174

23
Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia M. YUDHIKA ELRIFI Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis & Perbankan Yogyakarta HARDO BASUKI Universitas Gadjah Mada Abstract This research investigated studied the impact of competing accountability requirement in public setor organization, especially for Non Govermental Organization (NGO). Its provided empirical evidence on the impact factors determined the competing accountability requirement of work performance NGOs accountability actor in Indonesia. The objectives of research is to identify different types of accountability requirements with quantitative data and to determine that the competing pressures of accountability affect NGO’s perceived work performance. The results showed that work performance NGO’s accountability actor in Indonesia partly influenced by a negative perceived work context that is workload and job tension. Keywords: competing accountability requirement, competing accountability, NGO, work performance Abstrak Penelitian ini menginvestigasi pengaruh competing accountability requirement di organisasi sektor publik, khususnya Non Govermental Organization (NGO). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor akutabilitas NGO di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tipe keharusan akuntabilitas dengan data kuantitatif dan untuk menentukan apakah tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja karyawan NGO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO secara sebagian dipengaruhi oleh konteks kerja persepsian negatif berupa beban kerja dan tekanan kerja. Kata Kunci: competing accountability requirement, keharusan akuntabilitas, NGO, kinerja kerja SNA 17 Mataram, Lombok Universitas Mataram 24-27 Sept 2014 1 File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

description

SNA 17 No 174

Transcript of 174

  • Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia

    M. YUDHIKA ELRIFI Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis & Perbankan Yogyakarta

    HARDO BASUKI Universitas Gadjah Mada

    Abstract

    This research investigated studied the impact of competing accountability requirement in public setor organization, especially for Non Govermental Organization (NGO). Its provided empirical evidence on the impact factors determined the competing accountability requirement of work performance NGOs accountability actor in Indonesia. The objectives of research is to identify different types of accountability requirements with quantitative data and to determine that the competing pressures of accountability affect NGOs perceived work performance. The results showed that work performance NGOs accountability actor in Indonesia partly influenced by a negative perceived work context that is workload and job tension. Keywords: competing accountability requirement, competing

    accountability, NGO, work performance

    Abstrak Penelitian ini menginvestigasi pengaruh competing accountability requirement di organisasi sektor publik, khususnya Non Govermental Organization (NGO). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor akutabilitas NGO di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tipe keharusan akuntabilitas dengan data kuantitatif dan untuk menentukan apakah tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja karyawan NGO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO secara sebagian dipengaruhi oleh konteks kerja persepsian negatif berupa beban kerja dan tekanan kerja. Kata Kunci: competing accountability requirement, keharusan

    akuntabilitas, NGO, kinerja kerja

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    1

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • 1. Latar Belakang Penelitian Tumbuh dan menjamurnya NGO di Indonesia pada era reformasi merupakan fenomena

    yang menarik dan menggembirakan bagi perkembangan organisasi sektor publik di

    Indonesia selain organisasi pemerintahan. Dengan terus bertambahnya jumlah NGO,

    maka diharapkan organisasi sektor publik dapat berperan dalam meningkatkan kualitas

    sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat.

    Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyimpangan sebagian NGO

    telah menodai reputasi NGO lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai

    ancaman besar terhadap eksistensi NGO yang mengandalkan kepercayaan publik dalam

    menjalankan program dan organisasinya. Hasil dari beberapa penelitian melaporkan

    adanya berbagai penyelewangan dan skandal yang juga menimpa NGO di Amerika dan

    internasional dalam pengelolaan dana masyarakat, kesejahteraan, dan jasa pelayanan

    masyarakat (Gibelman dan Gelman, 2001). Dixon dkk. (2006) meneliti akuntabilitas

    penyaluran dana bergulir oleh NGO lokal untuk memberdayakan kaum miskin di

    Zambia yang awalnya sukses namun karena membuka cabang dan lemah pengawasan

    sehingga terjadi manipulasi data atau data fiktif yang merugikan masyarakat.

    Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persoalan

    tata kelola yang baik (good governance) dalam organisasi NGO merupakan hal yang

    sangat penting dan perlu untuk diterapkan. Dengan diimplementasikannnya tata kelola

    yang baik, maka diharapkan dapat mewujudkan adanya akuntabilitas dan kinerja NGO

    yang juga lebih baik. Tidak hanya lembaga pemerintah dan sektor bisnis saja yang

    dituntut agar mampu menerapkan good goverment dan good corporate governance,

    organisasi non pemerintah seperti NGO juga perlu menerapkan prinsip good non-

    govermental organization sebagai wujud dari akuntabilitas dan pelaporan kinerjanya.

    Pembahasan mengenai akuntabilitas NGO, telah ditingkatkan secara intensif dalam

    beberapa tahun terakhir. NGO berusaha untuk menyeimbangkan kinerja terhadap

    berbagai tuntutan dari forum dan sering bertentangan untuk akuntabilitas (Kim dan Lee,

    2009). Penekanan akan pentingnya akuntabilitas mungkin memiliki beberapa manfaat

    dalam memperkuat kepercayaan lembaga donor dan memastikan keberlanjutan bantuan

    pendanaan dari mereka. Namun, adanya competing accountability requirement dan

    beragamnya keharusan akuntabilitas tersebut menjadi tantangan manajerial yang

    signifikan dalam pencapaian misi organisasi. Selanjutnya, harapan yang beragam antara

    berbagai pemangku kepentingan terhadap akuntabilitas NGO dapat menghambat

    pendirian standar tunggal dan menyebabkan tekanan dan permasalahan managemen

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    2

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • (Brown, Moore, & Honan, 2001; Greenlee, 1998; Kanter & Summers, 1987), serta

    mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002).

    Tidak adanya standar efektivitas penting menyisakan pertanyaan sentral terhadap

    akuntabilitas: Manakah jenis kebutuhan akuntabilitas yang harus didahulukan dari pada

    yang lain? Apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pimpinan NGO ketika dihadapkan

    dengan arah yang tidak sesuai dengan mandat organisasi atau preferensi publik? (Kim

    & Lee, 2009). Competing accountability requirement telah diuji secara intensif di

    organisasi sektor publik (misalnya, Fredericksen & Levin, 2004; Johnston & Romzek,

    1999; Koppell, 2005; Radin, 2002; Romzek & Dubnick, 1987) dan secara khusus di

    NGO (Christensen & Ebrahim, 2006; Ebrahim, 2003; Kearns, 1994; Rubin, 1990).

    Studi-studi tersebut menyatakan bahwa tekanan akuntabilitas meninggalkan beberapa

    kerapuhan akuntabilitas, yang dapat mengakibatkan kegagalan pencapaian misi

    organisasi.

    Pada penelitian ini competing accountability requirement didefinisikan sebagai

    kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk

    mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Dalam

    konteks organisasi di sektor nirlaba, Kim & Lee (2009) mengemukakan bahwa kinerja

    dapat didefinisikan sebagai pemenuhan misi organisasi.

    2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

    2.1. Akuntabilitas dan Competing Accountability Requirement

    Akuntabilitas NGO, menurut Ebrahim (2003), adalah suatu proses di mana NGO

    menggangap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya,

    apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Secara operasional, akuntabilitas

    diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat

    tanggap (responding). NGO bertanggung jawab atas semua nilai-nilai yang dianutnya,

    apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya, kepada semua stakeholder (individu atau

    kelompok sasaran, lembaga donor, sesama NGO, pemerintah dan masyarakat luas).

    Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan

    diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang

    dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara

    mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan

    transparan, mudah diperoleh dan dijangkau oleh masyarakat.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    3

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Berdasarkan definisi, maka akuntabilitas melingkupi berbagai tipe hubungan dan

    melayani berbagai kepentingan. Institusi publik diharuskan mempertanggungjawabkan

    perilaku mereka untuk berbagai tipe forum dalam berbagai cara. Usaha untuk

    menyeimbangkan akuntabilitas berdasarkan tipe forum dalam berbagai cara menjadi

    permasalahan yang tidak terselesaikan Kim & Lee, 2009). Usaha menyeimbangkan

    akuntabilitas menjadi isu kritis karena dapat menyebabkan kerapuhan akuntabilitas yang

    mungkin berdampak pada kegagalan pencapaian nilai dan menyebabkan disfungsional

    akuntabilitas yang berakibat pada stagnansi pencapaian pelayanan dan perubahan

    organisasi (Kim & Lee, 2009). Penelitian-penelitian di atas mengindikasikan keharusan

    pencapaiaan berbagai tipe akuntabilitas yang menyebabkan tekanan dan mempengaruhi

    kinerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).

    2.2. Akuntabilitas Hirarkikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan

    Kerja Persepsian

    Hubungan akuntabilitas adalah berdasarkan pada supervisi ketat individu dengan

    otonomi kerja yang rendah dan kontrol internal. Aktor Akuntabilitas dengan derajat

    otonomi yang rendah diharuskan mencapai ekspektasi supervisor melalui beragam

    aturan organisasi dan regulasi, arahan langsung, dan standar kinerja (Kim & Lee, 2009).

    Hubungan yang mendasari adalah supervisor-subordinat, supervisi langsung dan reviu

    secara periodik merupakan manifestasi nyata dari akuntabilitas hirarkikal (Romzek &

    Ingraham, 2000). Evaluasi kinerja individu cenderung bersifat detail dan standar

    evaluasinya adalah apakah individu berkinerja seperti yang diharuskan. Tekanan

    akuntabilitas hirarkikal dapat menyebabkan subordinat meluangkan lebih banyak waktu

    untuk mencapai ekspektasi supervisor dan meninggalkan tugas utama dalam organisasi

    (Kim & Lee, 2009). Selain itu, derajat otonomi yang rendah mengakibatkan subordinat

    tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas tugasnya

    (Hansen & Host, 2012) sehingga berdampak pada pengabaian tugas utamanya. Kondisi

    ini telah menimbulkan dilema etis yang menyebabkan tekanan kerja terhadap aktor

    akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di

    atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

    Hipotesis 1a: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif

    terhadap tekanan

    kerja.

    Hipotesis 1b: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif

    terhadap beban kerja.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    4

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • 2.3. Akuntabilitas Legal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja

    Persepsian

    Akuntabilitas legal tidak mempertimbangkan pengetahuan dan kecakapan aktor

    akuntabilitas yang menyebabkan bertambahnya beban kerja persepsian karena aktor

    akuntabilitas harus mencapai ekspektasi eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan

    aktor akuntabilitas dan kebutuhan institusi (Romzek & Ingraham, 2000).

    Tekanan terhadap akuntabilitas legal dapat mempengaruhi kinerja kerja persepsian

    dalam dua cara. Pertama, akan meningkatkan beban kerja persepsian karena pemenuhan

    kewajiban kontrak selalu menghasilkan dokumen yang cukup banyak dan persyaratan

    dokumentasi yang berlebihan. Kedua, akan meningkatkan tekanan kerja karena

    karyawan mungkin menganggap bahwa lembaga bergerak menjauh dari misi tradisional

    mereka yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakatkepedulian altruistikdan

    kepatuhan terhadap standar internal dan lebih mementingkan urusan teknis untuk

    mencapai tuntutan regulasi pihak eksternal (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar

    belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

    Hipotesis 2a: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap

    tekanan kerja.

    Hipotesis 2b: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap

    beban

    kerja.

    2.4. Akuntabilitas Profesional Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan

    Kerja Persepsian

    Akuntabilitas profesional terefleksikan dalam tata kelola kerja yang memberi

    derajat otonomi tinggi kepada individu yang mendasari pembuatan keputusan mereka

    pada norma-norma yang terinternalisasi terhadap praktik yang tepat. Berdasarkan

    standar ini individu dihadapkan pada pertanyaan: apakah kinerja kerja mereka adalah

    konsisten dengan norma yang diturunkan dari sosialisasi profesional, keyakinan

    personal, budaya organisasi dan pengalaman kerja (Romzek, 2000). Derajat otonomi

    yang menjadi dasar pembuatan keputusan pada norma internalisasi terhadap praktik

    yang tepat menghantarkan mereka pada pengambilan keputusan yang tepat pula

    walaupun tanpa arahan dari supervisor dan atau keharusan regulasi (Kim & Lee, 2009).

    Akuntabilitas profesional juga dapat mengurangi beban kerja persepsian dan

    tekanan kerja persepsian karena aktor yang bersangkutan bekerja untuk pembuatan

    keputusan dengan pengakuan kepakaran oleh otoritas yang lebih tinggi (Kim & Lee,

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    5

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang

    dikembangkan adalah:

    Hipotesis 3a: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif

    terhadap tekanan kerja.

    Hipotesis 3b: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif

    terhadap beban kerja.

    2.5. Akuntabilitas Politikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan

    Kerja Persepsian

    Keharusan akuntabilitas politikal dapat menyebabkan bertambahnya beban kerja

    karena pemenuhan ekspektasi lebih dari batas kepakaran dan arahan supervisor

    (Romzek & Ingraham, 2000). Selain itu, pemenuhan kebutuhan akuntabilitas politikal

    kepada konstituen juga dapat menyebabkan bertambahnya tekanan kerja karena

    kebutuhan pemenuhan tanggung jawab yang merefleksikan kebutuhan legitimasi sangat

    bergantung pada seberapa baik aktor mengantisipasi dan mencapai ekspektasi forum

    dan apakah aktor akuntabilitas dipersepsikan sebagai rekan kerja oleh mereka (Romzek

    & Ingraham, 2000). Lebih lanjut, tekanan dari kelompok advokasi dan media lokal juga

    dapat mengalihkan perhatian aktor akuntabilitas terhadap pencapaian misi organisasi

    dengan menghabiskan sumber daya yang besar untuk menjaga hubungan baik dengan

    stakeholders. Dengan kata lain, aktor akuntabilitas dapat mengorbankan misi organisasi

    yang sebenarnya untuk mencapai tujuan akuntabilitas politikalnya (Kim & Lee, 2009).

    Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang

    dikembangkan adalah:

    Hipotesis 4a: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif

    terhadap tekanan kerja.

    Hipotesis 4b: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif

    terhadap beban kerja.

    2.6. Beban Kerja Persepsian dan Tekanan Kerja Persepsian

    Dampak langsung dari tekanan keharusan akuntabilitas adalah akan meningkatkan

    beban kerja persepsian karyawan karena kecukupan dokumen dan persyaratan

    pelaporan untuk memenuhi kewajiban kontraktual (Kim & Lee, 2009). Tekanan

    persepsian terhadap beban kerja antar karyawan dapat memperburuk tekanan kerja,

    misalnya mereka diwajibkan untuk mengurangi waktu pribadi mereka dalam

    berinteraksi dengan masyarakat atau kelompok dampingan untuk menyelesaikan

    dokumen yang diperlukan. Sebagai contoh, Johnston dan Romzek (1999) menemukan

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    6

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • kasus bahwa manajer, meskipun mereka memiliki tingkat komitmen yang tinggi untuk

    memberikan layanan yang berkualitas akan frustrasi oleh dokumen-dokumen dan

    persyaratan pendokumentasian, dan mereka mempersepsikan bahwa kepatuhan terhadap

    kewajiban kontrak dapat membahayakan misi lembaga dalam melayani masyarakat

    (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka

    hipotesis yang dikembangkan adalah:

    Hipotesis 5: Beban kerja tinggi karyawan berpengaruh positif terhadap tekanan

    kerja.

    2.7. Beban Kerja Persepsian, Tekanan Kerja Persepsian, Kinerja Kerja Persepsian

    Tekanan karena keharusan akuntabilitas cenderung menyebabkan melemahnya

    peran aktor akuntabilitas karena pelaksanaan fungsi administrasi yang berlebihan

    sebagai akibat keharusan akuntabilitas yang menyebabkan meningkatnya persepsian

    negatif konteks kerja (Kim & Lee, 2009). Sebenarnya konteks kerja dapat dipersepsikan

    secara negatif maupun positif. Perbedaan ini berpengaruh terhadap outcome kerja atau

    kinerja kerja pada level yang berbeda (Lusch & Serpkenci, 1990). Namun demikian,

    dalam penelitian ini konteks kerja dipersepsikan negatif dalam bentuk tekanan kerja dan

    beban kerja karena adanya onflik keharusan akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).

    Karyawan-karyawan NGO semakin menghabiskan sejumlah besar waktu mereka

    pada kegiatan pendokumentasian dan menghasilkan pendapatan dengan mengorbankan

    pemeliharaan hubungan dengan masyarakat (Kim & Lee, 2009). Tekanan pekerjaan ini

    cenderung menciptakan disonansi nilai yang dapat menyakiti panggilan profesional atau

    kewajiban etis mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka

    cenderung memiliki persepsi bahwa pekerjaan mereka tidak dihargai karena mereka

    dipaksa untuk mengalokasikan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melayani

    masyarakat (Light, 2000; Salamon, 2002). Beban kerja persepsian yang tinggi dan

    tekanan kerja secara bersamaan yang dirasakan antar karyawan dapat secara negatif

    mempengaruhi persepsi mereka terhadap kinerja. Berdasarkan latar belakang teoretikal

    dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

    Hipotesis 6a: Beban kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja.

    Hipotesis 6b: Tekanan kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja.

    2.8. Model Penelitian

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    7

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Gambar 2.1

    Model Penelitian

    3. Metode Penelitian

    3.1. Populasi dan Sampel

    Penelitian dilakukan di 5 provinsi yang meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

    Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Objek penelitian yaitu pegawai

    pada NGO. Metode pemilihan sampel adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih

    berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini,

    yaitu semua pegawai yang pernah terlibat dalam proses pemenuhan akuntabilitas secara

    keuangan dan program terhadap para stakeholder (lembaga donor, pemerintah,

    perusahaan, individu atau kelompok dampingan, lembaga mitra, masyarakat, dll.),

    sehingga responden yang dipilih diyakini telah memahami kondisi di dalam organisasi

    tempat mereka bekerja.

    3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

    Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi variabel eksogen dan variabel

    endogen. Variabel eksogen terdiri dari keharusan akuntabilitas hirarkikal, keharusan

    akuntabilitas legal, keharusan akuntabilitas profesional dan keharusan akuntabilitas

    politikal, sedangkan variabel eksogen endogen adalah beban kerja dan tekanan kerja.

    Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja kerja

    3.2.1.Variabel Eksogen

    Competing Accountability Requirement

    Definisi dari competing accountability requirement yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk

    AkuntabilitasHirarkikal

    AkuntabilitasLegal

    AkuntabilitasProfesional

    AkuntabilitasPolitikal

    TekananKerjaPersepsian

    BebankerjaPersepsian

    KinerjaKerjaPersepsian

    H1a(+)H1b(+) H2a(+)

    H2b(+)

    H3b()

    H4a(+)H4b(+)

    H5(+)

    H6b()

    H6a()

    H3a()

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    8

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Pengukuran

    terhadap competing accountability requirement dalam penelitian ini menggunakan

    instrumen yang dikembangkan oleh Kim & Lee (2009) dengan penyesuaian untuk

    konteks NGO di Indonesia. competing accountability requirement dalam penelitian ini

    adalah berdasarkan tipe-tipe akuntabilitas yang diajukan Johnston & Romzek (1999,

    hal. 387), yang terdiri dari:

    a. Akuntabilitas Hirarkikal Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas hirarkikal adalah supervisi yang

    ketat dari otoritas yang lebih tinggi, yang menggunakan seperangkat standar kinerja,

    peraturan dan aturan internal organisasi, dan instruksi atasan. Pola kerja yang

    dibangun adalah hubungan antara supervisor-subordinat (Romzek & Ingraham,

    2000) yang dalam penelitian ini adalah hubungan antara aktor akuntabilitas di NGO

    dengan atasannya langsung.

    b. Akuntabilitas Legal Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas legal adalah kinerja NGO secara

    eksternal diaudit kepatuhannya, yaitu berdasarkan hubungan antara kontrol eksternal

    dan aktor akuntabilitas. Akuntabilitas legal terjadi antara dua pihak yang otonom

    (Romzek & Dubnick, 1987). Dalam penelitian ini akuntabilitas legal adalah bentuk

    keharusan akuntabilitas terhadap penyandang dana (lembaga donor, pemerintah,

    perusahaan, dll.). Instrumen akuntabilitas legal didasarkan pada instrumen yang

    dikembangkan oleh Kim dan Lee (2010).

    c. Akuntabilitas Profesional Keharusan akuntabilitas profesional adalah merujuk pada adanya derajat otonomi

    yang tinggi dari aktor akuntabilitas dalam pembuatan keputusan dan perbedaan

    keahlian dan standar kinerja didasarkan pada norma profesional dan praktik-praktik

    yang berlaku dari rekan kerja atau kelompok kerja. Aktor akuntabilitas harus

    bertumpu pada kepakaran dan kecakapan untuk menghasilkan solusi yang tepat

    (Romzek & Dubcick, 1987). Dengan demikian, keharusan akuntabilitas profesioanl

    dalam penelitian ini adalah tekanan konflik yang berasal dari dalam diri aktor

    akuntabilitas itu sendiri.

    d. Akuntabilitas Politikal Akuntabilitas politikal terkait dengan tanggungjawab terhadap konstituen utama

    NGO seperti lembaga-lembaga mitra, individu dan kelompok dampingan (petani,

    buruh, perempuan, orang cacat, masyarakat desa) dan masyarakat secara luas. Dalam

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    9

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • penelitian ini keharusan akuntabilitas politikal adalah terhaadap konstituen-

    konstituen di atas.

    3.2.2. Variabel Eksogen Endogen

    Beban Kerja

    Secara umum definisi beban kerja adalah hubungan manusia dengan tuntutan tugas

    yang diemban dalam lingkup operasional. Hart dan Staveland (1988) mengemukakan

    bahwa beban kerja merupakan hubungan yang dapat dirasakan antara sejumlah

    kemampuan mental dalam berproses dengan sejumlah kemampuan mental dalam

    berproses yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan.

    Spector dan Jex (1998) menyatakan bahwa beban kerja (workload) adalah salah

    satu faktor penyebab job stressor. Job stressor mewakili situasi dimana pekerjaan

    berkaitan dengan faktor-faktor menyimpang karyawan dari fungsi psikologinya ataupun

    fungsi fisiknya (Beehr dan Newman, 1978). Instrumen beban kerja didasarkan pada

    instrumen pengukuran Index of Organizational Reaction yang dikembangkan oleh

    Smith (1976) dalam penelitian Kim & Lee (2009).

    Tekanan Kerja

    Definisi operasional tekanan kerja adalah merujuk pada kondisi kecemasan psikologi

    individu sebagai konsekuensi peran signifikan untuk mencapai kualitas kerja atau

    kinerja tertentu (Bedeian & Armenakis, 1981) sebagai dampak dari konflik peran atau

    ketidakjelasan peran (Fry dkk., 1986). Tetlock (1985) mengemukakan bahwa tekanan

    akuntabilitas persepsian mempengaruhi kognitif individu dan pernyataan emosional

    individu. Penelitan Kim & Lee (2009) mendukung dan menunjukan hasil yang sama

    bahwa salah satu pengaruh competing accountability requirement adalah meningkatnya

    tekanan kerja. Instrumen tekanan kerja persepsian dalam penelitian ini menggunakan

    Tension Index yang dikembangkan oleh Lyon (1971) yang terdukung dalam penelitian

    Kim & Lee (2009).

    3.2.3. Variabel Endogen

    Kinerja Kerja

    Handoko (1996) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil yang dicapai atau prestasi

    yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan pada suatu organisasi.

    Amstrong (2004) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai dan atribut

    (ketrampilan, pengetahuan dan keahlian) dan kompetensi yag dibutuhkan untuk

    mencapai hasil tersebut yang sasarannya adalah memberi kontribusi untuk pencapaian

    cita-cita nilai organisasi.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    10

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Bertambahnya persepsian konteks kerja negatif akan berpengaruh terhadap kinerja

    kerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Kinerja kerja dalam penelitian ini merujuk

    pada kecakapan atau kemampuan aktor dalam melaksanakan aktivitas secara formal dan

    diakui sebagai bagian dari aktivitas kerja yang berkontribusi secara langsung maupun

    tidak langsung melalui proses transformasi bahan mentah ke dalam bentuk barang dan

    pelayanan (London & Sminther, 1997). Pengukuran terhadap kinerja kerja

    menggunakan item-item pengukuran yang dikembangkan oleh Tsui dkk. (1997).

    Pengukuran ini tidak konsisten dengan pengukuran yang digunakan dalam penelitian

    Kim & Lee (2009) karena penelitian tersebut hanya menggunakan indikator tunggal.

    Tabel 1

    Variabel-Variabel Model Penelitian

    Variabel Laten Kode Variabel Manifes* ItemAkuntabilitas Hirarkikal AHI AHI1-AHI3 3 Akuntabilitas Legal ALE ALE1, ALE2, ALE3, ALE5 4 Akuntabilitas Profesional APRO APRO1-APRO5 5 Akuntabilitas Politikal APO APO3, APO4, APO5 3 Beban Kerja BKE BKE1-BKE3 3 Tekanan Kerja TKE TKE1-TKE2, TKE4, TKE5 4 Kinerja Kerja KKE KKE2, KKE3, KKE5, KKE6, KKE7,

    KKE8 6

    * Beberapa variabel telah dihapus karena tidak memenuhi standar skor loading

    4. Metode Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS) untuk menguji

    hipotesis yang diajukan. PLS adalah teknik Structural Equation Modeling (SEM)

    berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran

    sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011). Sebagai lawan dari metode SEM

    berbasis kovarian (misalnya AMOS dan LISREL), PLS menempatkan tuntutan yang

    minimal pada skala pengukuran, ukuran sampel, distribusi variabel dan distribusi

    residual (Chin, Marcolin, dan Newsted, 2003). Kemudian juga menurut Hartono (2011)

    PLS juga bertujuan untuk memprediksi model dalam rangka pengembangan teori yang

    merupakan alat prediksi kausalitas yang digunakan sebagai pengembangan teori.

    PLS sangat cocok digunakan untuk penelitian ini, karena karakteristiknya yang

    mempunyai kombinasi dan model yang kompleks dan dapat memakai ukuran sampel

    yang relatif kecil untuk mengantisipasi kurangnya tingkat partisipasi (respon rate) dari

    sampel di NGO yang dituju. Software yang digunakan untuk mengolah data yang telah

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    11

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • terkumpul adalah SmartPLS versi 2.0 yang dikembangkan oleh Ringle, C.M/Wende,

    S./Will, S dan dapat diunduh secara gratis di alamat website http://www.smartpls.de.

    5. Hasil Penelitian

    5.1. Pilot Study

    Dalam rangka pengujian validitas dan realibilitas, kuesioner terlebih dahulu

    diujicobakan (pilot study) kepada 25 responden pada 20 Oktober 2013. Responden

    adalah para pegawai NGO pada Yayasan Dian Desa, Yogyakarta. Instrumen yang telah

    diujicobakan kemudian dianalisis dengan menggunakan software PLS. Hasil dari pilot

    study (lihat lampiran) menunjukkan bahwa nilai AVE dan Communality masing-

    masing variabel >0,5. Nilai Composite Reliability masing-masing variabel >0,6. Hasil

    pilot study juga menunjukan bahwa nilai faktor loading >0,6. Berdasarkan tabel cross

    loading, dapat disimpulkan bahwa masing-masing indikator yang ada pada satu variabel

    laten (konstruk) mempunyai faktor loading tertinggi pada konstruk yang dituju

    dibandingkan dengan nilai yang ada pada konstruk lainnya. Hasil tersebut menunjukan

    bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel, sehingga

    layak untuk digunakan lebih lanjut.

    5.2. Pengumpulan Data Kuantitatif

    Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan menggunakan dua metode, yaitu

    pengumpulan data kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner penelitian pada masing-

    masing NGO yang ada di lima Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah

    Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari 325 responden yang dikirimi

    kuesioner, 211 responden yang mengembalikan, artinya response rate-nya adalah

    64,9%. Jumlah kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah 203

    responden, yang artinya usable respon rate-nya adalah 96% dan jumlah kuesioner yang

    tidak dapat digunakan adalah sebanyak 122. The usable questionaires kemudian

    dianalisis untuk mengetahui profil dari para responden. Tabel 2 menunjukkan profil

    responden yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan masa kerja di masing-

    masing NGO.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    12

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Tabel 2

    Profil Responden Penelitian

    Keterangan Jumlah (Orang) Persentase (%) Jenis Kelamin :

    Laki-laki 114 56,15 Perempuan 89 43,85

    Jumlah 203 100 Usia:

    50 tahun 10 04,92 Jumlah 203 100

    Tingkat Pendidikan: SMA 17 08,37

    S1 173 85,22 S2 13 06,41

    Jumlah 203 100 Masa Kerja:

    25 tahun 20 09,76 Jumlah 203 100

    5.3. Analisis Demografi

    Analisis demografi merupakan analisis yang dilakukan untuk menguji apakah

    perbedaan demografi responden mempengaruhi jawaban yang diberikan. Analisis

    demografi dapat memberikan tambahan penjelasan mengenai hasil penelitian.

    Ringkasan analisis demografi ditampilkan pada tabel di bawah ini:

    Tabel 3

    Ringkasan Analisis Demografi

    Variabel Demografi

    Sig. BKE TKE KKE

    Jenis Kelamin 0.564 0.813 0.697 Usia 0.041 0.002 0.297 Tingkat Pendidikan 0.544 0.473 0.003 Masa Kerja 0.004 0.006 0.010

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    13

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Berdasarkan hasil analisis variabel demografi sebagaimana yang ditampilkan di

    tabel 3, variabel usia pada konstruk tekanan kerja, variabel tingkat pendidikan pada

    konstruk kinerja kerja, variabel masa kerja pada konstruk beban kerja dan variabel masa

    kerja pada konstruk tekanan kerja mempunyai nilai yang signifikan (>0,05). Hal ini

    mengindikasikan bahwa perbedaan usia mempengaruhi tekanan kerja, perbedaan masa

    kerja mempengaruhi kinerja kerja dan perbedaan masa kerja mempengaruhi beban

    kerja dan tekanan kerja responden dalam hal persepsian keharusan akuntabilitas.

    5.4. Kisaran Data

    Berdasarkan hasil pengolahan data dari 203 responden, maka data deskripsi konstruk

    berdasarkan 28 item pertanyaan yang valid dengan kisaran teoritis, yaitu Konstruk

    Akuntabilitas Legal (ALE), dan Tekanan Kerja (TKE) dengan masing-masing 4 item

    pertanyaan valid, berada pada kisaran teoritis di antara nilai minimal 4 dan nilai

    maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Profesional (APRO) dengan 5 item pertanyaan

    valid, berada pada kisaran minimal 5 dan maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Politikal

    (APO), Akuntabilitas Hirarkikal (AHI), dan Beban Kerja (BKE) dengan masing-masing

    3 item pertanyaan valid berada pada kisaran teoritis dengan nilai minimal 3 dan

    maksimal 15. Selanjutnya, Konstruk Kinerja Kerja (KKE) dengan 6 item pertanyaan

    valid, berada pada kisaran minimal 6 dan maksimal 30.

    Semua jawaban yang terlihat dalam kisaran aktual berada di dalam kisaran nilai

    minimal dan maksimal teoritisnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa

    jawaban responden terhadap konstruk-konstruk berada pada kisaran teoritisnya. Tabel 4

    menunjukkan perbandingan nilai kisaran teoritis dan kisaran aktual secara keseluruhan.

    Tabel 4

    Perbandingan Nilai Kisaran Teoritis dan Kisaran Aktual

    Pertanyaan Kisaran Teoritis

    Kisaran Aktual

    AHI 3 - 15 3 15 ALE 4 - 20 4 20

    APRO 5 - 25 5 25 APO 3 - 15 3 15 BKE 3 - 15 4 - 15 TKE 4 - 16 4 16 KKE 6 - 30 6 30

    5.5. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

    Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R untuk konstruk dependen. Dari

    tabel 4.5 terlihat nilai R untuk konstruk beban kerja adalah sebesar 0.185539, konstruk

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    14

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • tekanan kerja sebesar 0.304753, dan konstruk kinerja kerja sebesar 0.167056. Hasil nilai

    tersebut berarti bahwa model penelitian yang diajukan dapat menjelaskan variabel

    konstruk beban kerja sebesar 18,5%, konstruk tekanan kerja sebesar 30,4%, konstruk

    kinerja kerja sebesar 16,7%, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model

    yang diajukan. Semakin tinggi nilai R, maka akan semakin baik model prediksi dari

    model yang diajukan.

    Tabel 6

    Overview Iterasi Algoritma PLS

    Catatan: * 0,67 = substansial, 0,33 = moderate, 0,19 = weak. (Chin dalam

    Henseler, 2009).

    Parameter uji validitas konvergen dilihat dari skor Average Variance Extracted

    (AVE) dan communality. Skor masing-masing bernilai >0,5. Hal ini berarti, probabilitas

    indikator di suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang dari 0,5)

    sehingga probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk pada konstruk yang

    dimaksud lebih besar, yaitu di atas 0,5 atau sebesar 50%. Dari tabel 6 di atas terlihat

    skor AVE tertinggi pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada

    konstruk beban kerja (0.500935). Dalam penelitian ini, skor AVE untuk semua konstruk

    adalah >0,5, sehingga konstruk-konstruk tersebut memenuhi syarat skor ideal, namun

    skor 0,4 masih diberi toleransi (Lai & Fan, 2008; Vinzi dkk., 2010). Skor communality

    tertinggi terdapat pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada

    konstruk beban kerja (0.500934).

    Untuk uji validitas diskriminan, parameter yang diukur adalah dengan melihat

    skor cross loading. Pada tabel 7 di bawah ini terlihat bahwa masing-masing indikator di

    suatu konstruk di dalam model pengukuran telah memenuhi validitas diskriminan

    AVE Composite Reliability R

    Square* Cronbachs

    Alpha Commu-

    nality AHI 0.616734 0.827182 0.715282 0.616734 ALE 0.692083 0.899866 0.856790 0.692084 APO 0.719854 0.885152 0.805887 0.719854

    APRO 0.599068 0.880770 0.834097 0.599068 BKE 0.500935 0.749648 0.185539 0.504953 0.500934 KKE 0.562971 0.884795 0.167056 0.846184 0.562971 TKE 0.544779 0.826989 0.304753 0.726261 0.544779

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    15

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • karena masing-masing indikator di suatu konstruk berbeda dengan indikator di konstruk

    lain dan mengumpul pada konstruk dimaksud dengan skor >0,6.

    Tabel 7

    Cross Loadings

    AHI ALE APO APRO BKE KKE TKE

    APO3 0.346200 0.399572 0.857456 0.515574 0.090871 0.243489 0.235653

    APO4 0.233661 0.333536 0.831385 0.378837 0.080674 0.266450 0.285312

    APO5 0.284796 0.516249 0.856230 0.442313 0.111308 0.223236 0.248998

    BKE1 -0.051758 0.259110 0.284693 -0.009164 0.704665 -0.002609 0.561317

    BKE2 -0.302594 -0.016677 -0.071073 -0.220925 0.771204 -0.500595 0.234306

    BKE3 -0.223982 -0.019007 0.003531 -0.212272 0.641479 -0.270937 0.204705

    TKE1 -0.019626 0.088007 0.238460 0.003744 0.202979 -0.019398 0.737369

    TKE2 -0.116890 0.072588 0.194641 -0.070835 0.319783 -0.124105 0.780502

    TKE4 0.010938 0.142433 0.242906 0.028135 0.428675 -0.037959 0.730518

    TKE5 -0.071801 0.076882 0.218387 -0.005922 0.412730 0.136666 0.701829

    AHI1 0.707240 0.298191 0.371523 0.626571 -0.169877 0.373477 -0.065444

    AHI2 0.758774 0.405043 0.168674 0.437762 -0.085665 0.318459 -0.060893

    AHI3 0.879929 0.406205 0.241769 0.480501 -0.285992 0.325015 -0.041802

    ALE1 0.422330 0.820035 0.533422 0.535653 0.137362 0.158996 0.028436

    ALE2 0.539149 0.845791 0.519757 0.517296 0.035405 0.128422 0.096030

    ALE3 0.311085 0.809904 0.265609 0.223367 0.105452 0.149507 0.136586

    ALE5 0.346372 0.851217 0.401451 0.450108 0.097236 0.101661 0.144568

    APRO1 0.473762 0.382490 0.412053 0.817463 -0.109746 0.344253 -0.010907

    APRO2 0.540291 0.477673 0.476517 0.831557 -0.112675 0.307523 -0.043039

    APRO3 0.428195 0.384600 0.270511 0.741601 -0.141057 0.298483 -0.089968

    APRO4 0.372688 0.364400 0.536509 0.620764 -0.114441 0.124538 0.047475

    APRO5 0.614033 0.342855 0.391686 0.836832 -0.227162 0.348961 0.031712

    KKE2 0.386016 0.210926 0.243427 0.294604 -0.233777 0.770851 0.019848

    KKE5 0.257185 0.139656 0.265775 0.333883 -0.167065 0.672012 0.065469

    KKE6 0.425083 0.132826 0.214506 0.352571 -0.353180 0.776141 -0.083031

    KKE7 0.332609 0.089397 0.110165 0.176694 -0.333653 0.793242 -0.065126

    KKE8 0.248371 0.015123 0.306125 0.329299 -0.341253 0.815172 -0.035278

    Uji reliabilitas dapat dilihat pada skor composite reliability dengan syarat minimal >

    0,6 (Hair dkk., dalam Hartono, 2009) dari tabel 6 di atas terlihat skor composite

    reliability tertinggi pada konstruk akuntabilitas legal (0.899866) dan skor terendah pada

    konstruk beban kerja (0.749648). Dengan demikian, konstruk penelitian dinyatakan

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    16

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • reliabel. Secara umum dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian adalah valid karena

    telah memenuhi kriteria validitas konvergen dan diskriminan serta dapat diandalkan

    (reliabel) sehingga layak digunakan untuk pengujian hipotesis.

    Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilal T-table dengan nilai T-

    statistic yang dihasilkan dari proses bootstrapping dalam PLS. Hipotesis diterima

    (terdukung) jika nilai T-statistics lebih tinggi daripada nilai T-table dengan tingkat

    keyakinan 95% (alpha 5 persen), nilai T-table untuk uji hipotesis satu ekor (one-tailed)

    adalah 1,64 (Hair et al., 2006 in Hartono, 2009). Dari 11 hipotesis yang diuji, 6 hipotesis terdukung secara statistik karena memiliki

    nilai T-statistics yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu 1.64 (alpha 5 persen). 6 hipotesis tersebut adalah 1a (AHIBKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2,264653, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0,306482; hipotesis 2a (ALEBKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.019520, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar 0.278353; hipotesis 3a (APROBKE) dengan nilai T-statistic sebesar 1.774100, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.244211; hipotesis 4b (APOTKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.661294, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar 0.309035; hipotesis 5 (BKETKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.715839, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.445746; dan hipotesis 6a (BKETKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.145243, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.484807.Selanjutnya, 5 hipotesis yang tidak terdukung secara statistik karena nilai T-statistics tidak lebih

    tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu 1.64 (alpha 5 persen). 5 hipotesis tersebut adalah 1b (AHITKE) dengan nilai T-statistic sebesar 0.128311, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar 0.017970; hipotesis 2b dengan nilai T-statistic sebesar 0.248222, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.041542; hipotesis 3b dengan nilai T-statistic sebesar 0.435495, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar 0.120434; hipotesis 4a dengan nilai T-statistic sebesar 1.581846, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar 0.205240; dan hipotesis 6b dengan nilai T-statistic sebesar 1.510057, dan nilai koefisien

    jalur (1) sebesar 0.219860. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan PLS dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut:

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    17

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Tabel 8

    Koefisien Jalur (Path Cooficients; Mean, STDEV, T-Values)

    Tanda Original Sample (O)Sample

    Mean (M)

    Standard Deviation (STDEV)

    Standard Error

    (STERR)

    T Statistics (|O/STERR|)

    AHI -> BKE + -0.306482 -0.303255 0.135333 0.135333 2.264653** AHI -> TKE + 0.017970 0.005596 0.140048 0.140048 0.128311 ALE -> BKE + 0.278353 0.272168 0.137831 0.137831 2.019520** ALE -> TKE + -0.041542 -0.036328 0.167358 0.167358 0.248222

    APRO -> BKE - -0.244211 -0.240505 0.137653 0.137653 1.774100** APRO -> TKE - -0.076407 -0.062100 0.175449 0.175449 0.435495 APO -> BKE + 0.205240 0.190387 0.129747 0.129747 1.581846 APO -> TKE + 0.309035 0.316115 0.116122 0.116122 2.661294*** BKE -> TKE + 0.445746 0.439252 0.119958 0.119958 3.715839*** BKE -> KKE - -0.467458 -0.484807 0.148624 0.148624 3.145243*** TKE -> KKE - 0.219860 0.192203 0.145597 0.145597 1.510057

    Catatan: *** Sangat signifikan, ** signifikan; 1,64 P

  • akuntabilitas yang bersangkutan. Sedangkan tekanan kerja hanya berhubungan secara

    positif dengan keharusan akuntabilitas politikal. Artinya, apabila aktor akuntabilitas

    menekankan pada keharusan akuntabilitas politikal lebih dari keharusan akuntabilitas

    yang lainnya, maka akan meningkatkan persepsian tekanan kerjanya. Terdukungnya

    hipotesis tersebut mungkin saja lebih disebabkan bahwa dalam konteks NGO dengan

    karakter organisasi yang kolegial atau kekeluargaan, maka akan membuat aktor

    akuntabilitas akan merasakan tekanan persepsian.

    6.2. Keterbatasan Penelitian

    Penelitian pada competing accountability requirement dan pengaruhnya terhadap

    kinerja kerja NGO merupakan penelitian pertama di Indonesia. Penelitian sebelumnya

    pernah dilakukan di Amerika atas organisasi non-profit di bidang pelayanan

    kemanusian saja, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasn yang akan mempengaruhi

    hasil penelitian. Adapun keterbatasan-keterbatasan tersebut, antara lain:

    1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk variabel tekanan kerja dan

    kinerja kerja banyak yang dihapus karena cross loading yang rendah.

    Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan

    instrumen yang berbeda yang dianggap paling sesuai dengan konteks

    penelitian.

    2. Instrumen untuk variabel akuntabilitas hirarkikal beban kerja hanya

    menggunakan tiga item pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan apabila dalam

    pilot study terdapat item pertanyaan yang harus dihapus, maka instrumen

    tersebut menjadi tidak layak digunakan apabila penelitian menggunakan alat

    analisis PLS.

    3. Data penelitian ini merupakan hasil dari instrumen yang berdasarkan pada

    persepsi responden, maka hal ini dapat menimbulkan masalah jika persepsi

    responden berbeda dengan keadaan sesungguhnya.

    6.3. Implikasi Penelitian

    Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi NGO di Indonesia

    mengenai adanya competing accountability requirement yang terjadi akibat adanya

    keharusan terhadap berbagai tipe akuntabilitas dengan tidak mempertimbangkan

    heterogenitas NGO maupun individu yang terlibat di dalamnya. Aktor akuntabilitas

    dipaksa untuk mencapai ekspektasi berbagai forum akuntabilitas yang mungkin tidak

    sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas aktor akuntabilitas. Kondisi ini menyebabkan

    tekanan untuk mencapai kualitas kerja tertentu sesuai ekspektasi forum akuntabilitas

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    19

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • ataupun akumulasi jumlah pekerjaan karena ekspektasi-ekspektasi yang berbeda

    tersebut.

    Kinerja kerja aktor akuntabilitas hanya dipengaruhi oleh persepsian negatif

    beban kerja yang disebabkan oleh bertambahnya volume pekerjaan dan beragamnya

    SOP (standard operating procedure) yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga

    donor. Secara umum hasil penelitian ini berimplikasi terhadap wacana penentuan tipe

    akuntabilitas yang tepat bagi tiap organisasi NGO sesuai dengan ekspektasi masing-

    masing forum (Romzek & Dubnick, 1987). Peningkatan kinerja adalah dampak utama

    yang seharusnya terjadi karena berbagai bentuk keharusan yang dilaksanakan oleh aktor

    akuntabilitas (Dubnick, 2005) yang faktanya di organisasi NGO hal tersebut terjadi

    karena praktik akuntabilitas dilakukan atas dasar kesadaran sejak awal pendirian

    organisasi NGO tersebut.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    20

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Daftar Pustaka

    Amstrong, M. (2004). Performance management. Setiawan, T. (alih Bahasa). Tugu Publisher. Yogyakarta.

    Beehr, T.A., & Newman, J. (1978). Job stress, employee health, and organizational effectiveness: A facet analysis, model and literatur review. Personnel Psychology, (31), 665-669.

    Brown, L. D., Moore, M. H., & Honan, J. (2001). Building strategic accountability systems for international NGOs. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 30(3), 569-587.

    Chin, W., Mancolin, B. L., & Newsted, P. R. (2003). A partial least square latent variabel modelling aproach for measuring interaction effects: result from amonte carlo simulayion and voice mail emotion/adoption study information system reseach.

    Christensen, R. A., & Ebrahim, A. (2006). How does accountability affect mission? The case of a nonprofit serving immigrants and refugees. Nonprofit Management and Leadership, 17(2), 195-209.

    Dicke, C. (2002). Ensuring accountability in human service contracting. Public Pruductivity & Management Review, 22: 502-516.

    Dixon, Rob, John Ritchie, and Juliana Siwale (2006). Microfinance: accountability from the grassroots. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol.19, No.3. pp.405-427.

    Ebrahim, A. (2003). Making sense of accountability: Conceptual perspectives for Northern and Southern nonprofits. Nonprofit Management and Leadership, 14(2), 191-212.

    Fredericksen, P. J., & Levin, D. (2004). Accountability and the use of volunteer officers in public safety organizations. Public Performance & Management Review, 27(4), 118-143.

    Fry, R. E. (1995). Accountability in organizational life: Problem or opportunity for nonprofits? Nonprofit Management and Leadership, 6(2), 181-195.

    Gibelman, M., dan Gelman, S. R. (2001). Very public scandals: Non Governmental Organizations in trouble. International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly. 12(1), 49 66.

    Greenlee, J. S. (1998). Accountability in nonprofit organizations. Nonprofit Management and Leadership, 9(2), 205-210.

    Johnston, J. M., & Romzek, B. S. (1999). Contracting and accountability in state medical reform: Rhetoric, theories, and realities. Public Administration Review, 59(5), 383-399.

    Johnson, R.B., & Onwuegbuzie, A.J. (2004). Mixed methods research: A research paradigm whose time has come. Educational Researcher, Vol. 33, No. 7. pp. 11-26.

    Handoko T.H. (1996). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE. Yogyakarta.

    Hansen, J. R., & Host, V. (2012). Understanding the relationship between decentralization organizational decesion structure, job context, and job satisfaction-a survey of dining public managers. Review of Public Personel Administration. 132 (2): 288-308.

    Hartono, Jogiyanto dan Abdillah Willy. 2009. Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) untuk Penelitian Empiris. BPFE Yogyakarta

    Hartono, Jogiyanto. 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasiskan Varian dalam Penelitian Bisnis. STIM YKPN Yogyakarta

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    21

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Kanter, R. M., & Summers, D. V. (1987). Doing well while doing good: Dilemmas of performance measurement in nonprofit organizations and the need for multiple-constituency approach. In W. W. Powell (Ed.), The nonprofit sector: A research handbook (pp. 154-166). New Haven, CT: Yale University Press.

    Kearns, K. P. (1994). The strategic management of accountability in nonprofit organizations: An analytical framework. Public Administration Review, 54(2), 185-192.

    Kim, S. E. (2005). Balancing competing accountability requirements: Challenges in performance improvement of the nonprofit human service agency. Public Performance and Management Review, 29(2), 145-163.

    Kim, S.E., & Lee (2010). Impact of competing accountability requirements on perceived work performance. The American Review of Public Administration, 49(1), 100-118.

    Koppell, J. G. S. (2005). Pathologies of accountability: ICANN and the challenges of multiple accountabilities disorder. Public Administration Review, 65(1), 94-105.

    Lai, Ming-Cheng and Fan, Shih-Liang. 2008. Use of Fit Perception in Employee Behavioral Criteria in Taiwan IT Industry. Business and Information. Volume 5, Issue 1. Available also at, http://academic-papers.org/ocs2/session/Papers/A2/234.doc

    Light, P. C. (2000). Making nonprofits work: A report on the tides of nonprofit management reform. Washington, DC: Brookings Institution Press.

    Lusch, R. F., & Serpkenci, R.R. (1990). Personal differences, job tension, job outcomes, and store performance: A study of retail store manager. Journal of Marketing, 85-101.

    Lyons, T. F. (1971). Role clarity, need for clarity, satisfaction, tension, and withdrawal. Organizational Behavior and Human Performance, 6, 99-110.

    Radin, B. A. (2002). The accountable juggler: The art of leadership in a federal agency. Washington, DC: CQ Press.

    Romzek, B. S., & Dubnick, M. J. (1987). Accountability in the public sector: Lessons from the challenger tragedy. Public Administration Review, 47(3), 227-238.

    Romzek, B. S., & Ingraham, P. W. (2000). Cross pressures of accountability: Initiative, command, and failure in the Ron Brown Plane crash. Public Administration Review, 60(3), 240-253.

    Rubin, H. (1990). Dimensions of institutional ethics: A framework for interpreting the ethical context of the nonprofit sector. In D. Gies, S. Ott, & J. M. Shafritz (Eds.), The nonprofit sector: Essential readings (pp. 211-216). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

    Salamon, L. M. (2002). The state of nonprofit america. Washington, D.C.: Brookings Institution Press.

    Smith, S. R., & Lipsky, M. (1993). Nonprofits for Hire: The welfare state in the age of contracting. Cambridge, MA: Harvard University.

    Spector, P. E., & Jex, S. M. (1998). Development of four self-report measures of job stressor and strains: Interpersonal conflict at work scale, organizational constraints scale, workload and physical symptoms inventory: Journal of Occupational Health Pshcology. 3, 356-367.

    Vinzi, V. Esposito, Chin, W.W., Henseler, J., Wang, H.2010. Handbook of Partial Least Squares: Concepts, Methods and Applications. Springer Handbooks of Computational Statistics

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    22

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Wang, Xiahou. 2002. Assesing Performance Measurement Impact: A study of US Local Government. Public Performance and Management Review. Sage Publications Vol. 26: 26-43

    Wolf, J. (1990). Managing change in nonprofit organizations. In D. L. Gies, J. S. Ott, & J. M. Shafritz (Eds.), The nonprofit organization: Essential readings (pp. 241-257). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    23

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id