15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

download 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

of 18

Transcript of 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    1/18

      1

    ASPEK AGRARIA / PERTANAHAN DALAM PEMBANGUNAN /

    PENYELENGARAAN PROYEK KONSTRUKSI

    Oleh :

    H. Djoko Mulyono

    Pendahuluan

    Mengapa Pelaku Pembangunan harus mengetahui tentang pertanahan,

     jawabannya jelas karena segala macam Pembangunan pasti membutuhkan

    tanah sebagai sarananya, baik itu untuk pembangunan rumah/gedung, jalan,

    pertanian, perkebunan dan Pembangunan untuk sarana lainnya, semua itu

    tidak mungkin terlepas dari kebutuhan tanah sebagai sarananya, sehingga

    bagi siapa saja yang nantinya akan menggeluti pembangunan sudah

    sewajarnya harus mengerti tentang aturan-aturan yang menyangkut

    pertanahan.

    Tulisan ini akan menguraikan sedikit mengenai peraturan dasar pertanahan

    yaitu UU No. 5 tahun 1960 yang kita kenal dengan Undang-undang Pokok

     Agraria (UUPA), dimana Undang-undang ini mengatur tentang aturan main

    dibidang Pertanahan, dan termasuk untuk memperhatikan, menjaga dan

    melestarikan lingkungan dan lain-lain.

    UU No. 5 tahun 1960 (UUPA)

    Sebelum ada UUPA, Penjajah Belanda memberlakukan Undang-Undang

    yang mengatur mengenai Agraria di Indonesia dengan dua aturan yaitu:

    1. Aturan yang berlaku terhadap golongan yang ikut dan tunduk pada

    hukum Barat yaitu golongan Eropa, Cina, India dan Timur Asing

    dimana jenis Hak atas tanah yang dipunyai dan yang telah terdaftar

    adalah Eigendom Verponding, Erfach, Opstal dan lain-lain.

    2. Aturan terhadap golongan pribumi/golongan asli Indonesia dimana

     jenis Hak atas tanah yang dipunyainya dan telah terdaftar adalah

    Verponding Indonesia dan ada juga yang mempunyai Eigendom

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    2/18

      2

    Verponding, sedangkan terhadap tanah yang baru dikenakan pajak

    dan belum didaftarkan di Kantor Agraria (Kadaster), diberi nama

    Girik/Kikitir, Petuk.

    Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melihat bahwa susunan kehidupan

    rakyatnya termasuk perekonomiannya masih mengutamakan dan bercorak

    agraria di mana bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang

    Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun

    masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa, Tetapi Hukum

     Agraria yang berlaku pada waktu itu justru terasa menghambat tercapainya

    cita-cita bangsa ini, sehingga Pemerintah Indonesia yang setelah menggodok

    sebuah Undang-Undang semenjak masa Kemerdekaan, maka pada tanggal

    24 September 1960 Pemerintah RI mengundangkan UU No. 5 tahun 1960

    tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang kemudian kita kenal

    dengan nama UUPA.

    Undang-Undang tentang Agraria ini menjadi Sangat penting untuk segera

    diundangkan mengingat:

    1. Hukum Agraria yang ada (Hukum Belanda) tersusun berdasarkan

    tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah penjajahan, sehingga

    bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara Indonesia

    didalam melaksanakan pembangunannya.

    2. Bahwa sebagai akibat dari kepentingan politik pemerintah penjajahan

    itu maka hukum agraria yang ada dibuat mempunyai sifat dualisme,

    yaitu disamping berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, ada

     juga peraturan-peraturan yang didasari dari hukum barat, dimana hal

    tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah antar golongan dan

    dapat menimbulkan perpecahan yang membahayakan perkembangan

    pembangunan bangsa.

    3. Hukum Agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    3/18

      3

    Dengan alasan tersebut diatas maka segera diundangkan UUPA yang tidak

    bersifat dualisme, dibuat sederhana, serta menjamin kepastian hukum

    sehingga pada pokoknya tujuan UUPA adalah:

    a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,

    yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,

    kebahagiaan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam

    rangka masyarakat adil dan makmur.

    b. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum

    mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Pada UUPA pasal 1 ayat 1 meletakkan dasar-dasar kenasionalan bahwa

    “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh

    rakyat Indonesia, yang bers atu sebagai bangsa Indonesia”. Ini berarti

    bahwa bumi, air dan ruang angkasa didalam wilayah Republik Indonesia tidak

    semata-mata menjadi hak dari pemiliknya melainkan milik seluruh bangsa

    Indonesia dan juga tanah-tanah didaerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah

    semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang

    bersangkutan tetapi juga merupakan milik seluruh bangsa Indonesia karena

    hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa merupakan

    semacam hubungan hak rakyat yang diangkat pada tingkatan yang paling

    atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara Indonesia.

     Adapun hubungan antar bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa bersifat

    abadi dengan syarat selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa

    didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Dijelaskan dalam UUPA pasal 2 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa “  Bumi, air

    dan ru ang angkasa serta kekayaan alam y ang terkandung didalamnya,

     pada tingkatkan tertinggi dikuasai oleh Negara”.  Perkataan “Dikuasai”

    dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang

    memberi kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari

    Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan tertinggi:

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    4/18

      4

    a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

    persediaan dan pemeliharaannya.

    b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian

    dari) bumi, air dan ruang angkasa.

    c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

    orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

    ruang angkasa.

    Tanah dikuasai oleh negara dan hak-hak menguasai dari negara memberi

    wewenang untuk mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunan,

    persedian dan pemeliharaan tanah dengan tujuan mencapai sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan bagi

    masyrakat hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

    UUPA Pasal 3 menentukan bahwa “Pelaksana hak rakyat  dan hak-hak yang

    serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, dapat diakui sepanjang

    menurut kenyataannya tanah dan masyarakat adat tersebut masih ada dan

    hukum adat masíh berlaku, Namun hal tersebut juga harus sesuai dengan

    kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta

    tidak boleh bertentangan  dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan

    yang lebih tinggi”. 

    UUPA Pasal 4 menyatakan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara

    maka Negara dimana hal ini adalah pemerintah dapat memberikan macam-

    macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan

    dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dan

    badan-badan hukum.

    UUPA Pasal 6 menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

    sosial. Ini berarti bahwa hak apapun diatas tanah tersebut yang diberikankepada perorangan ataupun badan hukum tidak dibenarkan bahwa tanahnya

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    5/18

      5

    dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan

    pribadinya, apalagi kalau hal tersebut menimbulkan kerugian bagi

    masyarakat.

    Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari pada

    haknya sehingga sudah sewajarnya bahwa tanah tersebut harus dipelihara

    dengan baik-baik agar bertambah kesuburannya dan jangan ditelantarkan

    yang dapat menjadikan kerusakan bagi tanah atau menyebabkan

    penyerobotan dari pihak-pihak lain yang membutuhkannya.

    Tanah dikuasai oleh negara dan hak-hak menguasai dari negara memberi

    wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

    persediaan dan pemeliharaan tanah dengan tujuan mencapai sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan bagi

    masyarakat hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

    UPA Pasal 16 menentukan macam-macam hak yang dapat dipunyai oleh

    perorangan maupun badan hukum yaitu :

    a. Hak Milik (HM)

    b. Hak Guna Bangunan (HGB)

    c. Hak Guna Usaha (HGU)

    d. Hak Pakai (HP)

    e. Hak Sewa

    f. Hak Membuka Tanah

    g. Hak Memungut Hasil Hutan

    h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang

    akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

    sementara sebagaimana yang disebut dalam UUPA pasal 5.3 yaitu

    hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah

    pertanian.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    6/18

      6

    Hak Milik: adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

    dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan semua hak atas

    tanah mempunyai fungsi social, dan yang dapat mempunyai hak milik adalah

    Warga Negara Indonesia secara pribadi-pribadi (Badan Hukum tidak

    diperkenankan mempunyai hak milik).

    HGU: Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh

    Negara. Hak ini diberikan bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang

    pertanian, perikanan, atau perternakan. Jangka waktu yang diberikan adalah

    25 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun lagi.

    HGB: adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas

    tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu 30 tahun dan dapat

    diperpanjang 20 tahun. Hak ini diberikan kepada Warga Negara Indonesia

    dan Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan

    berkedudukan di Indonesia.

    Hak Pakai: adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

    tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang

    memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

    pemberiannya oleh pejabat yang berwenang. Hak ini dapat diberikan kepada

    Warga Negara Indonesia ataupun orang asing yang berkedudukan di

    Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan

    berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang mempunyaiperwakilan di Indonesia.

    Hak-hak tersebut diatas hapus dan menjadi tanah negara karena:

    1. Karena dicabut haknya oleh Negara karena tanah tersebut akan

    digunakan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa

    dan Negara namun akan diberikan ganti rugi yang layak dan menurut

    aturan Undang-Undang yang berlaku.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    7/18

      7

    2. Kecuali hal milik maka tanah tersebut hapus setelah masa berlaku

    habis dan tidak diperpanjang.

    3. Hak tanah tersebut diserahkan kepada Negara secara suka rela oleh

    pemilik tanah.

    4. Tanah tersebut ditelantarkan sesuai dengan aturan mengenai tanah

    yang ditelantarkan.

    5. Tanah tersebut musnah.

    Dengan berlakunya UUPA, maka Hak-Hak Barat maupun Hak-Hak Adat yang

    berlaku menurut Hukum Agraria yang lama harus dikonversi menjadi hak-hakyang telah diciptakan sesuai UUPA pasal 16.

    Khusus untuk tanah bekas Hak-Hak Barat pendaftaran konversinya bagi

    perorangan yang pada tanggal 24 September 1960 dapat menunjukkan bukti

    kewarganegaraan Warga Negara Indonesia dikonversi menjadi Hak Milik

    (HM), sedangkan yang tidak bisa menunjukkan bukti kewarganegaraan

    Warga Negara Indonesia, pendaftarannya dikonversi menjadi Hak Guna

    Bangunan selama 20 tahun dan berakhir tanggal 24 September 1980.

    Sedangkan bagi tanah bekas Hak Adat maka pendaftarannya dikonversi

    menjadi Hak Milik hanya terhadap bidang tanah yang pada tanggal 24

    September 1960 sudah dikenakan pajak tanah yang biasa disebut Girik,

    Kikitir atau Petuk. Sehingga untuk yang baru dikenakan pajak sesudahtanggal tersebut diatas tidak dapat dikonversi menjadi Hak Milik dan tanahnya

    dinyatakan sebagai Tanah yang dikuasai oleh Negara atau umumnya

    masyarakat menyebutnya dengan Tanah Negara.

    Tanah bekas Hak Barat yang pemiliknya bukan Warga Negara Indonesia,

    diberi kesempatan sejak 24 September 1960 untuk selama satu tahun untuk

    mengalihkan tanahnya kepada Warga Negara Indonesia dan apabila tidak

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    8/18

      8

    dilakukan maka tanahnya akan menjadi tanah dengan status dikuasai

    Negara. Demikian juga tanah yang walaupun dikonvensi menjadi HGB namun

    setelah haknya berakhir tidak diperpanjang lagi maka tanahnya menjadi tanah

    yang dikuasai oleh Negara.

    Tanah yang dikuasai Negara atau biasanya kita kenal dengan “Tanah

    Negara” ini berasal dari 3 kategori :

    1. Tanah yang secara murni/belum pernah mendapat Hak atas Tanah

    baik menurut Hukum Agraria Penjajah maupun UUPA termasuk

    didalamnya adalah tanah yang pengelolaannya diserahkan kepada

    Departemen Kehutanan (tanah hutan).

    2. Tanah yang haknya (HM, HGU, HGB dan HP) sudah gugur baik

    karena dicabut/dibatalkan atau daluarsa (kecuali Hak Milik yang tidak

    ada batas waktunya melainkan dicabut/dibatalkan.

    3. Tanah adat yang tidak bisa dibuktikan dengan surat pajak (girik) pada

    tanggal 24 September 1960.

    Bagi kita sebagai pelaku pembangunan rumah/gedung pada umumnya

    memanfaatkan tanah-tanah dengan Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak

    Guna Usaha dan Hak Pakai serta tanah-tanah negara yang telah dapat

    dikuasai secara fisik dengan membayar ganti rugi kepada para parapenggarap apabila ada penggarap.

    Hal-hal yang harus diperhatikan bagi siapa saja untuk memulai usahanya

    sebagai Pengembang adalah :

    1. Apabila pengembang tersebut berbentuk suatu Badan Hukum, maka

    hak atas tanah yang nantinya dimiliki bukan Hak Milik (HM) tetapi

    Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Hak

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    9/18

      9

    Pakai (HP), karena Badan Hukum tidak diperbolehkan mempunyai

    Hak Milik.

    2. Badan Hukum yang dimilikinya harus mempunyai Anggaran Dasar

    dan Anggaran Rumah Tangga yang sesuai dengan usaha yang akan

    dikembangkannya, sudah disahkan oleh Departemen Hukum dan

    Hak Asasi Manusia, mempunyai NPWP, Surat Ijin Usaha

    Perdagangan (SIUP), ijin sebagai pemborong dan lain-lain.

    3. Kalau hal ini sudah siap, maka pengembang mengurus ijin Prinsip

    dari Instansi Pemda yang berwenang. Ijin ini perlu dilakukan karena

    kita perlu menunjukkan kepada PEMDA bahwa usaha yang akan

    dikembangkan didaerahnya secara prinsip mendukung rencana

    pengembangan daerah itu sendiri.

    4. Mengurus Ijin Lokasi (di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta namanya

    Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah/SIPPT). Ijin Lokasi ini pada

    dasarnya ijin yang diajukan kepada Pemda setempat untuk

    membebaskan lahan tempat usaha yang akan dikembangkan dimana

    lokasi tersebut telah sesuai dengan tata ruang daerah tersebut.

    Waktu yang di ijinkan untuk melakukan pembebasan adalah 1 tahun

    dan dapat diperpanjang selama 1 tahun lagi. Apabila setelah 2 tahun

    maka ijin Lokasi akan dievaluasi dimana bagi pengembang yang bisa

    membebaskan diatas 60% dari luas lahan yang disetujui untukdibebaskan dalam Ijin Lokasi maka kepada pengembang tersebut

    masih diijinkan untuk diperpanjang 1 tahun lagi tapi apabila hasil

    evaluasi menunjukkan luas yang dibebaskan kurang dari 60% maka

    Ijin Lokasi tidak dapat diperpanjang lagi dan Pengembang tersebut

    harus tetap menyelesaikan pembangunan dengan luas lahan yang

    telah dibebaskan.

    5. Ijin Lokasi telah banyak disalah artikan. Bagi sebagian Pengembang

    yang nakal Ijin Lokasi dinyatakan sebagai ijin untuk memiliki lahan

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    10/18

      10

    dengan semena-mena dan digunakan alat untuk menakut-nakuti

    pemilik lahan untuk menekan dengan harga semurah mungkin. Dan

    pemilik lahan yang tidak mengetahui menganggap bahwa hal

    tersebut benar dan pasrah dengan harga yang ditawarkan oleh

    pengembang,

    6. Setelah pengembang mempunyai ijin lokasi maka selanjutnya

    dilakukan kegiatan pembebasan lahan yang sesuai aturan berlaku,

    adil dan wajar sesuai dengan hak atas tanahnya, maka mungkin

    dapat dalam bentuk Jual Beli, Tukar Menukar, Pelepasan Hak Atas

    Tanah dan bentuk lain yang dimungkinkan oleh hukum. Dalam

    pembebasan ini mungkin saja diikut sertakan aparat PEMDA

    (Lurah/Camat), POLRI, RW, RT, Tokoh Masyarakat serta Badan

    Pertanahan Nasional (BPN). Yang sangat penting agar pembebasan

    berjalan lancar, aman dan semua pihak merasa mendapat manfaat

    yang wajar/adil serta tidak diintimidasi, ditipu atau diperlakukan tidak

    manusiawi (yang dimaksud disini pihak Pengembang/ Developer).

    7. Setelah pengembang menguasai sepenuhnya atas tanah akan

    digunakan untuk pembangunan, selanjutnya Pengembang harus

    berurusan dengan Badan Pertanahan setempat untuk mengurus

    proses sertifikat bagi tanah-tanah yang belum bersetifikat untuk

    kemudian dibuatkan sertifikat induk atas nama Perusahaan dengan

    cara penggabungan dari sertifikat-sertifikat atas tanah yang sudah

    dibebaskan. Sementara apabila dalam pembebasan tanah ada

    Sertifikat Hak Milik maka status hak tersebut haruslah diturunkan

    menjadi HGB agar dapat digabungkan.

    8. Setelah pengembang mempunyai Sertifikat induk maka segera dibuat

    site plan dimana pada umumnya walaupun pembebasan belum

    selesai sudah dibuatkan site plan hal ini dapat menimbulkan banyak

    masalah karena apabila site plan tersebut tidak dapat dibebaskan.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    11/18

      11

    9. Langkah berikutnya mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Induk

    Kepala Dinas Tata Kota yang merupakan bagian dari PEMDA. Disini

    tentu tidak hanya menyangkut soal bangunan/rumah saja tapi aspek

    keindahan, kesehatan, kebersihan, fasilitas drainage, sampah,

    keamanan, fasilitas umum, fasilitas social, penerangan, air bersih,

    dan lain-lain juga menjadikan pertimbangan untuk dberikannya IMB

    Induk.

    10. Setelah mempunyai IMB maka dapat dimulailah pembangunan

    dengan membangun pematangan infrastruktur dan membuat rumah

    contoh. Rumah contoh harus sudah ada sehingga dapat dimulai

    promosi kepada konsumen yang tentu ingin melihat rumah contoh

    tersebut disamping brosur-brosur penawaran dengan informasi yang

    seluas-luasnya. Dalam praktek yang ada dengan adanya Rumah

    Contoh tersebut biasanya calon pembeli mulai tertarik untuk

    membicarakan banyak hal, misalnya bentuk transaksi apa yang

    dapat dilakukan bila calon pembeli tersebut telah secara relatif puas

    dan yakin dengan Rumah Contoh tersebut dengan segala

    kelengkapannya.

    11. Apabila sudah ada transaksi biasanya dimulai dengan melakukan

    transaksi dalam bentuk “pengikatan untuk melakukan jual beli” (PJB)

    dengan persyaratan-persyaratan tertentu, kemudian setelah

    persyaratan tersebut dipenuhi kedua belah pihak antara lain sudah

     Akta Jual Beli di hadapan Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah

    (PPAT) diwilayah mana PPAT tersebut berwenang, Seorang PPAT

    dapat dijabat oleh seseorang yang memang profesinya semata-mata

    hanya sebagai PPAT atau dapat dirangkap oleh seorang PPAT yang

     juga sebagai Notaris atau Camat (Ex officieo/karena pejabat).

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    12/18

      12

    Dalam pembangunan ini, kita harus juga bijaksana dalam pengelolaan,

    dan penataan sumber daya alam baik dalam lingkungan lahan/tanah

    diatas rumah/Bangunan tersebut dibangun dan juga dilingkungan

    sekitarnya. Misalnya persoalan air, air kini merupakan barang yang

    biasa saja atau sepele lagi, yang tentunya membutuhkan penataan

    yang serius, untuk itu haruslah dilakukan suatu kebijakan yang serius

    dan hati-hati dalam mengelola barang yang satu ini, antara lain:

    menjaga jangan sampai kekeringan dan kebanjiran, sebagai

    konsekuensinya merancang dengan baik soal drainage, tempat

    resapan air, water catchment, jenis tumbuh-tumbuhan yang ditanam,

    penggunaan pompa air tanah (terutama pompa air tanah dalam atau

    lazim disebut deep well pump) dan policy lain dalam mengelola air.

    Dalam skala yang lebih besar ini dapat mendorong kerja sama yang luas,

    misal bekerja sama dalam mengelola bendungan, pantai, sungai, air terjun,

    perkebunan, tambak ikan/udang, air panas dari gunung atau dari dalam bumi

    dan lain-lainnya.

    Penjualan Strata Title (Rumah Susun) 

     Aturan main Strata Title atau Rumah Susun diatur dalam Undang-Undang

    Rumah Susun (UURS) yaitu UU No. 16 tahun 1985.

    UURS ini memuat XII Bab dimana secara ringkas Bab-bab ini menjelaskan

    sebagai berikut:

    Bab I adalah ketentuan Umum dimulai dari Pasal I yang memuat 12 ayat dan

    menjelaskan mengenai arti Rumah Susun, satuan rumah susun, lingkungan,

    bagian bersama, tanah bersama, hipotik, fidusia, pemilik, penghuni,

    perhimpunan penghuni dan badan pengelola.

    Bab II adalah Landasan dan Tujuan terdiri dari pasal 2 dan 3 yang

    menjelaskan mengenai landasan pembangunan rumah susunnya adalah

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    13/18

      13

    kesejahteraan umum, keadilan dan pemerataan serta keserasian dan

    keseimbangan dalam peri kehidupan sedangkan tujuannya adalah memenuhi

    kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan yang

    berpenghasilan rendah, meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah

    didaerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam

    dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serási dan seimbang

    dan juga menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.

    Bab III adalah Pengaturan dan Pembinaan Rumah Susun memuat satu pasal

    yaitu pasal 4 yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Pemerintah yang dapat

    diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

    Bab IV adalah Pembangunan Rumah Susun terdiri atas pasal 5, 6 dan 7 yang

    menjelaskan mengenai kapan, kenapa, oleh siapa Rumah Susun dibangun,

    syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi, diatas hak atas tanah apa saja

    Rumah Susun didirikan dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi, oleh

    penyelenggara pembangunan Rumah Susun.

    Bab V adalah Pemilik Satuan Rumah Susun terdiri atas pasal 8, 9, 10 dan 11

    yang menjelaskan hak-hak yang dapat dipunyai oleh Pemilik Satuan Rumah

    Susun, bagian-bagian Rumah Susun yang merupakan pemilikan bersama

    maupun hak atas tanahnya serta sertifikat hak atas satuan rumah susun atau

    disebut sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (HM Sarususun)

    Bab VI adalah Pembebanan dengan Hipotik dan Fidusia terdiri atas pasal

    12,13,14,15,16 dan 17 dimana dijelaskan bahwa Rumah Susun berikut tanah

    tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu-

    kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan

    dibebani Hipotik jika tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan dan dibebani

    Fidusia jika tanahnya tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. Juga diatur

    mengenai tata cara pembebanan tersebut yaitu harus dilakukan dengan akta

    yang dibuat oleh PPAT dan juga tata cara pendaftaran di kantor pertanahan

    serta pemberian sertifikat Hipotik dan tata cara penghapusan Hipotik apabila

    pinjaman telah dilunasi.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    14/18

      14

    Bab VII adalah penghunian dan pengelolaan Rumah Susun terdiri atas pasal

    18 dan 19 dimana dijelaskan bahwa Rumah Susun tersebut baru bisa dijual

    apabila pembangunannya telah selesai dan mendapat ijin kelayakan untuk

    dihuni dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Juga dijelaskan kewajiban

    bagi penghuni Rumah Susun untuk membentuk Perhimpunan Penghuni

    dimana Perhimpunan Penghuni diberi kedudukan sebagai Badan Hukum

    berdasarkan UURS ini.

    Bab VIII adalah Pengawasan yang terdiri atas pasal 20 mengenai

    pengawasan yang sepenuhnya ditugaskan kepada Pemerintah.

    Bab IX adalah ketentuan Pidana yang terdiri atas pasal 21, 22 dan 23 yang

    dikenakan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan pasal 17 dan pada

    18 dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun

    atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah).

    Bab X adalah Ketentuan lain, Bab XI adalah Peralihan dan Bab XII adalah

    ketentuan Penutup.

    Dari UURS kita mendapatkan beberapa hal yang sangat perlu diperhatikan

    oleh para usahawan yang akan membangun Rumah Susun (Strata Title)

    yaitu:

    1. Tujuan dibangunnya Rumah Susun adalah untuk memenuhi kebutuhan

    perumahan yang layak bagi rakyat yang berpenghasilan rendah.

    2. Rumah Susun hanya dapat dibangun diatas tanah dengan status Hak

    Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara dan Hak

    Pengelolaan. Khusus untuk status tanah hak pengelolaan,

    pengembang wajib menyelesaikan status tanahnya menjadi Hak Guna

    Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    15/18

      15

    3. Pembangunannya wajib memisahkan Rumah Susun atas satuan dan

    bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh

    instansi pemerintah yagn berwenang dan memberi kejelasan batas

    satuan yang dapat dipergunakan secara terpisah untuk perseorangan,

    batas dan usuran atas bagian bersama dan benda bersama yang

    menjadi haknya masing-masing satuan dan batas dan uraian tanah

    bersama dan besarnya bagian yang menjadi haknya masing-masing

    satuan.

    4. Rumah Susun berikut tanahnya oleh pengembang dapat dijaminkan

    hutang dengan Hipotik apabila status tanahnya Hak Milik atau Hak

    Guna Bangunan dan Fidusia apabila status tanahnya adalah Hak

    Pakai atas Tanah Negara. Demikian juga terhadap bagian bangunan

    yang telah diterbitkan sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

    (HM Sarususun) milik perorangan dapat dijadikan jaminan hutang

    dengan Hipotik apabila status tanahnya Hak Milik atau Hak Guna

    Bangunan dan Fidusia apabila status tanahnya Hak Pakai atas Tanah

    Negara.

    5. Rumah Susun tidak bisa dijual sebelum bangunannya selesai

    dibangun dan mendapat ijin kelayakan untuk dihuni dari pemerintah

    daerah yang bersangkutan.

    6. Penghuni Rumah Susun wajib membentuk Perhimpunan Penghuni

    yang berkewajiban mengurus kepentingan bersama para pemilik dan

    penghuni Rumah Susun, untuk itu perlu menunjukan badan pengelola

    yang bertugas menyelenggarakan pengelolaan dan pengawasan

    terhadap bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan

    pemeliharaan serta perbaikannya

    7. Pengembangan yang lalai dalam melaksanakan butir 5 diatas menurut

    UURS akan dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 10

    (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya 100.000.000,- (seratus

     juta Rupiah)

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    16/18

      16

    Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan diatas maka kita perlu

    menyikapi UURS ini dengan seksama sehingga hal-hal yang tidak diinginkan

    dalam pembangunan dan penjualan Rumah Susun tidak akan terjadi.

    Proses penjualan Strata Title pada awal mempunyai 2 (dua) pendapat

    hubungannya dengan UURS (Undang-Undang Rumah Susun) yang disusun

    pada tahun 1985. Satu sisi berpendapat penjualan Strata Tittle melanggar

    ketentuan UURS karena penjualan setiap satuan Rumah Susun hanya boleh

    dilakukan bila seluruh unit sudah selesai dibangun, sisi lain menyatakan

    penjualan tersebut tidak melanggar ketentuan UURS karena pengutipan

    pembayaran yang dilakukan dalam proses penyelesaian atau dalam rencana,

    yang dilakukan bukan jual-beli tetapi ikatan jual beli dan jual beli riil baru akan

    dilaksanakan sesuai dengan UURS.

    Pendapat yang menyatakan melanggar UURS adalah jual beli secara yuridis

    keharusan adanya sertifikat hak milik atas satuan rusun dan ijin layak huni

    sehingga pelayanan kewajiban penjual diberikan secara tuntas serta manfaat

    lainnya memungkinkan pemilik mengagunkan Rumah Susunnya.

    Untuk menyikapi ini perlu adanya pengaturan tentang pengelolaan Rumah

    Susun, mengingat bahwa dalam pemilikan satuan Rumah Susun yang

    bersifat perorangan dan terpisah meliputi hak atas tanah bersama, bagian

    bersama dan benda bersama. Sehingga pemilik satuan Rumah Susun dapat

    melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap milik perseorangan maupun

    milik bersama.

    Pembangunan “Subway”  yang multi-aspek.

    Sehubungan adanya rencana pemerintah membuat pembangunan Subway,

    maka pada tulisan ini akan disampaikan sedikit mengenai pembangunan

    Subway.

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    17/18

      17

    Dari berbagai rumusan pemikiran pakar hukum tanah/agraria terdapat 2

    (dua) opini tentang pembangunan “subway” yang dihubungkan dengan UUPA

    pasal 4 yaitu:

    1. Perlu dikembangkan pengaturan tentang aspek teknis pembangunan

    subway beserta kelengkapannya dan peraturan lain yang revelan

    mengingat dampak social-ekonomi yang dapat ditimbulkan.

    2. Pasal tersebut sudah dapat mengakomodasi pemberian hak terhadap

    ruang bawah tanah.

    Karena pembangunan subway ditujukan untuk keamanan dan kenyamanan

    para penggunanya maka sejak awal proses pembangunannya semua aspek

    perlu diperhatikan seperti;

    - menampung keluhan warga yang terkena pencemaran suara

    (kebisingan), pencemaran udara (debu) pada saat pengalian

    terowongan.

    - Jaminan penggantian kerusakan bangunan, isnstalasi.

    - Relokasi sementara para waraga diarea pembangunan

    - Penggantian ganti rugi dan berbagai aspek lainnya.

    Mengenai penguasaan hak dibawah tanah dengan penguasaan hak

    diatasnya ada beberapa kemungkinan yang dapat dijadikan alternatif:

    1. Bila subway  dibangun, dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah

    maka dapat diberikan hak pengelolaan/HPL bawah tanan (BT).

    2. Bila subway  dibangun, dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta

    maka pemerintah mempunyai HPL (BT), dan di atas HPL ini dapat

    diberikan HGB (BT) kepada pihak swasta.

    3. Bila subway  dibangun oleh pemerintah tetapi dikelola dan

    dioperasikan oleh pihak swasta, maka pemerintah mempunyai HPL

    (BT) pada pihak swasta

    4. Untuk pengunaan lain dapat diberikan HGB (BT), Hak Pakai (BT), Hak

    Sewa (BT) bahkan mungkin juga Hak Milik (BT).

  • 8/18/2019 15012011140190_4_2. Aspek Agraria Dalam Kontrak Konstruksi

    18/18

    18

    Melihat tujuan pembangunan subway  adalah kemanfaatan bagi masyarakat

    maka proses pembangunannya harus sesuai dengan prinsip-prinsip

    keterbukaan, kompetisi, pertanggung-jawaban, transparan dan dukungan

    peraturan yang jelas agar hanya mereka yang unggul dalam memenuhi

    prinsip-prinsip diatas dipercaya membangun subway .

     Akhirnya, marilah membangun tidak saja dalam arti kata yang seluas-luasnya

    tapi juga sebaik-baiknya untuk semuanya.