1102115010 i Gusti Ngurah Putu
-
Upload
widanjaya-made -
Category
Documents
-
view
137 -
download
5
Transcript of 1102115010 i Gusti Ngurah Putu
i
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN “POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA
DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR
Oleh
I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2013
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN ”POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA
DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh
I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010
TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI
Pembimbing Utama
Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M.
Pembimbing Pendamping
Ns. Putu Artawan, S.Kep NIP. 19671231199031025
iii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI DENGAN JUDUL:
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN ‘’POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA
DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR
Oleh:
I Gusti Ngurah Putu NIM: 1102115010
TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : SABTU
TANGGAL: 9 FEBRUARI 2013
TIM PENGUJI: 1. Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM. (Ketua) ..................... 2. Ns. Putu Artawan, S.Kep. (Anggota) ..................... NIP. 19671231199031025 3. Ns. Ni Ketut Guruprapti, S.Kep., MNS. (Anggota) .................. NIP. 197804172008122001
MENGETAHUI Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana
Dekan
Prof. dr. Ketut Suastika Sp. PD-KEMD NIP. 1955 03 29 1980 12 1 001
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Ketua
NS. Ni Komang Ari Sawitri, S.Kep. MSc. NIP. 1982 06 28 2008 01 2 007
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden “Post
Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia di Ruang Instalasi
Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar”. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan
terima kasih, penulis berikan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan penulis
kesempatan untuk menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Denpasar.
2. Ketut Suardana, S.Kp., M.Kes, sebagai Ketua PSIK Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Denpasar atas segala fasilitas dan bimbingan dalam
pembuatan skripsi ini.
3. Kepala RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk
mengambil data dan melakukan penelitian pada instansi yang dipimpin.
4. Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM., sebagai pembimbing utama yang
telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
5. Ns. Putu Artawan, S.Kep., selaku pembimbing pendamping yang telah
banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
v
6. Isteri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan motivasi dan kasih
sayang yang tiada duanya di setiap saat terutama dalam penyusunan skripsi
ini
7. Seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan, pengertian
dan kasih sayang selama ini.
8. Teman – temanku, mahasiswa PSIK-B Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Denpasar Angkatan 2011, atas saran, masukan dan bantuannya
dalam pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala kritik dan saran
yang membangun.
Sebagai akhir kata, penulis berharap, semoga proposal ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Denpasar, Februari 2013
Penulis
vi
ABSTRAK
Ngurah Putu, I Gusti. 2013. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden ”Post Operative Cognitive Dysfunction” Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M.(2) Ns. Putu Artawan, S.Kep
Lanjut usia yang mengalami pembedahan diperkirakan 45% mengalami “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) pada 24 jam pertama. Dari hasil studi pendahuluan di RSUP Sanglah Denpasar, 20% lanjut usia mengalami POCD. Berbagai faktor diduga dapat menyebabkan terjadinya POCD pada lansia yang mengalami pembedahan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya POCD pada pasien lansia. Penelitian ini merupakan penelitian Analisis observasional dengan pendekatan cross sectional terhadap lansia yang dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober-Desember 2012 dengan jumlah sampel sebanyak 70 orang dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ). Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor resiko terhadap disfungsi kognitif dalam penelitian ini dilakukan dengan uji regresi logistik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terjadi sebesar 41,4%. Dari beberapa faktor yang diteliti, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor umur (p=0,001). Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan, dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi (p>0,05). Dari hasil uji regresi logistic diperoleh persamaan sebagai berikut: Y=-3,646 + 2,108 umur + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan. Dimana, probabilitas pasien untuk mengalami POCD tanpa pengaruh factor tersebut adalah sebesar 2,6%. Saran kepada pihak managemen/Direksi Rumah Sakit Sanglah agar dibuat standar prosedur tentang kebijakan pelayanan anestesi untuk pencegahan POCD. Diharapkan juga agar perawat ruang IBS lebih mengoptimalkan komunikasi, orientasi, dan pengawasan post operasi terutama pada pasien yang memiliki faktor yaitu lama anestesi lebih dari 2 jam, umur >70 tahun dan dengan tingkat pendidikan dibawah SMP.
Kata Kunci : Gangguan Kognitif, Lanjut Usia, Disfungsi Kognitif Pasca Operasi.
vii
ABSTRACT
Ngurah Putu, I Gusti, 2013. Influential Factors to POCD Incident in Elderly at IBS (Central Operating Theatre) Sanglah General Hospital Denpasar. Final Assignment, Nursing Program, Medical Faculty, Udayana University in Denpasar. Advisors (1) Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M. (2) Ns. Putu Artawan, S.Kep.
Elderly who have surgery, about 45% experienced POCD on the first 24 hours. Preface study at Sanglah hospital said that 20% of elderly experience POCD. There are many factors caused this situation. Based on that previous study. We need to do a research about what are the risk factors that cause POCD in elderly. This research is an observation analyze with cross sectional approach to elderly who get surgery at central operating theatre Sanglah general hospital. This research was held from October to December 2012 with 70 elder people whom are chosen with purposive sampling technique. Data collecting was done with short portable mental status questionnaire (SPMSQ). To see risk factors that influence cognitive disorder in this research, logistic regression test is used. Results show that POCD incident at central operating theatre Sanglah General Hospital occured in 41,4% samples. From this studied, risk factor that caused POCD are long anesthesia (p=0,000), education level (p=0,000) and age (p=0,001). Meanwhile, other factors such as gender, type of anesthesia, surgical procedure and ASA physical status didn’t have any influence to POCD incident in elderly after surgery (p>0,05). From the logistic regression test, we got equality Y=-3,646 + 2,108 age + 2,460 anesthesia term + 2,648 education level, where patient’s probability experiencing POCD without that factors is 2,6%. With this research, we hope hospital management will make standard policy of anesthesia to prevent POCD incident. We also hope nurses in central operating theatre will optimize their communication, orientation, post operating observation to elderly patient especially if they have risk factors such as, long term anesthesia, over 70 years old and below junior high school education level. Keywords: Cognitive Disorder, Elderly, Post Operative Cognitive Dysfuction
(POCD)
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
ABSTRAK .............................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A Latar Belakang ................................................................... 1
B Rumusan Masalah .............................................................. 4
C Tujuan Penelitian ............................................................... 4
D Manfaat Penelitian ............................................................. 6
E Keaslian Penelitian ............................................................ 6
BABII TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 8
A Keperawatan Perioperatif .................................................. 8
B Gangguan Kognitif ............................................................. 22
C Konsep Lanjut Usia ............................................................ 33
D Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Kognitf
Paska operasi ...................................................................... 39
BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................... 43
A Kerangka konsep .............................................................. 43
B Variabel penelitian ............................................................ 45
C Hipotesis penelitian ........................................................... 47
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................... 49
A Jenis Penelitian .................................................................. 49
B Kerangka Kerja .................................................................. 50
C Tempat Penelitian .............................................................. 51
ix
D Populasi dan sampel penelitian .......................................... 51
E Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ................................ 52
F Pengolahan dan Analisa Data ............................................ 54
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 58
A Hasil Penelitian .................................................................. 58
B Pembahasan ........................................................................ 64
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................... 71
A Simpulan ............................................................................ 71
B Saran .................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian …………………… 46
Tabel 2 Faktor Risiko Pembedahan …………………………………. 59
Tabel 3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian POCD …………. 61
Tabel 4 Hasil Analisis Multivariat …………………………………... 62
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Rentang Respons Kognitif …………………………………. 26
Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian ……………………………….. 44
Gambar 3 Kerangka Kerja Penelitian …………………………………. 50
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Lampiran 2 Anggaran Biaya Penelitian
Lampiran 3 Pernyataan Keaslian Tulisan
Lampiran 4a Pengantar Kuesioner
Lampiran 4b Prosedur Pelaksanaan penelitian
Lampiran 5 Surat Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 6 Lembar Kuesioner Pengumpulan Data
Lampiran 7 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 8 Surat Ethical Clearance
Lampiran 9 Master Tabel Pengumpulan Data
Lampiran 10 Hasil Uji SPSS
1
B A B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menua adalah suatu proses secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi)
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides dalam Nugroho, 2008).
Hal tersebut menyebabkan manusia memiliki kecenderungan untuk mengalami
penyakit degeneratif yang akan menyebabkan terjadinya episode terminal yang
dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastase kanker, dan lain
sebagainya. Manusia berupaya dengan segala macam cara agar sedapat mungkin
menunda atau melambatkan jalannya “jam waktu” ini, sehingga demikian terjadi
peningkatan usia harapan hidup (Mansjoer, 2007).
Usia Harapan hidup penduduk merupakan salah satu tolok ukur
kemajuan suatu bangsa. Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan
perkembangan yang cukup baik, memiliki harapan hidup yang diproyeksikan
dapat mencapai lebih dari 70 tahun. Menurut Depkes RI (2011), diperkirakan
mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan jumlah penduduk usia lanjut dari 9,77%
menjadi 11,34% pada tahun 2020. Peningkatan usia harapan hidup akan
berpengaruh terhadap banyaknya jumlah usia lanjut yang menjalani pembedahan
atau operasi karena berbagai kasus bedah yang dialami. Pasien usia lanjut yang
akan menjalani operasi mungkin berisiko mengalami hasil akhir yang kurang atau
bahkan tidak baik sama sekali karena berkurangnya kemampuan untuk
1
2
memelihara atau mengembalikan homeostasis fisiologik saat menjalani operasi.
Kondisi tersebut akan diperberat oleh adanya berbagai kormobiditas seperti
penyakit jantung, paru-paru, diabetes mellitus dan sebagainya (Mansjoer, 2007).
Setiap operasi agar berjalan optimal perlu dilakukan persiapan yang cermat dan
matang.
Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi secara medis, hati-hati
dan observasi paska operasi yang paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi
potensial yang terjadi. Diperkirakan 25-30% dari semua kematian perioperatif
terkait dengan penyebab kardiak, sehingga pengkajian risiko praoperasi non
kardiak difokuskan pada upaya untuk memperkirakan komplikasi kardiak tersebut
(Masnjoer, 2007).
Kemajuan dalam teknik bedah dan perawatan anestesi dapat menurunkan
angka kematian perioperatif dan morbiditas pada pasien orang tua. Pasien dengan
beberapa masalah medis saat ini dapat menjalani prosedur pembedahan yang
relatif kompleks. Walaupun demikian, masih terdapat persentase yang signifikan
dari pasien usia lanjut yang mengalami “Post Operative Cognitive Dysfunction”
(POCD). POCD adalah kondisi yang ditandai oleh gangguan memori, konsentrasi,
bahasa, pemahaman dan sosial integrasi (Bekker, 2003). Studi International
POCD (ISPOCD ) menunjukkan kejadian POCD sekitar 26% pada pasien yang
diambil satu minggu setelah operasi. Mengingat insiden yang relatif lebih tinggi
dari POCD pada pasien usia lanjut dalam satu sampai tiga hari paska operasi,
maka diperkirakan bahwa kejadian POCD terdeteksi 45% pasien pada 24 jam
pertama (Denise Rohan, et al 2004).
3
Disfungsi kognitif pasca operasi merupakan masalah perawatan yang sulit,
dan sering kali bermanifestasi sebagai disorientasi, kelemahan, cemas, paranoia,
perilaku agresif dan halusinasi visual (Martono, 2009). Tingginya kejadian POCD
pada lansia dapat berpengaruh terhadap lamanya penyembuhan, peningkatan
Length of Stay (LOS), dan akhirnya menyebabkan tingginya biaya perawatan.
Perkembangan POCD dapat menyebabkan terjadinya neuropsikiatri yang
mengacu pada gangguan jiwa.
Berbagai faktor diduga dapat menyebabkan terjadinya POCD pada lansia
yang mengalami pembedahan. Penelitian oleh Canet, dkk, (2003), menemukan
bahwa usia, jenis kelamin dan penggunaan alkohol merupakan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lansia yang mengalami operasi
bedah minor. Sedangkan durasi anastesi, penggunaan volatil dan pendidikan
tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto (2009), yang menunjukkan bahwa
variabel usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tidak berpengaruh terhadap
disfungsi kognitif.
Di RSUP Sanglah saat ini belum ada protap yang baku dan data yang
memadai tentang disfungsi kognitif paska operasi khususnya pada pasien lansia.
Jumlah pasien lansia yang mengalami pembedahan pada bulan Januari – Maret
2012 di RSUP Sanglah Denpasar sebanyak 225 orang dengan rata-rata 75 orang
perbulan.
Dari hasil survei yang dilakukan peneliti dengan kuesioner Short Portable
Mental State of Question (SPMSQ) pada bulan Mei Tahun 2012, terhadap 30
4
pasien lansia yang dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar
terdapat 6 orang (20%) mengalami POCD. Data yang diperoleh dari Instalasi
Rekam Medik rata-rata Length Of Stay (LOS) pasien umum dari bulan Januari-
Maret 2012 adalah 6,58 hari. Sedangkan rata-rata LOS pasien Lansia adalah 11,75
hari. Maka dapat disimpulkan rata-rata LOS pasien Lansia 78% lebih tinggi dari
LOS pasien pada umumnya.
Dilihat dari perbedaan hasil penelitian tersebut dan banyaknya kasus
POCD pada lansia yang mengalami pembedahan maka peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya POCD pada pasien
lansia yang menjalani pembedahan di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP
Sanglah Denpasar.
B. Rumusan Masalah
Uraian latar belakang di atas mendasari peneliti tertarik untuk membahas
lebih lanjut dengan rumusan masalah sebagai berikut : “Faktor risiko apa saja
yang menyebabkan terjadinya“Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD)
pada Lansia di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor risiko penyebab terjadinya POCD pada pasien lansia di
Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012.
2. Tujuan Khusus
5
a. Mengidentifikasi kejadian POCD pada pasien lansia di Ruang Instalasi Bedah
Sentral RSUP Sanglah Denpasar
b. Mengidentifikasi usia pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang
Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
c. Mengidentifikasi lama anastesi pada pasien lansia yang mengalami POCD di
Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
d. Mengidentifikasi penggunaan anastesi umum dan anastesi regional pada
pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP
Sanglah Denpasar
e. Mengidentifikasi jenis kelamin pada pasien lansia yang mengalami POCD di
Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
f. Mengidentifikasi tingkat pendidikan pada pasien lansia yang mengalami
POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
g. Mengidentifikasi status fisik ASA pada pasien lansia yang mengalami POCD
di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
h. Mengidentifikasi prosedur pembedahan kardiak dan non kardiak pada pasien
lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP
Sanglah Denpasar
i. Menganalisis pengaruh faktor usia, lama anastesi, penggunaan anastesi umum
dan anastesi regional, jenis kelamin, pendidikan, status fisik ASA dan
prosedur pembedahan pada pasien lansia terhadap kejadian POCD di Instalasi
bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar.
6
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat
teoritis.
1. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
a. Sebagai bahan masukan bagi perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan khususnya pada lansia yang akan mengalami pembedahan.
b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh praktisioner untuk melakukan
modifikasi kondisi pasien lansia terutama pada faktor-faktor penyebab yang
dapat meningkatkan risiko POCD, sehingga kejadian POCD dan komplikasi
akibat pembedahan pada lansia dapat diminimalisir.
2. Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari penilitian ini adalah :
a. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya Keperawatan
Gerontik dalam Perawatan Perioperatif Lansia.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka
terutama dalam bidang Perioperatif, serta sebagai bahan acuan bagi peneliti
selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Wijoto dan Andriyanto (2009), dengan judul Disfungsi Kognitif Pasca
Operasi Pada Pasien Operasi Elektif di GBPT RSU Dr. Sutomo Surabaya.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan lima puluh orang sampel berusia 40
tahun atau lebih yang menjalani pembedahan > 2 jam. Dilakukan serangkaian
7
pemeriksaan fungsi kognitif pra operasi dan tujuh hari pasca operasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setelah tujuh hari pasca operasi 30% sampel
mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52%
sampel mengalami disfungsi kognitif pasca operasi. Berdasarkan hasil uji
multivariat menunjukkan bahwa disfungsi kognitif tidak dipengaruhi oleh usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811). Namun
bila dianalisa pada masing-masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami POCD lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat
pendidikan ≤ Sekolah Dasar dan durasi operasi ≥180 menit. Perbedaan dengan
penelitian ini terletak pada lama penilaian POCD, uji analisis yang digunakan
serta sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien lansia yang
berusia 60-80 tahun.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keperawatan Perioperatif
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan
yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu fase preoperasi,
intraoperasi, dan postoperasi. Masing- masing fase di mulai pada waktu tertentu
dan berakhir pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa yang membentuk
pengalaman bedah dan masing-masing mencakup rentang perilaku dan aktivitas
keperawatan yang luas dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses
keperawatan dan standar praktik keperawatan. Disamping perawat kegiatan
perioperatif ini juga memerlukan dukungan dari tim kesehatan lain yang
berkompeten dalam perawatan pasien sehingga kepuasan pasien dapat tercapai
sebagai suatu bentuk pelayanan prima (Mansjoer, 2007). Keperawatan
perioperative terdiri dari preoperatif, intraoperatif dan postoperative yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Keperawatan Preoperatif
a. Evaluasi Preoperatif
Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi
pre-operatif pasien geriatri. Pertama, pasien harus selalu dianggap mempunyai
risiko tinggi menderita penyakit yang berhubungan dengan penuaan.
Penyakit-penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut berpengaruh dalam 8
9
teknik penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis
yang tepat. Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan
pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5%
dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut
yang akan menjalani pembedahan non cardiac. Diagnosis pulmoner dan
optimisasi tidak dapat diperkirakan secara pre operatif (Smeltzer dan Bare,
2002).
Kedua, harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ
yang spesifik dan pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan.
Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi
fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan riwayat
pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan dilakukan, dan
bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja. Penelitian prospektif
abnormalitas laboratorium pada pasien lanjut usia tidak dapat menunjukkan
nilai laboratorium spesifik sebagai prediksi hasil selanjutnya. Hanya status
fisik ASA dan risiko pembedahan yang mempunyai hasil prediksi bermakna.
Adanya ditemukan abnormalitas pada elektrokardiogram, tetapi pemeriksaan
EKG ini juga tidak mampu untuk memprediksi komplikasi postoperatif
jantung.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat
dicegah dengan mencari ada tidaknya β-blockade perioperatif pada pasien
dengan penyakit arteri koroner yang diketahui, terutama bila muncul beberapa
10
minggu terakhir sebelum operasi. Pada pasien usia lanjut yang menggunakan
terapi β-blocker jangka panjang, tampaknya β-blocker long-acting akan lebih
efektif dibandingkan dengan β-blocker short-acting dalam mengurangi resiko
infark miokard perioperatif. Protokol yang menyertakan pemberian β-blocker
pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan diteruskan selama operasi
berhubungan dengan peningkatan insidens stroke dan semua penyebab
mortalitas (Miller, 2010).
b. Penanganan Anestesi
1) Farmakologi Klinis
Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia
lanjut akan diterangkan secara mendalam dan termasuk perubahan pada (1)
ikatan protein plasma, (2) tubuh, (3) metabolisme obat, dan (4)
farmakodinamik. Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang
bersifat asam adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah α1-acid
glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun sejalan dengan usia,
sedangkan kadar α1-acid glikoprotein meningkat. Dampak gangguan protein
pengikat plasma terhadap efek obat tergantung pada protein tempat obat itu
terikat, dan menyebabkan perubahan fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan
ini kompleks, dan umumnya perubahan kadar protein pengikat plasma
bukanlah faktor predominan yang menentukan bagaimana farmakokinetik akan
mengalami perubahan sesuai dengan usia (Miller, 2010).
Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan massa
tubuh, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan air tubuh total. Penurunan air
11
tubuh total dapat menyebabkan mengecilnya kompartemen pusat dan
peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus.
Selanjutnya, peningkatan lemak tubuh dapat menyebabkan membesarnya
volume distribusi, dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang
diberikan.
Gangguan hepar dan klirens ginjal, dapat terjadi sesuai dengan
penambahan usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar
dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat. Respons klinis
terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut mungkin disebabkan karena
adanya gangguan sensitivitas pada target organ (farmakodinamik). Bentuk
sediaan obat yang diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitivitas
menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek anestesi pada pasien
usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan lebih sensitif terhadap obat
anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit dan efek obat yang
diberikan bisa lebih lama. Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena
bisa menjadi berat karena adanya interaksi dengan jantung dan vaskuler yang
telah mengalami penuaan. Kompensasi yang diharapkan sering tidak terjadi
karena perubahan fisiologis berhubungan dengan proses penuaan normal dan
penyakit yang berhubungan dengan usia (Miller, 2010).
2) Farmakologi Klinis Obat-obat Anestesi Spesifik
a) Anestesi Inhalasi
Konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar concentration =
MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per dekade pada mayoritas
12
anestesi inhalasi. Pola yang serupa terlihat juga pada MAC-awake. Mekanisme
kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion
neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin,dan reseptor glutamat. Mungkin
adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau
sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan
farmakodinamik tersebut (Miller, 2010).
b) Anestesi intravena dan benzodiazepine
Perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan
dengan usia dinyatakan tidak ada, namun, dosis tiopental yang diperlukan
untuk mencapai anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia.
Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan karena
penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume distribusi
inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi setelah pemberian
tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia lanjut. Sama seperti pada
kasus etomidate, perubahan farmakokinetik sesuai usia (disebabkan karena
penurunan klirens dan volume distribusi inisial), bukan gangguan responsif
otak yang terganggu, bertanggung jawab terhadap penurunan dosis etomidate
yang diperlukan pada pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih sensitif
terhadap efek propofol, pada usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga
mengalami penurunan. Efek penambahan ini berhubungan dengan peningkatan
sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia lanjut.
Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama
endoskopi gastrointestinal atas mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien
13
berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas
otak dan penurunan klirens obat (Miller, 2010).
c) Opiat
Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin
post operatif, pasien berusia lanjut hanya memerlukan sedikit obat untuk
menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6-elucuronide
mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada pasien berusia
lanjut. Morphine-6-glueuronide tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan
insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan eliminasi morfin
glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia
dari dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia lanjut.
Shafer (2009) melakukan tinjauan komperehensif terhadap farmakologi
sufentanil, alfentanil, dan fentanil pada pasien berusia lanjut. Sufentanil,
alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia
lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak
terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik.
Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan
sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali
lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu
setengah kali bolus. Akibat volume kompartemen pusat, dan penurunan klirens
pada usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus (Miller,
2010).
14
d) Pelumpuh Otot
Usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot dan durasi
kerja obat mungkin akan memanjang jika diberikan pada lansia. Diperkirakan
terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena
ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens
pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium bergantung
pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan waktu paruh
eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi
perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur
eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada
pasien berusia lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien
berusia lanjut. Durasi memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap
kerja vecuronium menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar
(Miller, 2010).
e) Anestesia neuraksial dan blok saraf perifer
Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade
motorik dengan pemberian anestesi bupivacaine akhir. Waktu onset akan
menurun, bagaimanapun juga penyebaran anestesi akan lebih baik dengan
pemberian cairan bupivacaine hiperbarik. Dampak usia terhadap durasi
anestesia epidural tidak terlihat pada pemberian bupivacaine 5%. Waktu onset
akan memendek, dan kedalaman blok anestesia akan bertambah besar. Terlihat
klirens plasma lokal anestesi yang menurun pada pasien berusia lanjut. Hal ini
dapat menjadi faktor yang mengurangi penambahan dosis dan jumlah infus
15
selama pemberian dosis berulang dan teknik infus berkesinambungan (Bekker,
2003).
3) Teknik Anestesi
a) Keuntungan Obat-Obat Spesifik pada pasien lanjut usia
Data menunjukkan bahwa penyakit penyerta preoperatif merupakan
determinan yang lebih besar terhadap komplikasi post operatif dibandingkan
dengan penatalaksanaan anestesi. Beberapa pendapat menitikberatkan pada
penatalaksanaan farmakologi dan fisiologi terhadap usia lanjut. Mungkin
terdapat peranan anestesi yang bekerja singkat untuk pasien berusia lanjut.
Metode titrasi opioid mungkin lebih baik menggunakan opioid dngan kerja
singkat seperti remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus,
variabilitas farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan
dengan opioid intravena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan
pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan
blokresidual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila
dibandingkan dengan atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex
sebagai obat reversal untuk rocuronium akan meningkatkan penggunaan
pelumpuh ototpada pasien berusia lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi
inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemulihan profil
fungsi kognitif. Desflurane berhubungan dengan emergensi paling cepat
(Bekker, 2003).
16
Tekanan darah optimal selama pembedahan akan mendukungkah
penanganan fisiologis optimal sehinggga memberikan hasil pembedahan
terbaik. Dipertanyakan selama tindakan bypass cardiopulmoner, pada tekanan
berapakah tekanan perfusi yang paling baik. Menurut penelitian, pasien
dengan usia lanjut dapat menerima anestesia hipotensif dengan aman (tekanan
darah arteri rata-rata adalah 45-55 mmHg) selama pembedahan ortopedik
tanpa terjadi peningkatan risiko. Penggunaan kateter arteri pulmonal pada
pasien berisiko tinggi juga dipertanyakan karena banyak penelitian
randomissasi prospektif yang menganalisis mortalitas selama perawatan dan
tidak didapatkannya keuntungan dari terapi dengan memasukkan kateter arteri
pada pasien usia lanjut berisiko tinggi yang memerlukan perawatan ICU
(Miller, 2010).
b) Anestesi regional berbanding anestesi umum
Mayoritas bukti menunjukkan sedikit perbedaan hasil antara anestesi
regional dan anestesi umum pada pasien berusia lanjut. Hasil ini telah
dilaporkan pada berbagai jenis pembedahan, termasuk prosedur pembedahan
vaskuler mayor dan ortopedik. Penggunaan anestesi regional tampaknya tidak
menurunkan insidens disfungsi kognitif postopertaif bila dibandingkan dengan
anestesi umum (Bekker, 2003).
Efek spesifik anestesi regional memberikan beberapa keuntungan.
Pertama, anestesi regional mempengaruhi system koagulasi dengan cara
mencegah inhibisi fibrinolisis post operatif. Thrombosis vena dalam atau
emboli paru dapat terjadi pada 2,5% pasien setelah menjalani beberapa
17
prosedur berisiko tinggi. Pada revaskularisasi ekstremitas bawah, anestesi
regional berhubungan dengan penurunan insidens thrombosis graft bila
dibandingkan dengan anestesi umum.Kedua, efek hemodinamik anestesi
regional mungkin berhubungan dengan lebih sedikitnya jumlah darah yang
hilang pada pembedahan pelvis dan ekstremitas bawah. Ketiga, anestesi
regional tidak memerlukan instrumen alat bantu nafas dan pasien dapat
mempertahankan jalan nafas dan fungsi parunya sendiri. Data menunjukkan
bahwa pasien berusia lanjut lebih rentan terhadap episode hipoksia selama
dalam ruang pemulihan. Pasien dengan anestesi regional mempunyai risiko
hipoksemia yang lebih rendah.Komplikasi paru yang terjadi pada anestesi
regional juga lebih sedikit (Miller, 2010).
2. Konsep Intraoperatif
Fase intraoperatif dimulai saat pasien ditempatkan pada meja operasi dan
berakhir saat pasien dibawa ke ruang pemulihan. Asuhan keperawatan pada fase
ini difokuskan pada kesejahteraan emosional pasien dan faktor fisik seperti:
keamanan, posisi, mempertahankan teknik asepsis dan memanajemen lingkungan
pembedahan. Pada fase ini pasien mempunyai ketergantungan yang tinggi pada
perawat untuk memenuhi kebutuhannya. Perawat merupakan advokat pasien
sampai dengan tahap induksi untuk dilakukan anestesi. Pembedahan merupakan
pengalaman yang membuat stress, pasien membutuhkan rasa aman dengan
mengetahui bahwa ada orang yang memberikan perlindungan selama prosedur
dan ketika dianestesi (Smeltzer dan Bare, 2002).
18
Pada fase intraoperatif perawat mempunyai tanggung jawab mereview
status lengkap pasien, mengecek status pembedahan pasien sesuai dengan
penyakitnya, menjaga keamanan dan kesejahteraan pasien, dan memberikan
dukungan emosional khususnya pada pasien yang mengalami ketakutan dan
kecemasan. Pasien yang rileks akan lebih mudah untuk dilakukan induksi anestesi
daripada pasien dalam keadaan cemas sehingga ketakutan dan kecemasan pasien
harus diatasi dahulu, bisa dengan memberikan penjelasan, dukungan sosial, dan
sedasi. Bila pasien masih tetap cemas perawat dapat konsul ke ahli bedah atau
anestesi (Smeltzer dan Bare, 2002).
a. Anggota Tim Operasi
Tim operasi adalah sekelompok individu yang telah dilatih dengan baik
dan harus bersama-sama dalam kerjasama tim untuk kesejahteraan dan keamanan
pasien selama pembedahan. Tim operasi terdiri dari: ahli bedah, ahli anestesi atau
perawat anestesi, perawat sirkuler, perawat instrumen dan asisten (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Ahli bedah adalah ketua tim operasi dan membuat keputusan utama terkait
dengan pembedahan seperti: kapan mengambil organ atau jaringan, melakukan
amputasi, atau melakukan perbaikan yang radikal atau extensive. Ahli bedah harus
waspada setiap waktu terhadap perubahan-perubahan kebutuhan fisiologis pasien
selama pembedahan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Ahli anestesi (dokter) dan perawat anestesi (dengan tambahan pendidikan
khusus) mempunyai tugas untuk menurunkan nyeri pasien dan meningkatkan
relaksasi dengan medikasi. Mereka harus dapat menjaga kepatenan jalan nafas,
19
kestabilan hemodinamik dan memberitahu operator atau tim operasi tentang
komplikasi yang mungkin terjadi (Smeltzer dan Bare, 2002). Perawat sirkuler
bertugas menjaga kelancaran jalan operasi dengan menyediakan alat-alat, obat-
obatan yang diperlukan di meja operasi, membantu pengelolaan bahan medis
habis pakai, alat-alat tajam dan membantu perhitungan instrumen serta mengatur
pembuangan spesimen atau hal-hal yang tidak diperlukan.
Perawat instrumen atau scrub nurse adalah registered nurse atau ahli
teknologi bedah, membantu operator selama prosedur dengan memberikan
langsung instrumen yang dibutuhkan, benang bedah, dan alat lain yang
dibutuhkan. Selama pembedahan perawat instrumen atau scrub melakukan
perhitungan akurat alat, BMHP atau instrumen bedah dalam area steril (Smeltzer
dan Bare, 2002). Asisten langsung operator biasanya adalah ahli bedah lain atau
residen bedah. Registered nurse atau tenaga profesioanl yang punya pengalaman
dalam bedah juga bertindak sebagai asisten berdasarkan instruksi ahli bedah.
Tim kesehatan lain bisa merupakan bagian dari tim operasi jika
diperlukan perannya dalam prosedur pembedahan, misalnya ahli patologi yang
diminta untuk mengidentifikasi proses patologi. Teknisi radiologi mungkin
diperlukan untuk melakukan berbagai prosedur radiologi saat pasien di meja
operasi. Ahli perfusi kardiopulmoner mungkin diperlukan untuk membantu
selama pembedahan kardiotorak (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Keperawatan Postoperatif
Pasien bedah umum berusia >65 tahun ke atas berisiko mengalami
atelektasis (17%), bronkitis akut (12%), pneumonia (10%), gagal jantung atau
20
infark miokard (6%), delirium (6%), dan tanda-tanda neurologis fokal baru
(1%). Pada prosedur dengan risiko yang lebih tinggi, seperti bedah vaskuler,
insidens komplikasi pulmoner postoperatif adalah sebesar 15,2%. Berbagai
prediktor komplikasi pulmoner post operatif pada pembedahan non jantung
elektif telah berhasil diidentifikasi, dan risiko yang ada mengindikasikan
terjadinya perkembangan pneumonia post-operatif. Pasien berusia lanjut
mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami aspirasi sekunder terhadap
penurunan progresif pada diskriminasi sensorik laringofaringeal yang terjadi
dengan penambahan usia. Selain itu disfungsi proses menelan juga merupakan
predisposisi aspirasi pada pasien berusia lanjut. Setelah operasi jantung,
disfungsi menelan terjadi pada 4% pasien dan lebih sering terjadi pada pasien
usia lanjut. Disfungsi menelan setelah pembedahan jantung berhubungan erat
dengan penggunaan echocardiography transesofageal intraoperatif dan
menyebabkan 90% aspirasi pulmoner dan pneumonia (Miller, 2010).
Penelitian klinis dan eksperimen mendukung adanya penurunan
persepsi sakit sejalan dengan bertambahnya usia. Tetapi, tetap belum jelas
apakah perubahan yang terjadi disebabkaan karena proses penuaan atau akibat
dari efek penuaan lainnya, seperti adanya penyakit comorbid (penyerta).
Masalah yang lebih besar terjadi pada pasien dengan gangguan kognitif. Bukti-
bukti menunjukkan evaluasi nyeri, terutama pada individu dengan gangguan
kognitif, sulit dilakukan. Prinsip dasar dari evaluasi nyeri pada pasien berusia
lanjut sama dengan pada kelompok usia lainnya. Skala nyeri verbal merupakan
21
metode yang lebih baik dibandingkan dengan metode non verbal pada pasien
usia lanjut.
Penuaan mengganggu fungsi organ dan farmakokinetik. Kombinasi
pemeriksaan nyeri dan dosis obat merupakan tantangan dalam penanganan
nyeri postoperatif pada pasien berusia lanjut. Beberapa prinsip umum harus
diingat saat menangani pasien usia lanjut yang rentan. Pertama, penting untuk
mencoba membandingkan berbagai jenis analgetik, seperti analgetik yang
diberikan intravena, dan blok saraf regional, untuk meningkatkan analgesia dan
menurunkan toksisitas narkotik. Prinsip ini terutama pada pasien berusia lanjut
yang rentan, dengan toleransi yang buruk terhadap narkotik sistemik. Kedua,
penggunaan analgetik dengan daerah kerja spesifik akan sangat membantu,
seperti pada ekstremitas atas untuk blok saraf lokal. Ketiga, bila mungkin harus
digunakan obat anti inflamasi untuk memisahkan narkotik, analgetik, dan
menurunkan mediator inflamasi. Kecuali terdapat kontra indikasi, atau
kecenderungan terjadi hemostasis atau ulserasi peptikum, maka obat anti
inflamasi non steroid harus diberikan. Penanganan nyeri post operatif dengan
opioid dapat digunakan setelah dosisnya disesuaikan dengan usia (Miller,
2010).
4. Komplikasi Post Operatif
Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama
sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan biasanya
mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan kecepatan
psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan
22
membaik dalam waktu 3 bulan. Pembedahan jantung berhubungan dengan 36%
insidens terjadinya penurunan kognitif dalam waktu 6 minggu setelah operasi.
Insidens disfungsi kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien
dengan usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan 10%
pada bulan ketiga. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan
dapat disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama
pada pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass
kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor-faktor genetik (alel E4).
Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif
postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian
yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh
yang paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,
walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Penurunan kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan
kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang
lebih 1% pasien (Miller, 2010).
B. Gangguan Kognitif
1. Pengertian
Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan
memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan
memperhatikan (Stuart dan Sundeen, 2002).
Gangguan kognitif meliputi gangguan dalam pikiran atau ingatan yang
menggambarkan perubahan nyata dari tingkat fungsi individu yang sebelumnya
23
(APA, 2000). Gangguan kognitif (Cognitive Disorder) disebabkan oleh kondisi
fisik atau medis (misalnya, otak mengalami kerusakan, mengalami gangguan
karena penyakit, luka-luka, atau stroke), dan penggunaan obat atau pemberhentian
penggunaan obat-obatan secara tiba-tiba yang mempengaruhi fungsi dari otak.
Faktor psikologis disini berperan sebagai penentu dampak dari simtom-simtom
yang melumpuhkan. Misalnya, bagaimana cara individu akan mengatasi
penurunan kemampuan kognitif dan fisiknya.
Gangguan kognitif terjadi apabila otak mengalami kerusakan atau
mengalami hendaya dalam kemampuannya untuk berfungsi akibat luka-luka,
penyakit, keterpaparan terhadap racun-racun, atau penggunaan atau
penyalahgunaan obat-obatan psikoaktif. Derajat dan lokasi kerusakan otak
banyak menentukan tingkat dan keparahan hendaya. Biasanya, semakin menyebar
kerusakannya, semakin besar dan semakin parah hendaya dalam fungsi. Lokasi
kerusakan juga sangat penting karena banyak struktur atau daerah otak yang
menampilkan fungsi-fungsi khusus. Misalnya, kerusakan pada lobus temporal
dihubungkan dengan kerusakan dalam ingatan dan perhatian, sedangkan
kerusakan pada lobus oksipital mungkin menghasilkan defisit visual-spasial,
seperti hilangnya kemampuan untuk mengenali wajah (APA, 2000).
2. Jenis Gangguan Kognitif.
Pada gangguan kognitif, diagnosa medis yang sering dihadapi adalah :
24
a. Delirium
Adalah fungsi kognitif yang kacau ditandai dengan kesadaran berkabut
yang dimanifestasikan oleh lama konsentrasi yang rendah, persepsi yang salah,
gangguan pikir (Stuart dan Sundeen, 2002).
b. Demensia
Adalah gangguan kognitif yang ditandai oleh hilangnya fungsi intelektual
yang berat (Stuart dan Sundeen, 2002).
c. Gangguan Amnestik
Menurut Dumark (2006 dalam Fitriani, 2012) menyatakan bahwa
gangguan amnestik adalah kemunduran dalam kemampuan mentransfer informasi
dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang, tanpa adanya gejala-gejala
demensia lain, sebagai akibat trauma kepala atau penyalahgunaan obat.
Sedangkan menurut Nevid (2003) menyatakan bahwa gangguan amnestik
adalah gangguan ingatan yang dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk
mempelajari materi baru atau mengingat kembali peristiwa - peristiwa masa
lalu. Gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang
ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru
(amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang
sebelumnya diingat (amnesia retrograd).
3. Tanda dan Gejala
a. Delirium : fluktuasi tingkat kesadaran, disorientasi proses pikir, kerusakan
penilaian dan pengambilan keputusan, ilusi, halusinasi penglihatan, afek
labil, gelisah, agitasi.
25
b. Demensia : disorientasi kehilangan daya ingat, penurunan konsentrasi,
kerusakan penilaian dan pengambilan keputusan, perilaku sosial yang tidak
sesuai, afek labil, gelisah, agitasi, menolak perubahan.
c. Gangguan Amnestik
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan
daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau
pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda
lain dari gangguan kognitif, seperti yang terlihat pada demensia, atau jika
mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran, seperti yang terlihat
pada delirium.
d. Gangguan Kognitif Ringan : daya ingat terganggu, disorientasi, koheren,
sukar berpikir logis.
4. Etiologi Gangguan Kognitif
a. Faktor Predisposisi
Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan
saraf pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan
pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat
menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah,
keracunan zat (Beck, Rawlins dan Williams, 2006). Banyak faktor lain yang
menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan kognitif, seperti kekurangan
vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa fungsional.
26
b. Faktor Presipitasi
Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia dapat
berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik
Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak berkurang.
Gangguan metabolisme sering mengganggu fungsi mental, hipotiroidisme,
hipoglikemia. Racun, virus dan virus menyerang otak mengakibatkan gangguan
fungsi otak, misalnya sifilis. Perubahan struktur otak akibat trauma atau tumor
juga mengubah fungsi otak. Stimulus yang kurang atau berlebihan dapat
mengganggu fungsi kognitif. Misalnya ruang ICU dengan cahaya, bunyi yang
konstan merangsang dapat mencetuskan disorientasi, delusi dan halusinasi,
namun belum ada penelitian yang tepat.
5. Rentang Respons Gangguan Kognitif
Respon Adaptif --------
-----------------------------
-------------Respon Maladaptif
Decisiveness Memori baik Orientasi penuh Persepsi akurat Perhatian terfokus – Koheren - Berfikir logis
Periodic indecisiveness Tidak mampu membuat keputusan Pelupa Kadang-kadang bingung Ragu Mispersepsi Pikiran kacau Kadang-kadang pikiran tidak jernih
Tidak mampu membuat keputusan Kerusakan memori Disorientasi - Mispersepsi Perhatian tidak terfokus Sulit memberikan alasan yang logis Kerusakan penilaian
27
Gambar 1 Rentang Respons Kognitif (Stuart dan Sundeen, 2002)
6. Mekanisme Gangguan Kognitif
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya.
Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan struktural dan
fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari pada pasien dengan hepatic
encephalopathy dan pada pasien dengan putus alkohol. Hipotesis utama yaitu
gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas dari
neurotransmitter (White, 2002).
a. Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Kadar
asetilkolin yang redah menyebabkan munculnya gejala-gejala pada pasien
delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik
diketahui sebagai penyebab keadaan bingung pada pasien dengan transmisi
kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post operatif
delirium serum antikolinergik juga meningkat (White, 2002).
b. Dopamin
Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik.
Pengobatan simptomatis dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol
dan obat penghambat dopamin.
28
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encefalopati hepatikum (White, 2002).
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya infeksi
yang luas dan paparan toksik,bahan pirogen endogen seperti interleukin-1
dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan
delirium,terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan
interleukin 6 (White, 2002).
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium
(White, 2002).
f. Mekanisme struktural
Pada studi menggunakan MRI, terdapat data yang mendukung hipotesis
bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang penting dalam
patofisiologi delirium. Formatio retikularis dan jalurnya memainkan peranan
penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari
formation retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang
terlibat pada delirium. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan
gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis
tersebut dapat menyebabkan delirium (White, 2002).
29
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan
delirium,mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak (White, 2002).
7. Domain Fungsi Kognitif
a. Perhatian atau atensi
Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak
dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbic
dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk focus pada stimulus spesifik dan
mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan
kemampuan untuk memperhatikan atensi dalam periode yang lebih lama.
Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti
memori, bahasa, dan fungsi eksekutif.
b. Bahasa
Merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa,
pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami
kesulitan atau tidak dapat dilakukan.
c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi,
proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam
tiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori.
30
d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti
menggambar atau meniru berbagai macam gambar (missal : lingkaran, kubus) dan
menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan
lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.
e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir
dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks
prefrontal dorsolateral dan struktus subkortikal yang berhubungan dengan daerah
tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal subkortikal
terputus. Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi empat komponen yaitu
volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan),
effective performance (pelaksanaan yang efektif). Bila terjadi gangguan fungsi
eksekutif maka gejala yang muncul sesuai dengan empat komponen di atas.
Berdasarkan uraian anatomis fungsional fungsi kognitif di atas dapat
dihubungkan lokasi lesi dengan masing-masing domain kognitif antara lain :
1) Atensi : girus cinguli anterior di lobus frontal.
2) Memori : sebagian besar temporal kanan (memori visual) dan temporal kiri
(auditorik) antara lain hipokampus, forniks, girus dentatus, korteks
entorhinal, dan lain-lain.
3) Bahasa : lobus frontal inferior (area brocca) dan lobus temporal (area
wernicke) pada hemisfer dominan.
4) Visuospasial : lobus parietal.
31
5) Fungsi eksekutif : korteks prefrontal dorsolateral, dan struktur subkortikal
yang berhubungan dengan daerah tersebut.
8. Cara Pencegahan POCD
Beberapa langkah penting dalam manajemen disfungsi kognitif atau
delirium adalah sebagai berikut (Bradley, 2004).
a. Mencari penyebab dan mengobati kausa tersebut
b. Perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, status nutrisi dan penanganan
awal infeksi.
c. Intervensi melalui pendekatan lingkungan. Pasien perlu penentraman hati,
dan reorientasi untuk mengurangi ansietas. Pada perawatan di rumah sakit
pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga cukup cahaya agar
pasien dapat tahu dimana dia berada, tetapi dengan penerangan yang tidak
mengganggu tidur pasien. Hal lain yang perlu dilakukan dalam upaya
memberi ketenangan pada pasien yakni minimalisasi pergantian staf medis
yang merawat pasien, minimalisasi stimulasi sensoris yang mengganggu
(contohnya suara yang bising), pemasangan musik yang lembut, serta
pembatasan kedatangan dari orang asing yang belum dikenal pasien.
Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai
penyakit pasien agar mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien
dapat menolong pasien dalam perawatan sehingga pasien merasa lebih
tentram. Keluarga maupun teman perlu menemani dan menjenguk pasien.
32
d. Pendekatan komunikasi dan dukungan yang tepat terhadap pasien delirium
merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Bila memungkinkan, semua
hal harus dijelaskan kepada pasien dengan baik dan lengkap. Gangguan
persepsi seperti halusinasi yang dialami pasien tidak seharusnya ditentang
atau justru didukung. Pasien harus sesering mungkin diberikan dukungan
emosional.
e. Kewaspadaan terhadap faktor risiko juga penting dilakukan pada pasien.
Strategi intervensi faktor risiko delirium mencakup manajemen enam faktor
risiko kunci pada delirium (gangguan kognitif, gangguan tidur, imobilitas,
gangguan visual, gangguan pendengaran dan dehidrasi) dapat mengurangi
episode dan lama durasi MRS pada pasien tua yang mengalami delirium.
9. Cara Mengukur POCD
Penyebab-penyebab fisiologis, psikologis, dan multiple dari kerusakan
kognitif pada lansia, disertai dengan pandangan bahwa kerusakan mental adalah
normal, proses berhubungan dengan usia, sering menimbulkan pengkajian tak
lengkap terhadap masalah ini. Standarisasi tes pemeriksaan suatu variasi tentang
fungsi kognitif, membantu mengidentifikasi deficit-defisit yang berdampak pada
seluruh kemampuan fungsi. Tes formal dan sistemik dari status mental dapat
membantu perawat menentukan prilaku mana terganggu dan memerlukan
intervensi. Beberapa alat ukur untuk mengetahui adanya gangguan kognitif
diantaranya adalah SPMSQ dan MMSE.
a. Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)
SPMSQ digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan
33
intelektual, terdiri dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam
hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh, dan kemampuan
matematis (Pfeiffer dalam Lueckenotte, 1998). Metode penentuan skor sederhana
merentangkan tingkat fungsi intelektual, yang membantu dalam membuat
keputusan yang kusus mengenai kapasitas perawatan diri. Hasil dari penilaian
SPMSQ dapat dikelompokkan menjadi : kesalahan 0-2 fungsi intelektual utuh,
kesalahan 3-4 kerusakan intelektual ringan kesalahan 5-7 kerusakan intelektual
sedang, kesalahan 8-10 kerusakan intelektual berat.
b. Mini-Mental State Exam (MMSE)
Mini-Mental State Exam (MMSE) menguji aspek kognitif dari fungsi
mental: orientasi,regristrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali, dan
bahasa. Nilai kemungkinan adalah 30, dengan nilai 21 atau kurang biasanya
indikasi adanya kerusakan kognitif yang memerlukan penyelidikan lanjut.
Pemeriksaan ini memerlukan hanya beberapa menit untuk melengkapi dan dengan
mudah dinilai, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk tujuan diagnostik.
Pemeriksaan mini mental mengukur beratnya kerusakan kognitif dan
mendemonstrasikan perubahan kognitif pada waktu dan dengan tindakan. Ini
adalah suatu alat yang berguna untuk mengkaji kemajuan klien yang
berhubungan dengan intervensi. Alat pengukur status afektif digunakan untuk
membedakan jenis depresi serius yang mempengaruhi fungsi-fungsi dari suasana
hati rendah, umumnya pada banyak orang (Kusumoputro dan Sidiarto, 2010).
34
C. Konsep Lanjut Usia
1. Pengertian
Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang
definisi lanjut usia , yaitu:
a. Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase
prasenium yaitu lansia yang berusia antara 55–65 tahun, dan fase senium
yaitu lansia yang berusia lebih dari 65 tahun (Nugroho, 2008).
b. Lanjut usia adalah orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun (UU No.13
tahun 1998).
Dilihat dari batasan lanjut usia di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia
adalah seseorang yang telah berusia lebih dari 60 tahun.
2. Perubahan Fisiologis pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah sebagai berikut :
a. Sistem Kardiovaskular
Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan
pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering
baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses
penuaan pada sistem kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien
manula hipertensi harus diturunkan secara perlahan-lahan sampai tekanan darah
140/90 mmHg. Pada lansia, tekanan sistolik sama pentingnya dengan tekanan
diastolik. Tahanan pembuluh darah perifēr biasanya meningkat akibat penebalan
serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-arteri besar. Kedua
hal tersebut sering menurunkan isi cairan intra-vaskuler. Waktu sirkulasi
35
memanjang dari aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi penurunan respon
terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi serta autoregulasi
menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga terjadi pada pembuluh
koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai penebalan dinding ventrikel.
sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh proses penuaan, sehingga sering
terjadi LBBB, perlambatan konduksi intraventikular, perubahan-perubahan
segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium. Semua hal di atas
mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem kardiovaskuler dalam
menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang (Allison, 2009).
b. Sistem Pernafasan
Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang,
kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara
ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan
akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya
pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia.
Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas.
Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, refleks
laring dan faring juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan
kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar (Allison, 2009).
c. Sistem Ginjal
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus
(LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons
terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi.
36
Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi overload
cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia. Ambang rangsang
glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya. Produksi
kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun
kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-perubahan di
atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat
mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien
ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam darahnya, apalagi
bila diberikan larutan garam kalium secara intra vena. Kemampuan untuk
mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam
asidosis metabolik. Kemungkinan trerjadi gagal ginjal juga meningkat (Allison,
2009 ; Shafer, 2009).
d. Sistem Hati dan Lambung Usus
Pasien lansia mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat
obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obat-
obat yang diekskresi melalui hati. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem
gastrointestinal, sfingter gastro–esofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu
pengosongan lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi
(Shafer, 2009).
e. Sistem Saraf Pusat
Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif,
sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur
menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak menurun. Berat otak menurun
37
karena berkurangnya jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak
kecil. Berat otak pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun
menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi positif antara
berat otak dan harapan hidup. Terdapat juga penurunan fungsi neurotransmiter.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah dipengaruhi
oleh efek samping obat terhadap sistem saraf. Dengan demikian konsentrasi
alveolar minimum dari anestetika menurun dengan bertambahnya usia (Allison,
2009 ; Shafer, 2009).
3. Kesehatan Lanjut Usia
Faktor kesehatan meliputi kesehatan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.
Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik
terhadap serangan penyakit sedangkan faktor kesehatan psikis meliputi
penyesuaian terhadap kondisi usia lanjut yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Kesehatan fisik
Keadaan fisik merupakanfaktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan
fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-
tahap tertentu (Nugroho, 2008). Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa
serangan penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem
pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang
sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan,
saluran kencing, fungsi indera, dan menurunnya konsentrasi.
38
b. Kesehatan psikis
Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara
otomatis akan timbul kemunduran psikis. Salah satu penyebab menurunnya
kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran. Dengan menurunnya fungsi
dan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia maka banyak dari mereka
yang gagal dalam menangkap isi pembicaraan orang lain sehingga mudah
menimbulkan perasaan tersinggung, tidak dihargai dan kurang percaya diri.
4. Kognitif Lanjut Usia
Setiati, Harimurti dan Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan
kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan
meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak
(menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama
transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan
mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa
lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai
kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam
pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait
penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan
memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan
pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008)
menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut
39
usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan
pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan
serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps,
kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan
Rodrigue (dalam Myers, 2008) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas
substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar
hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008).
Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis
lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama
dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut
memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif
(Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008).
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Kognitif Pasca Operasi
pada Lansia
Menurut Krenk, et al (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
Disfungsi Kognitif adalah sebagai berikut :
1. Faktor Post operatif POCD: respons inflamasi, nyeri post operasi, gangguan
tidur akibat stress, opioids
2. Intervensi : Bedah invasive minimal/ Minimaly invasive surgery, kontrol
nyeri non opiod, percepatan pulang (Early discharge), penggunaan sedatif,
reduction in nighttimenoise
3. Faktor yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit : perubahan
lingkungan, LOS (Length of hospital stay), perubahan waktu tidur,
40
4. Faktor pre operasi (Penyakit penyerta, pendidikan yang rendah, gangguan
fungsi kognitif).
Selain faktor yang dikemukakan di atas, masih terdapat faktor demografi
lansia seperti hal berikut :
a. Status Kesehatan
Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif
lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek
penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus
prefrontal, penurunan hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di
lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan
penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif
(Briton &Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).
b. Faktor usia
Suatu penelitian yang mengukur kognitif pada lansia menunjukkan skor di
bawah cut off skrining adalah sebesar 16% pada kelompok usia 65-69, 21% pada
70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada >80 tahun. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif
(Scanlan et al, 2007).
Dengan meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang
sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative). Usia
lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan terhadap efek primer atau sekunder
anastesi sehingga efek terjadinya gangguan kognitif lebih besar.
41
Usia pasien menentukan untuk mengalami delirium yang merupakan salah
satu POCD melalui perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik, mengurangi
kapasitas untuk homeostatik dan struktural penyakit otak dan proses-proses
fisiologis terkait dengan penuaan. Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi
yang tinggi antara kognisi dan pasca-operasi premorbid kebingungan, disorientasi,
penurunan kesadaran, dan bahkan kematian (White, 2002).
Menurut Canet et al (2003), lanjut usia >70 tahun memiliki risiko lebih
tinggi daripada usia dibawah 70 tahun untuk mengalami disfungsi kognitif.
c. Status Pendidikan
Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik
dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007). Banyak
studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah
menderita penyakit Alzheimer (Scanlan, 2007). Tingkat fungsi intelektual
premorbid mempengaruhi kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan
respons terhadap rehabilitasi.
d. Jenis Kelamin
Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal ini
disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan fungsi
kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang berperan dalam
fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Rendahnya level estradiol dalam
tubuh telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif umum dan memori
verbal. Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi
42
kerusakan akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari
toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Yaffe dkk, 2007 dalam Myers, 2008).
Menurut Canet et al (2003), wanita pada usia lanjut memiliki
kecenderungn mengalami disfungsi kognitif lebih tinggi tinggi dibandingkan laki-
laki.
43
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan
memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan
memperhatikan. Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari
pertama sampai beberapa minggu setelah operasi dicatat dengan baik dan
biasanya mencakup beberapa kognitif seperti perhatian, memori, dan kecepatan
psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan
membaik dalam waktu tiga bulan.
Risiko-risiko terjadinya penurunan kognitif post operatif adalah usia,
tingkat pendidikan yang rendah, gangguan kognitif preoperative, depresi, dan
prosedur pembedahan. Disfungsi jangka pendek setelah pembedahan dapat
disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada
pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (by pass
kardiopulmoner), anastesi, depresi dan faktor-faktor genetik.
Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi secara medis, hati-hati dan
observasi paska operasi yang paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi
potensial yang terjadi.
Berdasarkan uraian di atas, adapun kerangka konsep dari penelitian ini
diterangkan dengan skema yang tertera sebagai berikut :
43
44
Keterangan :
: Diteliti : Alur
: Tidak diteliti
Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian
B. Variabel Penelitian dan Definisi operasional Variabel.
1. Variabel penelitian
Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh
kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007),
variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan
Tindakan Pembedahan Penggunaan Anastesi
e. Disfungsi Kognitif 1) Atensi 2) Memori 3) Bahasa
4) VisuoSpasial 5) Eksekutif
Faktor Internal a. Usia b. Jenis Kelamin c. Tingkat Pendidikan d. Status Fisik (ASA)
Faktor Eksternal
a. Lama anestesi b. Jenis anastesi c. Prosedur pembedahan
Komplikasi Pembedahan a. Atelektasis b. Bronkitis Akut c. Pneumonia d. Gagal jantung/infark miokard
e. Genetik f. Respons inflamasi g. IMT h. Riwayatgangguan
kognitif
d. Polifarmasi e. Penggunaan opioid f. Perubahan lingkungan
45
oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,
kemudian ditarik kesimpulannya.
a. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain
(Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau
berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent
adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang
menjadi variabel bebas adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status fisik
(ASA), lama anastesia, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan.
b. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain
(Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan
konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent
variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel terikat adalah disfungsi
kognitif pada lanjut usia.
46
2. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Definisi operasional
variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Indikator Skala Pengukuran
1 Usia Usia responden yang terhitung dari mulai saat dilahirkan sampai ulang tahun terakhir
Wawancara 1. 60-69 tahun 2. ≥70 tahun
Ordinal
2 Lama Anastesi Lamanya penggunaan anastesi saat dilakukannya operasi di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
Studi dokumentasi
1.1-2 jam 2. >2 jam
Ordinal
3 Jenis Anastesi Jenis anastesi yang digunakan selama responden dilakukan operasi atau tindakan bedah di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar
Studi dokumentasi
1. Anastesi Umum 2. Anastesi Regional
Ordinal
4 Jenis Kelamin Jenis kelamin yang terdapat pada KTP atau hasil wawancara
Wawancara 1. Laki-laki 2. Perempuan
Nominal
5 Status fisik (ASA)
Keadaan internal pasien yang ditinjau dari penyulit yang diprediksi dapat mempengaruhi kondisi pasien selama pembedahan
Studi dokumentasi
1. ASA 2 2. ASA 3
Ordinal
6 Tingkat pendidikan
Pendidikan pasien secara formal yang diperoleh di bangku pendidikan baik tinggi (SD dan tidak sekolah), tinggi (SMP, SMA, PT)
Studi dokumentasi
1. Tinggi 2. Rendah
Ordinal
7 Prosedur pembedahan
Pembedahan yang dilakukan terhadap pasien selama menjalani operasi yang terdiri dari prosedur pembedahan yang melibatkan jantung dan bukan jantung
Studi dokumentasi
1. Kardiak 2. Non Kardiak
Ordinal
5 Dependent Variable :
Perubahan kognitif yang dialami oleh responden setelah
Kuesioner 1.Mengalami POCD
Ordinal
47
Kejadian Disfungsi Kognitif
mengalami pembedahan yang diukur berdasarkan fungsi memori, atensi dan bahasa pada 3-6 jam post operasi (Aldret score 8-10, Bromage score 0-1).
2.Tidak mengalami POCD
C. Hipotesis
Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Usia berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada
pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
2. Lama anastesi berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska
operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
3. Penggunaan jenis anastesi berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif
paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
4. Jenis kelamin berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska
operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
5. Prosedur pembedahan berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif
paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
6. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska
operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
7. Status fisik (ASA) berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska
operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.
8. Usia, lama anastesi, jenis anastesi, jenis kelamin, pendidikan dan status fisik
ASA berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada
pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar
48
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Analisis Observasional
yaitu peneliti mencoba mencari hubungan atau korelasi antar variabel. Penelitian
ini melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, serta seberapa besar
hubungan antar variabel yang ada. Oleh karena itu penelitian ini perlu hipotesis
(Setiadi, 2007). Penelitian observasional adalah penelitian non eksperimental yang
bertujuan untuk pengamatan (Setiadi, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa
penelitian Analisis Observasional adalah suatu penelitian yang hanya mengamati
dan menganalisis hubungan antar variabel.
Pendekatan yang digunakan adalah penelitian cross sectional yaitu
variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur dan
dikumpulkan secara simultan, sesaat dalam satu kali waktu (dalam waktu yang
bersamaan), pada studi ini tidak ada follow up (Setiadi, 2007).
48
49
B. Kerangka Kerja
Gambar 3 Kerangka Kerja Penelitian
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar pada
tanggal 29 Oktober – 29 Desember 2012.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi Semua Lansia yang menjalani operasi di
IBS RSUP Sanglah Denpasar
Sampel Dilakukan dengan teknik purposive
sampling
Kriteria Eksklusi
Pengukuran disfungsi kognitif responden sebelum dilakukan operasi dan wawancara tentang karakteristik responden dan studi
dokumentasi tentang lama operasi dan jenis anastesi yang digunakan
Pengukuran Disfungsi Kognitif Responden setelah dilakukan operasi bedah
Analisis Penelitian Pengujian hipotesis dengan uji analisis multivariat yaitu uji regresi
logistic dengan tahap sebagai berikut : 1. Penyusunan model logistik untuk semua variabel 2. Uji Confounding 3. Penentuan uji logistik dan penentuan pengaruh variabel bebas
dan terikat (Prevalence Rate dan Confidence Interval)
Penyajian hasil penelitian
Kriteria Inklusi
50
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang akan dilakukan
pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
2. Sampel penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang
dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel
yang digunakan adalah lansia yang akan dilakukan pembedahan di Ruang IBS
RSUP Sanglah Denpasar. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Kriteria inklusi
1) Usia ≥60 tahun
2) Kooperatif dan bersedia menjadi responden
3) Mengalami operasi atau pembedahan 1-4 jam
4) Status fisik ASA II, III.
b. Kriteria eksklusi
1) Lansia dengan gangguan kognitif
2) Riwayat mengalami disfungsi kognitif
3. Besar Sampel
51
Menurut Riyanto (2012), jumlah sampel pada penelitian dengan analisis
multivariat dapat digunakan pedoman dengan menggunakan sampel pada setiap
variabel minimal sebanyak 10 atau 15 responden. Dalam penelitian terdapat 7
variabel, sehingga variabel minimal adalah 70 responden (7 X 10). Jadi sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 orang.
4. Teknik Sampling
Dalam menentukan jumlah sampel, teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah teknik non probability sampling yaitu dengan Purposive
sampling. Purposive sampling adalah pengumpulan sampel didasarkan pada
pertimbangan tertentu dan tujuan dari peneliti.
E. Jenis dan cara pengumpulan data
1. Jenis data yang dikumpulkan
Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian
ini adalah data yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian (Riwidikdo,
2007), yaitu hasil kuestioner terhadap skala disfungsi kognitif pada lansia yang
mengalami pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Status fisik
(ASA), jenis anestesi, lama anestesi adalah merupakan data sekunder yang
diambil dari satus medik/lyst pasien.
2. Cara pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan
data (Hidayat, 2009).
52
Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah pengumpulan data
sebagai berikut :
a. Peneliti membawa surat ijin penelitian yang dipersiapkan oleh institusi kepada
Kesbanglinmas Provinsi Bali, kemudian melakukan pengurusan ijin ke
Litbang RSUP Sanglah Denpasar untuk memperoleh surat Ethical Clearance.
b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Kepala Kesbanglinmas, dan Direktur RSUP
Sanglah Denpasar dan Kepala Litbang RSUP, maka dilakukan pendekatan
terhadap tempat penelitian yaitu Kepala Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar
c. Melakukan pendekatan terhadap sampel penelitian sesuai kriteria inklusi
dengan daftar nama responden serta menentukan sampel sesuai dengan
ketentuan. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penyampaian maksud dan
tujuan peneliti kepada responden untuk kesediannya secara sukarela menjadi
responden dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent.
d. Mengukur disfungsi kognitif responden sebelum dilakukan operasi
pembedahan dan melakukan wawancara tentang karakteristik responden di
ruang persiapan atau penerimaan.
e. Mengukur disfungsi kognitif responden setelah operasi di ruang recovery
room (RR) atau di ruang perawatan.
f. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat.
g. Melakukan tabulasi dan analisis data.
53
3. Instrumen pengumpul data
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
Short Portable Mental Status Questionnaire(SPMSQ). SPMSQ digunakan untuk
mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual, terdiri dari 10 hal yang
mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan
diri, memori jauh, dan kemampuan matematis (Pfeiffer, 1975 dalam White, 2002).
Metode penentuan skors sederhana merentangkan tingkat fungsi intelektual, yang
membantu dalam membuat keputusan yang kusus mengenai kapasitas perawatan
diri. Hasil dari penilaian SPSMQ dapat dikelompokkan menjadi : kesalahan 0-2
fungsi intelektual utuh, kesalahan 3-4 kerusakan intelektual ringan kesalahan 5-7
kerusakan intelektual sedang, kesalahan 8-10 kerusakan intelektual berat.
F. Pengolahan dan Analisa Data
1 Teknik pengolahan data
Langkah-langkah dalam pengolahan data:
a. Editing
1) Dengan memeriksa kelengkapan jawaban responden pada pedoman
wawancara, memperjelas, apabila ditemukan kejanggalan hasil wawancara
akan dilakukan klarifikasi dan responden diminta untuk menjawab ulang.
2) Pengecekan logis
b. Scoring
Hasil wawancara dilakukan penskoran sesuai dengan instrumen yang
digunakan.
54
c. Entry
Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah
risiko kehilangan data. Entry ini dilakukan dengan melakukan penyimpanan data
ke dalam master tabel data dalam bentuk program sheet dan disimpan ke dalam
hardisk internal komputer maupun eksternal.
2. Teknik analisa data
Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data
penelitian ini yaitu:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan melalui penghitungan masing-masing variabel
yang akan diteliti yaitu usia responden, lama anastesi, jenis anastesi yang
digunakan, jenis kelamin dan kejadian POCD yang disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi.
b. Analisis Multivariat
Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor resiko terhadap disfungsi
kognitif dapat dilakukan dengan uji regresi logistik. Analisis Regresi dalam
statistika adalah salah satu metode untuk menentukan hubungan sebab-akibat
antara satu variabel dengan variabel-variabel yang lain. Variabel “penyebab”
disebut dengan bermacam-macam istilah, diantaranya seperti variabel penjelas,
variabel eksplanatorik, variabel independen, atau secara bebas, variabel X (karena
seringkali digambarkan dalam grafik sebagai absis, atau sumbu X). Variabel
“terkena akibat” dikenal sebagai variabel yang dipengaruhi, variabel dependen,
55
variabel terikat, atau variabel Y. Kedua variabel ini dapat merupakan variabel
acak (random), namun variabel yang dipengaruhi harus selalu variabel acak.
Menurut Yasril dan Kasjono (2009), adapun asumsi dari uji statistic ini
adalah sebagai berikut :
1) Asumsi bivariat
a) Korelasi antara variabel dependen dan independen dapat dideteksi dengan uji
chi square pada regresi logistic sederhana. Variabel yang mempunyai nilai
p<0,25 merupakan kandidat model dalam penelitian ini.
b) Korelasi antara variabel independen dapat dilihat dari nilai r>0,8, bila ada
maka terdapat gejala kolinearitas
2) Asumsi multivariat
Langkah-langkah uji regresi logistic untuk uji multivariat adalah sebagai
berikut (Riyanto, 2012) :
a) Menyusun model mencakup semua variabel
Mengeluarkan variabel yang tidak berinteraksi (dengan syarat p>0,25)
dimulai dari nilai yang terbesar sampai semua model sesuai (p<0,25).
b) Uji confounding
Uji confounding dilakukan dengan cara melihat perbedaan Odds Ratio
(OR) untuk variabel utama dengan dikeluarkannya variabel kandidat
konfounding, bila perubahannya > 10% maka variabel tersebut dianggap variabel
konfounding. Pengeluaran variabel dimulai dari variabel dengan nilai p value
terbesar.
c) Penentuan model akhir regresi logistik
56
Setelah dilakukan analisis konfounding, dapat disimpulkan hasil dari
penelitian dengan melihat nilai OR yaitu menyimpulkan secara bivariat berapa
kali faktor risiko mempengaruhi variabel terikat dan nilai confidence interval (CI)
untuk menentukan kisaran nilai OR yang kemungkinan dicapai.
Pada model regresi logistik dapat digunakan pada data yang dikumpulkan
melalui rancangan cohort, case control maupun cross sectional. Karena dalam
penelitian ini menggunakan uji cross sectional, maka untuk mengetahui pengaruh
secara bivariat dari variabel bebas dengan variabel terikat dilakukan dengan
menghitung prevalensi rate (PR) dan Confidence Interval (CI). Prevalensi rate
digunakan untuk mengetahui sejauh mana (berapa kali) faktor risiko
mempengaruhi terjadinya variabel terikat, misalnya : nilai nilai PR untuk variabel
penggunaan opioid adalah 3,01 ini berarti bahwa pasien yang menggunakan
opioid akan berisiko 3,01 kali mengalami POCD dibandingkan yang tidak
menggunakan opioid.
57
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari tanggal 29 Oktober sampai dengan 29
Desember 2012 di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terhadap
pasien yang mengalami pembedahan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Surat ijin rekomendasi penelitian dengan nomor LB.02.01/II.C5.D11/19568/2012
diperoleh dari Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar (Lampiran
7), serta Ethical Clearance dengan nomor 868/UN.14.2/Litbang/2012 dari Unit
Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah Denpasar (Lampiran 8).
1. Kondisi Lokasi Tempat Penelitian
RSUP Sanglah Denpasar merupakan rumah sakit rujukan utama untuk
wilayah Bali, NTB, dan NTT, memiliki visi menjadi rumah sakit unggulan dalam
bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian tingkat nasional maupun
internasional. Dalam mewujudkan visi tersebut RSUP Sanglah berusaha dengan
segala upaya memberi Pelayanan yang Prima, sehingga dapat memuaskan
masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Pelayanan pembedahan/operasi
diselenggarakan dibeberapa tempat yaitu di IBS dengan 14 kamar operasi, di IRD
dengan 3 kamar operasi dan di Paviliun Amertha dengan 2 kamar operasi.
IBS RSUP Sanglah dibangun pada tahun 1959 dan pada tahun 2008
mengalami renovasi dengan jumlah kamar operasi menjadi 14 kamar. Kegiatan
operasi yang dilaksanakan selain operasi elektif, juga dikerjakan operasi sore serta
57
58
one day care. IBS dipimpin oleh Kepala Instalasi dan Kepala Unit Pelayanan
Perawatan. Tenaga medik keperawatan sebanyak 60 orang (S1 Keperawatan 4
orang, D4 Keperawatan 3 orang, dan D3 Keperawatan 53 orang). Tenaga
nonmedik yang bertugas di Bagian Sekretariat, teknisi, dan Cleaning Service
sebanyak 12 orang. Pelayanan pembedahan dilaksanakan pada 14 kamar
bedah/operasi yang dimliki IBS. Klasifikasi ruang bedah ditentukan dari berbagai
jenis pembedahan dengan spesialistiknya yang meliputi Bedah Umum, Bedah
Orthopedi dan Traumatologi, Oncologi, Urologi, Digestive, Obstetri dan
Gynecologi, Bedah Plastik, THT, Mata, Bedah Saraf, Bedah Thorak dan
Kardiovaskuler, serta lain sebagainya. Dari bulan Oktober sampai Desember 2012
rata-rata pasien yang dikerjakan operasi lebih kurang 350-400 orang perbulannya.
2. Hasil Pengamatan terhadap Subyek Penelitian sesuai Variabel Penelitian
a. Hasil Pengamatan terhadap Variabel Penelitian
Tabel 2 Faktor Risiko Pembedahan
Faktor Risiko Pembedahan F %
Umur 60-69 tahun 49 70
≥ 70 tahun 21 30
Jenis Kelamin Laki-laki 42 60
Perempuan 28 40
Pendidikan Tinggi 26 37
Umum 44 73
Jenis Anastesi Regional 32 45,7
Umum 38 54,3
Lama Anastesi 1-2 jam 22 31,4
>2 jam 48 68,6
59
Faktor Risiko Pembedahan F %
Prosedur
Pembedahan
Kardiak 1 1,4
Non Kadiak 69 98,6
Status Fisik ASA II 53 75,7
ASA III 17 24,3
Kejadian POCD POCD 29 41,4
Tidak POCD 41 58,6
Dilihat dari usia, responden dalam penelitian ini sebagian besar berusia
60-69 tahun yaitu sebanyak 49 orang (70%) dan sebagian lagi berusia >70 tahun
yaitu sebanyak 21 orang (30%). Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar
responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 42 orang
(60%) dan sebagian lagi berjenis kelamin perempuan sebanyak 28 orang (40%).
Dilihat dari karakteristik pendidikan sebagian besar responden tergolong
pendidikan rendah yaitu sebanyak 44 orang (63%) dan berpendidikan tinggi
sebanyak 26 orang (37%). Dilihat dari faktor risiko pembedahan terlihat bahwa
dilihat dari anastesi sebagian besar responden memperoleh anastesi umum
sebanyak 38 orang (54,3%), dengan lama anastesi sebagian besar >2 jam
sebanyak 48 orang (68,6%), dengan prosedur pembedahan non kardiak sebanyak
69 orang (98,6%), dengan responden berstatus fisik ASA II sebanyak 53 orang
(75,7%) dan yang mengalami kejadian POCD setelah anestesi sebanyak 29 orang
(41,4%).
60
b. Hubungan Deskriptif Variabel Faktor Risiko dengan Kejadian POCD
(analisis bivariat)
Tabel 3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian POCD
Faktor Risiko Kejadian POCD
POCD Non POCD Total OR CI P
Jenis Kelamin
Laki-laki 18 24 42 0,863 0,326-2,285 0,766 Perempuan 11 17 28 Jenis Anastesi
Regional 15 23 38 1,193 0,459-3,097 0,717 Umum 14 18 32 Lama Anastesi
1-2 jam 13 35 48 7,179 2,310-22,311 0,000 >2 jam 16 6 22 Prosedur Pembedahan
Kardiak 0 1 1 1,025 0,977-1,076 0,397 Non Kadiak 29 40 69
Status Fisik ASA II 20 33 53 1,856 0,616-5,590 0,268 ASA III 9 8 17 Tingkat Pendidikan
Rendah 26 18 44 11,074 2,886-42,499 0,000 Tinggi 3 23 26
Usia >70 tahun 15 6 21 6,25 2,016-19,379 0,001 60-69 tahun 14 35 49
Dilihat dari tabel di atas yang menunjukkan hubungan dari faktor risiko
POCD dengan uji bivariat, diperoleh bahwa dari beberapa faktor secara bivariat
terlihat bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah
faktor lama anestesi (p=0,000, p<0,05) dengan RR sebesar 7,179, faktor tingkat
pendidikan (p=0,000, p<0,05) dengan RR sebesar 11,074 dan faktor usia
(p=0,001, p<0,05) dengan RR sebesar 6,25. Sedangkan faktor lainnya seperti
jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan dan status fisik ASA tidak
berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi.
3. Hasil Analisis Data
Berdasarkan hasil uji bivariat seperti tampak pada tabel di atas, faktor
risiko yang memiliki nilai p<0,25 adalah lama anestesi (p=0,000), pendidikan
(p=0,000) dan tingkat pendidikan (0,001), sehingga faktor risiko tersebut dapat
61
dimasukkan ke dalam uji regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan
hasil seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 4 Hasil Analisis Multivariat
No. Variabel Koefisien P OR IK 95% 1 Usia 2,108 0,005 8,231 1,864-36,345 2 Lama Anestesi 2,460 0,002 11,704 2,514-54,477 3 Tingkat Pendidikan 2,648 0,002 14,119 2,743-72,668 Konstanta -3,646 0,000
Berdasarkan hasil uji regresi logistic, diperoleh bahwa ketiga factor
tersebut yaitu usia, lama anastesi dan tingkat pendidikan berpengaruh secara
bersama-sama dalam menentukan kejadian POCD pada pasien lanjut usia. Dari
hasil uji multivariate diperoleh nilai OR terbesar adalah factor tingkat pendidikan
yaitu sebesar 14,119, kemudian lama anestesi sebesar 11,704 dan paling kecil
adalah 8,231 adalah factor usia. Hal tersebut berarti bahwa tingkat pendidikan
rendah memiliki peluang 14 kali untuk mengalami POCD, selain itu pasien yang
mengalami lama anestesi lebih dari 2 jam memiliki peluang 11 kali untuk
mengalami POCD dan usia pasien >70 tahun memiliki peluang 8 kali untuk
mengalami POCD.
Berdasarkan hasil uji regresi logistic tersebut, maka usia, lama anestesi,
tingkat pendidikan dan kejadian POCD dapat dirumuskan sebagai persamaan
berikut :
Y=-3,646 + 2,108 usia + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan
Dari persamaan tersebut, usia responden memiliki nilai ketentuan 1 jika
pasien berusia ≥70 tahun dan 0 jika berusia 60-69 tahun, lama anestesi bernilai 1
jika lama anastesi >2 jam dan 0 jika 1-2 jam sedangkan tingkat pendidikan
62
bernilai 1 jika pendidikan responden tidak sekolah atau SD dan 0 jika
berpendidikan diatas SD.
Berdasarkan persamaan tersebut, jika ketiga factor di atas tidak ada maka
kejadian POCD dapat diramalkan seperti rumus berikut :
Keterangan :
e = bilangan natural = 2,7
y = konstanta
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh bahwa tanpa ketiga factor di
atas, probabilitas pasien untuk mengalami POCD adalah sebesar 2,6%.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini, pada pasien lanjut usia yang dilakukan pembedahan
ditemukan kejadian gangguan kognitif sebanyak 29 orang (41,4%). Kejadian
POCD pada pasien lanjut usia seperti dikemukakan oleh Wijoto dan Andriyanto
(2009), menunjukkan bahwa setelah tujuh hari pasca operasi 30% lansia
mengalami gangguan atensi, 36% mengalami gangguan memori dan 52% sampel
mengalami disfungsi kognitif pasca operasi. Menurut Setiati, Harimurti dan
Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif yang terjadi pada
63
lansia, meliputi berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual,
berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi
melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya
kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari
memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan
kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan
memberikan rasionalisasi, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi
dan memperhatikan (Stuart dan Sundeen, 2002). Gangguan kognitif meliputi
gangguan dalam pikiran atau ingatan yang menggambarkan perubahan nyata dari
tingkat fungsi individu yang sebelumnya (APA, 2000). Gangguan kognitif
(Cognitive Disorder) disebabkan oleh kondisi fisik atau medis (misalnya, otak
mengalami kerusakan, mengalami gangguan karena penyakit, luka-luka, atau
stroke), dan penggunaan obat atau pemberhentian penggunaan obat-obatan secara
tiba-tiba yang mempengaruhi fungsi dari otak. Faktor psikologis di sini berperan
sebagai penentu dampak dari simtom-simtom yang melumpuhkan. Misalnya,
bagaimana cara individu akan mengatasi penurunan kemampuan kognitif dan
fisiknya.
Gangguan kognitif terjadi apabila otak mengalami kerusakan atau
mengalami penurunan kemampuan untuk berfungsi akibat luka-luka, penyakit,
keterpaparan terhadap racun-racun, atau penggunaan atau penyalahgunaan obat-
obatan psikoaktif. Derajat dan lokasi kerusakan otak banyak menentukan tingkat
dan keparahan dari penurunan fungsi otak. Biasanya, semakin menyebar
64
kerusakannya, semakin besar dan semakin parah penurunan fungsi yang dialami.
Lokasi kerusakan juga sangat penting karena banyak struktur atau daerah otak
yang menampilkan fungsi-fungsi khusus. Misalnya, kerusakan pada lobus
temporal dihubungkan dengan kerusakan dalam ingatan dan perhatian, sedangkan
kerusakan pada lobus oksipital mungkin menghasilkan defisit visual-spasial,
seperti hilangnya kemampuan untuk mengenali wajah (APA, 2000).
Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai
kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam
pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait
penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan
memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada
struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) menyebutkan
garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi
volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran
sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum,
penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan
mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodrigue
(dalam Myers, 2008) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia
alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah
posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008). Buruknya lobus
frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis,
dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan
dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut
65
memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif
(Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia terdiri dari faktor
lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor usia
(p=0,001, p<0,05).
Dilihat dari lama anastesi menunjukkan bahwa lama anastesi > 2 jam
berisiko untuk mengalami POCD. Hal ini didukung oleh pendapat Mansjoer
(2007), yang mengemukakan bahwa pasien yang dilakukan operasi dengan waktu
3-4 jam mempunyai risiko komplikasi pasca operasi lebih tinggi dibandingkan
dengan waktu operasi kurang dari 2 jam dengan perbandingan 40% dan 8%.
Dilihat dari pendidikan, terlihat bahwa pendidikan lebih rendah memiliki
kecenderungan untuk mengalami POCD dibandingkan dengan yang
berpendidikan tinggi. Menurut Scanlan, et al (2007) fungsi kognitif kelompok
dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok
dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007). Banyak studi menunjukkan
bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit
Alzheimer (Scanlan, 2007). Tingkat fungsi intelektual premorbid mempengaruhi
kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan respons terhadap rehabilitasi.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto
(2009) yang mengemukakan bahwa POCD tidak dipengaruhi oleh pendidikan
(p=0,921).
66
Dilihat dari usia, hasil penelitian ini didukung oleh Scanlan, et al (2007),
yang menyebutkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi
kognitif dimana terjadi 16% pada kelompok usia 65-69, 21% pada 70-74, 30%
pada 75-79, dan 44% pada >80 tahun. Dengan meningkatnya usia dapat terjadi
perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan
morfologi (proses degenerative). Usia lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan
terhadap efek primer atau sekunder anastesi sehingga efek terjadinya gangguan
kognitif lebih besar (Scanlan, et al, 2007).
Korelasi yang tinggi antara kognisi dan pasca-operasi premorbid
kebingungan, disorientasi, penurunan kesadaran, dan bahkan kematian (White,
2002). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Canet et al (2003), yang mengemukakan bahwa usia lanjut usia >70 tahun
memiliki risiko lebih tinggi daripada usia dibawah 70 tahun untuk mengalami
disfungsi kognitif. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wijoto dan Andriyanto (2009), yang mengemukakan bahwa POCD tidak
dipengaruhi oleh usia (p=0,798).
Faktor – faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian POCD dalam
penelitian ini adalah jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan dan status
fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post
operasi. Dilihat dari jenis kelamin, hal ini berbeda dengan Myers (2008) yang
mengungkapkan bahwa wanita lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal
ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan
fungsi kognitif. Menurut Canet et al (2003), wanita pada usia lanjut memiliki
67
kecenderungan mengalami disfungsi kognitif lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Tidak adanya perbedaan antara jenis kelamin wanita dan pria dalam penelitian ini
kemungkinan disebabkan karena pengaruh factor lain yang lebih dominan seperti
lama anastesi, usia dan pendidikan responden.
Dilihat dari jenis anastesi, menunjukkan bahwa jenis anastesi tidak
berpengaruh terhadap kejadian POCD. Menurut Mansjoer (2007), data tidak
menunjukkan apakah rata-rata komplikasi anastesi spinal atau epidural lebih
rendah dibandingkan dengan anastesi umum. Menurut Yeager (dalam Mansjoer,
2007) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara anestesi spinal
atau anestesi umum pada operasi abdomen.
Dilihat dari prosedur pembedahan, terlihat bahwa dalam penelitian ini
tidak berpengaruh. Hal ini berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Mansjoer (2007) yang menyatakan bahwa 25-30% dari semua kematian
perioperatif karena penyebab kardiak, sehingga operasi pada pasien lanjut usia
dengan prosedur kardiak akan sangat berpengaruh terhadap kejadian POCD.
Dalam penelitian ini, operasi kardiak hanya dilakukan pada 1 responden saja
sehingga tidak mewakili variabel dalam penelitian ini.
Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif
lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek
penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus
prefrontal, penurunan hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di
lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan
penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif
(Briton &Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).
68
Salah satu langkah penting dalam manajemen disfungsi kognitif menurut
Bradley (2004) dapat dilakukan dengan melakukan kewaspadaan terhadap faktor
risiko yang dialami oleh pasien. Strategi intervensi faktor risiko gangguan kognitif
mencakup manajemen enam faktor risiko kunci pada gangguan kognitif,
gangguan tidur, imobilitas, gangguan visual, gangguan pendengaran dan dehidrasi
dapat mengurangi episode dan lama durasi masuk rumah sakit pada pasien tua
yang mengalami delirium gangguan kognitif. Dengan demikian, bagi petugas
kesehatan terutama yang bertugas di ruang operasi perlu mengidentifikasi ketiga
faktor tersebut untuk meminimalisir terjadinya POCD pada pasien lanjut usia
yang mengalami pembedahan.
C. Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian memiliki berbagai keterbatasan, dalam penelitian ini pun
terdapat beberapa keterbatasan diantaranya terdapat beberapa variabel faktor yang
memiliki jumlah yang terbatas seperti jumlah responden yang mengalami
pembedahan kardiak. Selain itu, dalam penelitian ini perlu dilakukan homogenitas
sampel sehingga seluruh sampel yang diteliti dapat menggambarkan variabel yang
diteliti.
69
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bahasan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Kejadian POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
terjadi sebesar 41,4%
2. Responden yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP
Sanglah Denpasar sebagian yang berusia ≥ 70 tahun yaitu sebanyak 15
orang dan yang berusia 60-69 tahun sebanyak 14 orang.
3. Responden yang mengalami POCD dialami oleh responden dengan lama
anastesi > 2 jam yaitu sebanyak 16 orang dan 1-2 jam sebanyak 13 orang
4. Responden yang mengalami POCD sebagian 14 orang dialami oleh
responden yang menggunakan anastesi umum dan 15 orang menggunakan
anastesi regional
5. Responden yang mengalami POCD sebagian besar dialami oleh laki-laki
yaitu sebanyak 18 orang, sedangkan pada perempuan terjadi sebanyak 11
orang
6. Responden yang mengalami POCD sebagian besar dialami oleh responden
yang berpendidikan rendah yaitu sebanyak 26 orang dan hanya 3 orang pada
responden yang berpendidikan tinggi.
7. Responden yang mengalami POCD 20 orang terjadi pada pasien dengan ASA
II dan 9 orang terjadi pada ASA III di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP
Sanglah Denpasar
69
70
8. Responden yang mengalami POCD dialami 29 orang pasien yang mengalami
pembedahan non kardiak, dan dari total pembedahan hanya 1 orang pasien
yang mengalami pembedahan kardiak di Ruang Instalasi Bedah Sentral
RSUP Sanglah Denpasar
9. Dari beberapa faktor yang diteliti, secara bivariat terlihat bahwa faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi
(p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor usia (p=0,001).
Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur
pembedahan, dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian
POCD pada pasien lanjut usia post operasi (p>0,05). Dari hasil uji
multivariate diperoleh nilai RR terbesar adalah faktor tingkat pendidikan
yaitu sebesar 14,119, kemudian lama anestesi sebesar 11,704 dan paling kecil
adalah 8,231 adalah faktor usia. Dari hasil uji regresi logistic diperoleh
persamaan sebagai berikut: Y=-3,646 + 2,108 usia + 2,460 lama anestesi +
2,648 tingkat pendidikan. Dimana, probabilitas pasien untuk mengalami
POCD tanpa pengaruh factor tersebut adalah sebesar 2,6%.
B. Saran
1. Kepada Direksi Rumah Sakit Sanglah Denpasar
Mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang
berpengaruh dalam penelitian ini yang dapat dimodifikasi adalah lama anestesi
untuk itu kepada Direksi Rumah Sakit Sanglah agar menekankan kebijaksanaan
penggunaan anestesi yang tidak terlalu lama pada operasi pasien lansia.
71
2. Kepada Kepala Ruang IBS Rumah Sakit Sanglah Denpasar
Diharapkan kepada pasien lansia yang mengalami operasi agar pasien
dilakukan pemberian informasi tentang post operasi dan penatalaksanaan post
operasi yang tepat untuk mencegah terjadinya POCD.
3. Kepada Perawat Ruang IBS Rumah Sakit Sanglah Denpasar
Bagi perawat mengingat bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya POCD pada pasien lansia, maka diharapkan agar perawat
ruang IBS lebih mengoptimalkan komunikasi, orientasi, dan pengawasan post
operasi terutama pada pasien yang memiliki faktor yaitu lama anestesi lebih dari 2
jam, usia >70 tahun dan dengan tingkat pendidikan dibawah SMP.
4. Kepada Peneliti Selanjutnya
Mengingat bahwa jumlah sampel tiap variabel dalam penelitian ini tidak
merata, untuk selanjutnya agar hasil penelitian lebih presentatif diharapkan agar
penelitian dilakukan dengan sampel yang lebih homogen terutama dengan
melakukan kontrol terhadap beberapa variabel yang tidak berhubungan dalam
penelitian ini.
72
DAFTAR PUSTAKA Allison, dkk., 2009, Geriatric Anesthesia. In : World Journal of Anesthesiology,
USA: Departemen of Anesthesiology National Naval Medical Centre. Bekker, 2003, Cognitive function after anaesthesia in the elderly, Best Practice &
Research Clinical AnaesthesiologyVol. 17, No. 2, pp. 259–272, 2003doi:10.1053/ybean.2003.284, Available at (Online) :www.elsevier.com/locate/jnlabr/ybean
Beck, C.M., Rawlins, R.P., dan William, S.R.,2006, Mental Health Psychiatric
Nursing: A Holisticlife-Cycleapproach. St.Louis: The CV. Mosby Company.
Bradley, 2004, Neurology in clinical practice Principles of Diagnosis and
Management. Principles of Diagnosisand Management. Philadelphia : Curchil Livingstone Elsevier.
Canet, 2003, Cognitive dysfunction after minor surgery in the elderly, Acta
Anaesthesiol Scand 2003; 47: 1204—1210. Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb (diakses tanggal 12 Juli 2012).
Fitriani, 2012, Gangguan Amnestik, Available at (Online) : http://usu-
repository.or.id (diakses tanggal 12 Juli 2012). Hidayat, 2009, Metode Penelitian Keperawatan dan TekhnikAnalisis Data.
Jakarta: Salemba Medika. Krenk, et al, 2010, New insights into the pathophysiology of postoperative
cognitive dysfunction, Acta Anaesthesiol Scand 2010; 54: 951–956, Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb.
Kusumoputro, Sidiarto, 2010, Fungsi Luhur Otak : Higher Brain Function
Neurobehavior, Jakarta : UI-PRESS. Lueckenotte, 1998, Pengkajian Gerontologi, Jakarta : EGC. Mansjoer, 2007, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta.: EGC. Martono, 2009, Buku Ajar Geriatri, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Miller, 2010,Millers Anesthesia Volume 2, Philadelphia : Curchil Livingstone
Elsevier. Myers, 2008, Neuroscience and Behavior, Philadelphia : Curchil Livivingstone Elsevier. Nevid, dkk., 2003, Psikologi Abnormal jilid dua edisi kelima, Jakarta : Erlangga.
73
Nugroho, 2008, Keperawatan Gerontik dan Geriatri, Jakarta : EGC. Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Papalia Diane. E, Sally Wendkos Olds , Ruth Duskin Feldman. 2001. Human
Development eighth edition. New York : Mc Graw Hill Riwidikdo, 2007,Statistik Kesehatan, Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. Riyanto, 2012, Penerapan Analisis Multivariat dalam Penelitian Kesehatan,
Jogyakarta : Nuha Medika. Rohan, 2004, Increased incidence of postoperative cognitive dysfunction 24 hr
after minor surgery in the elderly, available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb
Saunders, 2005, Medical Nursing : A Nursing Procces Apporach, Philadelphia :
WB. Saunders. Shafer, 2009, Taltered Thread, Anesthesia, Philadelphia : Curchil Livingstone
Elsevier. Setiadi, 2007, Konsep penulisan riset keperawatan. Jogyakarta: Graha Ilmu Setiati, Harimurti dan Roosheroe, 2006, Geriatri: Demensia (dalam Sudoyo,
Setiyohadi, dan Simadibrata) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Smeltzer dan Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8.
Jakarta : EGC. Stuart dan Sundeen, 2002, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC. Sugiyono (2007) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Bandung :
Alfabeta. Wijoto dan Andriyanto, 2009, Disfungsi Kognitif Pasca Operasi Pada Pasien
Operasi Elektif diGBPT RSU Dr. Sutomo Surabaya, Surabaya : Universitas Airlangga (tidak dipublikasikan)
White, 2002, The neuropathogenesis of delirium, Available at (Online) :
http://proquest.com/pqdweb
74
Yasril dan Kasjono, 2009, Analisis Multivariat : Untuk Penelitian Kesehatan, Jogyakarta : Mitra Cendikia Press
75
Lampiran 1
JADWAL KEGIATAN PENELITIAN
No. Kegiatan
Waktu
Sept’12 Okt’12 Nop’12 Des’12 Jan’13 Feb’12
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan Proposal
2 Seminar Proposal
3 Revisi Proposal
4 Pengumpulan data
5 Pengolahan data
7 Analisis data
8 Penyusunan laporan dan
konsultasi
9 Sidang hasil penelitian
10 Revisi laporan
11 Pengumpulan Skripsi
76
Lampiran 2
ANGGARAN BIAYA PENELITIAN
Dana yang telah dihabiskan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
No Kegiatan Realisasi Biaya
A
B
C
Menyusun proposal
1. Pembelian buku sumber
2. Pengetikan, penjilidan, dan
penggandaan
3. Seminar proposal
4. Perbaikan proposal
Pelaksanaan penelitian
1. Pengurusan ijin penelitian
2. Penyebaran kuesioner
3. Pengetikan, penjilidan, dan
penggandaan
Pengakhiran Penelitian
1. Seminar KTI
2. Perbaikan laporan
3. Honor penguji
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
200.000
100.000
200.000
150.000
100.000
100.000
150.000
100.000
100.000
350.000
Total Biaya Rp. 1.550.000
77
Lampiran 3
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :I Gusti Ngurah Putu
NIM : 1102115010
Jurusan : Keperawatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, September 2012
Yang membuat pernyataan,
(Penulis)
78
Lampiran 4a
PENGANTAR KUESIONER
Judul Penelitian : Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar
Peneliti : I Gusti Ngurah Putu Pembimbing I : Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM Pembimbing II :.Ns I Putu Artawan, S.Kep. Bapak/Ibu Yang Terhormat , Saya adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Dalam rangka menyelesaikan Tugas Akhir, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul "Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar". Pengumpulan data menggunakan instrumen ini saat penelitian, agar tidak terjadi kesalahan mohon dibaca dengan seksama. Hasil penelitian ini sangat tergantung pada jawaban yang Bapak/Ibu berikan, oleh karena itu saya mohon diisi sesuai dengan yang saudara rasakan. Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu akan dijaga dan tidak akan disebarluaskan. Penulisan identitas pada lembar instrumen penelitian cukup dengan inisial saudara, misalnya Nyoman Putra ditulis NP.
Saya sangat menghargai kesediaan, perhatian serta perkenaan Bapak/Ibu. untuk itu saya sampaikan terima kasih. Semoga partisipasi Saudara dapat mendukung dalam pengembangan ilmu kepeawatan dan kinerja profesi di masa mendatang.
Denpasar, September 2012 Peneliti
(I Gusti Ngurah Putu)
79
Lampiran 4b
PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN
Prosedur dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi calon responden, untuk mengetahui apakah responden
memenuhi kriteria inklusi melalui studi catatan medic pasien
2. Mencatat data demografi responden, dan laporan operasi sesuai dengan
variabel sampai post operasi (tercatat dalam catatan medik pasien)
3. Melakukan wawancara kepada pasien dengan melibatkan perawat yang
bertugas di Ruang IBS sebagai enumerator. Enumerator sebelumnya
dilakukan penyamaan persepsi melalui penjelasan oleh peneliti dan peneliti
melakukan evaluasi terhadap enumerator sampai terjadi persamaan persepsi
dengan wawancara yang akan dilakukan (mengetahui data kemampuan
kognitif pasien post operasi)
4. Teknik wawancara dilakukan berpedoman pada teknik-teknik sebagai berikut :
a. Wawancara dilakukan kurang dari 10 menit, dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya stress pada responden atau kelelahan yang berlebih
b. Wawancara dilakukan 3-6 jam setelah operasi
c. Wawancara dilakukan dengan sopan dan menghargai privasi pasien dan
perawat harus selalu menjaga privasi dan hak pasien
d. Wawancara dilakukan dengan intonasi yang jelas dan menggunakan bahasa
yang dimengerti responden.
80
e. Pewawancara sebelum melakukan wawancara memberikan perasaan yang
nyaman dan membina hubungan saling percaya sehingga jawaban yang
diberikan lebih tepat dan berdasarkan kemampuan responden yang
sebenarnya.
f. Pewawancara mencatat apa yang dijawab responden pada kuesioner yang
diberikan dengan menuliskan jawaban responden pada kolom yang
disediakan. Selain itu, kuesioner yang diberikan harus diisi dengan data yang
lengkap sesuai dengan pasien yang diwawancarai.
g. Memberikan salam dan terimakasih setelah wawancara selesai
81
Lampiran 5
SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Saya telah mendapatkan penjelasan dengan baik mengenai tujuan dan
manfaat penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap
Insiden “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia Di
Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar” Saya mengerti
bahwa saya akan diminta untuk mengisi kuesioner kecemasan untuk mengetahui
tingkat kecemasan saya saat ini.
Saya mengerti bahwa catatan mengenai data penelitian ini akan
dirahasiakan, dan kerahasiaan ini akan dijamin. Informasi mengenai identitas saya
tidak akan ditulis pada instrumen penelitian.
Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk berperan serta dalam
penelitian ini atau mengundurkan diri dari penelitian setiap saat tanpa adanya
sanksi atau kehilangan hak-hak saya.
Saya telah diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini
atau mengenai peran serta saya dalam penelitian ini dan telah dijawab serta
dijelaskan secara memuaskan. Saya secara sukarela dan sadar bersedia berperan
serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan menjadi
responden.
Denpasar, ...................2012
Peneliti,
(I Gusti Ngurah Putu)
Responden,
(.....................................)
82
Lampiran 6
Lembar Kuesioner Pengumpulan Data
Isilah data dibawah ini sesuai dengan keadaan Pasien Saat Ini
A. Data Demografi (diisi oleh perawat sesuai dengan hasil catatan medik
pasien selama dan sesudah operasi)
1. Umur saat ini :
60-70 tahun
>70 tahun
2. Jenis Kelamin :
Laki-laki
Perempuan
3. Jenis Anastesi yang digunakan :
Regional
Umum
4. Lama Anastesi
1-2 jam
>2 jam
5. Prosedur pembedahan
Non Kardiak
Kardiak
6. Status Fisik ASA
ASA II
ASA III
7. Tingkat Pendidikan
Dasar
Menengah
Tinggi
83
B. Data Kuesioner
Nama klien : …………………………………. Tanggal : …………………
Jenis kelamin : L/P Umur : ………..tahun TB/BB : …… cm/ …… kg Tahun Pendidikan : …SD, …SLTP, …SLTA, ....PT
Alamat :……………………………………………………… Nama Pewawancara : ………………………..……………………………
Skor No Pertanyaan Jawaban B S 1 Tanggal berapa hari ini ? Hari tgl th 2 Hari apa sekarang ini ? 3 Apa nama tempat ini ? 4 Berapa nomor telepon Anda ?
4. a. Dimana alamat Anda : (tanyakan bila tidak memiliki telepon
5 Berapa umur Anda ? 6 Kapan Anda lahir ? 7 Siapa presiden Indonesia sekarang ? 8 Siapa presiden sebelumnya ? 9 Siapa nama kecil ibu Anda ? 10 Kurang 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari
setiap angka baru, semua secara menurun ?
Jumlah kesalahan total Keterangan : 1. Kesalahan 0 – 2 Fungsi intelektual utuh
2. Kesalahan 3 – 4 Kerusakan Ringan 3. Kesalahan 5 – 7 Kerusakan Sedang
4. Kesalahan 8 – 10 Kerusakan Berat Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan bila subyek hanya
berpendidikan sekolah dasar. Bisa dimaklumi bila kurang dari satu kesalahan bila subyek mempunyai
pendidikan di atas sekolah menengah atas.
SHORT PORTABLE MENTAL STATUS QUESTIONNAIRE
(SPMSQ)
84
Lampiran 10 Hasil Uji SPSS 1. Analisis Univariat
85
86
2. Analisis Bivariat a. Hubungan Umur dan kejadian POCD/DKPO
87
b. Hubungan Jenis Kelamin dan Kejadian POCD/DKPO
88
c. Hubungan Jenis Anastesi dengan gangguan POCD/DKPO
89
d. Hubungan Lama Anastesi dengan gangguan DKPO
90
e. Hubungan Prosedur Pembedahan dengan Gangguan DKPO
91
f. Hubungan Status Fisik ASA dengan Kejadian DKPO
92
g. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kejadian DKPO
93
3. Analisis Multivariat
Memasukkan data hasil bivariat yang memiliki nilai p<0,25 ke dalam
ujiregresi logistic sehingga diperoleh hasil yaitu sebagai berikut :