12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit.,...
Transcript of 12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH … · Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit.,...
12. PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH DALAM TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN
Parningotan Malau (Dosen Fakultas Hukum Universitas Putera Batam - Ketua YLBH Rogate) Perumahan Royal Grande Blok G-01 Batam Center, Batam, Kepulauan Riau Tel. 0778-7418462; Mobile phone:
0811 7787 917; E-mail: [email protected]
Abstrak: Untuk meningkatkan perlindungan (hak-hak dasar) pekerja/buruh
terdapatketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenaga-kerjaan yang apabila dilanggar diancam dengan sanksi pidana yang setimpal
dan ber-keadilan. Namun problematiknya, masih jarang kasus-kasus tindak pidana
ketenaga-kerjaan mendapat penanganan penegak hukum, apalagi sampai ke tingkat
pengadilan pidana. Di satu pihak banyak kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan
yang tidak dilakukan penyidikan oleh Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) di
Kantor Dinas Tenaga Kerja dengan berbagai pertimbangan. Sedangkan di pihak lain,
umumnya laporan kasus tindak pidana ketenagakerjaan ditolak oleh kepolisian, juga
dengan berbagai hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Kondisi seperti di atas jelas menghambat konkritisasi penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh itu sendiri sebagaimana yang menjadi
pertim-bangan filosofis, sosiologis dan yuridis dilahirkannya Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan/perburuhan
(arbeids-recht) pada hakikatnya, baik dipandang secara historis maupun teleologis
adalahmelindungi (hak-hak dasar) pekerja/buruh, karena itu faktor-faktor penghambat
pene-gakan hukum (law enforcement) masalah tindak pidana ketenagakerjaan harus
dimini-malisir bahkan dieliminasi agar nilai-nilai perlindungan (hak-hak dasar)
pekerja/buruh tidak dikorbankan oleh faktor-faktor penghambat tersebut.
Kata kunci: perlindungan pekerja/buruh; penegakan hukum; tindak pidana ketenaga-kerjaan.
PENDAHULUAN
Tujuan pokok hukum perburuhan (arbeidsrecht) pada hakikatnya sama dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu mewujudkan “keadilan”. Dalam hukum perburuhan adalah
mewujudkan keadilan1 antara pengusaha dan pekerja/buruh (arbeider). Usaha mewujudkan
keadilan berangkat dari suatu kenyataan bahwa kedudukan antara pengusaha dan pekerja/-buruh dalam hubungan kerja sangat tidak seimbang. Meskipun secara yuridis kedudukan pekerja/buruh
adalah bebas, tetapi dari sudut sosial ekonomi jauh lebih lemah dibandingkan dengan pengusaha.2
Oleh karena itu, perlindungan pekerja/buruh suatu keniscayaan (compulsory, mandatory). Semua perangkat hukum ketenagakerjaan harus dioptimalkan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) selain bersifat privat (perdata) juga melibatkan campur
tangan negara, karena itu hukum ketenagakerjaan pun bersifat publik (pidana).3 Campur tangan
negara ditandai dengan adanya ketentuan-ketentuan
1 Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Edisi Revisi, Cet. XIII, Jakarta, Djambatan, hal. 9.
2 Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 9-10.
Kedudukan yuridis pekerja/buruh sama dengan pengusaha. Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jis. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 ayat (2) jo. ayat (3) dan pasal-pasal lainnya yang tersebar dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
3 Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, hal. 10 dengan mengutip dari Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. XI, Jakarta, Djambatan, hal.1-2.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 113/432
memaksa/imperatif (dwingen), yang apabila tidak dipenuhi negara bertindak dengan ancaman
pidana.4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan5 (selanjutnya disebut
UUK) memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa (imperatif) yang barang siapa
melanggar ketentuan tersebut diancam dengan sanksi pidana, baik pidana penjara, pidana
kurungan, dan/atau pidana denda. Di dalam hubungan kerja, sungguh banyak kasus-kasus tindak
pidana ketenagakerjaan, akan tetapi tidak mendapatkan penanganan dari penegak hukum.
Berdasarkan penelusuran penulis pada tahun 2016 di 5 (lima) provinsi dan kota Batam terbanyak
perusahaan besar (dengan jumlah 100 lebih pekerja/buruh) pada rentang waktu 5 (lima) tahun
terakhir sangat jarang/sulit ditemukan kasus tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan
penyidikan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan (selanjutnya disebut PPK) yang diberi
kewenangan sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), apalagi oleh penyidik kepolisian.
Minimnya penanganan tindak pidana ketenagakerjaan merupakan indikasi bahwa penegakan
hukum perlindungan pekerja/buruh masih stagnan.
Pasal 182 ayat (1) UUK mengisyaratkan betapa pentingnya peran pengawas PPNS,
polisi (kepolisian), jaksa (kejaksaan), hakim (pengadilan) dalam penanganan hukum atau penegakan hukum pro justitia yang bersifat represif terhadap pengusaha melalui proses
peradilan pidana. Tindakan represif salah satu upaya penting penegakan hukum perlindungan hak-hak dasar (hak asasi) pekerja/buruh.
Artikel dengan judul “Penegakan Hukum Perlindungan Pekerja/Buruh
dalamTindak Pidana Ketenagakerjaan” ini mencoba mengurai faktor-faktor penghambat
penyi-ikan kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan. Ke depan diharapkan dapat meminimalisir bahkan mengeliminasi faktor-faktor penghambat penegakan hukum
perlindungan pekerja/-buruh dalam tindak pidana ketenagakerjaan.
METODE
Artikel ini menggunakan penelitian hukum (legal research) dengan pendekatan per-
aturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach),
sedangkan data yang disajikan hanya sebagai pelengkap. Bahan hukum penelitian hukum ini
terdiri dari: bahan hukum primer yaitu, peraturan perundang-undangan, terutama UUK. Bahan
hukum sekunder, yaitu semua publikasi hukum yang bukan dokumen resmi, dan bahan hukum
non hukum (tertier) yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
DASAR PERLINDUNGAN PEKERJA/BURUH
Sejarah perburuhan Indonesia selalu dimulai dengan zaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi, yang terjadi hampir bersamaan pada masa penjajahan Belanda. Para budak tidakdiberikan hak, yang ada hanya kewajiban untuk taat kepada penguasa dan majikan/-pengusaha. Budak
hanya dijadikan objek yang kehilangan hak sebagai manusia bermartabat.6 Secara sosial,
ekonomi, dan yuridis dapat diakatakan budak tidak memiliki hak apapun atas dirinya, karena si
4 Asri Wijayanti, Op.cit., hal. 12. Lihat juga, Agusmidah, Ibid.
5 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.
6 Lalu Husni, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafika Persada, hal. 1 dan 4. Lihat juga, Parningotan Malau, 2013, Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Medan: PT Softmedia, hal. 107, dengan mengutip dari Zainal Asikin, Riwayat Hukum Perburuhan, dalam buku: Zainal Asikin et. al., 2004, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Cet. V, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hal. 10.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 114/432
pemiliklah yang berwewenang penuh atas dirinya. Dengan menggunakan bahasa hukum
sekalipun, maka seorang budak tidak memiliki kecakapan untuk bertindak.7 Perlindungan
buruh sebagai suatu ketidakniscayaan (uncertainties). Pengalaman pahit kondisi perburuhan
di atas menjadi penting bagi Indonesia menemukan format politik hukum (legal policy)8
perburuhan yang ideal.
Pancalisa adalah politik hukum (ketenagakerjaan) permanen, yang diabstraksi dan dirumuskan dari nila-nilai kehidupan yang merupakan kepribadian, pandangan hidup, dan
dasar filsafat (philosofische grondslag)9 yang dimiliki, diyakini, dan dihayati kebenarannya
oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa
Indonesia.10
Oleh karenanya, semua peraturan perundang-undangan harus diderivasi (men-jiwai) nilai-nilai esensial yang terkandung dalam kelima asas (prinsip, dasar) Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita kenegaraan (staatsidee) dan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menganut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state). Kewajiban negara mewujudkan tujuan negara, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Dalam mewujudkan tujuan negara dibutuhkan
instrumenhukum yang dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945,11
dan peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)”. Konsep negara hukum Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Pancasila
sebagai jiwa bangsa (volksgeist), karena itu Indonesia menganut negara hukum Pancasila.12
Negara hukum Pancasila mempunyai ciri-ciri khas sebagai dasar pokok dan sumber
7 Agusmidah, Op.cit., hal.17.
8 Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Selanjutnya, definisi ini dilengkapi dalam sebuah artikelnya, bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri. Lihat, Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 160. Lihat juga, Padmo Wahyono, (1991, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991, hal. 65.
Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Lihat, Soedarto, 1983, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru, hal. 20.
Sunaryati Hartono, politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional ituakan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Lihat, Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung, Alumni, hal. 1.
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal. 35.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu Pemerintahan negara tertentu. Lihat, Mahfud MD, 2010, Membangun Politik MenegakkanKonstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, hal. 15.
9 Tim MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012, hal. 45.
10 Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Edisi Pertama, Yogyakarta, Paradigma, hal. 56.
11 Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Op.cit., hal. 44.
12 Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara Hukum Pancasila, Bandung, Refika Aditama, hal. 92.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 115/432
hukum.13
Sangat realistis apabila norma dan aturan hukum memihak kepada masya-rakat lemah
atau kurang beruntung. Hak-hak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi lebih lemah wajib mendapatkan perlindungan maksimal untuk kesejahteraan diri pekerja/buruh dan keluarganya.
DASAR PERTIMBANGAN TINDAKAN REPRESIF DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2003
Konsiderans “menimbang” dalam UUK adalah pokok pikiran yang memuat unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan UUK ini. Unsur filosofis, pada bagian “menimbang” huruf a dan b dan paragraf pertama Penjelasan
Umum UUK, dikatakan:
“Bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka pemba-ngunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun
spiritual.”
“Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan
dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pemba-ngunan.”
Pembuat UUK menyadari bahwa pembangunan ketenagakerjaan harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yaitu: berketuhanan, berkemanusiaan dan keadilan sebagai nilai-nilai
dominan. Kemudian nilai persatuan dan demokrasi yang menjadi satu kesatuan dengan nilai-nilai lainnya. Kedudukan pekerja/buruh dipandang dari sudut sosial ekonomi jauh di bawah
pengusaha, sehingga perlindungan pekerja/buruh adalah suatu keniscayaan.
Unsur sosiologis, pada bagian “menimbang” huruf c dan d UUK, dikatakan:
“Bahwa, dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.”
Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetapmemerhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Dengan maksud yang sama
paragrafkedua Penjelasan Umum UUK mengatakan:
“Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja (pekerja/buruh) serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengem-
bangan dunia usaha.”
Pembuat UUK menyadari bahwa besarnya peranan dan kedudukan pekerja/buruh dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, maka dalam pembangunan ketenagakerjaan
harus terpenuhi/terjamin perlindungan hak-hak dasar pekerja/buruh sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Sedangkan unsur yuridis, pada bagian “menimbang” huruf ‘e’ UUK dikatakan:
13 Muh. Tahir Azhary, 2005, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta, Kencana, hal. 93-94.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 116/432
“Bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali.”
Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran dalam UUK meru-
pakan instrumen penting bagi pekerja/buruh untuk melindungi hak-haknya. Dengan peng-
aturan tersebut PPK/PPNS tidak lagi terfokus pada penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (PPHI), tetapi pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan. Penegakan hukum per-
lindungan pekerja/buruh dengan tindakan represif dalam UUK jauh lebih baik dibandingkan
dengan undang-undang sebelumnya.
Dalam Pasal 17 Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Pokok-pokok Mengenai Tenaga Kerja:
1. penjatuhan sanksi pidananya bersifat fakultatif;
2. ancaman pidananya sangat ringan, demikian juga pidana dendanya;
3. kualifikasi pidananya dengan adanya kata “atau” berarti bersifat alternatif; dan
4. tindak pidananya semuanya merupakan tindak pidana pelanggaran.
Selanjutnya, dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UUK adalah sebagai berikut:
1. penjatuhan sanksi pidananya bersifat Imperatif;
2. ancaman pidananya tergolong berat, demikian juga pidana dendanya;
3. kualifikasi pidananya dengan adanya kata “dan/atau” berarti bersifat kumulatif
alternatif. Hakim dalam pertimbangannya bisa memilih keduanya (kumulatif) yaitu, menjatuhkan pidana penjara/kurungan sekaligus (ditambah) dengan pidana
dendanya, atau memilih salah satu (alternatif) yaitu menjatuhkan pidana penjara/-
kurungan saja atau pidana denda saja; dan
4. tindak pidananya adalah, tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN
Sifat Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Hukum pidana mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur
kepentingan hukum,14
Oleh karena yang hendak dilindungi adalah kepentingan umum, negara
dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan.15
Pekerja/buruh sangat bergantung kepada
14 Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. VIII, Edisi Revisi, Jakarta, Renika Cipta, hal. 2.
Pada halaman 1 Moeljatno mengemukakan, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: (1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut, (2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, dan (3)
menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
15 Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 6.
Mahrus Ali pada halaman 9 dengan mengutip dari Marc Groenhuijsen, Conflict of Victims Intersets and Offender’s Rightsin the Criminal Justice System, dalam Mudzakkir, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,Disertasi, Program Pascasarjana. Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI), hal. 26, mengatakan bahwa manakala hukum pidana (ketenagakerjaan) dikonsepkan sebagai hukum publik, maka terjadinya pelanggaran
esensinya merupakan pelanggaran terhadap tertib publik (public order) atau perbuatan melawan masyarakat, melawan badan kolektif dari warga negara, dan menentang serangkaian standar oleh institusi-institusi demokratik masyarakat.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 117/432
pengusaha, yang dipandang dari sudut sosial ekonomi jauh di atas pekerja/buruh. Kedudukan
pengusaha seperti itu rentan terhadap tindakan kesewenangan terhadap pekerja/buruh. Meng-hindari kesewenangan itu, maka negara melalui penegak hukum harus mengupayakan pene-
gakan hukum tindak pidana (strafbaar feit) ketenagakerjaan.
Penegakan hukum tindak pidana (strafbaar feit) ketenagkerjaan mengupayakan tegak
dan berfungsinya norma-norma hukum pidana ketenagakerjaan secara nyata. Ditinjau dari
sudut subjeknya (segi penegak hukum), penegakan hukum pada tulisan diartikan dalam arti
sempit, yaitu sebagai upaya aparatur penegakan hukum - pengawas PPNS dinas tenaga kerja,
penyidik kepolisian, jaksa dan hakim - untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, aparatur
penegak hukum itu diperkenankan menggunakan daya paksa. Sedangkan dari sudut objeknya
(segi hukumnya), pengertiannya juga mencakup makna yang luas, yaitu penegakan hukum itu
mencakup pula nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam masyarakat dan nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal. 16
Pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana (ketenagakerjaan) erat hubungannya dengan eksistensi badan negara. Penyimpangan pengusaha yang dapat dipidana dinyatakan oleh badan pembuat Undang-Undang Ketenagakerjaan, sementara penuntutan perkaranya
dilakukan oleh badan lembaga kejaksaan.17
Van Hamel berpendapat, menjalankan hukum
pidana (ketenagakerjaan) sepenuhnya terletak ditangan Pemerintah.18
Pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan esensinya merupakan pelanggaran terhadap tertib publik (publik
order melawan badan kolektif dari warga negara.19
Fungsi Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Fungsionalisasi hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) agar tunduk
dan patuh terhadap hukum ternyata tidak efektif lagi.20
Pengawasan yang dilakukan PPK adalah
usaha pereventif agar pengusaha mematuhi hak-hak pekerja/buruhnya. Fungsi hukum pidana (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan tidak lagi selalu sebagai fungsi subsidi-aritas,
sebagaimana yang selama ini melekat padanya.21
Tekanan dan penderitaan pekerja/-buruh yang
16 http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
Penegakan hukum ditinjau dari sudut subyek dalam arti luas, yaitu proses penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Penegakan hukum ditinjau dari sudut objeknya dalam arti sempit, yaitu penegakan hukum itu
hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘lawenforcement’ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakanhukum’dalam arti luas dan dapat
puladigunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis
dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’
versus istilah ‘therule by law’yang berarti‘the rule of man by law’. Dalam istilah‘the rule of law’terkandung makna Pemerintahan olehhukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of
man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya Pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan
oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai Pemerintahan oleh
orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
17 Algra et.al., 1983, Mula Hukum, Jakarta, Bina Cipta, hal. 14.
18 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 302.
19 Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta, Erlangga, hal. 24-27.
20 Mahrus Ali, Op. cit., hal. 15.
21 M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hal. 13.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 118/432
mempunyai peranan dan kedudukan penting sebagai pelaku dan tujuan pemba-ngunan dalam
pelaksanaan pembangunan nasional tidak bisa dianggap remeh oleh penegak hukum. Harus ada revolusi penegakan hukum terhadap tindak pidana ketenagakerjaan. Perlindungan hak-hak
pekerja/buruh merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat simpangi, dikorbankan dengan alasan apapun, termasuk pemahaman sempit terhadap frasa kalimat,
“memerhatikan/mewujudkan perkembangan dunia usaha atau investor”, alasan yang sering
disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder).
Stigamtisasi pemidanan tindak pidana ketenagakerjaan semestinya berevolusi ke arah positif,
terlebih di era globalisasi yang melahirkan kompleksitas masalah perburuhan yang sering
menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan perusahaan.
Sudarto membedakan fungsi hukum pidana secara umum dan secara khusus yang
dapat implementasikan terkait pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan, yaitu:22
Secara
umum, ialah untuk mengatur hidup kemasyarakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh, dan secarakhusus, ialah melindungi hak-hak pekerja/buruh terhadap perbuatan-perbuatan melawanhukum dengan ancaman sanksi pidana yang ditetapkan UUK yang sifatnya lebih berat dari pada hukum lain.
Dasar dan Tujuan Pemidanaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Dasar Pemidanaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Dalam bidang hukum ada adagium, hukum harus diperkuat dengan sanksi. Sanksi untuk memperkuat norma hukum adalah dengan sanksi pidana. Adagium ini juga tampaknya yang diadopsi dalam ketentuan pidana dalam hukum ketenagakerjaan. Norma hukum UUK
diperkuat dengan sanksi pidana yang jauh lebi berat.23
Hal ini menunjukkan bahwa perlu
mensinergikan penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh dengan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan. Meskipun sesuai sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat diban-
dingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam bidang hukum yang lain,24
tetapi dasar hukum
pidana atau pemidanaan terhadap tindak pidana ketenagakerjaan harus sesuai nilai-nilai Pancasila yang menjaga keseimbangan kepentingan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Tujuan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan salah satu kunci penting dalam penjatuhan pidana itu sendiri, atau dapat dikatakan, bahwa penjatuhan pidana haruslah sejalan dengan tujuan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan.
Tujuan Pemidanaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) atau pemidanaan adalah melindungi dan memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan (for the public as a whole). Hukum pidana tidak hanya melihat penderi-taan korban atau penderitaan terpidana (not only for the person injured), tetapi melihat ketentraman
masyarakat.25
Tujuan pemidanaan tindak pidana ketenagakerjaan dikaitkan dengan ajaran aliran
modern, yaitu melindungi hak-hak pekerja/buruh yang lemah secara sosial ekonomi terhadap
kesewenangan (tindak pidana) yang dilakukan pengusaha selama.26
Teori
22 http://www.seputarilmu.com/2016/01/pengertian-tujuan-dan-fungsi-hukum.html
23 http://www.kompasiana.com/achmadsabil/dasar-hukum-dasar-pemidanaan-dan-tujuan
pemidanaan_585cd8a01497739844f04c5d, Diposting: 23 Desember 2016 14:56, dan Diperbarui: 23 Desember 2016.
Diakses: 5 September 2017.
24 Mahrus Ali, Ibid., hal. 11.
25 Leden Marpaung, 2012, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Cet. VII, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 4-5.
26 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hal. 14.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 119/432
yang membenarkan pemidanan tindak pidana ketenagakerjaan ini bukan teori absolut (vergeldingstheorie) yang menjatuhkan pidana ketenagakerjaan sebagai pembalasan
kepadapengusaha karena melakukan tindak pidana kepada pekerja/buruhnya,27
tetapi teori
tujuan, teori prevensi atau teori relatif (doeltheorie) yang mencegah (prevent) kesalahan pada
masa yang akan datang.28
TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003
Tindak Pidana Kejahatan
Tindak pidana kejahatan dalam UUK terdapat dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 68; Pasal 69 ayat (2); Pasal 74; Pasal 80; Pasal 82; Pasal 90 ayat (1); Pasal
143;29
Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7); dan Pasal 167 ayat (5).
Ketentuan pidana atas tindak pidana kejahatan tersebut di atas terdapat dalam:
Pasal 183 ayat (1), yang berbunyi:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikena-kan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 184 ayat (1), yang berbunyi:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 185 ayat (1), yang berbunyi:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (lempat
ratus juta rupiah).”
Tindak Pidana Pelanggaran
Tindak pidana pelanggaran dalam UUK terdapat dalam ketentuan: Pasal 35 ayat (2) dan
(3); Pasal 37 ayat (2); Pasal 44 ayat (1); Pasal 45 ayat (1); Pasal 67 ayat (1); Pasal 71 ayat (2);
27 Leden Marpaung, Loc. cit.
28 Teguh Prasetyo, Op. cit., hal. 15.
29 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:
“Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 120/432
Pasal 76; Pasal 78 ayat (2); Pasal 79 ayat (1) dan (2); Pasal 85 ayat (3); Pasal 144;
Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2); Pelanggaran Pasal 38 ayat (2); Pasal 63 ayat (1); Pasal 78 ayat (1); Pasal 108 ayat (1); Pasal 111 ayat (3); Pasal 114; Pasal 148; Pasal 93 ayat (2); Pasal
137; dan Pasal 138 ayat (1).
Ketentuan pidana atas tindak pidana pelanggaran tersebut di atas adalah:
Pasal 186 ayat (1), yang berbunyi:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).”
Pasal 187 ayat (1), yang berbunyi:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (2), Pasal
44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78
ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dann Pasal 144, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus ratus juta rupiah).”
Pasal 188 ayat (1), yang berbunyi:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Kemudian, dalam Pasal 189 UUK disebutkan bahwa penjatuhan sanksi tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian pekerja/-
buruh. Ketentuan pidana UUK di atas merupakan jaminan terselenggaranya perlindungan
hak-hak pekerja/buruh dari kekuasaan/kekuatan pengusaha.
PENYIDIKAN PEGAWAI PENGAWAS KETENAGAKERJAAN
Peranan PPK/PPNS dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Ketenagkerjaan
Penyidikan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) didasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia jis. Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP30
jo. Pasal 182 ayat (1) UUK11
jo. Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketena-gakerjaan. Sesuai Pasal 182 ayat (2) UUK bahwa PPK/PPNS berwenang:
30 PPNS salah satu penyidik yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
11 Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan (PPK) dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 121/432
1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan;
3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membukti-kan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Wewenang PPK/PPNS tidak jauh berbeda dengan kewenangan penyidik Polri, namun
PPK/PPNS dalam melakukan kewenangannya kedudukannya berada berada di bawah
penyidik Polri. Pasal 107 jo. Pasal 109 ayat (3) KUHAP mengatur hubungan koordinasi
fungsional dan instansional di dalam pelaksanaan penyidikan, yaitu hubungan antara penyidik
Polri dengan PPK/PPNS.12
Penelusuran penulis pada tahun 2016 dilakukan di kantor-kantor dinas tenaga kerja di 5 (lima) Provinsi serta Kota Batam, yaitu daerah yang paling banyak perusahaan besar dan jumlah kasus ketenagakerjaan terbesar, sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
5 Provinsi Berdasarkan Jumlah Perusahaan Besar 13
No. Provinsi
Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
4. DKI Jakarta 1.538 1.049 1.106 1.106 743
2. Jawa Barat 3.672 3.467 3.942 3.946 4.581
3. Jawa Tengah 1.678 1.841 2.086 2.630 2.232
12 Pasal 107 KUHAP:
Ayat (1) - Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
Ayat (2) - Penyidik pegawai negeri sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil itu diketemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.
Ayat (3) - Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan pegawai negeri sipil yang dianggap belum sempurna, untuk diperbaiki seperlunya.
Pasal 109 ayat (3) KUHAP - Apabila PPNS menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka PPNS memberitahukan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik Polri dan Penuntut Umum.
13 Dengan jumlah pekerja/buruh lebih dari 100 orang. Kabupaten/kota yang ditelusuri di setiap provinsi meliputi: Kota
Cimahi, Kab. Bogor, Kab. Karawang, Kab. Sukabumi, Kab. Bandung, dan Kab. Purwakarta (Provinsi Jawa Barat); Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Semarang, Kab. Boyolali, Kota Surakarta, dan Kab. Temanggung (Provinsi Jawa Tengah); Kab. Sidoarjo, Kab. Gresik, Kab. Tuban, Kota Kediri, Kab. Lumajang, dan Kota Surabaya (Provinsi Jawa Timur); Kota Tangerang, Kab. Tangerang, Kota Cilegon, Kab. Serang, Kota Serang, dan Kab. Lebak (Provinsi Banten).
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 122/432
No. Provinsi Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Jawa Timur 3.367 3.638 4.146 4.286 4.363
5. Banten 1.394 1.647 1.394 2.440 2.454
6. Batam (Kepri) 576 584 584 66 64
Sumber: Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Tabel 2 5 Provinsi Berdasarkan Jumlah Kasus Ketenagakerjaan
No. Provinsi Jumlah Kasus Ketenagakerjaan
2012 2014 2015
(1) (2) (3) (4) (5)
1. DKI Jakarta 380 240 607
2. Jawa Barat 4.345 3.331 3.298
3. Jawa Tengah 1.866 7.451 4.437
4. Jawa Timur 2.204 9.599 3.839
5. Banten 1.564 1.564 1.292
6. Kepulauan Riau 1.013 472 409
Sumber: Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Tabel 3
Jumlah Pengawas Ketenagakerjaan Tahun 2011-2015
Umum PPNS
No Provinsi Tahun Tahun
2011 2012 2013 2014 2015 2011 2012 2013 2014 2015
1. DKI Jakarta 91 100 36 71 71 31 - 36 23 23
2. Jawa Barat 168 152 183 176 213 42 46 42 37 44
3. Jawa Tengah 148 171 122 116 126 54 28 36 31 36
4. Jawa Timur 169 138 145 151 124 70 17 52 50 50
5. Banten 47 58 56 56 78 8 6 12 12 12
6. Kepulauan Riau 38 34 43 28 38 8 - 7 3 4
Sumber: Pusat data dan informasi (Pusdatin) Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Kenyataannya, sungguh banyak kasus yang jelas-jelas merupakan tindak pidana
ketenagakerjaan di Indonesia yang diketahui maupun berdasarkan laporan yang diterima
kantor-kantor Dinas Tenaga Kerja, namun PPK /PPNS kurang berperan melakukan upaya
penegakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan. Meskipun pengusaha telah
melakukan tindak pidana perlindungan pekerja/buruh yang nyata-nyata merugikan pekerja/-
buruh sebagaimana ketentuan UUK, PPK hanya mengandalkan/fokus dengan cara-cara
preventif. Penyidikan PPK/PPNS terhadap tindak pidana ketenagakerjaan sangat jarang
ditemukan, meskipun di daerah-daerah tersebut sudah memiliki PPK/PPNS. Tampaknya,
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 123/432
PPK/PPNS belum punya daya tertarik melakukan penyidikan dan mengajukan tindak
pidananya kepada penuntut umum.14
Pekerja/buruh hanya berharap, menunggu tanpa mengetahui kapan masalah yang
menimpanya terselesaikan. Fakta di atas merupakan indikasi kuat bahwa upaya penegakan
hukum oleh PPK/PPNS terhadap tindak pidana ketenagakerjaan yang dibenarkan UUK masih
jauh dari harapan publik. Padahal, dengan kewenangannya PPK/PPNS dapat memberikan
shocktherapy bagi pengusaha untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. PPK/PPNS harusnya
beranibertindak tegas kepada pengusaha yang melakukan tindak pidana ketenagakerjaan.
Contoh Kasus Tindak Pidana Ketenagakerjaan
Salah satu contoh kasus yang pernah ditangani penulis, sebagai penerima kuasa15
di
bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Rogate dari 12 orang tenaga pengamanan (security) sebagai pemberi kuasa berdasarkan surat kuasa khusus pada tanggal 16 Mei 2016 atas dugaan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan perusahaan jasa penyedia tenaga pengamanan/guard services (selanjutnya disebut “PTX”) di Kota Batam yang menempatkan 12 security tersebut kepada pemberi kerja, yaitu sebuah bank besar swasta di Kota Batam. Tindakpidana ketenagakerjaan yang diduga dilakukan PT X terhadap satpam (security) di atas sebagai berikut:
1. Upah dibayarkan di bawah upah minimum sejak awal 2015, tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 90 ayat (1), “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
.........”16
Ketentuan pidana dalam Pasal 185 ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 90 ayat (1) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah); dan pada Pasal 185 ayat (2) dinyatakan, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 185 ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”
2. Upah lembur tidak dibayarkan sesuai Pasal 78 ayat (2), “pengusaha yang mempe-kerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja ....... wajib membayar upah kerja lembur.17
Ketentuan
pidana Pasal 187 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus ratus juta rupiah)”; dan
Pasal 187 ayat (2) dikatakan, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 187 ayat
(1) merupakan tindak pidana pelanggaran.”
14 http://www.hukumtenagakerja.com/pengawawasan-ketenagakerjaan/pengawasan-dan-penyidikan-
dalam-ketenagakerjaan/
15 Bersama Wulan Mei Firina, S.H., M.H.
16 Lihat, Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan , “Gubernur menetapakan upah minimum sebagai jaring pengaman.” jo. Pasal 6 ayat (1) Peraturan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum, “Gubernur menetapkan upah minimum” jo. Pasal 1 huruf 1 Keputusan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.231/Men/2003 tentang Tata cara penangguhan pelaksanaan Upah Minimum, “Upah minimum adalah upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur” jo. Pasal 15 ayat (1) Peraturan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1239), “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan.”
17 Lihat, Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747) jo. Pasal 4 ayat (1) keputusan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur, “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melebihi waaktu kerja, wajib membayar upah lembur.”
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 124/432
3. Surat keterangan sakit (medical certificate - MC) yang diberikan secara sah oleh Dokter klinik BPJS tidak diakui dan pengusaha tidak membayar upah security atas ketidak-hadirannya karena sakit. Ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf a, “..... pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan peker-
jaan”.18
Ketentuan pidana Pasal 186 ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan Pasal
93 ayat (2) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah)”. Pasal 186 ayat (2) dikatakan, “Tindak pidana sebagaiamana dimaksud Pasal 186 ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Terkait tindak pidana pertama, yaitu membayar upah di bawah upah minimum. PTX yang sudah lama bergelut di bisnis tersebut mempunyai struktur organisasi yang seharusnya mengetahui aturan/prosedur penangguhan apabila belum mampu membayar upah sesuai upah minimum. Ternyata, pihak bank pun sebagai pemberi kerja atau pengguna jasa memper-syaratkan dengan ketat kepada PTX sebagai mitra (vendor) penyedia jasa satpam yang akan dipekerjakan dipekerjakan. Karena itu, perusahaan pemberi kerja (pihak bank) membayar upah tenaga pengamanan sesuai sesuai ketentuan upah minimum yang berlaku. Demikian
juga, Mabes Polri sebagai pemberi izin19
PTX juga tak kurang ketatnya, berbagai syarat harus
dipenuhi, terlebih perlindungan terhadap hak-hak kesejahteraan para Security yang dipekerja-kannya.
Pasal 90 ayat (1) UUK mengatakan, “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum .......”, dan Pasal 90 ayat (2), “Bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Prosedur penangguhan, perusahaan
tidak mampu membayar upah minimum melakukan penangguhan dengan berperpedoman kepada Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor: Kep.231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Contoh kasus di atas adalah menarik, karena berjalan sangat lambat dan terkesan
berbelit-belit. PPK/PPNS tidak melakukan penyidikan untuk kemudian diserahkan kepada
penuntut umum dalam mengupayakan penegakan hukum tindak pidana ketenagakerjaan.
Padahal nyata-nyata PTX telah melakukan tindak pidana ketenagakerjaan. Padahal, apabila
PTX tidak mampu membayar upah minimum sesuai ketentuan dapat melakukan penang-
guhan. Akan tetapi, PTX tidak melakukannya. Artinya, tidak ada alasan bagi PTX membayar
upah kepada 12 Security di bawah upah minimum. Kasus ini berakhir dengan hasil menge-
cewakan para Security.
Permasalahan pada PPK/PPNS
Berdasarkan berbagai sumber dan penelusuran di atas, penulis merangkum berbagai
hambatan/tantangan PPK/PPNS untuk melakukan penyidikan sebagai upaya penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh dalam tindak pidana ketenagakerjaan (UUK). Adapun
hambatan dimaksud adalah sebagai berikut:
18 Lihat, Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
19 Lihat, Pasal 3 ayat (5) jo. Pasal 8 huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor Pol: 17 Tahun 2006 tentang Pembinaan Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) jo. Pasal 61 ayat (1) huruf a, “BUJP dalam melaksanakan kegiatannya wajib menaati ketentuan peraturan perundangan” Peraturan Kepolisian Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah jo. Pasal 14 huruf d “pelaksanaan audit” Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 24 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Audit untuk Menerbitkan Surat Rekomendasi dan Surat izin Operasional BUJP.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 125/432
1. militansi PPK/PPNS ketika berhadapan dengan pengusaha, karena yang diawasi adalah
pengusaha yang memiliki kekayaan; 20
2. lemahnya dukungan Pemerintah, seperti: (a) kurangnya sarana dan fasilitas; (b) kurang-nya
profesionalisme karena minimnya pembinaan dan pelatihan lanjutan sesuai perkem-bangan
ilmu hukum, terutama dalam teknik penyidikan; dan (c) kurangnya biaya operasional;
3. belum mampu membangun koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan;
4. kurangnya pengetahuan dan pengalaman untuk melakukan penyidikan;
5. belum familiar dengan dunia ketenagakerjaan, karena: a) PNS baru langsung dididik
menjadi PPK/PPNS, b) setelah era desentralisasi pegawai yang dididik menjadi PPK/-PPNS berasal dari kantor dinas-dinas lain yang baru ditempatkan di dinas tenaga kerja,
dan c) kebanyakan PPNS bukan berlatar belakang pendidikan hukum;
6. dengan alasan untuk melindungi kelangsungan pekerja/buruh, maka PPK/PPNS sangat berhati-hati pula menjaga kelanjutan operasional perusahaan. Sebagaimana dalam ter-
tuang dalam konsiderans bagian menimbang huruf d, yaitu, “........ dengan tetap meme-hartikan perkembangan kemajuan dunia usaha.”
PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN
Pasal 182 ayat (1) UUK mengatakan, “Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus
sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ketentuan Pasal 182 ayat (1) UUK ini menjadi sumber penyebab mandeknya pene-
gakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan (perhatikan cetak tebal).
Kembali kepada contoh kasus di atas. Sebelum dibawa ke Kantor Dinas Tenaga Kerja
Batam, penerima kuasa dan klien mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)
untuk membuat laporan atas dugaan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan PTX.
Petugas SPKT belum bisa menerima atau menolak laporan, sehingga diarahkan bertemu salah
satu penyidik untuk menilik apakah kasus ini bisa diterima laporannya. Sempat terjadi
perdebatan dengan penyidik, sampai akhirnya laporan ditolak. Atas kasus tersebut penyidik
memberikan saran/pendapat sebagai berikut:
1. penangannya kasus ini harus terlebih dahulu melalui PPK/PPNS; dan
2. kasus ini dianggap sebagai perselisihan hubungan industrial, karena itu disarankan agar diselesaikan lewat jalur pengadilan hubungan industrial (PHI).
Dalam ketentuan Pasal 182 ayat (1) UUK, sama sekali tidak diatur/dijelaskan jika dugaan
tindak pidana ketenagakerjaan harus terlebih dahulu melalui PPK/PPNS. Kata “selain“ pada
kalimat “Selainpenyidik pejabat Polri, juga kepada pegawai pengawas ketenaga-kerjaandapat
diberi wewenang khusus sebagai PPNS ......”Hal ini berarti, bahawa penyidik kepolisian tetap menjadi pintu utama penegakan hukum perlindungan pekerja/buruh dalam tindak pidana
ketenagkerjaan, sedangkan PPK/PPNS hanya pintu alternatif. Pekerja/buruh dapat dengan bebas
melaporkan setiap dugaan tindak pidana yang dilakukan pengusaha, apakah langsung ke
kepolisian ataupun ke PPK/PPNS di Kantor Dinas Tenaga Kerja. Pihak kepolisian sama sekali
20 Notulensi Pendidikan dan Pelatihan bagi PPNS se-Sumatera Utara, kerjasama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda
Plaza Medan, 30-31 Juli 2007.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 126/432
tidak mempunyai alasan hukum untuk menolak laporan dan melakukan penyidikan setiap
tindak pidana ketenagakerjaan. Kemudian, untuk kata “dapat”, berarti kewenangan PPK/PPNS bersifat fakultatif. Wewenang PP/PPNS sesungguhnya hanya membantu tugas
penyidik kepolisian, apabila pekerja/buruh melaporkan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepadanya.
Hambatan lain sehingga penanganan kasus-kasus tindak pidana ketenagakerjaan tidak
mempunyai daya tarik bagi kepolisian adalah masalah sumber daya kepolisian. Banyak
penyidik tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bukum perburuhan, terutama
tindak pidana ketenagakerjaan. Karena itu wajar, jika hasil penyidikan kasus-kasus pidana
ketenagakerjan sangat jarang sekali diserahkan kepada penuntut umum, apalagi ke tingkat
pengadilan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. kedudukannya pengusaha yang lebih lebih kuat akan rentan terhadap tindakan kese-
wenangan terhadap pekerja/buruh. Menghindari kesewenangan itu, maka negara melalui aparat penegak hukum harus mengupayakan penegakan hukum tindak pidana
(strafbaarfeit) ketenagakerjaan;
2. masalah perburuhan semakin kompleksnya, sehingga fungsionalisasi hukum pidana
sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) menjadi tindak efektif lagi. Pemerintah tidak
bisa hanya mengandalan usaha-usaha pereventif untuk melindungi hak-hak oekerja/buruh
Tujuannya pemidanaan adalah melindungi dan memelihara ketertiban hukum guna
mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagaimana teori tujuan, teori
prevensi atau teori relatif (doeltheorie) adalah mencegah (prevent) terulangnya tindak
pidana pengusaha pada masa yang akan datang;
3. PPK/PPNS sesuai kewenangan yang diberikan UUK masih sangat jarang melakukan penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan. Banyak faktor yang menghambat PPK/PPNS dalam penegakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan;
4. Sesuai Pasal 182 ayat (1) UUK penyidik kepolisian menjadi pintu utama penegakan
hukum perlindungan pekerja/buruh dalam tindak pidana ketenagakerjaan, sedangkan
PPK/PPNS sebenarnya hanya pintu alternatif yang membantu pihak kepolisian. Selama
ini polisi keliru penafsiran Pasal 182 ayat (1), seolah-olah kasus tindak pidana ketena-
gakerjaan harus melalui PP/PPNS sehingga banyak sekali laporan dugaan tindak pidana
yang dilakukan pengusaha terhadap pekerja/buruh yang ditolak. Hal tersebut menyebab-
kan mandeknya penegakan hukum (pemidanaan) tindak pidana ketenagakerjaan. Pihak
kepolisian sama sekali tidak mempunyai dasar hukum untuk menolak laporan dan
melakukan penyidikan setiap tindak pidana ketenagakerjaan. Hambatan lainnya adalah,
masalah sumber daya kepolisian yang kurang/tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hukum perburuhan, terutama tentang tindak pidana ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 127/432
Algra et. al., 1983, Mula Hukum, Jakarta, Bina Cipta.
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Umum Hukum PidanaKodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.
Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta, Erlangga.
Iman Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Edisi Revisi, Cet. XIII, Jakarta, Djambatan.
Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, danAktualisasinya, Edisi Pertama, Yogyakarta, Paradigma.
Lalu Husni, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafika Persada.
Leden Marpaung, 2012, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Cet. VII, Jakarta, PT Sinar Grafika.
M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Isalam Indonesia.
Mahfud M.D., 2010, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Jakarta, PT Rajawali Pers.
Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. VIII, Edisi Revisi, Jakarta, PT Renika Cipta.
Mudzakkir, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana, Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI).
Muh. Tahir Azhary, 2005, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dariSegi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta, Kencana.
Notulensi Pendidikan dan Pelatihan bagi PPNS se-Sumatera Utara, kerjasama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan, 30-31 Juli 2007.
Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasatkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Padmo Wahyono, 1991, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991.
ParningotanMalau, 2013, Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh atas Keselamatan danKesehatan Kerja, Medan, PT Softmedia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004.
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 128/432
Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, Alumni.
Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
Tim MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Berbangsa danBernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012.
Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara HukumPancasila, Bandung, Refika Aditama.
Zainal Asikin, Riwayat Hukum Perburuhan, dalam buku: Zainal Asikin et. al., 2004, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Cet. V, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
http://www.hukumtenagakerja.com/pengawawasan-ketenagakerjaan/pengawasan-danpenyidikan-dalam-ketenagakerjaan/(Diakses 1 September 2017).
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf (Diakses 20 Agustus
2017).
http://www.kompasiana.com/achmadsabil/dasar-hukum-dasar-pemidanaan-dan-tujuan pemidanaan _585cd8a01497739844f04c5d. (Diakses 5 September 2017).
http://www.seputarilmu.com/2016/01/pengertian-tujuan-dan-fungsi-hukum.html (Diakses 25 Agustus 2017).
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 129/432
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 130/432