1 ALTRUISME IBU RUMAH TANGGA DI PERUMAHAN ...
Transcript of 1 ALTRUISME IBU RUMAH TANGGA DI PERUMAHAN ...
1
ALTRUISME IBU RUMAH TANGGA DI
PERUMAHAN/PEMUKIMAN MENENGAH ATAS
Utami Pratiwi
Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berpenduduk ramah serta memiliki tingkat sosial yang tinggi, memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap orang lain serta memiliki jiwa altruis yang tinggi. Namun di beberapa perumahan menengah atas tidak lagi terjadi komunikasi yang baik. Mereka berdekatan secara fisik namun berjauhan secara sosial. Prilaku altruis yang harusnya dilestarikan kurang dipahami oleh individu-individu di dalamnya termasuk ibu rumah tangga di perumahan tersebut.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui altruisme pada ibu rumah tangga yang tinggal di komplek perumahan tingkat menengah ke atas dan faktor-faktor yang memenyebabkan altruisme pada ibu runah tangga.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang mendalam mengenai suatu kasus yang memiliki karakteristik tertentu. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di perumahan menengah atas berusia 30 tahun. Penelitian ini menggunakan metode wawancara tak berstruktur atau wawancara mendalam, sedangkan metode observasi yang digunakan adalah observasi non partisipan
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa komponen yang menyebabkan altruisme subjek sebagai ibu rumah tangga yang tinggal di komplek perumahan tingkat menengah atas diantaranya adalah : Faktor empati, meyakini keadilan dunia, pengendalian dan pengontolan diri serta egosentrisme yang rendah yang menyebabkan subjek berprilaku altruis. Subjek pun dapat menunjukkan bahwa subjek mampu memenuhi semua kriteria karakteristik individu altruisrik dengan baik
Kata kunci : altruisme, ibu rumah tangga, perumahan menengah atas
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah Dewasa ini, perkembangan perkotaan
sudah sangat berubah bila dibandingkan dengan
keadaan pada 15 atau 20 tahun yang lalu.
Berbagai kawasan di pinggiran kota terutama
kota-kota besar, telah berkembang sedemikian
rupa sehingga menjadi apa yang disebut dengan
kawasan satelit.Banyak sekali kompleks-
kompleks perumahan di bangun di sana, lalu
tumbuh kembang menjadi kantong-kantong
bisnis. Sebagai contoh, di Jakarta kita kenal
2
sejumlah kawasan yang telah menjadi kantong
bisnis, seperti Serpong, Puri Kembangan, Kelapa
Gading, Cibubur, Depok, Bekasi, Tangerang,
Cinere dan lain sebagainya (Simanjuntak, 2007).
Dalam uraian sebelumnya telah dilihat
bahwa munculnya rumah dalam kaitannya
dengan perkembangan peradaban adalah sebuah
institusi peradaban yang berfungsi sebagai motor
perkembangan masyarakat. Pada waktu itu
manusia menciptakan, menata dan
mengembangkan perumahannya sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari organisasi kehidupan
masyarakat secara keseluruhan. Hal inilah yang
akan berubah bila masyatakat ini menjadi
masyarakat yang modern. Di daerah perkotaan
yang modern tanggung jawab masalah
perumahan tidak bisa dengan sendirinya menjadi
tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan
tetapi masuk dalam wilayah kebebasan
perorangan yang bisa berarti bahwa setiap orang
harus mengurus masalah perumahan sendiri. Hal
ini berarti bahwa masalah perumahan tidak lagi
sesuatu yang diorganisir, ditata dan
dikembangkan secara kolektif kemasyarakatan
(Santoso, dkk, 2002).
Pada awalnya pembentukan daerah
perumahan di perkotaan tidak langsung
mengambil bentuk dan struktur seperti yang
dikenal sekarang. Pada era sebelum revolusi
industri maka kota-kota masih memiliki ciri
kehidupan sosial yang mirip dengan pedesaan
hanya jauh lebih kompleks (Santoso, dkk, 2002).
Di masa krisis ekonomi yang masih
terus berlanjut, bagi keluarga yang
berpenghasilan menengah kebawah tidak ada
pilihan lain kecuali melakukan penghematan.
Namun kebutuhan pokok akan papan (rumah)
yang layak huni bagi keluarga terus bertambah.
Sementara anggaran dana untuk rumah ideal
dengan harga tanah yang terjangkau sangat
terbatas keberadaannya. Maka memilih
rumahpun harus pandai. Ada dua faktor utama
yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
rumah tinggal, yakni lingkungan perumahan
yang sehat dan desain rumah sehat pula
(Dandrian, 2007). Untuk mewujudkan rumah
tinggal yang sehat tersebut tentu memerlukan
biaya yang tidak sedikit jumlahnya serta
membutuhkan kerja keras yang maksimal untuk
membangun sebuah rumah, namun tidak bagi
kalangan masyarakat dengan perolehan
pendapatan yang cukup tinggi dimana
masyarakat tersebut dikategorikan pada kalangan
masyarakat berpenghasilan menengah keatas.
Yang dimaksud dengan masyarakat
berpendapatan menengah ke atas dalam
penulisan ini lebih dilihat pada klasifikasi secara
ekonomis, dimana ukuran dan kriteria yang
digunakan adalah berdasarkan ukuran kekayaan.
Menurut Soekanto (1987) ukuran kekayaan dapat
dijadikan sesuatu ukuran untuk membagi
masyarakat menjadi beberapa kelas. Seseorang
yang memiliki kekayaan paling banyak dapat
digolongkan ke dalam masyarakat lapisan atas.
Kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk
rumah yang bersangkutan, mobil pribadi yang
dimiliki, cara-cara mempergunakan pakaian yang
dipakainya, kebiasaan berbelanja, pendapatan
dan lain sebagainya. Pada dasarnya anggota
masyarakat kelas ekonomi menegah atas ini
ditandai oleh beberapa hal, seperti taraf
pendidikan dan jabatan yang cukup baik dalam
masyarakat, pendapatan yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup normal atau bahkan dapat
3
berlebih, serta memiliki tempat tinggal yang
memadai.
Tempat tinggal yang memadai seperti
perumahan yang selama ini dikenal sebagai
tempat tinggal masyarakat yang tergolong
berkecukupan bukan sekedar sebagai kumpulan
rumah-rumah saja, melainkan merupakan satu
kesatuan yang utuh dan saling berhubungan baik
antara sesama penghuninya, maupun antara
manusia dengan alam lingkungan sekitarnya
(Silas, 1986).
Manusia di dunia ini memegang
peranan yang unik dan dapat dipandang dari
banyak segi. Dalam ilmu sosial manusia
merupakan mahluk yang tidak dapat berdiri
sendiri. Manusia di dalam hidup ini terutama
wanita selalu menginginkan peranannya sebagai
seorang wanita yang eksis di dalam hal pekerjaan
maupun di lingkungan keluarga. Para wanita
tersebut ingin membangun kehidupan ekonomi
keluarga rumah tangga yang mapan, tetapi
terkadang isteri dituntut oleh suaminya untuk
berdiam diri di rumah mengurus keperluan
rumah tangga terutama pada anak-anak dan
suami (Ibrahim, 2005). Segala sesuatu yang
berkaitan dengan mengurus suami serta
mengurus anak, ibu rumah tangga juga mengurus
rumah setiap hari tanpa henti. Tidak sedikit pula
para ibu yang jenuh dengan kegiatannya
menyempatkan waktu luang untuk sekedar
berbincang dengan para tetangga atau pergi
berbelanja untuk mengurangi kejenuhan. Bahkan
di beberapa perumahan yang ada, tidak sedikit
terdapat perkumpulan yang dimotori oleh para
ibu rumah tangga demi mengisi waktu luang
dengan kegiatan positif atau deemi memperkuat
sosialisasi antar penghuni perumahan. Kegiatan-
kegiatan tersebut dilakukan satu minggu sekali
bahkan satu bulan sekali, misalnya pengajian
rutin, arisan atau demo-demo saperti demo
masak sampai demo kecantikan yang diadakan
para warganya. Namun lain halnya dengan
kebanyakan ibu-ibu di perumahan menengah atas
yang terlalu sibuk dengan urusannya masing-
masing tanpa mementingkan sosialisasi antar
sesama penghuni di suatu wilayah yang disebut
sebagai perumahan.
Ibu rumah tangga memiliki tugas yang
cukup berat, karena dibalik itu telah banyak yang
tahu bahwa untuk menjadi ibu rumah tangga
telah siap untuk mengurus segala keperluan
ataupun kebutuhan rumah tangga. Pada
umumnya wanita menganggap bahwa menjadi
ibu rumah tangga bukan suatu pekerjaan, karena
seorang wanita yang berkeluarga akan secara
langsung menerima perannya sebagai ibu rumah
tangga (Mappiare, 1983).
Bahkan dalam agama Islam tugas
seorang isteri dituliskan dalam Al-Qur’an surah
An-Nisa’34 yang berbunyi : “Wanita-wanita
yang shaleh itu ialah wanita yang setia berdiam
di rumah suaminya lagi menjaga yang menjadi
milik suaminya diwaktu suami tidak ada di
rumah sebagaimana Allah SWT. telah
menjaganya”. Dari sepenggal ayat tersebut dapat
diperoleh beberapa tugas seorang wanita, yaitu :
1. Isteri harus setia tinggal di rumah suami.
2. Isteri bertugas menjaga apa-apa yang
menjadi milik suaminya, ketika suaminya
keluar (pergi bekerja). Termasuk harta milik
suami adalah harta benda dan anak-anak.
3. bentuk penjagaan dari Allah swt. itu adalah
perinta Allah kepada para suami untuk
menafkahi isteri.
4
Dengan kata lain ayat di atas
memberikan tugas kepada isteri untuk menjadi
ibu rumah tangga yang baik (Dahri, 1991).
Adapun jenis kegiatan ibu rumah tangga
dikategorikan menjadi empat golongan, yaitu
pekerjaan rumah tangga, kegiatan mencari
nafkah, istirahat dan tidur (Guhardja &
Chapman, 1984).
Menurut Guhardja dan Chapman (1984)
kegiatan ibu rumah tangga dimulai dari pukul
04.00 atau pukul 05.00, saat terbangun dari tidur.
Diisi dengan pekerjaan rumah tangga rata-rata
sampai pukul 07.00. Mulai pukul 07.00 kegiatan
yang dilakukan ibu bekerja berbeda dengan ibu
tidak bekerja. Ibu tidak bekerja kegiatannya
dilanjutkan dengan membereskan rumah sampai
tuntas, selanjunya istirahat. Ibu bekerja setelah
pukul 07.00 mulai melakukan kegiatan masing-
masing sesuai dengan jenis pekerjaannya.
Kegiatan pagi, siang, dan sore hari
antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tidak
banyak perbedaan, kecuali adanya pekerjaan
tambahan bagi ibu bekerja dalam hal
menyiapkan segala kebutuhan untuk bekerja,
menyiapkan dagangan, dan untuk pekerjaan
mencari nafkahnya. Selain itu, pekerjaan-
pekerjaan rumah tangga ibu bekerja dilaksanakan
dalam waktu singkat. Lain halnya dengan ibu
tidak bekerja, walaupun sama dilakukan dengan
singkat tetapi ibu tidak bekerja mempunyai
kesempatan untuk melanjutkan pekerjaan rumah
tangga pada jam-jam berikutnya (Guhardja &
Chapman, 1984). Pekerjaan rumah tangga
memang dianggap menjadi tugas, kewajiban
serta tanggung jawab ibu rumah tangga yang
bersifat tidak memiliki batas waktu, yang artinya
pekerjaan rumah tangga tidak memiliki batasan
jam kerja yang jelas seperti layaknya pekerjaan
kantor. 2 hal yang menyebabkan pekerjaan
rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan
yang nyata (Puspita, 1998) yaitu :
1. Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan
sehari-hari yang tidak memiliki batasan jam
kerja dan sebagian besar dilakukan pada saat
seluruh anggota keluarga sedang berada
diluar rumah. Selain itu pekerjaan rumah
tangga sifatnya tertutup, dalam arti bahwa
dilakukan dalam rumah tanpa sepengetahua
orang lain.
2. pekerjaan rumah tangga tidak dibayar.
Dengan kondisi sosial saat ini dimana status
dan penghargaan atas individu masih banyak
diukur oleh besarnya penghasilan individu
tersebut, maka tidak adanya penghargaan
atas pekerjaan rumah tangga yang dapat
dinilai dengan uang menyebabkan pekerjaan
tersebut kurang dihargai bahkan dianggap
bukan merupakan suatu pekerjaan.
Ibu-ibu rumah tangga pada golongan
keluarga menegah atas umumnya menggaji
pembantu rumah tangga untuk pekerjaan rumah
tangganya yang cukup berat dan menyita waktu.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut antara lain
berbelanja, memasak, mencuci pakaian, dan
membersihkan rumah. Ibu rumah tangga yang
bekerja mencari nafkah menjadi menejer untuk
pekerjaan rumah tangganya dan lebih banyak
lagi mengisi waktunya jika tidak ada pekerjaan
sampingan (Guhardja & Chapman, 1984). Ibu-
ibu yang bekerja kebanyakan tidak sanggup
membayar pembantu rumah tangga dan harus
menghemat pendapatan sedapat mungkin.
Umumnya hal ini mengakibatkan kurang tidur
dan kurang istirahat karena lebih banyak waktu
5
yang digunakan untuk berbelanja dan memasak
(Guhardja & Chapman, 1984). Yang menarik
pada ibu-ibu bekerja adalah bahwa perhatian
terhadap pekerjaan rumah tangganya hampir
tidak berbeda dengan ibu-ibu yang tidak bekerja,
terutama dalam hal mengasuh anak, memandikan
anak, memberi makan dan membantu anak
belajar merupakan pekerjaan yang tidak
diserahkan kepada orang lain (Guhardja &
Chapman, 1984).
Daldjoeni (1992) mengemukakan
beberapa gejala dalam struktur sosial kota yang
juga mempengaruhi keinginan seseorang untuk
menolong orang lain, antara lain hubungan
dalam masyarakat kota yang bersifat sekunder
dimana pengenalan dengan orang lain serba
terbatas pada bidang hidup tertentu saja, mereka
dapat saja berdekatan secara fisik tetapi secara
sosial berjauhan. Orang-orang kota juga biasa
memutuskan sesuatu secara pribadi dan kurang
memperdulikan tingkah laku orang lain, asal
tindakan seseorang tidak merugikan khalayak
umum maka tindakan mereka masih dapat
ditolerir. Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat
mengurangi ketertarikan emosional antara satu
individu dengan individu yang lain, selain itu
tuntutan masyarakat pada individu untuk
menolong orang yang membutuhkan bantuan
juga berkurang.
Perilaku menolong atau altruisme
adalah tindakan berkorban untuk
menyejahterakan orang lain tanpa menghiraukan
balasan sosial maupun materi bagi dirinya
sendiri. Dengan pengertian yang lebih sederhana,
altruisme dapat disamakan dengan menolong
orang lain. Dengan demikian begitu baiknya
konsep altruisme jika diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bangsa Indonesia
memegang teguh altruisme dalam semboyan-
semboyan seperti “dahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi”, “gotong royong”,
“musyawarah untuk mufakat”. Dalam setiap
ajaran agama manapun juga ditekankan tentang
altruisme, dimana kita harus saling menolong,
saling mengasihi. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Penner,dkk (dalam
Pelokang,2008) wanita lebih banyak ditolong
dibandingkan laki-laki, khususnya jika
penolongnya laki-laki. Walaupun wanita
terkesan lemah, namun tingkat sosialisasi wanita
lebih tinggi dari laki-laki. Dengan latar belakang
sifat yang lembut dan penuh perasaan wanita
lebih mudah merasa kasihan terhadap orang yang
menurutnya memerlukan bantuan. Seperti halnya
yang terjadi di lingkungan rumah tempat tinggal,
banyak di antara penghuni komplek yang sudah
tinggal cukup lama dan merasa percaya pada
tetangganya maka tidak segan-segan untuk
sekedar menitipkan rumah atau bahkan kunci
rumah apabila rumahnya akan ditinggal beberapa
waktu. Para ibu-pun turut membantu dan rela
memberikan pinjaman alat-alat dapur mereka
dengan cuma-cuma dan membantu memasak
apabila ada salah satu tetangganya yang sedang
melakukan hajatan. Sebagai mahluk sosial ibu
rumah tangga membutuhkan akan hubungan
dengan orang lain. Setiap manusia membutuhkan
teman dan bergaul akrab satu sama lain agar
dapat saling membantu. Apabila hubungan akrab
dengan orang lain tidak tercapai, menurut Peplau
dan Perlman (1982) akan timbul perasaan yang
kurang menyenangkan. Namun, pada zaman
sekarang nilai yang begitu penting dan dapat
menjadi dasar untuk membentuk suatu negara
6
menjadi lebih baik sudah terkikis. Masyarakat
mulai melupakan dan meninggalkan nilai
tersebut. Untuk menanggapi masalah yang
terjadi dalam masyarakat sekarang ini, yaitu
semakin terkikisnya perilaku altruistik.
(Pelokang, 2008).
Perkembangan perkotaan, pekerjaan
rutin yang jenuh di kantor dan terisolasinya
sosialisasi rumah-rumah mewah di perumahan
menengah atas menyebabkan pudarnya
solidaritas sosial, sehingga setiap individu
melihat diri mereka sebagai mahluk yang
terisolasi yang berkompetisi dengan yang
lainnya dalam persaingan yang ketat guna
memperoleh dominansi (kekuasaan). Oleh
karenanya, sifat egoisme menjadi dasar utama
dari pengalaman dan penentu tunggal dari nilai
kehidupan. Akan tetapi hal ini merupakan ego
yang terpisah, sementara ego lain yang
menjunjung sifat-sifat kebajikan yang
ditanamkan oleh agama, seperti kedermawanan
dan pengorbanan diri, tidak sedikitpun
memperoleh bantahan. Altruisme dan
pengendalian diri telah tergantikan oleh
pandangan baru mengenai pengampunan diri,
yang memberikan perioritas pada mereka yang
memiliki kekayaan, kekuasaan, dan kelebihan
lainnya sabagai tujuan utama dalam kehidupan
(Bodhi, 2000). Indonesia sejak dulu dikenal oleh
dunia karena masyarakatnya memiliki perilaku
altruis yang tinggi seperti tercermin dalam
perikehidupan yang rukun, solidaritas sosial
yang tinggi, saling menolong, saling bekerja
sama, saling mensejahterakan, dan penuh
keramahan. Akhir-akhir ini banyak ahli harus
mengernyitkan dahinya untuk dapat memahami
berbagai fenomena dan dinamika sosial yang
berkembang dalam masyarakat. Para ahli
menengarai terjadinya pergeseran dalam
orientasi nilai hidup manusia Indonesia sebagai
akibat proses industrialisasi dan modernisasi
serta pembangunan yang terlalu menitikberatkan
pada sektor ekonomi di masa yang lalu. Sikap
saling acuh terhadap sesama bahkan terhadap
masyarakat sekitar. Manusia Indonesia ditengarai
mulai menunjukkan ciri-ciri dan karakteristik
kepribadian yang individualistik, materialistik
dan hedonistik. Sinyalemen ini diperkuat oleh
adanya kenyataan yang berkembang dalam
masyarakat yang menunjukkan masyarakat
Indonesia menjadi mudah kehilangan
pertimbangan terhadap efek perilakunya
terhadap sesama (Syafriman & Wirawan, 2004).
Berdasarkan uraian diatas diharapkan
dapat memberi pengertian pada masyarakat
khususnya dalam penulisan ini yaitu para ibu
rumah tangga yang tinggal di pemukiman
menengah ke atas mengenai pentingnya memiliki
sifat menolong siapapun tanpa mengharapkan
imbalan (altruisme).
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka
peneliti ingi mengetahui :
1. Bagaimanakah altruisme pada ibu rumah
tangga yang tinggal di komplek perumahan
tingkat menengah ke atas ?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
altruisme pada ibu runah tangga ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui altruisme pada ibu rumah tangga di
pemukiman menengah atas serta mengetahui
beberapa faktor yang turut menyebabkannya.
7
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki 2
manfaat, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat terhadap ilmu
psikologi, khususnya dalam bidang
Psikologi Sosial. Selain itu dapat dijadikan
acuan bagi penelitian selanjutnya, terutama
penelitian yang bekaitan dengan altruisme
dan ibu rumah tangga.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan pada masyarakat,
khususnya pada ibu rumah tangga mengenai
pentingnya mempertahankan prilaku altruis
walaupun lingkungan sosialnya lebih
condong kearah individualis. Hal tersebut
dikarenakan manusia merupakan mahluk
sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa
bantuan dari orang lain.
TINJAUAN PUSTAKA
Altruisme
Altruisme adalah istilah yang sering
digunakan sebagai sinonim dengan tingkah laku
prososial untuk menunjukkan suatu bentuk
tingkah laku yang tidak mementingkan diri
sendiri demi kepentingan orang lain dan
mungkin akan melibatkan pertolongan diri
sendiri (Ensiklopedia Psikologi, 1996). Menurut
Staub (dalam Sampson, 1976) perilaku
menolong, menyumbang, bekerjasama, peduli
pada orang lain, berbagi, dan memberi fasilitas
bagi kesejahteraan orang lain merupakan
beberapa macam perilaku altruis.
Menurut Auguste Comte (dalam
Saraswati, 2008) altruisme berasal dari bahasa
Perancis, autrui yang artinya orang lain. Comte
memercayai bahwa individu-individu
mempunyai kewajiban moral untuk berkidmat
bagi kepentingan orang lain atau kebaikan
manusia yang lebih besar.
Menurut Baron dan Byrne (1996)
altruisme merupakan bentuk khusus dalam
penyesuaian perilaku yang ditujukan demi
kepentingan orang lain, biasanya merugikan diri
sendiri dan biasanya termotivasi terutama oleh
hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan orang
lain agar lebih baik tanpa mengaharapkan
penghargaan. Sementara itu Myers (dalam
Sarwono, 2002) altruisme dapat didefinisikan
sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa
memikirkan kepentingan diri sendiri.
Sedangkan menurut Sears (dalam
Riyanti & Prabowo, 1998) altruisme adalah
tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk menolong orang lain
tanpa mengaharapakan imbalan apapun, kecuali
telah memberikan suatu kebaikan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa suatu perilaku
altruisme atau tidak bergantung pada tujuan si
penolong.
Lebih jauh lagi Macaulay dan
Berkowitz (dalam Zanden, 1984) mengatakan
bahwa perilaku altruisme adalah perilaku yang
menguntungkan bagi orang lain. Jadi seseorang
yang melakukan tindakan altruisme bukan saja
menguntungkan bagi si penolong, melainkan
juga menguntungkan bagi orang-orang yang
ditolong, sebab mereka yang melakukan
tindakan altruisme akan menolong orang lain
tanpa mengharapkan balasan apapun.
Dari beberapa uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa definisi dari altruisme adalah
8
tindakan menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apapun dari orang yang
ditolongnya.
Komponen Kepribadian Seseorang yang
Termasuk dalam Kategori Altruisme
Baron dan Byrne (1996) menyatakan
terdapat lima komponen kepribadian seseorang
yang termasuk dalam kategori altruisme, yaitu :
a. Siapapun orang yang pernah ditolong,
baginya empati bukanlah suatu bagian yang
penting dari konsep dirinya, baginya jadi
penolong juga mendeskripsikan rasa
tanggung jawab dan rasa sosial
pengendalian dirinya. Mereka juga
menginginkan membuat kesan yang baik
dan selalu ingin berpartisipasi dan
bertoleransi.
b. Mereka yang berasumsi bahwa dalam
memberikan pertolongan merupakan
tindakan baik yang harus dilakukan,
sebaliknya mereka percaya bahwa orang
yang menolong orang lain akan mendapat
tindakan yang setimpal. Mereka percaya
bahwa dunia itu adil dan merupakan tempat
dimana apabila kita melakukan tindakan
yang baik maka akan mendapat tindakan
yang baik pula.
c. Rasa bersosialisasi juga membedakan antara
seseorang penolong dan yang bukan
penolong. Seseorang yang tinggi dalam
dimensi ini percaya bahwa kita sudah
seharusnya melakukan yang terbaik untuk
menolong orang lain.
d. Individu yang altruis memiliki karakteristik
sebagai seorang yang memiliki pengendalian
dan pengontrolan diri yang kuat. Mereka
percaya bahwa seseorang akan memiliki
jalan yang baik apabila memperbanyak
kebaikan dan mengurangi keburukan, karena
seorang individu dapat membuat suatu
perbedaan dan tidak bergantung pada
keberuntungan yang terbatas dan takdir serta
semua yang tidak dapat diperkirakan.
e. Rasa egosentrisme pada orang yang
penolong biasanya lebih rendah
dibandingkan bukan penolong.
Sedangkan Karakteristik Individu
Altruistik menurut Bierhoff, Klein dan Kramp
(dalam Baron & Byrne, 1996) individu yang
altruistic memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Memiliki konsep diri yang empati,
bertanggung jawab dan bersosialisasi,
memiliki self control dan toleransi.
b. Meyakini dunia sebagai mana adanya,
mereka meyakini bahwa apabila mereka
melakukan yang terbaik maka orang yang
mereka tolong akan merasakan manfaat atau
mendapat keuntungan dari perbuatan mereka
c. Memiliki rasa tanggung jawab sosial.
Individu yang memiliki rasa tanggung jawab
sosial yakin bahwa mereka harus melakukan
yang terbaik untuk orang lain
d. Memiliki egosentrisme yang rendah, apabila
mereka gagal dalam melakukan pertolongan,
mereka akan merasa tidak berguna
e. Memiliki internal locus of control. Mereka
yakin bahwa seseorang dapat menentukan
jalannya sendiri, berbuat hal yang terbaik
maka otomatis hal yang buruk akan
berkurang, tidak tergantung pada takdir dan
hal-hal yang tidak pasti.
Pemukiman Menengah Atas
Sebelum membahas definisi dari
perumahan, terlebih dahulu akan dibahas
9
mengenai definisi dari rumah itu sendiri. Definisi
rumah dapat ditinjau dari dua segi, fisik dan
psikologis. Dari segi fisik rumah berarti
bangunan tempat tinggal, tempat kembali dari
berpergian, bekerja, tempat tidur dan beristirahat,
memulihkan kondisi fisik dan mental yang letih
dari melaksanakan tugas sehari-hari. Kemudian
ditinjau dari segi psikologis, rumah berarti
tempat untuk tinggal dan untuk melakukan hal-
hal tersebut di atas, yang tentram, damai dan
menyenangkan bagi penghuninya (Ahmad,
2001).
Menurut kamus Oxford (dalam
Hernowo,2008) rumah adalah bangunan tempat
tinggal orang, biasannya untuk tinggal satu
keluarga. Dari definisi tersebut maka akan jelas
fungsi vital sebuah rumah bagi suatu keluarga,
yakni sebagai tempat tinggal. Dari penjelasan
para ahli diatas dapat disimpulkan definisi dari
rumah adalah bangunan sebagai tempat
berlindung dan sebagai tempat yang dijadikan
untuk tempat tinggal.
Selanjutnya menurut UU No. 4 Tahun
1992 tentang perumahan dan Pemukiman Bab 1,
perumahan adalah sekelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan. Berdasarkan
pertunjuk perencanaan kawasan perumahan kota
menurut Departemen pekerjaan umum tahun
1987, Lingkungan perumahan adalah
sekelompok rumah-rumah dengan prasarana dan
fasilitas lingkungannya.
Perumahan menurut Silas (1986) adalah
sebuah teritorial habitat dimana penduduknya
dapat melaksanakan kegiatan biologis, sosial,
ekonomis, politis dan dapat menjamin
kelangsungan lingkungan yang seimbang dan
serasi. Dari pendapat beberapa sumber diatas
maka dapat disimpulkan definisi dari perumahan
adalah kumpulan rumah-rumah disatu kawasan
dimana penduduknya dapat melaksanakan
berbagai macam kegiatan dengan prasarana dan
sarana lingkungan.
Ibu Rumah Tangga
Ibu rumah tangga menurut Dwijayanti
(1999) adalah wanita yang lebih banyak
menghabiskan waktunya di rumah,
mempersembahkan waktunya untuk memelihara
anak-anak dan mengasuh menurut pola-pola
yang diberikan masyarakat. Menurut Vauren
(dalam Dwijayanti, 1999) ibu rumah tangga
memiliki kewajiban memasak, menjahit,
berbelanja, menyetrika pakaian, dan mengurus
anak.
Frieze (1978) mengemukakan bahwa
ibu rumah tangga adalah suatu peran yang
otomatis diterima seorang wanita saat mulai
berkeluarga. Sedangkan menurut Kartono (2006)
ibu rumah tangga melukiskan kegiatan yang
berpusat pada suatu kegiatan melayani dalam arti
kata yang luas. Termasuk disini mendidik,
melayani, mengatur, mengurus untuk dinikmati
orang lain atau bersama-sama untuk dinikmati
oleh orang lain. Wanita menjadi sumber untuk
membahagiakan orang lain. Sebagai isteri ia
menjadi pengasuh rumah tangga dan memberi
pelayanan yang sangat menyenangkan kepada
suami dan sebagian besar waktunya berada di
dalam rumah.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli
tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
ibu rumah tangga adalah wanita yang lebih
banyak menghabiskan waktunya dalam rumah,
10
serta memiliki beberapa kewajiban yang secara
otomatis diterima saat mulai berumah tangga,
termasuk kegiatan mengasuh anak, mengatur
rumah serta berbagai kegiatan pekerjaan rumah
tangga.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan tipe
pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus.
Penelitian ini menelaahan satu kasus secara
intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif.
Penelitian studi kasus lebih
menekankan mengkaji variable yang cukup
banyak pada jumlah yang kecil. Tujuan dari
penelitian menurut Stake (dalam Denzin &
Lincoln, 1994) untuk mencapai pemahaman
mendalam mengenai kasus atau peristiwa
khusus, ketimbang mendeskripsikan bagian
permukaan dari sampel besar dari sebuah
populasi dan juga bertujuan untuk menyediakan
penjelasan tersurat mengenai struktur, tatanan
dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu
kelompok partisipan.
Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994)
menambahkan, dalam membahas studi kasus,
Stake menekankan pendekatan kualitatif, bersifat
naturalistik, berbasis pada budaya dan minat
fenomenologi. Studi kasus bukan merupakan
pilihan metodologi, tetapi pilihan masalah yang
bersifat khusus untuk dipelajari.
Studi kasus merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari
individu dan perilaku yang dapat diamati.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara utuh (Handono,2005).
Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh
diatas studi kasus adalah penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
yang tertulis atau lisan dari individu dan perilaku
yang dapat diamati untuk mencapai pemahaman
mendalam mengenai kasus atau peristiwa
khusus.
Keakuratan Penelitian
Untuk menjaga keakuratan penelitian,
peneliti menggunakan trianggulasi penelitian :
Trianggulasi data, trianggulasi data dan
trianggulasi metodologis.
Pembahasan
1. Gambaran Altruisme Ibu Rumah Tangga
Di Perumahan / Pemukiman Manengah
Atas
Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi yang telah dilakukan, subjek
memiliki altruisme yang tinggi terhadap
orang lain disekitarnya. Hal tersebut dapat
terlihat dari hasil wawancara dan observasi
subjek yang sesuai dengan karakteristik
individu altruistik yang dikemukakan oleh
Bierhoff, dkk (dalam Baron & Byrne, 1996).
Adapun karakteristik yang dimaksud yaitu :
a. Memiliki konsep diri yang empati,
bertanggung jawab dan bersosialisasi,
memiliki self control dan toleransi.
Pada kasus ini subjek dapat merasakan
penderitaan atau kesulitan yang
dirasakan oleh orang lain sehingga
subjek tergerak untuk membantu orang
tersebut.
b. Meyakini dunia sebagai mana adanya,
mereka meyakini bahwa apabila mereka
melakukan yang terbaik maka orang
yang mereka tolong akan merasakan
manfaat atau mendapat keuntungan dari
11
perbuatan mereka. Dalam hal ini subjek
suka membantu orang lain
(tetangganya) walau hanya membantu
hal-hal kecil.
c. Memiliki rasa tanggung jawab sosial.
Individu yang memiliki rasa tanggung
jawab sosial yakin bahwa mereka harus
melakukan yang terbaik untuk orang
lain. Subjek merasa bahwa menolong
orang lain merupakan suatu kewajiban
yang sudah ditanamkan sedari kecil
oleh keluarga subjek sehingga membuat
subjek memiliki rasa tanggung jawab
terhadap sesama.
d. Memiliki egosentrisme yang rendah,
apabila mereka gagal dalam melakukan
pertolongan, mereka akan merasa tidak
berguna. Subjek termasuk orang yang
memiliki egosentrisme yang rendah, hal
tersebut terlihat dari altruisme subjek
yang mengorbankan kepentingannya
demi menolong orang lain meskipun
subjek selalu melihat hal mana yang
lebih penting untuk didahulukan.
e. Memiliki internal locus of control.
Mereka yakin bahwa seseorang dapat
menentukan jalannya sendiri, berbuat
hal yang terbaik maka otomatis hal
yang buruk akan berkurang, tidak
tergantung pada takdir dan hal-hal yang
tidak pasti. Dalam hal membantu orang
lain, subjek percaya atas kemampuan
yang dimilikinya.
2. Komponen Kepribadian Seseorang yang
Termasuk dalam Kategori Altruisme
Hasil wawancara dan observasi
menunjukkan bahwa hal-hal yang
menyebabkan subjek termasuk dalam
kategori altruisme yang dikemukakan oleh
Baron dan Byrne (1996) diantaranya yaitu :
a. Empati
Menurut Baron dan Byrne (1996)
empati dideskripsikan sebagai rasa
tanggung jawab dan rasa sosial
pengendalian dirinya. Mereka juga
membuat kesan yang baik dan selalu
ingin berpartisipasi dan bertoleransi.
Dalam hal ini subjek sering merasa
empati pada orang lain sehingga subjek
tergerak untuk membantu.
b. Meyakini Keadilan Dunia
Baron dan Byrne (1996) berasumsi
bahwa Individu yang altruis memiliki
karakteristik sebagai seorang yang
memiliki pengendalian dan
pengontrolan diri yang kuat. Mereka
percaya bahwa seseorang akan memiliki
jalan yang baik apabila memperbanyak
kebaikan dan mengurangi keburukan,
karena seorang individu dapat membuat
suatu perbedaan dan tidak bergantung
pada keberuntungan yang terbatas dan
takdir serta semua yang tidak dapat
diperkirakan. Subjek meyakini bahwa
perbuatannya akan mendapatkan
balasan atas perbuatannya yang
dilakukan terutama balasan dari Tuhan
YME.
c. Sosialisasi
Rasa sosialisasi juga membedakan
antara seseorang penolong dan yang
bukan penolong. Seseorang yang tinggi
dalam dimensi ini percaya bahwa kita
sudah seharusnya melakukan yang
12
terbaik untuk menolong orang lain.
Meskipun subjek merasa hubungan
dilingkungan perumahannya kurang
erat, namun hal tersebut tidak menutupi
keinginan subjek untuk menolong orang
lain.
d. Pengendalian dan Pengontrolan Diri
Individu yang altruis memiliki
karakteristik sebagai seorang yang
memiliki pengendalian dan
pengontrolan diri yang kuat. Mereka
percaya bahwa seseorang akan memiliki
jalan yang baik apabila memperbanyak
kebaikan dan mengurangi keburukan,
karena seorang individu dapat membuat
suatu perbedaan dan tidak bergantung
pada keberuntungan yang terbatas dan
takdir serta semua yang tidak dapat
diperkirakan. Subjek berasumsi bahwa
subjek mampu mengendalikan diri
dengan baik serta selalu
mempertimbangkan baik dan buruknya
suatu keputusan, subjek pun termasuk
orang yang teguh dalam berpendirian.
e. Egosentrisme Yang Rendah
Rasa egosentrisme pada orang yang
penolong biasanya lebih rendah
dibandingkan bukan penolong. Subjek
berpendapat bahwa subjek berusaha
mendahulukan kepentingan orang lain
dari kepentingan subjek sendiri dengan
cara menimbang mana yang lebih
penting untuk didahulukan.
Kesimpulan
1. Gambaran Altruisme Ibu Rumah Tangga
Di Perumahan / Pemukiman Manengah
Atas
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dengan wawancara dan observasi
sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan yang
berhubungan dengan altruisme pada subjek ibu
rumah tangga. Kesimpulan yang diperoleh
adalah altruisme yang dimiliki oleh subjek cukup
tinggi hal ini didukung dengan karakteristik yang
dimiliki subjek yang mengindikasikan bahwa
subjek adalah individu yang memiliki
karakteristik altruistik seperti yang dikemukakan
oleh Bierhoff, dkk (dalam Baron & Byrne,
1996). Subjek mampu berinteraksi dan
komunikasi dengan lingkungan sosialnya
meskipun berada dilingkungan yang individualis.
Meski begitu tidak menyurutkan niat subjek
untuk tetap tidak mementingkan diri sendiri
melainkan berusaha membantu orang-orang
disekitarnya yang memerlukan bantuan. Adapun
karakteristik yang dimaksud yaitu :
a. Memiliki konsep diri yang empati
Pada kasus ini subjek dapat merasakan
penderitaan atau kesulitan yang dirasakan
oleh orang lain sehingga subjek tergerak
untuk membantu orang tersebut. Menurut
significant others yang sekaligus sebagai
orang tua dari subjek, subjek merupkan tipe
orang yang perasa sekali terhadap kesulitan
yang dihadapi orang lain.
b. Meyakini dunia sebagai mana adanya
Dalam hal ini subjek suka membantu orang
lain (tetangganya) walau hanya membantu
hal-hal kecil. Menurut subjek setiap perilaku
pasti akan mendapat ganjaran yang setimpal
baik dan buruknya, “apa yang ditanam itulah
yang dipetik” adalah peribahasa yang
ditanamkan betul-betul oleh orang tua
subjek.
13
c. Memiliki rasa tanggung jawab sosial
Subjek merasa bahwa menolong orang lain
merupakan suatu kewajiban yang sudah
ditanamkan sedari kecil oleh keluarga
subjek sehingga membuat subjek memiliki
rasa tanggung jawab terhadap sesama.
d. Memiliki egosentrisme yang rendah
Subjek termasuk orang yang memiliki
egosentrisme yang rendah, hal tersebut
terlihat dari altruisme subjek yang
mengorbankan kepentingannya demi
menolong orang lain meskipun subjek selalu
melihat hal mana yang lebih penting untuk
didahulukan.
e. Memiliki internal locus of control
Dalam hal membantu orang lain, subjek
percaya atas kemampuan yang dimilikinya.
Menurut pendapat subjek seseorang tidak
perlu memaksakan sesuatu hal yang diluar
batas kemampuan yang dimilikinya karena
hal tersebut malah akan menghambat dirinya
sendiri.
2. Komponen Kepribadian Seseorang yang
Termasuk dalam Kategori Altruisme
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi
dapat diketahui bahwa faktor yang
menyebabkan altruisme pada subjek sesuai
dengan komponen kepribadian seseorang
yang termasuk dalam kategori altruisme
yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne
(1996). Subjek memiliki sifat empati,
meyakini keadilan dunia, mampu
mengendalikan dan mengontrol diri serta
memiliki egosentrisme yang rendah.
Meskipun sosialisasi subjek kurang erat di
lingkungan perumahan subjek, hal tersebut
tidak menghalangi subjek untuk dapat
berprilaku altruis pada orang lain
disekitarnya. Adapun komponen kepribadian
seseorang yang termasuk dalam kategori
altruisme yang dikemukakan oleh Baron dan
Byrne (1996) yaitu :
a. Empati
Dalam hal ini subjek sering merasakan
empati pada orang lain sehingga membuat
subjek tergerak untuk membantu. Tak jarang
subjek pun mengandaikan orang yang
sedang mengalami kesusahan itu adalah
dirinya sendiri atau bahkan sebagai keluarga
subjek sendiri.
b. Meyakini Keadilan Dunia
Subjek meyakini bahwa perbuatannya akan
memdapatkan balasan atas perbuatan yang
dilakukan subjek. Menurut subjek dalam
berbuat sesuatu harus tulus agar
mendapatkan balasan yang setimpal atau
bahkan akan diberi balasan yang lebih oleh
Allah SWT Tuhan YME.
c. Sosialisasi
Meskipun subjek merasa hubungan
dilingkungan perumahannya kurang erat,
namun hal tersebut tidak menutupi
keinginan subjek untuk menolong orang
lain.
d. Pengendalian dan Pengontrolan Diri
Subjek berasumsi bahwa subjek mampu
mengendalikan diri dengan baik serta selalu
mempertimbangkan baik dan buruknya
suatu keputusan, subjek pun termasuk orang
yang teguh dalam berpendirian.
e. Egosentrisme yang Rendah
Subjek berpendapat bahwa subjek berusaha
mendahulukan kepentingan orang lain dari
kepentingan subjek sendiri dengan cara
14
menimbang mana yang lebih penting untuk
didahulukan.
Saran
Dari hasil penelitian tentang altruisme
pada ibu rumah tangga di
pemukiman/perumahan menengah atas ini, maka
saran yang diajukan oleh peneliti terhadap
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kepada Subjek
Kepada subjek disarankan dapat menjaga
dan lebih meningkatkan perilaku
altruismenya terhadap orang lain maupun
lingkungannya tanpa mengharapkan suatu
imbalan apapun dan tidak perlu
memperdulikan omongan-omongan negatif
dari orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, yang terpenting adalah perbuatan
yang baik akan mendapatkan hasil yang baik
pula.
2. Kepada Ibu Rumah Tangga Secara
Umum Khususnya Yang Tinggal di
Pemukiman/Perumahan Menengah Atas
Bagi seluruh ibu rumah tangga yang
khususnya tinggal di perumahan/pemukiman
menengah atas diharapkan dapat lebih
memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk
orang banyak. Seperti membuat suatu
perkumpulan sosial ataupun kegiatan amal
yang selain dapat membantu orang-orang
lain yang kurang beruntung diharapkan juga
dapat terjalin komunikasi yang lebih baik
dan lebih erat antar tetangga walaupun
tinggal di perumahan elit, sehingga label
“individualis” yang telah lama melekat
dapat sedikit demi sedikit luntur.
3. Kepada Masyarakat
Kepada seluruh masyarakat diharapkan
dapat menumbuhkan lagi perilaku altruisme
dan meningkatkannya dengan baik, sehingga
bangsa Indonesia yang terkenal dengan
budaya gotong royong dan saling
menolongnya dapat terus harum dimata
dunia.
4. Kepada Peneliti Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat
mengembangkan fokus penelitian yang
berbeda dan lebih variatif lagi. Misalnya
membandingkan altruisme individu yang
berada di perumahan mewah dengan
individu yang berada di perumahan
menengah bawah, atau dapat pula mencoba
menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Daftar Pustaka Ahmad, A. (2001). Rumah dan pengaruhnya
terhadap perkembangan anak. Dalam http://72.14.235.104/search?q=cache:zkGSXPUk-UJ:www.kompas.com/kompas-cetak/0301/25/metro/96832.htm+pengertian+rumah+mewah&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id 26 Februari 2008
Baron, R. A & Byrne, D. (1996). Social
psychology. Eight Edition. Needham Heights : Massa Chusetts
Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif untuk
ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Gunadarma
Biro Pusat Statistik. (1996). Pengeluaran dan
konsumsi pendidikan indonesia per-profinsi 1996. Jakarta : Biro Pusat Stasistik
Bodhi, B. (1986). Menghadapi milenium baru.
Yogyakarta : Vidyasena Production Vihara Vidyaloka
Dahri, I. A. (1991). Peran ganda wanita modern.
Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
15
Daldjoeni, N. (1992). Seluk beluk masyarakat
kota. Bandung : Alumni Dandrian. (2007). Memilih rumah sehat
lingkungan. Dalam http://www.padusi.com/ani /files/article/memilih_rumah_sehat_lingkungan.asp 20 Juni 2008
Deaux, dkk. (1993). Social psychology in the
90’s (6th Edition). California : Brooks/Cole Publishing Company
Dwijayanti, J. E. ( 1999). Perbedaan antara
motivasi antara ibu rumah tangga yang bekerja dan yang tidak bekerja dalam mengikuti sekolah pengembangan pribadi dari Jhon Robert Powers. Media Psikologi Indonesia. Vol 14 no.55. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
Frieze, I. (1978). The woman and sex roles : A
Social Psychological Perspective. New York : W.W. Norton and Co
Guhardja, S & Chapman, B. (1984). Jadwal
kegiatan ibu rumah tangga dan kebiasaan jajan keluarga. Jakarta : LSP PDII LIPI
Hikmawati, E. (1992). Dampak modernisasi
terhadap status sosial ibu rumah tangga. Vol : 16 no. 138. Pelita BPKS (Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial)
Ibrahim, Z. (2005). Psikologi wanita. Bandung :
Pustaka Hidayah Juwono, T. (2008). CSR untuk mendukung
perumahan swadaya. Dalam http://nussp.com/tulisandetil.asp?mid=356&catid=2& 25 November 2008
Kartono, K. 1980. Pengantar metodologi
research sosial. Bandung : Penerbit Alumni
Kartono, K. (1992). Psikologi wanita : Mengenal
wanita sebagai ibu dan nenek. Jilid 2. Bandung : Mandar Maju
Kartono, K. (2006). Psikologi wanita (Jilid 1) :
Gadis remaja dan wanita dewasa. Bandung : Alumni Penerbit
Mappiare, A. (1983). Psikologi orang dewasa.
Surabaya : Usaha Nasional Milgram, S. (1992). The individual in social
world. New York : Mc Graw Hill Moleong, J. L. (2000). Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Pelokang, J. R. (2008). Altruisme tidak ada yang
ambigu. Dalam http://72.14.235.104/search?q=cahce:GIMTCFGQr28J:dotadotkom.multiply.com/journal+altruisme+di+pemukiman+mewah&hl=id&ct=clnk&cd+2&gl=id 26 Februari 2008
Peplau, L & Perlman, D. (1982). Loneliness : A
sourcebook of cerrent theory, research and theory. New York : Wiley
Poerwandari, K. (1998). Pendekatan kualitatif
untuk penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengetahuan dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia
Puspita, S. Y. (1998). Kesejahteraan subjektif
pada ibu rumah tangga dan ibu bekerja di jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Universitas Indonesia
Riyanti, B. P. D & Prabowo, H. (1998).
Psikologi umum 2. Jakarta : Universitas Gunadarma
Santoso, J. dkk. (2002). Sistem perumahan sosial
di indonesia. Jakarta : Center For Urban Studies (Pusat Studi Perkotaan). University Indonesia Esa Unggul
Saraswati, W. (2008). Altruisme, menolong
tanpa pamrih. Dalam 26 Februari 2008
Sarwono, S. W. (1999). Psikologi sosial :
individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta : Balai Pustaka
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial individu
dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta : Balai Pustaka
16
Sears, dkk. (1994). Psikologi sosial. Alih bahasa : Michael Adryanto. Edisi ke lima Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Silas, J. (1986). Pengertian perumahan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum Depertemen Pekerjaan Umum. Jurnal penelitian pemukiman. Vol. II no.2.
Soekanto, S. (1987). Sosiologi suatu pengantar.
Jakarta : CV Rajawali