ditjenbun.pertanian.go.idditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/RKT_Ditjen_Perkebunan... ·...
Transcript of ditjenbun.pertanian.go.idditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/RKT_Ditjen_Perkebunan... ·...
1
2
3
4
5
6
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan aparatur negara mencakup aspek yang luas. Dimulai dari
peningkatan fungsi utama pemerintahan, kelembagaan yang efektif dan
effisien dengan tata laksana yang jelas dan transparan, dilaksanakan oleh
Sumber Daya Manusia aparatur yang profesional serta berakuntabilitas
kepada mitra kerja (stakeholders). Pendayagunaan aparatur pada
hakekatnya merupakan upaya pembinaan, penyempurnaan dan
pengendalian manajemen pemerintahan secara terencana, sistematis,
bertahap, komprehensif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja
seluruh aparatur Negara dalam rangka menuju tata pemerintahan yang
baik (good governance). Upaya reformasi aparatur salah satunya
ditempuh dengan penataan akuntabilitas perencanaan kinerja.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, akuntabilitas perencanaan
kinerja di setiap organisasi publik saat ini lebih terbuka dan dapat
memberikan suatu transparansi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Oleh karena itu, organisasi publik diharapkan dapat membuat suatu
rencana stratejik (Strategic Plan), Rencana Kinerja (Performance Plan)
dan Laporan Pertanggungjawaban Kinerja (Performance Accountability
Report) organisasi yang mencerminkan transparansi dan akuntabilitas
organisasi.
Pada dasarnya Rencana Kinerja (Performance Accountability Report)
yang disusun ini merupakan uraian lebih lanjut secara periodik dari
rencana stratejik. Rencana stratejik sebagaimana diketahui merupakan
rencana umum 5 tahunan yang harus diuraikan lebih lanjut kedalam
rencana tahunan agar program dan kegiatan lebih terfokus. Dengan
adanya rencana kinerja yang telah tersusun dengan baik diharapkan
kinerja organisasi dapat semakin baik dan lebih terfokus. Setiap tahun
rencana strategis dituangkan dalam suatu perencanaan kinerja tahunan.
Rencana kinerja tahunan ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari
perencanaan strategis yang memuat seluruh target kinerja yang hendak
dicapai dalam suatu tahun beserta indikator kinerjanya. Rencana kinerja
tahunan ini berfungsi sebagai tolok ukur yang digunakan untuk menilai
keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintahan untuk suatu
periode tertentu.
Perencanaan kinerja (Performance Planning) merupakan suatu hal yang
penting bagi terselenggaranya manajemen kinerja (Performance
Management) yang baik. Untuk tujuan ini, perencanaan kinerja menjadi
7
suatu hal yang cukup kritikal yang harus dijadikan fokus perhatian oleh
manajemen. Efisiensi dan efektifitas kinerja suatu organisasi ditentukan
oleh kondisi 5 aspek yang terkait, yaitu: 1) Kelembagaan (Struktur
Organisasi), 2) Ketatalaksanaan (manajemen), 3) Sumber daya
manusianya, 4) Sarana dan Prasarana, dan 5) Anggaran. Perencanaan
kinerja merupakan proses penting yang harus dilakukan oleh instansi agar
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategis dapat
dilaksanakan dan dipantau pencapaiannya. Perencanaan kinerja
merupakan salah satu komponen SAKIP yang seyogyanya dilakukan oleh
instansi pemerintah agar lebih mudah untuk meningkatkan akuntabilitas
kinerjanya.
Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP)
mengacu pada Ketetapan MPR RI nomor : XI/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi dan
nepotisme, Instruksi Presiden RI nomor : 7 tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor : 29
tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. SAKIP sebagai
instrumen utama dalam penyelenggaraan birokrasi di lingkungan
pemerintahan mempunyai kedudukan dan peran yang sangat strategis.
Oleh karena itu dalam pelaksanaannya diperlukan komitmen yang kuat
dari seluruh stakeholder terkait lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan.
Dengan pengimplementasian SAKIP tersebut dapat diketahui secara tepat
seberapa jauh tingkat capaian kinerja, kendala/hambatan dan
permasalahan serta upaya pemecahannya.
Dokumen rencana kinerja tahunan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun
2014 memuat informasi tentang program, sasaran strategis, indikator
kinerja dan target yang akan dicapai. Program pembangunan perkebunan
pada dokumen RKT dilaksanakan dalam koridor jangka menengah pada
periode tahun 2010-2014 dan dalam hal ini Direktorat Jenderal
Perkebunan bertanggungjawab dalam melaksanakan 1 program
pembangunan perkebunan yaitu “Peningkatan Produksi, Produktivitas dan
Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan”. Dari program utama tersebut
dijabarkan kedalam kegiatan di setiap unit eselon II lingkup Ditjen.
Perkebunan yaitu :
1. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim;
2. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan
Penyegar;
3. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan;
8
4. Dukungan Penanganan Pascapanen dan Pembinaan Usaha;
5. Dukungan Perlindungan Perkebunan;
6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya;
7. Dukungan Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan
Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Medan;
8. Dukungan Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan
Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Surabaya;
9. Dukungan Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan
Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Ambon.
Dengan disusunnya rencana kinerja tahunan ini diharapkan indikator
kinerja serta target capaiannya akan didukung oleh semua pihak terkait
sehingga hasil yang dicapai dapat optimal sesuai yang dikehendaki untuk
mewujudkan manajemen pemerintah yang efektif, transparan, akuntabel
dan berorientasi pada hasil.
B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan rencana kinerja tahunan (RKT) Direktorat
Jenderal Perkebunan adalah :
1. Menghubungkan antara perencanaan strategis dan perencanaan
operasional secara terinci;
2. Menyediakan data dan informasi secara tepat, cepat dan akurat yang
menyangkut aspek perencanaan, aspek umum, aspek keuangan dan
perlengkapan, serta aspek evaluasi dan pelaporan;
3. Membantu pencapaian hasil pelaksanaan program;
4. Memudahkan proses pengukuran dan penilaian kinerja;
5. Membantu pemantauan dan evaluasi kinerja;
6. Membantu dalam menetapkan target kinerja;
7. Mewujudkan koordinasi yang mantap dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pembangunan perkebunan.
9
II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor : 61/Permentan/OT.
140/10/2010 tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pertanian bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan adalah
unsur pelaksana pada Kementerian Pertanian yang dipimpin oleh Direktur
Jenderal yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri
Pertanian. Tugas Direktorat Jenderal Perkebunan adalah merumuskan
serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
perkebunan. Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Perkebunan
menyelenggarakan fungsi :
1. Perumusan kebijakan di bidang perbenihan, budidaya, perlindungan
dan pascapanen perkebunan;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang perbenihan, budidaya, perlindungan
dan pascapanen perkebunan;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
perbenihan, budidaya, perlindungan dan pascapanen perkebunan;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perbenihan,
budidaya, perlindungan dan pascapanen perkebunan;
5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perkebunan.
Direktorat Jenderal Perkebunan terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal,
Direktorat Tanaman Semusim, Direktorat Tanaman Rempah dan
Penyegar, Direktorat Tanaman Tahunan, Direktorat Perlindungan
Perkebunan dan Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha.
A. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan
Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas memberikan pelayanan
teknis dan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan
Direktorat Jenderal Perkebunan. Dalam penyelenggaraan fungsi,
Sekretariat Direktorat Jenderal menjalankan :
1. Koordinasi, penyusunan rencana dan program, anggaran dan
kerjasama di bidang perkebunan;
2. Pengelolaan urusan keuangan dan perlengkapan;
3. Evaluasi dan penyempurnaan organisasi, tata laksana, pengelolaan
urusan kepegawaian dan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan serta pelaksanaan hubungan masyarakat dan
informasi publik;
4. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di bidang perkebunan;
10
5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Jenderal Perkebunan.
B. Direktorat Tanaman Semusim
Direktorat Tanaman Semusim mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang tanaman semusim. Dalam melaksanakan tugas
tersebut, Direktorat Tanaman Semusim menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang identifikasi dan
pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya serta
pemberdayaan dan kelembagaan tanaman semusim;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang identifikasi dan pendayagunaan
sumber daya, perbenihan, budidaya serta pemberdayaan dan
kelembagaan tanaman semusim;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
identifikasi dan pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya
serta pemberdayaan dan kelembagaan tanaman semusim;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang identifikasi dan
pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya serta
pemberdayaan dan kelembagaan tanaman semusim;
5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Semusim.
C. Direktorat Tanaman Rempah dan Penyegar
Direktorat Tanaman Rempah dan Penyegar mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang tanaman rempah dan penyegar.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Tanaman Rempah dan
Penyegar menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang identifikasi dan
pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya serta
pemberdayaan dan kelembagaan tanaman rempah dan penyegar;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang identifikasi dan pendayagunaan
sumber daya, perbenihan, budidaya serta pemberdayaan dan
kelembagaan tanaman rempah dan penyegar;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
identifikasi dan pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya
serta pemberdayaan dan kelembagaan tanaman rempah dan
penyegar;
11
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang identifikasi dan
pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya serta
pemberdayaan dan kelembagaan tanaman rempah dan penyegar;
5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Rempah dan
Penyegar.
D. Direktorat Tanaman Tahunan
Direktorat Tanaman Tahunan mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang tanaman tahunan. Dalam melaksanakan tugas
tersebut, Direktorat Tanaman Tahunan menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang identifikasi dan
pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya serta
pemberdayaan dan kelembagaan tanaman tahunan;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang identifikasi dan pendayagunaan
sumber daya, perbenihan, budidaya serta pemberdayaan dan
kelembagaan tanaman tahunan;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
identifikasi dan pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya
serta pemberdayaan dan kelembagaan tanaman tahunan;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang identifikasi dan
pendayagunaan sumber daya, perbenihan, budidaya serta
pemberdayaan dan kelembagaan tanaman tahunan;
5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Tahunan.
E. Direktorat Perlindungan Perkebunan
Direktorat Perlindungan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang perlindungan perkebunan. Dalam melaksanakan tugas
tersebut, Direktorat Perlindungan Perkebunan menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang identifikasi dan
pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) tanaman
semusim, tanaman rempah dan penyegar dan tanaman tahunan serta
dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang identifikasi dan pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) tanaman semusim, tanaman
12
rempah dan penyegar dan tanaman tahunan serta dampak perubahan
iklim dan pencegahan kebakaran;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
identifikasi dan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan
(OPT) tanaman semusim, tanaman rempah dan penyegar dan
tanaman tahunan serta dampak perubahan iklim dan pencegahan
kebakaran;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang identifikasi dan
pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) tanaman
semusim, tanaman rempah dan penyegar dan tanaman tahunan serta
dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran;
5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Perlindungan Perkebunan.
F. Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha
Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pascapanen dan pembinaan
usaha. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Pascapanen dan
Pembinaan Usaha menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pascapanen tanaman
semusim, tanaman rempah dan penyegar, tanaman tahunan,
bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta gangguan
usaha dan penanganan konflik;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pascapanen tanaman semusim,
tanaman rempah dan penyegar, tanaman tahunan, bimbingan usaha
dan perkebunan berkelanjutan serta gangguan usaha dan
penanganan konflik;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
pascapanen tanaman semusim, tanaman rempah dan penyegar,
tanaman tahunan, bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan
serta gangguan usaha dan penanganan konflik;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pascapanen
tanaman semusim, tanaman rempah dan penyegar, tanaman
tahunan, bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta
gangguan usaha dan penanganan konflik;
5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Pascapanen dan
Pembinaan Usaha.
13
III. VISI DAN MISI
A. Visi
Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan
pertanian, visi Direktorat Jenderal Perkebunan harus selaras dengan visi
pembangunan nasional dan visi pembangunan pertanian. Visi Direktorat
Jenderal Perkebunan yang ingin diwujudkan melalui pembangunan
perkebunan selama 2010-2014 adalah "Terwujudnya peningkatan
produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkebunan".
Dalam rangka mendukung visi pembangunan perkebunan tahun 2010-
2014, maka Visi Direktorat Jenderal Perkebunan adalah "Profesional
dalam memfasilitasi peningkatan produksi, produktivitas dan mutu
tanaman perkebunan berkelanjutan".
B. Misi
Mengacu pada misi pembangunan nasional dan Kementerian Pertanian
maka misi pembangunan perkebunan ditetapkan sebagai berikut:
1. Memfasilitasi peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
perkebunan;
2. Memfasilitasi penyediaan benih unggul bermutu serta sarana
produksi;
3. Memfasilitasi penanganan perlindungan tanaman dan gangguan
usaha perkebunan (GUP);
4. Memfasilitasi pengembangan usaha perkebunan serta penumbuhan
kemitraan yang sinergis antar pelaku usaha perkebunan secara
berkelanjutan;
5. Mendorong penumbuhan dan pemberdayaan kelembagaan petani
serta memfasilitasi peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka
meningkatkan harmonisasi antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi;
6. Memberikan pelayanan di bidang perencanaan, peraturan perundang-
undangan, manajemen pembangunan perkebunan dan pelayanan
teknis lainnya yang terkoordinasi, efisien dan efektif.
Untuk dapat berkontribusi secara efektif dalam misi pembangunan
perkebunan 2010-2014, maka Direktorat Jenderal Perkebunan
menetapkan misinya sebagai berikut:
14
1. Memberikan pelayanan perencanaan, program, anggaran dan
kerjasama teknis yang berkualitas; pengelolaan administrasi
keuangan dan aset yang berkualitas; memberikan pelayanan
organisasi, tata laksana, kepegawaian, humas, hukum dan
administrasi perkantoran yang berkualitas; melakukan evaluasi
pelaksanaan kegiatan dan penyediaan data serta informasi yang
berkualitas;
2. Meningkatkan kemampuan penyediaan benih unggul dan penyediaan
sarana produksi;
3. Mendorong upaya peningkatan produksi dan produktivitas usaha
budidaya tanaman semusim, tanaman rempah dan penyegar dan
tanaman tahunan;
4. Memfasilitasi terwujudnya integrasi antar pelaku usaha budidaya
tanaman perkebunan dengan pendekatan kawasan; memotivasi
penerapan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi lokal;
mendorong penumbuhan pemberdayaan petani dan kelembagaan
petani;
5. Memfasilitasi ketersediaan teknologi, sistem perlindungan
perkebunan, pengamatan dan pengendalian OPT dan penanganan
gangguan usaha serta dampak perubahan iklim;
6. Memfasilitasi peningkatan penyediaan teknologi dan penerapan
pascapanen budidaya tanaman semusim, tanaman rempah penyegar
dan tanaman tahunan; menfasilitasi peningkatan bimbingan dan
penanganan usaha perkebunan berkelanjutan seperti ISPO
(Indonesia Sustainable Palm Oil), PIR (Perusahaan Inti Rakyat),
Rekomtek (Rekomendasi Teknis); memfasilitasi peningkatan
penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan.
15
IV. TUJUAN DAN SASARAN
A. Tujuan
Untuk dapat mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional dan
tujuan pembangunan pertanian maka tujuan pembangunan perkebunan
yang ditetapkan Direktorat Jenderal Perkebunan adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan produksi, produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya
saing perkebunan;
2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
perkebunan;
3) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara dari sub sektor
perkebunan;
4) Mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan;
5) Memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan
baku industri dalam negeri;
6) Mendukung pengembangan bio-energi melalui peningkatan peran sub
sektor perkebunan sebagai penyedia bahan bakar nabati;
7) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan
berkelanjutan serta mendorong pengembangan wilayah;
8) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia perkebunan;
9) Meningkatkan peran sub sektor perkebunan sebagai penyedia
lapangan kerja;
10) Meningkatkan pelayanan organisasi yang berkualitas.
Untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan perkebunan 2010-
2014 sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Strategis
Pembangunan Perkebunan 2010-2014, maka Direktorat Jenderal
Perkebunan perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Memfasilitasi peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
semusim, tanaman rempah dan penyegar serta tanaman tahunan;
2) Memfasilitasi peningkatan kemampuan, kemandirian dan
profesionalisme pelaku usaha perkebunan serta hubungan sinergis
antar pelaku usaha perkebunan;
3) Memfasilitasi peningkatan kontribusi perkebunan dalam
mengembangkan perekonomian wilayah melalui pendekatan kawasan
pengembangan perkebunan;
16
4) Memfasilitasi peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekebun;
5) Memfasilitasi peningkatan penerimaan dan devisa negara;
6) Memfasilitasi penyediaan pangan di wilayah perkebunan;
7) Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan konsumsi dan penyediaan bahan
baku industri dalam negeri;
8) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan
berkelanjutan serta mendorong pengembangan wilayah yang
berwawasan lingkungan;
9) Mendukung pengembangan penyediaan bahan bakar nabati;
10) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan
perkebunan;
11) Meningkatkan ketersediaan dan penerapan teknologi pascapanen
budidaya tanaman tahunan, rempah penyegar dan semusim serta
meningkatkan penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan;
12) Memfasilitasi penyediaan lapangan kerja;
13) Menyusun perencanaan program dan anggaran, pelayanan
perbendaharaan, sistem akutansi dan verifikasi, penatausahaan
barang milik negara, pemutakhiran data dan informasi perkebunan,
legislasi, advokasi dan penyelenggaraan hubungan masyarakat;
penataan organisasi dan tata laksana serta kepegawaian;
mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan anggaran pembangunan
perkebunan.
Berdasarkan aspek komoditas, komoditi binaan Direktorat Jenderal
Perkebunan terdiri atas 127 jenis tanaman, berupa tanaman tahunan dan
tanaman semusim dengan areal sebaran mulai dataran rendah sampai
dataran tinggi, hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor
511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan Direktorat
Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan
Direktorat Jenderal Hortikultura serta Keputusan Menteri Pertanian nomor
3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan lampiran I dari Keputusan
Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006. Dari 127 jenis komoditi
perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan membuat prioritas
pengembangan komoditi perkebunan tahun 2010-2014 yang akan
difokuskan pada 15 komoditas unggulan nasional yaitu Karet, Kelapa
Sawit, Kakao, Kelapa, Jarak Pagar, Teh, Kopi, Jambu Mete, Lada,
Cengkeh, Kapas, Tembakau, Tebu, Nilam dan Kemiri Sunan. Indikator
yang digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan perkebunan
17
selama 5 tahun ke depan adalah luas areal, produksi dan produktivitas
pada ke-15 komoditas tersebut.
B. Sasaran
Sasaran luas areal komoditas unggulan nasional (kelapa sawit, kakao,
karet, kelapa, kopi, tebu, jambu mete, cengkeh, teh, tembakau, kapas,
lada, jarak pagar, nilam dan kemiri sunan) diproyeksikan tumbuh rata-rata
sebesar 1,49% per tahun dari 20,36 juta hektar pada tahun 2010 menjadi
21,61 juta hektar pada tahun 2014 kecuali tembakau yang luasnya
diproyeksikan konstan yaitu sebesar 205 ribu hektar selama periode tahun
2010-2014. Laju pertumbuhan sasaran luas areal tertinggi terdapat pada
komoditi kemiri sunan yang mencapai 45,83% sampai dengan tahun
2014, sedangkan laju pertumbuhan terendah terdapat pada komoditi tebu.
Sasaran luas areal komoditi kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai
angka tertinggi yaitu diproyeksikan mencapai luasan 8,98 juta hektar,
sedangkan luas areal terendah pada komoditi kemiri sunan yang
diproyeksikan mencapai 2 ribu hektar.
Laju pertumbuhan sasaran produksi tertinggi komoditas perkebunan
unggulan nasional terdapat pada komoditi kapas yang mencapai 25,29%
sampai dengan tahun 2014, sedangkan laju pertumbuhan terendah
terdapat pada komoditi cengkeh. Sasaran produksi komoditi kelapa sawit
pada tahun 2014 mencapai angka tertinggi yaitu diproyeksikan mencapai
28,4 juta CPO, sedangkan sasaran produksi terendah pada komoditi
kemiri sunan yang diproyeksikan mencapai 6 ribu biji kering.
Adapun proyeksi produktivitas komoditas unggulan nasional pada tahun
2014 yang tertinggi terdapat pada komoditi kemiri sunan yang mencapai
16.000 kg/ha dan nilai produktivitas ini konstan dari tahun 2010. Untuk
proyeksi produktivitas terendah terdapat pada komoditi cengkeh yang
hanya mencapai 295 kg/ha pada tahun 2014, hal ini berakibat juga pada
laju pertumbuhan sasaran produktivitas yang mencapai angka terendah
dari tahun 2010. Pada komoditi jarak pagar diproyeksinya mengalami laju
pertumbuhan untuk sasaran produktivitas yang tertinggi yaitu mencapai
18,99% dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014.
18
V. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Direktorat Jenderal Perkebunan sebagai salah satu institusi pelaksana
pembangunan perkebunan harus merumuskan kebijakan dan menyusun
strategi, program serta kegiatan yang dapat menjawab permasalahan dan
tantangan pembangunan perkebunan sehingga sasaran-sasaran yang
ditetapkan dapat tercapai. Adapun beberapa permasalahan yang sering
kali terjadi dan memungkinkan terjadi dimasa mendatang di dalam
mewujudkan peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
perkebunan berkelanjutan. Permasalahan tersebut adalah :
A. Belum Optimalnya Pelayanan
Pelayanan yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Perkebunan pada
umumnya belum optimal sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 81 tahun 1993 dan
Inpres (Instruksi Presiden) nomor 1 tahun 1995. Kelemahan pelayanan
tersebut tercermin dari belum terlaksananya standar operasional prosedur
(SOP) secara penuh.
B. Belum Optimalnya Koordinasi
Koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada
satuan yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Belum optimalnya koordinasi di lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan
baik internal, institusi terkait maupun dengan daerah merupakan
kelemahan yang harus mendapat perhatian serius. Sebagai contoh
berbagai varietas benih unggul yang sudah dilepas oleh pemerintah belum
terkait langsung dengan dunia usaha sehingga perbanyakan dan
distribusinya kepada masyarakat belum memadai.
C. Keterbatasan Alokasi Anggaran
Sebagaimana diketahui bahwa investasi untuk pembangunan perkebunan
setiap tahun mengalami peningkatan rata-rata 17,41% sejak tahun 2005.
Akibat keterbatasan anggaran tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan
tidak dapat memenuhi kebutuhan anggaran yang diusulkan daerah dan
stakeholders perkebunan lainnya.
Berdasarkan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan bahwa
kebutuhan investasi untuk pembangunan perkebunan tahun 2014 sebesar
Rp. 68,49 triliun sedangkan pagu anggaran indikatif (APBN) Direktorat
Jenderal Perkebunan tahun 2014 hanya sebesar Rp. 1.497.056.700.000,-
19
D. Belum Optimalnya Monitoring dan Pelaporan
Meskipun sudah ada ketentuan terkait dengan monitoring dan pelaporan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 2010
tentang Sistem Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pembangunan
Pertanian dan Peraturan Menteri Keuangan nomor : 171/PMK.05/2007
tentang Sistem Akuntabilitas dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat,
pelaksanaan pembangunan perkebunan di daerah belum termonitor
dengan baik dan pelaporannya masih sering terlambat. Salah satu
penyebabnya adalah banyaknya format pelaporan yang harus diisi oleh
daerah seperti form dari Bappenas, form dari Menteri Keuangan, form
statistik dan form lainnya.
E. Agribisnis Perkebunan Belum Efisien
Meskipun untuk komoditas tertentu seperti kelapa sawit, Indonesia
merupakan salah satu negara paling efisien dalam menjalankan
agribisnisnya, namun secara umum efisiensi agribisnis perkebunan
Indonesia masih belum memenuhi harapan. Kondisi ini tercermin dari
beberapa hal, seperti belum terpenuhinya skala ekonomi usaha agribisnis
perkebunan khususnya perkebunan rakyat, belum terintegrasinya usaha
agribisnis perkebunan dalam suatu kawasan pengembangan perkebunan
seperti yang diamanahkan dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2004
tentang Perkebunan, sumber bahan baku belum terintegrasi dengan unit
pengolahan, dominasi produk primer dalam perdagangan komoditas
perkebunan yang mengakibatkan perolehan nilai tambah tidak diminati
oleh para pelaku agribisnis perkebunan; belum optimalnya pemanfaatan
limbah dan hasil samping perkebunan dan belum terlaksananya
diversifikasi usaha perkebunan secara optimal yang dapat menjamin
kelangsungan usaha.
F. Ketersediaan dan Pemanfaatan Lahan
Dari aspek pemanfaatan lahan, peningkatan jumlah penduduk yang pesat
dan distribusinya yang tidak merata mengakibatkan daya dukung lahan
terlampaui. Kondisi demikian menimbulkan terjadinya kompetisi
pemanfaatan lahan yang kurang sehat bagi kepentingan multi sektor yang
sering kali menjadi pemicu terjadinya kasus gangguan usaha perkebunan.
Dari sisi lain, sebagian lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman
perkebunan belum diusahakan dalam usaha dan hamparan yang
ekonomis sehingga dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas usaha yang
pada gilirannya mengurangi nilai tambah bagi petani.
20
G. Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan
Dalam upaya peningkatan produksi dan mutu tanaman perkebunan
menghadapi kendala yaitu kondisi infrastruktur perkebunan yang belum
memadai seperti jalan usaha perkebunan yang umumnya sudah banyak
yang rusak sedangkan pembangunan baru dan pemeliharaan infrastruktur
sangat terbatas. Kondisi ini menghambat pekebun dan investor dalam
mengembangkan agribisnis perkebunan.
Masalah lain yang juga menghambat upaya peningkatan produktivitas dan
mutu tanaman perkebunan adalah belum optimalnya penggunaan dan
ketersediaan benih unggul bermutu/bersertifikat serta sarana produksi
lainnya, adanya serangan hama penyakit tanaman dan gangguan usaha
perkebunan (GUP), belum terpenuhinya standar populasi tanaman per
hektar dan didominasinya pertanaman oleh tanaman tua/rusak.
H. Akses Pekebun Terhadap Sumber Permodalan
Lemahnya permodalan masih merupakan kendala yang dihadapi oleh
petani dalam memulai atau mengembangkan usahanya sehingga harus
meminjam ke pihak lain. Sulitnya mengakses permodalan kepada
perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya menyebabkan petani
mencari pinjaman modal kepada para pemilik modal yang umumnya
adalah pedagang hasil perkebunan dengan sistem ijon sehingga petani
tidak leluasa menjual hasil panennya. Sebagian pekebun meminjam
modal kepada rentenir dengan bunga pinjaman yang tinggi.
Meskipun pemerintah telah menyediakan kredit melalui skim kredit
program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit
Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP),
Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun kredit komersial, namun fasilitas
kredit tersebut pada kenyataannya masih sulit diakses oleh pekebun.
Kesulitan mengakses perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya
disebabkan : a) petani belum dapat memenuhi persyaratan administrasi
perbankan, b) resiko agribisnis perkebunan yang cukup tinggi yang
menyebabkan perbankan enggan memberikan kredit, c) belum
tersedianya lembaga keuangan dan perbankan yang khusus bergerak di
bidang perkebunan, dan d) belum tersedianya lembaga penjaminan resiko
usaha perkebunan.
I. Liberalisasi Pasar Global
Secara umum komitmen negara-negara yang terlibat liberalisasi pasar
global adalah menghilangkan secara bertahap hambatan tarif (tariff
barrier) dan sebagai gantinya menerapkan hambatan non-tarif (non-tariff
barrier) dalam mekanisme ekspor-impor. Meskipun masalah hambatan
21
tarif dapat diatasi secara bertahap, namun agribisnis perkebunan
Indonesia akan menghadapi masalah yang lebih berat yaitu hambatan
non-tarif berupa hambatan teknis (technical barrier) maupun aspek
sanitasi dan fitosanitasi (sanitary and phytosanitary).
Hambatan teknis yang telah ada dan akan banyak dipakai dalam
agribisnis perkebunan ke depan adalah isu mutu produk, isu lingkungan,
isu hak asasi manusia dan isu ketenagakerjaan. Tidak jarang masing-
masing Negara/kawasan tujuan ekspor menetapkan sendiri standar untuk
ekspor atau impor produk perkebunan. Sebagai contoh Uni Eropa
mengkaitkan impor CPO dengan isu pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup berkelanjutan.
Hambatan lainnya adalah konsumen menuntut atribut produk yang lebih
detail seperti atribut keamanan produk, atribut nutrisi, atribut nilai, atribut
pengepakan, atribut lingkungan dan atribut kemanusiaan. Sebagian dari
atribut tersebut telah melembaga baik secara internasional seperti
penerapan SPS (Sanitary and Phytosanitary) maupun secara individual
melalui penerapan standar mutu produk pertanian setiap negara.
Liberalisasi pasar global juga berimplikasi pada “hilangnya” batas-batas
geografis dan administrasi suatu negara sehingga memungkinkan
penguasaan sumberdaya oleh pihak asing/negara lain dalam
memanfaatkan melimpahnya sumberdaya Indonesia melalui perusahaan
global, aliansi strategis dan perusahaan multinasional.
J. Ketidaksinambungan Kebijakan Pusat dan Daerah
Dampak negatif dari otonomi daerah dirasakan oleh pelaku usaha
perkebunan terutama kaitannya dengan beberapa kebijakan pemerintah
daerah dalam bentuk peraturan daerah yang kurang selaras dengan
kebijakan nasional seperti kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya
alam. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya kompetisi
pemanfaatan sumber daya alam yang kurang menguntungkan bagi
pembangunan perkebunan dan adanya ketimpangan antara
Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain dalam satu Provinsi.
Faktor lain adalah pemberlakuan beberapa peraturan daerah yang
membebani pelaku perdagangan dalam negeri/antar daerah dengan
berbagai pungutan atau retribusi yang mengakibatkan terjadinya
hambatan dalam internal trade (desa-kota, antar daerah dan antar pulau)
yang bermuara pada berkurangnya daya saing produk lokal di pasar
domestik.
22
K. Koordinasi Lintas Sektoral dan Daerah yang Belum Optimal
Salah satu tantangan yang dihadapi Direktorat Jenderal Perkebunan
adalah lambatnya penyelesaian status aset pusat di daerah, optimalisasi
potensi daerah yang belum sesuai dengan sasaran, pelayanan informasi
dan pelaporan yang belum cepat dan akurat, belum lengkapnya peraturan
perundang-undangan pelaksanaan Undang-Undang nomor 18 tahun
2004, ketidaksesuaian perencanaan kegiatan pusat dan daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektoral dan daerah yang belum
optimal.
L. Populasi dan Mutu Belum Sesuai dengan Standar Teknis
Sebagian besar (72%) usaha tanaman perkebunan adalah perkebunan
rakyat yang dalam pengelolaannya baik populasi tanaman per hektar
maupun mutu benihnya belum sesuai dengan standar teknis yang
ditentukan. Dengan pengelolaan kebun yang tidak teratur/tidak sesuai
standar teknis tersebut mengakibatkan produksi dan produktivitas
komoditas tanaman perkebunan belum optimal dan tidak sesuai yang
diharapkan. Kondisi ini harus diupayakan agar kedepan produksi dan
produktivitas komoditas perkebunan meningkat.
M. Perubahan Iklim yang Sulit Diprediksi
Dampak perubahan iklim global adalah terjadinya penurunan produksi dan
berubahnya agro-ekosistem mikro yang dapat menjadi penyebab
terjadinya eksplosi OPT. Selain itu, perubahan iklim global juga
menyebabkan bergesernya pola dan kalender tanam serta meningkatnya
intensitas kekeringan, kebanjiran dan kebakaran kebun. Disisi lain
teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi sub sektor
perkebunan belum begitu berkembang juga kurang tersosialisasinya
informasi dalam antisipasi perubahan iklim terkait usaha tani perkebunan.
N. Sumber Benih Belum Terintegrasi dengan Wilayah Pengembangan
Kebutuhan benih bermutu yang semakin meningkat ini perlu diikuti
ketersediaan sumber benih, namun demikian belum semua wilayah
mempunyai sumber benih. Keberadaan industri benih hanya di daerah
tertentu dan belum tersebar di wilayah pengembangan komoditas
perkebunan. Sebagai langkah awal, upaya meningkatkan integrasi
pengembangan sumber benih dengan wilayah pengembangan komoditas
perkebunan dilakukan terutama untuk pengembangan sumber daya
manusia (SDM) perbenihan dan sarana produksi.
O. Kepemilikan Lahan yang Terbatas
Lebih dari 80% produksi komoditi perkebunan berasal dari perkebunan
rakyat yang terdiri dari kepemilikan lahan yang terbatas berbasis usaha
23
tradisional baik dari aspek budidaya, pascapanen dan pemasarannya.
Sesuai dengan kebijakan Ditjen. Perkebunan maka fokus perhatian
pengembangan perkebunan tidak hanya pada aspek hulu (on farm),
namun juga pada aspek hilir (off farm) termasuk ketersediaan lahan dan
kepemilikannya.
P. Daya Saing Komoditas yang Rendah
Penanganan pascapanen merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah suatu
komoditas perkebunan. Pada kenyataannya, hasil perkebunan di
Indonesia kerapkali kalah bersaing di pasar internasional karena mutu
hasil rendah yang disebabkan terkontaminasi dengan kotoran dan benda-
benda asing serta pengeringan kurang sempurna sehingga dalam
perjalanan ke tangan konsumen sering mengalami kerusakan. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa penanganan pascapanen produk perkebunan
belum dilakukan dengan optimal.
Q. Keterbatasan Akses Teknologi Pascapanen
Tantangan dari segi teknologi adalah kesenjangan dalam inovasi teknologi
terutama teknologi pascapanen, rendahnya pengertian masyarakat
tentang teknologi itu sendiri dan kurangnya pemerataan alih teknologi ke
perdesaan sebagai pusat pengembangan lahan perkebunan. Perlunya
bimbingan pelatihan kepada petani tentang teknologi dan sarana
pascapanen akan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan teknologi
pascapanen. Selain itu dengan melakukan penerapan Good Handling
Practise (GHP) dengan baik dan benar sehingga petani akan lebih
memiliki struktur yang jelas tentang teknologi pascapanen dalam budidaya
perkebunan, memberikan bantuan peralatan pascapanen, bantuan modal
kerja kepada Gapoktan dan menyiapkan pedoman GHP.
R. Konflik dan Gangguan Usaha Perkebunan
Perkembangan perkebunan besar yang membuka lahan secara besar-
besaran dengan mengkonversi hutan tropika basah dan hutan/lahan
pasang surut telah memunculkan kritik nasional dan internasional yang
memicu adanya konflik dan Gangguan Usaha Perkebunan (GUP). Konflik
ini timbul karena masalah yang dikaitkan kerusakan lingkungan hidup.
Permasalahan lain antara lain adanya sengketa atau kasus perkebunan
antara masyarakat dan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU),
penjarahan hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan
alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konflik ini bukan hanya
membahayakan kelangsungan usaha perkebunan itu sendiri tetapi juga
akan menurunkan minat investasi dan yang lebih berbahaya adalah
menimbulkan disintegrasi sosial.
24
S. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan
Jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia yang menangani bidang
perkebunan masih sangat terbatas dan kurang memadai ditambah
kurangnya pengetahuan dan ketrampilan petani dan petugas lapangan
perkebunan sehingga akan menghambat perkembangan perkebunan
kedepan. Masalah kelembagaan juga menjadi tantangan yang serius
dimana belum optimalnya kemitraan antara perusahaan perkebunan
besar dengan kelompok petani dan belum sempurnanya infrastruktur yang
menunjang sistem distribusi dan transportasi hasil perkebunan rakyat.
T. Hambatan Pelaksanaan Perizinan Usaha
Belum adanya sinergi antara kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota akan mempengaruhi pelaksanaan perizinan
usaha sehingga dapat menghambat pembangunan perkebunan di
Indonesia. Selain itu masalah banyaknya tumpah tindih izin lokasi usaha,
reformasi birokrasi perizinan belum berjalan sebagaimana mestinya dan
otonomi daerah belum sepenuhnya mendukung reformasi birokrasi.
U. Penurunan Kehilangan Hasil
Tujuan utama peningkatan pascapanen hasil perkebunan adalah untuk
mengurangi kehilangan hasil. Menurunnya kehilangan hasil baik yang
disebabkan kehilangan fisik maupun penyusutan dan penurunan kualitas
sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hasil perkebunan dan
pasokan bahan baku industri. Kondisi yang diharapkan adalah dengan
meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petani dalam penanganan
pascapanen yang baik (Good Handling Practises) melalui pembinaan
yang intensif dan berkelanjutan; peningkatan penggunaan mutu peralatan
pascapanen dan pemanfaatannya yang optimal; serta mengembangkan
kelembagaan pascapanen.
V. Kurangnya Investasi Usaha Perkebunan
Kurangnya kegiatan investasi usaha perkebunan dapat menghambat
pembangunan perkebunan. Untuk itu perlunya mendorong iklim investasi
yang kondusif dalam mengembangkan agro-bisnis perkebunan dan
meningkatkan peran serta perkebunan, UMKM (Usaha Mikro Kecil dan
Menengah), masyarakat dan swasta.
W. Masalah Dukungan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup
Diperlukan upaya pemanfaatan sumber daya perkebunan secara optimal
sesuai dengan daya dukung sehingga pelestariannya dapat tetap terjaga.
Strategi yang dapat diterapkan antara lain dengan penerapan sistem
pertanian konservasi pada wilayah perkebunan termasuk lahan kritis,
25
lahan miring, lahan gambut, DAS (Daerah Aliran Sungai) hulu dan
pengembangan perkebunan di kawasan penyangga yang mempunyai nilai
konservasi tinggi sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air,
meningkatkan penerapan paket teknologi ramah lingkungan dan
meningkatkan kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan
karbon dan penyedia oksigen serta peningkatan peran fungsi hidro-
orologis.
26
VI. KEBIJAKAN DAN STRATEGI
A. Kebijakan
Dengan memperhatikan arah kebijakan nasional dan pembangunan
pertanian periode 2010-2014 dalam menjalankan tugas pelaksanaan
pembangunan perkebunan di Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan
merumuskan kebijakan yang akan menjadi kerangka pembangunan
perkebunan periode tahun 2010-2014 yang dibedakan menjadi Kebijakan
Umum dan Kebijakan Teknis Pembangunan Perkebunan Tahun 2010-
2014. Kebijakan Umum Pembangunan Perkebunan adalah mensinergikan
seluruh sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing
usaha perkebunan, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk
perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan
penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu
pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola
pemerintahan yang baik.
Adapun Kebijakan Teknis Pembangunan Perkebunan yang merupakan
penjabaran dari kebijakan umum pembangunan perkebunan yaitu
meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan
berkelanjutan melalui pengembangan komoditas, sumber daya manusia
(SDM), kelembagaan dan kemitraan usaha, investasi usaha perkebunan
sesuai kaidah pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan
hidup dengan dukungan pengembangan sistem informasi manajemen
perkebunan.
Salah satu kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan adalah mengacu
pada Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, tahun ini
memasuki periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahap ke-2 (2010-2014) dan tahun 2013 merupakan tahun ke-4
dari pelaksanaan RPJMN tersebut. Pada RPJMN tahap ke-2 ini,
pembangunan perkebunan tetap memegang peranan yang penting dan
strategis. Peran strategis sub sektor perkebunan tersebut digambarkan
melalui kebijakan untuk berkontribusi nyata dalam mensukseskan
pencapaian Empat Target Utama Pembangunan Pertanian. Komoditi
Tebu ditetapkan sebagai bahan baku pokok untuk mencapai
Swasembada Gula Nasional yang menjadi komponen dari Pencapaian
Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Selanjutnya, untuk
Peningkatan Diversifikasi pangan, Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing
dan Ekspor serta peningkatan kesejahteraan petani difasilitasi juga
pengembangan komoditi perkebunan lain yang dikategorikan sebagai 15
27
komoditi unggulan Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu Kelapa Sawit,
Karet, Kelapa, Jambu Mete, Kemiri Sunan, Lada, Cengkeh, Teh, Kakao,
Kopi, Jarak Pagar, Nilam, Tembakau dan Kapas.
B. Strategi
Upaya Direktorat Jenderal Perkebunan dalam mendukung pencapaian
Empat Target Utama Kementerian Pertanian tersebut menghadapi
berbagai tantangan dan permasalahan yang melingkupi dunia perkebunan
saat ini, untuk itu Direktorat Jenderal Perkebunan berupaya memecahkan
permasalahan dan tantangan tersebut melalui strategi pembangunan
perkebunan yang terdiri dari strategi umum dan strategi khusus. Berikut ini
adalah uraiannya :
1. Strategi Umum
Untuk mencapai sasaran, mewujudkan visi, misi dan tujuan serta
mengimplementasikan kebijakan pembangunan perkebunan selama
periode 2010-2014, strategi pembangunan pertanian tahun 2010-2014
yang dikenal dengan Tujuh Gema Revitalisasi menjadi strategi umum
Ditjen. Perkebunan dalam pembangunan perkebunan tahun 2010-2014.
Komponen 7 (tujuh) Gema Revitalisasi dan penjelasannya secara garis
besar sebagai berikut:
(1) Revitalisasi Lahan
Ketersediaan sumber daya lahan termasuk air yang memadai baik secara
kuantitas dan kualitas merupakan faktor yang sangat fundamental bagi
pertanian. Lahan dan air sebagai media dasar tanaman harus dijaga
kelestariannya agar sistem produksi dapat berjalan secara
berkesinambungan. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian
secara serius dalam revitalisasi lahan adalah ketersediaan, kesuburan
atau pengelolaan, status dan kepemilikan lahan pertanian dan
ketersediaan air pertanian.
(2) Revitalisasi Perbenihan
Setelah lahan dan air maka dalam aspek budidaya ketersediaan benih
dan bibit unggul merupakan suatu hal yang sangat fundamental.
Perpaduan antara lahan yang subur dengan benih/bibit yang unggul akan
memproduksi/melahirkan produksi yang unggul. Secara historis peran
benih unggul telah dibuktikan pada saat keberhasilan dalam peningkatan
produksi pada era Revolusi Hijau di tahun 1960-an dan keberhasilan
swasembada beras dan jagung yang dicapai baru-baru ini juga karena
penggunaan benih unggul. Dengan demikian untuk mencapai dan
28
mempertahankan swasembada pangan yang berkelanjutan maka
perangkat perbenihan/perbibitan harus kuat.
(3) Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana
Jalan usaha tani sangat penting meningkatkan efisiensi usaha tani
terutama dalam hal pengangkutan sarana produksi dan hasil panen.
Upaya untuk membuat jalan usaha tani dan jalan tingkat desa perlu terus
dilakukan. Untuk hal ini koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum
dan pemerintah setempat sangat diperlukan terutama untuk membuka
akses ke daerah sentra produksi pertanian.
(4) Revitalisasi Sumber Daya Manusia
Manusia merupakan sumberdaya yang sangat vital karena merupakan
pelaku utama pembangunan termasuk pertanian. Tanpa pelaku yang
handal dan berkompeten maka pembangunan pertanian tidak dapat
berjalan secara optimal. Kementerian Pertanian mengembangkan
berbagai kegiatan bagi peningkatan sumber daya manusia pertanian
melalui pendidikan, pelatihan, magang dan sekolah lapang. Pembinaan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia ini diperuntukkan bagi
petani dan aparatur pertanian.
(5) Revitalisasi Pembiayaan Petani
Kendala yang dialami petani utamanya petani menengah kebawah adalah
akses terhadap permodalan. Hal ini disebabkan karena masalah klasik
yaitu tidak adanya jaminan/agunan yang dipersyaratkan perbankan. Pada
kondisi ini petani terpaksa berhubungan dengan rentenir yang sudah
barang tentu dengan bunga yang sangat mencekik. Untuk memperbaiki
kendala ini maka upaya-upaya yang selama ini dilakukan perlu diteruskan
seperti penyediaan skim perkreditan dengan kemudahan proses
administrasi seperti KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi), KPEN-
RP (Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan),
KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi), memperluas skim baru yang lebih
mudah, menumbuhkan kelembagaan ekonomi mikro di pedesaan,
melakukan koordinasi dengan instansi di pusat dan di daerah untuk
mempermudah petani dalam mengakses sumber pembiayaan koperasi
termasuk skim pembiayaan yang sudah ada dan menumbuhkan kembali
koperasi khusus di bidang pertanian.
(6) Revitalisasi Kelembagaan Petani
Kegiatan pertanian secara alami melibatkan sumber daya manusia (SDM
petani) yang cukup banyak, sarana produksi dan permodalan yang cukup
besar. Selain itu juga sangat berhubungan erat dengan sumber inovasi
teknologi dan informasi pasar mulai dari hulu sampai hilir. Dengan
29
karakteristik seperti ini maka untuk mempermudah melakukan koordinasi
sangat diperlukan kelembagaan petani. Melalui kelembagaan petani,
mereka dengan mudah melakukan koordinasi diantara mereka dan antara
kelompok. Demikian juga melalui kelompok mereka akan menjadi kuat
untuk bisa mengakses pasar dan informasi.
(7) Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir
Hal yang perlu dilakukan dalam rangka revitalisasi teknologi dan industri
hilir adalah meningkatkan kegiatan penelitian khususnya dalam rangka
penciptaan inovasi teknologi benih, bibit, pupuk, obat hewan dan
tanaman, alsintan (alat dan mesin pertanian) dan produk olahan,
pemanfaatan sumber daya lahan dan air, pengelolaan limbah kebun
menjadi suatu produk bermanfaat, mempercepat diseminasi hasil
penelitian dengan mengoptimalkan kelembagaan pengkajian, diklat,
penyuluhan, tenaga teknis pertanian lapangan dan kelembagaan petani,
mendorong pengembangan industri pengolahan pertanian di pedesaan
secara efisien guna peningkatan nilai tambah dan daya saing di pasar
dalam negeri dan internasional, meningkatkan jaminan pemasaran dan
stabilitas harga komoditas pertanian, meningkatkan dan menjaga mutu
dan keamanan pangan pada semua tahapan produksi mulai dari hulu
sampai hilir.
2. Strategi Khusus
Strategi umum Ditjen. Perkebunan dalam pembangunan perkebunan
tahun 2010-2014 merupakan strategi yang mengacu pada target utama
pembangunan pertanian sehingga sifatnya masih sektoral. Agar lebih
sesuai dengan karakteristik khusus sub sektor Perkebunan, strategi umum
dimaksud diformulasikan ke dalam strategi khusus sebagai berikut :
(1) Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan
berkelanjutan;
(2) Pengembangan komoditas;
(3) Peningkatan dukungan terhadap sistem ketahanan pangan;
(4) Investasi usaha perkebunan;
(5) Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan;
(6) Pengembangan sumber daya manusia;
(7) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha;
(8) Pengembangan dukungan terhadap pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup;
(9) Pengembangan kawasan berbasis komoditi perkebunan.
30
(1) Strategi Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman
Perkebunan Berkelanjutan
Strategi ini merupakan upaya untuk meningkatkan produksi, produktivitas
dan mutu tanaman perkebunan baik melalui penerapan teknologi
budidaya yang baik (Good Agricultural Practices/GAP) berupa penyediaan
benih unggul bermutu/bersertifikat dan sarana produksi, optimasi
pemanfaatan sumber daya lahan dan dukungan perlindungan perkebunan
yang optimal. Adapun rencana aksi dari strategi tersebut meliputi:
a. Mengembangkan budidaya tanaman perkebunan melalui penerapan
IPTEK dan 4-ASI (Intensifikasi, Rehabilitasi, Ekstensifikasi dan
Diversifikasi) yang didukung dengan sistem penyuluhan dan
pendampingan yang intensif;
b. Mengoptimalkan dukungan penyediaan benih unggul bermutu dan
sarana produksi, dukungan perlindungan perkebunan dan
penanganan gangguan usaha perkebunan (GUP) serta dukungan
manajemen dan teknis lainnya;
c. Mendorong pengembangan usaha budidaya tanaman perkebunan
pada wilayah perbatasan, pemekaran, penyangga, kawasan ekonomi
khusus (KEK) dan optimalisasi pemanfaatan lahan.
(2) Strategi Pengembangan Komoditas
Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006
tanggal 22 September 2006 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
3399/Kpts/PD.310/10/2009 tanggal 19 Oktober 2009, komoditas binaan
Direktorat Jenderal Perkebunan berjumlah 127 jenis tanaman. Strategi
pengembangan komoditas dilakukan melalui upaya-upaya
memprioritaskan pengembangan komoditas unggulan nasional yang
meliputi Karet, Kelapa, Kelapa Sawit, Kopi, Kakao, Teh, Jambu Mete,
Cengkeh, Lada, Jarak Pagar, Tebu, Tembakau, Kapas, Nilam dan Kemiri
Sunan serta mendorong pemerintah daerah untuk memfasilitasi
pengembangan komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya. Rencana
aksi untuk strategi ini adalah:
a. Mendorong pengembangan komoditas unggulan nasional dan lokal
sesuai dengan peluang pasar, karakteristik dan potensi wilayah
dengan penerapan teknologi budidaya yang baik;
b. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan seperti lahan
pekarangan, lahan pangan, lahan cadangan dan sisa aset lahan
lainnya dengan pengembangan cabang usaha tani lain yang sesuai;
31
c. Menumbuhkembangkan kawasan komoditas unggulan berbasis
pedesaan dengan pengelolaan dari hulu sampai hilir dalam satu
kawasan;
d. Mendorong pengembangan usaha budidaya tanaman perkebunan
untuk mendukung penumbuhan sentra-sentra kegiatan ekonomi pada
wilayah khusus antara lain wilayah perbatasan dan penyangga (buffer
zone), wilayah konflik/pasca konflik, wilayah bencana alam serta
wilayah pemekaran;
e. Mendorong pengembangan aneka produk (products development)
perkebunan dan upaya peningkatan mutu untuk memperoleh
peningkatan nilai tambah;
f. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung
pengembangan perkebunan.
(3) Strategi Peningkatan Dukungan Terhadap Sistem Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan).
Sebagai tindak lanjut dari target utama Kementerian Pertanian yaitu
Peningkatan Diversifikasi Pangan yang diindikasikan dari skor PPH (93,3
pada tahun 2014), sub sektor perkebunan diamanahkan secara khusus
untuk berkontribusi dalam pemenuhan skor PPH tersebut dari komponen
minyak, lemak dan gula yang ditargetkan rata-rata 15 point per tahun
sampai dengan 2014.
Rencana aksi yang akan dilakukan meliputi:
a. Meningkatkan pengembangan diversifikasi usaha tani dengan
komoditas bahan pangan di areal perkebunan secara intensif dan
berkelanjutan;
b. Meningkatkan penyediaan protein hewani melalui integrasi cabang
usaha tani ternak yang sesuai pada areal perkebunan;
c. Mendorong ketersediaan dan keterjangkauan sumber pangan yang
berasal dari perkebunan.
(4) Strategi Investasi Usaha Perkebunan
Strategi ini dimaksudkan untuk lebih mendorong iklim investasi yang
kondusif dalam pengembangan agribisnis perkebunan dan meningkatkan
peran serta pekebun, usaha mikro kecil dan menengah, masyarakat dan
swasta. Perbankan telah menyediakan kredit program dan kredit
komersial untuk investasi di bidang perkebunan. Kredit program untuk
32
petani meliputi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit
Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP)
dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta kredit komersial lainnya. Selain itu
Pemerintah juga memberikan bantuan melalui Penguatan Modal Usaha
Kelompok (PMUK).
Rencana aksi dari strategi ini adalah:
a. Memberikan fasilitasi, advokasi dan bimbingan dalam memperoleh
kemudahan akses untuk pelaksanaan investasi usaha perkebunan;
b. Mendorong pelaksanaan pemanfaatan dana perbankan untuk
pengembangan perkebunan terutama untuk usaha kecil dan
menengah;
c. Mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif, mencakup
pengembangan sistem pelayanan prima, jaminan kepastian dan
keamanan berusaha;
d. Memberikan fasilitasi tersedianya sumber dana dari pengembangan
komoditas dan sumber lainnya untuk pengembangan usaha
perkebunan;
e. Mendorong lembaga penjamin kredit untuk berpartisipasi dalam
pembangunan perkebunan.
(5) Strategi Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Perkebunan
Sistem informasi manajemen adalah serangkaian sub sistem informasi
yang menyeluruh dan terkoordinasi yang secara rasional serta mampu
mentransfer data sehingga menjadi informasi guna meningkatkan
produktivitas. Berbagai capaian yang telah diraih yaitu Simonev, SAI,
Simpeg, website dan e-form maupun e-government. Dalam rangka
pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan ini ditempuh
rencana aksi sebagai berikut:
a. Mengembangkan sistem informasi mencakup kemampuan menyusun,
memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai
SDM (sumber daya manusia), teknologi, peluang pasar, manajemen,
permodalan, usaha perkebunan untuk mendorong dan menumbuhkan
minat pelaku usaha, petani dan masyarakat;
b. Meningkatkan jejaring kerja dengan institusi terkait.
(6) Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Strategi ini diarahkan untuk mendukung berlangsungnya proses
perubahan guna terwujudnya sistem dan usaha agribisnis perkebunan
yang bertumpu kepada kemampuan dan kemandirian pelaku usaha
33
perkebunan. Berkenaan dengan hal tersebut, rencana aksi yang akan
dilaksanakan mencakup upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia baik petugas, pekebun maupun masyarakat
dengan cara:
1. Petugas :
a. Meningkatkan kualitas moral dan etos kerja petugas termasuk di
dalamnya petugas fungsional;
b. Meningkatkan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun
sistem pengawasan yang efektif;
c. Meningkatkan penerapan sistem recruitment dan karir yang
terprogram serta transparan untuk mewujudkan petugas yang
profesional;
d. Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan sikap
prakarsa petugas yang proaktif dalam mewujudkan pelayanan
prima sesuai kebutuhan pelaku usaha.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) Pekebun dan Masyarakat :
a. Meningkatkan kemampuan, keterampilan, pengetahuan,
kemandirian pekebun dan masyarakat untuk mengoptimasikan
usahanya secara berkelanjutan;
b. Memfasilitasi dan mendorong kemampuan pekebun dan
masyarakat untuk dapat mengakses berbagai peluang usaha dan
sumberdaya dalam memperkuat/mempertangguh usaha taninya;
c. Menumbuhkan kebersamaan, mengembangkan kemampuan dan
keterampilan pekebun dan masyarakat dalam mengelola
kelembagaan petani dan kelembagaan usaha serta menjalin
kemitraan.
(7) Strategi Pengembangan Kelembagaan dan Kemitraan Usaha
Kelembagaan petani didorong untuk tumbuh dari bawah yang dimulai dari
kelompok tani, gabungan kelompok tani sampai koperasi komoditas yang
berbadan hukum. Kelembagaan petani dikelompokkan menjadi
kelembagaan petani yang bersifat sosial dan yang berfungsi ekonomi.
Kelembagaan petani yang bersifat sosial berupa asosiasi petani.
Sedangkan kelembagaan petani yang berfungsi ekonomi berupa koperasi
komoditas.
Strategi pengembangan kelembagaan dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian kelembagaan agribisnis perkebunan dalam
memanfaatkan peluang usaha yang ada. Adapun strategi pengembangan
34
kemitraan usaha dimaksudkan untuk dapat memperoleh manfaat
maksimal dari kegiatan agribisnis perkebunan. Untuk itu rencana aksi
yang akan ditempuh adalah:
a. Mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian kelembagaan
petani untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait serta
mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia;
b. Memfasilitasi terbentuknya kelembagaan komoditas yang tumbuh dari
bawah;
c. Memfasilitasi penumbuhan dan pengembangan kelembagaan
keuangan pedesaan;
d. Meningkatkan fungsi pendampingan kepada petani dan kelembagaan
usahanya;
e. Memperkuat kemitraan yang saling menguntungkan, saling
menghargai, saling bertanggung jawab, saling memperkuat dan saling
ketergantungan antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat
sekitar perkebunan. Disisi lain kalangan usaha dapat berperan dalam
memperkuat asosiasi komoditas maupun dewan komoditas
perkebunan.
(8) Strategi Pengembangan Dukungan terhadap Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Strategi ini merupakan upaya untuk memanfaatkan sumber daya
perkebunan secara optimal sesuai dengan daya dukung sehingga
kelestariannya dapat tetap terjaga. Melalui strategi ini, pengembangan
perkebunan dapat dilaksanakan secara harmonis ditinjau dari aspek
ekonomi, sosial dan ekologi secara berkelanjutan. Rencana aksi dari
strategi ini adalah:
a. Meningkatkan penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayah
perkebunan termasuk lahan kritis, gambut, DAS (Daerah Aliran
Sungai) Hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga
sesuai kaidah konservasi tanah dan air;
b. Meningkatkan penerapan paket teknologi ramah lingkungan;
c. Meningkatkan pemanfaatan pupuk organik, pestisida nabati, agens
pengendali hayati serta teknologi pemanfaatan limbah usaha
perkebunan yang ramah lingkungan;
d. Meningkatkan kampanye peran perkebunan dalam kontribusi
penyerapan karbon, penyedia oksigen dan peningkatan peran serta
fungsi hidro-orologis.
35
e. Meningkatkan upaya penerapan pembukaan lahan tanpa bakar.
(9) Strategi pengembangan kawasan berbasis komoditi perkebunan
Strategi ini merupakan suatu upaya untuk mencapai produktifitas hasil
pertanian/perkebunan yang lebih baik dengan memperhatikan
karakteristik wilayah yang ada berdasarkan pendekatan perwilayahan bagi
komoditas pertanian. Pendekatan perwilayahan bagi pengembangan
komoditas pertanian diperlukan antara lain disebabkan :
a. Komoditas harus dikembangkan pada lahan yang paling sesuai agar
produkstifitas lahan yang diusahakan mencapai optimal sehingga
mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif didalam
pemasaran;
b. Setiap jenis komoditas pertanian akan memerlukan persyaratan sifat
lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan
optimal. Perbedaan karakteristik lahan yang mencakup iklim terutama
suhu udara dan curah hujan, tanah, topografi dan sifat fisik lingkungan
lainnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk seleksi
awal dalam menyusun zonasi pengembangan komoditas pertanian;
c. Menyusun tata ruang pertanian melalui pendekatan perwilayahan
komoditas dengan mempertimbangkan daya dukung dan/atau
kesesuaian lahan akan dapat menjamin produktifitas lahan yang
berkelanjutan tanpa merusak lingkungan;
d. Dengan pendekatan perwilayahan komoditas pertanian diharapkan
dapat mengatasi penggunaan lahan yang kurang atau tidak produktif
menuju penggunaan lahan dengan komoditas unggulan yang lebih
produktif;
e. Pendekatan kewilayahan akan mampu mewujudkan efisiensi dan
efektifitas fungsi perencanaan pembangunan daerah karenanya perlu
pemanfaatan se-optimal mungkin potensi wilayah, sumberdaya dan
aspirasi masyarakat setempat.
Dengan perencanaan yang berbasis kawasan pengembangan pemerintah
dapat dengan mudah menata prasarana penunjang baik transportasi
maupun kebijakan untuk meningkatkan jangkauan pasar serta dapat
dilakukan efisiensi pada pemanfaatan sumber daya alam. Untuk dapat
dicapai program pembangunan pertanian yang efisien dengan kawasan
sebagai titik berat pengembangan maka integrated farming system akan
diwujudkan melalui pengembangan berbagai kawasan pendukung suatu
usaha tani dengan sistem agribisnis. Arah pengembangan komoditi
perkebunan adalah menempatkan komoditas perkebunan sebagai
komoditas unggulan nasional melalui pengembangan industri perkebunan
36
yang menghasilkan produk hulu hingga hilir serta pengembangan produk
samping secara industrial sedangkan pengembangan dilakukan melalui
Pendekatan Pengembangan Kawasan Berbasis Komoditi Perkebunan.
Secara garis besar bahwa pengembangan kawasan berbasis komoditi
perkebunan memiliki beberapa kriteria-kriteria umum sebagai berikut :
1. Kawasan eksisting atau kawasan berpotensi dari masing-masing jenis
budidaya tanaman perkebunan;
2. Jenis pengusahaannya : rakyat atau besar;
3. Pengusahaan dengan skala terintegrasi dengan unit pengolahannya;
4. Mitra dengan usaha perkebunan rakyat berkelanjutan;
5. Memiliki keterkaitan dengan pengolahan dan pemasaran hasil;
6. Dapat ditingkatkan produksi dan produktivitasnya;
7. Pengembangan pengolahan skala wilayah;
8. Pengembangan kebersamaan ekonomi petani melalui pemberdayaan;
9. Arah pengembangan menuju prinsip pembangunan berkelanjutan;
10. Sejalan dengan Renstra Kementerian Pertanian dan Renstra
Direktorat Jenderal Perkebunan;
11. Dukungan dari Pemerintah Daerah dan swadaya masyarakat.
37
VII. PROGRAM DAN KEGIATAN
A. Program
Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 bahwa visi
pembangunan nasional jangka panjang adalah mewujudkan Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur. Untuk mencapai visi tersebut maka
pembangunan perkebunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan
skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) yang saat ini merupakan tahapan RPJM ke 2
(2010-2014). RPJM ke-2 ini, Direktorat Jenderal Perkebunan
mengarahkan pembangunan perkebunan yang ditujukan untuk lebih
memantapkan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan
menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
termasuk pengembangan kemampuan IPTEK serta penguatan daya saing
perekonomian bidang perkebunan.
Berdasarkan hasil restrukturisasi program dan kegiatan sesuai surat
edaran bersama Menteri Keuangan Nomor SE-1848/MK/2009 dan Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas nomor:
0142/M.PPN/06/2009 tanggal 19 Juni 2009, setiap unit Eselon I
mempunyai satu program yang mencerminkan nama Eselon I yang
bersangkutan dan setiap unit Eselon II hanya mempunyai dan tanggung
jawab terhadap pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian indikator kinerja
unit Eselon I adalah outcome dan indikator kinerja unit Eselon II adalah
output.
Sesuai hasil analisa terhadap potensi, permasalahan, peluang dan
tantangan pembangunan perkebunan ditetapkan bahwa program
pembangunan perkebunan tahun 2010-2014 yang menjadi tanggung
jawab Direktorat Jenderal Perkebunan adalah: “Peningkatan produksi,
produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan”. Program ini
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu
tanaman perkebunan melalui rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan
diversifikasi yang didukung oleh peningkatan produksi, produktivitas dan
mutu tanaman semusim, tanaman tahunan dan tanaman rempah
penyegar yang didukung oleh penanganan pascapanen dan pembinaan
usaha serta dukungan pelaksanaan perlindungan perkebunan.
Perencanaan program pembangunan perkebunan yang dicanangkan
Direktorat Jenderal Perkebunan dilaksanakan melalui pendekatan
komoditas unggulan yang menekankan motor penggerak pembangunan
38
suatu daerah pada komoditas-komoditas yang dinilai bisa menjadi
unggulan baik di tingkat domestik maupun internasional. Penentuan
komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan
perkebunan yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan
komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan.
Komoditas unggulan dapat ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan.
Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam
pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial
ekonomi petani di suatu wilayah. Sementara dari sisi permintaan,
komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar baik pasar
domestik maupun internasional. Komoditas unggulan merupakan
komoditas yang memiliki nilai strategis berdasarkan pertimbangan fisik
(kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan
(penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, infrastruktur
dan kondisi sosial budaya) untuk dikembangkan di suatu wilayah.
Dalam rangka pengembangan komoditas unggulan nasional, Direktorat
Jenderal Perkebunan secara intensif telah melakukan berbagai langkah
strategis dengan mengidentifikasi dan mengembangkan potensi
komoditas unggulan tersebut di berbagai daerah di Indonesia. Salah
satunya adalah dengan menetapkan komoditi unggulan nasional
perkebunan didalam suatu kawasan pengembangan. Dari 127 komoditas
binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, prioritas penanganan difokuskan
pada 15 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional yaitu Karet,
Kelapa Sawit, Kelapa, Kakao, Kopi, Lada, Jambu Mete, Teh, Cengkeh,
Jarak Pagar, Kemiri Sunan, Tebu, Kapas, Tembakau dan Nilam
sedangkan Pemerintah Daerah didorong untuk memfasilitasi dan
melakukan pembinaan komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya
masing-masing.
B. Kegiatan
Mengacu pada RPJMN 2010-2014 (berdasarkan Peraturan Presiden
nomor 5 tahun 2010) bahwa kebijakan dasar dalam pembangunan
nasional termasuk dalam pembangunan pertanian diharapkan
berpegangan pada 6 strategi dasar pembangunan untuk semua
(development for all) yaitu pembangunan harus bersifat inklusif;
pembangunan harus berdimensi wilayah; mengintegrasikan dan
menyatukan potensi-potensi ekonomi yang ada di daerah menjadi satu
kesatuan geo-ekonomi secara nasional; mengembangan ekonomi-
ekonomi lokal; keserasian antara pertumbuhan dan pemerataan (pro-
growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment); dan meningkatan kualitas
sumber daya manusia. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pembangunan
39
perkebunan yang berdaya dan berhasil guna dan melanjutkan revitalisasi
perkebunan, meningkatkan daya saing produk perkebunan, meningkatan
pendapatan pekebun serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam
maka kebijakan pembangunan perkebunan hendaknya perlu
memperhatikan beberapa substansi inti diantaranya :
1. Pengembangan kawasan/lahan perkebunan beserta tata ruangnya;
2. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang mendukung
usaha agribisnis perkebunan;
3. Peningkatan upaya penelitian dan pengembangan bidang perkebunan
yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya
menuju kualitas dan produktivitas hasil komoditas perkebunan
nasional yang tinggi;
4. Dorongan untuk investasi usaha perkebunan dan industri yang
berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah; penyediaan
pembiayaan yang terjangkau serta sistem subsidi yang menjamin
ketersediaan benih varietas unggul yang teruji; pupuk, teknologi dan
sarana pascapanen yang sesuai secara tepat waktu, tepat jumlah dan
terjangkau.
5. Pengambilan langkah-langkah kongkrit terkait adaptasi dan antisipasi
terhadap perubahan iklim.
6. Target peningkatan produksi komoditas perkebunan terutama menuju
swasembada berkelanjutan harus memperhitungkan laju
pertumbuhan penduduk secara nasional, permintaan bahan baku
industri dalam negeri, kebutuhan stok nasional dalam rangka stabilitas
harga dan pemenuhan peluang ekspor.
7. Peningkatan nilai tambah akan difokuskan pada 2 hal yakni
peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk/komoditas
perkebunan untuk mendukung peningkatan daya saing dan ekspor.
Peningkatan kualitas produk perkebunan (segar dan olahan) diukur
dari peningkatan jumlah produk perkebunan yang mendapatkan
sertifikasi jaminan mutu (SNI, Organik, Good Agricultural Practices,
Good Handling Practices, Good Manucfacturing Practices, dll).
8. Peningkatan daya saing difokuskan pada pengembangan produk
berbasis sumber daya lokal yang bisa meningkatkan pemenuhan
permintaan untuk konsumsi dalam negeri dan bisa mengurangi
ketergantungan impor (substitusi impor). Ukurannya adalah besarnya
pangsa pasar (market share) di pasar dalam negeri dan penurunan
nett impor.
40
9. Peningkatan ekspor akan difokuskan pada pengembangan produk
yang punya daya saing di pasar internasional baik segar maupun
olahan yang kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi.
Indikatornya adalah pertumbuhan volume ekspor.
Sebagai penjabaran dari program masing-masing unit Eselon II lingkup
Direktorat Jenderal Perkebunan mempunyai satu kegiatan. Dengan
demikian di lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan terdapat 9 kegiatan
pembangunan perkebunan sesuai Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) Nomor 61/Permentan/T.140/10/2010 tanggal 14 Oktober
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, yaitu:
1) Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim;
Prioritas pengembangan tanaman semusim difokuskan pada 4 komoditas
strategis yaitu Tebu, Kapas, Tembakau dan Nilam. Fokus kegiatan
tanaman semusim adalah Swasembada Gula Nasional (Tebu),
Pengembangan Komoditas Ekspor (Nilam dan Tembakau),
Pengembangan Komoditas Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Kapas)
dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Berkelanjutan.
2) Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan
Penyegar;
Prioritas pengembangan tanaman rempah dan penyegar difokuskan pada
5 komoditas strategis yaitu Kakao, Kopi, Lada, Teh dan Cengkeh. Fokus
kegiatan tanaman rempah dan penyegar adalah Gerakan Peningkatan
Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas Kakao), Pengembangan
Komoditas Ekspor (Kopi, Lada, Teh dan Kakao), Pengembangan
Komoditas Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Cengkeh) dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan Berkelanjutan.
3) Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan;
Prioritas pengembangan tanaman tahunan difokuskan pada 6 komoditas
strategis yaitu Karet, Kelapa Sawit, Kelapa, Jambu Mete, Jarak Pagar dan
Kemiri Sunan. Fokus kegiatan tanaman tahunan adalah Revitalisasi
Perkebunan (Kelapa Sawit, Kakao dan Karet), Penyediaan Bahan
Tanaman Sumber Bahan Bakar Nabati/Bio-Energi (Jarak Pagar, Kelapa
Sawit, Kelapa dan Kemiri Sunan), Pengembangan Komoditas Ekspor
(Kelapa, Kelapa Sawit, Karet dan Jambu Mete) dan Pengembangan
Tanaman Perkebunan Berkelanjutan.
4) Dukungan Penanganan Pascapanen dan Pembinaan Usaha;
Prioritas kegiatan ini adalah untuk menfasilitasi peningkatan penanganan
pascapanen tanaman semusim, tanaman rempah penyegar dan tanaman
41
tahunan, bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta
menfasilitasi penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan.
5) Dukungan Perlindungan Perkebunan;
Prioritas kegiatan ini adalah menurunkan luas areal perkebunan yang
terserang OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) pada tanaman
semusim, tanaman rempah penyegar dan tanaman tahunan serta
penanganan antisipasi perubahan iklim (pencegahan kebakaran,
kekeringan dan banjir).
6) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya;
Prioritas kegiatan ini adalah jumlah Provinsi yang memperoleh pelayanan
dan pembinaan yang berkualitas di bidang perencanaan (program,
anggaran dan kerjasama), evaluasi pelaporan, data dan informasi,
pelayanan organisasi, kepegawaian, hukum dan humas, administrasi
perkantoran, serta keuangan dan aset.
7) Dukungan Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan
Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Medan;
Prioritas kegiatan ini adalah memfasilitasi pelayanan sertifikasi benih
(jumlah bibit yang disertifikasi) dan peningkatan jumlah teknologi terapan
perlindungan perkebunan.
8) Dukungan Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan
Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Surabaya;
Prioritas kegiatan ini adalah memfasilitasi pelayanan sertifikasi benih
(jumlah bibit yang disertifikasi) dan peningkatan jumlah teknologi terapan
perlindungan perkebunan.
9) Dukungan Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan
Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Ambon.
Prioritas kegiatan ini adalah memfasilitasi pelayanan sertifikasi benih
(jumlah bibit yang disertifikasi) dan peningkatan jumlah teknologi terapan
perlindungan perkebunan.
42
VIII. RENCANA KERJA TAHUN 2014
Untuk mencapai target indikator kinerja pada RKT Direktorat Jenderal
Perkebunan tahun 2014 ini didukung oleh rencana kerja Direktorat
Jenderal Perkebunan berupa kegiatan sebagai berikut :
1. Kegiatan peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
semusim meliputi :
a. Pencapaian swasembada gula nasional yaitu melalui
pengembangan tebu seluas 79.000 ha yang terdiri dari kegiatan
bongkar ratoon seluas 15.000 ha, kegiatan rawat ratoon seluas
55.000 ha, perluasan 9.000 ha, penataan varietas sebanyak 8
paket, pelatihan petani tebu sebanyak 10 paket, operasional
tenaga pendamping sebanyak 443 orang, bantuan peralatan 650
unit (putus akar 268 unit, traktor 127 unit, hand traktor 145 unit
dan alat tebang 110 unit), sensus tebu online lanjutan sebanyak
10 paket dan pengawalan monev tebu sebanyak 12 paket;
b. Pengembangan komoditas ekspor berupa pengembangan nilam
seluas 50 ha dan pemberdayaan pekebun berupa pelatihan
penerapan SPO nilam sebanyak 8 paket;
c. Pengembangan komoditas pemenuhan konsumsi dalam negeri
berupa pengembangan kapas seluas 10.050 ha yang terdiri dari
pembangunan benih sebar kapas seluas 50 ha, penanaman
kapas seluas 1.000 ha, operasional tenaga pendamping sebanyak
90 orang dan pelatihan petani kapas sebanyak 181 orang;
d. Peningkatan kegiatan eksibisi, perlombaan dan penghargaan
perkebunan dalam bentuk pemberian penghargaan
petani/kelompok tani berprestasi sebanyak 31 paket;
e. Penyusunan kebijakan, norma, standar, prosedur, kriteria serta
bimbingan teknis dan evaluasi untuk tanaman semusim selama 1
tahun.
2. Kegiatan peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
rempah dan penyegar meliputi :
a. Pengembangan komoditas ekspor meliputi pengembangan kakao
seluas 10.095 ha (perluasan seluas 750 ha, Intensifikasi seluas
4.400 ha, Rehabilitasi 3.245 ha, Peremajaan 1.700 ha, TKP/PLP-
TKP di 8 provinsi, operasional sub station di 4 provinsi dan
penerapan model desa kakao di 1 provinsi), pengembangan kopi
seluas 4.250 ha (Kopi Arabika seluas 1.900 ha dan Kopi Robusta
43
seluas 2.350 ha), pengembangan teh seluas 590 ha dan
pengembangan lada seluas 300 ha (Rehabilitasi seluas 200 ha
dan Perluasan seluas 100 ha);
b. Pengembangan komoditas pemenuhan konsumsi dalam negeri
berupa pengembangan cengkeh seluas 975 ha (Rehabilitasi
tanaman) dan pengembangan pala seluas 1.500 ha (Perluasan
tanaman);
c. Pengembangan kebun sumber bahan tanam seluas 50 ha yang
terdiri dari untuk komoditi kakao 14 ha (pembangunan KE kakao 2
ha, pemeliharaan KI kakao 6 ha dan pemeliharaan KE kakao 6
ha), komoditi kopi 9 ha (pembangunan KI kopi 7 ha dan
pemeliharaan KI kopi 2 ha), komoditi lada 13 ha (pembangunan KI
lada 5 ha dan pemeliharaan KI lada 8 ha), komoditi cengkeh 2 ha
(pemeliharaan KI cengkeh 2 ha dan penilaian BPT cengkeh di 5
provinsi, 9 kabupaten), komoditi pala 10 ha (pemeliharaan KI pala
10 ha dan penilaian BPT pala di 2 provinsi, 1 kabupaten) dan
komoditi teh 2 ha (pemeliharaan KI teh 2 ha);
d. Pemberdayaan dan penguatan kelembagaan tanaman rempah
dan penyegar berupa pelatihan petani sebanyak 3.770 orang yang
terdiri dari pemberdayaan petani kakao sebanyak 1.344 orang,
pemberdayaan petani kopi sebanyak 1.552 orang, pemberdayaan
petani lada sebanyak 238 orang, pemberdayaan petani cengkeh
sebanyak 336 orang dan pemberdayaan petani pala sebanyak
300 orang;
e. Identifikasi dan pendayagunaan sumber daya tanaman rempah
dan penyegar sebanyak 46 kegiatan berupa identifikasi kebutuhan
pengembangan tanaman rempah dan penyegar sebanyak 23
kegiatan, serta identifikasi kebutuhan dan penyediaan APPO
tanaman rempah dan penyegar sebanyak 23 kegiatan;
f. Pertemuan teknis (kakao, kopi dan cengkeh) sejumlah 3 kegiatan
(pusat);
g. Penyusunan kebijakan, norma, standar, prosedur, kriteria serta
bimbingan teknis dan evaluasi untuk tanaman rempah dan
penyegar selama 1 tahun.
3. Kegiatan peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman
tahunan meliputi :
a. Revitalisasi tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao)
sebanyak 71 dokumen, operasional petugas pendamping
44
sebanyak 22 kegiatan dan penilaian kebun program revitalisasi
perkebunan sebanyak 39 unit;
b. Pengembangan komoditas ekspor berupa pengembangan kelapa
seluas 11.075 ha (peremajaan seluas 10.075 ha dan perluasan
1.000 ha), pengembangan jambu mete seluas 2.000 ha
(peremajaan seluas 900 ha dan perluasan seluas 1.100 ha) dan
pengembangan karet seluas 9.510 ha (peremajaan seluas 8.710
ha dan perluasan di daerah perbatasan, pasca konflik dan
bencana alam seluas 800 ha);
c. Pengembangan komoditas pemenuhan konsumsi dalam negeri
berupa pengembangan sagu seluas 800 ha berupa perluasan
tanaman seluas 200 ha, penataan tanaman seluas 600 ha,
pelatihan Fasda sebanyak 2 paket dan pelatihan petani sebanyak
6 paket;
d. Pengembangan sistem pertanian berbasis tanaman tahunan
berupa kegiatan integrasi tanaman tahunan dan ternak sebanyak
18 KT;
e. Pembangunan kebun sumber bahan tanam untuk komoditi karet 9
ha (pembangunan KE 4 ha, pemeliharaan KE 5 ha), komoditi
kelapa 139 ha (pembangunan KI 64 ha, pemeliharaan KI 75 ha,
BPT dan pohon induk terpilih 3 kegiatan), komoditi jambu mete 35
ha (pembangunan KI 5 ha, pemeliharaan KI 30 ha, BPT dan
pohon induk terpilih 4 kegiatan) dan komoditi kemiri sunan 5 ha
(pembangunan KI 5 ha);
f. Identifikasi dan pendayagunaan sumber daya tahunan sebanyak
19 kegiatan;
g. Pemberdayaan petani tanaman tahunan sebanyak 5.755 orang
(komoditi karet 1.380 orang, komoditi kelapa 3.275 orang dan
komoditi jambu mete 1.100 orang);
h. Pembinaan dan pengawalan pemberdayaan kelembagaan petani
tanaman tahunan sebanyak 19 kegiatan (komoditi kelapa sawit 2
kegiatan, komoditi karet 6 kegiatan, komoditi kelapa 9 kegiatan
dan komoditi jambu mete 2 kegiatan);
i. Pelatihan Fasda (Fasilitator Daerah) sebanyak 4 kegiatan;
j. Penyusunan kebijakan, norma, standar, prosedur, kriteria serta
bimbingan teknis dan evaluasi untuk tanaman tahunan selama 1
tahun.
45
4. Kegiatan dukungan penanganan pascapanen dan pembinaan
usaha meliputi :
a. Penanganan pascapanen tanaman semusim berupa penanganan
pascapanen komoditi nilam 8 KT;
b. Penanganan pascapanen tanaman rempah dan penyegar berupa
penanganan pascapanen komoditi kakao 16 KT, komoditi kopi 17
KT, komoditi pala 9 KT, komoditi lada 4 KT dan komoditi cengkeh
4 KT;
c. Penanganan pascapanen tanaman tahunan yaitu penanganan
pascapanen komoditi karet 75 KT, komoditi kelapa 71 KT dan
komoditi jambu mete 15 KT;
d. Evaluasi pelaksanaan penilaian usaha perkebunan di 26 provinsi
dan 233 Kabupaten;
e. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penerapan perkebunan
berkelanjutan pada kelapa sawit ISPO di 21 provinsi dan 131
Kabupaten;
f. Fasilitasi inventarisasi dan identifikasi serta penanganan kasus
gangguan usaha perkebunan serta konflik usaha perkebunan
yang berada di 27 provinsi dan 164 kabupaten;
g. Pemantauan, pengawasan dan fasilitasi penanganan masalah
perkebunan pola kemitraan (PIR-TRANS/KKPA, PIRBUN) yang
berada di 25 provinsi dan 160 kabupaten;
h. Pertemuan/Rapat Fasilitasi Penanganan Gangguan Usaha dan
Konflik Perkebunan sebanyak 26 kegiatan di 26 provinsi;
i. Sosialisasi, Pembinaan dan Monev Perizinan Usaha Perkebunan
yang berada di 31 provinsi dan 251 kabupaten;
j. Sosialisasi Standar Perkebunan Kopi Berkelanjutan Indonesia
(ISCoffee) sebanyak 11 kegiatan di 11 provinsi;
k. Fasilitasi Rintisan Penerapan ISCoffee (5 Provinsi) sebanyak 5
kegiatan;
l. Penyusunan kebijakan, norma, standar, prosedur, kriteria serta
bimbingan teknis dan evaluasi untuk penanganan pascapanen
dan pembinaan usaha selama 1 tahun.
5. Kegiatan dukungan perlindungan perkebunan meliputi :
a. Identifikasi (pengamatan, peramalan dan pemantauan) berupa
insentif petugas pengamat hama dan penyakit sebanyak 961
orang;
46
b. Pemberdayaan perangkat yaitu operasional laboratorium
lapangan 28 unit, operasional brigade proteksi tanaman 26 unit,
operasional laboratorium hayati 4 unit serta operasional sub
laboratorium hayati 14 unit;
c. Fasilitasi pengendalian OPT berupa :
- Pengendalian OPT tanaman rempah dan penyegar : OPT lada
300 ha, OPT kopi 425 ha, OPT cengkeh 525 ha, OPT kakao
1.275 ha, demfarm OPT kopi 30 ha, demfarm OPT kakao 20
ha, demfarm OPT cengkeh 10 ha, demfarm OPT lada 10 ha,
demplot lada 1 ha dan demplot kopi 1 ha;
- Pengendalian OPT tanaman tahunan : OPT kelapa 3.900 ha,
OPT karet 660 ha, OPT jambu mete 205 ha, demfarm OPT
karet 70 ha, demfarm OPT jambu mete 10 ha dan demfarm
OPT kelapa 20 ha dan demplot karet 1 ha;
- Pengendalian OPT tanaman semusim : OPT tembakau 100 ha,
OPT kapas 225 ha dan OPT tebu 4.400 ha, demfarm OPT
tebu 10 ha, demplot tebu 11 ha (penggerek batang/pucuk 1 ha
dan hama tikus 10 ha) dan demplot nilam 12 ha;
- Pengendalian eksplosi OPT di pusat.
d. Fasilitasi pencegahan kebakaran, dampak perubahan iklim serta
bencana alam berupa :
- Fasilitasi pemantauan kebakaran, dampak perubahan iklim
serta bencana alam di 9 provinsi, 16 Kabupaten;
- Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Pencegahan dan
Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun di 5 provinsi, 5
kabupaten;
- Pertemuan koordinasi pencegahan kebakaran dan penanganan
dampak perubahan iklim di 6 provinsi (6 kali);
- Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di 12 Provinsi (12 paket);
- Pengembangan Model Perkebunan Rendah Emisi Karbon pada
Perkebunan Kopi Rakyat di 10 provinsi (10 paket).
e. Sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT)
perkebunan dengan peserta 132 kelompok tani dan SL-PHT Tebu
sebanyak 62 KT;
f. Penyusunan kebijakan, norma, standar, prosedur, kriteria serta
bimbingan teknis dan evaluasi untuk perlindungan perkebunan
selama 1 tahun.
47
6. Kegiatan dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya
meliputi :
a. Layanan perkantoran selama 12 bulan;
b. Peralatan dan fasilitas perkantoran sejumlah 100 unit;
c. Norma, standar, pedoman, perencanaan, evaluasi, keuangan,
ortala, kepegawaian, dll (Pusat) selama 12 bulan;
d. Administrasi kegiatan Dana Dekonsentrasi (DK) dan administrasi
kegiatan Dana Tugas Pembantuan (TP) di 32 provinsi dan 106
kabupaten selama 12 bulan;
e. Dukungan Kegiatan Manajemen dan Teknis Lainnya yang terdiri
dari :
- Dukungan Kegiatan Manajemen dan Teknis Lainnya yang
meliputi Sertifikasi dan pengawasan peredaran benih di 31
provinsi serta Bantuan benih untuk penghijauan dan pameran
di 31 provinsi;
- Perencanaan selama 12 bulan;
- Pengelolaan Keuangan dan Aset selama 12 bulan;
- Data informasi dan Statistik selama 12 bulan;
- Insentif Mantri Statistik Perkebunan sejumlah 5.727 orang;
- Monitoring dan Evaluasi selama 12 bulan;
- Insentif Pengawas Benih Tanaman sejumlah 290 orang;
- Operasional PPNS di 30 provinsi.
f. Dokumen Perencanaan sejumlah 3 dokumen;
g. Dokumen Keuangan dan Perlengkapan sejumlah 3 dokumen;
h. Dokumen Kepegawaian, Hukum dan Humas sejumlah 3 dokumen;
i. Dokumen Evaluasi dan Pelaporan sejumlah 3 dokumen.
7. Kegiatan dukungan pengujian, pengawasan mutu benih dan
penerapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BBP2TP
Medan, BBP2TP Surabaya, BBP2TP Ambon dan BPTP Pontianak)
secara umum terdiri atas kegiatan Sertifikasi benih dan kegiatan
Pengadaan teknologi terapan perlindungan perkebunan. Dalam hal
ini, penjabaran kegiatan-kegiatan tersebut meliputi :
a. Layanan perkantoran : BBP2TP Medan, BBP2TP Surabaya,
BBP2TP Ambon dan BPTP Pontianak masing-masing selama 12
bulan;
48
b. Pengadaan kendaraan bermotor untuk BBP2TP Medan sebanyak
20 unit;
c. Perangkat pengolahan data dan komunikasi untuk BBP2TP
Surabaya sebanyak 5 unit;
d. Peralatan dan fasilitas perkantoran untuk BBP2TP Surabaya
sebanyak 2 paket, BBP2TP Ambon sebanyak 300 paket dan
BPTP Pontianak sebanyak 1 paket;
e. Gedung dan bangunan untuk BBP2TP Surabaya sebanyak 1 unit;
f. Operasional laboratorium : BBP2TP Medan, BBP2TP Surabaya,
BBP2TP Ambon dan BPTP Pontianak masing-masing selama 12
bulan;
g. Pembangunan kebun contoh, demplot, uji koleksi, dll untuk
BBP2TP Ambon seluas 50 ha, BBP2TP Surabaya seluas 1 ha dan
BPTP Pontianak seluas 30 ha;
h. Pengawasan peredaran benih untuk BBP2TP Medan sebanyak 13
dokumen, BBP2TP Surabaya sebanyak 16 dokumen dan BPTP
Pontianak sebanyak 1 dokumen;
i. Rakitan teknologi spesifikasi proteksi tanaman perkebunan untuk
BBP2TP Medan sebanyak 10 paket, BBP2TP Surabaya sebanyak
6 paket dan BPTP Pontianak sebanyak 1 paket;
j. Pemanfaatan agensia hayati untuk BBP2TP Medan sebanyak 4
paket, BBP2TP Surabaya sebanyak 6 paket dan BPTP Pontianak
sebanyak 1 paket;
k. Sertifikasi dan pengujian mutu benih untuk BBP2TP Surabaya
sebanyak 1 kegiatan;
l. Administrasi keuangan dan kepegawaian untuk BBP2TP Medan,
BBP2TP Surabaya dan BPTP Pontianak masing-masing selama
12 bulan;
m. Penyusunan rencana kerja untuk BBP2TP Medan sebanyak 1
dokumen, BBP2TP Surabaya sebanyak 6 dokumen dan BPTP
Pontianak sebanyak 1 dokumen;
n. Peningkatan kapabilitas pegawai/petugas untuk BBP2TP Medan
sebanyak 43 orang, BBP2TP Surabaya sebanyak 180 orang,
BBP2TP Ambon sebanyak 53 orang dan BPTP Pontianak
sebanyak 105 orang;
o. Monitoring dan evaluasi untuk BBP2TP Medan sebanyak 9
dokumen, BBP2TP Surabaya sebanyak 20 dokumen, BBP2TP
49
Ambon sebanyak 7 dokumen dan BPTP Pontianak sebanyak 1
dokumen.
50