repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan...

86

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan...

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian
Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

ABSTRAK

Masagus Ahmad Fahrobi. NIM 1113045000056. PENCANTUMAN ALIRAN

KEPERCAYAAN DALAM KARTU TANDA PENDUDUK PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KASUS SUNDA WIWITAN) DI BADUY,

LEBAK BANTEN, Program studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Studi ini menegaskan bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016 tentang yudicial review Undang-Undang Administrasi

Kependudukan, telah membolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk

mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu

Tanda Penduduk Elektronik (KTP elktronik). Lahirnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

merupakan suatu bentuk pengakuan yang diberikan negara terhadap kebebasan dalam

memilih dan memeluk agama dan kepercayaan yang diyakini, termasuk bagi

Masyarakat Baduy Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Kanekes Banten.

Secara yuridis normatif, terdapat berbagai pengaturan yang berkaitan dengan

pengakuan dan penghormatan yang diberikan negara bagi Masyarakat Baduy yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep Indegenous Peoples, di

antaranya Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945, berbagai undang-

undang sektoral dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016 yang

secara eksplisit menentukan bahwa Masyarakat Baduy yang meyakini kepercayaan

Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun

dapat mengisi kolom isian agama atau kepercayaan dalam pembuatan dokumen

kependudukan, baik Kartu Keluarga maupun Kartu Tanda Penduduk. Namun

demikian, hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan, bahwa pada tataran

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

implementasi pengisian kolom agama pada dokumen kependudukan, khususnya

KTP-el tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terdapat berbagai faktor penyebab

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dapat diimplementasi, mulai dari

persoalan regulasi turunan sebagai peraturan teknis, dan penolakan Masyarakat

Baduy terhadap sistem aplikasi perekaman KTP-el, karena sampai pada persoalan

budaya dan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan suatu bentuk langkah konkret dan

nyata yang dilakukan untuk mengakomodir persoalan pencantuman “penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan” pada KTP-el bagi Masyarakat Baduy.

Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi, Pelaksanaan pencatuman Aliran

Kepercayaan Sunda Wiwitan

Pembimbing : Dr. Khamami Zada, SH., MA

Daftar Pustaka :

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................v

DAFTAR ISI...................................................................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................................................

B. Identifikasi Masalah .................................................................................................................

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................................................

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................................................

E. Tinjauan Pustaka (Kajian Terdahulu).......................................................................................

F. Metode Penelitian .....................................................................................................................

G. Sistematika Penelitian ..............................................................................................................

BAB II KEBIJAKAN HUKUM AGAMA DAN ALIRAN KEPERCAYAAN

A. Agama dan Aliran Kepercayaan ..............................................................................................

B. Kebijakan Hukum Agama dan Aliran Kepercayaan ................................................................

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

BAB III TINJAUAN UMUM ALIRAN SUNDA WIWITAN

A. Sejarah Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan ...........................................................................

B. Pokok Ajaran Kepercayaan Sunda Wiwitan ............................................................................

BAB IV IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI KTP

A. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi ..........................................................................

1. Normatif .......................................................................................................................

2. Filosofis ........................................................................................................................

3. Sosiologis .....................................................................................................................

B. Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam KTP Masyarakat Penganut Sunda Wiwitan Pasca

Putusan Mahkamah Konsitusi ..................................................................................................

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................................................

B. Saran-saran ...............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI 1945) sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 merupakan

“salah satu tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998”.1 Sri Soemantri

menyatakan, bahwa tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan pandangan, bahwa

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak cukup

memuat sistem check and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga

negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak

melampaui wewenang.2 Dengan kata lain UUD NRI 1945 dinilai tidak dapat

memenuhi landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat, dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aturan UUD NRI 1945 juga banyak

menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang

otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN (Korupsi Kolusi, dan Nepotisme).

Tuntutan perubahan atau amandemen UUD NRI 1945 tersebut kemudian

diwujudkan dalam empat kali amandemen terhadap UUD NRI 1945. Adapun

salah satu perubahan mendasar tersebut adalah dibentuknya suatu lembaga

peradilan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kekuasaan

kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai badan yudisial yang salah satu

tugasnya ialah melindungi hak konstitusional seluruh warga Negara Republik

Indonesia, merupakan opsi utama untuk menyelesaikan problematika

konstitusional kenegaraan. Seperti yang kita ketahui, kehadiran Mahkamah

1 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh

Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi , Volume 7 Nomor 3, Jakarta, Juni 2010, h. 2.

2 Sri Soemantri, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan

Otonomi Daerah , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, h. 64.

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

2

Konstitusi merupakan pencerahan baru dalam mewujudkan kehidupan demokrasi

dan Ketatanegaraan Republik Indonesia. 3 Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir

tertinggi konstitusi telah melaksanakan kewenangan yang dibebankan kepadanya

melalui berbagai putusan yang telah dikeluarkannya. Mahkamah Konstitusi telah

menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari

keadilan ( justisiabellen). Keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya

menjadi perhatian publik, tetapi juga akademisi dan peneliti hukum. Berbagai

pemahaman atas teori hukum diperlihatkan dalam putusan yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Konstitusi. Khususnya dalam pengujian materi undang-undang,

Mahkamah Konstitusi dijuluki sebagai lembaga pelindung konstitusi (The

guardian constitusion), bilamana terdapat undang-undang yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi yang ada, maka Mahkamah Konstitusi dapat

melakukan pembatalan atas eksistensi undang-undang tersebut secara menyeluruh

atau per pasal melalui putusannya dengan berbagai pertimbangan. 4

Terkait dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sendiri khususnya

dalam hal pengujian undang-undang, terkadang menimbulkan prokontra di

lingkungan masyarakat seperti kebijakan dalam Undang Undang No.23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sebagai petunjuk pelaksanaan Undang

Undang tersebut, telah diterbitkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun

2007. Dalam Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 dan Pasal 64 Ayat 1 dan Ayat 5 Undang

Undang No. 23 Tahun 2006 tersebut secara garis besar menyatakan bahwa

keterangan kolom agama dalam dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga

(KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) penduduk yang agamanya

belum diakui negara berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, atau

bagi masyarakat penghayat kepercayaan, kolom agama dalam dokumen

kependudukan tersebut tidak diisi atau dikosongkan, kebijakan ini telah

menimbulkan dampak buruk bagi pelaksanaan hak-hak mereka dalam beribadah

3 Soimin dan Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 12.

4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016”, h. 3.

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

3

dan hak-hak dalam memperoleh akses terhadap layanan umum, seperti

pernikahan, kelahiran, pekerjaan, pemakaman, pendidikan.

Oleh karena alasan tersebut Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait,

Arnol Purba dan Carlim melakukan judicial review terhadap Pasal 61 Ayat 1 dan

Ayat 2 dan Pasal 64 Ayat 1 dan Ayat 5 Undang Undang No. 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30

November 2016. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut

bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan bagi setiap warga

negara di hadapan hukum, karena dalam rumusannya tertulis bahwa Kartu

Keluarga (KK) dan KTP-el memuat kolom isian agama di dalamnya, namun

khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan, telah

melanggar hak-hak dasar warga negara yang bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3,

Pasal 27 Ayat 1, dan Pasal 28D Ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Jika mengaju pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2

menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu’’, yang berarti keberadaan penganut kepercayaan diakui di

Indonesia.5 Dalam Pasal 29 Ayat 2 dipaparkan bahwa negara menjamin kebebasan

setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat karena dasar negara yang

percaya konsep Ketuhanan. Jadi, logika yang tepat adalah negara memberi

kebebasan beragama karena negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan

bukan agama yang menyebabkan Indonesia berdasarkan Ketuhanan.6

5 Moh. Soehadha, KebijakanPemerintah Tentang Agama Resmi, serta implikasinya

terhadap peminggiran sistem religi lokal dan konflik antar agama, Jurnal Esensia, tahun 2004,

h.101

6 Moh. Soehadha, KebijakanPemerintah Tentang Agama Resmi, serta implikasinya

terhadap peminggiran sistem religi lokal dan konflik antar agama, Jurnal Esensia, tahun 2004,

h.101

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

4

Namun dalam pengujian Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 dan Pasal 64 Ayat 1

dan Ayat 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut juga menimbulkan pro kontra

dan polemik. Beberapa tokoh agama atau tokoh masyarakat beranggapan nantinya

hal tersebut memberikan implikasi yang besar terhadap tatanan masyarakat. Salah

satunya K.H Maaruf Amin menyatakan bahwa unsur identitas pada seseorang

warga negara adalah agama, bukan penganut kepercayaan, akan menjadi rancu

ketika seseorang menuliskan penganut kepercayaan pada kolom agama di KTP-el

ataupun KK.7

Setelah menggelar beberapa sidang pada akhirnya Mahkamah Konstitusi

memutuskan mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan

kolom agama pada KK dan KTP-el. Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan

(2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang

Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Dalam putusannya, Majelis Hakim

berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat

(1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut

kepercayaan.

Banyak kejutan dalam konsep berhukum Indonesia melalui putusan

Mahkamah Konstitusi yang membuat publik berpikir masih terdapat harapan

dalam memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, Mahkamah Konstitusi tidak

hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari

itu. Mahkamah Konstitusi juga melakukan pembenahan yang berani dalam

bentuk-bentuk putusannya.7

Keberanian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut telah

memperlihatkan, bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi telah

7 Nasional.kompas.com/read/2017/11/13/18151261/maruf-amin-putusan-mk-final-

danmengikat-tetapi-implikasinya-besar-sekali, Ma'ruf Amin: Putusan MK Final dan Mengikat, tetapi Implikasinya Besar Sekali (diakses pada tanggal 13 April 2018).

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

5

dilaksanakannya suatu konsep hukum yang tidak dibatasi dengan konsep tekstual

semata, melainkan juga memperhatikan rasa keadilan dan kemanfaatan hukum

bagi masyarakat, sehingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi dinilai tidak

sekedar peradilan yang hanya menjadi corong undang-undang (bouche de la loi).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Mahfud MD yang menyatakan, bahwa

“Mahkamah Konstitusi saat ini menganut hukum progresif”.8

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menentukan bahwa, penghayat

kepercayaan memiliki hak yang sama dalam pencantuman elemen data

kependudukan berupa pencantuman kepercayaan yang mereka yakini di dalam

dokumen Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk Elektronik

(KTPel).9 Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai akan membawa

implikasi hukum yang luas, terutama bagi masyarakat yang masih menganut

keyakinan penghayat kepercayaan, seperti Penganut kepercayaan Sunda Wiwitan

Suku Baduy di Desa kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dimana

Masyarakat Baduy merasa didiskriminasi dan sudah lama berusaha untuk

mendapatkan pengakuan secara birokrasi oleh negara dengan mencantumkan

kepercayaan yang mereka yakini (Sunda Wiwitan) dalam Kartu Tanda Penduduk

Elektronik (KTP-el).

Masyarakat di Desa Kanekes adalah salah satu contoh kelompok

masyarakat yang memiliki kebudayaan hasil dari akulturasi budaya lokal dengan

budaya asing, masyarakat di desa ini akrab dikenal dengan sebutan Suku Baduy.

Dalam tulisannya, Djajadiningrat menjelaskan bahwa Suku Baduy pada dasarnya

adalah masyarakat penganut kepercayaan Animisme, namun seiring berjalannya

waktu dan berkembangnya zaman, kepercayaan Animisme mereka sedikit banyak

dipengaruhi oleh agama Hindu dan juga Islam8. Masyarakat Suku Baduy

menyebut agama atau kepercayaan mereka tersebut dengan nama “Sunda

Wiwitan”. Suku Baduy dikenal karena komitmen dan kemampuannya menjaga,

melestarikan, serta menjunjung tinggi tradisi yang diwariskan dari para

8 Toto Sucipto, Julianus Limbeng, Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa

Kanekes Provinsi Banten, (Departemen Kebudayaan dan pariwisata Direktorat Jendral Nilai

Budaya Seni dan Film Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007), h. 58

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

6

pendahulunya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. salah satu

tradisi yang masih dipegang teguh sebagai pedoman hidup adalah kepercayaan

Sunda Wiwitan.

Setidaknya terdapat dua isu utama yang menjadi akar persoalan dalam

pembahasan ini. Pertama, ungkapan diatas menggambarkan suatu realitas yang

terjadi dalam masyarakat di Indonesia, berupa anggapan bahwa negara telah

melakukan tindakan diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri melalui

kebijakanya terhadap hak konstitusional komunitas penganut adat, komunitas

penghayat atau ajaran kultural kepercayaan (local belief) dalam hal ini yang

berkaitan dengan isian kolom agama pada aplikasi sistem adminitrasi

kependudukan. Kedua, sejauh mana perkembangan kebijakan negara melindungi

dan mengakui praktek masyarakat penghayat kepercayaan dalam konteks Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan serta mengakuinya dalam sistem informasi Administrasi

Kependudukan.

Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-

XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan

UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai secara

normatif teoretis dapat menjadi dasar yuridis bagi penghayat kepercayaan untuk

dihormati dan diakui dalam administrasi kependudukan berupa pencantuman

kepercayaan mereka dalam data KTP-el. Namun demikian, pada tataran

pelaksanaan menjadi menarik untuk dilakukan penelitian dan kajian, apakah

Putusan Mahkamah konstitusi tersebut dapat diimplementasi dengan optimal,

khususnya terhadap pencantuman penghayat aliran kepercayaan Sunda Wiwitan

dalam KTP-el yang dimana itu adalah ajaran kepercayaan leluhur mereka, yang

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

7

sekaligus menjadi dasar yuridis pula bagi mereka untuk menjalankan birokrasi

pemerintahan secara bersamaan.

Dari beberapa permasalahan yang telah tertera diatas maka penulis

menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PENCANTUMAN ALIRAN

KEPERCAYAAN DALAM KARTU TANDA PENDUDUK PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KASUS SUNDA

WIWITAN) DI BADUY, LEBAK BANTEN”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tentang

pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP?

2. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dalam

pencantuman aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP?

3. Bagaimana respon tokoh agama dan masyarakat penganut kepercayaan

Sunda Wiwitan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman

aliran kepercayaan dalam KTP?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulis akan mencoba menjelaskan pembatasan masalah skripsi ini yaitu

dibatasi dengan penelitian terhadap penganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan

di Desa Kanekes, Banten, 2016-2019. Rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman aliran

kepercayaan dalam KTP?

2. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dalam

pencantumanan penganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP?

D. Tujuan dan manfaat penelitian

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi

tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

8

2. Mengetahui pencantuman aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP.

Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna jika dilihat

dalam dua hal, yaitu:

a. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah atau meningkatkan

pengetahuan dalam bidang penelitian hukum yang berhubungan dengan

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan juga wawasan dalam

bidang sosial khususnya dalam kaitannya dengan penghormatan terhadap

penghayat kepercayaan. serta dapat menambah khazanah ilmu

pengetahuan pada umumnya.

b. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang

bermanfaat bagi para praktisi dalam upaya pembaharuan pemikiran

analisis dalam konteks penelitian hukum tentang Implementasi Putusan

Mahkamah Konstitusi dan memberikan pemikiran baru bagi praktisi

tentang penganut aliran kepercayaan, kebudayaan atau kearifan lokal yang

telah ada sehingga dapat meningkatkan rasa toleransi terhadap penganut

aliran kepercayaan penelitian ini juga dapat berguna bagi masyarakat

secara umum.

E. Review Kajian Terdahulu

Berdasarkan studi kepustakaan dan penelusuran yang telah dilakukan

penulis, ada beberapa penelitian yang mirip dengan objek penelitian penulis, yaitu

pencantuman aliran kepercayaan di KTP pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya peneliti tersebut:

Oki Wahyu Budianto dalam artikel yang berjudul “Penghormatan Hak

Asas Manusia Bagi Penghayat Kepercayaan Di Kota Bandung” menyimpukan di

Indonesia terdapat pemilahan antara 6 agama resmi dengan kepercayaan, namun

dalam hal pemenuhan hak-hak sipil bagi penghayat kepercayaan tetap dilayani

dan dicatat dalam data kependudukan dan catatan sipil dengan diatur oleh

berbagai peraturan perundang-undangan. Pada tataran implementasi (khususnya

Kota Bandung), para penghayat kepercayaan tidak mengalami kendala dalam

memperoleh layanan kependudukan dan catatan sipil, namun masih terdapat

penolakan masyarakat umum terhadap pemakaman bagi para penghayat

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

9

kepercayaan di tempat pemakaman umum. Penolakan pemakaman bagi penghayat

kepercayaan dari masyarakat umum diakibatkan oleh kurangnya pemahaman

masyarakat terhadap keberadaan penghayat kepercayaan.

Feby Yudianita dalam artikel yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap

Aliran Kepercayaan Dihubungkan Dengan Pasal 29 Ayat 2UUD 19945”

menyimpulkan bahwa keberadaan aliran kepercayaan berdasarkan pasal 29 ayat 2

UUD 1945 adalah tidak mendapat pengakuan dari negara. Selain enam agama itu,

dianggap tidak resmi dan tidak diakui. Negara hanya memberi batasan ada enam

agama resmi yang diakui.9

Syahlevy Lisando Abadia dalam skripsi yang berjudul “Implikasi Putusan

MK nomor 97/PUU-XIV/2016 terhadap Jaminan Hak Konstitusional warga

negara penganut/penghayat kepercayaan” menyimpulkan bahwa jika mengacu

pada pengertian diskriminasi dari Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi,

diantaranya Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 070/PUU-II/2004, bertanggal

12 April 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005,

bertanggal 29 Maret 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-

V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, perbedaan pengaturan antar warga negara

dalam hal pencantuman elemen data penduduk, menurut Mahkamah tidak

didasarkan pada alasan yang konstitusional. Pengaturan tersebut telah

memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga

negara Indonesia penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang

diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan

publik. Jika pun dikaitkan dengan pembatasan terhadap hak dan kebebasan

dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD

1945, menurut Mahkamah pembatasan demikian tidak berhubungan dengan

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan bukan pula untuk memenuhi

tuntutan yang adil dalam kehidupan masyarakat yang demokratis10

9 Feby Yudianita, Tinjauan Yuridis Terhadap Aliran Kepercayaan Dihubungkan Dengan

Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, dalam Jurnal JOM Fakultas Hukum vol 2 No.2, Oktober 2015,

10 Syahlevy Lisando Abadia, Implikasi Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 terhadap

Jaminan Hak Konstitusional warga negara penganut/penghayat kepercayaan. (Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia,2018)

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

10

Dengan penjabaran tinjauan pustaka diatas penulis belum menemukan

penelitian yang sama dengan skripsi penulis yaitu membahas implementasi atau

pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dalam pencantuman aliran

kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP. Objek atau tema penulis merupakan

kajian hukum tata negara, terlebih kajian penelitian penulis difokuskan pada studi

kasus Masyarakat Baduy penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Kanekes,

Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif atau disebut juga dengan

penelitian hukum empiris dengan pendekatan non doktrinal (social legal

approach) Dalam penelitian ini, perilaku masyarakat sangat menentukan

keberlakukan hukum.11

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis, dan

mengkritisi peraturan perundang-undangan, argumentasi dasar hukum, dan sejarah

hukum.12

Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman aliran

kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP.

2. Sumber Data

a. Data primer, yaitu disandarkan pada wawancara Jaro Pamarentah

(Lurah) Baduy luar, Perangkat Desa Masyarakat Baduy , dan

Administrasi Kependudukan Kabupaten Lebak Banten terkait

implementasi pencantuman aliran kepercayaan di KTP-el pasca

putusan Mahkamah Konstitusi

11

Soerjono Soekanto Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum , Bina Aksara, Jakarta,

1988, h. 9

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum , Cetakan Kelima, Edisi Pertama, Kencana,

Jakarta, 2009, h. 97-137.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

11

b. Data sekunder, penulis memperoleh data dalam penyususnan

skripsi ini yaitu dari literatur yang berasal dari buku-buku yang

terkait dan berbagai peraturan perundangundangan yang terkait

dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset

pustaka (Library Research) dan studi lapangan (Field Research). Library

Research yakni proses pengindentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan

dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan

masalah penelitian. Pengumpulan data diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang

ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.13

Sedangkan penelitian lapangan (Field Research) yakni menggunakan data primer

(data yang diperoleh langsung dari kehidupan masyarakat dengan cara

wawancara, observasi, kuesioner, sample dan lain-lain). Data primer diperoleh

dengan cara wawancara dengan tokoh-tokoh Masyarakat Baduy penganut

kepercayaan Sunda Wiwitan dan Administrasi Kependudukan Kabupaten Lebak

Banten.

4. Metode Analisis Data

Teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan

teknik analisis deskriptif yaitu mendeskripsikan implementasi putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Kanekes Lebak

Banten. Seluruh data akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum,

kemudian dikaji dan diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu

memberikan gambaran spesifik dan relevan tentang pencantuman aliran

kepercayaan di KTP pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.

Dalam penulisan ini buku pedoman yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

13

Consuele G Sevilla, Pengantar Metedelogi Penelitian, (Jakarta: UI Pres,1993), h.37

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

12

adalah buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh tim Fakultas Syariah

Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

13

BAB II

ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM AGAMA DAN HUKUM

A. Agama dan Aliran Kepercayaan

1. Agama

Para pakar memiliki beragam pengertian tentang agama. Zainal Arifin

Abbas secara etimologi menyebut agama berasal dari istilah bahasa Sansekerta

yang merujuk pada sistem kepercayaan Hinduisme Budhisme di India. Agama

terdiri dari kata a yang berarti ‟tidak‟ dan gama yang berarti ‟kacau‟. Merujuk

pada pengertian ini Abdul Moqsith Ghazali mendefinsikan agama dengan sejenis

peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan serta mengantarkan

manusia menuju keteraturan dan ketertiban.1

Emile Durkheim mendefiniskan agama dengan ”unfied system of beliefs

and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and

forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral community

called a church, all those who adhere to them”2 (agama adalah kesatuan sistem

keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan yang sakral. Sesuatu

yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktikpraktik yang

menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut Gereja, dimana semua orang

tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaanya).3

Menurut Herbert Spencer agama merupakan pengakuan bahwa segala

sesuatu adalah manifestasi dari yang Kuasa (power) yang melampaui pengetahuan

manusia. J.G Frazier mengemukakan bahwa agama dimaksudkan sebagai upaya

1 Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis

Al-Quran, (Depok; Kata Kita 2009), h. 42.

2 Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiosias Sipil di Indonesia, Universitas

Kristen Satya Wacana, 2015, h. 80.

3 Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiosias Sipil di Indonesia, Universitas

Kristen Satya Wacana, 2015, h. 30.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

14

menyenangkan atau berdamai dengan kuasa-kuasa di atas manusia yang dipercaya

dapat mengarahkan dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.4

Pendek kata, agama merupakan segala hal yang lahiriah bersifat kolektif untuk

mengatur dan mengarahkan sikap-sikap serta kerohanian pemeluknya.

Menelaah konsepi agama yang dikemukakan para pakar di atas, agama

tampak erat kaitanya dengan alam keyakinan personal. Bahkan bisa dikatakan

merupakan fitrah manusia yang tak dapat melepaskan diri dari agama, karena

agama merupakan kebutuhan manusia. Selama manusia memiliki perasaan takut

dan cemas, selama itu pula manusia membutuhkan agama. Beragamnya definisi

definisi yang dikemukakan para ahli itu pun tak bisa menggambarkan seutuhnya

tentang agama dan penganutnya.

Akhirnya, definisi menjadi semacam batasan atau memiliki keterbatasan,

sementara agama tak bisa dibatasi. Hakikat dari agama memang tak bisa

digambarkan secara utuh melalui konsep yang dibuat para ahli. Namun, dengan

adanya konsepsi itu, dapat dipahami bahwa agama berkait erat dengan keyakinan

individu, komunitas dan yang transenden (Tuhan). Dengan konsep di atas,

penganut agama adalah setiap orang yang meyakini adanya kekuatan lebih dari

dirinya dan sebangsanya (manusia). Kekuatan supra-manusia itulah yang

kemudian diyakini dan dipercayai sebagai Yang Maha Kuasa.

2. Kepercayaan

Pakar sosio-antropologis mengistilahkan kepercayaan dengan berbeda-

beda. Ada yang menyebut kepercayaan Agama Asli, Agama Budaya, Aliran

Kebatinan bahkan ada menyebutnya Aliran Kerohanian.5 sejarawan Belanda yang

kemudian menetap di Indonesia menyebut kepercayaan dengan istilah Agama Asli

Indonesia. Rahmat Subagya juga menyebutnya dengan Kebatinan yang

4 Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis

Al-Quran, (Depok; Kata Kita 2009), h. 45.

5 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan Cipta

Loka Caraka, cet-2 1981), h. 237.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

15

didefinisikan dengan suatu ilmu atas dasar ketuhanan absolut, yang mempelajari

kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Allah tanpa perantara.6

Sementara Kamil Kartapradja juga menyebut kepercayaan dengan aliran

kepercayaan. Menurutnya, aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan

rakyat Indonesia di luar agama dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Ia

mengartikan kebatinan sebagai gerak badan jasmani disebut olah raga dan gerak

badan rohani dinamai olah batin atau kebatinan. Jadi kebatinan dapat disimpulkan

sebagai olah batin yang bermacam-macam bentuknya.7

Seno Harbangan Siagian menyebut, di Indonesia baik agama, religi, dan

kepercayaan memang ada yang membedakannya. Namun, perbedaan ini terjadi

karena titik tolak pendefinisannya yang berbeda. Ketika, bertitik tolak dari ilmu

agama (bukan dari Ilmu sosial), antara ketiga terminologi terdapat kesamaan.

Agama adalah kepercayaan dan keyakinan manusia mengenai kuasa atau

penguasa dan kenyataan yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Sesuatu yang

dianggap lebih tinggi dari dirinya sendiri itu disebut sebagai ilahi dan yang

biasanya dipersonifikasikan kedalam wujud dewa, ilah, allah, dan sebagainya,

yang kepadanya manusia tergantung dan berusaha mendekatinya.8

Seharusnya, definisi agama dan kepercayaan yang berbeda-beda hanya

sebatas kajian kultural yang digunakan untuk kajian akademik. Kajian kultural

yang menunjukan adanya perbedaan kriteria antara agama dan kepercayaan tidak

tepat jika dijadikan panduan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan

karena berimplikasi pada perlakuan diskriminatif negara terhadap penganut

kepercayaan.

6 Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama,

Yogyakarta: Spektrum, No 3 Tahun 1973, h. 189

7 Kamil Kartapradja, Aliran kebatinan dan kepercayaan di Indonesia, Yayasan

Masagung, Jakarta, cet 3, 1990, h. 61.

8 Seno Harbangan Siagian, Agama-agama di Indonesia, Semarang; Satya Wacana Press,

1987), h. 20-21

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

16

3. Kesamaan Konseptual Agama dan Kepercayaan

Konsep agama dan konsep kepercayaan pada hakikatnya sama. Penganut

agama dan penganut kepercayaan sama-sama mempunyai sistem keyakinan

(teologi) yang tak bisa dibedakan. Menganut agama atau menganut kepercayaan

merupakan ekspresi dari sebuah keyakinan yang transenden (tersembunyi). Setiap

individu baik yang beragama maupun berkeyakinan sama-sama memiliki rasa

kerinduan terhadap suatu kekuatan yang melebihi dirinya.

Konsep religiusitas tertua yang ada di Indonesia adalah “term

kepercayaan”. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa keberadaan penganut

kepercayaan ada sejak sebelum agama Hindu datang dari India.9 Kepercayaan

sudah melekat dianut masyarakat Nusantara. Meskipun secara definisi berbeda-

beda namun yang dimaksud adalah sama. Kepercayaan adalah sistem keyakinan

individu atau kelompok dengan sesuatu (dzat) yang melebihi dirinya (lazimnya

disebut Tuhan Yang Maha Esa). Sementara penganut kepercayaan merujuk pada

subjek yang meyakini itu. Namun, seiring penataan pemerintahan melalui

peraturan perundang-undangan, kepercayaan kerap didefinisikan dengan suatu

sistem keyakinan diluar agama-agama yang “diakui‟ di Indonesia. pakar sosio-

antropologis mengistilahkan kepercayaan dengan berbedabeda. Ada yang

menyebut kepercayaan agama Asli, agama Budaya, Aliran Kebatinan bahkan ada

menyebutnya Aliran Kerohanian.10

Selain agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) yang sudah

membentuk komunitas penganut masing masing, ada pula kepercayaan-

kepercayaan lokal yang banyak jumlahnya di Indonesia. Keberadaan kepercayaan-

kepercayaan lokal yang banyak dipeluk oleh suku-suku di Indonesia semakin

menambah panorama pluralitas, keberagaman dan kemajemukan bangsa

9 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan Cipta

Loka Caraka, cet-2 1981, h.237.

10 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan Cipta

Loka Caraka, cet-2, 1981 h. 35

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

17

Indonesia. Fakta bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik semakin

dirasakan dengan banyaknya agama, kepercayaan, tradisi, seni dan kultur yang

sudah lama hidup subur dan berkembang di tangah-tengah kehidupan bangsa

Indonesia. Agama dan kepercayaan bagi bangsa Indonesia merupakan suatu hal

yang sangat penting dan fundamental (ultimate) yang tidak bisa dipisah-pisahkan

dari sisi kehidupan mereka. Sangat beralasan apabila rumusan sila pertama

Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ini membuktikan secara jelas

bahwa bangsa Indonesia pada hakikatnya percaya kepada Tuhan (dalam hal ini

masing-masing komunitas pemeluk agama dan kepercayaan mempunyai

interpretasi dan pandangan teologis sendiri-sendiri sesuai ajaran agama dan

kepercayaan mereka masing-masing).

Karena kepercayaan-kepercayaan lokal itu muncul dan berkembang di

lokalitas dengan latar belakang kehidupan, tradisi, adat istiadat dan kultur yang

berbeda-beda, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing kepercayaan lokal itu

memperlihatkan ciri-ciri khas yang berlainan satu sama lain. Dengan kata lain,

suatu kepercayaan lokal yang terdapat di suatu daerah akan tidak sama dengan

kepercayaan lokal yang terdapat di daerah lain. Bisa saja terdapat kemiripan

sebagai ekspresi kerohanian dan wujud praktik kepercayaan, tetapi setiap

kepercayaan lokal akan menampakkan ciri khas dan karakteristiknya tersendiri.

Disebut kepercayaan lokal karena kepercayaan tersebut hanya dipeluk oleh suku

atau masyarakat setempat. Pada kenyataannya, kepercayaan lokal itu tidak

berkembang dan hanya dipeluk, dianut dan dipraktikkan oleh suku yang mendiami

daerah tertentu. Dapat diduga bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal ini sudah

eksis sebelum agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang ke Nusantara.

Kepercayaan-kepercayaan lokal ini tetap bertahan pada saat agama Hindu, Budha,

Islam dan Kristen datang ke Nusantara dan terus dianut secara turun temurun oleh

suku-suku di daerahdaerah di Indonesia sampai sekarang ini. Dengan demikian,

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

18

kepercayaan-kepercayaan lokal itu tidak mengalami kepunahan dan terus tetap

eksis sampai sekarang ini dalam kehidupan spiritual para penganutnya.11

Ada dua elemen penting dan mendasar dalam setiap bingkai kepercayaan

lokal, yaitu lokalitas dan spiritualitas. Lokalitas akan mempengaruhi spiritualitas.

Spiritualitas akan memberi warna pada lokalitas. Keduanya saling mempengaruhi,

bersinergi dan berintegrasi. Spiritualitas lahir dan terefleksikan dari asas ajaran

kepercayaan lokal itu sendiri. Hal ini memunculkan ekspresi kerohanian dan

praktik-praktik ritual sesuai doktrin kepercayaan lokal yang dianut oleh suatu

suku di daerah tertentu. Dalam ekspresi spiritualitas dan praktik ritualitas tadi

sudah barang tentu masuk unsur-unsur lokalitas (tradisi, adat istiadat, kebiasaan

dan seni budaya setempat) yang kemudian menyatu, bersenyawa dan berintegrasi

dengan unsur-unsur spiritualitas dan ritualitas. Semua ini membentuk konstruk

sosiokultural-spiritual-ritual yang menyatupadu dalam ranah kehidupan

kepercayaan/agama suku. Dalam konstruk seperti itu, maka ranah kepercayaan

tidak dapat dipisahkan dari wilayah tradisi, kebiasaan, seni dan budaya.

Sebaliknya, wilayah tradisi, kebiasaan, adat istiadat, seni dan budaya tidak dapat

dilepaskan dari ranah kepercayaan. Demikianlah watak, karakteristik dan ciri khas

kepercayaan lokal itu.

Sebagai misal, agama/ kepercayaan Kaharingan yang secara khusus dan

ekslusif dipeluk oleh etnis Dayak di Kalimantan barat. Dapat dikatakan bahwa

agama Kaharingan adalah agama asli (indigenous) orang-orang Dayak. Pada masa

rezim Orde Baru, agama Kaharingan dikelompokkan ke dalam agama Hindu.

Kebijakan pemerintah ini untuk memudahkan pengelolaan dan penataan

kehidupan keagamaan di Tanah Air agar lebih mudah mengurusnya. Jadi

alasannya lebih bersifat praktis administratif. Tetapi secara faktual, agama

Kaharingan tidak sama dan tidak identik dengan agama Hindu. Sistem atau

kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Dayak, misalnya, tidak sama dengan

kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Hindu yang memakai Wayan,

11

Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Jakarta 2012, h.116-120.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

19

Nyoman, Putu, Ketut, I Gusti atau Tjokorde. Tradisi ”ngaben” (pembakaran

mayat) seperti yang terdapat pada masyarakat Hindu Bali tidak terdapat pada

masyarakat Dayak di Kalimantan barat. Kesenian dan kebudayaan masyarakat

Hindu Bali yang bersumber dari agama Hindu tidak sama dengan kesenian dan

kebudayaan etnis Dayak yang bersumber dari agama Kaharingan. Ringkas kata,

agama Kaharingan secara substansial tidak sama dengan agama Hindu. Ketika

saya menjabat sebagi Sekjen Depag (sekarang: Kemenag) pada tahun 2002-2006,

beberapa pemimpin agama Kaharingan mewacanakan „pelepasan‟ agama mereka

dari agama „induknya‟(agama Hindu).12

Ilustrasi di atas dimaksudkan untuk menekankan bahwa

kepercayaan/agama Kaharingan merupakan salah satu kepercayaan lokal yang

secara ekslusif dianut dan dipraktikkan oleh mayoritas suku Dayak. Masih banyak

lagi kepercayaan-kepercayaan lokal yang dipeluk oleh suku-suku di seluruh

wilayah Indonesia. Pada tahun 1950-an, antropolog dan sosiolog Amerika Serikat,

Clifford Geertz, melakukan penelitian di Pare, Kediri, Jawa Timur, dan hasil

penelitiannya itu dituangkan dalam sebuah karyanya berjudul “The Religion of

Java” (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Santri, Abangan,

dan Priyayi”). Dalam buku tersebut, Geertz menunjukkan bahwa di kalangan

kaum Muslim Abangan masih banyak ditemukan praktik-praktik kepercayaan dan

ritual yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan lokal (animisme) yang

menjadi anutan kepercayaan mereka sebelum mereka masuk Islam. Sisa-sisa

kepercayaan lokal belum sepenuhnya hilang walaupun mereka sudah masuk

Islam. Di kalangan para nelayan di Banyuangi dan di beberapa tempat lainnya,

masih ditemukan kebiasaan melakukan ”sedekah laut” dengan tujuan menyatakan

terima kasih kepada ”penjaga lautan” atas rizki dan berkah yang mereka terima.

Juga pernah terjadi di masa lalu, kepala kerbau ditanam sebelum sebuah gedung

atau bangunan didirikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi, kebiasaan dan

kepercayaan lokal masih belum hilang sepenuhnya pada sebagian orang-orang

12 Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Jakarta 2012, h.116-120.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

20

Islam. Diperlukan kearifan dan kesantunan dakwah untuk secara bertahap

menghilangkan sisa-sisa tradisi dan kepercayaan lokal yang tidak sesuai ajaran

Islam.13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kepercayaan diartikan

sebagai keyakinan, bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata. Kata

kepercayaan ini juga bisa berarti pengakuan terhadap kebenaran apa yang

diceritakan/ disampaikan oleh orang mengenai suatu kejadian atau keadaan.

Sebagai sebuah proses, maka kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME)

dapat diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap suatu kebenaran ajaran yang

dibawa seseorang penerima wahyu dari Tuhan YME.14

Menurut definisi Mulder, kata kepercayaan dipakai untuk menyebut

gerakangerakan mistisme kejawen. Istilah kejawen dapat diartikan juga sebagai

ilmu kebatinan Jawa. Menurut Wongsonegoro, kebatinan merupakan bentuk

kebaktian kepada Tuhan YME menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan

hidup. Kebatinan di Indonesia, dalam praktiknya dapat berupa tassawuf, ilmu

kesempurnaan, theosofi, dan mistik. Di dalamnya tetap mengembangkan aspek

inner reality, kenyataan rohani.15

Kepercayaan terhadap Tuhan YME telah ada sejak dahulu kala. Sebagian

aliran kepercayaan ini membawa dampak, yaitu adanya usaha agar aliran

kepercayaan tersebut disejajarkan sebagai agama. Sebelum agama-agama

kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di

Kanekes (Banten), Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama

Cigugur di Kuningan, agama Buhun di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Tengah dan

Jawa Timur, agama Parmalim di Sumatera Utara, dan lain sebagainya.

13

Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Jakarta 2012, h.116-120.

14

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta,

2008, h. 1190

15

Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama,

Yogyakarta: Spektrum, No 3 Tahun 1973, h. 21

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

21

Jadi, aliran kepercayaan berarti kepercayaan masyarakat Indonesia yang

tidak termasuk ke dalam salah satu agama resmi. Aliran kepercayaan dapat

digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu; (1) golongan kepercayaan yang

animistis tradisional tidak terdapat filosofinya dan tidak ada mistiknya, misalnya

Kaharingan, kepercayaan suku Dayak di Kalimantan, dan lain-lain; (2) golongan

kepercayaan masyarakat yang ada filosofinya disertai ajaran mistik yang memuat

ajaran-ajaran bagaimana caranya agar manusia bisa mendekatkan diri atau bahkan

bisa bersatu dengan Tuhan. Ajarannya selalu membicarakan yang ada sangkut

pautnya dengan batin atau hal-hal yang gaib. Karena itu, golongan ini sering

disebut dengan golongan kebatinan. Di Indonesia, utamanya setelah kemerdekaan,

persoalan agama dan kepercayaan menjadi satu masalah yang serius. Kata

“kepercayaan‟ yang dimaksud di sini merujuk pada ajaran pandangan hidup

berkepercayaan kepada Tuhan YME yang tidak bersandar sepenuhnya kepada

ajaran agama-agama yang diakui pemerintah Indonesia.16

Realitas kemajemukan bangsa Indonesia tercermin secara nyata dari

banyaknya etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Batak, Bugis, Banjar,

Dayak, Buton, Bali, Sasak, Maluku, Minang, dll. yang semuanya -menurut

penelitian antropolog Amerika Serikat Hildred Geertz- berjumlah lebih dari 300

etnis. Masing-masing etnis mempunyai bahasa daerah (Hildred Geertz dalam

penelitiannya memperkirakan lebih dari 250 bahasa lokal dipakai di Indonesia),

adat istiadat, tradisi, seni dan budaya sendiri dengan identitas khas yang berbeda

satu sama lain. Dari segi agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia

memperlihatkan juga sosok kemajemukan yang sangat kaya dan variatif.

Agamaagama besar seperti Islam (dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia),

Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah Air

ini dan mempunyai komunitas penganut masing-masing. Realitas historis

sosiologis ini menunjukkan secara nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah

masyarakat yang religius. Bahkan di Indonesia terdapat Kementerian Agama

16 Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

IndonesiaKementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Jakarta 2012, h.116-120.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

22

(Kemenag) yang salah satu tugas pokoknya adalah menumbuhkembangkan,

membina dan menjaga kerukunan antarumat beragama dan toleransi

antarpenganut kepercayaan.17

Dalam Living Religion of the World, Ahmad Abdullah al-Masdoosi

membagi agama menjadi tiga macam, yaitu (1) agama wahyu dan bukan wahyu

(revealed and non-revealed), (2) agama misi (dakwah) dan agama bukan misi atau

dakwah (missionary and non-missionary), dan (3) agama geografis kesukuan dan

agama universal (geoghraphical racial and universal).18

Teori agama wahyu dan

bukan wahyu (revealed and non-revealed) yang dimaksud dengan agama wahyu

atau agama samawi (revealed religions) adalah agama yang seluruh ajarannya

berasal dari Allah SWT, yang disampaikan melalui Rasulullah SAW melalui Al-

Qur‟an untuk disebarkan kepada seluruh umat manusia.

Dalam pengertian ini tentu saja agama yang dimaksud adalah Islam.

Sementara pengertian yang hampir sama mengatakan bahwa agama samawi atau

agama wahyu (revealed religions), yaitu agama yang dipercayai diwahyukan

Tuhan melalui malaikat-malaikatNya kepada utusanNya yang dipilih dari

manusia. agama wahyu ini disebut juga dinul haq atau agama yang full fledged,

yaitu agama yang mempunyai nabi dan rasul, mempunyai kitab suci dan umat.

Revealed religions juga sering disebut sebagai agama wahyu, agama langit, agama

samawi, atau agama profetis.

Adapun nonrevealed religion sering disebut sebagai agama kebudayaan

(cultural religions, agama tabi‟i‟ atau agama ardhi) yaitu agama yang bukan

berasal dari tuhan dengan jalan diwahyukan, melainkan agama yang ada karena

hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat dan melembaga dalam

bentuk agama formal. Menurut al-Masdoosi agama-agama selain Yahudi, Kristen

17

Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta

2012, h.116-120.

18

Agus Miswanto, S.AG., MA Seri Studi Islam Agama, Keyakinan, dan Etika (seri Studi

Islam), Muhamadiyah, 2012 h.25.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

23

dan Islam termasuk dalam nonrevealed religion atau worldly religion atau agama

bukan wahyu, sering disebut juga dengan istilah agama budaya.

Adapun ciri-ciri revealed-religion dan nonrevealed religion adalah,

Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan, sedangkan agama bukan

wahyu tidak demikian, agama wahyu beriman kepada kenabian, sedangkan agama

bukan wahyu sebaliknya. Bagi agama wahyu yang menjadi sumber utama

peraturan dan kriterian baik dan buruk adalah kitab suci, sedangkan agama bukan

wahyu tidak demikian, Secara geografis, agama wahyu lahir di timur Tengah

sedangkan agama bukan wahyu lahir dari luar wilayah tersebut, agama wahyu

lahir di wilayah-wilayah yang secara histories di bawah pengaruh ras semitik.

Sebaliknya agama bukan wahyu lahir di luar wilayah semitik, agama wahyu

adalah bersifat missionary sedangkan agama bukan wahyu tidak missionary,

ajaran agama wahyu tegas dan jelas, sedangkan bukan wahyu bersifat tidak tegas

atau jelas dan sangat elastis, ajaran agama wahyu memberi arah ke jalan yang

lurus dan ajaran yang lengkap, sedangkan ajaran agama bukan wahyu tidak

demikian.19

Perlu dikemukakan bahwa agama samawi (revealed religion) yang

murni hingga sampai saat ini adalah Islam. Demikianlah keterangan yang dapat

dijumpai dalam Al-Qur‟an20

. Bila kita telaah agama wahyu (revealed) adalah yang

kita ketahui selama ini agama samawi dan agama yang telah diakui negara

sedangkan agama bukan wahyu (nonrevealed) adalah aliran kepercayaan dan

tidak diakui oleh negara sebagai agama resmi.

B. Kebijakan Hukum Agama dan Aliran Kepercayaan

Hakikat agama dan kepercayaan adalah sama, namun kesamaan hakikat itu

menjadi berbeda setelah ada institusionalisasi atau pelembagaan agama dan

19

Agus Miswanto, S.AG., MA Seri Studi Islam Agama, Keyakinan, dan Etika (seri Studi

Islam), Muhamadiyah, 2012 h.26-27.

20 Baca surat al-Baqarah (2): 130, 131 dan 136, Surat Ali Imron (3): 73, dan 85, Surat

Yusuf: 101.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

24

kepercayaan oleh negara. Kehadiran negara dalam ”kesucian” agama dan

kepercayaan menjadi jurang pembeda antara agama dan kepercayaan. Adanya

peraturan perundang-undangan yang mengatur agama dan kepercayaan secara

sistematis telah membuat agama dan kepercayaan tidak setara. Bahkan, dalam tata

pemerintahan agama dimasukan kedalam Kementerian agama dan kepercayaan

dimasukkan kedalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Artinya, negara

terang-terangan membedakan dua hakikat yang sebetulnya sama.

Pintu terjadinya perbedaan antara agama dan kepercayaan dimulai dengan

definisi dalam peraturan perundang-undangan. Definisi agama selama ini

mengacu pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaaan agama yang isinya ”melarang menceritakan, menganjurkan,

untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia”.

Klausula ”agama yang dianut di Indonesia” merujuk pada penjelasan pasal

tersebut yang menyatakan ”agama yang dianut di Indonesia ialah Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.21

Meskipun masih ada perdebatan, Undang Undang produk 1965 itu masih

menjadi landasan utama negara dalam mengatur tentang agama, khususnya

mengenai penodaan agama. Para pegiat kebebasan beragama, sebagian

memandang definisi agama dibutuhkan untuk memberikan kepastian apa yang

dimaksud dengan agama. Namun sebagian besar tidak sepakat karena memandang

akan banyak orang yang dituntut secara pidana karena tidak masuk agama seperti

yang didefinisikan oleh negara.

Saat Orde Baru hanya menerima lima agama resmi, yakni Islam, Kristen,

Katholik, Hindu, dan Buddha, aliran kepercayaan semakin tidak mendapatkan

tempat. Akibat paling jelas dari hal ini adalah pengisian kolom agama dalam

Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tidak boleh kosong. Hal ini pula yang

21

Yasser Arafat, Pengakuan Terhadap 6 Agama Resmi adalah Inkonstitusionali dalam

ressaywordpresscom, di unduh pada 8 Agustus 2018.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

25

menyebabkan jumlah penganut agama resmi, terutama Islam, mengalami

peningkatan dengan ditandai oleh perpindahan para penganut aliran kepercayaan

kepada salah satu agama resmi negara. Banyak penganut aliran kepercayaan

mengakui bahwa meskipun mereka mengisi kolom agama, Islam misalnya pada

KTP, namun mereka merasa seperti membohongi diri. Maka dari itu

menempatkan kebebasan beragama sebagai hak konstitusional warga negara

merupakan konsekuensi menjadi negara hukum.

Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas sendiri. Karena pancasila

harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum

Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok

dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of

Religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di Negara

Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi

ateisme atau propaganda antiagama di Bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda

dengan misalnya Amerika Serikat yang memahami freedom of religion baik

dalam arti negatif.

Negara hukum bukan hanya sekedar menjamin secara konstitusional,

melainkan juga mengawal, menjaga pelaksanaannya. Hak konstitusional warga

negara merupakan hak yang diberikan oleh negara yang diberikan kepada setiap

orang karena status kewarganegaraan sebagai warga negara. Berbicara mengenai

pengakuan terhadap kebebasan beragama dalam konteks negara modern saat ini

tidaklah dapat dilepaskan dari perkembangan pengakuan atas Hak Asasi Manusia

(HAM).

Seiring dengan perkembangan ajaran negara hukum, di mana manusia atau

warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi

oleh pemerintah, maka muncul istilah basic rights atau fundamental rights. Bila

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah merupakan hak-hak dasar

manusia atau lebih dikenal dengan istilah hak asasi manusia.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

26

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa hak adalah (1) yang

benar, (2) milik, kepunyaan, (3) kewenangan, (4) kekuasaan untuk berbuat

sesuatu, (5) kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, dan (6)

derajat atau martabat. Pengertian yang luas tersebut pada dasarnya mengandung

prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang pemilik

keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari.

Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat

melakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki, atau sebagaimana

keabsahan yang dimilikinya.

Menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 39/1999 tentang HAM, menyatakan

bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara, hukum dan

Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.31

Hak Asasi Manusia bersifat universal, namun jika diatur dalam Hak

Konstitusional maka Hak Asasi Manusia merupakan Hak yang diberikan Negara

dan telah diatur dalam konstitusi masing-masing Negara kepada seluruh warga

negara atau diamanatkan untuk warga negaranya, yang menjamin terpenuhinya

hak-hak maupun kewajiban dari warga negara, baik perlindungan HAM, Peradilan

Bebas, dan Asas Legalitas. Tentunya Hak konstitusi berbeda dengan Hak Asasi

Manusia yang mencakup secara Universal, sedangkan hak konstitusional hanya

mencakup warga negara, yang mana telah diatur dalam konstitusi.

Hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hakhak sipil dan

politik, yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hakhak alamiah.

Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

27

orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara, dalam konteks ke

Indonesiaan.22

Hak Asasi Manusia tentang kebebasan beragama telah diatur dalam

Konstitusi Republik Indonesia, terdapat di beberapa pasal. Sebelum perubahan

amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pengaturan akan jaminan konstitusional

hak asasi manusia mengenai kebebasan beragama terdapat pada Pasal 29 Ayat (2)

yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, poin-poin

mengenai perlindungan hak asasi manusia terdapat penambahan. Sebagaimana

diatur dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Antara lain sebagai berikut:

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada Pasal 28

E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang

bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan

pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat

tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”23

Pada Pasal 28 E Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang

berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1)

Undang Undang Dasar 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan

hak asasi manusia. kemudian pada Pasal 29 Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945

juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya

untuk memeluk agama. Akan tetapi, aktualisasi hak asasi beragama tersebut

bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28 J ayat (1) Undang Undang Dasar

1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28

22

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016, op.cit, h.138.

23

Hamonangan Albariansyah ,Eksistensi Komunitas Penghayat di Persimpangan :

Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Sebagai Warga Negara Jurnal hukum unsri, vol 24, No 2

Mei 2017 h.47.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

28

J ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan

hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam Undang Undang.

Hak kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan dijamin secara

konstitusional dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 sebagai bagian dari hak

asasi manusia yang mendapat pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum oleh

negara, sehingga setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agama yang dianutnya. Maka hal ini menimbulkan tanggung jawab dari

pemerintah untuk mengatur (dengan Peraturan Perundang-undangan) dan

mengawasi pelaksanaannya (dengan penegakan hukum). Pasal 28 E Ayat (2)

Undang Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28 I Ayat (1) Undang

Undang Dasar 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi

manusia. Selanjutnya Pasal 29 Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 juga

menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk

memeluk agama. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan.

Dalam Pasal 28 J ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 diatur bahwa setiap

orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28 J ayat (2) Undang

Undang Dasar 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib

tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi

manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan

yang diatur dalam undang-undang.

Undang Undang No. 12 Tahun 2005. Berdasarkan pada Kovenan

Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil

and Political Rights) pada tahun 1966, pemerintah Indonesia kemudian

meratifikasi ketentuan tersebut pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui Undang

Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenant on Civil

and Political Rights (ICCPR). Dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Undang

Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

29

yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,

berkeyakinan dan beragama”. Apabila diletakkan pada konsep yang lebih

universal maka pengakuan atas hak beragama dan menganut kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam konstitusi

bersesuaian dengan semangat rumusan kebebasan beragama seperti yang

tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) dan

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah

diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

ICCPR.

Dengan demikian dapatlah ditarik mengenai garis besar yang berkaitan

dengan kebebasan beragama di Indonesia, bahwa dasar hukum yang menjamin

kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi, yaitu Pasal 28 E Ayat (1)

Undang Undang Dasar Tahun 1945. Ketentuan Pasal 28 E Ayat (2) Undang

Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan.24

Apabila dasar-dasar hukum konstitusi diatas di kaitkan

secara sistematis, maka dapat dipahami bahwa Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD

1945 merupakan bagian BAB XA yang terkait dengan Hak Asasi Manusia

sedangkan Pasal 29 merupakan isi dari BAB XI terkait dengan Agama. Dengan

demikian, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 berisi pengakuan terhadap

hak setiap manusia untuk memeluk agama dan hak untuk meyakini kepercayaan.

Pengakuan tersebut membawa dampak bahwasannya memeluk agama dan

meyakini kepercayaan merupakan hak yang melekat pada setiap orang. Hal

tersebut secara tidak langsung merupakan sebuah pengakuan dari konstitusi

(negara) terhadap setiap penduduk untuk berhak meyakini agama dan

kepercayaan.

Berdasarkan uraian diatas maka, menjadi tepat apabila Pasal 28I ayat (1)

UDD 1945 menegaskan bahwa hak ini adalah termasuk dalam kelompok hak yang

24

Hamonangan Albariansyah ,Eksistensi Komunitas Penghayat di Persimpangan :

Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Sebagai Warga Negara Jurnal hukum unsri, Vol 24, No 2

Mei 2017 h.47.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

30

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lebih jauh, oleh karena itu hak

beragama dan menganut keprcayaan sebagai bagian dari hak asasi manusia

sekaligus sebagai hak konstitusional, maka timbul kewajiban dan tanggung jawab

bagi negara terutama pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi,

hak tersebut.25

Dalam konteks negara memenuhi hak-hak tersebut terdapat pelaksana

yaitu Administrasi Kependudukan yang merupakan bagian atau salah satu bentuk

dari pelayanan publik sebagai hak yang melekat bagi setiap warga negara,

sehingga menjadi kewajiban bagi negara untuk menjamin dan memenuhinya.

Terkait hal ini, hal konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) dinyatakan bahwa negara berkewajiban

melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan

dasarnya dalam rangka pelayanan publik.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU Pelayanan Publik, penyelenggaraan

pelayanan publik harus berpijak, diantaranya, pada asas kesamaan hak dan

persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Kesamaan hak dimaksudkan bahwa

dalam memberikan pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan,

gender, serta status sosial. Selanjutnya berkenan dengan persamaan perlakuan,

penjelasan Pasal 4 UU Pelayanan Publik menggariskan bahwa setiap warga

negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.

Secara tekstual, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 29

ayat (2) UUD 1945 menempatkan agama selalu berdampingan dengan

kepercayaan. Dimana agama merupakan kepercayaan itu sendiri, hanya saja

dengan memebaca dan memahami keberadaan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD

1945, agama dan kepercayaan sangat mungkin dipahami sebagai dua hal yang

berbeda atau tidak sama, namun keduanya sama-sama diakui eksistensinya.26

25

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016, op.cit, h.139. 26

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016, op.cit, h.139.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

31

Mengacu pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 kepercayaan dipahami sebagai

agama, namun jika dikaitkan dengan konteks Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD

1945 sebagai pengaturan HAM dan Pasal 29 UUD 1945 sebagai jaminan negara

atas kemerdekaan memeluk agama, maka dalam hal ini dapat dipersoalkan

menyangkut pembatasan hak asasi yang berhubungan dengan agama dan

kepercayaan, norma kostitusi yang lebih tepat diacu adalah Pasal 28E ayat (1) dan

(2) UUD 1945, dimana agama dan kepercayaan diatur sebagai dua hal yang

berbeda. Pola pengaturan yang demikian, misalnya juga telah diikuti Pasal 58 ayat

(2) huruf h UU Administrasi Kependudukan yang menempatakan agama dan

kepercayaan sebagai dua hal yang terpisah secara setara.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

32

BAB III

TINJAUAN UMUM ALIRAN SUNDA WIWITAN

A. Sejarah Asal Usul Sunda Wiwitan

Salah satu warisan keyakinan masyarakat Indonesia, agama Sunda

Wiwitan yang tetap hidup lestari dan damai di tengah-tengah hutan tua lebat, hulu

sungai dan puncak gunung Kendeng Banten Selatan. Sunda Wiwitan adalah

agama masyarakat Baduy yang menghormati roh karuhun, nenek moyang1.

Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam Carita

Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda. Naseni, seorang kokolot Kampung

Cikeusik, menjelaskan bahwa “kepercayaan animisme masyarakat Baduy telah

dimasuki unsur-unsur agama Hindu dan agama Islam”. Pada tahun 1907, menurut

laporan Controller Afdeeling, di wilayah Lebak terdapat komunitas masyarakat

beragama Hindu sebanyak 40 keluarga2. Sedangkan, Islam pertama dikenal

oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang lebih 300

tahun silam. Kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di

kampung Cikakal Girang.

Sedangkan Wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda wiwitan

berarti Sunda asal atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di atas, Sunda wiwitan

dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli dari

dahulu hingga saat ini. Kepercayaan Sunda wiwitan juga dibuktikan dengan

adanya temuan arkeologi di berbagai daerah seperti situs Cipari kabupaten

kuningan, situs Arca Domas di Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling

fenomenal situs gunung padang yang ada di kabupaten Cianjur. Temuan tersebut

1 Permana, R. Cecep Ek. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya

Sastra 2006 h.37.

2 Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya

1995 h. 72

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

33

menunjukkan bahwa orang Sunda awal telah memiliki sistem kepercayaan.3

Masyarakat tradisional Sunda menganut paham kepercayaan yang memuja

terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (Animisme dan Dinamisme) yang di

kenal dengan agama atau aliran Sunda Wiwitan.4 Akan tetapi ada sementara pihak

yang berpendapat bahwa agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur Monoteisme

purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dia

tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Hyang Kersa yang

di samakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di daerah

pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Yakni,

Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Letak Desa Kanekes sekitar 17 kilometer sebelah selatan Kota Kecamatan

Leuwidamar. Sekitar 38 kilometer sebelah selatan Kabupaten Lebak. Sekitar 65

kilometer sebelah selatan Ibukota Propinsi Banten. Dan, sekitar 172 kilometer

sebelah barat Ibukota Jakarta. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak

No. 32 Tahun 2001, luas desa ini kira-kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri dari

pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan lindung mutlak (taneuh

larangan) seluas 3.000 hektar. Luasnya di antara desa-desa di wilayah Propinsi

Banten, Desa Kanekes adalah wilayah pedesaan yang terluas.

Masyarakat Baduy tinggal secara mengelompok pada suatu kampung dan

menyebar di wilayah Kanekes. Ada dua kelompok besar pemukiman masyarakat

Baduy, yaitu kelompok Baduy Dalam dan Kelompok Baduy Luar. Kelompok

yang berada di Baduy Luar disebut masyarakat “panamping” yang artinya adalah

pendamping, karena mereka bermukim di bagian luar wilayah Baduy dan

mendampingi masyarakat Baduy Dalam. Kelompok Baduy Luar ini tersebar di 50

kampung. Sementara kelompok Baduy Dalam disebut dengan masyarakat

3 Ira Indrawarna,berketuhanan dalam perspektif kepercayaan sunda wiwitan, dalam

jurnal Melintas, 2014 h. 109-112

4 Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya,

1995),H,72-73

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

34

“Kajeroan” yang artinya dalam atau “Girang” yang artinya hulu. Mereka

bermukim di bagian dalam atau daerah hulu dari Sungai Ciujung. Ada tiga

kampung yang mereka tinggali, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.

Kelompok Baduy Dalam tidak pernah menambah jumlah kampung yang

ada, wilayahnya hanya ada di tiga kampung tersebut. Sementara untuk Baduy

Luar dari tahun ketahun jumlah kampungnya bertambah seiring dengan

pertambahan populasi disana. Jika populasi di Baduy Dalam bertambah dan tidak

sesuai dengan kapasitas kampungnya, maka sebagian dari mereka akan keluar

untuk tinggal di wilayah Baduy Luar dan menjadi kelompok Baduy Luar.

Dalam struktur kepemimpinan kelompok Baduy Dalam juga disebut

masyarakat Tangtu merupakan kelompok yang tinggi, sehingga pemimpin

tertinggi yang disebut Puun berasal dan tinggal di ketiga kampung Baduy

Dalam.5 Dalam berpakaian mereka memiliki ciri berwarna putih alami dan biru

tua serta memakai ikat kepala putih. Baduy Luar juga disebut dengan masyarakat

panamping berciri khas dengan pakaian hitam dan ikat kepala hitam.

Hubungan dari berbagai aspek kehidupan di Kanekes memiliki integrasi

yang bagus dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Yang mana sudah

tersusun dalam ideologi kehidupan mereka yang bisa dipahami dan dijalankan

oleh seluruh masyarakat di Baduy. Pandangan masyarakat Baduy relatif sama

terhadap hubungan antara kehidupan sosial budaya, ekonomi, serta pengelolaan

lingkungan. Mereka mampu membuat instrumen-instrumen yang menjamin

keberlanjutan kehidupan disana. Ada beberapa aspek kehidupan yang diciptakan

oleh masyarakat Baduy untuk menciptakan keberlanjutan kehidupan mereka, yaitu

sistem sosial dan budaya yang sangat kuat, pengaturan sistem ekonomi berbasis

pada pemenuhan kebutuhan primer, dan pengaturan pengelolaan lingkungan

hidup. Ketiga aspek tersebut ditata oleh mereka untuk menjamin terciptanya

kehidupan yang layak bagi masyarakat Baduy.

5 Djoko Mudji Rahardjo, Urang Kenakes di Banten Kidul, Proyek Pemanfaatan dan

Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan : Jakarta, 2002, h. 11-12

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

35

Pemimpin tertinggi dalam sistem adat Baduy disebut Puun yang ada di

tiga kampung di Baduy Dalam, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.

Jabatan puun ini berlangsung secara turun temurun, meskipun tidak otomatis dari

bapak ke anak, tetapi bisa ke saudara puun lainnya yang dianggap memiliki

kemampuan untuk menjadi pemimpin.6

Tidak ada batasan waktu bagi puun untuk menjabat sebagai pimpinan

tertinggi masyarakat Baduy, hanya didasarkan pada batas kemampuannya untuk

memimpin. Sebagai pelaksana sehari-hari dalam sistem adat dilaksanakan oleh

Jaro Tangtu di masing-masing kampung di Baduy Dalam, sedangkan untuk

kampung-kampung di Baduy Luar dipimpin oleh Jaro Urusan puun lebih banyak

untuk dunia gaib, sedangkan Jaro Tungtu lebih banyak pada urusan duniawi.

Selain itu Puun juga memiliki pembantu umum yang disebut Girang Seurat

dan juga memiliki penasehat yang disebut Baresan . Untuk kesehatan dan kepala

dukun yang ada di wilayah Baduy diurus oleh Tangkesan Orang menjabat

tangkesan haruslah seorang cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan dan juga

pandai meramal masa depan. Tangkesan juga terlibat di dalam penentuan

pemilihan puun yang tepat dan juga sebagai penasehat Puun.

Dalam struktur pemerintahan banyak dijumpai istilah Jaro yang artinya

adalah pemimpin kelompok. Pemimpin-pemimpin di Baduy dipilih secara turun

temurun, sehingga ada hubungan kekerabatan dalam sistem kepemimpinan. Untuk

urusan yang bersifat duniawi ditunjuk dari garis keturunan yang paling muda,

sedangkan untuk pemimpin urusan keagamaan, budaya, serta adat istiadat dipilih

dari garis keturunan yang tertua. Sinergi dalam kepemimpinan tersebut ditujukan

untuk menjangkau seluruh wilayah Baduy.

Dengan sistem yang dibangun tersebut seluruh kampung di Desa Kanekes

tidak ada yang terabaikan dan tetap patuh dengan aturan-aturan adat yang ada,

karena selalu ada fungsi kontrol di tiap-tiap kampung. Selain itu sebagai bentuk

penghargaan dan pengakuan keberadaan pemerintah nasional mereka punya cara

6 Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Pustaka Obor Indonesia :

Jakarta, 2015. h.44-45

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

36

tersendiri yaitu dengan melakukan upacara seba. Upacara seba adalah dilakukan

setahun sekali dengan menghantar berbagai macam hasil bumi (padi, palawija,

buah-buahan) kepada Gubernur Banten dan dilakukan dengan jalan kaki

sepanjang sekitar 120 km dari Kanekes ke kantor gubernur.

Baduy merupakan sebutan populer orang lain terhadap masyarakat Desa

Kanekes Banten. Sebutan Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke daerah

Banten utara pada abad ke-16, sekitar tahun 1522-1526. Akan tetapi, orang Baduy

dipaparkan oleh Judistira Garna7, sebagai berikut: “Kesetiaan orang Baduy kepada

agama yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya seperti keadaan

sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa Barat serta letak desanya yang tak

mudah dicapai orang seolah-olah memperkuat angggapan bahwa orang Baduy itu

bukan orang Sunda”. Meskipun demikian, pada tahun 1822 C.L. Blume pernah

menulis bahwa masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni

Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad

ke-17, dan sejalan pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam8. Terlepas dari

perdebatan para ahli sejarah tentang sebutan Baduy, penelusurannya dapat

diteruskan dan ditemukan di banyak sumber.

Salah satu sumber menyebutkan Asal usul orang Baduy merupakan bagian

dari suku Sunda yaitu suku asli masyarakat Provinsi Jawa Barat dan sekarang

menjadi Provinsi Banten, bahasa yang digunakan mereka juga bahasa sunda1

Diperkirakan mereka pindah di daerah terpencil di Gunung Kendeng ini pada abad

16, seiringan dengan keruntuhan Kerajaan Pajajaran. Karena pada zaman dahulu

sebelum Islam masuk ke Jawa pengaruh agama Hindu dan Budha semakin kuat,

termasuk Kerajaan Pajajaran. Tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan

Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam. Ada sekelompok

masyarakat yang menolak untuk masuk kedalam Islam, kemudian mereka

7 Garna, Judistira. Orang Baduy. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia 1987 h.16-17.

8 Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjemahan. (Edisi ke-2). Yogyakarta: Tiara

Wacana 2006.h. 27

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

37

berpindah tempat dan mengasingkan diri. Kelompok tersebut yang kemudian

dinamakan Suku Baduy.9 Meraka juga sering disebut orang-orang Kanekes,

bahkan dalam referensi tertentu menyebut mereka sebagai orang Rawayan

Banyak istilah kata Baduy itu yang salah satunya dari kata “badawi” yaitu

julukan bagi orang yang bertempat tinggal tidak tetap di jazirah Arab.dalam buku

Asep Kurnia yang berjudul saatnya Baduy Berbica bahwa mereka menjelaskan

istilah Baduy sebenarnya itu adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu,

yaitu sungai Cibaduy yang mengalir di tempat mereka berdasarkan satu bukit

yang berada di kawasan tanah ulayat mereka., yaitu bukit Baduy. Dikaitkan

dengan keberadaan Baduy di Indonesia pada waktu itu yang menolak untuk

masuk Islam, maka muncul istilah Baduy.

Baduy yang juga sebuah kelompok masyarakat yang kehidupannya tidak

mengenal budaya tulisan, sampai sekarang melarang mereka untuk bersekolah

secara formal, mereka juga tidak memiliki catatan silsilah keturunana atau leluhur

yang lengkap. Menurut orang setempat juga Baduy merupakan keturunan

langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini yang

bernama Adam Tunggal. Selain itu kesukuan mereka juga tidak ditugaskan untuk

meramaikan dunia, tetapi lebih pada kewajiban untuk memelihara keharmonisan

dan keseimbangan alam semesta dengan tidak mengubah tanah sehingga

kehidupan sederhana dengan ajaran hukum adat yang seragam satu keyakinan.10

Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Baduy

adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara

resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan,

tempat pe-muja-an nenek moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di Desa

Kanekes dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari sinilah,

masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda Wiwitan, Sunda

9 Feri Prihantoro , ”Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy” , dalam Jurnal

Asia Good ESD Practice Project, BINTARI (Bina Karta Lestari) Foundation, 2006, h.2

10

Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara, 2010, hlm 24-25.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

38

Pertama11

. Hal itu menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa

ditemukan di dalam diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam

lindung pegunungan Kendeng

Menurut orang Baduy kata wiwitan berasal dari kata wit-wit-an yang

berarti „pepohonan‟. Mereka menganalogikan bahwa unsur-unsur tubuh manusia

itu berasal dari pepohonan, dan semua itu bertumbuh menjadi besar atau dewasa.

Sesungguhnya, di kalangan mereka ada anggapan bahwa Sunda Wiwitan

merupakan „asal usul‟ atau pangkal dari semua agama. Semua agama yang ada di

dunia ini akan mencerminkan nilai-nilai dasar agama wiwitan, yang dalam istilah

mereka katitipan wiwitan. Dasar etis “agama wiwitan” – Sunda Wiwitan – itu

tercermin pada pandangan orang baduy dalam memelihara keseimbangan

hubungan antara manusia dengan sesamanya, lingkungan alamnya, dan Tuhan.12

Bagi masyarakat Baduy Sunda Wiwitan mereka meyakini bahwa pendiri

agama atau kepercayaan Sunda wiwitan adalah Madrais yang nama lengkapnya

Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat hidup sekitar tahun 1832-

1939. Madrais sebenarnya nama pesantren yang dia dirikan di Cigugur yang

sekarang menjelma menjadi paseban, ayahnya yaitu pangeran Alibasa, cucu dari

pangeran Sutajaya Upas, menantu pangeran kesepuhan keturunan 8 dari Sunan

Gunung Jati. Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa,

kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap

budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Beliau mengajarkan Islam

kepada rakyat dan mengajarkan pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan

mencintai sesama. Dan beliau mengajarkan agama Islam (Al-Qur‟an dan hadits)

disampaikan dalam tulisan Jawa Sunda yaitu tulisan ha, na, ca, ra, ka dan

seterusnya. Agar tidak di ketahui oleh penjajah bahwa beliau sedang menyebarkan

agama Islam. Dengan cara demikian ajaran madrais disebut agama jawa Sunda

11

Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya

Sastra 2006 h.27

12 Ira Indrawarna,”Berketuhanan dalam Perspektif Kpercayaan Sunda Wiwitan”, dalam

Jurnal melintas,30-01-2014 h. 113

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

39

atau yang sekarang disebut Sunda Wiwitan. Akan tetapi, saat itu ajaran madrais

ialah tauhid murni, hanya Allah yang wajib di sembah.13

Keberadaan “manusia Sunda” masa lalu di antaranya bisa dilihat pada

peninggalan-peninggalan. Mengacu pada temuan artefak yang berumur ribuan

bahkan puluhan ribu tahun sebelum masehi di dataran tinggi Bandung (sebagai

wilayah cekungan Bandung), benda-benda tersebut adalah salah satu bukti

penulusuran leluhur “Ki Sunda”. Adanya situs-situs purbakala tertentu, misalnya,

situs purbakala Cipari, Kuningan, yang ditaksir berusia 2000-3000 tahun SM,

menunjukkan bahwa “manusia Sunda” sudah mengenal tatanan hidup

bermasyarakat dengan sistem kepercayaan atau religiositasnya. Menurut tafsir

arkeologi adanya situs artefak menhir dan lingga yoni di Cipari adalah bukti

nenek moyang bangsa Indonesia (khususnya nenek moyang manusia Sunda)

sudah memiliki karakter dan sifat religius.14

Upaya penelusuran jejak-jejak dinamika spiritual Orang Sunda masa lalu,

sebagai upaya pengungkapan eksistensi kebudayaan Sunda berikut penjelasan

sistem kepercayaan „asli‟ masyarakat Sunda, terkadang mendapatkan reaksi yang

kontraproduktif dari masyarakat Sunda sendiri. Sampai saat ini masih ada

berbagai pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Sunda masa lalu, termasuk

raja-rajanya, adalah penganut Hindu; ada pula yang berpendapat bukan Hindu,

tetapi penganut Agama Asli Sunda atau sistem kepercayaan leluhur Sunda

sebelum pengaruh Hindu masuk. Ada pula polemik atas klaim bahwa Orang

Sunda itu sudah Islami sebelum agama Islam masuk, sehingga beranggapan

bahwa Orang Sunda adalah penganut agama Islam. Munculnya komunitas kaum

penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau dahulu ada yang

menyebutnya sebagai Aliran Kepercayaan

13

http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap-

asalusul-sunda-wiwitan (di akses pada tanggal 05 desember 2018 )

14 Kosoemadinata, R.P. (2006) ‘Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda’, dalam Rosidi, Ajip

dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 2006. Jilid 1

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

40

Terlepas dari polemik yang masih berkembang sampai sekarang itu,

adanya artefak peninggalan prasejarah maupun sejarah yang terkait dengan simbol

dan ajaran yang tertulis dalam naskah-naskah kuno menyiratkan dan menyuratkan

bahwa Orang Sunda sejak Zaman Prasejarah sudah bersifat religius, atau memiliki

kepercayaan dan sistem kepercayaan terhadap Tuhan. Beberapa data

mengungkapkan sebutan-sebutan terhadap yang disembah dan diyakini dalam

sistem kepercayaan masyarakat Sunda masa lalu, seperti Hiang atau Hyang,

Hyang Tunggal, Batara Tunggal, Nu Ngersakeun, Gusti Pangeran Sikang sawiji-

wiji, dan sebagainya. Menurut Richadiana Hyang sebagai istilah kuno yang umum

sampai sekarang digunakan dalam penyebutan kepada Sang Maha Pencipta Alam

Raya beserta isinya15

B. Pokok Ajaran Sunda Wiwitan

Tuhan yang diyakini oleh umat Sunda Wiwitan adalah Allah, sebagaimana

terucapkan di dalam kalimat syahadat Baduy.16

Meskipun, mereka menyebut-Nya

Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam) dan

Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Mereka mempercayai Sang Hiyang Keresa

(Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi. Tuhan Sunda Wiwitan bersemayam di Buana Nyungcung

(Dunia Atas). Bahkan, diyakini bahwa semua dewa agama Hindu (Brahma,

Wisnu, Siwa, Indra, Yama, dan lain-lainnya) tunduk terhadap Batara Seda

Niskala.17

Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dengan mata,

tetapi dapat diraba dengan hati. Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit adalah

Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan

nasib adalah titipan. Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah

15

Richadiana, „Situs (Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda di dalam

Tatanan Tradisi Megalitik 2006. Jilid 1. Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage h. 264

16 Sam, A. Suhandi. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Kebudayaan Daerah, 1986 h.62.

17 Ekadjati, Edi S.. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya

1995 h.73

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

41

Rasul, yakni sunat atau khitan.18

Ritus sunat diyakini sebagai nyelamkeun,

mengislamkan, bagi laki-laki pada umur 4-7 tahun dan perempuan. Dan, mereka

tak lupa melaksanakan ritual ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini dilakukan

hanya sehari pada bulan pertama, kedua dan ketiga dalam setahun sekali.

Kekuasaan Tuhan dipahami oleh umat Sunda Wiwitan sebagai pencipta

alam semesta. Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa “dunia pada

waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam

tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah

Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2)

Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo),

(4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan

di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di

Sasaka Domasi”.19

Dari mitos penciptaan ini, masyarakat Baduy menyakini

bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Kanekes

sebagai inti jagat, pancer bumi. Karena itu, mereka melaksanakan ritual ibadah

pemujaan di Sasaka Domas sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek

moyang. Mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu

ataupun Islam.

Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol penciptaan

manusia pertama yang berada di Sasaka Domas. Keyakinan seperti ini terdapat

juga di dalam agama masyarakat Jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek

moyang, mereka, Ahimsa-Putra.20

menjelaskan bahwa antara Nabi Islam, Batara

dan Raja Jawa terdapat relasi genealogis, Batara Tunggal yang dipercayai oleh

umat Sunda Wiwitan adalah manusia biasa yang tidak pernah mati, akan tetapi

18

Djoewisno, MS. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Banten: Cipta Pratama

Adv.pt 1987 h. 28.

19 Sam, A. Suhandi.Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Kebudayaan Daerah, 1986 h.64.

20 Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya

Sastra . 2006 h. 345

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

42

jasad dan rohnya ngahiyang, sirna, dari dunia ini. Mereka menyakini juga bahwa

Batara Tunggal-lah yang mengatur nasib dan kehidupan manusia di muka bumi

ini. Begitu pun, Dalem dan Menak adalah karuhun nenek moyang yang jasad dan

rohnya ngahiyang, sirna. Sebab itu, diyakini bahwa Kanekes tidak akan hilang

hingga saat ini, seiring terpeliharanya keturunan puun.21

Menurut pengakuan dan kepercayaan orang Kanekes, leluhur mereka

mempunyai hubungan langsung dengan Adam (manusia pertama) dan agama yang

mereka anut disebut Sunda Wiwitan.22

Selanjutnya, Sunda Wiwitan juga sering

dipakai sebagai penamaan atas keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat

keturunan Sunda” yang masih mengukuhkan ajaran spiritual leluhur kesundaan.

Penamaan itu tidak muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan

keyakinan oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian dilekatkan

pada beberapa komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang dengan kokoh

mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Dengan

demikian Sunda Wiwitan secara literal berarti Orang Etnis Sunda Awal atau awal

mula orang Sunda. Sunda Wiwitan yang sejauh ini oleh para antropolog Indonesia

dianggap sebagai salah satu sistem religi dan identitas masyarakat Sunda,

khususnya di masyarakat Baduy atau Kanekes.

Secara formal-normatif, puun adalah pimpinan adat istiadat masyarakat

Baduy. Untuk memimpin adat istiadat aspek spiritual puun dibantu oleh

perangkat puun. Yaitu, baresan (dewan penasehat), (peramal) dan girang seurat

(pembantu pelaksana ritual). Selain puun diyakini sebagai pemimpin tertinggi

adat, juga merupakan keturunan karuhun, nenek moyang, yang langsung

mempresentasikannya di dunia. Selain menyakini adanya karuhun, masyarakat

Baduy juga menyakini adanya guriang, sanghyang dan wangatua. Guriang dan

sanghyang adalah penjelmaan para karuhun untuk melindungi keturunannya dari

21

Sam, A. Suhandi. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Kebudayaan Daerah, 1986 h.62-63

22 Ira Indrawarna,berketuhanan dalam perspektif kepercayaan sunda wiwitan, dalam

Jurnal melintas,30-01-2014 h. 109-112

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

43

segala bahaya, baik dari gangguan orang jahat maupun makhluk-makhluk halus

yang jahat. Sedangkan, wangatua adalah penjelmaan roh ibu dan bapak yang telah

meninggal dunia. Para puun adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan

bertugas melestarikan kepercayaan warisan nenek moyang, pikukuh, supaya tidak

terkena pengaruh proses perubahan sosial budaya dari luar.23

Kiblat ibadah pemujaan umat Sunda Wiwitan disebut Sasaka Domas, atau

Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung. Sasaka Domas adalah bangunan

punden berunduk atau berteras-teras sebanyak tujuh tingkatan. Setiap teras diberi

hambaro, benteng, yang terdiri atas susunan “menhir” (batu tegak) dari batu kali.

Pada teras tingkat keempat terdapat menhir yang besar dan berukuran tinggi

sekitar 2 m. Pada tingkat teratas terdapat “batu lumpang” dengan lubang bergaris

tengah sekitar 90 cm, menhir dan “arca batu”. Arca batu ini disebut Arca Domas.

Domas berarti keramat, suci. Tingkatan teras, makin ke selatan undak-undakan

makin tinggi dan suci. Digambarkan oleh Koorders (1869), Jacob dan Meijcr

(1891) dan Pleyte (1909) bahwa letaknya di tengah hutan tua yang sangat lebat,

hulu sungai Ciujung dan puncak gunung Pamuntuan. Bangunan tua ini merupakan

sisa peninggalan megalitik. Sebagai kiblat ibadah, Sasaka Domas diyakini sebagai

tanah atau tempat suci, keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul.24

Pikukuh, aturan adat mutlak pandangan hidup (world view) umat Sunda

Wiwitan berpedoman pada pikukuh, aturan adat mutlak. Pikukuh adalah aturan

dan cara bagaimana seharusnya (wajibnya) melakukan perjalanan hidup sesuai

amanat karuhun, nenek moyang. Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-

konsep dan aktifitas-aktifitas religi masyarakat Baduy. Hingga kini pikukuh

Baduy tidak mengalami perubahan apapun, sebagaimana yang termaktub di dalam

buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang. Buyut adalah segala sesuatu yang

melanggar pikukuh. Buyut tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma

23

Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya

Sastra. 2006 h.40

24 Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjemahan. (Edisi ke-2). Yogyakarta: Tiara

Wacana. 2006. h. 89-90.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

44

dalam tindakan sehari-hari masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan

sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya, Pikukuh Sunda Wiwitan di

atas dikukuhkan dengan kearifan atau filsafat hidup sehari-hari. Filsafat hidup

yang diajarkan di dalam agama Sunda Wiwitan adalah bahwa “kehidupan

manusia itu telah ditentukan kedudukannya dan tempatnya masing-masing.”

Filsafat hidup ini dapat menjelaskan bahwa manusia harus menerima kodratnya

masing-masing dan menempati tempat yang sudah ditentukan. Manusia hidup di

dunia ini tidak boleh berlebihan dalam mencari kesenangan, cukup menerima

yang sudah ada saja. Sebab itu, tujuan hidup bagi umat Sunda Wiwitan adalah

kebajikan (goodness) yang dapat dicapai dengan jalan mentaati pikukuh yang

sudah dikodratkan dan yang diberikan kepada kita masing-masing. Jika tidak,

berarti hidup itu tidak baik yang akan dirasakan sebagai siksaan atau neraka.

Demikian itu menekan bahwa hidup berarti narimakeun kana kadar

(menerima yang sudah ditentukan dan jauh dari hawa nafsu). Dengan kata lain,

hirup narimakeun berarti hidup menerima apa yang sudah menjadi bagiannya,

sehingga membuatnya tidak berani untuk berbuat atau hidup di luar yang

ditentukan.25

Sebab itu pandangan hidup umat Sunda Wiwitan ini yang

dipraktikkan dalam ibadah ritual keagamaan yang diatur dengan pikukuh dan

ketaatan pada buyut, menentukan keberhasilan panen padi yang melimpah dan

kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, identitas Sunda Wiwitan adalah

agama sinkretis. Sebagian antropolog menganggap bahawa sinkretisisme sebagai

salah satu dari tiga hasil proses akulturasi: penerimaan, penyesuaian dan reaksi.

Dalam Antropology Today R. Beals menjelaskan bahwa “acculturation is

combining original and foreign traits either in harmonious whole or with

retention of conflicting attitudes which are reconciled in everyday behavior

according to specific occasions.” Jelasnya, sinkretisasi adalah proses

25

Rosmana, Tjetjep dkk. Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa Barat.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen kebudayaan dan Balai Kajian Sejarah

dan Nilai Tradisional 1993 h. 88-90.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

45

penggabungan dan pengombinasian unsur-unsur asli dengan unsur-unsur asing

yang dapat memunculkan sebuah pola budaya baru26

.

Religi ini memberikan pandangan hidup kepada umatnya supaya hidup

sederhana dan menerima apa adanya, hanya untuk dapat bekerja di ladang,

menanam padi, dengan damai dan sejahtera. Pandangan hidup ini mengkonstruksi

pribadi-pribadi Baduy yang taat menjaga alam lindung Kanekes. Di samping itu,

menciptakan agama ini tetap lestari secara turun temurun dengan penganut yang

semakin bertambah.

Sebagai sebuah sistem religi, Sunda Wiwitan tentu juga memiliki upacara-

upacara keagamaan sebagai suatu bentuk penyembahan terhadap tuhan. Menurut

masyarakat Suku Baduy.

a. Kawalu

Kawalu adalah salah satu bagian dari ibadah khusus bagi masyarakat Suku

Baduy. Di dalam penanggalan adat masyarakat Suku Baduy, Kawalu dilaksanakan

selama tiga bulan pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Jika dikonversi ke dalam

penanggalan masehi maka kegiatan Kawalu dilaksanakan pada sekitar akhir bulan

Desember sampai dengan bulan Maret. Secara kronologis Kawalu terbagi menjadi

tiga, yaitu bulan Kawalu tembay (awal) di bulan Kasa, Kawalu tengah di bulan

Karo, dan Kawalu tutug (besar atau penutup) di bulan katiga27

. Kegiatan inti dari

Kawalu adalah berpuasa pada pada bulan Kawalu (Kasa, Karo, Katiga) selama

satu hari penuh tanpa sahur hingga terbenam matahari. Berpuasa hanya

dilaksanakan selama satu hari pada setiap bulannya, jadi total puasa yang

dilaksanakan oleh masyarakat Suku Baduy adalah tiga hari. Selama Kawalu

berlangsung wilayah terutama Baduy Dalam tidak diperbolehkan didatangi oleh

tamu dalam jumlah besar, sedangkan untuk tamu yang datang secara perorangan

masih bisa diterima apabila ada salah satu dari orang Baduy Dalam yang dikenal

26 Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.

(Yogyakarta 2006) h. 338.

27 Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2012.h.42

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

46

b. Ngalaksa

Ngalaksa juga menjadi salah satu bagian dari ibadah khusus bagi

masyarakat Suku Baduy yang dilaksanakan pada setiap bulan Katiga di dalam

penanggalan adat masyarakat Suku Baduy. Ngalaksa menjadi sebuah ibadah

khusus yang juga dilaksanakan pada salah satu bulan Kawalu, yaitu bulan Katiga.

Kegiatan inti dari Ngalaksa adalah pembuatan makanan yang diberi nama laksa,

laksa merupakan makanan yang harus dibuat pada pelaksanaan Ngalaksa. Laksa

merupakan makanan sejenis mie yang berbentuk pipih dan lebar yang terbuat dari

tepung beras. Ngalaksa dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Suku baduy dari

wilayah Suku Baduy Dalam dan wilayah Suku Baduy Luar. Mereka berkumpul di

Kampung Cibeo yang menjadi pusat dari pelaksanaan Ngalaksa. Ibadah khusus

Ngalaksa merupakan waktu dimana seluruh masyarakat Suku Baduy berkumpul.

Laksa yang telah dibuat kemudian dibagikan secara menyeluruh tanpa terkecuali

meskipun ada yang masih bayi28

. Pelaksanaan Ngalaksa juga dimanfaatkan

sebagai kegiatan sensus bagi masyarakat Suku baduy, karena pada saat itu semua

dari mereka berkumpul di satu tempat dan satu waktu. Selain membuat laksa,

Ngalaksa juga dijadikan sebagai momen untuk “ngasah diri” dan tutup tahun di

dalam penanggalan adat masyarakat Suku Baduy

c. Seba

Ibadah khusus yang lain adalah Seba, yang dilaksanakan setelah Kawalu

dan Ngalaksa. Seba adalah ibadah khusus yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa

syukur atas hasil panen yang diterima selama satu tahun. Bentuk pelaksanaan

Seba adalah dengan mengunjungi pemerintah daerah untuk bersilaturahmi dan

juga berkoordinasi. Di dalam Seba masyarakat Suku Baduy pergi dengan

rombongan besar untuk bersilaturahmi dengan membawa berbagai macam hasil

bumi yang berasal dari tanah mereka. Masyarakat Suku Baduy menganggap Seba

sebagai sebuah hari raya besar yang dilakukan setelah melaksanakan dua ibadah

khusus lainnya, yaitu Kawalu dan Ngalaksa. Pemerintah daerah yang menjadi

28

Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2012. h.42

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

47

tujuan dari masyarakat Suku baduy untuk bersilaturahmi adalah pemerintah

Provinsi banten, kegiatan itu dimanfaatkan oleh mereka sebagai sarana untuk

berkoordinasi dan melaporkan situasi serta perkembangan dari wilayah adat Suku

Baduy.

Selain ibadah umum dan ibadah khusus bagi masyarakat Suku Baduy, ada

beberapa kegiatan juga yang diatur dan ditentukan berdasarkan ketentuan Sunda

Wiwitan, antara lain:

a. Khitan

Khitan atau sunat adalah momen yang dipercaya merupakan sebuah proses

yang harus dilalui oleh setiap anak laki-laki dari masyarakat Suku Baduy.

Menurut mereka Khitan adalah sesuatu yang wajib hukumnya bagi setiap anak

laki-laki. Biasanya khitan dilakukan ketika seorang anak masih berumur sepuluh

tahun ke bawah. Yang khas Baduy dari Khitan acara ini adalah dibangunnya

tempat khusus yaitu saung papajangan atau saung pesajen di halaman kampung,

ukurannya sekitar 4 meter x 4 meter dengan tinggi lantai saung sekitar 1,5 meter,

yang merupakan simbol dari harapan tinggi bagi anak-anak agar kelak hidupnya

mulia dan sejahtera29

.

b. Pemakaman

Berdasarkan ajaran Sunda Wiwitan, masyarakat Suku Baduy memiliki tiga

tahapan di dalam mengurus anggota kelompoknya yang telah meninggal dunia.

Tahap pertama adalah memandikan, yang kemudian dilanjutkan dengan

mengkafani, dan diakhiri dengan memakamkan jenazah ke liang kubur. Ketika

anggota kelompoknya ada yang meninggal dunia maka tugas pertama dari

anggota kelompok yang masih hidup adalah memandikan jenazah hingga bersih,

setelah dimandikan jenazah langsung dikafani dengan sehelai kain putih untuk

laki-laki ataupun perempuan, setelah selesai dimandikan dan dikafani maka

jenazah langsung dibawa ke liang kubur yang telah disiapkan. Tidak ada tempat

29

Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2012. h. 44

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

48

khusus yang menjadi pusat pemakaman bagi masyarakat Suku Baduy, liang kubur

disiapkan di lahan yang memang kebetulan sedang kosong. Hal tersebut dilakukan

karena tanah yang dijadikan kuburan, di waktu yang akan datang juga akan

dimanfaatkan sebagai lahan berladang bagi keturunan-keturunan berikutnya.

Jenazah diletakkan dengan posisi kepala menghadap ke arah barat, dan posisi

badan menghadap ke arah selatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

bahwa arah selatan adalah arah yang dijadikan kiblat/patokan bagi masyarakat

Suku Baduy, karena di Selatan lah letak dari hutan larangan yang di dalamnya

terdapat Sasaka Domas, tepat yang sangat disucikan. Setelah selesai mengurus

jenazah mulai dari memandikan hingga menguburkan, maka pihak keluarga yang

ditinggalkan membuat acara tahlilan yang diadakan pada hari kematian, hari

ketiga setelah kematian, dan hari ketujuh setelah kematian. Setelah tahlilan hari

ketujuh selesai dilaksanakan, maka pihak keluarga tidak boleh lagi melakukan

segala sesuatu yang berhubungan dengan almarhum, semisal mengunjungi

makamnya untuk berziarah.

Secara singkat ajaran ini berisi tentang pendidikan yang memberi aturan

dan tuntunan moral kepada penganutnya. Lalu, tentang bagaimana mereka dapat

tumbuh menjadi resi (bijaksana atau suci) dengan menempatkan wujud yang

bersemayam dalam Buana Nyungcung. Yang mereka sebut dengan istilah Sang

Hyang (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Maha Menghendaki),

Batara Jagad (Penguasa Alam) dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib). Dan

bagaimana mereka melaksanakan hidup secara simetri dengan sesama manusia.30

Hubungan simetri dengan sesama manusia menimbulkan aturan-aturan

yang harus di sepakati oleh semua warga masyarakat. Selain itu, ukuran baik dan

buruk pun muncul berdasarkan penilaian terhadap pelaksanaan aturan-aturan tadi.

Oleh karena itu, antara aturan dengan ukuran saling berkaitan. Dalam Sanghyang

Siksakandang Karesian di jelaskan bahwa masyarakat Sunda telah mampu

menunjukkan dua kelompok manusia yang berlainan, yaitu kelompok orang yang

30

https;//www.lyceum.id/sunda-wiwitan-dan-puncak-ketuhanan. (diakses pada tanggal 7

desember 2018)

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

49

berbuat baik, dan kelompok orang yang berbuat jahat sebagai mana tampak dalam

teks berikut31

: Sifat-sifat manusia yang tidak terpuji menurut anggapan

masyarakat Sunda ialah sifat iri, dengki, dan culas, sebagaimana tercermin dalam

teks berikut: mulah hiri mulah dengki deung deungeun sakahuluan. Maka nguni

nyeueung nu meunang pudyan, meunang parekan, nyeueung nu dineneh ku

tohaan, teka dek nyetnyot tineung urang. Haywa,

31

Elis Suryani, Ragam Pesona Budaya Sunda. (Bandung: Ghalia Indonesia,2010).

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

50

BAB IV

PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN DI KTP PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KASUS ALIRAN KEPERCAYAAN

SUNDA WIWITAN DI DESA KANEKES, KECAMATAN LEUWIDAMAR,

KABUPATEN LEBAK, BANTEN)

A. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pencantuman Aliran

Kepercayaan di KTP

Permasalahan pengisian kolom agama atau kepercayaan bagi

penghayat kepercayaan, menjadi faktor yang mendorong masyarakat adat

mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Administrasi

Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016, persis disaat

Undang-Undang Administrasi Kependudukan baru berusia 3 (tiga) tahun

setelah dilakukan perubahan. Masyarakat adat mempermasalahkan ketentuan

Pasal 61 ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang

Administrasi Kependudukan terkait pencantuman kolom kepercayaan dalam

dokumen kependudukan berupa KTP-el. Judicial review yang diajukan oleh

masyarakat adat tersebut telah membawa angin segar bagi masyarakat adat,

dan sekaligus mengakibatkan terjadinya perubahan yang cukup siginifikan

dalam perkembangan hukum. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

ditentukan, bahwa:

Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang

Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan AtasUndangUndang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

51

mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak

termasuk “kepercayaan”.1

Selanjutnya dalam poin ke dua Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

menentukan, bahwa:

Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana

yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor

232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

B. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pencantuman

Aliran Kepercayaan di KTP

Salah satu prinsip negara hukum adalah terwujudnya independensi

kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu

kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting guna menegakkan

keadilan dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan

kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945.2 Dalam

memeriksa, mengadili dan memutus sebuah perkara Mahkamah Konstitusi

harus mempertimbangkan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, dengan

maksud bahwa perkara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi mempunyai

kekuatan hukum dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Unsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan

pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana

1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 154

2 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang-

undang Tentang Mahkamah Konstitusi, 2016,

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

52

kebatinan sertah falsafah Bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila

dan Pembukaan UUD NRI 1945.3

Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan

sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan

masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.4

Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk

mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan

dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan

substansi atau materi yang diatur sehingga perlu berkaitan dengan substansi

atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-

undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu antara lain, peraturan

yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,

jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya

berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau

peraturannya memang sama sekali belum ada.5 Ketiga unsur tersebut akan

penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Unsur Filosofis

Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia menjadikan Ketuhanan

sebagai norma yang fundamental dari empat norma yang lain. Ketuhanan

yang Maha Esa selain menjadi norma rohani yang diyakini oleh masyarakat,

juga menjadi nilai moral yang dipahami mengandung norma baik buruk,

3 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

4 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan. 5 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

53

salah benar sebagai tuntunan moral masyarakat. Tidak hanya itu, sila pertama

Pancasila tersebut mengandung ajaran toleransi antarumat beragama. Artinya

sila “Ketuhanan Pancasila” mendukung hak asasi manusia, yang didalamnya

terdapat penghormatan terhadap hak untuk beragama. Oleh karena itu jika

manusia meyakini kedaulatan Tuhan, maka setiap manusia yang menganut

suatu agama juga harus memahami bahwa persoalan keimanan manusia

adalah hak prerogatif dari Tuhan yang tidak boleh dibatasi maupun dilarang.6

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila

dan UUD NRI 1945 pada hakekatnya berkewajiban memberikan

perlindungan dan pengakuan atas status hukum atas Peristiwa Kependudukan

maupun Peristiwa Penting yang dialami Penduduk. Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 yang merupakan penjabaran amanat Pasal 26 ayat (3) UUD

NRI 1945 bertujuan untuk mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan

dengan terbangunnya database kependudukan secara nasional serta keabsahan

dan kebenaran atas dokumen kependudukan yang diterbitkan dan peraturan

perundang-undangan yang lainnya. Dalam perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016

tentang pengujian UU Administrasi Kependudukan terhadap UUD NRI 1945

bahwa dalam memutus perkara tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan

beberapa pertimbangan, yaitu.

Kebebasan untuk memilih agama maupun meyakini sebuah

kepercayaan adalah hak setiap individu yang ada dan melekat dalam diri

manusia sejak mereka dilahirkan. Kebebasan berkehendak yang paling sakral

adalah kebebasan untuk memilih agama dan keyakinannya. Oleh karena itu

sebagai sebuah hak yang sangat suci, Memilih suatu agama dan keyakinan

merupakan hubungan transendental antara manusia dengan penciptanya.

Beragama berkaitan erat dengan bagaimana seseorang berkehendak bebas

untuk menentukan keyakinannya dan tidak jarang pula menjurus kepada

sikap yang fanatik. Fanatisme adalah sebuah sikap melahirkan sikap intoleran

terhadap pemeluk agama yang berbeda dengan yang dianut oleh suatu

6 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 86

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

54

kelompok. Tindakan intoleransi seperti menebar kebencian (hate speech) dan

mendorong terjadinya kekerasan (condoning) merupakan modal buruk bagi

penguatan demokrasi dan hak asasi manusia. Sila Pertama memberikan ruang

kepada pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda untuk hidup

berdampingan secara damai dalam kehidupan yang beragam latar belakang

kebudayaan. Secara filsafati, sila pertama ini melandasi semangat kebangsaan

yang menghormati keberagaman agama, keyakinan dan budaya dalam

bingkai Bhineka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu

jua. Citacita dari sila pertama adalah semangat keberagaman yang dilandasi

penghormatan tertinggi atas kemerdekaan memilih satu agama dan

kepercayaan tertentu.

Yang menjadi masalah adalah tentang klasifikasi agama yang diakui

dan agama yang belum diakui. Agama yang berstatus sebagai agama

kepercayaan atau dikenal dengan agama penghayat tidak mendapat perlakuan

yang sama dalam rangka pencantuman dalam kolom agama pada KTP. Hal

ini bertentangan dengan PNPS Nomor 1 Tahun 1965 yang menjelaskan

bahwa negara mengakui agama dan kepercayaan lain selain agama resmi dan

memiliki hak yang sama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2)

UUD 1945. 7

Meskipun agama kepercayaan tetap dicatat dalam data kependudukan,

disisi lain konsekuensi kolom yang tidak diisi sebenarnya juga

mengindikasikan negara melakukan diskriminasi dalam regulasi. Yang

pertama, negara melakukan tindakan diskriminatif terhadap agama dengan

mengisi kolom agama bagi agama-agama resmi dan mengkosongkan kolom

agama pada agama kepercayaan. Ketika negara menegaskan tidak melarang

adanya agama atau kepercayaan, maka negara harus memastikan aksebilitas

bagi pemeluknya. Hak warga negara atas pengakuan sebagai penduduk mulai

dari identitas seperti KK, KTP, Akta Nikah, Akta lahir harus diberikan dan

dijamin kepastian hukum terhadap pelaksanaannya. Tidak hanya lalu

7 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 90

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

55

memberikan, namun juga harus melakukan pengawasan dan jaminan

perlindungan hukum bagi penganut kepercayaan diluar pemeluk agama resmi

yang diakui negara. Sering kali warga negara yang kolom agama dalam

KTPnya dikosongi atau bertanda strip, mendapat tuduhan sebagai komunis,

atheis dan beraliran sesat dan berimbas pada isu-isu agama yang bernuansa

SARA. hal ini sangat tidak sejalan dengan nafas kebangsaan yang berarah

pada nilai luhur Pancasila, bahwa penghormatan terhadap kebebasan

beragama sangat dijunjung tinggi sebagai pengamalan sila pertama yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa.8

Kompleksitas agama-agama minoritas yang tidak masuk dalam

kategori agama resmi di Indonesia mengindikasikan bahwa meskipun

Indonesia tidak mengenal konsep negara teokrasi dimana sumber hukum

tertinggi berasal dari suatu ajaran agama tertentu, namun didalam praktik

kenegaraan pengaruh agama tidak bisa dihindarkan dari praktik hukum dan

kebijakan pemerintah. Indonesia adalah negara Pancasila dimana semua

hukum positif harus senafas dengan lima sila yang terkandung didalamnya.

Namun nilai-nilai yang terkandung di Pancasila juga tidak bisa dilepaskan

dari diskursus agama didalam sejarah Indonesia. Artinya konsep

perlindungan hak-hak dasar agama minoritas juga tidak bisa dilepaskan dari

sila pertama Pancasila karena Indonesia adalah negara yang Berketuhanan

Yang Maha Esa atau Tuhan Theistik yang sekuler. Saya sebut sebagai

“Theistik-Sekuler” karena Pancasila tidak menyebut salah satu nama Tuhan

dalam agama-agama. Siapa saja yang percaya kepada ke-Esaan Tuhan harus

mendapat hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya. Perbedaan

keyakinan atau cara memahami wahyu Tuhan seharusnya tidak bisa dijadikan

dasar hukum bagi negara dan masyarakat untuk mendiskriminasi suatu

kelompok agama tertentu. Pada kenyataannya, hingga kini masih banyak

kelompok-kelompok keagamaan yang mendapatkan perlakuan diskriminatif

8 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 92

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

56

dan bahkan jumlahnya semakin banyak pasca runtuhnya Era Orde Baru di

tahun 1998.

Membaca fenomena hak beragama bagi kelompok agama minoritas

berdasarkan perspektif Pancasila menjadi penting karena Pancasila adalah

sumber hukum tertinggi dalam hirarkhi hukum nasional di Indonesia. Selain

itu, Pancasila juga sudah ditetapkan oleh para pendiri bangsa sebagai falsafah

negara sehingga sila-sila yang terkandung didalamnya harus menjadi sumber

inspirasi pengembangan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Oleh

karena itu, menguraikan persoalan agama minoritas tidak bisa akurat tanpa

mengetahui doktrin Pancasila. Namun karena sila yang terkandung di

Pancasila sangat umum, seringkali Pancasila dipahami secara bebas di era

demokrasi sekarang ini. Oleh karena itu, penegakan prinsip-prinsip agama

dan keyakinan monotheisme Pancasila untuk melindungi kelompok-

kelompok agama minoritas sering berbenturan dengan pengaruh orthodoksi

agama.

Jika kita menggabungkan dua prinsip Pancasila, yakni prinsip

humanisme dan monotheisme, keduanya merupakan prinsip yang saling

melengkapi karena keduanya menegaskan bahwa semua agama harus

dilindungi. Pancasila, meskipun berasal dari terminologi Sanskrit Jawa,

merupakan perwujudan Islam dan agama-agama monotheisme lainnya di

Indonesia. Konsep ideologi yang religius ini dimaksudkan oleh para pencipta

Pancasila untuk mengakomodir dan melindungi pluralisme agama di

Indonesia sehingga sudah seharusnya Pancasila mampu menjaga dan

menginspirasi semua aspek pembangunan agama-agama di Indonesia.

Proposisi ini ingin menegaskan bahwa semua agama dan sekte-sekte didalam

agama punya hak yang sama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.9

KTP merupakan hak yang harus diberikan oleh negara, karena akan

memperkuat eksistensi negara dan menjamin pemberian hak kepada

9 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 94

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

57

warganegaranya. Warga negara yang tidak memiliki identitas sama dengan

warga yang tidak diakui sebagai warga negara Indonesia. Para penganut

agama/kepercayaan selain keenam agama resmi di Indonesia sering

menghadapi perlakuan yang diskriminatif sehingga praktik tersebut harus

dimaknai sebagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar dari warga negara.

Diskriminasi terhadap pencantuman kepercayaan dalam kolom agama

menyulitkan para penganut kepercayaan sebagai agama asli Indonesia untuk

mendapatkan akses yang selayaknya seperti jaminan kesehatan (BPJS),

pendidikan, ekonomi, politik dan hak untuk mempertahankan hidup dan

kehidupannya.10

Kesakralan hak beragama tidak hanya ditunjukan oleh Pancasila dan

UUD 1945 melainkan juga dilindungi oleh berbagai instrumen hak asasi

manusia. Kebebasan beragama dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak-hak

Asasi Manusia (DUHAM) pada Pasal 18 yang meliputi: memilih dan

berpindah agama, beribadah dan berdakwah baik secara pribadi maupun

kelompok. Pada Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal

29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan negara berdasar atas ketuhanan Yang

Maha Esa dan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan

kepercayaannya itu. Di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa perlindungan,

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi kewajiban

negara. Perkawinan sebagai hak dasar untuk memilih pasangan dan

regenerasi bagi kehidupan manusia adalah hak yang harus diberikan secara

utuh dengan segala konsekuensinya. Bahwasannya penduduk sebagai

penganut kepercayaan di luar enam agama resmi semestinya mendapat

kepastian hukum berkenaan dengan perbuatan hukumnya. Melakukan

perkawinan yang sah menurut undang-undang harus diikuti dengan

pemenuhan hak-hak sipil sebagai penduduk Indonesia yaitu pencatatan setiap

10

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 95

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

58

peristiwa penting, seperti yang tercantum dalam Pasal 8 huruf b Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi kependudukan.11

2. Unsur Yuridis

Salah satu pasal yang di uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi terkait

Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 adalah Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)

Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Pasal 64 ayat (1)

menyatakan bahwa:

“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan

peta wilayah Negara NKRI, memuat elemen data penduduk, yaitu

NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama,

status perkawinan, golongan darah, alamat, tanggal dikeluarkan

KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”

Ayat (5) menyatakan bahwa:

“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai

agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau

bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan

dicatat dalam database kependudukan.”

Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,

dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

2.1 Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Admiistrasi Kependudukan

bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan

dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena hak asasi manusia dan/atau

hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan KTP-el

potensial dihilangkan oleh ketentuan pasal-pasal dimaksud. Meskipun

dalam ketentuan a quo dinyatakan tetap dilayani

11

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 95

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

59

2.2 Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU

Administrasi Kependudukan bertentangan dengan kepastian hukum

dan perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945 karena antara norma yang satu dengan yang lain

dinilai saling bertentangan dan melahirkan penafsiran yang berbeda.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, bagi masyarakat penganut

kepercayaan/penghayat atau bagi penganut agama yang belum diakui

sebagai agama, kolom agama dikosongkan, sementara sesuai Pasal 58

ayat (2) UU Administrasi Kependudukan “agama/kepercayaan” adalah

bagian dari data perseorangan yang harus dicatat dalam database

kependudukan. Pada saat yang sama pasal-pasal tersebut juga

menyebabkan terdapatnya perbedaan dalam hal pengurusan KK dan

KTP-el antara penghayat kepercayaan dengan warga negara lainnya.

Di mana pengurusan KK dan KTP-el antara penghayat kepercayaan

dengan warga negara pada umumnya terdapat perlakuan yang berbeda.

2.3 Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU

Administrasi Kependudukan melanggar jaminan kesamaan warga

negara di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1)

UUD 1945 karena adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan

hukum antar warga negara, yaitu antara warga negara

penganut/penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama

yang diakui menurut peraturan perundang- undangan dalam mengakses

pelayanan publik. Perlakuan diskriminasi yang dimaksud telah

menimbulkan pertentangan dengan asas persamaan warga negara di

hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD

1945.12

2.4 Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU

Administrasi Kependudukan melanggar hak warga negara untuk tidak

diperlakukan secara diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 28I

12

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 135

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

60

ayat (2) UUD 1945 karena pasal-pasal a quo merupakan ketentuan

yang diskriminatif terhadap para penghayat kepercayaan atau bagi

penganut agama yang belum diakui oleh negara. Dengan tidak diisinya

kolom agama bagi para penghayat kepercayaan, maka hal demikian itu

merupakan pengecualian yang didasarkan pada pembedaan atas dasar

agama atau keyakinan yang mengakibatkan pengurangan,

penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau

penggunaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan dasar dalam

kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,

ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.13

Berdasarkan argumentasi ahli di bidang Hukum Administrasi Negara

menyimpulkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2006

dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Nomor. 24 Tahun 2013 bertentangan

dengan prinsip perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia (protectional principle), prinsip persatuan dan

kesatuan, prinsip negara hukum yang demokratis, prinsip kesamaan hak

warga negara, dan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana

dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan menjadi landasan perumusan

norma-norma konstitusional dalam UUD 1945.

Dengan paparan di atas, Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat

(1) dan ayat (5) UU Adminduk memang bertentangan dengan UUD 1945,

khususnya Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan negara Indonesia adalah negara

hukum. Pertentangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini

memiliki konsekuensi logis pada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan

lain, sebagaimana juga telah disampaikan oleh para pemohon, yaitu Pasal

28D ayat (1) tentang hak setiap orang atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum; Pasal 27 ayat (1) tentang kesamaan kedudukan segala

warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban mereka

13

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 136

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

61

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; serta

Pasal 28I ayat (2) tentang hak setiap orang untuk bebas atas perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

3. Unsur Sosiologis14

Secara sosiologis, ketidak sinkronan sikap para penyelenggara

administrasi negara dalam melayani masyarakat dengan cara mengosongkan

kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP-el), telah

memberi dampak yang sudah diungkapkan oleh para pemohon. Beberapa di

antara mereka mengungkapkan kesulitan yang dialami tatkala mereka harus

mendapat pelayanan publik, seperti bekerja dan bersekolah. Ada instansi

yang khawatir menerima mereka untuk bekerja atau anak-anak mereka untuk

bersekolah ketika didapati kolom agama tidak diisi pada kartu keluarga dan

kartu tanda penduduk mereka. Kondisi seperti ini mengarahkan warga

masyarakat tersebut ke dalam kematian perdata (civiliter mortuus burgelijke

dood). Larangan tentang kematian perdata ditulis dalam Pasal 3 Kitab Hukum

Acara Perdata. Rumusan asli pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Geenerlei

straf heeft den burgerlijken dood of het verlies van alle burgerlijke

regten ten gevolge” (Tiada suatu penjatuhan hukuman yang dapat

mengakibatkan seseorang mati perdata atau kehilangan semua hak- hak

sipilnya). Tentu kita tidak ingin ada warga masyarakat kita, termasuk para

pemohon yang menjadi penghayat kepercayaan, sampai menerima

penghukuman berupa kematian perdata tersebut.15

Dengan demikian keberadaan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU

Administrasi Kependudukan yang mengosongkan kolom agama bagi

penghayat kepercayaan, telah merugikan Pemohon dan para penghayat

14

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 16-18.

15 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016, h, 37

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

62

kepercayaan. Karena dengan tidak diisinya kepercayaan di kolom agama

Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP elektronik), berimbas pada

pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak kependudukan yang seharusnya bisa

dinikmati pemohon, bahkan dengan tidak dicantumkannya agama

kepercayaan di dalam KTP elektronik Pemohon telah terjadi diskriminasi

yang dialami oleh pemohon dalam berbagai bentuk, seperti: kesulitan

mengakses pekerjaan, tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial,

kesulitan mengakses dokumen kependudukan seperti KTP elektronik, Kartu

Keluarga (KK), Akte Nikah, dan akte kelahiran dan juga mendapat stigma

sesat dari masyarakat umum.

Keberadaan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) dan

ayat (5) UU Administrasi kependudukan yang memerintahkan agar penganut

kepercayaan atau bagi penganut agama yang belum diakui untuk

mengosongkan kolom agama di KK dan KTP elektronik merupakan bentuk

keengganan negara mengakui keberadaan para penganut kepercayaan serta

penganut agama lain yang bukan mayoritas di Indonesia. Ketidakmauan

Negara untuk mengakui ini merupakan tindakan diskriminasi secara

langsung, yang dalam kasus ini setidaknya dialami oleh pemohon.

Pasal undang-undang a quo telah melanggar kepastian hukum, hal ini

karena dalam rumusannya mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Pasal

undang-undang a quo disebutkan bahwa KK memuat elemen keterangan

agama di dalamnya, begitu juga dengan KTP elektronik memuat elemen data

penduduk, termasuk agama si pemegang KTP elektronik. Namun, khusus

bagi penganut kepercayaan/ penghayat atau bagi penganut agama yang belum

diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kolom agama tersebut dikosongkan.

Pasal undang-undang a quo menunjukan adanya pertentangan satu

sama lainnya, karena terdapat perbedaan dalam hal pengurusan KK dan KTP

elektronik antara penghayat kepercayaan dan pemohon dengan warga negara

lainnya, sebab bagi penghayat kepercayaan, kolom agama dikosongkan,

meskipun dalam undang-undang a quo disebutkan tetapi tetap dilayani dan

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

63

dicatat di dalam database kependudukan. Hal ini menunjukan ketidakjelasan

dan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki warga negara pada umumnya,

kolom agama tidak dikosongkan.

Dengan demikian Pasal undang-undang a quo bertentangan dengan

asas hukum perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini adalah karena

pasal undang-undang a quo menunjukan tidak ada kesetaraan/kesamaan

dalam hukum bagi setiap warga negara dan menunjukan perlakuan yang

berbeda antara warga negara, yakni membedakan pengurusan KK dan KTP

elektronik antara penhayat kepercayaan dengan warga negara pada umumnya

dengan mengosongkan kolom agama bagi penghayat kepercayaan. Bahwa

dalam Pasal 58 ayat (2) huruf h UU Administrasi Kependudukan telah

disebutkan “agama/kepercayaan” adalah bagian dari data perseorangan yang

harus dicatat dalam database kependudukan. Akan tetapi data itu hanya

disimpan dalam sistem data perseorangan secara kualitatif dan kuantitatif

dalam data kependudukan, namun tidak dicantumkan secara ekplisit dalam

elemen data di fisik dokumen KK dan KTP elektronik, sehingga keberadaan

Pasal a quo yang memerintahkan dikosongkannya penhayat kepercayaan

tidak senada dan sesuai dengan Pasal 58 ayat (2) huruf f UU Administrasi

Kependudukan dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan

inkonsistensi pengaturan pengisian kolom agama/kepercayaan.

C. Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam KTP Masyarakat Penganut

Sunda Wiwitan Pasca Putusan MK

Ketiadaan pencantuman “penghayat kepercayaan” dalam isian kolom

agama pada KTP-el mengindikasikan negara melakukan tindakan

diskriminatif dalam regulasi. Negara melakukan tindakan diskriminatif

terhadap agama dengan mengisi kolom agama bagi agama-agama resmi dan

mengosongkan kolom agama pada agama kepercayaan. Ketika negara

menegaskan tidak melarang adanya agama atau kepercayaan, maka negara

harus memastikan aksebilitas bagi pemeluknya. Hak warga negara atas

pengakuan sebagai penduduk mulai dari identitas, seperti KK, KTP-el, Akta

Nikah, dan Akta Kelahiran harus diberikan dan dijamin kepastian hukum

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

64

terhadap pelaksanaannya. Tidak hanya memberikan, namun juga harus

melakukan pengawasan dan jaminan perlindungan hukum bagi penganut

kepercayaan di luar pemeluk agama resmi yang diakui negara. Akan tetapi,

dalam praktik, seringkali masyarakat yang kolom agama pada KTP-el-nya

dikosongi atau bertanda strip (-), mendapat tuduhan sebagai atheis, beraliran

sesat, bahkan dinilai sebagai masyarakat yang “kolot”. Hal ini sangat tidak

sejalan dengan prinsip dan nafas kebangsaan yang berarah pada nilai luhur

Pancasila, bahwa penghormatan terhadap kebebasan beragama sangat

dijunjung tinggi sebagai pengamalan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-

XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai

secara normatif teoretis dapat menjadi dasar yuridis bagi penghayat

kepercayaan untuk dihormati dan diakui dalam administrasi kependudukan

berupa pencantuman kepercayaan yang mereka anut dan yakini pada KTP-el,

termasuk bagi penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan. Namun demikian,

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016 tentang pengujian

terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan yang telah diputuskan oleh Mahakamah

Konstitusi tersebut, suatu putusan yang sebenarnya menjadi dasar hukum

bagi Masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang

pengujian Undang-Undang Administrasi Kependudukan terdapat landasan

hukum bagi Masyarakat penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan untuk

mengisi kolom agama kepercayaan Sunda Wiwitan pada KTp-el. Namun

untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sangat diperlukan

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

65

implementasi yang bersifat teknis. Implementasi pembuatan KTP-el tidaklah

berjalan tanpa adanya permasalahan. Berbagai macam permasalahan muncul

seiring dengan tuntutan masyarakat, sehingga mendorong dilakukannya

perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Permasalahan pengaturan KTP-el ternyata tidak sampai

disitu saja. Keberadaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang

baru ternyata dinilai masih belum bisa mengakomodir aspirasi masyarakat

penganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang masih mempertahankan adat

istiadat dengan kepercayaan leluhur yang mereka anut secara turun temurun

dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak diakomodirkannya

kepercayaan yang dikenal di tengah-tengah masyarakat adat, dinilai sebagai

suatu bentuk pengaturan yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip

dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 dan Pancasila sebagai dasar

konstitusi negara

Sekalipun konstitusi telah mengatur tentang kebebasannya dalam

meyakini kepercayaan, namun pada kenyataannya masyarakat hukum adat

Baduy merasakan adanya diskriminasi terkait kepercayaannya tersebut

sehingga masyarakat hukum adat Baduy kesulitan dalam memperoleh hak-

hak sipilnya. Diketahui sejak 2011, KTP Lokal telah diubah menjadi KTP-el

dan diatur secara pusat, sejak saat itulah KTP Lokal yang masih menyebutkan

“agama: Sunda Wiwitan” diubah menjadi KTP-el yang tidak lagi

menyebutkan kepercayaan masyarakat hukum adat Baduy, sehingga kolom

agama pada KTP masyarakat hukum adat Baduy hanya di strip (-) saja.16

Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas

16

Sarpin, Perangkat Desa Kepala Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes, Kecamatan

Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23 April 2019.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

66

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,

Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut Kementerian Dalam Negeri

mengeluarkan aplikasi SIAK yang terbaru yaitu Aplikasi SIAK nomor 7.3

yang juga mengakomodir khusus untuk aliran kepercayaan.

Setelah adanya aplikasi SIAK 7.3, masyarakat hukum adat Baduy

tetap merasakan adanya diskriminasi karena pengaturan dalam SIAK 7.3

yaitu diubahnya kolom agama dalam KTP dari yang sebelumnya “agama: -“

menjadi “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Hal

ini yang kemudian ditindaklanjuti oleh para penghayat aliran kepercayaan,

termasuk masyarakat Baduy penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka

menuntut agar tidak diperlakukan secara diskriminasi oleh aturan terbaru dari

Kementerian Dalam Negeri yang mana harapan masyarakat Baduy adalah

aturan yang menyamakan hak-hak antara penganut aliran kepercayaan dan

penganut agama setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016.

Masyarakat hukum adat Baduy menginginkan adanya perubahan frasa

pada KTP dari yang sebelumnya “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap

Tuhan Yang Maha Esa” menjadi “Agama: Sunda Wiwitan”. Alasan mengapa

masyarakat hukum adat Baduy menginginkan perubahan tersebut yaitu

karena 6 (enam) agama yang diatur oleh Negara secara resmi menggunakan

frasa “Agama” sebelum titik dua (:), sehingga masyarakat hukum adat Baduy

yang menginginkan adanya persamaan hak juga menuntut agar kepercayaan

yang mereka anut menggunakan frasa “Agama” sama halnya dengan 6

(enam) agama resmi.

Namun, hal tersebut akan sangat sulit diwujudkan, sekalipun dapat

terwujud akan melewati proses yang sangat rumit mengingat ada sekitar 187

jumlah aliran kepercayaan di Indonesia yang artinya ada 187 aliran

kepercayaan yang akan ditulis pada kolom isian KTP, sehingga bagaimana

mungkin Negara mengatur secara merinci dalam suatu peraturan terkait setiap

aliran kepercayaan di Indonesia, dan pengaturan terhadap setiap aliran

kepercayaan tersebut sifatnya adalah wajib untuk menghindari aliran

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

67

kepercayaan yang perkembangannya bertentangan atau tidak selaras dengan

landasan falsafah Negara.

Disini Administrasi kependudukan sebagai suatu sistem pelaksana

bagi penduduk diharapkan dapat memberikan pemenuhan atas hak-hak

administratif penduduk dalam pelayanan publik serta memberikan

perlindungan yang berkenaan dengan penerbitan Dokumen Kependudukan

tanpa ada perlakuan yang diskriminatif melalui peran aktif Pemerintah dan

Pemerintah Daerah. Berdasarkan SIAK (Sistem Informasi Administrasi

Kependudukan)17

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Lebak dalam

Implementasi keputusan MK Nomor: 97/PUU-XIV/2016 tentang

pencantuman penghayat kepercayaan dalam Kolom KTP-el secara teknis

sudah terlaksana dengan diberlakukanya software Sistem Informasi

Administrasi Kependudukan (SIAK) terbaru versi 7.3. yang ditingkatkan dari

versi 7.0. dimana aplikasi tersebut mengatur tentang kolom golongan darah,

status perkawinan, tanggal perkawinan kemudian penambahan kolom

kepercayaan.

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebak

menjelaskan bahwa yang tertulis di KTP-el masyaraat Baduy setelah putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang di implementasikan

dalam aplikasi SIAK 7.3 adalah “Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan

Yang Maha Esa” namun itu hanyalah tulisan fisik di KTP-el karena dalam

database yang sudah terekam di NIK KTP-el masyarakat adat Baduy sudah

tertulis bahwa aliran kepercayaan mereka adalah Sunda Wiwitan. Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga sudah menjelaskan kepada

perangkat desa adat Baduy bahwa pihak dukcapil hanya melaksanakan

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/2016 yang sudah diatur dalam

peraturan Kementrian Dalam Negri Republik Indonesia tentang blangko kartu

keluarga, register dan kutipan akta pencatatan sipil.

17

Naji, Kepala Seksi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), Dinas

Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 24 April 2019.

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

68

Pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga berpendapat

bahwa jika semua aliran kepercayaan di tulis secara fisik di KTP-el terlalu

beresiko. Dikarnakan terlalu banyaknya aliran kepercayaan di indonesia yang

terdaftar maupun tidak. sehingga terlalu beresiko penyalahgunaan KTP-el. 18

Sejauh ini dalam tataran implementasi atau pelaksanaan putusan Mahkamah

Konstitusi oleh Administrasi Kependudukan telah terlaksana dengan

sebagaimana mestinya.

Namun timbulnya permasalahan justru pada masyarakat sendiri

dimana kebanyakan dari masyarakat hukum adat Baduy tidak terlalu

mementingkan dokumen-dokumen kenegaraan. Dan Puun(pemimpin

masyarakat adat Baduy) melarang adanya perekaman KTP-el. mereka

merasakan adanya diskriminasi semenjak diberlakukanya KTP-el

dikarenakan kolom agama pada masyarakat adat Baduy yang sebelumnya

“Agama : Sunda Wiwitan” telah berganti menjadi Agama: (-) strip saja.

Sehingga implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/2016

menjadi terhambat dan tetap terjadi penolakan oleh masyarakat Baduy.

Perangkat desa Masyarakat Baduy yang peduli dan paham terhadap

hak-hak kenegaraan mereka tetap menuntut perubahan frasa kata di kolom

agama KTP-el masyarakat adat Baduy seperti saat KTP lokal berlaku yaitu

“Agama: Sunda Wiwitan” bukan kepercayaan. Perangkat desa adat Baduy

berpendapat bahwa agama sunda wiwitan ini adalah warisan dari leluhur

mereka bahkan agama sunda wiwitan sudah ada sejak dulu sebelum adanya

organisasi penghayat kepercayaan sehingga sangat diskriminatif jika (6) enam

agama yang diakui negara Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu

di tulis dengan jelas sedangkan agama Sunda Wiwitan hanya ditulis

penghayat kepercayaan. Perangkat desa adat Baduy merasa kolom agama di

KTP-el yang menyebutkan “Kepercayaan: Kepercayaan terhadap tuhan yang

18

Naji, Kepala Seksi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), Dinas

Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 24 April 2019.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

69

maha esa” terlalu universal sehingga semua aliran kepercayaan di indonesia

di anggap sama.19

Sehingga sampai saat penelitian ini dilakukan (awal tahun 2019),

Masyarakat Penganut Aliran Kepercayaan Sunda Wiwitan tidak mengisi

kolom agama dengan isian “penghayat kepercayaan”. dan mereka juga tidak

memilih salah satu agama resmi, dalam kolom isian agama pada dokumen

kependudukan berupa KTP-el terpaksa harus dikosongkan ataupun diisi

dengan tanda strip (-). Dikarnakan Puun (tetua Masyarakat Penganut

Kepercayaan Sunda Wiwitan) memang melarang adanya perekaman

semenjak diberlakukanya KTP-el.

19

Jaro Saija, Kepala desa Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,

Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23 April 2019.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan dan analisis pada penelitian ini, maka penulis

merumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara Nomor 97/PUU-

XIV/2016 mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan

Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk

“kepercayaan”; dan Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

Dalam memutus perkara Mahkamah Konstitusi melakukan

pertimbangan. Dalam pertimbangan ini Hakim Mahkamah Konstitusi

menekankan pada pemahaman bahwa agama atau kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional

rights) warga negara, bukan pemberian negara. Negara hadir atau dibentuk

justru untuk melindungi (yang didalamnya juga berarti menghormati dan

menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut. Amanat ini tersebut sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD NKRI 1945 yang menyatakan,

“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Kemudian, apabila

norma-norma hukum dasar (konstitusi) tentang agama dan kepercayaan

dihubungkan, maka terdapat dua poin penting yang dapat dipahami.

Pertama, Pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD NKRI 1945 merupakan bagian

dari Bab XA yang terkait dengan Hak Asasi Manusia, sedangkan Pasal 29

merupakan isi dari Bab XI terkait dengan Agama dan sebagai warna

negara Indonesia, pemohon telah mengalami perlakuan diskriminasi

dalam mendapatkan hak-haknya, diantaranya adalah mendapat tindakan

diskriminasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masyarakat dalam

mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, seperti tidak dapat

mengakses hak atas jaminan sosial, kesulitan mengakses dokumen

kependudukan, perkawinan tidak bisa dicatatkan dalam dokumen negara,

dan dipaksa memilih salah satu dari 6 (enam) agama yang diakui oleh

pemerintah.

2. Belum diimplementasikannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Administrasi

Kependudukan terhadap pencantuman Penghayat Kepercayaan Sunda

Wiwitan di Desa Kanekes Banten. Masyarakat Baduy penganut

Kepercayaan Sunda Wiwitan yang merupakan bagian yang tidak

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

terpisahkan dari Indigenous Peoples tidak dapat mengisi kepercayaan

yang mereka yakini dan terima secara turun temurun dari leluhurnya di

dalam dokumen kependudukan, baik berupa KK maupun KTP-el. Oleh

sebab itu, dalam pembuatan KK dan KTP-el, Orang Lom dihadapkan

dengan situasi pilihan yang tidak diinginkan, memilih salah satu agama

resmi, atau mengosongkan dengan diberi tanda strip (-). Kemudian

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016,

pencantuman penghayat kepercayaan bagi Masyarakat penganut

Kepercayaan Sunda Wiwitan terlihat menemui titik terang, karena melalui

aplikasi SIAK 7.3 perekaman KTP-el telah dimunculkan pilihan

“Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” dalam kolom isian

agama. Namun demikian, permasalahan lain yang muncul adalah

legalisasi dari Puun sebagai pemimpin atau kepala suku Masyarakat

Baduy Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan yang menolak perekaman

KTP-el karena merasakan adanya diskriminasi dengan (6) enam agama

yang diakui negara memiliki pilihan agamanya dalam KTP-el, sedangkan

tidak ada pilihan Kepercayaan Sunda Wiwitan dalam KTP-el. Hal ini

menjadi persoalan yang lebih mendalam lagi karena setelah putusan

Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016 diskriminasi bagi

Masyarakat Penganut Kepercayaan masih sangat terasa.

B. Saran-saran

1. Diharapkan pemerintah melakukan langkah-langkah konkret untuk

mengimplementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-

XIV/2016 tentang Pengujian UndangUndang Administrasi Kependudukan

terhadap Masyarakat hukum adat Baduy Sunda wiwitan dalam bentuk

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

pengakuan kepercayaan yang dianutnya, tidak hanya pada tataran normatif

saja tetapi juga pada tataran implementasi.

2. Bagi pemerintah, agar lebih menerapkan dan konsisten untuk melindungi

kebebasan dan menghapus diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat

penghayat kepercayaan, karena pada dasarnya hadirnya negara yaitu untuk

melindungi, menjamin, dan menghormati hak-hak warga negaranya sesuai

dengan cita-cita Negara yang ada pada amanat Pancasila dan UUD 1945.

3. Bahwa Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang menguji

suatu undang-undang terhadap UUD NKRI 1945, maka dituntut untuk

lebih mendalam dan jelas dalam mengeluarkan putusannya, karena

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and bulding dan tidak ada

upaya hukum lagi terhadap putusannya.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

86

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi

Berbasis Al-Quran, Depok Kata Kita, 2009.

Agus Miswanto, S.AG., MA Seri Studi Islam Agama, Keyakinan, dan Etika

(seri Studi Islam), Muhamadiyah, 2012.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya

Sastra. (Yogyakarta 2006).

Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

Indonesia, Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta 2012.

Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara, 2010.

Consuele G Sevilla, Pengantar Metedelogi Penelitian, Jakarta, UI Pres, 1993.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,

Jakarta, 2008.

Djoko Mudji Rahardjo, Urang Kenakes di Banten Kidul, Proyek Pemanfaatan

dan Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan : Jakarta, 2002.

Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta:

Pustaka Jaya 1995.

Elis Suryani, Ragam Pesona Budaya Sunda. (Bandung: Ghalia

Indonesia,2010)

Erwinantu. Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Baduy Inspiratif. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Feri Prihantoro, Kehidupan Berkelanjuta Masyarakat Baduy , dalam Jurnal

Asia Good ESD Practice Project, BINTARI (Bina Karta Lestari)

Foundation, 2006.

Garna, Judistira. Orang Baduy. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia 1987.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

87

Hamonangan Albariansyah, Eksistensi Komunitas Penghayat di

Persimpangan : Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Sebagai Warga

Negara Jurnal hukum unsri, vol 24, No 2 Mei 2017.

http://m.voaislam.com/news/citizensjurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap

asalusul sunda wiwitan (di akses pada tanggal 05 desember 2018 ).

https;//www.lyceum.id/sunda-wiwitan-dan-puncak-ketuhanan. (diakses pada

tanggal 7 desember 2018).

Ira Indrawarna,berketuhanan dalam perspektif kepercayaan sunda wiwitan,

dalam jurnal Melintas, 2014.

Jaro Saija, Kepala desa Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes, Kecamatan

Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23 April 2019.

Kamil Kartapradja, Aliran kebatinan dan kepercayaan di Indonesia, Jakarta,

Yayasan Masagung, cet 3, 1990.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan

Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi, 2016.

Kosoemadinata, R.P. (2006) ‘Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda’, dalam

Rosidi, Ajip dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Budaya

Sunda (KIBS) 2006. Jilid 1.

Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga

Negara oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi , Volume 7

Nomor 3, Jakarta, Juni 2010.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 97/PUU-XIV/2016

Moh. Soehadha, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi, serta

implikasinya terhadap peminggiran sistem religi lokal dan konflik

antar agama, Jurnal Esensia, tahun 2004.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

88

Naji, Kepala Seksi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan),

Dinas Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 24 April

2019.

Nasional.kompas.com/read/2017/11/13/18151261/maruf-amin-putusan-mk-

final-danmengikat-tetapi-implikasinya-besar-sekali, Ma'ruf Amin:

Putusan MK Final dan Mengikat, tetapi Implikasinya Besar Sekali

(diakses pada tanggal 13 April 2018).

Permana, R. Cecep Ek. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama

Widya Sastra 2006.

Permana, R. Cecep Eka. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama

Widya Sastra . 2006.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum, Jakarta, Kencana, Cetakan

Kelima, Edisi Pertama, 2009.

Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Harapa dan

Yayasan Cipta Loka Caraka, cet-2, 1981.

Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama,

Jakarta: Majalah Spektrum, No 3, 1973.

Richadiana, ‘Situs (Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda

di dalam Tatanan Tradisi Megalitik 2006. Jilid 1. Bandung: Yayasan

Kebudayaan Rancage.

Rosmana, Tjetjep dkk. Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa

Barat. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen

kebudayaan dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional 1993.

Sam, A. Suhandi. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986.

Sarpin, Perangkat Desa Kepala Seksi Pemerintahan, Desa Kanekes,

Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Wawancara, 23

April 2019.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

89

Soerjono Soekanto Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Jakarta, Bina

Aksara, 1988.

Soimin Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2013.

Spradley, James P. Metode Etnografi. Terjemahan. (Edisi ke-2). Yogyakarta:

Tiara Wacana 2006.

Sri Soemantri, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit

Presiden dan Otonomi Daerah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,

1996.

Surat al-Baqarah (2): 130, 131 dan 136, Surat Ali Imron (3): 73, dan 85, Surat

Yusuf: 101.

Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiosias Sipil di Indonesia,

Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.

Toto Sucipto, Julianus Limbeng, Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di

Desa Kanekes Provinsi Banten, (Departemen Kebudayaan dan

pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya Seni dan Film Direktorat

Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007.

Yasser Arafat, Pengakuan Terhadap 6 Agama Resmi adalah Inkonstitusionali

dalam http://ressaywordpresscom, di unduh pada 8 Agustus 2018.

Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Pustaka

Obor Indonesia, 2015.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49483...Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan leluhur yang diterima secara turun temurun dapat mengisi kolom isian

90