· Web viewPat Sian juga terdapat diantara lukisan bunga dan kelelawar, kedelapan dewa ini...
Transcript of · Web viewPat Sian juga terdapat diantara lukisan bunga dan kelelawar, kedelapan dewa ini...
BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA ORNAMEN PADA
TIGA BANGUNAN VIHARA DI KOTA BINJAI
BINJAI 三个寺庙的建筑装饰 —功能和意义分析(Binjai Sān gè sìmiào de jiànzhú zhuāngshì—gōngnéng hé yìyì fēnxī)
SKRIPSI
OLEH:
Rahma Safitri
090710015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA CINA
MEDAN
2013
Disetujui Oleh:
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi S-1 Sastra Cina
Ketua,
Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A .
NIP. 19630109 198803 2 001
Medan, 18 Oktober 2013
ii
PENGESAHAN
Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu
Sastra Cina.
Pada :
Hari/ Tanggal :
Pukul :
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A
NIP. 195110103 197603 1 001
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A (
)
2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si (
)
3. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. (
)
iii
4. Cao Xia, M.A (
)
5. Shen Mi, M.A (
)
ABSTRACT
The title of the paper is “Fungsi dan Makna Ornamen pada Tiga Bangunan Vihara di Kota Binjai”. The purpose of the research is carried out to determine the function and the meaning of temple ornaments in the Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia Dharma, and Vihara Thai Siong Li Lau Cin in the city of Binjai. Methods of research conducted in this paper is a qualitative research method is descriptive. This paper used theory is the theory of functionalism and semiotic theory. Source of data obtained from several temple in Binjai, books and journals. This paper also described the differences and similarities of the third temple. The functions ornaments on the temple as function aesthetic, religious, and cultural identity. And the meaning of the ornaments on the temple as meaning sombolis, dragon, sentences, and colour.
Key words: Temple; function; meaning
iv
KATA PENGANTAR
Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT serta nabi besar junjunnganya
Muhammad SAW karena berkat dan karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan
skripsi dapat diselesaikan. Tanpa berkat dari Allah tidaklah mungkin skripsi ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “Bentuk, Fungsi, dan Makna
Ornamen pada Tiga Bangunan di Kota Binjai” ini masih belum sempurna karena
keterbatasan dan daya serap penulis masih kurang. Untuk itu, penulis berharap saran
dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami banyak hambatan
mulai dari perencanaan sampai penyelesaiannya. Namun demikian, berkat ketekunan
dan dorongan dari berbagai pihak baik moril dan materil, skripsi ini dapat
terselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A,selaku Ketua Program Studi Sastra Cina,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sastra
Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
v
4. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D., selaku dosen pembimbing
I, yang telah memberikan dukungan, masukan dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini serta telah sabar membimbing saya untuk menulis
skripsi ini.
5. Ibu Cao Xia, MTCSOL, selaku dosen pembimbing II, yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing saya dalam menulis skripsi ini ke
dalam bahasa Mandarin.
6. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program
Studi Sastra Cina dan seluruh staf pengajar Program Studi Sastra Cina
lainnya yang telah memberikan ilmu selama masa perkuliahan.
7. Bapak dan ibu staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.
8. Para informan yang telah bersedia memberikan informasi tentang fungsi
dan makna ornamen Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin di Kota Binjai.
9. Orangtuaku tercinta, ayahanda Sabar, SH dan ibunda Rosilawati yang setia
memberikan dukungan terhadap saya, baik dukungan moral, kasih sayang,
doa dan bentuk materil.
10. Saudara-saudara saya tercinta Zulfadli ADHA dan Muhammad Maulidan
yang selalu setia memberikan dukungan.
11. Teman-teman mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara stambuk 2009: Fenny, Anne, Junita, Monika,
Novia, Yaser, Juan, Alfian, Roy, Jun P, Mayra, Stefani, Deasy, Yurisa, Efi,
Devi, Harry, Fitria, Elvy, Deni, Dihta, Tiwi, Indri, Irene, Tari, Sofhia .
vi
12. Kakak, abang dan sahabat serta adik Sastra Cina yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, Terimakasih untuk doa dan dukungannya.
iii
13. Untuk sahabat-sahabat ku Putri, Diah, Puji, dan Rika terimakasih telah
memberikan dukungan dan semangat buat saya serta membantu saya dalam
proses penelitian dan pengerjaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih.
Medan, September 2013
Penulis,
Rahmah Safitri
vii
viii
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki banyak suku bangsa (etnik) yang tersebar di seluruh
wilayahnya. Berbagai suku bangsa ini ada yang dipandang sebagai penduduk asal
Nusantara dan ada pula penduduk pendatang. Keduanya menyatu dalam sebuah
negara bangsa tanpa membeda-bedakan asal-usul dan keturunan. Hal ini tercermin
dalam konsep bhinneka tunggal ika (biar berbeda-beda tetapi tetap satu juga), yang
didasari oleh filsafat kenegaraan bangsa kita yaitu Pancasila.
Masing–masing suku bangsa memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda-
beda, salah satunya masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat
yang awalnya berada di dalam wilayah budaya Cina dan migrasi ke Indonesia.
Mereka secara khas disebut dengan masyarakat Tionghoa. Istilah Tionghoa sesuai
hukum dan konstitusional tercantum dengan jelas pada penjelasan pasal 26 UUD
1945 “yang menjadi Warga Negara adalah orang–oramg bangsa Indonesia asli dan
orang–orang bangsa lain yang disahkan dengan undang–undang sebagai Warga
Negara.” Kemudian dalam penjelasan pasal 26 tersebut ditegaskan bahwa “yang
dimaksud orang–orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, Tionghoa,
dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui sebagai tanah
airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga
Negara”.
1
Para imigran Tionghoa yang tersebar di wilayah Indonesia, khususnya
Sumatera Utara mulai abad ke 16 sampai kira–kira pertengahan abad ke 19, sebagian
besar berasal dari suku bangsa Hokkien. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian
selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan
perdagangan masyarakat China. Seiring dengan merantaunya orang China ke
Indonesia maka masuk pula kebudayaan mereka, seperti bahasa, religi, kesenian,
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem
mata pencaharian hidup.
Dari segi religi, masyarakat China menganut tiga agama dari negara asal
mereka yang disebut San Jiau/Sam Kauw, di Indonesia ajaran ini dikenal dengan
Tridharma. Tiga agama yang banyak dianut masyarakat Cina yaitu Khong Hu Chu,
Tao, dan Buddha. Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan akan jasmani dan rohani
sangat dibutuhkan oleh manusia. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia bisa
melakukan berbagai macam aktivitas seperti berolahraga ataupun bekerja agar tetap
sehat, sedangkan untuk kebutuhan rohani manusia dapat mendekatkan dirinya
kepada sang penciptanya dengan meyakini sebuah kepercayaan dalam bentuk agama.
Pemerintah Indonesia menghormati keberadaan masyarakat Tionghoa dengan tidak
mendiskriminasikan dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia, dimana
masyarakat Tionghoa diberi kewenangan untuk mendirikan tempat ibadah yang
sesuai dengan keyakinan yang diyakininya, dan tempat ibadah tersebut dikenal
dengan sebutan klenteng ataupun vihara.
Depdiknas (2000:22) berpendapat bahwa, “Klenteng merupakan istilah dalam
Bahasa Indonesia yang khusus untuk menyebut rumah ibadat masyarakat Tionghoa
untuk melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, Nabi-nabi, serta arwah-
2
arwah leluhur yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan
Buddhisme .”
Pendapat lain mengatakan bahwa asal-mula istilah klenteng berasal dari
kemiripan suara lonceng yang dibunyikan di bangunan tersebut untuk memanggil
umat berdoa. Bunyi ”kilnting-klinting” yang sering diperdengarkan dari dalam
bangunan itu, menunjukkan waktu diadakannya upacara sembahyang (Setiawan dkk,
1990:11).
Di samping klenteng, terdapat juga istilah untuk tempat ibadah umat Buddha,
yaitu vihara. Vihara adalah pondok, tempat tinggal, tempat penginapan
bhikkhu/bhikkhuni. Giriputra (1994:2) mengatakan, “Vihara merupakan milik umum
(umat Buddha) dan tidak boleh dijadikan miliki perseorangan, biasanya dibentuk
suatu yayasan untuk mengatur kepentingan tersebut.”
Pendapat dari Departemen agama Republik Indonesia adalah sebagai berikut.
Vihara merupakan tempat umum bagi umat Buddha untuk melaksanakan segala
macam bentuk upacara atau kebaktian keagamaan menurut keyakinan dan
kepercayaan agama Buddha (Peraturan Departemen Agama RI nomor H
III/BA.01.1/03/1/1992, Bab II).
Pada umumnya sebahagian besar masyarakat Indonesia tidak mengerti
perbedaan arti antara klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya
berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Klenteng pada dasarnya berarsitektur
tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain
daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi
spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa.
3
Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena
peristiwa Gerakan 30 Septemnber (G30S) Partai Komunis Indonesia pada tahun
1965. Akibat dari peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuk
kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada
pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian
mengambil nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali, mengubah nama sebagai
vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan
peribadatan dan kepemilikan. Dari sinilah kemudian masyarakat sulit membedakan
klenteng dengan vihara.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang
kemudian mengganti nama kembali ke nama semula dan lebih berani menyatakan
diri sebagai Klenteng daripada Vihara atau menamakan diri sebagai tempat Ibadah
Tridharma. Ini sejalan dengan era tersebut yang lebih demokratis dan menghargai
pluralism baik etnisitas maupun keagamaan.
Dari segi arsitektur, bangunan vihara sangat menarik karena memiliki pola
penataan ruang, struktur konstruksi, dan ornamentasi yang berbeda. Arsitektur yang
menjadi bagian dari suatu bangunan, juga berfungsi sebagai upacara keagamaan.
Klenteng maupun vihara di Indonesia jika diamati dari bentuk bangunan dan
ornamennya cenderung memiliki ciri-ciri interior bangunan dan ornamen seperti
klenteng ataupun vihara ayang ada di Cina. Dari setiap ornamen tersebut memiliki
fungsi dan makna yang berbeda-beda. Ornamen merupakan salah satu bentuk
ekspresi kreatif manusia zaman dulu. Ornamen dipakai untuk mendekorasi badan
bangunan, tembikar-tembikar, hiasan pada baju, alat-alat perang, bangunan, serta
4
benda bangunan seni lainnya. Jenis maupun peletakan ornamen vihara pada
umumnya sudah ditentukan sesuai dengan maknanya.
Ornamen pada pintu vihara di Indonesia seringkali menggambarkan bunga,
bambu yang dikombinasikan dengan binatang seperti kijang, kilin, dan kelelawar. Di
atas atap vihara selalu ditempatkan sepasang naga yang dibentuk dari pecahan
porselen dalam kedudukan saling berhadapan untuk berebut sebuah mutiara alam
semesta menyala. Ornamen pada tiang penyangga seringkali berupa dewa, panglima
perang, tumbuh-tumbuhan, bunga, gajah, kilin, naga, dan lain-lain. Dimana dari
setiap ornamen-ornamen itu memiliki fungsi dan makna. Biasanya fungsi dari
ornamen itu sebagai estetika (keindahan), religius, dan identitas budaya. Sedangkan
makna dari ornamen itu biasanya sebagai simbolis, lambang rezeki, keberhasilan
hidu, lambing supranatural, dan lain sebagainya.
Binjai adalah salah satu kota yang berada di wilayah provinsi Sumatera
Utara, Indonesia. Binjai terletak 22 km di sebelah barat ibukota Provinsi Sumatera
Utara, Medan. Sebelum berstatus kotamadya dan kemudian menjadi Pemerintah
Kota, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian dipindahkan ke
Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di sebelah barat dan
utara serta Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan selatan
Di Kota Binjai terdapat vihara yang menarik. Vihara-vihara tersebut terdapat
di pemukiman yang banyak dihuni oleh masyarakat Tionghoa. Terdapat tiga vihara
yang memiliki ornamen arsitektur bangunan yang menarik dan berbeda, yaitu:
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin.
Keunikan ketiga vihara tersebut dibandingkan dengan vihara-vihara lain terletak
pada ornamen dan arsitektur bangunannya yang semakin modern sesuai dengan
5
perkembangan zaman. Namun ketiga vihara ini juga memiliki perbedaan dan
persamaan bangunan satu sama lainnya. Beberapa perbedaan dapat terlihat dari
ornamen bangunan pada atas atap vihara, ornamen bangunan pintu vihara, dan
ornamen bangunan tiang penyangga vihara.
Arsitektur ornamen bangunan pada atas atap Vihara Setia Dharma hanya
terdapat genteng tanpa ada ornamen naga atau pun ornamen lainnya. Sedangkan pada
atas atap Vihara Sanatha Maitreya terdapat sebuah ornamen yang berbentuk globe di
mana di bawah globe tersebut terdapat tulisan “Dunia Satu Keluarga”, dan pada atas
atap Vihara Thai Siong Li Lau Cin terdapat sepasang naga yang saling berhadapan
pada sebuah mutiara. Ornamen pada pintu Vihara Setia Dharma terdapat gambar
Panglima Ceng Sok Po, sedangkan pada ornamen pintu Vihara Sanatha Maitreya dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin hanya berupa pintu biasa tanpa ada ornamen bangunan
gambar apapun. Tiang penyangga Vihara Setia Dharma hanya berupa tiang
penyanggan panjang tanpa ada ornamen apapun, sedangkan pada Vihara Sanatha
Maitreya berupa balok penyangga panjang yang di bawahnya terdapat pecahan batu.
Tiang pada Vihara Thai Siong Li Lau Cin berupa balok penyangga panjang di mana
terdapat ornamen naga yang melilitkan tubuhnya di tiang tersebut.
Dari segi arsitektur, ketiga Vihara tersebut pun memliki perbedaan, di mana
bangunan Vihara Sanatha Maitreya lebih modern dan hampir meyerupai bangunan
rumah modern sekarang. Sedangkan bangunan Vihara Setia Dharma tetap memiliki
unsur tradisional dibandingkan dengan kedua Vihara lainnya.
Di samping perbedaan, Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin juga memiliki persamaan yaitu dimana di dalam
ruangan vihara tersebut terdapat sebuah patung dewa dan umat Buddha anggap
6
sebagai Tuhan mereka beserta patung-patung dewa-dewi lainnya yang mereka
anggap sebagai nabi mereka. Selain patung dewa-dewi, juga terdapat ornamen
lainnya yang meyerupai gambar binatang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis hanya membahas mengenai Bentuk,
Makna, dan Fungsi Ornamen pada Tiga Bangunan Vihara di Kota Binjai. Alasan
penulis menjadikan Kota Binjai sebagai obek penelitian, karena Binjai merupakan
daerah tempat tinggal penulis, sehingga akan mempermudah dalam melakukan
penelitian. Selain itu, penulis mengetahui karakteristik masyarakat Tionghoa di Kota
Binjai sehingga akan mempermudah dalam melakukan sebuah penelitian. Selain itu,
banyak juga masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa di Kota Binjai yang tidak
mengetahui fungsi dan makna ornamen vihara.
Alasan menjadikan tiga vihara ini yaitu Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha
Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin sebagai objek penelitian, karena ketiga
vihara ini merupakan vihara yang terkenal di kota Binjai, selain itu ketiga arsitektur
bangunan dan ornamen vihara ini berbeda-beda dibandingkan vihara lain yang ada di
kota Binjai. Selain itu penulis akan mendeskripsikan makna ketiga ornamen tersebut
berdasarkan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif serta
menggunakan teori fungsionalisme dan teori semiotik. untuk menganalisis fungsi
dan makna ornamen bangunan Vihara di kota Binjai.
1.2 Batasan Masalah
Menghindari batasan masalah yang terlalu luas dan dapat mengaburkan
penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian ornamen
bangunan Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li
7
Lau Cin. Penulis memfokuskan penelitian pada ornamen bangunan pintu vihara,
ornamen bangunan atas atap vihara, dan ornamen bangunan pada tiang atau balok
penyangga vihara. Alasan mengapa penelitian dilakukan di Vihara Setia Dharma,
Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin, dikarenakan ketiga
vihara merupakan vihara yang memiliki ornamen arsitektur bangunan yang menarik
dan ketiga vihara memiliki perbedaan dan persamaan.
1.3 Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang di atas permasalahan yang akan di angkat
dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaiman bentuk arsitektur bangunan dan ornament Vihara Setia Dharma,
Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin?
2. Apa fungsi ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia
Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin?
3. Apa makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia
Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin ?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga
pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong
Li Lau Cin.
8
2. Untuk mengetahui fungsi ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li
Lau Cin.
3. Untuk mengetahui makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga
pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong
Li Lau Cin.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoretis dan
manfaat prkatis. Kedua manfaat ini berlandas kepada dua hal dasar yaitu manfaat
keilmuan dan manfaat sosial budaya. Kedua manfaat ini diuraikan lebih jauh lagi
seperti berikut ini.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoretis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat
memperkaya ilmu pengetahuan tentang bentuk, fungsi, dan makna dari setiap
ornamen bangunan vihara serta diharapkan juga dapat menjadi bahan referensi bagi
peneliti lainnya yang akan meneliti ornamen bangunan vihara. Manfaat teoretis ini
dapat menambah khasanah keilmuan khususnya bahasa, sastra, dan budaya Cina di
Indonesia, khususnya di Kota Binjai. Kemungkinan lebih jauh penelitian ini dpaat
mempertkaya keilmuan disiplin terkait seperti antropologi, arsitektur, sejarah, seni,
dan lain-lain.
9
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Tionghoa untuk lebih
memahami kesenian khususnya seni rupa yang terdapat pada bangunan vihara.
Bagaimana pun, di era globalisasi seperti sekarang, setiap kelompok manusia, selain
menggunakan budaya global juga sekaligus memperkuat jati diri atau identitas
kebudayaannya agar memiliki kekuatan kultural dari dalam dan luar. Termasuk juga
masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Binjai dapat merujuk dan mempertahankan
kebudayaannya di tengah-tengah arus globalisasi, dan juga sebagai bahagian dari
sumbangan kebudayaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai
negara yang menjadi identitas kebangsaannya, dengan tanpa melupakan sejarah
bahwa nenek moyang meraka memang berasal dari Negeri China yang migrasi
ratusan tahun yang lampau ke kawasan ini. Namun mereka juga menjadi bahagian
yang integral dari Republik Indonesia yang dicintainya.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
Dalam bab dua ini penulis akan memaparkan tiga jenis penguraian kajian
pustaka yang berisi tentang hasil penelitian terdahulu, konsep terkait variabel yang
digunakan pada judul skripsi, dan landasan teori sebagai acuan penelitian skripsi
penulis.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan
pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti.
Kajian pustaka merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat sesudah
mempelajari ( KBBI, 1990:951 ).
Harry Pujianto Yoswara, Imam Santosa, Naomi Haswanto. 2010. dalam
Jurnal “Simbol dan Makna Bentuk Naga (Studi Kasus: Vihara Satya Buddhi
Bandung)”. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Menguraikan tentang simbol dan
makna bentuk naga pada ornamen bangunan Vihara Satya Budhi Bandung menurut
kepercayaan Masyarakat Cina. Selain itu juga menjelaskan kedudukan simbol naga
pada Vihara Satya Budhi dan terhadap ornamen-ornamen lainnya.
Mayang Sari, Sriti dan Soelistio P, Raymond. 2008. dalam Skripsi “Kajian
Ikonografis Ornamen Pada Interior Klenteng Sanggar Agung Surabaya”. Surabaya:
Kristen Petra Press. Menguraikan tentang mengkaji ornamen bangunan Klenteng
Sanggar Agung Surabaya mulai dari bentuk, fungsi dan makna yang terkandung
11
dalam ornamen klenteng tersebut. Teori yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
menggunakan teori ikonografis dengan tujuan untuk mengidentifikasi,
menggolongkan dan menjelaskan objek-objek visual yang menjadi kajiannya. Teori
ikonografis yaitu kajian tentang isi/muatan simbolik dan budaya (politis, literer,
religius, filosofis dan sosial) dari karya-karya seni rupa. Namun apapun bentuk
kajiannya, istilah umum yang digunakan adalah „ikonografi. Pendekatan ikonografi
bisa diterapkan pada berbagai cabang seni rupa seperti seni lukis, seni patung, seni
kriya, komik dan lain-lain.
2.2 Konsep
Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan
suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Bailey (1982)
menyebutkan sebagai persepsi (mental Image) atau abstraksi yang dibentuk dengan
menggeneralisasikan hal-hal khusus.
Dalam membangun konsep ada dua desain yang perlu diperhatikan, yaitu
generalisasi dan abstraksi. Generalisasi adalah proses bagaimana memperoleh
prinsip atau pendapat dari berbagai pengalaman. Abstraksi yaitu cakupan ciri-ciri
umum yang khas dari fenomena yang dibicarakan.
2.2.1 Bentuk
Bentuk merupakan penjabaran geometris dari bagian semesta bidang yang
ditempati oleh obyek tersebut, yaitu ditentukan oleh batas-batas terluarnya namun
tidak tergantung pada lokasi (koordinat) dan orientasi (rotasi)-nya terhadap bidang
semesta yang ditempati. Bentuk obyek juga tidak tergantung pada sifat-sifat spesifik
12
seperti: warna, isi, dan bahan. Seorang ahli matematika dan statistik dari Inggris,
David George Kendall mendefinisikan "bentuk" sebagai berikut. Bentuk adalah
seluruh informasi geometris yang akan tidak berubah ketika parameter lokasi, skala,
dan rotasinya dirubah.
Bentuk sederhana dapat diterangkan oleh teori benda geometri dasar (dua
dimensi) misalnya titik, garis, kurva, bidang (misal, persegi atau lingkaran), atau bisa
pula diterangkan oleh benda padat (tiga dimensi) seperti kubus, atau bola. Namun,
kebanyakan bentuk yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk
rumit. Misalnya bentuk pohon dan bentuk garis pantai, yang mana sangat rumit
sehingga diperlukan lebih dari sekedar teori geometri sederhana untuk
menganalisanya. Salah satu teori yang berusaha menganalisa bentuk-bentuk rumit ini
adalah teori fraktal (sumber: wikipedia.or.id).
2.2.2 Fungsi Ornamen Vihara
Dalam pengertian sehari-hari, fungsi adalah guna atau manfaat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:323) fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi
hidup suatu masyarakat.
Penciptaan suatu karya biasanya selalu terkait dengan fungsi tertentu.
Demikian pula halnya dengan karya seni ornamen yang pencitaan selalu terkait
dengan fungsi atau kegunaan tertentu pula. Fungsi adalah kegunaan suatu hal, dalam
arti lain yaitu peran sebuah unsur dalam suatu objek. Fungsi ornamen pada vihara
biasanya berupa simbol religi atau keagamaan, simbolik, ritual keagamaan, dan
identitas budaya. Selain itu kebanyakan fungsi ornamen vihara sebagai ragam hias
13
atau estetika yang menunjang keindahan bangunan vihara sehingga bangunan vihara
tersebut terlihat indah dan menarik bagi siapapun yang melihat.
2.2.3 Makna Ornamen Vihara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:703), makna adalah:
1. Arti atau maksud.
2. Pengertian yang diberikan kepada benda kebahasaan.
3. Aktif makna emotif, denotasi makna kata atau kelompok kata yang didasarkan
atas hubungan lugas antara satuan dan wujud diluar bahasa, seperti orang, benda,
tempat, sifat, proses dan kegiatan.
Ornamen tidak hanya dimanfaatkan untuk menghias suatu benda fungsional,
tetapi juga sebagai elemen penting dalam karya seni. Dalam perkembangan
selanjutnya, penciptaan karya seni ornamen tidak hanya dimaksudkan untuk
mendukung keindahan suatu benda, tetapi lebih jauh disertai dengan semangat
kreativitas seniman.
Ornamen pada bangunan vihara sering menggambarkan bunga, bambu yang
dikombinasikan dengan binatang seperti kijang, kilin, dan kelelawar. Kelelawar bagi
orang Tionghoa mempunyai makna rejeki atau berkah karena kelelawar dalam
bahasa Tionghoa dialek Hokkian adalah Hok yang berarti rejeki. Gambar-gambar
lambang Pat Sian juga terdapat diantara lukisan bunga dan kelelawar, kedelapan
dewa ini adalah lambang keharmonisan, panjang usia dan kemakmuran.
Ornamen naga juga sering kita jumpai pada bangunan vihara, biasanya sering
terdapat pada atas atap dan tiang penyangga vihara. Naga adalah suatu makhluk
mitos yang melambangkan kekuatan, keadilan, dan penjaga burung suci Selain itu
14
hiasan naga terkadang digantikan oleh sepasang ikan naga. Ikan ini berkepala dengan
bentuk Liong yang melambangkan keberhasilan setelah mengalami percobaan. Tidak
hanya berupa ornamen hewan, ornamen berupa tumbuh-tumbuhan maupun ornamen
panglima banyak kita lihat pada ornamen arsitektur bangunan vihara. Biasanya,
jenis-jenis ornemen itu mempunyai makna rezeki, makhluk mitos, lambang
supranatural, lambang keberhasilan hidup, dan lain-lain.
2.2.3 Ornamen
Ornamen merupakan salah satu bentuk ekspresi kreatif manusia zaman
dahulu. Ornamen dipakai untuk mendekorasi badan, dipahat pada kayu,tembikar-
tembikar, hiasan pada baju, alat-alat perang, bangunan, serta benda bangunan seni
lainnya. Jenis maupun peletakan ornamen vihara ataupun klenteng pada umumnya
sudah ditentukan sesuai dengan maknanya. Seperti bagian atas altar terkadang
digantungkan panji-panji pujian bagi dewa yang bersangkutan, di sisi kanan kiri
digantungkan papan/kain bertuliskan puji-pujian. Di depan altar biasanya ditutup
oleh secarik kain sutra merah yang disulam aneka pola misalnya: naga, delapan
Hyang Abadi, burung hong dan sebagainya.
Ornamen pada pintu bangunan vihara seringkali menggambarkan bunga,
bambu yang dikombinasikan dengan binatang seperti kijang, kilin, dan kelelawar.
Gambar-gambar lambang Pat Sian juga terdapat diantara lukisan bunga dan
kelelawar, kedelapan dewa ini adalah lambang keharmonisan, panjang usia dan
kemakmuran. Dewa-dewa dari Pat Sian juga dianggap pelindung berbagai profesi,
misalnya: Han Siang Cu melambangkan pelindung tukang ramal, Co Kok Kiu
melambangkan pelindung pemain sandiwara dan lain-lain. Pada dinding sering
15
dijumpai lukisan dewa-dewa atau cerita bergambar pendek seperti: cerita Sam Kok,
novel Hong Sin, pengadilan Siam Lo Ong di akhirat dan lain-lain.
Di atas atap bangunan vihara selalu ditempatkan sepasang naga yang
dibentuk dari pecahan porselen dalam kedudukan saling berhadapan untuk berebut
sebuah mutiara. Pada bagian atap bangunan vihara yang lain kadang dihiasi sepasang
naga mengapit Houw Lo, yaitu buah labu yang telah kering sebagai tempat air/arak.
Houw Lou tidak dapat dipisahkan dari bekal para dewa, sehingga dianggap
mempunyai kekuatan gaib untuk menjaga keseimbangan Hong Shui dan menangkal
hawa jahat.
Naga/Liong (bahasa Hokkian) adalah suatu makhluk mitos yang
melambangkan kekuatan, keadilan, dan penjaga burung suci. Naga adalah hasil
paduan khayalan dari berbagai hewan seperti: berkepala unta, bermata kelinci,
berbadan ular, bertanduk rusa, berpaha harimau, bercakar rajawali, bersisik ikan.
Selain itu hiasan naga kadang digantikan oleh sepasang ikan naga di atas atap
tersebut. Ikan ini berkepala dengan bentuk naga/Liong yang melambangkan
keberhasilan setelah mengalami berbagai masalah.
Ornamen pada tiang penyangga sering berupa dewa, panglima perang,
tumbuh-tumbuhan, bunga, gajah, kilin, naga, dan lain-lain. Gajah biasanya
digunakan untuk melambangkan roh para dewa binatang..
Makna yang terkandung pada ornamen-ornamen dalam sebuah vihara tidak
akan terlepas hubungannya dengan faktor/segi kehidupan manusia sehari-hari. Bila
dikaitkan dalam hubungannya dengan vihara, maka terdapat tiga faktor yang
mempengaruhinya. Pertama, ornamen sebagai seni dalam kebudayaan. Ada tujuh
unsur kebudayaan yang meliputi bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
16
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Dari ketujuh unsur
tersebut bila dikaitkan hubungannya dengan ornamen maka ornamen termasuk dalam
unsur kesenian. Ornamen sebagai seni dalam suatu kebudayaan merupakan segala
ekspresi hasrat manusia akan keindahan, dan keindahan itu sendiri adalah suatu
konsep abstrak yang dapat dinikmati melalui konteks tertentu.
Kedua, ornamen sebagai simbol-simbol religi suatu budaya. Memahami
ornamen sebagai simbol-simbol budaya dan religi, sangat terkait dengan kontekstual
masyarakat dan kebudayaan sendiri. Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-
makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.
Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan, dituangkan, dan
diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui manusia berkomunikasi,
mengekalkan dan mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini. Simbol
dianggap terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial yang diberikan turun-temurun
secara historis dan berisikan nilai-nilai acuan, dan memberikan petunjuk bagaimana
masyarakat tertentu berperilaku dalam menjalani hidup.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa satu sistem
simbol merupakan segala sesuatu yang memberikan ide kepada seseorang, di mana
seseorang berangkat dari sebuah ide, dan simbol-simbol menciptakan perasaan dan
motivasi kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang.
Agama sebagai motivasi yang menyebabkan orang merasakan dan melakukan
sesuatu, motivasi ini dibimbing oleh seperangkat nilai-nilai. Inilah yang memberikan
batasan yang baik atau buruk, apa yang penting, apa yang benar atau salah bagi
dirinya.
17
Ketiga, ornamen sebagai ideologi. Ornamen dalam hubungannya dengan
ideologi biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mitos. Mitos oleh manusia
dipakai sebagai media komunikasi guna memenuhi kebutuhan non fisik. Mitos
memberikan pemahaman sesuatu diluar kemampuan manusia untuk memahami suatu
fakta yang terjadi, hal semacam ini sering dijumpai pada ornamen-ornamen yang
menceritakan tentang asal mula kehidupan manusia. Mitos merupakan uraian naratif
sesuatu yang sakral, yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa di luar pikiran manusia
dan mengatasi pengalaman sehari-hari manusia, dari hal ini bisa didapat makna
sesungguhnya dari ornamen sendiri. Disamping itu ornamen juga dapat disebut
sebagai alat komunikasi tradisional yang tak langsung sebagai salah satu cara dalam
berhubungan dengan sesama maupun dengan penguasa alam semesta.
2.2.4 Vihara
Vihara adalah rumah pemujaan bagi dewa, dewi, atau arwah orang-orang
suci, arwah pahlawan, arwah leluhur, bahkan barang-barang yang disucikan seperti
pedang, jangkar, dan lain-lain. Kadang-kadang juga patung dari penguasa hutan,
gunung, laut, juga binatang tertentu seperti macan, naga, dan lain-lain.
Dewa dan dewi yang dimaksud ada umumnya merupakan tokoh-tokoh yang
diceritakan pada buku Si Yu Ci (Xi Youji), yaitu riwayat pendeta Tong Sam Cong
(Tong Xuan Zang ) yang dikawal oleh Sun Go Kong (Sun Wu Kong), Cu Pat Ce (Zhu
Bajie ), dan Sasen (Shaseng) ke arah barat mengambil kitab suci Buddha. Dewa dan
dewi yang disembah antara lain Kwan Im (Guan Yin) sebagai Dewi Pengasihan, Toa
Pek Kong (Da Bogong) sebagai Dewa Pengawal Kota. Delapan dewa yang
18
mengajarkan kebaikan yaitu Han Tang Kung sebagai Dewa Obat/ Dewa Pengobatan
yang dapat menyembuhkan penyakit, dan dewa-dewi lainnya.
2.2.5 Kota Binjai
Binjai adalah salah satu kota yang berada di wilayah provinsi Sumatera
Utara, Indonesia. Binjai terletak 22 km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatera
Utara, Medan. Sebelum berstatus kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten
Langkat yang kemudian dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan
Kabupaten Langkat di sebelah barat dan utara serta Kabupaten Deli Serdang di
sebelah timur dan selatan. Binjai merupakan salah satu daerah dalam proyek
pembangunan. Saat ini, Binjai dan Medan dihubungkan oleh jalan raya Lintas
Sumatera yang menghubungkan antara Medan dan Banda Aceh. Oleh karena ini,
Binjai terletak di daerah strategis di mana merupakan pintu gerbang Kota Medan
ditinjau dari provinsi Aceh.
19
Sumber : Pemerintah Kota Binjai, 2013
Gambar 1. Peta Kota Binjai
20
Kota Binjai terbagi atas 5 kecamatan yang kemudian dibagi lagi menjadi 37
kelurahan dan desa. Lima kecamatan tersebut masing-masing adalah Binjai Kota,
Binjai Utara, BinjaiSelatan, Binjai Barat, dan Binjai Timur. Kota Binjai merupakan
kota multi etnis, dihuni oleh suku Jawa, suku Batak Karo, suku Tionghoa, suku
Melayu, dan lain-lain. Kemajemukan etnis ini menjadikan Binjai kaya akan
kebudayaan yang beragam. Tidak hanya kemajemukan suku bangsa, tetapi agama
yang dianut oleh masyarakat kota Binjai sangat beragam, antara lain: islam, Kristen,
Buddha, dan hindu. Agama islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh
masyarakat kota Binjai.
Gambar 2. Kantor Walikota Binjai
21
Kota Binjai sejak lama dijuluki sebagai kota rambutan karena rambutan
Binjai memang sangat terkenal dan manis. Bibit rambutan asal Binjai ini telah
tersebar dan dibudidayakan di berbagai tempat di Indonesia seperti Blitar, Jawa
Timur menjadi komoditi unggulan daerah tersebut.
2.3 Landasan Teori
Furchan (1982) mengatakan, “Teori merupakan suatu keterangan sementara
tentang gejala-gejala yang dapat digunakan untuk meramalkan dan
mengendalikannya”. Sementara itu Sugiyono (2008: 80) berpendaat bahwa, “teori
adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk
menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik”.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori merupakan suatu
konseptualisasi terhadap variabel-variabel yang berfungsi untuk menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan gejala-gejala. Suatu teori dapat dibangun dari fakta-
fakta yang diamati, yang akhirnya harus diuji dengan fakta lain yang diperoleh dari
pengamatan selanjutnya. Untuk menganalisis lebih dalam fungsi dan makna ornamen
bangunan vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li
Lau Cin, penulis menggunakan teori fungsionalisme dan teori semiotik.
22
2.3.1 Teori Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Dalam
bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode,
sinyal, dan sebagainya.
Roland Barthes (1915-1980) mengemukakan, dalam teorinya tersebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan
pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan
tidak pasti (Yusita Kusumarini, 2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi
(makna sebenarnya) dan konotasi (makna tidak sebenarnya). Di sinilah titik
perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung oleh Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
23
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes
untuk menganalisis makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin.
2.3.2 Teori Fungsionalisme
Pengertian fungsi merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu.
Fungsionalisme akan terkait dengan sifat dasar budaya manusia. Sifat–sifat tersebut
merupakan realitas budaya yang sulit diabaikan. Kehidupan budaya tidak jauh
berbeda dengan organism hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
membutuhkan organisasi yang akan menciptakan budaya tertentu. Organisasi budaya
tersebut sering dinamakan institusi. Konsep ini mengimplikasikan serangkain nilai
tradisional sehingga umat manusi menjadi bersatu dalam komunitas budaya. Karena
itu, penelitian kebudayaan hendaknya dapat menunjuk kepada realitas lain yang
sejalan dengan hukum secara umum.
Model analisis fungsionalisme yang dipelopori oleh Malinowski, telah
menawarkan pilar analisis tersendiri. Fungsionalisme budaya menghendaki agar
peneliti mampu mengeksplorasi ciri sistematik budaya tertentu. Artinya, peneliti
harus mengetahui kaitan antara institusi dengan stuktur masyarakat sehingga
membentuk sebuah kesatuan yang bulat.
Penelitian budaya secara fungsional menurut Malinowski (1944:87)
mengatakan, “hendaknya mampu menganalisis kebutuhan dasar dan kebutuhan
24
sekunder manusia”. Kedua kebutuhan tersebut berfungsi untuk mempertahankan
kebudayaan dari kemusnahan.
Untuk meneliti fungsi dan makna ornament arsitektur bangunan Vihara pada
penelitian ini, penulis menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh
Malinowski. Teori fungsionalisme mengacu pada fungsi ornamen pintu, atas atap,
dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian kebudayaan merupakan upaya menangkap realitas. Realitas
budaya, tak berarti mengejar hal–hal yang faktual ( kasat mata ), melainkan juga
berhubungan dengan fenomena abstrak kebudayaan. Hai ini bertujuan agar apa yang
disimpan dibalik realitas dapat dimengerti oleh siapa saja. Fenomena budaya yang
diangkat, dijelaskan, dipahami, diuraikan secara logis dan penuh makna. Sasaran
utama dari penelitian demikian adalah untuk meningkatkan tingkat humanistis
manusia itu sendiri. Manusia sebagai pemilik budaya dan orang lain yang membaca
atau meneliti akan belajar hidup dan merefleksi atas dasar budaya itu. Hal ini berarti
bahwa penelitian budaya memang bermaksud mengembangkan sikap dan perilaku
humaniora manusia.
Metode yang digunakan dalam meneliti fungsi dan makna ornamen
bangunan vihara adalah metode deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif.
Metode deskriptif bertujuan untuk menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematik sehingga lebih mudah dipahami dengan memperhatikan dinamika
kehidupan antara fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena
dan bukan angka-angka yang penuh persentase yang kurang mewakili keseluruhan
fenomena. Alasan utama pemakaian penelitian kualitatif, antara lain data yang
26
diperoleh dari lapangan biasanya tidak terstruktur dan relatif banyak, sehingga
memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan yang
lebih menarik melalui penelitian kualitatif.
3.1 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, berupa kata–
kata dan tindakan, serta data tambahan seperti dokumentasi dan lain–lain. Data
penelitian kualitatif dapat berupa data bersumber manusia (data primer) dan data di
luar manusia ( data sekunder ). Sumber data primer diperoleh melalui hasil penelitian
lapangan di Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong
Li Lau Cin. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku-buku, jurnal, artikel-
artikel yang berhubungan dengan ornamen vihara, yang kemudian akan dipilah-pilah
untuk dijadikan bahan penelitian.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan
mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data studi kepustakaan (library research), observasi, dan wawancara.
3.2.1 Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti. Kegiatan
studi kepustakaan dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan dalam
melengkapi penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara.
27
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dari kepustakaan yang
merupakan data pendukung, yaitu berupa skripsi, buku, artikel, dan jurnal yang
berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Mandarin. Hal pertama yang dilakukan
penulis yaitu mengumpulkan artikel, buku, dan jurnal yang berhubungan dengan
vihara. Setelah semua terkumpul terlebih dahulu penulis membaca lalu
mengklasifikasikan untuk dijadikan bahan penelitian.
3.2.2 Observasi
Teknik observasi disebut juga teknik pengamatan yaitu setiap kegiatan yang
dilakukan untuk mengukur dengan menggunakan indera penglihatan atau dengan arti
lain yaitu melihat tanpa melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1995:69).
Dalam penelitian ini, penulis secara langsung melakukan observasi/ pengamatan di
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vuhara Thai Siong Li Lau Cin.
3.2.2 Wawancara
Wawancara (interview) merupakan salah satu teknik pengumpulan data
dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan responden dimana peneliti akan
memperoleh data-data atau informasi yang lebih aktual dan rinci. Koenjaraningrat
(1981:136) mengatakan bahwa, “…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi
tiga kelompok yaitu : persiapan wawancara, teknik bertanya dan pencatatan data
hasil wawancara.”
Sebelum melakukan wawancara, penulis mempersiapkan beberapa daftar
pertanyaan dan alat perekam. Pada kegiatan wawancara, penulis mengajukan
pertanyaan berdasarkan daftar pertanyaan dan responden menjawab lalu penulis
28
mencatatnya. Pencatatan hasil wawancara ada beberapa yang tidak sempat dicatat,
oleh karena itu alat perekam berfungsi sebagai pemutaran ulang agar dapat didengar
ulang oleh penulis. Penulis melakukan wawancara dengan pengurus dan pengunjung
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin.
3.3 Teknik Analisis Data
Pengertian analisis data menurut Patton (1980), yaitu suatu proses mengatur
urutan data menggorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Data tersebut begitu banyak jumlahnya, sehingga yang kurang relevan patut
direduksi. Reduksi data dilakukan dengan membuat pengelompokan dan abstraksi.
Analisis boleh berubah, kemudian mengalami perbaikan dan pengembangan sejalan
dengan data yang masuk.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis data kualitatif yaitu mengumpulkan data informasi secara fakta yang
diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya mengklasifikasi data yang penting
dan penyusunan dilakukan secara sistematis. Data kualitatif terdiri atas kata-kata,
kalimat dan deskripsi dan bukannya angka-angka. Langkah-langkah dalam
menganalisis data dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengumpulkan artikel, buku, skripsi dan jurnal yang berhubungan dengan
vihara.
2. Setelah semua data ( artikel, buku, skripsi dan jurnal) terkumpul terlebih
dahulu penulis akan membaca, lalu mengklasifikasikan data-data tersebut
untuk dijadikan bahan penelitian.
29
3. Selanjutnya penulis melakukan observasi lapangan ke tempat penelitian.
Observasi juga dibantu dengan foto atau dokumentasi.
4. Penulis akan mewawancarai pegawai dan pengunjung vihara, yang bertujuan
agar penulis mendapatkan informasi tentang ornamen bangunan vihara.
5. Mengklasifikasikan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski
untuk mengetahui fungsi ornamen banguanan vihara dan teori semiotik yang
dikemukakan oleh Roland Barthes untuk mengetahui makna ornamen
bangunan vihara.
6. Selanjutnya merangkum informasi ataupun data yang telah didapat agar
selanjutnya data-data tersebut dapat dijadikan sebagai penunjang dalam
pembuatan sebuah skripsi.
7. Adapun para informan yaitu Ibu Zeini dan Bapak A Kang yang merupakan
pegawai Vihara Sanatha Maitreya, Bapak Ngatiman/Khong Bet yang
merupakan pegawai Vihara Setia Dharma, dan Bapak Abun yang merupakan
pegawai Vihara Thai Siong Li Lau Cin. Di bawah ini adalah hasil
dokumentasi atau foto Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin.
30
Bagan 1:
Bentuk, Fungsi, dan Makna Ornamen Tiga Vihara
dalam Budaya Tionghoa di Kota Binjai
dan Teori yang Digunakan
31
Gambar 3. Vihara Sanatha Maitreya
32
Gambar 4. Vihara Thai Siong Li Lau Cin
33
Gambar 5. Vihara Setia Dharma
34
BAB IV
GAMBARAN UMUM
MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA BINJAI
Pada bab empat ini, peneliti membahas tentang masyarakat Tionghoa di kota
Binjai, sejarah Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai
Siong Li Lau Cin, serta Perbedaan dan Persamaan Ornamen Vihara Sanatha
Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin.
4.1 Masyarakat Tionghoa di Kota Binjai
Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah
satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang
(Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin
mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人)atau lazim disebut Huaren (Hanzi Sederhana :
华 人 ). Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang
Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka
sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang
Han (Hanzi: 漢人, Hanyu Pinyin: Hanren).
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak
ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali
muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan
dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno
di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina.
35
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang
maupun manusia dari Cina ke Indonesia dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup
nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Para imgran Tionghoa yang ada tersebar ke Indonesia mulai abad ke-16
sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, berasal dari suku bangsa Hokkien. Mereka
berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang
sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang Cina ke seberang lautan.
Imigran Tionghoa lain adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai Selatan negeri
Cina di daerah pedalaman Swatow di bagian timur provinsi Kwantung. Orang Teo-
Chiu dan Hakka diseukai sebagai kuli perkebunan dan pertambangan di Sumatera
Timur, Bangka, dan Biliton.
Penduduk Kota Binjai pada tahun 2011 berjumlah 248.456 jiwa yang terdiri
dari 124.173 laki-laki dan 124.283 perempuan dengan kepadatan penduduk 2.754
jiwa dan rata-rata 4,32 jiwa per Rumah Tangga.
Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Binjai Utara sebanyak
71.051 jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Binjai Kota yaitu
sebanyak 30.473 jiwa. Kecamatan yang paling padat penduduknya terdapat di
kecamatan Binjai Kota dengan kepadatan 7.396 jiwa/km2. Sedangkan kecamatan
yang jarang penduduknya adalah Binjai Selatan dengan kepadatan 1.631 jiwa/km2.
Jumlah penduduk yang paling banyak terdapat di Kecamatan Binjai Utara yaitu
36
16.580 rumah tangga, dan umlah penduduk yang paling sedikit terdapat di
Kecamatan Binjai Kota yaitu 7.133 rumah tangga.
Tabel 4.1:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
No Umur Tahun 2009
Laki-laki
Perempuan
Tahun 2010
Laki-laki
Perempuan
Tahun 2011
Laki-laki
Perempuan
1 10-14 30.939
31.683
36.907 34.645 36.635
34.370
2 15-54 86.600
86.755
75.148 78.258 76.032
77.075
3 55+ 10.103
11.045
10.906 12.254 11.506
12.838
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Binjai, 2011, 2012
Penduduk Kota Binjai didominasi oleh penduduk berusia 5-9 tahun sejumlah
23.789 jiwa yang terdiri dari 12.355 laki-laki dan 11.434 perempuan. Sedangkan
jumlah paling sedikit adalah penduduk berusia 60-64 tahun berjumlah 5.473 orang
terdiri dari 2.637 laki-laki dan 2.836 perempuan. Secara umum penduduk perempuan
di Kota Binjai lebih banyak dari penduduk laki-laki dengan sex ratio sangat kecil
37
tahun 2011 yakni nilainya di bawah 100. Dalam 100 jumlah penduduk perempuan
terdapat 99,91 penduduk laki-laki.
Catatan: (1) Data tahun 2009, terjadi selisih 20 jiwa antara jumlah detail dengan
jumlah akumulasi di BPS BDA 2010, maka peneliti mengikuti jumlah detail data, (2)
Terjadi selisih 2000 jiwa data tahun 2010.
Tabel 4.2:
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Tahun 2012
1 Islam 201.070
2 Kristen/Katolik 29.332
3 Hindu 1.485
4 Buddha 16.989
5 Konghucu/Aliran Kepercayaan 19
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Binjai, 2012
Komposisi penduduk menurut agama tahun 2010, penduduk Kota Binjai
mayoritas beragama Islam yakni 85.45%. Kemudian disusul penduduk beragama
Kristen/Katolik sebesar 8.72%, penduduk beragama Budha sebesar 5.48%, penduduk
beragama Hindu sebesar 0,28% dan penduduk beragama Konghucu/Aliran
Kepercayaan sebesar 0,08%. Agama Islam menjadi mayoritas dapat dipahami karena
berdasarkan komposisi penduduk menurut etnis, jumlah terbesar penduduknya yaitu
beretnis Jawa kemudian etnis Melayu, Mandailing, Minang dan Aceh, etnis-etnis ini
38
dalam sejarahnya memang merupakan etnis dengan sejarah perkembangan agama
Islam yang kuat.
Catatan: Data BPS Binjai tahun 2012 data diperoleh dari Laporan Akhir
Database Kota Binjai Tahun 2012 oleh Bappeda Kota Binjai.
Kota Binjai merupakan kota multietnis yang dihuni oleh suku Jawa, suku
Batak Karo, suku Tionghoa, suku Melayu, dan suku bangsa lainnya. Kemajemukan
etnis ini menjadikan Binjai kaya akan kebudayaan yang beragam. Masyarakat
Tionghoa merupakan salah satu etnis yang terdapat di kota Binjai. Kebanyakan
mereka berdomisili di kecamatan Binjai Kota dan kecamatan Binjai Barat.
Etnis terbesar di Kota Binjai adalah Etnis Jawa yakni 92,545 % yang
kemudian ikuti secara berurut adalah Melayu, Mandailing, Karo, Tionghoa, Batak
Toba, Minang, Batak Simalungun, Banten dan Aceh.. Hal ini ditunjukan dari hasil
Susenas tahun 2010 yakni sebesar 39,80%. Kemudian disusul etnis Melayu 12.55 %,
etnis Mandailing 9.33%, etnis Karo 9,05%, etnis Tionghoa 7,03%, etnis Batak Toba
6,70%, etnis Minang 6,28%, etnis Batak Simalungun 5,57%, etnis Banten 1,88% dan
etnis Aceh 1,81%. Banyaknya etnis Jawa di Binjai tidak terlepas dari sejarah kuli
kontak yang diterapkan semasa penjajahan Belanda di Sumatera Utara untuk
membuka dan membangun wilayah perkebunan.
39
Tabel 4.3:
10 Etnis Terbesar di Kota Binjai
No Nama Etnis 2010 2011 2012
1 Jawa 98.769 98.889 92.545
2 Melayu 31.132 31.170 29.170
3 Karo 22.466 22.493 21.050
4 Batak Simalungun 13.832 13.848 12.960
5 Batak Toba 16.637 16.658 15.589
6 Mandailing 23.141 23.169 21.683
7 Minang 15.583 15.602 14.601
8 Aceh 4.501 4.506 4.217
9 Tionghoa 17.441 17.462 16.342
10 Banten 4.653 4.659 4.360
248.154 248.456 232.517
Sumber: Bappeda Kota Binjai, 2012
4.2 Mata Pencaharian
Saat ini, masyarakat Tionghoa di kota Binjai lebih dominan bekerja sebagai
pedagang dan di bidang bisnis. Perekonomian kota Binjai juga dipegang oleh
masyarakat Tionghoa. Kebanyakan mereka melakukan trasaksi perdagangan ataupun
bisnis mereka di daerah kecamatan Binjai Kota, karena daerah ini merupakan pusat
kota Binjai dan sangat strategis apabila menjalankan usaha bisnis di kawasan
40
tersebut. Masyarakat Tionghoa dikenal gigih, ulet dan memiliki jaringan yang baik
dengan sesamanya, sehingga usaha mereka menjadi berkembang dan sukses.
4.3 Agama dan Kepercayaan
Di Indonesia umumnya masyarakat menganggap bahwa orang Tionghoa itu
memeluk agama Budha. Memang di negara Cina sebagian tersebar rakyatnya
memeluk agama Budha, tetapi di Indonesia orang Tionghoa adalah pemeluk agama
Budha, Kong Hu cu ( konfusianisme ), Taoisme, Kristen, Katolik dan Islam. Dari
segi religi, masyarakat China menganut tiga agama dari Negara asal mereka yang
disebut San Jiau/Sam Kauw, di Indonesia ajaran ini dikenal dengan Tridharma ( tiga
ajaran agama ). Tiga ajaran agama yang banyak dianut masyarakat Cina yaitu Khong
Hu Chu, Tao, dan Buddha.
4.3.1 Taoisme
Taoisme (Mandarin: 道教 atau 道家) juga diejakan Daoisme, diprakarsai oleh
Laozi (老子 pinyin:Lǎozǐ) sejak akhir Zaman Chunqiu. Taoisme merupakan ajaran
Laozi yang berasaskan Daode Jing (道德經,pinyin:Dàodé Jīng). Pengikut Laozi yang
terkenal adalah Zhuangzi (庄子 ) yang merupakan tokoh penulis kitab yang judul
Zhuangzi.
Taoisme berasal dari kata "Dao" (道 ) yang berarti tidak berbentuk, tidak
terlihat tetapi merupakan asas atau jalan acara kejadian kesemua benda hidup dan
benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan
41
kebendaan adalah De ( 德 ). Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai
Taoisme, yang merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalas,
bersifat lembut seperti air, dan berabadi.
Ajaran Taoisme tidak terlalu nampak pengaruhnya di Indonesia dan kota
Binjai khususnya. Walaupun ada yang mengatakan, bahwa Taoisme ini semacam
agama yang telah lahir di Tiongkok, ada dasarnya Taoisme bukanlah agama. Dasar
Taoisme yang sebenarnya adalah kitab “Tao Te Ching”. Kitab ini menurut tradisi
dianggap peninggalannya Lao Tze, yang hidup sezaman dengan Kung Tze, tetapi
dikaitkan berusia lebih tua daripada Kung Tze. Isi “Tao Te Ching” sendiri sangatlah
singkat, sehingga banyak kalimat dalam kitab ini yang merupakan tafsiran dari para
sarjana-sarjana Tionghoa sendiri, dan hasil terjemahan dari para ilmuwan Barat.
Yang menjadi kesulitan dalam penafsiran “Tao Te Ching” adalah keadaan system
yang bernama “Wu Wei” (tidak melakukan sesuatu) dalam ajaranya. Inti dari ajaran
Lao Tze adalah dengan melakukan “Wu Wei” dunia akan menjadi lebih baik.
4.3.2 Konfusianisme
Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu ( Kung Tze atau Konfusius) dalam
bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao (儒教) yang berarti agama dari orang-
orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Khong Hu Cu memang
bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama yang
sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang beliau sabdakan: "Aku
bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut". Meskipun
orang kadang mengira bahwa Khong Hu Cu adalah merupakan suatu pengajaran
42
filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau
orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama Khong Hu
Cu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Khong Hu Cu (Ru Jiao) juga terdapat
ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Khonghucu juga
mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia yang disebut "Ren
Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam
semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".
Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan
antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar
supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini.
Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia
bertingkah laku.
Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan
penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang
keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang dipentingkan dalam
ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
Di Indonesia bahkan di kota Binjai, pengajaran Kung Tze tidak dipandang
sebagai agama oleh orang Tionghoa. ahli filsafat itu umunya hanya dihargai sebagai
seorang Guru Besar. Di negeri kita ini terdapat perkumpulan Khong Kauw Hwee
( Perkumpulan Agama Kung Tze ), tetapi perkumpulan ini tidak dapat dipandang
senagai sebuah perkumpulan agama, melainkan sebagai sebuah perkumpulan yang
bertujuan menyiarkan dan mengembangkan pengajaran Kung Tze. Pekerjaan
perkumpulan ini lebih banyak di bidang sosial.
43
4.3.3 Buddhisme
Agama Buddha ialah agama dan falsafah yang berasaskan ajaran Buddha
Śākyamuni (Siddhārtha Gautama) yang mungkin lahir pada kurun ke-5 sebelum
masehi. Agama Buddha menyebar ke benua India dalam kurun waktu selepas
Baginda meninggal dunia. Dalam 2.000 tahun seterusnya, agama Buddha telah
menyebar ke tengah, tenggara dan timur Asia. Agama Buddha terus menarik orang
ramai, bahkan penganutnya di seluruh dunia dan mempunyai lebih kurang 350 juta
penganut. Agama Budddha dikenal sebagai salah satu agama yang paling besar di
dunia. Masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia maupun masyarakat Tionghoa
yang ada di kota Binjai, kebanyakan menganut kepercayaan Budha.
Seorang Buddha ialah seseorang yang mendapati alam semesta yang benar
melalui pelajarannya yang bertahun-tahun, penyiasatan dengan pengamalan agama
pada masanya dan pertapaan. Penemuannya dikenali sebagai Bodhi atau
"Pemahaman". Siapa yang bangun dari "Ketiduran Kejahilan" secara langsung yang
mengenali alam semesta jadi nyata yang sebenarnya dikenal sebagai Buddha.
Mengikuti ajaran Buddha, siapa yang dapat mempelajarinya dan juga memahami
alam semesta akan jadi nyata yang sebenarnya dan mempraktikkannya dengan
mengamalkan kehidupan yang bermoral dan pemikiran yang bersih. Secara
keseluruhan, tujuan seorang menganut agama Buddha adalah untuk mengamati
segala kesusahan dalam kehidupan.
44
4.4 Perbedaan dan Persamaan Ornamen Vihara Setia Dharma, Vihara
Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li
Lau Cin merupakan contoh beberapa Vihara yang ada di kota Binjai. Vihara Sanatha
Maitreya dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin beralamat di Jalan Kelengkeng,
Kecamatan Binjai Barat. Sedangkan Vihara Setia Dharma beralamat di Jalan Tuanku
Imam Bonjol, Kecamatan Binjai Kota. Penulis sangat tertarik untuk melakukan
penelitian pada tiga Vihara ini, karena arsitektur bangunan maupun ornamen ketiga
Vihara ini memiliki perbedaan dan persamaan. Dari luar Vihara saja sudah tampak
jelas, jika arsitektur bangunan ketiga Vihara ini berbeda, dimana arsitektur bangunan
Vihara Sanatha Maitreya dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin sudah berbentuk modern
bahkan menyerupai rumah modern saat ini. Sedangkan arsitektur bangunan Vihara
Setia Dharma masih berbentuk tradisional.
Arsitektur ornamen bangunan pada atas atap Vihara Setia Dharma hanya
terdapat genteng tanpa ada ornamen naga atau pun ornamen lainnya, dan pada atas
atap Vihara Sanatha Maitreya terdapat sebuah ornamen yang berbentuk globe di
mana dibawah globe tersebut terdapat tulisan “Dunia Satu Keluarga” , yang
bermakna walaupun masyarakat yang ada di dunia ini terdiri dari suku bangsa,
agama, dan ras yang berbeda – beda tetapi semuanya satu kesatuan keluarga.
Sedangkan pada atas atap Vihara Thai Siong Li Lau Cin terdapat sepasang naga yang
saling berhadapan pada sebuah mutiara.
Ornamen pada pintu Vihara Setia Dharma terdapat gambar panglima, dimana
pintu itu terbuat dari besi, sedangkan pada ornamen pintu Vihara Sanatha Maitreya
dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin hanya berupa pintu biasa tanpa ada ornamen
45
bangunan gambar apapun dan terbuat dari kayu. Tiang penyangga Vihara Setia
Dharma hanya berupa tiang penyangga panjang yang terbuat dari campuran semen,
pasir, dan batu bata tanpa ada ornamen apapun, sedangkan pada Vihara Sanatha
Maitreya berupa balok penyangga panjang yang di bawahnya terdapat pecahan batu
marmer. Tiang pada Vihara Thai Siong Li Lau Cin berupa balok penyangga panjang
di mana terdapat ornamen naga yang melilitkan tubuhnya ditiang tersebut.
Di samping perbedaan, Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin juga memiliki persamaan yaitu di mana didalam
ruangan Vihara tersebut terdapat sebuah patung dewa berukuran besar yang
diletakkan ditengah-tengah ruangan Vihara, dimana umat Buddha menganggap
patung itu sebagai Tuhan mereka. Tidak hanya terdapat patung berukuran besar,
tetapi juga terdapat patung-patung dewa-dewi lainnya yang mereka anggap sebagai
nabi. Selain patung dewa-dewi, juga terdapat ornamen lainnya yang meyerupai
gambar binatang, lonceng, sebuah mangkuk emas yang terbuat dari alumunium emas
yang berisi koin-koin dari pengunjung Vihara yang beribadah, dan lain sebagainya.
46
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Bab V ini, penulis mengkaji tiga hal tentang tiga vihara di Kota
Binjai, yang mencakup: (1) bentuk vihara; (2) fungsi ornamen vihara; dan (3)
makna ornamen vihara. Untuk bentuk dan makna vihara sebagai artefak dalam
dimensi visual digunakan teori semiotika terutama dari Barthes. Selanjutnya
khusus fungsi ornamen vihara ini digunakan teori fungsionalisme dalam disiplin
antropologi budaya.
5.1 Deskripsi Bentuk Artefak Tiga Bangunan Vihara
Berikut ini akan dideskripsikan artefak Vihara Sanatha Maitreya, Vihara
Thai Siong Li Lau Cin, dan Vihara Setia Dharma. Deskripsi yang dilakukan
untuk masing-masing vihara mencakup: pintu, atap, tiang penyangga, dan
denahnya secara global. Studi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
bagaimana bentuk vihara secara umum dan khusus, serta bagaimana bangunan
vihara ini disusun oleh artefak-artefak yang mendukungnya.
71
Bagan 1:
Denah Artefak Vihara Sanatha Maitreya
P.G
R.S.U
Bagan 2:
Denah Artefak Vihara Thai Siong Li Lau Cin
P.G H H
R.S.U
72
R.S I
Taman
J
P
J
J
P
J R.P.V
Bagan 3:
Denah Artefak Vihara Setia Dharma
Keterangan:
H : Halaman P.G : Pintu Gerbang
J : Jendela P : Pintu
R.S.U : Ruang Sembahyang Utama R.P.A : Ruang Penyimpanan Abu
R.S I : Ruang Sembahyang I R.P.V : Rumah Pemilik Vihara
5.1.1 Pintu Vihara
Ornamen pada pintu vihara seringkali menggambarkan bunga, bambu
yang dikombinasikan dengan binatang seperti kijang, kilin, dan kelelawar.
Kelelawar bagi masyaratkat Tionghoa melambangkan rejeki atau berkah karena
kelelawar dalam bahasa Hokkian adalah Hok yang berarti rejeki. Gambar-
gambar lambang Pat Sian juga terdapat diantara lukisan bunga dan kelelawar,
kedelapan dewa ini adalah lambang keharmonisan, panjang usia dan
73
P.G H
Lantai 2 Lantai 1
R.S.U R.P.A
J
J
P
kemakmuran. Dewa-dewa dari Pat Sian juga dianggap sebagai pelindung
berbagai profesi, misalnya: Han Siang Cu melambangkan peramal, Co Kok Kiu
melambangkan pelindung pemain sandiwara dan lain-lain.
Ornamen yang terdapat pada pintu vihara yang satu dengan vihara yang
lain tidaklah sama dan tidak menjadikan suatu kekhususan tersendiri, begitupun
halnya dengan ornamen pintu Vihara Setia Dharma dengan Vihara Sanatha
Maitreya, dan vihara Thai Siong Li Lau Cin. Namun pada intinya pintu yang
dilengkapi dengan ornamen khas Cina biasanya mempunyai fungsi dan makna
sebagai penangkal roh jahat yang bisa mengganggu ketenangan dan
kekhidmatan vihara dan para umat yang sembahyang di dalamnya.
74
Gambar 6. Ornamen Pintu Vihara Setia Dharma
Pintu yang terdapat pada bangunan Setia Dharma tidak semuanya
dilengkapi dengan ornamen khas Cina, hanya pintu masuk ke dalam ruangan
vihara saja yang dibuat dan dilengkapi dengan ornamen khas Cina berupa
gambar Panglima Ceng Sok Po. Selain itu, pintu yang terdaat pada bangunan
Vihara Setia Dharma tidak dilengkapi dengan ornamen khas Cina, tetapai hanya
ukiran pintu seperti pintu rumah pada umumnya.
75
Gambar 7. Ornamen pintu Vihara Thai Siong Li Lau Cin
76
Pintu yang terdapat pada bangunan Vihara Thai Siong Li Lau Cin dilengkapi
dengan ornamen gambar dewa yang sangat dipercaya ataupun dipuja oleh
masyarakat Tinghoa, khususnya masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha.
Gambar 8. Ornamen pintu Vihara Sanatha Maeitreya
Ornamen pintu pada bangunan Vihara Sanatha Maitreya sama sekali
tidak dilengkapi dengan ornamen khas Cina, dikarenakan bangunan Vihara
Sanatha Maetrey sudah berbentuk modern dan bentuk pintu vihara ini hampir
sama dengan bentuk pintu pada rumah umumnya.
77
5.1.2 Atap Vihara
Di atas atap vihara selalu ditempatkan sepasang naga yang dibentuk dari
pecahan porselin dalam kedudukan saling berhadapan untuk berebut sebuah
mutiara alam semesta. Pada bagian atap bangunan yang lain kadang dihiasi
sepasang naga mengapit Houw Lou dalam bahasa Hokkian , yaitu buah labu
yang telah kering sebagai tempat air/arak. Houw Lou tidak dapat dipisahkan dari
bekal para dewa, sehingga dianggap mempunyai kekuatan gaib untuk menjaga
keseimbangan Hong Shui dan menangkal hawa jahat. Naga/Liong (bahasa
Hokkian) adalah suatu makhluk mitos yang melambangkan kekuatan, keadilan,
dan penjaga burung suci. Naga adalah hasil paduan khayalan dari berbagai
hewan seperti: berkepala unta, bermata kelinci, berbadan ular, bertanduk rusa,
berpaha harimau, bercakar rajawali, bersisik ikan. Selain itu hiasan naga
terkadang digantikan oleh sepasang ikan naga di atas atap tersebut. Ikan ini
berkepala dengan bentuk Liong atau naga yang melambangkan keberhasilan
setelah mengalami percobaan. Namun pada bangunan atas atap Vihara Setia
Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan vihara Thai Siong Li Lau Cin memiliki
ornamen yang berbeda-beda.
78
Gambar 9. Atap Vihara Thai Siong Li Lau Cin
Ornamen yang terdapat pada atas atap Vihara Thai Siong Li Lau Cin
hampir sama dengan ornamen atap vihara lainnya, yaitu berupa sepasang naga
yang saling berhadapan untuk berebut sebuah mutiara. Sepasang naga ini terbuat
dari pecahan porselin.
79
Gambar 10. Atap Vihara Sanatha Maitreya
Ornamen yang terdapat pada atas atap Vihara Sanatha Maitreya hanya
berupa genteng biasa yang sama dengan atap rumah modern lainnya tanpa ada
ornamen khas Cina yang menghiasi. Namun pada bagian atas atap pintu gerbang
Vihara Sanetha Maitreya terdapat sebuah Globe yang berbeda dengan vihara–
vihara yang ada di kota Binjai.
80
Gambar 11. tap Vihara Setia Dharma
Ornamen yang terdapat pada atas atap Vihara Setia Dharma hanya
berupa genteng tanpa ada ornamen khas Cina yang menghiasi.
5.1.1 Tiang Penyangga Vihara
Ornamen pada tiang penyangga seringkali berupa dewa, panglima
perang, tumbuh -tumbuhan, bunga, gajah, kilin, naga, dan lain-lain. Gajah
biasanya digunakan untuk melambangkan roh para dewa binatang. Tubuhnya
tampak berat tapi belalainya lincah dan kecil berwatak ramah melambang
kekuatan. Ragam hias tetumbuhan dan bunga yang paling sering menjadi hiasan
untuk tiang penyangga adalah bunga botan, bambu, anggrek, dan seruni yang
mana melambangkan ulet dalam melawan iklim yang kejam di Cina. Ornamen
81
tiang penyangga vihara pada umumnya juga dominan menggunakan ornamen
khas Cina berupa naga yang melilit pada pilar dan warna dasar dari pilarnya
sendiri menggunakan warna merah.
Gambar 12. Tiang Penyangga Vihara Thai Siong Li Lau Cin
Ornamen tiang penyangga Vihara Thai Siong Li Lau Cin pada
menggunakan ornamen khas Cina berupa naga yang melilit pada pilar dengan
warna dasar dari pilarnya sendiri menggunakan warna merah. Ornamen naga
yang terdapat pada tiang penyangga Vihara Thai Siong Li Lau Cin terbuat dari
pecahan porselin.
82
Gambar 13. Tiang Penyangga Vihara Setia Dharma
Ornamen yang terdapat pada tiang penyangga Vihara Setia Dharma
hanya berupa tiang penyangga polos lurus ke atas yang terbuat dari campuran
semen, pasir dan batu bata tanpa ada ornamen khas Cina yang menghiasi. Tiang
penyangga pada vihara ini berupa cat berwarna merah yang sangat identik
dengan masyarakat Tionghoa.
83
Gambar 14. Tiang Penyangga Vihara Sanatha Maitreya
Ornamen yang terdapat pada tiang penyangga Vihara Sanatha Maitreya
hanya berupa tiang penyangga lurus ke atas yang terbuat dari campuran semen,
pasir dan batu bata, sedangkan pada bagian bawah terdapat ukiran segi empat
yang terbuat dari batu marmer tanpa ada ornamen khas Cina yang menghiasi.
84
5.2 Makna Ornamen Bangunan Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha
Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin
Makna ornamen bangunan Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha
Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin bermacam-
macam yaitu sebagai berikut:
5.2.1 Makna Simbolis
Suatu benda memiliki nilai simbolis tertentu di dalamnya, menurut
norma-norma tertentu (adat, agama, sistem sosial, dan lain-lainnya). Bentuk,
motif dan penempatannya sangat ditentukan oleh norma-norma adat maupun
agama untuk menghindari timbulnya salah pengertian akan makna atau nilai
simbolis yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu, pengerjaan suatu
ornamen simbolis hendaknya menepati aturan-aturan yang telah ada. Makna
simbolis karya seni rupa tampak jelas dalam benda yang berhubungan dengan
religi atau keagamaan dan adat. Berbagai arca dan pahatan relief peninggalan
jaman kerajaan Hindu-Budha merupakan simbol dari berbagai hal dalam
kebudayaan Hindu-Budha.
Makna simbolis yang terdapat pada pintu, tiang penyangga, dan atas atap
Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin terdapat pada naga yang melambangkan
penangkal roh jahat dan melambangkan untuk menjaga keseimbangan duniawi
85
dan akhirat. Selain itu, ornamen Panglima Ceng Sok Po melambangkan
kekuasaan dan melambangkan kekuatan hebat.
Gambar 16. Ornamen Panglima Ceng Sok Po pada Pintu
Vihara Setia Dharma
86
5.2.2 Makna Naga
Ornamen naga terletak pada atap luar yang mencerminkan dua naga yang
sedang merebutkan mustika. Bentuk ini menyiratkan dua jenis manusia yang
sedang mengejar ilmu yang sejati. Mustika merupakan perlambangan
pengetahuan sejati atau kunci kebahagiaan. Dalam penerapannya naga sering
digambarkan dalam posisi mengejar atau menelan mustika tersebut. Hal ini
sesuai dengan ajaran Buddha yang menjelaskan bahwa seseorang berhasil
menemukan pengetahuan sejati (inti sari kehidupan diri sendiri dalam agama
Buddha) akan menemukan kehidupan. Tapi ilmu sejati itu akan diperoleh setelah
seseorang meninggal, karena kehidupan tidak ada yang sejati, sehigga sering
digambarkan naga yang sedang mengejar atau memperebutkan mustika.
Atap yang merupakan pembatasan antara langit dan bumi merupakan
dimensi yang menyatukan antara surgawi dan duniawi. Naga merupakan
perantara dari alam surgawi dan alam duniawi. Naga pada posisi atap merupakan
salah satu aplikasi simbol naga Chihwen, diukir pada balok penyangga jembatan
dan pada atap rumah, untuk menjauhkan bangunan dari bahaya kebakaran.
87
Gambar 17. Ornamen Naga pada Atas Atap Vihara Thai Siong Li Lau Cin
5.2.3 Makna Kalimat
Pada atas atap gerbang Vihara Sanatha Maitreya terdapat sebuah
ornamen globe. Dimana dibawah globe, terdapat kalimat “Dunia Satu
Keluarga”. Kalimat itu mempunyai makna walaupun masyarakat yang ada di
dunia ini terdiri dari suku bangsa, ras, dan agama yang berbeda-beda tetapi
semuanya satu kesatuan keluarga yang sama dimata Tuhan Yang Maha Esa.
88
Gambar 18. Atas Atap Gerbang Vihara Sanatha Maitreya
5.4.4 Makna Warna
Di kalangan etnis Tionghoa semua warna memiliki arti tersendiri dan
banyak juga warga yang favorit dikalangan masyarakat Tionghoa. Bagi etnis
Tionghoa warna akan sangat bermakna dan memiliki arti tersendiri. Makanya
baik rumah, kelenteng, vihara, toko atau pun tempat lainnya memilih warna
sesuai dengan maknanya, karena memang diyakini ada pengaruhnya kedepan.
Berikut ini warna-warna yang sering dipakai oleh etnis tionghoa pada bagunan
yang mereka gunakan:
a. Warna emas melambangkan keberuntungan, keberuntungan, keceriaan
b. Warna merah melambangkan kebahagiaan dan kemakmuran
89
c. Warna biru melambangkan ketentraman
d. Warna putih melambangkan kesedihan
Begitu juga warna yang terdapat pada pintu, tiang penyangga, dan atas
atap Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin yang kebanyakan diisi dengan warna merah dan
emas yang sangat identik dengan masayarakat Cina.
5.3 Fungsi Ornamen Bangunan Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha
Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin
Fungsi ornamen bangunan Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha
Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin bermacam-
macam yaitu sebagai berikut.
5.3.1 Fungsi Estetika
Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan. Kata
keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek,
dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni,
pemandangan alam, manusia, rumah, tatanan, perabot rumah tangga, suara,
warna, dan sebaginya. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas
keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban
teknologi, sosial, dan budaya. Karena itu keindahan dapat dikatakan, bahwa
90
keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia.
Begitu juga ornamen yang terdapat pintu, tiang penyangga, dan atas atap
Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan
Vihara Thai Siong Li Lau Cin yang memiliki nilai keindahan yang sangat tinggi.
Sehingga akan memperindah bangunan vihara dan menarik perhatian orang lain
untuk mengunjungi vihara-vihara tersebut.
5.3.2 Fungsi Religius
Nilai religius ini memfokuskan relasi manusia yang berkomunikasi
dengan Tuhan. Scheler mengungkapkan bahwa dalam hubungan dengan Tuhan,
manusia mendapatkan pengalaman mengagumkan yang tak terhapuskan
mengenai nilai leluhur yang digambarkan secara metaforis dalam nilai-nilai
agama, ritual-ritual, dan mitos. Untuk memahami nilai religius ini, hanya dengan
iman dan cinta terhadap manusia dan dunialah manusia menyadari bahwa Tuhan
itu merupakan Pencipta, Yang Maha Tahu, dan Maha Hakim bagi dunia ini.
Melalui nilai religius ini, manusia berhubungan dengan Tuhannya melalui
kebaktian, pujian dan doa, kesetiaan dan kerelaan berkurban bagi Tuhan.
5.3.3 Fungsi Identitas Budaya
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris yaitu identity yang memiliki
pengertian ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau
sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga merupakan
keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri-ciri atau keadaan khusus
91
seseorang atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis
yang mendasari tingkah laku individu.
Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang
atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi lainnya.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia. Jadi, pengertian dari identitas budaya adalah
suatu karakter yang melekat dalam suatu kebudayaan sehingga bisa dibedakan
antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Ornamen yang terdapat pintu, tiang penyangga, dan atas atap Vihara
Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan Vihara Thai
Siong Li Lau Cin berupa ornamen naga, ornamen panglima sudah menandakan
bahwa itu merupakan identitas dari masyarakat Tionghoa khususnya Negara
Cina. Masyarakat luas pun mengetahui, terutaman naga yang amat-teramat
kental dengan masyarakat Tionghoa. Sehingga identitas itulah yang
membedakan ornamen Cina dengan ornamen-ornamen suku bangsa lainnya.
92
Gambar 15. Ornamen Naga pada Atas Atap dan Tiang Penyangga Vihara
Thai Siong Li Lau Cin
93
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dan
mengemukakan saran-saran yang berhubungan dengan topik pembahasan.
6.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan pembahasan di bab empat, maka penulis dapat
menarik kesimpulan, di antaranya sebagai berikut:
1. Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong
Li Lau Cin memiliki persamaan dan perbedaan dari segi arsitektur
maupun ornamen bangunan Vihara.
2. Perbedaan ketiga Vihara terlihat dari segi ornamen atas atap, tiang
penyangga, dan pintu Vihara. Sedangkan persamaan ketiga Vihara ini
terletak pada isi yang terdapat di dalam ruangan, yaitu berupa patung
dewa-dewi.
3. Vihara Sanatha Maitreya dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin dari segi
arsitektur bangunan sudah berbentuk modern seperti bentuk rumah
modern saat ini, sedangkan arsitektur Vihara Setia Dharma masih
berbentuk tradisional.
94
4. Ornamen yang terdapat pada atas atap, tiang penyangga, dan pintu
Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong
Li Lau Cin mempunyai fungsi dan makna.
5. Fungsi ornamen pada atas atap, tiang penyangga, dan pintu pada
bangunan Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia
Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin adalah sebagai fungsi
estetika, religius, dan fungsi identitas budaya.
6. Makna ornamen pada atas atap, tiang penyangga, dan pintu pada
bangunan Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia
Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin adalah sebagai makna
simbolis, makna naga, makna warna dan makna kalimat.
6.2 Saran
Setelah melakukan pembahasan, maka penulis menyarankan kepada
seluruh masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa, untuk mempelajari fungsi
dan makna ornamen yang terdapat di dalam sebuah Vihara., karena setiap
ornamen yang ada pada bangunan Vihara memiliki fungsi dan makna yang
terkandung dan tidak hanya sekedar dibangun. Dalam penelitian ini, masih
banyak lagi yang perlu diteliti mengenai fungsi dan makna ornamen Vihara.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap para mahasiswa
ataupun masyarakat lain berminat untuk meneliti fungsi dan makna ornamen
bangunan Vihara.
95
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.
Endraswara, Supardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ihroni, T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. 2006. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
Hamidi. 2010. Metode Penelitian kualitatif. Malang: UMM Press.
J. Moleong. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roskarya
Jusuf, Tedy. 2000. Sekilas Budaya Tionghoa Di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Koenjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 20007. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta:
Djambatan
Mardalis. 1989. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi
Aksara
M, Idianto. 2004. Sosiologi Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga
Jurnal dan Skripsi
Harry Pujianto Yoswara, Imam Santosa, Naomi Haswanto. 2010. Simbol dan Makna Bentuk Naga (Studi Kasus: Vihara Satya Buddhi Bandung. Bandung: Institut Teknologi Bandung
96
Mayang Sari, Sriti dan Soelistio P, Raymond. 2008. Kajian Ikonografis Ornamen Pada
Interior Klenteng Sanggar Agung Surabaya. Surabaya: Kristen Petra Press
Elektronik
http://id.wikipedia.org/wiki/ Klenteng diunduh pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 10.19
http://web.budaya-tionghoa.net/seni-dan-hobby/architectural/ 2358-arti-yang- terkandung-dari-ornamen-kelenteng-tay-kak-sie diunduh pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 10.30
http://id.wikipedia.org/wiki/ Vihara diunduh pada tanggal 12 april 2013 pukul 11.49
97
LAMPIRAN
Daftar Informan
1. Nama : Ibu Zeini
Suku : Hokkien
Pekerjaan : Pengurus Vihara Sanatha Maitreya
Umur : 28 tahun
2. Nama : Bapak A Kang
Suku : Hokkien
Pekerjaan : Pengurus Vihara Sanatha Maitreya
Umur : 55 tahun
3. Nama : Bapak Ngatiman/ Khong Bet
Suku : Hokkien
Pekerjaan : Pengurus dan tukang sapu Vihara Setia
Dharma
Umur : 65 tahun
4. Nama : Bapak Abun
Suku : Hokkien
Pekerjaan : Pengurus Vihara Thai Siong Li Lau Cin
Umur : 52 tahun
98
Pertanyaan
1. Kapan vihara ini dibangun ?
2. Bagaimana sejarah vihara ini ?
3. Kegiatan apa saja yang biasa dilakukan di vihara ini ?
4. Apakah keunikan vihara ini dibandingkan dengan vihara-vihara yang
lain ?
5. Mengapa disetiap vihara yang ada di Indonesia memiliki arsitektur
ornamen bangunan yang sama, walaupun terkadang ada yang berbeda
?
6. Apakah setiap arsitektur ornamen bangunan tersebut memiliki fungsi
dan makna ?
7. Apakah fungsi ornamen pada pintu, tiang penyangga dan atas atap
vihara ?
8. Apakah makna ornamen pada pintu, tiang penyangga dan atas atap
vihara ?
99