· Web viewlukah ko olun ado iside ” yang artinya “lukah ini masih kosong isinya”. Gambar...
Transcript of · Web viewlukah ko olun ado iside ” yang artinya “lukah ini masih kosong isinya”. Gambar...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau
Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di
Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi
dan hasil hutannya. Selain kaya akan sumber daya alam dan hasil hutan, Provinsi
Riau juga kaya akan budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan. Provinsi Riau
merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh
fakta bahwa di kawasan ini sampai sekarang masih ada sejumlah suku asli atau yang
lebih terkenal dengan sebutan suku terasing, yaitu, suku Sakai, suku Bonai, suku
Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan dan suku Petalangan yang mendiami daratan
di Riau. Kemudian ada suku Laut atau suku Akit yang mendiami kawasan
Kepulauan Riau.
Di kawasan Riau juga terdapat masyarakat adat seperti rantau nan kurang
oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo boleh koto di Kampar, dan
lain-lain. Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan
memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno
dikawasan Riau, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha.
Beberapa kajian ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah
1
bertapak di kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya
yang membelah kawasan ini selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah
kerajaan, seperti Gasib (kemudian Siak Sri Inderapura), Kampar (dan Pelalawan dan
Gunung Sahilan), Rokan (dan Kunto Darussalam, Tambusai, Rambah serta
Kepenuhan), dan kerajaan Keritang, Inderagiri, serta Kandis (Rahman, 2009:2).
Dalam kehidupan masyarakat suku-suku asli, masyarakat adat dan
masyarakat beraja-raja, wujud kebudayaan dan tradisi Melayu masih dipelihara dan
menjadi patokan kehidupan sosial. Dalam kehidupan masyarakat suku-suku asli yang
ada di Riau (seperti suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku
Hutan, suku Petalangan dan suku Laut atau suku Akit) terkesan sangat tradisional,
karena mereka memegang teguh adat, budaya dan tradisinya. Pemegang teraju adat
seperti Patih dan Batin, sangat besar sekali peranannya dalam mengatur semua
perbuatan dan kehidupan. Alam pikiran yang masih sangat sederhana dan kehidupan
yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh
tradisi seperti dukun, bomo, pawang, dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat
membuat hubungan yang baik antara manusia dengan alamnya. Masyarakat suku-
suku asli juga mempercayai sungai, tanah, pohon, hewan, dan sebagainya, dihuni
atau dikawal oleh makhluk halus yang kemampuannya melebihi kemampuan
manusia, sehingga mereka beranggapan bahwa manusia, alam dan makhluk halus
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
2
Suku asli atau lebih dikenal lagi dengan sebutan suku terasing, adalah suatu
istilah yang diberikan kepada suku tertinggal yang ada di Indonesia. Departemen
Sosial Indonesia memberikan istilah bagi suku marjinal ini menurut pola tempat
tinggalnya: tidak menetap, setengah berpindah-pindah, dan sementara menetap
(Departemen Sosial Republik Indonesia 1987, dikutip dari Hamidy, 1991:5). Empat
faktor ini juga menentukan peringkat isolasinya: (1) jarak geografis, (2) kurangnya
fasilitas komunikasi dan teknologi modern, (3) kurangnya interaksi sosial dengan
masyarakat lain, dan (4) penganut kepercayaan leluhur dan alam pikir primitif
(Hamidy, 1991:38-39).
Suku Bonai adalah salah satu suku terasing di kawasan Provinsi Riau. Selain
suku lainnya yaitu Sakai, Talangmamak, Kubu, Orang Hutan, dan suku Laut atau
suku Akit. Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu suku asli yang tinggal jauh
di pedalaman Sungai Rokan. Masyarakat ini sulit dijangkau dan terisolasi secara
sosial. Mereka hidup dari hasil pertanian ladang berpindah-pindah, perikanan, dan
meramu. Masyarakat Bonai ini jauh dari sentuhan pembangunan pemerintah Provinsi
Riau, bahkan sebagian besar penduduk atau masyarakat Riau yang tinggal di luar
dari desa mereka tersebut tidak tahu siapa mereka ini. Kalaupun ada masyarakat luar
yang mengetahui mengenai suku Bonai, umumnya mereka hanya mengenal suku
Bonai tersebut karena keanehan budaya dan tradisinya. Penulisan dan penelitian
khusus mengenai masyarakat suku Bonai dengan budaya, kesenian, dan tradisinya
yang “unik” (eksotik) ini masih jarang ditemukan.
3
Sebagaimana suku-suku lainnya, masyarakat suku Bonai juga mempunyai
budaya, kesenian, dan tradisi baik lisan maupun tulisan mengenai riwayat mereka.
Masyarakat suku Bonai menjadikan tradisi sebagai titik memulai dengan
memposisikan unsur kesenian sebagai inti lingkaran unsur-unsur kebudayaan, dan
memposisikan unsur kebudayaan lainnya di lingkar luar yang saling mengait dengan
lingkar inti (Rahman, 2009:8). Tradisi dan kesenian dapat dipandang sebagai spirit
terhadap siklus kehidupan orang-orang Bonai, karena unsur-unsur tradisi dan
kesenian menghiasi hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat Bonai. Unsur
tradisi dan seni berhubung kait dengan religius dan kepercayaan masyarakat Bonai.
Tradisi dan seni masyarakat Bonai terikat kepada kepercayaan ketuhanan.
Posisi tradisi dan kesenian sebagai inti dari budaya sangat ditentukan oleh
unsur lainnya dalam kebudayaan, seperti bahasa, religi, mata pencaharian, organisasi
sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian
itu sendiri. Mantera, syair, hikayat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, permainan rakyat,
dan seluruh kekayaan tardisi lisan dan tertulis masyarakat suku Bonai menampilkan
unsur seni yang berada dalam kajian bahasa. Satu di antara tradisi lisan yang paling
populer dalam kehidupan masyarakat suku Bonai adalah lukah gilo.
Lukah gilo merupakan salah satu tradisi rakyat pada masyarakat suku Bonai.
Lukah gilo berasal dari dua kata, yaitu lukah dan gilo. Lukah merupakan salah alat
penangkap ikan pada masyarakat suku Bonai yang terbuat dari rotan.1 Kemudian 1Selain istilah lukah, dalam kebudayaan Melayu pun dikenal juga istilah bubu untuk
menyebut alat yang sama. Alat ini secara budaya mencerminkan bahwa penggunanya adalah sebagai
4
kata gilo merupakan bahasa daerah Bonai yang berarti gila. Lukah gilo merupakan
tradisi yang masih berhubungan dengan upacara magis. Dalam ritual ini
dipergunakan mantera untuk membuat lukah bisa menari, sehingga ritual ini disebut
dengan ritual lukah gilo. Dalam ritual lukah gilo, yang memegang peranan penting
ialah bomo.2 Bomo memanterai lukah, sehingga lukah menjadi bergerak atau menari.
Peralatan yang digunakan bomo dalam ritual ini adalah mayang pinang, wangi-
wangian, dan lain sebagainya.
Setelah masyarakat suku Bonai memeluk Islam pun kepercayaan terhadap
makhluk-makhluk halus ini terus berlanjut, namun berubah konsep dan pandangan.
Kalau dalam masa animisme, makhluk halus ini dipandang memiliki kekuasaan dan
derajat yang lebih tinggi dari manusia, maka setelah Islam datang, makhluk-makhluk
halus ini dipandang sebagai jin, yang juga makhluk Allah yang dahulu sujud di
depan Adam, manusia pertama. Jadi, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi
dibandingkan makhluk gaib ini.
masyarakat yang hidup dari menangkap ikan, khususnya di wilayah sungai, telaga, danau kecil, parit, dan sejenisnya. Penangkapan ikan secara tradisional ini, lazim dilakukan oleh masyarakat Nusantara, ketika di lingkungan mereka masih terdapat banyak hutan dan air yang tersedia secara alamiah sebagai anugerah Tuhan. Kini secara perlahan, hutan dan air termasuk di wilayah Riau sudah mulai berkurang digantikan dengan lahan kelapa sawit, maka bagaimanapun akan berakibat kepada fungsi dan guna lukah ini sebagai alat penangkap ikan.
2Bomo adalah sebuah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan dukun dalam kebudayaan Melayu. Begitu juga dalam masyarakat seperti Bonai, Solai, Talangmamak, dan lainnya di daerah Riau. Dalam kebudayaan Batak Toba lazim disebut dengan datu. Kalau peringkat keahliannya relatif tinggi disebut datu bolon. Sementara dalam kebudayaan Mandailing dan Angkola disebut dengan sibaso. Seterusnya dalam kebudayaan Jawa dan Sunda di Pulau Jawa lazim disebut dengan dukun atau mbah dukun. Semua merujuk kepada makna yang sdama atau hampir sama, yaitu orang yang memiliki keahlian berhubungan dengan alam gaib untuk tujuan mengobati berbagai macam penyakit secara spiritual atau menolong manusia dalam menanggulangi masalah-masalah supernatural.
5
Dalam kebudayaan Melayu dan suku Bonai di Riau, makhluk-makhluk halus
dari alam gaib ini disebut dengan berbagai istilah. Di antaranya adalah jembalang
laut (“penjaga laut”), jembalang tanah, mambang kuning, mambang hijau, mambang
merah (yang hidup di kawasan laut), nini kemang (penunggu padi), dan lain-lainnya.
Dengan melihat konsep dan terapan budaya ini, maka seorang suku Bonai wajib
memposisikan dirinya dengan alam.
Dalam konsep atau ide budaya Bonai, manusia adalah bahagian dari alam,
baik alam besar maupun alam kecil. Oleh karenanya manusia wajib menjaga
hubungan dengan alam, termasuk alam gaib. Menurut salah seorang informan yang
merupakan bomo dalam ritual lukah gilo, mengatakan: “Konsep alam dalam budaya
Melayu dan masyarakat suku Bonai, alam besar dikecilkan, alam yang kecil dihabisi,
alam yang habis dihabisi dalam diri” (wawancara tanggal 11 November 2011 dengan
seorang bomoh yang bernama M. Rasyid).
Belum banyak penelitian yang mengambil kajian mengenai lukah gilo pada
masyarakat suku Bonai. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di
atas, kajian ini menganalisis mengenai mantera ritual lukah gilo untuk
memperlihatkan bagaimana praktik-praktik bahasa ini terkait dengan sistem
kehidupan masyarakat suku Bonai dalam interaksinya dengan lain, seperti makhluk
supranatural, alam, dan makhluk lainnya.
6
Untuk menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan dua teori utama
yaitu teori etnografi Koentjaraningrat (1998) dan teori semiotik sosial Linguistik
Sistemik Fungsional khususnya semiotik multimodal. Alasan menggunakan teori
semiotik sosial adalah analisis ini dapat memberi penjelasan mengapa kegiatan
berbahasa pada tradisi LG dapat bekerja dalam suatu masyarakat suku Bonai dengan
makhluk lainnya, yaitu Penguasa (Tuhan), makhluk supranatural, alam, dan lawan
jenisnya, menjelaskan kondisi sosial imaji dalam teks visual secara konteks situasi,
budaya, maknawi dan simbolisasi.
Dengan menerapkan teori semiotik sosial diharapkan dapat mengungkap
kegiatan ritual LG dan menilai praktik sosial dan hubungan dialektika antara bahasa
dengan situasi dan budaya yang dialami masyarakat penutur lukah gilo. Selain
menggunakan konsep teori semiotik sosial, penelitian ini juga menggunakan teori
etnografi3 yang dipopulerkan oleh Koentjaraningrat. Alasan menggunakan teori
etnografi adalah untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat suku Bonai
3Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok daripengolahan dan analisis terhadap kebdayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Taluk Kuantan, atau lebih besar sedikit, masyarakat Melayu Kabupaten Kampar, atau masyarakat Melayu Kepulauan Riau, atau Riau(termasuk daratan dan kepulauan), dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda denganetnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.
7
memelihara dan mempergunakan tradisi dan budaya mereka di tengah perubahan
sosial yang terjadi. Selain itu, teori etnografi juga dapat mendorong pemikiran
tentang bagaimana kaitan di aspek-aspek yang berbeda dari suatu kebudayaan dan
juga bagaimana kaitannya dengan berbagai segi dari alam.
Dengan menggunakan kedua teori tersebut, penelitian ini mencoba untuk
mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi peralatan
digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks
mantera ritual lukah gilo serta untuk menampilkan diri sebagai pewaris nilai-nilai
luhur budaya Melayu pada masyarakat suku Bonai.
1.2 Rumusan Masalah
Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah: yaitu, menetapkan
masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa objeknya.
Menyatakan objek saja masih belum spesifik karena baru menyatakan pada ruang
lingkup mana penelitian akan bergerak. Adapun mengidentifikasi atau menyatakan
masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian
(research question), yaitu pertanyaan terhadap mana belum dapat memberikan
penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum/dalil) yang ada.
(Subyantoro dkk, 2006: 30).
Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian di atas, maka permasalahan
yang akan diteliti adalah:
8
1. Bagaimanakah etnografi masyarakat suku Bonai?
2. Bagaimanakah bentuk semiotik sosial tradisi lukah gilo pada masyarakat
suku Bonai?
3. Bagaimanakah kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lukah gilo?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian memuat uraian yang menyebutkan maksud dan tujuan
secara spesifik untuk menjawab rumusan masalah di atas. Adapun tujuan penelitian
ini adalah:
1. Mendeskripsikan etnografi masyarakat suku Bonai.
2. Mendeskripsikan bentuk semiotik sosial tradisi ritual lukah gilo.
3. Mendeskripsikan kearifan lokal pada tradisi lisan lukah gilo.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini merupakaan suatu harapan bahwa hasil penelitian ini
akan mempunyai kegunaan baik teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian
ini, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
keilmuan, khususnya mengenai masyarakat suku Bonai dengan
mantera lukah gilonya dalam perspektif kearifan lokal.
9
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
peneliti lain yang berminat untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini
dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan obyek
yang lebih luas lagi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran
bagi pemerintah daerah dan semua pihak yang terkait lainnya dalam
pelestarian tradisi lisan lukah gilo serta menjaga keberlangsungan hidup
dari masyarakat suku Bonai tersebut.
BAB II
KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN KAJIAN TERDAHULU
2.1 Konsep
10
Bagian ini menganalisis pengertian dari mantera, ritual, masyarakat suku
Bonai, tradisi lisan, dan kearifan lokal berdasarkan konsep teori sebagai berikut:
2.1.1 Pengertian Mantera
Berdasarkan penelitian Haron Daud (2001:21) mengatakan bahwa mantera
ialah semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama yang
mengandung unsur magik dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomo,
dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantera itu mempunyai simbol tersendiri
yang perlu diketahui untuk memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih tepat
lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai tradisi lisan mantera amat
erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat di mana
mantera itu wujud.
Mantera dipercaya berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga
dianggap berasal dari Tuhan; pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui
media komunikasi yang berbeda. Ketika nenek moyang mengekspresikan artikulasi
pesan Tuhan dalam formula lisan, pesan itu menjadi tuturan. Mantera kemudian
menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk
supranatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari kuasa
tersembunyi. Mengucapkan mantera atau formula dari leluhur akan dapat
membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang
dulu. (Kang, 2005:69)
11
Dalam istilah Goffman (1979), mantera meliputi tiga tingkatan penutur:
Tuhan sebagai penutur tertinggi mantera, leluhur sebagai penulis (author), dan
pelaku sekarang sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantera-mantera tetap
efektif karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan
mengulang-ulang kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan
kreatif yang sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Dengan kata-kata yang
sama dengan yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan
magis dalam konteks masa kini.
2.1.2 Pengertian Ritual
Ritual (Muhammad, 2011:1) secara etimologis berarti perayaan yang
berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara
etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antarorang yang diwujudkan dalam
bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang
paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan
prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang
dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai
dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual
memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai
dan mempraktekkan.
12
Sedangkan ritual menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual
yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan
mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia
akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual
gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup
manusia. Turner juga menjelaskan bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi
keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara lain: (1) ritual akan mampu
mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama
kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok. Ritual menjadi alat
pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk
mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual akan mampu
melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa
ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna,
memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai
fenomena budaya. Dapat dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda
dalam praktek dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual
dan agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam
praktek di kehidupan masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.
13
2.1.3 Masyarakat Suku Bonai Riau
Masyarakat suku Bonai merupakan salah masyarakat suku asli yang terdapat
di Provinsi Riau. Masyarakat suku Bonai ini berdomisili di kawasan sepanjang
sungai Rokan yang menghubungkan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu
dan Kabupaten Rokan Hilir. Di dua Kabupaten inilah masyarakat suku Bonai tinggal
dan menetap. Namun demikian, jumlah masyarakat suku Bonai yang mendiami
Kabupaten Rokan Hulu lebih mayoritas dibandingkan dengan masyarakat Bonai
yang mendiami Kabupaten Rokan Hilir.
Berdasarkan informasi dari wawancara dengan salah seorang masyarakat
suku Bonai, asal usul nama suku Bonai berasal dari kata Manai. Manai dalam bahasa
Bonai berarti pemalas, kata Manai turunannya Monai lalu menjadi Bonai. Bonai
merupakan sebuah pohon yang tingginya tidak lebih dari empat meter, berdaun
kecil-kecil, buahnya bulat-bulat berwarna kemerahan dan bila telah masak berwarna
hitam serta rasanya agak sedikit asam. Buah bonai ini merupakan bahan baku dalam
membuat masakan ikan, dimasak dengan air secukupnya dan dijadikan kuah ikan
dengan rasa kuah yang asam (sumber: Rasyid, 2012).
Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang
teguh tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk
agama Islam, masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya
aturan hukum adat, budaya, dan tradisi, demi mempertahankan identitas sosial
mereka. Masyarakat suku Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan
14
tradisinya dengan cara menyatukan dan membawa budaya dan tradisi dalam
kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam. Menurut mereka dengan memadukan
keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa meninggalkan agama yang telah
dianut.
2.1.4 Pengertian Tradisi Lisan
Tradisi lisan (Pudentia, 2008) dalam berbagai bentuknya sangat kompleks
dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga
mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas
pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta
berbagai hasil seni.
Menurut Dick van der Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan
kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak
tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain,
sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.
Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah
suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian
kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu.
Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah
15
mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar
dibatasi batas waktunya.
Menurut Endaswara (2008:151) (dalam Yunita 2011), mengatakan tradisi
lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara
turun temurun. Adapun ciri-ciri dari tradisi lisan, yakni:
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat
tradisional.
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa
penciptanya.
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik.
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.
5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
klise.
6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.
Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan
tersebut. Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling
berpengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para
pemilik tradisi lisan juga adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan
orang, apalagi generasi muda dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.
2.1.5 Pengertian Kearifan Lokal
16
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.
Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan.
Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem
nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian
rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan
manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah
terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat
seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya.
Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi
nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau
menjadi acuan tingkah laku mereka (http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-
landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf, diunduh 2 Maret 2012).
Kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang
muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan
lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi
yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal
17
sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk
hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak
sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu
mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari
sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam
masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah,
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat
yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam
nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi
pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup
tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari
(Ridwan dalam http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-
kearifan-lokal.pdf, diunduh pada tanggal 21 November 2011).
Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang
didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam
sebuah budaya masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan wujud tingkah
laku atau pikiran-pikiran manusia pada masyarakat tertentu dalam mengekspresikan
keinginan dan budaya mereka. Selain untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran,
kearifan lokal juga merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperlihatkan
18
bagaimana sistem kehidupan suatu masyarakat dalam menjaga dan melestarikan
alam dan lingkungan sekitar yang merupakan urat nadi kehidupan mereka.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun
bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Menurut informasi verbal yang diberikan oleh Sibarani (dalam wawancara
pada 15 Oktober 2011), nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut,
antara lain:
1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan
disiplin kerja),
2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama),
3. Kerukunan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya),
4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan
hukum adat),
5. Kesehatan (penjagaan hidup baik secara pribadi maupun masyarakat),
6. Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal),
7. Penjagaan lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai
kehidupan),
8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan
budaya),
19
9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya),
10. Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat),
11. Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus
dipatuhi).
Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal
merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas
daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang
terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup
dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan
diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara
keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual
memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari
sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas
daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya
masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada
kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
2.2 Tinjauan Teoretis
20
Tinjauan teoretis merupakan konsep dan kerangka teori apa yang digunakan
peneliti dalam penelitiannya tersebut. Penelitian menggunakan dua kerangka teori,
yaitu kerangka teori etnografis dan kerangka teori linguistik yang lebih khususnya
teori semiotik sosial. Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kerangka teori etnografi Koentjaraningrat, kemudian konsep teori semiotik
yang digunakan adalah konsep teori semiotik sosial. Adapun dua kerangka teori
tersebut adalah:
2.2.1 Kerangka Teori Etnografi
Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
etnografi Koentjaraningrat. Etnografi menurut Koentjaraningrat (1998:1) adalah
suatu deskripsi dan analisa tentang suatu masyarakat didasarkan pada penelitian
lapangan sebagai data dalam penelitian. Etnografi menyajikan data-data yang
bersifat hakiki untuk semua penelitian antropologi budaya.
Menurut Koenjtaraningrat (1998:6), dalam melakukan penelitian mengenai
kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka teori etnografi, akan
terdiri dari beberapa bagian penting yang harus diteliti. Ada beberapa bagian penting
yang menjadi acuan dalam penelitian kebudayaan yang disusun menurut kerangka
teori etnografi. Bagian-bagian penting yang akan diuraikan dengan lebih mendalam
pada penelitian etnografi, yaitu sebagai berikut.
21
(1) Lokasi, lingkungan alam, dan demografi. Dalam menguraikan lokasi dan
penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan
ciri-ciri geografinya, yaitu iklim, sifat daerahnya, suhunya dan curah hujannya. Suatu
etnografi juga dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai jumlah
penduduk, yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat
mungkin juga menurut tingkat umur dengan interval lima tahun.
(2) Asal mula dan sejarah suku bangsa. Sebuah etnografi ada baiknya juga
dilengkapi dengan keterangan mengenai asal mula dan sejarah suku bangsa yang
menjadi pokok deskripsinya. Keterangan mengenai asal mulla suku bangsa yang
bersangkutan biasanya harus dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli
prehistori yang pernah melakukan penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan
prehistori yang mereka temukan di daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi.
(3) Bahasa. Pembahasan tentang bahasa atau sistem perlambangan manusia yang
lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Penelitian
etnografi member deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan
oleh suku bangsa yang bersangkutan, beserta variasi-variasi dari bahasa itu.
(4) Sistem teknologi. Pembahasan tentang sistem teknologi atau cara-cara
memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa.
Dalam penelitian etnografi cukup membatasi diri terhadap teknologi tradisional,
yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas
dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan luar.
22
(5) Sistem mata pencarian. Sistem mata pencarian yang dimaksud adalah sistem
mata pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang
bersifat tradisional saja, terutama dalam kebudayaan suku bangsa secara holistik.
Berbagai sistem tersebut adalah: (a) berburu dan meramu; (b) beternak; (c) bercocok
tanam; (d) menangkap ikan; dan (e) bercocok tanam menetap dan irigasi.
(6) Organisasi sosial. Pembahasannya adalah unsur-unsur dalam organisasi sosial
kehidupan masyarakat yang diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai
berbagai macam kesatuan didalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari
ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan
kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain.
Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar kaum kerabat, tetapi masih dalam
lingkungan komunitas.
(7) Sistem pengetahuan. Dalam etnografi biasanya ada berbagai bahan
keterangan mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang
bersangkutan. Bahan itu biasanya yang meliputi penegetahuan mengenai teknologi,
pengetahuan mengenai obat-obatan, mengenai pembangunan, mengenai kepandaian
berlayar, dan pengetahuan yang lain-lainnya.
(8) Kesenian. Pembahasannya adalah segala sesuatu yang bersifat tradisi yang
memiliki unsur seni dalam suatu suku bangsa. Seni ini bisa berupa seni pertunjukan
seperti teater, tari, musik, dan lainnya. Bisa juga seni rupa dan kerajinan, seperti
lukisan, patung atau arca, arsitektur tradisional, dan lainnya. Seni adalah ekspresi
23
keindahan dari seorang atau sekelompok orang yang didasari oleh kebudayaan di
mana seni itu hidup.
(9) Sistem religi. Pada bagaian ini, pembahasannya adalah mengenai upacara
keagamaan suku-suku bangsa itu. Masalah asal mula dari suatu unsur yang universal
seperti agama. Sistem religi ini adalah aspek yang universal dalam kebudayaan
manusia. Inti dari sistem religi adalah kepercayaan manusia bahywa di atas dirinya
ada sesuatu yang berkuasa baik terhadap dirinya dan alam sekitar. Oleh karena itu
harus diadakan ritus-ritus kepada yang menguasai dirinya ini.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka pada penelitian ini penulis
akan menggunakan konsep teori di atas untuk mendeskripsikan paparan etnografi
pada masyarakat suku Bonai. Alasan memilih teori di atas bertujuan memperlihatkan
mengapa dan bagaimana masyarakat suku Bonai merevitalisasi dan mempergunakan
tradisi mereka di tengah perubahan sosial yang terjadi.
2.2.2 Kerangka Teori Semiotik Sosial
Ilmu semiotik adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotik
atau semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah
semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.
24
Bahasa adalah interaksi, dan semua interaksi adalah multimodal.
Implikasinya adalah bahasa adalah semiotik multimodal karena merupakan tanda
atau simbol yang dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotik meliputi
studi seluruh tanda-tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji
dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi,
imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi.
Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam
bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika
visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan dengan
kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika
visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan
untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).
Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on around them and inside them (Halliday, 1985: 101)
Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana
struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda
interpretasi dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat
direalisasikan dalam bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-
duanya baik dalam verbal maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda,
misalnya bahasa melalui pilihan antara kelas kata dan semantik, namun di dalam
komunikasi visual ekspresi dilakukan melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti:
25
penggunaan warna dan struktur komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum
dipahami secara universal karena bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya
komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan dalam dunia timur.
Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai
sumber makna semiotik yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan
suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan
norma-norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan
juga bisa melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-
nilai dan norma-norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak
langsung memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu
masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung
untuk berubah secara terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka
sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.
Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-
peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotik karena
manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan
interaksi dan komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi
tersebut. Supaya tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep
yang universal untuk menghindari salah pengertian.
Menurut Kress dan Van Leeuwen (1996:5) ada tiga aliran besar semiotik
yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain non-
26
linguistik sebagai sarana komunikasi di abad ini. Yang pertama adalah Aliran Praha
(Prague School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang dikembangkan oleh
pakar linguistik formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam
bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk tujuan artistik,
pada kajian seni (Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan kostum
(Bogatyrev). Setiap sistem-sistem semiotik dapat memenuhi fungsi komunikasi yang
sama (fungsi refensial dan fungsi puitis).
Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-
an dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer,
potografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik
(Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran
ini pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi,
juga dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotik “langue” dan “parole”,
signifier” dan “signified”, “arbitrary” dan “motivated”, “sign”, “icons”, “indexes”,
dan “symbols”, “syntagmatics” dan “paradigmatics.”
Aliran ketiga dinamakan semiotik sosial (social semiotics) yang
diperkenalkan oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori
Linguistik Sistemik Fungsional (SFL). Semiotik sosial ini diterapkan pada kajian
sastra oleh Threadgold, Thibault dan kawan-kawan, semiotik visual oleh O’Toole,
Kress, van Leeuwen, musik oleh van Leeuwen dan sarana semiotik oleh Hodge dan
Kress. Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan
27
lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi
seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti
dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri
atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik, leksikogramatika, dan fonologi/
grafologi.
Pendekatan semiotik sosial menurut Kress dan van Leeuwen (1996: 11)
menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan
partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada
konteks tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal,
transparan kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur
sosial yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini
mengakibatkan setiap partisipan memahami secara maksimal. Partisipan yang
mempunyai kekuasaan dapat memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi
yang kuat dengan pemahaman yang maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu
melakukan atau menghasilkan pesan-pesan terbaik dengan usaha yang maksimal
untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan
harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting tersebut secara maksimal.
Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk
ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut
mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.
28
Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem
semiotik bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur
konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial.
Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah
terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk,
juga merupakan semiotik. Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa
menurut Halliday (1985), yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di
luar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu
merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai
sistem representasi. Metafungsi interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta
tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks,
kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.
Tabel di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotik situasi dengan
komponen fungsi semantik (Halliday, 1979: 143)
Semiotic structures associated with functional component of situation of semantics
field (type of social action) “ experientialtenor (role relationships) “ interpersonalmode (symbolic organization) “ textual
29
Prinsip semiotik sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna
semiotik baik berupa ungkapan verbal dan visual seperti imaji, tanda atau simbol,
seperti berikut:
1. Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi lukah
gilo tersebut
2. Pola semiotik (tanda atau simbol) yang terdapat pada mantera ritual lukah
gilo yang mencerminkan simbol gaib dan magis.
3. Tanda dan simbol digunakan pada ritual lukah gilo, untuk menjelaskan
praktik berbahasa pada masyarakat suku Bonai.
4. Ungkapan yang dituturkan oleh bomo sebagai mantera ritual lukah gilo.
Dalam menganalisis tradisi ritual LG ini akan digunakan teori semiotik
multimodal dan teori semiotik yang dikemukan oleh Charles Sanders Peirce. Semua
interaksi disebut multimodal. Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis
mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling berpandangan
atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara. Seperti yang
dikemukakan Kress dan van Leeuwen:
During interaction, 1) you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear the verbal choices, the content, the prosody and the pitch, 2) aware of facial expression, clothing, standing/sitting, nodding/leaning back or forward, 3) aware of environment where it takes place, etc. (Kress dan van Leeuwen, 2006: 177).
Teori semiotik multimodal lebih dikenal dengan nama analisis multimodal.
Analisis multimodal mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan
30
menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress
dan van Leeuwen (2006: 178) “multimodal texts”, i.e. “any text whose meanings are
realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat
diintegrasikan dengan analisis kode semiotik bahasa misalnya dengan aspek
metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan
ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal
dalam teks multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada desain
visual tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan
komunikasi lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya
semiotik mendekorasi suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan
wacana sebagai suatu semiotik sosial.
Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis
dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal
tetapi juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat
pada iklan media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis
kecenderungan analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul
dalam teks dianalisis seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotik
kebahasaan maupun aspek dan unsur semiotik non-kebahasaan. Yang terakhir ini
lazim disebut sebagai aspek dan unsur yang dikategorikan sebagai “visual
representation” (lihat mis. Kress & Leeuwen 1996).
31
Kress dan van Leeuwen (2006, 177) menyarankan tiga prinsip komposisi
dalam menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi (Information Value),
tonjolan (Salient) dan bingkai (framing), yang diaplikasikan tidak hanya pada
gambar tunggal, tetapi juga pada teks multi-semiotik. Interaksi langsung diciptakan
melalui tatapan mata seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124)
‘the gaze’ as a central aspect of the interpersonal metafunction establishing
interaction between the participants in the communicative act. Dalam sebuah
tayangan, jika pelibat teks sebagai imaji menatapkan mata langsung kepada kamera,
maka tatapan tersebut langsung tepat pada mata para penyaksi teks visual, sebagai
efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis hubungan ‘connecting the participant’s
sight line with the viewers’ sehingga pembaca atau penyaksi teks mempunyai
interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya. Analisis ini disebut dengan
‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203). Salience dari bagian kepala
adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial keakraban antara sender dengan
penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain dalam tubuh imaji. Tatapan mata
menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan kosong, wajah sekaligus
memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga menanti respon dari
penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-objek pendukung
seperti sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana, saputangan, dll yang
mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau ‘meaning-maker’
32
yang tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang bersifat
interpretasi atau ‘interpretive gaps’ (lihat juga Baumgarten 2008).
Dalam analisis multimodal struktur hirarki di antara unsur penting yang
diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran (size), warna (colour),
ketajaman fokus (focus). Kress dan van Leeuwen (1996) menekankan “how colour is
very important in creating meaning.”
Teori semiotik model Peirce disebut sebagai semiotik pragmatik karena
bertolak dari wujud luar tanda yang dapat di indera manusia (representamen) (Hoed,
2001: 87). Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat
tanda, simbol, dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan
lukah dan teks mantera ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam
bentuk tripihak (triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1)
bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2)
bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam
ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi,
dikomunikasikan, dan ditandai (Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data
penelitian ini, proses pemaknaan triadic ini yang dinamakan semiosis. Setiap tanda
dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang
lainnya, sebagai mediator antara objek dan interpretan. Cara Peirce melihat realitas
dalam tiga kemungkinan itu sangat penting untuk memahami jargon-jargon lainnya.
33
Dengan tiga penjelasan di atas kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi
pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign, trikotomi kedua adalah ikonis
(hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan), indeks (tanda
yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau
hubungan sebab akibat), dan simbol (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya atau hubungan berdasarkan perjanjian); trikotomi
ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicent), dan argument. Relasi itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce
(dalam Christomy, 2004:116)
Relasi dengan representamen
Relasi dengan objek
Relasi dengan Interpretan
Kepertamaan (firstness)
Bersifat potensial (qualisign)
Berdasarkan keserupaan (ikonis)
Terms (rheme)
Keduaan (secondness)
Bersifat keterkaitan (sinsign)
Berdasarkan penunjukkan (indeks)
Suatu pernyataan yang bisa benar bisa salah (proposisi atau dicent)
Ketigaan (thirdness)
Bersifat kesepakatan (legisign)
Berdasarkan kesepakatan (simbol)
Hubungan proposisi yang dikenal dalam bentuk logika tertentu (internal) (argument)
Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi
sepuluh jenis:
34
1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras
menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan
orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.
2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan.
Contoh : foto, diagram, peta, dan tanda baca.
3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung,
yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan
oleh sesuatu.
Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan
dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya,
dilarang mandi di sini.
4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.
Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.
5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma hukum.
Misalnya, rambu lalu lintas.
6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek
tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku
itu?” dan dijawab, “Itu!”
7. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan
menunjuk subjek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar
35
di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka
yang sedang dibawa ke rumah sakit.
8. Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan
objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau.
9. Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung
menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang
berkata, “Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan
sertamerta kita pergi.
10. Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu
berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata
gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. (Sobur, 2004: 42-43)
Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual,
ruang, perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian,
sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu
dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan.
Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling
terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi, Objek (O) sesuatu yang
mengacu kepada hal lain, dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diintepretasi.
36
Gambar 1. Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce (dalam Christomy, 2004:117)
Objek (O)
Representamen (R) Interpretan (I)
2.3 Penelitian Sebelumnya
Banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penellitian ini,
maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa
penelitian pada bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, yaitu penelitian
mengenai Untaian Kata Leluhur, Kata-kata untuk Bertahan: marjinalitas, emosi,
dan kuasa kata-kata magi di kalangan orang Petalangan Riau (Yoonhee Kang,
2005). Penelitian ini ingin menunjukkan subjektivitas dan keragaman marjinalitas
dengan mengkaji keterkaitan antara marjinalitas, emosi, dan genre lisan di kalangan
orang Petalangan, Riau. Berfokus pada emosi sebagai sarana tafsir dan praktik,
kajian ini mengungkap bagaimana wacana kultural khas orang Petalangan mengenai
emosi berlaku dalam relasinya dengan marjinalitas melalui praktik bahasa tertentu.
Penelian ini juga memperlihatkan, mengapa dan bagaimana orang Petalangan
37
merevitalisasi dan mempergunakan tradisi lisan mereka di tengah perubahan sosial
yang terjadi.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Amanriza, dkk
(1989) mengenai Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan
Hilir). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesusasteraan Melayu Riau merupakan
bagian dari kesusasteraan Nusantara yang tumbuh dan berkemabang di semenanjung
Melayu dan di daerah Riau. Sebagai sastra sub-kultur Melayu, maka kesusasteraan
Melayu Riau berwujud sebagai sastra lisan atau oral tradition dan tradisi tulis atau
written tradition. Tradisi lisan sulit diterka kapan mulainya, barangkali sama tuanya
dengan masyarakat Melayu itu sendiri. Tradisi lisan diperkirakan mulai ketika
masuknya pengaruh Islam di Semenanjung Melayu sekitar abad ke-7 Masehi. Tardisi
tulis mengalami perkembangan pesat dari abad ke-14 sampai abad ke-19 dengan
mempergunakan tulisan Arab. Setelah itu tradisi tulis mempergunakan tulisan Latin.
Kesusasteraan Melayu Riau yang berwujud sastra lisan adalah bagian dari
tradisi lisan. Dalam kehidupan orang Melayu Riau, tradisi lisan ini diungkapkan
dalam tiga bentuk pengungkapan, yaitu: (1) pengungkapan melalui kata-kata atau
bahasa, (2) pengungkapan melalui bunyi dan, (3) pengungkapan melalui gerak atau
tari. Adapun jenis-jenis sastra lisan yang mentradisi pada masyarakat Melayu Riau,
antara lain: mantera, pantun, syair, ungkapan (pepatah petitih), seni tutur/teater tutur,
kayat, nyanyi panjang, koba. Jenis dan bentuk sastra lisan di atas tidak merata
dimiliki oleh pesukuan atau puak yang terdapat dalam masyarakat Melayu Riau.
38
Banyak ragam tradisi lisan ini antara lain disebabkan keadaan alam daerah Riau yang
sebagian terdiri dari wilayah lautan dan sebagian lainnya merupakan daratan (hutan
belantara) serta pulau-pulau (kepulauan).
Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian
Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan
Kearifan Lokal”, Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan
terhadap eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat
terhadap akses sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat
dalam politik pembangunan hukum di Indonesia dalam perspektif Antropologi
Hukum.
Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris
masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang
di atas dan di bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan
lokal. Kemudian mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan
lautan berdasarkan kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah
dan cenderung merusak sumber daya pesisir dan lautan.
Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan
Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil
penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di
Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah
39
masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat.
Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan
zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi
sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini
lebih sering satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektifitas
waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.
Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis
leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya
penyusutan pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan,
karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi
lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak
memahami upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami
urutan/kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis
upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya
upacara perkawinan adat. Remaja jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak
memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya)
agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.
Penelitian Suastika (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan (Satua) di Bali Kajian
Bentuk, Fungsi, dan Makna. Hasil penelitiannya adalah tradisi lisan di Bali, yang
dalam istilah masyarakat Bali masatua telah lama dikenal. Dalam tradisi masatua ini
peranan orang tua, yaitu ayah ibu, kakek nenek sangatlah penting melakukan usaha
40
berupa menyampaikan cerita lisan ini dengan terus menerus sebagai milik bersama di
waktu malam ketika akan menidurkan anak-anak dan cucunya. Tradisi masatua di
Bali memiliki berbagai fungsi, antara lain untuk hiburan dalam mengisi waktu
senggang, menyampaikan berbagai nilai kehidupan lewat tokoh-tokoh dan dialog-
dialongya termasuk pula pesan agama dan moral sesuai cara-cara tokohnya
menyelesaikan masalah tersebut.
Sebagian masyarakat masih melakukan kegiatan masatua itu, sebagian lagi
masyarakat Bali menganggap tradisi itu kurang relevan lagi dalam dunia modern.
Ada sebagian pula masyarakatnya menganggap kegiatan masatua tersebut sudah
tidak aktual lagi, kemudian menceritakan cerita modern atau wayang, bahkan tokoh-
tokoh dari luar negeri yang sedang ngetop di televisi. Kenyataannya tradisi masatua
semakin tahun semakin memudar terutama di kota-kota besar.
Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotik Tradisi Bermantra
Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi
Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan
salah satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya
dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak
pernah dibukukan, sehingga dalam pelaksanaannya selalu mengalami perbedaan
walaupun mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual
pagar diri dapat dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam
kesadaran manusia yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga
41
terdapat dalam mantra-mantra, jampi-jampi, nyanyian, pepatah, petuah, kitab-kitab
kuno dan sebagainya. Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri
merupakan semiotik yang terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu
persembahan kepada makhluk gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari
segala kejahatan, baik kejahatan yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang
kasat mata.
Penelitian Daud (2001), mengenai Mantera Melayu Analisis Pemikiran,
menjelaskan bahwa mantera Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan
digunakan dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat,
khususnya untuk kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang
fungsional, keberkesanan sebuah mantera itu menjamin kedudukan dan
pengekalannya dalam masyarakat. Mantera menjadi berkesan karena adanya kuasa
magik dan kepadatan serta ketepatan kata dengan suatu maksud, sama ada secara
nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk memudahkan pengamal
berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan sebagainya. Mantera
sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik, terutama, apabila dibaca
menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola rima, aliterasi, asonansi
dan perulangan berupa anaphora, epifora, dan lain-lain. Dari segi lain mantera
dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu berhubung
dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat diri dan
lain-lain. Sehubungan itu mantera memang boleh diterima sebagai dokumen
42
sosiobudaya dan sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran
tentang masyarakat Melayu.
Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa
mantra merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya
secara lisan atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal
dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat tradisional, sebagian pakar lainnya
menyebutnya dengan sastra rakyat atau sebagian lainnya mengelompokkan kepada
tradisi lisan. Hal tersebut terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri.
Dalam hal demikian, masyarakat tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu
mendayagunakan bahasa lisan (orality) sebagai medium pengucapan sastra daripada
bahasa tulis (literacy) yang baru dikenal dan digunakan kemudian secara intensif
sekitar abad ke-19.
Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra
yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan
sebagai sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan
prosa. Jenis sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan
lain-lain. Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang
berhubungan dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup
masyarakat.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2010)
yang berjudul Menumbai: Upacara Mengambil Madu Lebah Dalam Masyarakat
43
Petalangan Kabupaten Kampar Daerah Riau. Hasil penelitiannya membicarakan
suatu kegiatan budaya seperti menumbai (upacara mengambil madu lebah) yang
merupakan suatu kajian yang mempelajari aspek-aspek manusia atau kelompok
masyarakat tertentu dalam hubungannya dengan alam pikiran, perasaan dan cara
mereka memandang alam. Penelitian ini mengamati ekspresi manusia dalam bentuk
dan arti simbol yang dipergunakan oleh suatu komunikasi tertentu. Penelitian ini
juga mencoba membaca dan menafsirkan berbagai simbol dan kiasan yang
digunakan dalam kehidupan masyarakat Petalangan.
Upacara menumbai memperlihatkan diri dalam warna kehidupan masyarakat
Petalangan sebagai kekuatan kiasan melalui pengucapan halus (mantera). Karena itu
menumbai juga memperlihatkan dirinya merupakaan kekuatan batin, yang sering
dalam istilah antropologi disebut kekuatan magis. Meskipun demikian, yang lebih
penting lagi tentulah makna upacara sebagai budaya manusia Petalangan dalam
keseluruhan kegiatan kehidupan mereka.
Kekuatan kiasan yang mempergunakan pengucapan halus berupa pantun-
pantun dan mantera dalam menumbai lebah sialang, bisa dilihat dari segi dunia
budaya pada sisi esoteriknya, serta yang utama dari segi alam pikiran pesukuan
Petalangan dari warisan tradisi lama.
Penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, adalah
penelitian yang dilakukan oleh Wan Syaifudin (1999) dengan judul penelitian Tarian
Lukah atau Jambang Lukah Menari. Hasil penelitiannya membahas mengenai ritual
44
tarian lukah yang di masyarakat Melayu Pesisir Timur tepatnya pada masyarakat
Melayu Pesisir Asahan, yang berkaitan dengan teks-teks atau mantera Tarian Lukah
atau Jambang Lukah Menari. Selain itu, pada penelitiannya juga membahas
mengenai paparan etnografi masyarakat Melayu Pesisir Asahan yang
menghubungkan tradisi naratif suatu kebudayaan dalam kegiatan lisan khalayaknya
dengan lembaga masyarakat.
Penelitian di atas sangat berhubungan dengan penelitian yang dilakukan
penulis. Namun, ada perbedaan antara dua penelitian ini, yaitu pada penelitian
sebelumnya melakukan penelitian terhadap teks-teks atau mantera tarian lukah atau
jambang lukah menari di masyarakat Melayu Pesisir Asahan. Sedangkan penelitian
yang dilakukan penulis adalah Tradisi Mantera Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat
Suku Bonai Provinsi Riau. Ruang lingkup penelitian ini adalah membahas paparan
etnografi masyarakat Suku Bonai serta menganalisis bentuk semiotik dari peralatan
pembuatan LG dan mantera LG.
Hasil penelitian Sinar (2011, 2012) tentang analisis multimodal imaji visual
menjelaskan proses Conversion pada teks menemukan bahwa Aktor dan Gol
sekaligus sebagai partisipan aktif dan pasif yang menunjukkan efek secara langsung
dari suatu imaji. Sementara itu, Setting berfungsi sebagai latar yang menjelaskan
keunggulan dan tonjolan yang terlihat dalam imaji. Hubungan Additive dalam teks
multimodal menjelaskan berbagai informasi visual melalui teks verbal yang sifatnya
saling melengkapi dan hubungan Comparative melalui Setting yang terdapat dalam
45
imaji tersebut. Metafungsi interpersonal teks visual di atas menjelaskan hubungan
antara Partisipan dengan masyarakat pembaca. Interaksi antara Partisipan dengan
pembaca diwujudkan melalui kontak mata yang berfungsi sebagai Demand. Dalam
hal ini, Partisipan sedang mengungkapkan sesuatu mengenai produk yang
ditawarkan, yang kemudian dapat diketahui melalui berbagai teks verbal yang
menunjukkan kelebihan-kelebihan produk tersebut sekaligus efek yang diberikannya
melalui Gol. Salience sebagai komponen utama metafungsi tekstual menunjukkan
pesan utama teks melalui Partisipan. Pesan utama yang dijelaskan Partisipan kepada
pembaca adalah pesan yang terdapat dalam imaji yang ditampilkan.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Morse (dalam Denzin dkk, 2009: 279), menjelaskan bahwa perencanaan
penelitian mencakup banyak elemen (unsur), termasuk pemilihan lokasi.
Menentukan lokasi merupakan tahapan penting dalam penelitian, dan karena
biasanya melakukan negosiasi tempat menyita banyak waktu (sering kali melibatkan
para tetua dan pamong sebagai penilai apa saja dampaknya terhadap institusi
setempat).
Berdasarkan uraian di atas, adapun lokasi dan waktu penelitian ini adalah:
Lokasi Penelitian
Penelitian ini tepatnya dilaksanakan pada masyarakat suku Bonai yang
berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu dengan Kabupaten Rokan Hilir,
Provinsi Riau. Namun penelitian ini lebih melihat wilayah budaya
dibanding wilayah administratif.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai dari bulan November 2011 dan selesai pada bulan
Juli 2012, dengan proses pengambilan data hingga tahap penulisan.
47
3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami suatu objek. Jadi, metode
penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek penelitian. Kumpulan
metode disebut metodik, sedangkan ilmu yang mempelajari metode-metode disebut
metodologi (Subyantoro dkk., 2006:65).
Metode yang digunakan pada penelitian tradisi ritual lukah gilo adalah
metode kualitatif. Analisis kualitatif lukah gilo menyiratkan penekanan pada proses
dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari sisi kuantitas,
jumlah, intensitas atau frekuensinya. Menurut Denzin, dkk. (2009:6) menjelaskan
bahwa peneliti kualitatif menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial,
hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang
membentuk penyelidikan. Para peneliti semacam ini mementingkan sifat
penyelidikan yang sarat nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya.
Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan
kadang-kadang kontra-disiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora, ilmu-
ilmu sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang
naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman
manusia (Nelson, dkk., dalam Denzin dan Lincoln, 2009:5).
48
3.3 Data dan Sumber Data
Pelaporan jenis data, sumber data dan teknik penjaringan data perlu diberikan
dengan keterangan yang memadai. Uraian tersebut meliputi data apa saja yang
dikumpulkan, bagaimana karakteristiknya, siapa saja yang dijadikan subjek dan
informan penelitian, bagaimana ciri-ciri subjek dan informan itu, dan dengan cara
bagaimana data dijaring, sehingga kredibilitasnya dapat dijamin. (Denzin dkk.,
2009:vi).
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini data dan sumber datanya
adalah:
Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan wawancara
dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan kepada
informan. Data primer ini berupa data lisan hasil wawancara dan
diperoleh dari sumber dukun atau bomo yang menjalankan ritual lukah
gilo.
Data Sekunder
Data-data sekunder pada penelitian ini berupa: teks, dokumen, surat-surat,
foto, hasil rekaman kaset, kombinasi teks, gambar dan suara: film ataupun
video.
49
3.4 Prosedur Pengumpulan Data
Beberapa prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Metode Partisipatoris
Metode partisipatoris adalah metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Penelitian ini memerlukan kemampuan peneliti untuk terjun langsung ke
lapangan bergabung dengan masyarakat yang hendak diteliti, pada
penelitian ini penulis langsung dan berbaur dengan kehidupan masyarakat
suku Bonai. Dengan demikian, penulis dapat menggambarkan liku-liku
kehidupan mereka secara mendetail berdasarkan data yang objektif.
2. Metode Observasi
Metode observasi berbeda dengan metode partisipatoris. Menurut
Arikunto (dalam Triswanto, 2010:32) menjelaskan bahwa observasi
disebut pengamatan atau peninjauan secara cermat. Pengamatan adalah
pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan semua
kemampuan pancaindra. Biasanya observasi dapat dilakukan dengan cara
melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasakan.
Sedangkan menurut Poerlvanto (dalam Triswanto, 2010:32) mengatakan,
observasi ialah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau
mengamati individu atau kelompok secara langsung. Data berupa
informasi faktual secara cermat dan terinci mengenai keadaan lapangan,
50
kegiatan, dan situasi sosial sesuai dengan konteks tempat kegiatan-
kegiatan itu terjadi.
Dari uraian di atas, penelitian ini menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai prosesi ritual lukah gilo serta
mengamati semua pola tingkah laku masyarakat suku Bonai di Provinsi
Riau.
3. Wawancara
Semula istilah wawancara diartikan sebagai tukar-menukar pandangan
antara dua orang atau lebih. Kemudian, istilah ini diartikan lebih lanjut,
yaitu sebagai metode pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya
jawab sepihak, dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan
penyelidikan. Tujuan wawancara sendiri adalah mengumpulkan data atau
informasi (keadaan, gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan
sebagainya) dari suatu pihak tertentu. (Subyantoro, dkk, 2006:97)
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa penelitian ini menggunakan
teknik wawancara dalam pengumpulan data. Wawancara pada penelitian,
yakni ada dua orang atau lebih yang melakukan tanya jawab, di mana
pihak pertama yaitu orang yang bertanya (pewawancara) yang
memerlukan data atau informasi dari pihak lain (yang diwawancarai).
Pihak yang diwawancarai pada penelitian ini adalah dukun atau bomoh
yang akan menjadi pemandu dalam acara ritual lukah gilo.
51
4. Kajian Dokumen
Metode pengumpulan data selanjutnya pada penelitian ini adalah kajian
dokumen. Berbagai data baik fakta yang terkumpul dalam surat-surat,
catatan harian, foto, laporan, artefak, naskah-naskah, dan sebagainya
maupun dalam bentuk yang lain, perlu disimpan dalam bentuk
dokumentasi. Sifat data ini tidak terbatas ruang dan waktu sehingga
penulis mengetahui hal-hal yang terjadi pada waktu yang lalu.
5. Rekaman
Perekaman merupakan salah satu metode pengumpulan data pada
penelitian ini. Perekaman merupakan data pendukung untuk penelitian
ini. Perekaman dilakukan mulai dari persiapan prosesi lukah gilo,
dilajutkan dengan prosesi ritual lukah gilo hingga berakhirnya ritual lukah
gilo tersebut. Hasil dari perekaman akan dibuat dalam bentuk video atau
dalam bentuk film untuk mengecek kembali kesesuaian data.
3.5 Teknik Analisis Data
Sesuai dengan metode analisis yang digunakan, ada beberapa bentuk analisis
data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengumpulkan semua data baik sekunder maupun primer yang
berhubungan mantera ritual lukah gilo.
52
2. Mengklasifikasikan semua data yang ditemukan mengenai mantera ritual
lukah gilo
3. Menganalisis data mantera ritual lukah gilo yang telah diklasifikasikan.
4. Menerjemahkan semua data yang didapat baik itu berupa mantera atau
dalam bentuk yang lainnya ke dalam bahasa Indonesia.
5. Mencari makna yang terdapat dari setiap unsur-unsur yang menjadi tanda
yang digunakan selama prosesi lukah gilo .
6. Pengembangan cerita ditambah dengan penjelasan dan menulis
pengalaman yang dialami selama terlibat di dalam ritual lukah gilo.
Data yang ditemukan dalam ritual lukah gilo berupa peralatan pembuatan LG
dan mantera, dianalisis dengan menggunakan teori semiotik sosial. Dalam penelitian
analisis imaji visual difokuskan pada peralatan, mantera ritual dan visual rekaman
lukah gilo. Adapun contoh bentuk tanda dan simbol pada peralatan pembuatan LG
dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini:
Analisis semiotik multimodal pada tempurung kelapa mencakup konteks
budaya, konteks situasi, makna dan simbol LG
Tempurung kelapa
53
Dalam ritual lukah gilo, tempurung kelapa digunakan sang bomo sebagai pelengkap
lukah, yaitu sebagai kepala dari lukah. Tempurung kelapa berfungsi sebagai kepala
lukah sehingga penampilan lukah seperti orang-orangan sawah yang lengkap dengan
kepala. Dalam kebudayaan suku Bonai, tempurung kelapa ini memiliki makna
sebagai simbol pikiran dan mengarahkan hubungan antara manusia dengan alam
gaib. Dalam hal ini tempurung kelapa berfungsi seperti kepala makhluk gaib atau
manusia. Tempurung kelapa dan lukah secara keseluruhan ini sekaligus adalah
sebagai bahagian dari antropomorfisme, yaitu mengibaratkan atau memandang lukah
dan kepalanya sebagai bahagian utuh sebagai tubuh yang hidup. Apalagi nanti telah
“dimasuki” makhluk halus. Dalam kebudayaan suku Bonai atau Melayu ini lazim
terjadi. Misalnya dalam memandang rebab, orang Melayu menganggap itu seperti
manusia, yaitu ada kepala, leher, kecopong, badan, bahagian belakang, dan lainnya.
54
BAB IV
ETNOGRAFI SUKU BONAI
Pada bab ini, menguraikan tentang data dan temuan penelitian yang diperoleh
dengan menggunakan metode etnografi yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya. Uraian berikut menyajikan secara rinci tentang paparan etnografi
masyarakat suku Bonai yang meliputi beberapa aspek kehidupan dan mencerminkan
kearifan lokal masyarakat tersebut. Berdasarkan data-data yang berhasil
diidentifikasi dapat dikemukakan bahwa etnografi dapat mendorong pemikiran
tentang bagaimana kaitan kearifan lokal diantara aspek yang berbeda-beda dari suatu
kebudayaan dan juga bagaimana kaitannya dengan alam sekitar. Berikut uraian
mengenai paparan etnografi masyarakat suku Bonai.
4.1 Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi
Masyarakat suku Bonai tinggal dikawasan aliran sungai Rokan yang terdapat
di perbatasan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Rokan
Hilir Provinsi Riau. Mayoritas komunitas masyarakat suku Bonai tersebar di
Kabupaten Rokan Hulu. Bila dirujuk dari asal usul dan sejarah masyarakat suku
Bonai, lokasi awal yang ditempati oleh suku Bonai adalah desa Sontang, yang letak
wilayah antara kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir. Kemudian masyarakat Bonai
ini menyebar dan membentuk kampung baru di desa Ulak Patian Kecamatan
Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu. Di desa Ulak Patian inilah masyarakat Bonai
55
berkembang dan menyatakan diri sebagai kampung Bonai yang terbesar. Berikut
gambar peta Kabupaten Rokan Hulu:
Gambar 2: Peta lokasi penelitian Kabupaten Rokan Hulu (sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hulu)
Kecamatan Kepenuhan memiliki luas wilayah daratan 683,26 km2, yang
teridir dari tiga belas desa, yaitu: desa Kepenuhan Barat, desa Kepenuhan Tengah,
desa Kepenuhan Timur, desa Kepenuhan Hilir, desa Kepenuhan Raya, desa
Kepenuhan Baru, desa Ulak Patian, desa Kepenuhan Makmur, desa Kepenuhan
Mulya, desa Kepenuhan Sejati, desa Rantau Binuang Sakti, desa Kep. Barat Mulya,
56
dan desa Kep. Barat Sei Rokan Jaya. Luas wilayah dari masing-masing desa dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2: Luas desa di Kecamatan Kepenuhan.
Nama Desa Luas Wilayah (km2)
1. Kepenuhan Barat 45,41
2. Kepenuhan Tengah 118,67
3. Kepenuhan Timur 67,05
4. Kepenuhan Hilir 184,62
5. Kepenuhan Raya 13,00
6. Kepenuhan Baru 13,00
7. Ulak Patian 45,00
8. Kepenuhan Makmur 12,71
9. Kepenuhan Mulya 13,20
10. Kepenuhan Sejati 13,00
11. Rantau Binuang Sakti 49,00
12. Kep. Barat Mulya 67,97
13. Kep. Barat Sei Rokan Jaya 40,62
(Sumber: Kantor Kecamatan Kepenuhan)
Dari tabel di atas, terlihat bahwa desa yang memiliki wilayah terluas adalah
desa Kepenuhan Hilir dengan luas 184,62 km2. Desa yang luas wilayahnya terkecil
adalah desa Kepenuhan Makmur dengan luas wilayah 12,71 km2. Desa yang didiami
oleh masyarakat suku Bonai adalah desa Ulak Patian dengan luas wilayah 45,00 km2.
57
Selain masyarakat Bonai yang mendiami desa Ulak Patian, suku-suku lain
seperti suku Jawa, suku Minang, dan suku Batak, juga terdapat di desa Ulak Patian.
Di desa Ulak Patian ini, masyarakat suku Bonai dan masyarakat suku lain hidup
berdampingan, tanpa memandang asal usul dari mana mereka berasal. Dengan hidup
berdampingan dan membentuk sebuah kampung, jumlah penduduk desa Ulak Patian
pada saat ini adalah 1.167 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 563 jiwa dan
jumlah perempuan sebanyak 604 jiwa (sumber: Kantor Kecamatan Kepenuhan
2010).
Dengan luas wilayah 45,00 km2, desa Ulak Patian memiliki satu sungai besar
yaitu sungai Rokan. Sungai Rokan memiliki panjang ± 100 km dengan kedalaman
rata-rata 6 m dengan lebar sungai 92 m. Sungai Rokan ini bagi masyarakat suku
Bonai dan masyarakat lain desa Ulak Patian ini, berfungsi sebagai sarana
perhubungan dan sumber air bersih. Desa Ulak Patian pada umumnya beriklim tropis
dengan temperatur maksimum rata-rata 31oC – 32oC, dengan curah hujan sedang
(sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau)
4.2 Asal Mula dan Sejarah Suku Bonai
Nama Bonai berasal dari kata Manai, yang dalam bahasa Bonai berarti
pemalas. Kata Manai berubah menjadi kata Monai, kemudian berubah lagi menjadi
kata Bonai yang sekarang menjadi nama kelompok suku Bonai. Kata Bonai berasal
dari sebuah pohon bonai yang banyak tumbuh di pinggir sungai Rokan tepatnya di
58
daerah Sontang. Pohon bonai ini memiliki ciri-ciri dengan tinggi pohon tidak lebih
dari empat meter, berdaun kecil-kecil, buahnya bulat-bulat berwarna kemerahan dan
berwarna hitam bila buahnya telah masak, dan rasanya agak asam (wawancara:
Rasyid, 10/3/2012).
Ada banyak pendapat mengenai asal usul dan sejarah masyarakat suku Bonai
yang tidak terungkap secara jelas. Ada yang mengatakan bahwa suku Bonai
merupakan Proto Melayu (Melayu Tua) yang mendiami wilayah ini sekitar tahun
2500-1500 SM. Pendapat lain mengatakan bahwa suku Bonai ini adalah Deutro
Melayu (Melayu Muda) yang datang sekitar tahun 300 SM.
Menurut Hamidy (1991:191), sebagaimana suku dan puak lainnya, suku
Bonai juga mempunyai teks lisan menemani riwayat mereka. satu diantara teks lisan
itu yang paling popular dalam kehidupan suku ini ialah tentang riwayat mereka yang
dihubungkan dengan orang Barunei. Disebutkan dua orang nenek moyang orang
Bonai, kakak beradik yaitu Sultan Janggut dan Sultan Harimau, telah mengembara
dari kampungnya Negeri Candi (yang diduga Muara Takus sekarang ini) sampai ke
Berunei. Ketika pulang mereka berdua membawa enam pasang orang Berunei. Lalu
berlayarlah mereka dengan dondang (perahu) sehingga sampai persimpanggan kuala
sungai Rokan. Di situ mereka berdua berunding siapa yang akan mengambil jalan
mengikuti Rokan Kiri dan siapa yang mengikuti Rokan Kanan. Terlebih dahulu
dibagilah harta pusaka, maka ada meriam pendek yang tidak dapat dibagi, lalu
59
mereka sepakat barang itu dibuang. Tempat ini sampai sekarang masih bernama
Kualo Sako, yang berarti tempat membuang barang pusaka.
Setelah itu maka dapatlah suatu keputusan, Sultan Harimau dengan 6 pasang
orang Barunai akan memudiki Rokan Kiri, sementara Sultan Janggut akan memasuki
Rokan Kanan sendiri. Dalam perjalanannya, tiap pasang orang Barunai itu telah
ditinggalkan oleh Sultan pada tiap tempat, yang kemudian berkembangbiak menjadi
kampung. Mula-mula dia telah meninggalkan satu pasang orang Barunai dengan
bekal jagung dan ubi untuk dijadikan bibit, serta senjata sebuah tombak yang diberi
nama Buntung Mengidam, pasangan ini telah membentuk kampung Bonai.
Kemudian ditinggalkan lagi satu pasang dengan bekal jagung dan ubi, yang
kemudian membentuk kampung bernama kampung Sontang. Pasangan ke tiga dan
enam juga demikian, akhirnya terbentuklah enam kampung oleh enam pasang orang
Barunai.
- Kampung Bonai
- Kampung Sontang
- Kampung Titi Gading
- Kampung Kasang Mungkal
- Kampung Sungai Murai
- Kampung Muara Dilam
60
Setelah kampung itu menjadi besar, maka terbentuklah jadinya masyarakat
Bonai (Borunai). Mereka kemudian telah membagi suku Bonai menjadi tiga anak
suku: Suku Doma, Suku Melayu, dan Suku Mandailing.
Dalam perjalanan riwayat mereka sering di sebut Suku Bonai saja, mengikuti
kepada kampung yang pertama terbentuk. Akan tetapi, mereka ini tidak begitu taat
beragama Islam,sebab pimpinan mereka Sultan Harimau adalah orang yang jahat.
Yang diamalkannya bukanlah syariat, tetapi ilmu-ilmu mahluk halus, sesuai dengan
namanya yang mengandung arti dubalang. Lain halnya dengan keturunan Sultan
Janggut di Rokan Kanan adalah pemeluk Islam yang taat, sehingga anak
keturunannya di Rokan Kanan menjadi pemeluk agama Islam yang baik. Jadi kiri
dan kanan pada sungai Rokan itu telah memitoskan pula kebaikan (kanan) dan
keburukan (kiri), sebagaimana juga tersirat dalam agama Islam.
Dalam versi kedua juga tersebut dua tokoh yang sama, yaitu Sultan Harimau
yang mempunyai sifat pembengis dan Sultan Janggut yang mempunyai sifat tenang,
yang juga kakak beradik. Dalam teks itu diceritakan kedua kakak beradik ini telah
berasal dari Borneo (nama Kalimantan tempo dulu). Mereka juga telah membagi
pusaka di kuala Sako yaitu muara Rokan Kiri dan Rokan Kanan, tetapi Sultan
Harimau yang berada di Rokan Kiri telah melahirkan suku Bonai sedangkan
saudaranya Sultan Janggut yang mengambil Rokan Kanan telah menurunkan suku
Sakai.
61
Juga dikatakan dalam teks itu Sultan Harimau telah mempunyai wilayah
kekuasaan terhadap enam kampung, yaitu Bonai, Sontang, Titi Gading, Teluk Sono
Sungai Murai dan Muara Dilam. Konon karena sifat Sultan Harimau yang
pembengus, maka kampung-kampung jadi terpencar-pencar sebab takut kepada
siksaan yang sering dilakukan oleh sultan tersebut.
Ada banyak versi mengenai asal usul dan sejarah masyarakat suku Bonai
yang sulit ditarik benang merahnya. Walaupun demikian, masyarakat Bonai tetap
masyarakat asli yang dimiliki oleh Provinsi Riau yang kaya akan tradisi dan budaya.
4.3 Bahasa
Masyarakat suku Bonai menggunakan bahasa lokal yang disebut bahasa
Melayu Rokan Hulu dengan dialek Bonai, salah satu dialek bahasa Melayu Riau.
Dalam penelitian ini, bahasa Melayu Rokan Hulu yang dimaksud adalah bahasa
Melayu yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu yang mendiami kabupaten
Rokan Hulu. Sedangkan dialek Bonai adalah dialek lokal yang digunakan oleh
masyarakat suku Bonai. Namun, ada beberapa perbedaan antara bahasa Melayu
Rokan Hulu dengan bahasa Melayu Bonai, di antaranya perbedaan gramatikal dan
perbedaan intonasi. Berikut beberapa contoh bahasa Melayu Rokan Hulu dengan
bahasa Melayu Bonai.
62
Tabel 3: Bahasa Melayu Rokan Hulu dan Bahasa Bonai untuk peralatan dan perlengkapan prosesi ritual lukah gilo
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu Rokan Hulu Bahasa Bonai
Perahu Sampan Ojuong (oju)
Kena Konai Kono
Makan Makan Maken
Pindah Pindah Aliah
Air Ayiea Ajie:
Rotan Otan Rokan
Mantera Mantera Metra
Selain itu, masyarakat suku Bonai juga mengenal tingkatan bahasa.
Masyarakat Bonai juga memiliki bahasa kasar dan bahasa halus yang digunakan
dalam konteks sehari-hari. Bahasa kasar digunakan dalam konteks sehari-hari yang
tentu saja menurut ukuran rasa pengucapan dan makna yang lebih kasar, sedangkan
bahasa halus digunakan dalam konteks sehari-hari yang digunakan untuk memanggil
orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Sebagai contoh, dalam berbicara
dengan orang yang dituakan atau dihormati, disapa dengan:
Tabel 4: Bahasa Sapaan Masyarakat Melayu Rokan Hulu dan Masyarakat Suku Bonai.
Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Rokan Hulu Bahasa Bonai
Bapak Ayah Abah
63
Ibu Omak Amay / Omak
Abang Ulong Uwu
Kakak Akak Atak
Kakek Atuok Atuk
Nenek Uwak Ijik
Tante Acik Opuok
Sejalan dengan perkembangan zaman dan akses terhadap masyarakat suku
lainnya, sebagian besar masyarakat suku Bonai terutama di kalangan generasi muda
warga Bonai mulai berbicara dan memahami bahasa Indonesia. Sedangkan untuk
generasi tua warga suku Bonai kurang menguasai berbicara dalam bahasa Indonesia,
tetapi mereka mengerti dan memahami jika lawan bicaranya menggunakan bahasa
Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Bonai tetap menggunakan
bahasa Melayu Bonai dan sesekali menggunakan bahasa Indonesia tergantung
konteksnya.
4.4 Sistem Teknologi
Sesuai dengan teori yang etnografi yang digunakan pada penelitian ini, sistem
teknologi atau cara memproduksi, memakai dan memelihara segala peralatan hidup,
cukup membatasi penulisan terhadap teknologi tradisional yang digunakan oleh
masyarakat suku Bonai. Ada delapan teknologi tradisional yang digunakan oleh
masyarakat suku Bonai, yaitu: (1) alat-alat produktif; (2) senjata; (3) wadah; (4) alat-
64
alat menyalakan api; (5) makanan, minuman; (6) pakaian dan perhiasan; (7) tempat
berlindung dan perumahan; (8) alat-alat transportasi.
Alat-alat produktif. Alat-alat produktif yang dimaksud adalah alat-alat yang
digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan. Alat-alat yang digunakan merupakan
alat-alat sederhana yang bahan bakunya terbuat dari batu, kayu, tulang, bambu, dan
logam. Pada masyarakat suku Bonai semua peralatan tersebut masih dipergunakan
hingga sekarang. Sebagai contoh, peralatan dari bahan baku batu mereka gunakan
seperti untuk membuat peralatan memasak, yaitu batu untuk menggiling cabe dan
bahan masakan yang lainnya, sementara itu, contoh bahan baku kayu mereka
gunakan untuk membuat bahan dasar pakaian dan sebagai alat dalam pembuatan
pakaian tersebut, perahu dan bahan baku untuk membuat rumah. Contoh bahan baku
yang terbuat dari tulang adalah alat untuk menghisap rokok yaitu pipa dan tulang
juga dipergunakan sebagai hiasan rumah. Sebagai contoh bahan baku untuk bambu
yang merupakan bahan baku utama dalam pembuatan lukah gilo. Bambu yang
digunakan dalam pembuatan lukah adalah bambu tunggal yang tumbuh di pinggir
sungai. Selain sebagai bahan pembuatan lukah gilo, bambu juga digunakan untuk
pembuatan rakit yang digunakan sebagai alat transportasi atau tempat untuk mandi di
sungai, sedangkan untuk bahan baku logam digunakan untuk membuat alat
persenjataan bagi masyarakat suku Bonai.
Senjata. Serupa dengan alat-alat produktif, senjata juga dipergunakan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Senjata yang dipergunakan pada masyarakat suku
65
Bonai dibagi dalam penggunaan dan bahan baku pembuatannya. Dalam
penggunaannya senjata dibagi dalam beberapa kelas: senjata tusuk, senjata potong,
senjata tebas, senjata tebang, dan senjata lempar. Sedangkan dalam bahan bakunya
ada senjata yang terbuat dari logam, besi, bambu, dan tulang.
Senjata yang tersebut di atas, merupakan peralatan yang digunakan dalam
pembuatan lukah gilo. Senjata yang digunakan adalah parang dan pisau raut. Parang
berfungsi sebagai alat atau senjata untuk menebas bambu dan rotan, sedangkan pisau
raut berfungsi untuk meraut dan membersihkan bambu dan rotan.
Berikut contoh gambar senjata pada masyarakat suku Bonai:
Gambar 3: Senjata potong dan tusuk masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)
Gambar 4: Senjata lempar masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)Wadah. Wadah bagi masyarakat suku Bonai merupakan alat atau tempat
untuk meletakkan sesuatu. Wadah yang digunakan oleh masyarakat Bonai dapat
66
dibedakan berdasarkan fungsi dan bahan pembuatannya. Wadah berdasarkan fungsi
dapat digunakan untuk memasak, makan, minum, dan lain sebagainya. Sedangkan
berdasarkan bahan pembuatannya, wadah ada yang terbuat dari bahan tanah liat,
plastik, seng, logam, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
Pada prosesi lukah gilo, bomo dan asisten bomo juga menggunakan beberapa
wadah untuk meletakan semua perlengkapan untuk prosesi. Wadah yang digunakan
adalah keranjang yang terbuat dari bahan baku rotan dan tas anyaman dari daun
pandan. Keranjang rotan digunakan untuk meletakan peralatan dan pakaian yang
digunakan untuk prosesi lukah gilo, sedangkan tas digunakan untuk meletakan nasi
dan minuman. Berikut gambar wadah yang masih dipergunakan oleh masyarakat
suku Bonai:
Gambar 5: Wadah untuk meletakkan nasi (dokumen pribadi)
Gambar 6: Wadah air minum terbuat dari buah labu (dokumen pribadi)
67
Gambar 7: Wadah untuk memasak berbahan dasar tanah liat (dokumen pribadi)
Alat menyalakan api. Masyarakat suku Bonai sudah mengenal alat untuk
menyalakan api sama seperti masyarakat-masyarakat lainnya yang hidup
berdampingan dengan mereka, yaitu korek api. Korek api merupakan salah satu
perlengkapan yang digunakan bomo untuk prosesi ritual lukah gilo. Korek api yang
mereka bawa berfungsi sebagai alat untuk menyalakan api rokok. Merokok
dilakukan sebelum dan setelah pertunjukan lukah gilo. Tetapi, kalau untuk memasak
masyarakat suku Bonai masih menggunakan alat yang sederhana untuk memasak,
yaitu menggunakan tungku api. Berikut gambar peralatan masak tradisional
masyarakat suku Bonai, yaitu tungku api:
Gambar 8: Tungku api masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)
Makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi
masyarakat suku Bonai, sama dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi
68
masyarakat-masyarakat yang hidup berdampingan dengan masyarakat suku Bonai.
Masyarakat suku Bonai memakan sayur mayur, buah-buahan, akar-akaran, biji-
bijian, daging, ikan, dan lain sebagainya. Hanya saja perbedaannya dapat dilihat dari
segi pembuatan makanan, penyajian makanan, dan fungsi dari makanan tersebut.
Pada masyarakat suku Bonai, mereka membedakan makanan yang untuk dikonsumsi
sehari-hari dan makanan yang digunakan untuk kepentingan yang lain, seperti
pengobatan.
Pada prosesi ritual lukah gilo bomo asisten bomo menyiapkan makanan dan
minuman yang mereka siapkan sendiri. Sebelum dan setelah pertunjukan
dilaksanakan, bomo dan asisten bomo makan dan minum untuk mempersiapkan
tenaga dan memulihkan tenaga selama pertunjukan.
Pakaian dan perhiasan. Pakaian dan perhiasan masyarakat suku Bonai untuk
saat ini sudah sama dengan pakaian dan perhiasan yang digunakan masyarakat lain.
Namun, bila ada pertunjukkan adat, mereka menggunakanan pakaian “Torok”,
pakaian yang terbuat dari kulit kayu. Pakaian ini digunakan selama pertunjukkan
ritual lukah gilo dan pertunjukan tradisi lainnya, setelah pertunjukkan selesai mereka
kembali menggunakan pakaian biasa. Pada zaman penjajahan, pakaian torok dan
goni telah telah digunakan oleh masyarakat suku Bonai. Setelah berakhirnya zaman
penjajahan dan masyarakat suku Bonai sudah mulai berbaur dengan masyarakat
Melayu lainnya serta sudah mendalami agama Islam, mulailah masyarakat Bonai
menggunakan pakaian yang sama dengan pakaian yang digunakan masyarakat
69
lainnya. Berbeda dengan suku pedalaman lainnya, seluruh masyarakat suku Bonai
telah menggunakan pakaian, sedangkan masyarakat suku pedalaman lainnya masih
ada yang belum berpakaian. Berikut gambar pakaian Torok masyarakat suku Bonai:
Gambar 9: Pakaian Torok terbuat dari kulit kayu (dokumen pribadi)
Tempat berlindung dan perumahan. Rumah merupakan kebutuhan pokok
bagi setiap manusia untuk tempat berlindung dari panas dan hujan. Begitu juga
dengan masyarakat suku Bonai, selain sebagai tempat berlindung, rumah merupakan
tempat berkumpul dan tempat berbagi sesama kaumnya. Dahulu pada zaman
penjajahan, masyarakat Bonai hidup berpindah-pindah dan tidak memiliki rumah
yang ditempati untuk berlindung. Alasan mereka berpindah-pindah dikarenakan
takut membayar upeti kepada penjajah. Setelah kaum penjajah pergi, barulah
masyarakat Bonai mulai tinggal menetap dan membangun rumah. Rumah yang
dibangun jauh dari pusat keramaian atau jauh dari masyarakat tempatan. Rumah
yang mereka bangun bahan bakunya diambil dari alam. Bahan baku utama dalam
pembuatan rumah adalah kayu yang telah diolah sedemikian rupa sehingga layak
digunakan untuk membangun sebuah rumah. Bentuk rumah yang dibangun adalah
berbentuk rumah panggung. Berdasarkan fungsinya, rumah yang dibangun oleh
70
masyarakat Bonai dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: rumah untuk tempat
tinggal, rumah tempat ibadah, dan rumah untuk melakukan acara adat. Di rumah
untuk melakukan acara adat inilah semua tradisi masyarakat suku Bonai
dipertunjukan, salah satunya tradisi lukah gilo. Sebelum hari pertunjukan lukah gilo
dilaksanakan, dilakukan latihan terlebih dahulu antara bomo dan asisten bomo di
rumah adat ini. Berikut rumah masyarakat suku Bonai:
Gambar 10: Rumah panggung masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)
Alat-alat transportasi. Berdasarkan hasil wawancara, sebelum tahun 1990 alat
transportasi yang digunakan masyarakat suku Bonai adalah alat transportasi air, yaitu
sampan dan rakit. Setelah tahun 1990, barulah masyarakat suku Bonai mulai
mengenal alat transportasi darat seperti sepeda atau yang mereka sebut dengan nama
kreta, kendaraan roda dua dan empat (Rasyid, 16/03/2012). Alat-alat transportasi
tersebut di atas, digunakan oleh masyarakat suku Bonai untuk mencari bahan-bahan
dalam pembuatan lukah dan juga mereka gunakan sebagai transportasi menuju
tempat pertunjukan ritual lukah gilo dilaksanakan. Berikut gambar alat transportasi
masyarakat suku Bonai:
71
Gambar 11: Alat transportasi sebelum tahun 1990 (dokumen pribadi)
Gambar 12: Alat transportasi setelah tahun 1990 (dokumen pribadi)
4.5 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat suku Bonai saat ini terdiri dari dua bentuk,
yaitu: bersifat tradisional dan non-tradisional. Mata pencaharian masyarakat suku
Bonai yang bersifat tradisional pada dasarnya bergantung pada alam dengan cara
mengumpulkan hasil-hasil alam di sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berbagai sistem mata pencaharian yang bersifat tradisional tersebut adalah:
1. Berburu dan meramu
Berburu dan meramu merupakan mata pencaharian yang paling tua atau yang
dahulu digeluti oleh masyarakat suku Bonai. Masyarakat dahulunya berburu
menggunakan alat-alat tradisional seperti tombak dan memasang perangkap untuk
hewan buruan. Hewan yang menjadi target buruan masyarakat Bonai, yaitu rusa,
72
kelinci, ayam hutan, dan hewan-hewan lainnya yang dianggap bermanfaat. Namun
pada saat ini, secara perlahan-lahan mata pencaharian dengan cara berburu sudah
mulai ditinggalkan, dikarenakan jumlah hewan buruan yang sudah berkurang bahkan
sudah sulit untuk dijumpai. Sedangkan untuk mata pencaharian meramu pada
masyarakat Bonai, hingga saat ini masih digunakan oleh mereka. Pada mata
pencaharian ini, yang mereka buat adalah meramu bahan-bahan untuk pengobatan.
Bahan-bahan yang digunakan bersumber dari alam, yaitu dari tumbuh-tumbuhan dan
dari hewan. Dalam dunia pengobatan dan meramu, masyarakat Bonai cukup terkenal
dengan sistem pengobatan alternatifnya. Berikut gambar peralatan tradisional
masyarakat suku Bonai untuk berburu:
Gambar 13: Tombak untuk berburu (dokumen pribadi)
2. Beternak
Beternak merupakan salah satu mata pencaharian tradisional yang dari dahulu
sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat suku Bonai. Masyarakat Bonai
beternak hewan-hewan yang dapat dimanfaat untuk kebutuhan hidup mereka.
Hewan-hewan yang mereka ternak adalah kambing dan jenis unggas.
73
Gambar 14: Peternakan ayam masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)
3. Bercocok tanam dan berladang
Bercocok tanam dan berladang telah dilakukan oleh masyarakat Bonai
dengan sistem tebas dan bakar. Tanah yang dijadikan untuk bercocok tanam dan
berladang, biasanya tanah hutan berlukar. Setelah semua semak belukar ditebang dan
ditebas, tanah dibiarkan kering dahulu. Setelah tanah dan semak belukar kering,
kemudian dibakar untuk menghasilkan tanah hitam dan abu dari hasil pembakaran.
Menurut masyarakat Bonai, abu dari hasil pembakaran tersebut dapat dijadikan
pupuk untuk tanaman. Kemudian tanah siap untuk ditanami dengan tanaman jenis
umbi-umbian, padi, dan tanaman muda lainnya. Berikut gambar ladang masyarakat
suku Bonai:
Gambar 15: Ladang jagung masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)
74
Gambar 16: Hasil dari bercocok tanam cabe masyarakat suku Bonai (dokumen pribadi)
4. Menangkap ikan
Menangkap ikan atau menjadi nelayan hampir mereka lakukan setiap hari
tergantung debit air sungai Rokan, karena jenis dan jumlah ikan yang dimiliki oleh
sungai Rokan cukup banyak. Selain menangkap ikan di sungai Rokan, masyarakat
Bonai juga menangkap ikan di daerah rawa-rawa yang terdapat di tempat tinggal
mereka. Ikan ditangkap dengan menggunakan jala, jaring, lukah, dan kail.
Masyarakat Bonai tidak pernah menggunakan racun untuk menangkap ikan, karena
mereka sangat menjaga kelestarian ikan untuk anak cucu mereka kelak. Ikan sungai
dan ikan rawa-rawa yang mereka tangkap sebagian dijual dan sebagian lagi mereka
konsumsi untuk dimakan sendiri.
Lukah yang digunakan sebagai alat penangkap ikan oleh masyarakat suku
Bonai, lukah juga digunakan sebagai alat untuk melakukan suatu pertunjukan yang
mengandung unsur magis yang disebut dengan tradisi lukah gilo. Lukah gilo ini
adalah lukah atau alat penangkap ikan yang dibentuk seperti orang-orangan sawah
yang dapat menari dan menggila karena diisi oleh makhluk gaib.
75
Berikut salah contoh gambar alat menangkap ikan tradisional masyarakat
suku Bonai:
Gambar 17: Sistem penangkapan ikan tradisional atau menjala (dokumen pribadi)
Gambar 18: Alat penangkap ikan atau lukah (dokumen pribadi)
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar tumpuan
kehidupan masyarakat Bonai masih bersandar kepada hasil-hasil alam.
Bagaimanapun juga, alam semakin tidak mampu menopang kehidupan mereka
dikarenakan kerusakan alam tersebut. Kerusakan alam bukan dikarenakan oleh
budaya masyarakat Bonai, tetapi disebabkan oleh kepentingan-kepentingan pihak
yang tidak bertanggung jawab. Kemerosotan sumber-sumber alam tersebut
menyebabkan masyarakat suku Bonai melihat kemungkinan lain dalam mata
pencaharian, sehingga mereka mulai mengenal mata pencaharian baru.
Mata pencaharian baru yang mulai dikenal disebut dengan nama mata
pencaharian non-tradisional. Mata pencaharian non-tradisional yang mereka geluti
adalah menjadi buruh atau kuli di pabrik pengolahan kelapa sawit. Selain itu mereka
76
juga menjadi kuli penyadap getah karet milik masyarakat tempatan dan menyadap
getah karet dari kebun mereka sendiri. Penghasilan dari bekerja tersebutlah yang
dijadikan untuk menopang hidup mereka. Tradisi lukah gilo pun juga menjadi salah
satu mata pencaharian non-tradisional bagi masyarakat suku Bonai, walaupun lukah
yang mereka gunakan merupakan alat tradisional yang digunakan untuk menangkap
ikan dan menangkap ikan merupakan mata pencaharian tradisional. Dari pertunjukan
tradisi lukah gilo ini, mereka mendapatkan uang tambahan untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
4.6 Organisasi Sosial
Kebudayaan Minangkabau banyak mempengaruhi organisasi sosial Melayu
Riau, sejak banyaknya orang Minangkabau merantau dari barat ke pesisir timur
Sumatera. Melayu Riau merujuk norma-norma yang mengatur kehidupan sosial
mereka sebagai ‘adat’ dan mengaku memiliki dua jenis adat: adat perpatih,yang
berasal dari Minangkabau dan adat ketemenggungan, budaya patriakhal yang
berkembang di kalangan Melayu perkotaan di Riau bagian timur. Di beberapa
daerah Riau, seperti di sekitar sungai Kampar dan sungai Rokan, norma-norma sosial
didasarkan pada adat perpatih (Kang, 2005:24). Kenyataannya, beberapa informan
Bonai mengakui hubungan mereka dengan leluhur dari Minangkabau, sementara
sebagian besar lainnya menyatakan ke-Melayu-an mereka berasal dari semenanjung
Malaya.
77
Organisasi sosial dan kemasyarakatan terdiri dari sistem kekerabatan, sistem
kesatuan hidup dan stratifikasi sosial. Sistem kekerabatan pada masyarakat suku
Bonai adalah famili yang paling besar dan yang paling kecil adalah keluarga.
Masyarakat Bonai mengembangkan budaya campuran antara sistem matrinieal
Minangkabau dan budaya Islam Melayu yang patriarkhal. Dalam satu famili
terdapat beberapa keluarga berdasarkan jauh dekatnya hubungan garis keturunan,
maka muncullah sebutan famili jauh dan famili dekat. Sedangkan kekerabatan yang
paling kecil adalah keluarga, yang terdiri suami, istri, anak, dan anggota keluarga
yang lain.
Masyarakat Bonai merupakan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal atau sistem keturunan yang diikuti adalah garis keturunan dari ibu ke
anak perempuan. Walaupun sistem keturunan yang diikuti adalah garis dari
keturunan ibu, namun laki-lakilah yang mengatur proses keturunan tersebut, karena
hanya para lelaki yang dapat mengatur dan menjalankan adat. Tidak hanya mengatur
dan menjalankan adat, dalam prosesi ritual lukah gilo pun hanya para lelaki yang
berhak melakukannya. Kaum perempuan tidak pernah dan tidak boleh terlibat untuk
melakukan prosesi ritual lukah gilo tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Bonai
menjadi contoh menarik dari dominasi laki-laki dalam sistem matrilineal, yang
menjadikan keunikan sistem kepemimpinan mereka.
Berdasarkan sistem matrilineal dan setelah masuknya agama Islam,
masyarakat suku Bonai masuk ke dalam beberapa suku yang diakui oleh kerapatan
78
adat, yaitu: Suku Molayu Panjang, Suku Molayu Bosa, Suku Kandangkopuh, Suku
Bono Ampu, Suku Kuti, dan Suku Moniliang. Setiap suku dipimpin oleh ninik-
mamak, yang mengatur semua adat-istiadat sehari-hari. Ninik-mamak dipilih melalui
musyawarah adat yang dilakukan oleh laki-laki masyarakat suku Bonai. Masing-
masing ninik-mamak yang terpilih, diharapkan memiliki pengetahuan adat dan adat-
istiadat.
4.7 Sistem Pengetahuan
Hampir semua kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai, selalu
mempunyai suatu himpunan pengetahuan tentang alam, tentang hewan dan tumbuh-
tumbuhan, benda dan manusia di sekitarnya yang berasal dari pengalaman mereka.
Masyarakat suku Bonai meyakini bahwa suatu masyarakat, betapapun kecilnya
kelompok mereka, tidak mungkin dapat hidup tanpa pengetahuan tentang alam di
sekelilingnya dan peralatan yang digunakan.
Berkaitan dengan konsep tersebut, masyarakat suku Bonai mempunyai
pengetahuan tentang: (1) alam sekitarnya; (2) alam flora dan fauna di daerah tempat
tinggalnya; (3) benda-benda dalam lingkungannya; (4) sistem tubuh dan sifat-sifat
yang dimiliki manusia; (5) sistem navigasi; (6) pengobatan tradisional; dan (7)
pengetahuan tentang pengawetan.
79
Berdasarkan konsep pengetahuan di atas, pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat suku Bonai mengenai lukah gilo adalah konsep pengetahuan mengenai
fungsi dan peranan lukah gilo yang berhubungan dengan:
1) Alam, yaitu alam manusia dan alam makhluk gaib yang memegang peranan
penting dalam prosesi ritual lukah gilo.
2) Alam flora dan fauna yang berkaitan dalam prosesi ritual lukah gilo.
Pengetahuan mengenai alam fauna, yaitu mengetahui tumbuh-tumbuhan yang
dapat digunakan pada prosesi ritual lukah gilo, seperti: bambu sebagai bahan
utama dalam pembuatan lukah, mayang pinang sebagai media pemanggil
makhluk gaib yang akan menggerakkan lukah, kemudian rotan sebagai alat
pengikat rangkaian bambu yang dibuat untuk lukah.
3) Benda-benda dalam lingkungannya, yaitu benda-benda yang dapat digunakan
dalam prosesi ritual lukah gilo seperti: peralatan yang digunakan dalam
pembuatan lukah dan benda-benda lainnya, seperti: peralatan untuk makan dan
minum yang diambil dari lingkungan suku Bonai yang digunakan untuk prosesi
ritual lukah gilo.
4) Pengetahuan tentang pengawetan, yaitu pengawetan untuk pakaian “Torok” yang
digunakan bomo dan asisten bomo untuk prosesi ritual lukah gilo.
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat suku Bonai, sebagian besar diperoleh
karena mereka belajar dari alam. Alam menyediakan semua yang mereka butuhkan
80
untuk mereka pelajari dan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari.
4.8 Kesenian
Berbicara mengenai kesenian tradisional dalam era modernisasi sekarang ini,
terlintas di pikiran bahwa banyak kesenian tradisional yang tergerus oleh zaman
sehingga menyebabkan hilangnya kelangsungan pelestariannya. Namun hal ini tidak
berlaku bagi masyarakat suku Bonai, hampir seluruh kesenian tradisional yang
mereka miliki tetap terpelihara dengan baik. Kesenian tradisional yang dimiliki oleh
masyarakat suku Bonai dikelola dengan efektif sehingga dapat dijadikan sebagai
identitas suku mereka di kancah nasional dan internasional.
Adapun jenis-jenis kesenian tradisional masyarakat suku Bonai, sebagai
berikut:
1. Tari Buong Kwayang (Tari Burung Kwayang)
Tari Buong Kwayang dahulunya merupakan tari pengobatan tradisional bagi
masyarakat suku Bonai. Tari pengobataan tradisional ini dilakukan untuk
menyembuhkan penyakit fisik maupun penyakit dari mahluk halus. Pengobatan
tradisional ini dilakukan dengan mengundang jin-jin dalam ritual. Ritual pengobatan
itu dipimpin seorang bomo yang disebut dengan nama Donda. Tari pengobatan
tradisional ini dikemas dalam bentuk tarian yang diiringi oleh alat musik dan syair
bernuansa Islam. Pemain gendang disebut deo atau dandayang, penari disebut
81
pemanten, penari bebas yang terdiri dari beberapa orang disebut pemanten bebeh,
lalu orang yang menemani pasien disebut dubalang.
Gambar 19: Prosesi ritual tari Buong Kwayang (dokumen pribadi)
2. Cegak
Cegak merupakan tarian dalam acara perhelatan perkawinan dan hari-hari
lainnya. Cegak dilakukan oleh beberapa orang yang membaluti tubuhnya dengan
latah atau sampah daun pisang kering, lalu menari-nari diiringi alunan musik
gondang borogong. Tari ini menurut Rasyid, terjadi saat penjajahan Belanda dan
Jepang, di mana orang Bonai paling tidak suka dengan hal yang baru apalagi dijajah.
Orang Bonai melarikan diri, pada saat buntu mereka berubah seperti daun dan tidak
dapat di tangkap penjajah. Mereka melakukan hal tersebut untuk menghindari diri
dari penjajah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada masa itu.
82
3. Tahan kulik
Tahan kulik merupakan sejenis debus yang melukai diri tanpa bekas. Tahan
kulik dilakukan oleh seorang pawing dengan membaca mantra, setelah selesai
membaca mantera pawang langsung menyayat tubuh dengan senjata tajam. Sebelum
seseorang menjadi pawang tahan kulik, pawang menjalani salah satu syarat yaitu
silat tarekhat dua puluh satu hari.
Gambar 20: Prosesi acara ritual tahan kulik (dokumen pribadi)
4. Lukah gilo
Lukah gilo merupakan tarian yang masih berhubungan dengan upacara
magis. Lukah gilo merupakan sebuah alat penangkap ikan yang terbuat dari rotan
yang diberi mantera untuk membuat lukah ini menari. Lukah menggila di bawah
komando sang bomo dan dipegang oleh beberapa orang.
83
Gambar 21: Prosesi ritual lukah gilo (dokumen pribadi)
Lukah gilo merupakan permainan rakyat yang sering dimainkan dalam
berbagai upacara, baik upacara adat maupun acara-acara lainnya. Lukah gilo adalah
salah satu permainan rakyat yang dimiliki oleh setiap suku asli dan daerah yang ada
di Provinsi Riau, seperti: lukah gilo suku Bonai di daerah Kabupaten Rokan Hulu
dan Kabupaten Rokan Hilir, suku Talang Mamak di daerah Kabupaten Indragiri
Hulu, suku Sakai di daerah Kabupaten Bengkalis, suku Petalangan di daerah
Kabupaten Pelalawan, dan masyarakat Melayu Riau lainnya. Lukah gilo ini juga
terdapat di daerah dan Provinsi lain seperti di suku Anak Dalam masyarakat Jambi,
Minangkabau, masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, serta daerah-
daerah lainnya.
Lukah gilo yang dimiliki masyarakat suku Bonai, keberadaannya sudah
terbilang lama dan merupakan satu permainan yang berbau magis. Lukah gilo yang
dimilki oleh masyarakat suku Bonai cukup terkenal di tingkat nasional maupun
internasional. Untuk menghasilkan sebuah lukah gilo yang baik agar dapat
ditampilkan, memerlukan beberapa proses diantaranya: proses pembuatan lukah gilo
sampai lukah tersebut siap untuk dimainkan.
84
5. Koba
Merupakan tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan cara
dinyanyikan. Koba biasanya dipertunjukkan pada malam hari setelah sholat Isya
hingga menjelang sholat Subuh. Bila dalam satu malam Koba tidak selesai
dinyanyikan, maka akan berlanjut ke malam berikutnya sehingga untuk menamatkan
satu Koba memerlukan waktu enam sampai tujuh hari. Nyanyian Koba berisi cerita
kehidupan masyarakat, cerita pahlawan atau tokoh, atau asal usul suatu daerah. Koba
yang terkenal yang disajikan oleh bapak Rasyid, adalah Koba Amai Bocat dan Koba
Malin Treso. Berikut gambar Koba yang dibawakan oleh bomo masyarakat suku
Bonai:
Gambar 22: Pertunjukan Koba (dokumen pribadi)
85
4.9 Sistem Religi
Pada awalnya hampir tidak diragukan lagi bahwa agama masyarakat terasing
salah satunya masyarakat Bonai yang ada di Provinsi Riau adalah kepercayaan nenek
moyang mereka yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi alam sekitarnya. Mereka
juga menganggap bahwa makhluk halus dipandang amat mempengaruhi manusia dan
alamnya. Berbagai kejadian dianggap ada hubungannya dengan makhluk gaib itu.
Makhluk halus ini dapat mendatangkan celaka, tetapi juga dapat diharapkan
pertolongannya.
Menurut Rasyid, sebelum menganut agama Islam, masyarakat Bonai yang
ada pada saat ini merupakan sekelompok orang Bonai keturunan suku Sakai yang
kuat mempercayai makhluk gaib, hanya sedikit dari mereka yang mengerti tentang
Islam. Salah seorang dari masyarakat Bonai ini merasa khawatir dengan tingkah laku
dan pola hidup masyarakat Bonai yang sangat percaya terhadap makhluk gaib, maka
ia meminta seorang ulama Tharekat Naqsabandi yang bernama Muhammad Basir
untuk mengajarkan masyarakat Bonai tentang agama Islam. Agama Islam yang
diajarkan oleh Muhammad Basir diterima dengan baik oleh masyarakat Bonai.
Pada tahun 1935 sampai sekarang, masyarakat Bonai telah menganut agama
Islam, namun tetap membawa tradisi dalam kehidupan mereka. Masyarakat Bonai
menekankan bahwa Islam merupakan dasar sistem adat mereka. Masyarakat Bonai
menerjemahkan ke-Islaman mereka dengan menjalankan semua perintah agama dan
menjauhi segala sesuatu yang diharamkan dalam agama Islam.
86
Meskipun telah menganut agama Islam, sebagian besar masyarakat Bonai
tetap percaya akan adanya makhluk gaib. Mereka percaya bahwa setiap makhluk di
dunia memiliki roh penjaga. Menurut mereka, untuk kehidupan dan kesejahteraan
mereka, makhluk hidup seperti: tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia sangat
tergantung pada makhluk gaib. Ritus pengobatan dan praktik magis masyarakat
Bonai, yang menguak sistem budaya mereka mengenai keterkaitan antara makhluk
hidup dan makhluk gaib yang disesuaikan dengan Islam masih ada dalam kehidupan
mereka. Beberapa praktik religi tradisional yang mereka miliki, telah mereka rubah
menjadi dalam bentuk tradisi kesenian dan kebudayaan yang mencerminkan nilai-
nilai tradisi luhur. Masyarakat Bonai tidak mengganggap kepercayaan tradisonal
mereka bertentangan dengan agama Islam yang telah dianutnya. Masyarakat Bonai
menjadikan Islam sebagai sumber kekuatan lain yang mendukung kekuatan spiritual
mereka atau dengan kata lain, semua yang mereka lakukan adalah semata-mata
karena kehendak Allah, SWT semata, mereka hanya perantaranya. Berikut gambar
yang menyatakan bahwa masyarakat suku Bonai telah memeluk agama Islam:
87
Gambar 23: Salah satu mesjid yang terdapat di perkampungan Bonai (dokumen pribadi)
Gambar 24: Salah seorang masyarakat suku Bonai
sedang membaca Al-Quran (dokumen pribadi)
Masyarakat Bonai juga dalam konteks sistem religinya ini memiliki konsep-
konsep tentang alam (kosmologi). Kosmologi merupakan seperangkat keyakinan
manusia dan pandangan universal yang tersistematis, dengan fokus perhatian pada
manusia dan hubungannya dengan alam semesta dan segala isi alam tersebut.
Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam
semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan
evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi,
dan agama.
88
Sebagaimana berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memiliki kearifan
lokal dalam memandang alam, maka demikian juga yang terdapat dalam suku Bonai
ini. Masyarakat Bonai kini sebahagian besar beragama Islam, jadi sistem kosmologi
yang mereka anut adalah berdasarkan kepada ajaran Islam, yang juga diwarnai oleh
kosmologi setempat yang berasal dari masa animismenya.
Secara umum, mereka percaya bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan Yang
maha Kuasa. Kemudian manusia itu sendiri adalah bahagian yang tidak terpisahkan
dari alam. Alam ini ada yang besar yang terdiri dari bintang, planet, bulan, matahari,
langit, dan sebagainya. Sementara ada juga alam-alam kecil seperti kuman, virus,
amuba, bakteri, dan lainnya. Orang Bonai juga percaya kepada siklus alam yang
dilalui manusia, yaitu dari setitik noktah, kemudian adanya alam kandungan, alam
ruh, langsung lahir ke dunia masuk ke alam dunia yang bersifat fana, dengan
berbagai cobaannya. Alam dunia ini adalah sementara sifatnya, fana, dan tidak kekal.
Yang kekal adalah alam akhirat. Oleh karena itu beramallah hidup di dunia ini untuk
tujuan akhir hidup di akhirat dengan ridha Tuhan Yang maha Kuasa.
Di dunia ini, selain adanya bumi, langit, hewan, tumbuhan, manusia, dan
lainnya, ada juga makhluk-makhluk gaib ciptaan Allah, yaitu berupa malaikat, jin,
iblis yang sering menganggu manusia untuk berbuat dosa dan lain-lainnya. Suku
Bonai percaya kepada adanya makhluk gaib ini. Makhluk gaib bisa ditemani untuk
menolong manusia. Namun demikian, sebaik-baik makhluk gaib ini adalah seburuk-
buruk manusia.
89
Seni lukah gilo, adalah ekspresi dari hubungan atau komunikasi antara
manusia (bomo) dan kawan-kawannya dengan makhluk gaib ini untuk masuk ke
dalam lukah dengan berbagai tujuan keperluan budaya. Bagi suku Bonai makhluk
halus yang masuk ke dalam lukah tersebut dikategorikan sebagai jin. Bagaimanapun
tradisi lukah gilo ini memiliki berbagai fungsi sosiobudaya, yang terkait dengan
sistem kosmologi masyarakat Bonai.
90
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini membahas secara rinci temuan penelitian yang mencakup analisis
semiotik pelaksanaan prosesi ritual lukah gilo (mulai dari proses pembuatan pada
perlengkapan pembuatan lukah, prosesi sebelum permainan lukah gilo, prosesi
permainan lukah gilo, dan prosesi setelah permainan lukah gilo selesai), peranan dan
bentuk semiotik mantera pada mantera lukah gilo.
5.1 Pelaksanaan Prosesi Ritual Lukah Gilo (LG)
Pada sub-bab ini, analisis semiotik multimodal digunakan untuk menganalisis
imaji yang terdapat pada pelaksanaan prosesi ritual LG (dari perlengkapan
pembuatan lukah gilo hingga lukah tersebut dapat dimainkan) dan analisis teks
verbal mantera.
Permainan lukah gilo dianalisis mengikuti analisis semiotik multimodal
Kress dan van Leeuwen (1996), Kress (2000) dan model Royce (2007). Dapat
dijelaskan dalam model tersebut terdapat tingkat ekstravisual dan visual ritual LG.
Tingkat ekstravisual ritual LG terdiri atas konteks budaya dan konteks situasi LG.
Pada tingkat visual ritual LG diperoleh makna semantik visual, sistem desain
(gramatika) visual, dan simbologi representasi LG.
91
5.1.1 Konteks Budaya Lukah Gilo (LG)
Secara konteks budaya, struktur ekstra visual imaji LG terdiri atas tiga (3)
struktur generik yaitu 1) struktur sebelum permainan lukah gilo, 2) struktur
permainan lukah gilo, dan 3) struktur setelah permainan.
1. Struktur sebelum permainan lukah gilo
Struktur imaji sebelum acara permainan dimulai, bomo dan para asistennya
mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan selama pertunjukkan
dilaksanakan, baik perlengkapan maupun tenaga. Ada banyak cara yang dilakukan
oleh bomo dan para asistennya untuk mengumpulkan tenaga, sebagai berikut:
Imaji Visual Struktur Generik sebelum permainan lukah gilo
Merokok
Makan
Minum
92
Figura 1: Imaji Visual dan struktur generik sebelum permainan LG
1. Merokok
Imaji di bawah ini memperlihatkan kegiatan merokok dilakukan bomo dan
asisten bomo sebelum pertunjukan ritual LG untuk melepaskan candu merokoknya,
karena selama pertunjukkan berlangsung, bomo dan asisten bomo tidak bisa
merokok selama beberapa jam. Merokok daun nipah dan tembakau, atau rokok
kretek mempunyai tujuan untuk menenangkan diri dan mulai konsentrasi terhadap
kegiatan ritual LG.
Gambar 25: Merokok sebelum pertunjukkan lukah berlangsung (dokumen pribadi)
2. Makan
Imaji di bawah ini memperlihatkan bomo dan asisten bomo makan nasi yang
tujuannya untuk menambah tenaga bagi bomo dan asisten bomo dipersiapkan selama
pertunjukkan LG berlangsung. Bomo dan asisten bomo membawa bekal nasi dan
93
lauk pauk yang mereka masak sendiri dari rumah sebelum menuju ke tempat
pertunjukan. Nasi yang mereka bawa dibungkus menggunakan daun pisang atau
kertas minyak untuk dimakan sebungkus berdua.
Gambar 26: Makan bersama sebelum prosesi lukah gilo (dokumen pribadi)
3. Minum
Imaji di bawah ini memperlihatkan bomo dan asisten bomo minum untuk
melelepas dahaga setelah makan, dan mengumpulkan energi bahwa air merupakan
sumber tenaga bagi manusia (sebagai persiapan untuk proses pertunjukkan
berlangsung tidak dibenarkan bagi bomo dan asisten bomo untuk minum). Minuman
yang diminum adalah air putih biasa yang wadahnya terbuat dari buah labu yang
sudah dikeringkan. Buah labu kering adalah wadah yang menyimpan air agar selalu
tetap dingin dan segar.
94
Gambar 27: Minum menggunakan wadah labu sebelum
prosesi lukah gilo (dokumen pribadi)
2. Struktur permainan lukah gilo
Dalam ritual LG, ada beberapa tahapan-tahapan ritual yang harus dilakukan
oleh sang bomo agar pada saat lukah dipertunjukkan dapat berjalan dengan baik, dan
berikut struktur imaji permainan LG.
95
Imaji Visual Struktur generik permainan lukah gilo
Membuka tutup lukah
Mengambil mayang pinang dan memulai pertunjukkan
Membaca mantera perlahan dan cepat
Lukah bergerak dan menggila
Figura 2:Imaji Visual dan struktur generik permainan LG
Imaji-imaji di atas menunjukkan tradisi LG yang dimiliki oleh masyarakat
suku Bonai memiliki unsur magis baik dari mulai pembuatan sampai kepada
pelakasanaan ritualnya. Berikut penjelasan tahapan imaji visual permainan lukah
gilo:
96
1. Membuka penutup lukah
Imaji di bawah menunjukkan suatu kegiatan pada saat pertunjukkan dimulai,
kain hitam penutup lukah dibuka oleh bomo utama. Kemudian, bomo memanggil
dua orang asistennya untuk memegang lukah, dan lukah pun kembali ditutup dengan
menggunakan kain hitam oleh bomo sambil berkata kepada penonton “lukah ko olun
ado iside” yang artinya “lukah ini masih kosong isinya”.
Gambar 28: Gambar lukah gilo yang akan siap dimainkan (dokumen pribadi)
2. Mengambil mayang pinang dan pertunjukkan
Imaji di bawah menunjukkan bomo mengambil mayang pinang dan setelah
itu duduk di hadapan lukah yang akan siap dimainkan, sambil berkata kepada dua
asistennya “dah siap ompun beduo” yang artinya ‘apakah sudah siap kamu berdua?’
(untuk melakukan pertunjukkan lukah gilo). Mayang pinang berfungsi sebagai alat
untuk memberi tanda kepada mahluk halus yang akan digunakan sebagai untuk
membuat lukah menari.
97
Gambar 29: Persiapan pertunjukkan ritual lukah gilo (dokumen pribadi)
3. Pembacaan Mantera
Setelah semuanya sudah siap, bomo pun mulai menggoyang-goyangkan
mayang pinang ke arah kiri dan kanan sambil membaca mantera lukah gilo. Imaji di
bawah memperlihatkan ketika bomo mulai membaca mantera dan memanggil roh
dengan mantera sebagai berikut:
A’uzubillahhiminasyaitonnirrojimBismillahhirrohmanirrahimAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAsyhadualaillahaillahWaasyhaduannamuhammadarrosulullah
Imaji memperlihatkan bomo membaca mantera berikut ini memerintah lukah
untuk bergerak-gerak.
98
BismillahhirrohmanirrohimSiyow wasak siyow wasiSipak ningsi ila lukahNan sonik mun namo lidiNan bosa mun namo lukah
Proses tersebut berlanjut ketika bomo membaca mantera agar lukah bergerak
semakin kuat dan cepat menggila.
Nan lenggang tuku di bukikMali-mali tuku di lurahMalenggang lukah sadikikManyuborang pane Allah
Potang pase otan tunggaMalayang tahadaronyoIsi bona nyihin tunggaPotang pandai naku palo
Dalam bahasa Indonesia:
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutukDengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayangYa Allah berikanlah keselamatan kepada MuhammadDan keluarga MuhammadYa Allah berikanlah keselamatan kepada MuhammadDan keluarga MuhammadAku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain AllahDan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah
Siyow wasak siyow wasiSepak dulu lukahYang kecil bernama lidiYang besar bernama lukah
Yang bergoyang pukul di atasSelanjutnya pukul di bawahBergoyang lukah sedikitMenyeberang ke jalan Allah
99
Kemaren berutang satuMelayang semuanyaIsi betul yang sebuahKemaren pandai tundukkan kepala
Gambar 30:
Pembacaan mantera dan pemanggilan roh oleh bomo (dokumen pribadi)
Dilihat dari materi mantera yang digunakan bomo pada aktivitas lukah gilo
ini, maka tampak benar bahwa mantera ini adalah ekspresi dari ajaran-ajaran Islam.
Di antaranya penggunaan mantera itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Yang pertama adalah awal doa atau pembukaan doa. Dalam tradisi agama
Islam untuk memulai suatu pekerjaan manusia diwajibkan untuk berdoa
karena Allah. Kata-kata yang lazim digunakan adalah seperti yang diucapkan
dalam tradisi lukah gilo ini yaitu:
A’uzubillahhiminasyaitonnirrojimBismillahhirrohmanirrahim
Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutukDengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
100
(2) Shalawat atau doa syafaat kepada nabi Muhammad SAW. Sebagai
khatamman Nabiyin (Nabi terkahir) dan sekaligus Rasul terakhir. Dalam
agama Islam doa syafaat kepada Nabi Muhammad sangatlah dianjurkan.
Bahwa kelak setiap umat Islam atau umat Muhammad di hari akhirat dihisab
(“ditimbang”) pahala dan dosanya. Masa ini jika seorang muslim selalu
bersyafaat kepada Nabi Muhammad timbangan pahala akan dibantunya.
Namun jika dosanya lebih berat ia pun harus masuk neraka untuk sementara.
Jika sudah cukup akan dimasukkan ke surga sesuai dengan kehendak Allah.
Namun jika sudah dibantu oleh Nabi dan pahalanya lebih banyak dari
dosanya maka ia langsung masuk ke surga. Oleh karena itu disyariatkan bagi
umat Islam untuk berdoa syafaat kepada Nabi Muhammad. Dalam teks
mantera lukah gilo ini, doa itu diucapkan berulang dua kali sebagai berikut:
Allahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina Muhammad
Artinya adalah bahasa Indonesia adalah:
Semoga keselamatan atas Nabi Muhammad dan segenap keturunannyaSemoga keselamatan atas Nabi Muhammad dan segenap keturunannya
(3) Dua kalimah syahadah, kalimat ini adalah sebagai rukun Islam yang pertama.
Yang kedua adalah melaksanakan shalat, yang ketiga menunaikan puasa.
Kemudian yang keempat mengeluarkan zakat. Yang kelima adalah
101
melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Kalimah syahadah ini adalah
dasar utama masuknya seseorang itu menjadi umat Islam. Dalam mantera
lukah gilo ini kedua kalimah syahadah itu diucapkan sebagai berikut:
AsyhadualaillahaillahWaasyhaduannamuhammadarrosulullah
Artinya:Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain AllahDan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad Rasul Allah
(4) Kembali membaca awal doa yaitu dengan kata Bismillahirrahmanirrahim
yang artinya: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
(5) Isi teks mantera, yang terdiri dari tiga bait “mantera berunsur pantun.”
Masing-masing pantun menggunakan sampiran dan isi, dalam satu bait
menggunakan empat baris, dengan menggunakan persajakan (rima) binari (a-
b-a-b). Selengkapnya adalah sebagai berikut.
Siyow wasak siyow wasiSipak ningsi ila lukahNan sonik mun namo lidiNan bosa mun namo lukah
Nan lenggang tuku di bukikMali-mali tuku di lurahMalenggang lukah sadikikManyuborang pane Allah
Potang pase otan tunggaMalayang tahadaronyoIsi bona nyihin tunggaPotang pandai naku palo
102
Artinya:Siyow wasak siyow wasiSepak dulu lukahYang kecil bernama lidiYang besar bernama lukah
Yang bergoyang pukul di atasSelanjutnya pukul di bawahBergoyang lukah sedikitMenyeberang ke jalan Allah
Kemaren berutang satuMelayang semuanyaIsi betul yang sebuahKemaren pandai tundukkan kepala
Dengan demikian, secara struktural dan latar belakang religi dan budaya, teks
mantera lukah gilo ini diadun dari ajaran Islam dan dipadu dengan sistem kosmologi
pra-Islam yang terdapat dalam kebudayaan suku Bonai. Maka dapatlah dikatakan
bahwa suku Bonai dalam tradisi lukah gilo ini mencoba membumikan ajaran Islam
dalam kebudayaan mereka, tanpa harus menghapuskan unsur-unsur budaya yang ada
sebelum datangnya Islam. Mereka mencoba mensinerjikan ajaran Islam yang syumul
(universal) dengan kebudayaan setempat.
4. Lukah bergerak dan menggila
Imaji di bawah memperlihatkan lukah bergerak secara perlahan, kemudian
lukah pun semakin bergerak dengan cepat sehingga asisten bomo yang memegang
lukah pun ikut bergerak kemanapun arah lukah digerakkan oleh bomo utama. Bomo
tetap mengawasi lukah agar tidak terlempar ke arah penonton. Ketika lukah semakin
103
bergerak sangat cepat atau menggila, bomo pun memanggil beberapa orang penonton
untuk memegang lukah tersebut, sembari salah satu dari asisten bomo tetap
memegang lukah untuk mengontrol pergerakan lukah.
Gambar 31: Pergerakan lukah gilo setelah diberi mantera (dokumen pribadi)
Tradisi LG merupakan sebuah permainan yang unik dan asik untuk dilihat,
makanya sampai saat ini permainan lukah gilo masih terjaga dan berkembang di
masyarakat suku Bonai.
3. Struktur penyelesaian permainan lukah gilo
Setelah pertunjukkan lukah dirasa sudah cukup dilakukan banyak tahapan-
tahapan yang harus dilakukan oleh sang bomo agar pada saat lukah yang sedang
dipertunjukkan dapat berhenti dan selesai dengan baik, dan berikut struktur imaji
penyelesaian permainan lukah gilo.
104
Imaji Visual Struktur Generik Penyelesaian Permainan Lukah Gilo
Meniup lukah agar lukah berhenti bergerak
Lukah berhenti bergerak
Menyerahkan lukah kepada panitia penyelenggara
Minum setelah pertunjukkan selesai
Istirahat dan merokok setelah pertunjukkan selesai
Figura 3: Imaji Visual dan struktur generik penyelesaian permainan LG
1. Meniup lukah agar lukah berhenti bergerak
105
Imaji di bawah menunjukkan bomo mendekati lukah kemudian meniup lukah
seperti memberi perintah kepada lukah untuk berhenti bergerak (lukah sudah
bergerak selama limabelas menit).
Gambar 32: Bomo meniup lukah gilo agar berhenti bergerak (dokumen pribadi)
2. Lukah berhenti bergerak
Imaji lukah yang tadinya bergerak ke kiri dan kanan, setelah ditiup oleh
bomo menjadi berhenti, penonton yang masih menyaksikan lukah jarak dekat masih
memegang lukah sampai bomo meminta mereka melepaskan pegangan dari lukah
dan menjauh dari lukah.
106
Gambar 33: Saat lukah berhenti bergerak
3. Menyerahkan lukah kepada panitia penyelenggara
Lukah yang digunakan selama pertunjukan tidak boleh dibawa pulang
kembali oleh sang bomo, lukah ditinggal di tempat pertunjukan dilaksanakan. Imaji
di bawah menggambarkan lukah diserahkan kepada panitia. Alasan lukah tidak boleh
dibawa oleh bomo adalah sebagai tanda bahwa bomo dan asistennya telah pernah
melakukan ritual lukah gilo di daerah lukah ditinggalkan.
Gambar 34: Proses penyerahan lukah yang telah dipertunjukkan
107
4. Istirahat, minum, dan merokok
Setelah LG diserahkan kepada panitia yang mengadakan pertunjukan, bomo
dan para asisten bomo pun kembali beristirahat. Istirahat yang mereka lakukan, diisi
dengan kegiatan duduk santai sambil merokok dan minum. Minuman yang diminum
oleh para pelaku lukah gilo sama dengan air yang diminum sebelum prosesi
dilakukan, hanya wadahnya saja yang berbeda. Berikut gambar setelah pertunjukkan
selesai:
Gambar 35:Istirahat
108
Gambar 36:Minum setelah pertunjukan
5.1.2 Konteks Situasi Lukah Gilo (LG)
Dalam konteks situasi LG, imaji visual mengungkapkan entitas dan aktivitas
pelibat. Imaji entitas mengklasifikasikan bagian-bagian kecil dan imaji aktivitas
mengungkapkan setiap gerak dan aktivitas secara berurutan.
Secara konteks situasi, struktur visual permainan lukah gilo ini terdiri atas 3
(tiga) struktur sebagai berikut:
1) Medan
Medan berhubungan dengan aktivitas yang sedang berlangsung, dimana
setiap rangkaian aktivitas dipengaruhi oleh masyarakat, benda, proses, tempat, dan
kualitas (Sinar, 2008: 56). Berkaitan dengan data konteks situasi, maka medan pada
penelitian ini adalah permainan lukah gilo yang dimiliki oleh masyarakat suku
Bonai. Ada dua referensi (referents menurut Martin dan Rose, 2003: 324) yang bisa
109
diungkapkan sebagai medan imaji visual di bawah ini 1) kekuatan untuk memanggil
roh halus, dan 2) pesan terhadap roh halus (memanggil dan menghentikan roh halus).
Referensi menggambarkan imaji benda, proses, tempat, dan kualitas ritual
LG dikaitkan dengan religi dalam mengawali sebuah ritual dalam tradisi Bonai.
Mantera LG dimulai dengan mengusir setan A’uzubillahhiminasyaitonnirrojim dan
menyebut nama Allah SWT “Bismillahhirrohmanirrahim, memberi selawat dan
salam kepada Rasul Allahumma Sali ‘ala sayyidina Muhammad Wa’ala ali
sayyidina Muhammad Allahumma Sali ‘ala sayyidina Muhammad Wa’ala ali
sayyidina Muhammad Asyhadualaillahaillah Waasyhaduanna
muhammadarrosulullah”.
Kekuatan untuk memanggil roh halus “Siyow wasak siyow wasi Sipak ningsi
ila lukah Nan sonik mun namo lidi Nan bosa mun namo lukah”, dan pesan terhadap
roh halus terdiri atas memanggil dan menghentikan roh halus. .
Gambar 37: Imaji visual medan
110
2) Pelibat
Menurut Sinar (2008: 57) pelibat mengkarakterisasikan fungsi konteks situasi
dan berhubungan dengan siapa yang berperan, status dan peranan mereka, seluruh
jenis ucapan yang mereka lakukan dalam dialog, dan ikatan hubungan sosial di mana
mereka terlibat.
Berkaitan data visual, pelibat dari ritual lukah gilo terdiri dari:
1. Bomo
2. Asisten bomo 1
3. Asisten bomo 2
4. Asisten bomo 3
5. Asisten bomo 4
6. Asisten bomo 5
7. Asisten bomo 6
8. Panitia
9. Penonton
Peran bomo utama dalam ritual LG adalah memimpin semua acara selama
prosesi pertunjukkan LG dilaksanakan, mulai dari sebelum pertunjukan hingga
pertunjukan LG selesai. Peran lain dari bomo adalah membaca mantera LG, karena
hanya bomo utama yang dapat dan berhak membaca mantera LG tersebut.
Sedangkan tugas dari asisten bomo 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, adalah menuruti dan
melaksanakan semua peraturan serta perintah yang telah ditetapkan oleh bomo
111
selama prosesi lukah gilo dilaksanakan. Peran penonton adalah sebagai reaktor
(reactor Kress dan Van Leeuwen, 2006) yang menyaksikan dan boleh memegang
lukah bila telah diberi izin oleh bomo untuk memegang lukah tersebut. Peran panitia
sebagai reaktor dan panitia yang mengadakan ritual, mempersiapkan semua
kebutuhan yang diperlukan untuk pertunjukkan ritual, mengundang masyarakat
untuk menonton dan membayar honorarium.
Status pelibat bomo utama dan asisten bomo tidak setara (unequal, lihat
Eggins). Dalam arti status posisi bomo utama tidak setara, baik kedudukan maupun
kekuatan ilmu lebih tinggi dibandingkan asisten bomo. Posisi bomo sebagai
pemimpin selama prosesi ritual lukah gilo dan asisten bomo sebagai pembantu bomo
dalam prosesi lukah gilo tersebut. Sedangkan dalam ilmu kekuatan, ilmu yang
dimiliki bomo jauh lebih kuat dibandingkan dengan asisten bomo. Mulai dari
pembuatan lukah, memimpin prosesi ritual lukah gilo, hingga pembacaan mantera
hanya dapat dilakukan oleh bomo. Sedangkan asisten bomo hanya bisa memegang
lukah dan menjalankan semua perintah sang bomo. Walaupun terdapat perbedaan
antara bomo dan asisten bomo dalam segi posisi dan kekuatan ilmu, namun dalam
status sosial mereka menganggap status mereka sama yaitu sama-sama orang Bonai
yang memegang peranan selama pertunjukkan lukah gilo. Hubungan antara bomo
dan asisten bomo sangat dekat dan akrab, ini terlihat sebelum acara lukah gilo
berlangsung, mereka makan, minum, duduk, dan merokok bersama. Sesekali mereka
bersenda gurau hingga tidak terlihat perbedaan antara bomo dan asisten bomo.
112
Selain tugas dan status, hal berikutnya yang harus diperhatikan selama
pertunjukkan lukah gilo adalah jarak. Jarak yang dimaksudkan disini adalah: jarak
antara bomo dan murid selama pertunjukkan dan jarak tempat atau pentas
pertunjukkan lukah gilo dengan penonton. Jarak antara bomo dengan asisten bomo
yang memegang lukah pada saat pertunjukkan berlangsung adalah ± ½ meter.
Pemberian jarak tersebut bermaksud, agar bomo lebih leluasa menggoyangkan dan
membanting mayang pinang untuk memanggil makhluk halus yang menggerakkan
lukah. Sedangkan, jarak antara tempat pertunjukkan dengan penonton adalah ± 5
(lima) meter. Jarak ini dimaksudkan untuk menjaga agar lukah yang bergerak tidak
melukai penonton dan memberi ruang kepada bomo dan asisten bomo untuk
menjalankan tugas agar konsentrasi selama pertunjukkan tetap terjaga.
3) Sarana
Bagian penting dalam konteks situasi selanjutnya adalah sarana. Sarana
menurut Sinar (2008: 61) berkaitan dengan kegiatan menyalurkan komunikasi yang
dilakukan dengan bentuk informasi. Berkaitan dengan data visual, sarana pada ritual
LG terdiri dari dua bagian, yaitu lisan dan visual. Sarana lisan yang terdapat pada
ritual lukah gilo berupa mantera dan nyanyian, sedangkan sarana visualnya berupa
seluruh aspek visual yang terdapat pada ritual LG tersebut.
113
5.1.3 Semantik dan Gramatika Visual
Pada bagian ini dijelaskan sistem makna dan sistem desain visual dari pelibat
ritual lukah gilo.
1) Bomo Utama
Pada gambar di bawah, bomo sedang melakukan prosesi pemanggilan
makhluk halus untuk mengisi lukah agar lukah bergerak dan menari. Pada prosesi
tersebut, bomo menggunakan mayang pinang untuk memanggil makhluk halus
dengan menggerakan dan membanting mayang pinang tersebut ke kiri dan ke kanan
sambil membacakan mantera lukah gilo dengan menggunakan pengeras suara.
Gambar 38: Proses pembacaan mantera
Visual bentuk tubuh dari bomo terlihat bahwa bomo berkulit sawo matang,
rambut beruban, tangan dan kaki berbulu, jidad lebar, hidung mancung, mulut lebar,
dan gigi berwarna kuning. Sedangkan mimik wajah sang bomo terlihat serius dengan
pandangan mata yang terfokus pada pergerakan mayang pinang. Pakaian yang
114
digunakan bomo bernama baju torok. Baju torok merupakan pakaian yang terbuat
dari kulit kayu pohon terap. Semua baju torok yang dibuat oleh bomo berwarna
coklat, karena warna tersebut merupakan warna dasar dari kayu yang menjadi bahan
baku pembuatan baju tersebut. Bomo duduk dengan posisi bersila dan badannya
sedikit dibungkukan, agar lebih memudahkan dalam menggoyang dan membanting
mayang pinang.
2) Asisten bomo 1 dan 2
Pada gambar di bawah terlihat asisten bomo sedang memegang lukah yang
dimanterai bomo untuk prosesi ritual lukah gilo. Visual bentuk tubuh dari asisten
bomo tersebut, kulitnya sawo matang, rambut hitam, berkumis, dan mata sedikit
sipit. Kedua asisten bomo, duduk bersimpu dengan tangan memegang lukah dan
dalam kondisi lurus.
Gambar 39:Asisten bomo 1
115
Gambar 40:Asisten bomo 2
Pakaian yang digunakan oleh kedua asisten bomo adalah pakaian torok,
pakaian yang sama dengan pakaian bomo utama. Kedua asisten menggunakan topi
yang terbuat dari kulit kayu pohon terap dan berwarna coklat yang merupakan warna
dasar dari bahan baku pembuatan topi tersebut. Mimik wajah kedua asisten tersebut
terlihat sangat serius dan dalam kondisi yang siap, karena mereka berdua harus kuat
dan siaga dalam memegang lukah yang bergerak.
3) Asisten bomo 3, 4, 5, dan 6
116
Gambar 41: Asisten bomo 3, 4, 5, dan 6
Pada imaji di atas, terlihat asisten bomo yang lainnya ikut membantu
memegang lukah yang sedang menggila. Hal itu dilakukan karena asisten 1 dan 2
tidak sanggup memegang lukah yang sedang menggila tersebut hanya berdua. Pada
gambar terlihat, visual mimik wajah para asisten bomo yang berkerut karena
menahan pergerakan lukah yang semakin kuat geraknya. Asisten bomo yang lainnya
juga menggunakan pakaian dan topi yang terbuat dari kulit kayu.
4) Penonton (Reaktor)
Pada gambar di bawah, terlihat penonton penuh memenuhi tempat
pertunjukan LG. Imaji juga memperlihatkan beberapa penonton melihat dari jarak
dekat dan memegang lukah yang sedang menggila diantaranya mengatakan: “padek
teh kuek goraknyo” yang artinya: kuat sekali gerak lukah ini. Sebagian dari penonton
ada tertawa melihat penonton yang memegang lukah tersebut terguling-guling dan
bahkan ada yang jatuh dan menghimpit tubuh asisten bomo.
117
Gambar 42:Penonton LG
Gambar 43:Penonton yang ingin mencoba memegang lukah
Penonton yang memegang lukah tersebut merupakan masyarakat Melayu
Rokan Hulu yang hidup berdampingan dengan masyarakat suku Bonai.
118
5.1.4 Simbologi Representasi Lukah Gilo
Sub-bab ini menganalisis bentuk simbologi yang terdapat pada peralatan pada
pembuatan lukah gilo. Pembuatan lukah menyimbolkan pengetahuan dan
ketrampilan khusus yang dilakukan oleh bomo. Melalui peralatan yang dibuat,
pengembangan teknologi dalam pengetahuan bomo mengenai alat dan bahan-bahan
yang digunakan serta waktu yang tepat digunakan dalam pembuatan lukah gilo.
Sedangkan ketrampilan bomo, adalah untuk membuat dan merangkai bahan-bahan
menjadi lukah yang kuat, supaya pada saat pertunjukkan dilakukan lukah bergerak
sesuka hati bahkan dapat terlepas dari tangan yang memegang lukah tersebut.
Metabahasa dan konotasi hasil proses pengembangan memaknai tanda pada
peralatan dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lukah mempunyai
makna semiotik sebagai berikut.
1) Parang
Parang ini disediakan bomo sebagai alat untuk menebang bambu tunggal dan
rotan yang digunakan dalam pembuatan lukah gilo. Parang yang digunakan bomo
untuk menebang bambu dan rotan, sebelum digunakan biasanya dimantera dulu oleh
bomo agar bambu dan rotan menjadi lebih mudah untuk ditebang. Parang yang
digunakan bomo melambang kekuatan bomo untuk menebang bambu dan rotan yang
dipercaya menajdi tempat berdiamnya makhluk halus.
119
Gambar 44: Parang untuk memotong rotan dan bambu (dokumen pribadi)
Makna dan tanda parang adalah:
Representamen (R) : Parang pada lukah gilo
Objek (O) : Parang merupakan konsep kekuatan dan ketajaman
Interpretan (I) : Parang merupakan peralatan dalam pembuatan lukah →
terbuat dari bahan dasar besi → digunakan oleh bomo untuk
menebang bambu dan rotan → sebelum digunakan
dimantera dulu → agar bambu dan rotan mudah ditebang (I)
2) Pisau raut
Dalam upacara tersebut bomo mempersiapkan pisau raut untuk meraut dan
membersihkan bambu dan rotan yang telah ditebang untuk membuat lukah. Pisau
raut tersebut dimantera terlebih dahulu untuk tujuan agar kemudahan mengerjakan,
membersihkan dan meraut bambu dan rotan. Pisau raut yang digunakan ada beberapa
jenis dan pisau raut harus tajam, agar bambu dan rotan yang diraut menjadi halus.
120
Gambar 45: Pisau raut untuk membersihkan serta meraut rotan
dan bambu (dokumen pribadi)
Makna dan tanda pisau raut adalah:
Representamen (R) : pisau raut pada peralatan lukah gilo
Objek (O) : kita rujuk pada konsep kecil dan tajam
Interpretan (I) : digunakan oleh bomo untuk meraut bambu dan rotan →
sebelum digunakan dimantera dulu → bermacam ukuran dan
fungsi
3) Rotan
Persiapan lainnya adalah menyediakan rotan untuk mengikat bambu lukah.
Rotan merupakan representasi kekuatan bomo yang digunakan sebagai salah satu
perlengkapan dalam pembuatan lukah gilo. Rotan yang digunakan harus rotan yang
sudah dibersihkan dan diraut sebagai alat untuk pengikat bambu yang telah dirangkai
untuk menjadi lukah. Rotan merupakan simbol kekuatan oleh sang bomo. Rotan
121
yang dibuat menjadi lukah, memiliki makna kekuatan dalam menjaga tangkapan
yaitu ikan. Setelah masuk maka berkat kekuatan rotan ikan tidak akan dapat keluar
lagi.
Gambar 46: rotan untuk mengikat bambu lukah (dokumen pribadi)
Makna dan tanda rotan adalah:
Representamen (R) : ikatan rotan pada lukah
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘kekuatan’
Interpretan (I) : digunakan untuk mengikat bambu lukah → sebelum
digunakan untuk mengikat lukah harus diraut → ada banyak
jenis dan ukuran → banyak tumbuh di perkampungan
masyarakat Bonai
4) Bambu tunggal
Dalam ritual lukah gilo, bambu tunggal merupakan bahan utama dalam
pembuatan lukah. Bambu yang digunakan harus bambu tunggal yang tumbuh
dipinggir sungai. Bambu tunggal sarat akan kekuatan mistis, yang bertujuan untuk
menarik dan memanggil makhluk halus. Menurut bomo, bambu tunggal juga
122
berfungsi sebagai tempat tinggal makhluk halus. Dalam kebudayaan suku Bonai,
bambu memiliki makna memiliki kemampuan untuk membuat satu kesatuan yaitu
dalam bentuk rumpun. Bambu dengan berbagai jenisnya juga selalu digunakan
sebagai benteng ketahanan terhadap serangan lawan. Bambu dalam kampung-
kampung dan kerajaan masyarakat Melayu selalu ditanam sebagai pagar rumah
tempat tinggal dan istana.
Gambar 47: bahan utama dalam pembuatan lukah (dokumen pribadi)
Makna dan tanda bambu tunggal adalah:
Representamen (R) : bambu tunggal pada lukah
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘mistis’
Interpretan (I) : bambu tunggal bahan utama pembuatan lukah → harus
tunggal dan tumbuh di pinggir sungai → susah untuk
didapatkan → banyak mengandung kekuatan mistis
5) Kain hitam
Dalam ritual lukah gilo, bomo menyediakan kain hitam yang berfungsi
sebagai pakaian yang digunakan untuk menutupi lukah. Kain hitam juga digunakan
123
sebagai jalan masuknya makhluk halus yang dipanggil bomo ke dalam lukah yang
digunakan untuk ritual. Dalam kebudayaan suku Bonai warna hitam adalah simbol
dari kekuatan supernatural. Hitam memberikan kekuatan lahir dan batin bagi
pemakainya. Hitam juga selalu digunakan para prajurit suku Melayu dan Bonai
dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Gambar 48: kain penutup lukah gilo (dokumen pribadi)
Makna dan tanda pada kain hitam adalah:
Representamen (R) : kain hitam pada lukah
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘kekuatan magis’
Interpretan (I) : digunakan sebagai penutup atau pakaian lukah pada saat
pertunjukkan → sebagai jalur masuknya makhluk halus →
banyak mengandung kekuatan mistis → sebagai lambang
warna kekuatan magis
6) Tempurung kelapa
Dalam ritual lukah gilo, tempurung kelapa digunakan sang bomo sebagai
pelengkap lukah, yaitu sebagai kepala dari lukah. Tempurung kelapa berfungsi
124
sebagai kepala lukah sehingga penampilan lukah seperti orang-orangan sawah yang
lengkap dengan kepala. Dalam kebudayaan suku bonai, tempurung kelapa ini
memiliki makna sebagai simbol pikiran dan mengarahkan hubungan antara manusia
dengan alam gaib. Dalam hal ini tempurung kelapa berfungsi seperti kepala makhluk
gaib atau manusia. Tempurung kelapa dan lukah secara keseluruhan ini sekaligus
adalah sebagai bahagian dari antropomorfisme, yaitu mengibaratkan atau
memandang lukah dan kepalanya sebagai bahagian utuh sebagai tubuh yang hidup.
Apalagi nanti telah “dimasuki” makhluk halus. Dalam kebudayaan suku Bonai atau
Melayu ini lazim terjadi. Misalnya dalam memandang rebab, orang Melayu
menganggap itu seperti manusia, yaitu ada kepala, leher, kecopong, badan, bahagian
belakang, dan lainnya.
Gambar 49: kepala lukah gilo (dokumen pribadi)
Makna dan tanda pada tempurung kelapa sebagai berikut:
125
Representamen (R) : tempurung kelapa pada lukah
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘kepala’
Interepretan (I) : digunakan sebagai kepala lukah → dibentuk oleh bomo →
bila diberi kepala lukah seperti orang-orangan sawah
7) Mayang pinang
Mayang pinang atau yang biasa disebut dengan bunga pinang merupakan alat
yang digunakan bomo untuk memerintah roh-roh halus yang akan membantu
pekerjaan bomo untuk menggerakkan lukah. Mayang pinang ini adalah simbol dari
kekuatan magis bomo dalam memerintahkan makhluk gaib. Mayang pinang dalam
kebudayaan Melayu selalu digunakan untuk kepentingan-kepentingan ritual, seperti
tradisi mengobati penyakit di Riau yang disebut tradisi belian. Begitu juga tradisi
mengobati penyakit karena kesurupan roh jahat di daerah Perlis Semenanjung
Malaysia, yang disebut ulik mayang, dan lain-lainnya.
Gambar 50: alat untuk menggerakkan lukah gilo (dokumen pribadi)
126
Makna dan tanda pada mayang pinang sebagai berikut:
Representamen (R) : mayang pinang pada ritual lukah gilo
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘pesan’
Interpretan (I) : merupakan kekuatan bomo → merupakan senjata bomo →
alat untuk penyampai pesan dari bomo ke makhluk halus →
alat untuk mengerakan dan memberhentikan lukah gilo
8) Wangi-wangian atau kemenyan
Kemenyan berfungsi sebagai undangan yang dilakukan oleh sang bomo
kepada makhluk halus. Wangi-wangian dan asap kemenyan berfungsi sebagai media
penyampaian pesan dan juga sebagai makanan yang diberikan kepada makhluk halus
yang akan membantu sang bomo dalam menggerakkan lukah gilo. Kemenyan adalah
media yang umum digunakan oleh dukun dan sejenisnya dalam berkomunikasi
dengan alam dan makhluk gaib. Kemenyan adalah salah satu syarat dalam kegiatan-
kegiatan komunikasi alam nyata dengan alam supernatural.
Gambar 51: kemenyan yang digunakan bomoh (dokumen pribadi)
127
Makna dan tanda pada kemenyan sebagai berikut:
Representamen (R) : aroma wangi-wangian atau kemenyan
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘undangan’
Interpretan (I) : alat pemanggil makhluk halus oleh bomo → makanan bagi
makhluk halus → pada saat pertunjukan kemenyan dibakar
→ aromanya menyengat di hidung
9) Pakaian Torok
Pakaian torok adalah pakaian tradisional yang terbuat dari bahan kulit kayu,
yang digunakan bomo dalam pelaksanaan upacara ritual lukah gilo. Pakaian torok
digunakan bomo untuk memperlihatkan identitas ritual dan budaya masyarakat suku
Bonai kepada siapa pun yang melihat pertunjukkan ritual lukah gilo.
Gambar 52: pakaian yang digunakan bomo dalam prosesi LG (dokumen pribadi)
128
Makna dan tanda pada pakaian torok sebagai berikut:
Representamen (R) : pakaian torok pada bomo
Objek (O) : kita rujuk pada konsep ‘primitif’
Interpretan (I) : terbuat dari kulit kayu terap → pembuatannya melalui proses
pengawetan tradisional → waktu yang diperlukan dalam
pembuatan paling cepat 1 minggu → berwarna coklat
Setelah semua perlengkapan dalam membuat lukah baik itu peralatan maupun
bahan-bahan yang akan digunakan tersedia, maka prosesi pembuatan lukah sudah
bisa dilakukan. Hal pertama yang dilakukan adalah memotong dan meraut bambu
dan rotan. Bambu dipotong sama besar dan sama panjang, potongan bambu seperti
bentuk sumpit. Setelah bambu selesai dipotong, kemudian bambu diraut untuk
menghilangkan serat dan miang yang menempel pada bambu, agar saat pertunjukkan
lukah dilaksanakan tangan orang yang ingin memegang lukah yang sedang bergerak
tidak terluka oleh serat dan miang tersebut. Satu hal yang harus diingat dalam
pembuatan lukah, bambu yang digunakan harus bambu tunggal dan tumbuh di
pinggir sungai.
Setelah bambu selesai diraut, bambu tersebut dirangkai dan dijalin hingga
membentuk orang-orangan sawah tanpa kepala. Setiap rangkaian dan jalinan yang
dibentuk harus diikat menggunakan rotan yang telah diraut juga. Tinggi lukah yang
dibuat menyerupai bentuk orang-orangan sawah adalah ½ m. Kemudian, lukah diberi
kepala yang terbuat dari tempurung kelapa yang sudah diraut juga sabuknya. Setelah
129
bentuk lukah sempurna, maka lukah diberi kain hitam yang berfungsi sebagai
penutup tubuh lukah atau berfungsi sebagai pakaian. Setelah lukah selesai dibuat,
lukah disimpan dalam satu rungan yang khusus, di mana tidak seorang pun yang
dapat melihat lukah tersebut sebelum lukah ditampilkan dalam sebuah pertunjukkan.
Dalam pembuatan lukah, diperlukan waktu ± 1 (satu) bulan untuk
menyelesaikan satu buah lukah. Lukah yang dibuat harus sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan oleh sang bomo, biasanya lukah dibuat pada saat bulan purnama
atau pada saat seorang ibu melahirkan anaknya, dimana sang ibu tidak selamat tetapi
anaknya selamat.
5.2 Peranan dan Makna Mantera Lukah Gilo
Mantera merupakan ucapan yang diyakini memiliki kekuatan magis. Mantera
yang mengandung magis dipercaya berasal dari arwah para leluhur. Mantera juga
dapat dikatakan sebagai sarana komunikasi yang dapat digunakan untuk
berhubungan dengan makhluk supranatural. Ucapan mantera cukup kuat untuk
menggerakkan serangkaian makhluk yang ada di alam ini, seperti: binatang, tumbuh-
tumbuhan, roh-roh halus, bahkan manusia pun dapat digerakkan melalui mantera.
Hal tersebut di atas juga berlaku terhadap mantera-mantera yang dimiliki
oleh masyarakat suku Bonai. Masyarakat suku Bonai mengapresiasikan mantera
sebagai ucapan yang berasal dari Tuhan dan diturunkan kepada arwah leluhur untuk
dapat digunakan oleh masyarakat suku Bonai. Ada berbagai macam jenis mantera
130
yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai, seperti mantera pemanis, mantera kebal,
dan salah satunya adalah mantera lukah gilo. Seluruh mantera yang dimiliki oleh
masyarakat suku Bonai memiliki kekuatan magis, yang kekuatan magisnya dapat
menggerakkan semua benda dan makhluk ciptaan Tuhan.
Mantera lukah gilo merupakan mantera yang diucapkan untuk menggerakkan
dan untuk membuat lukah bisa menari atau menjadi gila. Kata-kata yang digunakan
dalam mantera lukah gilo memiliki efek magis, sehingga mantera tersebut hanya bisa
diucapkan oleh penuturnya yang disebut dengan bomo. Pada mantera lukah gilo,
seorang bomo memperoleh kemampuan lisannya untuk menggerakkan lukah ketika
mengucapkan mantera magis yang merujuk pada pengucapan nama Tuhan. Contoh
lafal yang diucapkan bomo dengan menyebutkan nama Tuhan untuk menggerakkan
lukah adalah:
A’uzubillahhiminasyaitonnirrojimBismillahhirrohmanirrahimAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAsyhadualaillahaillahWaasyhaduannamuhammadarrosulullah
Dalam masyarakat suku Bonai, untuk mempelajari dan mengetahui tentang
mantera lukah gilo selalu berlangsung sangat pribadi dan rahasia. Proses
pembelajaran mantera lukah gilo, disusun dan diupacarakan dengan sangat ketat
untuk menyerap pengetahuan mengenai mantera dan magis. Ritual yang dilakukan
131
selama proses pembelajaran, mengubah mantera menjadi teks-teks yang memiliki
kekuatan dan pengaruh untuk menggerakkan lukah sehingga dapat dipercaya bagi
orang yang menyaksikan.
Menurut Rasyid, untuk menjadi seorang bomo yang memegang peranan
penting dalam permainan lukah gilo tidaklah mudah. Seorang bomo lukah gilo harus
memiliki pengetahuan mengenai mantera dan seluk beluk lukah gilo tersebut, dan
bersedia menjalani berbagai macam proses dan tahapan untuk menjadi seorang
bomo. Adapun tahapan yang harus dilalui untuk menjadi seorang bomo adalah
sebagai berikut:
1. Harus mempelajari dan mengikuti silat tarekat 21 hari dan silat bangkit.
2. Usia harus 20 tahun ke atas.
3. Bersedia latihan setiap malam Selasa dan malam Jumat.
Apabila semua tahapan tersebut telah dilakukan, maka seseorang dapat diberi
pengetahuan mengenai mantera dan lukah gilo. Setiap orang yang telah menguasai
dan memiliki mantera lukah gilo, dapat menerapkan dan mempraktikkannya sendiri
dan orang tersebut sudah dapat dikatakan sebagai bomo lukah gilo. Bagi masyarakat
suku Bonai tidak mengharuskan seseorang menjadi bomo lukah gilo, karena untuk
menguasai dan mempelajari mantera magis lukah gilo dibutuhkan potensi individu
yang kuat, tangguh, dan siap mental untuk menjadi seorang bomo lukah gilo.
132
Mantera bagi bomo lukah gilo, seringkali digunakan untuk menguasai lukah
dan perasaan orang lain yang melihat pertunjukkan lukan tersebut. Konsep
masyarakat suku Bonai, mantera lukah gilo akan menjadi efektif bila berlandaskan
pada wacana pengetahuan mengenai relasi antara bahasa dan tubuh. Pengucapan
mantera yang berulang-ulang oleh bomo, akan membuat lukah dan pemegang lukah
menjadi seperti yang diinginkannya.
Sama seperti perlengkapan, mantera ritual lukah gilo juga memegang peranan
penting dalam pertunjukkan untuk menggerakkan lukah. Semua mantera yang dibaca
oleh bomo, mempunyai simbol, tanda, dan makna. Untuk itu, pada sub-bab berikut
akan diuraikan simbol, tanda, dan makna yang terdapat pada mantera ritual lukah
gilo. Adapun mantera ritual lukah gilo tersebut adalah:
A’uzubillahhiminasyaitonnirrojimBismillahhirrohmanirrahimAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAsyhadualaillahaillahWaasyhaduannamuhammadarrosulullahBismillahhirrohmanirrohim
Kalimat di atas berfungsi sebagai doa pembuka pada mantera LG. Dalam
ritual LG, doa tersebut digunakan untuk memulai pekerjaan bomo dan asisten bomo
dalam prosesi ritual LG. Frasa pembuka yang Islami memayungi mantera. Bagian
awal mantera yang Islami ini adalah untuk membangkitkan kekuatan bomo dan
133
memohon perlindungan kepada Allah, SWT agar prosesi lukah gilo dapat terlaksana
sesuai dengan yang diharapkan.
Siyow wasak siyow wasiSipak ningsi ila lukah
Salah satu peran yang dimainkan oleh bomo selama prosesi adalah
memanggil roh untuk membuat lukah agar menggila. Mantera di atas
memperlihatkan bahasa langsung antara bomo dengan para roh. Salah satu tujuan
utama mantera di atas yaitu memberi sembah pada makhluk gaib. Sembah ini
dilakukan bomo dengan cara menggoyangkan tubuh ke kiri dan ke kanan dengan
postur tubuh agak sedikit membungkuk seperti menyembah sesuatu. Selama
pelaksanaan sembah ini, bomo membayangkan permohonannya yaitu makhluk gaib
yang datang nanti diminta untuk menggerakkan lukah yang dipegang oleh asisten
bomo dan makhluk gaib tersebut hendaknya selalu mengikuti dan mengabulkan
semua permintaan bomo. Meski secara formal menyatakan bahwa mereka Islam,
orang Bonai juga mempercayai kekuatan makhluk halus, seperti setan, jin, dan hantu,
dengan menunjukkan bahwa mereka juga makhluk ciptaan Allah, SWT.
Nan sonik mun namo lidiNan bosa mun namo lukah
Setelah mengajukan permohonan, selanjutnya bomo membaca mantera di
atas yang menunjukkan pendekatannya pada roh yang datang. Dalam mantera ini,
134
bomo mengatakan kepada roh bahwa yang besar inilah lukah yang akan digerakan
oleh roh. Jangan sampai roh yang datang tersebut salah masuk ke tempat yang lain.
Nan lenggang tuku di bukikMali-mali tuku di lurahMalenggang lukah sadikikManyuborang pane Allah
Bomo melanjutkan mantera selanjutnya sambil melempar mayang pinang ke
sisi kiri dan kanan. Mantera ini dinyanyikan untuk meminta roh menggerakan lukah
secara perlahan terlebih dahulu, tetapi tetap di bawah komando sang bomo. Bagi
bomo, mantera magis yang dibacanya tidak bertentangan dengan agamanya, yaitu
Islam. Bomo menganggap mantera yang dibacanya hanya bekerja pada roh halus
yang diciptakan Allah, SWT, untuk maksud dan tujuan menggerakan lukah.
Potang pase otan tunggaMalayang tahadaronyoIsi bona nyihin tunggaPotang pandai naku palo
Setelah lukah bergerak secara perlahan, selanjutnya bomo membaca mantera
di atas untuk meminta roh menggerakan lukah semakin cepat. Dalam mantera ini,
bomo mengatakan bahwa roh bisa menggerakkan lukah ini dengan cepat karena
lukah gilo ini dibuat dari bambu tunggal yang merupakan tempat tinggal roh
tersebut. bomo juga mengatakan kepada roh, jika roh bisa mengerakkan lukah dan
mengikuti semua permintaannya, maka bomo akan mengucapkan rasa
135
terimakasihnya kepada roh yang telah membantunya membuat lukah bergerak dan
membantunya selama prosesi berlangsung.
136
BAB VI
KEARIFAN LOKAL PADA TRADISI LISAN RITUAL LUKAH GILO
Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang
didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam
sebuah budaya masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan wujud tingkah
laku atau pikiran-pikiran manusia pada masyarakat tertentu dalam mengekspresikan
keinginan dan budaya mereka. Selain untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran,
kearifan lokal juga merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperlihatkan
bagaimana sistem kehidupan suatu masyarakat dalam menjaga dan melestarikan
alam dan lingkungan sekitar yang merupakan urat nadi kehidupan mereka.
Dengan pesatnya perkembangan zaman dan perubahan ekonomi, sosial, dan
budaya, masyarakat suku Bonai masih memperlihatkan kuatnya kearifan lokal yang
mereka miliki demi mempertahankan identitas diri, kehidupan sosial, lingkungan,
pelestarian dan inovasi budaya. Masyarakat Bonai percaya bahwa pelestarian
kearifan lokal akan dapat menjaga warisan hutan, tanah, sungai, dan budaya
masyarakat suku Bonai dalam konteks masa kini. Upaya untuk memahami konsep
kearifan lokal dalam tradisi lukah gilo, merupakan ruang untuk memahami pikiran-
pikiran masyarakat suku Bonai yang berhubungan dengan lingkungan dan tata
137
hubungan sosial budaya masyarakat suku Bonai. Berikut ini akan diuraikan konsep
kearifan lokal masyarakat suku Bonai yang terdapat dalam mantera lukah gilo.
6.1 Kearifan Lokal tentang Hubungan Harmonis Manusia, Alam, dan Makhluk
Gaib
Di dalam kebudayaan suku Bonai yang kini telah beragama Islam, maka
mereka mencoba menerapkan ajaran Islam ini dalam konteks memaknai hubungan
antara manusia, alam, dan makhluk gaib. Manusia adalah bahagian dari alam.
Manusia itu juga kadang disebut dengan alam diri. Manusia harus menjaga
keharmonisan hubungannya dengan alam dan segala isi yang diciptakan Tuhan
termasuk makhluk gaib (tidak kasat mata).
Makhluk gaib yang di dalam ajaran Islam salah satunya disebut jin memang
wujud dan perlu dijaga hubungannya dengan manusia. Oleh karena itu bagi seorang
manusia Bonai dilarang merusak alam. Merusak alam juga akan berakibat akan
merusakkan tatanan dunia gaib, yang dihuni oleh para jin. Oleh karena itu jangan
sekali-kali merusak alam, termasuk di dalamnya hutan yang perlu dilestarikan.
Begitu juga dengan berbagai hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia
seperti damar, kemenyan, madu, sayur mayur, dan berbagai hewan buruan untuk
lauk-pauk. Yang penting jaga keseimbangannya.
Bagi masyarakat suku Bonai, lingkungan merupakan urat nadi demi
keberlangsungan hidup mereka. Mereka tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya,
138
karena semua yang mereka butuhkan telah disediakan oleh lingkungannya. Sebagai
masyarakat nelayan dan berkebun, masyarakat suku Bonai memiliki hubungan yang
sangat erat dengan sungai, hutan, dan tanah.
Nilai-nilai kearifan lokal terhadap lingkungan yang terdapat pada prosesi
ritual LG, seperti sungai sebagai media tempat tumbuh bambu tunggal yang menjadi
bahan utama dalam pembuatan lukah. Kemudian sungai juga menyediakan air yang
digunakan untuk pelepas dahaga pada prosesi ritual lukah gilo dan juga menyediakan
ikan yang digunakan para bomo dan asisten bomo untuk lauk mereka makan. Mereka
tetap menjaga sungai mereka, agar dapat menjadi sumber penyedia bahan baku
pembuat lukah dan sebagai penopang kebutuhan mereka yang lainnya.
Selain sungai, masyarakat suku Bonai juga menganggap hutan dan tanah
sebagai tempat tumbuh bahan-bahan pendukung pembuatan lukah, yaitu rotan,
kemenyan, dan kayu terap yang kulit kayunya dijadikan pakaian torok bomo dan
asisten bomo. Selain menyediakan bahan-bahan pembuatan lukah, hutan dan tanah
juga menjadi tempat tinggal yang sangat baik bagi mereka. Di hutan dan tanahlah
mereka meletakkan semua kenangan serta harapan untuk keberlangsungan hidup
anak dan cucu mereka.
Namun, hutan dan tanah yang dimiliki masyarakat suku Bonai kini banyak
dikuasai secara perseorangan maupun perkelompok. Penguasaan hutan dan tanah ini
membuat kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suku Bonai mulai terlupakan.
139
Hutan dan tanah masyarakat suku Bonai banyak mengalami perubahan alih fungsi.
Dahulu hutan dan tanah merupakan tempat tinggal bagi masyarakat Bonai, kini hutan
dan tanah yang mereka miliki telah berubah menjadi lahan perkebunan yang dimiliki
oleh masyarakat lain. Kini, masyarakat Bonai seperti menumpang di atas tanah yang
mereka miliki sendiri.
6.2 Kearifan Lokal Terhadap Identitas Diri
Bagi masyarakat Melayu Riau, masyarakat suku Bonai merupakan salah satu
masyarakat pedalaman yang memiliki tradisi dan budaya yang aneh dan unik, yang
salah satu tradisinya adalah LG.
Kegiatan lukah gilo ini, sebenarnya merupakan bahagian dari konsep alam
(kosmologi) suku Bonai dan suku Melayu. Bahwa manusia adalah bahagian dari
alam. Manusia perlu menjaga hubungan yang harmonis dengan alam sekitar, baik
yang tampak kasat mata ataupun yang gaib. Dalam kebudayaan suku Bonai, mereka
mempercayai adanya alam gaib yang dapat membantu manusia dalam berbagai hal,
seperti mengobati penyakit, menjaga rumah, menjaga lahan pertanian, dan lain-
lainnya.Melalui LG, masyarakat Bonai ingin menyampaikan bahwa ritual LG tidak
hanya dimiliki oleh suku Bonai saja, masyarakat terasing lainnya yang ada di
Provinsi Riau juga memiliki ritual LG dengan konsep dan prosesi yang berbeda.
Melalui ritual LG, masyarakat Bonai ingin memperlihatkan bentuk ritual LG yang
mereka miliki dan ingin menyampaikan bahwa inilah tradisi dan budaya mereka.
140
Selain memiliki tradisi dan budaya yang unik, masyarakat Bonai merupakan
masyarakat yang masih memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan
leluhurnya dan sebagai masyarakat pedalaman mereka memiliki tradisi, budaya, dan
keyakinan serta kepercayaan tradisional. Mereka menganggap bahwa mereka dan
masyarakat Melayu lainnya yang hidup dan tinggal di provinsi Riau sama-sama
percaya kepada keberadaan Allah Subhanawata’ala. Melalui mantera LG mereka
mencoba memperlihatkan kepada masyarakat Melayu lainnya, bahwa masyarakat
suku Bonai merupakan masyarakat Melayu biasa yang telah memeluk agama Islam.
A’uzubillahhiminasyaitonnirrojimBismillahhirrohmanirrahimAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAllahumma Sali ‘ala sayyidina MuhammadWa’ala ali sayyidina MuhammadAsyhadualaillahaillahWaasyhaduannamuhammadarrosulullah
BismillahhirrohmanirrohimSiyow wasak siyow wasiSipak ningsi ila lukahNan sonik mun namo lidiNan bosa mun namo lukah
Dari uraian mantera di atas, terlihat bahwa mantera yang digunakan
masyarakat suku Bonai untuk menggerakkan lukah telah menggunakan ucapan-
ucapan yang menyebutkan nama Tuhan. Pada mantera di atas, mereka juga
menjelaskan dan menetapkan diri sebagai seorang muslim. Meskipun, memiliki
tradisi dan budaya tradisional, tetapi mereka adalah seorang muslim yang
memadukan setiap tradisi dan budayanya dengan kepercayaan dan keyakinan yang
141
telah mereka anut, yaitu agama Islam. Selain untuk menetapkan identitas bahwa
mereka telah memiliki agama yaitu Islam, dengan mantera lukah gilo tersebut
mereka juga ingin memperlihatkan kepada masyarakat lain yang hidup
berdampingan dengan mereka, bahwa mereka sama dengan masyarakat lainnya.
6.3 Kearifan Lokal Terhadap Pelestarian Budaya
Kearifan budaya masyarakat suku Bonai pada hakikatnya berpangkal dari
sistem nilai dan religi yang dianut suku Bonai dalam komunitasnya. Ajaran agama
dan kepercayaan masyarakat suku Bonai menjiwai dan memberi warna serta
mempengaruhi citra budayanya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap tradisi dan
budayanya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada
masyarakat untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan tradisinya, sehingga
tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan budayanya.
Kearifan lokal yang terkandung dalam setiap bait mantera lukah gilo
merupakan sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan
berkembang pada masyarakat suku Bonai. Lukah gilo dapat dijadikan sebagai salah
satu unsur budaya masyarakat suku Bonai yang harus dipelihara dan diupayakan
untuk diintegrasikan menjadi budaya baru di daerah sendiri secara keseluruhan.
Pengembangan kearifan-kearifan lokal pada mantera ritual lukah gilo yang relevan
dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu budaya masyarakat
suku Bonai, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga
142
mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga
meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi
untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak
kehidupan masa sekarang.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai, dinilai
dapat menjadi sebuah potensi kekayaan budaya daerah dan bahkan bisa menjadi
identitas diri bagi masyarakat suku Bonai. Kearifan masyarakat suku Bonai dalam
mengelola tradisi dan budayanya dapat disampaikan lewat media-media tradisional
seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung
pengetahuan religi, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi kosmologi dan agama
sebagai penyeimbang kehidupan. Bahkan uraian di atas memperlihatkan tiga elemen
kearifan budaya, yaitu sistem nilai, pengetahuan, dan religi.
6.4 Kearifan Lokal Terhadap Kesejahteraan Hidup
Setiap manusia ingin hidup sempurna dan sejahtera lahir batin, tidak
terkecuali juga bagi masyarakat suku Bonai. Tuntutan zaman yang membuat mereka
harus lebih giat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Keanekaragaman tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai, bagi
mereka dapat menjadi nilai dan potensi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka. Salah satu tradisi dan budaya yang memiliki potensi untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka adalah tradisi lukah gilo. Dahulu, lukah gilo yang
143
merupakan suatu tradisi menangkap ikan di sungai dan sekaligus juga permainan
rakyat, kini dapat berubah menjadi sumber mata pencaharian baru bagi mereka untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup. Ini terlihat dari setiap mereka melakukan
pertunjukkan, pihak yang mengundang mereka selalu memberikan uang saku untuk
mereka setelah pertunjukkan selesai. Bila suatu instansi tertentu yang mengundang
mereka, maka bayarannya pun lebih banyak bila dibandingkan dengan pendapatan
dari mereka bekerja selama satu bulan. Apalagi sekarang pertunjukkan lukah gilo
yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai telah terkenal hingga ke negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura.
Dapat dikatakan bahwa pertunjukkan lukah gilo kini telah menjadi
pendapatan tambahan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tetapi
mereka tetap memegang teguh bahwa lukah gilo adalah tradisi dan budaya yang akan
tetap mereka jaga dan mereka pelihara kelestariannya.
144
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Ada banyak kategori sebutan nama untuk masyarakat suku Bonai yang hidup
dan tinggal di daerah aliran sungai Rokan Provinsi Riau. Ada beberapa pihak yang
menyebut masyarakat Bonai sebagai suku terasing, suku pedalaman, suku terisolir,
suku primitif, dan suku asli. Dari sekian banyak sebutan, masyarakat suku Bonai
tidak mau dikatakan dengan sebutan tersebut, mereka menganggap bahwa
masyarakat suku Bonai sama dengan masyarakat Melayu lainnya yang hidup
berdampingan dengannya.
Suku Bonai adalah salah satu suku terasing di kawasan Provinsi Riau, selain
suku lainnya yaitu Sakai, Talangmamak, Kubu, Orang Hutan, dan suku Laut atau
suku Akit. Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu suku asli yang tinggal jauh
di pedalaman Sungai Rokan. Masyarakat ini sulit dijangkau dan terisolasi secara
sosial dan hidup dari hasil pertanian ladang berpindah-pindah, perikanan, dan
meramu. Masyarakat Bonai ini jauh dari sentuhan pembangunan pemerintah Provinsi
Riau, bahkan sebagian besar penduduk atau masyarakat Riau yang tinggal di luar
dari desa mereka tersebut tidak tahu siapa mereka ini.
Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang
teguh tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk
145
agama Islam, masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya
aturan hukum adat, budaya, dan tradisi demi mempertahankan identitas sosial
mereka. Masyarakat suku Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan
tradisinya dengan cara menyatukan dan membawa budaya dan tradisi dalam
kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam. Menurut mereka dengan memadukan
keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa meninggalkan agama yang telah
dianut.
Kepercayaan orang Bonai mengenai kuasa kata-kata magis untuk memanggil
makhluk halus, membuat orang Bonai mengganti ritual menjadi sebuah bentuk seni
yang unik dan asik untuk dilihat. Orang Bonai percaya, bahwa dengan menggunakan
nama Allah, SWT, ke dalam mantera-mantera, akan meningkatkan kekuatan
spiritualnya.
Seni pertunjukan lukah gilo yang tampak unik dan asli bagi orang luar adalah
salah satu sumber yang dimanfaatkan oleh orang Bonai untuk memperkenalkan
identitas mereka sebagai masyarakat Riau. Walaupun bentuk pementasan ritual lukah
gilo menampilkan keunikan dan keaslian tradisi dengan memperlihatkan keanehan
budaya masyarakat Bonai kepada masyarakat Melayu lainnya. Meningkatnya
interaksi masyarakat Bonai dengan masyarakat Melayu lainnya, mendorong
masyarakat Bonai untuk memberikan tradisi ritual lukah gilo mereka dengan cara
pertunjukan ritual untuk mendapatkan imbalan materi.
146
Tradisi lisan ritual lukah gilo yang dimiliki oleh masyarakat Bonai kini
mengalami perubahan, yaitu dahulu sebagai permaian rakyat yang hanya
diperuntukkan bagi masyarakat Bonai sendiri, kini telah mengalami transformasi
fungsi sebagai pertunjukan publik yang dapat menghasilkan tambahan materi bagi
masyarakat Bonai. Masyarakat Bonai menggunakan tradisi lisan lukah gilo yang
mereka miliki untuk mendukung pernyataan mengenai tradisi dan budaya Melayu
kepada masyarakat Melayu lainnya.
Ritual lukah gilo akan terus dipertunjukan sebagai alat revitalisasi tradisi dan
budaya, dan memberikan model tradisi dan budaya untuk memahami dan memaknai
pemahaman orang Bonai mengenai perubahan sosial dan interaksi dengan
masyarakat Melayu lainnya.
7.2 Saran
1. Diharapkan pemerintah daerah dan pusat lebih memperkenalkan masyarakat
suku Bonai ke masyarakat lainnya, agar masyarakat Melayu lainnya
mengetahui keberadaan masyarakat suku Bonai.
2. Diharapkan kepada pemerintah daerah dan pusat di mengganti lahan hutan
menjadi lahan perkebunan, karena hutan merupakan tempat tinggal bagi
masyarakat suku Bonai
147
3. Diharapkan kepada masyarakat suku Bonai dan pemerintah daerah untuk
tetap menjaga dan melestarikan ritual lukah gilo agar tetap dikenal dunia
nasional maupun internasional.
148
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku, Jurnal, Surat Kabar, Artikel, dan Sejenisnya
Amanriza, Ediruslan Pe, et al. 1989. Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan Hilir). Pekanbaru: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Riau.
Amri, Yusni Khairul. 2011. Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Tesis).
Christomy, Tommy, et al. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Daud, Haroon. 2001. Mantera Melayu. Pulau Pinang: University Sains Malaysia.
Denzin, Norman K, and Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat Bantuan Sosial. 2005. Kajian Kearifan Lokal di 8 (Delapan) Provinsi. Jakarta: Departemen Sosial RI.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University Press.
Goffman, Erving. 1981. Forms of Talk. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Halliday, M.A.K. et al., 1986. Semiotics Ideology Language. Australia: Sydney Association for Studies in Society and Culture.
Hamidy, UU. 1991. Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI. Pekanbaru: Zamrad.
Hamidy, UU. 1992. Pengislaman Masyarakat Sakai oleh Tarekat Naksyabandiyah Babussalam. Pekanbaru: UIR Press.
Hamidy, UU. 1999. Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau. Pekanbaru: Universitas Lancang Kuning Press.
149
Hamidy, UU. 2009. Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan. Pekanbaru: UIR Press.
Hodges, Robert, dan Kress Gunther. 1999. Sosial Semiotik (Edisi Ringkas). Padang: Breeuw Print.
Jalil, Adul dan Rahman, Elmustian. 2001. Puisi Mantra. Pekanbaru: Universitas Riau.
Kang, Yoonhee. 2005. Untaian Kata Leluhur Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Riau.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Kress, G dan van Leeuwn, T. 1996. Reading Images-The Grammar of Visual Design. London: Routledge.
Kress, G. 2000. Multimodality: Challenges to Thinking about Language. TESOL Quarterly, 34, 337-340.
Martin, J.R dan Rose, David. 2003. Working with Discourse. London: Continuum.
Nazir, Mohd. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Pudentia, MPSS. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Rahardiansah, Trubus. 2011. Transformasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Bangsa: Dialektika Pentingnya Pendidikan Berbasis Local Genius. Jakarta: Universitas Trisakti.
Rahman, Elmustian, dkk. 2009. Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
Royce, Terry D. 2007. “Multimodal Communicative Competence in Second Language Contexts” dalam New Directions in the Analysis of Multimodal Discourse. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Publishers.
Saragih, Amrin. (2009). Semiotik Bahasa. Bahan Ajar Perkuliahan Semiotik Program Studi Linguistik USU. Medan.
150
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka.
Sartini, Ni Wayan. 2011. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Surabaya: Jurnal on-line Unair.
Sayuti. (2005). Definisi Kearifan Lokal. Wikipedia: Jurnal on-line.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: PODA.
Sibarani, Robert. 2011. Nilai-nilai Kearifan Lokal. Medan: Bahan Ajar Perkuliahan Metode Tradisi Lisan Program Studi Linguistik USU.
Sinar, T Silvana. 2010. Teori & Analisis Wacana, Pendekatan Linguistik Sistemik-Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Sinar, T Silvana. 2011. Mitos Cerita Rakyat. Medan: USU Press.
Sinar, T Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara. Medan: USU Press.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Bali: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.
Subyantoro, Arief, dan Suwarto, FX. 2006. Metode & Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.
Syafa’at, Rachmad, et.al. 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. Malang: In-TRANS Publishing.
Syuropati, A. Mohammad. 2011. Teori Sastra Kontemporer & 13 Tokohnya (Sebuah Perkenalan). Yogyakarta: IN AzNa Books.
Triswanto, Sugeng D. 2010. Trik Menulis Skripsi & Menghadapi Presentasi Bebas Stres, Lengkap dari A sampai Z. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Yunita, Erni. (2011). Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara.
151
Medan: Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara. Tesis.
Zoest, Aart van. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
b. Internet
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotik.pdf, diunduh 3 Maret 2012
hhtp://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf), diunduh 15 Maret 2012
(http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41), diunduh 17 April 2012
(http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud 2.html), diunduh Desember 2011
152
DAFTAR PERTANYAAN KHUSUS BOMO
Nama Bomo : M. Rasyid
Usia : 52 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Bomo lukah gilo
Alamat : Desa Ulak Patian Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu
1. Bagaimana sejarah awal masyarakat suku Bonai?2. Bagaimana asal usul dan sejarah nama Bonai?3. Bagaimana kehidupan orang Bonai?4. Kapan awal mula masyarakat Bonai memeluk Islam?5. Apa mata pencarian orang Bonai?6. Apa saja kesenian yang dimiliki orang Bonai?7. Sudah berapa lama Bapak menjadi bomo?8. Bagaimana awal mulanya menjadi seorang bomo?9. Apa saja syarat untuk menjadi seorang bomo?10. Selain jadi bomo, apa pekerjaan Bapak yang lainnya?11. Bagaimana awal mula permainan rakyat lukah gilo?12. Apa saja persyaratan yang diperlukan untuk pembuatan lukah?13. Apa saja perlengkapan dan peralatan untuk membuat sebuah lukah?14. Bagaimana cara memainkan lukah gilo?15. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi pada saat pertunjukkan lukah gilo
dimulai?16. Bolehkah kami mengetahui mantera ritual lukah gilo tersebut?17. Ada tidak perbedaan mantera lukah gilo orang Bonai dengan orang Sakai?18. Bagaimana syarat untuk menjadi asisten bomo?
153
DAFTAR PERNTANYAAN KHUSUS MASYARAKAT
Nama Informan :
Usia :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
1. Apakah saudara asli orang Rokan Hulu?2. Apakah anda mengetahui tentang masyarakat suku Bonai?3. Bagaiamana pandangan anda terhadap masyarakat suku Bonai tersebut?4. Apakah anda pernah berkomunikasi dengan masyarakat suku Bonai?5. Apakah anda mengetahui permainan lukah gilo?6. Bagaimana menurut anda tentang lukah gilo tersebut?7. Apakah anda pernah menyaksikan dan memegang langsung lukah yang
sedang bergerak tersebut?8. Apakah pernah terniat dihati anda untuk menjadi seorang bomo atau asisten
bomo lukah gilo?9. Apa pekerjaan anda?10. Apabila anda disuruh menjadi murid dari bomo yang menguasai ritual lukah
gilo tersebut, apakah anda bersedia?
154