preteers.files.wordpress.com file · Web viewBeruntung, Vino memiliki golongan darah yang sama. Hal...
Transcript of preteers.files.wordpress.com file · Web viewBeruntung, Vino memiliki golongan darah yang sama. Hal...
Malaikat Tanpa SayapCinta, Keluarga, dan Kastanisasi
Dalam hidup gak ada jaminan buat terus bahagia, gak ada kepastian buat apapun. Setiap
orang bisa terlempar keluar dari kotak rasa nyamannya, secara tiba-tiba.
Kita memang hidup dalam sekat-sekat, pengotakan, pelabelan, dan saat label kita dicabut,
kita bukan siapa-siapa lagi.
Dua quote pembuka itu bagi saya, terasa sangat sempurna. Malaikat Tanpa Sayap,
film garapan Rako Prijanto, dan dibintangi oleh Adipati Dolken (Vino), Maudy Ayunda
(Mura), Surya Saputra (ayah), Kinaryosih (ibu), dan Geccha Qheagaveta (Wina) ini,
meskipun sudah lumayan “uzur” namun tetap menarik untuk diperbincangkan.
Aspek sosial secara apik digambarkan dalam dua pernyataan di atas. Tentang hidup,
pengotakan, sekat-sekat, pelabelan, dan kondisi yang memaksa kita untuk keluar dari zona
nyaman kehidupan, wilayah yang kita tidak menyukainya. Semua itu adalah realitas, yang
bahkan begitu dekat dengat urat nadi kehidupan kita.
Abdul Wachid BS (73: 2005) mengatakan bahwa realitas tidak lain dan tidak bukan
ialah hulu dari setiap “penciptaan” seorang manusia, juga sastrawan.
Sastra sebagai gambaran masyarakat, menjadi sarana yang cukup efektif dalam
menggiring opini dan menyisipkan kepentingan-kepentingan penulis. Kepentingan itu berupa
saran, kritik, amanat, maupun rasa simpati. Terlepas dari bagaimana gaya dan kemampuan
pengarang dalam meramu amanat, pesan moral menduduki tempat yang penting dalam
sebuah karya sastra. Wiyatmi (110: 2009) mengatakan bahwa moral dalam sastra sebenarnya
tampak pada amanat. Lewat amanat itulah segala pesan, termasuk moral disampaikan.
Lebih lanjut Fenanie dan Satoto (26: 2000) mengatakan bahwa seniman termasuk di
dalamnya para sastrawan, memang tidak dapat diidentifikasi sebagai seorang pahlawan dalam
arti fisik. Namun, tidak dapat diingkari, bahwa karya-karya yang mereka lahirkan pada
umumnya merupakan satu bentuk kepedulian yang sangat mendalam terhadap berbagai
macam kepincangan yang terjadi setiap kehidupan manusia sesuai dengan perubahan yang
sedang dan akan terjadi.
Hal ini paling tidak, sangat dimengerti oleh pencipta “Malaikat Tanpa Sayap”. Film
ini mengisahkan Vino yang memutuskan untuk keluar dari sekolah karena tak punya biaya.
Keluarganya sedang mengalami kebangkrutan. Ayahnya yang semula bekerja sebagai bos,
tak mampu berbuat apa-apa, sehingga mereka harus pindah dari perumahan elite ke
lingkungan perkampungan. Hal ini membuat sang ibu memutuskan untuk keluar dari rumah,
meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Vino terpukul telak. Permasalahan demi permasalahan yang terjadi di dalam
keluarganya, membuat dia berpikir skeptis soal pendidikan. Hal ini diperparah, ketika sang
adik mengalami salah satu kecelakaan yang mengakibatkan anak itu mengalami infeksi hebat
dan terancam diamputasi kakinya. Wina, sang adik, membutuhkan tranfusi darah dari
golongan darah yang notabene langka, yaitu A rhesus negatif. Beruntung, Vino memiliki
golongan darah yang sama. Hal ini didengar oleh seorang pencari donor organ dalam.
Di tengah kekalutan yang dihadapi Vino itulah, calo tersebut memanfaatkan situasi.
Biaya rumah sakit yang begitu besar, membuat Vino mengusahakan berbagai cara namun
gagal. Tak heran, ketika calo organ dalam itu memberikan tawaran yang menggiurkan untuk
dia menjadi pendonor jantung, Vino pun goyah. Dia tak punya pilihan lain kecuali menerima
tawaran itu, semata-mata dia lakukan karena dia peduli dengan Wina. Uang itu dia gunakan
untuk mengambil alih kembali kepemilikan rumah yang disita bank.
Di rumah sakit yang sama, Vino bertemu dnegan seorang gadis. Gadis itu bernama
Mura, sosok cerewet yang mempertautkannya pada satu cinta. Belakangan dia ketahui bahwa
Mura sakit. Hal ini menjadikan Vino semakin sayang kepadanya. Jalinan cinta itu pula yang
kemudian mengubah pikiran Vino untuk mempertimbangkan kembali rencana dirinya
menjadi seorang pendonor. Dia berniat melanggar perjanjian. Si calo jelas marah besar.
Dikatakan kepadanya bahwa jantung itu nanti akan didonorkan kepada Mura.
Satu pukulan telak, menimpa Vino. Dia dihadapkan pada satu pilihan yang sulit.
Namun kecintaan terhadap gadis itu membuat Vino rela melakukan apapun, termasuk
mendonorkan jantungnya. Meski artinya, dia harus kehilangan nyawa.
Film ini ditutup dengan usaha Vino untuk membunuh dirinya menggunakan beberapa
pil yang sudah diberikan oleh si calo. Sementara di waktu yang bersamaan, terjadi
pertengkaran antara ayah dan ibunya, dalam usaha memperebutkan Wina. Pertengkaran itu
menyeret pihak ketiga, pacar ibunya, yang kemudian melepaskan tembakan. Tembakan itulah
yang akhirnya membunuh sang ayah. Tahu anaknya akan menjadi pendonor, maka si ayah
mencegahnya. Dia mengatakan, bahwa biar dirinyalah yang akan menggantikan Vino sebagai
pendonor jantung. Akhir cerita, penonton disuguhkan dengan indahnya cinta Vino dan Mura,
berkat pengorbanan sang ayah.
Film ini sebenarnya mengangkat cerita yang klise, karena bercerita seputar penyakit,
pengorbanan cinta, dan masalah rumah tangga. Namun justru hal tersebut menjadi daya tarik
tersendiri bagi para pecinta kesedihan. Diakui atau tidak, tema-tema semacam itu sebenarnya
adalah tema yang sangat dekat dengan kita. Sebelumnya, sudah banyak beredar film-film
garapan serupa. Akan tetapi, film ini digarap dengan apik dan sentuhan estetika, sehingga
menjadi film yang direkomendasikan untuk ditonton.
Terlepas dari semua itu, film ini sebenarnya hendak menyodorkan realitas, mengenai
kesenjangan antara manusia-manusia elite dan manusia kelas bawah. Keduanya terasa
njomplang. Lihat saja rumah Vino yang dulu, yang elite dan juga asri. Kita dapat
membandingkan dengan rumah kontrakan dia yang baru, yang untuk masuk ke kawasan itu
harus melalui gang sempit dan becek, riuh rendah anak kecil bermain, tangisan bocah-bocah.
Ini sebenarnya menyuguhkan kondisi riil kemiskinan masyarakat negeri ini. Stratifikasi sosial
mencoba untuk dikuak.
Statifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan
orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan
hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise. Secara jelas, kita melihat bahwa
pernyataan Weber menyuratkan, masyarat secara halus terpatok pada kastanisasi semu.
Kasta-kasta non legalitas, namun secara alamiah membentuk adanya kedudukan atas dan
bawah, penguasa dan orang yang dikuasai, penidas dan orang tertindas, kaya dan miskin.
Adegan selanjutnya sudah menunjukkan riak-riak kecil dalam biduk rumah tangga.
Problematika yang bahkan sudah didengar Vino sejak dari halaman rumah. Pertengkaran
karena masalah ekonomi keluarga dan ketidakberdayaan menghadapi perubahan garis hidup
dan perputaran roda takdir.
“Kamu seharusnya dalam kondisi seperti ini justru menemani aku, bukan malah pergi.
Eh kamu mau kemana? Kamu mau kemana sih? Sabar dulu, pikirin anak-anak” kata ayah.
Hal ini dijawab ibu dengan emosi yang tak kalah tinggi “Seharusnya papa dong yang mikirin
anak-anak, bukan mama, kamu kan papanya mereka.”
“Sabar, keadaan kita nggak selamanya seperti ini,
“Sabar? Sampai kapan? Sampai mama terkena TBC? Papa mau mama kena TBC?
Kamu tuh bisanya cuman ngomong aja, padahal mental kamu tuh tipis, kerja maunya jadi bos
terus, alasannya mbok yang berkualitas lah, pakai tuh harga diri kamu, laki-laki lain bela-
belain jadi maling untuk bela keluarganya”
Percakapan semacam itu, mungkin bukan sekedar dialog dalam sebuah film. Dalam
realita, kita banyak menjumpai pertengkaran keluarga yang bahkan menafikkan moral dan
etika, lebih sarkasme. Kita akan memahami, bagaimana seseorang tak siap untuk jatuh dari
bianglala kebahagiaanya. Betapa banyak keluarga yang tak kuat menahan badai ujian, hanya
karena masalah materi. Dalam masyarakat kita, pada era hedonis dan kapitalis ini, banyak
dijumpai perceraian yang dilatarbelakangi oleh nafkah. Film ini menggambarkan bahwa
pernikahan adalah sekadar upacara tanpa sakralitas. Janji untuk sehidup semati dan
mengarungi permasalahan dalam keluarga adalah omong kosong. Maka tak heran jika ayah
mengungkapkan penyesalannya atas kepergian sang istri yang dia nilai tidak didasari
pertimbangan matang.
Dalam setiap kisruh rumah tangga, apapun bentuknya anak selalu menjadi korban.
Hal yang cukup memprihatinkan dalam adegan ini, sebenarnya adalah pernyataan sang ibu
yang menganggap bahwa anak adalah urusan pihak laki-laki. Bukankah anak adalah
tanggung jawab bersama? Melepas tanggung jawab bukanlah sesuatu yang patut dibenarkan,
terlebih hal ini dilakukan oleh seorang ibu terhadap anak kandungnya sendiri. Namun
degradasi moral dan penyempitan akal sehat, sebenarnya terjadi pada percakapan setelah itu,
yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki akan menjadi maling, hanya untuk membela
keluarganya. Sepicik itukah pemikiran masyarakat saat ini? Namun benar, bahwa kesulitan
ekonomi kadang menjadikan seseorang kehilangan akal sehat.
Berdasarkan data yang dirilis Republika Online tanggal 24 Januari 2012, pada tahun
2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika
diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara,
tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan
tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor
penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128
perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara.
Adegan berlanjut pada bagian administrasi yang sangat judes. Hal ini sebenarnya
wujud sindiran pedas terhadap pemerintah, yang notabene tidak terlampau peduli dengan
pasien-pasien dari golongan kurang mampu. Keramahtamahan hanya ditunjukkan kepada
mereka yang berharta. Maka, tak heran jika selama ini penanganan terhadap pasien-pasien
terlambat dan cenderung tidak maksimal. Selain itu, masyarakat juga dihadapkan pada
birokrasi yang rumit serta berbelit-belit untuk mendapatkan hak nya sebagai pasien miskin.
Hukum Online edisi 22 Februari 2011 menuturkan “Berdasarkan survei CRC, terang
Ade Irawan, Kepala Divisi Korupsi Pelayanan Publik ICW, 70 persen responden
mengeluhkan pelayanan rumah sakit. “Hampir semua jenis pelayanan rumah sakit dikeluhkan
masyarakat miskin, seperti pelayanan administrasi, perawat, dokter, sarana dan prasarana,
uang muka, obat, biaya dan layanan rumah sakit lain,” terangnya saat konferensi pers di
kantor ICW, Selasa (22/2).
“Menurut survei, pengurusan administrasi paling bayak dikeluhkan masyarakat
miskin yang mengakses 19 rumah sakit di Jabodetabek. Responden yang mengeluhkan
pelayanan administrasi rumah sakit mencapai 47,3 persen dari total responden.
Adapun, lanjut Ade persentase responden yang mengeluhkan pelayanan lain di rumah
sakit adalah, untuk pelayanan dokter (18,2 persen). Seperti, penanganan pasien yang lambat,
tidak tanggap, cuek, tidak memberikan laporan perkembangan penyakit. “Atau, dokter datang
terlambat,” sambungnya.”
Satu hal unik yang terpotret dalam adegan ini adalah fenomena perkembangan
jejaring sosial. Kita dapat melihat, bagaimana BBM membuat orang menjadi autis. Lihat saja,
mereka menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, maka mereka seringkali terkena
manner disaster. Hal ini terekam melalui sikap pegawai administrasi yang setelah
melemparkan pertanyaan-pertanyaan, kemudian tertawa-tawa sendiri. Dia tahu benar, bahwa
orang yang ada di depannya tengah dirundung kemalangan, namun dia seolah menciptakan
dunianya sendiri. Orang-orang seperti dia banyak bertebaran di sekeliling kita saat ini.
Berbagai situasi seringkali memaksa seseorang untuk merubah sikap. Kita lihat, Vino
yang sebelumnya sangat tidak peduli dengan keluarga, berangsur-angsur mulai membuka hati
terhadap Wina, adiknya. Dia mulai memahami arti cinta, kasih sayang, dan pengorbanan.
Dari sini pula, dia kemudian dihadapkan pada sistem kapitalis bisnis, yang sebenarnya
mungkin tidak dia pikirkan sebelumnya. Insiden pembelian boneka sesungguhnya tamparan
yang keras terkait tata ekonomi masyarakat. Bagaimana mall dan pedagang kaki lima,
menunjukkan dengan jelas kelas-kelas dan sekat dalam masyarakat. Mall menawarkan barang
dengan kualitas sama, namun dengan harga yang jauh lebih mahal. Itu semua karena
pengenaan pajak. Di sinilah letak gengsi dipertaruhkan.
Film ini juga menyinggung hal-hal yang personal. Semacam krisis identitas
masyarakat kekinian, yang terkadang masih latah, lebih mempercayai ramalan. Sehingga
perubahan akan hal itu juga turut mempengaruhi pola pikir seseorang.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, ayah adalah kepala keluarga, yang
bertanggungjawab terhadap apapun yang terjadi di dalam keluarga. Kalau dia tak dapat
bersikap tegas dan cenderung lepas tangan, maka tentu dia menjadi bulan-bulanan anggota
keluarga yang lain. Hal ini terlontar dalam perdebatan Vino dengan ayahnya seusai memahas
biaya perawatan Wina. Keluarlah pernyataan tegas dari Vino “Pa, papa habis ditinggal mama,
apa papa juga mau ditinggal anak-anak papa?”
Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan
kewajiban yang merupakan statusnya. Dalam hal ini, maka tidak salah ketika Vino menuntut
ayahnya berusaha lebih keras, karena memang tugas seorang ayah adalah melindungi seluruh
keluarganya. Pernyataan keras yang terlontar pun seolah menjadi satu kepantasan, lantaran
sang ayah terkesan membiarkan dan terlampau pasrah ketika Wina divonis akan diamputasi
kakinya.
Dewasa ini untuk mendapatkan uang orang-orang semakin nekat, salah satunya
dengan penjualan organ. Penjualan organ memang masih ilegal, namun praktik itu masih
sering terjadi khususnya pada orang-orang yang sudah dalam nadir keputusasaan. Kita bisa
melihat iklan-iklan di media massa, orang yang ingin menjual ginjalnya dengan harga cukup
murah.
Sebagaimana informasi yang tertera pada Gizmodo.com, pada bulan April 2008, ada
lebih dari 98.000 orang yang menunggu transplantasi organ. Meskipun banyak nyawa yang
terselamatkan oleh donor organ, banyak juga orang yang mati saat menunggu ketersediaan
organ. Rata-rata, ada pertambahan sekitar 106 orang yang menunggu organ setiap hari dan 18
orang meninggal dunia setiap hari karena tidak mendapat donor organ. Artinya kebutuhan
akan donor organ ini cukup tinggi. Maka, tak heran orang-orang kaya rela menukarkan
banyak uang untuk kehidupan mereka. Berdasarkan daftar harga organ dalam di pasar gelap,
jantung mencapai US$ 119.000 atau sekitar Rp 1,1 miliar, sedangkan hati mencapai US$
157.000 atau sekitar Rp 1,4 miliar. Hal ini tentu cukup menggiurkan. Angka tersebut
sekarang boleh jadi melonjak. Tak heran, manusia-manusia yang berpikir sempit seringkali
tergiur untuk menukar anggota tubuh mereka dengan kekayaan.
Terkadang mereka juga melakukan hal yang lebih ekstrim, seperti mencuri. Ini
dilakukan Vino kemudian. Dia mencuri motor, namun berhasil digagalkan. Yang ada, dia
justru dihajar massa. Namun hal bodoh soal hidup, justru digambarkan oleh si calo organ “Di
Jakarta ini makin banyak orang tolol, mereka mati bunuh diri, gara-gara miskin, padahal
kalau mereka pinter, mereka bisa jual organ tubuh bagian dalam mereka, gede.”
Kenekatan seseorang karena desakan ekonomi ini, setidaknya tergambar dalam salah
satu cuplikan berita yang dirilis Detik.com “Sebelumnya di hadapan petugas, Supriyatun
mengaku nekat mencuri beras di toko milik Supriyanto karena terdesak faktor ekonomi.
Beras itu rencananya untuk dimasak karena anak-anaknya kelaparan. Selama ini ia sebagai
tulang punggung keluarga sejak ditinggal mati suaminya 6 bulan lalu.”
Malaikat Tanpa Sayap sekilas menyinggung sisi kemanusiaan. Kemanusiaan saat ini
menjadi hal yang cukup mahal. Hal ini terlihat dari tingkah laku Bapak kost, yang tidak
memberikan toleransi, kendati dia tahu bahwa keluarga Vino masih dalam kesulitan. Hal
yang lebih parah terjadi, ketika dia menyinggung status sosial keluaga Vino sebelumnya.
Seperti layaknya film remaja lain, Malaikat Tanpa Sayap juga menghadirkan intrik
percintaan dan persahabatan. Persahabatan Vino dengan dua temannya, berjalan sangat erat.
Kesetiaan itu mereka tunjukkan ketika Vino sedang membutuhkan uang untuk pengobatan
Wina. Namun, persahabatan itu juga retak, karena kepedulian kedua temannya itu. Teman
yang mengingatkan Vino tentang masa depan, pendidikan, rasa hormat pada sosok ayah,
justru kemudian ditentang dan menimbulkan perpecahan. Maka dalam sebuah monolog Vino
mengatakan “Kadang, untuk ninggalin temen yang kita sayang, kita justru bikin dia marah
dan sakit hati, agar saat kita pergi, kita nggak akan merasa terlalu kehilangan.”
Semenjak itu masalah datang bertubi-tubi menghampiri Vino. Pada titik inilah, dia
kehilangan semangat untuk hidup, hingga kemudian berniat untuk bunuh diri. Orang ketika
dihadapkan dalam persoalan yang berbelit, maka mereka akan mengambil jalan yang
dinilainya pintas.
Berdasarkan data yang diunggah oleh sehatnews.com, Statistik Badan Kesehatan
Dunia WHO tahun 2002 menunjukkan bahwa 154 juta orang secara global menderita
depresi. Saat ini terdapat 121 juta orang mengalami depresi dan dinyatakan bahwa 5,8% pria
dan 9,5% wanita di dunia pernah mengalami episode depresi dalam hidup mereka. Menurut
WHO, depresi menduduki peringkat ketiga beban penyakit dalam skala global tahun 2004
dan diperkirakan cenderung naik menjadi peringkat pertama pada tahun 2030. Data WHO
tahun 2005 mengungkapkan bahwa sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak
bunuh diri setiap tahunnya, karena tidak ada data nasional untuk angka bunuh diri di
Indonesia, dari data tersebut diperkirakan ada 150 orang melakukan bunuh diri setiap harinya
di Indonesia.
Namun usaha untuk loncat dari gedung tinggi ini, nampaknya dapat digagalkan oleh
Mura, yang kebetulan datang pada saat yang tepat. Pertemuan itu menciptakan obrolan
pembuka yang menyenangkan. Keduanya menjadi saling mengenal. Di sinilah berbagai quote
menarik dapat kita temukan. Seperti ketika Mura menanyakan ingatan Vino soal bunuh diri
tersebut, Vino justru menanggapinya dengan sedikit bercanda.
“Ya gitu deh, otak suka nyari mana yang harus diinget mana yang harus dilupain”
Di lain pihak, Vino juga mulai memahami kehidupan Mura yang nyaris tak beranjak
dari dunia semunya, tak ada sekolah hanya homeschooling, maka yang dia kenal pun hanya
teman-teman di dunia maya. Pandangan sinis Vino tentang hal ini, menyentakkan kesadaran
Mura. Namun, Mura masih mampu berkelit.
“Aku nggak pernah ngerasa nggak punya temen, kadang temen di dunia maya itu
lebih riil dari yang nyata.”
Ini fenomena sosial sebagai dampak dari globalisasi teknologi, perkembangan jejaring
sosial mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Lihat saja, berapa banyak orang
sekarang yang memilih sms tetangga kamarnya di kost daripada langsung bertatap muka
langsung. Bagaimana anak muda cenderung jujur di dunia mayanya dibandingkan dunia
nyata? Orang-orang semacam ini boleh dikatakan krisis kepribadian, orang-orang yang butuh
eksistensi, sehingga melahirkan aktivitas online yang akut.
Mura juga menambahkan “Rasanya gak perlu jadi sahabat kamu, untuk bisa nebak
kamu, baru lima menit orang sudah bisa nebak kalau kamu ini orangnya sinical.”
Pernyataan di atas, sebenarnya terperangkap oleh pola pikir tradisional, yang
mengatakan bahwa kesan akan muncul pada pertemuan yang pertama, entah kesan itu berupa
kesan positif atau pun negatif. Pernyataan di atas sekaligus mengingatkan kita pada satu
peribahasa terkenal yang berbunyi “Jangan lihat sesuatu dari sampulnya”.
Vino yang tidak sependapat bahwa dirinya itu sinical, membuktikan dengan jalan
mengajak Mura melihat kehidupan luar secara lebih terbuka. Dia memasuki sebuah kampus
yang sama sekali belum pernah ia jamah, bersikap seolah-olah mereka adalah mahasiswa
kampus tersebut. Pertemuan-pertemuan itulah yang kemudian hari menumbuhkan benih-
benih cinta di antara mereka. Penggambaran adegan yang tanpa canggung, tak ada yang
mereka kenal, dan tak ada yang peduli. Semua itu menghadirkan monolog apik seorang Vino,
sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.
Persetan dengan pengkotak-kotakan, sekat-sekat yang berdiri tegak di antara
manusia, toh hidup ini dimainin orang dewasa, kita pura-pura tua untuk ngelewatinnya, atau
pura-pura jadi anak-anak untuk ngehindarinya.
Setuju atau tidak, pernyataan di atas ada benarnya. Apa yang Vino katakan seolah
menyentil sedikit bagian dari realitas, bahwa hidup serupa sandiwara, drama yang bisa
dimainkan sesuai kebutuhan kita. Remaja, masa yang minim identitas, masa pencarian, yang
terkadang memaksa mereka untuk menjadi orang lain. Sebagaimana yang dikatakan Vino,
mereka akan menjadi orang tua hanya supaya diterima, namun kadangkala mereka pura-pura
menjadi anak-anak untuk dapat lepas dari segala bentuk tanggung jawab. Seringnya, remaja
bermain-main dengan dua status tersebut. Mereka mengubah-ubah posisi demi menegaskan
eksistensi diri.
Film ini juga memberikan gambaran, bahwa betapa banyak orang yang terpaksa
mengalah demi orang yang disayanginya. Hal ini terlihat dari sikap ayah Mura kepada Mura,
yang akhirnya membolehkan Mura keluar dan berpacaran dengan Vino. Meskipun, di awal
nampak kesan sinis, namun lama-kelamaan dia menyadari bahwa Vino membawa dampak
yang baik terhadap semangat hidup Mura. Dalam realitas kita banyak melihat kekuatan cinta,
bagaimana orang yang sangat keras kepala akhirnya bisa luluh karena kedatangan seseorang.
Sekalipun film ini bergenre melodrama, namun sebenarnya banyak sekali realitas
keluarga dan sosial yang diangkat. Film ini menyiratkan, sebaik apapun tujuan yang ingin
dicapai, tanpa adanya kesamaan persepsi, yang ada justru miskomunikasi yang saling
menjatuhkan. Maka itulah komunikasi dalam keluarga sangat diperlukan. Orang tua kadang
tak memahami keinginan dan jalan pikiran seorang anak, namun anak juga kadang menuruti
ego mudanya.
Hal ini terlihat jelas dalam adegan antara Vino dengan ayahnya. Mereka berdua
sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu sebuah keluarga yang bahagia. Namun,
keduanya menempuh cara dan jalan yang berbeda. Tidak adanya komunikasi dan setiap pihak
merasa sebagai pihak yang paling benar, menyebabkan tujuan tersebut tidak dapat tercapai,
yang ada justru pertentangan-pertentangan, sikap bersitegang, bahkan ancaman perpecahan.
Dalam masyarakat kekinian, kita dapat melihat bagaimana orang tua merasa sudah
berpengalaman dalam hidup dan merasa benar dengan apa yang diyakininya, sedangkan anak
muda cenderung lebih agresif dan tanpa basa-basi, mereka tidak melakukan perhitungan yang
cermat, bahkan tak jarang menganggap orang tua adalah para pemikir primitif yang kolot.
Perbedaan generasi dan lingkungan sosial tempat mereka tumbuh inilah yang kemudian
menyebabkan sekat-sekat semakin tinggi. Krisis dalam keluarga seringkali sedemikian
kronis, paling tidak, hal ini terlontar dari percakapan Vino dan sang ayah,
“Kamu persis seperti mama kamu, nggak pernah bersyukur.”
“Seenggaknya aku nggak pernah ninggalin papa.”
Dari petikan percakapan di atas, kita dapat tahu, bahwa upaya untuk tidak mensyukuri
nikmat adalah hal yang wajar. Bahkan tidak meninggalkan keluarga itu pun dianggap sebagai
sebuah permakluman. Kedudukan sebagai seorang kepala rumah tangga menjadi tak berarti,
lantaran masalah keuangan.
Dalam film ini terdapat satu fragmen yang cukup menarik. Di sini diceritakan, dalam
sebuah makan malam keluarga, sang ayah hendak mengambil ikan bandeng yang tinggal
satu. Namun keudian, dia urung untuk mengambilnya, karena teringat Vino. Ini
menunjukkan, bahwa sebenci apapun orang tua terhadap kita, mereka pasti masih memiliki
nurani untuk mengingat keberadaan kita. Fragmen ini secara menohok mengingatkan saya
pada sosok ibu. Beliau terkadang, menelepon saya untuk sekedar menanyakan apakah saya
sudah makan apa belum, sekalian memberi kabar bahwa di rumah sedang banyak makanan.
Betapa merasa bersalahnya beliau, lantaran saya tidak dapat ikut menikmati hidangan di
rumah.
Pada bagian setelahnya, satu quote bijak dapat kita tangkap dari sosok Mura, dia
mengatakan “Mungkin sebelum kamu berdamai dengan papa kamu, kamu harus berdamai
dengan diri kamu sendiri.”
Memang benar, kita kadang tidak menyadari, bahwa dalam labirin kehidupan,
permasalahan yang datang sebenarnya bukan berasal dari manapun. Permasalahan itu bisa
jadi datang dari diri kita. Siapa tahu, diri kitalah yang bermasalah? Namun pepatah dalam
sistem sosial masyarakat kita menyatakan, bahwa lebih mudah melihat kesalahan orang lain,
dibandingkan kesalahan diri sendiri.
Film ini juga mengajarkan kita untuk memahami harga diri dalam porsi yang cukup.
Ketika harga diri seseorang terusik, maka dia akan melawan, tak peduli siapa yang tengah
dilawannya. Dalam film digambarkan sosok direktur bank yang menurut saya sangat arogan
dan sombong. Kekuasaan membuat mereka lupa akan segalanya. Mereka lupa bahwa mereka
bukanlah siapa-siapa tanpa rakyat kecil. Hal inilah yang membuat Vino terpaksa menegur
dengan keras direktur tersebut, meskipun orang yang dihina adalah ayahnya, seseorang yang
notabene berseberangan dengan Vino.
Dalam tatanan masyarakat, kita tahu, bahwa betapa banyak penguasa yang lupa
daratan. Mereka cenderung dekat dengan rakyat hanya untuk menarik simpati dan juga
pencitraan. Namun setelah tampuk kekuasaan berada di tangannya, dia menjaga jarak dan
cenderung mensudrakan kaum bawah dan golongan akar rumput. Lebih-lebih sikap tidak
menghargai tersebut dilakukan di depan mata.
Film ini mencoba mengangkat esensi hidup secara proporsional serta sesuai kadarnya.
Menghadirkan realitas dalam layar lebar. Bagaimanapun juga, tidak ada hidup yang selalu
bahagia ataupun selalu menderita. Hal ini coba diungkap Mura dalam sepotong kalimat.
“Nggak ada hidup yang mudah.”
“Baru akhir-akhir ini kan? Gak dari kecil kamu tahu, kamu gak bakalan punya masa
depan?”
Percakapan di atas, menunjukkan bahwa manusia punya permasalahannya sendiri.
Namun, tiap orang punya kacamatanya sendiri untuk memandang problematika tersebut. Ada
orang yang baru dihadapkan pada permasalahan kecil langsung frustasi. Ada juga orang yang
selalu dihantam gelombang permasalahan dalam hidupnya, namun tetap bertahan dan berdiri.
Contohnya Mura, orang yang sebenarnya sudah tak punya masa depan lantaran divonis
jantung oleh dokter sejak kecil. Namun, dia tetap semangat dan terseyum dalam menjalani
hidup.
Film ini juga menghadirkan quote-quote yang unik seperti “Hari ini pelajarannya
filsafat, filosofi bohong.” Entah ini sebuah kebetulan atau memang sengaja disisipkan untuk
memperkuat cerita. Namun kebermunculan flosofi bohong dalam film, menyiratkan bahwa
sudah sedemikaian akutnya budaya berbohong dalam masyarakat kita, sehingga perlu
disediakan jam khusus untuk mempelajarinya, yaitu dalam mata pelajaran filosofi bohong.
Terlepas dari pernyataan-pernyataan menarik di atas, percakapan juga diberi sentuhan
motivasi untuk memperkuat alur. Ini terlihat ketika Mura dan Vino bersepeda bersama
“Kalau aura kamu positif, positif terhadap hidup, pasti alam juga mendukung dan setuju sama
kamu, nah kalau muka kamu suntuk seperti itu, yang negatif doang yang nempel.”
Aspek edukasi dibalut konflik keluarga juga coba dihadirkan, melalui persepsi sang
ayah yang menginginkan agar Vino terus melanjutkan sekolah, dan Vino yang merasa
ayahnya tak berhak mengatur kehidupan sekolah, lantaran sang ayah dinilai tak mampu
membiayai sekolah. Percakapan dengan nada tajam dilakukan Vino.
“Gelandangan? Pah, di luar sana banyak sarjana nganggur, malah ada master nyaris
jadi gelandangan karena gak bisa bayar kontrakan. Papa gak sanggup biayain Vino sekolah,
jadi papa gak usah ngatur Vino.”
Kita tahu, betapa banyak orang kelas bawah yang kendati tak bisa membiayai
anaknya sekolah, namun mereka berharap sang anak mengenyam pendidikan yang tinggi.
Namun, kita juga tahu, betapa banyak anak muda yang memutuskan berhenti sekolah dan
membantu perekonomian keluarga. Sebagaimana dilansir dari Media Indonesia, edisi 31
Oktober 2012, sebanyak 85% anak putus sekolah usia pendidikan dasar melanjutkan hidup
dengan menjadi pekerja. Terdapat sekitar 1 juta lebih anak usia pendidikan dasar yang
mengalami putus sekolah. Faktor-faktor yang menyebabkan para anak usia sekolah menjadi
pekerja anak, antara lain pertama adalah masalah sosial dan ekonomi di keluarga, lalu
kemiskinan, kemudian adanya budaya masyarakat yang menganggap anak adalah aset yang
bisa diberdayakan.
Percakapan di atas juga menyiratkan coreng moreng dunia pendidikan Indonesia.
pendidikan yang dirasa tidak mampu menaikkan status seseorang lantaran tingginya angka
kompetisi, alhasil sarjana-sarjana dengan biaya kuliah tinggi hanya menganggur, menambah
pengangguran terdidik.
Berdasarkan data yang dihimpun Detik.com 9 Mei 2012 dari badan pusat statistik,
hingga Februari 2012 lalu Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 6,32 persen
dengan jumlah total penganggur men capai 7,6 juta orang. Untuk TPT tingkat pendidikan
Diploma dan Sarjana, masing-masing 7,5 persen dan 6,95 persen dari angka pengangguran.
Satu percakapan cantik terdengar, ketika Vino dan Mura bercakap tentang penandaan
kalender “Ini tanggalan kosong, belum ada coretannya, juga belum ada silang-silangannya,
tapi bukan berarti kalau nggak ada silang-silangannya kita nggak punya peristiwa penting
kan?”
Ketika membincang kematian, unsur sastrawi dan estetikanya tampak menonjol.
“Burung-burung itu rutin melintas di jam segini, padahal mereka kan nggak punya
jam.”
“Insting” jawab Vino
“Kayak kematian yah? Nggak punya jam, tapi tahu kapan harus dateng, mungkin itu
kenapa kematian itu bagian dari takdir, karena waktunya udah ada. Kalau bagi aku sih,
kematian itu kayak di tikungan jalan, kita nggak akan pernah tahu apa yang ada di balik
tikungan itu. Dan mungkin itulah saat kita mati.”
“Kadang kematian bisa jadi pilihan, Ra, pada satu titik pilihan terakhir bisa jadi
kematian, kita kan lagi ngomongin kematian, dosa apa nggak ya itu efek dari kematiannya.”
Sedikit meninggalkan bahasan mengenai kematian, kita akan kembali pada
pembahasan mengenai struktur sosial masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat yang
latah, cenderung mengarah pada deviasi sosial. Ketika kita melihat orang lain sukses, maka
banyak dari kita merasa iri bahkan terkadang menjadi seorang penjilat. Namun, ketika
melihat orang tersebut jatuh, kita justru mencaci makinya dan memandang remeh. Terkadang,
efek itu justru berimbas pada masa kanak-kanak seseorang. Di sini digambarkan bahwa Wina
yang diejek teman-temannya, lantaran sang ayah menjadi seorang sopir taksi, merasa malu
dan depresi.
Akan tetapi, hal ini justru memberikan pencerahan bagi seorang Vino. Ketika melihat
sang ayah harus mencuci seragam sopir, ketika melihat sang ayah begitu menyayangi Wina,
sekaligus merasa begitu berat ketika menyadari bahwa tugas-tugasnya diambil alih oleh Vino.
Dari situ Vino sadar, bahwa ayahnya begitu mencintai keluarga. Dari situlah, hati Vino luluh.
Sekeras apapun hati kita, ketika mata hati sudah terbuka, maka seseorang akan luluh juga.
Dalam masyarakat perseteruan seringkali memunculkan dendam dan sakit hati,
apalagi untuk lingkup yang lebih sempit, keluarga. Rasa sakit oleh orang-orang terdekat tentu
lebih dalam. Apalagi, rasa sakit tersebut turut menghadirkan orang ketiga. Setidaknya
dendam ini yang dibawa Vino ketika sang ibu ingin mengambil Wina dalam rengkuhannya.
Anak selalu menjadi sengketa. Kesalahan demi kesalahan masa lalu, hadir semacam film
pendek.
Meski demikian, keluarga adalah orang terdekat yang selalu ada kala kita terpuruk.
Mereka bahkan merasakan sakit yang lebih, dibandingkan dengan kesakitan yang kita
rasakan. Ini terwakili oleh sosok ayah Mura “Yang paling sakit adalah melihat anaknya
sendiri lahir, tumbuh, dan pergi duluan.”
Begitulah cinta, mampu mengubah seseoang. Vino yang semakin dekat dengan sang
ayah, Vino yang rela melakukan apapun dengan ikhlas untuk kesembuhan Mura, dan ayah
Mura yang semakin mencintai. Namun dari semua karakter yang muncul, Vino lah yang
mengalami perubahan sifat secara drastis. Perubahan ini sangat dipengaruhi oleh dirinya yang
sudahmerencanakan kematian. Paling tidak, semua itu tergambar dari dua surat wasiat yang
dia tinggalkan, untu ayahnya dan Mura.
Pa, aku minta papa mau maafin mama. Semua yang aku lakuin, buat
papa, buat Wina, juga buat mama, kalau mama mau kembali lagi dan kumpul
bareng Wina. Pa, kalau ada hal yang aku nggak cerita sama papa, bukan
karena aku nggak ngehargaain papa, aku cuman ingin tumbuh menjadi laki-
laki, yang bisa nyimpen sepinya sendiri, seperti papa. Maafin Vino, Pa.
Mura sayang aku gak tahu harus cerita darimana, aku cuman pengen
bilang jatuh cinta ama kamu bikin aku utuh. Aku nggak ngerasa lagi separuh.
Mura sayang, kalau kamu bangun nanti, kamu nggak akan pernah ketemu
aku lagi. Tapi aku nggak pergi, aku nggak akan kemana-mana, aku dalam
tubuh kamu, kamu akan berdegub dengan jantungku, jantung kita.
Kekuatan cinta juga membuat seseorang mengajarkan ketulusan. Cinta membuat
orang menerima kesederhanaan dan kondisi apa adanya, seperti dalam petikan “Embun gak
perlu warna untuk bikin daun jatuh cinta, sama seperti aku. Aku nggak punya alasan nggak
jatuh cinta sama kamu.”
Kisah cinta ini ditutup dengan sempurna, melalui sebuah monolog yang diungkapkan
oleh Vino.
Kepergian papa pukulan buat aku juga Wina, tapi kepergian papa juga awal kehidupanku
dengan Wina. Dengan keluarga baru kami. Andai aku boleh memilih, aku akan memilih papa
dan Mura selalu ada buat aku. Tapi kadang, dalam hidup, kita tidak dihadapkan pada
pilihan. Dalam hidup, nggak ada jaminan buat terus bahagia. Seperti burung-burung senja
itu, yang bisa mendadak melayang jatuh nggak pernah kembali lagi ke sarang mereka. Tapi
buat aku dan Mura, waktu pernah mematahkan sayap-sayap kami dan waktu pulalah yang
menyembuhkan, dan mengajari kami, untuk tidak menyerah.
Secara umum film ini terbilang sukses, bagaimana alur dibuat sedemikian rupa dan
menghadirkan kejutan-kejutan. Latar yang ada sangat mendukung jalan cerita, perumahan
elit, perkampungan, kebun teh, rumah apik milik Mura, semua menghadirkan kesannya
sendiri-sendiri. Pengambilan gambar dan proses editing cukup diperhitungkan, sehingga
kesinambungan terasa pas. Tidak banyak bermain dengan close up shoot, namun begitu
tertata. Sutradara menggunakan pengambilan jarak dekat untuk adegan yang benar-benar
krusial dan mendukung jalan cerita.
Hal penting yang kadang terlupakan seperti musik dan soundtrack pun terasa aman,
mendukung suasana. Belum lagi lagu milik Dewi Lestari “Malaikat juga Tahu” pun mampu
mengantarkan penonton pada sisi dan relung romantisme. Suasana yang hendak terbangun
pun, bisa membangkitkan imajinasi penonton.
Namun demikian, ada satu hal yang cukup mengganggu. Fragmen sebelum ending,
saat detik-detik menegangkan dua orang sekarat, hal ini agak kurang dipertegas, kapan sang
ayah membaca surat dari Vino, sehingga dia tahu Vino akan menjadi pendonor? Kalau
memang, dia sudah membaca surat tersebut sebelum terjadi peristiwa penembakan dan Vino
sekarat, logikanya sang ayah akan segera menemui Vino dan mengkomunikasikan atau
minimal mengkonfirmasi kebenaran surat tersebut. Masalahnya, dalam film ini tidak
dijelaskan dengan detail waktu sang ayah membaca surat, karena berbaur dengan detik-detik
kematian yang digambarkan begitu sibuk. Tapi bagi saya, film ini cukup berhasil dan penuh
kritik.
Daftar Pustaka
Abdul Wachid B.S. 2005. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Penerbit Saka.
Budi, Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Derpartemen Pendidikan Nasional
Dr. Faruk. Cetakan IV 2005. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dr. Soediro Satoto, Drs. Zainuddin Fenanie M. Hum. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Pers.
Hartono. 2011. “Menengok Rumah Sipriyatun yang Mencuri Beras Karena Anaknya Kelaparan”. detikNews. 4 Agustus 2011.
Julianto, Irwan. 2012. “Memilih Bunuh Diri sebagai Jalan Pintas”. Kompas.com. 8 Oktober 2012
Naa. 2012. “Pemerintah Harus Seriusi Pengangguran Terdidik”. detikNews. 9 Mei 2012
Purwadi, Didi. 2012. “Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70 Persen”. Republika Online. 24 Januari 2012
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
-------. 2008. “Teori Perubahan Sosial Karl Marz dan Weber”. Diunduh dari http://nie07 independent.wordpress.com/2008/11/18/teori-perubahan-sosial-karl-marx-dan-max-weber/ pada tanggal 1 Januari 2013 pukul 10.00
-------. 2011. “Pelayanan Buruk 19 Rumah Sakit Jabodetabek”. Hukum Online. 22 Februari 2011
-------. 2012. “Harga-harga Penjualan Gelap Organ Tubuh”. Media Berita Baru. 25 April 2012
-----. 2012. “50.000 Orang Bunuh Diri Tiap Tahun di Indonesia”. Sehat News. 16 Oktober 2012.
Malaikat Tanpa SayapCinta, Keluarga, dan Kastanisasi
Hasil telaah pendekataan sosiologi sastra terhadap film “Malaikat Tanpa Sayap”
Nama: Okta AdetyaKelas/Jurusan: K/ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
NIM: 10201241016