1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10...
Transcript of 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10...
9
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan
1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pengertian perkawinan yang terdapat di dalam tiap-tiap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di berbagai negara berbeda-beda. Perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 :Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Berdasarkan pengertian
perkawinan di atas, dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan, masing-
masing pihak telah mempunyai maksud
untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, agama dan kepercayaan masing-masing
untuk mencapai keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan juga mencantumkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini berartibahwa perkawinan
dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang
direncanakan, akan tetapi untuk selamanya dan tidak boleh diputus begitu saja.7
7 Wantjik Saleh dikutip dari Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas HukumPerdata, Bandung: Alumni, 2000, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
10
Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan lebih tegas lagi
menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar1945.Maksud dari
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk juga ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan isi dari Undang-Undang Perkawinan, termasuk hukum adat.Dari
definisi di atas, maka terdapatlah lima unsur di dalamnya yangmeliputi :
a. Ikatan lahir batin Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah suatu perkawinan itu tidak cukup
hanya dengan ikatan lahir batin saja, melainkan juga harus ada suatu ikatan batin,
yang kemudian keduanya dipadukan menjadi satu ikatan perkawinan.Ikatan lahir
batin merupakan suatu ikatan yang dapat dilihat, karena merupakan suatu ikatan
yang nyata dan formal, yang merupakan suatu ikatan yang menunjukkan adanya
hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Sebaliknya ikatan lahir batin merupakan hubungan
yang tidak nyata, tetapi ikatan ini dapat dirasakan oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan di dalam melangsungkan kehidupan perkawinannya, didalam
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dan dasar cinta dan kasih sayang guna
mewujudkan suatu keluargayang bahagia dan damai. Oleh karena itu, perkawinan
tidak hanya menyangkut unsur lahir saja, tetapi juga diperlukan suatu ikatan
batin.
Universitas Sumatera Utara
11
b. Antara seorang pria dan seorang wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh seorang pria dengan seorang
wanita, hal tersebut memang sudah menjadi kehendak Allah Yang Maha
Kuasa, yang telah menciptakan manusia dengan perasaan saling
membutuhkan satu dcngan yang lainnya. Perasaan saling membutuhkan
tersebut merupakan tanda-tanda kekuasaannya didalarn pengaturan alam
semesta ini.
c. Sebagai suami isteri
Dijadikannya manusia berpasang-pasangan adalah untuk menjadikan manusia
itu sebagai suami isteri. Seorang pria dan wanita dinyatakan sah sebagai
suami istri apabila perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan yang ada, baik yang diatur didalam agama atau kepercayaannya,
maupun yang diatur didalam Undang- Undang.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Yang dimaksud disini adalah perkawinan dilangsungkan dengan maksud
untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan dilandasi rasa cinta dan
kasihsayang, serta rasa saling membutuhkan satu sama lain, didalam
melangsungkan suatu perkawinan, untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakatuntuk dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur dalam syariah,serta kekal selamanya sampai suatu kematian yang
memisahkannya.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Hal ini sesuai dengan ketentuan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa,maka
perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau
Universitas Sumatera Utara
12
keyakinan,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir dan
jasmani, akan tetapiunsur batin yang mempunyai peranan penting.
2. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Salah satu fase yang dilewati oleh manusia dalam siklus hidupnya adalah perkawinan,
oleh karena itu pengaturan mengenai perkawinan sudah ada sejak manusia itu turun
ke bumi. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk berketurunan guna
kelangsungan hidup serta menumbuhkan dan memupukrasa kasih sayang antara
suami dan istri. 8
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”
Al-Qur’an banyak mengatur mengenai perkawinan dalam ayat-
ayatnya sebagaimana dalam Surat Yassin ayat 36 yang
artinya sebaga berikut :
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka,
9
kepada-Nya dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang diantara kamu”.
Perkawinan menimbulkan ketenangan hidup manusia dan menumbuhkan rasa kasih
sayang sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Arrum ayat 21 yang
artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Ia menciptakan kamu isteri-
isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
10
Perkawinan berasal dari kata dasar kawin yang berarti hubungan seksual.11
Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan berpasang-pasangan, adanya pria dan wanita
memang sudah menjadi kehendak Allah yang maha kuasa, yang telah Menciptakan
8 Ahmad Ashar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999. hal. 12. 9 Q. S. Yassin ayat 36. 10 Q. S. Arrum ayat 21 11 Undang-undang Perkawinan, Semarang : Beringin Jaya. hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
13
manusia dengan perasaan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk hidup
bersama dalam suatu ikatan perkawinan.Menurut Ahmad Anshar Basyir, perkawinan
menurut hukum Islam adalah:
“Suatu akad atau pernikahan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan
cara yang diridhoi Allah”.12
Pada dasarnya, istilah perkawinan disamakan dengan arti pernikahan yaitu akad untuk
menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara
laki-laki dan perempuan, dimana diantara keduanya bukan muhrim. Pengertian
tersebut juga dijumpai dalam pengertian perkawinan menurut istilah hukum, ialah
akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara
seorang pria dan seorang wanita.
Akan tetapi perkawinan tidak hanya merupakan ikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin lawan jenis ada yang mengikuti hubungan itu, yaitu tanggung
jawab terhadap isteri, suami, dan anak, ada hubungan hukum yang timbul dari
perkawinan itu. Perkawinan dalam istilah agama Islam disebut "nikah", adalah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki
danseorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketenteraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa.
13
12 Azhari Ahmad Toriqon, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis PerkembanganHukum
Islamdari Fiqih Undang- Undang No 1 Tahun 1974 sampai KHI. Jakarta : Kencana, 2004) hal 38
13 Mohd. Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta : Bumi Aksara, 1996, hal.1.
Atau lebih tegasnya, perkawinan adalah suatu akad
suci dan luhur antara anak laki-laki dan perempuanyang menjadi sebab keabsahan
Universitas Sumatera Utara
14
status sebagai suami istri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai
keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.14
perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka amatlah tepat jika
Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat atau
miitsaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.Hal tersebut diatur pada Pasal (2) Kompilasi Hukum Islam.Guna memahami
Mengenai pengertian perkawinan ini, banyak pendapat satu dengan lainnya
berbeda.Tetapi perbedaan ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan
yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lainnya, tetapi
perbedaan ini hanya terdapat pada keinginan perumus untuk memasukkan unsur-
unsur sebanyak-banyaknya dalam rumusan pengertian-pengertian itu di satu pihak,
dan pembatasan banyaknya unsur didalam perumusan pengertian perkawinan di pihak
lain.
Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat tentang rumusan pengertian
perkawinan, tetapi ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat,
yaitu bahwa "nikah" itu merupakan suatu perjanjian ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian ini adalah merupakan perjanjian suci
untuk membentuk keluarga antara seorang laki-iaki dan seorang perempuan.Menurut
Hukum Islam Perkawinan adalah akad antar calon suami-isteri untuk memenuhi hajad
menurut yang diatur oleh syariat, yang dimaksud denganakad adalah ijab dari pihak
wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak calon suami yang dilaksanakan di
hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
14 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hal. 188.
Universitas Sumatera Utara
15
perkawinan yang mempunyai nilai ibadah sebagaimana di sebut di atas, Ahmad Rofiq
menjelaskan bahwa perkawinan merupakan salahsatu perintah agama kepada yang
mampu untuk segera melaksanakannya.Karenadengan perkawinan dapat mengurangi
maksiat penglihatan, memelihara diri dariperbuatan zina.Oleh karena itu, bagi mereka
yang berkeinginan untuk menikah,sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan
belum siap, dianjurkan berpuasa.Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi
diri dari perbuatantercela yaitu perzinahan.
Berkaitan dengan makna miitsaqan ghaliidhan Rusli dan R. Tamamenjelaskan bahwa
agama Islam juga mengangap tidak sah perkawinan antaraseorang Islam sipil saja,
karena dalam pernikahan tersebut terdapat suatuketiadaan prinsip yang justru
dijadikan sebagai kunci penghalalnya Faraj (tubuh)bagi seorang laki-laki, yaitu
kalimatullah yang diucapkan oleh wali dan diterimaoleh calon suami dihadapkan dua
suku yang adil.15
15 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung :
SantikaDharma,1984. hal. 38.
Adapun pentingnya suatu perkawinan bagi kelangsungan kehidupan umatmanusia,
khususnya bagi orang Islam, adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan suatu perkawinan adalah merupakan suatu ibadah bagi umat Islam,
karena perintah untuk melaksanakan perkawinan telah diatur dalam Al-Qur'an dan
Sunah Rasul.
b) Dengan melangsungkan perkawinan maka terciptanya suatu keluarga yang bahagia
didasari dengan cinta dan kasih sayang sehingga terciptalah kehidupan yang kekal
dan tenteram.
c) Dengan melangsungkan perkawinan maka terpenuhinya tabiat dari fitrah manusia
yang diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa secara berpasang-pasangan,sehingga
manusia terhindar dari kejahatan dan kesesatan.
Universitas Sumatera Utara
16
d) Dengan perkawinan yang sah, maka diharapkan dapat lahirlah keturunan yang sah
dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya
dapat berlangsung secara jelas dan bersih.
Adapun pengertian dari perkawinan menurut pendapat para sarjana adalah sebagai
berikut ini :
1) Menurut Mahmud Junus
Perkawinan adalah aqad antara calon suami dan calon istri untuk memenuhi hasrat
jenisnya, menurut ketentuan yang diatur didalam agama Islam.16
Perkawinan adalah pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2) Menurut Kompilasi Hukum Islam
17
Perkawinan adalah suatu perjanjian-perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
3) Menurut Suyuti Thalib
18
Perkawinan adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang antara keduanya bukanmuhrim.
4) Menurut Sulaiman Rasyid
19
16 Mahmud Junus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Mahmedia, 1960,hal. 21
17 Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam
18 Sayuti Thalib.Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam.Jakarta :
Universitas Indonesia, 1982.hal. 47 19 Sulaiman Rasyid.Fikih Islam. Bandung : Sinar Baru,1990. hal. 360.
5) Menurut Wila Chandrawila Supriadi
Universitas Sumatera Utara
17
Perkawinan merupakan suatu ikatan batin maupun ikatan lahir selama hidup antara
suatni dan istri untuk hidup bersama menurut syariat Islamdan memperoleh
keturunan.20
Dari bermacam-macam definisi pengertian perkawinan di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa pengertian perkawinan pada umumnya adalah sama yaitu
perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam masyarakat antara laki-laki dan
perempuan untuk membentuk keluarga, yang bahagia kekal dan sejahtera berdasarkan
peraturan yang berlaku bagi masyarakat di suatu negaranya.
20 Wila Chandrawila Supriyadi.Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda Bandung :
Mandar Maju 2002. hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
18
B. Tujuan Perkawinan
1. Tujuan Melakukan Perkawinan Menurut Undang-undang No
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik materil maupun
spirituil. Kebahagian yang ingin dicapai bukanlah kebahagian yang
sifatnya sementara saja, tetapi kebahagian yang kekal, karenanya
perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang
hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan tersebut.
Pemutusan karena sebab-sebab yang lain dari pada kematian, diberikan
suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang
berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah
jalan lain tidak dapat ditempuh lagi. 21Pembentukan keluarga yang
bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan
dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut
perundangan adalah untuk kebahagian suami isteri, untuk mendapatkan
keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang
bersifat parental (ke-orangtua-an). 22Selanjutnya dinyatakan dengan
tegas bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu,
haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama
dalam Pancasila. 23
21 Asmin SH, Op.Cit.,hlm.19-20 22 K.Wantjik Saleh SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan keempat, Ghalia Indonesia,
1976, Jakarta, hlm.15 23 Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op,Cit., hlm.21
Tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga
berbeda antara agama yang satu dengan yang lain. Menurut hukum
Universitas Sumatera Utara
19
Islam tujuan perkawinan ialah24 menurut perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur.Selain itu pula ada pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga
mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa
bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.25
Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut :
26
Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati
perintah Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina
tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami isteri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan syariat hukum Islam.
27
24 Wantlijk Saleh SH, Loc.Cit. 25 Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op.Cit.,hlm.24
26 Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.26-27 27 Mardani, Op.Cit.,hlm.11 Universitas Sumatera Utara
a. Menghalalkan hubungan
kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan b.
Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa c. Memperoleh keturunan
yang sah d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki
penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab e.
Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah
(Keluarga yag tentram, penuh cinta, kasih, dan kasih sayang) (QS. ar-
Rum ayat 21)
Universitas Sumatera Utara
20
Perkawinan bertujuan untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan
mencegah maksiat, untuk membina rumah tangga yang damai
danteratur.28Menurut R Soetojo Prawirohamidjojo “perkawinan bertujuan untuk
memperoleh keturunan memenuhi nalurinya sebagai manusia, memelihara
manusia dari kejahatan dan kerusakan, membentuk dan mengatur serta
menumbuhkan aktifitas dalam mencari rezeki yang halal dengan memperbesar
rasa tanggung jawab.29
“Memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusian, berhubungan antara lakilakidan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yangbahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperolehketurunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuanyang diatur oleh Syari’ah”.
Tujuan dari perkawinan menurut ajaran Agama Islam adalah :
30
halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Lebih lengkap tujuan dan manfaat perkawinan dibagi menjadi lima hal,
antara lain:
1) Memperoleh keturunan yang sah untuk melangsungkan keturunan serta
perkembangan suku-suku bangsa manusia.
2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia.
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
28 Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 24.
29 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia, Airlangga University Press, 1990. hal. 28.
30 Soermiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 1999. hal.12.
Universitas Sumatera Utara
21
Berdasarkan uraian di atas tujuan dan manfaat perkawinan di atas dapat
lebih dijelaskan satu persatu.31
31 Ibid, hal. 13
Ad. 1. Tujuan yang pertama ialah memperoleh keturunan, ini merupakan
pokok dari tujuan perkawinan, setiap orang yang telah melansungkan
perkawinan tentu ingin memiliki keturunan, tanpa keturunan kehidupan
rumah tangga akan terasa hambar walau dari segi materi berkecukupan.
Keinginan memiliki anak sangatlah wajar karena nantinya anak akan
melanjutkan kehidupan keluarga ke depan dan membantu orang tua dimasa
tuanya, tentu dengan harapan anak-anak yang soleh dan berbakti kepada
orang tua dan lingkungannya.
Ad. 2. Tujuan kedua, memenuhi tuntutan naluriah, Tuhan menciptakan
manusia
berbeda-beda jenis kelaminnya, maka keduanya memiliki daya tarik untuk
memikat lain jenisnya, melahirkan gairah baik laki-laki maupun perempuan
untuk melakukan hubungan, dengan perkawinan hubungan tersebut akan
menjadi sah dan halal.
Ad.3. Tujuan ketiga, menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan, salah
satu yang membuat manusia terjerumus dalam kejahatan dan kerusakan
adalah hawa nafsu dengan tidak adanya penyaluran yang sah, maka baik
laki-laki maupun perempuan akan mencari jalan yang tidak halal,
sedemikian buruknya pengaruh hawa nafsu ini sehingga manusia lupa mana
yang baik dan yang buruk. Manusia adalah makhluk lemah yang sulit
mengendalikan hawa nafsunya.
Ad.4. Tujuan Keempat, membentuk dan mengatur rumah tangga yang
Universitas Sumatera Utara
22
merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar cinta dan
kasih sayang, salah satu alat untuk memperkokoh perkawinan adalah
dengan cinta dan kasih sayang, dasar ini akan membuat keluarga bahagia,
sehingga akan terus berlanjut dari keluarga yang bahagia akan menjadi
masyarakat yang harmonis pada tatanan yang lebih tingginya.
Ad.5. Tujuan kelima menumbuhkan aktifitas dalam mencari rezeki yang
halal dan memperbesar tanggung jawab, sebelum perkawinan biasanya baik
laki-laki dan perempuan tidak memikirkan soal kehidupan karena masih
bertumpu pada orang tua, tetapi setelah perkawinan mereka mulai berfikir
bagaimana bertanggung jawab dalam mengemudikan rumah tangga, suami
sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mencari rejeki yang
halal untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Isteri akan lebih giat
membantu dan mencari jalan untuk menyelenggarakan keluarga yang damai
dan bahagia, terutama setelah keluarga tersebut telah dikaruniai anak,
sehingga aktifitas dan tanggung jawab suami isteri semakin besar.
Tujuan perkawinan adalah merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk
melindungi masyarakat agar umat manusia menjaga dirinya dari kejahatan
dan
zina untuk melancarkan penghidupan kekeluargaan dan pengesahan
keturunan.32
32 Fikri, Perkawinan, Sex dan Hukum (Pekalongan: TB Bahagia, 1984). hal 162
a. Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama,
manusiamanusia
Universitas Sumatera Utara
23
normal baik pria atau wanita yang memiliki agama tertentu dengan taat
pasti berusaha menjunjung tinggi ajaran agamanya untuk menjaga kesucian
agamanya.
b. Untuk menghalalkan hubungan biologis antara pria dengan wanita yang
bukan muhrimnya sehingga menjadi hubungan biologis yang tidak berdosa
melainkan pahala.
c. Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum sehingga anak-
anak yang dilahirkan olehnya yang sudah diikat perkawinan yaitu anak
yang mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tuanya yang dalam
hal ini berhak mewarisi atau mendapatkan warisan.
d. Untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk Allah yang dikaruniai
cipta, rasa dan karya serta dengan petunjuk agama yang merupakan
penyaluran secara sah naluri seksual manusia.
e. Untuk menjaga ketentraman hidup karunia perkawinan merupakan
lembaga yang secara umum membuat hidup manusia menjadi baik sebagai
makhluk pribadi maupun makhluk sosial.
f. Untuk mempererat hubungan persaudaraan baik untuk ruang lingkup
sempit maupun luas.
Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dalam hal ini Undang-undang telah
meletakkan
agar dalam Pengaturan Hukum Keluarga dan Indonesia bahwa perkawinan
bukan
Universitas Sumatera Utara
24
semata mata pemenuhan kebutuhan jasmani seorang pria dan wanita,
namun perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat erat hubungan
dengan agama dan kerohanian.
2. Tujuan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah, yaitu
dijelaskan
sebagai berikut :
a) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga
dibentuk umat ialah umat Nabi Muhammad SAW sebagai umat Islam.
b) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah
mengerjakannya.
c) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri, menimbulkan rasa
kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih
sayang antara sesama anggota-anggota keluarga.
d) Untuk menghormati Sunnah Rasullah SAW. Beliau mencela orang-orang
yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap
malam dan tidak akan kawin-kawin.
e) Untuk membersihkan keturunan. Dengan demikian akan jelas pula orang-
orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara
dan mendidiknya, sehingga menjadilah ia seorang muslim yang
dicitacitakan. Karena itu Agama Islam mengharamkan zina, tidak
mensyariatkan poliandri (seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu),
Universitas Sumatera Utara
25
menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar perkawinan
yang tidak jelas.33
C. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
1. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
1) Didasarkan atas persetujuan antara calon suami dan calon isteri tidak ada
paksaan di dalam perkawinan.Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”.Syarat perkawinan ini memberikan
jaminan agar tidak terjadi lagi.perkawinan paksa. Hal ini disebabkan karena
perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang dan merupakan bagian dari
hak asasi manusia.
2) Adanya ijin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun.Walaupun perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi,
namun masyarakat Indonesia memiliki rasa kekeluargaan yang sangat besar
terutama hubungan antara anak dengan orang tuanya. Oleh karena
itu,perkawinan juga dianggap sebagai urusan keluarga, terutama jika
yangakan melangsungkan perkawinan adalah anak yang belum berusia
21tahun. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan harus ada
ijin/restu dari kedua orang tua.
3) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai
wanita sudah mencapai usia 16 tahun.Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
33 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Bandung : Alumni .hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
26
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16tahun”.Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan
anak-anak yang masih di bawah umur.Oleh karena itu, perkawinan gantung
yang dikenal dalam masyarakat adat tidak diperkenankan lagi. Ketentuan
pembatasan umur juga dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan
melangsungkan perkawinan sudah matang jira raganya.
4) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin.Pada dasarnya, larangan untuk
melangsungkan perkawinan karena hubungan darah/keluarga dekat terdapat
juga dalam sistem hukum yang lain, seperti hukum agama Islam atau
peraturan lainnya (termasuk hokum adat)
5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :”Seseorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang laintidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang
ini”.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, poligami hanya
diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamnya mengijinkan seorang
suami beristeri lebih dari seorang. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1
Universitas Sumatera Utara
27
Tahun 1974 Tentang Perkawinan angka 4c menyatakan :”Undang-Undang ini
menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dariyang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami
dapat beristerilebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.Hukum disini maksudnya adalah
hukum perkawinan positif dari orangyang hendak melakukan poligami.
Sedangkan agama harus ditafsirkan dengan agama dan kepercayaan dari calon
suami yang akan melakukan poligami. Penafsiran ini untuk mencegah
kekosongan hukum bagimereka yang hingga saat ini belum memeluk suatu
agama tetapi masih menganut suatu kepercayaan.dengan demikian, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan masih menganut asas
monogami.
3) Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin untuk ketiga kalinya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :”Perkawinan
mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal,
maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-
benar dipertimbangkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali
sehingga suami dan istri benar-benar saling menghargai”.Menurut Islam, suami
isteri yang telah bercerai dua kali masih diperbolehkan untuk kawin ketiga
kalinya. Tetapi jika mereka telah bercerai untuk ketiga kalinya maka mereka
Universitas Sumatera Utara
28
tidak boleh kawin lagi kecualibekas istri yang telah bercerai tiga kali tersebut
kawin dengan lelaki lain kemudian bercerai maka dia boleh kawin dengan bekas
suaminya yang pernah bercerai tiga kali tersebut.
4) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
:”Wanita yang telah putus perkawinannya tidak boleh begitu saja kawin dengan
lelaki lain, akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis”.
Menurut Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975, waktu tunggu diatur sebagai berikut :
1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggubagi yang masih
berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan
kelamin.
3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami Rasio dari peraturan ini adalah untuk menentukan
dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu
tersebut.34
34 Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.34
Universitas Sumatera Utara
29
Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut
KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No 1
Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
Pasal 6 ayat (2),(3),(4),(5) dan (6) yaitu :
(1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
(4) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat (2),(3),
dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
Universitas Sumatera Utara
30
351. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
362. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
tahun.37
1. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 tahun.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain. Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1
Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”. Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh
kawin menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai
berikut:
38
2. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin.
39
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek.
c. Berhubungan samenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susunan yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara
susunan, dan bibi/paman susunan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
35 F. X Suhardana,SH, Hukum Perdata I, PT Prenhallindo, 1990, Jakarta, hlm.91-92 36 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, 2004, Bandung, 37 Ibid, hlm.65-66 Universitas Sumatera Utara 38 Ibid, hlm.67 39 Ibid, hlm.69
Universitas Sumatera Utara
31
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
3. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.40
40 Ibid, hlm.70-71
Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No
1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Seorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal
3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa :
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Syarat perkawinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun
1974 Pasal 10 yang menyatakan bahwa : “Apabila suami dan isteri yang telah
bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantra mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain”.
Dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa :
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain”.
Universitas Sumatera Utara
32
6. Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin kembali untuk ketiga kalinya.41
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
42
41 Ibid, hlm.74
42 Ibid, hlm.75
Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang
putus perkawinannya, tidak boleh bagitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi
harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.
Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan.
Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing
berarti perkawinan tersebut tidak sah.Perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan
Sipil atau di Pengadilan apabila tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum
agama tertentu berarti tidak sah.
Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi
syarat dan rukun perkawinan, yaitu :
Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Calon suami, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Jelas orangnya d.
Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon isteri, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai pesetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah, syarat-syaratnya : a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwalian
Universitas Sumatera Utara
33
4. Saksi nikah, syarat-syaratnya : a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab
qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam e. Dewasa
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya : a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b.
Adanya pernyataan permintaan dari calon mempelai c. Memakai kata-kata nikah,
tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut d. Antara ijab dan qabul
bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f. Orang yang terkaid dengan
ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah Universitas Sumatera Utara g.
Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal oleh empat orang yaitu calon
mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.43
Di dalam QS An-Nisa’: 4, Allah SWT berfiman, yang berbunyi :
Di samping rukun dan syarat tersebut diatas, menurut para ulama, mahar itu
hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini berdasarkan QS An-Nisa’ ayat 4 dan 24.
44
Pada QS An-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman, yang berbunyi :
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
45
“Diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri yang
telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
43 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit.,hlm.62-63 44 Al-Jumanatul Ali, Op.Cit., hlm.77 45 Ibid, hlm.82
Universitas Sumatera Utara
34
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar
itu”.
Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali bukanlah
syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan berakal
sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh dua orang
saksi.Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa perkawinan yang
dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi
dalam akad nikah adalah harus orang yang beragama Islam, dewasa (baligh), berakal
sehat, dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad nikah. Tidak ada
ketentuan yang menjadi saksi apakah orang yang masih mempunyai hubungan darah
atau tidak dengan kedua mempelai.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat
perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan
harus ada :
Mengenai Calon Mempelai baik calon suami dan calon isteri diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, sebagai berikut :46
Pasal 16 KHI yaitu :
Pasal 15 KHI yaitu :
47
3) Wali nikah
2.Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
1) “Calon suami
2) Calon isteri
46 Hilman Hadikusuma SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Mandar Maju, 1990, Bandung, hlm.28-30
47 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Op.Cit.,hlm.5
Universitas Sumatera Utara
35
4) Dua orang saksi, dan
5) Ijab dan Kabul”48
48 Ibid, hlm.5-9
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5)
Undang-undang No 1 Tahun 1974
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan
nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama
tidak ada penolakan yang tegas Pasal 17 KHI yaitu :
Pasal 18 KHI yaitu :
“Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak
terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”.
Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 19 KHI yaitu :
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.
Pasal 20 KHI yaitu :
Pasal 21 KHI yaitu :
Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah dan seterusnya
Universitas Sumatera Utara
36
Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua
saksi nikah (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan (3) Bila calon mempelai
yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan
tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh
(2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab b. Wali hakim (1) Wali nasab terdiri dari
empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.
Ketiga : kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka
Keempat : kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka
Pasal 22 KHI yaitu :
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau
sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya”.
Pasal 23 KHI yaitu :
Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 24 KHI yaitu :
Pasal 25 KHI yaitu :
Universitas Sumatera Utara
37
“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim,
adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”.
Pasal 26 KHI yaitu : (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lenih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita (3)
Apabila dalam satu kelompok, sama derajat kekerabatannya yakni sama-sama derajat
kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama barhak menjadi
wali nikah, dengan mengutamakan yang lenih tua dan memenuhi syarat-syarat wali
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
gaib atau adlal atau enggan (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan Agama
tentang wali tersebut (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. “Saksi harus
hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”.
Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 27 KHI yaitu :
“Ijab Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntut dan tidak
berselang waktu”.
Pasal 28 KHI yaitu :
“Akad Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan
atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain”.
Pasal 29 KHI yaitu :
Universitas Sumatera Utara
38
A. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, kita masih berpegangan kepada rumusan Pasal 1, yaitu pada
anak kalimat kedua yang berbunyi : “Dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Rumusan tersebut mengandung harapan, bahwa dengan
melangsungkan (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai
pria secara pribadi (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali
keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan.
B. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat sahnya perkawinan dalam hukum Islam memenuhi syarat dan
rukun-rukunnya. Menurut Soemiyati, SH, yang dimaksud dengan
suaturukundalam suatu perkawinan adalah :
“Hukum perkawinan adalah hakekat dari suatu perkawinan itu sendiri,
jaditanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin dilaksanakan
sedangkan yang dimaksud dengan syarat adalah suatu yang harus ada dalam
perkawinan itu sendiri”. 49
a) Calon mempelai laki dan mempelai perempuan.Adanya calon pengantin laki-
laki dan calon pengantin perempuan ini adalah merupakan syarat mutlak,
absolut, tidak dapat dimungkinkan bahwa logis dan rasional kiranya, karena
Menurut Kompilasi Hukum Islam syarat sahnya
perkawinan adalah sebagai berikut :
49 Soemiyati; 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,Yogyakarti :
Liberti. hal 7
Universitas Sumatera Utara
39
tanpa calon pengantin laki dan perempuan tentunya tidak akan ada
perkawinan di atur50
Wali Nikah, adalah orang yang dianggap memenuhi syarat untuk menjadi
wakil dari calon mempelai perempuan, hal ini dilakukan karena menurut
sebagian ulama, seorang perempuan yang masih gadis, sehat dan berakal tidak
dalam Kompilasi Hukum Islam. Suka sama suka antara
kedua calon mempelaiadalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang
akan menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara
keduanya.
b) Kedua calon pengantin beragama Islam. Kedua calon mempelai haruslah
beragama Islam, akil baliqh (dewasa,berakal) sehat baik jasmani dan
rohani.Baligh dan beralakal maksudnya ialah dewasa dan dapat
dipertanggung jawabkan terhadap suatu perbuatan apalagi terhadap akibat-
akibat perkawinan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga, jadi bukan orang yang dibawah pengampunan (Pasal 15 Kompilasi
Hukum Islam).
c) Persetujuan batas antara kedua calon mempelai.Persetujuan batas antara kedua
calon mempelai menunjukkan perkawinanitu tidak dapat dipaksakan dari Ibnu
Abas, bahwa seorang perempuan perawan datang pada Nabi Muhammahad
SAW. Dan memberitahukan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan
laki-laki, sedangkan iatidak mau (tidak suka) maka Nabi menyerahkan
keputusan itu kepadagadis itu apakah mau meneruskan perkawinan itu atau
minta cerai, di aturdalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam.
d) Wali Nikah.
50 Muh Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1986), hal : 45
Universitas Sumatera Utara
40
mempunyai hak dalam persetujuan nikahnya, melainkan dipindahalihkan
kepada wali. Namun tidak sedikit hadits-hadits yang menerangkan bahwa
wali tidak mewakili hak atas perkawinan anak perempuan dan hak wali dalam
pernikahan itu sunah, maka dalam pernikahan seorang perempuan boleh
memakai wali atau tidak memakai wali, diatas lebih rinci dalam Pasal 19 – 23
Kompilasi Hukum Islam.
e) Dua orang saksi Islam, Dewasa dan Adil.
Untuk membuktikan telah diadakan perkawinan antara seorang pria dan
wanita disamping ada wali harus pula ada saksi.Hal ini penting untuk
kemaslahatan kedua belah pihak dan kepastian hak bagi masyarakat.
Demikian juga baik suami / istri tidak dapat menghindarkan ikatan perjanjian
perkawinan tersebut (Pasal 24 – 26 Kompilasi Hukum Islam).
f) Mas Kawin/Mahar
Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian
Mas Kawin/Mahar saat menikahinya.Mas Kawin adalah pemberian dari calon
suami kepada calon istri baik berbentuk uang/barang atau jasa tidak
bertentangan dengan hukum Islam.Mas kawin ini hukumnya wajib, yang
merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia merumuskan dalam Pasal 30, yaitu : calon mempelai pria wajib
membayar mas kawin kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belahpihak, kemudian Pasal 31,
menyatukan bahwa penetapan besarnya maskawin di dasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran agama, (Pasal 30-
38 Kompilasi Hukum Islam). Disebutkan dalam beberapa hadist bahwa mahar
atau mas kawin wajib dibayarkan sekali pun hanya sebuah cincin besi,
Universitas Sumatera Utara
41
setanggkai kurma atau berupa ayat Al-Qu’ran yang dihafal asal pemberian
mahar itu disepekati oleh kedua belah pihak.51
“Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepadakamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, makamakanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya”
Dahulu di zaman jahiliah
wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat
bergantung kepada walinya.Walinya itulah yang kemudian menentukan
mahar, menerimanya dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri.
Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikit pun atas mahar itu dan
tidak bias membelanjakannya. Maka datanglah Islam menyelesaikan
permasalahan ini dan melepaskan beban serta mewajibkan untuk memberikan
mahar kepada wanita.Islam menjadikan mahar itu menjadi kewajiban kepada
wanita dan bukan kepada ayahnya. Sebagaimana yang disebutkan dalamAl-
Qur’an Surat An-Nisa : 4 yang artinya :
52
Sebagai proses terakhir dan lanjutan dari Akad Nikah ialah pernyataan Ijab dan
Kabul. Ijab ialah suatu pernyataan kehendak dari calon mempelai wanita yang
lazimnya diwakili oleh wali. Suatu pernyataan kehendak dari pihak perempuan
untuk mengikatkan diri kepada laki-laki sebagai suaminya secara formil,
sedangkan Kabul artinya secara letterlijk adalah suatu pernyataan penerimaan dari
pihak laki-laki atas ijab dari pihak perempuan.Diatur dalam Pasal 27 sampai 29
Kompilasi Hukum Islam. Akad nikah dengan sebuah ijab kabul itu harus
dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Dimana keduanya sama-sama
g) Ijab dan Kabul
51 Syamsudin Nur Mutia Mutmainah, Perkawinan Yang Diidamkan, Jakarta : Annur. hal.99. 52 QS.An – Nisa ayat 4.
Universitas Sumatera Utara
42
hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga didalamnya adalah
kesinambungan antara ijab dan kabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang
bias membuat keduanya tidak terkait. Sedangkan syarat bahwa antara ijab
danqabul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat
syafi'i dalam mazhabnya.Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya
harus langsung bersambut.Rukun nikah adalah merupakan hal-hal yang harus
dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Jadi dapat digolongkan
kedalam syarat formil, yaitu
terdiri atas :53
4. Akad nikah, yaitu ijab dari wali mempelai perempuan atau wakilnya, dan
qobul dari mempelai laki-laki atau wakilnya.Seorang wali menurut ajaran
Syafii dan Maliki merupakan sesuatu yang penting, menurut pendapatnya
tidak ada nikah tanpa adanya seorang wali, sedangkan ada lagi pendapat
yang berbeda yaitu pendapat atau ajaran Hanafi dan Hambali walaupun
tidak ada wali pernikahan tetap sah.
1. Adanya calon mempelai pria dan wanita.
2. Harus adanya wali bagi calon mempelai perempuan.
3. Harus disaksikan dua orang saksi.
54
Sejalan dengan pendapat diatas Sayuti Talib dan Rof’i Hazairin mengatakan
bahwa dari segi hukum seorang wali bagi perempuan yang sudah dewasa
tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri dalam perkawinan, tetapi ada
baiknya wanita memakai wali di dalam akad nikah.
55
53 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-undang Perkawinan Nomor
1Tahun 1974.Jakarta :PT. Dian Rakyat Cetakan Pertama. 1981. hal. 29. 54 K.H. Hasbullah Bakery. Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan PeraturanPerkawinan Di
Indonesia.Jakarta :Jembatan. 9181. hal166. 55 Sayuti Tholib.Op.cit hal 64.Hukum Kekeluargaan Indonesia (Belaku bagi Umat
Islam).Jakarta : UI Press. Hal 64.
Universitas Sumatera Utara
43
Syarat nikah menurut agama Islam diperinci ke dalam syarat-syarat untuk
mempelai wanita dan mempelai laki-laki. Adapun bagi syarat laki-laki
adalah:
1. Beragama Islam.
2. Terang laki-lakinya (tidak banci).
3. Tidak dipaksa
4. Tidak beristri lebih dari 4 orang.
5. Bukan mahromnya bakal isteri.
6. Tidak mempunyai istri yang hawam di madu dengan bakal istrinya.
7. Mengetahui bakal istri.
8. Tidak sedang ihrom haji atau umroh.56
7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh.
Yang menjadi syarat bagi calon mempelai wanita adalah:
1. Beragama Islam.
2. Terang wanitanya.
3. Telah memberi ijin kepada wali untuk menikahinya.
4. Tidak bersuami dan tidak dalam masa idah.
5. Bukan mahromnya bakal suami.
6. Belum pernah di lian (sumpah lian) oleh calon suaminya.
57
56 Departemen Agama.Op.cit. hal.38-39. 57 Ibid, hlm.255-256
Universitas Sumatera Utara
44
D. Asas-Asas Hukum Perkawinan
1. Asas-asas Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Pada dasarnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah
mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dan
sudah menampung segala kenyataanya yang hidup dalam masyarakat dewasa ini,
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman58
, baik menurut kenyataan sosial maupun kenyataan dalam pelaksanaan hukum adat
atau hukum agama dan kepercayaan. Jadi walaupun misalnya menurut hukum Islam
dibolehkan melakukan perkawinan poligami namun karena Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami (yang terbuka), maka
perkawinan banyak isteri yang bebas melakukan sebelumnya sudah tidak dibolehkan
lagi.Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditentukan
prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang disesuaikan dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
59Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Penjelasan
Umum Undang-undang Perkawinan tersebut, adalah sebagai berikut :60
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materil
58 Prof. H. Hilman Hadikusuma,SH, Op.Cit., hlm.6 59 Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.56 60 Ibid
Universitas Sumatera Utara
45
2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,
dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi
yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkan
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri
yang msih dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan masalah
kependudukan.Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dari pada jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.Berhubungan dengan itu maka
Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi pria maupun bagi
wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi
wanita.
Universitas Sumatera Utara
46
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal
dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk Universitas Sumatera
Utara mempersukar terjadinya perceraian. Untuk barcerai harus ada alasan tertentu
serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami isteri. Asas dan pinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhana
adalah sebagai berikut :61Dalam perspektif hukum Islam, Dr. Musdah Mulia
menjelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut ada 4 (empat) yang didasarkan pada
ayat-ayat al- Qur’an yaitu :62
61 Madani, Op.Cit., hlm.6 62 Ibid, hlm.7-8
Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa
Arab yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya
sendiri saja ia 1. Asas sukarela 2.Partisipasi keluarga 3.Perceraian dipersulit
4.Poligami dibatasi secara ketat 5.Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki
derajat kaum wanita.
Asas-asas Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Asas-Asas hukum perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor I Tahun 1974 yaitu antara lain :
1. Asas suka rela
Menurut Pasal 6 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan harus didasari
persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan disini mempunyai maksud
Universitas Sumatera Utara
47
bahwa dalam suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua
calon suami - isteri atau dengan kata lain tidak ada pihak yang memaksa
dari manapun.
2. Partisipan Keluarga
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang untuk membentuk keluarga yang bahagia, maka peran orang
tuaatau partisipasi keluarga sangat dibutuhkan terutama dalam hal
pemberian ijinuntuk melaksanakan perkawinan.
3. Perceraian dipersulit
Ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang perceraian terdapat
dalam Pasal 39 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disini
dijelaskan bahwa pasangan suami - isteri yang hendak bercerai tidak
begitusaja dilakukan karena ada akibat-akibat yang harus dipertimbangkan
baik bagi diri masing-masing dan juga bagi anak-anaknya, bagi yang sudah
mempunyai anak.
4. Asas Monogami
Penegasan asas monogami ini terdapat pada Pasal 27 yang berbunyi :
“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri,dan seorang perempuan hanya seorang suami”. Dengan
demikian bahwa perkawinan menurut Undang-Undang mempunyai asas
monogami, namun demikian tidak menutup tidak menutup kemungkinan
bagi suami untuk mempunyai lebih dari satu isteri, hal ini harus mendapat
persetujuan dahulu dari pihak-pihak yang bersangkutan terutama pihak
isteri
Universitas Sumatera Utara
48
5. Kematangan calon suami
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menetapkan batas umur suatu
perkawinan yaitu 19 Tahun untuk laki-laki dan 16 Tahun untuk wanita,
maka dari itu perkawinan yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan,
karena perkawinan memerlukan kematangan dari kedua calon mempelai
tersebut baik jiwa dan raga agar tercipta suatu keluarga yang bahagia.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan sesuai suami baik dalam pergaulan masyarakat maupun rumah
tangga.
2. Asas-Asas Hukum Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum
Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam Asas-asas dalam
hukumperkawinan adalah :
a) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang akan
melakukan perkawinan.
b) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh laki-laki sebab ada ketentuan
larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang harus
diindahkan.
c) Perkawinan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang tentram
dan kekal.
d) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan tertentu,
baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan
dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
49
e) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga
tanggung jawab keluarga ada pada suami.
f) Asas perkawinan dalam Hukum Islam adalah monogami namun Hukum
Islam tidak menutup rapat kemungkinan untuk berpoligami sepanjang
persyaratan keadilan diantara isteri dapat terpenuhi dengan baik.
AdapunAsas-Asas Hukum Perkawinan Dalam Hukum Islam
1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh tidak memilih kebebasan untuk
menentukan apa yang terbaik pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh
adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan
dengan syari’at Islam.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar-Rum: 21. Mawaddah wa rahmah
adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Jika binatang
melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks itu sendiri juga
dimaksudkan untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan manusia bertujuan
untuk mencapai ridha Allah disamping tujuan yang bersifat biologis.
Prinsip ini didasrkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah al- Baqarah:
187 yang menjelaskan isteri-isteri adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-
laki juga sebagai pakaian untuk wanita. Perkawinan laki-laki dan perempuan
dimaksudkan unntuk saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah yang terdapat pada surah an-Nisa: 19 yang
memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk memperlakukan isterinya dengan cara
yang ma’ruf. Di dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman
dan penghargaan kepada wanita. 2. Prinsip mawaddah wa rahmah 3. Prinsip saling
Universitas Sumatera Utara
50
melengkapi dan melindungi 4. Prinsip muasyarah bi al-ma’ruf Menurut Muhammad
Idris Ramulyo, asas perkawinan manurut hukum Islam, ada 3 (tiga) asas yang harus
diperhatikan yaitu :63
Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan, yang menghendaki adanya asas
kebebasan kata sepakat antara calon suami isteri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
sifat tidak dipaksakan, bahwa persetujuan perkawinan harus lahir oleh karena adanya
persamaan kehendak.
Ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami isteri
itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang
bersangkutan.
Ialah suatu asas dalam suatu perkawinan di mana seseorang yang hendak menikah itu
harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia
dilarangnya.
Ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.
64
Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan telah menimbulkan berbagai
akibat hukum berkaitan dengan hak dan kewajiban suami isteri, harta benda
dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua
dan anak serta perwalian.Hak, berarti sesuatu yang benar, kewenangan,
kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-
Kekuatan mengikat dari persetujuan perkawinan adalah lebih
luas jika dibandingkan persetujuan umumnya sebab perkawinan harus diindahkan
oleh setiap orang.Sifat perkawinan menurut 1.Asas absolut abstrak 2.Asas selektivitas
3. Asas legalitas
E. Akibat Hukum Perkawinan
63 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung : Santika
Dharma,1984, hal. 40 64 Ibid,
Universitas Sumatera Utara
51
undang atau peraturanlain.65Hak ialah sesuatu yang merupakan milik atau
dapat dimiliki oleh suamiisteri yang timbul karena perkawinan. Sedangkan
yang dimaksud dengan kewajiban ialah sesuatu yang harus dilakukan atau
diadakan oleh suami atau isteri untuk memenuhi hak dari pihak lain. 66
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumahtangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;
Hak
dan Kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974
diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 34 ditentukan sebagai berikut :
2. Suami isteri wajib saling cinta menyintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
3. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban
suamidalam rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat;
4. Suami isteri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum
5. Suami adalah kepada rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya,
dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya;
6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,
yangditentukan secara bersama.Perkawinan yang dilakukan oleh
suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat di
bidang hukum. Akibat hukum tersebut adalah antara lain
a. Timbulnya hubungan antara suami isteri. 65 Sudarsono, Op.cit, hal.154. 66 Riduan Syaharani, Op. cit, hal.90, dikutip dari Sumarti, 1980, Hukum Perkawinan
Dalam Islam, tanpa penerbit, Yogyakarta, hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
52
Dalam hubungannya sebagai suami isteri dalam perkawinan yang sah, maka
mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk
menegakkan rumah tangganya.
b. Timbulnya harta benda dalam perkawinan.
Suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai
harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama
perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut
selanjutnya diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang – Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
c. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak
Akibat hukum terakhir dari perkawinan yang sah adalah adanya hubungan
antara orang tua dan anak. Pengaturan selanjutnya terhadap hal ini diatur
dalam Pasal 45 sampai Pasal 49 Undang – Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974.Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja,
dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini KUA
Kecamatan, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut.
Untuk itu Pasal 2 ayat 1 dan 2Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat
sahnya suatu perkawinan. Selanjutnya akibat hukum dilangsungkan nya
perkawinan tersebut adalah berkaitan dengan kedudukan anak. Pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 menyebutkan, anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau akibatperkawinan yang sah. Hal ini berarti,
anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah.
Hal ini nantinya akan berakibat pada masalah pewarisan, sebab anak yang
Universitas Sumatera Utara
53
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.67
pejabat yang berwenang.
Untuk mengetahuhi status hukum seorang anak, dapat dilihat dari asal usul
seorang anak yang dapat dibuktikan dengan akta otentik yang dikeluarkan
oleh
68Bila akta kelahiran anak tersebut tidak ada, maka
pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti. Jika dalam suatu perkawinan
diperoleh anak, maka hal ini menimbulkan hak dan kewajiban lain seorang
tua kepada anaknya. Kewajiban orangtua adalah memelihara dan mendidik
anak-anak sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri.69Orang tua juga berkuasa untuk mewakili anak yang belum dewasa
itu dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar
pengadilan.70Meskipun demikian, kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu
tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
milik anaknya yangbelum berumur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecualiapabila kepentingan anak itu
menghendakinya.71
67 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 68Ibid, Pasal 55 ayat 1. 69 Ibid, Pasal 45 70 Ibid , Pasal 47 71 Ibid , Pasal 48
Anak berkewajiban menghormati dan menaati
kehendak yang baik dari orang tuannya. Bilamana seorang anak telah
dewasa, ia wajib memelihara orangtuannya dengan sebaik-baiknya menurut
kemampuannya. Bahkan anak juga wajib memelihara keluarga dalam garis
Universitas Sumatera Utara
54
lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuan. 72Kekuasaan satu orang tua
dapat dicabut dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang
lain. Perwalian hanya ada jika seorang anak tidak berada dalam kekuasaan
orang tuanya sama sekali. 73
72 Ibid, Pasal 46 73 Ibid , Pasal 50 ayat 1
Perwalian tidak hanya mengenai diri pribadi
anak yang bersangkutan, tetapi juga mengenai harta bendanya. Wali dapat
ditunjuk oleh salah seorang dari kedua orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, baik dengan surat wasiat,
maupun secara lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi, yang sedap mungkin
diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa,
berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. Kekuasaan sebagai
perwalian dapat dicabut dengan keputusan pengadilan. Jika hal ini terjadi,
pengadilan menunjuk orang lain sebagai penggantianya. Selain itu
perwalian juga dapat berakhir bilamana anak yang berada dalam perwalian
tersebut telah dewasa (berumur 18tahun)
Universitas Sumatera Utara