1.1 Latar Belakang -...

33
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolonial Belanda berpendapat bahwa teks-teks bacaan yang diterbitkan oleh komunitas Tionghoa, Arab, dan Pribumi pada masa sastra Melayu Rendah adalah bacaan-bacaan liar dan cabul. Bacaan-bacaan liar yang dimaksud adalah buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis. Sebut saja sastra Melayu Tionghoa sebagai salah satu contohnya. Dengan menggunakan bahasa Melayu Rendah, sastra Melayu Tionghoa merupakan khazanah yang kaya dan beragam karena banyak menjanjikan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang cukup kental, seperti dilukiskan dalam cerita Nyai Dasima karya G. Francis (1896) dan cerita Nyai Paina karya H. Kommer (1900). Untuk menjauhkan pengaruh buruk dan mengantisipasi perkembangan bacaan-bacaan liar dan cabul tersebut, pada tahun 1908, kolonial Belanda mendirikan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) untuk mengumpulkan dan menulis kembali cerita rakyat yang terkenal dengan mengesampingkan unsur takhayul, serta mencetak buku-buku saduran dari cerita-cerita Eropa klasik. Dalam waktu singkat, komisi tersebut berkembang pesat dalam usaha penerbitannya, sehingga didirikan Kantoor voor de Volkslectuur yang diberi nama Balai Pustaka. Walaupun usaha penerbitannya berkembang pesat, penyediaan cerita rakyat dan buku-buku saduran Eropa klasik ternyata kurang digemari pembaca pribumi. Balai pustaka pun mengambil tindakan dengan membuka kesempatan

Transcript of 1.1 Latar Belakang -...

Page 1: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolonial Belanda berpendapat bahwa teks-teks bacaan yang diterbitkan

oleh komunitas Tionghoa, Arab, dan Pribumi pada masa sastra Melayu Rendah

adalah bacaan-bacaan liar dan cabul. Bacaan-bacaan liar yang dimaksud adalah

buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis. Sebut saja sastra

Melayu Tionghoa sebagai salah satu contohnya. Dengan menggunakan bahasa

Melayu Rendah, sastra Melayu Tionghoa merupakan khazanah yang kaya dan

beragam karena banyak menjanjikan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang

cukup kental, seperti dilukiskan dalam cerita Nyai Dasima karya G. Francis

(1896) dan cerita Nyai Paina karya H. Kommer (1900).

Untuk menjauhkan pengaruh buruk dan mengantisipasi perkembangan

bacaan-bacaan liar dan cabul tersebut, pada tahun 1908, kolonial Belanda

mendirikan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk

Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) untuk mengumpulkan dan menulis kembali

cerita rakyat yang terkenal dengan mengesampingkan unsur takhayul, serta

mencetak buku-buku saduran dari cerita-cerita Eropa klasik. Dalam waktu

singkat, komisi tersebut berkembang pesat dalam usaha penerbitannya, sehingga

didirikan Kantoor voor de Volkslectuur yang diberi nama Balai Pustaka.

Walaupun usaha penerbitannya berkembang pesat, penyediaan cerita

rakyat dan buku-buku saduran Eropa klasik ternyata kurang digemari pembaca

pribumi. Balai pustaka pun mengambil tindakan dengan membuka kesempatan

Page 2: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

2

kepada pengarang pribumi untuk menerbitkan naskah karangannya, tentu setelah

melalui sensor dari pemerintah Belanda. Selain itu, Balai Pustaka juga merekrut

pegawai-pegawai kontrak dari kalangan pribumi sebagai pengurusnya. Abdoel

Moeis dan Sutan Takdir Alisyahbana adalah contoh tenaga kerja yang direkrut

sebagai pegawai kontrak Balai Pustaka dan mendapat upah tinggi (Faruk, 2007:

50).

Balai Pustaka dimanfaatkan Belanda sebagai media hegemoni dan

dominasi terhadap rakyat pribumi (Herawati, 2010: 200). Pendirian Balai Pustaka

merupakan upaya melakukan kontrol sosial dan politik terhadap bacaan-bacaan

sastra Melayu Rendah. Kontrol sosial dan politik tersebut dilakukan dalam rangka

mengeksistensikan dirinya sebagai satu-satunya penjajah yang menaklukkan

pribumi sepenuhnya. Balai Pustaka sebagai kepanjangan tangan pemerintah

kolonial Belanda berperan sebagai pengawasan dan sensor kekuasaan bagi

penerbitan teks-teks bacaan.

Teks-teks bacaan yang diterbitkan harus sesuai dengan standar bacaan

yang diberlakukan oleh Balai Pustaka, seperti tidak boleh bertentangan dengan

garis politik pemerintah Belanda (Sarwadi, 2004: 28). Karya sastra Balai Pustaka

pada umumnya harus menunjukkan sejumlah ciri dalam kaitan dengan kekuasaan

kolonial terhadap kreativitas sastra. Inilah salah satu bentuk kontrol sosial dan

politik yang dilakukan pemerintah kolonial. Kontrol tersebut tentunya berlaku

bukan saja kepada pribumi sebagai tenaga kerja, tetapi juga pengarang

(sastrawan), sekaligus karya sastra yang diterbitkan ketika itu. Sitti Nurbaya

(Marah Roesli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Pertemuan Jodoh

Page 3: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

3

(Abdoel Moeis, 1932) adalah contoh karya sastra-karya sastra yang sudah melalui

sensor dari pihak pemerintah kolonial sebelum dibaca kaum pribumi. Dengan

memberlakukan pola sensor, pemerintah kolonial tampak menciptakan sebuah

konsep pencitraan diri, orientalisme, dan tetap menempatkan pribumi sebagai

budak pekerja dan budak peniru budaya-budaya Barat.

Peran pemerintah kolonial yang sangat kental terhadap keberadaan karya

sastra Balai Pustaka seolah-olah memposisikan karya sastra-karya sastra tersebut

sebagai hasil dari pemerintah kolonial yang sesuai dengan tujuan pemerintah,

sehingga tidak banyak menampilkan perlawanan terhadap penjajah. Alasan inilah

yang membuat sastra Balai Pustaka sering ditolak sebagai awal sastra Indonesia

modern dalam khazanah sastra Indonesia.

Era perlawanan terhadap eksistensi dan dominasi Balai Pustaka pun

dimulai pada tahun 1933 saat muncul angkatan Pujangga Baru di bawah pimpinan

Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Pujangga Baru muncul sebagai

bentuk reaksi atas perlakuan Balai Pustaka yang selalu menyensor karya tulis

sastrawan pada masa itu, sehingga karya sastra yang bertema nasionalisme dan

kesadaran kebangsaan tenggelam.

Sastra angkatan Pujangga Baru mengusung semangat kebangsaan dan

pembentukan budaya dalam aliran romantik idealisme, yaitu aliran kesusastraan

yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-

cita. Ciri-ciri sastra angkatan Pujangga Baru adalah menggunakan bahasa

Indonesia modern, temanya tentang emansipasi wanita atau kehidupan kaum

intelek, bentuk puisinya adalah puisi bebas yang mementingkan keindahan

Page 4: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

4

bahasa, dll. (Mahayana, 2006: 23-24). Oleh karena itu, sastra angkatan Pujangga

Baru dikenal sebagai sastra intelektual, nasionalistik, dan elistis.

Lahirnya sastra angkatan Pujangga Baru yang membawa kebaruan seperti

yang dijabarkan pada paragrap di atas, menjadikan sastra angkatan Pujangga Baru

sebagai “Bapak” sastra Indonesia modern. Pada era inilah sastra Indonesia

modern mulai dianggap eksistensinya, bukan pada era Balai Pustaka. Karya sastra

angkatan Pujangga Baru, termasuk juga karya-karya sesudah zaman perang,

tampaknya sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia paska penjajahan yang

menampilkan berbagai masalah. Kompleksitas-kompleksitas tersebut muncul

seperti dalam novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937) dan

Belenggu (Armijn Pane, 1940). Selain itu, kompleksitas kehidupan manusia paska

penjajahan juga muncul pada novel-novel yang terbit di masa sesudah perang,

seperti Ateis (Achdiat Karta Mihardja, 1949), Pulang (Toha Mohtar, 1959), Bumi

Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1981), Burung-burung Manyar (Y.B.

Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam, 1992).

Melihat dari semangat angkatan Pujangga Baru melepaskan cengkeraman

kontrol pemerintah kolonial melalui peran Balai Pustaka, Ratna (2008: 90)

menilai bahwa kolonialisme-lah yang menjadi faktor utama pemicu kebangkitan

nasionalisme. Sesuai dengan ciri-ciri Balai Pustaka, kolonial telah membatasi

kebebasan berpikir bagi masyarakat yang dikuasainya, sehingga terjadilah

stagnasi, bahkan kemunduran dalam semua aspek kehidupan masyarakat pribumi.

Menurut Ratna (2008: 91), tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah

menimbulkan reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir

Page 5: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

5

penjajah. Kolonialisme menimbulkan reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan.

Perasaan senasib sepenanggungan dan menyatukan kehendak dan tekad untuk

lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme Indonesia. Semangat

nasionalisme inilah yang kemudian dirintis oleh angkatan Pujangga Baru melalui

karya-karya sastra

Menanggapi lahirnya karya-karya sastra, baik pada masa Balai Pustaka

maupun angkatan Pujangga Baru, dalam istilah Jauss (1983: 32) disebut dengan

rangkaian sastra (literary series), hal ini menandakan jejak-jejak kolonial masih

dapat dirasakan, dipertanyakan, ditinjau kembali, bahwa wacana kolonial itu

menampilkan sebuah oposisi biner, yakni antara penguasa dan yang dikuasai;

penjajah dan pribumi; hegemoni dan perlawanan; dan antara majikan dan budak.

Salah satu karya sastra yang menyajikan jejak-jejak kolonial dalam

ceritanya adalah novel Burung-burung Manyar (BbM) karya Y.B. Mangunwijaya,

sehingga novel ini dipilih menjadi objek materi penelitian ini. Novel BbM terbit

pada tahun 1981 atau masa sesudah perang. Novel BbM mengisahkan tentang

revolusi Indonesia yang mengambil setting masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Selain jejak-jejak kolonial di dalam ceritanya, pemilihan BbM menjadi objek

materi adalah Y.B. Mangunwijaya sebagai pengarangnya, dikenal sebagai esais,

kolumnis, dan sastrawan yang banyak menganalisis nilai-nilai sosial masyarakat

Indonesia saat masih dikuasai pemerintah kolonial, sampai pada sesudah perang

kemerdekaan yang rupanya jejak-jejak kolonial masih kuat menempel di

kehidupan pribumi.

Page 6: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

6

Day (2008: 20) mengungkapkan Y.B. Mangunwijaya mencatatkan

kekagumannya secara ambigu terhadap produk-produk sistem pendidikan

kolonial, terhadap mereka yang pernah berjuang melawan kolonialisme dengan

senjata intelektual, kultural dan linguistik kolonialisme itu sendiri, demi

kepentingan bangsa Indonesia.

“Para pemimpin generasi Sukarno-Hatta masih harus bergulat dulu, belajar

dan memperjuangkan suatu bahasa nasional sesudah mereka dikuasai oleh

bahasa Belanda, Inggeris, Jerman, dan Prancis, akan tetapi justru berkat

penguasaan bahasa-bahasa asing itulah mereka mampu bercara-pikir

modern yang mutlak diperlukan untuk berkomunikasi pada taraf

internasional demi pemerdekaan bangsa,” (Mangunwijaya, 1998: 3)

Walaupun terkesan berterima kasih atas penguasaan bahasa-bahasa asing demi

kemerdekaan bangsa, Mangunwijaya tetap menyatakan bahwa kolonialisme

adalah musuh yang menyertai masa lalu Jawa dan Pendudukan Jepang merupakan

warisan sejarah yang masih harus diatasi oleh Indonesia sekarang. Inilah ambigu

yang dicatat Mangunwijaya. Mangunwijaya mengamati pada masa Orde Baru,

kekuasaan kolonialisme tentang perbudakan masih tampak pada pribumi

Indonesia, namun “cara berpikir modern” yang diwariskan kolonial berupa sistem

pendidikan yang secara paradoks menjanjikan pembebasan yang sempat direbut

oleh generasi Sukarno-Hatta.

Day (2008: 20-21), menjelaskan bahwa paradoks tersebut juga tertanam

dalam novel-novel dan esai-esai yang ditulis Mangunwijaya, seperti ambiguitas

dan formasi-formasi budaya hibrida. Tokoh Teto dalam novel BbM terbukti

merupakan gempuran kontroversial terhadap keyakinan yang umum bahwa orang

Indonesia tidak mampu mengidentifikasikan diri dengan bangsa Indonesia. Teto

Page 7: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

7

setengah Belanda, dalam perang kemerdekaan Indonesia berjuang di pihak

Belanda. Namun, dalam perkembangan cerita novel ini Teto mewakili kekayaan

potensial yang oleh bangsa ini diambil dari asal-usulnya yang heterogen dan

hibrida.

Novel BbM bercerita tentang tokoh Teto (Setadewa) yang lahir dari ayah

keturunan Jawa ningrat dan ibu keturunan Belanda. Teto kecil cenderung

menyukai status dirinya sebagai inlander. Namun, ketika Belanda kalah dan

Jepang menguasai Indonesia, pendirian Teto sebagai inlander menjadi goyah.

Perihalnya, ayah Teto ditangkap dan ibunya dijadikan gundik. Teto yang setengah

Belanda itupun bertemu Mayoor Verbruggen dan masuk tentara KNIL. Ia masuk

KNIL karena rasa bencinya kepada Jepang dan semua orang yang memuja

Jepang, termasuk para pemimpin revolusi Indonesia.

Teto dihadapkan pada kenyataan pahit. Ia bergabung dengan KNIL karena

kecewa dengan pemimpin revolusi yang dianggapnya berkhianat, namun rupanya

Atik (Larasati), sahabat masa kecilnya yang sekaligus dicintainya ini, berpihak

pada perjuangan Indonesia dengan bekerja pada kantor Perdana Menteri Sutan

Syahrir.

Teto yang menaruh dendam kepada Jepang menjadi komandan unit

pasukan yang turut menyerang Yogyakarta pada agresi militer Belanda kedua.

Setelah perang usai, Teto merasa gagal karena ibunya yang diharapkan kembali

ternyata harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, sedangkan Atik tidak

kembali ke sisi Teto. Di tengah pergulatan batinnya memilih antara inlander atau

Page 8: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

8

Belanda, Teto memutuskan kembali ke Indonesia walaupun Atik sudah menikah

dengan orang lain.

Perjalanan hidup Teto di antara status inlander dan Belanda menarik untuk

diteliti. Sebagai setengah inlander yang berpihak ke pemerintah Belanda, Teto

harus memunculkan status setengah Belanda-nya dengan beradaptasi dan bertahan

di bawah kepemimpinan Mayoor Verbruggen agar bisa berperan sebagai tentara

KNIL dan melawan penjajah Jepang —sekaligus pemerintah Indonesia yang

memihak Jepang— yang telah menghancurkan keluarganya.

Diperlukan suatu usaha yang harus dilakukan oleh Teto agar dia dapat

beradaptasi dan bertahan di lingkungannya yang baru. Salah satu usaha yang

dilakukan oleh Teto yang dapat ditemukan di dalam novel adalah peniruan-

peniruan. Hal tersebut di atas menjadi alasan penulis untuk meneliti usaha Teto

untuk bertahan di lingkungan baru untuk menggapai keinginannya.

Selain itu, keadaan Teto mengindikasikan adanya ambivalensi pada status

dirinya yang setengah Belanda dan setengah Pribumi, keputusan Teto bergabung

dalam satuan KNIL dan menanggalkan status inlander-nya, sekaligus

pekerjaannya di Amerika setelah perang selesai. Sebagaimana Bhabha

berpendapat bahwa dalam situasi kolonialisme, batas-batas antagonisme tidak

dapat ditetapkan secara pasti sebab relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh pola-

pola psikis kontradiktif seperti membentuk subjeknya sebagai pendukung

sekaligus musuh, sehingga memberi pilihan psikis yang ambivalen pula pada

pihak termarginalkan (Bhabha, 1994: 72 dan 120). Oleh karena itu, perlu

Page 9: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

9

dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap novel BbM terkait ambivalensi pada

relasi Teto yang heterogen dan hibrid.

Untuk meneliti hal tersebut tentu dibutuhkan suatu teori yang dapat

membedah novel BbM karya Y.B. Mangunwijaya. Konsep kajian

poskolonialisme dari Homi K. Bhabha dianggap paling cocok untuk digunakan

dalam meneliti novel ini karena Bhabha tidak memfokuskan teorinya hanya pada

kaum terjajah atau penjajah dalam artian pendudukan suatu wilayah, namun lebih

pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer. Konsep

poskolonialisme Bhabha keterpecahan-keterpecahan wacana kolonial yang

kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini

mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi

tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha

disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin

bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain

pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana dikemukakan latar belakang di atas, perubahan dan

perkembangan karakter tokoh utama dalam novel ini menarik diteliti dengan

menggunakan kacamata poskolonialisme Homi K. Bhabha. Dalam penelitian ini

permasalahan yang akan diteliti dibatasi pada perilaku mimikri tokoh utama

dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya sebagai salah

satu usaha resistensi sang tokoh. Mimikri menjadi cara tokoh utama dalam

Page 10: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

10

bertahan dan menunjukkan eksistensinya. Selain itu, ambivalensi yang dialami

tokoh utama juga akan diteliti karena ambivalensi inilah yang menyebabkan

mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat

keambiguan wacana kolonial. Permasalahan pokok akan diuraikan ke dalam

rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk perilaku mimikri tokoh utama dalam novel Burung-burung

Manyar karya Y.B. Mangunwijaya?

2. Bagaimana bentuk-bentuk ambivalensi yang digambarkan dalam novel

Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan, maka yang

menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk perilaku mimikri tokoh utama dalam novel Burung-

burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.

2. Mendeskripsikan bentuk-bentuk ambivalensi yang digambarkan dalam novel

Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis,

penelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk mimikri atau peniruan tokoh utama

terhadap wacana kolonial, sekaligus menjelaskan bentuk-bentuk ambivalensi yang

digambarkan dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.

Page 11: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

11

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

ilmu sastra, yaitu (1) memberi sumbangan pengetahuan akan kajian sastra dan

budaya poskolonial pada umumnya, serta kajian sastra Indonesia pada khususnya,

dan (2) memberikan sumbangan bagi perkembangan kritik sastra Indonesia, serta

membantu para pembaca dalam memahami dan mengapresiasi novel Burung-

burung Manyar dengan sudut pandang poskolonial, terutama dengan

menggunakan konsep-konsep teori poskolonialisme Bhabha.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh yang penulis ketahui, novel Burung-burung Manyar karya Y.B.

Mangunwijaya sebagai bahan penelitian sudah banyak dilakukan. Namun, dengan

menggunakan pendekatan dan teori yang berbeda-beda. Salah satu penelitian yang

menggunakan Burung-burung Manyar sebagai bahan penelitiannya dan

poskolonial sebagai teorinya adalah skripsi tahun 2015 berjudul Hibriditas dalam

Novel Burung-burung Manyar Karya YB. Mangunwijaya (Kajian Pascakolonial)

yang disusun Ika Agustiningsih dari Universitas Muhammadiyah Malang.

Skripsi ini menggunakan teori poskolonial Homi K. Bhabha dengan fokus

mendeskripsikan representasi identitas pada stratifikasi sosial kolonial Belanda

dan bentuk-bentuk hibriditas yang terjadi akibat adanya persinggungan budaya

antara pribumi dengan kolonial Belanda. Skripsi ini menunjukkan bahwa novel

Burung-burung Manyar memiliki konstruksi hibriditas meliputi hibriditas

terhadap bahasa, hibriditas terhadap tata sosial masyarakat, dan hibriditas

terhadap cara berfikir.

Page 12: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

12

Penelitian lain yang juga memakai novel Burung-burung Manyar sebagai

bahan penelitiannya adalah disertasi milik Tengsoe Tjahjono pada tahun 2012

yang berjudul Nasionalisme dalam Novel Burung-burung Manyar karya Y.B.

Mangunwijaya yang dipublikasikan oleh Universitas Negeri Malang. Disertasi ini

mengkaji nasionalisme dalam novel Burung-burung Manyar karena peneliti

melihat Y.B. Mangunwijaya menunjukkan perkembangan pemikiran dan sikap

mengenai nasionalisme. Salah satunya melalui karya novel Burung-burung

Manyar yang secara tersurat dan tersirat banyak mengungkapkan persoalan

nasionalisme yang dialami oleh tokoh sentral Setadewa atau Teto.

Dengan menggunakan tiga tahapan dasar hermeneutika Ricoeur dalam

melakukan interpretasi ideologi, menunjukkan bahwa novel Burung-burung

Manyar berhasil masuk ke dalam aspek terdalam dalam dimensi nasionalisme

yang meliputi dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dan dimensi kesejarahan,

yakni pergolakan dan kesadaran jiwa tokoh-tokoh. Fakta nasionalisme dalam

novel Burung-burung Manyar adalah fakta nasionalisme yang memang terjadi

dalam pergolakan anak bangsa dalam mencari, menemukan, dan memaknai

nasionalisme.

Novel Burung-burung Manyar merupakan upaya pengarang membahasakan

pemikiran nasionalisme secara naratif dan metaforik, serta mengartikulasikan

nasionalisme Indonesia yang dialami para tokoh. Kemudian, terdapat relasi yang

siginifikan antara pemikiran nasionalisme pengarang dengan pemikiran

nasionalisme dalam novel Burung-burung Manyar. Sebagai konstruksi pemikiran,

Page 13: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

13

novel Burung-burung Manyar ditulis dengan tujuan menyadarkan pembaca

perihal pentingnya menafsirkan ulang konsep kebangsaan.

Adapun terkait dengan penelitian terhadap karya-karya sastra dengan

mengenai mimikri, salah satunya adalah penelitian berjudul Unsur Postkolonial

Dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja yang disusun Vivi Yunita dkk.

Penelitian ini dipublikasikan melalui Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Vol. 1 No. 1 September 2012; milik Universitas Negeri Padang.

Dengan menggunakan teori Orientalisme Said, ditemukan dua unsur

postkolonialnya, yaitu hegemoni dan mimikri. Hegemoni dalam wacana

poskolonial kekuasaan kolonial dengan segala yang dimiliki oleh bangsa jajahan

Indonesia terlihat dalam tuturan tokoh dan paparan narator dalam novel Atheis.

Ada beberapa ideologi masyarakat yang menggambarkan keberadaan peran

dan kekuasaan kolonial ditanah jajahan. Anarkisme suatu paham menetang

kekuasaan kolonial. Feodalisme, dalam novel Atheis ditemukan bahwa masih

adanya sistem perbudakan. Humanisme, bersifat manusiawi. Militerisme, dengan

adanya prajurit Jepang yang berperang melawan Sekutu menandakan adanya

sistem ketahanan bangsa Jepang dan Otoritarianisme, kekuasaan Belanda yang

otoriter. Dari ideologi tersebut yang dominan terdapat dalam novel Atheis karya

Achdiat K. Mihardja adalah Anarkisme dan Feodalisme.

Mimikri yang dialami oleh tokoh ada beberapa yang ditemukan seperti

mimikri terhadap bahasa, pandangan terhadap orietalisme, pengakuan terhadap

kehadiran Barat dan mimikri budaya Barat yang dialami tokoh dan kebudayaan

Page 14: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

14

yang di tiru adalah kebudayaan dari bekas penjajahan Kolonial Belanda yang pada

novel tersebut Indonesia sudah dijajah oleh negara Jepang.

Berdasarkan uraian tentang tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan

bahwa belum ditemukan adanya kajian poskolonial tentang mimikri dalam novel

Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, sehingga penelitian ini lebih

terjamin keasliannya.

1.6 Landasan Teori

Untuk menjawab rumusan masalah, diperlukan perangkat teoretik yang

diharapkan mampu memberikan pemahaman lebih lanjut. Pada bagian ini akan

dipaparkan teori dan konsep yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian.

1.6.1 Pascakolonialisme

Postcolonialism jika dikaji secara etimologis terpecah ke dalam dua unsur

utama, yaitu kata post dan colonial. Post artinya sesudah, sedangkan kata colonial

berasal dari bahasa Romawi, colonia, yang berarti tanah pertanian atau

pemukiman. Hal ini mengacu pada pengalaman masyarakat Romawi yang

berdomisili di negeri lain namun tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka

sebagai identitas mereka. Seperti pernyataan Loomba sebagai berikut.

Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru, sekumpulan orang

yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah

komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka;

komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asli

dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama

hubungan dengan negara asal masih dipertahankan. (Loomba,

2003: 1)

Page 15: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

15

Loomba (2003: 2) menjelaskan bahwa terjadi interaksi yang berbelit dan

traumatik dalam proses pembentukan pemukiman baru. Proses pembentukan

tersebut terjadi antara penduduk asli atau pribumi dengan pendatang baru. Proses

pembentukan pemukiman baru tersebut memposisikan kolonial dan tindakannya

diartikan sebagai bentuk penguasaan dan penaklukan atas tanah, harta benda, dan

diri penduduk pribumi. Ratna (2008: 20) juga mulanya menilai kolonialisme tidak

mengandung arti penjajahan jika dilihat pengertiannya secara etimologis. Namun,

kolonialisme yang awalnya hanya didefinisikan sebagai wilayah perkampungan,

akhirnya mempunyai konotasi negatif setelah terjadi hubungan yang tidak

seimbang antara penduduk asli atau pribumi dengan pendatang baru.

Pascakolonialisme merupakan istilah yang digunakan oleh para kritikus

untuk mengungkap hubungan antara kolonialis dengan pihak terjajah dalam

jalinan praktik kolonialisme. Dalam dunia sastra, pascakolonialisme juga sering

diterapkan untuk menganalisis sebuah karya yang mengandung wacana kolonial,

yakni mengenai hegemoni kekuasaan Barat dan ketertindasan Timur oleh Barat.

Pada istilah pascakolonial, kata pasca sering merujuk pada waktu setelah

atau sesudah kolonial penjajahan karena pascakolonial dianggap bukan akhir dari

proses kolonial. Namun, pada pascakolonialisme istilah yang berlaku sebelum,

sedang, dan sesudah proses kolonial terjadi. Selain itu, kata pasca yang menempel

pada pascakolonialisme juga dapat menyumbangkan kerancuan antara istilah yang

merujuk pada suatu teori dengan kata yang digunakan untuk menunjuk waktu

sesudah kolonialisme. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kesan ambigu antara

Page 16: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

16

pasca yang menyatakan pada waktu dengan pasca termasuk teori, penelitian ini

selanjutnya menggunakan istilah poskolonialisme sebagai pilihannya.

Poskolonialisme secara umum dideskripsikan sebagai teori yang lahir

setelah pihak terjajah memperoleh kemerdekaan dan pihak terjajah menyadari

kondisi mereka yang pada masa sebelum kemerdekaan diperlakukan secara tidak

adil dan tidak seimbang oleh penjajah. Kemerdekaan yang didapat pihak terjajah

itu kemudian membangkitkan wacana baru tentang kemandirian dalam bertindak

sebagai pihak yang merdeka bukan hanya secara fisik, tetapi juga terbebas dari

pemikiran-pemikiran Barat yang selama ini ditanamkan Barat sebagai pihak yang

menghegemoni.

Spivak memahami wacana Barat sebagai kolonial yang dominan sebagai

wacana yang terpecah atau rupture. Keterpecahan tersebut dapat ditemukan

dengan du acara, yaitu (a) dengan mengungkapkan bagaimana wacana itu

menyangkal sendiri asumsi-asumsi dasarnya dan (b) dengan memberikan

perhatian pada unsur-unsur dan wacana yang dimarginalkan oleh wacana yang

dominan tersebut. Dengan cara pemahaman yang demikian, Spivak sebenarnya

menganggap wacana kolonial bukan sesuatu yang tertutup dari kemungkinan

resistensi. Bahkan, wacana itu sendiri dapat melawan dirinya sendiri, sehingga

dapat menimbulkan efek yang berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu

efek yang memberdayakan bagi masyarakat terjajah (Faruk, 2007: 6).

Poskolonialisme adalah kajian yang membahas pengaruh kolonialisme

terhadap suatu masyarakat dan kebudayaan terkait dengan jejak-jejak kolonial.

Istilah poskolonial digunakan untuk mencakup seluruh masyarakat dan

Page 17: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

17

kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah

kolonisasi hingga kurun waktu sekarang (Aschroff, 2003: xxii). Poskolonial

merupakan istilah yang dianggap paling tepat untuk menyinggung kritik-kritik

lintas-budaya serta wacana yang dibentuknya.

Poskolonialisme bukanlah sebuah konsep yang tunggal dan statis. Edward

Said, dengan Orientalism-nya menyadarkan kalangan akademisdi seluruh dunia

akan hubungan yang erat antara sistem pengetahuan Barat mengenai Timur yang

ia sebut sebagai orientalisme dengan praktik-praktik imperialism dan kolonialisme

bangsa-bangsa Barat di Timur. Akan tetapi, setidaknya terdapat dua kelemahan

dalam teori Said di atas. Pertama, karena terlalu memusatkan perhatian pada

persoalan pengaruh orientalisme itu, ia mengabaikan kemungkinan adanya

resistensi dari bangsa-bangsa Timur yang terjajah terhadap sistem pengetahuan di

atas. Kedua, karena pengaruh Orientalisme itu sendiri terhadap dirinya. Said

cenderung menyeragamkan apa yang ia sebut sebagai wacana Barat mengenai

Timur, memberi kesan bahwa, sebagaimana halnya Timur dalam konstruksi Barat,

Barat itu merupakan satu entitas yang tunggal, seragam pula (Faruk, 2007: 5-6).

Ratna (2010: 212-213) menjelaskan empat alasan karya sastra layak

dianalisis menggunakan teori poskolonial. Alasan pertama, segala gejala kultural

sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima sebagai

mediator antara masa sebelumnya dengan masa sekarang. Alasan kedua adalah

karya sastra menampilkan berbagai permasalahan kehidupan, emosionalitas dan

intelektualitas yang dibalut dalam fiksi. Alasan ketiga yakni karya sastra tidak

Page 18: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

18

terikat oleh ruang dan waktu. Alasan terakhir, berbagai masalah yang tersebut

ditampilkan karya sastra secara tersirat.

Peneliti yang menerapkan teori poskolonialisme dalam penelitiannya tentu

harus mempertimbangkan ciri khas suatu bangsa atau wilayah yang menjadi objek

penelitiannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan pola penguasaan kolonial

terhadap jajahannya. Pertimbangan terhadap khas suatu bangsa atau wilayah

dikatakan Ratna (Ratna, 2010: 208) sebagai bukti bahwa teori poskolonial adalah

multidisiplin, sekaligus sebagai studi kultural.

Foucault sudah lebih dulu menerapkan konsep pertimbangan ciri khas

tersebut. Foucault menjelaskan bahwa ilmu-ilmu manusia muncul ketika ada

upaya mendefinisikan bagaimana sekelompok individu berbicara dalam kata-kata

peradabannya yang mengandung keterikatan sosio-kultural. Itulah kata kunci

ilmu-ilmu manusia yang bermula dari pemahaman bahasa dan dikursus (2011: 6).

Hal ini semakin menguatkan pernyataan Ratna bahwa penelitian poskolonial

selalu mempertimbangkan hubungan dengan kondisi masyarakat yang menjadi

pembahasannya.

Pertimbangan ciri khas suatu bangsa atau wilayah memiliki kaitan dengan

situasi poskolonialisme yang sering diperlihatkan dalam tanda-tanda adanya

perlawanan terhadap suatu kondisi dominasi tatanan kolonial (Loomba, 1998:1-

42). Loomba mengajukan pertanyaan kritis mengenai masyarakat yang kerap

mengasosiasikan kolonialisme dengan sejarah Eropa, bukan dengan praktik dari

peradaban dan kekuasaan sebelumnya yang sama-sama menampilkan fakta

perluasan kekuasaan. Pertanyaan Loomba muncul karena melihat dari fakta paling

Page 19: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

19

mendasar tentang kolonialisme adalah asosiasi langsung terhadap gejala perluasan

kekuasaan dan imperialisme Eropa ke seluruh penjuru dunia.

Kaitan kolonialisme dengan Eropa menjadi kondisi yang sangat rekat

karena jejak-jejak kolonial yang disebar dan tinggalkan oleh Eropa telah

memberikan imbas yang luar biasa terhadap masyarakat jajahan dan budaya

masyarakat jajahannya. Kondisi ini dapat ditemukan dalam tanda-tanda yang

disingkap Homi K. Bhabha dalam teori poskolonialnya. Bhabha mengungkapkan

masifnya perilaku-perilaku ganjil dan kontradiktif dalam kehidupan masyarakat

terjajah kolonial dengan adanya fenomena sosok-sosok manusia-manusia peniru

(mimic man). Alam kolonialisme melalui manusia-manusia peniru telah

menimbulkan kondisi mimikri akibat langsung dari pembentukan tatanan

(Bhabha, 1994:86).

Bhabha memberikan contoh mimikri dengan mengutip tulisan milik

Macaulay. Dalam tulisan tersebut, Macaulay mengungkapkan impian-impian

subjek kolonial adalah terciptanya suatu kelas manusia berdarah dan berkulit India

namun berselera, bermoral, dan berpandangan layaknya seorang Inggris (Bhabha,

1994:87). Impian-impian subjek kolonial tersebut bagi Bhabha merupakan imbas

dari adanya kontradiksi kolonialisme.

Impian-impian subjek kolonial dari adanya kontradiksi kolonialisme

merupakan suatu strategi bertahan dari pihak terjajah. Adanya strategi ini telah

menunjukkan bahwa terjadi penerimaan poskolonialisme sebagai sebuah istilah

dan perangkat konseptual. (Spivak, 1990:95-112) melihat penerimaan tersebut

digunakan sebagai bagian dari upaya kritisi terhadap kondisi-kondisi kolonialisme

Page 20: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

20

beserta efeknya, terutama bagi wilayah-wilayah yang dahulu dijadikan koloni

(wilayah jajahan).

Beranjak dari penerimaan sebagai istilah dan perangkat konseptual,

pengenalan poskolonialisme berkembang lagi dalam tahap pendekatan melalui

teks. Pendekatan poskolonial dalam teks menekankan pada pengaruh diskursif dan

logis, sedangkan material dari fakta kolonialisme berpengaruh terhadap teks-teks

yang terbentuk. Penekanan itu mencoba melihat segala situasi perbedaan budaya

dan kondisi-kondisi keterpinggiran yang dijejak oleh suatu teks, dan pernah

tercipta dari masa-masa kolonialisme masih berlangsung (Aschroft, Griffiths, dan

Tiffin, 2002: 198).

Edward Said dan Franz Fanon memiliki pandangan berpihak dalam

menyikapi interaksi penjajah dan terjajah. Said hanya berfokus pada wacana

penjajah, sedangkan Fanon berfokus pada wacana terjajah. Said dan Fanon

menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah posisi yang terpadu

dan stabil, sekaligus berbeda dan bertentangan di antara keduanya. Bhabha pun

mengkritisi model oposisi biner hubungan kolonial yang dikemukakan oleh

Edward Said dan Franz Fanon tersebut. Konsep-konsep Bhabha menegaskan

bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain, melainkan

relasional.

Bhaba (1994: 189) mengatakan bahwa setiap momen harus sebagai

rangkaian sebuah revisi dimana ada keterbukaan dan keberlanjutan dalam

keyakinannya untuk mendapatkan kebebasan. Bagi korban kolonialisme, strategi

budaya sebagai cara dari kebertahanan (survival) yang lebih banyak diperoleh dari

Page 21: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

21

warisan. Ada jarak antara warisan dan pemahaman ideologi dan penyediaan ruang

tampilan individu untuk pertahanan dan individualitas.

Bhabha melihat ada dua kutub biner yang berbeda dari sudut pandang

poskolonial. Kedua kutub biner tersebut adalah terjajah (colonized) dan penjajah

(colonizer). Terjajah dan penjajah harus dilihat sebagai konteks historis yang tidak

selalu linier. Artinya, sikap perlawanan dan kekhawatiran dapat terjadi di kedua

belah pihak.

Ketika penjajah (colonizer) menunjukkan kekuatan dan menanamkan

kekuasaannya, maka terjajah (colonized) menjadi khawatir akan ancaman

terhadap daerahnya. Sebaliknya, ketika terjajah (colonized) bersikap resisten atau

bertahan, maka penjajah (colonizer) menjadi cemas (anxiety) karena pola

penguasaannya menjadi tidak berpengaruh. Pihak penjajah (colonizer) juga

mengalami kekhawatiran akan ancaman penjajah lain menguasai daerah

jajahannya, sedangkan pihak yang terjajah rupanya tidak selalu mengalami

resisten atau perlawanan, melainkan terkadang bisa menerima kehadiran penjajah.

Bhabha membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu

bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya

maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam

dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah

terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial,

identifikasi masyarakat terjajah terhadap Barat, tidak harus berarti kepatuhan

masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan

masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi sebuah ejekan

Page 22: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

22

(mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan

sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah. Identifikasi, dengan

demikian, dapat menjadi “false-identification” (Faruk: 2007: 6).

Berdasarkan kondisi yang telah dijabarkan tersebut, Bhaba menilai

pentingnya relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan

yang beraneka macam sekaligus kontradiktif. Menurut Bhabha (1994: 42), antara

penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya

untuk berinteraksi. Di dalam “ruang antara” inilah ruang yang longgar untuk suatu

resistensi atau perlawanan.

Namun, resistensi atau perlawanan itu sendiri, menurut Spivak bukannya

tanpa resiko. Resistensi fundamentalis yang mengonstruksi identitas subjek

sebagai sesuatu yang esensial harus pula dilawan. Dengan kembali menengok

teori Derrida, Spivak menganggap subjek pun bukan entitas yang utuh, melainkan

terdesentralisasi (decentered subject). Karena itu, identitas bukanlah sesatu yang

esensial, melainkan hasil konstruksi secara diskursif, terbentuk melalui interpelasi

dalam pengertian Louis Althusser. Akan tetapi, kenyataan demikian tidak dengan

sendirinya berarti bahwa esensialisme sepenuhnya negatif terhadap kemungkinan

resistensi. Karena subjek decentered, identitas menjadi sesuatu yang dapat

dinegosiasikan. Esensialisme yang dikonstruksi atas dasar negosiasi dengan

kekuatan-kekuatan politik dan ideologis yang ada bersifat positif bagi resistensi.

Spivak menyebutnya sebagai esensialisme strategi (Faruk, 2007: 7).

Faruk (2007: 7) juga menyebutkan bahwa konsep negosiasi ini membuka

jalan bagi kemungkinan heterogenitas tidak hanya dari wacana yang dominan,

Page 23: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

23

melainkan juga wacana yang termarginalkan, tidak hanya dari subjek yang disebut

Barat, melainkan juga subjek yang disebut Timur, tidak hanya dari kekuatan

diskursif kolonial, melainkan juga kekuatan diskursif yang resisten terhadapnya.

Membicarakan “ruang antara” yang diusung Bhabha untuk menjelaskan

hubungan antara penjajah dan terjajah, maka akan dibicarakan juga tentang

konsep liminalitas gagasan Bhabha yang digunakan untuk mendeskripsikan

“ruang antara” tersebut. Di dalam “ruang antara” tersebut terdapay sebuah

struktur keterbelahan dari wacana kolonial, di mana letak garis pemisahnya tidak

pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.

Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk menghidupkan ruang

persinggungan antara teori dan praktik kolonisasi untuk melahirkan hibriditas.

Dalam persinggungan yang dimaksud dapat berlangsung perubahan budaya yaitu

ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal

dapat dikembangkan. Hal ini disebabkan pencarian identitas itu idealnya tidak

pernah berhenti. Di antara penjajah dan terjajah terdapat ruang ketiga tempat

persilangan budaya atau hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras, bahasa,

dan lain sebagainya. Dapat dilihat pula konsep liminitas Bhabha sebagai suatu

wilayah koloni terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-

beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun

dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga”.

Said (2001: 7) mengungkapkan, budaya Eropa memperoleh kekuatan dan

identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Barat

mengidentifikasi dunia Timur sebagai upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya

Page 24: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

24

sendiri. Barat melabeli Timur sebagai yang rendah, sedangkan dirinya sebagai

Barat adalah yang tinggi. Pengertian ini sedikit berbeda dengan penuturan Bhabha

yang berpendapat bahwa hubungan antara penjajah dan terjajah bersifat rasional,

bukan independen. Identitas-identitas kolonial dari penjajah maupun terjajah

sebenarnya tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Identitas-identitas

kolonial yang terpecah tersebut oleh Bhabha dijabarkan dalam gejala-gejala sosial

berupa hibriditas, mimikri, dan ambivalensi.

1.6.2 Hibriditas

Foultcher (1999: 15) mengartikan hibriditas dalam kolonial adalah

pencangkokan identitas tertentu berdasarkan kemurnian kultural dalam rangka

memapankan status kekuasaan kolonial. Foulcher juga menjabarkan bahwa

pencangkokan identitas tersebut dilakukan melalui kelompok perantara atau

kelompok asli pribumi yang mendapatkan pendidikan tinggi dan terhormat, yang

dididik oleh pihak kolonial untuk meniru keberadaban kolonial melalui proses

pendidikan tersebut.

Foultcher (1999: 16) mengungkapkan bahwa kelompok perantara tersebut

akan melabeli dirinya dengan budaya bangsa penjajah dan menjadikan dirinya

sebagai wakil budaya Barat yang tinggi dan terhormat di hadapan pribumi. Posisi

kelompok perantara yang seolah-olah lebih bermartabat dibanding pribumi

lainnya tersebut sebenarnya berada dalam posisi terjajah secara pemikirannya.

Padahal peniruan yang dilakukan kelompok perantara tersebut tidak akan bisa

Page 25: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

25

sempurna karena terhambat oleh sifat kodrati yang membedakan antara Barat dan

Timur.

Bhabha kemudian mengembangkan konsep hibriditas yang digulirkan

Foultcher dalam wacana antara asli dan campuran dengan konteks kekuasaan

politik kultural penjajah. Menurut Bhabha (1994: 66), hibriditas merupakan

produk konstruksi kolonial yang mau membagi strata identitas murni penjajah

dengan ketinggian kultur yang didiskriminasikan. Dalam praktik kolonial,

individu kolonial tak jarang mengambil gagasan Barat untuk menentang kolonial,

bahkan apa yang hibridakan oleh kolonial kepada masyarakat terjajah disejajarkan

dengan gagasan kaum pribumi. Pertentangan tersebut muncul sebagai momen

kesadaran atas terjadinya penindasan kultural, yaitu ketika kekuatan kolonial

menjajah untuk mengkonsolidasi kontrol politis dan ekonomis, atau ketika

penjajah menguasai orang-orang pribumi dan memaksa mereka untuk berasimilasi

ke dalam pola-pola masyarakat yang baru (Ashcroft, 2003: 183).

Bhabha menyebutkan bahwa atribut-atribut yang digunakan dalam kondisi

kolonial adalah berupa liminalitas (keambangan) dan hibriditas. Liminitas

menjadi “ruang antara”, yakni tempat percampuran dan perubahan budaya yang

berbeda-beda dan berlangsung secara terus-menerus. Ruang antara tempat

percampuran budaya tersebut di dalamnya mengandung strategi-strategi kedirian

individu maupun kelompok yang dapat dikembangkan. Bhabha menjelaskan

bahwa hibriditas adalah alat anti-kolonial oleh pihak terjajah, maupun terkadang

penjajah itu sendiri yang menentang penindasan. Dalam ranah poskolonial,

konsep hibriditas adalah strategi untuk melakukan resistensi terhadap budaya

Page 26: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

26

dominan. Perlakuan resistensi yang diterapkan adalah strategi peniruan atau

mimikri untuk menekan, menyudutkan, bahkan mengejek budaya dominasi

tersebut.

1.6.3 Mimikri

Sudah disampaikan oleh Bhabha bahwa kaum terjajah selalu berusaha

membangun identitas kedirian untuk meningkatkan derajat martabatnya agar

setara dengan kaum penjajah. Uraian tentang identitas kedirian inilah yang

menjadi tumpuan Bhabha dalam merumuskan konsep mimikri. Konsep mimikri

atau peniruan dalam wacana kolonial yang diperkenalkan Bhabha (1994: 86)

mengandung pengertian suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek

sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama (as subject of a

difference, that is almost the same, but not quite).

Frantz Fanon adalah penggagas konsep mimikri untuk pertama kalinya.

Mimikri menurut Fanon muncul akibat perlakuan pada kaum terjajah yang

dipaksa meninggalkan jati dirinya sebagai masyarakat tradisional, maupun

identitas nasionalnya. Pada saat kaum terjajah mengalami krisis identitas, mereka

kemudian disuguhkan peradaban Barat selaku penjajah yang lebih bermartabat,

sehingga timbul upaya adaptasi identitas Barat milik kaum penjajah oleh kaum

terjajah dalam bentuk peniruan-peniruan.

Namun, Bhabha mengkritisi pandangan Fanon tersebut. Menurut Bhabha,

peniruan-peniruan tersebut dapat memunculkan ambivalensi dan ironi identitas

kebangsaan.

Page 27: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

27

Yang penting, mimikri bukan budak imitasi, dan yang dijajah tidak

sedang berasimilasi, sehingga seharusnya mendominasi atau

bahkan lebih unggul budayanya. Mimikri dalam pemahaman

Bhabha adalah peniruan bahasa, budaya, perilaku, dan ide yang

berlebihan. Ini berarti, mimikri adalah pengulangan dengan

perbedaan, sehingga tidak terdapat penghambaan bagi bangsa

terjajah. Bahkan, mimikri juga merupakan bentuk ejekan [...]

karena mengolok-olok dan melemahkan pretensi kolonialisme dan

kerajaan yang sedang berlangsung. (1994: 89)

Dalam tindakan mimikri, kaum terjajah seolah-olah kagum dengan

martabat kaum penjajah yang lebih bermartabat, sehingga kaum terjajah terkesan

memiliki kebanggaan atas tindakan-tindakan peniruan yang mereka lakukan.

Padahal, dalam konsep mimikri pada wacana kolonial, peniruan-peniruan tersebut

mengandung perlawanan dari kaum terjajah supaya mendapatkan kesejajaran

dengan kaum penjajah. Bhabha (1994: 90) menyatakan bahwa mimikri

merupakan upaya mengukuhkan, sekaligus mendistorsi otoritas penjajah.

Selain mengandung perlawanan dan kesan ejekan (mockery), mimikri juga

dapat menimbulkan sikap ambivalensi pada kaum terjajah yang menerapkan

mimikri sebagai strategi bertahan dari kekuasaan dan penindasan kaum penjajah.

Munculnya sikap ambivalensi disebabkan oleh adanya hasrat dan keinginan yang

tidak terbendung untuk bersikap seperti orang lain yang dirasa lebih bisa diterima.

1.6.3 Ambivalensi

Jika Fanon menyimpulkan bahwa kaum terjajah hanya memiliki hasrat

atau keinginan untuk berdiam dan bertahan di lahan kekuasaan kaum penjajah,

Bhabha justru menambahkan bahwa kaum penjajah sebagai Barat yang tinggi dan

bermartabat rupanya ingin turun ke bawah untuk mencari identitasnya sebagai

Page 28: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

28

penguasa. Bhabha menilai sikap tersebut adalah kemenduaan (doubling), yaitu

hasrat untuk berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Hal ini menandakan

adanya keinginan tetap seperti yang asli, tetapi di saat yang bersamaan muncul

juga keinginan menjadi seperti yang lain (splitting). Konsep kemenduaan inilah

yang membuat wacana kolonial bersifat ambivalen, sehingga tindakan-tindakan

peniruan yang dilakukan oleh kaum terjajah tidak pernah seutuhnya penuh atau

sempurna.

Bhabha (1994:126) menjelaskan keterkaitan antara mimikri dan

ambivalensi adalah ambivalensi akan muncul apabila proses mimikri dilanda oleh

ketidakpastian pilihan identitas. Padahal, proses mimikri tersebut pada hakikatnya

menjadi konsep sebelum munculnya hibriditas.

Yang mengatakan, bahwa wacana mimikri dibangun di sekitar

sebuah ambivalensi, agar efektif, mimikri harus terus memproduksi

kemungkinan peniruannya, kelebihannya, dan perbedaannya.

Kewenangan dalam modus wacana kolonial ini saya sebut mimikri.

Oleh karena itu, apabila dilanda ketidakpastian suatu mimikri

muncul sebagai representasi dari perbedaan itu sendiri merupakan

proses pengingkaran. Dengan demikian, mimikri adalah tanda dari

artikulasi ganda, strategi yang kompleks dalam reformasi,

peraturan disiplin, dan, yang "merampas" sesuatu yang lain, seperti

visualisasi kekuasaan. (1994:126)

Dari kutipan tentang konsep teori poskolonial oleh Bhabha di atas, bisa diketahui

bahwa masalah ambivalensi menjadi persoalan tersendiri dalam kajian

poskolonial setelah pembahasan tentang hibriditas dan mimikri. Interaksi kaum

terjajah dan kaum penjajah bersifat ambivalen karena terjadinya secara fluktuasi

dan terus-menerus.

Sifat ambivalensi inilah yang memberi ruang dan peluang bagi kaum

terjajah untuk melakukan perlawanan. Bhabha menjelaskan bahwa pihak yang

Page 29: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

29

terjajah tidak selalu diam dan pasrah, melainkan mampu melakukan perlawanan

melalui tindakan mimikri. Mimikri merupakan proses peniruan maupun

peminjaman suatu elemen kebudayaan yang dalam prosesnya bukan untuk

menunjukkan ketidakberdayaan kaum terjajah karena perlakuan kaum penjajah.

Melalui proses imitasi bernama mimikri tersebut, terlihat bahwa kaum terjajah

sebagai pihak peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi dalam mimikri

tersebut.

1.7 Hipotesis

Hipotesis merupakan kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan

berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk, 2012: 21).

Dikatakan sementara karena, jawaban yang diberikan melalui hipotesis baru

didasarkan pada teori dan belum menggunakan fakta. Hipotesis memungkinkan

kita menghubungkan teori dengan pengamatan atau pengamatan dengan teori.

Hipotesis menjadi alternatif dugaan jawaban yang diajukan peneliti untuk

menjawab problematika yang ada di dalam penelitian. Dugaan jawaban tersebut

merupakan kebenaran yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya

dengan data yang dikumpulkan melalui penelitian. Dengan kedudukan itu maka

hipotesis dapat berubah menjadi kebenaran, tetapi juga dapat tumbang sebagai

kebenaran.

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan landasan teori

yang telah dijabarkan, penelitian ini mengasumsikan dua hipotesis dalam

penelitian.

Page 30: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

30

1. Perilaku mimikri atau peniruan dalam novel Burung-burung Manyar

dilakukan oleh tokoh utama bernama Setadewa yang memiliki darah

campuran setengah Belanda dan setengah Indonesia. Setadewa kecil, biasa

disapa Teto, bangga menjadi “anak kolong” sebagai identitas pribuminya.

Namun, ketika ayahnya ditangkap dan ibunya dijadikan gundik oleh Jepang,

Teto pun memutuskan bergabung dengan tentara Belanda dan setengah

Belandanya ia munculkan dengan identitas baru sebagai Leo. Setadewa

menjalani perannya sebagai Leo dengan melakukan peniruan-peniruan sebagai

upaya beradaptasi dan resistensi untuk bertahan di lingkungannya yang baru.

2. Novel Burung-burung manyar menggambarkan ambivalensi di tiga periode

waktu sejarahnya, yaitu periode pemerintahan kolonial, periode pemerintahan

Jepang, dan periode paska kemerdekaan. Ambivalensi yang digambarkan

berupa keterbelahan asumsi-asumsi dasar wacana Kolonial Belanda dalam

membenarkan posisinya lebih unggul dan bermartabat dari pribumi, sehingga

muncul respon yang ambivalen juga dari pribumi dari celah asumsi-asumsi

dasar wacana Kolonial Belanda tersebut.

1.8 Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis yang muncul berdasarkan latar belakang dan teori

di atas, diperlukan data-data empirik yang dianggap representatif untuk kemudian

dianalisis hubungan di antara keduanya (Faruk, 2012: 22). Oleh karena itu, perlu

dilakukan dua langkah dalam melakukan penelitian ini, yaitu melakukan

pengumpulan data dan analisis data.

Page 31: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

31

Di dalam langkah tersebut terdapat cara untuk memperoleh pengetahuan

tentang adanya objek, sehingga dapat membuktikan kebenaran atau

ketidakbenaran hipotesis yang dibuat. Oleh karena itu, pengetahuan yang benar

adalah yang sesuai dengan objek (Poedjawijatna dalam Faruk, 2012: 23). Sebelum

melaksanakan kedua langkah metode tersebut, maka ditentukan dahulu objek dari

penelitian ini.

Objek penelitian merupakan fakta empirik yang dimungkinkan adanya

penyelidikan ilmiah dan pemerolehan pengetahuan ilmiah. Objek penelitian ini

kemudian bisa dikategorikan menjadi objek material dan objek formal. Objek

material, yaitu objek yang menjadi sasaran penelitian, sedangkan objek formal

adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012: 24). Objek

material dalam penelitian ini adalah novel Burung-burung Manyar karya Y.B.

Mangunwijaya. Dari novel tersebut, peneliti menentukan objek formal penelitian

berupa perilaku mimikri dan bentuk ambivalensi dalam novel.

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka, yakni

mengumpulkan bahan-bahan acuan baik primer maupun sekunder. Kemudian

dilakukan pembacaan novel Burung-burung Manyar untuk mencermati bentuk

resistensi tokoh utama berupa mimikri dan ambivalensi. Dalam strategi

pembacaan, Bhabha menyebutkan bahwa salah satu tujuan studi postkolonial

adalah rewriting dan rereading terhadap sebuah teks yang mengandung dimensi

sejarah dan memungkinkan munculnya pemaknaan baru (1994: 24). Novel

Page 32: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

32

Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya adalah karya sastra yang dapat

dipandang sebagai teks yang mengandung dimensi sejarah, sehingga pemakaian

teori poskolonial tepat digunakan.

Selanjutnya, peneliti mengidentifikasi narasi dan dialog di dalam novel

Burung-burung Manyar sesuai dengan aspek kajian penelitian ini, yaitu tentang

bagaimana perilaku mimikri dan bentuk ambivalensi digambarkan dalam novel

ini. Bogdan dan Taylor memandang identifikasi narasi dan dialog sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata baik lisan

maupun tertulis (Moeloeng, 2005: 3). Penelitian ini juga mengutamakan

kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang dikaji secara

empiris, dan data terurai dalam bentuk kata-kata yang merupakan sistem tanda

yang memberikan pemahaman yang lebih komprehensif (Semi, 1999: 25).

Setelah itu, data tersebut diseleksi sesuai aspek-aspek tersebut. Untuk

mendukung proses penyeleksian dan pengelompokan data, tahap ini didukung

oleh sekelompok data sekunder seperti jurnal, artikel penelitian, dan buku-buku

yang berkaitan dengan objek material dan formal penelitian ini.

1.8.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian

yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan

untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang

tidak akan pernah dinyatakan oleh data itu sendiri (Faruk, 2012: 25). Dari hasil

pengumpulan data, kemudian dilakukan analisis terhadap data-data tersebut

Page 33: 1.1 Latar Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116972/potongan/S2-2017... · lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme ... Jepang menguasai

33

berdasarkan konsep teori yang digunakan. Data yang sudah diseleksi dan

dikelompokkan ini kemudian akan dianalisis dengan menghubungkan satuan-

satuan tekstual tersebut sesuai dengan konsep teoritis yang diterapkan, yaitu

menggunakan teori poskolonial Homi K. Bhabha.

1.9 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian direncanakan akan ditulis dalam empat bab. Bab pertama

adalah pengantar yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian, dan

sistematika penulisan. Bab kedua berisi penggambaran relasi antara tokoh utama

dengan pihak lainnya dan penjelasan tentang perilaku mimikri novel Burung-

burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Bab ketiga berisi batas-batas

pembeda, pergeserannya, dan bentuk ambivalensi yang digambarkan novel

Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Terakhir, bab keempat

merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian atas novel

Burung-burung Manyar.