126411361 Thalasemia Doc
-
Upload
lathifanur -
Category
Documents
-
view
60 -
download
1
description
Transcript of 126411361 Thalasemia Doc
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Talasemia beta tersebar luas di daerah mediterania seperti Itali,
Yunani, Afrika Utara, Timur Tengah, India Selatan, Srilangka sampai
kawasan asia tenggara. Frekuensi talasemia beta di asia tenggara adalah antara
3-9&. Di dapat pula pada negro Amerika, daerah-daerah tertentu di Italia dan
negara-negara mediterania frekuensi carrier thalasemia beta dapat mencapai
15-20%. Di Thailand 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain
thalasemia alfa. Di Indonesia belum jelas, di duga sekitar 3-5% sama seperti
Malasia dan Singapura. Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat
thalasemia sekitar 6-10% dari jumlah populasi. Palembang; 10%, Makassar;
7,8%, Ambon; 5,8%, Jawa; 3-4%, Sumatera Utara; 1-1,5%
Faktor genetika ternyata menjadi pemicu talasemia. Temuan
mengejutkan ini disampaikan tim peneliti dari lembaga biologi molekuler
Eijkman setelah melakukan penelitian di Sumatera dan Nusa Tenggara Timur
(NTT). Penderita talasemia di wilayah Sumatera Utara cukup kecil, tapi di
Sumatera Selatan bisa mencapai 15 persen. Sementara di Sumba, NTT,
penderita talasemia mencapai 36 persen. Perbedaan jumlah ini cukup
signifikan karena membuktikan kaitan talasemia dengan faktor genetika."Bisa
jadi di Sumba, founder atau pemilik asal gen bawaan talasemia saling menikah
dengan ras sama di daerahnya. Akibatnya di sana terpusat frekuensi jumlah
talasemia yang tinggi," jelas Dr. Iswari Setianingsing, PhD, peneliti senior di
Lembaga Eijkman kepada SH di Jakarta Rabu(22/5).
Mendukung pendapat tersebut, ilmuwan biologi molekuler Prof. Dr.
Sangkot Marzuki mengatakan talasemia merupakan penyakit genetik tipikal
penduduk wilayah tropis seperti Sardinia, Italia, Ciprus, Mediteranian semua
negara Asia sampai Papua Nugini.
Namun bukan berarti talasemia tidak menjadi masalah di negara
berhawa dingin seperti Amerika Serikat (AS), Belanda, Jerman dan
1
sebagainya. Sangkot menjelaskan, akibat migrasi penduduk wilayah tropis ke
barat maka mereka membawa gen talasemia ke daerah tersebut. Terlebih
setelah terjadinya kawin silang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian dari Thalasemia?
2. Apa etiologi dari Thalasemia?
3. Apa saja jenis-jenis dari Thalasemia?
4. Apa tanda dan gejala dari Thalasemia?
5. Apa saja patofisiologi dari Thalasemia?
6. Apa saja pathway dari Thalasemia?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk Thalasemia?
8. Bagaimana penatalaksanaan yang harus dilakukan untuk mengetahui
penyakit Thalasemia?
9. Bagaimana pengkajian penyakit Thalasemia?
10. Bagaimana rencana keperawatan pada anak dengan penyakit
Thalasemia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang penyakit Thalasemia
2. Untuk mengetahui tentang penyebab penyakit Thalasemia
3. Untuk mengetahui jenis-jenis penyakit Thalasemia
4. Untuk mengetahui tentang tanda dan gejala dari Thalasemia
5. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari Thalasemia
6. Untuk mengetahui tentang pathway dari Thalasemia
7. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari Thalasemia
8. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan yang harus dilakukan untuk
mengetahui penyakit Thalasemia
9. Untuk mengetahui pengkajian penyakit Thalasemia
10. Untuk mengetahui rencana keperawatan pada anak dengan penyakit
Thalasemia
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif (Mansjoer, 2000:397).
Thalasemia adalah sekelompok penyakit/kelainan herediter yang
heterogen disebabkan oleh adanya defek produksi hemoglobin normal, akibat
kelainan sintesis rantai globin dan biasanya disertai kelainan morfologi
eritrosit dan indeks-indeks eritrosit (Soeparman 1999).
Dari ketiga pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Thalasemia
merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara
resesif, dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah
sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari) dan juga
disebabkan oleh adanya defek produksi hemoglobin normal, akibat kelainan
sintesis rantai globin dan biasanya disertai kelainan morfologi eritrosit dan
indeks-indeks eritrosit.
B. PENYEBAB
Penyebab Thalasemia bersifat primer dan sekunder:
- Primer : Berkurangnya sintesis Hb A dan Eritropoesis yang tidak
efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intra medular.
- Sekunder : Defisiensi asam solat, bertambahnya volume plasma intra
vaskular yang mengakibatkan hemodilusi dan destruksi
eritrosit oleh sistem retikulo endotellal
C. Klasifikasi Thalasemia
a. Thalassemia-α (gangguan pembentukan rantai α)
Sindrom thalassemia-α disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada
kromosom 16 (terdapat 2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi
3
seperti gangguan mRNA pada penyambungan gen yang menyebabkan rantai
menjadi lebih panjang dari kondisi normal.
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1. Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α-Thalassemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin α sedangkan tiga lokus globin yang
ada masih bisa menjalankan fungsi normal sehingga tidak terlihat gejala-
gejala bila ia terkena thalassemia.
2. Delesi pada dua rantai α (α-Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari
HbH dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti anemia kronis yang
ringan dengan eritrosit hipokromik mikrositer dan MCV(mean
corpuscular volume) 60-75 fl.
3. Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)
Delesi ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai anemia
hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan
retikulositosis. HbH terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak
terbentuknya rantai α sehingga rantai β tidak memiliki pasangan dan
kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β4). Dengan banyak
terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit
sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Penderita dapat
tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl) dan
MCV(mean corpuscular volume) 60-70 fl.
4. Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak
Hb Barts (¥4) yang disebabkan juga karena tidak terbentuknya rantai α
sehingga rantai membentuk tetramer sendiri menjadi ¥4. Manifestasi
klinis dapat berupa ikterus, hepatosplenomegali, dan janin yang sangat
anemis. Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada elektroforesis Hb menunjukkan
80-90% Hb Barts, sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF.
Biasanya bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam
setelah kelahirannya.
4
b. Thalassemia- β (gangguan pembentukan rantai β)
Thalassemia-β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek
kromosom 11.
1. Thalassemia βo
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga
tidak dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam membentukan HbA
2. Thalassemia _+
Pada thalassemia _+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional
namun hanya sedikit sehingga rantai _ dapat dihasilkan dan HbA dapat
dibentuk walaupun hanya sedikit.
Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
a. Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat
thalassemia.
Gejala penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan biasanya
penderita hanya bertahan hingga umur sekitar 2 tahun. Penderita
bercirikan :
Lemah
Pucat
Perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur
Berat badan kurang
Tidak dapat hidup tanpa transfusi transfusi darah seumur hidupnya.
b. Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan,
biasanya hanya sebagai pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait digunakan
untuk orang normal namun dapat mewariskan gen thalassemia pada anak-
anaknya:ditandai oleh splenomegali, anemia berat, bentuk homozigot.
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya:
Gizi buruk
Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati
5
(Hepatomegali ), Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma
ringan saja
Gejala khas adalah:
Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung,
jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya
menjadi kelabu karena penimbunan besi
D. Tanda dan Gejala
Gejala klinis, muka mongoloid, pertumbuhan badan kurang sempurna,
pembesaran hati dan limpa, perubahan pada tulang karena hiperaktivitas
sumsum merah berupa deformitas dan faktur spontan, terutama kasus yang
tidak mendapat transfusi darah, dapat juga menyebabkan pertumbuhan
berlebihan tulang frontal, zigomatikus, serta maksila.
Pertumbuhan gigi biasanya buruk, sering disertai rerefaksi tulang
rahang. Sinusitas (terutama maksilaris) sering kambuh akibat kurang
lancarnya drainase. Anemia biasanya berat dan biasanya mulai jelas pada usi
beberapa bulan (Soeparman, 1999).
Bayi baru lahir dengan Thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala
awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun
pertama, bila penyakit ini tidak ditangani, tumbuh kembang akan terlambat,
anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemah tubuh dapat diertai demam,
terdapat hepatosplenomegali, terjadi perubahan pada tulang.
E. Patofisiologi
Berkurangnya sitensis Hb dan eritropoesis yang telah efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intra medular. Juga bisa disebabkan karena
defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
mengakibatkan hemodilusi dan distruksi eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial dalam limpa hati.
Penelitian biomolekuler menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen
sehingga produksi rantai alfa/beta hemoglobin berkurang.
6
Terjadinya hemosidrosis merupakan hasil kombinasi antara transufi
berulang peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak
efektif, anemiakronis, serta proses hemolisis.
(Mansjoer:2000:497)
Akibat penurunan pembentukan hemoglobin sel darah merah menjadi
mikrosistik dan hipokronik.
Pada keadaan normal disintesis hemoglobin A yang terdiri dari 2 rantai
alfa dan 2 rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95% dari seluruh
hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai
alfa dan 2 rantai sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2% pada keadaan
normal. Hemoglobin F setelah lahirnya feotus senantiasa menurun dan pada
usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa yaitu tidak lebih dari 4%.
Pada keadaan normal, hemoglobin F terdiri dari 2 ranti alfa dan 2 rantai gama.
Pada Thalasemia satu atau lebih dari satu rantai globin kurang
diproduksi sehingga terdapat pembentukan hemoglobin normal orang dewasa
(Hb A). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada
dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan
eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrok mikrosfer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan
kadar Hb menurun sedangkan Hb A2 atau Hb F tidak terganggu karena tidak
mengandung rantai beta dan berproduksi lebih banyak dari keadaan normal,
mungkin sebagai kompensasi.
Eritropoesis sangat giat, baik didalam sumsum tulang maupun
ekstramedular hati dan limpa. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam
sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup eritrosit
mendadak serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan. Walaupun
eritropoesis sangat giat. Hal ini tidak mampu mendewasakan eritrosit secara
efektif mungkin karena adanya presipitasi didalam eritrosit.
Defek gen-gen yang bersangkutan dalam produksi rantai globin
berbeda-beda dan kombinasi defek juga munkin. Maka dari itu ada fariasi
7
yang luas penyakit heterogen ini dan penggolongannya tidak semudah konsep
homozigot atau heterozigot.(Soeparman: 1999)
F. Pathway
Pernikahan penderita Thalasemia carrier
Penurunan penyakit secara resesif
Gangguan sintesis rantai globin & (kromoson 11 & 16)
Pembentukan rantai & diretikulosit tidak seimbang Rantai kurang dibanding rantai Rantai kurang Ranai tidak dibentuk sama sekali terbentuk Rantai dibentuk tapi tidak mencukupi dibanding rantai
Thalasemia (beta) Thalasemia (alfa)
Pembentukan rantai & Pembentukan rantai & kurang Penimbunan dan pengendapan rantai
& yang berlebihan
Tidak terbentuk Hb A(2 dan 2)
terbentuk inclusion bodies(akumulasi endapan rantai globin yang berlebihan)
menempel pada dinding eritrosit
merusak dinding eritrosit
hemolisis
Eritrosit darah tidak efektif dan pengancuran prekursoreritorsit di intramedular (sumsusm tulang)
Kurang sintesis Hb sehingga terjadi aritrosit yanghipokrom dan mikrositer
Hemolisis eritrosit yang immatur
THALASEMIA
8
THALASEMIA
9
Penurunan suplaydarah ke jaringan
Tubuh merespondengan pembentukan
eritroprotein
Pengikatan O2 oleh eritrosit menurun
Suplay O2 dan Nutrisi ke jaringan
menurun
Merangsangeritropoesis
Aliran darah ke organ vital dan seluruh jaringan
menurun
Metabolisme sel menurun
Eritrosit yang berbentuk immatur
dan mudah lisis
O2 dan nutrisi tidak ditransport secara
adekuat
Perubahan pembentukan ATP
Penurunan Hb Perfusi jaringan terganggu
Energi yang dihasilkan menurun
Memerlukan transfusi
Perubahan perfusi jaringan
Kelemahan fisik
Defisit perawatan diri
Intoleransi aktivitas
Terjadi penumpukan Fe
di organ (Hemokromotosis)
Hospitalisasi
Lemas
Kurang informasi
Kurang pengetahuan
limpa
spelonomegali
Splenektomi
Resti inteksi
Perubahan sirkulasi
Kulit rusak
Resiko kerusakan
integritas kulit
Liver
Hepatomegali/sirosis
anoreksia
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
G. Pemeriksaan Penunjang
Anemia biasanya berat dengan kadar (Hb) berkisar antara 3-9 g/dl.
Eritrosif memperlihatkan anisositosis, poikilositosis dan hiporkromia breat.
Sering ditemukan sel target dan tear drop cell. Normoblas (eritrosit berinti)
banyak dijumpai terutama pasca splenektomi. Gambaran sumsum tulang
memperlihatkan eritropoesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya.
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin.
Pada Thalasemia beta kadar HbF berfariasi antara 10-90%, sedangkan dalam
keadaan normal kadarnya tidak melebihi 2%.
H. Penatalaksanaan
Atasi anemia dengan transufi PRC (Packed Red Cell). Transfusi hanya
diberikan bila saat diagnosis ditegakkan Hb < 8 g/dl. Selanjutnya sekali
diputuskan untuk diberi transfusi darah. Hb harus selalu dipertahankan di atas
12 g/dl dan tidak melebihi 15,5 g/dl.
Bila tidak terdapat tanda gejala jantung dan Hb sebelum transfusi di atas
g/dl, diberikan 10-15 mg/kg BB per satu kali pemberian selama 2 jam atau 20
ml/kg BB dalam waktu 3-4 jam. Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada
kelainan jantung, atau Hb < 5 g/dl, dosis satu kali pemberian tidak boleh lebih
dari 5 ml/kg BB dengan kecepatan tidak lebih dari 2 ml/kg BB/jam. Penderita
dengan gagal jantung diberikan oksigen dengan kecepatan 2-4 liter/menit,
transfusi darah dan deuritika. Kemudian, bila masih diperlukan diberi
digitalisasi setelah Hb > 8 g/dl bersama-sama dengan transfusi darah secara
perlahan sampai kadar Hb lebih dari 12 g/dl.
Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan kelasi besi yaitu
Desferal secara tim atau iv.
Splenektoni diindikasikan bila terjadi hiperlenisme atau limpa terlalu
besar sehingga membatasi gerak pasien. Splenektoni sebaiknya dilakukan
pada umur 5 tahun ke atas saat limpa dalam sistem imun tubuh-tubuh telah
dapat ke atas saat alih oleh organ limfoid lain.
10
Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C perlu dilakukan untuk
mencegah infeksi virus tersebut melalui transfusi darah.
Transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan pada setiap kasus
baru dengan Thalasemia mayor. Obat pendukung seperti vitamin C dianjurkan
diberi dalam dosis kecil (100-250 mg).
Diberikan asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat pada pasien Thalasemia. Khususnya pada yang jarang mendapat
transfusi darah.
Secara berkala dilakukan pemantauan fungsi organ, seperti jantung,
paru, hati, endoktrin termasuk kadar glukosa darah, gigi, telinga, mata dan
tulang (Mansjoer, 2000:498-497).
I. Fokus Pengkajian
Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif, menurut
hukum mandel. Factor genetic ini diturunkan dari perkawinan antara 2
heterozigot (carier) menghasilkan keturunan : 25% thalasemia (homozigot),
50% carier (heterozigot), dan 25% normal.
P ♀ Thth x ♂ Thth
Thalasemia Minor Thalasemia Minor
F1
♀ ♂
Th th
Th ThTh
Thalasemia
Mayor
Thth
Thalasemia
Minor
th Thth
Thalasemia
Minor
Thth
Normal
11
Dari perkawinan antara 2 heterozigot (carier) dihasilkan :
25% Thalasemia mayor atau Thalasemia homozigot
50% Thalasemia minor atau Thalasemia heterozigot (carier)
25% normal
(Suryo, 2003 : 110)
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, melaise umum, kehilangan
produktivitas: Penurunan semangat untuk bekerja.
Toleransi terhadap latihan rendah, kebutuhan untuk tidur
dan istirahat lebih banyak.
Tanda : Takikardi/talipnea pada bekerja atau istirahat.
Tetargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik
pada sekitarnya, kelemahan otot dan penurunan
kekuatan, tubuh tidak tegak, bahu menurun, postur
lunglai, berjalan lambat dan tanda-tanda keletihan.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat kehilangan darah kronis misal perdarahan Gl
Kronis menstruasi berat (DB) angina CHF (Kerja
jantung berlebihan) palpitasi
Tanda : Peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan
nadi melebam hipotensi postural. Disritma,
Abdnomalitas EKG, misal depresi segmen ST dan
pendataan/depresi gelombang T takikardia.
Bunyi jantung = Murmor sistolik
Eksremitas
(warna)
: Pucat pada kulit dan membran mukosa (konjungtiva,
mulut, faring, bibir) dan dasar kuku.
Sklera : Biru atau putih seperti mutiara
Pengisian kapiler melambat lebih dari dua detik.
12
Kuku : Mudah patah berbentuk seperti sendok
Rambut : Kering, mudah putus, menipis: tumbuh uban secara
premature
3. Integritas
Gejala : Budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, mis
penolakan transfusi darah
Tanda : Depresi
4. Eliminasi
Gejala : Riwayat prelonerfritis, gagal ginjal, flatulen, sindrom
mal absorbsi hematemasi, fases dengan darah segar,
melena
- Diare atau konstipasi
- Penurunan haluran urine
Tanda : Distensi abdomen
5. Makanan/Cairan
Gejala : Penurunan masukan diet, nyeri mulut atau lidah,
kesulitan menelan mual muntah, dispepsia, adanya
penurunan berat badan, tidak pernah puas mengunyah
Tanda : Lidah tampak merah daging/halus, membran mukosa
kering, pucat turgor kulit: buruk, kering tampak
kusut/hitam elastisitas, stomatisis dan galsitis
6. Higiene
Tanda : Penampilan tidak rapih
7. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala berdenyut, pusing, ketidak mampuan
13
berkonsentrasi, insommia, penurunan penglihatan dan
bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk,
sensasi menjadi dingin
Tanda : Peka rangsang
Mental : Tak mampu berespon, lambat
Oftalikim : Hemoragis retia
Epistalsis : Perdarahan dari lubang-lubang
Gangguan koordinasi ataksia: Penurunan rasa getar dan
posisi tanda Rombeng positif paralisis.
8. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen samar: sakit kepala
9. Pernafasan
Gejala : Riwayat TB, absen paru, nafas pendek pada istirahat dan
aktivitas
Tanda : Tahipneu, artopneu dan dispeneu
10. Keamanan
Gejala : Riwayat terpajan pada radiasi baik sebagai pengobatan
atau kecelakaan
Riwayat kanker, terapi kanker
Tidak toleran terhadap dingin dan panas
Transfusi darah sebelumnya
Gangguan penglihatan
Penyembuhan luka buruk, sering infeksi
Tanda : Demam rendah, menggigil, keringan malam, limfa
denopati umum petekie dan ekimosis
11. Seksualitas
14
Gejala : Hilang libido (pria dan wanita) impoten
Tanda : Serviks dan dinding vagina pucat
(Nanda : 2005)
J. Fokus Intervensi
1. Perubahan perfungsi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrien ke sel
(Doengoes, 1999: 573-574).
a. Kemungkinan dibuktikan oleh:
- Palpitasi, angina, kulit pucat, membran mukosa kering, kuku dan
rambut rapuh
- Ekstrmitas dingin
- Penurunan keluaran urine
- Mual/muntah, distensi abdomen
b. Kriteria hasil:
- Menunjukkan perfungsi adekuat
- Vital sign stabil, pengisian kapiler baik
c. Interverensi:
- Awasi vital sign
- Kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa, dasar kuku
- Tinggikan kepala tidur sesuai toleransi
- Awasi upaya pernapasan: auskultasi bunyi nafas perhatikan bunyi
adventisius
- Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh
hangat sesuai indikasi
d. Kolaborasi
- Berikan O2 tambahan sesuai indikasi
- Berikan sel darah merah lengkap/paeked; produk darah sesuai
indikasi. (Doengoes, 1999: 573-574)
15
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan
a. Kemungkinan dibuktikan oleh
- Kelemahan dan kelehan, mengeluh penurunan toleransi
aktivitas/latihan.
- Palpitasi, takikardia, peningkatan TD/respos pernapasan dengan
kerja ringan
b. Kriteria hasil
- Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
- US dalam keadaan normal
c. Intervensi
- Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/aktivitas normal.
- Kaji kehilangan/gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan
otot
- Awasi vital sign
- Berikan lingkungan tenang, pertahankan tirah baring bila
diindikasikan
- Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulasi bila perlu,
memungkinkan pasien untuk melakukannya sebanyak mungkin
- Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri
dada, nafas pendek, kelemahan atau pusing terjadi
(Doengoes, 1999:574-575)
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna/anoreksia
a. Kemungkinan dibuktikan oleh
- Penurunan berat badan di bawah normal
- Penurunan toleransi untuk aktivitas, kelemahan dan kehilangan
tanus otot
b. Kriteria hasil
- Berat badan stabil, tidak mengalami mal nutrisi
16
- Menunjukkan perilaku, perubahan pada pola hidup meningkatkan
dan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
c. Intervensi
- Kaji riwayat, termasuk makanan yang disukai
- Observasi dan catat masukan makanan pasien
- Timbang BB tiap hari
- Berikan makanan sedikit tapi sering
- Berikan dan bantu higiene mulut yang baik
d. Kolaborasi
- Berikan diet halus, mudah serat, menghidari makanan panas,
pedas/terlalu asam sesuai indikasi.
(Doengoes, 1999:575-576)
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahankan sekunder
tidak adekuat
a. Kriteria Hasil
- Mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan resiko
infeksi
- Bebas drainase purulen/eritema dan demam
b. Intervensi
- Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan
pasien
- Pertahankan tehnik aseptik ketat pada prosedur/perawatan luka
- Tingkatkan masukan cairan adekuat
- Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermar
- Kolaborasi : berikan antiseptik topikal: antibiotik sistemik
(Doengoes, 1999:578-579)
5. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi/prosedur dan kejadian yang
menimbulkan stres
a. Kriteria Hasil
- Pasien menunjukkan penurunan rasa takut
- Anak tetap tenang dan bekerja selama prosedur
17
b. Intervensi
- Libatkan orang tua dalam melakukan tindakan/prosedur bila
dimungkinkan
- Berikan penjelasan sesuai usia tentang prosedur yang akan
dilihat/didengar untuk mengurangi rasa takut anak
- Berikan privasi untuk prosedur yang memanjakan tubuh
- Berikan komunikasi terapeutik
(Wong, 2003:342)
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi/tidak
mengenal sumber informasi
a. Kemungkinan dibuktikan oleh
- Pertanyaan: meminta informasi
- Tidak akurat mengikuti instruksi
b. Hasil yang diharapkan
- Menyatakan pemahaman proses penyakit dan rencana pengobatan
- Melakukan tindakan yang perlu atau perubahan pola hidup
c. Intervensi
- Berikan informasi tentang anemia spesifik
- Jelaskan tujuan setiap tindakan/prosedur yang akan dilakukan
- Diskusikan peningkatkan kerentanan terhadap infeksi
- Gunakan jarum terpisah untuk mengambil obat dan injeksi
(Doengoes, 1999: 579-580).
7. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kulit kusam akibat
penumpukan Fe di organ (Carpenito,
2000;304)
a. Kriteria Hasil
- Menggambarkan etiologi dan tindakan pencegahan
b. Intervensi
- Pertahankan kecukupan masukan cairan untuk hidrasi yang
adekuat
18
- Berikan dorongan latihan rentang gerak dan mobilitas berat badan
bila mengeluh
- Tingkatkan masukan karbohidrat dan protein
Kolaborasi : berikan desferal sesuai indikasi
(Doengoes, 2004:130)
8. Defisit perawatan diri (Higiene) berhubungan dengan kelemahan fisik
a. Kemungkinan dibuktikan oleh:
- Ketidakmampuan dalam membersihkan badan atau bagian badan
- Ketidakmampuan dalam mendapatkan atau memperoleh sumber air
b. Hasil yang diharapkan
- Pasien mampu melakukan aktivitas Higiene dengan bantuan
minimal
c. Intervensi
- Kaji Higiene pasien
- Berikan informasi tentang pentingnya personal higiene
- Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan higiene
- Libatkan kelurga dalam pemenuhan higiene pasien
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Thalasemia adalah suatu penyakit congenital hrediter yang diturunkan
secara autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, dimana satu atau rantai
polipeptida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga
mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik. (Broyles, 1997).Dengan kata
lain thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari).Penyebab kerusakan
tersebut adalah Hb yang tidak normal sebagai akibat dari gangguan dalam
pembentukan jumlah rantai globin atau struktur Hb( Nursalam,2005).
2. Kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang
disebabkan oleh gangguan struktural pembentukan hemoglobin
(hemoglobin abnormal) misalnya : Pada HBS,HbF, HbD. Gangguan
jumlah (salah satu atau beberapa )rantai globin seperti pada thalasemia.
B. Saran
Kita sebagai petugas keseahat atau perawat, kita harus lebih memiliki
sikap serta sifat care atau peduli terhadap semua pasien atau orang yang
datang meminta bantuan kita seperti pada pasien thalassemia ini, karena
pada pasien ini sangatlah membutuhkan perawatan khusus.
20
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Alih Bahasa:
Yasmin Asih, EGC, Jakarta.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Alih
Bahasa: Monica Ester, EGC. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Talasemia di akses pada tanggal 1 Januari 2013
http://aangcoy13.blogspot.com/2013/01/asuhan-keperawatan-anak -
dengan_29.html di akses pada tanggal 4 Januari 2013
Nanda, 2004. Diagnosis Keperawatan Nanda, Alih Bahasa: Ani Haryani, dkk.
PSIK-B UGM. 2002. Yogyakarta.
NANDA. 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Yogyakarta : Prima Medika.
Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Price. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa:
Defer Amigrah, EGC. Jakarta.
Soeparman. 1998. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
Wong. 2003. Keperawatan Pediartrik, Edisi IV. Alih Bahasa: Monica Ester.
EGC, Jakarta.
21
22