000 FIX
-
Upload
supak-silawani -
Category
Documents
-
view
49 -
download
6
Transcript of 000 FIX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Goiter disebut juga struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid yang dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien
yang kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi
hormon (hipetiroidisme).1,2
Jika kelenjar kurang aktif memproduksi hormon, terjadilah defisiensi
hormon. Begitu juga jika terlalu aktif, hormon yang dihasilkan akan
berlebihan. Dua kondisi ketidaknormalan ini memicu perbesaran kelenjar
yang hasil akhirnya antara lain penyakit gondok.2,3
Dampak goiter terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang
besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan
disfagia.2,4
Goiter diantaranya disebabkan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) yang merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia, dan
tersebar hampir di seluruh provinsi. Pada saat ini Indonesia diperkirakan
sekitar 42 juta penduduk tinggal didaerah yang lingkungannya miskin
iodium, dari jumlah ini 10 juta penderita gondok, 750.000 – 900.000
menderita kretin endemic dan 3,5 juta menderita GAKI lainnya. Pada tahun
1998 diperkirakan 8,2 juta penduduk tinggal didaerah endemic sedang dan
8,8 juta tinggal didaerah endemic berat.5,6
1
Pengaruh negatif GAKI terhadap kelangsungan hidup manusia dapat
terjadi sejak masih dalam kandungan, setelah lahir sampai dewasa. GAKI
yang terjadi pada ibu hamil mempunyai resiko terjadinya abortus, lahir mati,
cacat bawaan. Hal yang sangat menghawatirkan adalah akibat negatif pada
susunan saraf pusat, karena berpengaruh terhadap kecerdasan dan
perkembangan sosial masyarakat dikemudian hari.5,6
Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua
terbesar setelah diabetes melitus. Struma difusa toksik (Graves disease)
merupakan penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh
Plummer’s disease, dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan
40% karena Plummer’s disease. 7
Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999
diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka
kejadian hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar
antara 44,44% – 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar
gondok.7
Berdasarkan uraian di atas penulis ingin membahas lebih dalam mengenai
goiter.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi goiter?
2. Bagaimana epidemiologi goiter?
3. Apa etiologi goiter?
4. Bagaimana patofisiologi goiter?
5. Apa manifestasi klinis goiter?
6. Apa data penunjang goiter?
7. Bagaimana penatalaksanaan goiter?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi goiter
2. Untuk mengetahui epidemiologi goiter
3. Untuk mengetahui etiologi goiter
4. Untuk mengetahui patofisiologi goiter
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis goiter
2
6. Untuk mengetahui data penunjang goiter
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan goiter
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus
tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat
kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang
dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. Kapsul fibrosa menggantungkan
kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan
selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan
dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan
dengan kelenjar tyroid atau tidak.8,9
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari : A. Tiroidea superior yang
merupakan cabang dari A. Carotis Externa, A. Tiroidea Inferior yang
merupakan cabang dari A. Subclavia, dan A. Tiroidea Ima yang merupakan
cabang dari Arcus Aorta. Sistem venanya berasal dari pleksus parafolikuler
yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan
inferior. Vena tiroidea superior berjalan bersama arteria tiroidea superior dan
berdrainase langsung ke dalam vena jugularis interna. Vena thyroidea media
terpisah dan berdrainase langsung ke dalam vena jugularis interna. Vena
tiroidea inferior mendrainase darah dari kutub bawah tiap lobus dan berjalan
ke vena brachicephalica dextra.8,9
Persarafan kelenjar tiroid:8
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens
(cabang N.vagus)
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya
pita suara terganggu (serak/stridor)
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang
4
tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan
sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar
tiroid.8,9
B. Embriologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.
Kelenjar tiroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu
pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan
faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul
divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami
desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring.1,9
C. Hormon Tiroid
a. Tahap-tahap pembentukan hormon tiroid : 10,11
1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+
ATPase.
2. Iodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar
tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I
hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini
melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi
dengan residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang
mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim
peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT
(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau
perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3
(triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim
tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone)
tetapi dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT)
akan tetap berada dalam sel folikel.
5
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke
dalam darah. Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim
deiodinase sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum
endoplasma dan kompleks golgi.
b. Mekanisme Kerja Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat mekanisme :4,11
1. Sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas
tirotropin hipotalamus (TRH) merangsang sintesis dan pelepasan
dari hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior (TSH), yang pada
gilirannya merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan oleh
kelenjar tiroid.
2. Deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari T4
dan T3.
3. Autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam
hubungannya dengan suplai iodinnya.
4. Stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor
TSH.
Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) merupakan suatu
tripeptida, piroglutamil-histidil-prolineamida, disintesis oleh neuron
dalam nuklei supraoptik dan supraventrikuler dari hipotalamus . Hormon
ini disimpan eminensia mediana dari hipotalamus dan kemudian diangkut
via sistem venosa portal hipofisis ke batang hipofisis ke kelenjar hipofisis
anterior, di mana ia mengendalikan sintesis dan pelepasan dari TSH.
TRH juga ditemukan pada bagian lain dari hipotalamus, otak, dan
medula spinalis, di mana ia berfungsi sebagai suatu neurotransmiter. Gen
untuk preproTRH mengandung suatu unit transkripsi 3.3-kb yang
menyandi enam molekul TRH. Gen ini juga menyandi neuropeptida lain
yang secara biologik kemungkinan bermakna. Pada kelenjar hipofisis
anterior, TRH berikatan dengan reseptor membran spesifik pada tirotrop
6
dan sel pensekresi-prolaktin, merangsang sintesis dan pelepasan TSH
maupun prolaktin. Hormon tiroid menyebabkan suatu pengosongan
lambat dari reseptor TRH hipofisis, mengurangi respons TRH; estrogen
meningkatkan reseptor TRH, meningkatkan kepekaan hipofisis terhadap
TRH.4,10,11
Gambar . Hubungan TRH,
TSH, dan hormon tiroid
TSH mempunyai banyak aksi pada sel tiroid. Sebagian besar dari
aksinya diperantarai melalui sistem G protein-adenilil siklase-cAMP,
tetapi aktivasi dari sistem fosfatidilinositol (PIP2) dengan peningkatan
dair kalsium 14 intraselular dapat juga terlibat). Aksi utama dari TSH
termasuk yang berikut ini :4,10
a) Perubahan Morfologi Sel Tiroid : TSH secara cepat menimbulkan
pseudopod pada batas sel-koloid, mempercepat resorpsi tiroglobulin.
Kandungan koloid berkurang. Tetesan koloid intraselular dibentuk
dan pembentukan lisosom dirangsang, meningkatkan hidrolisis
tiroglobulin .
7
b) Pertumbuhan Sel : Masing-masing sel tiroid bertambah ukurannya;
vaskularisasi meningkat; dan setelah beberapa waktu, timbul
pembesaran tiroid, atau goiter.
c) Metabolisme Iodin : TSH merangsang semua fase metabolisme
iodida, dari peningkatan ambilan dan transpor iodida hingga
peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon
tiroid. Peningkatan dari cAMP memperantarai peningkatan transpor
iodida, sementara hidrolisa PTP2 dan peningkatan Ca2+ intraselular
merangsang iodinasi dari tiroglobulin. Efek TSH terhadap transpor
iodida adalah bifasik : Pada awalnya terdepresi (effluks iodida); dan
kemudian, setelah suatu kelambatan beberapa jam, ambilan iodida
meningkat. Efluks dari iodida dapat disebabkan oleh peningkatan
yang cepat dari hidrolisis tiroglobulin dengan pelepasan hormon dan
keluarnya iodida dari kelenjar.
d) Peningkatan mRNA untuk tiroglobulin dan peroksidase tiroidal,
dengan suatu peningkatan pemasukan I ke dalam MIT, DIT, T3 dan
T4.
e) Peningkatan aktivitas lisosomal, dengan peningkatan sekresi T4 dan
T3 dari kelenjar. Juga terdapat peningkatan aktivitas deiodinase-5'
tipe 1, memelihara iodin intratiroid.
f) TSH mempunyai banyak efek lain terhadap kelenjar tiroid, termasuk
stimulasi dari ambilan glukosa, konsumsi oksigen, produksi CO2,
dan suatu peningkatan dari oksidase glukosa via lintasan
heksosemonofosfat dan siklus Krebs. Terdapat suatu percepatan
penggantian fosfolipid dan perangsangan sintesis prekursor purin
dan pirimidin, dengan peningkatan sintesis DNA dan RNA.
c. Pengangkutan Hormon Tiroid
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat
lipofilik secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang
dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak
terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa hanya
8
hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel
sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.10
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon
tiroid :4,10,11
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat
55% T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone
lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35%
T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4,
walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten
daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian
dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu
yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari
sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan
perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara
biologis aktif di tingkat sel
d. Efek Fisiologi Hormon Tiroid
Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan berikut ini :
1. Efek pada Perkembangan Janin
Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada
janin manusia sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak
mengkonsentrasikan 12 I. Karena kandungan plasenta yang tinggi dari
deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi
dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai
sirkulasi janin. Dengan demikian, janin sebagian besar tergantung
pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah pertumbuhan janin
terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak
dan pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan kretinisme
(retardasi mental dan dwarfisme/cebol).
9
2. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan
Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian
melalui stimulasi Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak,
lien, dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan kecepatan
metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat istirahat)
dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme.
Hormon tiroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida,
menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion
superoksida. Hal ini dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu
dari hipertiroidisme kronik.
3. Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat miosin dan
menghambat rantai berat miosin, memperbaiki kontraktilitas otot
jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam
retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi diastolik jantung;
mengubah isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan meningkatkan
reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein G. Dengan demikian,
hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata
terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung
dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan
kebalikannya pada hipotiroidisme.
4. Efek Simpatik
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta
dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit.
Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di
samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada
tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap
katekolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi
dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat membantu
dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.
5. Efek Hematopoetik
10
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan
eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena
hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid
meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan
peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan
O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada
hipotiroidisme.
6. Efek Neuromuskuler
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari
banyak protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan
penggantian protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini
dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu
peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik
diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau sebaliknya
pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan
fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada
hipertiroidisme serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat
mencolok.
7. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan
glikogenolisis hati demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan
demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes melitus
primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh
hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh
suatu peningkatan dari reseptor low-density lipoprotein (LDL) hati,
sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang
berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan
gliserol. Sebaliknya, kadar kolesterol meningkat pada hipotiroidisme.
8. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang,
meningkatkan resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil,
11
pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat
menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat,
hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium.
D. Definisi Goiter
Goiter adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Pembesaran ini dapat
terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan
hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon
(hipetiroidisme).1,2
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada dibawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter
atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat
mengakibatkan kompresi pada trakea.2,3
Hipotiriodisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Hipertiroid
didefinisikan sebagai respon jaringa-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolisme hormon tiroid yang berlebihan.2,3
E. Klasifikasi Goiter
Menurut American Society for Study of Goiter membagi :12
1. Goiter Nodusa Non Toksik
2. Goiter Diffusa Non Toksik
3. Goiter Diffusa Toksik
4. Goiter Nodusa Toksik
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma
difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat
12
nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu,
baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa.12
1. Goiter Nodusa Non Toksik
Struma nodosa nontoksik merupakan struma nodosa tanpa disertai
tanda- tanda hipertiroidisme. Pada penyakit struma nodosa nontoksik
tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara
difus dan permukaan licin. Pembesaran kelenjar tiroid ini bukan
merupakan proses inflamasi atau neoplastik dan tidak berhubungan dengan
abnormalitas fungsi tiroid.12
a) Epidemiologi
Perbandingan struma nodosa pada perempuan dan laki –laki
adalah 5-10 : 1. Struma nodosa endemik terjadi pada 10% populasi
suatu daerah. Sedangkan struma nodosa yang bersifat sporadik
disebabkan oleh multifaktor seperti lingkungan dan genetik dan tidak
melibatkan populasi umum.
Struma endemis biasanya timbul pada masa kanak – kanak.
Struma sporadik karena penyebab lain jarang terjadi sebelum pubertas
dan tidak memiliki usia insiden puncak. Struma multinodosa biasanya
terjadi pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan bagian yang
berinvolusi.
b) EtiologiPenyebab paling banyak dari struma non toksik adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma
yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toksik
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :2,3,13
1) Kekurangan iodium: Defisiensi iodin merupakan penyebab
terbanyak struma nontoksik endemik maupun sporadik..
Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang
kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah
kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
13
2) Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada
preexisting penyakit tiroid autoimun.
3) Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative
dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis,
lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet,
singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4) Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon
kelejar tiroid
5) Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa
kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna
c) PatofisiologiStruma yang terjadi akibat kekurangan iodium yang dapat
menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga
terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis
anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH
dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel
tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke
dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah
besar.2,3,14
Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa
nontoksik adalah respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen
dalam satu kelenajr tiroid pad tiap individu. Dalam satu kelenjar tiroid
yang normal, sensitivitas sel-sel dalam folikel yang sama terhadap
stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain ( IGF dan EGF ) sangat
bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa
stimulasi TSH dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat
bereplikasi. Sel- sel akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat
yang sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang tinggi ini tidak
14
tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga lama –kelamaan
tumbuh bernodul –nodul.4,13,14
Aktivitas fungsional sel –sel folikular juga sangat bervariasi. Sel –
sel autonom dapat mengambil dan mensintesis iodin tanpa bantuan
TSH. Sel –sel ini akan mensintesis tiroglobulin ( termasuk T4 dan T3)
dan memiliki aktivitas endositotik. Ketidakseimbangan antara sintesis
tiroglobulin dan aktivitas endositotik ini menyebabkan pertumbuhan
nodul yang bervariasi. Penyebab dari munculnya sel –sel autonom ini
kemungkinan disebabkan karena adanya mutasi pada reseptor TSH sel
folilkular.4,12,13
2. Goiter Diffusa Non Toksik
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah
pembesaran yang tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa
ditemukan dengan sifat non-toksik (fungsi tiroid normal), oleh karena itu
bentuk ini disebut juga goiter simpel.12
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik
dan involusi koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar
secara difus dan simetris, walaupun pembesarannya tidak terlalu besar
(hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi oleh sel kolumner yang
banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan
kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel
sehingga terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya
secara makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen, sementara
secara histologis akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel
epitelnya gepeng dan kuboid.12
Etiologi struma difusa nontoksik diantaranya :2,3,4
1) Defisiensi Iodium
2) Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3) Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium,
dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
15
4) Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi
hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-
stimulating immunoglobulin
5) Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6) Terpapar radiasi
3. Goiter Diffusa Toksik
Struma diffusa toksik (tirotoksikosis) merupakan hipermetabolisme
karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan
dalam darah. Penyebab tersering adalah penyait Grave (gondok
eksoftalmik/exopthalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan di antara hipertiroidisme lainnya.2,3,15
a) Epidemiologi
Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun
1999 diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia.
Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di
Indonesia berkisar antara 44,44% – 48,93% dari seluruh penderita
dengan penyakit kelenjar gondok. Diantara pasien-pasien dengan
hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit grave. Insidensi tiap tahun
pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi
pada usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10
pada laki-laki maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada
anak-anak. Prevalensi penyakit grave sama pada orang kulit putih dan
Asia, dan lebih rendah pada orang kulit hitam. 2
b) Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini
berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel
tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit
16
Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki
manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre,
oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy.2,15
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana
15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan
penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita
penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya.
Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan
pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi
terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.3,4,15
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor
imunologis, infeksi, faktor trauma psikis, penurunan berat badan
secara drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum,
kromosom X, dan radiasi eksternal.2,3,4,15
1) Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi
secara mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik.
Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan pengelompokkan
penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya dalam
beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg,
respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang
ditemukan. Predisposisi untuk penderita penyakit gaves diturunkan
lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan
dalam penyakit graves. Pertama gen dari HLA, yang kedua gen
yang berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy
chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan
erat terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3
sedangakan pada orang Jepang HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina
HLA-BW 4 dan di Filipina seperti dilaporkan oleh Pascasio erat
dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.
17
Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut
mampu memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen
HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-
helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan
kemampuan limfosit B untuk membuat TSAb.
2) Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang
organ spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang
merangsang kelenjar tiroid (thyroid stimulating antibody atau
TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a) persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b) diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon
immunologic khusus
c) rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d) adanya cross reacting epitope
e) adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f) adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi
g) stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T
h) adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Keadaan normal sistem imun tidak bereaksi atau
memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri
yang disebut mempunyai toleransi imunologik terhadap komponen
diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi
terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut
autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi
terhadap komponen tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi
sempurna terjadi selama periode prenatal. Toleransi diri ini dapat
berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya
gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan faktor lain,
sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek secara tunggal
maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi dapat
18
menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya
seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.2,15
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated
response, yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya
mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi
antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell
Mediated Immunoglobulin).2,15
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena
TSAb. Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku
sebagai agonis TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP.
Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel tiroid.
Kecuali berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang
ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang berasal dari
hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini
mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi
hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi
bayi. Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6
bulan.
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum.
Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh:2,3,4,15
a) Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya
antibodi yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid.
Salah satu bahan yang banyak diteliti adalah organisme
Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini
mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien
dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi terhadap
anti-Yersinia.
b) Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan
normal komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH
berubah jadi antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus
bagi pembentukan TSAb.
19
c) Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang
selama dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk
membentuk TSAb harus dirangsang dan mengalami
diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-
menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan
kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan interleukin
atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves
adalah kondisi autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap
reseptor TSH. Penyakit graves adalah gangguan multifaktorial,
susceptibilitas genetik berinteraksi dengan faktor endogen dan
faktor lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini
HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti TNF-β, CTLA 4
(Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor TSH.
Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan
beberapa faktor infeksi.
3) Trauma Psikis
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru
menyebabkan konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH
terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid justru turun.
Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T
helper, meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya
penyakit graves. Baik stress akut maupun kronik menimbulkan
supresi sistem imun lewat non antigen specific mechanism, diduga
karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.
4) Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah
mengalami radioterapi daerah leher karena proses keganasan.
Secara teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar tiroid dan
menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta
menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek
20
bermacam-macam pada subset sel T, yang mendorong disregulasi
imun.
5) Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang
dihasilkan oleh jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan
suatu IgG, tetapi secara imunologik cross-react dengan TSH
manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unuit
alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG yang desialated.
Efek yang menyerupai efek TSH pun dikeluarkan oleh karsinoma
testis embrional (seminoma testis). Secara klinis gejala
tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4
dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau
hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila
muntahnya berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali
normal
c) Patofisiologi
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan
terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya
akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap
antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan
reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang
erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme
autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.2
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap
kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan
reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein
dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan
sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.2
21
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen
diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon
gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas
II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada
limfosit T.2,15
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik
(killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat
adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R
pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang
terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan
miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola
mata, proptosis dan diplopia.2,4,15
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat
stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang
akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans. 2
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan
perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat
banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin
diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor
katekolamin didalam otot jantung.2
d) Gambaran Klinis
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama
yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak.
Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-
gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan
aktifitas simpatis yang berlebihan. Manifestasi ekstratiroidal berupa
oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada
tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80%
pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar,
kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran
22
klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah hipertitoidisme,
goiter difus dan eksoftalmus.4,15
e) Tes Laboratorik
Kadar T3 dan T4 meninggi, ambilan yodium radio aktif biasanya
meningkat. Kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid
Stimulating Hormone Sensitif (TSHS) yang tak terukur atau jelas
subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukkan
hipertiroidisme. Pemeriksaan auto antibodi tiroid membantu untuk
membedakan penyakti autoimun dengan penyebab lain.15
4. Goiter Nodusa Toksik
Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung
nodul tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan
suatu keadaan hipertiroid.2,4,12
a) Epidemiologi
Struma nodular toksik lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria. Pada wanita dan pria berusia diatas 40 tahun, rata – rata
prevalensi nodul yang bisa teraba adalah 5 – 7 % dan 1 – 2 %.
Kebanyakan pasien struma nodular toksik berusia lebih dari 50 tahun.
Pada area endemik kekurangan iodium, struma nodular toksik
terjadi sekitar 40 % dari kasus hipertiroidism, 10 % berbentuk nodul
toksik yang solid (mononoduler/adenoma toksik) dan 30% berbentuk
multinoduler. Grave disease terjadi sekitar 58 % dari seluruh kasus
hipertiroidisme.
b) Etiologi dan Patogenesis
Fungsi otonomik dari kelenjar tiroid berhubungan dengan
kekurangan iodium. Berbagai variasi mekanisme , diantaranya :2,3,4,12
1) Keadaan yang menjurus pada struma nodular toksik
Defisiensi iodium berdampak pada penurunan kadar T4, yang
mencetus hyperplasia sel tiroid untuk mengkompensasi kadar T4
yang rendah. Peningkatan replikasi sel tiroid merupakan factor
predisposisi sel tunggal untuk mengalami mutasi somatic dari
reseptor TSH. Aktifasi konstitutif dari reseptor TSH bisa membuat
23
factor autokrin yang mempromosikan pertumbuhan yang
menghasilkan proliferasi klonal. Sel klon memproduksi nodul yang
multiple.
2) Mutasi Somatik dari reseptor TSH dan G α protein merubah
aktifasi konstitutif menjadi kaskade cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dari jalur inostol phosphate.
Mutasi ini terdapat pada fungsi otonomik nodul tiroid, solid
sampai pada kelenjar multinodul. Laporan frekuensi mutasi ini
bervariasi, sekitar 10 – 80 %. Insidensi tertinggi dilaporkan pada
pasien dengan defisiensi iodium.
3) Polimorphism dari reseptor TSH telah dilakukan penelitian pada
pasien dengan struma nodular toksik. Mutasi ini terdapat pada jalur
sel yang lain, indikasi mutasi germline. Salah satunya, D727E
memiliki frekuensi lebih besar pada pasien struma nodular toksik
dari orang yang sehat. Ini menunjukkan polymorphism mempunyai
hubungan dengan penyakit ini.
Kehadiran tahap heterozigot dari Varian D727E dari reseptor
TSH manusia tidak berhubungan langsung pada struma nodular
toksik. Sekitar 10 % dari individu yang sehat memiliki
polymorphism.
4) Mediator pertumbuhan yang terlibat diantaranya:
Produksi Endhotelin 1 (ET – 1) meningkat pada kelenjar
tiroid tikus yang mengalami hyperplasia, ini menunjukkan bahwa
produksi ET-1 melinatkan pertumbuhan kelenjar tiroid dan
vaskularisasinya. Kontras antara sel tiroid yang normal dengan
kanker papilari tiroid, jaringan tiroid pasien dengan struma nodular
toksik menunjukkan pewarnaan positif dari struma akan tetapi
negative pada sel folikular. Signifikansi dari temuan ini belum
jelas, akn tetapi ET-1 merupakan suatu vasokonstriktor, mitogen
dari vascular endothelium, sel otot polos dan sel folkular tiroid.
F. Penegakkan Diagnosis Goiter
1. Anamnesis
24
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa
berupa benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-
gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya
benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi
sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan,
gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada
tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu
juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah goiter. Sebaliknya jika
pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun
hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan
ada tidaknya benjolan di leher.3,4,16
Hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi pasien dengan
struma nontoksik adalah pola pertumbuhan struma, gejala obstruksi atau
kompresi (rasa tercekik di tenggorokan, suara serak, kesulitan menelan
kesulitan bernafas, disfagia), dan keluhan kosmetik. Sedangkan pada
struma toksik yang perlu diperhatikan gejala dan tanda hipertiroid.16
25
Indeks Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami
eutiroid, hipotiroid atau hipertiroid. 4
Tabel 1. Indeks Wayne
2. Pemeriksaan Fisik Tiroid
1) Inspeksi
a) Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan
kepala sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m.
26
Gejala subjektif Angka Gejala objektif Ada Tidak
Dispneu d’ effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruit diatas systole +2 -2
Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Suka panas -5 Lid retraksi +2 -
Suka dingin +5 Lid lag +1 -
Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Tangan panas -1 <80x/m - -3
Nafsu makan ↑ +3 80-90x/m -
Nafsu makan ↓ -3 >90x/m +3
BB ↑ -3 < 11 à Hipotiroid
11-18 à normal
> 19 à hipertiroid
BB ↓ +3
Fibrilasi atrium +3
Jumlah
sternokleidomastoideus relaksasi sehingga kelenjar tiroid mudah
dievaluasi.
b) Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan
beberapa komponen berikut:
c) Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
d) Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
e) Jumlah: uninodusa atau multinodusa
f) Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler
lokal
g) Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya
ikut bergerak
h) Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
2) Palpasi
a) Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa
berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan
kedua tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan
palpasi:
b) Perluasan dan tepi
c) Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak
dapat diraba trakea dan kelenjarnya
d) Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
e) Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih
dalam dari musculus ini)
f) Limfonodi dan jaringan sekitarnya
3) Auskultasi
Bruit sound pada ujung bawah kelenjar tiroid.
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan
nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :3,4,16
1) Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi
kistik dan kemudian menjadi lunak.
27
2) Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3) Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan
ptosis, miosis, dan enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan
sekitar
4) 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas.
5) Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba
membesar progresif
6) Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign).
3. Pemeriksaan Fisik Khusus
a. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi
merah
b. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa
dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas :2,3,4
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan
teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma
darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl.
Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum
28
penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin
dan thyroid stimulating hormone antibody
c. Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis
pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral
biasanya menjadi pilihan.
USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,
membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya
jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat
dengan scanning tiroid.
Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran,
bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid
(distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam.
Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold
nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan
dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah
dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm
nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi
yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot
nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih
dan jarang pada neoplasma.
d. Pemeriksaan histopatologis FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) dapat
membantu menegakkan 80 % diagnosis. FNAB tidak perlu dilakukan pada
lesi berukuran kurang dari 10 mm. Satu sampai sepuluh persen struma
multinodosa merupakan karsinoma.
G. Penatalaksanaan
Beberapa faktor hams dipertimbangkan, ialah :
1. Faktor penyebab hipertiroidi
2. Umur penderita
3. Berat ringannya penyakit
29
4. Ada tidaknya penyakit lain yang menyertai
I. Pengobatan Hipertiroid
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi
hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat
antitiroid) atau merusak jaringan tiroid.
1. Obat antitiroid
Indikasi :7
1) terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi
yang menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai
sedang dan tirotoksikosis.
2) Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum
pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang
mendapat yodium aktif.
3) Persiapan tiroidektomi
4) Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5) Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan dari golongan
thionamide adalah propylthiouracyl (PTU), 1 - methyl - 2
mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), carbimazole.
Obat ini bekerjamenghambat sintesis hormon tetapi tidak
menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya
monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta
menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon
yang aktif. PTU juga menghambat perubahan T4 menjadi T3 di
jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga pada saat ini
PTU dianggap sebagai obat pilihan.17,18
Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar
gondok sehingga pengaruh pengobatan lebih tergantung pada
konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma. MMI dan
30
carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis
yang diperlukan hanya satu persepuluhnya.17,18
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari
untuk PTU atau 30 - 60 mg per hari untuk MMI/carbimazole,
terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap 24
jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau
carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar.
Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan
MMI/CBZ, antara lain adalah : 17,18
1) MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih
lama dibanding PTU di clalam kelenjar tiroid. Waktu paruh
MMI ± 6 jam sedangkan PTU + 11/2 jam.
2) Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang
toksik dibanding PTU.
3) MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80%
terikat pada albumin serum, sehingga MMI lebih bebas
menembus barier plasenta dan air susu,sehingga untuk ibu
hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.
Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita
(6 - 24 bulan) dan dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 -
70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan cukup lama.
Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit memberikan
perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang
dapat menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat, struma
yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau
dosis kurang). 17,18
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-
gatal, skin rash dapat ditanggulangi dengan pemberian anti
histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis yang sangat
tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic
jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%),
kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas 40 tahun
31
yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang
terjadi. berupa : arthralgia, demam, rhinitis, conjunctivitis,
alopecia, sakit kepala, edema, limfadenopati, hipoprotombinemia,
trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
Obat-obat yang sering digunakan :
Obat Dosis awal (mg/hari)
Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metimazol 30-60 5-20
Propiltourasil 300-600 5-200
2. Pengobatan dengan iodium radioaktif (Radioiodine 131)
Iodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang
tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan.
Indikasi pengobatan ini : 17,18
1) pasien umur 35 tahun atau lebih
2) hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3) gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4) adenoma toksik, goiter multinodular toksik
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1)
small goiter (volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan
malignancy, (3) penderita dengan riwayat operasi sebelumnya, (4)
penderita dengan resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu-satunya
32
kontra indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa
dideteksi segera dengan tes kehamilan pada penderita. 17,18
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita
tiroid nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga
bulan, bahkan mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi).
Pengobatan ini efektif dan aman, meskipun penelitian lain
melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat menyebabkan
thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi epidemiologi
tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap timbulnya
carcinoma dan leukemia. 17,18
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya:
amiodarone) hendaknya dihindari sebelum melakukan prosedur
terapi dengan radioiodine, agar tidak mempengaruhi thyroid
radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid hendaknya
distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh
diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine,
untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi. 17,18
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300
– 1800 MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul.
Sehinga prosedur ini simple, murah, dan hasilnya memuaskan. 17,18
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL.
Jika kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3
sampai 6 bulan. 17,18
3. Beta Blocker
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh
adanya hipersensitivitas pada sistim simpatis. Meningkatnya
rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat meningkatnya
kepekaan reseptor terhadap katekolamin. 17,18
Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan
akan menghambat pengaruh hati.Reserpin, guanetidin dan penyekat
beta (propranolol) merupakan obat yang masih digunakan. Berbeda
dengan reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama
33
dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah
pemberian akan tampak penurunan gejala. Khasiat propranolol :
1) penurunan denyut jantung permenit
2) penurunan cardiac output
3) pengurangan nervositas
4) pengurangan produksi keringat
5) pengurangan tremor
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat
menghambat konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut
dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam hipertiroid dapat
kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan
dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat
menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi.8 24 Penggunaan
propranolol sebagai : persiapan tindakan pembedahan atau
pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan
krisis tiroid. 17,18
II. Penatalaksanaan Hipotiroid
Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada. Bila struma tidak juga
mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus
dilakukan tindakan operatif. Tiroksin digunakan untuk menyusutkan
ukuran struma, selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid
dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah
mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk
mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan
kelenjar tiroid.19
Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine bertujuan untuk
mengecilkan nodul tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru
atau pertumbuhan kecil massa yang serupa dengan nodul awal.12
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan
34
segelas air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan
mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida karena akan
menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4).19
Dosis penggantian rata-rata levotiroksin pada dewasa adalah berkisar
0,05-0,2 mg/hari, dengan rata-rata 0,125 mg/hari. Dosis levotiroksin
bervariasi sesuai dengan umur dan berat badan.19
Tabel 2. dosis Levotiroksin
Umur Dosis levotiroksin (g/kg/hari)
0-6 bulan7-11 bulan1-5 tahun6-10 tahun11-20 tahun
Dewasa
8-106-85-63-42-31-2
Pengunaan Levothyroxine (LT4) harus dihindari pada penderita: (1)
dengan nodule yang besar (large nodule), (2) pada kasus long-standing
goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita post-menopause, (5)
penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7)
penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan
systemic illness.12,19
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan
terhadap penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan
Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada
minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya belum diketahui
dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak
boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika
nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4),
tindakan reaspiration harus segera dilakukan. Pengobatan dengan
Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna untuk tindakan pencegahan
recurrent goiter pasca tindakan lobectomy.12,19
III. Tindakan Operatif Pada Struma
35
Pembedahan pada struma dapat dibedakan menjadi dua, yakni
pembedahan teurapetik, dan pembedahan diagnostik. Bedah diagnostik
meliputi
Indikasi :2,3,4,19
1. Pembesaran kelenjar thyroid dengan gejala penekanan berupa :
a. Gangguan menelan
b. Gangguan pernafasan
c. Suara parau
2. Keganasan kelenjar tiroid
3. Struma nodus dan difusa toksik
4. Kosmetik
Kontraindikasi:
1) Struma toksika yang belum dipersiapkan operasi
2) Struma dengan dekompensasi kordis, penyakit sistemik (DM,
hipertensi)
3) Struma besar kemungkinan keganasan anaplastik
4) Struma (karsinoma) disertai vena cava superior syndrom
Persiapan operasi pada struma toksika
Pasien harus sudah dalam kondisi eutiroid dengan cara:
a. Diberi minum lugol (fortir) 3 x 10 tts/hari selama 7-10 hari
b. PTU atau Neomercazole tetap diminum selama menunggu operasi
c. Pasca operasi lugol dihentikan, tetapi PTU tetap diberikan sampai 2
hari pasca operasi.
Macam Teknik Operasi :
Isthmulobectomy , mengangkat isthmus
Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gram
Tiroidectomi Total, semua kelenjar tiroid diangkat
Tiroidectomy subtotal bilateral
Mengangkat sebagian besar tiroid lobus kanan dan sebagian kiri,
sisa jaringan 2-4 gram dibagian posterior untuk mencegah kerusakan
parathyroid atau syaraf reccurent laryngeus. Biasanya dilakukan
pemeriksaan Frosen section
36
Near Total tiroidectomi
Isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal sinistra dan
sebaliknya, sisa jaringan tiroid 1-2 gram. Mengangkat semua nodi
yang terlibat
RND (Diseksi Neck Radikal)
Mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher sisi yang
bersangkutan dengan menyertakan n. assesorius , v.jugularis eksterna
dan interna, m. sternocleidomastoideus dan m.omohyoideus dan
kelenjar ludah submandibularis dan tail parotis.
Ada 3 modifikasi :
Modifikasi 1 : mempertahankan n. Ascessorius
Modifikasi 2 : mempertahankan n.Acessorius dan v.Jugularis
interna
Fungsional: n.Acessorius, vena jugularis interna,
m.sterrnocleidomastoideus
Komplikasi Operasi :
a. Segera
Perdarahan dari a. tiroidea superior
Dispneu
Gangguan n. recurrens
Tracheomalacia atau trachea kolaps
Krisis tiroid ,terjadi 8 – 24 jam pasca operasi
Tanda-tanda :
- Gelisah
- Gangguan saluran gastrointestinal
- Kulit hangat & basah
- Suhu > 38 C
- Nadi > 160 x/menit
- Tekanan darah naik
b. Lama
Suara kasar karena kerusakan n. reccurent laryngeus
37
Kelenjar paratiroid terangkat menyebabkan hipokalsemia sehingga
terjadi tetani (sindrom carpo-pedal : kejang fokal pada tangan dan
kaki)
Hypotyroid terjadi setelah 2 tahun
Pencegahan dengan pemberian Euthyox atau Thyrax dosis 1 x 50
mg/hari berangsur-angsur diturunkan dosisnya.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan dari referat ini adalah :
1. Goiter adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Pembesaran ini dapat terjadi pada
kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid
(hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipetiroidisme)
2. Klasifikasi goiter menurut American society for Study of Goiter : goiter nodusa
non toksik, goiter diffusa non toksik, goiter diffusa toksik, goiter nodusa toksik
3. Penegakan diagnosis goiter dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang
4. Index Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami eutiroid,
hipotiroid atau hipertiroid
5. Pemeriksaan penunjang pada goiter diantaranya : pemeriksaan untuk mengukur
fungsi tiroid, pemeriksaan radiologis ( rontgen tiroid, USG tiroid, scanning
tiroid), pemeriksaan histopatologis FNAB
6. Beberapa faktor hams dipertimbangkan, ialah : faktor penyebab hipertiroidi, umur
penderita, berat ringannya penyakit, ada tidaknya penyakit lain yang menyertai.
7. Pengobatan goiter dapat dengan medikamentosa dan tindakan operatif.
8. Tujuan pengobatan hipertiroidisme secara medikamentosa adalah membatasi
produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat
antitiroid) atau merusak jaringan tiroid, yaitu dengan : obat antitiroid, pengobatan
dengan iodium radioaktif (Radioiodine 131), dan beta blocker.
38
9. Tujuan dari pengobatan goiter dengan hipotiroid adalah untuk mengecilkan
struma dan mengatasi hipotiroidisme, yaitu dengan .
39