dianggap kurang sehat dan dapat mengganggu kehidupan

masyarakat di sekitar. Namun, sebenarnya diskriminasi ini muncul sebab pemerintah

belum bisa memberikan solusi bagi para waria. Di satu sisi pihak pemerintah ingin

para waria menghentikan kegiatan melacur mereka, tapi di sisi lain pemerintah

mewajibkan mereka mencari jalan keluar sendiri sebab pada kenyataannya

pemerintah tidak memberikan tindakan apapun sebagai solusi. Selain itu, para waria

juga dapat mengetahui bahwa pejabat sering melakukan kekerasan struktural berupa

korupsi. Para waria ini mengetahui bahwa pejabat melakukan korupsi karena para

waria telah mengalami dampak kekerasan struktural ini. Jika pemerintah korupsi,

maka rakyat kecil yang dirugikan.

Ternyata para waria tidak mau mengikuti keinginan petugas untuk

menyanggupi pindah dari tempat mangkal mereka (218). Di dalam keributan ini

petugas menggunakan senjata api secara sembarangan walaupun hanya untuk

mengancam para waria. Kekerasan struktural berupa ancaman ini terwujud karena

adanya pemakaian kekuasaan berlebih oleh petugas, sehingga petugas merasa boleh

menggunakan senjata api secara sembarangan walaupun dengan alasan untuk

melindungi diri. Peluru petugas mengenai Julini yang saat itu tidak terlibat dalam

keributan dan menyebabkan Julini mati.

259

Akibat insiden penembakan Julini, Roima dan para waria menjadi sangat

marah. Mereka mengalami dampak dari kekerasan struktural yaitu ketimpangan

sosial. Mereka sebagai anggota urban miskin telah disingkirkan seakan-akan mereka

tidak boleh mendapat pembelaan apapun dari siapa saja. Semua yang dialami oleh

kaum urban miskin adalah dampak dari kekerasan struktural berupa diskriminasi

kelas sosial yang dilakukan oleh kelas atas sebagai pihak yang lebih kuat (219).

Roima dan para waria ke rumah Pejabat adalah untuk meminta

pertanggungjawaban Pejabat agar segera menindak pelaku penembakan Julini dengan

memberi hukuman yang setimpal (220). Namun, setelah mendapat pengaduan dari

Roima sikap Pejabat malah mengesankan bahwa Pejabat tidak begitu peduli dengan

nasib kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Pejabat telah melakukan kekerasan

struktural lewat ketidakpeduliannya itu. Bagi Pejabat, kasus yang menimpa kaum

urban miskin bukan menjadi urusannya dan Pejabat terlihat cenderung mengabaikan

keselamatan nyawa masyarakat urban miskin.

Pelaku penembakan Julini adalah bawahan Pejabat yang saat itu bertugas

patroli (221). Berawal dari laporan anak buahnya, Pejabat mulai melakukan

kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban miskin. Pejabat yang

semula menjanjikan akan mengusut pelaku penembakan Julini, tentu saja tidak jadi

mengusut pelaku penembakan Julini. Jika pelaku penembakan dibawa ke pengadilan,

Pejabat jelas juga ikut dibawa sebagai orang pertama yang harus bertanggung jawab

atas tindakan anak buahnya. Kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Pejabat

adalah tidak adil dalam persoalan hukum. Ketika tadi berhadapan dengan Roima,

260

Pejabat sempat meyakinkan Roima bahwa pelaku penembakan akan diberi hukuman

yang setimpal. Namun, setelah mengetahui bahwa pelaku penembakan adalah anak

buahnya sendiri, Pejabat tentu saja tidak akan membawa bawahannya ke pengadilan

agar reputasinya tidak jatuh.

Pejabat juga berusaha dia tetap mendapat simpati masyarakat (222). Agar

wibawanya di depan rakyat banyak tetap terjaga, tidak disalahkan oleh orang banyak,

dan demi mempertahankan nama baik di depan lawan politiknya; Pejabat akhirnya

mengikuti apa saja kemauan masyarakat urban miskin, termasuk mendirikan

monumen untuk memperingati kematian Julini.

Beberapa waktu setelah insiden penembakan Julini, terjadi peristiwa

kebakaran yang menimpa kompleks PSK milik Tarsih (223). Kebakaran ini oleh para

penghuni kompleks PSK dianggap sebagai sabotase pemerintah sebab para penghuni

mengetahui rencana penggusuran kompleks PSK pernah digagalkan oleh Tarsih.

Akhirnya dengan dipimpin oleh Roima, para penghuni PSK memutuskan pergi

menghadap Pejabat untuk meminta penjelasan mengenai peristiwa kebakaran ini.

Para penghuni kompleks PSK meminta penjelasan mengenai peritiwa

kebakaran (224). Namun, Pejabat merespon kedatangan mereka dengan kemarahan.

Pejabat menganggap peristiwa kebakaran ini sebagai musibah, bukan sabotase. Di

dalam percakapannya dengan Roima, Pejabat sempat menjanjikan akan mendirikan

bagunan baru sebagai tempat tinggal para PSK. Melalui pernyataannya itu, sekali lagi

Pejabat melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban

miskin sebab tidak ada jaminan bahwa nantinya Pejabat akan membangun tempat

261

baru untuk para penghuni kompleks PSK. Sikap Pejabat memperlihatkan adanya

ketimpangan sosial yang tajam antara kelas atas dan kelas bawah sebab Pejabat tidak

sungguh-sungguh berniat membantu menyelesaikan permasalahan para urban miskin.

Kaum urban miskin tetap merasa bahwa peristiwa kebakaran itu adalah

sabotase pihak tertentu dan memaksa Pejabat untuk mengusut tuntas kasus ini.

Hingga “Opera Kecoa” selesai, Pejabat tidak pernah mewujudkan janjinya untuk

membangun bangunan baru di tempat bekas kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa

Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban

miskin. Selain itu, Pejabat juga tidak memberikan ganti rugi apapun kepada korban

kebakaran ini (225). Akibat jarak yang cukup besar antarkelas sosial, maka peluang

untuk mendapat kehidupan yang lebih baik bagi kelas sosial yang lebih rendah akan

semakin berkurang dan mereka tetap berada di bawah kendali kelas atas sebagai

pihak yang kuat.

3.3 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)

“Opera Julini” menceritakan hubungan antara dua tingkatan dalam

masyarakat, yaitu pemerintah sebagai kelas atas dengan tokoh Pejabat dan kaum

urban miskin yang diwakili oleh Roima, Tuminah, dan Tibal. Dalam trilogi bagian

ketiga ini berbagai bentuk kekerasan struktural semakin memperlihatkan dampaknya

terhadap kaum urban miskin. Berikut akan diuraikan analisis kekerasan struktural

dalam “Opera Julini”.

262

3.3.1 Kekerasan Struktural terhadap Roima

Kekerasan struktural telah lama dialami oleh Roima. Roima kehilangan

otonominya sebagai anggota urban miskin sehingga dia tidak bisa menentukan nasib

bagi dirinya sendiri. Hingga saat ini Roima tetap berada dalam kemiskinan bukan

karena kegagalannya sendiri dalam usaha meningkatkan perekonomian, tapi lebih

disebabkan oleh pemerintah yang mengalami kegagalan dalam merencanakan

pembangunan. Pemerintah sebagai institusi yang telah ditunjuk untuk mengatur dan

mengarahkan masyarakat ternyata belum mampu membantu kelas bawah dalam

memecahkan permasalahan ekonomi mereka. Kutipan (226) merupakan dampak

kemiskinan yang dialami oleh Roima. Karena miskin, Roima mengorganisir

kelompok bandit dan merencanakan untuk menguasai perekonomian di wilayah yang

dia tempati. Salah satu akibat kemiskinan Roima adalah munculnya kriminalitas yang

tinggi, termasuk rencana para bandit untuk mengacau kota dengan cara merampok,

menjarah.

(226) ROIMA: Pada saatnya nanti kita bukan lagi bandit-bandit kasar yang bisanya cuma berkelahi. Kita akan menguasai ekonomi negeri ini. Dengan

organisasi yang rapi dan ketat, dengan modal yang kuat, saya yakin rencana kita kita pasti terwujud. Inilah janji saya; pasti datang satu

masa, nanti, kalian akan menjadi orang terhormat, orang yang dihargai, bukan lagi kecoa yang cuma berani merangkak di bawah kaki

orang lain. (hlm. 308)

Dari kutipan (226) juga dapat diketahui bahwa Roima mempunyai impian

untuk bisa mengubah kelas sosialnya. Dengan cara menguasai perekonomian, Roima

ingin suatu saat dia dan anggota urban miskin lainnya tidak lagi menjadi bagian dari

263

kelas bawah, tapi akan menjadi bagian dari masyarakat kelas atas sehingga mereka

akan lebih dihargai oleh masyarakat kelas atas. Kekerasan struktural juga

menyebabkan Roima mengalami ketimpangan sosial sehingga dia selalu disingkirkan

oleh masyarakat kelas atas karena status sosialnya. Selama Roima masih menjadi

anggota urban miskin, maka Roima akan selalu dibatasi haknya untuk memperoleh

kesejahteraan oleh masyarakat kelas atas.

Roima pun juga telah mengalami sedikit perubahan dalam mencari nafkah.

Roima yang semula hanya seorang pengangguran kini telah bekerja sebagai anggota

kelompok bandit dan memperoleh pendapatan dari pekerjaannya sebagai bandit.

Kemiskinan juga akan tetap menjadi keseharian Roima karena bagaimanapun juga

kelas sosial Roima tidak akan mengizinkan Roima diterima oleh masyarakat yang

berkelas sosial lebih tinggi. Dalam kutipan (227) sangat terlihat bahwa Roima

merupakan korban kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah berupa

peniadaan keikutsertaan Roima dalam menentukan nasibnya sendiri sehingga Roima

harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam

hal ini terdapat pengendalian dari kelas atas kepada kelas bawah untuk menentukan

kehidupan bersama dalam masyarakat.

(227) ROIMA: Aku tahu untuk apa aku kerja keras. Hanya kuda atau kerbau saja yang

tidak tahu untuk apa kerja keras. Kita kaya sekarang. Memang. Tapi apa bisa mengangkat diri kita ke dalam kalangan terhormat?

TUMINAH:

Apa kamu gila hormat?

ROIMA:

264

Aku belum selesai omong. Kita ini orang rendah, karena kita bandit-bandit kasar yang hanya mengandalkan tinju dan belati. Kehormatan? Apa itu tidak penting untuk orang-orang macam kita yang selama ini

‘ngumpet di dalam comberan?

TIBAL: Sudah, sudah.

ROIMA:

Apa kamu tidak ingin suatu saat nanti, kita bisa bergaul dengan kalangan jas dan dasi itu, membicarakan golf, lukisan dan turunnya

harga minyak di pasaran dunia? Aku ingin. Aku ingin suatu saat nanti, kita satu meja makan dengan kalangan jas

dan dasi itu, membicarakan macam-macam soal, tanpa malu-malu. Kita sedang bergerak ke arah itu. Masa kita tidak mau belajar? Kita orang bodoh, tapi kita punya kesempatan untuk jadi orang pintar.

Jangan sia-siakan. Kita punya uang sebagai modal. Kita tidak ingin terus-menerus jadi kuda tunggangan. Kita harus jadi majikan.

(hlm. 336)

Dari kutipan (227) Roima sebagai anggota urban miskin pun mempunyai

impian bahwa suatu saat dia bisa dihargai oleh masyarakat kelas atas, bukan hanya

karena Roima telah mampu meningkatkan pendapatan, tapi Roima ingin dihargai

lebih karena dia merasa bahwa dirinya masih menjadi bagian dari masyarakat luas.

Selain itu, Roima ingin dia dan kaum urban miskin juga belajar hidup bermasyarakat

dengan orang banyak. Roima tidak mau selamanya menjadi orang bodoh yang hanya

dikendalikan oleh masyarakat kelas atas saja. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya

Roima tengah mengalami dampak kekerasan struktural berupa ketimpangan

pendapatan, produktivitas, dan yang tidak kalah penting adalah masyarakat kelas

bawah jarang yang tersentuh oleh pendidikan. Melalui kutipan di atas secara tidak

langsung Roima menginginkan kesamaan dalam pendidikan dengan masyarakat kelas

265

atas. Roima dan anggota urban miskin lainnya telah dibatasi kesempatannya untuk

menentukan kehidupan bersama kelas sosial yang lebih tinggi.

3.3.2 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah

Kutipan (228) menceritakan Tuminah yang tidak memiliki keahlian apapun

ternyata telah menjadi PSK profesional. Selain menjadi PSK, Tuminah juga menjadi

pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Walaupun Tuminah termasuk

sudah mendapat sedikit peningkatan penghasilan dari pekerjaannya ini, sebenarnya

Tuminah tetap akan berada dalam kemiskinan dan tidak mungkin berubah status

sosialnya. Tuminah tetap akan dianggap sebagai anggota masyarakat kelas bawah.

Hal ini menunjukkan pemerintah yang telah melakukan kekerasan struktural berupa

diskriminasi bahwa kaum urban miskin bukanlah kelompok masyarakat yang berhak

mendapat kehidupan lebih baik. Pemerintah juga tidak mengusahakan adanya

pembinaan dan pendidikan agar mereka dapat diterima di tengah masyarakat luas.

Hal ini juga memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengikutsertakan kaum urban

miskin menjadi bagian dari program pembangunan sebagai kelompok masyarakat

yang perlu dikembangkan potensinya dan sebagai individu yang mandiri agar mereka

bisa meningkatkan kesejahteraan melalui pekerjaan yang sesuai dengan keahlian

mereka.

(228) TUMINAH: Memang aku ingin hidup senang, apa tidak boleh? Aku ingin

menikmati apa saja yang kita miliki sekarang, apa tidak boleh? 10 tahun jadi cabo, pengalaman jelek untukku. Apa sekarang setelah kaya, kita juga harus tetap sengsara? Lalu untuk apa ini semua,

266

ditabung? Siapa nanti yang akan menikmati? Aku makan rezeki yang ada di tangan, aku tidak mengharapkan yang masih di angan-angan.

Apa itu salah? (hlm. 335)

Dari kutipan (228) Tuminah tetap akan dianggap sebagai salah satu sumber

kesulitan dalam masyarakat karena pekerjaannya sebagai PSK. Bagi masyarakat,

kelompok PSK adalah kelompok yang tidak pernah diberi kesempatan untuk

menentukan kesepakatan hidup bersama dalam suatu relasi kemasyarakatan karena

pekerjaan sebagai PSK adalah salah satu pekerjaan yang dianggap negatif dan

menimbulkan pengaruh buruk bagi masyarakat. Secara tidak langsung, Tuminah juga

telah didiskriminasikan oleh masyarakat yang mempunyai kelas sosial lebih tinggi

dan harus disingkirkan. Dengan adanya penolakan dari masyarakat terhadap

Tuminah, maka pemerintah pun juga akan menolak keberadaan Tuminah dalam

masyarakat luas. Salah satu bentuk penolakan pemerintah adalah melalui kekerasan

struktural, yaitu pembatasan terhadap potensi Tuminah. Seharusnya pemerintah

masih bertanggung jawab terhadap keberadaan Tuminah sebab Tuminah dan

kaumnya masih menjadi bagian dari masyarakat. Pemerintah belum pernah

mengadakan pembinaan bagi para PSK atau memberikan pembelajaran keterampilan

tertentu sesuai dengan kebutuhan anggota masyarakat kelas bawah agar bisa

digunakan dalam pekerjaan yang lebih layak. Kadang pemerintah menggunakan dinas

sosial untuk memberikan pembinaan terhadap PSK, tapi kekerasan struktural akan

tetap muncul sebab pemerintah belum bisa membuka lapangan kerja yang cukup

memadai agar bisa menampung keterampilan para PSK. Di sini pemerintah masih

267

sering melakukan diskriminasi kelas sosial dengan cara menyempitkan lapangan kerja

bagi masyarakat kelas bawah melalui anggapan bahwa keterampilan yang dimiliki

oleh kelas bawah sangat terbatas. Kekerasan struktural yang dilakukan pemerintah ini

dapat mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan serta produktivitas suatu

kelompok masyarakat.

3.3.3 Kekerasan Struktural terhadap Tibal

Kutipan (229) menceritakan situasi Tibal di tengah kekacauan kota yang

dibuat oleh kelompoknya. Pengacauan kota ini merupakan salah satu bentuk dampak

kemiskinan yang terus-menerus dialami oleh Tibal. Tibal merasa bahwa dengan

melakukan kerusuhan di kota, maka dia bisa mendapat kekayaan yang nanti bisa

mengubah status sosialnya. Kemiskinan, ketimpangan pendapatan, terbatasnya

produktivitas, kurangnya pendidikan merupakan dampak dari kekerasan struktural

yang pernah dirasakan oleh Tibal. Bagi Tibal, dengan mengeruk keuntungan

sebanyak-banyaknya dia bisa menyamai masyarakat kelas atas. Namun, seandainya

Tibal bisa mendapat keuntungan yang banyak, Tibal tidak akan bisa menyamakan

kedudukan dengan masyarakat kelas atas sebab Tibal masih kalah dalam pendidikan,

kemampuan mengelola pendapatan, terbatasnya kemampuan untuk produktif sebab

kelas sosial Tibal bukanlah kelompok pemegang modal sehingga kondisi struktural

tidak akan memberi banyak keuntungan Tibal, serta tidak memiliki kesempatan untuk

menentukan cara hidup bersama. Selain itu, keinginan Tibal untuk membuat

kerusuhan di kota menyebabkan Tibal merasa harus merebut jabatan dari Roima

268

sebagai pemimpin kelompok bandit. Tibal menginginkan kekuasaan penuh sebagai

pimpinan kelompok bandit. Hal ini merupakan perpecahan dalam kelompok bandit

karena Tibal tergesa-gesa untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya.

(229) TIBAL: Tidak perlu pikirkan Roima lagi, yang sudah mati biarkan mati. Kita memang harus membalas dendam apa yang sudah mereka lakukan

terhadap kita. Kamu lihat, api di kejauhan? Itu adalah pertanda gerakan kelompok kita dimulai. Hari ini, mereka bergerak di seluruh

pelosok kota. Semua orang kita berkumpul di sini, untuk bikin kerusuhan. Dalam keadaan kacau segalanya bisa terjadi. Dan kita tinggal mengeruk keuntungan. Kita akan menguasai semuanya,

Tuminah. Kamu dan aku. Tidak ada lagi orang yang akan menghina kita. Tidak akan ada lagi, inilah cita-citaku sejak aku keluar dari

penjara. (hlm. 430)

Kutipan (230) merupakan puncak kekalahan kelompok bandit. Kutipan ini

menunjukkan bahwa Pejabat benar-benar menggunakan kedudukannya sebagai pihak

yang berkuasa untuk menundukkan kelompok bandit. Tindakan Pejabat ini

menunjukkan kekerasan struktural sebab Pejabat membuat ketimpangan sosial antara

kelas atas yang memiliki kekuasaan dominan dengan kelas bawah yang dianggap

selalu berada dalam kendali kelas atas.

(230) TIBAL: Kenapa kemari. Kamu kan aku suruh jaga markas?

BONAR:

Kita mampus, Bos. Mampus. Tiga puluh truk tentara dan tank-tank baja mengepung kita.

(TERDENGAR SUARA LEDAKAN, BERUNTUN DUA KALI.

LALU BLEKI MELINTAS SAMBIL TERIAK-TERIAK)

BLEKI: Bos Tibal, Bos, di mana kamu? Bos?

269

BAJENET: Ledakan itu asalnya dari markas kita. Mampus kita semua.

TIBAL:

Anjing. Tempe. Warisan dari Kumis, mental kere. Kita bergerak habis-habisan. Orang macam kita, mati juga tidak apa-apa. Tidak ada yang

menangisi kematian kita. Tidak ada pilihan lain selain menggigit. Kalau tidak, kita mampus. Ayo, ikuti aku, Bajenet, Bonar. Kita akan

bergerak terus, di bawah tanah! Ayo! (hlm. 431)

Pada akhir kutipan (230) Tibal secara tidak langsung menyatakan bahwa dia

dan kaum urban miskin tidak mempunyai arti apapun bagi pemerintah, kecuali hanya

sebagai sumber kesulitan yang perlu disingkirkan. Pernyataan Tibal memperlihatkan

bahwa kaum urban miskin tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan

nasibnya sendiri.

3.3.4 Kekerasan Struktural oleh Pejabat

“Opera Julini” diawali dengan Pejabat yang sedang melakukan jogging

dengan asisten pribadinya. Keduanya melewati sebuah kawasan kumuh yang saat itu

sedang dalam proses penggusuran. Dari kutipan (231) diceritakan para penghuni

kawasan kumuh Lokasari benar-benar sudah tidak punya rumah karena daerah tempat

tinggal mereka tengah digusur. Penggusuran ini merupakan salah satu cara

pemerintah melakukan kekerasan struktural, sebab penggusuran menyebabkan para

penghuni Lokasari tidak punya hak untuk menentukan tempat tinggal lagi, serta hak

untuk mengembangkan daerah yang mereka tempati juga ikut hilang. Kekerasan

struktural ini terjadi karena pemerintah mengatasnamakan diri sebagai perwakilan

270

kelas atas yang mempunyai wewenang lebih untuk mengatur kelas sosial yang lebih

rendah atau dengan kata lain kekuasaan untuk memutuskan hak kepemilikan sebuah

daerah tempat tinggal telah dimonopoli oleh sekelompok orang saja. Penggusuran ini

merupakan wujud kekuasaan pemerintah yang melewati batas sehingga massa bawah

menjadi kehilangan peluang yang seharusnya mempunyai akses sama untuk

menentukan kehidupan bersama.

Penggusuran ini memperlihatkan adanya ketimpangan sosial sebab

masyarakat kelas bawah terkesan selalu disisihkan dan tidak diberi hak untuk menjadi

bagian dari masyarakat luas. Pemerintah sebagai institusi yang seharusnya mampu

mengatur dan mengarahkan kehidupan seluruh lapisan masyarakat ternyata belum

bisa memberikan jalan keluar terhadap permasalahan tempat tinggal, terutama tempat

tinggal bagi masyarakat urban miskin. Sikap pemerintah ini sebenarnya telah

memperlihatkan gejala kegagalan dalam perencanaan pembangunan. Selama

kekerasan struktural masih ada, masyarakat yang menjadi pihak lemah akan selalu

hidup dalam kesenjangan yang semakin tajam dan serba kekurangan, bukan hanya

kekurangan dalam hal yang berkaitan dengan tempat tinggal; tapi juga kekurangan

dalam pendapatan, kesehatan, produktivitas, pendidikan, dan kekuasaan.

(231) PEJABAT: Ya, sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok

kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.

(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)

Apa yang ada di depan kita, Paijo?

271

ASPRI: Sampah yang menggunung, Pak.

PEJABAT:

Di samping kiri kita?

ASPRI: Jembatan roboh, Pak.

PEJABAT:

Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya?

ASPRI: Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP.

PEJABAT:

Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju? Apa tidak kedinginan?

ASPRI:

Makan saja sulit, apalagi beli pakaian.

PEJABAT: Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran?

ASPRI:

Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada

di dalam rumah mereka sendiri, Pak.

PEJABAT: Di kolong langit, begitu?

ASPRI: Ya, Pak.

PEJABAT:

Jadi itu semua kenyataan? Bukan bualan para seniman saja?

ASPRI: Kenyataan, Pak. Kenyataan.

PEJABAT:

272

Mengapa tidak pernah dilaporkan?

ASPRI: Ya tidak. Kalau dilaporkan, nanti Bapak marah.

(MEREKA TERUS JOGGING)

PEJABAT:

Banyak traktor dan pasukan anti huru-hara. Ada apa, Paijo?

ASPRI: Penggusuran, Pak.

Kawasan ini memang pantas digusur, sebab dianggap sebagai sumber kemaksiatan.

PEJABAT:

Apa nama kawasan itu, Paijo?

ASPRI: Lokasari, Pak.

PEJABAT:

Apa? Lokasari? Itu kawasan sengketa. Dan di pengadilan, Pemda dinyatakan kalah perkara. Kok masih terus dibongkar?

ASPRI:

Ah, mana mungkin Pemda bisa kalah, Pak? Ada-ada saja. (hlm. 297-299)

Pada kutipan (231) juga diceritakan bahwa pihak pemda mengalami kalah

perkara dalam perebutan kawasan Lokasari. Namun, sekali lagi pemerintah daerah

menggunakan kedudukannya sebagai pihak yang lebih kuat untuk mengalahkan pihak

yang lemah sehingga walaupun sudah dinyatakan kalah perkara, kawasan Lokasari

tetap digusur sesuai dengan keinginan pemda. Padahal seharusnya kawasan tersebut

batal digusur karena sudah menjadi hak milik masyarakat kelas bawah yang

menghuni di kawasan tersebut. Masyarakat kelas bawah tetap mengalami kekalahan

273

sebab kekuasaan untuk mengatur wilayah telah dimonopoli oleh pemda. Dalam hal

ini pemda telah melakukan kekerasan struktural berupa peniadaan partisipasi anggota

kelas bawah dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Selain itu,

pemda juga melakukan campurtangan yang berlebih sehingga menghilangkan

otonomi masyarakat kelas bawah.

Pejabat dalam kutipan (232) secara tidak langsung telah mengakui bahwa dia

selama ini telah melakukan kekerasan struktural terhadap masyarakat kelas bawah,

termasuk kepada kaum urban miskin. Dalam ucapannya, Pejabat mengakui bahwa dia

telah mendiskriminasikan masyarakat kelas bawah. Selama ini Pejabat juga tidak

pernah mempedulikan kaum urban miskin. Selain itu, Pejabat juga pernah

menghilangkan partisipasi kaum urban miskin dalam menentukan nasib sendiri,

terlalu campurtangan sehingga masyarakat urban miskin kehilangan otonomi mereka,

menghalangi massa bawah yang seharusnya mempunyai akses untuk menentukan

hidup bersama, dan mengeksploitasi kemiskinan masyarakat kelas bawah untuk

mendapat keuntungan diri sendiri serta mencari aman bagi posisinya.

(232) PEJABAT: Lalu, apa yang selama ini sudah kulakukan? Sibuk dengan berkas-berkas rencana anggaran? Seminar dan penataran demi masa depan

gemilang. Lalu apa yang sudah kulakukan demi masa depan sekarang? Dan pertanyaan itu berulang-ulang nongol di kepalaku. Lalu aku tak bisa menemukan jawabannya. Lalu tiba-tiba aku merasa dunia gelap. Aku buta seketika karena ngeri dan nyeri. Selama ini aku ada dalam

gedung, dalam kantor, dalam mobil, dalam hotel. Aku hanya mendengar kemiskinan lewat buku-buku dan koran dan selalu merasa

itu hanyalah ulah mereka yang iri dan dengki, berita yang dibesar-besarkan. Sekarang aku sudah melihatnya, dan langsung buta karena sadar tidak mampu berbuat apa-apa. Karena aku seluruhnya bukan

milikku lagi. Tanganku, kakiku, mulutku harus kumanfaatkan semata-

274

mata demi keutuhan korps. Demi kesatuan dan persatuan. Intinya, aku cuma wayang. Demikian yang terjadi, baru sekarang kusadari.

(hlm. 331)

Kutipan (232) memaparkan Pejabat yang sedang mengalami sakit mata. Sakit

mata yang diderita Pejabat merupakan simbol bahwa selama ini Pejabat telah

menutup mata terhadap nasib rakyat kecil, termasuk kaum urban miskin. Pejabat

merasa bahwa apa yang selama ini yang dia kerjakan benar dan telah membantu

pembangunan. Namun, ternyata dalam proses pembangunan Pejabat menganggap

keberadaan masyarakat urban miskin tidak memberikan pengaruh apapun untuk

pembangunan negara, kecuali hanya sebagai sumber kesulitan negara.

Roima dan Tibal telah diketahui oleh Pejabat bahwa mereka berdua adalah

pimpinan komplotan bandit. Dalam kutipan (233) Pejabat berencana menumpas

kelompok bandit. Dari kutipan ini juga diketahu bahwa Pejabat telah melakukan

kekerasan struktural terhadap kaum urban miskin. Kekerasan struktural yang

dilakukan Pejabat adalah kebohongan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya tindak

lanjut dari Pejabat untuk mengusut kasus kebakaran yang menimpa komples PSK

Tarsih sepuluh tahun yang lalu. Padahal saat Roima dan para penghuni kompleks

PSK datang ke rumah Pejabat, Pejabat sempat menjanjikan akan mencari pelaku

kasus kebakaran ini. Kebohongan yang kedua adalah Pejabat akan membuatkan

bangunan baru di tempat bekas kebakaran itu, tapi hingga kini ternyata bangunan

yang dijanjikan akan diberikan kepada kaum urban miskin tersebut tidak pernah

terwujud. Kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Pejabat adalah ketidakadilan

dalam hukum. Di sini Pejabat tidak mengusut kasus penembakan Julini. Pejabat

275

hanya membuatkan patung untuk memperingati kematian Julini tanpa mencari pelaku

penembak Julini. Pejabat juga tidak mengajukan kasus penembakan Julini ke

pengadilan sebab yang menembak Julini adalah anak buah Pejabat sendiri. Demi

menjaga nama baik maka Pejabat berusaha menyembunyikan kasus ini dari publik.

(233) PAIJO: Baik, Pak.

(MENGAMBIL BUKU, MEMBALIK HALAMAN TERAKHIR)

Kesimpulan: 1. Komplotan Kumis memang bangkit lagi, sekarang dipimpin oleh

Tibal dan Roima.

PEJABAT: Stop. Tibal dan Roima, rasanya aku pernah dengar nama itu.

PAIJO:

Mereka berdua yang memimpin wadam-wadam demonstrasi ke kantor kita sekitar 10 tahun yang lalu. Kemudian Bapak mengeluarkan

keputusan untuk mendirikan patung salah seorang wadam yang mati kena peluru nyasar.

PEJABAT:

Betul. Tidak salah lagi. Dua orang itu juga yang memimpin keributan dan menuduhku membakar kompleks pelacuran. Sudah lama sekali,

dan mereka menghilang seperti ditelan bumi. (hlm. 370-371)

Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat merupakan bentuk penindasan

dari kelas atas terhadap kelas bawah. Dalam hal ini Pejabat menggunakan jabatannya

untuk mendiskriminasikan kelas bawah. Pejabat menganggap bahwa kasus-kasus

yang menimpa kaum urban miskin bukanlah permasalahan yang penting bagi Pejabat.

Pejabat tidak memberikan kesempatan bagi urban miskin untuk mendapat pembelaan

dalam permasalahan yang sebenarnya menyudutkan para urban miskin.

276

Pejabat akhirnya memerintahkan anak buahnya untuk menumpas kelompok

bandit. Bagi Pejabat, kelompok bandit telah terlalu mengacau keadaan kota. Dalam

kutipan (234) Pejabat menginginkan kelompok bandit ditumpas dengan cara apa saja.

Secara tidak langsung Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa

penghilangan sekelompok masyarakat yang dianggap sebagai sumber kesulitan

pemerintah. Pejabat menggunakan kedudukannya sebagai elit politik yang

mempunyai pengaruh besar sehingga berusaha menyingkirkan kelompok yang lebih

lemah tingkatannya. Dalam rencana penumpasan kelompok bandit ini Pejabat seakan-

akan memperbolehkan segala cara untuk menumpas para bandit, maka cara-cara ini

nantinya termasuk penggunaan kekerasan fisik seperti penangkapan orang-orang

yang dianggap berbahaya serta penggunaan senjata untuk mengatasi para pengacau.

Di sisi lain, Pejabat tidak memikirkan jalan damai dengan cara yang lebih lunak agar

dapat menghindari kekerasan fisik.

Melalui kutipan di bawah juga ditunjukkan bahwa Pejabat memang

memikirkan nasib sebagian besar masyarakat yang mengalami dampak dari

kekacauan akibat tindakan para bandit. Namun, di sisi lain Pejabat justru belum

memikirkan nasib kaum urban miskin yang menjadi anggota kelompok bandit akibat

mengalami kekerasan struktural yang berkepanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa

Pejabat tidak pernah menganggap kaum urban miskin sebagai bagian dari seluruh

masyarakat yang ada di bawah tanggung jawab pemerintah dan perlu diperbaiki

sistem perekonomiannya.

(234) PEJABAT:

277

Setan. Apa pangkatmu berani memerintah aku? Laporan kalian sudah saya terima, nanti akan diperiksa. Perintah sudah aku turunkan untuk

menumpas habis komplotan bandit, apa lagi yang ditunggu? Semuanya jelas.

POLISI-1: (TAKUT)

Ya, Pak, baik, Pak.

PEJABAT: Komplotan bandit, siapa pun mereka, tetap akan membuat rakyat resah. Kita ini pejabat negara, dibayar oleh uang rakyat, bertugas

membikin aman tenteram rakyat. Paham? Pakai fasilitas apa saja yang kalian butuhkan untuk menumpas bandit-bandit itu. Besok surat

perintahnya akan diturunkan oleh Pak Paijo. Paham? (hlm. 372)

Kutipan (235) menunjukkan kelompok bandit telah dikalahkan oleh aparat

pemerintah. Hal ini menujukkan adanya wewenang yang berlebih dari pemerintah

sehingga kaum urban miskin seakan-akan hanya asal ditumpas tanpa tujuan.

Pemerintah setidaknya harus mempersiapkan rencana untuk membina para bandit

yang tertangkap, atau memberi tempat tinggal yang layak dan membuka lapangan

kerja bagi mereka agar mereka menjadi orang-orang yang dihargai oleh kelas sosial

yang lebih tinggi.

(235) ASPRI: Tidak perlu kuatir lagi. Bantuan datang. Tentara sudah mengepung

markas bandit-bandit itu. Kerusuhan ini, kata komandan tentara, bukan kerusuhan besar. Mereka jamin, dua atau tiga jam, kota bisa

dikendalikan lagi.

ISTRI: Bagus. Syukur tentara bisa bergerak secepat itu. Syukur mereka selalu

waspada.

ASPRI:

278

Kerusuhan ini nampaknya serentak di beberapa kota. Tapi organisasi mereka kurang rapi. Terkesan masih amatiran. Malah tidak kelihatan

siapa yang jadi pemimpin mereka.

PEJABAT: Pokoknya apa saja lakukan, asal kota aman dan stabil. Dan kalian

berdua, tunggu ganjarannya kalau semua sudah aman. Minggat kalian! (hlm. 432-433)

Setelah kerusuhan dapat diredakan, Pejabat meminta mundur dari jabatannya.

Namun, pengunduran diri Pejabat ternyata ditolak oleh Menteri. Pejabat justru diberi

kenaikan pangkat. Dari kutipan (236) dapat diketahui bahwa kekerasan struktural

tidak akan berhenti begitu saja. Apalagi istri Pejabat menyatakan bahwa para

pemimpin kelompok urban miskin tidak berhasil ditangkap. Para pemimpin urban

miskin diperkirakan akan terus melakukan kekacauan sebab mereka belum mendapat

perbaikan ekonomi, sosial, dan mereka belum bisa dihargai oleh masyarakat kelas

atas sebagai bagian dari masyarakat luas. Selain itu, Pejabat sebagai pihak pemerintah

juga belum menemukan jalan keluar bagi permasalahan ekonomi sosial yang

menimpa kaum urban miskin. Hal ini dapat menimbulkan ketimpangan terus-menerus

antara kelas atas dan kelas bawah sehingga menyebabkan siklus kekerasan struktural

tidak akan pernah terputus. Kekerasan struktural dapat terus terjadi walaupun di masa

yang akan datang pemimpin kelompok urban miskin dan orang yang menjadi pejabat

pemerintahan telah berganti berkali-kali. Kekerasan struktural akan tetap dianggap

wajar dan telah menjadi bagian dari struktur masyarakat sehingga para pelaku

kekerasan struktural tidak dapat dikenali sekaligus dilacak secara langsung oleh para

korbannya. Ketika kekerasan struktural terjadi terus-menerus, maka hal itu dapat

279

memacu timbulnya kekerasan balik yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.

Kelas bawah dapat menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kelas atas, tapi dengan latar

belakang ekonomi yang semakin terpuruk kelas bawah seringkali mengandalkan

kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah sebab mereka merasa sering

disisihkan dari pembangunan.

(236) PEJABAT: Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya

sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab

tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.

ISTRI:

Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung jawab terhadap segala macam

urusan suami saya. Sayalah tulang punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah

dia....

MENTERI: Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat

pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus

kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.

(hlm. 440)

Kesimpulan analisis kekerasan struktural dalam “Opera Julini” adalah dalam

trilogi bagian ketiga ini terdapat hubungan antara dua tingkatan dalam masyarakat,

yaitu pemerintah sebagai kelas atas dengan tokoh Pejabat dan kaum urban miskin

yang diwakili oleh Roima, Tuminah, dan Tibal.

280

Dalam trilogi bagian ketiga ini berbagai bentuk kekerasan struktural semakin

memperlihatkan dampaknya terhadap kaum urban miskin. Kekerasan struktural telah

lama dialami oleh Roima. Roima telah kehilangan otonominya sebagai anggota urban

miskin sehingga dia tidak bisa menentukan nasib bagi dirinya sendiri. Hingga saat ini

Roima tetap berada dalam kemiskinan bukan karena kegagalannya sendiri dalam

usaha meningkatkan perekonomian, tapi lebih disebabkan oleh pemerintah yang

mengalami kegagalan dalam merencanakan pembangunan. Pemerintah sebagai

institusi yang seharusnya mampu mengatur dan mengarahkan masyarakat ternyata

belum bisa membantu kelas bawah dalam memecahkan permasalahan ekonomi

mereka. Untuk mengatasi kemiskinannya dan mewujudkan impiannya agar diakui

masyarakat kelas atas, Roima mengorganisir kelompok bandit (226).

Roima yang semula hanya seorang pengangguran kini telah memperoleh

pendapatan dari pekerjaannya sebagai bandit. Namun, kemiskinan akan tetap menjadi

keseharian Roima sebab bagaimanapun juga kelas sosial Roima tidak akan

mengizinkan Roima diterima oleh masyarakat yang berkelas sosial lebih tinggi (227).

Roima merupakan korban kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah

berupa peniadaan keikutsertaan Roima dalam menentukan nasibnya sendiri sehingga

Roima harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi.

Dalam hal ini terdapat pengendalian dari kelas atas kepada kelas bawah untuk

menentukan kehidupan bersama dalam masyarakat. Roima tidak mau selamanya

menjadi orang bodoh yang hanya dikendalikan oleh masyarakat kelas atas saja. Hal

ini menunjukkan bahwa sebenarnya Roima tengah mengalami dampak kekerasan

281

struktural berupa ketimpangan pendapatan, produktivitas, dan yang tidak kalah

penting adalah masyarakat kelas bawah jarang yang tersentuh oleh pendidikan.

Tuminah yang tidak memiliki keahlian apapun ternyata telah menjadi PSK

prfesional (228). Walaupun Tuminah sudah mendapat sedikit peningkatan

penghasilan dari pekerjaannya ini, sebenarnya Tuminah tetap akan berada dalam

kemiskinan dan tidak mungkin berubah status sosialnya. Hal ini menunjukkan

pemerintah yang telah melakukan kekerasan struktural berupa diskriminasi bahwa

kaum urban miskin bukanlah kelompok masyarakat yang berhak mendapat kehidupan

lebih baik. Tuminah tetap akan dianggap sebagai salah satu sumber kesulitan dalam

masyarakat karena pekerjaannya sebagai PSK. Secara tidak langsung, Tuminah telah

didiskriminasikan oleh masyarakat yang mempunyai kelas sosial lebih tinggi dan

harus disingkirkan. Dengan adanya penolakan dari masyarakat terhadap Tuminah,

maka pemerintah pun juga akan menolak keberadaan Tuminah dalam masyarakat

luas. Salah satu bentuk penolakan pemerintah adalah melalui kekerasan struktural,

yaitu pembatasan terhadap potensi Tuminah. Seharusnya pemerintah masih

bertanggung jawab terhadap keberadaan Tuminah sebab Tuminah dan kaumnya

masih menjadi bagian dari masyarakat.

Pengacauan kota merupakan salah satu bentuk dampak kemiskinan yang

terus-menerus dialami oleh Tibal (229), (230). Kemiskinan, ketimpangan pendapatan,

terbatasnya produktivitas, kurangnya pendidikan merupakan dampak dari kekerasan

struktural yang pernah dirasakan oleh Tibal. Bagi Tibal, dengan mengeruk

keuntungan sebanyak-banyaknya dia bisa menyamai masyarakat kelas atas. Namun,

282

seandainya Tibal bisa mendapat keuntungan yang banyak, Tibal tidak akan bisa

menyamakan kedudukan dengan masyarakat kelas atas sebab Tibal masih kalah

dalam pendidikan, kemampuan mengelola pendapatan, terbatasnya kemampuan untuk

produktif sebab kelas sosial Tibal bukanlah kelompok pemegang modal sehingga

kondisi struktural tidak akan memberi banyak keuntungan Tibal, serta tidak memiliki

kesempatan untuk menentukan cara hidup bersama.

“Opera Julini” diawali dengan gambaran proses penggusuran kawasan

Lokasari. Penggusuran ini merupakan salah satu cara pemerintah melakukan

kekerasan struktural, sebab penggusuran menyebabkan para penghuni Lokasari tidak

punya hak untuk menentukan tempat tinggal lagi, serta hak untuk mengembangkan

daerah yang mereka tempati juga ikut hilang (231). Kekerasan struktural ini terjadi

karena pemerintah mengatasnamakan diri sebagai perwakilan kelas atas yang

memonopoli hak kepemilikan sebuah daerah tempat tinggal. Sikap pemerintah ini

sebenarnya telah memperlihatkan gejala kegagalan dalam perencanaan pembangunan.

Selama kekerasan struktural masih ada, masyarakat yang menjadi pihak lemah akan

selalu hidup dalam kesenjangan yang semakin tajam dan serba kekurangan, bukan

hanya kekurangan dalam hal yang berkaitan dengan tempat tinggal; tapi juga

kekurangan dalam pendapatan, kesehatan, produktivitas, pendidikan, dan kekuasaan.

Pihak pemda sebenarnya mengalami kalah perkara dalam perebutan kawasan

Lokasari. Namun, sekali lagi pemerintah daerah menggunakan kedudukannya sebagai

pihak yang lebih kuat untuk mengalahkan pihak yang lemah sehingga walaupun

sudah dinyatakan kalah perkara, kawasan Lokasari tetap digusur sesuai dengan

283

keinginan pemda (231). Dalam hal ini pemda telah melakukan kekerasan struktural

berupa peniadaan partisipasi anggota kelas bawah dalam mengambil keputusan

tentang nasib mereka sendiri. Selain itu, pemda juga melakukan campurtangan yang

berlebih sehingga menghilangkan otonomi masyarakat kelas bawah.

Pejabat secara tidak langsung telah mengakui bahwa dia selama ini telah

melakukan kekerasan struktural terhadap masyarakat kelas bawah, termasuk kepada

kaum urban miskin (232). Dalam ucapannya, Pejabat mengakui bahwa dia telah

mendiskriminasikan masyarakat kelas bawah, tidak pernah mempedulikan kaum

urban miskin, menghilangkan partisipasi kaum urban miskin dalam menentukan nasib

sendiri, terlalu campurtangan sehingga masyarakat urban miskin kehilangan otonomi

mereka, menghalangi massa bawah yang seharusnya mempunyai akses untuk

menentukan hidup bersama, dan mengeksploitasi kemiskinan masyarakat kelas

bawah untuk mendapat keuntungan diri sendiri serta mencari aman bagi posisinya.

Roima dan Tibal telah diketahui oleh Pejabat bahwa mereka berdua adalah

pimpinan komplotan bandit (233) sehingga Pejabat berencana menumpas kelompok

bandit. Pejabat sebenarnya telah melakukan kekerasan struktural terhadap kaum

urban miskin berupa kebohongan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya tindak

lanjut dari Pejabat untuk mengusut kasus kebakaran yang menimpa komples PSK

Tarsih sepuluh tahun yang lalu. Kebohongan yang lain adalah Pejabat akan

membuatkan bangunan baru di tempat bekas kebakaran itu, tapi hingga kini ternyata

bangunan yang dijanjikan akan diberikan kepada kaum urban miskin tersebut tidak

pernah terwujud. Kekerasan struktural lainnya yang dilakukan oleh Pejabat adalah

284

ketidakadilan dalam hukum. Di sini Pejabat tidak mengusut kasus penembakan Julini

sebab yang menembak Julini adalah anak buah Pejabat sendiri. Demi menjaga nama

baik maka Pejabat berusaha menyembunyikan kasus ini dari publik. Pejabat tidak

memberikan kesempatan bagi urban miskin untuk mendapat pembelaan dalam

permasalahan yang sebenarnya menyudutkan para urban miskin.

Pejabat menginginkan kelompok bandit ditumpas dengan cara apa saja (234).

Secara tidak langsung Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa

penghilangan sekelompok masyarakat yang dianggap sebagai sumber kesulitan

pemerintah. Pejabat menggunakan kedudukannya sebagai elit politik yang

mempunyai pengaruh besar sehingga berusaha menyingkirkan kelompok yang lebih

lemah tingkatannya.

Pejabat benar-benar menggunakan kedudukannya sebagai pihak yang

berkuasa untuk menundukkan kelompok bandit (235). Tindakan Pejabat ini

menunjukkan kekerasan struktural sebab Pejabat membuat ketimpangan sosial antara

kelas atas yang memiliki kekuasaan dominan dengan kelas bawah yang dianggap

selalu berada dalam kendali kelas atas. Kaum urban miskin tidak pernah diberi

kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri dan ada wewenang yang berlebih

dari pemerintah sehingga kaum urban miskin seakan-akan hanya asal ditumpas tanpa

tujuan.

Setelah kerusuhan dapat diredakan, Pejabat meminta mundur dari jabatannya.

Namun, pengunduran diri Pejabat ternyata ditolak oleh Menteri. Pejabat justru diberi

kenaikan pangkat (236) dan hal ini dapat berarti kekerasan struktural tidak akan

285

berhenti begitu saja. Apalagi istri Pejabat menyatakan bahwa para pemimpin

kelompok urban miskin tidak berhasil ditangkap. Para pemimpin urban miskin

diperkirakan akan terus melakukan kekacauan sebab mereka belum mendapat

perbaikan ekonomi, sosial, dan mereka belum bisa dihargai oleh masyarakat kelas

atas sebagai bagian dari masyarakat luas. Kekerasan struktural akan tetap dianggap

wajar dan telah menjadi bagian dari struktur masyarakat sehingga para pelaku

kekerasan struktural tidak dapat dikenali sekaligus dilacak secara langsung oleh para

korbannya. Ketika kekerasan struktural terjadi terus-menerus, maka hal itu dapat

memacu timbulnya kekerasan balik yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.

Kelas bawah dapat menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kelas atas, tapi dengan latar

belakang ekonomi yang semakin terpuruk kelas bawah seringkali mengandalkan

kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah sebab mereka merasa sering

disisihkan dari pembangunan. Pada akhirnya siklus kekerasan tidak akan dapat

terputus.

3.4 Rangkuman

Kekerasan struktural dominan dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini kaum

urban miskin sebagai korban tidak dapat melacak secara langsung pelaku kekerasan

struktural karena ketika kekerasan ini terjadi kebanyakan korbannya menganggap

bahwa hal yang mereka alami sudah wajar terjadi dalam kehidupan mereka dan

dalam hubungan sosial mereka sehingga bagi kaum urban miskin bentuk kekerasan

ini tidak dapat diketahui secara langsung, tapi dampak dari kekerasan inilah yang

286

akan sangat mereka rasakan. Dalam drama trilogi Opera Kecoa terdapat dua

tingkatan anggota masyarakat, yaitu pemerintah sebagai pelaku kekerasan struktural

yang diwakili oleh Bleki, Kumis, Camat, dan Pejabat; serta kaum urban miskin

sebagai penderita kekerasan struktural yang diwakili oleh Tarsih, Tibal, Julini,

Roima, Abung, Tuminah. Pada “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) para korban

kekerasan struktural adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, Abung; sedangkan

pelaku kekerasan struktural yaitu Bleki, Kumis, Camat. Dalam “Opera Kecoa”

(trilogi bagian kedua) para korban kekerasan struktural yaitu Julini, Roima, Tibal,

Tuminah, Tarsih; sedangkan pelaku kekerasan struktural adalah Pejabat. Pada “Opera

Julini” (trilogi bagian ketiga) korban-korban kekerasan struktural yaitu Roima,

Tuminah, Tibal; sedangkan pelaku kekerasan struktural yaitu Pejabat. Rangkuman

kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa terdiri atas pembagian pelaku,

penyebab, penderita dan bentuk kekerasan, serta akibat kekerasan struktural yang

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2: Rangkuman Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera Kecoa

No Pembagian Trilogi

Pelaku Penyebab Bentuk Akibat

Bleki Penggunaan ke-kuasaan secara berlebih

Terhadap Tarsih: -Ancaman agar mengi-kuti keinginan Bleki

-Hilangnya partisipasi un-tuk menentu-kan nasib diri sendiri

1 “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)

Kumis -Penggunaan ke-kuasaan secara

Terhadap Julini dan Roima:

-Ketimpangan pendapatan

287

berlebih -Eksploitasi kemiskin-an Terhadap Tibal: -Eksploitasi kemis-kinan untuk mendapat untung yang banyak -Pengendalian dengan cara memberi imbalan berupa izin berladang dengan syarat bagi ha-sil ladang -Korupsi dengan me-minta bagian dari hasil ladang Terhadap Tuminah: -Eksploitasi kemiskin-an -Penggusuran sebagai bentuk penghilangan hak tempat tinggal -Intimidasi -Pengendalian dengan memberi imbalan la-dang dan rumah tidak akan digusur asal Tu-minah memberikan keperawanannya -Penipuan karena la-dang dan rumah Tu-minah tetap digusur walaupun keperawan-annya sudah diberi-kan kepada Kumis

-Kesejahteraan tidak merata -Pengembang-an potensi in-dividu terham-bat

Camat -Ketidaksamaan struktur sosial -Perekonomian yang tidak me- rata -Dominasi

Terhadap Tarsih: -Ketidakpedulian da-lam mengusahakan perbaikan perekono-mian -Penghilangan ke-

-Hilangnya kemampuan menentukan nasib sendiri, termasuk da-lam memilih

288

kekuasaan mampuan untuk me-nentukan nasib diri sendiri -Pembatasan dalam memilih pekerjaan -Kerusakan solidaritas melalui ketimpangan pendapatan, pekerjaan -Penipuan melalui janji perbaikan nasib Terhadap Abung: -Kerusakan solidaritas -Penghilangan partisi-pasi untuk menentu-kan nasib diri sendiri, termasuk menentukan kehidupan perekonomian indi-vidu dan tempat ting-gal -Penipuan tentang ren-cana penggusuran Terhadap urban miskin umum: -Kerusakan solidaritas dengan hanya memin-ta simpati rakyat -Penipuan dengan janji akan memperbaiki ka-wasan kumuh menjadi tempat tinggal yang la-yak huni -Pemaksaan, intimi-dasi melalui bongkar paksa “rumah” para urban miskin -Diskriminasi hak po-litik saat pemilu

pekerjaan dan tempat tinggal -Ketimpangan sosial ekono-mi -Kesejahteraan tidak merata -Hubungan antarkelas so-sial renggang -Hilangnya hak urban mis-kin sebagai pemilih dalam pemilu

289

2 “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)

Pejabat -Ketidaksamaan struktur sosial -Dominasi ke-kuasaan/penggu-naan kekuasaan secara berlebih, termasuk pem-berian wewe-nang kepada ba-wahan -Penggunaan jabatan untuk memperoleh keuntungan

Terhadap Tarsih: -Ancaman penggu-suran kompleks PSK -Pembatasan dalam menentukan nasib sen-diri, baik dalam me-nentukan tempat ting-gal maupun pekerjaan Terhadap Julini: -Tidak ada pemberian keahlian khusus untuk mendapat pekerjaan layak -Diskriminasi oleh kelas atas Terhadap Tibal dan Roima: -Tidak adanya ganti rugi setelah penggu-suran -Pembatasan potensi individu untuk me-ngembangkan diri da-lam pekerjaan yang layak Terhadap Tuminah: -Penggusuran tanpa mendapat ganti rugi -Pengendalian dengan pemberian imbalan de-ngan memberikan ke-sejahteraan untuk Tu-minah agar hubungan Pejabat–Tuminah ti-dak diketahui publik Terhadap urban miskin umum: -Wajib pajak cukup

-Ketimpangan sosial karena penggunaan jabatan untuk mencari aman -Hilangnya hak untuk mendapat tempat tinggal -Hilangnya peluang indi-vidu untuk mendapat penghasilan -Ketimpangan ekonomi/pen-dapatan -Kemampuan mengembang-kan diri secara pribadi seba-gai anggota urban miskin menjadi ter-batas -Hilangnya otonomi kelas bawah dalam menentukan kesepakatan hidup bersama dalam masya-rakat

290

tinggi yang tidak di-imbangi dengan per-baikan ekonomi -Lapangan kerja be-lum cukup tersedia -Pembatasan potensi karena tidak ada pem-berian keahlian dan keterampilan yang bi-sa dipakai dalam pe-kerjaan yang layak -Korupsi melalui eks-ploitasi kemiskinan agar mendapat untung dari dana luar negeri -Campurtangan terlalu banyak sehingga me-lupakan kebutuhan masyarakat -Diskriminasi terhadap waria karena peker-jaan mereka -Ketidakpedulian ter-hadap nasib urban miskin dalam kasus kematian Julini dan kebakaran kompleks PSK milik Tarsih -Ketidakadilan dalam hukum karena tidak mengusut pelaku penembakan Julini dan pelaku pembakaran kompleks PSK -Penipuan melalui janji pengusutan kasus Julini dan kebakaran kompleks PSK yang akhirnya tidak ditepati Pejabat

291

3 “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)

Pejabat -Monopoli ke- kuasaan -Ketidaksamaan struktur sosial

Terhadap Roima: -Penghilangan otono-mi sebagai urban mis-kin dalam menentu-kan nasib sendiri -Diskriminasi kelas sosial dengan tidak adanya lapangan kerja bagi urban miskin -Pengendalian oleh kelas atas dalam me-nentukan kehidupan bersama, sehingga ke-las bawah kehilangan peluang Terhadap Tuminah: -Diskriminasi kelas sosial dengan tidak adanya pemberian ker-ja bagi kelas bawah sebab Tuminah hanya seorang PSK -Pembatasan potensi individu Terhadap Tibal: -Pendidikan kurang diperhatikan -Diskriminasi kelas sosial Terhadap urban miskin umum: -Penggusuran sebagai pembatasan hak men-dapat tempat tinggal -Peniadaan partisipasi kelas bawah dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka -Campurtangan berle-

-Ketimpangan ekonomi -Kurangnya produktivitas -Kurangnya pendidikan bagi kelas ba-wah -Pengacauan situasi kota oleh kelas ba-wah karena ti-dak mendapat perhatian pe-merintah -Kemiskinan -Hubungan antarkelas so-sial renggang -Kekuasaan yang dimiliki tiap kelas so-sial tidak se-imbang

292

bih yang menghilang-kan otonomi urban -Akses massa bawah menentukan hidup bersama masih ter-hambat -Eksploitasi kemis-kinan untuk mendapat untung -Penipuan dengan janji pengusutan kasus Ju-lini dan kebakaran kompleks PSK yang tidak pernah terbukti -Penghilangan seke-lompok masyarakat, dalam hal ini kelom-pok bandit yang di-anggap sebagai sum-ber kesulitan

Hingga akhir trilogi Opera Kecoa urban miskin belum mendapat perbaikan

ekonomi, sosial, dan belum bisa dihargai oleh masyarakat kelas atas sebagai bagian

dari masyarakat luas. Kekerasan struktural akan tetap dianggap wajar dan telah

menjadi bagian dari struktur masyarakat, sehingga para pelaku kekerasan struktural

tidak dapat dikenali sekaligus dilacak secara langsung oleh korbannya. Ketika

kekerasan struktural terjadi terus-menerus, maka hal itu dapat memacu timbulnya

kekerasan balik yang dilakukan oleh massa bawah. Kelas bawah dapat menjadi

sasaran tindak kekerasan oleh kelas atas, tapi dengan latar belakang ekonomi yang

semakin buruk kelas bawah seringkali mengandalkan kekerasan sebagai cara untuk

293

menyelesaikan masalah sebab mereka merasa sering disisihkan dari pembangunan.

Pada akhirnya siklus kekerasan tidak akan terputus.

294

BAB IV

PENUTUP

Dalam bab IV ini penulis akan mengemukakan dua hal, yaitu kesimpulan

hasil analisis dan saran bagi penelitian selanjutnya. Berikut akan dipaparkan

kesimpulan hasil analisis tokoh dan penokohan yang meliputi kesimpulan pembagian

tokoh menurut peran dalam perkembangan plot, penokohan para tokoh drama trilogi

Opera Kecoa, perubahan karakter tokoh-tokoh drama trilogi Opera Kecoa. Kemudian

juga akan dipaparkan hasil analisis latar yang terdiri atas latar tempat, latar waktu,

dan latar sosial dalam drama trilogi Opera Kecoa; dan dilanjutkan dengan pemaparan

hasil analisis kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa; serta diakhiri

dengan saran dari penulis.

4.1 Kesimpulan Hasil Analisis Drama Trilogi Opera Kecoa

4.1.1 Kesimpulan Tokoh dan Penokohan dalam Drama Trilogi Opera Kecoa

Kesimpulan umum analisis tokoh dan penokohan yang terdapat dalam drama

trilogi Opera Kecoa meliputi pembedaan tokoh berdasar peran tokoh dalam

perkembangan plot pada masing-masing bagian trilogi; penokohan tiap tokoh dalam

bagian-bagian trilogi; serta perkembangan karakter beberapa tokoh yang terlihat

dalam tiap bagian trilogi.

295

4.1.1.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Perkembangan Plot

Tokoh berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot pada tiap bagian trilogi

dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dalam “Bom

Waktu” (trilogi bagian pertama) para tokoh protagonis terdiri dari Julini, Roima,

Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Tokoh antagonis adalah Kumis, Bleki, dan

Camat. “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) mempunyai tokoh protagonis yaitu

Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis adalah

Pejabat. Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) tokoh protagonis terdiri dari

Roima, Tibal, dan Tuminah; tokoh antagonis adalah Pejabat.

4.1.1.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa

Penokohan para tokoh secara umum akan disimpulkan berdasarkan setiap

bagian trilogi. Penokohan dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) akan

diuraikan sesuai dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung,

Tarsih, Kumis, Bleki, dan Camat. Penokohan para tokoh akan dipaparkan sebagai

berikut.

Julini adalah waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki, yaitu Roima, dan

mereka tinggal dalam satu gubuk seperti sepasang suami-istri. Julini berprofesi

sebagai PSK sehingga bersikap genit, suka merayu lelaki, dan seringkali

menggunakan istilah waria dalam percakapan dengan tokoh lain. Julini yang merasa

dirinya seorang wanita memiliki sifat pasrah dan perasa, serta mempunyai impian

untuk menikah dengan Roima.

296

Roima, seorang pengangguran sekaligus pacar Julini, bersifat pemarah,

gegabah dalam mengambil keputusan; sedangkan sikap dan perkataannya sering

kasar. Dia juga mudah cemburu jika Julini merayu atau membicarakan lelaki lain.

Roima merupakan orang yang mudah pasrah kepada nasib, agak susah menentukan

pilihan. Beberapa kali Roima diminta Julini untuk menikah, tapi Roima belum bisa

menentukan sikap. Namun, pada akhirnya Roima bersedia menikahi Julini karena

cintanya kepada Julini.

Tibal, kakak kandung Tuminah, berasal dari desa dan datang ke Jakarta

karena ingin menjadi petani kota. Tibal yang lugu sangat menyayangi Tuminah dan

selalu berusaha menjaga harga diri mereka. Namun, ketika proses penggusuran

kawasan kumuh, Tibal berubah menjadi orang yang pemarah dan pendendam sebab

ditipu oleh pemda.

Tuminah, adik Tibal, adalah gadis cantik, lugu, pemalu, dan sangat menurut

kepada Tibal. Tuminah merasa telah membantu Tibal dengan cara menyerahkan

keperawanannya kepada Kumis agar ladang garapan Tibal tidak ikut digusur.

Tuminah yang lugu pada akhirnya ternyata mudah ditipu oleh Kumis sehingga

Tuminah tetap menjadi korban penggusuran.

Abung merupakan satu-satunya penghuni kawasan kumuh yang selalu tinggal

di pepohonan. Abung juga diperkirakan sebagai salah satu urban miskin yang berasal

dari luar kota Jakarta, yaitu dari daerah di sekitar Pulau Jawa, kemungkinan berasal

dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari

bahasa Jawa bercampur dengan bahasa Indonesia yang digunakan Abung dalam

297

percakapannya dengan tokoh lain. Dia sering berbicara sendiri mencari hakikat

persoalan hidup mengenai nasib buruk kaum urban miskin yang tidak pernah

berubah. Abung yang semula hanya bicara sendiri, sewaktu proses penggusuran

untuk pertama kalinya dia berbicara kepada tokoh lain dan mengamuk sehingga

akhirnya dia ditembak mati oleh petugas.

Tarsih adalah PSK tercantik yang menjadi langganan Kumis dan Camat.

Tarsih mempunyai keinginan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Keinginan itu terwujud ketika Tarsih menjadi istri muda Camat. Namun, status

sebagai istri muda Camat tidak berlangsung lama karena Tarsih diusir oleh istri tua

Camat.

Kumis berperan sebagai komandan hansip kawasan kumuh yang takut

sekaligus patuh kepada Camat. Kumis senang mencari keuntungan untuk diri sendiri,

merasa paling berkuasa di kawasan kumuh, memanfaatkan kelemahan orang lain,

mencari aman untuk dirinya sendiri, dan suka mengumbar janji.

Bleki digambarkan sebagai anak buah Kumis yang selalu menuruti perkataan

Kumis dan tidak segan mengancam para penghuni kawasan kumuh dengan senjata.

Dia termasuk orang yang suka mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mudah

dipengaruhi oleh Kumis.

Camat adalah orang yang sering menjanjikan sesuatu kepada para penghuni

kawasan kumuh, berpura-pura simpati terhadap keadaan para PSK, dan sebagai orang

yang sudah beristri dia tidak malu memakai jasa PSK. Camat juga digambarkan

sering memanfaatkan jabatan untuk mengendalikan orang lain. Sewaktu proses

298

penggusuran Camat tidak mau bertanggung jawab atas nasib kaum urban miskin yang

menjadi korban penggusuran.

Penokohan dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) akan dipaparkan

sesuai dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah, dan Pejabat.

Penokohan para tokoh akan dijelaskan sebagai berikut.

Julini pada saat lima tahun setelah peristiwa penggusuran kembali lagi ke

kawasan kumuh yang pernah menjadi tempat tinggalnya dulu. Dia menempati sepetak

tanah kosong sebagai “rumahnya” dan bekerja lagi sebagai PSK. Dari penghasilan

sebagai PSK ditambah dengan penghasilan Roima, Julini bisa memiliki

perekonomian yang lebih baik. Julini juga terlihat mulai mudah cemburu ketika

Roima dekat dengan wanita lain. Dalam suatu razia di daerah pelacuran, Julini mati

terkena peluru nyasar. Setelah kematiannya, Julini dianggap sebagai pahlawan kaum

waria.

Roima yang bersifat mudah cemburu dan pengangguran akhirnya dengan

bantuan Tuminah dapat bekerja dalam kelompok bandit pimpinan Kumis. Di samping

itu, Roima mulai memiliki kedekatan dengan Tuminah sehingga membuat Julini

cemburu. Setelah insiden penembakan Julini, Roima berubah menjadi orang yang

sangat peduli kepada nasib kaum urban miskin dan tidak gegabah dalam mengambil

keputusan.

Tarsih menjadi pimpinan kompleks PSK. Hal ini membuat Tarsih menjadi

orang yang keras kepala mempertahankan kawasannya. Selain itu, Tarsih mulai

menjadi tidak mudah percaya kepada orang lain.

299

Tibal adalah bekas napi. Dia merupakan orang yang bersifat egois, nekat, dan

pendendam.

Tuminah mempunyai ketakutan terhadap Tibal karena Tuminah telah menjadi

PSK tanpa sepengetahuan Tibal. Sebagai PSK profesional, Tuminah merupakan

langganan Pejabat. Di samping itu, Tuminah termasuk orang yang peduli kepada

teman dan sempat mencarikan pekerjaan untuk Roima sehingga mereka mempunyai

hubungan dekat.

Pejabat digambarkan sebagai orang yang selalu ingin mencari aman untuk diri

sendiri dan melakukan korupsi dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat.

Penokohan dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) akan dijelaskan

sesuai dengan para tokoh, yaitu Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat. Penokohan para

tokoh akan dipaparkan sebagai berikut.

Roima menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima

selalu bertindak hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan

yang lebih baik. Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal

dalam memimpin kelompok bandit sehingga akhirnya Roima mati dibunuh oleh Tbal.

Roima juga masih masih mencintai Julini walaupun Roima sempat dekat dengan

Tuminah.

Tibal adalah pemimpin kelompok bandit dan termasuk orang yang gegabah

dalam mengambil keputusan. Di samping itu, Tibal sering berselisih paham dengan

Roima dan akhirnya membunuh Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin

kelompok bandit.

300

Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya sehingga cenderung tidak

peduli pada keadaan di sekitarnya. Selain itu, Tuminah juga menjadi pengelola kantor

urusan bordil milik Tibal-Roima. Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima.

Pejabat, tokoh masyarakat yag tidak pernah mengetahui keadaan kaum urban

miskin yang sebenarnya, tiba-tiba mengalami sakit mata setelah melewati kawasan

kumuh. Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat diambil alih oleh istrinya

sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pemimpin masyarakat. Sesudah

beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui kesalahannya selama

menjalankan tugas pemerintahan dan mengundurkan diri dari jabatan, tapi justru

pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri.

4.1.1.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa

Dalam drama trilogi Opera Kecoa beberapa tokoh mengalami perubahan

karakter. Perubahan karakter ini terlihat dalam tiap bagian trilogi. Beberapa tokoh

yang mengalami perubahan karakter adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung,

Tarsih, Kumis, Bleki, dan Pejabat; sedangkan satu-satunya tokoh yang tidak

mengalami perubahan karakter adalah Camat. Perubahan karakter setiap tokoh akan

dijelaskan sebagai berikut.

Julini dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) bersifat pasrah, perasa,

mencintai Roima, merasa dirinya satu-satunya “wanita” yang dicintai Roima,

perkonomian kurang mapan. Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Julini

pencemburu, merasa Roima tidak lagi mencintainya, kehidupan perekonomian Julini

301

menjadi lebih baik karena penghasilan sebagai PSK ditambah penghasilan Roima.

Akhirnya Julini ditembak mati petugas.

Roima dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) adalah seorang

pengangguran, pasrah pada nasib, cenderung kurang peduli pada keadaan di

sekitarnya. Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Roima mempunyai

pekerjaan sebagai bandit anak buah Kumis, lebih peduli pada kaum urban miskin

setelah kematian Julini, dekat dengan Tuminah, mudah mempengaruhi Tibal. Roima

menjadi pimpinan kelompok bandit menggantikan Kumis dalam “Opera Julini”

(trilogi bagian ketiga), punya tekat mengubah kehidupannya dan kaum urban miskin

lain menjadi lebih baik, sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal dan mati

dibunuh Tibal.

Dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) Tibal bersifat lugu, pasrah pada

nasib. Pada akhir “Bom Waktu” berubah menjadi pemarah, pendendam karena ditipu

Pemda dan nekat membunuh petugas penggusuran. Tibal, bekas napi, dalam “Opera

Kecoa” (trilogi bagian kedua) menjadi pendendam, egois, nekat membunuh Kumis

karena dendam. Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) Tibal, pemimpin

kelompok bandit, sering merasa tidak cocok dengan Roima dan nekat membunuh

Roima. Tibal juga tergesa-gesa mengerjakan sesuatu sehingga kelompok bandit

mengalami kehancuran.

Tuminah lugu, pemalu, pendiam dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian

pertama). Mudah ditipu Kumis, sehingga menyerahkan keperawanannya. Dalam

“Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Tuminah menjadi PSK profesional, langganan

302

Pejabat, dekat dengan Roima. Tuminah cenderung tidak peduli pada keadaan sekitar,

lebih suka berfoya-foya dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) serta hubungan

dengan Roima renggang.

Dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) Abung merupakan satu-satunya

tokoh yang menyadari nasib buruk kaum urban miskin, selalu menanyakan persoalan

hidup yang menimpa kaum urban miskin. Semula Abung lebih suka berbicara dengan

diri sendiri. Namun, pada akhir “Bom Waktu” untuk pertama kalinya Abung

berbicara kepada tokoh lain. Abung mati ditembak petugas penggusuran.

Dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) Tarsih merupakan PSK yang

mudah terbujuk oleh Camat untuk menjadi istri muda. Belum lama Tarsih menjadi

istri muda, ia diusir oleh istri tua Camat. Tarsih tidak mudah percaya kepada orang

lain karena merasa pernah ditipu oleh Camat dan menjadi keras kepala dalam “Opera

Kecoa” (trilogi bagian kedua). Tarsih mati dalam kebakaran kompleks PSK.

Kumis dan Bleki dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) adalah aparat

keamanan pemda yang bertugas di kawasan kumuh. Kumis sebagai kepala keamanan;

sedangkan Bleki adalah anak buah Kumis. Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian

kedua) Kumis dan Bleki telah menjadi bagian dari kawanan bandit. Kumis menjabat

sebagai kepala komplotan bandit; sedangkan Bleki sebagai anggota kelompok bandit.

Kumis mati dibunuh Tibal.

Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Pejabat menginginkan

perselingkuhannya dengan Tuminah tidak terbongkar masyarakat. Pejabat cenderung

tidak peduli dengan nasib kaum urban miskin, tidak sungkan korupsi dengan

303

mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga)

Pejabat mengalami sakit mata sebagai simbol bahwa selama bertugas sebagai

pemerintah Pejabat tidak pernah mau melihat keadaan masyarakat kelas bawah.

Perselingkuhan Pejabat dengan Tuminah telah diketahui oleh istri Pejabat. Selama

Pejabat menderita sakit mata, wewenang Pejabat diambil alih oleh istrinya, sehingga

Pejabat kehilangan otoritas sebagai pemimpin masyarakat. Karena sakit mata Pejabat

merasa sudah tidak mampu lagi bertugas dan mengundurkan diri dari jabatan.

4.1.2 Kesimpulan Latar Drama Trilogi Opera Kecoa

Latar dalam drama trilogi Opera Kecoa dapat disimpulkan secara

keseluruhan. Kesimpulan ini meliputi pembagian latar tempat, latar waktu, dan latar

sosial dalam tiap bagian trilogi; yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera

Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Kesimpulan

tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

4.1.2.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa

Latar tempat “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) terdiri atas tempat tinggal

kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas menengah ke

atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk urban miskin, pepohonan

sebagai “rumah” Abung, kantor hansip, dan kantor Camat.

Latar tempat “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) yaitu emperan Plaza

Monumen sebagai tempat tinggal sementara Julini-Roima sesudah kembali dari desa.

304

Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang, yaitu

kawasan hasil pembangunan pemda dan kawasan kumuh yang luput dari perhatian

pembangunan. Dekat kawasan kumuh juga ada lapangan golf milik pemerintah. Latar

tempat yang mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas para bandit, daerah

pelacuran para waria, sekitar patung Julini, dan Plaza Julini; serta rumah Pak Pejabat.

“Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) berlatar tempat jalanan ibukota dan

kawasan kumuh Lokasari. Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas

rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, daerah sekitar Plaza

Julini, dan patung Julini.

4.1.2.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa

Latar waktu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disebutkan pagi, siang,

sore, dan malam. Latar waktu lainnya ditandai dengan suatu peristiwa, yaitu

menjelang pemilu. Di samping itu, waktu juga dapat dirunut dengan penanggalan.

Urutan tanggal ini dimulai dengan peristiwa pemberian mandat “pembersihan”

kawasan kumuh oleh Camat kepada Kumis dalam rangka rencana kunjungan

Gubernur ke kawasan tersebut. Kunjungan Gubernur akan dilaksanakan pada tanggal

1 Maret, sedangkan mandat ini diberikan tiga bulan sebelum kunjungan, yaitu tanggal

1 Desember. Kumis mengumumkan mandat dari Camat seminggu setelah mandat

diturunkan atau semunggu sesudah tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember.

Sebagai bentuk “pembersihan” kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta

pindah paling lambat satu bulan sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah

305

tanggal 8 Desember, yaitu tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan

penggusuran atau beberapa waktu pasca pemilu.

Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) disebutkan sebagian waktu

adalah pagi, siang, sore, dan malam. Awal trilogi bagian kedua ini adalah lima tahun

setelah peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama).

Berbagai peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia

sedang giat melaksanakan pembangunan. Dapat diperkirakan bermacam kejadian

dalam “Opera Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985.

Jadi, peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung mundur lima tahun

sebelum insiden penembakan Julini, yaitu tahun 1980.

Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) kebanyakan hanya

disebutkan pagi, siang, sore, dan malam. Bermacam peristiwa dalam “Opera Julini”

terjadi sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya, sepuluh tahun

sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa

penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Selain

itu, terdapat juga hitungan berupa hari yang dapat diketahui sejak Pejabat mengalami

sakit mata, yaitu sembilan puluh sembilan hari. Selama itu pula wewenang Pejabat

diambil alih oleh istrinya.

4.1.2.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa

Latar sosial dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disimpulkan

berdasar masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pemerintah yang

306

terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kelompok urban miskin antara lain Julini,

Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Dari pihak pemerintah Kumis dan Bleki

sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang lebih di kawasan kumuh,

termasuk wewenang penggunaan senjata api secara sembarangan. Selain itu, Kumis

dan Bleki sering mengatasnamakan jabatan agar dihormati oleh para penghuni

kawasan kumuh; memperoleh keuntungan untuk pribadi; dan menjaga otoritas

sebagai aparat keamanan. Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat

sering memakai jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama simpati dari kaum

urban miskin.

Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota kaum urban

miskin yang tidak memiliki pekerjaan, yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta,

kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta serta Roima.

Tarsih berprofesi sebagai PSK dan tidak jadi menikmati kehidupan yang lebih baik

sebagai istri muda Camat. Julini juga berprofesi sebagai PSK dan sering

menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai waria. Tibal dan

Tuminah berasal dari desa; mereka ingin menjadi petani kota; dan bercita-cita

memiliki masa depan yang lebih baik.

Perbedaan kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak kawasan

kumuh yang berada di sekitar tempat orang-orang kelas menengah ke atas. Sikap

kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian para PSK yang kurang

sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak pemda. Para PSK juga

belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak kehidupan mereka menjadi lebih cerah.

307

Pada akhir “Bom Waktu” para penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan

mudah karena mereka dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka

tempati.

Latar sosial dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) dapat dilihat melalui

sikap para nggota kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili

oleh Pejabat dan kaum urban miskin yang terdiri dari Julini, Roima, Tarsih, Tibal,

dan Tuminah.

Pejabat adalah tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik di depan

orang banyak; Pejabat termasuk orang yang suka mencari aman, mencari simpati

orang lain, tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya, serta

tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang menimpa para urban miskin.

Keadaan anggota kaum urban miskin dapat diketahui melalui Tarsih yang

telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini terancam

digusur sebab dianggap mengganggu keindahan kota oleh petugas. Julini yang baru

saja kembali dari desa terpaksa menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota;

Roima yang semula pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam

kelompok bandit dan memperoleh penghasilan sendiri. Tibal adalah bekas napi yang

belum mempunyai pekerjaan tetap dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional

untuk menghidupi dirinya sendiri sejak Tibal dipenjara.

Latar sosial juga ditampilkan lewat kemiskinan dalam pembangunan negara

Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa. Indonesia yang termasuk

308

sebagai negara yang belum mapan perekonomiannya ternyata berani mengambil

resiko berhutang kepada luar negeri melalui dana kredit.

Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) terdapat penggambaran sikap

para tokoh yang mewakili latar sosial. Para tokoh tersebut adalah pihak pemerintah

yang diwakili oleh Pejabat serta kaum urban miskin yang terdiri dari Roima, Tibal,

dan Tuminah. Pejabat diperlihatkan sebagai orang yang bertekat menghancurkan

kelompok bandit. Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginannya untuk

menumpas kelompok bandit tetap dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih

wewenang Pejabat sebagai pimpinan. Akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para

bandit dapat diatasi dengan bantuan tentara. Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat

meminta untuk mengundurkan diri, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak

oleh Menteri. Pejabat justru diberi kenaikan pangkat.

Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang

semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket

dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya. Roima yang hanya anak buah Kumis

sekarang telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang sebelumnya

cuma seorang pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan

penataran P-6 oleh petugas. Dalam penataran tersebut, salah satu waria langganan

Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas. Karena keberadaan

kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat mulai mengetahui kelemahan mereka

dan membuat rencana penumpasan kelompok bandit. Akhirnya kelompok bandit

309

benar-benar dihancurkan oleh pihak pemerintah sebab strategi kerusuhan para bandit

dapat dikatakan kurang matang.

Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok-kelompok dalam

masyarakat, “Opera Julini” juga menampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa

penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas

bawah dengan pemda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah tidak

pernah menang dalam menghadapi pihak pemerintah.

4.1.3 Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera Kecoa

Masyarakat dalam drama trilogi Opera Kecoa terdiri atas dua tingkatan

anggota masyarakat, yaitu pemerintah sebagai kelas atas dan kaum urban miskin

sebagai masyarakat kelas bawah. Kekerasan struktural dominan dilakukan oleh

pemerintah. Dalam hal ini kaum urban miskin sebagai korban tidak dapat melacak

secara langsung pelaku kekerasan struktural karena ketika kekerasan ini terjadi

kebanyakan korbannya menganggap bahwa hal yang mereka alami wajar terjadi

dalam kehidupan dan hubungan sosial mereka, sehingga bagi kaum urban miskin

bentuk kekerasan ini tidak dapat diketahui secara langsung, tapi dampak dari

kekerasan inilah yang akan sangat mereka rasakan.

Dalam drama trilogi Opera Kecoa pihak pemerintah sebagai pelaku

kekerasan diwakili oleh Bleki, Kumis, Camat, Pejabat; kaum urban miskin sebagai

korban kekerasan diwakili Tarsih, Tibal, Julini, Roima, Abung, Tuminah. Secara

umum penyebab kekerasan struktural adalah penggunaan kekuasaan secara berlebih,

310

ketidaksamaan struktur sosial, perekonomian yang tidak merata, penggunaan jabatan

untuk memperoleh keuntungan, monopoli kekuasaan. Beberapa bentuk kekerasan

struktural yang dilakukan pemerintah terhadap para urban miskin yaitu ancaman agar

mengikuti keinginan kelas atas, eksploitasi kemiskinan untuk mendapat keuntungan

yang banyak, pengendalian dengan cara memberi imbalan bersyarat, korupsi,

penggusuran sebagai bentuk penghilangan hak mendapat tempat tinggal, intimidasi,

penipuan melalui janji-janji yang tidak terbukti, ketidakpedulian dalam

mengusahakan perbaikan perekonomian, penghilangan kemampuan untuk

menentukan nasib individu, pembatasan dalam memilih pekerjaan, kerusakan

solidaritas melalui ketimpangan pendapatan dan pekerjaan, penghilangan partisipasi

untuk menentukan kehidupan bersama dalam masyarakat, diskriminasi hak politik

dalam pemilu, tidak adanya pemberian keahlian khusus untuk mencari pekerjaan

yang layak, diskriminasi kelas sosial, pembatasan potensi individu, wajib pajak tinggi

yang tidak diimbangi dengan perbaikan perekonomian dan fasilitas negara,

kurangnya lapangan kerja bagi kelas bawah, campurtangan terlalu banyak sehingga

melupakan kebutuhan pokok masyarakat, ketidakadilan hukum dalam kasus-kasus

yang menimpa kelas bwah, kurangnya perhatian dalam bidang pendidikan,

menghalangi massa bawah yang seharusnya punya akses untuk menentukan

kehidupan bersama, penghilangan sekelompok masyarakat yang dianggap sebagai

sumber kesulitan.

Akibat yang ditimbulkan kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap para

urban miskin adalah kekuasaan yang dimiliki tiap kelas sosial tidak seimbang,

311

hubungan antarkelas sosial renggang, kemiskinan, kekacauan massa bawah karena

tidak mendapat perhatian dari pemerintah, kurangnya pendidikan, produktivitas

kurang, ketimpangan sosial ekonomi, terbatasnya kemampuan mengembangkan

potensi individu, hilangnya otonomi kelas bawah dalam menentukan kesepakatan

bersama, hilangnya hak mendapat tempat tinggal, hilangnya hak politik kaum urban

miskin, kesejahteraan tidak merata.

4.2 Saran

Drama trilogi Opera Kecoa telah membuka wawasan tentang drama Indonesia

dan semakin melengkapi kesusastraan Indonesia yang telah ada. Drama ini juga

sangat menarik dijadikan bahan bacaan dan pembelajaran karena isi ceritanya sarat

dengan refleksi yang dikemas dalam peristiwa-peristiwa sosial.

Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang bisa dipelajari dalam drama

trilogi Opera Kecoa dan dapat dijadikan sebagai penelitian selanjutnya. Akan sangat

baik jika dalam penelitian selanjutnya dilakukan analisis mengenai kekerasan massa

bawah terhadap pemerintah akibat kemiskinan dengan menggunakan pendekatan

sosiologi sastra. Hal tersebut dapat dilakukan karena penelitian itu akan menghasilkan

suatu pengetahuan baru yang menarik.

312

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Achmad Syaiful. 2004. “N. Riantiarno: Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia (Sebuah Biografi)”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darmaningtyas, dkk. 1996. “Frustasi Kehidupan Ekonomi: Tanah Subur Bagi

Kekerasan”. Basis No. 01-02 Tahun ke-45. Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Widyatama. Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-

Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Galtung, Johan. 1988. “Kekerasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian”.

Menggapai Dunia Damai. Terj. Mochtar Lubis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Galtung, Johan. 2005. “Mencari Solusi yang Ampuh Bagi Konflik”. Konflik

Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV.

Giddens, Anthony. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis

Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Weber. Terj. Suheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press.

Hamzah, A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius. Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda. Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta:

PT Gramedia.

313

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Oemarjati, Boen Sri. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT

Gunung Agung. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riantiarno, N. 2004. Cermin Merah. Jakarta: PT Grasindo. Riantiarno, N. 2004. Trilogi Opera Kecoa. Yogyakarta: Mahatari. Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia &

Universitas Kristen Petra. Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terj. Rachmat

Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sihombing, Justin M. 2005. Kekerasan Terhadap Masyarakat Marginal. Yogyakarta:

Narasi. Sindhunata. 1997. “Suara Dari Tanah Abang”. Basis No. 03-04 Tahun ke-46.

Yogyakarta: Kanisius. Sitanggang, S.R.H., dkk. 1995. Struktur Drama Indonesia Modern 1980-1990.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Stewart, Frances. 2005. “Sebab-sebab Dasar Sosial Ekonomi dan Konflik Politik

dengan Kekerasan”. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik

Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

314

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Tranggono, Indra. 2007. “Nano, Teater Koma dan Simbol Kelas Menengah”. Fresh

Magazine Vol. 4 edisi 36 Maret 2007. Yogyakarta: PT Fresh Media Indonesia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.

Jakarta: PT Gramedia. Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.

Yogyakarta: Kanisius. Internet: Apriliya, Seni. 2005. “Ketika Hidup Layak Sebagai Manusia Hanya Sebatas Angan-

angan”. http://www.isola-pos.upi.edu Download: Kamis, 23 Maret 2006.

Maulana, Soni Farid. 2005. “Kita dan Teater Koma”. http://www.pikiran-rakyat.com Download: Senin, 12 Februari 2007. “N. Riantiarno: Opera Kecoa, Setelah Pelarangan Itu”. 2003. http://www.kompas.co.id Download: Senin, 12 Februari 2007.

315

LAMPIRAN

316

SINOPSIS

“BOM WAKTU” (TRILOGI BAGIAN PERTAMA)

Trilogi bagian pertama ini diawali dengan kisah kehidupan sehari-hari para

anggota kaum urban miskin di Jakarta seperti para PSK, waria, pengangguran, serta

orang-orang yang dianggap gila dan tersingkir. Orang-orang ini tinggal di gubuk-

gubuk yang berada dalam kawasan kumuh di bawah sebuah kolong jembatan. Mereka

antara lain seorang pengangguran bernama Jumini yang mempunyai kebiasaan

menatap bulan sambil menanti Tole, anaknya; dan Sueb, suaminya, yang telah lama

tiada. Kemudian ada Turkana, pengumpul karton bekas, yang selalu mengingatkan

Jumini bahwa Tole dan Sueb telah lama meninggal. Ada juga Julini, seorang waria

yang bercita-cita membangun rumah tangga lewat perkawinan yang sah dengan

kekasihnya, Roima, seorang pengangguran. Tarsih yang selalu dicari aparat

keamanan karena dianggap sebagai PSK terbaik di kalangan para PSK lainnya, Sawil

dan Bilun yang selalu menghitung keuntungan dari bisnis khayalan mereka. Tuminah

yang lugu dan Tibal, kakak Tuminah, adalah dua pendatang baru di kawasan kumuh

yang berasal dari desa dan selalu berusaha menjaga kehormatan mereka. Di antara

orang-orang itu, ada Abung yang selalu dianggap gila oleh kawan-kawannya sendiri.

Abung sering berbicara dengan dirinya sendiri, menanyakan eksitensi keberadaannya.

Tanpa disadari orang lain, hanya Abunglah yang menyadari permasalahan

kemiskinan yang menimpa kaum urban miskin dan menganggap pemerintah tidak

pernah peduli dengan masyarakat kelas bawah. Kawan-kawan Abung sesama kaum

317

urban miskin malah cenderung terlihat sebagai orang yang menerima penderitaan

sebagai orang tertindas dalam kemiskinan. Mereka berada dalam kehidupan kaum

urban miskin yang penuh dengan permasalahan sosial yang pelik, atau masalah

antarkawan sesama penghuni bawah kolong jembatan.

Selain orang-orang penghuni kawasan kumuh, ada juga beberapa orang yang

mempunyai kekuasaan atas kehidupan kaum urban miskin tersebut. Mereka adalah

pihak pemerintah daerah yang terdiri atas Camat dan Sekretaris Camat yang selalu

memperingatkan penghuni bawah kolong jembatan untuk pindah dari tempat tinggal

mereka dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke daerah kumuh selama masa

pemilu, padahal awalnya Camat menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi

penghuni kawasan kumuh dengan rencana membangun kembali kawasan tersebut

agar menjadi tempat yang layak dihuni oleh masyarakat kelas bawah. Ada juga Bleki

dan Kumis, aparat bawahan Camat yang bertugas menjaga ketertiban kawasan kumuh

dan mengatur para penghuninya. Tanpa saling tahu, ternyata Camat dan Kumis

adalah orang-orang yang biasa menggunakan jasa PSK yang mereka awasi.

Semula kehidupan para penghuni kolong jembatan ini berjalan biasa saja

dengan permasalahan sosial yang belum begitu terasa berat. Namun, kehidupan para

penghuni kawasan kumuh berubah menjadi lebih berat ketika Camat yang sudah

menjanjikan kehidupan lebih baik bagi kaum urban miskin tiba-tiba memerintahkan

penggusuran kawasan kumuh. Muncul mandat dari Camat agar para penghuni

tersebut segera mencari tempat tinggal baru dengan alasan akan diadakan

pembangunan kota di tempat tinggal kaum urban miskin yang sekarang dalam rangka

318

rencana kunjungan Gubernur pada masa pemilu. Hal ini membuat para penghuni

kawasan kumuh kalang kabut.

Beberapa bulan setelah mandat Camat diturunkan, tiba hari penggusuran dan

gubuk-gubuk para penghuni kawasan kumuh dibongkar di depan mata mereka oleh

para petugas yang dipimpin oleh Bleki dan Kumis. Sementara kaum urban miskin

yang berusaha melakukan pemberontakan tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan

sebagian besar dari mereka diusir tanpa memdapat ganti rugi dari pemerintah.

Pemberontakan kaum urban miskin diakhiri oleh Abung yang memprotes para

pejabat pemerintahan sehingga Abung ditembak mati oleh Bleki serta penangkapan

beberapa orang urban miskin, termasuk Tibal yang dianggap sebagai pengacau.

“OPERA KECOA” (TRILOGI BAGIAN KEDUA)

Awal dari trilogi bagian kedua adalah lima tahun setelah peristiwa

penggusuran dalam “Bom Waktu”. Dimulai dengan Julini dan Roima yang baru saja

kembali dari desa setelah peristiwa penggusuran dulu. Mereka berdua sementara tidur

di emperan Monumen Plaza karena belum mempunyai tempat tinggal baru di Jakarta.

Sementara itu, Tarsih dan Tuminah yang sudah menempati kompleks PSK baru

ternyata kembali mendapat peringatan dari dinas tata kota dan dinas sosial untuk

memindahkan kompleks PSK tersebut karena dianggap mengganggu keindahan kota.

Julini dan Roima pergi mencari kawan-kawan sesama kaum urban miskin yang dulu

pernah tinggal bersama mereka. Akhirnya Julini dan Roima bertemu Tarsih serta

Tuminah di kompleks PSK yang baru. Kompleks PSK ini digambarkan sebagai

319

perbandingan antara area kelas atas dan kelas bawah karena kompleks PSK yang juga

berdekatan dengan kawasan kumuh ini ternyata bersebelahan dengan padang golf

milik pemerintah. Setelah pertemuan dengan Tuminah dan Tarsih, Julini dan Roima

pergi ke padang golf tersebut untuk menyaksikan Pejabat yang sedang menjamu tamu

dari Jepang. Namun, Julini dan Roima malah diusir oleh petugas sehingga mereka

berdua harus menyingkir ke kawasan kumuh yang ada di dekat padang golf. Di

kawasan kumuh tersebut Julini dan Roima mendapat tawaran dari Asnah, salah

seorang urban miskin yang sudah lama tinggal di kawasan kumuh, untuk menempati

sepetak tanah sebagai tempat tinggal. Di kawasan kumuh itu juga Julini kembali

bertemu dengan Kasijah yang ternyata sudah menjadi gila. Karena sudah mendapat

tempat tinggal, Julini bekerja kembali menjadi PSK dan Roima mencari pekerjaan

dengan bantuan Tuminah.

Pada waktu lain, di suatu tempat markas para bandit, Kumis yang telah

menjadi pimpinan para bandit sedang berkumpul beserta para anak buah. Di hadapan

Kumis, Tuminah mendaftarkan Roima menjadi anggota kelompok bandit. Akibat

pekerjaannya sebagai bandit, Roima hampir tidak punya waktu untuk Julini. Hal ini

menyebabkan hubungan Roima-Julini renggang, sementara Roima malah menjadi

lebih dekat dengan Tuminah. Selain itu, diperlihatkan juga Pejabat dan tamu dari

Jepang yang akan memberikan bantuan untuk rakyat Indonesia ternyata juga menjadi

pengguna jasa PSK.

Pada suatu hari Tibal, kakak Tuminah, keluar dari penjara dan marah besar

mendapati adiknya sudah berprofesi menjadi PSK. Tibal juga membuat perhitungan

320

dengan Kumis dan berniat membunuh Kumis sebab telah menghancurkan masa

depannya. Karena marah, Tibal pergi meninggalkan Tuminah untuk mencari Kumis.

Roima yang mengetahui kejadian itu berusaha menenangkan Tuminah. Kebersamaan

Tuminah dan Roima diketahui Julini, akibatnya Julini menganggap Roima selingkuh

dengan Tuminah.

Beberapa saat setelah marah kepada Roima, di tempat mangkal para waria

Julini dan para waria lain mendapat peringatan untuk pindah tempat mangkal karena

di tempat itu akan dilakukan pembangunan kota. Akhirnya terjadi pertengkaran antara

para waria dan para petugas sebab para waria tidak mau pindah tempat mangkal.

Agar pertengkaran ini berhenti, salah seorang petugas menggunakan senjata api untuk

menggertak para waria. Namun, ada satu peluru meleset yang mengenai Julini dan

menyebabkan Julini mati. Pada saat yang sama Roima datang dan melihat para waria

kalap menyerang petugas. Akibat insiden penembakan Julini, Roima dan kelompok

waria melakukan protes di rumah Pejabat hingga akhirnya Pejabat mau memenuhi

permintaan para waria, yaitu mendirikan monumen dan plaza untuk memperingati

kematian Julini. Bersamaan dengan para waria yang pergi ke rumah Pejabat, Tibal

juga mengumumkan bahwa dia telah berhasil membunuh Kumis.

Beberapa waktu sesudah pendirian monumen Julini, terjadi peristiwa

kebakaran di kompleks PSK. Dalam peristiwa ini Tarsih dan Kasijah tidak mau

menghindar dari amukan api sehingga mereka mati terpanggang, sementara para PSK

lain kebingungan akibat peristiwa ini. Roima yang curiga bahwa kebakaran ini

merupakan sabotase pemerintah akhirnya memutuskan pergi bersama Tibal, para

321

PSK dan waria untuk menghadap Pejabat dengan tujuan menuntut tanggung jawab

Pejabat dengan meminta ganti rugi berupa tempat tinggal yang baru. Pejabat berjanji

memberi tempat tinggal yang baru. Setelah itu kaum urban miskin kembali ke tempat

kumuh.

“OPERA JULINI” (TRILOGI BAGIAN KETIGA)

Latar waktu trilogi bagian ketiga adalah sepuluh tahun setelah kematian Julini.

Berawal dari laporan para polisi kepada Pejabat yang sedang jogging tentang bandit-

bandit yang masih berkeliaran. Setelah jogging melewati daerah kumuh, tiba-tiba

mata Pejabat menjadi sakit. Karena Pejabat sedang sakit mata, maka yang

menggantikannya dalam menangani kasus para bandit adalah istri Pejabat. Sementara

itu Roima dan Tibal yang sudah menjadi pimpinan para bandit sedang melakukan

pertemuan di markas bandit. Namun, karena berita tentang pertemuan para bandit

telah tercium oleh polisi, maka polisi melakukan penyerbuan tapi ternyata bandit-

bandit itu sudah berpencar sebelum polisi datang. Di tengah permusuhan antara

kelompok bandit dan pemerintah, hubungan dekat antara Roima dan Tuminah terus

berkembang.

Beberapa waktu kemudian para bandit melakukan pertemuan kembali untuk

menyusun rencana pengacauan kota dan pada waktu yang hampir bersamaan para

wadam diperiksa petugas yang sedang mencari anak buah Kumis. Di kantor urusan

bordil, Tuminah yang sedang menyeleksi para calon pelacur mendapat kabar bahwa

para wadam digiring ke kantor polisi untuk mendapat penataran P-6.

322

Seorang waria bernama Laila memberikan laporan terlalu banyak untuk polisi

ketika mengikuti penataran, sehingga sesudah Laila selesai mengikuti penataran dia

dianggap sebagai pengkhianat oleh Tibal dan dieksekusi. Di tengah eksekusi yang

dilakukan Tibal terhadap Laila, Roima justru membela Laila. Akibatnya terjadi

pertengkaran antara dua pemimpin kelompok bandit untuk menentukan hukuman

bagi Laila, sampai akhirnya Roima membunuh Laila. Di luar dugaan, karena tidak

senang terhadap sikap Roima, maka Tibal yang juga ingin menguasai kelompok

bandit berencana membunuh Roima dengan meminta bantuan Bleki dan Bajenet.

Di rumah Pejabat, istri Pejabat memarahi polisi karena tidak bisa menangkap

para bandit. Di tempat lain para waria terkejut dengan penemuan mayat Laila dan

para waria lebih terkejut lagi saat mereka mengetahui bahwa yang membunuh Laila

adalah Roima. Sementara itu, Roima yang sedang berada di depan patung Julini

diserang dari belakang oleh Bleki dan Bajenet atas suruhan Tibal. Kemudian Tibal

membunuh Roima.

Penemuan mayat Roima membuat para waria ketakutan dan menuduh petugas

mabuk yang tiba-tiba muncul di dekat patung Julini sebagai pembunuh Roima.

Kemudian para waria melakukan penyerangan terhadap petugas, tapi justru para

waria mati satu per satu akibat tertimpa patung Julini yang roboh ditembaki petugas.

Pada malam hari, terjadi kerusuhan di Plaza Julini. Kelompok bandit

pimpinan Tibal mengalami kekalahan besar sebab rencana mereka kurang matang.

Sedangkan di rumah Pejabat yang masih sakit mata, istri Pejabat memarahi polisi

karena kerusuhan yang terjadi, tapi keadaan dapat segera ditenangkan dengan adanya

323

laporan bahwa kerusuhan sudah dapat diatasi dengan bantuan dari tentara. Walaupun

kerusuhan dapat diatasi, pemerintah tetap tidak bisa menangkap Tibal, pimpinan

kelompok bandit yang melarikan diri. Karena kerusuhan ini, Pejabat minta

pengunduran diri kepada Menteri karena merasa tidak bisa menangani kekacauan di

kota. Namun, pengunduran dirinya ditolak. Pejabat justru diberi penghargaan dan

kenaikan pangkat oleh Menteri. Di sisi lain, sampai saat itu tidak ada perbaikan nasib

bagi kaum urban miskin di Jakarta, walaupun kesejahteraan hidup Pejabat meningkat.

Kaum urban miskin tetap menjadi kecoa-kecoa yang hidup di dalam got-got kota.

324

BIOGRAFI PENULIS

Airani Sasanti lahir di Yogyakarta pada tanggal 18

Oktober 1984. Menempuh pendidikan TK hingga SMP di

Yogyakarta dan pendidikan Sekolah Mengengah Umum di

SMU 6 Yogyakarta. Pada Oktober 2007 mendapatkan gelar

Sarjana Sastra dari Universitas Sanata Dharma dengan skripsi

yang berjudul “Kekerasan Struktural oleh Pemerintah

terhadap Kaum Urban Miskin di Jakarta dalam Drama Trilogi Opera Kecoa Karya

Norbertus Riantiarno: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Kini tinggal di Gempol Baru DP

III/56 Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta 55283; telp. (0274) 882424.