Post on 04-Apr-2019
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
STUDI ETNOBOTANI TANAMAN BAMBU PADA
MASYARAKAT BETAWI DALAM PENEMUAN OBAT
ANTIMALARIA DI HUTAN KOTA SANGGABUANA
JAKARTA SELATAN DAN SEKITARNYA
SKRIPSI
RIQO SOVYAN
NIM: 11141020000038
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JAKARTA
2018
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
STUDI ETNOBOTANI TANAMAN BAMBU PADA MASYARAKAT
BETAWI DALAM PENEMUAN OBAT ANTIMALARIA DI HUTAN
KOTA SANGGABUANA JAKARTA SELATAN DAN SEKITARNYA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
(S.Far)
RIQO SOVYAN
NIM: 11141020000038
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JAKARTA
2018
vi
ABSTRAK
Nama : Riqo Sovyan
NIM : 11141020000038
Program Studi : Farmasi
Judul :
Tanaman bambu merupakan salah satu tanaman yang banyak ditemui di
kawasan Hutan Kota Sanggabuana dan memiliki kandungan alkaloid, flavonoid,
saponin, terpenoid dan fenol. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa ekstrak
daun Bambusa vulgaris memiliki aktivitas sebagai antiplasmodium. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui aktifitas inhibisi ekstrak tanaman bambu
terhadap salah satu target potensial antiplasmodium yakni enzim MQO dari P.
falciparum pada penyakit malaria menggunakan metode in vitro. Tahapan dalam
penelitian ini adalah studi etobotani tanaman bambu, ekstraksi simplisia daun dan
rebung bambu lalu dilakukan skrining fitokimia dan uji inhibisi secara in vitro.
Dari tahap studi etnobotani diperoleh sebanyak lima jenis tanaman bambu lalu
dibagi menjadi enam sampel untuk proses estraksi. Ekstrak yang didapat dari
proses maserasi dijuji aktifitas inhibisi secara in vitro, instrument yang digunakan
pada uji in vitro adalah spektrofotometer UV-Vis. Aktifitas antiplasmodium yang
tertinggi adalah ekstrak daun bambu tali dengan prosentase 42% dan daun bambu
andong dengan prosentase sebesar 40% pada konsentrasi 10 µg/ml.
Kata kunci : Antiplasmodium, in vitro, daun bambu tali (Gigantochloa apus),
daun bambu andong (Gigantochloa pseudoarundiancea).
Studi Etnobotani Tanaman Bambu pada Masyarakat
Betawi dalam Penemuan Obat Antimalaria di Hutan Kota
Sanggabuana Jakarta Selatan dan Sekitarnya
vii
ABSTRACT
Name : Riqo Sovyan
NIM : 11141020000038
Program Study : Pharmacy
Title :
Bamboo are one of the plants that are often found in the Sanggabuana City Forest
and contain alkaloids, flavonoids, saponins, terpenoids and phenols. Bambusa
vulgaris leaf extract has activity as antiplasmodium. The purpose of this study
was to determine the inhibition activity of bamboo plant extracts on one of the
potential antiplasmodium targets, namely the MQO enzyme from P. falciparum in
malaria using an in vitro method. The stages in this study were the ethobotany
study of bamboo plants, extraction of leaf and shoots simplicial, phytochemical
screening and inhibition testing in vitro were carried out. From the ethnobotany
study stage, five bamboo plants were obtained and then divided into six samples
for the extraction process. The extract obtained from the maceration process was
tested for inhibitory activity in vitro, the instrument used in the in vitro test was a
UV-Vis spectrophotometer. The highest antiplasmodium activity was tali bamboo
leaf extract with a percentage of 42% and andong bamboo leaves with a
percentage of 40% at a concentration of 10 µg / ml.
Keywords : Antiplasmodium, in vitro, tali bamboo leaf (Gigantochloa apus),
Andong bamboo leaf (Gigantochloa pseudoarundiancea).
Ethnobotany Study of Bamboo Plants on Betawi Society
in the Discovery of Antimalarial Medicines in the Forest
City of Sanggabuana, South Jakarta and Surroundings
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, bapak saya Rois Sovyan dan ibu saya Ritati serta
adik saya Refta Sekar Devi yang selalu mendoakan dan memberikan
dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Bapak Hendri Aldrat, Ph.D., Apt. selaku pembimbing I dan Bapak Dr. M..
Farid Hamzens, M.Si selaku pembimbing II, yang memiliki peranan besar
dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini. Semoga
segala bantuan dan bimbingan bapak dan ibu mendapat imbalan yang lebih
baik dari Allah SWT.
3. Bapak Marvel, M. Farm., Apt dan Ibu Via Rifkia, M. Farm., Apt selaku
penguji yang selalu memberikan pengarahan kepada penulis hingga skripsi
ini selesai.
4. Sensei Daniel Ken Inaoka, Ph.D selaku peneliti senior dari The University
of Tokyo yang telah banyak memberikan kontribusi, ilmu dan pengarahan
penting hingga selesainya skripsi saya ini.
5. Bapak H. Idin, Bapak H. Makmun, Bang Rio dan seluruh masyrakat
Betawi Kecamatan Karangtengah yang telah membantu dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
6. Bapak Dr. Arief Soemantri, SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
7. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan selama proses perkuliahan sampai selesainya
penyusunan skripsi saya ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis.
10. Damayanti yang selalu menemani, memberikan dukungan, semangat dan
doa kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.
11. Keluarga kedua penulis (Soulmete) Kak Irham Pratama, Kak Nurul Fitria,
Kak Nasyidah Hanum, Kak Muzi Latunil, Kak M. Akbar, Nadya
Tsurayya, Nurjihan Fahira, Suhelmi, dan Nabilah Al-aluf atas
kebersamaannya, bantuan serta motovasi sejak awal penelitian hingga
akhir penyelesaian skripsi ini.
12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Farmasi angkatan 2014 Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap skripsi ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 21 Desember 2018
Penulis
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Riqo Sovyan
NIM : 11141020000038
Program Studi : Farmasi
Jenis karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi saya/karya ilmiah
saya, dengan judul:
STUDI ETNOBOTANI TANAMAN BAMBU PADA MASYARAKAT
BETAWI DALAM PENEMUAN OBAT ANTIMALARIA DI HUTAN
KOTA SANGGABUANA JAKARTA SELATAN DAN SEKITARNYA
untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-
undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 2018
Yang menyatakan,
(Riqo Sovyan)
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ....................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
1.5 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 6
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7
2.1 Etnobotani ............................................................................................ 7
2.2 Definisi Budaya .................................................................................... 8
2.3 Definisi Kearifan Lokal ........................................................................ 9
2.4 Etnik Betawi ....................................................................................... 10
2.5 Tanaman Bambu ................................................................................ 11
2.6 Malaria .............................................................................................. 13
2.7 Produksi Energi Pada Makhluk Hidup .............................................. 16
2.8 Enzim Malate Quinone Oxydoreductase (MQO) ............................. 18
2.9 Simplisia ............................................................................................ 19
2.10 Penyiapan Simplisia ........................................................................... 20
xii
2.11 Pemeriksaan Mutu Simplisia .............................................................. 22
2.12 Metoda Ekstraksi ............................................................................... 22
2.13 Pelarut ................................................................................................ 24
2.14 Ekstrak ................................................................................................ 25
2.15 Vacuum Rotary Evaporator .............................................................. 25
2.16 Kerangka Kerja Teoritis .......................................................................... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 27
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 27
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 27
3.3 Prosedur Kerja ..................................................................................... 27
3.3.1 Pemilihan Responden ............................................................... 27
3.3.2 Wawancara ............................................................................... 27
3.3.3 Identifikasi Tanaman ................................................................ 28
3.3.4 Penyiapan Simplisia dan Proses Ekstraksi ............................... 28
3.3.5 Skrining Fitokimia.................................................................... 28
3.3.6 Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak Tanaman Bambu terhadap Enzim
PfMQO .................................................................................... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 33
4.1 Karakteristik Responden ..................................................................... 33
4.2 Pengetahuan Masyarakat Betawi tentang Tumbuhan Bambu ............. 34
4.3 Identifikasi Tanaman Bambu .............................................................. 37
4.4 Penyiapan Simplisia ............................................................................ 42
4.5 Pembuatan Ekstrak .............................................................................. 43
4.6 Penapisan Fitokimia ............................................................................ 43
4.7 Uji Aktivitas Inhibisi Ekstrak Tanaman Bambu Terhadap Enzim
PfMQO ........................................................................................................ 44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 47
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 47
5.2 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 47
5.3 Saran .................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Komposisi Assay mix ........................................................................... 30
Tabel 3.2. Peta Letak Ekstrak Larutan Induk ........................................................ 31
Tabel 3.3. Peta Letak Ekstrak Pengujian .............................................................. 31
Tabel 3.4 Kelompok Uji pada Percobaan ............................................................. 32
Tabel 4.1 Studi Etnobotani tanaman bambu oleh Masyarakat Betawi. ............... 34
Tabel 4.2. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak ......................................................... 44
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Siklus Transmisi Malaria .................................................................. 15
Gambar 2.2. Proses Glikolisis ............................................................................... 16
Gambar 2.3. Proses Pembentukan Asetil Koenzim A........................................... 17
Gambar 2.4. Proses Siklus Kreb ........................................................................... 17
Gambar 2.5. Proses Transpor Elektron ................................................................. 18
Gambar 2.6. Peran Enzim PfMQO ....................................................................... 19
Gambar 2.7. Kerangka Kerja Teoritik Penelitian.................................................. 26
Gambar 4.1 Prosentase (%) tipologi responden berdasarkan umur ...................... 33
Gambar 4.2 Bambu kuning ..................................................................................... 38
Gambar 4.3 Bambu tali ......................................................................................... 39
Gambar 4.4 Bambu petung ................................................................................... 40
Gambar 4.5 Bambu andong................................................................................... 41
Gambar 4.6 Bambu duri ........................................................................................ 42
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Responden ........................................................................ 55
Lampiran 2. Alur Kerja Penelitian ........................................................................ 63
Lampiran 3. Alur kerja Studi Etnobotani…... ....................................................... 64
Lampiran 4. Uji Aktivitas Inhibisi Enzim PfMQO ............................................... 65
Lampiran 5. Perhitungan Pengenceran Konsentrasi Ekstrak ................................ 66
Lampiran 6. Alur Kerja Uji Aktivitas Inhibisi Enzim PfMQO ............................. 67
Lampiran 7. Perhitungan Uji % Inhibisi Ekstrak .................................................. 68
Lampiran 8. Tanaman Bambu ............................................................................... 69
Lampiran 9. Foto Ekstrak Tanaman Bambu ......................................................... 72
Lampiran 10. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Tanaman Bambu ....................... 73
Lampiran 11. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Rahmawati (2012), manusia dan tumbuhan memiliki ikatan
sangat erat. Selain berfungsi sebagai sumber makanan, pakaian dan bangunan,
tumbuhan memiliki peran yang sangat penting yaitu sebagai dapat dijadikan
sebagai bahan baku obat. Dalam peradaban manusia, tumbuhan telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat untuk mengatasi sakit yang masyarakat
derita serta digunakan untuk menjaga kesehatan. Efek penyembuhan dan
farmakologis tumbuhan memiliki hubungan erat dengan kandungan kimia
tumbuhan tersebut.
Menurut Vickery & Vickery (1981), metabolit sekunder seperti
flavonoid, alkaloid, terpenoid dan lainnya berperan terhadap aktivitas
farmakologis dan terdapat pada tanaman yang biasanya akan menentukan efek
terapi suatu tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder juga dapat memberikan
kemampuan tumbuhan dalam mempertahankan diri. Menurut WHO (2002) dalam
(Radji, 2012), tercatat sebanyak 80% penduduk dunia masih menggunakan
tumbuuhan sebagai sumber obat tradisional. Sampai saat ini masih banyak obat
modern yang menggunakan zat aktif yang didapat dari isolasi lalu dikembangkan
dari tumbuhan. Di Indonesia, tumbuhan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan pangan, obat-obatan,
kosmetika dan sebagai bahan pestisida. Pengetahuan mengenai pemanfaatan
tumbuhanan diperoleh dari pengalaman terdahulu serta pengetahuan turun-
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Supriati, dkk. 2013).
Indonesia terdiri dari suku dan berbagai macam budaya. Salah satunya
yaitu Masyarakat Betawi. Masyarakat betawi merupakan suku yang berada di
propinsi DKI Jakarta. Masyarakat suku Betawi merupakan masyarakat yang kaya
akan budaya serta dekat dengan alam. Masyarakat Betawi salah satunya yang
menempat di Kecamatan Karang Tengah Jakarta sebagian besar masih
memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupan sehari-harinya salah satunya yaitu
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tumbuhan bambu. Masyarakat betawi di wilayah tersebut masih menggunakan
tumbuhan bambu dalam pengobatan tradisional. Namun saat ini, kesinambungan
ketersediaan tumbuhan obat tersebut kurang terjamin karena beberapa kawasan
tumbuh tanaman bambu semakin berkurang. Selain itu, generasi pewaris
pengetahuan tentang penggunaaan tanaman bambu dalam pengobatan tradisional
masyarakat Betawi yang semakin sedikit sehingga penting sekali untuk dilakukan
dokumentasi warisan pengetahuan tentang bambu agar warisan pengetahuan
masyarakat Betawi tentang bambu tidak punah. Agar jenis-jenis tumbuhan bambu
tidak hilang seiring dengan semakin berkurang lahan hutan maka perlu dilakukan
penelitian Studi Etnobotani Tanaman Bambu yang dimanfaatkan masyarakat
Betawi di Hutan Kota Sangga Buana Jakarta. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui jenis, bagian dan cara meramu tanaman bambu yang digunakan oleh
masyarakat Betawi di Jakarta.
Salah satu tanaman yang banyak digunakan masyarakat Indonesia salah
satunya ialah bambu. Bagi masyarakat Indonesia, bambu mempunyai peranan
sangat penting karena banyak manfaatnya untuk berbagai kepentingan mulai dari
bambu muda atau rebung hingga tanman bambu yang sudah tumbuh besar dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bambu banyak digunakan karena
mepunyai sifat yang mudah untuk dimanfaatkan salah satunya memiliki batang
yang kuat, serta memiliki kulit batang yang elastis. Bambu banyak ditemukan di
sekitar pemukiman daerah pedesaan dan diperkebunan, maka bambu dianggap
tumbuhan serbaguna bagi masyarakat desa (Munziri dan Mukarlina, 2013).
Bambu adalah tumbuhan yang serbaguna, cepat mengalami pertumbuhan serta
mempunyai peranan penting dalam kehidupan serta budaya masyarakat (Razvi,
dkk. 2011). Bambu telah digunakan secara luas sebagai bahan bangunan di
berbagai belahan dunia. Bambu memiliki berat gabungan yang rendah, kekuatan
tinggi, keindahan dan daya tahan yang baik sehingga sangat sesuai untuk
arsitektur tradisional yang inovatif (Singh, dkk. 2013). Di Indonesia, diperkirakan
terdapat 159 spesies jenis bambu dari total 1.250 jenis bambu yang terdapat di
dunia. Sebanyak 88 jenis bambu yang ada di Indonesia adalah spesies tanaman
endemik. (Dransfield dan Widjaja, 1995; Wijaya, 2009). Kegunaan tumbuhan
dikelompokkan berdasarkan manfaatnya antara lain sebagai sandang, bahan
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pangan, bangunan, obat-obatan, kosmetika, alat rumah tangga dan pertanian,
pelengkap upacara adat, tali, anyaman, kegiatan sosial, untuk minuman serta
kesenian (Purwanto dan Walujo, 1992).
Banyaknya manfaat bambu perlu dikaji dalam etnobotani. Perhatian
utama etnobotani meliputi jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan serta cara
penggunaannya, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat, serta penggolongan-
penggolongan sistem penamaan yang diberikan terhadap tumbuhan, vegetasi dan
kelimpahan jenis, potensi ekonomi tumbuhan dan lingkungan, koleksi spesimen,
dan koleksi jenis (Harsono dan Martina, 1998).
Menurut Macharla (2011) dalam Rathod et al. (2011), ekstrak etanol
Bambusa arundinacea menunjukkan efek protektif dan secara sigifikan
menurunkan glukosa darah yang diamati pada tikus diabetes yang diinduksi
aloksan. Hasil studi komprehensif ini mengungkapkan bahwa rebung Bambusa
arundinacea menunjukkan aktivitas anti-diabetes signifikan secara statistik
dengan untuk glibenklamid sebagai standar. Sedangkan menurut Zang et al. (
2010), ekstrak air fase serutan bambu (WEBS), dengan metoda ekstraksi karbon
dioksida superkritis menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Bacillus subtilis, Penicilliun citrinum, Aspergillus niger
dan Saccharomyces cerevisiae. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Komlaga
et al. (2016), ekstrak air daun Bambusa vulgaris terbukti memiliki aktivitas
antiplasmodial pada parasit Plasmodium yang sensitif terhadap klorokuin.
Malaria adalah penyakit infeksi dimana penderita mengalami demam
berkala. Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium (Protozoa) dan ditularkan
melalui nyamuk Anopheles betina. Malaria merupakan penyakit berbahaya yang
bisa mengakibatkan kematian khususnya pada pasien yang beresiko tinggi
misalnya ibu hamil, bayi serta balita (Kemenkes, 2013). Berdasarkan data dari
Kemenkes (2013), pada tahun 2010 dilaporkan sebanyak 65% kabupaten di
Indonesia adalah endemis malaria dan penduduknya 45% beresiko malaria. Kasus
malaria pada tahun 2009 yaitu 1,85 per 1.000 penduduk mengalami peningkatan
pada tahun 2010 menjadi 1,96 per 1000 penduduk. Sementara itu, tingkat
kematian akibat malaria mencapai 1,3%. Selain itu tercatat pada tahun 2011 telah
terjadi kematian sebanyak 388 akibat malaria. Berdasarkan data Riskesdas 2013,
3
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
prevalensi malaria di Indonesia pada tahun 2013 adalah 6%. Di provinsi DKI
Jakarta, prevalensi malaria pada tahun 2013 mengalami peningkatan tajam yaitu
5,8% dibanding tahun 2007 yang hanya 0,51%. Malaria adalah salah satu penyakit
paling berbahaya di dunia. Menurut data dari WHO pada tahun 2015 tercatat
sebanyak 3,2 milyar penduduk dunia atau hampir mencapai separuh penduduk
bumi berisiko tertular malaria. Selain itu, tercatat telah terjadi sebnayak 214 juta
kasus infeksi malaria di dunia dan sebanyak 438.000 kasus mengalami kematian.
Menurut Kemenkes (2013), pengobatan malaria saat ini adalah
menggunakan terapi tunggal klorokuin, amodiakuin, sulfadoksin-pirimethamin
(SP). Namun pada tahun 1973 telah ditemukan kasus resistensi malaria P.
falciparum, dan P. vivax terhadap klorokuin di Kalimantan Timur dan tahun 1990
di Pulau Nias. Setelah itu, kasus resistensi malaria ini terus berkembnag ke
seluruh Indonesia. Penggunaan terapi tunggal klorokuin, amodiakuin, sulfadoksin-
pirimethamin (SP) sudah ditemukan resitensi di beberapa wilayah Indonesia.
Banyaknya kasus resistensi malaria ini dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penyakit malaria. Namun obat pilihan pengganti yang telah
direkomendasikan oleh pemerintah untuk mengganti terapi tunggal obat malaria
yaitu terapi kombinasi derivate artemisinin dan beberapa obat anti malaria lain
yang lebih dikenal dengan sebutan artemisinin based combination therapy (ACT).
ACT sangat efektif untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas infeksi malaria.
Namun menururt WHO (2015), baru-baru ini telah dilaporkan terjadinya resistensi
terhadap artemisinin P. falciparum di Asia Selatan dan Asia Timur.
Kemoterapi antimalaria yang tersedia saat ini memiliki efek samping
yang cukup besar serta munculnya resistensi malaria terhadap terapi ini.
Pengembangan obat antimalaria dengan mekanisme aksi baru dan lebih sedikit
efek samping sangat diperlukan. Beberapa langkah untuk mengatasi resistensi
malaria yaitu menemukan sumber obat baru antimalarial yang lebih aman dan
efektif serta mencari target obat baru yang lebih spesifik untuk membunuh parasit
yang invasif. Enzim MQO (malate quinone oxydoreductase) merupakan salah
satu target obat yang baru untuk mengatasi invasi Plasmodium. Enzim MQO
merupakan suatu enzim membran yang berfungsi sebagai katalis proses oksidasi
dari malat ke oksaloasetat. Enzim MQO tidak memerlukan NAD sebagai aseptor
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tapi terjadi perpindahan elektron menuju kuinon lalu kuinon dioksidasi oleh rantai
transfer elektron (Kather, Stingl, van der Rest, Altendorf, & Molenaar, 2000).
Banyaknya potensi dan persebaran tanaman bambu namun masih
kurangnya dokumentasi pengetahuan secara tertulis tentang manfaat tanaman
bambu khususnya bagi Masyarakat Betawi serta belum adanya studi etnobotani
tanaman bambu yang dilakukan di Hutan Kota Sangga Buana Kecamatan Karang
Tengah Jakarta Selatan, maka perlu dilakukan Studi Etnobotani Tanaman Bambu
di Hutan Kota Sanggabuana Kecamatan Karang Tengah, Jakarta Selatan.
Penelitian sebelumnya terhadap salah satu jenis bambu yaitu Bambusa vulgaris
mengungkapkan bahwa daun jenis bambu tersebut memiliki efek antiplasmodium,
namun efek inhibisi jenis bambu tersebut dan jenis bambu lainnya terhadap target
obat antiplasmodium enzim P.falciparum MQO sejauh ini belum pernah
dilaporkan.
1.2 Rumusan Masalah
Banyaknya tanaman sebagai sumber obat baru yang belum banyak
tercatat secara tertulis di Hutan Kota Sanggabuana sehingga perlu dilakukan
penggalian potensi alam khususnya tanaman bambu di Hutan Kota Sanggabuana
untuk dijadikan sumber obat baru. Saat ini banyak terjadi kasus resistensi obat
antimalaria yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit malaria.
Pada tahun 2015 telah dilaporkan adanya resistensi beberapa obat antimalaria
terhadap P. falciparum di Asia Selatan dan Asia Timur. Bertambahnya kasus
resistensi obat antimalaria sehingga perlu dilakukan penelitian dalam penemuan
sumber obat antimalaria baru. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Komlaga
et al. (2016), dilaporkan bahwa ekstrak daun Bambusa vulgaris memiliki aktivitas
sebagai antiplasmodial, namun belum pernah dilaporkan aktivitas inhibisinya
terhadap salah satu target potensial antiplasmodium yakni enzim MQO dari P.
falciparum pada penyakit malaria.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah tanaman bambu kuning (Bambusa vulgaris) memiliki
aktivitas inhibsi pada enzim P. falciparum MQO?
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Jenis-jenis tanaman bambu apa saja yang memiliki aktifitas inhibisi
terhadap enzim P. falciparum MQO?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas inhibisi ekstrak
tanaman bambu terhadap enzim PfMQO yang merupakan target potensial pada
penemuan obat antiplasmodium baru.
1.5 Hipotesis Penelitian
1. Tanaman bambu yaitu Bambusa vulgaris diduga memiliki aktivitas
inhibisi terhadap salah satu target potensial antiplasmodium yakni
enzim P. falciparum MQO.
2. Satu jenis tanman bambu dengan jenis bambu lainnya memiliki
kekerabatan yang dekat sehingga diduga terdapat beberapa jenis
bambu yang memiliki potensi yang sama sebagai inhibitor enzim P.
falciparum MQO.
1.6 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawaan tentang tanaman
obaat serta memberikan informasi ilmiah mengenai potensi kearifan
lokal tanaman obat di Indonesia khususnya tanaman bambu.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya
dalam mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang penemuan
obat antimalaria.
3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan penting
penggunaan tanaman bambu sebagai obat dalam upaya peningkatan
kesehatan serta pemanfaatannya di bidang farmasi.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etnobotani
Menurut Castetter (1944) dalam Hastuti (2002), istilah etnobotani pada
awalnya adalah botani aborigin (aboriginal botany) yang diungkapkan oleh Power
pada tahun 1875 yang batasannya adalah pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan
oleh masyarakat lokal untuk bahan obat-obatan, bahan makanan, bahan sandang,
bahan bangunan dan lain-lainnya. Istilah etnobotani muncul pertama kali pada
tanggal 5 Desember 1895 dalam suatu artikel anonim yang diterbitkan oleh
Evening Telegram dalam kesempatan suatu konferensi arkeolog J. W. Harsberger.
Pada tahun berikutnya terbit artikel dari konferensi tersebut yang mengetengahkan
tentang obyek etnobotani (The purpose of Ethnobotany), meliputi : (a)
rnengungkapkan situasi kultural suatu etnik atau tribu yang memanfaatkan
berbagai jenis tumbuhan untuk bahan makanan, bahan bangunan dan bahan
sandang; (b) rnengungkapkan penyebaran jenis-jenis tumbuhan pada masa
lampau; (c) mengungkapkan jalur distribusi komersial suatu jenis turnbuhan dan
(d) mengungkapkan berbagai jenis turnbuhan berguna. Dalam publikasi tersebut
Harsberger sendiri memberikan batasan bahwa etnobotani adalah llmu yang
mempelajari tentang pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan secara tradisional oleh
masyarakat primitif. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
etnobotani berkembang menjadi cabang ilmu yang cakupannya interdisipliner
yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan surnberdaya alarn tumbuhan
dan Iingkungannya.
Menurut Hastuti (2002), etnobotani tumbuhan obat merupakan suatu
bentuk interaksi masyarakat dengan lingkungannya. Karakteristik khas interaksi
setiap suku tergantung pada karakteristik wilayah dan potensi kekayaan tumbuhan
yang ada. Pengkajian etnobotani tumbuhan obat berdasarkan penggunaannya oleh
suku tertentu dimaksudkan untuk mendokumenasikan potensi sumberdaya
tumbuhan obat dan merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan dan
melestarikan tumbuhan obat.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Purwanto (1999) dalam Hastuti (2002), penelitian etnobotani
diawali oleh para ahli botani yang memfokuskan tentang potensi ekonomi dari
suatu tanaman atau tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat lokal. Selanjutnya
para antropolog yang bahasannya mendasarkan pada aspek sosial pandangan
bahwa untuk melakukan penelitian etnobotani diperlukan data tentang persepsi
rnasyarakat terhadap dunia tumbuhan dan lingkungannya.
Secara sederhana etnobotani dapat didefinisikan sebagai suatu bidang
ilmu yang mempelajari hubungan tirnbal balik secara menyeluruh antara
masyarakat lokal dengan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan
tentang sumber daya alam tumbuhan. (Hastuti, 2002)
2.2 Definisi Budaya
Menurut Koentjaraningrat (2000), kebudayaan dengan kata dasar yaitu
budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yang merupakan bentuk kata
jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Definisi budaya menurut
Koentjaraningrat yaitu sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat menerangkan bawa pada dasarnya banyak yang membedakan
antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan
majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian Antropologi, budaya
dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari
definsi. Menurut Koentjaraningrat (2002), kebudayaan atau disingkat budaya,
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Untuk lebih jelasnya mengenai penjelasan diatas, Koentjaraningrat
membedakan tiga wujud dari kebudayaan yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai
sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyrakat. (3) Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Menurut Liliweri (2002), kebudayaan merupakan pandangan hidup dari
sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol
9
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang mereka terima tanpa sadar yang semuanya diwariskan melalui proses
komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hawkins (2012) berpendapat bahwa budaya merupakan suatu kompleks
yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta kemampuan
dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian masyarakat. Menurut
Linton dalam Ihromi (2006), kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan dari
masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian
yang oleh masyarakat tersebut dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Jadi,
kebudayaan mengarah pada hampir seluruh aspek kehidupan meliputi cara-cara
berlaku, kepercayaan-kepercayaan masyarakat, sikap-sikap masyarakat, dan juga
merupakan hasil dari pengalaman atau kegiatan manusia yang khas untuk suatu
masyarakat atau penduduk tertentu.
2.3 Definisi Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lokal”
berarti setempat, sedangkan “kearifan” berarti kebijaksanaan. Secara etimologis,
kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat
(lokal) yang sifatnya bijaksana, penuh dengan kearifan, memiliki nilai yang baik,
yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat setempat.
Menurut Yunus (2012), kearifan lokal didefinisikan sebagai budaya yang
dimiliki oleh masyarakat tertentu dan ditempat tertentu yang dianggap mampu
bertahan dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut
memiliki nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangun karakter
bangsa. Pendapat lain dikemukakakn oleh Suhartini (2009) yang menyatakan
bahwa kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah yang merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Sedangkan menurut Fajarini (2014)
mendefinisikan kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka.
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Aulia dan Dharmawan (2010), bentuk-bentuk kearifan lokal
yang ada di masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan
khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal
menjadi bermacam-macam. Fungsi kearifan lokal tersebut antara lain untuk: (1)
konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) mengembangkan sumberdaya
manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; serta (4) petunjuk
yang berisis tentang kepercayaan, sastra, petuah dan pantangan.
2.4 Etnik Betawi
Menurut Saidi (1994) dalam Nursyirwan (2015), masyarakat Betawi
merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang datang dari berbagai
penjuru dunia dan suku bangsa di Indonesia (Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar,
dan Sunda). Menurut Koentjaraningrat (1984), berbagai suku bangsa ini telah
banyak kehilangan ciri asli nenek moyang mereka dan melalui pergaulan
perdagangan dan perkawinan campur telah menjadi satu etnik khusus yakni
Betawi. Etnik ini dikenal sebagai masyarakat hasil dari peleburan berbagai suku di
Indonesia.
Menurut Saidi (1994), masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang
memiliki sifat dinamis dan akomodatif terhadap perubahan atau pembaharuan,
termasuk pengaruh asing sejauh dianggap positif. Masyarakat Betawi yang pada
awalnya berpusat di Jakarta dari segi jumlah semakin berkurang dan tergusur ke
wilayah sekitar Jakarta, yakni Bogor-Tangerang-Bekasi (Botabek) yang mengitari
wilayah Jakarta. Hal ini dikarenakan oleh pembangunan pusat Jakarta.
Kebanyakan orang Betawi memiliki sejumlah areal tanah karena warisan
seperti persawahan, pertanian dan perkebunan. Tanah-tanah itu yang pada
awalnya mempunyai fungsi ekonomi kemudian berubah menjadi wilayah
pemukiman. Kenyataan ini mendorong masyarakat Betawi mengalihkan mata
pencahariannya ke sektor informal, khususnya bidang jasa. Berpindahnya
masyarakat Betawi ke wilayah pinggiran Jakarta karena terdesak oleh
pembangunan kota Jakarta dan menjadikan Bogor, Tangerang, Bekasi sebagai
wilayah baru budaya Betawi (Saidi 1994). Sistem nilai yang berlaku di kalangan
etnik Betawi antara lain yaitu: (1) rasa solidaritas yang tinggi yang berhubungan
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan nilai gotong-royong yang berlaku di kalangan petani; (2) kurang memiliki
rasa cemburu dalam arti positif sehingga kurang memacu diri untuk bekerja keras
mengejar ketinggalan terhadap lingkungan yang telah maju pesat; (3) pasrah
teradap nasib dan hidupnya merasa aman dan terjamin dalam lingkungan kerabat
dekat; (4) cenderung untuk mengambil keputusan yang merugikan masa depannya
sendiri yaitu karena tidak tahan terhadap kesulitan-kesulitan sementara (terutama
dalam ekonomi) dan jalan keluar yang ditempuh adalah menjual tanah yang
merupakan faktor produksi terpenting bagi keluarga dan menggunakan hasil
penjualan tersebut untuk kepentingan yang tidak produktif (Saidi 1994).
2.5 Tanaman Bambu
2.5.1 Taksonomi
Tanaman bambu banyak ditemukan di daerah tropik di benua Asia,
Afrika, dan Amerika. Daerah Indoburma dianggap sebagai daerah asal tanaman
ini. Tanaman bambu dimasukkan ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi
Angiospermae, Kelas Monokotiledonae, Ordo graminales dan Subfamili
Bambusideae (Berliana & Rahayu 1995).
2.5.2 Sifat-sifat Buluh dan Rumpun Bambu
Bambu adalah tumbuhan yang mempunyai batang berbentuk buluh,
beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai
daun buluh yang menonjol. Bambu ialah nama bagi kumpulan rumput-rumputan
berbentuk pohon kayu atau perdu yang melempeng, dengan batang-batangnya
yang biasanya tegak, kadang memanjat, mengayu dan bercabang-cabang, dapat
mencapai umur panjang yaitu 40–60 tahun (Heyne 1987).
Buluhnya timbul dari buku-buku rimpang yang menjulur/menjalar pada
pertumbuhannya yang kuat, rimpang bercabang-cabang banyak. Saat (waktu yang
tepat) bertaruk atau munculnya tunas berbeda-beda, ada jenis yang bertunas pada
awal musim hujan, pada masa musim hujan dan sebagian lagi pada akhir musim
hujan (Heyne 1987).
Buluh muda (rebung) akan menampilkan pertumbuhan yang cepat dan
menakjubkan yang tidak tertandingi oleh jenis tumbuhan lain. Semakin menuju ke
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ujung puncak, buluh bambu akan semakin tipis dan apabila mencapai panjang
yang sepenuhnya, maka ujung puncaknya merunduk (Heyne 1987).
Bambu merupakan tanaman tahunan dan dibedakan atas dua kelompok
berdasarkan cara tumbuhnya. Pertama, jenis yang tumbuhnya berumpun
(simpodial) dan kedua, jenis yang tumbuhnya tidak membentuk rumpun
(monopodial). Ada juga yang bersifat intermediet. Tipe rumpun di Indonesia
umumnya adalah simpodial (Sutarno 1996).
Akar rimpang terdapat di bawah tanah dan membentuk sistem
percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Bagian
pangkal akar rimpangnya lebih sempit daripada bagian ujungnnya dan setiap ruas
mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang
menjadi rebung yang kemudian memanjang dan akhirnya akan menghasilkan
buluh (Widjaja 2001).
Ada dua macam sistem perakaran akar rimpang yaitu pakimorf
(ditunjukan oleh akar rimpangnya yang simpodial), dan leptomorf (dicirikan oleh
akar rimpangnya yang monopodial). Di Indonesia jenis-jenis bambu asli
mempunyai sistem perakaran pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek
dengan leher yang pendek juga. Setiap akar rimpang mempunyai kuncup yang
akan berkembang dan tumbuh menjadi akar rimpang baru yang akhirnya bagian
yang tumbuh ke atas membentuk rebung dan kemudian menjadi buluh. Akar
pakimorf bentuknya sering bervariasi, misalnya pada marga Dinochloa,
Melocanna memiliki akar rimpang yang lehernya panjang tetapi ruasnya pendek
dan tanpa kuncup, sehingga buluh tampak agak berjauhan dan tidak
menggerombol.
Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari
pangkal buluh yang tua. Rebung dapat digunakan untuk membedakan jenis bambu
karena menunjukkan ciri yang khas pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung
umumnya hitam, tetapi ada juga yang coklat atau putih, dan beberapa buluh dapat
menyebabkan kulit menjadi terasa gatal sedangkan yang lainnya tidak. Rebung
selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang mengikuti
perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001). Pertumbuhan dan perkembangan buluh
bambu muda (rebung) berlangsung sangat cepat dan mencapai panjang maksimal
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
setelah 2–4 bulan atau selama masih ada hujan (Khrisnamwy 1956, diacu dalam
Sutiono at al. 1996).
2.6 Malaria
2.6.1 Etiologi dan Patogenesis
Malaria berasal dari bahasa Italia, yang artinya mal : buruk dan area:
udara. Secara harfiah malaria berarti penyakit yang sering timbul di daerah
dengan udara buruk akibat dari lingkungan yang buruk. Malaria merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (Protozoa) dari genus
Plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles (Depkes
RI, 2008).
2.6.2 Penyebab Penyakit Malaria
Penyebab malaria adalah Plasmodium yang termasuk dalam famili
Plasmodiae. Parasit ini menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual di dalam darah. Perkembangbiakan secara seksual Plasmodium
terjadi dalam tubuh nyamuk, yaitu anopheles betina. Selain menginfeksi manusia
Plasmodium juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan
mamalia. Pada manusia, Plasmodium menginfeksi sel darah merah dan
mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit (Depkes RI, 2008).
Di seluruh dunia terdapat sekitar 2.000 spesies anopheles, 60 spesies
diantaranya diketahui sebagai penular malaria. Di Indonesia ada sekitar 80 jenis
anopheles, 24 spesies diantaranya telah terbukti penular malaria. Sifat masing-
masing spesies berbeda-beda tergantung banyak faktor, seperti penyebaran
geografis, iklim, dan tempat perindukannya. Semua nyamuk malaria hidup sesuai
dengan kondisi ekologi setempat, contohnya nyamuk malaria yang hidup di air
payau (Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus), di sawah (Anopheles
aconitus), atau air bersih di pegunungan (Anopheles maculatus) (Depkes RI,
2008).
Nyamuk Anopheles hidup di daerah iklim tropis dan subtropis, tetapi
juga bisa hidup di daerah yang beriklim sedang. Nyamuk ini jarang ditemukan
pada daerah dengan ketinggian lebih dari 2.000 – 2.500 meter. Tempat
15
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perindukannya bervariasi tergantung spesies, dan dapat dibagi menjadi tiga
kawasan, yaitu pantai, pedalaman dan kaki gunung. Biasanya, nyamuk anopheles
betina menggigit manusia pada malam hari atau sejak senja hingga subuh. Jarak
terbangnya tidak lebih dari 0,5–3 km dari tempat perindukannya, kecuali jika ada
tiupan angin kencang bisa terbawa sejauh 20 – 30 km. Nyamuk anopheles juga
dapat terbawa mobil, pesawat terbang atau kapal laut, dan menyebarkan malaria
ke daerah non-endemis. Umur nyamuk anopheles dewasa di alam bebas belum
banyak diketahui, tetapi di laboratorium dapat mencapai 3–5 minggu (Depkes RI,
2008).
2.6.3 Jenis Parasit Plasmodium
Penyakit malaria disebabkan oleh Protozoa genus Plasmodium. Terdapat
empat spesies yang menyerang manusia yaitu: P. falciparum (Welch, 1897)
menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana maligna/malaria
tropika/malaria pernisiosa, P. vivax (Labbe, 1899) menyebabkan malaria vivax
atau malaria tertiana benigna, P. ovale (Stephens, 1922) menyebabkan malaria
ovale atau malaria tertiana benigna ovale. P. malariae (Grassi dan Feletti, 1890)
menyebabkan malaria malariae atau malaria kuartana.
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax.
Untuk P. falciparum menyebabkan suatu komplikasi yang berbahaya, sehingga
disebut juga dengan malaria berat ciri utama genus plasmodium adalah adanya
dua siklus hidup, yaitu siklus hidup aseksual dan siklus seksual.
A. Fase Aseksual
Fase aseksual dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia
sporozoit yang terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia selama
kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel parenkhim
hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan
merozoit hati (Depkes RI, 2008).
Siklus aseksual ini di sebut siklus eksoeritorisiter yang berlansung sekitar
2 minggu. Pada akhir fase mesozoid yang berasal dari skizon hati yang pecah
akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah.
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kemudian parasit tersebut mengalami proses skizogoni yaitu berkembang dari
stadium tropozoid sampai skizon. Selanjutnya terjadi proses eritrositer yaitu
eritrosit yang terinfeksi skizon pecah dan merozoid yang keluar akan menginfeksi
sel darah merah lainya (Depkes RI, 2008).
Setelah terjadi 2-3 siklus skizogoni darah sebagian merozoid yang
menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit
jantan dan betina (Depkes RI, 2008).
B. Fase Seksual
Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang
mengandung parasit malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut
nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikrogametosit dan
makrogametosit, yang kemudian terjadi pembuahan membentuk zygote (ookinet).
Tahapan berikutnya dari proses ini yaitu ookinet menembus dinding
lambung nyamuk dan menjadi ookista. Jika ookista pecah, ribuan sporozoit
dilepaskan dan bermigrasi mencapai kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu
sporozoit siap menginfeksi jika nyamuk menggigit manusia (Depkes RI, 2008).
Gambar 2.1. Siklus Transmisi Malaria
Sumber: klein EY. 2013. Antimalarial drug resistance: a review of the biology and
strategies to delay emergence and speard, International Journal antimicrob
agents.
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7 Produksi Energi Pada Mahluk Hidup
2.7.1 Glikolisis
Proses glikolisis merubah glukosa menjadi piruvat dan akan
menghasilkan ATP. Glikolisis dimulai dengan satu molekul glukosa yang
memiliki 6 atom karbon pada rantainya (C6H12O6) dan akan dipecahkan menjadi
dua molekul piruvat yang masing-masing memiliki 3 atom karbon (C3H3O3) yang
merupakan hasil akhir bagi proses ini (Irawan, 2007).
Proses glikolisis ini juga akan menghasilkan molekul 4 ATP dan 2
NADH total akan dihasilkan 10 ATP pada tahap awal proses ini memerlukan 2
molekul ATP dan 2 molekul ATP untuk mentransfer 2 NADH ke mitokondria.
Sebagai hasil akhir, akan terbentuk 6 molekul ATP (Marks et al., 2005).
Gambar 2.2 Proses glikolisis
Sumber: Harpers’s Illustrated Biochemistry, 28th
Edition
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7.2 Dekarboksilasi Oksidatif
Dekarboksilasi oksidatif adalah reaksi yang mengubah asam piruvat dari
hasil proses glikolisis menjadi asetil koenzim A dan karbon dioksida di dalam
mitokondria pada proses ini terbentuk 6 ATP (Tortora, 2009).
Gambar 2.3 Proses pembentukan asetil koenzim A
Sumber: Biologi, sembiring.L
2.7.3 Siklus Kreb
Gambar 2.4 proses siklus kreb
Sumber: M.W.King (1996)
Siklus Kreb terjadi di dalam mitokondria. Molekul asetil-KoA yang
merupakan produk akhir dari proses konversi piruvat kemudian akan masuk ke
dalam siklus Kreb. Perubahan yang terjadi dalam siklus ini adalah mengubah 2
atom karbon yang terikat di dalam molekul asetil-KoA menjadi 2 molekul karbon
dioksida (CO2), membebaskan koenzim A serta memindahkan energi dari siklus
ini ke dalam senyawa NADH, FADH2 dan GTP. Untuk melanjutkan proses
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metabolisme energi, molekul NADH dan FADH2 yang dihasilkan dalam siklus ini
akan diproses kembali secara aerobik di dalam membran sel mitokondria melalui
proses electron transpor chain atau rantai transpor elektron untuk menghasilkan
produk akhir berupa ATP dan air (Galambos, Terry, Moyle, & Locke, 2005).
2.7.4 Rantai Transpor Elektron
Pada proses transpor elektron, NADH dan FADH2 yang mengandung
elektron akan melepaskan elektron tersebut ke dalam akseptor utama yaitu
oksigen. Pada akhir dari proses ini, akan menghasilkan 3 molekul ATP dari 1
molekul NADH dan 2 molekul ATP dihasilkan dari 1 molekul FADH2. 1 molekul
glukosa akan menghasilkan 6 NADH + 2 FADH2 + 2ATP, Total ATP yang akan
terbentuk selama proses keseluruhan adalah 36 ATP. (Irawan, 2007).
Gambar 2.5 Proses transpor electron
(Sumber : Browning, 1982)
2.8 Enzim Malate Quinon Oxydoreductase (MQO)
Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator, senyawa yang
meningkatkan kecepatan reaksi kimia. Enzim berikatan dengan substrat. Dengan
adanya enzim, molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya
menjadi molekul lain yang disebut produk (Marks, Marks, & Smith, 2000). Enzim
dapat diproduksi oleh mikroba atau bahan lainnya seperti hewan dan tanaman.
Enzim juga dapat diisolasi dalam bentuk murni (F. Winarno, 1986)
Malate quinon oxidoreductase (MQO) merupakan enzim yang terlibat di
siklus TCA, siklus fumarat dan rantai respirasi. Pada siklus TCA menghubungkan
rantai respirasi dengan mentransfer elektron dari malat ke ubiquinone untuk
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghasilkan oksaloasetat dan ubiquinol. P. falciparum MQO (PfMQO) sangat
penting pada sirkulasi darah, dan tidak terdapat pada genom manusia, PfMQO
dianggap sebagai target obat yang potensial. Rekombinan bakteri sistem ekspresi
PfMQO sebagai inhibitor poten dengan aktivitas antimalaria berhasil
dikembangkan untuk pertama kalinya (Inaoka et al., 2016).
Gambar 2.6 peran enzim PfMQO
Sumber : Ke H. et al., 2015, Cell Rep. and Bulusu V. et al., 2011, J. Biol.
Chem.
Inaoka et, al., untuk pertama kalinya berhasil mengembangkan sistem
ekspresi rekombinan yang aktif dari jenis MQO mitokondria, sistem screening
dan diidentifikasi sebagai inhibitor ampuh. PfMQO dapat ditargetkan oleh
molekul kecil, dan dengan demikian, secara kimia PfMQO tervalidasi sebagai
target obat untuk pengembangan obat antimalaria baru (Inaoka et al., 2016).
2.9 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dikeringkan. Simplisia terbagi
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menjadi beberapa maam yaitu simplisia nabati, hewani, dan simplisia mineral.
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau
ekdsudat tanaman. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh,
bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa
zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa
bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dan telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni. (Depkes RI, 2000)
Sumber simplisia sangat melimpah di berbagai daerah di di Indonesia
mudah dijumpai tanaman obat. Pemilihan simplisia yang baik merupakan hal
yang sangat penting untuk menjamin mutu suatu obat tradisional. Industri obat
tradisional seharusnya mempunyai standar minimal untuk simplisia yang
digunakan untuk memberi jaminan kualitas simplisia yang digunakan
(Departemen Kesehatan, 1999).
2.10 Penyiapan simplisia
1. Pengumpulan Bahan Baku
Kandungan kadar senyawa yang terkandung dalam simplisia dapat
berbeda–beda dipengaruhi beberapa faktor seperti bagian tanaman yang
digunakan, umur tanaman, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh
(Depkes RI, 1985).
2. Sortasi Basah
Pada sortasi basah dilakukan pemisahan kotoran–kotoran atau bahan
asing lainnya yang ada pada simplisia yang tidak digunakan. Seperti
kerikil, ranting, tanah, serta pengotor lainnya (Depkes RI, 1985).
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan
air bersih yang mengalir. Bahan simplisia yang mengandung zat yang
mudah larut dalm air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
waktu sesingkat mungkin untuk menghindari kehilangan zat lebih banyak
(Depkes RI, 1985).
4. Perajangan
Beberapa bahan simplisia perlu melalui proses perajangan.
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau atau alat perajang khusus
sehingga dapat diperoleh irisan dengan ukuran yang dikehendaki.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan, penggilingan dan penyimpanan. Semakin tipis bahan yang
dirajang maka dapat mempercepat proses pengeringan (Depkes RI,
1985).
5. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan
dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Hal-hal yang perlu
diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan
bahan. Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara
pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30ºC
sampai 90ºC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60ºC. Bahan
simplisia yang mengandung senyawa yang tidak tahan terhadap panas
atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin,
misalnya 30ºC sampai 45ºC (Depkes RI, 1985).
6. Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda
asing seperti bagian bagiian tanaman yang tidak diinginkan dan
pengotoran-pengotoran lainnya yang masih tertinggal pada simplisia
kering (Depkes RI, 1985).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Penghalusan
Penghalusan bertujuan untuk memperbesar luas permukaan dan
mempercepat ekstraksi jika simplisia ingin dijadikan ekstrak kental
ataupun cair (Depkes RI, 1985)
8. Pengepakan dan Penyimpanan
Tujuan pengepakan adalah agar simplisia yang telah jadi dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama dan mutunya tetap terjaga.
Umumnya penyimpanan simplisia pada suhu ruang yang sejuk maupun
suhu yang relative lebih panas. Penyimpanan simplisia perlu dijauhkan
dari kontaminasi mikroorganisme (Depkes RI, 1985).
2.11 Pemeriksaan Mutu Simplisia
Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksaan organoleptik
(makroskopik), pemeriksaan mikroskopik (anatomi histologi simplisia),
memisahkan bahan organik lain, pemeriksaan cemaran mikroba, cemaran jamur
dan cemaran pestisida (Gunawan & Mulyani, 2004).
2.12 Metoda Ekstraksi
A. Cara Dingin
1. Maserasi
Suatu metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara
teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000).
2. Perkolasi
Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang
jumlahnya 1-5 kali bertahan (Depkes RI, 2000).
B. Cara Panas
1. Refluks
Proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).
2. Soxhlet
Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin
balik (Depkes RI, 2000).
3. Digesti
Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50⁰C (Depkes RI, 2000).
4. Infus
Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98oC selama waktu tertentu (15–20 menit) (Depkes RI, 2000).
5. Dekok
Proses infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30 menit dan temperature
sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.13 Pelarut
Pelarut merupakan zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan
zat lain. Jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi sangat
menentukan senyawa aktif dari tanaman yang akan diperoleh. Sifat pelarut yang
baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah, mudah menguap
pada suhu rendah, dapat mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat (Tiwari,
Kumar, Kaur, Kaur, & Kaur, 2011). Berbagai pelarut yang digunakan dalam
prosedur ekstraksi antara lain:
A. Air
Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk mengekstraksi
produk tanaman dengan aktivitas antimikroba. Meskipun pengobatan secara
tradisional menggunakan air sebagai pelarut, tetapi ekstrak tanaman dari pelarut
organik telah ditemukan untuk memberikan aktivitas antimikroba lebih konsisten
dibanding dengan ekstrak air (Tiwari et al., 2011).
B. Aseton
Aseton digunakan untuk melarutkan komponen senyawa hidrofilik dan
lipofilik dari tanaman. Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat bercampur dengan
air, mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah (Tiwari et al., 2011).
C. Alkohol
Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel untuk mengekstrak
sel, untuk mengekstrak bahan intraseluler dari bahan tanaman. Methanol lebih
polar dibanding etanol. Polifenol pada etanol lebih tinggi dari pada di air.
Sehingga aktivitas antioksidan pada pelarut etanol lebih tinggi dibandingkan
pelarut air. Senyawa flavonoid terdeteksi dengan etanol 70% karena polaritasnya
yang lebih tinggi daripada etanol murni (Tiwari et al., 2011).
D. Kloroform
Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut
menggunakan n-heksan, kloroform dan methanol dengan konsentrasi aktivitas
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Senyawa tannin dan terpenoid
ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semipolar
(Tiwari et al., 2011).
E. Eter
Eter pada umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi kumarin
dan asam lemak (Tiwari et al., 2011).
F. N-heksan
N-heksan mempunai karakteristik sangat tidak polar, volatile,
mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan (Daintith, 1987). n-heksan
biasanya digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi minyak nabati (Tiwari et al.,
2011).
2.14 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Dalam
proses pembuatan ekstrak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya
(Depkes RI, 2000).
2.15 Vacuum Rotary Evaporator
Vacuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan
suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia
tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan
dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan
diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor)
dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah pelarutnya diuapkan,
akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk ekstrak kental atau cair. Prinsip
kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang
menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor (suhu
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung
penerima (receiver flask) (Prijono, 1999).
2.16 Kerangka Kerja Teoritis
Gambar 2.7 Kerangka Kerja Teoritik Penelitian
(Detail terdapat di lampiran)
Studi Etnobotani
Uji Aktivitas Inhibisi
terhadap target obat
antimalaria PfMQO
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Hutan Kota Sanggabuana Jakarta Selatan dan
laboratorium Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada periode Juli 2018 sampai dengan selesai.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary evaporator,
Microtubes MCT-150-c 1.5, Microplate 96-well (NuncTM
) No 269787, Pipet tips
1-1000 µL (Axygen), Pipet Tips 10 µL 200 µL Biologix, Spektrofotometer Uv-Vis
Spectramax (Paradigm), timbangan analitik (Mettlee toledo AB 204-s/FOC),
gunting tumbuhan, kamera, kertas label, dan pisau. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lembar wawancara atau kuisioner untuk koresponden terpilih,
daun dan rebung bambu, etanol 96 % yang didestilasi, asam sulfat 2N, pereaksi
meyer, pereaksi dragendrof, FeCl3 1%, kloroform, pereaksi lieberman-burchard,
asam asetat anhidrat, Aquadest, KCN (sigma), DMSO, HEPES (pH 7.0), d-uQ
(D7911 sigma), DCIP, substrat malate (Wako) Enzim MQO P. Falciparum
(Wako).
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pemilihan Responden
Teknik pemilihan responden yag digunakan dalam tahap awal penelitian
ini adalah metode purchasing sampling yaitu teknik pemilihan responden dengan
pertimbangan memiliki pengetahuan lebih tentang tumbuhan obat (Sugiyono,
2007) kemudian dilanjutkan dengan metode snow ball yaitu teknik pemilihan
responden sebelumnya yang dimulai dari kepala desa (Bernard, 2002).
3.3.2 Wawancara
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan
metode wawancara mendalam. Wawancara dilakukan oleh peneliti secara
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
langsung dengan tokoh kunci dari Masyarakat Betawi Kecamatan Karang Tengah
Jakarta Selatan dengan dibantu oleh alat perekam suara. Partisipan dipilih
berdasarkan pengalamannya yang mendalami pelestarian dan pemanfaatan
tanaman bambu khususnya untuk pengobatan. Setiap wawancara berlangsung 30-
60 menit. Data yang diperoleh terdiri dari nama-nama lokal tanaman, bagian
tanaman yang digunakan, cara penggunaan, alasan, dosis serta aplikasi
penggunaan dalam kesehatan secara umum dan aplikasi dalam medis. Data
dikumpulkan dengan menggunakan program Microsoft Office.
3.3.3 Identifikasi Tanaman
Identifikasi tanaman bambu dilakukan menggunakan buku Ensiklopedia
Flora terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
3.3.4 Penyiapan Simplisia dan Proses Ekstraksi
Simplisia tanaman bambu diperoleh dari Hutan Kota Sangga Buana
Kecamatan Karang Tengah, Jakarta Selatan. Kemudian dilakukan proses sortasi
untuk memisahkan kotoran-kotoran lalu dicuci dengan air mengalir dan dikering
anginkan. Simplisia yang telah kering lalu dilakukan dengan blender. Simplisia
selanjutnya dtimbang dengan berat tertentu lalu dilakukan proses maserasi dengan
pelarut etanol 96% selama 3 hari perendaman di dalam botol kedap cahaya sambil
sesekali botol diaduk dan dikocok.
Hasil maserasi disaring menggunakan kapas untuk memisahkan
ampasnya. Setelah disaring menggunakan kapas, dilakukan penyaringan kembali
dengan dengan kertas saring. Proses ini diulang hingga 3 kali. Larutan maserat
kemudian dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak
kental. Ekstrak kental disimpan pada suhu 40C.
3.3.5 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder yang terkandung dalam ekstrak tanaman bambu. Pengujian kualitatif
terhadap metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, steroid,
fenol, tanin.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Penentuan Golongan Alkaloid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam asam klorida 1% dan
disaring. Filtrat dibagi menjadi dua bagian, satu bagian ditetesi dengan
pereaksi Mayer dan yang lain ditetesi dengan pereaksi Dragendorf. Hasil
positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih dengan pereaksi
Mayer dan endapan merah dengan pereaksi Dragendorf (Ahmad, Singh,
& Pandey, 2013).
b. Penetuan Golongan Flavonoid
Golongan Flavonoid dapat diketahui dengan cara menimbang
sebanyak 0,5 gram ekstrak lalu dilarutkan dengan 2 mL etanol 70% dan
ditambahkan 3 tetes larutan NaOH. Terjadinya perubahan intensitas
warna kuning menjadi tidak berwarna pada penambahan asam sulfat
mengindikasikan adanya senyawa flavonoid (Tiwari et al., 2011).
c. Pengujian Golongan Saponin
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok vertikal
selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 1–10 cm yang stabil selama
tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2N, busa tidak hilang (Departemen Kesehatan,
1989).
d. Pengujian Golongan Terpenoid dan Steroid
Kandungan metabolit sekunder golongan terpenoid dan steroid pada
sampel dapat dideteksi dengan menggunakan reaksi Liebermann-
Burchard. Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 5 mL kloroform,
kemudian ditambahkan asam asetat anhidrida dan beberapa tetes asam
sulfat pekat. Hasil uji positif untuk terpenoid bila terbentuk warna hijau
gelap. Hasil uji positif untuk steroid bila terbentuk warna merah muda
atau merah (Ahmad et al., 2013).
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Pengujian Golongan Tannin dan Polifenol
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air aquadest
kemudian diteteskan larutan besi (III) klorida 10%, jika terjadi warna
biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin dan polifenol
(Ahmad et al., 2013).
3.3.6 Uji Aktivitas Ekstrak Tanaman Bambu terhadap Enzim PfMQO
a. Pembuatan Larutan Assay PfMQO
Komposisi dari assay mix untuk pengujian ekstrak beluntas terhadap
enzim PfMQO adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Komposisi assay mix
No Nama Bahan Konsentrasi Volume yang
Diambil
1 HEPES pH 7.0 50 mM 20 Ml
2 KCN 1 M 20 µl
3 d-UQ 25 mM 8,3 µl
4 DCIP 12 mM 200 µl
5 PfMQO membrane 2,8 µg/ml 3,1 µl
Stock
6 Substrat Malate * 400 mM 2 µl
*) Substrat malate ditambahkan setelah bahan 1 sampai 5 dicampur dan di ukur
pada panjang gelombang 600 nm selama tiga menit dengan spektrofotometri
UV-Vis.
b. Produksi Enzim MQO
Membran enzim diperoleh dari BPPT, Serpong hasil penelitian
Inaoka (Inaoka et al., 2016).
c. Penyiapan Ekstrak
Ditimbang secara seksama ekstrak 3–10 mg, dimasukan ke dalam
tabung lalu tambahkan DMSO 100% sebanyak ekstrak yang diambil agar
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsentrasi ekstrak didalam tube 10 mg/ml. Lalu divortex dan disonikasi
agar ektrak dan DMSO homogen. Masukan 100 µl ekstrak dari dalam
tabung ke dalam V plate yang sudah disediakan. Dengan pada posisi 1
dan 12 dimasukan DMSO 100% dan posisi 2-11 dimasukan ekstrak.
Seperti tabel dibawah.
Tabel 3. 2 Peta Letak Ekstrak Larutan Induk
Dimasukan 2 µl dari larutan induk ke dalam plate uji yang memiliki
96 well plate. Seperti tabel dibawah.
Tabel 3. 3 Peta Letak Ekstrak Saat Pengujian
Setelah itu tambahkan 193 µl (untuk volume 2 µl) assay mix.
Plate reader dihomogenkan terlebih dahulu selama 15 sec (2x) Lalu
diukur pada spektrofotometri UV-Vis (spectramax) dengan suhu 37C
pada panjang gelombang 600nm. Diukur selama 3 menit. Lalu setelah 3
menit ditambahkan 5 µl dari 400 mM sodium malate lalu diukur kembali
pada spektrofotometri UV-Vis (spectramax) selama 10 menit pada
panjang gelombang 600 nm dan suhu 37C.
31
Ekstrak 2 µl
Ekstrak 2 µl
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.4 Kelompok Uji Pada Percobaan
Uji Kontrol Negatif Kontrol Positif
+ Ekstrak
Assay Mix
+ Substrat Malat
DMSO 100%
Assay Mix
+ Substrat Malat
DMSO 100%
Assay Mix
Tanpa Substrat Malat
d. Perhitungan Aktivitas Enzim
Persen inhibisi dari ekstrak tanaman bambu terhadap enzim PfMQO
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(Ghosal, 2012).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah responden yang diwawancara
sebanyak 17 orang. Responden yang menggunakan tumbuhan bambu paling
banyak yaitu kisaran usia ≥50 tahun. Sedangkan responden yang menggunakan
tumbuhan bambu dengan kisaran usia ≤19 tahun paling sedikit ditemukan.
Gambar 4.1 Prosentase tipologi responden berdasarkan umur
Tingkat pengetahuan etnobotani pada masyarakat dengan usia yang lebih
tua jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usia lebih muda. Responden dengan
usia yang lebih tua memiliki pengetahuan etnobotani tentang tumbuhan bambu
karena sudah percaya dan terbiasa menggunakannya. Generasi muda umumnya
percaya dalam penggunaan tumbuhan obat hanya setelah membuktikan khasiat
dari tumbuhan obat tersebut. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan
diketahui bahwa pewarisan pengetahuan lokal mengenai etnobotani tanaman
bambu kepada generasi muda berlangsung tidak cukup baik. Hal yang mendasari
mulai ditinggalkannya pengetahuan mengenai etnobotani tanaman obat khususnya
tanaman bambu sebagai obat terjadi akibat peningkatan kualitas kesehatan yang
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
< 19Tahun
20-29Tahun
30-39Tahun
40-49Tahun
> 50Tahun
Menggunakan
Tidak menggunakan
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan pemerintah, kunjungan dari dinas kesehatan dan pemberian obat serta
vitamin (Zaman, 2009).
4.2 Pengetahuan Masyarakat Betawi tentang Tumbuhan Bambu
Pemanfaatan tumbuhan bambu oleh masyarakat betawi Kecamatan
karang Tengah, Jakarta Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.1:
Tabel 4.1 Studi Etnobotani tanaman bambu oleh Masyarakat Betawi
No Nama Tumbuhan Bagian yang
digunakan Kegunaan
Nama Lokal Nama Latin
1 Bambu kuning Bambusa vulgaris var.
striata
Rebung Rebung bambu kuning
dicampur dengan
temulawak digunkan
untuk mengobati penyakit
kuning
2 Bambu tali Gigantochloa apus Batang Bahan pembuat rumah,
dan tali
3 Bambu andong Gigantochloa
pseudoarundinacea
Batang Bahan pembuat rumah,
gapura, saung
4 Bambu petung Dendrocalamus asper Batang Bahan pembuat rumah,
gapura, saung
5 Bambu duri Bambusa blumeana
J.A & J.H. Schultes
Batang Digunakan untuk
pembuatan pagar
Masyarakat Betawi Kecamatan Karangtengah memiliki sistem
pengetahuan tentang pengelolaan keanekaragaman budaya, sumberdaya alam dan
lingkungannya. Salah satu sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat
Betawi adalah pemanfaatan tumbuhan bambu untuk pemenuhan kehidupan sehari-
hari antara lain sebagai bahan obat tradisional, bahan pangan, bahan untuk
bangunan dan digunakan dalam menjaga kebersihan lingkungan. Penggunaan
tanaman bambu sebagai bahan obat tradisional berupa ramuan campuran bahan
yang dianggap dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau dapat
memberikan pengaruh yang baik terhadap kesehatan.
Masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang kaya akan pengetahuan
dan budayanya sehingga masih dapat ditemukan masyarakatnya yang
menggunakan pengobatan tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Warga yang
sakit biasanya mencari pengobatan dengan cara menggunakan tumbuhan obat,
mengkonsumsi obat-obatan modern atau berobat ke puskesmas dan rumah sakit.
Pengetahuan mengenai pengobatan secara tradisional yang dimiliki masyarakat
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
betawi merupakan pengetahuan turun-temurun yang diwariskan dari orang tuanya.
Pemanfaatan tumbuhan obat umumnya dipercayakan kepada beberapa tokoh
kunci yang terdapat di masyarakat betawi untuk membantu mereka dalam
penggunaannya. Masyarakat Betawi Kecamatan Karangtengah banyak
memanfaatkan tanaman bambu untuk keperluan sehari-harinya. Jenis bambu yang
terdapat di kawasan hutan kota karangtengah cukup melimpah. Masyarakat
setempat banyak memanfaatkan beragam jenis bambu tersebut sebagai bahan
pembuat rumah, tali, bahan pembuat gapura, saung dan digunakan sebagai pagar.
Keberadaan bambu di tepi sungai juga berperan menurunkan tingkat cemaran air.
Salah satu jenis bambu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Betawi
adalah bambu kuning. Masyarakat Betawi menggunakan rebung bambu kuning
sebagai obat penyakit sakit kuning. Hal ini sesuai dengan Widjaja (1995) yang
juga pernah menyatakan hal serupa. Menurut Godoy et al (2016) dan Ghasemian
(2016) dalam Pratiwi et al (2017), penyakit kuning dapat disebabkan oleh virus
hepatitis A, B, C dan E. Virus hepatitis A dan hepatitis E merupakan penyebab
utama wabah. Penyakit hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A atau HAV
yang ditularkan melalui feses (fekal-oral). Menurut Fares (2015), gejala penyakit
hepatitis A adalah demam, kelelahan, anoreksia (kehilangan nafsu makan),
gangguan pencernaan atau ketidaknyamanan terutama di hati, mual dan muntah.
Gejala pada penyakit hepatitis A memiliki kemiripan dengan penyakit malaria.
Menurut (Arsin, 2012), gejala malaria yang paling umum adalah demam, merasa
lemah, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati dan muntah. Adanya
kemiripan gejala antara penyakit hepatitis A dan gejala penyakit malaria yaitu
demam memungkinkan masyarakat Betawi menggunakan bambu kuning untuk
mengobati gejala demam. Pada penelitian etnobota ni yang dilakukan sebelumnya
oleh Omosun et al (2013) di Nigeria Selatan, telah dilaporkan bahwa bambu
kuning (Bambusa vulgaris) digunakan oleh masyarakat setempat sebagai obat
antimalaria. Bagian tumbuhan bambu kuning yang digunakan masyarakat dalam
pengobatan antimalaria adalah bagian daun. Metode preparasinya yaitu dengan
cara dibuat larutan dekokta campuran daun segar dengan dosis 300 ml dekokta
selama empat kali sehari yang digunakan sampai gejala penyakit malaria hilang.
Pada penelitian lain, Komlaga et al (2016) melaporkan bahwa ekstrak daun
38
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bambu kuning (Bambusa vulgaris) memiliki aktifitas antiplasmodium. Aktivitas
antiplasmodium diuji terhadap P.falciparum yang sensitif terhadap klorokuin dan
P.falciparum tahan klorokuin menggunakan pengukuran uji SYBR® Green I
berbasis fluoresensi dalam 96-well microplate. Fluoresensi diukur menggunakan
multi-well plate reader (Eppendorf realplex mastercycler ep gradient S) pada
panjang gelombang 485 dan 530 nm. Kontrol negatif untuk setiap pengujian tidak
mengandung inhibitor sedangkan kontrol positif mengandung klorokuin. Hasil uji
menunjukkan bahwa ekstrak air daun B. vulgaris menunjukkan aktivitas
antiplasmodium yang resisten terhadap klorokuin. Namun fraksi ekstrak etil asetat
B. vulgaris 29 kali dilaporkan lebih poten daripada ekstrak airnya
Menurut Wawan (2010), Bambu tali dapat digunakan sebagai obat
reumatik, sakit panas dan mengobati panas dalam. Wawan (2010) juga
menyatakan bahwa Bambu petung dapat digunakan sebagai obat untuk
menurunkan tekanan darah tinggi dengan cara mengkonsumsi rebung yang
dimasak tanpa menggunakan sayur.
Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat Betawi dilakukan secara lestari.
Oleh karena itu, pada umumnya pengambilan bagian tumbuhan tersebut tidak
memberikan dampak yang besar pada tumbuhan tersebut. Menurut Meliki (2013),
salah satu contoh masyarakat yang menggunakan tanaman obat namun tetap
menjaga kelestarian hayati adalah masyarakat Dayak Iban. Masyarakat Dayak
Iban menggunakan bagian daun sebagai bahan utama obat.
Daun merupakan bagian tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat
tradisional karena daun umumnya bertekstur lunak. Daun mempunyai kandungan
air yang tinggi (70-80%) dan merupakan tempat akumulasi fotosintesis yang
diduga mengandung unsur-unsur yang memiliki sifat dapat menyembuhkan
penyakit. Zat terbanyak yang terdapat pada daun adalah minyak atsiri, fenol,
senyawa kalium dan klorofil (Handayani,2003).
Hasil fotosintesis pada daun menghasilkan senyawa kompleks yang
disebut dengan senyawa metabolit sekunder. Senyawa ini umumnya terdapat pada
semua bagian tumbuhan terutama daun. Senyawa metabolit sekunder tersebut
meliputi alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, dan polifenol. Senyawa metabolit
39
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekunder inilah yang berkhasiat sebagai obat untuk mengobati berbagai macam
penyakit (Septiatin, 2008).
Menurut Kartika (2013), senyawa alkaloid bersifat detoksifikan dan
dapat menetralisir racun dalam tubuh. Sedangkan senyawa flavonoid merupakan
senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktifitas farmakologis yang beragam
contohnya sebagai pengendur otot, diuretic, analgetik, antioksidan dan sebagai
antiinflamasi (Hernani dan Syahid, 2001). Flavonoid juga dapat digunakan untuk
melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh (Septiatin, 2008).
Senyawa metabolit sekunder lainnya yaitu saponin. Saponin memiliki
aktifitas farmakologi sebagai sumber antibakteri dan antivirus, meningkatkan
system kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, mengurangi kadar gula darah
serta mengurangi penggumpalan darah (Septiatin, 2008). Salah satu kandungan
metabolit sekunder lain adalah terpenoid. Menurut Lenny (2006), terpenoid
merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat
diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan yang disebut minyak atsiri.
Minyak atsiri adalah bahan yang bersifat mudah menguap dan dapat bermanfaat
sebagai stimulan bagi tubuh. Sedangkan polifenol befungsi sebaga antihistamin
atau antialergi (septiatin, 2008).
4.3 Identifikasi Tanaman Bambu
4.3.1 Bambu Kuning
Tumbuhan monokotil ini berupa batang lurus yang berwarna kuning.
Bambu kuning sudah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai
tanaman hias. Bambu kuning berasal dari Srilanka dan India bagian selatan. Di
Indonesia, bambu kuning dapat ditemui mulai dari daerah pantai sampai daerah
pegunungan 0-700 meter diatas permukaan laut. Tanah yang gembur dengan sinar
matahari sepanjang hari sangat membantu pertumbuhan tanaman ini menjadi
cepat besar. Bambu kuning memiliki cabang pada batang yang cukup banyak
sehingga tampak agak rimbun. Bambu ini memiliki akar tinggal yang tumbuh
merayap di dalam tanah. Pertumbuhan tunasnya kadang agak jauh dari batang
induknya sehingga pertumbuhan tunas tidak terlalu rapat. Daun berwarna hijau
dengan ukuran tidak terlalu lebar dan cenderung kecil. Secara umum apabila
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tanaman bambu berbunga dan mengeluarkan biji maka bijinya fertil dan dapat
ditanam menjadi individu baru. Batang bambu kuning bila sudah tua dapat
digunakan sebagai bahan pembuat perabot rumah tangga, seperti bangku, meja,
dipan dan lain-lain. Selain itu, rebung bambu kuning dapat dijadikan makanan.
Rebung bambu kuning juga dimanfaatkan sebagai obat sakit kuning. Menurut
pengetahuan masyarakat betawi, cara pengolahan ramuan tersebut yaitu dengan
cara merebus rebung bambu kuning dengan rimpang temulawak lalu diminum air
rebusannya (Sudarmono, 2010).
Bambu kuning (Bambusa vulgaris var. striata) termasuk kedalam bangsa
Poales (rumput), suku Poaceae (rumput-rumputan). Nama lokal bambu kuning
yaitu bambu kuning (Melayu), trieng gading (Aceh), , awie [aue, aua] gadieng
[gadiang] atau awie [aue, aua] kunieng [kuniang] (Minangkabau), bambu kuning
(Betawi), awi koneng atau awi tutul (Sunda), pring gading atau pring tutul (Jawa),
pereng tutol (Madura), dan bulo gading (Makassar) (Sudarmono, 2010).
Gambar 4.2 Bambu kuning Sumber: Koleksi Pribadi
4.3.2 Bambu Tali
Bambu tali tumbuh di daerah tropis yang lembab dan daerah kering.
Bambu tali tumbuh berumpun, rapat, dan tegak dengan rebung hijau tertutup
rambut berwarna cokelat dan hitam. Tinggi buluh mencapai 22 meter dengan
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
panjang ruas 20-60 cm dan diameter 4-15 cm. Pelepah buluh tidak mudah luluh,
tertutup bulu berwarna hitam atau cokelat. Daun pelepah buluh terlekuk balik,
menyetiga dengan pangkal sempit. Daun berukuran 49x9 cm dan yang kecil 13x2
cm. Permukaan bagian bawah sedikit berambut. Bambu tali umumnya digunakan
sebagai bahan bangunan (dinding, lantai, langit-langit dan atap), kerajinan
anyaman dan keranjang tangan. Bambu tali memiliki ilmiah Gigantochloa apus
Kurz. Bambu tali termasuk kedalam bangsa Poales (rumput) dan temasuk kedalam
suku Poaceae (rumput-rumputan) (Sudarmono, 2010).
Gambar 4.3 Bambu tali Sumber: Koleksi Pribadi
4.3.3 Bambu Petung
Bambu ini memiliki ilmiah Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex
Heyne. Bambu ini temasuk kedalam suku Gramineae. Bambu petung tumbuh di
daerah tropis yang lembab seperti Indonesia (Sumatera, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, Maluku, Irian jaya), Malaysia (Sabah dan Serawak), Sri Lanka dan
Madagaskar. Rebung bambu petung tertutup rambut berwarna cokelat dan hitam.
Tinggi buluh mencapai 20-30 meter dengan panjang ruas 10-20 cm hingga 30-50
cm dan diameter 8-20 cm. Daun berukuran 30 x 2,5 cm. Permukaan bagian bawah
ditutupi lapisan lilin putih. Bambu petung umumnya digunakan sebagai bahan
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bangunan (rumah dan jembatan), rebung bambu petung dapat dijadikan sebagai
sayuran untuk dikonsumsi. Bambu petung memiliki ilmiah Dendrocalamus asper
(Schultes f.) Backer ex Heyne (Widjaja, 1995).
;
Gambar 4.4 Bambu petung Sumber: Koleksi Pribadi
4.3.4 Bambu Andong
Jenis bambu ini menyukai tempat tumbuh di dataran rendah hingga
ketinggian 150 meter diatas permukaan laut dan tersebar di daerah tropis. Bambu
andong tumbuh berumpun, memiliki rebung hijau yang padat dengan garis-garis
kuning tertutup rambut berwarna cokelat sampai hitam. Buluhnya lurus dan tinggi
bisa mencapai 7-30 meter dengan diameter rambut sekitar 10 cm. Pelepah buluh
panjangnya mencapai 30 cm, mudah luruh dan berbulu halus warna hitam. Daun
pelepah buluh berbentuk bundar telur. Daun berukuran 25 x 5 cm dan yang kecil
22 x 2,5 cm. Buluh bambu andong digunakan untuk bahan bangunan, pipa, dan
alat musik tradidional.
Bambu andong memiliki ilmiah Gigantochloa pseudoarundinaceae
Widjaja. Bambu andong termasuk kedalam bangsa Poales (rumput) dan temasuk
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kedalam suku Poaceae (rumput-rumputan). Di Indonesia, bambu ini biasa kenal
dengan nama bambu gombong atau bambu andong (Sudarmono, 2010).
Gambar 4.5 Bambu andong Sumber: Koleksi Pribadi
4.3.5 Bambu duri
Bambu ini memiliki ilmiah Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schultes.
Bambu ini temasuk kedalam suku Gramineae. Bambu ini memiliki nama lokal
bambu duri (Indonesia), haur cucuk (Sunda), pring gesing (Jawa), buloh duri atau
buloh sikai (Malaysia). Tinggi buluh mencapai 15-25 meter dengan panjang ruas
25-60 cm dan diameter 20 cm. Daun berukuran 15- 20 cm x 1,5-2 cm. Ciri utama
dari bambu ini adalah memiliki duri-duri tajam pada buku cabang dan ranting-
rantingnya. Rebung bambu duri dapat dijadikan sebagai sayuran untuk
dikonsumsi. Sedangkan batangnya digunakan untuk bahan bangunan, alat-alat
rumah tangga hingga mainan. Batangnya cocok digunakan sebagai bahai baku
pembuatan kertas (Widjaja, 1995).
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.6 Bambu duri Sumber: Koleksi Pribadi
4.4 Penyiapan Simplisia
Bagain tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah daun dan
rebung tanaman bambu. Bambu yang digunakan berasal dari Hutan Kota
Pesanggrahan Sanggabuana, Jakarta Selatan. Umunya tanaman ini banyak
ditanam sebagai penahan tepi sungai.
Sebanyak 200 gram daun tanaman bambu segar disortasi basah dengan
cara dicuci menggunakan air mengalir untuk menghilangkan kotoran pada bahan
yang akan digunakan. Sampel dikering anginkan pada suhu kamar 25ºC dan
terhindar dari sinar matahari langsung, hal ini dilakukan untuk menghindari
adanya kerusakan kandungan kimia akibat pemanasan dan pengeringan dilakukan
sampai sampel kering (Harborne, 1987). Sampel yang telah kering disortasi kering
untuk dipisahkan dari sisa kotoran-kotoran yang masih tertinggal dan dihaluskan
dengan blender hingga menjadi serbuk, kemudian ditimbang. Serbuk simplisia
disimpan dalam wadah tertutup rapat (Depkes RI, 1985).
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5 Pembuatan Ekstrak
Sampel yang diambil adalah bagian daun. Pemilihan bagian daun sebagai
sampel memilki beberapa alasan diantaranya pemanfaatan organ daun sebagai
obat cara pengolahannya lebih mudah. Selain itu, khasiat yang dimiliki daun lebih
baik dibandingkan bagian-bagian lain pada tumbuhan dan tidak merusak
tumbuhan itu sendiri. Daun memiliki sifat regenerasi yang baik sehingga akan
lebih mudah tumbuh dan bisa dimanfaatkan terus-menerus sampai tumbuhan mati
(Zuhud dan Haryanto 1994).
Hal yang mendasari penggunaan daun adalah sesuai dengan pendapat
Fakhrozi (2009), dimana daun memiliki tingkat regenerasi yang tinggi untuk
kembali bertunas dan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan suatu tumbuhan walaupun merupakan tempat fotosintesis. Selain itu,
salah satu sifat daun adalah mudah didapatkan dan tidak bergantung pada musim
mudah diracik menjadi obat dibandingkan bagian lain pada tumbuhan (Hamzari,
2008).
Metode ekstraksi yang dipilih adalah menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Proses maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel sebanyak 100 gram
dengan pelarut etanol 96% yang dilakukan selama 3 hari lalu sesekali dilakukan
pengocokan agar penetrasi pelarut kedalam sampel semakin baik. Hasil maserasi
disaring dan filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary evaporator
pada suhu 50ºC sehingga diperoleh ekstrak kentalnya. Prosedur diulangi sebanyak
3 kali proses maserasi. Menurut Wardhani & Sulistyani (2012), keuntungan
metode ekstraksi dengan cara maserasi adalah metodenya sederhana dan
menggunakan alat yang mudah didapat.
4.6 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk menggambarkan kandungan
senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam etanol 96% daun bambu,
sehingga dapat diketahui golongan zat yang berpotensi memiliki aktivitas
antimalaria. Hasil penapisan fitokimia ekstrak tumbuhan bambu dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak
Metabolit Daun bambu
kuning
Daun bambu
tali
Daun bambu
andong
Daun Bambu
petung
Daun Bambu
duri
Rebung bambu
kuning Sekunder
Alkaloid + + + + + +
Flavonoid + + + + + +
Saponin + + + + + +
Terpenoid + + + + + -
Tanin &
Polifenol + + + + + -
Keterangan: + = ada, - = tidak ada
Penapisan fitokimia ekstrak daun bambu kuning positif terhadap alkaloid,
flavonoid, saponin, terpenoid, tannin dan polifenol. Penapisan fitokimia ekstrak
daun bambu tali positif terhadap alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, tannin
dan polifenol. Penapisan fitokimia ekstrak daun bambu andong positif terhadap
alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, tannin dan polifenol. Penapisan fitokimia
ekstrak daun bambu petung positif terhadap alkaloid, flavonoid, saponin,
terpenoid, tannin dan polifenol. Penapisan fitokimia ekstrak daun bambu duri
positif terhadap alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, tannin dan polifenol.
Penapisan fitokimia ekstrak rebung bambu kuning positif terhadap alkaloid,
flavonoid dan saponin. Negatif terhadap terpenoid, tanin dan polifenol.
4.7 Uji Aktivitas Inhibisi Ekstrak Tanaman Bambu Terhadap Enzim
PfMQO
Uji aktivitas inhibisi ekstrak daun bambu terhadap enzim PfMQO
dilakukan terhadap keenam ekstrak dari hasil proses maserasi. Ekstrak dari hasil
maserasi diencerkan dengan DMSO 100% dengan konsentrasi akhir yaitu 10
mg/ml atau 10000 ppm. DMSO merupakan pelarut yang di gunakan untuk
pengujian bioassay.
Ekstrak etanol sampel bambu yang telah diencerkan menggunakan
DMSO lalu ditambahkan larutan assay mix. Larutan assay mix ini terdiri dari 50
mM HEPES pH 7,0; 1 mM KCN; 25 mM decylubiquinone, 12 mM DCIP, 2,778
µg/ml enzim PfMQO. Kontrol positif yang digunakan berisi larutan DMSO, assay
mix, tanpa substrat malat, sedangkan untuk kontrol negatif ditambahkan DMSO,
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
assay mix, dan ditambahkan substrat malat. Proses pengukuran dilakukan pada
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm pada suhu 37ºC. Pada
area 600 nm merupakan panjang gelombang yang optimal untuk penyerapan
warna biru. HEPES berfungsi sebagai buffer pH sehingga pH tidak akan bergeser,
KCN berfungsi sebagai penghambat reaksi yang terjadi di kompleks IV
mitokondria Plasmodium falciparum, DCIP digunakan sebagai indikator berwarna
biru, warna biru pada DCIP akan hilang apabila ada elektron yang masuk. Jika
tidak ada elektron yang masuk maka DCIP tidak tereduksi, sehingga larutan akan
tetap berwarna biru. Apabila ada yang menghambat aktivitas enzim PfMQO maka
tidak terjadi reduksi DCIP sehingga DCIP akan tetap berwarna biru.
Decylubiquinone berfungsi sebagai aseptor elektron, PfMQO adalah enzim yang
akan digunakan dalam pengujian dan substrat yang digunakan adalah malat. Hasil
uji aktivitas inhibisi ekstrak tanaman bambu terhadap enzim PfMQO dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.7 Prosentase (%) inhibisi esktrak etanol 96% terhadap PfMQO.
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa ekstrak etanol tumbuhan
bambu yang memiliki prosentase (%) inhibisi paling besar yaitu ekstrak daun
bambu tali pada konsentrasi 10 µg/ml dengan inhibisi 42%, ekstrak daun bambu
andong yaitu 40%. Prosentase inhibisi terhadap enzim PfMQO yang didapatkan
23
40
13
-9
42
34
-20
-10
0
10
20
30
40
50
DaunBambuPetung
DaunBambuAndong
DaunBambu Duri
RebungBambuKuning
DaunBambu Tali
DaunBambuKuning
%In
hib
isi
Ekstrak Uji
% Inhibisi Ekstrak terhadap PfMQO
48
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
belum mencapai standar yang ditetapkan yaitu 50% dapat disebabkan karena
konsentrasi zat aktif yang kurang atau ada yang hilang selama pengujian.
Menurut Mulyono et al (2013), senyawa bioaktif pada ekstrak etanol
daun bambu tali (G. apus) mengandung asam lemak dan ester (86,61%) dengan
senyawa asam lemak yang paling dominan yaitu asam laurat dan esternya
mencapai 48,76%, alkohol rantai panjang (5,30%) dengan komponen terbanyak
yaitu fitol (5,30%), hidrokarbon alifatik (5,00%) dengan komponen mayor yaitu
n-pentadekana (1,83%) dan hidrokarbon siklik yaitu l-limonen (1,40%). Salah
satu senyawa yang ditemukan dalam ekstrak etanol tali (G. apus) adalah fitol.
Senyawa ini dapat dioksidasi menjadi asam lemak yang memiliki aktivitas
antibakteri.
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Ekstrak daun bambu tali (Gigantochloa apus) dan daun bambu
andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) memiliki potensi sebagai
inhibitor aktivitas enzim PfMQO yang merupakan target obat
potensial parasit P. Falciparum.
2. Ekstrak yang memiliki aktivitas inhibisi tertinggi yaitu ekstrak daun
bambu tali yaitu sebesar 42% dan ekstrak daun bambu andong yaitu
sebesar 40% , sedangkan aktifitas inhibisi terendah pada ekstrak
etanol rebung bambu kuning.
5.2 Keterbatasan Penelitian
Tidak dilakukan determinasi tanaman bambu karena mebutuhkan bagian
tanaman yang lengkap. Hal ini disebabkan karena kondisi lokasi tempat
pengambilan sampel yang curam sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
pengambilan bagian tumbuhan yang lengkap.
5.3 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fraksinasi dan
isolasi senyawa bioaktif dari ekstrak daun bambu andong dan bambu
tali sehingga diperoleh senyawa murni sebagai kandidat obat untuk
penyakit malaria.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut uji aktivitas inhibisi ekstrak
daun bambu andong, bambu tali dan bambu kuning terhadap enzim
PfMQO secara in vivo.
47
48
Daftar Pustaka
Ahmad, T., Singh, S. B., & Pandey, S. 2013. Phytochemical Screening and
Physicochemical Parameters of Crude Drugs: A Brief Review. International
Journal of Pharma Research and Review, 2, 53-60.
Arifin, H., Anggraini, N., Handayani, D., & Rasyid, R. 2006. Standarisasi Ekstrak
Etanol Daun Eugenia cumini Merr. J. Sains Tek. Far, 11(2), 88-93.
Arsin, Andi A. Malaria di Indonesia: Tinjauan Aspek Epidemiologi. Makassar:
Masagena Press.
Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4 (3): 345-355
Berliana VAN, Rahayu E. 1995. Bambu, Budidaya dan Prospek Bisnis Bambu.
Jakarta: Penabar Swadaya.
Bernard HR. 2002. Research Methodsin Cultureal Anthropology: Qualitative and
Quantitative. California: AltraMitra Press.
Browning, K. S., RajBhandary, U.L.,. 1982. Cytochrome Oxidase Subunit III
Gene in Neurospora Crassa Mitochondrial : Location and Sequence. J Biol
Chem.
Daintith, J. (1987). A Concise Dictionary of Chemistry: New York.
Depkes RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan, R. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta, 15
Departemen Kesehatan, R. 1999. Cara Pengelolaan Simplisia Yang Baik:
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 9-12.
Depkes RI. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Depkes RI. 2010. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta., Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
49
Dransfield, Soejatmi; Elizabeth A. Widjaja. 1995. "Plant Resources of South-East
Asia No 7. Bamboos.". Backhuys Publishers. p. 189. Retrieved 2009-04-07.
Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter. Sosio
Didaktika 1(2): 123- 130
Fakhrozi I. 2009. Etnobotani Masyarakat Suku Melayu Tradisional di Sekitar
Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Fares A. 2015. Seasonality of Hepatitis: a review update. J Family Med Prim
Care.
Galambos, S. A., Terry, P. C., Moyle, G. M., & Locke, S. A. 2005. Psychological
Predictors of Injury Among Elite Athletes. British journal of sports
medicine, 39(6), 351-354.
Ghosal, M. M., P. 2012. Phytochemical screening and antioxidant activities of two
selected 'Bihi' fruits used as vegetables in Darjeeling Himalaya.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences
Gunawan, D., & Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid, 1, 31-
34.
Hamzari. 2008. Identifikasi Tanaman Obat-obatan yang Dimanfaatkan oleh
Masyarakat Sekitar hutan Tabo-tabo. Makassar: Universitas Hasanudin.
Handayani L. 2003. Membedah Rahasia Ramuan Madura. Agromedia Pustaka:
Jakarta.
Harsono, T., & Martina R. 1998. Terites Sebagai Makanan Budaya Suku Batak
Karo Suatu Tinjauan Etnobotani. Prosiding Seminar Nasional Etnobotani
III. LIPI : Bogor.
Hastuti SD, Tokede MJ dan Maturbongs RA. 2002. Tumbuhan Obat Menurut
Etnobotani Suku Biak. (Traditional medicinal plants of the Biak People).
Beccariana, 4(1): 20-40
Hawkins, P. 2012. Creating a Coaching Culture. New York: Bell and Bain Ltd.
Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian Pengembangan
Kehutanan. Departemen kehutanan. Departemen kehutanan. Jilid I : 322-
346.
50
Ihromi, T.O. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Inaoka, D. K., Kuroda, M., Komatsuya, K., Balogun, E. O., Amalia, E., Saimoto,
H., Kita, K. 2016. Functional Expression Of Mitochondrial Malate:Quinone
Oxidoreductase From Plasmodium falciparum In Bacterial Membrane And
Identification Of Nanomolar Inhibitor. International Congress for Tropical
Medicine and Malaria, Brisbane Australia.
Irawan, M. A. 2007. Glukosa & Metabolisme Energy. Sport Science Brief, 1(06).
Kartika R. 2013. Aktivitas Antikanker yang Terkandung didalam Buah dari
Tumbuhan Bawang Hutan (Scorodocarpus borneensis Becc.). Medan:
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara.
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Pedesaan di Indonesia Masa Kini. Jakarta
(ID): LPFE-UI.
Komlaga, Gustav; Sandrine Cojean.; Rita A. Dickson; Soulaf Suyyagh-Albouz;
Merlin L. K. Mensah; & Christian Agyare; Pierre Champy; Philippe M.
Loiseau. 2016. Antiplasmodial activity of selected medicinal plants used to
treat malaria in Ghana. Parasitology Research. ISSN 0932-0113
Krishnaswamy VS. 1956. Studies on Physiology of Bamboo. Tokyo: Resources
Bureau Science and Technics Agency Prime Minister Office.
Lenny S. 2006. Senyawa Terpenoid dan Steroida. Medan: Departemen Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera
Utara.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
LkiS
Marks, D. B., Marks, A. D., & Smith, C. M. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar:
Sebuah Pendekatan Klinis. Terjemahan oleh Brahm U. Pendit.
51
Meita, F.P. 2013. Etnobotani Kelapa (Cocos nucifera L.) di Wilayah Denpasar
dan Badung. Jurnal Simbiosis I.1(2) : 102-111.
Meliki, Riza L dan Irawan L. 2013. Etnobotani Tumbuhan Obat oleh Suku Dayak
Iban Desa Tanjung sari Kecamatan Ketungau Tengah Kabupateng Sintang.
Jurnal Protobiont, vol 2 (3): 129-135.
Mulyono, Noryawati et al. 2013. Antidiarrheal Activity of Apus Bamboo
(Gigantochloa apus) Leaf Extract and its Bioactive Compounds. American
Journal of Microbiology.
Munziri, R.L., & Mukarlina. 2013. Studi Etnobotani Bambu Oleh Masyarakat
Dayak Kanayatn di Desa Saham Kecamatan Sengah Temila Kabupaten
Landak. Protobiont. 2 (3) :112-116.
Nursyirwan, Pranawita Karina. 2015. Kajian Kearifan Lokal pada Pekarangan
Masyarakat Betawi sebagai Basis Pengelolaan Lanskap Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, DKI Jakarta. Bogor: Sekolah Pascasarjana
IPB
Omosun G. et al. 2013. Ethnobotanical study of Medicinal Plants Useful for
Malaria Therapy in Eight Local Government Areas State, Southeast
Nigeria. Advancet in Medicinal Research. Vol. 1 (2). Pp. 39-44.
Pratiwi et al. 2017. Identifikasi Virus Hepatitis A pada Sindrom Penyakit Kuning
Akut di Beberapa Provinsi di Indonesia Tahun 2013. Artikel penelitian.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Prijono, D. 1999. Prospek dan Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami dalam
PHT. Dalam: Nugroho BW, Dadang, dan Prijono D, penyunting. Bahan
Pelatihan Pengembangan dan Pemanfataan Insektisida Alami. Bogor:
Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, IPB. hal, 1-7.
Radji, M. 2012. Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan
Obat Herbal. Pharmaceutical Sciences and Research (PSR), 2(3).
Rahmawati, U., E, S., & A, M. 2012. Pengembangan Repository Pengetahuan
Berbasis Ontologi (Ontology-Driven Knowledge Repository) untuk
Tanaman Obat Indonesia. Jurnal Teknik Pomits, 1(1), 1-6.
52
Saidi R. 1994. Masyarakat Betawi; Asal-usul dan Peranannya dalam Integrasi
Nasional. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Rathod Jaimik D, Pathak Nimish L, Patel Ritesh G, N.P. Jivani and Bhatt Nayna
M. 2011. Phytopharmacological Properties of Bambusa arundinacea as a
Potential Medicinal Tree: An Overview. Journal of Applied Pharmaceutical
Science 01 (10); 2011: 27-31
Septiatin. 2008. Seri Tanaman Obat: Apotek Hidup dari Rempah-rempah,
Tanaman Hias dan Tanaman Liar. Bandung: Yrama Widya
Sudarmono dan Tim LIPI. 2010. Ensiklopedia Flora Jilid 1. Bogor: PT Kharisma
Ilmu
Sudarmono dan Tim LIPI. 2010. Ensiklopedia Flora Jilid 2. Bogor: PT Kharisma
Ilmu
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta yang diselenggarakan pada 16 Mei 2009.
Sujarwo, Wawan et al. 2010. Inventarisasi Jenis-jenis Bambu yang Berpotensi
sebagai Obat di Kabupaten Karangasem Bali. Bali: UPT Balai Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, LIPI
Supriati, R., Timi J., & R.R. Sri A. 2013. Tumbuhan Obat yang dimanfaatkan
oleh Masyarakat Desa Suka Rami Kecamatan air Nipis Kabupaten
Bengkulu Selatan. Konservasi Hayati. 09 (02) : 33-43.
Sugiyono. 2007. Memahami penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet
Sutarno H, Hardijadi SS, Sutiyono. 1996. Paket Model Partisipatif: Budidaya
Bambu Guna Meningkatkan Produktivitas Lahan. Bogor: Prosea Indonesia-
Yayasan Prosea.
Sutiyono, Hendromono, Marfu’ah, Ihak. 1996. Teknik Budidaya Tanaman Bambu.
Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan
Syahid, S.F. dan Hernani. 2001. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh terhadap
Pembentukan dan Pertumbuhan serta Kandungan Sinensetin dalam Kalus
53
pada Tanaman Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus). Jurnal Littri 4: 99-
103.
Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., Kaur, G., & Kaur, H. 2011. Phytochemical
Screening and Extraction: A Review. Internationale pharmaceutica
sciencia, 1(1), 98-106.
Tortora, G. 2009. Principles of Anatomy and Physiology, International
Student/Gerard J. Tortora, Bryan Derrickson. ed: Wiley [Chichester: John
Wiley, distributor], Hoboken, NJ.
Vickery, M. L., & Vickery, B. 1981. Secondary Plant Metabolism:
Macmillan Press.
Walujo, E.B. 2009. Etnobotani : Memfasilitasi penghayatan, pemutakhiran
pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar
ilmu. LIPI : Bogor.
Wardhani, L. K., & Sulistyani, N. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil
Asetat Daun Binahong (Anredera scandens (L.) moq.) terhadap Shigella
flexneri beserta Profil Kromatografi Lapis Tipis. Pharmaciana, 2(1).
Widjaja, EA. 1995. Plant Resources of South-East Asia. Bogor: Porsea
Foundation
Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-Jenis Bambu Di Jawa. Bogor: Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Biologi – LIPI.
Winarno, F. 1986. Enzim Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Yunus, R. 2012. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai Penguat
Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula. Yogyakarta: CV. Budi
Utama
Zaman MQ. 2009. Etnobotani Tumbuhan Obat di Kabupaten Pamekasan Madura
Provinsi Jawa Timur. Skripsi. Malang: Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Zhang J., Gong J., Ding Y., Lu B., Wu X., Zhang Y. 2010. Aktivitas antibakteri
dari ekstrak air-fase dari serutan bambu terhadap mikroorganisme
pembusukan makanan. Afrika Journal of Biotechnology.
54
Zuhud EAM dan Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman
Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika
Indonesia (LATIN).
55
Lampiran 1. Kuisioner Responden
Nama responden :
Status perkawinan : L/P
RT/RW/Dusun :
Kategori tokoh kunci:
a). Pengobat tradisional (batra) b). Tetua desa / orang tua
c). Tokoh adat e). Tokoh masyarakat
f). Dukun g). Tabib
KARAKTERISTIK RESPONDEN / TOKOH KUNCI
1. Berapa usia anda?
a). <19 tahun b). 20-29 tahun c). 30-39 tahun
d). 40-49 tahun e). 50-59 tahun f). >60 tahun
2. Darimana asal tempat tinggal anda?
a). Sekitar kawasan hutan kota sangga buana b). Luar DKI jakarta, sebutkan...
3. Apa suku/etnis anda?
a). Betawi b). Bukan Betawi, sebutkan...
4. Apa pendidikan terakhir anda?
a). Tidak sekolah/buta huruf b). Tidak tamat SD
c). Tamat SD sederajat d). Tamat SLTP/SMP
e). Tamat SLTA/SMA f). Lain-lain, sebutkan
5. Apa pekerjaan anda?
a). Tidak bekerja b). Lain-lain, sebutkan...
56
6. Bila sudah menikah, apa pendidikan terakhir suami/istri anda?
a). Tidak sekolah/buta huruf b). Tidak tamat SD
c). Tamat SD sederajat d). Tamat SLTP/SMP
e). Tamat SLTA/SMA f). Lain-lain, sebutkan
7. Bila sudah menikah, apa pekerjaan suami/istri anda?
a). Tidak bekerja b). Lain-lain, sebutkan...
PENGGUNAAN OBAT TRADISIONAL
8. Apakah anda pernah memakai tumbuhan sebagai obat tradisional?
a). Ya b). Tidak
9. Bila tidak berusaha berobat kemana?
a). Puskesmas b). Bidan c). Dokter d). Mantri
e). Mengobati sendiri/ Jamu f). lain-lain
10. Bila ya, darimana anda mendapatkan pengobatan tradisional?
a). Pengobat tradisional (batra) b). Tetua desa / orang tua
c). Tokoh adat d). Tokoh masyarakat
e). Dukun f). Tabib
g). Turun temurun
11. Jenis penyakit apa saja yang pernah diobati secara tradisional?
a). Demam f). kulit: panu, kudis, luka, dll
b). Batuk/pilek g). Sakit perut, mencret, cacingan, dll
c). KB h). Sakit gigi, tenggorokan
d). Sembelit i). Pendarahan: mimisan, abortus pasca operasi
e). Hati j). Patah tulang
k) Lainnya.....
57
12. Apa jenis tumbuhan bambu, bagian yang digunakan, cara pengolahan dan
kelompok penyakit apa saja yang dapat diobati secara tradisional?
No
Nama tumbuhan
bambu (nama daerah
atau nama indonesia)
Bagian yang
digunakan
Cara
pengolahannya
Penyakit
yang dapat
diobati
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
58
11
12
13
14
15
13. Jenis tumbuhan bambu apa saja yang saat ini telah anda tanam/budidayakan?
a). ... h). ...
b). ... i). ...
c). ... j). ...
d). ... k). ...
e). ... l). ...
f). ... J). ...
14. Jenis tumbuhan bambu apakah yang masih tumbuh di hutan kota sangga buana?
Dan dimanakah letaknya di hutan tumbuh?
No Nama tumbuhan Letak di hutan sangga buana
1
59
2
3
4
5
15. Jenis tumbuhan obat tradisional apa yang saat ini tersimpan di rumah anda?
a). ... h). ...
b). ... i). ...
c). ... j). ...
d). ... k). ...
e). ... l). ...
f). ... J). ...
16. Sejak kapan anda mengetahui pengobatan dengan tumbuhan tradisional?...
17. Siapakah orang selain anda yang juga mengetahui penggunaan tumbuhan obat
secara tradisional?
No Nama Profesi Alamat
1
2
60
3
4
5
UNTUK PARAJI (Tabib, dukun, pengobat tradisional)
18. Sejak kapan anda berprofesi sebagai paraji?
19. Bagaimana anda mengetahui tentang penyakit?
20. Apakah anda menggunakan tumbuhan bambu dalam pengobatan?
21. Jika ya, tumbuhan bambu apa saja yang digunakan sebagai obat?
22. Bagaimana anda mengukur dosis obat pada pasien?
61
23. Apakah dosis obat pada setiap penyakit sama?
24. Berapa hari biasanya obat tradisional tersebut digunakan?
25. Kapan penggunaan obat tradisional tersebut dihentikan?
26. Apakah ada pantangan-pantangan dalam meminum obat?
27. Pada siapa obat tradisional tersebut tidak boleh diberikan?
28. Darimana anda mendapatkan pengetahuan mengenai cara meramu tumbuhan
bambu menjadi obat?
a). Orang tua b). Saudara c). Kerabat d). Lainnya.........
29. Apakah pengetahuan tentang tata cara pengobatan dan pengolahan tumbuhan
obat khususnya bambu yang digunakan dalam pengobatan ini diturunkan pada
anak anda?
62
30. Apakah bahan untuk membuat obat hanya terdiri dari 1 macam atau bermacam
tumbuhan?
63
Lampiran 2. Alur Kerja Penelitian
Wawancara
Pemilihan Responden
Parameter Nonspesifik
Determinasi Tanaman
Parameter Spesfik
Skrining Fitokimia
Ekstrak
Penentuan Parameter-Parameter Standarisasi
Penyiapan Simplsia dan Proses Ekstraksi
Penetapan Kadar Abu
Ekstrak
Penetapan Kadar Air Ekstrak
64
Lampiran 3. Alur Kerja Studi Etnobotani
Pemilihan Responden
Mengunakan Teknik
Purchasing Sampling
Wawancara
Dilanjutkan dengan
Metoda Snowball
Diperoleh Data:
Nama lokal, bagian tanaman yang digunakan, cara
penggunaan, dosis, aplikasi dalam kesehatan
Pengolahan data
menggunakan Microsoft
Excel
65
Lampiran 4. Uji Aktivitas Inhibisi Enzim PfMQO
Determinasi Tanaman
Penyiaapan Simplisia dan
Proses Ekstraksi Sampel Segar
Sorttasi Basah
Pencucian
Pengeringan
Penghalusan
Dimaserasi dengan Etanol 96%
Maserat Residu
Penguapan menggunakan
Rotary Evaporator
Ekstrak kental Uji %Inhibisi pada
Enzim PfMQO
66
Lampiran 5. Perhitungan pengenceran konsentrasi ekstrak
V1 X N1 = V2 X N2
V1 = volume yang diambil dari larutan stock
N1 = konsentrasi larutan stock
V2 = volume larutan yang akan dibuat
N2 = konsentrasi larutan yang akan dibuat
Ekstrak awal dari stock konsentrasi 10.000 µg/ml
o 10.000 µg/ml
V1 X N1= V2 X N2
2 µl X 10.000 µg/ml = 200 µl X N2
N2 = 100 µg/ml
67
Lampiran 6. Alur Kerja Uji Aktivitas Inhibisi Enzim PfMQO
Dimasukan 2 µl dari larutan induk ke
dalam plate uji
Ditambahkan 193 µl assaymix (20 ml HEPES
+ KCN 20µl
+ d-UQ 8,33µl + DCIP 200 µl + PfMQO
membrane stock 3,1 µl
Plate reader dihomogenkan terlebih dahulu
selama 15 detik (2x)
Diukur pada spektrofotometri UV-vis
(spectramax) dengan suhu 37C pada panjang
gelombang 600nm. Diukur selama 3 menit.
Lalu setelah 3 menit ditambahkan 5 µl dari 400
mM sodium malate lalu diukur kembali pada
spectramax selama 10 menit pada panjang
gelombang 600 nm dan suhu 37C.
68
Lampiran 7. Perhitungan Uji %inhibisi Ekstrak
% Inhibisi Daun Bambu Kuning
%inhibisi = 100 - ((−0.268−(−0.01725)
−0.3805) 𝑥100%) = 34%
% Inhibisi Daun Bambu Tali
%inhibisi = 100 - ((−0.2395−(−0.01725)
−0.3805) 𝑥100%) = 42%
% Inhibisi Daun Bambu Andong
%inhibisi = 100 - ((−0.2575−(−0.00425)
−0.42125) 𝑥100%) = 40%
% Inhibisi Daun Bambu Ampel
%inhibisi = 100 - ((−0.3715−(−0.00425)
−0.42125) 𝑥100%) = 13%
% Inhibisi Daun Bambu Petung
%inhibisi = 100 - ((−0.3285−(−0.00425)
−0.42125) 𝑥100%) = 23%
% Inhibisi Rebung Bambu Kuning
%inhibisi = 100 - ((−0.4675−(−0.00425)
−0.42125) 𝑥100%) = −10%
69
Lampiran 8. Tanaman Bambu
Bambu Kuning (Bambusa vulgaris var. striata)
Bambu Tali (Gigantochloa apus)
70
Bambu Petung (Dendrocalamus asper)
Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundiancea)
71
Bambu Ampel (Bambusa vulgaris schard)
72
Lampiran 9. Foto Ekstrak Tanaman Bambu
Ekstrak daun bambu
kuning
Ekstrak rebung bambu
kuning
Ekstrak daun bambu
tali
Ekstrak daun bambu
petung
Ekstrak daun bambu
andong
Ekstrak daun bambu
duri
73
Lampiran 10. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Tanaman Bambu
1. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun bambu kuning
Flavonoid (+)
Alkaloid
Meyer (+)
Alkaloid
Dragendorf (+)
Saponin (+)
Terpenoid (+)
Tanin & polifenol (+)
74
2. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun bambu andong
Flavonoid (+)
Alkaloid
Meyer(+)
Alkaloid
Dragendorf (+)
Saponin (+)
Terpenoid (+)
Tanin & polifenol (+)
75
3. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun bambu tali
Flavonoid (+)
Alkaloid
Meyer(+)
Alkaloid
Dragendorf (+)
Saponin (+)
Terpenoid (+)
p
Tanin & polifenol (+)
76
4. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun bambu petung
Flavonoid (+)
Alkaloid
Meyer(+)
Alkaloid
Dragendorf (+)
Saponin (+)
Terpenoid (+)
Tanin & polifenol (+)
77
5. Hasil skrining fitokimia ekstrak rebung bambu kuning
Flavonoid (+)
Alkaloid
Meyer(+)
Alkaloid
Dragendorf (+)
Saponin (+)
Terpenoid (-)
Tanin & polifenol (-)
78
6. Hasil skrining fitokimia ekstrak daun bambu ampel
Flavonoid (+)
Alkaloid
Meyer(+)
Alkaloid
Dragendorf (+)
Saponin (+)
Terpenoid (+)
Tanin & polifenol (+)
79
Lampiran 11. Alat dan Bahan Penelitian
Rotary evaporator
Spektrofotometer UV-Vis
Simplisia
Botol Maserasi
Vortex
Ekstrak saat pengujian
Sonikator