Post on 21-Oct-2015
Tugas Final Perencanaan Dan Evaluasi Kesehatan LingkunganDosen ; Dr. Anwar Daud, SKM, M.Kes, EHS.
disusun oleh :
Fitriani Sudirman
K111 08 251
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGANFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2010PROSES PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN DRAINASE
SECARA TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECODRAIN)
4.1. Perencanaan
Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) adalah tahapan awal pengelolaan sebagai upaya untuk menyusun
rencana detil dan usulan program investasi yang komprehensif dalam pengelolaan
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, berdasarkan kajian dari berbagai
aspek sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu
berawawasan lingkungan.
Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) dimaksudkan untuk memaksimalkan segala upaya dan potensi di
kawasan/lokasi sehingga rencana pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan (ecodrain) dapat terlaksana secara berkesinambungan.
Kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain) meliputi:
a) Identifikasi Masalah dan Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani.
b) Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Penyusunan
Program Investasi.
c) Penyusunan Studi Pemberdayaan dan Pengelolaan Sampah Terpadu
(3R).
d) Penyusunan Studi Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS).
e) Penyusunan Perencanaan Teknis ( Detail Engineering Design ) untuk:
a. Saringan Sampah dan bangunan pelengkapnya; dan
b. Unit perangkap dan pengolahan sedimen;
c. Unit pengolahan air limbah dan bangunan pelengkapnya.
f) Penyusunan Dokumen Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL).
4.1.1. Identifikasi Masalah Kualitas Air, Sampah, Sedimen dan
Pengelolaan Drainase Perkotaan
Tahap awal dalam proses perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan (ecodrain) adalah kegiatan identifikasi dan perumusan
masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan perencanaan (perkotaan).
Keluaran dari tahapan ini adalah teridentifikasinya permasalahan sebagai bahan
pertimbangan pengambilan keputusan dalam pelaksanasn kegiatan selanjutnya.
Proses identifikasi permasalahan ini dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota
dan atau Satker (SNVT) Pengembangan PLP di Provinsi.
Langkah-langkah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan
Drainase di kawasan perencanaan (perkotaan) adalah meliputi kegiatan sebagai
berikut:
1. Mengumpulkan data dan informasi kondisi kualitas air permukaan (sungai,
waduk, situ, dan pantai) dan kategori indeks pencemaran air (IP);
2. Mengumpulkan data dan informasi permasalahan sampah dan sedimen,
volume timbulan sampah perairan di saluran Drainase/sungai;
3. Melakukan pengumpulan data informasi kondisi pengelolaan Drainase,
persampahan dan air limbah kota (sistem, teknis operasional, institusi,
peraturan, pembiayaan serta peran masyarakat dan swasta);
4. Merumuskan masalah dalam pengelolaan Drainase (masalah banjir,
genangan, Drainase, sampah sungai dan pencemaran air). Rumusan ini
berdasarkan:
a. Penyebab bencana pencemaran air, banjir/genangan dan sampah
perairan (spesifik),
b. Skala/besaran akibat (indeks pencemaran air, timbulan sampah
perairan, kesehatan masyarakat, penyebab banjir/genangan), serta
c. Sumber sampah sungai dan pencemaran air dan lokasi
banjir/genangan dan pencemaran.
4.1.2. Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani
Penetapan kawasan/lokasi prioritas ditangani adalah langkah lanjutan dari
identifikasi masalah pengelolaan Drainase. Dimana pada tahapan ini diharapkan
dapat ditetapkan kawasan/lokasi sebagai prioritas di tangani dengan pendekatan
secara terpadu. Yang dimaksud kawasan/lokasi adalah kawasan/lokasi di dalam
suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan atau sistem pengaliran saluran
Drainase (DPS), yang tentunya dengan pendekatan penanganan secara kuratif
sebagai respon tindakan darurat yang penanganannya dimulai dari hilir, dan
penanganan preventif yang dimulai dari sumber atau dari hulu.
Dalam penetapan kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan disandarkan pada hasil penilaian
terhadap berbagai kriteria, (tabel variabel, indikator, parameter serta nilai setiap
parameter untuk kriteria terlampir).
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menilai usulan kawasan/lokasi dalam
DAS/DPS yang akan ditangani adalah:
1. Variabel Kondisi Kualitas Air, dengan indikator yang dinilai adalah
Indeks Pencemaran Air (Berat, Sedang, dan Ringan) dan kelas mutu air;
2. Variabel sampah dan sedimen perairan, dengan indikator timbulan
sampah perairan, komposisi dan karakteristik sampah sungai, sumber
sampah perairan, volume sedimentasi, komposisi dan karakteristik
sedimen.
3. Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai, dengan indikator
klasifikasi sungai/saluran Drainase dan luas daerah aliran sungai
(DAS/DPS);
4. Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase, dengan indikator
kondisi prasarana dan sarana Drainase (saluran, waduk pengendalian
banjir, rumah pompa dan pompa banjir, pintu air, saringan sampah,
bangunan perlintasan, stasiun pengamatan banjir, dsb), kondisi prasarana
dan sarana sanitasi (layanan persampahan dan air limbah) dan indikator
kondisi sungai (flora dan fauna, morfologi sungai, tingkat kerusakan); dan
5. Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat
serta Swasta, dengan indikator komitmen pemerintah kabupaten/kota
(sharing pembiayaan, perangkat hukum/peraturan daerah, kondisi
penegakan hukum/peraturan bidang lingkungan terkait keairan,
pembebasan lahan dan penanganan kawasan) dan indikator peran
masyarakat serta swasta (kesadaran mengelola sampah, kesadaran
mengelola air limbah dan kesadaran berinvestasi).
Prioritas kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase
secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) ditetapkan berdasarkan urutan
sebagai berikut:
1. Prioritas Pertama
· Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi;
· Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan
dengan nilai skoring tinggi;
· Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring
tinggi;
· Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai
skoring sedang;
· Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai
skoring sedang;
· Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran
Masyarakat serta Swasta dengan nilai skoring tinggi.
2. Prioritas Kedua
· Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi;
· Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan
dengan nilai skoring tinggi;
· Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring
sedang;
· Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai
skoring rendah;
· Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai
skoring rendah;
· Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran
Masyarakat serta Swasta dengan nilai skoring sedang.
3. Prioritas Ketiga
· Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring
sedang;
· Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring sedang;
· Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai
skoring rendah;
· Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai
skoring rendah;
· Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran
Masyarakat serta Swasta dengan nilai skoring sedang.
4.1.3. Tahapan Perencanaan
Dalam tahapan perencanaan terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1) Penyusunan Studi kelayakan (FS/feasibility study)
2) Penyusunan Detil perencanaan teknis (DED)
3) Pengumpulan Data-data
4) Penyiapan Disain
Dalam penyusunan studi kelayakan (feasibility study) dan Detil perencanaan
teknis (DED) pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) agar mengacu pada studi-studi terdahulu di lokasi/kawasan
perencanaan (DAS/DPS), terutama pada rencana induk (masterplan) atau outline
plan Drainase kota, rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan
persampahan (PTMP) kota, rencana induk (masterplan) atau outline plan
pengelolaan air limbah kota, studi PROPER dan PROKASIH, serta studi-studi
terkait seperti; RTRW Kota/Kabupaten, RDTRK, DED Drainase, air limbah
(terpusat maupun setempat) dan Persampahan.
4.1.3.1. Penyusunan Studi Kelayakan (FS)
Penyusunan FS dan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya
harus dikonsultansikan dengan pemerintah daerah, masyarakat dan instansi
terkait. Lingkup kegiatan penyusunan FS adalah:
A. Tinjauan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan
a) Tinjauan perkotaan (kebijakan umum pembangunan kota/kabupaten,
tata ruang kota, kecenderungan pengembangan kota/kabupaten, tinjauan
fisik kota, arah pengembangan prasarana sarana kota, tinjauan
kependudukan, tinjauan sosial ekonomi perkotaan dan tata ruang daerah
aliran sungai).
b) Tinjauan kawasan/lokasi (tinjauan tata guna lahan daerah aliran
sungai, tinjauan kepadatan penduduk daerah aliran sungai, tinjauan
prasarana dan sarana kota di daerah aliran sungai, tinjauan ketutupan
lahan di daerah aliran sungai, tinjauan kondisi fisik daerah aliran
sungai, sosial ekonomi di daerah aliran sungai, klimatologi di daerah
aliran sungai).
B. Tinjauan Masterplan/Outline Plan Pengelolaan Drainase,
Persampahan dan Air Limbah Kota
a) Permasalahan banjir, genangan dan Drainase,
b) Permasalahan persampahan dan sampah sungai,
c) Permasalahan pengelolaan air limbah,
d) Sistem Drainase dalam suatu DAS/DPS,
e) Sistem pengelolaan persampahan,
f) Sistem pengelolaan air limbah,
g) Rekomendasi masterplan/outline plan.
C. Aspek Teknis
a) Kondisi eksisting pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah
kota,
b) Kondisi eksisting kesehatan masyarakat, lingkungan (ekosistem
sungai, waduk/situ, danau, pesisir, pantai dan laut) dan kualitas air
permukaan,
c) Permasalahan banjir, genangan, Drainase, sampah sungai dan
pencemaran sungai,
d) Pengolahan dan analisa data (analisa kebutuhan, sistem pengelolaan
Drainase, sampah dan air limbah di DAS/DPS, dan alternatif
pemecahan, pemilihan serta penetapan teknologi),
e) Rekomendasi teknis (rekomendasi untuk di wilayah hilir, tengah dan
hulu/sumber).
f) Sistem pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
yang meliputi pengelolaan Drainase, sampah sungai dan air limbah di
suatu DAS/DPS pada setiap wilayah/segmen di hilir, tengah dan
hulu/sumber.
D. Aspek Hukum dan Peraturan
a) Peraturan dan kebijakan daerah,
b) Kondisi eksisting penegakan hukum/penertiban terkait dengan wilayah
keairan (sungai dan Drainase),
c) Permasalahan yang dihadapi,
d) Analisa peraturan dan kebijakan,
e) Rekomendasi aspek hukum peraturan dan kebijakan,
f) Hukum peraturan dan kebijakan yang dibutuhkan.
E. Aspek Kelembagaan
a) Kondisi eksisting: keberadaan institusi/kelembagaan pengelola
Drainase, persampahan, dan air limbah,
b) Permasalahan yang dihadapi,
c) Analisa permasalahan dan rekomendasi,
d) Sistem kelembagaan yang dibutuhkan dalam pengelolaan Drainase
secara terpadu berwawasan lingkungan.
F. Aspek Keuangan dan Pembiayaan
a) Kondisi eksisting: kemampuan pembiayaan pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam investasi pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan dan melakukan operasi serta pemeliharaan,
b) Permasalahan yang dihadapi,
c) Analisis permasalahan, kelayakan investasi, operasi dan pemeliharaan
serta rekomendasinya,
d) Sistem pembiayaan yang dibutuhkan untuk investasi, operasi dan
pemeliharaan.
G. Aspek Peran Masyarakat dan Swasta
a) Kondisi eksisting: pengelolaan sampah dan air limbah oleh masyarakat
di daerah pengaliran sungai/saluran, pengelolaan sampah dan air limbah
domestik oleh swasta (industri, perdagangan dan jasa) di daerah
pengaliran sungai/saluran dan kesadaran masyarakat dan swasta dalam
pengelolaan Drainase, sampah dan air limbah.
b) Permasalahan yang dihadapi,
c) Analisa permasalahan dan rekomendasi,
d) Bentuk dan peran masyarakat dan swasta yang dikehendaki.
H. Penetapan Model Pengelolaan yang akan dipakai
Penetapan model pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan adalah berdasarkan kondisi tipologi kota dan segmen/wilayah
yang akan ditangani. Dimana pada tahapan ini harus sudah mulai
dikonsultansikan dengan pihak-pihak terkait baik pemerintah, swasta dan
masyarakat.
Adapun kondisi tipologi kota dalam pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut:
· Perkotaan dengan tinggi daratan < tinggi muka air laut.
· Perkotaan dengan tinggi daratan > tinggi muka air laut.
· Perkotaan dengan topografi/dataran tinggi.
Sedangkan berdasarkan segmen/wilayah yang akan ditangani adalah:
· Kawasan/segmen hilir.
· Kawasan/segmen tengah.
· Kawasan/segmen hulu atau di sumber.
I. Penetapan Prioritas dan Pemilihan Alternatif Teknologi
Penetapan prioritas lokasi/kawasan dalam suatu daerah aliran sungai atau
daerah pengaliran saluran adalah berdasarkan hasil penilaian melalui
skoring berbagai variabel, indikator dan parameter yang telah diberi
bobot/skor. Hasil pembobotan dibandingkan dengan prioritas dalam poin
4.1.2. Tabel variabel, indikator dan parameter seperti disajikan pada
lampiran pedoman.
Pemilihan alternatif teknologi adalah berdasarkan volume dan karakteristik
fisika-kimia-biologi yang akan ditangani, kemampuan pembiayaan pusat,
daerah, swasta dan masyarakat, ketersediaan dan kemampuan SDM,
pendekatan teknologi yang akan dipakai (teknologi tinggi, teknologi tepat
guna, teknologi ramah lingkungan) dan segmen/wilayah mana yang akan
ditangani (hilir, tengah, hulu dan sumber).
4.1.3.2. Penyusunan Detail Engineering Design (DED)
Penyusunan DED merupakan tahapan kegiatan penyusunan Rencana Detil
Teknis berdasarkan studi kelayakan dan program investasi pengelolaan
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) yang telah ada
serta mengacu pada Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan ketentuan teknis
yang telah ditetapkan.
Penyusunan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus
dikonsultansikan dengan pemerintah daerah, masyarakat dan instansi
terkait. Lingkup kegiatan penyusunan DED adalah:
1) Tahap Persiapan;
a. Program kerja penyusunan DED yang berkaitan dengan metode,
kegiatan, jadwal pelaksanaan dan organisasi personil, peralatan dan
biaya yang diperlukan.
b. Hasil survei, pengumpulan data dan informasi lapangan (termasuk
hasil penyelidikan tanah, pengukuran topografi) dan membuat
interpretasi secara garis besar terhadap KAK dan hasil konsultansi
pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Tahap Penyusunan Rencana Detail dengan output;
a. Rencana teknis dan struktur prasarana dan sarana, beserta uraian
konsep, studi pemilihan model dan teknologi, perhitungan teknis
(pekerjaan sipil, pekerjaan mekanikal dan elektrikal, lanskap) dan
struktur bangunan sipil (bila ada);
b. Metode dan rencana pelaksanaan kegiatan secara rinci;
c. Penyusunan Pentahapan Pembangunan dan/ atau Pengadaan
Peralatan;
d. Dokumen lelang yang terdiri dari gambar-gambar detail, rencana
kerja dan syarat-syarat (RKS), dan rincian volume pekerjaan
(BoQ).
e. Rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang meliputi jenis
pekerjaan, volume, harga satuan, analisa harga satuan pekerjaan
serta rekapitulasinya;
f. Format-format perijinan (apabila perlu);
g. Laporan detil perencanaan teknis (DED).
3) Tahap Pelelangan;
a. Membantu proyek/panitia pengadaaan kontraktor, menyusun
dokumen pelelangan dan menyusun program pelaksanaan
pelelangan.
b. Membantu panitia pengadaaan pada waktu penjelasan pekerjaan
termasuk menyusun berita acara penjelasan pekerjaan, evaluasi
penawasan, menyusun kembali dokumen pelelangan dan
melaksanakan tugas-tugas yang sama apabila terjadi lelang ulang.
4) Tahap Penyusunan Petunjuk Penggunaan, Pemeliharaan dan Perawatan
(SOP);
a. Penyusunan buku petunjuk penggunaan pemeliharaan dan
perawatan prasarana dan sarana.
5) Tahap Sosialisasi kepada Semua Pihak yang Terkait;
6) Tahap Pengawasan Berkala;
a. Memeriksa secara berkala kesesuaian pelaksanaan pekerjaan
dengan rencana,
b. Melakukan penyesuaian gambar dan spesifikasi teknis
pelaksanaan bila ada perubahan,
c. Memberikan rekomendasi tentang penggunaan bahan; dan
d. Membuat laporan akhir pengawasan berkala.
4.1.4. Disain Elemen Ecodrain
A. Saringan Sampah manual dan otomatis
1. Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang masuk ke dalam sungai
(Sistem DAS)
Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan,
dan fasum dan fasos di perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke
Tempat Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi dengan kegiatan 3R dan
komposting ataupun di timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari
prosentase sampah tersebut yang dibuang ke perairan (sungai, danau dan
pantai/laut). Dari hasil penelitian di bebarapa kota besar di Indonesia, seperti
Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya didapatkan jumlah prosentase sampah
yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran Drainase, yang
secara signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana Drainase
dan pengendalian banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta
mengganggu operasional fungsi pintu air dan instalasi pompa banjir.
Jenis sampah yang sering dibuang ke sungai dan saluran-saluran Drainase tersebut
diantaranya adalah sampah basah seperti sampah sisa-sisa makanan dan sayur-
mayur, buah-buahan; sampah kering seperti kayu, plastik, pakaian, kasur, dan
bantal, logam, kaca, keramik; sampah balokan seperti batang pohon tumbang,
balok kayu; sampah binatang seperti bangkai kucing, bangkai ayam, bangkai
anjing, dan bangkai tikus; dan sampah industri pertanian dan perkebunan seperti
sisa-sisa pestisida dan herbisida.
Tempat-tempat yang potensial menjadi sumber sampah sungai antara lain:
1. Pasar, tempat-tempat komersil di sepanjang aliran sungai (termasuk
dalam DAS Sungai).
2. Pabrik-pabrik, bengkel dan industri (kecil, menengah, dan besar) di
sepanjang aliran sungai.
3. Rumah tinggal, permukiman sekolah dan bangunan-bangunan umum di
sepanjang aliran sungai yang tidak dilindungi pagar pengamanan sungai.
4. Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran
sungai.
5. Jalan, lapangan serta pohon-pohon yang berada sepanjang aliran sungai.
Sampah-sampah tersebut ada yang kondisi terapung, melayang dan berada di
dasar saluran/sungai/waduk. Hal ini terjadi tergantung pada sifat-sifat fisik
sampah (berat jenis, permukaan dlsb), yang mana akan menentukan konsep
penanganan pemeliharaan dan operasional sarana (O&M) dan prasarana Drainase.
Sampah-sampah tersebut selain menyebabkan dibutuhkannya kegiatan O&M
seperti kegiatan pengerukan, pembuatan screen/floating screen, juga
menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan prasarana dan sarana Drainase dan
pengendalian banjir.
Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai
(i). Faktor-faktor Timbulan Sampah Sungai
Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai
yang timbul di daerah perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari
jumlah sampah yang ada secara keseluruhan. Hanya sebagian kecil dari produksi
sampah kota yang masuk ke dalam sistem aliran sungai.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
· Adanya pola angkutan sampah darat oleh Dinas
Kebersihan/Pemda/Pemkot.
· Adanya pola angkutan sampah darat oleh swadaya masyarakat
setempat.
· Adanya pemulung sampah yang memisahkan sampah-sampah logam,
plastik, kayu dan lain-lainnya untuk daur ulang.
· Masih terdapatnya lahan-lahan terbuka yang dapat menampung dan
menyimpan sampah dan secara alami dapat direduksi.
· Masih terdapatnya daeran sempadan sungai yang terbuka dan belum
dipagar sehingga masih banyak penduduk yang membuang sampah.
· Kesadaran sebagian besar masyarakat untuk tidak membuang sampah
ke dalam sungai.
Tempat-tempat yang menjadi sumber sampah di sepanjang sistem aliran sungai
adalah:
Permukiman kumuh/liar disepanjang sungai.
Permukiman padat disepanjang aliran sungai.
Lokasi-lokasi pasar, tempat-tempat komersial di sepanjang aliran sungai.
Pabrik-pabrik dan industri di sepanjang aliran sungai.
Fasilitas-fasilitas umum di sepanjang aliran sungai.
Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran
sungai.
Jalan-jalan lingkungan, jalan setapak, lapangan, taman serta pohon-pohon
yang berada disepanjuang aliran sungai.
(ii). Produksi Sampah Sungai
Produksi sampah sungai terhadap sampah darat jika dinyatakan dengan persamaan
adalah sebagai berikut:
Qss = Qsd x Kss.............................................................. (4.1)
Dimana :
Qss = Quantitas sampah sungai
Qsd = Quantitas sampah darat
Kss = Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%)
Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran
sungai/kali dihitung berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah
setiap harinya, jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai berikut:
Qss = (P x Qsd) +Qnd...................................... (4.2)
Dimana:
Qss = Quantitas sampah sungai
P = Populasi penduduk sepanjang aliran sungai
Qsd = Produksi sampah domestik (liter/orang/hari)
Qnd = Produksi sampah non domestik (daun, pohon, jalanan)
2. Penanganan Sampah dengan Saringan Mesin Otomatis
Upaya yang dilakukan dalam penanganan sampah sungai salah satunya dengan
trash rake (Alat Penangkap/Penyaring Sampah). Trash rake digolongkan dalam
dua kategori, kategori ini adalah :
· Trash rake kabel hoist/ Cable hoist trash rake
· Trash rake mekanikal/ Mechanical trash rake.
1. Trash Rake Kabel Hoist/Cable Hoist Trash Rake
Prinsip kerja trash rake kabel hoist ini menggunakan kabel/w/re rope untuk
menggerakan trash rake (pergerakan naik dan turunnya rake digerakan oleh hoist
melalui kabel /wire rope).
Pada trash rake kabel hoist ini ada 2 type yaitu:
a. Trash rake tanpa rel pengarah (Unguided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu menggantung bebas,
pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel
/wire rope
b. Trash rake dengan rel pengarah (Guided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu dilengkapi dengan rel
pengarah yang letaknya di kedua belah sisi, sehingga lebar rake bisa
lebih besar dan rake lebih stabil. Sedangkan pergerakan naik dan turun
nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope.
2. Trash Rake Mekanikal/Mechanical Trash Rake
Trash rake sistem mekanikal ini menggunakan rantai, lengan, hydraulic cylinder
dan gerigi untuk menggerakan trash rake (untuk pergerakan naik dan turun).
Pada trash rake mekanikal ini ada 4 tipe yaitu:
a. Climber Trash Rake
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: pergerakan rake diperoleh dari
motor penggerak disambung dengan socket dan chain, pergerakan naik
dan turun nya rake digerakan oleh socket melalui chain.
b. Elbow Arm
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua
lengan, sedangkan bagian ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk
pengambilan sampah. Pergerakan naik dan turun bagian lengan dan
backhoe dengan system mekanis atau hydraulic.
c. Sliding Arm Trash Rake
Prinsip kerja sliding arm trash rake ini yaitu: trash rake dilengkapi
dengan sliding arm, hydraulic cylinder dan chain. Pergerakan naik dan
turun bagian sliding arm digerakan oleh chain sedangkan posisi
kemiringan trash rake digerakan dengan system hydraulic. Dudukan unit
sliding arm trash rake bisa dipilih fixed atau movable dilengkapi dengan
rail.
B. Bioremediasi
Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan
tingkat toksisitas, mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada
sumber air dan tanah terkontaminasi menggunakan mikroorganisme (mikroflora
atau mikrofauna). Bila menggunakan makroflora (tumbuhan) disebut
phytoremediasi.
Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah
kontaminan organik dan beberapa kontaminan anorganik.
Kontaminan organik berbahaya ditemukan hampir pada seluruh limbah domestik,
perkotaan, pertanian, industri dan kegiatan militer. Sebagai contoh, pestisida dapat
masuk kedalam residu tanaman penutup tanah (crop) seperti rumput, lumpur
limbah perkotaan, pembibitan, dan tanah melalui penggunaannya pada kegiatan
pertanian, perumahan, maupun industri. Kontaminan organik lainnya seperti
PCBs (Poly Chlorinated Biphenyls) dan PAHs (Polycylic Aromatic
Hydrocarbons) dapat masuk kedalam tanah dari aktivitas pembakaran bensin atau
dari lumpur limbah domestik dan lainnya. Hidrokarbon akan menghambat
pertumbuhan bakal tanaman dan perkecambahan walau tidak ditemukan adanya
akumulasi hidrokarbon didalam tanaman. Demikian pula dengan penggunaan
bahan peledak atau komponen peledak didalam tanah pada aktivitas militer,
menimbulkan kontaminan berupa perchlorate yang merupakan konstituen dari
propellan, bahan peledak, dan bateray militer. Perchlorate adalah kontaminan
yang larut didalam air dan dapat mencemari sumber air atau diserap oleh
tumbuhan serta berdampak langsung bagi kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya.
Kontaminan anorganik seperti beberapa ion logam berat yaitu arsenik (As), timbal
(Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg) pada kenyataannya berbahaya bagi
kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan di lingkungan (USDA NRCS,
2000). Walaupun pada konsentrasi yang sedemikian rendah efek ion logam berat
dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai makanan. Seperti
halnya kontaminan organik yang telah dijelaskan sebelumnya, logam berat dapat
ditransfer dalam jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, selanjutnya
berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya berpengaruh
terhadap kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh
dari sumber polusi utamanya. Suatu organisme akan kronis apabila makanan yang
dikonsumsinya mengandung logam berat. Proses industri dan urbanisasi
memegang peranan penting terhadap peningkatan kontaminan tersebut karena
pemasukan utama kontaminan logam kedalam lingkungan ditemukan dari
kegiatan perkotaan dan pembuangan lumpur limbah industri komoditi seperti
industri tekstil, pestisida, kulit, plastik, pengumpulan besi tua, pengelasan dan lain
sebagainya.
Kontaminan organik berbahaya dan residu logam atau produk-produk samping
lainnya diatas dapat masuk kedalam tumbuh-tumbuhan, tanah, dan sedimen dari
proses-proses terkait dengan kegiatan domestik, perkotaan, pertanian, industri dan
militer.
Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi memang banyak digunakan didalam
upaya pemulihan kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti
lebih murah biayanya dan efektif dibandingkan dengan teknik remediasi
(pemulihan) menggunakan bahan kimia.
Pada prinsipnya, proses bioremediasi digunakan untuk membuat kontaminan
(senyawa) organik menjadi stabil melalui proses penguapan dan reduksi
konsentrasi kandungannya. Dimana kontaminan organik berbahaya akan terurai
(degradasi) secara biologis, menjadi senyawa lain yang lebih sederhana seperti
karbon dioksida, metan, air, garam anorganik, biomassa dan hasil lain yang sangat
sederhana komposisinya (Citroreksoko, 1996). Sedangkan logam-logam berat
dalam sumber air atau tanah terkontaminasi yang berasal dari limbah berbagai
pabrik dapat didegradasi keberadaannya dengan teknik bioremediasi ini melalui
proses absorbansi biologis oleh mikroorganisme (mikroalga).
Pengembangan teknik bioremediasi untuk proses minimasi bahkan degradasi
bahan pencemar secara biologis, menjadi teknologi alternatif pengendalian
pencemaran sumber-sumber air dan tanah terkontaminasi secara in situ. In-situ
disini dimaksudkan sebagai pengolahan sumber air dan atau tanah terkontaminasi
yang dilakukan ditempatnya semula dihasilkan. Hal ini dimungkinkan karena
prinsip proses bioremediasi memanfaatkan aktifitas mikroorganisme indigenous
yang terdapat didalamnya, sehingga seluruh proses penghilangan dan
pengurangan bahan pencemar (kontaminan) dapat dikembangkan secara langsung
di lapangan. Teknik bioremediasi ini dikenal dengan nama bioremediasi intrinsik.
Namun demikian, para praktisi di lapangan lebih memilih menggunakan
mikroorganisme endigenous atau dikenal dengan nama bioremediasi eksintrik.
Hal ini disebabkan mikroorganisme endigenous merupakan mikroorganisme yang
telah mendapatkan pengayaan dan pemurnian melalui serangkaian penelitian di
Laboratorium, sehingga lebih unggul dan tidak membutuhkan waktu lama bila
diaplikasikan di lapangan.
Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen
(endapan) sungai atau bozem atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana
pengolahan dilakukan ditempat tanah terkontaminasi berada dan (2) ex-situ,
dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.
Keuntungan menggunakan teknik in-situ, diantaranya adalah:
· Gangguan terhadap lokasi tanah terkontaminasi sangat sedikit (tidak
ada penggalian atau pemindahan tanah)
· Karena tidak dipindahkan maka masyarakat atau lingkungan yang
beresiko terkena paparan bahan berbahaya beracun yang ada didalam
sedimen (endapan) tersebut lebih sedikit (minimal)
· Mengurangi biaya penggalian, pemindahan dan pengangkutan
(transportasi) yang sangat mahal
· Meniadakan biaya pengadaan lahan yang sesuai dengan persyaratan
didalam KepMenLH No. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi (petroleum
hydrocarbon) dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara
Biologis
Namun demikian, aplikasi teknik in-situ memerlukan eksplorasi detail dan
menyeluruh terkait lokasi pencemaran dan karakteristik kontaminannya. Ini sangat
penting guna menghindari terjadinya perluasan area pencemaran akibat
perpindahan atau perembesan kontaminan ke daerah sekitarnya. Selain itu,
aplikasi teknik in-situ memerlukan penambahan nutrien dan oksigen kedalam
sedimen (endapan) guna mencapai syarat habitat mikroorganisme yang akan
digunakan.
Teknik ex-situ membutuhkan biaya yang lebih mahal karena dibutuhkan biaya
untuk pekerjaan penggalian, pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi
pengolahan. Akan tetapi kelebihan dari teknik ex-situ adalah dapat diolah dengan
beragam cara seperti: (1) landfarming; (2) composting; (3) menggunakan reaktor
lumpur.
Bebarapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengaplikasi teknik
bioremediasi adalah:
· susceptibility dari kontaminan, artinya tidak semua kontaminan dapat
didegradasi oleh mikroorganisme
· Kondisi lingkungan dimana teknik biremediasi akan diaplikasikan,
artinya proses bioremediasi dapat dilakukan bila sifat fisik dan kimia
lingkungannya dapat dikontrol sesuai kebutuhan mikroorganismenya
Mengingat diperlukannya faktor-faktor tersebut diatas, maka perlu dilakukan
treatability study sebelum teknik bioremediasi diaplikasikan. Treatability study
diperlukan guna mendapatkan informasi yang pasti terkait karakteristik lokasi
pengolahan; sifat fisik & kimia lokasi dan karakteristik kontaminannya. Sehingga
dapat diketahui dengan pasti apakah kontaminan tersebut dapat didegradasi atau
tidak; berapa kecepatan degradasi yang dibutuhkan; bagaimana hasil akhir yang
diinginkan dan lain sebagainya.
Untuk penggunaan mikroorganisme pada kedua proses bioremediasi diatas bisa
digunakan jenis native (indigenous) atau mikroorganisme komersial
(endogenous). Hanya saja, bila menggunakan mikroorganisme indigenous, waktu
pengolahan yang dibutuhkan akan lebih lama dibandingkan dengan
mikroorganisme komersial.
Pelaksanaan proses bioremediasi pada sedimen (endapan) dapat dilakukan melalui
lima (5) tahapan kerja yaitu:
Tahap 1: Survai Awal
Survai ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi lingkungan yang
sebenarnya dari sedimen/endapan yang terkontaminasi yang akan diaplikasi
bioremediasi. Hasil dari survai ini pun menentukan strategi investigasi yang akan
dilakukan pada tahap selanjutnya.
Pada tahap survai ini, semua informasi terkait sedimen/endapan terkontaminasi
yang akan diolah harus didata dengan lengkap. Informasi tersebut diantaranya
adalah peta lokasi dan alur aliran air yang existing di lapangan. Daerah tangkapan
(catchment area) terkait jenis-jenis kegiatan yang ada, penggunaan lokasi
(dulunya), saluran Drainase apa saja yang ada dan lain sebagainya sangat
menentukan prediksi cemaran (kontaminan) dan hipotesis selanjutnya.
Tahap 2: Investigasi Lokasi
Investigasi lokasi sedimen/endapan terkontaminasi, dimaksudkan untuk
memperoleh data yang mewakili (representative) kondisi sedimen/endapan untuk
penilaian faktor resiko selanjutnya; data tentang intensitas dan ekstensitas
cemaran (kontaminan) dalam sedimen/endapan; kemungkinan ada atau tidaknya
emisi bahan beracun ke udara; kemungkinan ada atau tidaknya ledakan;
kemungkinan ada atau tidaknya intrusi cemaran (kontaminan) ke lingkungan
disekitarnya.
Pada phase ini, dilakukan empat (4) jenis pekerjaan yaitu: investigasi; penilaian
resiko; pelaporan dan penentuan garisbesar (outline) dari proses bioremediasi.
Pada tahap ini diperlukan pula sampling dan uji laboratorium terhadap beberapa
parameter dan atau kontaminan yang ada.
Tahap 3: Perencanaan Detil Disain Bioremediasi
Objektif dari tahap bioremediasi ini adalah membuat perencanaan detil disain
bioremediasi yang sesuai baik in-situ maupun ex-situ dan mengaplikasikannya
dilapangan.
Pada saat perancangan detil disain tidak jarang diperlukan pekerjaan investigasi
lahan tambahan guna mengetahui dengan tepat proses bioremediasi yang sesuai
dengan kondisi lapangan dan sesuai pula dengan persyaratan teknis yang berlaku.
Tahap 4: Operasi & Evaluasi
Objektif dari tahap ini adalah dilakukannya pengecekan terhadap efektifitas proses
bioremediasi yang sedang dilakukan terhadap sedimen/endapan terkontaminasi
yang diolah.
Sebelum tahap operasi dan evaluasi ini dimulai, perlu disusun prosedur dan
parameter-parameter yang akan diukur dan diuji (dipantau) sebagai bahan
evaluasi, termasuk rencana tanggap darurat (emergency response) dan sistem alert
pada satu keadaan/kriteria dimana proses bioremediasi perlu dihentikan dan
dilakukan evaluasi.
Didalam prosedur yang tersusun akan diuraikan pula frekuensi dan form
pelaporan dimana memuat apakah operasi dan evaluasi tersebut dapat dilanjutkan
atau harus dihentikan.
Tahap 5: Pasca Operasi Bioremediasi
Objektif dari tahap ini adalah digunakannya kembali sedimen/endapan yang telah
terpulihkan ke area-area penghijauan disepanjang saluran Drainase perkotaan. Ini
bisa dilakukan bila digunakan proses bioremediasi ex-situ. Untuk itu diperlukan
pekerjaan lanjutan yaitu penggalian, pemuatan dan pemindahan sedimen/endapan
yang telah pulih menjadi tanah hidup ke lokasi-lokasi penghijauan yang
disediakan.
Namun, bila digunakan proses bioremediasi in-situ dimana tujuan aplikasi proses
bioremediasi adalah menurunkan kadar sedimen terlarut maka objektif dari tahap
ini adalah berkurangnya sedimen/endapan dan bertambahnya daya tampung
saluran Drainase tersebut.
Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Landfarming
Dari survai lapangan yang dilakukan, banyak ditemui kegiatan pengerukan
sedimen/endapan pada saluran Drainase perkotaan (sungai, bozem, waduk, dll)
sebagai upaya pembersihan cepat (kuratif). Teknik ini masih dianggap paling
efisien (cepat) walau membutuhkan biaya pengerukan dan transportasi yang
cukup mahal.
Sampai saat ini tidak tersedia data tentang kegiatan paska operasi pengerukan
yang dilakukan oleh instansi terkait. Seolah-olah permasalahan sedimen/endapan
telah selesai dengan memindahkannya dari saluran Drainase ke tempat
pembuangan akhir. Padahal bila kita amati di lapangan, sedimen/endapan yang
ditampung pada lokasi penampungan sementara (untuk pengeringan) sebelum
dibuang ke tempat pembuangan akhir, seringkali terbawa kembali ke saluran
Drainase. Bahkan menimbulkan pendangkalan pada saluran-saluran Drainase
(got) dan menimbulkan masalah baru.
Dengan adanya aplikasi teknik bioremediasi pada lokasi-lokasi penampungan
sementara tersebut, diharapkan sedimen/endapan tersebut dapat dipulihkan
menjadi tanah hidup dan dapat dimanfaatkan bagi kegiatan penghijauan
perkotaan.
Hal penting yang perlu disiapkan sebelum aplikasi bioremediasi dengan tipe
landfarming ini adalah:
· Penyelidikan (investigasi) terhadap jenis dan karakteristik kontaminan
yang ada didalam sedimen/endapan sebelum dilakukan pengerukan dan
pemindahan ke lokasi penampungan sementara. Data primer hasil
sampling kontaminan tersebut menjadi pertimbangan penentuan langkah
pengolahan selanjutnya.
· Persiapan tempat penampungan sementara sebagai tempat pengolahan
landfarming harus disesuaikan dengan kriteria lokasi penampungan limbah
B3 pada surat KepKaBapedal No. 1 tahun 1995 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun. Hal ini penting dilakukan mengingat terdapat
kontaminan-kontaminan logam berat yang masuk akibat kegiatan-kegiatan
pada catchment areanya.
· Pengeringan perlu dilakukan di lokasi penampungan sementara,
sehingga perlu disiapkan sistem Drainase didalam area yang bersifat
tertutup (closed cyrcle). Larian air dari Drainase tersebut harus ditampung
dan diolah didalam bioreaktor.
· Setelah sedimen/endapan kering, dilakukan pemilahan sampah
(ranting, potongan kayu, plastik, potongan logam dll) secara mekanik dan
atau manual. Sampah-sampah tersebut akan menghambat proses
bioremediasi yang akan diaplikasi, sehingga harus dikeluarkan/dibersihkan
dari sedimen/endapan tersebut.
Setelah sedimen/endapan bersih dari sampah, barulah proses bioremediasi
dilakukan dengan beberapa tahapan cara tergantung pada jenis kontaminan apa
yang akan didegradasi terlebih dahulu. Tentunya, kandungan kontaminan yang
terbanyak perlu didegradasi terlebih dahulu. Sebagai contoh, bila kandungan
PAHs yang tertinggi, maka bioremediasi yang diaplikasi bertujuan untuk
meningkatkan populasi mikroorganisme pemakan hidrokarbon. Diikuti dengan
proses bioremediasi untuk mendegradasi kontaminan selanjutnya.
Garis besar proses bioremediasi tersebut adalah sebagai berikut:
· Dilakukan pencampuran sedimen/endapan dengan menggunakan
beckho agar diperoleh sedimen/endapan yang homogen.
· Dilakukan penambahan nutrien (berupa kotoran ayam, kotoran sapi
atau pupuk) sebagai bahan nutrisi bagi mikroorganisme indigenous.
· Selain nutrisi, perlu juga penambahan bulk agen seperti limbah serutan
kayu, sekam padi atau limbah bottom ash dari pembakaran batubara. Bulk
agen ini dimaksudkan untuk memperoleh tekstur tanah (moisture) yang
disyaratkan.
· Dilakukan penyebaran (paparan) sedimen/endapan pada permukaan
lahan (tempat penampungan sementara) secara merata dengan ketinggian
maksimal 50 cm.
· Selanjutnya untuk mempertahankan kelembaban sedimen/endapan
dilakukan penyiraman air secara rutin. Air yang digunakan untuk
penyiraman ini haruslah air bersih dengan pH normal (pH 6-8) dan tidak
tercemar oleh minyak, bahan anorganik maupun bakteri lain. Dalam
kondisi iklim kering (panas) diperkirakan konsumsi air mencapai 40.000
liter per hari per lokasi penampungan sementara. Sedangkan dimusim
hujan, kelebihan kandungan air didalam tanah akibat curah hujan harus
bisa dialirkan ke saluran-saluran Drainase agar tidak menghambat
operasional alat berat. Bahkan sebaiknya tersedia terpal untuk menutup
sementara permukaan tanah yang diolah selama turunnya hujan.
· Untuk mempertahankan kondisi aerob bagi mikroorganisme indigenous
yang ada didalam tanah, dilakukan dengan cara pembalikan permukaan
sedimen/endapan menggunakan traktor dengan rotovator. Pembalikkan
secara rutin dapat mempertahankan pemaparan oksigen diudara
kepermukaan tanah yang sedang diolah terus berlanjut hingga mencapai
tanah lapisan dalam yang telah dibalikkan kepermukaan. Bila kondisi
tanah terlihat kompak (liat) maka proses pembalikkan tanah dilakukan
lebih sering guna meningkatkan proses aerasi. Sebaliknya bila kondisi
tanah terlihat berpasir (granular) maka proses pembalikkan dilakukan
dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan tanah kompak.
Gambar 20. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming
· Untuk mengetahui efektifitas proses bioremediasi yang sedang
berjalan, perlu dilakukan sampling dimulai pada hari ke-10 sejak
pemaparan dilakukan. Evaluasi terhadap hasil analisis sampling tersebut
menjadi bahan pertimbangan pengolahan bioremediasi yang perlu
dilakukan selanjutnya.
Gambar 21. Penampang Ø Proses Bioremediasi Landfarming
C. Biofilter
Biofilter atau biasa disebut parit tumbuhan adalah saluran alamiah yang didesain
sedemikian rupa dimana terdapat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi mengelola
pengaliran limpasan sehingga lebih lambat mengalir diantara tumbutuhan.
Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Kondisi
ini dapat dicapai bila kontur kawasan dan kemiringan lereng mendukung
pengaliran limpasan diatas. Untuk sistem biofilter, kondisi yang menyebabkan
konsentrasi aliran, seperti tahanan dan belokan, dan saluran yang langsung
crossing ke seberang jalan, harus diperkecil. Gerakan melambat dari aliran
melalui tumbuh-tumbuhan menyediakan kesempatan untuk terjadinya sedimentasi
dan tersaringnya partikulat dan degradasi oleh aktivitas biologi. Dalam berbagai
jenis tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke dalam
tanah, lebih lanjut mengurangi polusi air dan mengurangi debit limpasan (yang
akhirnya mengurangi potensi banjir).
Aliran Lambat, aliran limpasan halus dapat dijaga dengan biofilter yang dibangun
dengan menjaga kemiringan kedua sisi (kemiringan maksimum 3 :1, minimal
kemiringan memanjang (direkomendasikan 1 – 2%, dengan check dam untuk
kemiringan yang lebih curam), dan suatu flowpath panjangnya sedikitnya 10 feet
(minimal 3 meter). Konsep utamanya adalah menggerakan aliran air dengan
lambat melalui tumbuh-tumbuhan.
Gambar 22. Biofilter
Lapisan utama tanah penutup adalah tanah berumput, yang harus tetap dialiri pada
musim kemarau. Agar lapisan tanah berumput yang berfungsi sebagai biofilter
dapat bekerja efektif harus sering dipotong secara rutin dan dirapikan. Dimana
kemiringan kurang dari 1% atau dimana air tanah tinggi, tanaman rawa buatan
dapat digunakan dalam biofilter. Jenis tanah lempung, atau jenis tanah lainnya
yang dapat menghalangi tanaman, secara umum tidaklah cocok bagi biofilter.
Biofilter biasanya diaplikasikan lapangan parkir, sepanjang pinggiran lapangan
parkir dengan kemiringan memanjang sampai dengan parit rumput untuk
mengumpulkan dan mengolah limpasan hujan dari permukaan lapangan parkir.
Kemiringan batas pavemen lapangan parkir agar diatur sedemikian rupa lebih
tinggi dari pada batas dengan biofilter. Jika air masuk dari beberapa titik
pengumpulan, seperti aliran halus, kontrol erosi agar dapat juga ditempatkan pada
beberapa titik termasuk di inlet dan outlet saluran.
Dimana harus diatur puncak hidrograph harus kurang dari 8 cm dan percepatan
puncak kurang dari 0,3 m/detik. Limpasan hujan lebat dapat mem-bypass
biofilter, atau biofilter dapat di-Disain untuk dapat mengakomodasi debit banjir
yang lebih besar tentunya dengan kualitas air yang terjaga. Lebar alas dari parit
adalah secara umum 60 cm sampai 2,5 meter, dengan tingginya rumput dari 10
cm sampai 15 cm dan kedalaman air yang maksimum dari kurang dari 5 cm.
D. Pengolahan Kualitas Air dengan Rawa Buatan (Wetland Constructed)
Dalam ekosistem rawa, terdapat aneka ragam organisme. Hampir semua mahluk
hidup dibumi terwakili di dalam rawa, mulai dari organisme mikro hingga
organisme makro seperti tumbuhan atau hewan besar. Bakteri, virus, alga, jamur,
protozoa, ikan, katak, burung, binatang melata, binatang menyusui, semuanya ada
di sana. Semua mahluk hidup tersebut membentuk rantai dan jaring makanan,
mulai dari pengurai, produsen, konsumen, berentuk sangat kompleks yang
meliputi berbagai organisme yang berada di berbagai mata rantai jaring-jaring
makanan.
Interaksi antar semua komponen ekosistem yang berada dalam rawa tersebut
memungkinkan terjadinya proses daur ulang secara alami bahan pencemar yang
tidak bernilai bagi manusia menjadi bahan bernilai yang terkandung dalam
biomassa tumbuhan dan hewan. Proses alam diatas mengilhami pengembangan
model rawa buatan dalam upaya pembersihan air.
Rawa buatan didesain sedemikian rupa diatas sebidang tanah dengan cara
membuat pematang, tanggul dan kolam, sehingga air limbah akan melewati
sebagian besar permukaan substrat yang ditanami tumbuhan akuatik dan semi-
akuatik yang bernilai ekonomis seperti sayuran dan buah. Sehingga dapat disebut
pengolahan air dengan metoda rawa buatan (wetland constructed) adalah alternatif
lain pengolahan air yang meniru proses alamiah yang terjadi di lahan basah (rawa)
alami.
Gambar 23. Contoh Rawa Buatan Aliran Vertikal (Constructed Wetlands) [3]
Gambar 24. Tampak Atas Rawa Buatan untuk Mengolah Air Limbah[4]
Menurut jenis aliran air, rawa buatan secara umum digolongkan dalam dua
bentuk: aliran horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistim aliran horisontal, air
memasuki rawa dari satu titik, mengalir dalam rawa buatan, kemudian keluar dari
titik di ujung rawa. Sedangkan dalam rawa buatan aliran vertikal, air
merembes/mengalir secara vertikal baik dari atas ke arah bawah atau dari bawah
ke arah atas sistem ke luar dari sistem.
Rawa buatan aliran horisontal dapat digolongkan lebih lanjut dalam empat bentuk,
yaitu:
a. Rawa buatan yang alirannya mengalir di atas permukaan tanah.
b. Rawa buatan yang proses pengaliran airnya lewat substrat tempat
tumbuhnya tanaman air.
c. Komninasi bentuk pertama dan kedua
d. Rawa buatan hidroponik aliran tipis yang tidak menggunakan substrat
tanah atau pasir.
Sementara itu, rawa buatan aliran vertikal dapat digolongkan ke dalam dua
bentuk (lihat gambar 22):
1. Aliran vertikal menurun dimana air dialirkan di permukaan sistem
kemudian merembes melalui substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman
hingga mencapai dasar rawa buatan untuk ke luar dari sistem.
2. Aliran vertikal menanjak dimana air disalurkan melalui pipa ke dasar
sistem untuk naik pelan-pelan melalui lapisan substrat sebelum keluar
melalui saluran yang letaknya di permukaan substrat.
Agar pembersihan air limbah efektif, rawa buatan (sebagaimana juga rawa alami)
membutuhkan lima komponen (Hammer, 1989 dalam Khiatuddin Maulida,
2003), yakni:
1. Substrat (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas
hidrologis.
2. Tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi anaerob di media yang jenuh
dengan air atau tergenang air.
3. Genangan air (baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah).
4. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang.
5. Populasi organisme mikro aerob dan anaerob.
Salah satu komponen rawa buatan adalah tumbuhan/tanaman yang yang
bekerjasama dengan micro-organisme dalam media (tanah, koral, dan air).
Penggunaan tanaman disebut dengan konsep Fitoremediasi yang didefinisikan
sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan
berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam
tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman.[5]
Gambar 25. Proses dalam Fitoremediasi [6]
Selain pemanfaatan bagi pemulihan kualitas air, teknik fitoremediasi dapat pula
dimanfaatkan bagi menjaga dan menjamin kualitas kompos dengan fitoteknologi
dan ekotoksikologi.[7]
Proses dalam sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses
secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang
berada disekitarnya.
1. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat
kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan,
proses ini disebut juga Hyperacumulation
2. Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat
kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan
dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam mengandung zat
radio aktif di Chernobyl Ukraina.
3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar
yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat zat tersebut
menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air
dalam media.
4. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or
plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat
kontaminan oleh aktivitas microba yang berada disekitar akar tumbuhan.
Misalnya ragi, fungi dan bacteri.
5. Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan
tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai
molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan
susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan
tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar
atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh
tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan
kimia yang mempercepat proses degradasi.
6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh
tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan
yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa
tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk
setiap batang.
Jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam Fitoremediasi
Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium
Merah/Kuning, Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden
Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah,
Jaka, Keladi Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah,
Onje Merah, Pacing Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia,
Sempol Merah/Putih, Spider Lili, dll.
Gambar 26. Flow Diagram Proses Fitoremediasi dalam Pengolahan Air [8]
Konsep Perencanaan Wetland
Beberapa ketentuan yang diperlakukan untuk membuat sistim ini, yaitu :
1. Unit Wetland didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging
pada media koral oleh partikel-partikel besar.
2. Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan
kedalaman ± 1 meter.
3. Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.
4. Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s.d.
10 mm, setinggi/setebal 80 cm.
5. Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat,
dengan melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan
tumbuhan.
6. Dialirkan air limah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet
yang memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan
koral.
7. Disain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk per hari dibagi
dengan Loading rate pada umumnya untuk daerah tropis ± 40 kg BOD/Ha per
hari.
8. Sistem pengolahan limbah denngan wetland disarankan hanya untuk skala
lingkungan maksimum 2000 jiwa dan perkantoran atau gedung-gedung
sekolah karena kebutuhan lahanya cukup tinggi antara 1,25 m2/jiwa s.d. 2,5
m2/jiwa dibandingkan fakultatif pond hanya 0,2 m2/jiwa s.d. 0,5 m2/jiwa atau
hanya 1/5 dari kebutuhan lahan rawa buatan.[9]
4.2. Pelaksanaan
4.2.1. Pengorganisasian
Penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah serta masyarakat di
kawasan/lokasi dalam suatu daerah aliran sungai yang akan ditangani. Dimana
diharapkan sejak tahap awal perlu segera dilaksanakan pengorganisasian agar
jalannya kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif mencapai hasil
yang optimal. Dibawah ini adalah bagan organisasi pelaksanaan kegiatan
pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
Gambar 27. Organisasi Pelaksanaan Program Pengelolaan Drainase Secara
Terpadu Berwawasan Lingkungan (ecodrain)
Gambar 28. Usulan Pengaturan Kewenangan Antar Institusi Terkait dalam
Pengelolaan Saluran Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
KEWENANGAN /TANGGUNG
JAWAB
INSTITUSI
A B C D E F G H I
Aspek Peraturan dan Pengaturan
Penyusunan Pedoman dan
Permen/Kepmen Tentang
Ecodrain
X X - - - - - - X
Sosialisasi Undang-undang No 7
Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air terutama terkait
dengan Ecodrain
X X - X X - - - -
Penyusunan Perda Provinsi / SK.
Gub / Instruksi Gub.
Tentang Pelaksanaan Ecodrain
- - X X - - - - X
dan penunjukan
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan
Ecodrain Tingkat
Provinsi
Penyusunan Perda Provinsi / SK.
Gub / Instruksi Gub.
Tentang Pengendalian
Perencanaan Tata Guna Lahan
Dan Perlindungan Alam Daerah
Bantaran Sungai
Tingkat Provinsi
- - X X - - - - X
Penyusunan Perda Kabupaten
Kota / SK. Bupati
Walikota / SK.Bupati Walikota /
Instruksi Bupati Walikota
Tentang Pelaksanaan Ecodrain
- - - - X X X - X
dan penunjukan
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan
Ecodrain Tingkat
Kabupaten Kota
Penyusunan Perda Kabupaten
Kota / SK. Bupati
Walikota / SK.Bupati Walikota /
Instruksi Bupati Walikota
Tentang Pengendalian
Perencanaan Tata Guna Lahan
Dan Perlindungan Alam Daerah
Bantaran Sungai
Tingkat Kabupaten Kota
- - - X - - X - X
Penyusunan Perda Kabupaten
Kota / SK. Bupati
Walikota / SK.Bupati Walikota /
- - - - - - X - X
Instruksi Bupati Walikota
Tentang Mutu / Kualitas Air
Sungai
Aspek Teknis dan Operasional
Perencanaan - - X X X - - - X
Pembangunan Fisik X X X X X - - - -
Pengawasan Fisik X X X X X - - - -
Operasional dan Pemeliharaan
(O&P)
- - - X X X - X -
Sosialisasi Pelaksanaan Fisik
- - X X X X X X X
Aspek Pembiayaan
Perencanaan X X X X X - - - -
Pembangunan Fisik X X X X X - - - -
Pengawasan Fisik X X X X X - - - -
Operasional dan Pemeliharaan
(O&P)
- - - X X X - X -
Sosialisasi Pelaksanaan Fisik - - X X X X X X X
Aspek Peran Masyarakat dan atau Swasta
Pengelolaan Air Limbah dengan
SANIMAS
X - X X X X X X X
Pengelolaan Sampah dengan
Konsep 3 R
X - X X X X X X X
KEWENANGAN /TANGGUNG
JAWAB
INSTITUSI
A B C D E F G H I
Pelatihan dan Capacity Building
Kegiatan 3R
dan SANIMAS
X X X X X - - - X
Sosialisasi desain elemen sistem
Drainase
Berwawasan lingkungan
X X X X X X X - X
Sumber : Hasil Kajian Konsultan, 2007.
Keterangan:
A = Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya.
B = Ditjen SDA melalui Balai Besar Wilayah Sungai.
C = Pemerintah Daerah c.q. BAPPEDA Provinsi.
D = Dinas PU Provinsi.
E = Dinas PU Kabupaten Kota.
F = Dinas Kebersihan Kabupaten Kota.
G = Dinas / Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten Kota.
H = Masyarakat / Swasta (KSM).
I = Perguruan Tinggi / Konsultan / LSM / Organisasi Profesi.
4.2.2. Tahap Pelaksanaan
Secara garis besar kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain) terbagi dalam dua kegiatan pokok yaitu:
· Kegiatan yang bersifat fisik
Kegiatan fisik yang berupa pembangunan prasarana dan sarana, pengadaan
barang (M&E), pemeliharaan dan perawatan.
· Kegiatan yang bersifat non fisik
Kegiatan non fisik dapat berupa kegiatan sosialisasi 3R, pengelolaan air
limbah domestik dan pengelolaan hujan integratif yang dapat
mengembangkan pengelolaan Drainase.
Dalam tahap pelaksanaan dibagi pada beberapa kegiatan sebagai berikut:
b. Pelaksanaan konstruksi fisik
Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana
yang terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis
Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Ecodrain). Pelaksanaan konstruksi antara lain seperti pembangunan
pintu air, bendung spillway, saringan sampah manual maupun otomatis,
tempat pembuangan sampah (TPS) di lokasi saringan sampah dan
bantaran sungai, IPAL Sanimas, MCK komunal, kawasan bioretensi,
pavemen berpori, jalan berpori, kawasan parkir ramah lingkungan, rawa
buatan, wetland constructed, dlsb.
1) Kegiatan konstruksi fisik dapat berupa kegiatan mendirikan,
memperbaiki atau memperluas/menambah prasarana dan sarana
sesuai dengan dokumen perencanaan yang telah disepakati pada
tahap perencanaan. Dengan pembangunan konstruksi fisik ini
diharapkan permasalahan banjir, genangan, sampah sungai dan
pencemaran air dapat dikurangi, sehingga beberapa permasalahan
penting daerah perkotaan dapat dieliminir, yang pada akhirnya
dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup, kesehatan dan
kehidupan manusia dan ekosistem perairan (lingkungan) serta
kota.
2) Kegiatan fisik sebagaimana disepakati dalam Daftar Isian
Proyek (DIP) yang diselenggarakan secara bersama antara seluruh
stakeholder di kawasan yang bersangkutan.
3) Khusus pada kegiatan fisik dari Pemerintah Pusat (Direktorat
PLP – Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum) pada
beberapa kota sebagai pilot project. Diharapkan Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat berkontribusi bagi
terwujudnya semua rencana yang ada dalam studi perencanaan
Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Ecodrain). Kontribusi tersebut dapat berbentuk penyiapan lahan,
tenaga, dan pendanaan fisik, serta komitmen untuk meneruskan
program tersebut secara berkesinambungan.
4) Kegiatan pelaksanaan konstruksi fisik terdiri dari tahap
persiapan, tahap pelaksanaan konstruksi dan tahap pengakhiran
(finishing).
c. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa merupakan rencana pengadaan
barang dan jasa yang terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana
teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Ecodrain). Pengadaan barang terkait dengan kebutuhan barang
mekanikal dan elektrikal dan perangkat dalam sistem informasi seperti
perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Pengadaaan
barang dalam hal ini seperti pengadaan saringan sampah otomatis, pompa
banjir, unit-unit pengolahan otomatis dalam IPAL Sanimas (disesuaikan
teknologi), sarana komposting, daur ulang dan pengangkut sampah,
sistem pengolahan data dan informasi, dlsb. Pengadaan jasa adalah adalah
jasa konsultansi dalam pekerjaan pengawasan dan sosialisasi.
d. Pelaksanaan dan Pengembangan Kegiatan 3R dan SANItasi berbasis
MASyarakat (SANIMAS)
Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana
yang terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis
Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Ecodrain).
4.2.3. Tahap Operasi dan Pemeliharaan
Fasilitas kegiatan fisik dan bantek pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan (ecodrain) dari Pemerintah Pusat hanya merupakan
stimulan dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP – Ditjen Cipta Karya) yang
selanjutnya setelah diserah terimakan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, maka
pengelolaan pasca pembangunan pada dasarnya menjadi tanggung jawab
Pemerintah Kota/Kabupaten.
4.2.4. Sosialisasi dan Penguatan Peran Masyarakat dan Swasta
Dalam penerapan konsep pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan, penanganan sampah dengan reduksi sampah dari sumbernya
merupakan langkah yang paling efektif dalam mengurangi timbulan sampah yang
akan dibuang ke TPA (tertangani) maupun yang sampah yang potensial dibuang
ke sungai / saluran / waduk dan atau prasarana dan sarana lainnya. Konsep yang
dapat dikembangkan adalah dengan pengelolaan sampah berdasarkan pendekatan
3R (Recycle, Reuse & Reduce) yang didasari oleh pendekatan pengelolaan sampah
terpadu berbasis masyarakat.
Pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan
pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat,
direncanakan, dilaksanakan (jika feasible), dikontrol dan dievaluasi bersama
masyarakat.
Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam pengelolaan
sampah adalah masyarakat. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai
motivator dan fasilitator.
Fungsi motivator adalah memberikan dorongan agar masyarakat siap memikirkan
dan mencari jalan keluar terhadap persoalan sampah yang mereka hadapi. Tetapi
jika masyarakat belum siap, maka fungsi pemerintah atau lembaga lain adalah
menyiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan pelatihan study banding
dan memperlihatkan contoh-contoh program yang sukses dan lain-lain.
Fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan
pengelolaan sampah Secara baik dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah
memberikan kemamuan masyarakat dengan berbagai cara misalnya dengan
memberikan pelatihan begitu juga jika masyarakat lemah dalam hal pendanaan,
maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan keluar agar masyarakat
mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan secara hati-
hati jangan sampai masyarakat tergantung.
Mengapa dalam pengelolaan sampah dilakukan secara berbasis masyarakat karena
produsen sampah utama adalah masyarakat, sehingga mereka harus bertanggung
jawab terhadap sampah yang mereka produksi.
Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat
yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri,
karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab
bahkan cenderung destruktif.
Faktor yang mempengaruhi sampah, baik kuantitas dan kualitasnya sampah sangat
dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor
yang penting antara lain;
Jumlah penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin
banyak penduduk semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah
inipun berpacu dengan laju pertumbuhan penduduk.
Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi
masyarakat, seakin banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang.
Kualitas sapahnya semakin banyak yang bersifat tidak dapat membusuk.
Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia,
peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan
sampah.
Kenaikan kesejahteraan inipun akan meningkatkan kegiatan
konstruksi dan pembaharuan bangunan-bangunan. Transportasi-pun
bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume dan jenis sampah.
Dengan kemmajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan
menambah jumlah maupun kuantitas sampah, karena pemakaian bahan
baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur
yang semakin beragam pula.
Kenyataan yang ada saat ini adalah bahan sampah sulit dikelola oleh berbagai hal;
Cepatnya berkembangnya teknologi, lebih cepat daripada
kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memahami persoalan
sampah.
Meningkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan
keselarasan pengetahuan tentang persampahan.
Meningkatnya biaya operasional dan pengelolaan sampah.
Penanganan sampah 3 R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce /
mengurangi, reuse / menggunakan kembali, dan recycle / mendaur ulang sampah
mulai dari sumbernya, dalam hal ini adalah kawasan yang potensial sebagai
sumber sampah sungai.
Konsep pengelolaan 3R yang diusulkan dapat dilihat pada gambar 15 berikut.
Gambar 29. Konsep Pengelolaan 3 R di kawasan Daerah Pengaliran Sunga
(DPS)i[10]
PENGENDALIAN PELAKSANAAN KEGIATAN ECODRAIN
Pengendalian adalah segala tindakan yang dilakukan dalam
pengorganisasian pengelolaan Drainase untuk meningkatkan kemungkinan
tercapainya maksud dan tujuan yang telah ditetapkan, yakni
memulihkan/meningkatkan kualitas aliran saluran Drainase/sungai perkotaan
dari pencemaran yang diakibatkan oleh sampah dan air limbah rumah tangga
dan dan memandu pengelolaan Drainase secara terpadu agar berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Tindakan pengendalian dapat bersifat preventif
(untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan), detektif
(untuk menemukan dan memperbaiki sesuatu hal yang tidak diinginkan yang
telah terjadi), atau direktif (untuk menimbulkan atau mendorong terjadinya
sesuatu yang diinginkan).
Tiga tujuan umum pengendalian kegiatan ecodrain adalah untuk:
· Meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan, termasuk apa
yang digariskan dalam rencana, kebijakan, prosedur, dan semuanya sejalan
dengan peraturan dan perundang-undangan yang mengikat kegiatan;
· Menjamin pelaksanaan kegiatan berdsarkan dokumen perencanaan dan
studi; dan
· Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
Studi kelayakan dan Bantuan Teknis (Bantek) merupakan alat kendali
pelaksanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain). Kegiatan pengendalian dilaksanakan pada setiap tahapan pelaksanaan
sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan
ecodrain.
Pengendalian pelaksanaan dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan PLP
tingkat provinsi dan atau dinas teknis setempat atau unit pengelola
teknis/UPT/badan tertentu sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh kelembagaan
pemrakarsa kegiatan ecodrain atau dapat ditetapkan kemudian berdasarkan
kesepakatan para pemangku kepentingan.
MONITORING DAN EVALUASI
Sistem monitoring dan evaluasi kegiatan Pengelolaan Drainase Secara
Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) perlu dilakukan untuk
mengendalikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tahap
persiapan dan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatnannya di
lapangan.
Sistem diatas perlu dilengkapi dengan sistem informasi yang terencana
sebagai bahan masukan bagi upaya-upaya Pengelolaan Drainase Secara
Terpadu Berwawasan Lingkungan (ecodrain) pada lokasi/kawasan lainnya.
Tujuan dari sistem monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain).
b. Mengendalikan kinerja pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
c. Memberikan bahan masukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan dan
pengembangan program pada tahun berikutnya.
d. Memberikan bahan untuk kelengkapan pertanggungjawaban pelaksanaan
kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain).
e. Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan program pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan (ecodrain).