digilib.unhas.ac.iddigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MTY... · pasien...
Transcript of digilib.unhas.ac.iddigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MTY... · pasien...
TESIS
PENGARUH KEMOTERAPI FASE INDUKSI TERHADAP MALONDIALDEHIDSEBAGAI BIOMARKER STRES OKSIDATIF PADA LEUKEMIA LIMFOBLASTIK
AKUT
INFLUENCE OF INDUCTION PHASE OF CHEMOTHERAPY ON THE PLASMAMALONDIALDEHYDE AS OXIDATIVE STRESS BIOMARKER IN ACUTE
LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA
NIA KRISDIANTARI
P1507212033
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PENGARUH KEMOTERAPI FASE INDUKSI TERHADAP MALONDIALDEHIDSEBAGAI BIOMARKER STRES OKSIDATIF PADA LEUKEMIA LIMFOBLASTIK
AKUT
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Disusun dan Diajukan oleh
NIA KRISDIANTARI
Kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADUPROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2018
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nia Krisdiantari
Nomor Stambuk : P1507212033
Program Studi : Biomedik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya akhir yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil
alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau
dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan karya akhir ini hasil karya
orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Maret 2018
Yang menyatakan,
Nia Krisdiantari
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka
penyelesaian Program Pendidikan Dokter Spesialis di Institusi Pendidikan Dokter
Spesialis Anak (IPDSA) pada Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu,
Program Studi Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya akhir ini tidak akan
terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA (K) sebagai pembimbing materi,
penelitian dan metodologi yang dengan penuh perhatian dan kesabaran senantiasa
mengarahkan dan memberikan dorongan kepada penulis sejak awal penelitian
hingga penyelesaian penulisan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para penguji yang telah
banyak memberikan masukan dan perbaikan, yaitu Dr. dr. Nadirah Rasyid
Ridha, M.Kes, SpA(K), dr. Setia Budi Salekede, Sp.A(K) dan Dr. dr. Aidah
Juliaty A. Baso, Sp.A(K), Dr. dr. Ema Alasiry, SpA(K).
vi
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada :
1. Rektor, Direktur Program Pascasarjana, dan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin atas kesediaannya menerima penulis sebagai peserta
pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
2. Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I Universitas Hasanuddin
yang senantiasa memantau dan membantu kelancaran pendidikan penulis.
3. Ketua Departemen dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin beserta seluruh staf pengajar (supervisor)
atas bimbingan, arahan, dan asuhan yang tulus selama penulis menjalani
pendidikan.
4. Bapak Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta Bapak dan
Ibu staf pengajar pada Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Program Studi Biomedik Pascasarjana Universitas Hasanuddin atas
bimbingannya selama penulis menjalani pendidikan.
5. Direktur RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Direktur RSP Unhas, dan
Direktur RS jejaring atas kesediaannya memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menjalani pendidikan di rumah sakit tersebut.
6. Semua staf administrasi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, paramedis RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan RS jejaring atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis
menjalani pendidikan.
7. Suami tercinta dr. Ahmad Rizan Hendrawan dan putri tercinta Naurah Tabina
Putri atas pengertian, pengorbanan, dan kesabarannya dalam mendampingi
vii
penulis selama menjalani pendidikan serta dengan penuh kasih sayang selalu
memberikan dorongan moril kepada penulis.
8. Ayahanda Djunaedi dan Ibunda Hj. Sutarti tercinta, yang senantiasa berdoa
sehingga penulis mampu menjalani proses pendidikan, kakak saya dr. Eva
Nurdiyantari serta anggota keluarga yang lain atas doa dan dukungannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
9. Semua teman sejawat peserta PPDS ilmu kesehatan anak terutama teman
seangkatan Juli 2012 : A. Enda Yuliastini, Nisrina Syahdu, Iksan Ali, Revina
Tranggana, Eva Faradianti, Moch.Nafis Qulyubi, Merdiani Darkhutni,
Dianawati dan Rini Ariani atas bantuan dan kerjasama yang menyenangkan,
berbagai suka duka selama penulis menjalani pendidikan.
10. Semua Paramedis di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan Rumah Sakit satelit lainnya atas bantuan dan kerjasamanya
selama penulis mengikuti pendidikan
11. Dan semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu kesehatan anak di masa mendatang. Akhirnya, tak ada
gading yang tak retak, tak lupa pula penulis memohon maaf untuk hal-hal
yang tidak berkenan dalam penulisan ini karena penulis menyadari
sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Makassar, Maret 2018
Nia Krisdiantari
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xvi
BAB.I.PENDAHULUAN................................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
I.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
I.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
I.3.1. Tujuan Umum Penelitian.......................................................................... 4
I.3.2. Tujuan Khusus Penelitian......................................................................... 4
I.4. Hipotesis Penelitian............................................................................................. 5
I.5. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 6
II.1. Leukemia Limfoblastik Akut............................................................................. 6
II.1.1 Definisi ..................................................................................................... 6
ix
II.1.2. Epidemiologi ........................................................................................... 6
II.1.3. Etiologi .................................................................................................... 7
II.1.4. Patofisiologi ............................................................................................ 8
II.1.5. Klasifikasi................................................................................................ 10
II.1.6. Manifestasi Klinis ................................................................................... 11
II.1.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 11
II.1.8. Diagnosis ................................................................................................. 13
II.1.9. Tatalaksana LLA ..................................................................................... 13
II.1.10. Kemoterapi ............................................................................................ 15
II.2. Malondialdehid .................................................................................................. 21
II.2.1. Radikal Bebas ........................................................................................ 21
II.2.2. Tipe Radikal Bebas................................................................................ 24
II.2.3. Sumber Radikal Bebas........................................................................... 24
II.2.4. Stres Oksidatif ....................................................................................... 28
II.2.5. Peroksidasi Lemak................................................................................. 32
II.2.6. Metabolisme MDA ................................................................................ 35
II.3. Kemoterapi dan Malondialdehid ....................................................................... 38
II.4. Kerangka Teori .................................................................................................. 43
BAB III. KERANGKA KONSEP .................................................................................... 44
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 45
IV.1. Desain Penelitian.............................................................................................. 45
x
IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... 45
IV.3. Populasi Penelitian ........................................................................................... 45
IV.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel............................................................ 45
IV.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi............................................................................ 46
IV.5.1. Kriteria Inklusi ..................................................................................... 46
IV.5.2. Kriteria Eksklusi................................................................................... 46
IV.5.3. Kriteria Drop Out................................................................................. 46
IV.6. Perkiraan Besar Sampel ................................................................................... 46
IV.7. Izin Penelitian dan Ethical Clearance.............................................................. 47
IV.8. Cara Kerja ........................................................................................................ 47
IV.8.1. Alokasi Subjek ..................................................................................... 47
IV.8.2. Cara Penelitian ..................................................................................... 47
IV.8.2.1. Prosedur Penelitian...................................................................... 47
IV.8.2.2. Skema Alur Penelitian................................................................. 48
IV.9. Identifikasi Variabel Penelitian........................................................................ 48
IV.9.1. Identifikasi Variabel .............................................................................. 48
IV.9.2. Klasifikasi Variabel ............................................................................... 48
IV.9.2.1. Berdasarkan Jenis Data dan Skala Pengukuran ............................. 48
IV.9.2.2. Berdasarkan Peran atau Fungsi Kedudukannya ............................. 49
IV.10. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif ................................................... 49
IV.10.1. Definisi Operasional ............................................................................ 49
xi
IV.10.2. Kriteria Obyektif.................................................................................. 50
IV.11. Pengolahan Data dan Analisis Data ............................................................... 51
IV.11.1. Analisis Univariat................................................................................. 51
IV.11.2. Analisis Bivariat................................................................................... 51
BAB V. HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 54
V.1. Jumlah Sampel .................................................................................................. 54
V.1.1. Tabel Karakteristik Sampel Penelitian.................................................... 55
V.2. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sebelum dan Sesudah Kemoterapi
Protokol Standard Risk ...................................................................................... 56
V.2.1. Tabel Perbandingan Kadar MDA sebelum dan Sesudah Kemoterapi
pada Pasien LLA Standar Risk .............................................................. 56
V.3.. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sebelum dan Sesudah Kemoterapi
Protokol High Risk ............................................................................................. 57
V.3.1. Tabel Perbandingan Kadar MDA Sebelum dan Sesudah Kemoterapi
pada Pasien LLA High Risk ................................................................... 57
V.4. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sebelum Kemoterapi Protokol
Standard Risk dan High Risk ............................................................................. 58
V.4.1. Tabel Perbandingan Kadar MDA Sebelum Kemoterapi pada
Pasien LLA Standard Risk dan High Risk ............................................. 58
V.5. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sesudah Kemoterapi Protokol
Standard Risk dan High Risk ............................................................................. 59
xii
V.4.1. Tabel Perbandingan Kadar MDA Sesudah Kemoterapi pada
Pasien LLA Standard Risk dan High Risk ............................................. 59
BAB VI. PEMBAHASAN ............................................................................................... 60
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 66
LAMPIRAN...................................................................................................................... 73
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor gambar halaman
1. Mitokondria ROS pada sel kanker .......................................................................... 13
2. Siklus sel ................................................................................................................ 23
3. Nekrosis dan apoptosis ........................................................................................... 24
4. Radikal bebas ......................................................................................................... 30
5. Pembentukan ROS di mitokondria ......................................................................... 32
6. Produksi ROS pada keganasan .............................................................................. 34
7. Jalur sinyal yang diinduksi oleh stres oksidatif ...................................................... 37
8. Stres oksidatif dan respon seluler ........................................................................... 40
9. Tahapan peroksidasi lemak..................................................................................... .44
10. Proses peroksidasi lemak hingga terbentuk MDA.................................................. 45
11. Metabolisme MDA ................................................................................................. 48
12. Electron Transport System...................................................................................... 52
13. Stres oksidatif dan kemoterapi................................................................................ 54
14. Siklus sel dan kemoterapi ....................................................................................... 56
xiv
DAFTAR TABEL
NOMOR HALAMAN
Tabel 1. Gejala, tanda dan pemeriksaan penunjang pada LLA .....................................................13
Tabel 2. Kemoterapi dan siklus sel ................................................................................................18
Tabel 3. Tahap kemoterapi ............................................................................................................21
Tabel 4. Jenis ROS ........................................................................................................................24
Tabel V.1.1. karakteristik sampel penelitian ................................................................................ 55
Tabel V.2.1. Perbandingan kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi pada
pasien LLA standard risk ........................................................................................ 56
Tabel V.3.1. Perbandingan kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi pada
pasien LLA high risk ................................................................................................57
Tabel V.4.1. Perbandingan kadar MDA sebelum kemoterapi pada pasien LLA
standard risk dan high risk .....................................................................................58
Tabel V.5.1. Perbandingan kadar MDA sesudah kemoterapi pada pasien LLA
standard risk dan high risk ......................................................................................59
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Halaman
1. Naskah penjelasan pada orang tua/keluarga……………………………… 72
2. Cara kerja pemeriksaan malondialdehid…………………………………… 74
3. Persetujuan komite etik ……………………………………………………… 75
4. Data dasar penelitian ……………………………………………………….. 76
xvi
DAFTAR SINGKATAN
AA : Arachidonat Acid
AP-1 : Activator Protein-1
ATP : Adenosine Triphosphate
CAT : Catalase
CDK : Cyclin-Dependent Kinase
CO2 : Carbondioxide
CSC : Cancer Stem Cell
DNA : Deoxyribonucleic Acid
EBV : Epstein-Barr Virus
ETS : Electron Transport System
FAB : French-American-British
GC-MS/MS : Gas Chromatography-Mass Spectrometry
GSH : Glutathione
H2O2 : Hidrogen Peroksida
HOCl : Asam Hipoklorus
HTLV : Human T-Cell Leukemia Virus
IL-1 : Interleukin 1
IL-6 : Interleukin 6
LC-MS/MS : Liquid Chromatography-Mass Spectrometry
xvii
LDL : Low Density Lipoprotein
LLA : Leukemia Limfoblastik Akut
LLK : Leukemia Limfositik Kronik
LMA : Leukemia Mielositik Akut
LMK : Leukemia Mielositik Kronik
LO-- : Radikal Alkoxyl
LO-2 : Radikal Peroksil
MDA : Malondialdehid
MDR1 : Multi Drug Resistance Protein 1
MG : Metylglyoxal
NADPH : Nitocinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
NF-kB : Nuclear Factor Kappa B Cells
NO : Nitrit Oksida
O2 : Oksigen
O2- : Superoksida
OH : Radikal Hidroksil
ONOO- : Peroksinitrit
PARP-1 : Poly (ADP-ribose) Polymerase-1
PGH2 : Prostaglandin 2
POSA : Poli Onkologi Satu Atap
PTEN : Phosphatase and Tensin Homolog
xviii
PTPM : Permeabilitas Transition Pore Mitochondria
ROO : Radikal Peroksil
ROOH : Hidroperoksida
ROS : Reactive Oxygen Species
SOD : Superoxide Dismutase
STAT 3 : Signal Transducer and Activator of Transcription 3
TBARs : Thiobarbituric Acid Reactive Substances
TNFα : Tumor Necrosis Factor Alpha
TXA2 : Tromboksan 2
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) merupakan jenis leukemia dengan karakteristik
adanya proliferasi dan akumulasi dari sistem limfopoetik dan keganasan yang paling sering
ditemukan pada masa anak-anak, mencakup 25% dari semua keganasan yang didiagnosis pada
anak dan remaja umur 1-19 tahun, dengan puncak umur 2-5 tahun (Stephen P dkk., 2015).
Etiologi LLA seperti keganasan pada umumnya masih belum dapat diketahui secara pasti,
namun hasil studi mengarah ke faktor lingkungan, genetik, radiasi, paparan elektromagnetik, zat
kimia, virus, dll.
Penatalaksanaan LLA mengalami kemajuan secara progresif beberapa tahun terakhir
dimana Event-Free Survival (EFS) di negara maju mencapai 80% pada awal tahun 2000 yang
sebelumnya hanya 10%-15% pada tahun 1960 an (Freyer dkk., 2011; Ko RH dkk., 2010). Terapi
utama dalam penanganan LLA adalah kemoterapi, yang mana ada banyak agen kemoterapi yang
digunakan. Sebagian besar agen-agen tersebut dikelompokkan berdasarkan cara kerjanya dalam
menghancurkan sel-sel kanker. Sel kanker memproduksi radikal bebas dengan jumlah yang lebih
banyak dibandingkan sel normal sehingga kadar antioksidan pada sel kanker menjadi rendah.
Obat-obat kemoterapi yang digunakan pada pasien LLA selain mempunyai efek membunuh sel
kanker juga merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas. Kemoterapi dengan obat sitostatika
yang merupakan terapi utama LLA terbagi dalam fase induksi, konsolidasi/reinduksi dan
rumatan (maintenance). Tujuan kemoterapi pada fase induksi adalah untuk membunuh sebagian
2
besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Pada tahap ini diberikan kemoterapi
kombinasi yaitu metotrexat, daunorubisin, vincristine, kortikosteroid dan asparginase. Dimana
golongan antrasiklin (doxorubicin, daunorubicin) dan alkylating agents adalah obat yang paling
banyak menghasilkan radikal bebas (Conklin KA dkk., 2004).
Pembentukan radikal bebas (Reactive Oxygen Species/ROS) merupakan hal yang tidak
bisa dihindarkan dari sel yang menggunakan metabolisme aerobik untuk produksi energi (Goto
dkk., 2007). ROS merupakan radikal bebas berupa oksigen dan turunannya yang sangat reaktif
dan memiliki satu atau lebih atom yang tidak berpasangan. ROS diketahui memainkan peran
ganda dalam sistem biologi, karena dapat bersifat berbahaya maupun bermanfaat bagi sistem
kehidupan. Akumulasi molekul tersebut dapat menyebabkan efek berbahaya pada individu,
sehingga dapat menimbulkan terjadinya keganasan seperti LLA (Masutani., 2007). Keuntungan
dari ROS terjadi apabila terdapat dalam jumlah yang kecil dimana melibatkan peran fisiologis
dalam proses pertahanan seluler terhadap infeksi dan berfungsi dalam sejumlah sistem sinyal
seluler (Valko dkk., 2007). Sebaliknya, dalam jumlah yang tinggi, ROS merupakan mediator
penting dari penyebab kerusakan struktur sel, termasuk lemak dan membran, protein dan asam
nukleat sehingga menyebabkan kematian sel termasuk sel yang sehat (Altonbary dkk., 2008;
Valko dkk., 2007). Suatu kondisi yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara produksi
radikal bebas /ROS dengan sistem pertahanan antioksidan di dalam tubuh disebut stres oksidatif.
Perubahan stres oksidatif pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi LLA belum
dapat dimengerti sepenuhnya dalam tingkat dasar DNA dalam sel mononuklear darah, yang
mana kadarnya akan menurun sesudah kemoterapi awal dan meningkat secara tajam selama
kemoterapi (Valko dkk., 2007). Produksi ROS yang meningkat pada sel-sel kanker secara
kimiawi mampu merusak DNA, protein, dan lemak. Pada DNA bisa terjadi mutasi dan
3
ketidakstabilan genetik dan bisa mempengaruhi peran mitokondria dalam apoptosis sehingga
mempengaruhi sensitivitas sel kanker terhadap obat-obat kemoterapi (Carew dkk., 2003). Pada
pasien LLA yang mendapat kemoterapi tanpa pemberian suplemen (antioksidan) didapatkan
adanya peningkatan kadar malondialdehid (MDA) yang merupakan suatu produk akhir
peroksidasi lemak, yang biasanya digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lemak dan
menggambarkan derajat stres oksidatif dibandingkan dengan pasien LLA yang mendapat
kemoterapi disertai pemberian suplemen. Selain itu dari sisi komplikasi hematologi seperti
hipoplasia sumsum tulang dan kejadian demam neutropenia juga menurun pada pasien LLA
yang mendapatkan suplemen (Altonbary dkk., 2008).
Proses oksidasi lemak oleh radikal bebas disebut peroksidasi lemak yang ditandai dengan
peningkatan MDA yaitu produk peroksidasi polyunsaturated fatty acid (PUFA) (Conklin KA,
2004). MDA merupakan produk akhir dalam proses peroksidasi lemak yang disebabkan oleh
reaksi radikal bebas pada lemak tak jenuh dalam membran sel dan umumnya digunakan sebagai
biomarker biologis peroksidasi lemak untuk menilai stres oksidatif (Shofia dkk., 2013;
Jovanovic dkk., 2010). Kadar MDA akan mengalami peningkatan lebih tinggi sesudah
kemoterapi fase induksi bila dibandingkan pada saat pasien didiagnosis dengan LLA (Kennedy
DD dkk,. 2005; Papageorgiou M dkk,. 2005; Altonbary dkk,. 2008).
Penelitian oleh Jwan A.Z (2014) tentang hubungan antara malondialdehid dan
metanephrin pada pasien LLA menunjukkan hasil bahwa pada pasien LLA terdapat kadar MDA
yang tinggi dibanding kontrol sebagai konsekuensi dari kelainan metabolisme antioksidan (Jwan
A.Z dkk., 2013).
Aktivitas superoksida dismutase dan MDA meningkat pada pasien LLA bila
dibandingkan dengan kontrol walaupun pada penelitian Olaniyi dkk (2011) hasil ini tidak
4
signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peroksidasi lemak yang
meningkat pada pasien leukemia sebagai hasil dari stres oksidatif akibat adanya produksi radikal
bebas yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Rasool dkk (2015) menunjukkan bahwa kadar MDA lebih
tinggi pada pasien LLA-T (8,78 lmol/ml) sebelum kemoterapi dibanding dengan LLA-B (8,69
lmol/ml) maupun LMA (8,50 lmol/ml). Secara keseluruhan penelitian ini menyimpulkan bahwa
terdapat peningkatan tingkat stres oksidatif (MDA) dan penurunan antioksidan enzimatik (SOD,
GPx dan CAT) dan antioksidan non enzimatik (vitamin E dan GSH) yang mencerminkan
keadaan patologis dan gangguan kontrol sel pada LLA dan LMA (Rasool M dkk., 2015).
Hasil penelitian oleh Altonbary dkk (2008) di Mesir menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan kadar stres oksidatif pada saat diagnosis dan sesudah kemoterapi LLA fase induksi
dan tingginya kadar stres oksidatif berhubungan dengan prognosis yang buruk pada pasien LLA
(Altonbary dkk., 2008). LLA memproduksi ROS dalam jumlah yang tinggi sebagai akibat dari
aktivitas metabolisme yang tinggi, disfungsi mitochondria, aktivitas peroksisom, peningkatan
signaling reseptor sel, aktivitas oncogen, aktivitas oxidase, cyclooksigenase, lipooksigenase dan
timidin fosforilase, atau melalui reaksi silang dengan infiltrasi sel imun (Izyumov DS dkk.,
2010). Begitu pula dengan obat-obatan kemoterapi menghasilkan radikal bebas sebagai hasil dari
metabolisme, yang akan mengakibatkan delesi DNA, perubahan, penyusunan kembali dan
mutasi gen, sehingga akan mengaktifkan berbagai protoonkogen dan atau tumor supresor gen.
Kadar ROS yang tinggi akan merusak komponen sel (lemak, protein, DNA) dan mengganggu
siklus sel yang normal, mengurangi sitotoksisitas kemoterapi yang dapat menghambat aktivitas
normal dari fase siklus sel. Dari semua molekul tersebut yang paling rentan terhadap serangan
radikal bebas adalah lemak, dimana apabila ROS bereaksi dengan komponen asam lemak dari
5
membran sel maka akan terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak dan hasil
akhirnya adalah malondialdehid (MDA). Atas dasar itu, maka penelitian ini penting dilakukan
untuk menilai kadar malondialdehid sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi pada
leukemia limfoblastik akut.
Adanya kadar malondialdehid yang tinggi menunjukkan bahwa pada pasien LLA
memiliki gangguan pada status antioksidan dalam plasma sehingga dapat dijadikan penanda
penting yang memiliki peran prognostik yang menunjukkan perkembangan penyakit. Oleh
karena itu penelitian ini perlu dilakukan agar dapat dilakukan intervensi dini dengan pemberian
suplementasi antioksidan untuk meningkatkan status antioksidan pada pasien LLA.
Penelitian yang menilai kadar malondialdehid pada leukemia limfoblastik akut belum
pernah dilakukan di Makassar dengan keadaan/kondisi pasien yang berbeda sehingga penelitian
ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan kita untuk aplikasi klinik yang lebih baik di
masa mendatang.
I.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang permasalahan di atas, maka dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
Apakah ada perbedaan kadar malondialdehid sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi pada
leukemia limfoblastik akut ?
6
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk membandingkan kadar malondialdehid sebelum dan sesudah kemoterapi fase
induksi pada leukemia limfoblastik akut
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengukur kadar malondialdehid sebelum kemoterapi pada leukemia limfoblastik akut standard
risk.
2. Mengukur kadar malondialdehid sesudah kemoterapi fase induksi pada leukemia limfoblastik
akut standard risk.
3. Membandingkan kadar malondialdehid sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi pada
leukemia limfoblastik akut standard risk.
4. Mengukur kadar malondialdehid sebelum kemoterapi pada leukemia limfoblastik akut high risk.
5. Mengukur kadar malondialdehid sesudah kemoterapi fase induksi pada leukemia limfoblastik
akut high risk.
6. Membandingkan kadar malondialdehid sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi pada
leukemia limfoblastik akut high risk.
7. Membandingkan kadar malondialdehid sebelum kemoterapi fase induksi pada leukemia
limfoblastik akut standard risk dan high risk..
8. Membandingkan kadar malondialdehid sesudah kemoterapi fase induksi pada leukemia
limfoblastik akut standard risk dan high risk..
Aktivasimetabolik ↑
KerusakanDNA nukleus
Reactive oxygen Species ↑
Kerusakan dan mutasiDNA
Leukemia Limfoblastik Akut
DisfungsiMitokondria
Genetik,Idiopatik
Aktifitasonkogen ↑
Aktivasi kinase
Aktivasi kaskade mitokondria
PenguranganKoenzim Q10
Cellular reseptorsignaling ↑
Kemoterapi
Reactive oxygenspecies ↑
Aktivasicaspase 9
Aktivasicaspase 8
Kerusakan selulersel LLA dan normal
Aktivasi deathreceptor
Pelepasansitokrom C
Protein
Apoptosis sel sehatdan sel ganas
Pengalihan elektron ETSke oksigen dalam NADH
dihidrogenase
Reaktive oxygenspecies ↑
MutasimtDNA
Menstimuliproliferasi
sel
Lemak
Primer- Alkoksil radikal↑- Peroksil radikal ↑
Sekunder- Malondialdehid ↑
Virus, ZatKimia, Radiasi
7
1.4 Hipotesis
1. Kadar malondialdehid lebih tinggi pada pasien leukemia limfoblastik akut sesudah kemoterapi
fase induksi dibandingkan dengan sebelum kemoterapi standard risk.
2. Kadar malondialdehid lebih tinggi pada pasien leukemia limfoblastik akut sesudah kemoterapi
fase induksi dibandingkan dengan sebelum kemoterapi high risk.
3. Kadar malondialdehid lebih tinggi pada pasien leukemia limfoblastik akut sebelum kemoterapi
high risk dibandingkan dengan standard risk.
4. Kadar malondialdehid lebih tinggi pada pasien leukemia limfoblastik akut sesudah kemoterapi
fase induksi high risk dibandingkan dengan standard risk.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Ilmu pengetahuan
Memberikan informasi ilmiah dan pengembangan ilmu tentang kadar malondialdehid sebelum
dan sesudah kemoterapi fase induksi pada leukemia limfoblastik akut sebagai data dasar untuk
penelitian selanjutnya dalam hal patomekanisme dan aspek biologi molekuler.
2. Aplikasi klinis
Jika terbukti terdapat peningkatan kadar malondialdehid baik sebelum dan sesudah kemoterapi,
maka dapat dilakukan intervensi dengan pemberian suplementasi antioksidan sebagai tambahan
dalam tatalaksana LLA.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Leukemia Limfoblastik Akut
II.1.1. Definisi
Leukemia merupakan suatu penyakit keganasan pada sistem hematopoiesis yang
menyebabkan proliferasi sel darah yang tidak terkendali. Sel-sel progenitor dapat berkembang
pada elemen sel yang normal, karena peningkatan rasio proliferasi sel dan penurunan rasio
apoptosis sel. Hal ini menyebabkan gangguan dari fungsi sumsum tulang sebagai pembentuk sel
darah yang utama (Kliegman, 2007). Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari
perubahan genetik pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang
normal akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan
gejala klinis. Keganasan hematologi ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai
gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoietik sehingga terjadi ekspansi
progresif kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar
secara sistemik. Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan maturasi sel dan
tipe sel asal yaitu Leukemia Akut (Leukemia Limfoblastik Akut/LLA dan Leukemia
Mieloblastik Akut/LMA) yang memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan pasien
akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan dan Leukemia Kronik (Leukemia Limfositik
Kronis/LLK dan Leukemia Mielositik Kronis/LMK) (Stephen P dkk., 2015; Soulier J dkk., 2015;
Curran E dkk., 2015; Locatelli F dkk., 2012).
9
II.1.2. Epidemiologi
Kanker yang umumnya menyerang anak-anak adalah leukemia dengan jumlah pasien
sekitar 25% dari seluruh jenis kanker yang diderita semua anak di Indonesia (Yayasan Onkologi
Anak Indonesia, 2014). Pada umumnya tipe leukemia yang sering terjadi pada anak adalah
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dan Leukemia Mielositik Akut (LMA) (Belson M dkk.,
2007). Penyakit LLA 5 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan LMA. Insiden Leukemia
2,5-4 per 100.000 anak dengan estimasi 2.000-3.200 kasus baru jenis LLA setiap tahunnya. Data
dari Pusat Informasi dan Teknologi RSUD Dr.Soetomo Surabaya menunjukkan pada bulan
Januari-April 2014 terdapat 913 anak yang berobat ke Poli Onkologi Satu Atap (POSA). Jumlah
tersebut terdiri dari 717 pasien anak yang menderita LLA, 7 pasien anak yang menderita LMA
dan 189 pasien anak yang menderita LMK. Di Amerika Serikat insiden LLA mencapai 76% dari
keseluruhan jumlah kasus leukemia dan 43% diantaranya meninggal dunia (Howlader N dkk.,
2010). LLA pada anak memiliki angka kejadian, mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Menurut
Leukemia and Lymphoma Society (2012) pada tahun 2001-2007 di Amerika Serikat, pasien
leukemia akut yang mampu bertahan hidup sampai 5 tahun sesudah didiagnosis adalah tipe LLA
sebanyak 66,6%. Salah satu penyebab kematian tertinggi pada anak dengan LLA adalah adanya
infeksi yang menyertai saat perawatan. Kematian terjadi ketika anak sedang menjalani
pengobatan pada fase induksi sebesar 48% dan pada fase konsolidasi sebesar 9,3% dengan sepsis
merupakan penyebab utama terjadinya kematian (O’Connor D dkk., 2014).
II.1.3 Etiologi
Seperti kebanyakan penyakit keganasan lainnya, LLA juga berhubungan dengan
perubahan yang terjadi pada gen. Alasan terjadinya perubahan tersebut hingga sekarang masih
10
belum dapat dijelaskan secara pasti. Terdapat beberapa faktor risiko yang menempatkan seorang
anak untuk menderita LLA lebih besar, diantaranya :
1. Infeksi
Terdapat beberapa bukti yang menyatakan jika infeksi virus mempunyai peran penting
dalam terjadinya leukemia pada anak. HTLV (The Human T-cell Leukemia Virus)
dihubungkan dengan kejadian Leukemia sel T/limfoma, sedangkan EBV (Epstein-Barr
Virus) dihubungkan dengan kejadian LLA sel B (O’Connor dkk., 2007; Sanchez AM
dkk., 2013).
2. Sinar radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan
leukemia. Angka kejadian LMA dan LMK jelas sekali meningkat sesudah sinar
radioaktif digunakan. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin dilakukan, ahli
radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar dibandingkan yang
tidak bekerja di bagian tersebut. Penduduk Hirosima dan Nagasaki yang hidup sesudah
ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA sampai 20 kali lebih banyak.
Leukemia timbul terbanyak 5-7 tahun sesudah ledakan tersebut (WHO., 2011; Cleaver JE
dkk., 2000).
3. Zat kimia
Zat-zat kimia (benzen, arsen, pestisida) diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya
leukemia. Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya hubungan antara paparan
pestisida pada saat kehamilan dengan meningkatnya kejadian leukemia pada anak (Pyatt
D dkk., 2010).
11
4. Genetik
Anak dengan Sindrom Down merupakan anak dengan kelainan genetik yang paling
banyak berhubungan dengan leukemia. Keadaan ini meningkatkan risiko terjadinya
leukemia sebesar 20 kali lipat (Xavier AC dkk., 2010). Berdasarkan laporan Rebecca dkk
(2009) dari total 1.709 pasien sindrom down di Inggris pada tahun 2008, terdapat 248
orang (14,6%) menderita LMA dan 596 orang (34,2%) menderita LLA. Begitu pula
dengan kelainan genetik lainnya seperti Sindrom Klinefelter, Sindrom Bloom dan
Anemia Fanconi juga berkaitan dengan kejadian leukemia. Saudara dari pasien leukemia
dan riwayat keluarga yang menderita keganasan hematopoietik juga memiliki risiko lebih
besar untuk menderita leukemia dibandingkan yang tidak (Rebecca J dkk., 2009).
5. Alkohol, rokok dan narkoba
Beberapa penelitian menunjukan peningkatan angka kejadian LMA pada anak yang
dihubungkan dengan penggunaan alkohol oleh ibu selama kehamilan. Begitu pula dengan
rokok dan penggunaan narkoba dihubungkan dengan peningkatan angka kejadian LLA
dan LMA pada anak (Lichtman MA., 2007).
II.1.4 Patofisiologi (Zuckerman T dkk., 2014; Inaba dkk., 2013)
Pada keadaan normal, leukosit berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sel
ini secara normal berkembang sesuai perintah dan dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan
tubuh. Pada LLA, progenitor limfoid mengalami disregulasi proliferasi dan ekspansi klonal. Pada
sebagian besar kasus, patofisiologi dari transformasi sel limfoid menunjukkan gangguan ekspresi
gen yang memproduksi perkembangan normal sel B dan sel T. Pada pasien LLA terjadi
proliferai patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang. Ia akan mendesak sistem
12
hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan granulopoietik, sehingga
sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga mereka menyebar (berinfiltrasi)
sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal
dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia memblok produksi sel darah normal dan
merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain
pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai
oksigen ke jaringan.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi leukosit mengalami
gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali
melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom. Translokasi kromosom mengganggu
pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi
ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel
yang menghasilkan sel darah normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya
termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.
Sel leukemia juga menghasilkan sejumlah besar Reactive Oxygen Species (ROS)
dibandingkan dengan sel normal. Sebagian disebabkan karena stimulasi onkogenik, peningkatan
aktivitas metabolik, malfungsi mitokondria, aktivitas peroksisom, peningkatan signaling reseptor
sel, aktivitas onkogen, aktivitas oksidase, siklooksigenase, lipooksigenase dan timidin
fosforilase, atau melalui reaksi silang dengan infiltrasi sel imun (Varh Liou dkk., 2010).
Kebanyakan faktor risiko yang terkait dengan keganasan berinteraksi dengan sel melalui ROS,
dimana kemudian mengaktifkan berbagai faktor transkripsi seperti nuclear factor kappa B cells
(NF-κB), activator protein-1 (AP-1), hypoxia-inducible factor-1α dan tranduser sinyal serta
aktivator transkripsi 3 (STAT 3) yang akan mengekspresikan protein yang mengontrol terjadinya
13
inflamasi; transformasi seluler; tumor cell survival; proliferasi sel tumor; dan terjadinya invasi,
angiogenesis dan juga metastasis. ROS juga mengontrol timbulnya berbagai ekspresi gen
supresor seperti p53, gen retinoblastoma (Rb) dan homolog fosfatase dan tensin (PTEN) (Jinesh
GG dkk.,2016). Pada beberapa penelitian yang membandingkan sel kanker dengan sel yang
normal, dijumpai peningkatan stress oksidatif yang berhubungan dengan transformasi
onkogenik, aktivitas metabolik dan peningkatan dari ROS. Peningkatan ROS pada sel kanker
akan menstimulasi proliferasi sel, mempromosi mutasi gen, dan mempengaruhi sensitivitas
selular terhadap kemoterapi.
II.1.5. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi dari leukemia limfoblastik akut, diantaranya :
1. Berdasarkan morfologi dari FAB (French-American-British), menggunakan cutoff
sebesar 30% dari sel blast sumsum tulang.
Gambar 1. Mitokondria ROS pada sel kanker
14
- L1, terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa dengan kromatin homogen,
nukleolus umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit, biasanya ditemukan
pada 74% pasien LLA dengan umur kurang dari 15 tahun.
- L2, pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin
lebih besar dengan satu atau lebih anak inti, biasanya ditemukan pada pasien LLA
umur muda ataupun dewasa, berkisar 27% dari keseluruhan pasien LLA.
- L3, terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi. Disebut
juga sebagai Limfoma Burkitt.
2. Berdasarkan kriteria WHO
- LLA prekursor sel B/LBL (limfoblastik limfoma).
- Subgrup sitogenetik: BCR/ABL, MLL, PBX1/E2A, TEL/AM L1, hypodiploid,
hyperdiploid.
- LLA prekursor sel T/LBL.
- Leukemia sel B mature.
II.1.6. Manifestasi Klinis (Chiaretti S dkk., 2014; Hunger P dkk., 2015)
Manifestasi klinis dari LLA dapat bervariasi. Dapat bermula sebagai gejala yang tidak
spesifik hingga munculnya gejala yang berat yang memerlukan penanganan segera, dimana hal
ini menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang dan penyebaran ekstramedular. Walaupun
LLA merupakan kelainan primer pada sumsum tulang dan darah tepi, semua organ ataupun
jaringan dapat menjadi target infiltrasi dari sel-sel leukemia. Gejala awal yang timbul merupakan
hasil ekspansi sel leukemia ke sumsum tulang dan gejala berikutnya timbul akibat infiltrasi sel
leukemia ke organ tubuh dan gangguan metabolik. Lama durasi timbulnya gejala bervariasi dari
15
satu anak dengan anak yang lain. Gejala awal biasanya tidak spesifik dan hanya berupa anoreksia
ataupun letargi. Demam merupakan gejala yang paling banyak timbul, mencapai hingga 60%
pasien. Kegagalan sumsum tulang yang bersifat progresif menimbulkan gejala berupa pucat
(anemia), perdarahan (trombositopenia) dan mudah terkena infeksi (leukopenia). Lebih dari
sepertiga pasien mengalami kelumpuhan, nyeri tulang, atrhalgia atau nyeri saat berjalan karena
adanya infiltrasi sel leukemia ke periosteum, tulang atau sendi. Sisanya, gejala yang muncul
dapat berupa nyeri kepala, muntah, distres pernafasan, oligouria dan anuria. Pada diagnosis awal,
didapatkan 60% hingga 70% pasien terdapat pembesaran dari organ hati dan limpa, yang
biasanya bersifat asimtomatis, dengan pembesaran lebih dari 2 cm di bawah arcus costa dan
limfadenopati (biasanya tidak nyeri, lokal ataupun menyeluruh) yang merupakan tanda dari
infiltrasi sel leukemia ke organ tubuh.
II.1.7. Pemeriksaan Penunjang (Hunger P dkk., 2015)
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan apusan darah tepi
Jumlah leukosit pada pasien LLA pada umumnya meningkat tapi dapat
juga normal ataupun menurun. Sebanyak 20% menunjukkan leukopenia,
50% moderat (5.000-25.000/mm3), 10% leukositosis dan 15%
hiperlekositosis. Neutropenia berat (granulosit kurang dari 500/mm3)
merupakan keadaan yang biasa ditemukan dan dihubungkan dengan
meningkatnya risiko terjadinya infeksi.
Sebagian besar pasien LLA memiliki jumlah trombosit kurang dari
100.000/mm3 (75%). Sementara sisanya memiliki jumlah trombosit
16
kurang dari 10.000/mm3. Perdarahan berat jarang terjadi walaupun kadar
trombosit kurang dari 20.000/mm3.
Lebih dari 75% pasien menunjukkan tanda-tanda anemia pada saat
pertama kali didiagnosis, dengan indeks eritrosit normokrom normositik
dan nilai retikulosit normal.
Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukan adanya sel blast pada
sebagian besar kasus.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto thorax pada pasien LLA dapat menunjukkan adanya massa
mediastinum dan juga adanya pneumonia.
3. Pemeriksaan ekokardiografi
Diperlukan pada pasien LLA yang akan mendapatkan kemoterapi, karena terdapat
beberapa jenis obat-obatan kemoterapi yang bersifat kardiotoksik.
4. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan imunofenotiping
Aspirasi sumsum tulang merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pasti
LLA, sedangkan imunofenotiping untuk menunjukkan subtipe dari LLA. Diagnosis LLA
ditegakkan apabila didapatkan setidaknya 30% limfoblast (klasifikasi FAB) atau 20%
limfoblast (klasifikasi WHO) pada sumsum tulang dan atau darah tepi.
5. Pemeriksaan immunohistokimia
Pemeriksaan untuk membedakan LLA sel T maupun LLA sel B.
Gejala dan tanda Klinis dan laboratorium
Pucat, lemah, sesak nafas Anemia
17
Demam, infeksi Neutropenia
Peteki, ekimosis, perdarahan retina Trombositopenia
Hepatomegali, splenomegali,
limfadenopati, nyeri tulang, nyeri sendi
Ekstramedular
Hipoksia, batuk, nyeri dada Massa mediastinum(80% LLA sel T)
Nyeri kepala, diplopia, mual, muntah CNS
Perdarahan intrakranial, DIC Peningkatan kadar PT dan APTT
Sindrom lisis tumor Hipokalsemia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia,
peningkatan asam urat
Tabel 1. Gejala, tanda dan pemeriksaan penunjang pada LLA
II.1.8. Diagnosis
LLA didiagnosis berdasarkan gejala klinis yaitu adanya gejala yang umumnya
menggambarkan kegagalan dari sumsum tulang dan berbagai pemeriksaan penunjang. Gejala
klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan
perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksia, nyeri tulang dan sendi serta hipermetabolisme.
Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum, tibia dan femur. Pada pemeriksaan fisik
pasien LLA ditemukan adanya splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, ekimosis, petekie dan
perdarahan retina. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi dan
sumsum tulang (Inaba H dkk., 2013).
- Pemeriksaan darah tepi. Pada pasien LLA ditemukan leukositosis (60%) dan leukopenia
(25%), anemia dan trombositopenia.
18
- Pemeriksaan sumsum tulang. Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada pasien LLA
ditemukan keadaan hiperseluler. Hampir semua sel sumsum tulang diganti oleh sel
leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum
tulang.
II.1.9. Tatalaksana
Pengobatan LLA menggunakan kombinasi beberapa obat sitostatika, berdasarkan risiko
relapsnya pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu pengobatan risiko standar dan risiko tinggi.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap buruknya prognosis LLA adalah sebagai berikut
(Sanchez AM dkk., 2013; O’Connor dkk., 2007):
- Jumlah leukosit awal lebih dari 50.000/mm3.
- Umur pasien pada saat diagnosis kurang dari 1 tahun atau lebih dari 10 tahun.
- Imunofenotiping: pre B LLA, sel T LLA, sel B LLA.
- Terdapat massa mediastinum.
- Infiltrasi sistem saraf pusat.
A. Kemoterapi
Klasifikasi risiko standar atau risiko tinggi menentukan protokol kemoterapi. Saat ini
protokol pengobatan yang digunakan untuk pasien LLA yaitu protokol Indonesia 2006
yang terdiri dari 2 tipe, yaitu protokol kemoterapi risiko standar dan protokol kemoterapi
risiko tinggi. Perbedaannya selain lebih banyak jenis obat sitostatika, pada protokol
kemoterapi risiko tinggi juga terdapat fase reinduksi, dibanding kemoterapi risiko standar
yang terdiri dari fase induksi, konsolidasi dan maintenance. Protokol kemoterapi risiko
19
tinggi berlangsung 17 minggu sebelum masuk fase maintenance, sedangkan risiko
standar 12 minggu dengan menggunakan obat vincristine, prednison, daunorubicin,
methotrexate, asparginase dan 6-merkaptopurin (Yanada M, 2015; Tasian SK dkk.,
2016).
- Tahap 1 (induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi
biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat
menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses membunuh sel leukemia.
Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu metotrexat,
daunorubisin, vincristine, kortikosteroid dan asparginase.
- Tahap 2 (konsolidasi)
Sesudah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang
bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan
juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.
- Tahap 3 (maintenance)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi.
- Profilaksis SSP
Pasien LLA sering mengalami leukemia meningeal baik pada saat awal diagnosis
maupun pada saat relaps. Sehingga, profilaksis terhadap sistem saraf pusat dengan
intratekal merupakan kemoterapi yang esensial. Hasil laporan Cortes dkk yang
melakukan penelitian di pusat kanker Anderson, menyatakan bahwa kemoterapi
20
dosis tinggi mengurangi terjadinya relaps SSP. Namun, kemoterapi intratekal dini
pada fase induksi lah yang penting untuk mengurangi risiko terjadinya relaps SSP.
B. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar
berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau partikel seperti
proton, elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika
terdapat keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.
C. Transplantasi sumsum tulang
Tranplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak
dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh
dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga
berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker.
D. Terapi suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh leukemia dan
mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk pasien leukemia dengan
keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotika yang
diberikan pada pasien LLA yang mengalami demam. Antibiotika yang diberikan terdiri
dari golongan sefalosporin dan aminoglikosida. Pasien LLA yang masih mengalami
demam hingga 3-5 hari harus mendapatkan tambahan terapi anti jamur.
21
II.1.10. Kemoterapi
Banyak jenis kemoterapi yang ditargetkan pada proses pembelahan sel. Alasannya adalah
bahwa sel-sel kanker lebih mungkin mereplikasi dibandingkan dengan sel normal. Sayangnya
sebagian dari fungsi tersebut bersifat tidak spesifik dan menghasilkan toksisitas yang signifikan,
sehingga penggunaan kemoterapi secara efektif akan memerlukan pemahaman tentang prinsip-
prinsip biologi tumor, kinetika seluler, farmakologi dan resistensi obat.
A. Siklus sel normal
Siklus sel adalah fungsi sel yang paling mendasar berupa duplikasi akurat sejumlah besar
DNA di dalam kromosom, dan kemudian memisahkan hasil duplikasi tersebut hingga
terjadi dua sel baru yang identik (Bruce A dkk., 2002). Siklus sel yang berlangsung
kontinyu dan berulang (siklik), disebut proliferasi. Keberhasilan sebuah proliferasi
membutuhkan transisi unidireksional dan teratur dari satu fase siklus menuju fase
berikutnya. Jenjang reaksi kimia organik yang terjadi seharusnya diselesaikan sebelum
jenjang berikutnya dimulai. Sebagai contoh, dimulainya fase mitosis sebelum selesainya
tahap replikasi DNA akan menyebabkan sel tereliminasi. Jenjang reaksi yang terjadi pada
siklus sel, sangat mirip dengan hubungan substrat-produk dari sebuah lintasan metabolik.
Produk dari sebuah jenjang reaksi akan berfungsi sebagai substrat pada jenjang
berikutnya, demikian pula dengan laju reaksi jenjang yang pertama akan menjadi batas
maksimal laju reaksi pada jenjang berikutnya. Transisi antara jenjang reaksi ditentukan
oleh lintasan pengendali ekstrinsik dan instrinsik yang terdiri dari beberapa cek poin
sebagai konfirmasi selesainya reaksi pada suatu jenjang sebelum jenjang berikutnya
dimulai. Kedua lintasan kendali dapat memiliki cek poin yang sama. Lintasan kendali
instrinsik akan menentukan setiap tahap berjalan sebagaimana mestinya. Fase S, G2 dan
22
M pada sel mamalia dikendalikan oleh lintasan ini, sehingga waktu yang diperlukan
untuk fase tersebut tidak jauh bervariasi antara satu sel dengan sel lainnya. Lintasan
kendali ekstrinsik akan berfungsi sebagai respon terhadap kondisi di luar sel. Defisiensi
lintasan kendali instrinsik seringkali menyebabkan keganasan. Penyimpangan pada
protein yang mengendalikan cek poin siklus sel fase sering juga ditemukan pada pasien
keganasan.
B. Fase siklus sel
Siklus sel terbagi menjadi dua yaitu fase fungsional, fase S dan M, dan fase persiapan, G1
dan G2 (Donald W dkk., 2012).
1. Fase S (sintesis). Merupakan tahap terjadinya replikasi DNA. Pada umumnya, sel
tubuh manusia membutuhkan waktu sekitar 8 jam untuk menyelesaikan tahap ini.
Hasil replikasi kromosom yang telah utuh, segera dipilah bersama dengan dua nuklei
masing-masing guna proses mitosis pada fase M.
2. Fase M (mitosis). Interval waktu fase M kurang lebih 1 jam. Tahap di mana terjadi
pembelahan sel. Pada mitosis, sel membelah dirinya membentuk dua sel anak yang
terpisah. Dalam fase M terjadi beberapa jenjang fase, yaitu profase, prometafase,
metafase, anafase, telofase dan sitokinesis (Tom S dkk., 2000).
3. Fase G (gap). Fase G yang terdiri dari G1 dan G2 adalah fase sintesis zat yang
diperlukan pada fase berikutnya. Pada sel mamalia, interval fase G2 sekitar 2 jam,
sedangkan interval fase G sangat bervariasi antara 6 jam hingga beberapa hari. Sel
yang berada pada fase G1 terlalu lama, dikatakan berada pada fase G0 atau quiescent.
Pada fase ini, sel tetap menjalankan fungsi metabolisnya dengan aktif, tetapi tidak
lagi melakukan proliferasi secara aktif. Sebuah sel yang berada pada fase G0 dapat
23
memasuki siklus sel kembali, atau tetap pada fase tersebut hingga terjadi apoptosis.
Pada umumnya, sel pada orang dewasa berada pada fase G0. Sel tersebut dapat
masuk kembali ke fase G oleh stimulasi antara lain berupa perubahan kepadatan sel,
mitogen atau faktor pertumbuhan dan asupan nutrisi.
4. Interfase. Merupakan sebuah jeda panjang antara satu mitosis dengan yang lain. Jeda
tersebut termasuk fase G1, S, G2.
Kemoterapi dapat diklasifikasi berdasarkan cara kerjanya pada siklus sel. Kemoterapi
yang bersifat tidak spesifik terhadap siklus sel (alkylating agents) memiliki sifat
tergantung dosis, dimana semakin besar dosis obat, semakin besar obat membunuh sel.
Gambar 2. Siklus sel
24
C. Pertumbuhan tumor
Pertumbuhan tumor dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut :
Waktu penggandaan: waktu siklus sel, dimana jenisnya bervariasi tergantung dari
jenis jaringan.
Fraksi pertumbuhan: persentase sel yang melalui siklus sel pada titik waktu
tertentu.
Cell loss: yang dapat berasal dari gagalnya siklus sel, kematian, deskuamasi,
metastasis dan migrasi.Terdapat dua jenis kematian sel yaitu apoptosis dan
nekrosis. Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang terprogram yang
penting dalam berbagai proses biologi. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan
bentuk kematian sel sebagai akibat sel yang terluka akut, apoptosis terjadi dalam
proses yang diatur sedemikian rupa yang secara umum memberi keuntungan
selama siklus kehidupan suatu organisme.
Tabel 2. Kemoterapi dan siklus sel
25
Apoptosis memiliki peranan penting dalam fenomena biologis, proses apoptosis
yang tidak sempurna dapat menyebabkan timbulnya penyakit yang sangat
bervariasi. Terlalu banyak apoptosis menyebabkan sel mengalami kekacauan,
sebagaimana terlalu sedikit apoptosis juga menyebabkan proliferasi sel yang tidak
terkontrol (kanker). Kanker, sel yang kehilangan kemampuannya untuk
melaksanakan apoptosis sehingga proliferasi sel meningkat.
Fungsi apoptosis
a. Sel yang rusak atau terinfeksi. Apoptosis dapat terjadi secara langsung ketika
sel yang rusak tidak bisa diperbaiki lagi atau terinfeksi oleh virus. Keputusan
untuk melakukan apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan di
sekitarnya, atau dari sel yang merupakan bagian sistem imun. Jika
kemampuan sel untuk ber-apoptosis rusak atau jika inisiasi apotosis dihambat,
sel yang rusak dapat terus membelah tanpa batas, berkembang menjadi
kanker.
Gambar 3. Nekrosis dan Apoptosis
26
b. Respon terhadap stress atau kerusakan DNA. Kondisi stress sebagaimana
kerusakan DNA sel yang disebabkan senyawa toksik atau pemaparan sinar
ultraviolet atau radiasi ionisasi (sinar gamma atau sinar X), dapat menginduksi
sel untuk memulai proses apoptosis. Contohnya pada kerusakan genom dalam
inti sel, adanya enzim PARP-1 memacu terjadinya apoptosis. Enzim ini
memiliki peranan penting dalam menjaga integritas genom, tetapi aktivasinya
secara berlebihan dapat menghabiskan ATP, sehingga dapat mengubah proses
kematian sel menjadi nekrosis (kematian sel yang tidak terprogram).
c. Homeostasis. Homeostasis adalah suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh
organisme yang dibutuhkan organisme hidup untuk menjaga keadaan
internalnya dalam batas tertentu. Homeostasis tercapai saat tingkat mitosis
(proliferasi) dalam jaringan seimbang dengan kematian sel. Jika
keseimbangan ini terganggu dapat terjadi sel membelah lebih cepat dari sel
mati atau sel membelah lebih lambat dari sel mati.
Mekanisme apoptosis
Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis besarnya apoptosis
dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :
1. Adanya signal kematian (penginduksi apoptosis).
2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen apoptosis yang
berhubungan, dll).
3. Tahap pelaksanaan apoptosis (degradasi DNA, pembongkaran sel, dll).
4. Fagositosis.
27
Prinsip kemoterapi kombinasi. Menggunakan prinsip kinetik, seperangkat pedoman untuk
menentukan kombinasi kemoterapi telah dilakukan sejak beberapa dekade terakhir.
Tujuan dari kombinasi ini adalah 1) membunuh sel ganas secara maksimum dalam efek
toksik yang dapat ditolerir oleh pasien; 2) menghindari terjadinya resistensi kemoterapi;
dan 3) menghambat timbulnya jalur resistensi terhadap obat baru. Kemoterapi diberikan
dengan berbagai variasi jadwal pemberian yang dirancang berdasarkan tujuan dan respon
terapi.
D. Resisten kemoterapi
Terdapat beberapa alasan untuk terjadinya resisten terhadap kemoterapi yang
melibatkan berbagai mekanisme anatomi, farmakologi, dan biokimia. Letak sel kanker
(otak, testis) dan aliran darah pada sel kanker menunjukkan hambatan anatomis;
sedangkan penjelasan farmakologi dan biokimia mencakup aktivasi/inaktivasi obat pada
jaringan sehat, penurunan akumulasi obat, peningkatan perbaikan sel terhadap efek
samping obat, perubahan target obat, dan perubahan ekspresi gen yang terjadi. Ekspresi
Tabel 3. Tahap kemoterapi
28
yang berlebihan dari gen MDR1 (MDR) adalah mediator yang paling penting yang dapat
menimbulkan terjadinya resistensi obat dengan mengkode 170-kd p-glikoprotein
transmembran. P-glikoprotein adalah energy-dependent pump yang berfungsi untuk
mengeluarkan racun atau metabolit endogen dari sel. Timbulnya MDR1 dalam jumlah
yang tinggi berhubungan dengan resistensi terhadap agen kemoterapi. Tumor yang
mengekspresikan gen MDR1 memiliki respon buruk terhadap terapi.
II.2 Malondialdehid
II.2.1. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul atau ion yang mengandung satu elektron yang tidak
berpasangan. Senyawa ini merupakan zat antara yang berumur pendek, sangat reaktif dan
berenergi tinggi, sehingga memiliki kecenderungan menarik elektron dari molekul lainnya dan
memicu reaksi berantai. Radikal bebas dihasilkan dari pemutusan ikatan kovalen secara
homolitik dimana terbentuk dua fragmen yang memiliki elektron tak berpasangan dan bersifat
radikal (Lobo V dkk., 2010).
Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai molekul atau fragmen molekul yang
mengandung satu atau lebih elektron pada atom atau molekul orbital. Dalam konsentrasi yang
tinggi, radikal bebas akan membentuk stres oksidatif, suatu proses penghancuran yang dapat
merusak seluruh sel tubuh (Pham-Huy dkk., 2008). Proses kerusakan tubuh ini terjadi bila tidak
diimbangi dengan kadar antioksidan tubuh yang baik.
Radikal bebas merupakan molekul yang kehilangan satu atau lebih elektron pada
permukaan kulit luarnya. Contohnya, O2 merupakan struktur normal dengan elektron yang
29
lengkap dari oksigen. Bila kehilangan elektronnya, struktur kimianya berubah menjadi O2- atau
dinamakan superoksida yang merupakan salah satu radikal bebas.
Atom terdiri dari nukleus, proton, dan elektron. Jumlah proton (bermuatan positip) dalam
nukleus menentukan jumlah dari elektron (bermuatan negatif) yang mengelilingi atom tersebut.
Elektron mengelilingi, atau mengorbit sebuah atom dalam satu atau lebih lapisan. Jika satu
lapisan penuh, elektron akan mengisi lapisan kedua. Lapisan kedua akan penuh jika telah
memiliki 8 elektron, dan seterusnya. Gambaran struktur terpenting sebuah atom dalam
menentukan sifat kimianya adalah jumlah elektron pada lapisan luarnya. Suatu bahan yang
elektron lapisan luarnya penuh tidak akan terjadi reaksi kimia. Karena atom-atom berusaha untuk
mencapai keadaan stabilitas maksimum, sebuah atom akan selalu mencoba untuk melengkapi
lapisan luarnya dengan:
1. Menambah atau mengurangi elektron untuk mengisi maupun mengosongkan lapisan
luarnya.
2. Membagi elektron-elektronnya dengan cara bergabung bersama atom yang lain dalam
rangka melengkapi lapisan luarnya.
Atom sering kali melengkapi lapisan luarnya dengan cara membagi elektron-elektron
bersama atom yang lain. Dengan membagi elektron, atom-atom tersebut bergabung bersama dan
mencapai kondisi stabilitas maksimum untuk membentuk molekul. Oleh karena radikal bebas
sangat reaktif, maka mempunyai spesifitas kimia yang rendah sehingga dapat bereaksi dengan
berbagai molekul lain, seperti protein, lemak, karbohidrat, dan DNA. Dalam rangka
mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam
waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya. Radikal bebas akan menyerang
molekul stabil yang terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan
30
menjadi radikal bebas juga sehingga akan memulai suatu reaksi berantai, yang akhirnya terjadi
kerusakan pada sel tersebut (Lobo V dkk., 2010).
Radikal bebas dapat terbentuk in-vivo dan in-vitro secara:
1. Pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua. Proses ini jarang terjadi
pada sistem biologi karena memerlukan tenaga yang tinggi dari sinar ultraviolet, panas,
dan radiasi ion.
2. Kehilangan satu elektron dari molekul normal.
3. Penambahan elektron pada molekul normal.
Gambar 4. Radikal bebas
31
Pada radikal bebas, elektron yang tidak berpasangan tidak mempengaruhi muatan elektrik
dari molekulnya, dapat bermuatan positip, negatif ataupun netral (Droge W., 2002).
II.2.2. Tipe Radikal Bebas
Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut
kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk di dalamnya adalah triplet
(3O2), tunggal (singlet/1O2), anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-),
peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2), radikal alkoxyl
(LO-), dan radikal peroksil (LO-2). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCL3-) berasal
dari oksidasi radikal molekul organik. Radikal mengandung hidrogen hasil dari penyerangan
atom H (H-). Bentuk lain adalah radikal yang mengandung sulfur yang diproduksi dari oksidasi 4
glutation menghasilkan radikal thiyl (R-S-). Radikal yang mengandung nitrogen juga ditemukan
misalnya radikal fenyldiazine (Husain N dkk., 2012).
II.2.3. Sumber Radikal Bebas
Radikal bebas dapat berasal dari:
1. Endogen
Tabel 4. Jenis ROS
32
Senyawa radikal dapat berasal dari proses biologis normal namun bisa terdapat dalam jumlah
berlebihan. Radikal dari sistem biologi terlibat dalam penggunaannya dalam metabolisme
asam arakhidonat melalui biosintesis eikosanoid, sebagai senyawa antara dan atau produk
dalam reaksi yang dikatalisis enzim, misalnya pada rantai transpor elektron di mitokondria,
dan bagian dari respon jaringan dalam melawan mikroorganisme. Selain itu juga dapat
berasal dari faktor NO dan iskemia reperfusi yang melibatkan metabolisme xantin oleh
xantin oksidase.
Mitokondria
Diantara berbagai organel dalam sel, mitokondria adalah tempat utama pembentukan
ROS selama proses metabolisme normal. Beberapa studi meyakini bahwa 90%
pembentukan ROS dihasilkan di mitokondria (Fletcher AE., 2010). Umumnya,
mitokondria merupakan sumber yang paling penting dari ROS dimana produksi ROS
seluler berlangsung secara terus menerus. Hal ini merupakan hasil dari transpor rantai
elektron yang terletak di membran mitokondria, yang penting untuk produksi energi
dalam sel (Valko dkk.,2006; Inoue M dkk.,2003).
Gambar 5. Pembentukan ROS di mitokondria
33
Rangkaian transport elektron fosforilasi oksidatif dalam mitokondria menghasilkan ROS
sebagai hasil samping yang tidak dapat dihindari. Rangkaian transport elektron tersebut
meliputi kompleks satu sampai empat dan ATP sintase yang terletak pada membran
dalam mitokondria. Kurang lebih 80% superoksida yang terbentuk pada komplek I dan
III, dilepas pada ruang diantara membran dalam mitokondria, sedangkan 20% sisanya
dilepas ke matriks mitokondria (Han.D dkk.,2001). Permeabilitas transition pore
mitochondria (PTPM) di membran luar mitokondria memungkinkan superoksida bocor
ke sitoplasma, yang kemudian diubah menjadi H2O2 baik di matriks mitokondria atau di
sitoplasma oleh SOD. Berbagai data mutakhir menunjukan bahwa hidrogen peroksida
dapat menembus membran sel melalui aquaporin spesifik seperti aquaporin 8. Aquaporin
8 telah dapat dideteksi pada membran dalam mitokondria dan menunjukan fungsi sebagai
saluran air dan hidrogen peroksida.
Gambar 6. Produksi ROS pada keganasan
34
Peroksisom
Peroksisom merupakan tempat kedua terbanyak dalam memproduksi radikal bebas. Pada
saat berlangsungnya proses transpor elektron, terbentuk O2 dan H2O2. Autooksidasi dari
sitokrom P-450 dan oksidasi dari NADPH oleh NADPH dehidrogenase akan memicu
terbentuknya O2-. Aktivasi nukleofil melalui proses reduksi oleh flavin monooxygenase
sistem merupakan proses lain terbentuknya ROS di mikrosom (Cederbaum AI., 2015). Di
dalam organel respirasi, superoksi dan hidrogen peroksida dibentuk dari reaksi yang
dikatalisis oleh enzim xanthin oksidase pada matriks dan membran peroksisom.
Enzim
Beberapa enzim dapat memproduksi O2- dalam sel. Dalam keadaan hipoksia, oksidase
xantine dan hipoxantine oleh xantine oksidase menghasilkan O2- yang akan memicu
kerusakan sel. Indole amine dioxigenase, enzim yang umumnya terdapat di jaringan
kecuali di hati, terlibat dalam pembentukan O2-. Tryptophan dehydrogenase yang terdapat
di sel hati juga memproduksi O2- ketika bereaksi dengan triptophan (Murphy MP., 2009).
Makrofag
Makrofag dapat memproduksi ROS dalam perannya melawan mikroorganisme, partikel
asing dan stimulus-stimulus lain. Aktivasi fagosit memicu suatu respiratory burst, yang
ditandai dengan peningkatan uptake O2, metabolisme glukosa dan penggunaaan NADPH.
NADPH-oksidase mengkatalisis reaksi tersebut, dan memicu pembentukan ROS (Bae YS
dkk., 2009), menghasilkan superoksida dan halogen radikal sebagai agen yang sitotoksik
untuk membunuh mikroorganisme yang telah di fagosit (Makker dkk,2009).
35
2. Eksogen
Senyawa radikal yang berasal dari lingkungan misalnya radiasi, asap rokok, senyawa
pencemar lingkungan, makanan olahan, olahraga yang berlebihan, dan obat-obatan.
Konsumsi lemak yang berlebihan khususnya lemak tidak jenuh sangat berpotensi
menimbulkan radikal bebas. Lemak tidak jenuh mudah sekali dioksidasi atau terserang
radikal hidroksil membentuk radikal lemak peroksida. Oksigen berlebihan saat beraktivitas
masuk melalui pernafasan lalu menyebabkan reaksi yang kompleks dalam tubuh dan
menghasilkan produk-produk sampingan berupa radikal bebas atau muncul dalam
metabolisme normal lemak.
Obat-obatan
Beberapa macam obat dapat meningkatkan produksi radikal bebas dalam bentuk
peningkatan tekanan oksigen. Bahan-bahan tersebut bereaksi bersama hiperoksida dapat
mempercepat tingkat kerusakan. Termasuk di dalamnya antibiotika kelompok quinolon
atau berikatan logam untuk aktifitasnya (nitrofurantoin), obat kanker sepertin bleomycin,
anthracyclines (adriamycin), dan methotrexate, yang memiliki aktifitas pro-oksidan.
Selain itu, radikal juga berasal dari fenilbutason, beberapa asam fenamat dan komponen
aminosalisilat dari sulfasalasin dapat menginaktifasi protease, dan penggunaan asam
askorbat dalam jumlah banyak mempercepat peroksidasi lemak (Conklin., 2004).
Radiasi
Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal
bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar gamma) dan radiasi partikel (partikel
elektron, photon, neutron, alfa dan beta) menghasilkan radikal primer dengan cara
memindahkan energinya pada komponen seluler seperti air. Radikal primer tersebut dapat
36
mengalami reaksi sekunder bersama oksigen yang terurai atau bersama cairan seluler
(Conklin., 2004).
II.2.4. Stres Oksidatif
Stress oksidatif didefinisikan sebagai sebagai suatu keadaan dimana terdapat
ketidakseimbangan antara proses oksidasi oleh radikal bebas dan proses penetralan oleh
antioksidan dalam tubuh. Pada keadaan stress oksidatif terbentuk reactive oxygen species (ROS)
yang terdiri dari radikal bebas oksigen (superoksida) dan derivatnya (radikal hidroksil) yaitu O2-,
OH dan H2O2.(Yoshikawa T dkk., 2002).
Stres oksidatif adalah gangguan dalam keseimbangan antara radikal bebas (FR), reactive
oxygen species (ROS), dan mekanisme pertahanan antioksidan endogen (Vishal dkk.,2005), atau
Gambar 7. Jalur sinyal yang di induksi oleh stres oksidatif.
37
yang lebih sederhana, adalah gangguan dalam keseimbangan antara oksidan–antioksidan
(Chandra J dkk.,2000). Baik oksidan dan antioksidan sama-sama penting untuk metabolisme
normal, transduksi sinyal dan regulasi fungsi seluler. Oleh karena itu, setiap sel dalam tubuh
manusia mempertahankan kondisi homeostasis antara oksidan dan antioksidan (Poli G
dkk.,2004).
Stres oksidatif dapat mengakibatkan cedera pada semua komponen seluler yang penting
seperti protein, DNA dan membran lemak, yang dapat menyebabkan kematian sel. Stres
oksidatif telah terbukti terlibat dalam berbagai proses fisiologis dan patologis, termasuk pada
kerusakan DNA, proliferasi, adhesi dan kelangsungan hidup sel. Bahkan terdapat beberapa
penelitian yang memberikan bukti kuat terhadap keterlibatan stres oksidatif pada proses
karsinogenesis (Pillai C.K dkk.,2002).
ROS tidak hanya memiliki efek sitotoksik, tetapi juga memiliki peran penting dalam
modulasi messenger yang mengatur fungsi penting dari membran sel, yang untuk pertahanan
hidup. Hal ini mempengaruhi status redoks intraseluler, NF-kB. Mitokondria dianggap sebagai
sumber utama dari ROS. Dalam sel yang kurang mitokondria, kerusakan yang disebabkan oleh
TNF-α dan NF-kB yang tergantung pada produksi IL-6 ditekan. Ini juga telah menunjukkan bahwa
antimycin A, suatu inhibitor dari mitochondrial electron transport, meningkatkan jumlah ROS
intraseluler dan juga meningkatkan aktivasi dari NF-kB. Dalam sel yang mengalami istirahat, NF-
kB terikat dengan IkB dan tetap tinggal dalam sitoplasma. Sinyal ekstraseluler menyebabkan
disosiasi dari 2 molekul dan IkB menjadi terurai, dimana kemudian NF-kB akan berpindah ke
nukleus dan mengaktifkan transkripsi.
Kaskade fosforilasi yang menghasilkan kompleks NF-kB/ IkB telah terbukti tergantung
pada interaksi antar protein yang berasal dari aktivasi reseptor IL-1 dan reseptor TNF. Aktivasi
38
NF-kB membutuhkan sinyal yang berasal dari active oxygen species. Keterlibatan active oxygen
species dalam pelepasan NF-kB sebagian disebabkan oleh IkB yang mengalami fosforilasi
melalui sekelompok kinase yang terlibat dalam kaskade fosforilasi. Induksi thioredoksin oleh
active oxygen species juga terlibat dalam aktivasi NF-kB, karena thioredoksin memberikan NF-kB
kemampuan untuk mengikat DNA dalam proses yang diatur oleh reaksi redoks. NF-kB
tampaknya menjadi kunci faktor transkripsi untuk menjelaskan hubungan stres oksidatif dengan
berbagai macam penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup dan mengidentifikasi mekanisme
yang tepat yang terlibat mengarah pada pengembangan terapi baru untuk berbagai penyakit.
ROS adalah molekul yang tidak berpasangan dan oleh karena itu sangat tidak stabil dan
sangat reaktif. ROS hanya dapat bertahan dalam hitungan millisecond (10-9-10-12) sebelum
bereaksi dengan molekul lain untuk menstabilkan dirinya (Makker K dkk,2009). Diketahui
berbagai macam ROS, namun yang paling banyak dipelajari karena efeknya yang berbahaya dan
Gambar 8. Stres oksidatif dan respon seluler
39
merusak adalah superoksida (O-), hidroksil (OH), dan perhidroksil (O2H) (Ladiges dkk,2010).
Kerusakan jaringan akibat serangan ROS dikenal dengan stres oksidatif, sedangkan faktor yang
dapat melindungi jaringan terhadap ROS disebut antioksidan. Berbagai jaringan yang dapat
mengalami kerusakan akibat ROS diantaranya adalah DNA, lemak dan protein. Interaksi ROS
dengan basa dari DNA dapat merubah struktur kimia DNA, apabila tidak direparasi akan
mengalami mutasi yang dapat diturunkan, terutama bila terjadi pada DNA sel germinal baik di
dalam ovarium maupun di testis, sedangkan kerusakan DNA pada sel somatik dapat mengarah
pada inisisasi keganasan (Bender DA dkk,2009). Reaksi ROS terhadap lemak tidak jenuh
membran sel dan plasma lipoprotein menyebabkan pembentukan lemak peroksida
(malondialdehid) yang secara kimiawi dapat memodifikasi protein dan basa asam nukleat. Selain
itu ROS secara kimia juga dapat memodifikasi langsung asam amino dalam protein, sehingga
tidak lagi dikenal sebagai milik sendiri (self) tetapi sebagai nonself oleh sistem imun (Fuente MD
dkk,2009). Antibodi yang dihasilkan juga akan bereaksi silang dengan protein dari jaringan
normal, sebagai awal dari muncul nya berbagai macam penyakit autoimun.
Modifikasi kimia dalam protein dan lemak pada lipoprotein (LDL) menyebabkan LDL
tidak lagi dapat dikenal oleh reseptor LDL hati, akibatnya LDL tidak dapat dibersihkan oleh hati.
Sebaliknya, LDL akan diambil oleh reseptor makrofag, yang kemudian membuat makrofag
mempunyai ukuran lebih besar dan menginfiltrasi lapisan pembuluh darah di bawah
endothelium, terutama bila sudah terjadi kerusakan endothelium sebelumnya. Infiltrasi LDL
tersebut kemudian ditutup oleh akumulasi kolesterol yang tidak teresterifikasi. Keadaan ini
menyebabkan plak aterosklerosis berkembang, sehingga pembuluh darah menjadi tersumbat.
Selain itu kerusakan tirosin residu dalam protein akibat ROS juga dapat mengarahkan
pembentukan dihidroksiphenilalanin yang selanjutnya mampu bereaksi secara non enzimatik
40
untuk membentuk radikal bebas baru. Salah satu penyebab kerusakan sel atau jaringan adalah
karena terjadinya stress oksidatif oleh radikal bebas. Sistem biologi dapat terpapar oleh radikal
bebas baik yang terbentuk endogen oleh proses metabolisme tubuh maupun eksogen seperti
pengaruh radiasi ionisasi. Radikal bebas bersifat sangat reaktif, dapat menimbulkan perubahan
biokimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup seperti protein, lemak, karbohidrat dan
nukleat. Membran sel terutama terdiri dari komponen-komponen lemak. Serangan radikal bebas
terhadap komponen lemak akan menimbulkan reaksi peroksidasi lemak yang menghasilkan
produk yang bersifat toksik terhadap sel. Dengan bertambahnya umur, kerusakan sel akibat stress
oksidatif tadi menumpuk selama bertahun-tahun sehingga terjadi penyakit-penyakit degeneratif,
keganasan, kematian sel-sel vital tertentu yang pada akhirnya akan menyebabkan proses
penuaan. (Gitawati, R, 1995 ; Purnomo S, 2000).
Akibat serangan radikal bebas maka akan terbentuk produk oksidatif yang sering
digunakan sebagai marker untuk menilai stress oksidatif, dengan penilaian yang akurat terhadap
marker tersebut dapat diketahui kondisi patologis yang terjadi pada tubuh seseorang. Biomarker
dapat ditemukan dalam darah, urin, dan cairan tubuh lainnya. Beberapa marker/petanda yang
digunakan adalah malondialdehid (MDA), 4-hidroksinenal akibat peroksidasi lemak, isoprostan
akibat kerusakan asam arakidonat, 8-hidroksiguanin dan thiaminglikol akibat kerusakan DNA.
Malondialdehid (MDA) merupakan salah satu senyawa produk dari reaksi peroksidasi
lemak yang digunakan sebagai marker (petanda) terjadinya stress oksidatif. Pada keadaan stress
oksidatif yang tinggi, terjadi peningkatan kadar MDA serum secara signifikan. Bila keadaan
stress oksidatif teratasi, kadar MDA kembali menurun. (Papas, A.M, 1999). MDA merupakan
salah satu produk final dari peroksidasi lemak. Senyawa ini terbentuk akibat degradasi radikal
41
bebas OH terhadap asam lemak tak jenuh yang nantinya ditransformasi menjadi radikal yang
sangat reaktif.
Berikut 3 macam target kerusakan oleh radikal bebas :
1. DNA dan RNA
Radikal bebas dapat memutus cincin deoksiribosa, menyebabkan kerusakan basa, terjadi
mutasi, kesalahan translasi, dan menghambat sintesis protein.
2. Protein
Pada protein yang terserang radikal bebas dapat terjadi agregasi dan cross linking,
fragmentasi, modifikasi gugus thiol, menyebabkan pengubahan transpor ion, peningkatan
influks kalsium, dan pengubahan aktivitas enzim.
3. Lemak
Radikal bebas dapat mengakibatkan lemak kehilangan ketidakjenuhan, membentuk metabolit
reaktif yang mengubah fluiditas, permeabilitas membran dan mempengaruhi enzim yang
terikat membran. Lemak tidak jenuh merupakan target yang paling rentan karena
mengandung banyak ikatan rangkap.
II.2.5 Peroksidasi Lemak
Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Lemak yang diserang bisa berasal dari aliran darah, seperti kolesterol dan lemak netral, juga
dapat berasal dari asupan makanan, yaitu lemak tidak jenuh (Devi GS dkk., 2000). Pada tahap
inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang
bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen atau adisi pada
karbon rangkap (1). Lemak tidak jenuh mudah diserang radikal pada rantai asil karena memiliki
42
sistem 1,4-pentadien yang memungkinkan pengambilan atom hidrogen dari salah satu gugus
metilen-CH2- membentuk radikal karbon. Keberadaan ikatan rangkap karbon melemahkan ikatan
karbon hidrogen dan memfasilitasi pengambilan atom hidrogen. Pada tahap propagasi,
penghilangan atom hidrogen melibatkan penyusunan ulang ikatan sebagai stabilisasi dengan
pembentukan konjugasi diena, yang mudah diserang oleh oksigen membentuk radikal peroksil
ROOº (2) (Barrera G dkk., 2012). Radikal peroksil lebih lanjut akan menyerang asam lemak lain
menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan radikal asam lemak baru melalui reaksi berantai
hingga menghasilkan lebih banyak lagi hidroperoksida (3).
Pada tahap terminasi, sesama radikal dapat bergabung menjadi molekul yang tidak reaktif atau
bereaksi dengan senyawa antioksidan sesudah senyawa tersebut terbentuk. Hati dan ginjal
merupakan temapt kegiatan oksigen radikal dan peroksidasi lemak terbanyak. Peroksida lemak
bersifat adesif terhadap molekul lain, memiliki potensial aksi yang sedang,dan aksi yang panjang
dalam sel, tetapi juga tidak dapat dikeluarkan melalui ginjal dan tetap tinggal di dalam tubuh
(Ayala A dkk., 2014). Lemak hidroperoksida dapat terurai dan dikatalisis oleh logam transisi
menghasilkan senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bersifat
sitotoksik. Pemecahan ikatan karbon selama peroksidasi lemak menyebabkan pembentukan
Gambar 9. Tahapan peroksidasi lemak
43
alkanal seperti malondialdehid. Proses peroksidasi lemak hingga terbentuknya malondialdehid
dapat terlihat seperti pada gambar.
Malondialdehid merupakan dialdehid tiga karbon yang sangat reaktif yang juga dapat
diperoleh dari hidrolisis pentosa, deoksiribosa, heksosa, beberapa asam amino dan DNA.
Senyawa ini dapat berinteraksi dengan thiol protein, gugus asam amino, crosslink lemak dan
protein, dan agregasi protein. Selain itu juga dapat dihasilkan alkenal seperti 4-hidoksinonenal
dan senyawa alkana (Ayala A dkk., 2014).
Malondialdehid (MDA) merupakan salah satu senyawa produk dari reaksi peroksidasi
lemak yang digunakan sebagai marker (petanda) terjadinya stress oksidatif. Pada keadaan stress
oksidatif yang tinggi, terjadi peningkatan kadar MDA serum secara signifikan. Bila keadaan
stress oksidatif teratasi, kadar MDA kembali menurun(Papas, A.M, 1999). MDA merupakan
salah satu produk final dari peroksidasi lemak. Senyawa ini terbentuk akibat degradasi radikal
bebas OH terhadap asam lemak tak jenuh yang nantinya ditransformasi menjadi radikal yang
sangat reaktif. Proses terbentuknya MDA dapat dijelaskan sebagai berikut, radikal bebas oksigen
O2* diproduksi melalui proses enzimatik dan non enzimatik.
Gambar 10. Proses peroksidasi lemak hingga terbentuk malondialdehid
44
Produksi MDA Melalui Proses Enzimatik
MDA dapat dihasilkan secara in vivo sebagai produk sampingan dari proses enzimatik
selama biosintesis thromboksan A2. TXA2 merupakan metabolit aktif dari asam
arakidonat yang dibentuk melalui sintase tromboksan A2 pada endoperoksida
prostaglandin atau prostaglandin H2 (PGH2). PGH2 dulunya dihasilkan oleh aksi
siklooksigenase pada asam arakhidonat.
Produksi MDA Melalui Proses Non Enzimatik
Satu campuran dari hidroperoksida lemak yang terbentuk selama proses peroksida lemak.
Radikal peroksil dari hidroperoksida dengan ikatan ganda-cis homoLLAilik yang
bergabung menjadi kelompok peroksil mengakibatkan siklisasi lebih mudah dilakukan
oleh radikal intramolekuler untuk membentuk ikatan ganda dan radikal baru. Melalui
proses non enzimatik reaksi radikal oksigen dependen, AA merupakan prekursor utama
endoperoksida bisiklik, yang kemudian mengalami reaksi lebih lanjut dengan atau tanpa
keterlibatan senyawa lain untuk menghasilkan MDA. Namun, eikosanoid lainnya dapat
juga dihasilkan oleh proses non enzimatik reaksi radikal oksigen dependen yang menjadi
prekursor dari bisiklik endoperoksida dan MDA. Penelitian terakhir telah membahas jalur
untuk pembentukan non enzimatik dari MDA di bawah kondisi tertentu.
Malondialdehid (MDA) secara luas banyak digunakan sebagai salah satu indikator
peroksidasi lemak yang dapat ditentukan dalam suatu pengukuran dengan menggunakan asam
tiobarbiturat. Metode pengukuran ini disebut TBA-reactant subtansi (TBARs) (Winarsi H, 2007).
MDA telah digunakan selama bertahun tahun sebagai biomarker yang tepat untuk
peroksidasi lemak dari asam lemak omega-3 dan omega -6 karena reaksi dengan asam
thiobarbiturat (TBA) yang relatif mudah dilakukan. Tes TBA dapat memprediksi reaktifitas
45
TBA terhadap MDA untuk menghasilkan warna merah pada kromogen; tes ini digunakan
pertama kali pada makanan oleh ahli kimia untuk mengevaluasi degradasi autoksidatif dari
lemak dan minyak. Namun, tes asam thiobarbiturat (TBARs) dikenal tidak spesifik karena
menyebabkan hanya digunakan untuk pemeriksaan kuantiifikasi MDA dari sampel in vivo.
Beberapa teknologi untuk menentukan jumlah total dan MDA bebas, seperti spektrometri massa
gas kromatographi (GC-MS/MS), spektrometri cairan kromatographi (LC-MS/MS) dan beberapa
pemeriksaan berbasis derivatisasi, telah berkembang selama beberapa dekade. Karena MDA
merupakan salah satu marker yang paling banyak digunakan dan terpercaya untuk menentukan
stres oksidatif pada kondisi-kondisi klinis dan juga karena MDA memiliki reaktifitas yang tinggi
dan toksisitas yang rendah, mendasari penggunaan MDA menjadi sangat relevan untuk riset
biomedis.
II.2.6. Metabolisme MDA
MDA dapat terbentuk melalui metabolisme secara enzimatik atau dapat melalui reaksi
protein seluler dan jaringan atau DNA yang akan mengakibatkan kerusakan biomolekuler.
Penelitian awal menunjukkan bahwa jalur biokimia untuk metabolisme MDA melibatkan
oksidasi mitokondrial aldehid dehidrogenase yang kemudian diikuti oleh dekarboksilasi untuk
menghasilkan asetaldehid, yang teroksidasi oleh aldehid dehidrogenase menjadi asetat dan
selanjutnya menjadi CO2 dan H2O (Esterbauer H dkk,1997). Di sisi lain, phosphoglucose
isomerase mungkin bertanggung jawab untuk metabolisme sitoplasma MDA untuk metilglyoxal
(MG) dan lebih lanjut untuk D-laktat oleh enzym dari sistem glyoxalase dengan menggunakan
GSH sebagai kofaktor. Sebagian dari MDA diekskresikan dalam urin sebagai berbagai enaminal
46
(RNH-CH-CH-CHO) seperti N-epsilon (2-propenal) lisin atau N-2-(propenal) serin (Esterbauer
H dkk.,1997).
Reactive Oxygen Species dan Leukemia
Telah dipahami dengan baik bahwa oksidan memiliki peran penting dalam beberapa
tahap karsinogenesis (Reuter S dkk., 2010). ROS dikaitkan dengan berbagai macam fenomena
patologis, termasuk terjadinya infeksi, peradangan, radiasi sinar ultraviolet dan radiasi sinar Ɣ,
dan meningkatnya jumlah mutasi sel (Chung YJ dkk., 2014). Peningkatan jumlah radikal bebas,
terutama superoksida anion pada pasien leukemia dan juga meningkatnya enzim antioksidan
merupakan respon protektif adaptif dan indikasi terjadinya stres oksidatif (Devi GS dkk., 2000).
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya faktor stres oksidatif pada karsinogenesis.
Beberapa oksidan endogen dianggap sebagai karsinogen alami yang dapat menyebabkan
terjadinya transformasi maligna. ROS dapat menginduksi mutasi genetik serta menimbulkan
Gambar 11. Metabolisme MDA
47
perubahan kromosom dan memberikan kontribusi untuk perkembangan tahapan karsinogenesis.
ROS juga dapat memicu secondary messenger interseluler dan memodulasi berbagai aspek
seluler termasuk proliferasi, apoptosis, dan ekspresi gen. ROS memulai karsinogenesis dengan
mengaktifkan kinase, dan denaturasi DNA melalui induksi poli ADP-ribosylasi dari kromosom
protein. Kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas terjadi dimana-mana dan signifikan
dalam menimbulkan proses metastasis. Aktivasi kaskade sinyal yang dipengaruhi oleh redoks
berubah menjadi potensial karena ROS dibentuk oleh genotoksik eksogen seperti iradiasi, sitokin
inflamasi dan karsinogen kimiawi. ROS dan perubahan potensial redoks dapat dianggap sebagai
perubahan intraseluler utama yang mengatur protein kinase, sehingga berfungsi sebagai
komponen seluler penting yang menghubungkan rangsangan eksternal dengan sinyal transduksi
dalam menanggapi stres (Long B dkk, 2011). Seperti yang diamati sebelumnya, berbagai
antioksidan jumlahnya menurun pada keganasan, SOD dan CAT mengalami penurunan di semua
pasien LLA. Adanya penurunan kadar SOD pada leukemia akut dan mengindikasikan bahwa
adanya regresi leukemia akan disertai menurunnya jumlah SOD. Temuan ini menunjukkan
bahwa terdapat perubahan dalam pertahanan antioksidan enzimatik yang dapat mengganggu
dalam fungsinya untuk menghilangkan radikal bebas.
Produksi ROS dari sel terjadi melalui beberapa mekanisme. Sumber utama ROS adalah
mitokondria. Dibandingkan dengan sel normal, sel-sel ganas tampaknya berfungsi dengan
tingkat yang lebih tinggi dari stres oksidatif endogen baik in vivo maupun in vitro.Tingginya
kadar stres oksidatif telah diamati dalam berbagai jenis sel kanker. Misalnya, sel-sel leukemia
baru yang diisolasi dari sampel darah menunjukkan peningkatan produksi ROS. Dan yang paling
penting, enzim ROS seperti superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase dan
peroksiredoksin telah terbukti banyak yang diubah oleh sel kanker. Menariknya, perubahan
48
dalam enzim ROS seperti GSH juga memiliki dampak yang signifikan terhadap metabolisme
agen alkilating. Dengan demikian, ada pengaturan yang menyimpang dari redoks homeostasis
dan adaptasi stres dalam sel-sel kanker. Dalam rangka untuk mengatasi resistensi obat yang
terkait dengan redoks adaptasi, penting untuk merancang strategi untuk mengetahui perbedaan
redoks antara sel normal dengan sel kanker. Meskipun status redoks dari Cancer Stem Cell
(CSC) belum dapat diketahui dengan jelas, terdapat kemungkinan bahwa kanker dan stem cell
normal dapat berbagi ciri yang umum sementara menunjukkan karakteristik sel ganas dalam
pengaturan redoks. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa sel-sel induk hemopoeitik yang
normal dan sel induk epitel mammary mempertahankan kadar ROS dalam jumlah yang lebih
rendah dibandingkan sel matur untuk mencegah terjadinya diferensiasi sel dan mempertahankan
proses self renewal. Dibandingkan dengan sel normal, sel-sel kanker memiliki kadar ROS yang
lebih tinggi, yang tampaknya merupakan bagian penting dalam proses inisiasi dan perkembangan
keganasan. Selain itu, adanya akumulasi ROS diduga berperan dalam perubahan sel induk
hemopoeitik normal ke sel-sel leukemia. Secara kolektif, dalam hal sifat-sifat biologis CSC, sub
populasi sel yang unik ini mungkin memiliki kapasitas anti oksidan yang tinggi untuk menjaga
ROS seluler pada tingkat yang moderat. Selain itu, adanya mekanisme pengaturan kembali anti
oksidan mungkin berkontribusi terhadap kelangsungan hidup CSC dan resistensi obat.
II.3. Kemoterapi dan Malondialdehid
Obat-obatan kemoterapi dapat menginduksi terjadinya stres oksidatif pada sistem biologi.
Selama kemoterapi kanker, stres oksidatif menginduksi peroksidasi lemak dan menghasilkan
banyak aldehid elektrofilik yang dapat menyerang banyak sasaran seluler. Produk dari stres
oksidatif ini dapat memperlambat progresi siklus sel kanker dan menyebabkan penghentian
49
checkpoint dari siklus sel, efek yang dimana dapat mengganggu kemampuan dari kemoterapi
untuk membunuh sel kanker. Aldehid juga dapat menghambat fungsi obat yang menginduksi
terjadinya apoptosis dengan menonaktifkan reseptor kematian dan menghambat aktivitas
caspase. Efek ini akan mengurangi juga efektivitas pengobatan. Penggunaan anti oksidan selama
kemoterapi dapat meningkatkan efek dengan cara mengurangi stres oksidatif yang di induksi
oleh aldehid.
Reactive oxygen species (ROS) sangat penting bagi kehidupan karena memiliki peran
yang sangat penting dalam banyak proses vital seperti transduksi sinyal dan kemampuan fagosit
untuk melakukan aktifitas bakterisida. ROS termasuk radikal bebas, seperti radikal hidroksil dan
superoksida.
Meskipun proses yang mengatur produksi ROS untuk fungsi yang penting dikontrol dengan
cermat, namun banyak proses seluler yang terjadi saat ROS dibentuk misalnya stres oksidatif
Electron Transport System (ETS) (gambar. 12) yang berada di dalam membran mitokondria.
Biasanya, elektron di transfer dari komplek I (NADH dehidrogenase) dan komplek II (suksinat
dehidrogenase) untuk koenzym Q10 dan kemudian ke komplek III, sitokrom C dan komplek IV.
Dan akhirnya, elektron ditransfer ke oksigen dengan pembentukan air. Dalam prosesnya,
Gambar 12. Electron Transport System (ETS)
50
pemasangan elektron transpor menjadi fosforilasi oksidatif menghasilkan adenosin trifosfat.
Dibawah kondisi normal, mekanisme antioksidan, termasuk antioksidan dengan berat molekul
rendah dan antioksidan sistem enzym melindungi organisme dari efek yang merusak dari stres
oksidatif. Namun dalam kondisi dimana stres oksidatif terdapat dalam jumlah yang berlebih,
misalnya pada pasien yang mendapatkan obat-obatan tertentu, mekanisme antioksidan seluler
mungkin tidak dapat mencegah terjadinya dampak yang merugikan dari ROS. Pada sel kanker,
proses untuk menghambat perkembangan melaui siklus sel dan proses apoptosis diperlukan oleh
obat-obatan kemoterapi untuk menyebabkan proses sitotoksik yang optimal. Karena banyak
kemoterapi juga mampu menghasilkan stres oksidatif pada sistem biologis, maka ROS yang
dihasilkan selama terapi dapat pula mengganggu aktifitas pengobatan.
Obat-obatan kemoterapi telah terbukti dapat menghasilkan stres oksidatif pada pasien
keganasan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan produk-produk peroksidasi lemak;
pengurangan kadar antioksidan plasma seperti vitamin E, vitamin C dan β karoten dan juga
pengurangan kadar glutathion plasma selama pemberian kemoterapi. Obat-obatan kemoterapi
yang dapat menghasilkan ROS dalam jumlah besar yaitu golongan anthracycline (doxorubicin,
epirubicin dan daunorubicin), alkylating agent, platinum coordination complexes (cisplatin,
carboplatin dan oxaliplatin), epipodophyllotoxin (etoposide dan teniposide) dan camptothecins
(topotecan dan irinotecan). Semua obat-obat kemoterapi menghasilkan sejumlah ROS karena
berfungsi untuk menginduksi terjadinya apoptosis pada sel ganas. Hal ini dikarenakan satu jalur
apoptosis yang diinduksi obat melibatkan pelepasan sitokrom C dari mitokondria. Ketika hal ini
terjadi, elektron dialihkan dari ETS ke oksigen dalam NADH dehidrogenase dan mengurangi
koenzym Q10 yang menghasilkan formasi radikal superoksida (Kaufmann SH dkk.,2005). Stres
oksidatif mengganggu terjadinya proses seluler (progresi sikus sel dan apoptosis yang diinduksi
51
obat) yang diperlukan untuk obat-obatan kemoterapi untuk menyebabkan sitotoksisitas optimal
pada sel kanker dan tingkatan paling rendah dari stres oksidatif telah terbukti mengurangi
sitotoksisitas obat anti kanker. Karenanya, pembentukan ROS yang terjadi ketika obat anti
kanker diberikan, dapat mengurangi efektifitas pengobatan. Selain itu, sejak diketahui adanya
beberapa efek samping yang terjadi di karenakan kemoterapi, maka diberikan suplemen
antioksidan selama kemoterapi untuk mengurangi efek samping serta meningkatkan respon
terhadap terapi (Conklin KA., 2004; Lamson DW dkk., 1999).
Radikal bebas yang dihasilkan selama stres oksidatif memiliki banyak target seluler,
walaupun target utamanya adalah lemak sel. Peroksidasi lemak dari asam lemak tidak jenuh
menghasilkan peroksil dan radikal alkoxyl, yang merupakan produk-produk utama peroksidasi
lemak yang sangat reaktif dan memiliki waktu peredaran yang singkat, yang akan mengalami
reaksi lebih lanjut untuk membentuk produk sekunder dari peroksidasi lemak yang mencakup
berbagai aldehid seperti malondialdehid, 4-hidroksialkenals dan akrolein. Aldehid-aldehid
tersebut bersifat lebih satbil dibandingkan dengan produk primer dan dapat menyebar di seluruh
sel dimana mereka merusak komponen seluler dan mengganggu fungsi seluler. Karena karakter
elektrofilik yang dimiliki, aldehid tersebut mengikat kelompok nukleofilik asam amino,seperti
Gambar 13. Stres oksidatif dan kemoterapi
52
sitein, lisin, histidin, serin dan tirosin, yang merupakan komponen penting dari enzim dan
diperlukan untuk menjaga struktur tersier protein (Kurata S dkk., 2000).
Pengikatan aldehid terhadap protein, yang menghasilkan penghambatan enzim dan
perubahan struktur reseptor seluler merupakan dampak dari stres oksidatif terhadap sitotoksisitas
obat antineoplastik.
Stres oksidatif mengurangi laju proliferasi sel dengan menghambat transisi sel-sel dari
G0 ke fase G1, memperpanjang fase G1, memperlambat kemajuan fase S dengan menghambat
sintesis DNA, menghambat progresi sikus sel melalui titik restriksi dan menyebabkan
penghentian pada checkpoint siklus sel (Kurata S dkk., 2000; Schakelford RF dkk., 2000).
Dengan demikian, laju proliferasi sel (sel normal dan sel kanker) menurun selama periode stres
oksidatif (Fojo T dkk., 2001). Efek dari stres oksidatif pada prolifersi sel yang paling mungkin
disebabkan oleh penghambatan enzim penting oleh aldehid, dan penghambatan polimerase
selektif DNA oleh 4-hidroksialkenal telah dibuktikan. Cyclin-dependent kinase (CDKs) adalah
target lainnya dari aldehid. Enzim ini menyebabkan progresi fase-fase dari siklus sel dan
menghambatnya, sebagai contoh, melalui CDK inhibitor p21 (mediator dari gen supresor tumor
p53), yang mencegah terjadinya lintasan melalui restriction point dan menyebabkan berhentinya
check point (Kurata S dkk., 2000).
Kemoterapi yang menunujukkan adanya hubungan dengan siklus sel, maka cara kerjanya
tergantung terhadap terjadinya progresi sel untuk meningkatkan aktivitas anti neoplastiknya, dan
adanya gangguan terhadap siklus sel tersebut akan mengurangi sifat sitotoksisitas dari
kemoterapi. Contoh kemoterapi yang menunjukkan sifat tergantung terhadap siklus sel adalah 1)
anthracycline yang menghambat aktivitas topoisomerase II dan bertindak pada fase S, 2)
antifolat dan analog nukleotida/nukleosida yang mengganggu sintesis DNA dan bertindak dalam
53
fase S, 3) vinca alkaloid yang mengganggu proses mitosis dan bertindak terutama selama fase M,
4) camptothecins yang menghambat aktivitas topoisomerase dan bertindak pada fase S. Bahkan,
platinum coordination complexes dan alkylating agents yang tidak dianggap memiliki aktivitas
sitotoksik yang berhubungan dengan siklus sel, memerlukan sel untuk progresi melalui fase S
dan fase G2 untuk terjadinya apoptosis. Selain itu, perbaikan kerusakan DNA yang disebabkan
oleh platinum coordination complexes dan alkylating agents akan menghasilkan resistensi
terhadap obat tersebut dan timbulnya checkpoint arrest selama terjadinya stres oksidatif dapat
mengakibatkan berkurangnya sitotoksisitas dari kemoterapi (Wei Q dkk., 2000; Fojo T
dkk.,2001). Dalam hal ini, pembatalan checkpoint, merupakan kebalikan dari apa yang terjadi
selama stres oksidatif,telah terbukti akan meningkatkan sitotoksisitas kemoterapi. Dengan
mengurangi terbentuknya aldehid, antioksidan dapat menetralkan efek dari stres oksidatif akibat
dari kemoterapi pada siklus sel dan meningkatkan sitotoksisitas kemoterapi.
Gambar 14. Siklus sel dan kemoterapi
54
II.4. Kerangka Teori
Aktivasimetabolik ↑
KerusakanDNA nukleus
Reactive oxygen Species ↑
Kerusakan dan mutasiDNA
Leukemia Limfoblastik Akut
DisfungsiMitokondria
Genetik,Idiopatik
Aktifitasonkogen ↑
Aktivasi kinase
Aktivasi kaskade mitokondria
PenguranganKoenzim Q10
Cellular reseptorsignaling ↑
Kemoterapi
Reactive oxygenspecies ↑
Aktivasicaspase 9
Aktivasicaspase 8
Kerusakan selulersel LLA dan normal
Aktivasi deathreceptor
Pelepasansitokrom C
Protein
Apoptosis sel sehatdan sel ganas
Pengalihan elektron ETSke oksigen dalam NADH
dihidrogenase
Reactive oxygenspecies ↑
MutasimtDNA
Menstimuliproliferasi
sel
Lemak
Primer- Alkoksil radikal↑- Peroksil radikal ↑
Sekunder- Malondialdehid ↑
Virus, ZatKimia, Radiasi
Apoptosis sel normal disumsum tulang
Destruksi sel
55
III
KERANGKA KONSEP
Bagan ini menerangkan berbagai kedudukan dan peran berbagai variabel dalam menjelaskan mengenai kadar malondialdehid sebelum
dan sesudah kemoterapi fase induksi pada leukemia limfoblastik akut
Peningkatan aktivitas metabolik
Cellular receptor signLLAingmeningkat
Disfungsi mitokondria
Peningkatan aktivitas onkogenROS
meningkatKerusakanoksidatif
Peningkatan kerusakan seluler
DNA
Protein
LipidKadar
malondi-aldehid
UmurJenis kelamin Status gizi
Kemoterapifase induksi
Variabel random
Variabel kendaliVariabel bebas
Variabel antara
Variabel tergantung
Hubungan variabelantara
Hubungan variabel random
Hubungan variabel kendali
Hubungan variabel tergantung
Hubungan variabel bebas
LLA
Keterangan :
56
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
IV.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional dengan pendekatan kohort
prospektif, yang bertujuan untuk membandingkan kadar malondialdehid sebelum dan sesudah
kemoterapi fase induksi pada pasien leukemia limfoblastik akut di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
IV.2 Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan April-Oktober 2017 di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo sampai memenuhi jumlah sampel yang ditetapkan.
IV.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien LLA yang menjalani kemoterapi berumur 1 bulan
sampai 18 tahun yang menjalani pengobatan dan terdaftar di divisi Hematologi-onkologi di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.
IV.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah pasien anak yang terdiagnosis LLA.
IV.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah pasien anak terdiagnosa LLA yang menjalani
kemoterapi fase induksi di RSUP.Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
57
IV.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.Cara pengambilan sampel adalah consecutive sampling. Sampel berupa darah vena
pasien sebelum dan sesudah kemoterapi Leukemia Limfoblastik Akut fase induksi kemudian
dicatat data-data yang berhubungan dengan penelitian. Sesudah dilakukan pengambilan darah,
sampel darah disentrifuge untuk diambil serumnya.Kemudian diletakkan dalam tabung tanpa
diberi antikoagulan,disimpan pada suhu stabil 2-8° C selama 2 hari atau pada suhu - 20° C
sampai tercapai jumlah sampel yang diinginkan.
IV.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
IV.5.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien anak yang terdiagnosis Leukemia Limfoblastik Akut dan menjalani kemoterapi
fase induksi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Pasien berumur 1 bulan sampai 18 tahun.
3. Bersedia menjadi sampel penelitian (mendapat ijin dari orang tua) dan menandatangani
persetujuan informed consent.
IV.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien Leukemia Limfoblastik Akut yang tidak menyelesaikan kemoterapi fase induksi.
2. Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dengan Acute Kidney Injury.
3. Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dengan kelainan kardiovaskuler.
58
IV.6. Perkiraan Besar Sampel
Perkiraan sampel bila proporsi (p) kadar malondialdehid pada populasi (Al-Tonbary et al,
2011) adalah 8 %, tingkat ketepatan absolut (d) yang dikehendaki adalah 10 %, tingkat
kemaknaan (α = 1,96) dan Q = 1-P, maka :
n = Zα2PQ
d2
n = (1,96)2 x (0,08 x 0,92)
(0,1)2
= 28,3 dibulatkan 30.
Hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel adalah minimal 30 orang untuk masing-masing
kelompok.
IV.7. Izin Penelitian dan Ethical Clearance
Dalam melaksanakan penelitian ini, mengajukan izin ke bagian Diklat dan Penelitian
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo. Penelitian ini dinyatakan memenuhi persyaratan etik oleh
Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
IV.8.Cara Kerja
IV.8.1. Alokasi Subjek
1. Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian ini.
59
2. Sampel penelitian yaitu pasien yang terdiagnosis Leukemia Limfoblastik Akut yang
dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo dan diberikan kemoterapi hingga fase induksi
kemudian dilakukan pengamatan dan dilakukan perbandingkan.
3. Pada kelompok protokol standard risk dilakukan pengambilan data kadar malondialdehid
melalui sampel darah vena sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi.
4. Pada kelompok protokol high risk dilakukan pengambilan data kadar malondialdehid
melalui sampel darah vena sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi.
IV.8.2. Cara Penelitian
IV.8.2.1. Prosedur Penelitian
1. Pada saat masuk rumah sakit, pasien berumur 1 bulan – 18 tahun dan didiagnosis dengan
Leukemia Limfoblastik Akut. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar Malondialdehid. Selain itu dicatat
umur, jenis kelamin, status gizi, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin.
2. Sesudah mendapatkan kemoterapi fase induksi, pasien kembali dilakukan pengambilan
sampel darah untuk pemeriksaan kadar Malondialdehid.
60
IV.8.2.2. Skema Alur Penelitian
IV.9. Identifikasi Variabel Penelitian
IV.9.1. Identifikasi Variabel
Kadar malondialdehid
Jenis Protokol Kemoterapi (Standard Risk atau High Risk)
Umur, jenis kelamin, status gizi, tipe LLA
Pasien umur 1 bulan – 18 tahun dengan LLA yang dirawat di RS WahidinSudirohusodo (n = 81)
Kriteria inklusi (n = 60)
Informed consent
Sesudah Kemoterapi faseinduksi standard risk ( n = 30)
Sebelum kemoterapi Kadar Malondialdehid
Kemoterapi
Sesudah Kemoterapi faseinduksi high risk (n = 30)
Kadarmalondialdehid
Kadarmalondialdehid
Eksklusi (n = 21)- meninggal 15 orang- menolak kemoterapi 2
orang- putus kemoterapi 4
orang
61
IV.9.2. Klasifikasi Variabel
IV.9.2.1. Berdasarkan Jenis Data dan Skala Pengukuran
1. Kadar malondialdehid dan umur merupakan variabel numerik.
2. Jenis protokol kemoterapi, jenis kelamin, stastus gizi, tipe LLA merupakan variabel
kategorikal (nominal).
IV.9.2.2. Berdasarkan Peran atau Fungsi Kedudukannya
1. Variabel bebas adalah kemoterapi.
2. Variabel tergantung kadar malondialdehid.
3. Variabel antara adalah proses biologis yang terjadi akibat kemoterapi hingga timbulnya
malondialdehid.
4. Variabel random adalah status gizi dan jenis kelamin.
5. Variabel kendali adalah umur
IV.10. Definisi Operasional Dan Kriteria Obyektif
IV.10.1. Definisi Operasional
1. Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya
sel-sel abnormal dalam darah tepi. Dan dibuktikan dengan hasil punksi sumsum tulang.
2. Kemoterapi fase induksi adalah pengobatan dengan menggunakan zat kimia yang
ditujukan pada penyembuhan kanker untuk menghambat atau menghentikan
pertumbuhan sel-sel onkogen (kanker) yang dilakukan selama 6 minggu yang berfungsi
membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Pada
penanganan kemoterapi LLA terdapat protokol kemoterapi Standard Risk dan High Risk.
62
3. Kriteria protokol Standard Risk
Jumlah leukosit < 50.000/mm3
Tidak terdapat pelebaran mediastinal
Tidak terdapat sel sel leukemia dalam cairan likuor pada diagnosis
Tidak ada leukemia testis saat diagnosis
4. Kriteria protokol High Risk
Jumlah leukosit > 50.000/mm3
Terdapat pelebaran mediastinal
Terdapat sel leukemia dalam cairan likuor pada diagnosis
Terdapat infiltrasi sel leukemia pada testis (pembesaran testis) saat diagnosis
5. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan berdasarkan keterangan orang tua yang
dicocokan dengan pemeriksaan fisik.
6. Umur adalah berdasarkan umur kronologis yang dihitung berdasarkan pengurangan
tanggal, bulan, tahun saat diambil sebagai sampel dengan tanggal dan tahun kelahiran
yang dinyatakan dalam tahun dan atau bulan.
7. Status gizi adalah keadaan gizi yang ditentukan berdasarkan parameter berat badan
terhadap tinggi badan sesuai standard NCHS 2000 untuk umur > 5 tahun dan standard
WHO untuk umur ≤ 5 tahun.
8. Malondialdehid adalah suatu metabolit hasil peroksidasi lemak oleh radikal bebas. Kadar
malondialdehid diukur dengan menggunakan metode uji asam tiobarbiturat (TBA) secara
spektrofotometri. Satuan dalam pemeriksaan malondialdehid ini adalah nmol/ml.
63
9. Sampel darah adalah pengambilan darah vena pasien Leukemia Limfoblastik Akut untuk
pemeriksaan kadar MDA pada saat awal terdiagnosis dan sesudah kemoterapi fase
induksi.
10. Defisiensi imun adalah defisiensi imunitas seluler, ditandai dengan infeksi oportunistik
yang berakibat fatal. Hal ini berhubungan erat dengan berkurangnya kekebalan tubuh,
yang prosesnya tidak terjadi seketika. Biasanya disertai gejala klinis seperti oral trush,
diare kronik, dan malnutrisi berat (Delves dan Roitt, 2000).
11. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L1: ditandai dengan sel blast yang berukuran kecil,
homogen (relatif sama besar), dengan sitoplasma sel yang sedikit dan nukleoli (anak inti)
yang samar/tidak jelas.
12. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L2: ditandai dengan sel blast yang berukuran lebih
besar, heterogen (tidak seragam), nukleoli nya terlihat jelas dan rasio inti-sitoplasma nya
rendah.
13. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L3: ditandai dengan sel blast yang besar, sitoplasma
nya bervakuol, dan terlihat pekat (basofilik).
IV.10.2. Kriteria Obyektif
1. Kadar malondialdehid, normal 0,5-1,3 nmol/ml.
2. Status Gizi :
Untuk anak > 5 tahun:
Gizi baik jika berat badan aktual dikali 100 % dan dibagi berat badan ideal menurut
tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara 90% sampai 110%.
64
Gizi kurang jika berat badan aktual dikali 100 % dan dibagi berat badan ideal
menurut tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara 70 % sampai < 90 %.
Gizi buruk jika berat badan aktual dikali 100 % dan dibagi berat badan ideal
menurut tinggi badan aktual sesuai umur terletak < 70 %.
Gizi lebih jika berat badan aktual dikali 100 % dan dibagi berat badan ideal
menurut tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara 110% sampai 120%.
Obesitas jika berat badan aktual dikali 100 % dan dibagi berat badan ideal menurut
tinggi badan aktual sesuai umur terletak >120%.
Untuk anak < 5 tahun berdasarkan kurva z score dari WHO 2006 bila BB/PB (< 2
tahun) atau BB/TB (2-5 tahun):
Diatas 3 SD : obesitas
Antara 2 SD dan 3 SD : gizi lebih
Antara persentil 2 SD dan -2 SD : gizi baik
Antara persentil -2 SD dan -3 SD : gizi kurang
Dibawah -3 SD : gizi buruk
IV.11. Pengolahan Data dan Analisis Data
Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir data penelitian, kemudian
dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data. Selanjutnya dipilih metode statistik yang
sesuai, yaitu:
IV.11.1. Analisis Univariat
Digunakan untuk deskripsi data-data berupa deskripsi frekuensi, nilai rata-rata, standard
deviasi dan rentangan.
65
IV.11.2. Analisis Bivariat
a. Uji student t.
Digunakan untuk membandingkan variabel berskala numerik yang datanya terdistribusi
normal dan mempunyai varians yang sama antara dua kelompok yang berbeda.
b. Uji Paired sample T-Test
Digunakan untuk membandingkan variabel berskala numerik yang datanya terdistribusi
normal dan mempunyai varians yang sama antara dua kelompok yang berpasangan.
c. Uji Wilcoxon
Digunakan untuk membandingkan variabel berskala numerik yang datanya berdistribusi
tidak normal dan mempunyai varians yang tidak sama antara dua kelompok yang
berpasangan.
d. Uji Mann Whitney
Digunakan untuk membandingkan variabel berskala numerik yang datanya berdistribusi
tidak normal dan mempunyai varians tidak sama antara dua kelompok yang tidak
berpasangan.
e. Uji X2 (Chi square) atau Fisher Exact test
Untuk membandingkan variabel yang berskala nominal antara dua kelompok atau lebih
yang tidak berpasangan.
Hasil uji hipotesis ditetapkan sebagai berikut :
1. Tidak bermakna, bila p > 0,05
2. Bermakna, bila p < 0,05
3. Sangat bermakna, bila p < 0,01
66
BAB V
HASIL PENELITIAN
V.1. Jumlah Sampel
Selama jangka waktu penelitian mulai bulan April 2017 sampai Oktober 2017, telah
dilakukan penelitian kohort prospektif tentang kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi
LLA fase induksi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, terhadap 81 pasien LLA
berumur 1 bulan sampai 18 tahun. Dari 81 pasien terdiagnosis LLA, yang memenuhi kriteria
inklusi terdapat 60 pasien LLA, terdiri dari 30 pasien LLA standard risk dan 30 pasien LLA high
risk. Kriteria eksklusi terdapat 21 pasien tidak menyelesaikan kemoterapi (15 orang meninggal, 2
orang menolak kemoterapi, 4 orang putus kemoterapi).
Pasien umur 1 bulan-18 tahun dengan LLA yang dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo (n = 81)
Kriteria Inklusi (n = 60)
Sebelum Kemoterapi
Eksklusi (n = 21)- meninggal 15 orang- menolak kemoterapi 2
orang- putus kemoterapi 4 orang
Sesudah kemoterapi faseinduksi high risk (n = 30)
Sesudah kemoterapi faseinduksi standard risk (n = 30)
Kadar malondialdehid Kadar malondialdehid
Kemoterapi
Informed consent
Kadar malondialdehid
67
Tabel V.1.1. Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik
sampel
LLA
Standard risk
n = 30 (%)
High risk
n = 30 (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Status gizi
Baik
Kurang
Buruk
Lebih
Umur
< 1 tahun
1- 10 tahun
>10 tahun
17 (57%)
13 (43%)
15 (50%)
8 (27%)
7 (23%)
0 (0%)
0 (0%)
30 (100%)
0 (0%)
20 (66,7%)
10 (33,3%)
17 (56,7%)
4 (13,3%)
7 (23,3%)
2 (6,7%)
1 (3,3%)
17 (56,7%)
12 (40%)
Karakteristik penelitian dari 60 sampel yang ikut dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel V.1.1. Pada kelompok standard risk (SR) LLA terdapat jenis kelamin laki-laki 17 orang
68
(57%) dan perempuan 13 orang (43%). Pada kelompok high risk (HR) LLA, terdapat jenis
kelamin laki-laki 20 orang (66,7%) dan perempuan 10 orang (33,3%).
Pada kelompok SR terdapat 15 orang (50%) gizi baik, 8 orang (27%) gizi kurang, 7
orang (23%) gizi buruk, sedangkan pada kelompok HR terdapat 17 orang (56,7%) gizi baik, 4
orang (13,3%) gizi kurang, 7 orang (23.3%) gizi buruk, 2 orang (6,7%) gizi lebih.
Kelompok SR terdapat pasien umur < 1 tahun 0 (0%), pasien umur 1-10 tahun 30 orang
(100%), pasien umur > 10 tahun 0 (0%). Pada kelompok HR terdapat pasien umur < 1 tahun 1
orang (3,3%), pasien umur 1-10 tahun 17 orang (56,7%), pasien umur > 10 tahun 12 orang
(40%).
69
V.2. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Protokol
Standard Risk (SR)
Tabel V.2.1. Perbandingan kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi
pada pasien LLA standard risk
Kadar MDA
(nmol/ml)
Standard risk
Sebelum kemoterapi
(n = 30)
Sesudah kemoterapi
(n = 30)
Nilai rerata
Nilai tengah
Simpang baku
Rentangan
12,68
6,80
21,69
1,60-117,50
6,90
4,70
4,47
2,40-21,40
Uji Wilcoxon p = 0,206 (p > 0,05)
Nilai rata-rata kadar malondialdehid (MDA) sebelum kemoterapi yaitu 12,68 nmol/ml dan
setelah kemoterapi 6,90 nmol/ml. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak terdapat perbedaan
bermakna antara kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi pada pasien LLA standard risk
dengan nilai p = 0,206 (p > 0,05).
70
V.3. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Protokol High
Risk (HR)
Tabel V.3.1. Perbandingan kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi
pada pasien LLA high risk
Kadar MDA
(nmol/ml)
High risk
Sebelum kemoterapi
(n = 30)
Sesudah kemoterapi
(n = 30)
Nilai rerata
Nilai tengah
Simpang baku
Rentangan
8,87
6,35
13,80
9,40
12,20
2,80-45,00
8,31
3,20-45,30
Uji wilcoxon p = 0,030 (p < 0,05)
Nilai rata-rata kadar malondialdehid (MDA) sebelum kemoterapi yaitu 8,87 nmol/ml dan setelah
kemoterapi 13,80 nmol/ml. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna
antara kadar MDA sebelum dan sesudah kemoterapi pada pasien LLA high risk dengan nilai p =
0,030 (p < 0,05).
71
V.4. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sebelum Kemoterapi Protokol Standard Risk (SR)
dan High Risk (HR)
Tabel V.4.1. Perbandingan kadar MDA sebelum kemoterapi pasien LLA
standard risk dengan high risk
Kadar MDA
(nmol/ml)
Sebelum kemoterapi
Standard risk
(n = 30)
High risk
(n = 30)
Nilai rerata
Nilai tengah
Simpang baku
Rentangan
12,68
6,80
8,87
6,35
8,31
3,20-45,30
21,69
1,60-117,50
Uji Wilcoxon p = 0,880 (p > 0,05)
Nilai rata-rata kadar malondialdehid (MDA) sebelum kemoterapi LLA SR yaitu 12,68 nmol/ml
dan LLA HR yaitu 8,87 nmol/ml. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak terdapat perbedaan
bermakna antara kadar MDA sebelum kemoterapi pada pasien LLA standard risk maupun high
risk dengan nilai p = 0,880 (p > 0,05).
72
V.5. Analisis Perbandingan Kadar MDA Sesudah Kemoterapi Protokol Standard Risk (SR)
dan High Risk (HR)
Tabel V.5.1. Perbandingan kadar MDA sesudah kemoterapi pasien LLA
standard risk dan high risk
Kadar MDA
(nmol/ml)
Sesudah kemoterapi
Standard risk
(n = 30)
High risk
(n = 30)
Nilai rerata
Nilai tengah
Simpang baku
Rentangan
6,90
4,70
13,80
9,40
12,20
2,80-45,00
4,47
2,40-21,40
Uji Wilcoxon p = 0,005 (p < 0,05)
Nilai rata-rata kadar malondialdehid (MDA) sesudah kemoterapi LLA SR yaitu 6,90 nmol/ml
dan LLA HR yaitu 13,80 nmol/ml. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan
bermakna antara kadar MDA sesudah kemoterapi pada pasien LLA standard risk dan high risk
dengan nilai p = 0,005 (p < 0,05).
73
BAB VI
PEMBAHASAN
Sel kanker menghasilkan radikal bebas/Reactive Oxygen Species (ROS) lebih banyak
dibandingkan dengan sel normal, sebagian karena rangsangan onkogen, peningkatan aktivitas
metabolik dan kerusakan mitokondria. ROS bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, pada
kadar yang rendah, ROS dapat memfasilitasi terjadinya apoptosis, berperan dalam sinyal
molekuler pada beberapa proses seluler dan sebagai bagian dari proses fagositosis. Sedangkan
pada kadar yang tinggi, ROS dihubungkan dengan penurunan signifikan pertahanan dari
antioksidan yang dapat menyebabkan kerusakan protein, lemak, DNA dan gangguan fungsi
seluler (Udensi K dkk, 2014).
Fosfolipid yang menjadi unsur utama dalam membran plasma dan membran organela sel
seringkali menjadi subjek dari proses oksidasi lemak. Peroksidasi lemak adalah suatu reaksi
rantai radikal bebas yang diawali dengan terbebasnya hidrogen dari suatu asam lemak tak jenuh
ganda (PUFA) oleh radikal bebas. Radikal lemak yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen
membentuk malondialdehid (MDA) yang larut dalam air dan dapat dideteksi dalam darah.
Konsekuensi penting dari peroksidasi lemak adalah meningkatnya permeabilitas membran dan
mengganggu distribusi ion-ion yang mengakibatkan kerusakan fungsi sel dan organela (Valko M
dkk, 2007).
Tatalaksana LLA menggunakan protokol LLA 2006 Indonesia. Terbagi menjadi
kelompok Standard Risk (SR) dan High Risk (HR). Pada kelompok SR, kemoterapi fase induksi
menggunakan 6 jenis regimen selama 6 minggu. Sedangkan pada kelompok HR, kemoterapi fase
74
induksi menggunakan 8 jenis regimen selama 6 minggu. Seperti yang telah diketahui, kemoterapi
tidak hanya menyerang sel kanker dengan menyerang proses replikasi, tetapi juga sel normal
yang sedang mengalami proses yang sama yang berakibat dihasilkannya kadar ROS yang tinggi.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif untuk mengetahui bagaimana kadar
malondialdehid sebelum dan sesudah kemoterapi LLA fase induksi di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar yang dilaksanakan pada April 2017 sampai Oktober 2017. Diperoleh 80
pasien terdiagnosis LLA, terdapat 59 pasien yang memenuhi kriteria inklusi terdiri dari 29 pasien
LLA standard risk dan 30 pasien LLA high risk. Kriteria eksklusi terdapat 21 pasien yang tidak
menyelesaikan kemoterapi (15 orang meninggal, 2 orang menolak kemoterapi, 4 orang putus
kemoterapi). Selanjutnya dilakukan analisis kadar malondialdehid sebelum dan sesudah
kemoterapi pada masing-masing kelompok protokol, serta analisis perbandingan kadar
malondialdehid antara dua kelompok protokol pada masing-masing waktu kemoterapi. Pada
penelitian ini jenis kelamin terbanyak baik pada kelompok LLA SR maupun LLA HR adalah
laki-laki dengan perbandingan 1,6:1. Dari berbagai hasil penelitian didapatkan bahwa LLA lebih
sering dijumpai pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 1,2-2:1 (Erdmann
dkk, 2015). Berdasarkan umur, pasien LLA pada penelitian ini terbanyak berada pada rentang
umur 1-10 tahun yang mana sejalan dengan beberapa penelitian lain diantaranya yang dilakukan
oleh de Sousa dkk (2014) di Brazil dengan hasil terbanyak pasien LLA berada pada umur 1-10
tahun (75%) dengan puncak umur 2-5 tahun. Sedangkan untuk status gizi pada pasien LLA,
didapatkan terbanyak pada status gizi baik (54%). Penelitian Perez dkk pada tahun 2008 di
Meksiko tentang penilaian status gizi pada pasien LLA selama 5 tahun didapatkan hasil bahwa
satus gizi pasien LLA terbanyak berupa status gizi baik (64,7%), gizi buruk (11,8%), gizi lebih
(14,7%).
75
Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan kadar MDA di atas normal pada 2 kali
pemeriksaan (sebelum kemoterapi dan sesudah kemoterapi fase induksi) baik pada kelompok
standard risk maupun high risk. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pembentukan stres
oksidatif (ROS) baik sebelum kemoterapi dan sesudah mendapatkan kemoterapi pada pasien
LLA yang menurut Conklin (2004) obat-obatan antineoplastik (kemoterapi) menghasilkan stres
oksidatif yang tinggi pada pasien-pasien keganasan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
peningkatan produk-produk dari peroksidasi lemak dan penurunan antioksidan plasma seperti
vitamin E, vitamin C dan beta karoten, dimana nantinya stres oksidatif ini akan mengganggu
proses seluler (apoptosis dan siklus sel) yang diperlukan oleh obat-obatan kemoterapi untuk
meningkatkan efek sitotoksik secara optimal terhadap sel kanker. Penelitian Altonbary dkk
(2008) di Mesir menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar peroksidasi lemak (MDA)
secara signifikan pada pasien LLA setelah kemoterapi fase induksi dibandingkan saat
terdiagnosis.
Penelitian Kamima di RS Dr. Cipto Mangunkusumo mengenai profil antioksidan dan
oksidan pasien anak dengan LLA pada kemoterapi fase induksi didapatkan kadar MDA di atas
nilai normal pada tiga kali pemeriksaan (sebelum kemoterapi, minggu III, sesudah fase induksi)
(Kamima dkk, 2009).
Kennedy DD dkk (2004) dan Papagergiou M dkk (2005) menunjukkan adanya
peningkatan kadar stres oksidatif dan penurunan kadar antioksidan (TAC) setelah kemoterapi
fase induksi pada LLA.
Jwan AZ (2014) melaporkan adanya korelasi positif yang menegaskan bahwa terdapat
peningkatan kadar MDA pada pasien LLA yang mendapat kemoterapi dibanding dengan
76
kelompok kontrol, yang merupakan konsekuensi dari kelainan metabolisme antioksidan akibat
dari leukemia itu sendiri maupun efek dari kemoterapi.
Zakhary dkk (2017) menyatakan tingginya kadar MDA pada pasien LLA setelah
kemoterapi fase induksi dibandingkan dengan saat terdiagnosis dan kelompok kontrol,
menunjukkan adanya pembentukan radikal bebas yang berlebihan yang diakibatkan baik oleh
LLA itu sendiri maupun akibat kemoterapi terhadap jaringan tubuh lainnya. Di sisi lain, terdapat
penelitian yang mengemukakan adanya penurunan kadar MDA pada pasien LLA setelah
kemoterapi dibandingkan dengan sebelum kemoterapi dimana dijelaskan bahwa sumber utama
dari radikal bebas adalah sel tumor itu sendiri yang mengalami kematian (V Singh dkk., 1999,
El-Sabagh dkk., 2011).
Berbeda dengan penelitian Battisti dkk (2008) di Brazil yang menyatakan bahwa
kemoterapi tidak berperan dalam peningkatan kadar stres oksidatif pada LLA tetapi
kemungkinan karena patogenesis dari leukemia itu sendiri. Hal ini didapatkan berdasarkan
adanya kadar stres oksidatif yang lebih tinggi pada pasien LLA yang tidak mendapat kemoterapi
dibandingkan yang mendapatkan kemoterapi pada penelitiannya dimana diduga adanya
keterlibatan protein karbonilasi yang tinggi pada pasien-pasien yang tidak mendapat kemoterapi.
Adanya penurunan kadar rerata MDA pada LLA SR sesudah mendapat kemoterapi
dibandingkan sebelum kemoterapi dan sebaliknya pada LLA HR mengalami peningkatan pada
penelitian ini menunjukkan bahwa stres oksidatif yang terjadi pada LLA HR lebih berat
dibandingkan dengan LLA SR, hal ini dikarenakan jumlah sel kanker pada LLA HR lebih
banyak dihancurkan saat mendapat kemoterapi. Selain itu, jumlah regimen kemoterapi pada LLA
HR lebih banyak (8 regimen) dibandingkan dengan LLA SR (6 regimen) pada fase induksi.
Senada dengan penelitian Mahmoud LB dkk (2017) di Tunisia yang menyatakan bahwa kadar
77
MDA meningkat pada fase induksi kemoterapi LLA dibandingkan dengan fase-fase lainnya. Hal
ini diakibatkan baik karena penyakit leukemia itu sendiri maupun toksisitas dari kemoterapi yang
bertujuan menyerang proses replikasi DNA pada sel kanker maupun sel normal yang sehat.
Menurut Conklin (2004), jenis kemoterapi yang paling banyak menghasilkan stres
oksidatif (ROS) adalah golongan anthracycline (daunorubicin, doxorubicin), alkylating agents
(cyclophosphamide, cisplatin, carboplatin) dan antimetabolite (metotrexate, citarabine) yang
lebih sedikit menghasilkan stres oksidatif. Seperti diketahui, jenis kemoterapi pada LLA HR
yang tidak terdapat pada LLA SR yaitu cyclophosphamide dan citarabin, dimana keduanya
termasuk golongan kemoterapi yang banyak menghasilkan stres oksidatif.
Chen Y dkk (2007) melaporkan adanya beberapa obat-obatan kemoterapi yang dapat
menginduksi terbentuknya stres oksidatif pada jaringan sehat dan menyebabkan terjadinya
“normal tissue injury.” Meskipun kemoterapi dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien-
pasien keganasan, namun stres oksidatif yang terjadi pada jaringan normal merupakan efek
samping yang signifikan yang menurunkan kualitas hidup pasien. Selain itu, stres oksidatif yang
tinggi akan mengganggu proses seluler dan apoptosis serta mengurangi sitotoksisitas dari
kemoterapi. Dan sejak diketahui adanya stres oksidatif yang tinggi beserta efek samping akibat
penggunaan kemoterapi dapat dicegah dengan beberapa antioksidan tertentu, maka pemberian
suplemen selama kemoterapi dapat mengurangi terbentuknya stres oksidatif dan dapat
meningkatkan efek dari kemoterapi. Pendapat ini didukung oleh beberapa penelitian dan studi
klinis (Lamson dkk., 1999, Vishal dkk., 2005, Valko dkk., 2007).
Beberapa penelitian lain sebelumnya (Altonbary dkk., 2004, Mahmoud LB dkk., 2017,
Battisti dkk., 2008) melaporkan peningkatan kadar MDA setelah mendapat kemoterapi namun
tidak ditemukan penelitian yang membandingkan kadar rerata MDA pada LLA HR dan SR, serta
78
penelitian ini tidak mempergunakan kontrol sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
penelitian lain.
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi data mengenai kadar MDA pada pasien
LLA yang menjalani kemoterapi fase induksi yang menunjukkan adanya kadar stres oksidatif
yang tinggi sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih dini dengan pemberian antioksidan
selama kemoterapi. Dan dari uraian hasil penelitian dapat terlihat bahwa adanya peningkatan
kadar MDA pada LLA HR dan penurunan kadar MDA pada LLA SR diakibatkan tidak hanya
oleh sel kanker itu sendiri namun juga disebabkan oleh kemoterapi yang diberikan. Peneliti
menyadari bahwa setelah dilakukan penelitian ini, sebagian hipotesis yang diajukan tidak
terbukti. Justru didapatkan adanya penurunan dari kadar MDA pada LLA SR setelah kemoterapi
fase induksi dibandingkan dengan sebelum kemoterapi.
Disadari peneliti bahwa terdapat keterbatasan dalam penelitian ini yaitu hanya menilai
kadar stres oksidatif pada pasien LLA namun tidak dilakukan pemeriksaan kadar antioksidan
sebagai pembanding. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai kadar
antioksidan pada pasien LLA. Sedangkan kekuatan penelitian ini adalah menggunakan desain
kohort prospektif yang merupakan desain terbaik dalam menentukan perjalanan penyakit atau
efek yang diteliti dalam menerangkan dinamika risiko dan efek outcome. Sehingga hasil akhir
dari penelitian ini dapat dijadikan acuan baru dalam penanganan stres oksidatif pada pasien LLA.
Penelitian ini juga membandingkan kadar MDA antara pasien LLA HR dan SR dimana masih
sangat sedikit yang meneliti antara kedua kelompok tersebut.
79
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa
1. Kadar MDA meningkat bermakna sesudah kemoterapi fase induksi pada LLA high risk
yang menunjukkan terjadinya stres oksidatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan LLA
standard risk.
2. Kadar MDA meningkat diatas normal mulai pada saat sebelum kemoterapi dan berlanjut
hingga sesudah kemoterapi fase induksi baik pada LLA SR maupun HR yang
menandakan bahwa pembentukan stres oksidatif terjadi mulai saat LLA teridentifikasi
dan berlangsung terus hingga pemberian kemoterapi.
VII.2. Saran
1. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai kadar antioksidan pada pasien LLA baik high
risk maupun standard risk dan efek suplementasi untuk memperbaiki status antioksidan
pada pasien-pasien LLA.
2. Dapat dipikirkan untuk pemberian antioksidan pada pasien LLA baik sebelum maupun
selama menjalani kemoterapi fase induksi.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed AD, Hye-Yeon C, Jung-Hyun K, Ssang-Goo C. Role of Oxidative Stress in Stem,
Cancer, and Cancer Stem Cells. Cancers 2010, 2, 859-884.
Al-Tonbary Y, Al-Haggar M, el-Ashry R, El-Dakroory S, Azzam H, Fouda A. Vitamin E and
N-acetylcystein as Antioxidant Adjuvant Therapy in Children with Acute Lymphoblastic
Leukemia. Adv Hematol 2009; 2009: 689-639.
Al-Tonbary Y, Samir AA, Maysaa Z, Ayman H. Impact of Anti-Oxidant Status and Apoptosis on
The Induction phase of Chemotherapy in Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia.
Hematology 2011.Vol 16 No 1.
Antonio A, Mario FM, Sandro A. Lipid Peroxidation: Production, Metabolism, and Signaling
Mechanisms of Malondialdehyde and 4-Hydroxy-2-Nonenal. Hindawi Publishing
Corporation Oxidative Medicine and Cellular Longevity Volume 2014, Article ID 360438,
31 pages.
Ayala A, Munoz MF, Arguelles S; Lipid Peroxidation. Production, Metabolism, and Signaling
Mechanisms of Malondialdehyde and 4-Hydroxy-2-Nonenal. Oxidative Medicine and
Cellular Longevity volume 2014 (2014), 31 pages.
Bae YS, Lee JH, Choi SH, Kim S, Almazan F, Witztum JL, Miller Y. Macrophages Generate
Reactive Oxygen Species in Response to MinimLLAy Oxidized Low-Density Lipoprotein.
Cellular Biol 2009 Jan; 104: 210-218.
Barrera G. Oxidative Stress and Lipid peroxidation Products in Cancer Progression and
Therapy. International Scholarly Research Network ISRN Oncology Volume 2012,
Article ID 137289, 21 pages.
81
Battisti V, Liesi DK, Margarete D. Measurement of Oxidative Stress and Antioxidant Status in
Acute Lymphoblastic Leukemia Patients. Clinical Biochemistry 41 (2008) 511–518.
Belson M, Kingsley B, Holmes A. Risk factors for Acute Leukemia in Children : a Review.
Environ Health Perspect. 2010 Sep; 118 (9): A380.
Bruce Alberts, Alexander Johnson, Julian Lewis, Martin Raff, Keith Roberts, and Peter Walter
(2002). Molecular Biology of the Cell - An Overview of the Cell Cycle (4 ed.). Garland
Science. ISBN 0-8153-3218-1.
Carew, J.S., Zhou, Y., Albitar, M., Carew, J.D., Keating, M.J., Huang, P. Mitochondrial DNA
Mutation in Primary Leukemia Cells After Chemotherapy: Clinical Significance and
Therapeutic Implications. Leukemia (2003) 17, 1437-1447.
Cederbaum AI. Molecular Mechanisms of The Microsomal Mixed Function Oxidases And
Biological And Pathological Implications. Redox Biol. 2015 Apr; 4: 60-73.
Chandra, J., Samali, A., Orrenius, S., Triggering and Modulation of Apoptosis by Oxidative
Stress.Free Rad. Med. Biol. 2000, 29, 323–333.
Chiaretti S, Zini G, Bassan R: Diagnosis and Subclassification of Acute Lymphoblastic
Leukemia. PMC. 2014 Nov; 6(1).
Chung YJ, Robert C, Gough SM, Rassool FV, Aplan PD: Oxidative stress leads to increased
mutation frequency in a murine model of myelodysplastic syndrome. Leuk Res 2014, 38:95–
102.
Cleaver JE, Mitchell DL (200).”15. Ultraviolet Radiation Carcinogenesis”. In Bast RC, Kuve
DW, Pollock RE. Holland-Frei Cancer Medicine (5th ed). Hamilton, Ontario: B.C.
Conklin KA. Chemotherapy-Associated Oxidative Stress: Impact on Chemotherapeutic
Effectiveness. Interative Cancer Therapies 3(4); 2004 pp. 294-300.
82
Curran E, Stock W. How I Treat: acute Lymphoblastic Leukemia in Older Adolescent and young
Adults. Blood. 2015; 125 (24): 3702-3710.
Damian G, DeavLLA, Elizabeth A. Martin, Judith MH, Ruth R. Drug-Induced Oxudative Stress
and Toxicity. Hindawi Publishing Corporation Journal of Toxicology Volume 2012, Article
ID 645460, 13 pages.
Devi GS, Prasad MH, Saraswathi I, Raghu D, Rao DN, Reddy PP. Free radicals antioxidant
enzymes and lipid peroxidation in different types of leukemias. Clin Chim Acta 2000,
293:53–62.
Droge W: Free Radicals in The Physiological Control of Cell Function. Physiol Rev 2002 Jan;
82 (1): 47-95.
El-Sabagh, M. E., K.S. Ramadan, I. M. A. El-slam, A. M. Ibrahim. Antioxidants Status in Acute
Lymphoblastic Leukemic Patients. American Journal of Medicine and Medical Sciences.
2011; 1(1): 1-6.
Ermann et al. Childhood cancer incidence patterns by race, sex, age for 2000-2006: A report
from the South African National Cancer Registry. Int.J. Cancer: 136,2628-2639 (2015).
Fletcher AE. Free Radicals, Antioxidants and Eye Diseases: Evidence from Epidemiological
Studies on Cataract and Age-Related Macular Degeneration. Ophthalmic Res. 2010; 44 (3):
191-8.
Fojo T. Cancer, DNA repair mechanisms, and resistance to chemotherapy. J Natl Cancer Inst.
2001;93:1434-1436.
Freyer, Devidas M, La M. Postrelapse Survival in Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia is
Independent of Initial Treatment Intensity: a Report from The Children’s Oncology Group.
Blood 2011; 117: 3010-3015.
83
Goto S, Naito H, Kaneko T. Hormetic Effects of Regular Exercise in Aging: Correlation with
oxidative Stress. Applied Physiology, Nutrition, and metabolism, 2007, 32(5): 948-953.
Hunger P, Muliighan CG. Acute Lymphoblasctic Leukemia in Children. N engl J Med 2015; 373:
1541-1552.
Husain N, Kumar A. Reactive Oxygen Species and Natural Antioxidants: A Review. Advances in
Bioresearch 2012 Dec; 3(4): 164-175.
Inaba H, Greaves M, Mullighan CG. Acute Lymphoblastic Leukaemia. Lancet. 2013 June 1; 381
(9881).
Izyumov DS et al. Mitochondria as Source of reactive Oxygen species under Oxidative Stress,
Study with Novel Mitochondria-Targeted Antioxidants-the “Skulachev-Ion” Derivatives.
Biochemistry (Moscow), 2010, Vol. 75, No.2, pp. 123-129.
Jinesh GG, Rikiya T., Qiang Z., Siddharth G., Kamat AM. Novel interaction is necessary for
transformation from blebbishields. Scientific Reports. 2016 Apr;6:23965.
Jovanovic JM dkk. Glutathione protects liver and kidney tissue from cadmium and lead-
provoked lipid peroxidation. J Serb. Chem. Soc. 78(2): 197-207.
Jwan AZ. Correlation between Malondialdehyde and Metanephrine in Patients with Acute
Lymphoblastic Leukemia. Baghdad Science Journal 2014; 13: 4.
Kamima K, Gatot D, Hadinegoro SR: Profil Antioksidan dan Oksidan Pada Anak dengan
Leukemia Limfoblastik Akut pada Kemoterapi Fase Induksi (Studi Pendahuluan). Sari
Pediatri 2009;11(4): 282-88.
Kennedy DD, Ladas EJ, Rheingold SR, Blumberg J, Kelly KM. Antioxidants Status Decreases in
Children with Acute lymphoblastic Leukemia During The First Six Months of Chemotherapy
Treatment. Pediatr Blood Cancer 2005; 44: 378-385.
84
Ko RH, Ji L, Barnette P. Outcome of Patients Treated for Relapsed or Refractory Acute
Lymphoblastic Leukemia: A Therapeutic Advances in Childhood Leukemia Consortium
Study. Journal Clinical Oncology 2010, 28, no. 4; 648-654.
Kurata S. Selective activation of p38 MAPK cascade and mitotic arrest caused by low level
oxidative stress. J Biol Chem. 2000;275:23413-23416.
Lichtman MA. Cigarette Smoking, Cytogeneticabnormalities, and Acute Myelogenous Leukemia.
Leukemia (2007) 21, 1137-1140.
Lobo V, Patil A, Phatak A. Free Radicals, antioxidants and Functional Foods: impact on
Human Health. Pharmacogn Rev. 2010 jul-Dec; 4(8): 118-126.
Locatelli F, Schrappe M, Bernardo ME, Rutella S: How I treat Relapsed Childhood Acute
Lymphoblastic Leukemia. Blood 2012; 120: 2807-2816.
Long B, Zhu H, Zhu C, Liu T, Meng W. Activation of the Hedgehog pathway in chronic
myelogeneous leukemia patients. J Exp Clin Cancer Res 2011, 30:8.
Mahmoud LB, Dhaffar MM dkk. Oxidative Stress in Tunisian Patients with Acute Lymphoblastic
Leukemia and Its involvement in Leukemic Relapse. J Pediatr Hematol Oncol 2017;39:e
124-e 130.
Masutani H, Kaimul AM, Nakamura H. Thioredoxin and Thioredoxin-binding Protein-2 in
Cancer and Metabolic Syndrome. Free Radical Biology and Medicine, 2007; 43; 861-868.
Mates JM, Francisca M, Sanchez-Jimenez: Role of Reactive Oxygen Species in Apoptosis:
Implications for Cancer Therapy. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology
32 (2000) 157-170.
Murphy MP. How Mitochondria Produce reactive Oxygen Species. Biochem J.2009 Jan 1; 417
(Pt 1): 1-13.
85
Nielsen F, Mikhelsen BB. Plasma Malondialdehyde as Biomarker for Oxidative Stress:
Reference Interval and Effects of Life-Style Factors. Clinical chemistry 43:7, 1209-1214
(1997).
O’Connor D, Bate J, Wade R, Clack R, Dhir S. Infection-Related Mortality in Children With
Acute Lymphoblastic Leukemia: an Analysis of Infectious Deaths on UKLLA 2003. Blood
2014.124: 1056-1061.
O’Connor, Boneva RS. Infectious Etiologies of Childhood Leukemia: Plausibility and
ChLLAenges to Proof. Environ Health Perspect. 2007 Jan; 115 (1): 146-150.
Olaniyi JA, Anifowose A, Akinloye O, Awosika EO, Rahamon SK, Arinola GO: Antoixidant
Level of Acute Leukemia Patients in Nigeria. AJOL 2011 vol 3 no.3.
Papageorgiou M, Stiakaki E, Dimitrieu H. Cancer Chemotherapy Reduces Plasma Total
Antioxidants Capacity in Children with Malignancies. Leuk Res 2005; 29: 11-16.
Perez JCJ, Gonzalez O et al. Assesment of Nutritional Status in Children With Acute
Lymphoblastic Leukemia in Northern Mexico: A 5-Year Experience. Pediatr Blood Cancer
2008; 50: 506-508.
Pham-Huy LA, Hua He, Pham-Huy C. Free Radicals, antioxidants in Disease and Health. Int J
Biomed sci. 2008 Jun; 4(2): 89-96.
Poli, G.; Biasi, F.; Chiarpotto, E. Oxidative stress and cell signaling. Curr. Med. Chem. 2004,
11,1163–1182.
Pyatt D, Hays S. a review of The Potential Association Between Childhood Leukemia and
Benzene. Chem Biol Interact. 2010 Mar 19; 184 (1-2): 151-64.
86
Rasool M, Farooq S, Malik A, Shaukat A. Assesment of Circulating Biochemical markers and
Antioxidative Status in Acute Lymphoblastic Leukemia (LLA) and Acute Myeloid Leukemia
(AML) Patients. Saudi Journal of Biological Sciences 2015; 22: 106-111.
Rebecca J, Kinsey S. Haemotological Disorders in Down Syndrome. Elsevier August 2009 (8):
377-380.
Reuter S, Gupta SC, Chaturvedi MM, Aggarwal BB. Oxidative stress, inflammation, and cancer:
how are they linked? Free Radic Biol Med 2010, 49:1603–1616.
Sanchez AM, Panana EMF. Infectious Etiology of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia,
hypotheses and Evidence. ISBN 978-953-51-0990-7, Published: April 17, 2013.
Sharma A, Rajappa M, Saxena A, Sharma M. Antioxidant status in advanced cervical cancer
patients undergoing neoadjuvant chemoradiation. Br J Biomed Sci. 2007; 64(1):23-7.
Soulier J, Cortes J. Introduction to The Review Series on Acute Lymphoblastic Leukemia. Blood
2015; 125: 3965-3966.
Stephen P, Hunger MD, Mullighan CG. Acute Lymphoblastic Leukemia in Children. N England
J Med 2015; 37: 1541-52.
Tasian SK, Loh ML, Hunger P. Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia: Integrating
Genomics into therapy. Cancer. 2015 Oct 15; 121 (20): 3577-3590.
Tom Strachan, Andrew P Read (1999). Human Molecular Genetics. University of Newcastle,
University of Manchester (2 ed.) (Wiley-Liss). p. Figure 2.10. Cell division by mitosis.
Udensi KU, Paul BT. Dual Effect of Oxidative Stress on Leukemia Cancer Induction and
Treatment. Journal of Experimental & Clinical Cancer Research (2014) 33:106.
V. Singh, P. S. Ghalaut, S. Kharb, G.P. Singh. Lymphocyte Glutathione Levels in Acute
Leukemia. Clinica Chimica Acta 285 (1999) 85-89.
87
Valko M, Moncol J, Leibfritz D. Free radicals and Antioxidants in Normal Physiological
Functions and Human Disease. The International journal of Biochemistry and Cell Biology,
2007; 39: 44-84.
Vishal, R.T.; Sharma, S.; Mahajan, A.; Bardi, G.H. Oxidative Stress: A Novel Strategy in Cancer
Treatment. JK Sci. 2005, 7, 1–3.
Wei Q, Frazier ML, Levin B. DNA repair: a double edge sword. J Natl Cancer Inst. 2000; 92:
440-441.55.
World Health Organization. IARC Classifies Radiofrequency Electromagnetic Fields As Possibly
Carcinogenic to Humans. International agency for Research on Cancer, May 31, 2011.
Xavier AC, Taub JW. Acute Leukemia in Children With Down Syndrome. Haemotologica July
2010 95: 1043-1045.
Yanada M: Time To Tune The Treatment of Ph+ LLA. Blood. 125 (24): 3674-5.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia. www.yoaifoundation.org.
Yoshikawa T, Naito Y: What is Oxidative Stress ?. JMAJ 45(7): 271–276, 2002.
Yumin Chen, Paiboon Jungsuwadee, Mary Vore1, D. Allan Butterfield, and Daret K. St. Clair.
Collateral Damage in Cancer Chemotherapy: Oxidative Stress in Nontargeted Tissues.
Molecular Interventions. July 2007. Volume 7, issue 3.
Zakhary MM dkk. Malondialdehyde and Nitric Oxide as Biomarkers for Oxidative Stress and
Response to Treatment in Pediatric Acute Lymphoblastic Leukaemia. Asian Journal of
Biochemical and Pharmaceutical Research. Issue 3 (vol. 7) 2017.
Zuckerman T, Rowe JM: Pathogenesis and Prognostication in Acute Lymphoblastic Leukemia.
PMC 2014 Jul 6: 59.
88
LAMPIRAN 1 NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPATKAN PERSETUJUAN
DARI SUBJEK PENELITIAN (INFORMASI UNTUK SUBJEK)
KADAR MALONDIALDEHID SEBELUM DAN SESUDAH KEMOTERAPI FASE INDUKSI
PADA LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
Assalamualaikum wr.wb./selamat pagi ibu/bapak, saya dr. Nia Krisdiantari, residen dari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Wahidin Sudirohusodo, yang akan melayani
ibu/bapak.
Saya akan memaparkan sedikit mengenai leukemia limfoblastk akut pada anak.
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang yang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih dimana penyebab timbulnya penyakit ini masih
belum diketahui secara pasti. Gejala yang muncul dapat berupa demam, pucat dan perdarahan.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan sumsum tulang yang
memperlihatkan proliferasi klonal dan juga penimbunan yang terjadi pada sel darah.
Penatalaksanaan dari leukemia limfoblastik akut ini terdiri dari kemoterapi dan terapi suportif
seperti pemberian transfusi darah dan antibiotika. Kemoterapi diberikan berdasarkan jenis
leukemia apakah bersifat standard risk atau kah high risk dengan berbagai kombinasi sitostatika.
Baik leukemia maupun kemoterapi ini dapat menghasilkan oksidan darah yang disebut
Malondialdehid. Kadar yang meningkat dari malondialdehid ini dapat dijadikan prognosis
perjalanan penyakit selanjutnya.
89
Pengukuran kadar malondialdehid pada penelitian ini, menggunakan darah anak. Apabila
ibu/bapak menyetujui anaknya diikutkan dalam penelitian ini, ibu/bapak dipersilahkan
menandatangani lembar persetujuan penelitian yang sudah dipersiapkan.
Keikutsertaan anak ibu/bapak dalam penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan, karena
itu ibu/bapak bisa menolak ikut atau berhenti tanpa takut akan kehilangan hak untuk mendapat
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh anakibu/bapak. Bila ibu/bapak setuju berpartisipasi
dalam penelitian ini, maka diharapkan dapat menandatangani formulir persetujuan (terlampir).
Untuk mengetahui secara mendetail mengenai penelitian ini atau ada hal-hal yang belum jelas,
dapat menghubungi saya dengan nomor telepon 085399368662.
Semua data dari penelitian ini akan dicatat dan dipublikasikan tanpa membuka data
pribadi anak ibu/bapak. Data pada penelitian ini akan dikumpulkan dan disimpan dalam file
manual maupun elektronik, diaudit dan diproses serta dipresentasikan pada :
Forum ilmiah Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-Unhas
Publikasi pada jurnal ilmiah dalam maupun luar negri.
Sesudah membaca dan mengerti penjelasan yang kami berikan, besar harapan kami
ibu/bapak bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Atas waktu dan kerjasama nya kami
mengucapkan terima kasih.
Wassalam.
Tanda tangan/identitas peneliti :
Nama : Nia Krisdiantari
Alamat : Perumahan Bumi Tamalanrea Permai Blok M no 6 Makassar. Telepon : 085399368662
90
LAMPIRAN 2: CARA KERJA PEMERIKSAAN MALONDIALDEHID
Pemeriksaan MDA dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Tiap subjek penelitian diambil sampel darah sebanyak 1 ml, sampel darah ini kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi antikoagulan (EDTA). Tabung
reaksi dibolak balik sehingga tercampur sempurna, kemudian di diamkan selama 30
menit di 4°C (dalam es).
2. Sentrifuge pada 400 rpm selama 10 menit.
3. Dengan hati-hati plasma diambil dengan pipet mikro.
4. 700 mikroliter plasma darah campur:
- 200 mikroliter larutan SDS,
- 50 mikroliter larutan BHT,
- 50 mikroliter larutan EDTA,
- 1500 mikroliter larutan asam asetat,
- 1500 mikroliter TBA.
5. Campuran kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100°C selama 60 menit.
6. Kemudian campuran diangkat dan didinginkan dalam bak es.
7. Sentrifugasi dengan kecepatan 2335 rpm selama 10 menit.
8. Absorbansi supernatan diukur dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang
532 nm.
9. Lakukan check sample secara duplikat, nilai absorbansi kemudian di konversikan ke
dalam mikro mol/liter.
10. Kadar MDA ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Kadar MDA sampel =
(absorbansi sampel : absorbansi standard) x kadar MDA standard.
DATA DASAR PENELITIAN
no Inisial RM Umur Jeniskelamin
gizi SR/HR MDASebelum
kemoterapi
MDASesudah
kemoterapi1 AV 756462 3 tahun 5 bulan P kurang SR 1,207 40,2 5,12 FA 789214 15 tahun 9 bulan L baik HR 1,267 45,3 5,73 WD 749133 5 tahun 1 bulan L buruk SR 0,355 5,0 3,44 HH 771240 10 tahun L buruk HR 0,394 5,8 4,45 AM 776345 11 tahun 5 bulan L lebih HR 0,272 3,2 5,46 MS 737402 6 tahun 11 bulan L baik HR 0,908 21,5 7,27 MM 776129 3 tahun 2 bulan L kurang SR 0,483 7,8 3,78 MI 787047 3 tahun 8 bulan L baik HR 0,332 4,5 12,19 DB 771968 13 tahun 2 bulan P baik HR 0,356 4,9 15,9
10 MG 783666 10 tahun 3 bulan L lebih HR 0,411 6,2 8,911 AO 762651 9 tahun 10 bulan L baik HR 0,373 5,4 12,912 AG 760684 2 tahun 11 bulan P kurang SR 0,467 7,4 14,513 AN 756998 11 tahun 1 bulan L kurang HR 0,346 4,8 9,614 SG 768621 2 tahun 8 bulan L baik HR 0,928 22,4 5,715 DT 754154 2 tahun10 bulan L buruk SR 1,210 40,4 4,116 HR 785035 16 tahun 1 bulan L baik HR 0,330 4,4 6,317 MD 745251 3 tahun 8 bulan P baik HR 0,350 4,9 41,018 ME 792187 4 tahun P buruk HR 0,333 4,5 43,119 CE 758220 8 tahun 11 bulan P baik SR 0,411 6,2 4,120 AA 769456 5 tahun 10 bulan P kurang SR 0,2 1,6 6,221 RE 739884 4 tahun 4 bulan P buruk HR 0,333 4,5 43,122 AD 762598 3 tahun 9 bulan P baik SR 0,305 3,9 14,623 CL 757434 7 tahun 2 bulan P kurang SR 0,333 4,5 4,024 NS 732376 6 tahun 10 bulan P baik SR 0,531 8,9 4,125 ML 790777 4 tahun 6 bulan L baik SR 0,320 4,2 21,426 JS 790120 17 tahun 1 bulan L baik HR 0,330 4,4 6,327 BC 776574 2 tahun L buruk SR 1,785 117,5 7,928 NA 799151 2 tahun 8 bulan P baik SR 0,336 4,6 6,9
29 AF 704819 6 tahun 7 bulan L baik HR 0,494 8,0 4530 MM 802241 6 tahun L buruk HR 0,424 6,5 10,531 SR 802713 6 tahun 8 bulan L kurang HR 0,516 8,5 7,432 KN 748391 1 tahun 11 bulan P kurang HR 0,475 7,6 4,233 AH 747239 6 tahun 11 bulan L buruk SR 0,677 12,8 3,634 AS 796365 12 tahun 6 bulan L baik HR 0,893 8,6 20,635 FQ 751350 3 tahun L kurang SR 0,533 9,4 9,036 FK 720017 3 tahun 5 bulan L kurang SR 0,299 10,1 3,837 FF 759375 4 tahun P kurang HR 0,438 6,8 4,438 ZI 773464 3 tahun 11 bulan P buruk HR 0,254 3,4 2,839 MN 807618 5 tahun 1 bulan L kurang HR 0,433 6,7 11,040 MR 803052 7 tahun 5 bulan L buruk HR 0,66 3,9 12,341 AB 773337 2 tahun 9 bulan L baik SR 0,436 6,7 3,642 AJ 774763 3 tahun 10 bulan L baik SR 0,414 6,2 13,743 NS 793712 10 tahun 3 bulan P baik HR 0,437 6,7 5,344 SY 754942 3 tahun 10 bulan P baik SR 0,321 4,2 4,345 AA 801589 9 tahun L buruk SR 0,906 8,5 6,746 AR 793809 5 tahun 6 bulan L baik SR 0,588 3,8 2,747 AP 727375 3 tahun 3 bulan P baik SR 1,267 13,0 10,648 RB 793017 14 tahun 1 bulan P baik HR 0,284 4,8 10,849 AD 788232 14 tahun 8 bulan P baik HR 0,327 13,4 17,250 AZ 784153 4 tahun 6 bulan L baik SR 0,373 4,8 10,851 WL 810069 7 tahun 2 bulan P buruk SR 0,456 7,2 3,452 AI 780023 4 tahun 6 bulan L buruk SR 0,484 5,6 2,453 ZA 790124 11 bulan L baik HR 0,333 11,0 9,254 FG 783540 2 tahun 4 bulan L baik SR 0,772 10,3 7,855 ZH 794888 3 tahun 10 bulan P baik SR 0,532 5,4 7,356 AC 791384 7 tahun 5 bulan L buruk HR 0,68 10,9 19,357 AL 784479 9 tahun 11 bulan L baik HR 0,732 12,0 9,158 HA 787195 3 tahun 6 bulan P kurang SR 0,56 5,8 3,759 NL 793769 6 tahun L baik SR 0,426 6,9 9,560 LN 790280 1 tahun 11 bulan L baik SR 1,21 7,6 4,2