154806679-HIV-infection-and-toxoplasmosis-cerebri.docx

39
LAPORAN PENDAHULUAN HIV dengan TOXOPLASMOSIS Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Departemen Medikal Disusun Oleh : Andi Khoirul A 135070209111040 JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of 154806679-HIV-infection-and-toxoplasmosis-cerebri.docx

LAPORAN PENDAHULUANHIV dengan TOXOPLASMOSIS

Disusun untuk memenuhi Tugas KepaniteraanDepartemen Medikal

Disusun Oleh :Andi Khoirul A135070209111040

JURUSAN ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2015

RENCANA KEGIATAN MINGGUAN

Departemen: MedikalPersepti: Andi Khoirul.aPeriode: 22 mei 2015 Preseptor: Ruang: 29kelompok : 8

A. Target yang ingin dicapaiDapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan HIV dengan komplikasi toxoplasmosis (25 Mei 2015)1. Mampu melakukan pengkajian data dasar pada pasien dengan HIV dengan komplikasi toxoplasmosis2. Mampu melakukan analisa data dari hasil pengkajian 3. Mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien 4. Mampu membuat prioritas masalah pada pasien5. Mampu menentukan tujuan dan kriteria hasil dari prioritas masalah6. Mampu menetapkan intervensi sesuai diagnose 7. Mampu menetapkan implementasi sesuai dengan intervensi8. Mampu menetapkan evaluasi dan mendokumentasikan semua proses keperawatan pada pasien

B. Rencana kegiatanTIKJenis KegiatanWaktu Kriteria hasil

1 Komunikasi terapeutik Pengkajian (anamnesa,pengkajian fisik,data penunjang)

22 mei 2015BHSPData yang dikumpulkan dapat mewakili kondisi klien yang sesungguhnya

2Menganalisa data dari hasil pengkajian22-24 Mei 2015Data dianalisis menjadi diagnose keperawatan

3Menetapkan diagnose dan prioritas masalah keperawatan 24-25 mei 2015Diagnose sesuai dengan kondisi actual klien

4Menetapkan tujuan sesuai criteria hasil22 25 mei 2015Tujuan dan criteria hasil sesuai dengan kondisi klien

5Mencari literature untuk membuat intervensi keperawatan22 25 mei 2015Literature mewakili informasi yang ingin dicapai

6Melakukan implementasi dan skill/keterampilan sebagai berikut : a. Memasang infuseb. Mengambil darah vena dan arteric. Memberikan terapi relaksasi napas dalam untuk meredakan nyerid. Memberikan latihan drainage postural, batuk efektif, dan perkusi dadae. Mengenali suara jantung normalf. Mengenali suara paru normalg. Melakukan transfusih. Memberikan posisi yang nyamna untuk pasien sesak napasi. Melakukan keterampilan dan prosedur pada pasien dengan masalah transportasi gas (melalui nasal kanul, RBM, NRBM)j. Melakukan kateterisasik. Memasang kateter NGTl. Melakukan monitoring pemberian obat kemoterapi menyiapkan pasien untuk tes kulit (alergi)m. Melakukan personal hygienen. Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien o. Melakukan monitoring kecukupan nutrisi dan kalorip. Melakukan injeksi (SC,IV,IM,IC)q. Melakukan nebulizer22 25 mei 2015Dapat melakukan prosedur sesuai dengan SOP

C. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan

D. Evaluasi Diri Praktikan

E. Rencana Tindak Lanjut

MengetahuiMalang, 22 Mei 2015Perceptor Klinik Ruang 29,Mahasiswa,

Endang Arliani S.Kep, Ners Andi Khoirul ANIM. 135070209111040

LAPORAN PENDAHULUANHIV/AIDS DENGAN TOXOPLASMOSIS

HIV/AIDSA. DefinisiAIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit karena penurunan sistem kekebalan tubuh (Samsuridjal Djauzi, 2004). Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada individu yang mengalami infeksi oportunistik, dimana individu tersebut mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering muncul antara lain demensia progresif, wasting syndrome, atau sarkoma kaposi (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya (yaitu kanker serviks invasif) atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya, TB) (Doengoes, 2000).

B. EtiologiAgen penyebab AIDS yaitu HIV (human immunodeficiency virus). HIV merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel dalam sistem imun, terutama sel limfosit T CD4+, dan menyebabkan kerusakan progresif pada sel-sel tersebut. Partikel infeksius HIV terdiri dari 2 rantai RNA dengan 1 protein inti, dikelilingi oleh selaput lemak (lipid envelope) yang didapat dari sel host namun mengandung protein virus. Siklus hidup HIV terdiri dari beberapa tahap yang saling berkesinambungan, yaitu infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi DNA virus ke dalam genome host, ekspresi gen virus, dan produksi partikel virus. HIV menginfeksi sel dengan selubung glikoproteinnya yang disebut gp120, berikatan dengan CD4 dan reseptor kemokin khusus (CXCR5 dan CCR5) pada sel-sel manusia. Dengan demikian, virus ini dapat menginfeksi sel-sel yang mengekspresikan CD4 dan reseptor kemokin tersebut. Tipe sel utama yang dapat diinfeksi oleh HIV yaitu sel T CD4+, tetapi sel ini juga dapat menginfeksi makrofag dan sel dendritik. Setelah berikatan dengan reseptor seluler, terjadi perubahan konformasi gp41 yang melepas fusion peptide, yang masuk ke dalam membran sel dan memungkinkan membran bergabung (fusi) dengan membran sel host dan virus dapat memasuki sitoplasma sel host. Dalam sitoplasma sel host, virus ini dapat melepas RNA. Kopi DNA dari RNA disintesis oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh virus, dan DNA berintegrasi ke dalam DNA sel host karena kerja dari enzim integrase. Virus DNA yang telah berintegrasi disebut dengan provirus. Jika sel T, makrofag, dan dendritik yang terinfeksi mengalami aktivasi oleh stimulus ekstrinsik, seperti infeksi mikroba lain, sel-sel ini akan berespon dengan mengaktifkan transkripsi gennya dan memproduksi sitokin. Efek merugikan dari respon normal ini yaitu akticasi seluler dan produksi sitokin dapat mengaktifkan provirus dan menyebabkan produksi RNA dan protein virus. Dengan demikian, virus dapat membentuk struktur inti, yang akan bermigrasi ke membran sel, mendapatkan selaput lemak (lipid envelope) dari sel host, dan terlepas menjadi partikel virus yang infeksius dan dapat menginfeksi sel-sel lain.

C. Patogenesis HIV/AIDSHIV menimbulkan infeksi laten pada sel-sel imun dan dapat mengalami reaktivasi untuk memproduksi virus yang infeksius. Produksi virus menyebabkan kematian sel yang terinfeksi dan limfosit yang tidak terinfeksi, defisiensi imun, dan manifestasi klinis AIDS. Infeksi HIV didapatkan dari hubungan seksual, jarum yang terkontaminasi yang digunakan pengguna obat intravena, transplacental transfer, atau transfuse darah atau produk darah yang terinfeksi. Setelah terjadi infeksi, mungkin terdapat viremia akut ketika virus terdeteksi dalam darah, dan host akan merespon sebagai infeksi virus ringan. HIV menginfeksi sel T CD4+, makrofag, dan sel dendritik dalam darah, port de entry melalui epithelia, dan organ limfoid, seperti nodus limfe. Perjalanan penyakit yang disebabkan infeksi HIV dimulai dengan infeksi akut, yang dikontrol oleh respon imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi kronik dari jaringan limfosit perifer (gambar 2). Virus ini biasanya masuk melalui epitel mukosa. Beberapa efek selanjutnya dapat dibagi dalam beberapa fase. Infeksi akut (early infection) dikarakteristikkan dengan infeksi pada sel T CD4 memori (yang mengekspresikan CCR5) pada mukosa jaringan limfoid, dan kematian sejumlah besar sel-sel yang terinfeksi. Karena jaringan mukosa merupakan tempat penyimpanan sel T terbesar dalam tubuh, dan tempat penyimpanan sel T memori, kehilangan sel T ini sering disebut deplesi limfosit. Dalam 2 minggu terjadinya infeksi, mayoritas sel T CD4 dapat mengalami kerusakan.

Deplesi sel T CD4 setelah infeksi HIV merupakan efek sitopatik dari virus, terjadi akibat produksi partikel virus dan kematian sel-sel yang tidak terinfeksi. Ekspresi gen virus yang aktif dan produksi protein mungkin dapat mengganggu sintesis sel T. dengan demikian, sel T yang terinfeksi akan mati selama proses ini. Kematian sel T selama perkembangan AIDS berlangsung jauh lebih banyak daripada jumlah sel yang terinfeksi dengan mekanisme yang masih belum diketahui dengan jelas. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi yaitu sel T teraktivasi secara kronik, mungkin oleh infeksi mikroba lain, dan stimulasi apoptosis yang kronik, karena AICD. Sel-sel lain yang terinfeksi, seperti sel dendritik dan makrofag, juga dapat mengalami kematian, menyebabkan kerusakan bentuk organ limfoid.Transisi dari fase akut menjadi fase kronik dikarakteristikkan dengan penyebaran virus, viremia, dan pembentukan respon imun host. Sel dendritik yang ada pada mukosa tempat entry virus dapat menangkap virus ini dan akan mengangkutnya ke organ limfoid perifer, dimana virus ini akan menginfeksi sel T. Ketika telah berada di jaringan limfoid, sel dendritik dapat menyampaikan HIV pada sel T CD4+ melalui kontak sel ke sel secara langsung. Dalam beberapa hari setelah terpapar dengan HIV, replikasi virus dapat dideteksi pada nodus limfa. Replikasi ini dapat menyebabkan viremia, selama sejumlah besar partikel HIV terdapat dalam darah pasien, disertai dengan sindrom HIV akut yang meliputi berbagai tanda dan gejala nonspesifik dari viral disease. Viremia yang terjadi memungkinkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T helper, makrofag, dan sel denditik pada jaringan limfoid perifer. Karena terjadi penyebaran infeksi, sistem imun adaptif membentuk respon imun humoral dan seluler yang ditujukan untuk melawan antigen virus. Respon imun ini mengontrol infeksi dan produksi virus secara parsial. Mekanisme control ini detunjukkan dengan penurunan viremia namun masih dapat dideteksi kurang lebih 12 minggu setelah paparan pertama (primer).Fase selanjutnya yaitu fase infeksi kronik dimana terjadi replikasi HIV terus menerus dalam nodus limfe dan limpa, serta terjadi kerusakan sel (gambar 3). Selama periode ini, sistem imun masih mampu melawan sebagian besar infeksi dengan mikroba oportunistik, dan terdapat sebagian kecil manifestasi klinik infeksi HIV. Oleh karena itu, fase ini juga disebut clinical latency period. Walaupun sebagian besar sel T yang terdapat dalam darah perifer tidak terinfeksi HIV, pada jaringan limfoid terjadi kerusakan sel T CD4+ yang terus berlangsung sehingga jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi mengalami penurunan. Pada awal terjadinya penyakit, tubuh masih mampu memproduksi sel T CD4+ baru sehingga jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi dapat dikembalikan secepat kerusakan yang terjadi. Pada fase ini, sekitar 10% sel T CD4+ dalam organ limfoid mungkin telah terinfeksi HIV, namun jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi yang terinfeksi sebesar < 0,1% dari total sel T CD4+ dalam tubuh. Namun, setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus yang terus berlangsung, kematian sel T, dan infeksi baru menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi dan organ limfoid.

D. Transmisi HIVHIV ditransmisikan dalam cairan tubuh yang mengandung HIV dan/atau sel T CD4+ yang terinfeksi. Cairan tubuh ini termasuk darah, cairan semen, sekresi vagina, cairan amnion, dan ASI. Transmisi HIV dapat terjadi melalui tiga rute mayor, yaitu:1) Kontak seksualKontak seksual merupakan penyebab tersering transmisi HIV, baik antara pasangan heteroseksual maupun antara pasangan homoseksual.2) Transmisi dari ibu ke bayiTransmisi dari ibu ke bayi merupakan mayoritas penyebab kasus AIDS pada anak. Tipe transmisi ini terjadi paling sering selama periode in utero atau selama persalinan, walaupun dapat juga terjadi penularan melalui ASI.3) Transfuse darah dan produk darah yang terinfeksi HIVInokulasi resipien dengan darah atau produk darah yang terinfeksi juga merupakan rute transmisi HIV yang sering terjadi.

E. Manifestasi KlinisManifestasi klinik infeksi HIV dikarakteristikkan dalam beberapa fase, yang berujung pada defisiensi imun.1) Acute HIV diseaseSegera setelah infeksi HIV, pasien mungkin dapat mengalami: demam dan malaise yang berhubungan dengan viremia sakit tenggorokan dengan faringitis limfadenopati general (pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut) ruam kulit (rashes)Gejala-gejala ini berkurang dalam beberapa hari dan selanjutnya memasuki periode clinical latency.2) Periode clinical latencySelama periode ini, biasa terjadi penurunan sel T CD4+ yang progresif pada jaringan limfoid dan kerusakan struktur jaringan limfoid. Selanjutnya mulai terjadi penurunan jumlah sel T CD4+.3) AIDSKetika hitung sel T CD4+ mencapai 200 sel/mm3 (nilai normal: 1500 sel/mm3) pasien memiliki risiko infeksi dan telah mengalami AIDS. Manifestasi klinik dan patologis dari AIDS terutama disebabkan peningkatan risiko terjadinya infeksi dan kanker karena defisiensi imun yang terjadi. a) InfeksiBeberapa infeksi oportunistik yang dapat terjadi yaitu: Protozoa (Toxoplasma, Cryptosporidium) Bacteria (Mycobacteruim avium, Nocardia, Salmonella) Fungi (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, Pneumocystis) Viruses (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)Pasien dengan AIDS menunjukkan defisiensi respon sel T sitolitik (CTL) terhadap virus, walaupun HIV tidak menginfeksi sel T CD8+.b) Tumor Lymphomas (including EBV- associated B cell lymphomas) Kaposi's sarcoma Cervical carcinomac) Encephalopathyd) Wasting syndrome

F. Pemeriksaan DiagnostikDiagnosis infeksi HIV tergantung pada adanya antibodi HIV dan/atau deteksi langsung HIV, atau salah satu dari metode tersebut. 1) Pemeriksaan antibody HIVKetika seseorang terinfeksi HIV, tubuh akan merespon dengan memproduksi antibody spesifik untuk antigen HIV. Antibodi ini secara umum terdapat dalam sirkulasi dalam 2-12 minggu setelah infeksi. Terdapat dua metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibody dalam darah pasien, yaitu ELISA dan Western blot.

Algoritma penggunaan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi HIV-1 dan HIV-2

Interpretasi hasil pemeriksaan ini yaitu:a. Interpretasi hasil pemeriksaan positif Terdapat antibody HIV pada darah pasien (pasien terinfeksi HIV, dan tubuh telah memproduksi antibody) HIV aktif dalam tubuh dan pasien dapat menularkannya pada orang lain Selain infeksi HIV, pasien belum tentu menderita AIDS Pasien tidak kebal terhadap AIDS (antibody tidak mengindikasikan kekebalan)b. Interpretasi hasil pemeriksaan negatif Antibody HIV tidak terdapat dalam darah pasien saat ini. Terdapat dua kemungkinan: Pasien tidak terinfeksi HIV Pasien terinfeksi, namun tubuh belum membentuk antibody terhadap HIV Pasien harus terus melakukan tindakan pencegahan. Hasil pemeriksaan ini tidak menunjukkan pasien kebal terhadap HIV atau pasien terinfeksi HIV, tetapi hanya tubuh belum memproduksi antibody terhadap HIV.

2) Viral LoadMenghitung level atau kadar RNA atau DNA dari HIV. Metode ini meliputi PCR (polymerase chain reaction), RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction), dan NASBA (nucleic acid sequence based amplification). Viral load tes yang banyak digunakan yaitu untuk menghitung kadar RNA HIV dalam plasma. Saat ini viral load test banyak digunakan untuk mengetahui respon terhadap terapi infeksi HIV. RT-PCR juga digunakan untuk mendeteksi HIV pada individu dengan risiko tinggi infeksi HIV sebelum pembentukan antibody, untuk konfirmasi EIA positif, dan untuk skrining neonates.

Hitung sel T CD4+Hitung sel T CD4+ merupakan pemeriksaan laboratorium sebagai indikator status imunologi pasien dengan infeksi HIV. Pengukuran ini, yang dapat dilakukan secara langsung atau dihitung sebagai produk % sel T CD4+ (dengan metode flow cytometry) dan hitung total limfosit (ditentukan dengan WBC dan persen diferensial) telah diketahui berhubungan dengan status imunologi. Pasien dengan hitung sel T CD4+