07-widy03-Agroteksos2.pdf

6

Click here to load reader

Transcript of 07-widy03-Agroteksos2.pdf

  • Agroteksos Vol.17 No.2 Agustus 2007

    123

    KADAR KARAGENAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii STRAIN MAUMERE DAN TEMBALANG PADA BEBERAPA UMUR PANEN DI MULUK LOMBOK TENGAH

    CARRAGEENAN CONTENT OF THE TWO STRAINS OF SEAWEED Eucheuma cottonii, MAUMERE AND TEMBALANG, AT SEVERAL HARVESTING TIMES

    IN MALUK, CENTRAL LOMBOK

    Sri Widyastuti

    Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilakukan untuk menentukan saat panen rumput laut Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Maumere yang ditanam dengan metoda patok di Muluk Lombok Tengah. Rumput laut Eucheuma cottonii strain Maumere dan Tembalang dipanen secara berkala pada hari ke 7, 21 dan 45 HST (hari setelah tanam) dari rumput laut yang ditanam dengan metode patok selama periode 45 HST. Pertumbuhan ditentukan dengan mengukur berat basah, berat kering dan penyusutan berat biomasa dari hasil panen tersebut. Setiap sampel kemudian dianalisis kadar karaginannya dengan metode pengendapan isopropanol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan metoda patok tersebut, strain Maumere tumbuh lebih baik dibandingkan dengan strain Tembalang. Selain itu, strain Maumere juga mengandung karaginan dengan kadar yang lebih tinggi bila dibandingan dengan strain Tembalang. Berdasar berat biomasa rumput laut dan kadar karaginan, maka saat panen untuk kedua strain disarankan dilakukan pada 45 HST.

    ABSTRACT

    The study was aimed at determining harvest time for strain Tembalang and Maumere of Eucheuma cottonii cultivated using a Bottom line method in Muluk Central Lombok. The seaweeds were harvested periodically at 7, 21 and 45 days after planting (DAP) from seaweeds grown during a period of 45 days. The growth was measured as fresh weight, dried weight, and weight loss during drying of the harvested seaweeds. The carrageenan content was estimated using isopropanol precipitation. Results showed that the Maumere strain grew better than that of Tembalang. In addition, the former also contained higher carrageenan than the later. Based on the biomass weight and carageenan content, it is recommended to harvest the both strain at least at 45 days DAP. ___________________

    Kata kunci: Eucheuma cottonii, strain Maumere, strain Tembalang, waktu panen dan kadar karaginan. Keywords: Eucheuma cottonii, Maumere, Tembalang, harvest time and carageenan content.

    PENDAHULUAN

    Indonesia memiliki luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2 yang dibatasi oleh pantai sepanjang 81.000 km2. Sampai saat ini, luas perairan laut yang sudah dimanfaatkan sekitar 2,2%, dengan total produksi sekitar 300.000 ton berat kering (Dahuri, 2003). Kondisi inilah yang menyebab-kan Indonesia menjadi negara penyuplai rumput laut urutan keenam setelah China, Chili, Jepang, Filipina dan Korea Selatan, meskipun negara-negara tersebut memiliki luas pantai potensial untuk budidaya rumput lebih sempit diban-dingkan dengan Indonesia.

    Perairan laut Indonesia memiliki keaneka-ragaman hayati yang demikian tinggi, sebagai konsekuensi dari posisinya yang berada di daerah khatulistiwa, sehingga tidak mengheran-kan Indonesia dijuluki sebagai negara mega-

    diversitas (Dwiono, 2005). Berdasarkan hasil ekspedisi Sibolga menunjukkan bahwa telah ditemukan sekitar 555 spesies rumput laut yang tumbuh di perairan laut Indonesia (Fascarini dan Prakash, 1990; Huda, 2002; Cristian dan Eddison, 2005; Anonim, 2006; Wanda dan Admaja, 2006). Spesies-spesies baru juga terus dilaporkan para peneliti setiap tahunnya. Sebagai contoh, telah dilaporkan sekitar 69 spesies rumput laut yang tumbuh di perairan laut Nusa Tenggara Barat (Sunarpi et al., 2006). Spesies-spesies rumput laut tersebut diketahui sebagai penghasil karaginan (Ramadani, 2007), agar-agar (Yuniawati, 2007) atau alginat (Kusmiawati, 2008). Ketiga senyawa hidro-koloid tersebut dipahami sebagai bahan baku penting berbagai industri, seperti industri pangan, kesehatan, cat dan kosmetik. Hal inilah

  • Sri Widyastuti: Kadar Karagenan

    124

    yang menyebabkan rumput laut memiliki nilai ekonomis tinggi karena memiliki pasar yang luas, baik regional, nasional bahkan inter-nasional.

    Pembudidaya rumput laut di daerah NTB sebagian besar menanam rumput laut Eucheuma cottonii, spesies rumput laut penghasil karaginan (karaginofit) (Anonim, 2002, 2005; 2006; Aslan, 191, 1998; Bold dan Wynne, 1985; Buntaran dan Supriadi, 2005). Strain lokal, baik yang berwarna hijau atau coklat (Tembalang) telah ditanam oleh petani di daerah ini dalam kurun waktu yang panjang. Dalam upaya untuk menaikkan produksi rumput laut di daerah ini, pemerintah daerah telah mengintroduksi strain Maumere yang didatangkan dari daerah Maumere Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian, penanaman strain baru ini masih terbatas pada beberapa lokasi di daerah ini, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami kesesuaian lokasi dan sistem tanam strain tersebut. Hasil penelitian sebe-lumnya menunjukkan bahwa pertumbuhan strain Maumere yang ditanam dengan metode rakit cukup baik di teluk Gerupuk Lombok Tengah (Widyastuti, 2008).

    Dalam rangka untuk memperluas areal tanam strain Maumere, perlu dilakukan uji coba di lokasi dengan metode tanaman yang berbeda. Artikel ini melaporkan kadar karaginan Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Maumere selama pertumbuhannya, yang ditanam dengan metode lepas dasar (patok) di Muluk Lombok Tengah, suatu lokasi yang kondisi lingkungannya berbeda dengan ling-kungan perairan laut Gerupuk Lombok Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strain Maumere tumbuh lebih baik dengan kadar karaginan lebih tinggi dari strain Tembalang saat ditanam dengan metode patok di Muluk Lombok Tengah. Selain itu, data memberikan implikasi bahwa kedua strain tersebut sebaiknya dipanen setelah berumur 45 HST.

    METODE PENELITIAN

    Waktu dan Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 27 Juni sampai dengan 10 Agustus 2007. Penelitian lapang yang merupakan budidaya rumput laut berlangsung dengan sistem patok di Muluk kabupaten Lombok Tengah. Sampel rumput laut yang dikoleksi di lapang dianalisis kadar karaginannya di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

    Penanaman rumput laut

    Dalam percobaan ini, rumput laut ditanam dengan metode lepas dasar (patok) sesuai diagram yang ditunjukkan pada Gambar 1. Setiap unit lepas dasar berukuran 10x10 m atau 100 m2. Jarak antar satu tali dengan tali lainnya adalah 2,5 m. Penanaman bibit seberat 100 gram ditanam pada tali dengan jarak 20x20 cm. Karena itu, pada setiap unit lepas dasar terdapat 250 ikat bibit, yang setiap ikatnya terdapat 100 gram bibit. Mengingat dalam percobaan ini terdapat sebanyak sepuluh unit lepas dasar, maka dalam percobaan ini terdapat 2500 ikat bibit yang dijadikan populasi sampling.

    Pengambilan sampel rumput laut

    Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing pada umur 7, 21 dan 45 hari setelah tanam. Sampel diambil pada satu titik sampling pada setiap unit lepas dasar pada setiap kali pengambilan sampel. Karena itu, mengingat terdapat sepuluh unit lepas dasar, maka diambil sepuluh sampel pada setiap kali pengambilan sampel. Setiap sampel yang telah dikoleksi langsung ditimbang berat basahnya. Setelah itu, sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60 oC sampai didapatkan berat yang konstan, sehingga berat kering sampel ditentukan saat sampel telah mencapai berat konstan. Dengan demikian, berat basah dan berat kering sampel merupakan nilai rata-rata dari sepuluh nilai ulangan sampel.

    Pengukuran kualitas air lokasi budidaya rumput laut

    Pengukuran kualitas air dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat 0 dan 30 hari setelah tanam (HST). Parameter kualitas air yang diukur adalah COD (mg/L), BOD (mg/L), NO3 (mg/L), N (mg/L), P (mg/L), K (mg/L), Salinitas (%), pH, dan Suhu (0C). Pengukuran kadar air tersebut dilakukan sesuai metode gravimetri (Sudarmadjo,1984).

    Analisis kadar karagenan rumput laut

    Kandungan rumput laut yang dianalisis adalah kadar karaginan. Analisis ini dilakukan pada setiap umur panen yang telah ditetapkan untuk kedua strain rumput laut yang digunakan pada percobaan ini, yaitu Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Maumere. Analisis kadar keragenan pada sampel dilakukan dengan metode pengendapan isopropanol sesuai pro-sedur Syamsuar (2006). Secara diagramatis proses ekstraksi karaginan dari sampel rumput laut dapat dilihat pada Widyastuti (2008).

  • Agroteksos Vol.17 No.2 Agustus 2007

    125

    Gambar 1. Desain lepas dasar (bottom method) untuk budidaya Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Eucheuma cottonii strain Maumere di Muluk.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kondisi lingkungan tumbuh perairan laut Muluk Lombok Tengah

    Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan pada hari ke 0 dan 30 HST pada perairan laut Muluk dapat ditunjukkan pada tabel 1. Parameter lingkungan selama percobaan relatif konstan. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya perbedaan yang yang menyolok hasil pengukuran parameter lingkungan pada umur 0 dan 30 HST (Tabel 1). Bila dibandingkan dengan hasil pengukuran parameter lingkungan di teluk Gerupuk pada waktu yang sama (Widyastuti, 2008), maka kadar N, P, dan K di perairan Muluk sedikit lebih rendah. Namun demikian, parameter lain nampaknya tidak ada perbedaan antara kedua lingkungan perairan tersebut. Dengan demikikian dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan tumbuh di perairan laut Muluk mendekati kondisi optimal untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii.

    Biomassa rumput laut Eucheuma cottonii varietas Tembalang dan Maumere

    Pertumbuhan rumput laut dalam percobaan ini diukur dengan menimbang berat rumput laut saat panen, yang dilanjutkan dengan pengukuran

    berat kering rumput laut pada kondisi berat kering konstant. Selain itu, untuk mengetahui penyusutannya, maka ditentukan berat susutnya yang merupakan selisih berat basah dengan berat kering sesuai prosedur Sitompul dan Bambang (1995). Ketiga parameter tersebut diukur secara periodik pada umur 7, 21 dan 45 HST untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan rumput laut selama periode pertumbuhan 45 HST. Pengukuran parameter dengan interval dua minggu, disesuaikan dengan masa surutnya air laut, yaitu setiap dua minggu sekali.

    Tabel 1. Kondisi lingkungan tumbuh perairan laut Muluk Lombok Tengah

    Kondisi Lingkungan Perairan Muluk pada hari ke Parameter Lingkungan 0 HST 30 HST

    COD (mg/L) 0,50 0,53 BOD (mg/L) 0,23 0,21 NO3 (mg/L) 0,01 0,02

    P (mg/L) 0,02 0,04 K (mg/L) 2153 2151

    Salinitas (%) 30 31 Suhu 20 19 pH 7,2 7,1

  • Sri Widyastuti: Kadar Karagenan

    126

    Berat basah rumput laut E. cottonii Maumere dan E. cottonii Tembalang yang ditanam dengan metode patok di Perairan

    Muluk

    50

    150

    250

    350

    450

    7 21 45Umur (hari)

    Bera

    t (g) E. cottonii Maumere

    E. cottonii Tembalang

    Gambar 1. Berat basah rumput laut jenis

    Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Eucheuma cottonii strain Moumere yang ditanam dengan metode patok di perairan laut Muluk Lombok Tengah pada umur panen 7, 21 dan 45 HST. Data pada setiap titik merupakan rata-rata dari sepuluh ulanganSE.

    Data pada Gambar 1 menunjukkan pola pertumbuhan rumput yang cukup jelas, baik untuk strain Tembalang, maupun untuk strain Maumere. Sejak saat tanam sampai dengan umur 21 HST merupakan masa pertumbuhan cepat rumput laut kedua strain tersebut, dan setelah umur 21 HST sampai dengan akhir percobaan, pertumbuhan rumput laut lambat bahkan stagnan tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Fenomena pertumbuhan tersebut, tentunya berbeda dengan pertumbuhan kedua strain tersebut yang ditanam dengan metode rakit di teluk Gerupuk Lombok Tengah (Widyastuti, 2008), dimana pada lokasi tersebut kedua strain masih menunjukkan pertumbuhan yang linear sampai umur 45 HST.

    Pertumbuhan rumput laut selama peiode 45 HST, kedua strain menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Sebagai contoh, berat basah strain Tembalang jauh lebih rendah dari berat basah strain Maumere. Pola yang sama juga diamati pada parameter berat kering rumput laut (Gambar 2). Data pada gambar 2 bahkan menunjukkan bahwa strain Tembalang tidak mengalami perubahan selama percobaan.

    Data penyusutan berat rumput laut menunjukkan pola yang sama dengan data berat basah dan berat kering (Gambar 3). Karena itu, gabungan ketiga data tersebut (Gambar 1-3) memberikan indikasi yang cukup kuat bahwa pertumbuhan E. Cottonii strain Maumere lebih baik dari pertumbuhan E. Cottonii strain Tembalang yang ditanam dengan metode patok

    di Muluk Lombok Tengah. Dengan kata lain, E. Cottonii strain Tembalang tidak dapat tumbuh dengan baik bila ditanam dengan metode patok di Muluk selama periode bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Fenomena tersebut berbeda dengan pertumbuhan strain tersebut bila ditanam dengan metode rakit di teluk Gerupuk Lombok Tengah (Widyastuti, 2008).

    Berat kering rumput laut E. cottonii Maumere dan E. cottonii Tembalang yang ditanam dengan metode patok di Perairan

    Muluk

    5

    15

    25

    35

    45

    55

    7 21 45Umur (hari)

    Bera

    t (g) E. cottonii Maumere

    E. cottonii Tembalang

    Gambar 2. Berat kering rumput laut jenis

    Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Eucheuma cottonii strain Maumere yang ditanam dengan metode patok di perairan laut Muluk pada umur panen 7, 21 dan 45 HST. Data pada setiap titik merupakan rata-rata dari sepuluh ulanganSE.

    Penyusutan berat rumput laut E. cottonii Maumere dan E. cottonii Tembalang yang ditanam dengan metode patok di Perairan

    Muluk

    50100150200250300350400

    7 21 45Umur (hari)

    Bera

    t (g) E. cottonii Maumere

    E. cottonii Tembalang

    Gambar 3. Penyusutan berat rumput laut jenis

    Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Eucheuma cottonii strain Maumere yang ditanam dengan metode patok di perairan laur Muluk Lombok Tengah pada umur panen 7, 21 dan 45 HST. Data pada setiap titik merupakan rata-rata dari sepuluh ulanganSE.

  • Agroteksos Vol.17 No.2 Agustus 2007

    127

    Berbeda dengan strain Tembalang, strain Maumere tumbuh lebih baik (Gambar 1-3). Saat tanaman berumur 7 HST, kedua strain rumput laut menunjukkan pertumbuhan yang sama. Namun demikian, pengamatan pada hari ke 21-45 HST, pertumbuhan strain Maumere jauh lebih baik dibandingkan dengan strain Tembalang. Sebagai gambaran, pada akhir percobaan, berat kering strain Maumere sekitar 35% lebih tinggi bila dibandingkan dengan berat kering strain Tembalang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa strain Maumere lebih cocok tumbuh dengan metode patok di perairan laut Muluk kabupaten Lombok Tengah.

    Kadar Karaginan rumput laut jenis Eucheuma cottonii strain Tembalang dan strain Maumere

    Sebaimana halnya data pertumbuhan, maka deposisi karaginan selama pertumbuhan kedua strain tersebut di Muluk Lombok Tengah mengikuti pola pertumbuhan (kombinasi gambar 1-3 dengan gambar 4). Selama periode 0-21 HST, penimbunan karaginan pada kedua strain rumput laut tersebut relatif sama, dimana pada keduanya proses penimbunan berjalan lambat (Gambar 4). Namun demikian, setelah periode tersebut, penimbunan karaginan cendrung berjalan lebih cepat, bahkan masih menunjukkan peningkatan penimbunan karaginan secara linier sampai akhir percobaan, saat kedua strain tersebut berumur 45 HST.

    Total karaginan E. cottonii Maumere dan E. cottonii Tembalang yang ditanam dengan metode patok di

    Perairan Muluk

    1

    6

    11

    16

    21

    26

    31

    36

    7 21 45

    Umur (hari)

    Bera

    t (g) E. cottonii Maumere

    E. cottonii Tembalang

    Gambar 4. Kadar karaginan rumput laut jenis

    Eucheuma cottonii strain Tembalang dan Eucheuma cottonii strain Maumere yang ditanam dengan metode patok di perairan laur Muluk Lombok Tengah pada umur panen 7, 21 dan 45 HST. Data pada setiap titik merupakan rata-rata dari sepuluh ulanganSE.

    Bila dibandingkan deposisi karaginan kedua strain tersebut, maka strain Maumere menimbun karaginan dengan kadar lebih tinggi bila dibandingkan dengan strain Tembalang, khususnya selama periode pertumbuhan 21-45 HST. Sebagai gambaran, kadar karaginan strain Maumere pada periode 21-45 HST sekitar 31% lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar karaginan strain Tembalang. Hal ini memberikan indikasi bahwa strain Maumere yang ditanam dengan metode patok di Muluk mampu menimbun karaginan dengan kadar yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan strain Tembalang. Fenomena tersebut nampaknya konsisten dengan yang dilaporkan sebelumnya untuk strain yang sama dan ditanam dengan metode rakit di teluk Gerupuk Lombok Tengah (Widyastuti, 2008).

    Fenomena yang ditunjukkan pada gambar 1-4 memberikan gambaran yang cukup kuat bahwa kedua strain rumput laut tersebut sebaiknya dipanen setelah berumur 45 HST, bahkan lebih dari umur tersebut, mengingat data berat kering dan penimbunan karaginan masih menunjukkan peningkatan secara linear pada umur 45 HST. Hal ini penting untuk dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan produk rumput dengan berat kering yang cukup, dan kadar karaginan yang tinggi, mengingat saat tersebut terjadi penim-bunan karaginan dengan kadar maksimal.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pemba-

    hasan yang telah dilakukan maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain: (1). Eucheuma cottonii strain Maumere yang ditanam dengan metode patok di perairan laut Muluk menunjukkan berat basah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Eucheuma cottonii strain Tambalang; dan fenomena yang sama terjadi untuk penyusutan berat. (2). Berat kering rumput laut Eucheuma cottonii strain Maumere yang ditanam dengan metode patok lebih tinggi dari berat kering E. Cottonii strain Tembalang. (3). Kadar karaginan Eucheuma cottonii strain Maumere 31% berat kering, lebih tinggi dari kadar karaginan Eucheuma cottonii strain Tembalang yang hanya mencapai 12%.

    Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

    mengkarakterisasi karagenan yang dihasilkan oleh kedua strain tersebut.

  • Sri Widyastuti: Kadar Karagenan

    128

    DAFTAR PUSTAKA

    Abidin, G., 2005, Analisa kekerabatan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Varietas Hijau dan Coklat Menggunakan Metode Random Amplified Polymorphic DNA, Publikasi Ilmiah, Program Pascasarjana,Universitas Brawijaya, Malang.

    Anonim, 2002, Membuat Batik Dari Rumput Laut Khas Indonesia, Suara Pembaruan, Minggu 28 April 2002.

    Anonim, 2006, Perdagangan Rumput Laut, http://www.dkp.go.id/ content.php? c=2593 diakses tanggal 22 Maret 2006 pukul 09:49 WITA.

    Aslan, L.M., 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanasius. Yogyakarta

    Aslan, L.M., 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

    Bold, H.C and Wynne, M.J., 1985. Introduction to Alga. Prentice Hall Inc. USA.

    Buntaran dan Supriadi, 2005, Pembudidayaan dan Pemasyarakatan Produksi Bibit Rumput Laut Jenis E.cottonii dan E. spinosum., Loka Budidaya Laut Lombok. Gerupuk.

    Cristian, R. B. and Eddison J.P, 2005. Introduction of non-native Species of Kappaphycus (Rhodophyta, Gigartinales) insubtropical water comparative analysis of growth rate of Kappaphycus alvarezii and Kappaphycus striatum, in vitro and in the sea in south eastern Brazil. Journal Phycologycal. Vol 53.

    Dahuri R, 2003, Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Indonesia, Grfindo Jakarta.

    Dwiono Sigit A.P., 2005, Keanekaragaman Hayati Laut Dan Peluang Penelitiannya Di Indonesia, Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional IKA HIMBI Lautku Masa Depanku. Mataram 5 Desember 2005.

    Foscarini, R. & Prakash, J., 1990. Hand Book of Eucheuma Seaweeds Cultivation in Fiji.

    Ministery of prymery industries fisheries Division and South Pacific aquaculture development project food and agriculture organization of the united nation.

    Huda, 2002, Budidaya Rumput Laut Eucheuma sp dan Gracilaria sp (diktat mata kuliah teknik budidaya air laut), Akademi Perikanan Sidoarjo, Sidoarjo.

    Indriani, H., Sumiarsih, E., 1995. Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.

    Kusmiawati, L.., 2008. Kadar alginat makroalga yang tumbuh di perairan laut Lombok. Skripsi S1 PS Biologi FMIPA Unram. Mataram.

    Ramadani, S., 2007. Kadar karaginan makroalga yang tumbuh di perairan laut Lombok. Skripsi S1 PS Biologi FMIPA Unram. Mataram.

    Sitompul dan Bambang, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Pres. Yogyakarta.

    Sudarmadji, S., Haryono, dan Suhardi, 1984. Prosedur Analisis UntukTanaman Pangan Dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

    Sunarpi, Jupri, A, dan Suripto, 2006. Keragaman Genetik Rumput Laut Yang Tumbuh Di Perairan Laut Nusa Tenggara Barat. Laporan Penelitian Balai Budidaya Laut. Stasiun Sekotong.

    Syamsuar, 2006. Karakteristik karaginan rumput laut E. Cottonii pada berbagai umur panen, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. Tesis Pasca Sarjana. IPB Bogor.

    Widyastuti, S., 2008. Kadar karaginan rumput laut Eucheuma cottonii strain Maumere da Tembalang pada berbagai umur panen di teluk Gerupuk Lombok Tengah. Jurnal Lemlit (in press)

    Yuniawati., 2007. Kadar agar makroalga yang tumbuh di perairan laut Lombok. Skripsi S1 PS Biologi FMIPA Unram. Mataram.