Web viewBAB II. BERIMAN KEPADA ALLAH. Tinjauan Pustaka. ... Ada beberapa hal pokok pembahasan...
Transcript of Web viewBAB II. BERIMAN KEPADA ALLAH. Tinjauan Pustaka. ... Ada beberapa hal pokok pembahasan...
BAB IIBERIMAN KEPADA ALLAH
A. Tinjauan Pustaka
1. Wujud Allah SWT
Wujud (ada)-nya Allah SWT adalah sesuatu yang badihiyah. Namun
demikian untuk membuktikan wujud-Nya dapat dikemukakan beberapa dalil,
antara lain:
a. Dalil Fithrah
Allah SWT menciptakan manusia dengan fithrah bertuhan, atau dengan
kata lain setiap anak manusia dilahirkan sebagai seorang muslim. Namun
demikian fithrah manusia tersebut barulah merupakan potensi dasar yang harus
dipelihara dan dikembangkan. Apabila fithrah tersebut tertutup oleh beberapa
faktor luar, manusia akan lari dan menentang fithrahnya sendiri. Tetapi apabila
menghadapi suatu kejadian yang luar biasa, misalnya dihadapkan kepada sesuatu
yang tidak disenangi dan dia sudah kehilangan segala daya untuk menghadapinya,
bahkan sudah berputus asa, barulah secara spontan fithrahnya tersebut kembali
muncul. Allah SWT menggambarkan keadaan manusia seperti itu dalam firman-
Nya:
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu dari
padanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah
berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.
Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu
mereka kerjakan.” (Yunus 10: 12).
3
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di
lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera
itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik,
dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila)
gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka
telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata):
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah Kami
akan Termasuk orang-orang yang bersyukur". (Yunus 10: 22).
Dengan dalil fithrah ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa secara
esensi tidak ada seorang manusia pun yang tidak bertuhan. Yang ada hanyalah
mereka mempertuhankan sesuatu yang bukan Tuhan sebenarnya (Allah), misalnya
seorang atheis mempertuhankan “atheisme”, seorang materialis mempertuhankan
“materialisme” dan lain-lain.
b. Dalil Akal
Dengan menggunakan akal pikiran untuk merenungkan dirinya sendiri,
alam semesta dan lain-lain seorang manusia bisa membuktikan adanya Tuhan
(Allah SWT). Al-Qur’an banyak mengemukakan ayat-ayat yang menggugah akal
pikiran tersebut, antara lain:
“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah
itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak,
kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa),
kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang
4
diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal
yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).”(Al-Mu’min 40: 67).
Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya
menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang
pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. (An- Nahl 16: 10).
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma,
anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (An-Nahl
16: 11).
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang memahami (Nya)”. (An Nahl 16: 12).
“Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini
dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.”
(An-Nahl 16: 13).
5
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari
lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar
padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya
kamu bersyukur.” (An-Nahl 16: 14).
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang
bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu
mendapat petunjuk,” (An-Nahl 16: 15).
“Dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang
Itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl 16:16).
“ Maka Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat
menciptakan (apa-apa) ?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (An-
Nahl 16: 17).
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (An-Nahl 16: 18).
Untuk membuktikan adanya Tuhan (Allah SWT) lewat merenungkan alam
semesta, termasuk diri manusia itu sendiri, dapat dipakai beberapa “qanun” (teori,
hukum) antara lain:
6
a. Qanun al-’Illah
’Illah artinya sebab. Segala sesuatu ada sebabnya. Setiap ada perubahan
tentu ada yang menjadi sebab terjadinya perubahan itu. Begitu juga sesuatu yang
ada tentu ada yang mengadakannya. Sesuatu menurut akal mustahil ada dengan
sendirinya.
b. Qanun al-Wujub
Wujub artinya wajib. Wujud segala sesuatu tidak bisa terlepas dari salah
satu kemungkinan: wajib, mustahil atau mungkin. Contohnya tentang adanya
alam semesta ini, bisa mungkin dan bisa juga tidak mungkin. Lalu yang
menentukan yang mungkin itu menjadi ada atau tidak ada haruslah yang bersifat
wajib ada (wajib al-wujud).
c. Qanun an-Nizham
Nizham artinya aturan, teratur. Alam semesta dengan seluruh isinya seperti
matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya termasuk bumi dengan segala
isinya adalah segala sesuatu yang sangat teratur. Sesuatu yang teratur tentu ada
yang mengaturny, mustahil menurut akal semuanya itu teratur dengan sendirinya
secara kebetulan.
Sejalan dengan beberapa qanun di atas, Sa’id Hawwa dalam bukunya
“Allah Jalla jala-luhu” (1989) mengemukakan teori fenomenologis yang
mencakup sembilan fenomena untuk membuktikan Allah SWT ada dan berkuasa.
Fenomena itu adalah:
1. Fenomena Terjadinya Alam
2. Fenomena Kehendak
3. Fenomena Kehidupan
4. Fenomena Pengabulan Do’a
5. Fenomena Hidayah
6. Fenomena Kreasi
7. Fenomena Hikmah
8. Fenomena Inayah
7
9. Fenomena Kesatuan
c. Dalil Naqli
sekalipun secara fithrah manusia bisa mengakui adanya Tuhan, dan
dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan
dalil naqli (Al-Qur’an dan sunnah) untuk membimbing manusia mengenal Tuhan
yang sebenarnya (Allah SWT) dengan segala asma dan sifat-Nya. Sebab fithrah
dan akal tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya itu.
Ada beberapa hal pokok pembahasan tentang Allah SWT dalam pasal
wujud Allah yaitu:
a. Allah SWT adalah Al-Awwal artinya tidak ada permulaan bagi wujud-Nya.
Dia juga Al-Akhir artinya tidak ada akhir dari wujud-Nya.
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid 57: 3).
“ Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Ar-Rahmaaan 55: 26)
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(Ar-Rahmaan 55: 27).
b. Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya
8
“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
mendengar dan melihat.”
c. Allah SWT Maha Esa
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (Al-Ikhlas 112: 1)
d. Allah SWT mempunyai al-Asma’ was Shiffaat (Nama-nama dan sifat-sifat)
yang disebutkan-Nya untuk Diri-Nya di dalam Al-Qur’an serta semua nama
dan sifat yang dituturkan untuk Nya oleh Rosulullah SAW dalam sunnahnya,
seperti Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, Al-’Aliim, Al-Aziz, As-sami, al-Bashiir dll.
“ Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi
terusir. Sesungguhnya Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-
benar aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya" (al-A’raf
7: 18).
2. Tauhidullah SWT
Esensi iman kepada Allah SWT adalah Tauhid yaitu meng-Esakan-Nya,
baik dalam zat, asma’ was-shiffaat, maupun af’al (perbuatan)-Nya.
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
a. Tauhid Rububiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya
Rabb)
b. Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya
Malik)
c. Tauhid Ilahiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah)
a. Tauhid Rububiyah
9
Secara etimologis kata “Rabb” sebenarnya mempunyai banyak arti, antara
lain menumbuhkan, mengembangkan, mendidik dll. Namun untuk lebih
sederhana dalam hubungannya dengan Rububiyatullah, kita mengambil beberapa
arti saja yaitu mencipta, member rezeki, memelihara, mengelola dan memiliki.
Dari pengertian diatas bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Zat Yang Mencipta,
Memberi rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki. Pengertian tersebut dapat
kita dapati di dalam Al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat berikut:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 2: 21)
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan
itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu
Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah
2: 22)
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain
Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada
Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (Fa-Thir
35: 3).
10
“dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia
menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang
perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang
berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan)
dalam kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah
mudah.” (Fa-Thir 35: 11).
“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika
kamu mengetahui?" (Al-Mukminun 23: 84).
“ mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu
tidak ingat?" (Al-Mukminun 23: 85)
b. Tauhid Mulkiyah
Kata Malik yang berarti raja dan Malik yang berarti memiliki berasal dari
kata yang sama yaitu malaka. Dalam pengertian bahasa yaitu Allah SWT sebagai
Rabb yang memiliki alam semesta (al-‘alamin) adalah raja dari alam semesta
tersebut. Dia bisa dan bebas melakukan apa saja Yang Dikehendaki-Nya terhadap
alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah SWT adalah Malik (Raja) dan alam
semesta adalah mamluk (yang memiliki atau hamba). Ada beberapa ayat Al-
Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Pemilik dan Raja langit dan
Bumi dan seluruh isinya antara lain:
11
“ Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah? dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang
penolong.” (Al-Baqarah 2: 107).
“ kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya;
dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Maidah 5: 120).
Bila kita mengimani Allah SWT adalah satu-satunya Raja yang menguasai
alam semesta, maka kita minimal harus mengakui bahwa Allah SWT adalah
Pemimpin (Wali), Penguasa Yang Menentukan (Hakim), dan Yang Menjadi
Tujuan (Ghayah).
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang
yang beriman:
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah 2: 257)
c. Tauhid Ilahiyah
Kata Ilah berakar dari kata a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti
antara lain: tenteram, tenang, lindungan, cinta dan sembah (‘abada). Diantara
makna Ilah diatas maka yang paling asasi adalah makna ‘abada (‘ain-ba-dal) yang
mempunyai beberapa arti antara lain: hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk
(‘ibadah), yang mulia dan yang agung (al-ma’bad), selalu mengikutinya (‘abada
12
bih). Jika arti kata-kata ini diurutkan maka menjadi susunan kata yang sangat
logis yaitu: bila seseorang menghambakan diri terhadap seseorang maka ia akan
mengkutinya, mengagungkannya, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepadanya
serta bersedia mengorbankan kemerdekaannya. Dalam konteks ini al-Ma’bud
berarti yang memiliki, yang dipatuhi dan yang diagungkan.
Jadi Tauhid Ilahiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya
Al-Ma’bud (yang disembah). Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”. (Thaha 20:
14).
13
b. Pembahasan
Iman berarti percaya. Iman kepada Allah berarti percaya dengan adanya
Allah SWT (Wujud Allah). Namun untuk membuktikan wujudnya ada beberapa
dalil sehingga akan membuat kita bertambah yakin akan adanya Allah SWT. Dalil
tersebut yaitu dalil fithrah, akal dan naqli.
Allah menciptakan manusia dengan fithrah bertuhan atau dengan kata lain
seorang manusia dilahirkan sebagai seorang muslim. Contohnya jika seseorang
ditimpa bahaya yang luar biasa dan orang tersebut tidak mampu mengatasinya dan
telah berputus asa, maka secara spontan fithrahnya tersebut akan muncul yaitu
memohon bantuan dan perlindungan kepada Allah SWT. Keadaan seperti ini
merupakan contoh dari dalil fithrah.
Jika kita melihat alam semesta ini, maka kita akan berfikir siapa yang
membuatnya dan siapa yang menjadikannya sangat teratur, tidak mungkin sesuatu
ada dan teratur dengan sendirinya. Keadaan seperti ini merupakan contoh dari
dalil akal.
Sementara dalil naqli adalah dalil yang ada dalam Al-Qur’an yang lebih
jelas menjelaskan wujud Allah, sehingga membuat kita bertambah yakin akan
adanya Allah SWT.
Jika kita telah mengimani wujud Allah dengan menggunakan dalil-dalil
diatas, maka kita juga harus meng-esakan Allah SWT (Tauhidullah), yaitu
mempercayai bahwa Allah SWT merupakan satu-satunya Rabb, Malik dan Ilah,
sehingga iman kita semakin bertambah kepada Allah SWT.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iman merupakan kepercayaan. Iman kepada Allah berarti percaya adanya
Allah (wujud Allah SWT). Untuk bisa mengimani wujud Allah kita bisa
menggunakan dalil fithrah, akal maupun naqli sehingga kita benar-benar yakin
adanya Allah. Setelah mempercayai adanya Allah kita juga harus meng-esakan
Allah (Tauhidulah), yaitu mempercayai bahwa Allah SWT merupakan satu-
satunya Rabb, Malik dan Ilah.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui
pngertian beriman kepada Allah dan dapat meyakini dengan fithrah mereka,
berfikir dengan akal mereka serta dapat mempercayai dengan membaca dalil
dalam Al-Qur’an.
.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Yunahar. 2007. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI
Yasin Na’im Muhammad. 2001. Yang Menguatkan Yang Membatalkan Iman.
Jakarta: Gema Insani Press.
16
17