Post on 21-Nov-2021
i
TRADISI KIRAB KEBO KYAI SLAMET KERATON
KASUNANAN SURAKARTA : SEJARAH DAN
PEMAKNAANNYA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DAN
SEMIOTIKA C.S. PIERCE
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Nicolaus Ade Prasetyo
NIM: 134114009
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
APRIL 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Halaman Persetujuan Pembimbing
Tugas Akhir
TRADISI KIRAB KEBO KYAI SLAMET KERA TON
KASUNANAN SURAKARTA : SEJARAH DAN
PEMAKNAANNYA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKA T DAN
SEMIOTIKA C.S. PIERCE
Oleh
Nicolaus Ade Prasetyo
NIM: 134114009
Telah Disetujui Oleh
Pembimbing I
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum tanggal 21 April 2017
p~~. Prof Dr. Praptomo Baryadi, M.Hum. tanggal 25 April 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
TRADISI KIRAB KEBO KYAI SLAMET KERA TON KASUNANAN
SURAKARTA : SEJARAH DAN PEMAKNAANNY A DALAM
PERSPEKTIF MASYARAKA T DAN SEMIOTIKA C.S. PIERCE
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Nicolaus Ade Prasetyo
NIM: 134114009
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 9 Mei 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap
Ketua
Sekretaris
Anggota 1
Anggota2
Anggota3
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum
Prof Dr. Praptomo Baryadi, M.Hum.
Dr. Ari Subagyo, M.Hum.
Prof Dr. Praptomo Baryadi, M.Hum.
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum
iii
Yogyakarta, .?-?-. .. Y.~ . ?-!J ll Fakultas Sastra
niversitas Sanata Dhanna
Dekan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN HASIL KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Y ogyakarta, 6 Mei 2017
Penulis
Nicolaus Ade Prasetyo
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah
untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasisa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Nicolaus Ade Prasetyo
NIM : 134114009
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang beryudul TRADISI KlRAB
KEBO KY AI SLAMET KERA TON KASUNANAN SURAKARTA : SEJARAH
DAN PEMAKNAANNY A DALAM PERSPEKTIF MASY ARAKA T DAN
SEMIOTlKA C.S. PIERCE
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempubIikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di Y ogyakarta
Pada tanggal 16 Mei 2017
Yang menyatakan,
Nicolaus Ade Prasetyo
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa at as
berkat-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini merupakan
laporan yang ditulis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SaIjana Sastra
Indonesia. Penelitian ini mengkaji tentang sejarah dan pemaknaan tradisi Kirab
Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta dalam perspektif Semiotika C.S
Pierce tentang Ikon, Indeks, dan Simbol.
Dalam proses penyusunan tugas akhir ini, banyak pihak yang telah
membantu memberikan dukungan, baik secara langsung maupun tidak Iangsung.
OIeh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Y oseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai pembimbing skripsi I, terima
kasih telah membantu saya dalam mendalami sastra dan budaya melalui
proses penulisan tugas akhir ini.
2. Prof. Dr. Praptomo Baryadi, M.Hum. sebagai pembimbing skripsi II,
terimakasih atas saran dan masukan yang berguna untuk menyempurnakan
skripsi ini.
3. Para dosen program studi Sastra Indonesia (Dr. Paulus Ari Subagyo, M.
Hum, Drs. Herry Antono, M. Hum (AIm), Drs. B. Rahmanto, M. Hum.,
Susilawati Endah Peni Adji, S. S, M. Hum, Sony Christian Sudarsono, S.
S, M. A, Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M. Hum, Maria Magdalena Sinta
Wardani, S. S, M. A.) terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Staf Sekretariat Fakultas Sastra yang membantu proses kelancaran skripsi
ini.
5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan
berbagai buku yang sangat membantu dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
6. Pihak Keraton Kasunanan Surakarta yang telah memberikan informasi
untuk mendapatkan data pengerjaan tugas akhir ini.
7. Bapak dan Ibu Sujatmiko yang selalu menjadi panutan hid up.
8. Adik - adikku Andreas Setya Adi Nugroho dan Robertus Ardian Yogi
Pamungkas yang selalu jadi pesaing dan penyemangat.
9. Teman-ternan angkatan 2013 Sastra Indonesia yang selama ini berjuang
bersama.
10. Teman - ternan OMK St. Pius X Karanganyar yang terus memberikan
seman gat dan doa.
11. Romo Vincentius Bondhan Prima Kumbara Pro Yang memberkan motivasi
dan dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12. Sedulur Angkatan Batu 96 Seminari Menengah Mertoyudan yang selalu
memberi inspirasi dalam berkarya, saling memberi motivasi, dan selalu
memegang teguh motto hidup Keras, Total, Merdeka.
Akhir kata, penulis ucapkan selamat membaca.
Yogyakarta, 16 Mei 2017
Penulis,
Nicolaus Ade Prasetyo
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Karsa Dalem Kalampahana”
(Jadilah KehendakMu)
-Tuhan-
“Keras, Total, Merdeka”
-Angkatan Batu 96 Seminari Menengah Mertoyudan (2007-2011)-
Skripsi ini saya persembahkan untuk,
Diri saya sendiri
sebagai refleksi hidup tentang proses
menghargai waktu dan keuletan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji sejarah dan pemaknaan tradisi Kirab Kebo Kyai
Slamet Keraton Kasunanan Surakarta dalam perspektif Semiotika C.S Pierce tentang
Ikon, Indeks, dan Simbol. Tujuan penelitian ini yaitu; (1) Mengkaji dan
mengungkapkan sejarah tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta serta maksud dan tujuan diselenggarakannya. (2) Mengkaji dan
mengungkapkan makna Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta dari perspektif masyarakat dan ditinjau dari perspektif teori semiotika
Charles Sanders Pierce.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah
melalui (1) Perspektif folklore dengan menggunakan teori folklore. Kemudian,
dilanjutkan dengan (2) Teori Semiotika C.S Pierce tentang Ikon, Indeks, dan Simbol
untuk menganalisis pemaknaan dalam Kirab Kebo Kyai Slamet. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi dan wawancara.
Berdasarkan analisis, sejarah Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta sudah merupakan sebuah tradisi yang berlangsung sejak Pada masa
Pemerintahan Pakoe Boewono II, jaman Kraton Kartasura di sekitar abad ke 17.
Tradisi itu bertahan sampai sekarang karena didalamnya terdapat nilai nilai dan juga
manfaat yang sudah dipegang teguh oleh masyarakat sekitar. Namun pada jaman
sekarang fungsi kirab semakin berkembang. Pada mulanya kirab hanya sebagai
sarana doa dan perayaan syukur sekarang berkembang sebagai sarana edukasi dan
juga wisata. Kirab Kebo Kyai Slamet juga mempunyai pemaknaan yang berbeda.
Dapat dilihat dari perspektif masyarakat dan dari perspektif keilmuan melalui
pembongkaran tanda tanda dengan teori semiotika C.S Pierce tentang Ikon, Indeks,
dan Simbol.
Hasil analisis, (1) Berdasarkan sejarah folklore dapat dilihat bahwa tradisi
Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta memiliki struktur kirab yang
berbeda dari kirab – kirab di wilayah lain. Selain itu terdapat juga maksud dantujuan
serta nilai nilai yang berguna untuk masyarakat. (2) Dilihat dari segi pemaknaannya,
tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta terdapat perbedaan
dari perspektif masyarakat yang memaknai tradisi ini dari sudut pandang sejarah dan
tradisi warisan. Sedangkan dari perspektif semiotika C.S. Pierce pemaknaan kirab
dapat dilihat melalui analisis Ikon, Indeks, dan Simbol yang terdapat dalam tradisi
tersebut.
Prasetyo, Nicolaus Ade. 2017. Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton
Kasunanan Surakarta : Sejarah dan Pemaknaannya Dalam Perspektif
Masyarakat dan Semiotika C.S Pierce. Skripsi Strata Satu (S1).
Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRACT
The Kirab Kebo Kyai Slamet Tradition of Kasunanan Surakarta Kingdom: The
History and Meaning in the Society and C.S Pierce’s Semiotic
Perspective. Undergraduate Thesis. Indonesian Literature Study
Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Literature,
Sanata Dharma University.
The research discusses the history and meaning of the KirabKeboKyaiSlamet
Tradition of Kasunanan Surakarta Kingdomin the C.S Pierce’s Semiotic Perspective
on icons, indexes and symbols. The objective of the research is: (1) to review and
unveil the traditional history of the KirabKeboKyaiSlamet Traditionof Kasunanan
Surakarta Kingdom and the purpose of conducting it. (2) to review and unveil the
meaning of theKirabKeboKyaiSlamet Tradition of Kasunanan Surakarta Kingdom
from the society’s perspective and reviewed from C.S Pierce’s Semiotic Perspective.
The research uses the historical approach through the folklore perspective by
using (1) the folklore theory. Then, it is further abided using (2) the C.S Pierce’s
Semiotic Perspective on icons, indexes and symbols to analyze the meaning in the
KirabKeboKyaiSlamet. The Method usage in the research is the content and interview
based analysis.
Based on the historical analysis, the KirabKeboKyaiSlamet Tradition of
Kasunanan Surakarta Kingdom is a tradition which has been held since the rulership
of PakoeBowewono II, during the seventeenth century of the Kartasura Kingdom.
This tradition instills up to this day due to the values and usefulness which are strictly
held by the society. However, nowadays the use of kirab has undergone
developments. In the beginning, kirab is only used as a means of prayer and
thanksgiving as time passes by, it is then also used as means of education and
tourism. KirabKeboKyaiSlamet also has a different meaning. It can be seen from the
society’s perspective and varied scientific perspective through the dismemberments
of symbols using C.S Pierce’s semiotic theories on icons, indexes and symbols.
The analysis result (1) based on the folklore history implies that the
KirabKeboKyaiSlametTradition of Kasunanan Surakarta Kingdom has a different
kind of kirab structure from other kirabs in other regions. Besides that, (2) based on
the meaning, the KirabKeboKyaiSlametTradition of KasunananSurakartaKingdom
upholds differences from the society’s perspective that generates meaning from the
tradition through the historical perspective and inherited tradition. Meanwhile, based
on C.S Pierce’s Semiotic Perspective, the meaning of kirab can be observed through
the analysis on icons, indexes and symbols entail within the tradition.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN HASIL KARYA ............................ iv
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ............................................ v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................. ix
ABSTRAK ........................................................................................................... x
ABSTRACT ........................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
1.5 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 6
1.6 Landasan Teori ................................................................................. 7
1.6.1 Sejarah dalam Perspektif Folklore ……………………7
1.6.2 Teori Kebudayaan ……………………………………. 16
1.6.3 Pemaknaan dalam Perspektif Semiotika Charles
Sanders Pierce………………………………………… 19
1.7 Metode Penelitian ............................................................................ . 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
1.8 Sistematika Penyajian ....................................................................... ... 23
BAB II SEJARAH KIRAB KEBO KYAI SLAMET KERATON KASUNANAN
SURAKARTA
2.1 Pengantar ………………………………………………………….. 25
2.2 Sejarah Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta … 27
2.3 Upacara Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta… 33
2.4 Perlengkapan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
2.4.1 Peralatan………………………………………………… 36
2.4.2 Sesaji …………………………………………………… 39
2.4.3 Pakaian …………………………………………………. 48
2.5 Maksud dan Tujuan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta ………………………………………………………….. 50
2.6 Tradisi Kirab Sebagai Salah Satu Hasil Kebudayaan Masyarakat… 51
2.7 Nilai – Nilai Yang Terkandung dalam Tradisi Kirab…………….... 54
BAB III MAKNA TRADISI KIRAB KEBO KYAI SLAMET KERATON
KASUNANAN SURAKARTA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DAN
PERSPEKTIF SEMIOTIKA C.S. PIERCE
3.1 Pengantar ……………………………………………………………. 58
3.2 Pemaknaan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Dalam Perspektif Masyarakat ………………………………………. 59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
3.3 Pemaknaan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Menurut Perspektif Semiotika C.S. Pierce
3.3.1 Ikon dalam Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta …………………………………………………. 68
3.3.2 Indeks dalam Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta …………………………………………………. 70
3.3.3 Simbol dalam Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta …………………………………………………. 72
BAB IV : PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………………77
4.2 Saran …………………………………………………………………. 80
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... …. 81
DAFTAR INFORMAN ……………………………………………………………. 83
BIOGRAFI PENULIS ………………………………………………………………84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan merupakan sebuah kearifan lokal yang diwariskan dari nenek
moyang, sehingga membentuk peradaban di wilayah tersebut. Kebudayaan
Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbenuk dan dipengaruhi
oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Eropa, Tionghoa, India, Arab
dan lain sebagainya. Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan
kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat,
mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Culture dari kata
Latin colere “mengolah”, “mengerjakan”, dan berhubungan dengan tanah atau
bertani sama dengan “kebudayaan”, berkembang menjadi” “segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.
(Koentjaraningrat. 2003:74). Kebudayaan di Indonesia pun beragam jenisnya dan
memiliki banyak keunikan. Dalam skripsi ini penulis akan membahas salah satu
budaya di Indonesia yang unik yaitu budaya kirab kebo Kyai Slamet di Keraton
kasunanan Surakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Menurut sejarah sejak kepindahannya dari wilayah Kartasura (1745),
Keraton Kasunanan Surakarta diramalkan hanya akan berlangsung hingga 2 abad
lamanya. Selama melalui perjalanan panjang dan membuahkan berbagai
peradaban selama dua abad, tercatat 9 raja bertahta (Hadisiswoyo, 2009: 264).
Peradaban budaya berkembang secara dinamis, sebagai hasil dari proses
komunikasi lisan yang disebarkan dari mulut ke mulut. Saat ini Keraton
Kasunanan Surakarta berada di bawah pemerintah Indonesia, secara sistem sudah
tidak ada kerajaan lagi. Raja sekarang hanya memiliki posisi simbolis, sebagai
pemangku budaya dan adat istiadat serta tradisi yang berlaku di lingkungan
keraton, sebagai bagian dari budaya nasional (Susanto, 2010: 47). Keraton
Kasunanan Surakarta merupakan keraton tertua di nusantara yang masih utuh tata
cara kehidupan budaya keratonnya, serta mempunyai pengaruh di sebagian besar
masyarakat (Tim Penulis Solopos, 2004: 16).
Peristiwa Malam Satu Suro bagi masyarakat Jawa memiliki makna pergantian
tahun, atau tahun baru menurut kalender Jawa. Tradisi peringatan Satu Suro atau
Suran, dicanangkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo raja Mataram terdahulu.
Penyelenggaraanya dari waktu ke waktu terus berkembang di Jawa, tata caranya
bersifat dinamis sehingga dapat disesuaikan dengan kecenderungan daerah
masing-masing. Keraton mengkomunikasikan melalui ritual tentang sifat tradisi
Suran yang prihatin, melatih kesiagaan lahir batin, mawas diri, pengendalian diri,
dan berserah diri kepada Tuhan. Salah satu bentuknya adalah menyiagakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
pusaka, di Surakarta hal ini dilakukan dengan tradisi kirab, yang baru berkembang
sekitar pertengahan abad 20. Kirab dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakarta
dan Pura Mangkunegaran bersama masyarakatnya masing-masing (Bratasiswara,
2000: 367).
Keraton membentuk berbagai simbol dengan pusaka keraton menjadi
komponen utama, diikuti para masyarakat keraton yang lengkap dengan pakaian
beskap hitam, blangkon, dan kain untuk pria. Sedangkan para wanita mengenakan
kebaya hitam, kain, dan rambut yang disanggul. Mereka yang bertugas membawa
pusaka, wajib memakai Sumpingan Gajah Oling rangkaian bunga melati yang
dipasang di telinga. Bagi yang tidak bertugas membawa pusaka, mereka
membawa lentera dan obor untuk menerangi rombongan kirab. Uniknya pada
kelompok barisan pertama ditempatkan pusaka berupa sekawanan kerbau albino
yang diberi nama Kebo Bule Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian
tersendiri bagi masyarakat.
Keberadaan Kebo Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro menyebabkan
munculnya fenomena budaya yang tidak sesuai dengan ajaran keraton. Kebo Bule
Kyai Slamet adalah simbol keselamatan, namun maknanya dilebih-lebihkan oleh
masyarakat di luar keraton sehingga menimbulkan perilaku yang berlebihan pada
saat kirab. Sebagai hewan yang istimewa, Kebo Bule diyakini oleh sebagian
masyarakat yang percaya, mempunyai kekuatan gaib yang mampu mendatangkan
berkah. Efeknya, banyak orang yang ngalap berkah (mencari berkah) dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berebut semua hal yang berhubungan dengan kebo bule, mulai dari sisa makanan,
minuman, bunga melati yang jatuh dari kalungnya, bahkan kotorannya.
Dalam skripsi ini akan menyajikan penelitian tentang “Tradisi Kirab Kebo
Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta : Sejarah Dan Pemaknaannya Dalam
Perspektif Masyarakat dan Semiotika C.S. Pierce” hal yang akan dibahas antara
lain adalah sejarah kirab kebo kyai slamet dan pemaknaan kirab melalui
pandangan masyarakat Surakarta dan pandangan ilmu pengetahuan tentang kirab
kebo kyai slamet yang sebenarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini menghasilkan
rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana sejarah tradisi kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta serta apa maksud dan tujuannya?
1.2.2 Apa makna tradisi kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta dari perspektif masyarakat dan ditinjau dari teori semiotika
Charles Sanders Pierce ?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat adalah
sebagai berikut.
1.3.1 Mengkaji dan mengungkapkan sejarah tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet
Keraton Kasunanan Surakarta serta maksud dan tujuan
diselenggarakannya. Hal ini akan dikaji dalam bab dua.
1.3.2 Mengkaji dan mengungkapkan makna Tradisi Kirab Kebo Kyai
Slamet Keraton Kasunanan Surakarta dari perspektif masyarakat dan
ditinjau dari perspektif teori semiotika Charles Sanders Pierce. Hal ini
akan dikaji dalam bab tiga.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan dicapai dari penelitian ini adalah dapat memberikan
manfaat secara teoretis dan secara praktis.
Manfaat teoretis penelitian ini adalah memberikan sumbangan teoretis
dalam bidang studi kebudayaan masyarakat atau kajian ilmu folklore tentang
sejarah, maksud dan tujuan diselenggarakannya Kirab Kebo Kai Slamet di
Keraton Kasunanan Surakarta. Selain itu juga memberikan sumbangan teoretis
mengenai makna yang ada pada saat Kirab Kebo Kyai Slamet berlangsung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai sumber bagi masyarakat,
khususnya masyarakat kota Surakarta untuk memahami tradisi Kirab Kebo Kyai
Slamet sebagai salah satu upacara adat yang masih berlangsung hingga sekarang.
Selain itu juga sebagai sumber pelestarian budaya daerah untuk pengembangan
pariwisata kota Surakarta.
1.5 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil tinjauan peneliti tentang penelitian yang relevan
dengan topik penelitian ini, peneliti menemukan beberapa penelitian lain sebagai
tinjauan. Antara lain tesis yang ditulis oleh Nursodiq dari Universitas Negeri
Semarang yang berjudul “Tradisi Suran dalam Masyarakat Jawa : analisis
perbandingan wilayah Surakarta dengan Wonosobo”. Dalam karya tersebut
dideskripsikan pelaksanaan peringatan Malam Satu Suro di daerah Wonosobo dan
Surakarta.
Selain itu skripsi dari Riza Ayu Purnamasari, mahasiswi Universitas
Sebelas Maret dengan penelitian berjudul “Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet
Dalam Kirab Satu Suro Keraton Kasunanan Surakarta (Studi Presepsi
Masyarakat Surakarta Terhadap Miskomunikasi di Balik Fenomena Kebo Bule
Kyai Slamet dalam Kirab Malam Satu Suro)”. Dalam penelitian ini dibahas
tentang sosok kebo bule yang begitu diagungagungkan oleh masyarakat dalam
pelaksanaan kirab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Penelitian relevan yang lain terdapat pada penelitian Aulia Fiddinia
dengan judul Upacara Grebeg Suro sebagai Penyampaian Nilai Moral pada
masyarakat di Kelurahan Baluwarti Pasar Kliwon Surakarta. Dalam penelitian ini
dibahas tentang tata cara upacara grebeg suro tersebut.
Selain penelitian - penelitian tersebut, terdapat juga buku - buku yang
membahas tentang tradisi kirab malam satu suro di Surakarta yang relevan dengan
penelitian ini.. Di antaranya adalah buku berjudul “Sesaji dan Wilujengan:
Tatacara Upacara Keraton Surakarta Hadiningrat”, karya G.P.H.Puger. Selain
itu Surjandjri Puspaningrat juga mengarang buku yang berjudul Tata Cara Adat
Kirab Pusaka Keraton Surakarta.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang sudah ada memiliki objek penelitian
yang sama yaitu tentang tradisi kirab. Dalam skripsi ini penulis juga memiliki
objek penelitian berupa tradisi kirab, namun akan ditinjau dari segi yang berbeda
dan juga menggunakan teori yang berbeda.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Sejarah dalam Perspektif Folklore
Dundes (dikutip Danandjaja, 1997 :1) menjelaskan folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan
sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore
merupakan tradisi folk yang berarti sebagian kebudayaan yang diwariskan secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
turun-temurun, secara lisan, atau melalui contoh yang disertai gerak isyarat atau
alat bantu mengingat. Jika folk adalah mengingat, lore adalah tradisinya.
Danandjaja (1997:6) menyatakan bahwa folklor merupakan bagian kebudayaan
yang diwariskan melalui lisan saja. Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa folklor adalah kebudayaan yang diwariskan kepada
sekolompok orang melalui lisan.
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1997: 21) folklor dapat dibagi
menjadi tiga kelompok besar yakni folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan
folklor bukan lisan.
Folklor Lisan Menurut Danandjaya (1997:21) folklor lisan diartikan
sebagai folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk dari jenis folklor ini
antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat
tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa,
pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti tekateki; (d) puisi rakyat,
seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda,
dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Berdasarkan pendapat di atas folklore lisan
dalam hal ini diartikan bahwa bentuknya disebarkan melalui lisan. Murni lisan ini
dapat berupa percakapan langsung dari satu orang ke orang lain. Percakapan
tersebut dituturkan langsung oleh orang yang mengalami folklor tersebut dari
mulut ke mulut, sehingga dapat dikatakan bahwa folklor tersebut murni lisan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Jenis yang kedua adalah Folklor Sebagian Lisan. Menurut Danandjaya
(1997:22) folklor sebagian lisan diartikan sebagai folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk folklor dari jenis ini
diantaranya mengenai kepercayaan, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat,
adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. Sejalan dengan pendapat di atas,
folklor sebagian lisan merupakan campuran bentuk unsur lisan dan bukan lisan.
Bentuk lisan dapat diartikan sebagai folklor yang dituturkan secara langsung oleh
pelaku dan bukan lisan dapat diartikan sebagai folklor yang bentuknya selain
tuturan atau percakapan, misalnya berupa gerakan, melalui kegiatan-kegiatan, dan
upacara.
Jenis yang ketiga adalah Foklor Bukan Lisan. Danandjaya (1997:22)
berpendapat bahwa folklor bukan lisan diartikan sebagai folklor yang bentuknya
bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk dari
jenis folklor ini secara garis besar ada dua yakni material dan bukan material.
Material diantaranya arsitektur rakyat, kerajinan tangan, makanan dan minuman,
serta obat-obatan tradisional. Sebaliknya yang bukan material diantaranya gerak
isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat.
Berdasarkan jenis folklor yang telah disebutkan di atas, penelitian yang akan
dilakukan peneliti ini merupakan foklor lisan. Penelitian ini selanjutnya akan
difokuskan pada salah satu jenis penelitian cerita rakyat, dimana dalam cerita
rakyat tersebut salah satunya adalah legenda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Terlepas dari bentuknya, folklor memiliki ciri yang dapat digunakan
sebagai pembeda dengan kebudayaan lainnya. Danandjaja (1997: 3) menjelaskan
bahwa folklor memiliki ciri-ciri, yaitu
a. Penyebaran dan Pewarisannya Dilakukan Secara Lisan
Menurut Danandjaya (1997:3) maksud dari ciri ini adalah disebarkan
melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai
dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Sejalan dengan pendapat Dananjaya di atas, bahwa penyebarannya
melalui pembicaraan antar seseorang yang mengetahui atau bisa jadi menjadi
sumber atau seseorang yang terlibat langsung di dalam folklor tersebut, sehingga
dapat disebarkan kepada orang lain atau dapat diceritakan kepada orang lain
terhadap apa yang dialaminya. Selain itu, cerita ini dapat diturunkan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya, misalkan dari ayahnya yang menjadi seseorang
atau sumber yang terlibat langsung, lalu diceritakan hal tersebut kepada anak atau
pun cucunya. Cara seperti itu dianggap dapat melestarikan cerita secara turun-
temurun.
b. Folklor Bersifat Tradisional
Danandjaya (1997:3) berpendapat bahwa folklor bersifat tradisional
yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap dalam bentuk standar. Disebarkan di
antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
generasi). Berdasarkan pendapat di atas, tradisional dapat diartikan sebagai cerita
jaman dahulu yang dalam penyebarannya dianggap relatif tetap dalam cerita
tersebut, tidak ditambah atau dikurangi per bagian atau per kisah cerita tersebut
dan dalam bentuk standar. Bentuk standar dapat dianggap sebagai bentu keaslian
dari cerita tersebut, tidak dilebihlebihkan. Cerita tersebut disebarkan secara
kolektif, yaitu secara bersama atau gabungan antara generasi satu ke genrasi
selanjutnya, yang dalam hal ini paling sedikit terjadi dalam dua generasi.
c. Folklor (exist) Versi-Versi Bahkan Varian-Varian yang Berbeda
Sifatnya yang secara lisan, disebarkan dari mulut ke mulut dapat
dengan mudah mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan pada jaman dahulu
belum adanya proses penyebaran melalui cetakan atau perekaman. Atas dasar hal
tersebut maka terdapat beberapa cara penyampaian atau isi substansinya
bervariasi, bisa diberi sisipan lain, atau bisa juga dalam penyampaian tersebut ada
hal yang berbeda dari aslinya, meskipun sebenarnya isi dari keseluruhannya
memiliki nilai kesamaan, hanya karena ada sisipan atau penambahan-penambahan
kata atau perbedaan pemilihan kata dalam menceritakan folklor tersebut yang
dapat disebabkan karena proses lupa alamiah manusia yang bisa terjadi kapan
saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Danandjaya (1997:4) yang
mengatakan bahwa cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya
bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau
proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah dapat mengalami
perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya
saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
d. Folklor Bersifat Anonim
Menjelaskan ciri keempat yang diutarakan oleh Danandjaya (1997:4)
maksud folklor dapat bersifat anonim, hal ini dikarenakan terjadinya pada waktu
lampau, sehingga menyebabkan tidak diketahui nama penciptanya, dan tidak ada
generasi penerus dari empunya cerita tersebut. Proses alamiah kematian manusia
juga dapat menyebabkan nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lain. Hal
itu dapat terjadi ketika empunya cerita ingin menceritakan folklor tersebut namun
sudah terlebih dahulu meninggal, sehingga empunya cerita tidak sempat
menceritakan apa yang dia ketahui mengenai cerita tersebut.
e. Folklor Mempunyai Bentuk Berumus atau Berpola
Menurut Danandjaya (1997:4) maksud dari bentuk berumus atau
berpola, misalnya selalu mepergunakan kata-kata klise, seperti “bulan empat belas
hari” untuk menggambarkan kecantikan sorang gadis dan “seperti ular berbelit-
belit” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan
penutup yang baku, seperti kata “sahibul hikayat...dan mereka pun hidup bahagia
untuk seterusnya,” atau dalam dongeng Jawa banyak yang dimulai dengan
kalimat Anuju sawijining dina (pada suatu hari), dan ditutup dengan kalimat: A
lan B urip rukun rukun bebarengan koyo mimi lan mintuno (A dan B hidup rukun
bagaikan mimi jantan dan mimi betina). Menambahkan pendapat Danandjaya di
atas, dapat disimpulkan bahwa berpola atau berumus penggunaannya dalam cerita
rakyat tergantung pada tiap daerah masing-masing. Penggunaan tersebut biasanya
menunjukkan identitas dari daerah tertentu. Tergantung dari mana cerita rakyat
tersebut berasal.
f. Folklor Mempunyai Kegunaan
Ciri yang diungkapkan oleh Danandjaya (1997:4) mengenai folklor
mempunyai kegunaan dapat diartikan bahwa cerita rakyat mempunyai kegunaan
sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan
terpendam. Sebagai alat pendidik misalnya dapat dijadikan sebagai suri teladan
dalam kehidupan, misalkan dalam legenda yang akan dilakukan penelitian oleh
peneliti yaitu Ki Singoprono memiliki sikap yang suka menolong, baik hati,
sopan santun, dan taat beribadah. Alat pendidik seperti itulah yang dimaksud
dalam hal ini. Selain itu dapat dijadikan sebagai pelipur lara, karena dalam cerita
rakyat tentunya mengandung hal-hal yang dapat dijadikan sebagai hiburan atau
pelajaran yang baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Cerita rakyat juga dapat dijadikan protes sosial, dimana kehidupan
antara zaman dahulu dapat dibandingkan dengan kehidupan pada zaman sekarang
yang memiliki banyak perbedaan khususnya dalam kehidupan sosial. Selain itu
cerita rakyat merupakan suatu proyeksi keinginan terpendam. Hal ini dapat terjadi
karena dalam cerita rakyat tersebut ada sebuah gambaran keinginan yang ingin
dicapai yang terpendam, sehingga melalui cerita rakyat dapat dijadikan contoh
gambaran tersebut.
g. Folklor Bersifat Pralogis
Menurut Danandjaya (1997:4) mengenai folklor bersifat pralogis
maksudnya adalah mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
Memperkuat pendapat di atas, logika tersendiri ini berbeda dengan
logika umum, bahkan terkesan tidak logis, atau di atas daya pikir manusia. Cerita
rakyat zaman dahulu dapat terjadi di luar batas kewajaran manusia, dan hal
tersebut umumnya dipercayai akan kebenarannya meskipun di luar daya pikir
manusia.
h. Foklor Menjadi Milik Bersama (collective) dari Kolektif Tertentu
Danandjaya (1997:4) berpendapat bahwa folklor menjadi milik
bersama (collective) dari kolektif tertentu diakibatkan karena penciptanya yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang
bersangkutan merasa memilikinya.
Mendeskripsikan pernyataan di atas bahwa proses yang demikian ini
dapat terjadi karena banyak hal yang melatarbelakanginya. Misalkan dalam satu
generasi ada yang terlibat langsung dalam cerita rakyat tersebut, dalam hal ini
sang ayah, setelah ayahnya meninggal maka anak dari ayah yang terlibat langsung
dalam cerita tersebut merasa memiliki atas hal yang terjadi yang menimpa
ayahnya tersebut dalam hal ini cerita rakyat. Sehingga dapat terjadi ikatan batin
bahwa folklor tersebut dimiliki generasi itu karena anak itu beranggapan bahwa
ayahnya adalah orang yang terlibat dalam cerita rakyat itu.
i. Folklor pada Umumnya Bersifat Polos dan Lugu
Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor
merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya. Pada
zaman dahulu apa yang dilihat manusia adalah apa yang ia ceritakan, tanpa
adanya sifat mengada-ada atau pun berbohong, sehingga wujud cerita rakyat itu
memang aslinya apa yang diceritakan meskipun terkadang terlihat polos, lugu,
spontan, bahkan terkadang diluar batas kemampuan pikir manusia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
1.6.2 Teori Kebudayaan
Kata Kebudayaan, berasal dari kata Sanskerta buddhayah, bentuk jamak
dari buddhi yang berarti “budi” atau “kekal” (Koentjaraningrat. 2003:73).
Menurut BAKKER kata kebudayaan dari “Abhyudaya”, Sansekerta Kata
“Abhyudaya” menurut Sanskrit Dictionary (Macdonell, 1954): Hasil baik,
kemajuan, kemakmuran yang serba Iengkap.
Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar
budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan
budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Culture dari kata Latin colere “mengolah”, “mengerjakan”, dan
berhubungan dengan tanah atau bertani sama dengan “kebudayaan”, berkembang
menjadi” “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan
mengubah alam”. (Koentjaraningrat. 2003:74)
Pada awalnya, konsep kebudayaan yang benar-benar jelas yang pertama
kalinya di perkenalkan oleh Sir Edward Brnett Taylor. Seorang ahli Antropologi
Inggris pada tahun 1871, mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, mora,
kebiasaan, dn lain-lain. Pada waktu itu, banyak sekali definisi mengenai
kebudayaan baik dari par ahli antropologi, sosiologi, filsafat, sejarah dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
kesusastraan. Bahkan pada tahun 1950, A.L. Kroeber dan Clyde Kluchkhon telah
berhasil mengumpulkan lebih dari serats definisi ( 176 definisi ) yang diterbitkan
dalam buku berjudul Culture : A Critical Review of Concept and Definition
(1952).
Menurut Atmadja, teori kebudayaan adalah kebudayaan yang timbul
sebagai suatu usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan di
daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuj kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan
tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
mengembangkan atau memperkaya kebudayaan itu sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Dalam Koentjaraningrat, (2003 : 74 ) J.J Honingmann mengatakan bahwa
ada tiga wujud kebudayaan, yaitu :
1. Ideas
Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak,
tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran
warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Budaya ideal
mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan,
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.
Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
2. Activities
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan
didokumentasikan karena dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya
dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.
3. Artifacts
Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan
hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan.
Contohnya : candi, bangunan, baju, kain komputer dll.
Sedangkan (dalam Koentjaraningrat. 2003:81) terdapat tujuh unsur
kebudayaan menurut C. Kluckhon, antara lain :
a. Bahasa
b. Sistem pengetahuan
c. Organisasi sosial
d. Sistem peralatan hidup dan teknologi
e. Sistem mata pencarian hidup
f. Sistem religi
g. Kesenian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
1.6.3 Pemaknaan Dalam Perspektif Semiotika Charles Sanders Pierce
Charles Sanders Peirce mengemukakan teori segitiga makna (triangle
meaning) yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan
interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan)
hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda
yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik)
dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Adapun acuan tanda
ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna
tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda
itu digunakan orang saat berkomunikasi. Tanda adalah sesuatu yang
merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain (di dalam benak
seseorang yang memikirkan) (Denzin, 2009: 617).
Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya.
Ia memberi tempat yang penting pada linguistik, namun bukan satu-satunya. Hal
yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik, tapi
tidak sebaliknya. Menurut Peirce tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-
tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Dengan
demikian sebenarnya Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda.
Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for
something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa
berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau
representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan
interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda
yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign.
Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras,
lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang
ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air
sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang
menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol) (Kris Budiman, 2005:56).
Ikon merupakan tanda yang memiliki kemiripan "rupa". sebagai mana
yang telah ada wujud nyatanya. Penggambaran ikon ada dengan dua cara, yaitu
ilustratif (sesuai bentuk aslinya) dan diagramatik (dalam bentuk penyederhanaan).
contoh : pohon, gunung, daun, tempat sampah, buku, dsb.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda
yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap
sebagai tanda adanya api.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbriter atau semena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol merupakan
tanda yang bersifat mewakili sebuah hal yang lebih besar yang ada
dibelakangnya. Simbol juga biasanya menunjukkan arti yang telah disepakati
bersama. contoh : logo perusahaan, simbol-simbol keagamaan (salib, bangunan
mesjid, kitab suci), dsb.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian tentang “Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta : Sejarah dan Pemaknaannya dalam Perspektif Masyarakat dan
Semiotika C.S. Pierce” menggunakan metode penelitian kualitatif. HB Sutopo
(2002: 78) dalam Metodologi Penelitian Kualitatif menjelaskan penelitian
kualitatif cenderung bersifat kontekstual. Secara kontekstual, dalam penelitian ini
fokus pada penguraian fenomena kirab kebo bule Kyai Slamet yang terjadi di
Keraton Kasunanan Surakarta berdasarkan persepsi masyarakat.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data peneliti menggunakan teknik
studi pustaka berupa sumber pustaka dan pengumpulan data lapangan yang
berupa hasil wawancara. Tahap pertama adalah mencari buku buku atau
jurnal yang membahas tentang Kirab Malam Satu Sura dan Kirab kebo
Kyai Slamet untuk diolah menjadi sumber data. Setelah itu dilakukan juga
pengumpulan data lewat informan-informan yang telah diwawancarai
sebagai data pelengkap. Informan - informan tersebut adalah masyarakat
biasa yang tinggal diluar keraton, bukan warga keraton.
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis isi atau sering disebut content analysis. Teknik analisis isi
yang dimaksud adalah analisis dari hasil wawancara dan analisis isi sumber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
sumber pustaka. Teknik ini digunakan untuk menekankan pemaknaan pada
teks dan sumber lisan yang diperoleh melalui sumber sumber pustaka dan
juga data hasil wawancara.
Teknik analisis yang kedua adalah menggunakan teknik analisis
teori semiotika C.S Pierce tentang ikon, indeks, dan ikon. Teknik ini
digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam tradisi kirab
Kebo Kyai Slamet berdasarkan ikon, indeks, dan simbolnya.
1.7.3 Metode Penyajian Data
Teknik penyajian data berupa deskripsi kualitatif dari hasil
penelitian sumber sumber data yang telah diperoleh baik itu dari sumber
pustaka maupun wawancara, yang pada akhirnya akan dihasilkan suatu
kesimpulan.
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab. Dalam empat bab
tersebut akan dirinci sistematika penelitiannya sebagai berikut:
Bab I: Berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab
ini dibagai menjadi delapan sub bab yaitu latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan sistematika penyajian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Bab II: Mengkaji dan mengungkapkan sejarah tradisi Kirab Kebo
Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta serta maksud dan tujuan
diselenggarakannya.
Bab III: Mengkaji dan mengungkapkan makna Tradisi Kirab Kebo
Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta dari perspektif masyarakat dan
ditinjau dari perspektif teori semiotika Charles Sanders Pierce.
. Bab IV : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran
dari hasil penelitian tentang “Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton
Kasunanan Surakarta : Sejarah dan Pemaknaannya dalam Perspektif
Masyarakat dan Semiotika C.S. Pierce”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
BAB II
SEJARAH KIRAB KEBO KYAI SLAMET KERATON
KASUNANAN SURAKARTA
2.1 Pengantar
Perayaan tahun baru biasanya dirayakan dengan berbagai kemeriahan,
seperti pesta kembang api dan arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain
halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1
Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai
ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat
Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam
suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang
memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung,
tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Bagi masyarakat Jawa, bulan
Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau
suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi
untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu
mengendalikan hawa nafsu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap
eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa
dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan
waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang
menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa
pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan
yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras
dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Ritual 1 Suro telah
dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645
Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan
Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada
masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya
memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan
antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun
baru Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh
Kebo Bule Kyai Slamet sebagai cucuking lampah. Kebo Bule merupakan
hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo
Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton)
yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya
seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri. Sementara itu di Kraton
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara
mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan
warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng
tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa.
Inilah yang dikenal dengan istilah “tapa mbisu mubeng beteng”. Selain di
Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran
kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka
menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.
Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan
dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang
pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah
introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja. Semakin
panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, semakin bijak kita
menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa
sepanjang bulan Suro.
2.2 Sejarah Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono II, jaman Kraton Kartasura
di sekitar abad ke 17, diceritakan bahwa di kerajaan terjadi pemberontakan
yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang membuat ‟sinuwun‟ harus
melarikan diri ke Ponorogo. Di Ponorogo beliau ditampung oleh Bupati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Ponorogo dan berdiam di sana untuk beberapa saat hingga pemberontakan
berakhir. Pada masa pelariannya di Ponorogo, Sang Raja Kartasura
memperoleh petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai Slamet harus „direkso‟ atau
dijaga oleh sepasang „kebo bule‟ atau kerbau albino jika ingin kerajaan aman
sentausa dan langgeng. Kuasa Tuhan yang luar biasa pada saat itu, seolah
hadiah, Sang Bupati Ponorogo tiba-tiba ingin menunjukkan bhaktinya kepada
rajanya dengan mempersembahkan sepasang „kebo bule‟ kepada sinuwun,
tepat disaat beliau membutuhkannya. Kebo bule atau kerbau albino pada masa
itu (mungkin juga pada masa sekarang) adalah kerbau yang sangat jarang
ditemui dan dimiliki orang kebanyakan dan merupakan hewan piaraan bernilai
tinggi. Maka sinuwun Pakue Boewono II menerima dengan baik „pisungsung‟
(persembahan) sang bupati dan berterimakasih atas persembahan yang sangat
sesuai dengan kebutuhannya. Sinuwun membawa sepasang kerbau bule itu
kembali ke Kraton Kartasura setelah pemberontakan usai dan hingga kerajaan
berpindah tempat ke Desa Sala dan berganti nama menjadi Kraton Surakarta
Hadiningrat.
Secara turun temurun kerbau bule terus bertindak sebagai penjaga
pusaka Kyai Slamet hingga masyarakat luas menyebut kerbau itu sebagai
Kerbau Kyai Slamet. Menurut penuturan KRT Kalinggo Honggopuro, humas
Kraton Surakarta, “ Sebetulnya Kyai Slamet bukanlah nama kerbau. Kerbau
Kyai Slamet berarti kerbau yang menjaga Kyai Slamet, sedangkan Kyai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Slamet itu sendiri adalah sebuah pusaka yang tak kasat mata yang hanya Sang
Raja yang tahu dan bagi rakyat kebanyakan pusaka Kyai Slamet adalah tetap
misteri sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menyebut sang kerbau saja
sebagai Kyai Slamet ” . Hingga kini kerbau Kyai Slamet telah beranak pinak
dan tetap dihormati dan disebut sebagai kerbau bule Kyai Slamet. Konon, saat
Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur
kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem
keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton
Kasunanan Surakarta.
Sementara sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
Solo, Sudarmono, menuturkan, “ selain dekat dengan kehidupan petani, sosok
kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa. Semasa Kerajaan
Demak, misalnya, seekor kerbau bernama Kebo Marcuet mengamuk dan tak
ada satu prajurit pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan,
kerajaan menggelar sayembara: barang siapa mampu mengalahkannya akan
diangkat menjadi senopati “.
Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet mampu
mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet kemudian
mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya
mengambil alih kekuasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
”Jaka Tingkir sebenarnya keturunan Kebo Kenongo, Raja Pengging
Hindu yang dikalahkan Kerajaan Demak. Pemindahan kekuasaan dari Demak
ke Pajang, yang dekat Pengging, adalah upaya Joko Tingkir mengembalikan
pengaruh kekuasaan kerajaan ke pedalaman yang sarat tradisi agraris,”
katanya.
Dari sejarah itu, lanjut Sudarmono, kerbau selalu dijadikan alat
melegitimasi kekuasaan kerajaan. ”Dalam budaya agraris, kerbau simbolisasi
kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti abdi
dalem dan rakyat, sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi keraton atas
rakyatnya yang sebagian besar petani.”
Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab, kata Sudarmono,
adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan
binatang). Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok kebo bule ditengarai
hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. PB VI merupakan raja
yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang
ke Ambon.
”Meski PB VI dibuang ke Ambon, namun semangat pemberontakan
dan keberaniannya menghidupi rakyatnya. Dalam peringatan naik takhta,
sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kreativitas menghadirkan sosok kebo bule yang dipercaya sebagai penjelmaan
pusaka Kyai Slamet dalam kirab pusaka,” tambah Sudarmono.
Pada sisi lain Gusti Puger menuturkan, Keraton Surakarta tidak pernah
menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau
tlethong dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat pupuk, itu masih
diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat
menciptakan media untuk membuat permohonan. Mereka sekedar
membutuhkan semangat untuk bangkit.”
Winarno mengungkapkan, saat ini kebo bule keraton berjumlah 12
ekor. Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan asli Kyai Slamet
sendiri hingga saat ini hanya tersisa enam ekor. Mereka adalah Kiai Bodong,
Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng
Muda.
“Yang menjadi pemimpin kirab biasanya adalah Kyai Bodong, karena
dia sebagai jantan tertua keturunan murni Kyai Slamet. Disebut keturunan
murni, karena mereka dan induk-induknya tidak pernah berhubungan dengan
kerbau kampung.”
Kyai Bodong sendiri memiliki adik laki-laki yang diberi nama Kyai
Bagong. Namun, kata Winarno, kerbau tersebut sekarang ini berada di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
kawasan Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan,
kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke Keraton Surakarta.
Sejak dulu, sekawanan kebo keramat tersebut memang memiliki
banyak keunikan. Kawanan kerbau ini, misalnya, sering berkelana ke tempat-
tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas
menggembalakannya. Mereka sering sampai ke Cilacap yang jaraknya lebih
100 km dari Solo, atau Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang
Tahun Baru Jawa, yakni 1 Sura atau 1 Hijriah, mereka akan kembali ke
keraton karena akan mengikuti ritual kirab pusaka.
Winarno menambahkan, malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa,
karena tidak saja memiliki dimensi fisik perubahan tahun, namun juga
mempunyai dimensi spiritual. Sebagian masyarakat Jawa yakin, bahwa
perubahan tahun Jawa menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis
Jawa, terutama kehidupan masyarakat agraris.
Peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai simbol kekuatan yang
secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata
pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Di luar itu, kerbau secara umum
juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak saja di keraton
Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara material ia
menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
diwujudkan oleh raja beserta rakyatnya. “Kyai Slamet adalah sebuah visi
Raja. Secara harfiah, visi Keraton Surakarta, yaitu ingin mewujudkan
keselamatan, kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya.”
2.3 Upacara Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun
baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai
dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa
(29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan
pertama tahun berikutnya.
Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati
dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Sebelumnya mengelilingi
benteng keraton, akan diadakan doa slametan bersama dan persiapan sesaji.
Selain itu juga diadakan prosesi memandikan kebo Kyai Slamet sebelum
diarak keliling keraton. Setelah itu baru dimulailah prosesi keliling keraton.
Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang
Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah
berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan
Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan
terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran
keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh
masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu
menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat.
Kirab Pusaka 1 Sura ini melibatkan sekitar 600 abdi dalem yang
mengusung 13 pusaka Kraton Surakarta. Kirab dilakukan dengan membawa
penerangan obor dan lampu ting mengelilingi kompleks Keraton melalui
Gladag-Jl Jenderal Sudirman-Jl Mayor Kusmanto-Jl Kapten Mulyadi-Jl
Veteran-Jl Yos Sudarso-Jl Slamet Riyadi-Gladag dan kembali ke kraton. Dari
Pringgitan KGPAA Mangkunegaran IX, berjalan menuju teras Pendhapi
Ageng untuk melepas empat pusaka. Sebelum diarak mengelilingi Pura
Mangkunegaran yang diikuti oleh kerabat kerjaan serta masyarakat, pusaka
tersebut dibasuh air terlebih dahulu. Setelah itu barulah saatnya kirab kerbau
kyai slamet. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat
tengah malam, tergantung kemauan dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya
kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini
sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika
saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan
dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan
kerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka keraton
Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun
menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
arakan. Selama kirab berlangsung, Sinuhun Pakubuwono akan berdoa dengan
bersemedi di dalam keraton.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti
Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule
Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura
menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender
Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk
lampah sejumlah pusaka keraton. Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat
ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga
di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat
berkah dari keraton jika menyaksikan kirab.
Orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian
rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab,
saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak
cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang
kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut
mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa
kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi
ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
2.4 Perlengkapan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta
a. Peralatan
a. Angle dan kemenyan
Angle/anglo adalah suatu benda yang terbuat dari tanah lihat yang
berfungsi sebagai tungku pembakaran untuk media arang
danmembakar kemeyan tungku kecil tersebut biasanya digunakan
membakar arang yang di campur dupa/kemeyan. Kemeyan
adalahsuatu bentuk dupa yang berbau wangi kalau dibakar dan
digunakan sebagai media untuk mendatangkan makhluk halus dan
merupakan santapan kegemarannya sehingga mereka percaya dengan
membaka rkemeyan makhluk halus tersebut datang untuk memberikan
ijin pelaksanaan upacara kirab tersebut dapat berlangsung baik tanpa
ada halangan apa- apa karena mereka sudah diberi santapan.
b. Kipas dan Arang
Kipas ini terbuat dari batang bambu yang dianyam dan dibentuk
bervariasi segi lima. Empat dan lain sebagainya yang berfungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
untukmengobarkan api arang supaya pembakarannya berlangsung baik
danterus menerus. Arang adalah bahan bakar yang terbuat dari
kayumlanding, jati yang sudah dibakar dan didinginkan serta
dikeringkan. Arang yang berwarna hitam ini melambangkan
keburukan/ kejahatandibakar dengan kemeyan sehingga hal- hal buruk
dimuka bumi ini ikut terbakar dan hilang dengan sendirinya.
c. Songsong ( payung)
Songsong atau payung terbuat dari kertas dan kain yang
berfungsiuntuk memayungi/ menutupi pusaka- pusaka yang akan
dikirab supaya unsur magis dalam pusaka tidak keluar sehingga harus
dipayungi.Selain itu payumh ini berfungsi untuk melindungi pusaka
pusaka yang dikirab supaya terhindar dari hujan maupun unsur debu,
dan perusak lainnya.
d. Cambuk
Alat ini khusus digunakan untuk mengirab pusaka kraton kerbau
bule Kyai Slamet. Cambuk ini digunakan untuk menggiring kerbau
tersebut pada waktu upacara kirab pusaka berlangsung. Makna lainnya
adalah cambuk ini berfungsi untuk mencambuk manusia yang berjalan
diluar yang dikehendaki dan supaya tetap berjalan di jalan yang di
kehendaki oleh Allah SWT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
e. Pengaron dan Rumput
Pengaron adalah suatu tempat gerabah yang terbuat dari tanah liat
yang digunakan untuk membersihkan kanjeng Kyai Slamet (Kebo
bule) milik istana Kasunanan yang dianggap keramat dan merupakan
salah satu benda pusaka. Pengaron tersebut diisi air dengan diberi
kembang setaman sewaktu dilakukan upacara membersihkan
(menjamas) kerbau tersebut. Penggaron yang lain juga digunakan
untuk meletakkan rumput yang digunakan untuk makan kerbau Bule
Kyai Selamet. Pengaron yang ditaburi bunga tersebut nerupakan
perlambang air suci yang melambangkan kesucian dan kekuatan
kanjeng Kyai selamet. Sedangkan rumput melambangkan kesuburan
dan memberikan berkah kesuburan bagi tanaman di wilayah Surakarta.
f. Oncor, Ting dan Petromak
Oncor merupakan alat penerang yang terbuat dari satu bilah bambu
utuh yang dipotong sesuai ukuran 50 cm yang berisi minyak tanah dan
sumbunya terbuat dari kain.Ting fungsinya sama sebagai alat penerang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
bentuknya seperti petromak dan merupakan lampu kecil bertangkai
kayu. Petromak fungsinya sama tetapi terbuat dari bahan pabrikan
yang sinarnya terang seperti lampu listrik tetapi bahan bakar terbuat
dari minyak tanah dan dipompa dengan tangan. Alat penerangan ini
melambangkan manusia harus memiliki hati yang terang benderang
seperti sinar alat penerang tersebut, selain berfungsi sebagai alat
penolak bala dan mengusir makluk halus serta menerangi pada waktu
upacara tradisi kirap pusaka dilakukan.
b. Sesaji
Sesaji yang digunakan pada waktu pelaksanaan upacara kirab
tersebut terbagi menjadi 3 bagian yaitu (a) sesaji sebelum pelaksanaan,
(b) sesaji pada waktu pelaksanaan dan (c) sesaji pada waktu
wilujengan. Macam- macam dan rincian sesaji tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sesaji Sebelum Pelaksanaan
1. Sesaji (sajen) Kanjeng Kyai Karu Bathok
Sesaji ini terbuat dari bathok/ tempurung kelapa yang telah
dibersihkan dan diletakkan dalam posisi tengkurap, dilengkapi
dengan 4 warna ketan yaitu hitam, kuning, merah, biru yang
diatasnya diletakkan enten- enten kelapa parut yang diberi gula
jawa dan putih, bunga setaman yang terdiri dari bunga mawar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
merah, putih ,kanthil, dan melati, gantan (kinang) dan dua
batang rokok. Beras ketan yang terdiri dari empat warna
tersebut melambangkan 4 hawa nafsu manusia yang dalam
Agama Islam yaitu, nafsu aluawah, mutmainah, sufiah dan
amarah. Enten- enten kelapa parut tersebut melambangkan ujian
yang diberikan Tuhan kepada umatnya apakah dia bertahan atau
tidak.. Sedangkan bunga setaman melambangkan keharuman
benda pusaka, kejernihan hati dan keserasihan lingkungan
alam.Kinang atau ganten melambangkan kekuatan yang dimiliki
oleh Kanjeng Kyai Karu Bathok Rokok melambangkan media
api yang berfungsi untuk menolak bala dari roh jahat yang dapat
mengganggu kirab.
2. Sesaji/ sajen pepak Ageng
Sesaji diletakkan diatas encek suatu tempat yang terbuat dari
tampah anyaman bambu yang berbentuk bundar dan persegi
empat jumlahnya 4 buah.
- Encek pertama berisi dua buah jongkong biji, ketan warna
empat( papat), sebuah serabi putih besar dan dua buah serabi
putih kecil, sebuah serabi merah besar dan dua buah serabi
merah kecil, irisan gula jawa dan parutan kelapa. Makanan
yang disebut jongkong adalah terbuat dari parutan singkong
yang dibungkus dengan daun pisang kemudian dikukus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Jongkong dua biji tersebut berwarna merah dan putih
melambangkan asal muasal manusia yang terdiri dari warna
merah lambang air kehidupan dari ibu dan warna putih
melambangkan air kehidupan dari ayah. Ketan empat warna
melambangkan sifat dasar manusia dan enten- enten kelapa
dan gula jawa melambangkan ujian buat manusia. Serabi
berwarna merah putih , gula jawa dan kelapa parut
melambangkan sangkan paraning dumadi.
- Encek kedua dilengkapi oleh sepasang bekakak, yang
terbuat dari tepung beras yang dibuat seperti boneka yang
terdiri dari bekakak lanang yang merupakan pengantin
Pangeran Mataram dan bekakak wanita melambangkan
pengantin Kanjeng Ratu Kidul. Sepasang pengantin bekakak
tersebut dahulunya terdiri dari korban manusia, akan tetapi
pada jaman mataram korban tersebut terbuat dari tepung
beras ketan.
- Encek ketiga berisi nasi tumpeng , sepasang nasi golong,
pecel pithik jangan menir, lauk pauk berupa gereh/ikan asin,
ragi, tempe goreng dan kerupuk.Makna simbolik dari nasi
tumpeng yang dibuat mengerucut melambangkan gunung
mahameru tempat bersemayamnya para dewa sehingga
segala keinginan/permohonan supaya dikabulkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Tuhan Yang Maha Esa. Nasi golong malambangkan
perpaduan antara golongan masyarakat yang ada dibumi
mataram. Pecel pithik jangan menir merupakan santapa
kegemaran dan persembahan kepada Panembahan Senopati
pendiri dinasti Mataram Islam. Lauk pauk segala jenis
melambangkan kehidupan manusia yang cukup bervariasi.
- Encek keempat berisi dua sisir pisang raja, jajan pasar, pis
pohong, singkong mentah utuh, ketela mentah utuh, tape
singkong, kacang tanah, dua takir bubur abang putih/ merah
putih, dua buah takir bubur katul. Pisang raja
melambangkan keperkasaan dan kemuliaan raja, jajan pasar
melambangkan keanekaragaman kehidupan masyarakat dan
sesaji yang sudah lengkap. Pis pohung, ketela mentah, tape
singkong dan kacang tanah melambangkan kesuburan tanah.
Bubur abang putih melambangkan asal muasal manusia dan
bubur katul/ dedak melambangkan segala kehidupan
manusia yang mbededek supaya diberi kelancaran. Keempat
encek tersebut masing- masing dilengkapi seekor ayam .
b. Sesaji Waktu Pelaksanaan
1. Sesaji untuk Sunan Lawu
Sesaji ini berupa nasi jagung dengan lauk dakchan, yaitu kedelai
yang dikupas, dipepes dan dikukus. Sesaji ini melambangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
kegemaran Sunan Lawu yang tinggal dan menguasai Gunung
Lawu.
2. Sesaji untuk Krendhawahana
Sesaji ini berupa dua buah kendhil yang masing-masing
sepasang lele dan gecok bakal. Sesaji itu melambangkan
kegemaran Kanjeng Ratu Kaluyawati penguasa Hutan
Krendhawahana.
3. Sesaji untuk Sekar Kedhaten
Sesaji ini terdiri dari nasi golong 12 buah, pecel pitik jangan
menir, dan lauk pauk yaitu ragi, bergedel, sambal goreng,
rempeyek, dakohan, dan kerupuk berwarna merah. Semua jenis
makanan itu melambangkan makanan kegemaran Kangjeng
Ratu Sekar Kedhaten yang tinggal di Gunung Merapi.
4. Sesaji untuk Kangjeng Ratu Kidul
Sesaji ini terdirii atas nasi wuduk dengan pisang, ketan biru
diberi enten-enten, tumpeng megana dan tumpeng asahan yang
ditata dalam encek, dengan lauk ragi, dendeng, paru, kedelai,
tempe, sambat goreng, mihun dan kerupuk. Tumpeng megana
adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan diberi telur di
ujungnya. Tumpeng asahan adalah nasi putih yang dibentuk
kerucut. Sesaji ini melambangkan kegemaran penguasa Pantai
Selatan Kangjeng Ratu Kidul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
5. Jenang Keblat Sekawan
Jenang kebat sekawan terdiri atas jenang abang putih, jenang
katul, jenang blowok, jenang sungsum, jenang sliringan, jenang
sengkala, dan ketan warna papat. Jenang abang putih
melambangkan asal-usul manusia. Jenang katul melambangkan
kehidupan manusia. Jenang blowok melambangkan arah
kehidupan manusia. Manusia yang semula putih akan
ditentukan oleh tingkah lakunya. Dengan keimanan maka ia
akan selamat. Jenang sungsum dengan cairan gula jawa
melambangkan asal usul manusia. Jenang sliringan yang dibuat
dari tepung beras yang diberi warna merah, hijau dan kuning
memiliki makna bahwa manusia akan menjauhi perbuatan jahat.
Jenang sengkala melambangkan agar dijauhkan dari
malapetaka. Ketan warna papat menggambarkan empat sifat
manusia.
6. Sesaji untuk Sunan Kalijaga
Sesaji ini berupa nasi tumpeng dengan lauk gereh bakaran,
dendheng bakaran, kacang panjang, dendheng age sayur-
sayuran yang tumbuh di sekitar sumur, dan sambal plelek (dari
cabe hijau). Sesaji itu melambangkan makanan kegemaran
Sunan Kalijaga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
7. Panggang Tumpeng
Sesaji ini berupa nasi tumpeng dan seekor ayam panggang.
Makna sesaji ini adalah agar semua permohonan dalam
pelaksanaan upacara dikabulkan.
8. Sesajen Ageng
Sesaji ini terdiri atas 8 unsur: satu encek nasi tumpeng dengan
lauk pauk; satu encek sepasang bekakak; satu encek berisi
jongkong inthil, serabi, ketan warna papat; satu encek jenang
baro-baro; satu encek jajan pasar, sebutir kelapa, sepasang gula
jawa, jungkat suri, kisi, pengilon, lawe wenang setugel, letrek,
wes, wos, kinang, sekar boreh, gula jawa; seekor ayam; serta
minyak goreng dalam botol, clupak, jlodog, kendhi kecil, dan
uang paling sedikit seratus rupiah. Makna nasi tumpeng dan
lauk pauknya, sepasang bekakak, jongkon inthil, serabi, ketan
warna papat dan jenang baro-baro dan jajan pasar sama dengan
yang telah disebut sebelumnya. Sebutir kelapa melambangkan
keutuhan sebuah kerajaan yang semak
c. Makanan Dalam Wilujengan
Makanan yang digunakan dalam wilujengan disebut wuku dhukut,
terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
1. Nasi Tumpeng Uduk
Makanan ini juga disebut rasulan, terdiri atas nasi tumpeng
gurih, seekor ayam panggang, dan kedelai, cabe hijau,
mentimun, serta garam, masing-masing dalam takir. Sesuai
dengan namanya makanan ini melambangkan memberikan
keluhuran kepada Nabi Muhammad saw., Rasul yang telah
memberikan keselamatan pada umatnya yang berbakti kepada
Tuhan. Ingkung ayam (ayam panggang) melambangkan
pengorbanan yang tulus dan ucapan terima kasih baik kepada
Tuhan maupun leluhur yang telah memberikan keselamatan dan
perlindungan.
2. Nasi Golong Sak Ambeng
Makanan ini terdiri atas 17 bungkus daun pisang, yang masing-
masing berisi 2 butir nasi sebesar kepalan tangan manusia,
melambangkan kesatupaduan tekad, semangat, dan tujuan
peserta Kirab Pusaka.
3. Nasi Asahan Sak Ambeng
Nasi asahan ini melambangkan keberuntungan dan mengandung
permohonan agar semua yang terlibat dalam Kirab Pusaka
mendapat kesempatan dan banyak rezeki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
4. Nasi Tumpeng Ropoh
Nasi Tumpeng Ropoh adalah nasi tumpeng dengan lauk-pauk
berupa sayuran yang ditempatkan di atas puter. Maknanya
adalah perbuatan yang telah dilakukan telah menimbulkan
persoalan bagi orang lain. Panganan
5. Wolung Warna
Makanan ini terdiri atas wajik, ketan warna-warni, jadah pisang,
hawug-hawug, apem, serabi, dan dakohan. Makanan ini
melambangkan arah delapan penjuru mata angin.
6. Jenang Nem Warna
Enam macam jenang diletakkan di dalam centhang, yaitu jenang
katul, jenang ketan hitam, jenang lang, jenang pathi, jenang
grendhul, dan jenang abang putih. jenang ketan hitam
melambangkan pengiriman doa kepada arwah leluhur. Jenang
pathi melambangkan permohonan doa restu kepada orang tua.
Jenang grendul melambangkan kehidupan yang penuh dengan
cobaan. Jenang abang putih melambangkan asal-usul kehidupan
manusia.
7. Hasil Bumi
Buah-buahan terdiri atas 5 macam yaitu pala kasimpar(waluh,
semangka, melon, dan lain-lain), pala kependhem(kentang,
ketela, singkong, bengkoang, ubi, dan lain-lain), dan pala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
gumantung (pepaya, jambu, jeruk, pisang, dan lain-lain). Hasil
bumi itu melambangkan kesuburan tanah.
8. Kolak Pisang Mas
Makanan ini memiliki makna penolakan terhadap semua
perbuatan buruk dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
c. Pakaian
Pakaian yang digunakan terdiri dari empat yaitu jarik, beskap
dan kebaya, samir dan gajah Ngoling.
a. Jarik
Jarik merupakan kain yang digunakan oleh kerabat,abdi dalem,
dan masyarakat umum. Kerabat keraton dengan motif lereng yang
melambangkan keagungan keluarga kerajaan mataram, sedangkan abdi
dalem dan masyarakat umum mengggunakan motif selain motif
tersebut di atas. Sementara para abdi dalem memang bertugas sebagai
pelaksana kirap pusaka dan masyarakat memakai pakaian jarik
tersebut hanya berfungsi sebagai partisipan yang mencintai budaya
jawa.
b. Beskap dan Kebaya
Pakaian beskap digunakan oleh peserta kirab pusaka yang
berjenis kelamin laki- laki sedangkan yang perempuan harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
menggunakan kebaya karena semua peserta baik laki- laki maupun
perempuan harus menggunakan pakaian adat jawa lengkap yang
berwarna hitam. Menurut informan warna hitam melambangkan
keagungan dan keabadian serta kesempurnaan. Warna hitam juga
dimaknai sebagai bentuk simbol keteguhan hati dan cita- cita yang
luhur dalam melaksanakan upacara dari leluhur.
c. Samir
Samir ini biasanya terbuat sari kain yang berwarna kuning atau
merah , dan fungsinya sebagai tanda pengikut dan pelaksana upacara
kirab pusaka. Samir ini biasanya wajib dikenakan pada prosesi upacara
karena membedakan mana yang partisipan dan mana yang petugas dari
keraton. Pemilihan warna merah dimaksudkan sebagai lambang
keberanian dan keuletan, warna kuning melambangkan kemakmuran
dan ketentraman hidup manusia. Selain itu warna kuning juga
mengandung arti penolak balak dari makhluk halus dan roh jahat.
d. Gajah Ngoling
Sebutan gajah ngoling ini sebenarnya untuk menggambarkan
rangkaian bunga melati yang dibentuk setengah lingkaran dan dipakai
ditelingan bagi yang akan ngampil dan buntar pusaka. Bunga melati
melambangkan kesucian, sehingga para ngampil dan buntar pusaka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
terdiri dari orang- orang yang benar- benar suci sehingga mereka
mampu membawa dan dekat dengan pusaka keraton.
2.5 Maksud dan Tujuan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta
Dalam komunitas masyarakat baik yang ada di kota maupun di desa
tentu memiliki cara yang berbeda dalam melaksanakan suatu upacara tradisi
walaupun tujuannya sama. Dalam prosesi pelaksanaan upacara tradisi kirab di
Surakarta tujuan yang hendak dicapai dalam melaksanakan upacara tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Memperingati tahun baru (1 Suro) dalam penanggalan Jawa
sekaligus memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya
diberi limpahan berkat.
b. Melaksanakan tradisi para leluhur yang sudah berlangsung
lama karena kalau upacara tradisi tidak dilaksanakan takut
terjadi sesuatu dikemudian hari.
c. Dalam menjaga pusaka yang didapat dengan susah dan cerita
yang berbau mistis dengan olah tapa dan lain sebagainya maka
untuk menjaga kesaktian dan keampuhan dari pusaka tersebut
maka dilakukan prosesi pembersihan pusaka pusaka yang
dimiliki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
d. Oleh masyarakat baik di lingkup istana maupun diluar istana
untuk membersihkan diri baik secara lahir maupun batin
dengan cara tirakatan, berdoa, sholat, semedi dan lain
sebagainya.
e. Ada sebagian orang yang percaya terhadap hal- hal yang
berbau tahayul meminta bekas air untuk membersihkan benda-
benda pusaka tersebut untuk obat, penglarisan, jimat dan lain
sebagainya.
f. Menyebarkan daya magis dari pusaka yang dikirap tersebut
supaya membawa keselamatan, kesejahteraan bagi keraton,
masyarakat dan bangsa Indonesia.
2.6 Tradisi Kirab sebagai Salah Satu Hasil Kebudayaan Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat
oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2000). Suatu
masyarakat akan menghasilkan kebudayaan dan diantara masyarakat
dengan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu
kesatuan sehingga tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan. Sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masyarakatnya sangat
beragam dan tentu saja mempunyai kebudayaan yang beragam.
Keberagaman kebudayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia ditandai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
dengan banyaknya adat tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia,
dimana di setiap daerah atau wilayah masyarakatnya mempunyai tradisi
khusus yang berbeda antara satu dengan yang lainnya termasuk
masyarakat Kota Surakarta.
Di Kota Surakarta ada sebuah tradisi yang diselenggarakan setiap
tahunnya yaitu tradisi Kirab, dikatakan sebuah tradisi karena acara
tersebut diselenggarakan dari zaman Paku Buwono X dan diwariskan dari
generasi berikutnya sampai saat ini yaitu generasi Paku Buwono XIII. Hal
ini sesuai dengan pendapat Harjono (1975),
“tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran yang diturunkan
dari masa ke masa yang memuat tentang prinsip universal yang
digambarkan menjadi kenyataan dan kebebasan relative.
Dengan demikian segala kebenaran dan kenyataan dalam alam
yang lebih rendah adalah peruntukkan (application) dari
prinsip universal” (hlm. 23).
Sebagai suatu tradisi, tradisi Kirab didalamnya mengandung
pengetahuan atau ajaran dasar yang bersifat prinsip yang secara implisit
maupun eksplisit disampaikan kepada masyarakat karena memang
pengetahuan atau ajaran yang bersifat prinsip itu disampaikan dengan
menggunakan simbol-simbol yang ada pada rangkaian acaranya. Tradisi
Kirab pun diwariskan dari generasi ke generasi sehingga sampai saat sini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
masih diselenggarakan. Karena merupakan sebuah tradisi maka dapat
dikatakan bahwa tradisi Kirab adalah hasil kebudayaan. Sebagai hasil
kebudayaan suatu masyarakat khususnya masyarakat Kota Surakarta,
maka tradisi Kirab mengandung sistem gagasan, nilai, pengetahuan,
kepercayaan dan kesenian.
Sistem gagasan, nilai, pengetahuan, kepercayaan, dan kesenian dapat
di lihat dari rangkaian acara Kirab yaitu Kirab Pusaka dan Tirakatan.
Sistem gagasan dan kesenian dapat dilihat dari bentuk penyajian acara
yang disajikan dimana tujuan dari rangkaian acara Kirab adalah
penyembahan kepada Tuhan YME, akan tetapi dikemas dengan
pendekatan budaya, yaitu percampuran antara Islam, Hindu dan budaya
Jawa yang syarat akan nilai seni yang tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat
dari rangkaian acaranya yaitu adanya wilujengan haul atau berdoa
bersama untuk memperingati wafatnya Paku Buwono X, Kirab Pusaka
yang terdapat dupa serta Kerbau Kyai Slamet, selain itu terdapat tabuhan
atau gamelan beserta waranggono dan wirosworo sebagai unsur seninya.
Sedangkan sistem nilai, pengetahuan, kepercayaan agaknya lebih abtrak
lagi karena semua itu berasal dari konsep yang ada di alam pikiran yang
dianggap penting dan berharga dalam hidup, akan tetapi konsep tersebut
sebenarnya telah disampaikan dan diwujudkan dalam bentuk simbol-
simbol.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Seperti makna dan nilai, kita bisa menemukannya pada pusaka
termasuk Kerbau Kyai Slamet, perilaku petugas saat prosesi acara, pada
gunungan atau tumpeng besar dan segala atribut yang digunakan. Setelah
dikaji lebih dalam memang tradisi Kirab bukan sembarang acara biasa
tetapi disana ada makna dan nilai yang bersifat luhur yakni merupakan
tradisi dalam rangka melakukan penyembahan kepada Tuhan YME dan
ada beberapa nilai yang bisa diambil yaitu nilai historis, nilai edukasi,
nilai religius serta nilai kehidupan lainnya. Semua makna dan nilai
tersebutlah yang meresap ke dalam setiap anggota masyarakat dan
dijadikan pedoman mereka dalam bersikap dan berperilaku karena
memang dianggap berharga dan penting dalam hidup.
2.7 Nilai – Nilai Yang Terkandung Dalam Tradisi Kirab
Tradisi Kirab bukan sebuah tradisi biasa akan tetapi merupakan sebuah
tradisi yang mengandung nilai yang bersifat adi luhur, yaitu nilai historis,
nilai edukasi dan nilai religius. Nilai-nilai yang dianggap berharga dan
penting tersebut masih bersifat abstrak. Oleh karena itu nilai-nilai tersebut
kemudian diwujudkan dalam bentuk norma. Norma merupakan aturan-
aturan dengan sanksi-sanksinya yang dimaksudkan untuk mengatur
masyarakat guna mencapai nilai-nilai yang dianggap berharga dan penting
tersebut. Seperti nilai yang terkandung pada tradisi Kirab antara lain yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
a. Nilai Religius
Nilai religius, nilai religius ini kemudian bisa terbagi lagi
menjadi nilai kepatuhan, nilai ketakwaan dan nilai keimanan.
Nilai-nilai tersebut kemudian dijadikan pedoman mereka dalam
bersikap dan bertindak, karena masih bersifat abstrak maka
kemudian diwujudkan dalam bentuk norma yaitu norma
agama. Contoh norma yang mengandung nilai kepatuhan, nilai
ketakwaan dan keimanan adalah tidak berbuat dosa seperti
tidak berbuat ngalap berkah, tidak melakukan perbuatan dosa
seperti mencuri, berjudi, menghina orang lain, selalu beribadah
serta berdoa dan sebagainya.
b. Nilai Historis
Nilai historis ini dimaksudkan agar masyarakat selalu
menghargai dan bangga akan segala peninggalan nenek
moyang. Hasil akhir dari nilai ini adalah masyarakat cinta akan
budaya sendiri dan meneruskan budaya yang ada dari generasi
ke generasi serta melakukan adat istiadat yang terkandung
dalam budaya itu sendiri, contohnya mendukung adanya tradisi
Kirab, menyelenggarakan tradisi Kirab sesuai dengan
pakemnya, mengenakan pakaian sopan dan bermotif batik saat
berkunjung ke keraton, menggunakan bahasa daerah atau
bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
dan berkomunikasi dengan orang-orang keraton karena
mempunyai kesan lebih menghargai dan menghormati.
c. Nilai Edukasi
Nilai edukasi ini didapat dari nilai historis yaitu dari sejarah
tradisi Kirab maka masyarakat akan mengingat kembali cerita
raja-raja zaman dahulu yang bisa untuk diteladani. Nilai
edukasi ini meliputi nilai kepatriotan, nilai keberanian, nilai
kegigihan, nilai kebijaksanaan dan nilai kepedulian. Nilai-nilai
tersebut diharapkan bisa masuk meresap ke dalam jiwa
masyarakat yang kemudian terinternalisasi dalam diri
masyarakat. Hasil akhirnya adalah membentuk cirri
kepribadian masyarakat yaitu pribadi yang patriot, pemberani,
pekerja keras, bertanggung jawab dan mempunyai kepedulian
terhadap orang lain. Kepribadian yang seperti itulah yang
diharapkan dimiliki masyarakat dalam rangka menjalankan
kehidupan bermasyarakat dan mengadakan interaksi dengan
orang lain.
Jadi pada dasarnya segala sesuatu yang terkandung dalam tradisi Kirab
merupakan konsep-konsepi yang ada dalam pikiran manusia mengenai
hal-hal yang dianggap berharga dan penting dalam hidup yang telah
meresap pada sebagian masyarakat sehingga dijadikan pedoman bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
mereka dalam bersikap dan berperilaku. Makna dan nilai-nilai yang ada di
tradisi Kirab kemudian meresap dan tertanam pada jiwa masyarakat yang
pada akhirnya dijadikan prinsip hidup serta tolak ukur segala sikap dan
perilaku mereka dalam mengadakan interaksi dengan Tuhan YME dan
dengan anggota masyarakat lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
BAB III
MAKNA TRADISI KIRAB KEBO KYAI SLAMET
KERATON KASUNANAN SURAKARTA DALAM PERSPEKTIF
MASYARAKAT DAN PERSPEKTIF SEMIOTIKA C.S. PIERCE
3.1 Pengantar
Keberadaan manusia di dunia ini tidak terlepas dari budaya yang
menyertainya. suatu masyarakat akan menghasilkan kebudayaan dan di setiap
masyarakat pun mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda tak terkecuali dengan
masyarakat Kota Surakarta. Kota Surakarta adalah kota yang sangat kental dengan
tradisi atau adat budayanya karena Kota ini terdapat Keraton, maka tidak
mengherankan jika di Kota Surakarta sering mengadakan upacara-upacara adat yang
unik dan menarik salah satunya adalah tradisi Kirab. Kirab merupakan suatu tradisi
yang diselenggarakan pada malam satu suro di bulan Suro pada kalender Jawa.
Tradisi Kirab telah berlangsung sejak dari dulu dan sudah menjadi agenda tahunan di
Kota Surakarta. Dalam tradisi Kirab ini tentunya terdapat nilai-nilai tertentu yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat dan mempunyai makna tertentu pula, terbukti
bahwa tradisi ini tetap ada dan nilai-nilai tersebut telah dipegang di masyarakat kota
Surakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Pada saat pelaksanaannya pun masyarakat sangat antusias dan melakukan
tindakan yang cukup unik seperti berusaha menjamah tubuh Kebo Bule yang di kirab
bahkan berebut untuk mendapatkan kotorannya. Hal ini memnunjukkan bahwa
masyarakat Kota Surakarta mempunyai perepsi dan pandangan tertentu mengenai
tradisi Grebeg Suro sebagai salah satu tradisi untuk melestarikan budaya bangsa.
Akan tetapi tidak semua warga masyarakat mendukung adanya tradisi Kirab karena
setiap anggota masyarakat tentunya memiliki latarbelakang budaya, pendidikan dan
pekerjaan yang berbeda beda yang mempengaruhi pandangan dan sikap mereka
mengenai tradisi Kirab
Selain melalui perspektif masyarakat, sebuah kebudayaan juga dapat dilihat
nilai nilai dan pemaknaannya melalui perspektif keilmuan. Misalnya dengan teori
teori dalam sebuah ilmu yang dapat digunakan untuk mengkaji suatu fenomena
budaya yang terdapat di suatu daerah. Dalam bab ini akan dibahas mengenai
pemaknaan kirab tidak hanya dari perspektif masyarakat setempat, melainkan juga
pemaknaannya melalui analisis keilmuan dilihat dari perspektif semiotika Charles
Sanders Pierce tentang Ikon, Indeks, dan Simbol yang terdapat dalam tradisi Kirab.
3.2 Pemaknaan dalam Perspektif Masyarakat
Tradisi Kirab merupakan salah satu acara besar di Kota Surakarta. Tradisi ini
selalu menyedot perhatian masyarakat luas khususnya masyarakat Surakarta dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
sekitarnya seperti Boyolali, Klaten dan Karanganyar. Pada saat pelaksanaannya,
ribuan masyarakat memadati jalan-jalan raya yang merupakan rute dari Kirab Pusaka.
Hal ini sepadan dengan pernyataan dari Bapak Lurah Baluwarti, (salah satu
kelurahan di kota Surakarta, letaknya didalam kompleks keraton) terkait antusiasme
masyarakat dengan adanya tradisi Kirab sebagai berikut:
“Kirab terrmasuk event yang besar, banyak orang yang terlibat dalam
acara ini dan juga ribuan masyarakat datang mas ada yang dari
Boyolali, Klaten, Karanganyar ya daerah sekita Solo ini. Jadi memang
Kirab bisa menyatukan masyarakat, diharapkan juga bisa lebih
mengeratkan persaudaaran masyarakat”(Bapak Lh/16/02/2017).
Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Mg salah satu remaja di Kelurahan
Baluwarti sebagai berikut:
“iya mas, menurut saya Kirab terutama pas acara Kirab Pusaka itu
termasuk acara yang besar soalnya masyarakat yang nonton banyak
sekali. Mesti kalau ditanya sebagian njawabnya pingin ngliat Kebo
Bule” (Mg/16/02/2017).
Tradisi Kirab memang tradisi dalam rangka untuk menyambut tahun baru
Jawa tepatnya bulan Suro. Masyarakat khususnya masyarakat Jawa, mengartikan
bulan Suro sebagai bulan prihatin. Bulan prihatin tersebut ditandai dengan
masyarakat melakukan laku prihatin. Laku prihatin yang dilakukan masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
bermacam-macam antara lain lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME, tidak
mengadakan hajatan besar dan lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas.
Hal ini sepadan dengan pernyataan Ibu St, salah satu ibu rumah tangga di
Kelurahan Baluwarti sebagai berikut:
“Kirab itu acara yang biasa buat nyambut 1 Suro. Kalau bulan Suro
sendiri artinya bulan priatin, jadi pas bulan Suro itu orang - orang
biasane lewih ati-ati bahasa Jawanya mas. Makanya itu mas, kalau
bulan Suro jarang sekali orang yang mengadakan hajatan atau acara-
acara” (Ibu St/16/02/2017).
Sehubungan dengan hal tersebut, golongan pedagang yaitu Ibu Pj dan Bapak
Hd salah satu penarik becak (jasa angkutan becak untuk wisatawan) sependapat
terkait dengan makna bulan Suro sebagai berikut:
“suro itu bulan pertama kalender Jawa. Orang Jawa itu mengartikan
bulan Suro bulan yang priatin. Priatinnya itu maksudnya gini mas,
orang-orang Jawa itu apa-apanya lebih ati-ati lagi, jadi kalau biasanya
berani ngadain acara apa hajatan di bulan Suro itu ngga berani mas“
(Bapak Hd/07/02/2017).
Pendapat Bapak Hd sepadan dengan Ibu Pj sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
“nggih wulan Suro niku artine wulan mongso priatin mas, tiyang
tiyang nggih yen Suro mboten wani ndados damel, menopo mawon.
Terus nggih yen Suro nopo-nopone lewih ati-ati malih” (Ibu
Pj/17/02/2017).
Ada informan khususnya remaja yang mempunyai persepsi tersendiri terkait
dengan makna bulan Suro yaitu Mg yang merupakan remaja di Kelurahan Baluwarti.
Menurut Mg bulan Suro tidak berbeda dengan bulan-bulan lain dimana pada dasarnya
setiap manusia diharuskan selalu berbuat baik dan menjadi lebih baik. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Mg:
“Tetapi menurut saya si mas, sebenarnya semua bulan sama dan
seharusnya memang kita sebagai manusia selalu memperbaiki setiap
kesalahan dan selalu berbuat baik dan menjadi lebih baik, jadi ga cuma
pas bulan Suro aja” (Mg/16/02/2017).
Selain remaja di atas, Bapak Lurah Baluwarti mempunyai persepsi sendiri
terkait makna bulan Suro. Menurut Bapak Lurah bulan Suro artinya bulan penuh
keajaiban jika dilihat dari Islam dan merupakan bulan berani yang artinya pada saat
bulan Suro diharapkan berani melakukan hal-hal yang bermanfaat, sesuai dengan
pernyataan Bapak Lurah sebagai berikut:
“Suro itu terkenal bulan yang istimewa dan juga dalam Islam 1
Muharram itu bulan yang penuh keajaiban. Kalau di dalam 1 Suro
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
menurut Jawa artinya wani, wani tapi yo wani sing apik. Jadi saat Suro
diperbanyak hal yang baik dan positif dan biasanya khusus Surakarta
sendiri ada acara Grebeg Suro, itu yang mengadakan keraton” (Bapak
Lh/16/02/2017).
Para tokoh agama pun mempunyai persepsi tersendiri terkait dengan makna
bulan Suro. Para tokoh agama memaknai bulan Suro dari kacamata Islam bahwa
bulan Suro dimaknai sebagai bulan berkabung dan perenungan karena bertepatan
dengan bulan Suro, Nabi Muhammad sedang dalam keadaan bersedih dikarenakan
cucu kembar Nabi dibantai secara sadis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Jk
sebagai berikut:
“ya memang orang Jawa itu mengartikan bulan Suro, bulan yang
keramat karena keramat itu maka diprihatini jadi bisa diartikan juga
sebagai bulan priatin. Lha kalau secara Islam, Suro itu bulan
berkabung karena apa..karena nabi Muhammad bersedih, cucu kembar
Nabi dibantai dengan sadis, makanya pada saat itu untuk merenung”
(Bapak Jk/18/02/2017).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga pendapat
berkaitan dengan makna bulan Suro yaitu pertama adalah bulan Suro dimaknai
sebagai bulan prihatin, kedua adalah bulan Suro merupakan bulan berkabung dan
perenungan, dan ketiga adalah bulan Suro tidak berbeda dengan bulan yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Tradisi Kirab merupakan salah satu acara yang diselenggarakan setiap tahun
dan keraton sangat mengupayakan tradisi ini selalu ada. Melihat masyarakat dan
keraton mempertahankan tradisi Kirab untuk tetap ada, menunjukkan bahwa tradisi
Kirab tersebut penting untuk diselenggarakan berkaitan dengan makna dari tradisi
tersebut. Bulan Suro merupakan bulan istimewa, khususnya bagi masyarakat Jawa.
Salah satu acara dalam rangka menyambut Bulan Suro yang dilakukan oleh Kota
Surakarta khususnya Keraton Surakarta adalah dengan adanya tradisi Kirab ini.
Secara umum pun masyarakat memaknai tradisi Kirab sebagai acara dalam rangka
menyambut bulan Suro.
Hal ini sepadan dengan pernyataan Ibu St salah satu ibu rumah terkait Kirab
sebagai acara dalam rangka menyanbut bulan Suro, sebagai berikut:
“acara Kirab yang ada pusaka sama Kebo Bule itu ya mas,ya apa ya
mas, ya mungkin cuma acara buat nyambut Suro tadi mas, saya
kurang paham mas sama artinya” (Ibu St/03/03/2012).
Bapak Ek seorang penarik becak pun sependapat dengan Ibu St yaitu:
“Kirab itu event yang biasanya buat nyambut bulan Suro. Kalau
maknanya apa ya mas, ya mungkin itu untuk menyambut Suro”
(Bapak Ek/18/02/2017).
. Sepadan juga dengan pendapat Bapak Hd, sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
“Kirab ya itu acara buat nyambut 1 Suro. Terus kalau Kirab Pusaka itu
keraton ngirit Kebo Bule sama pusaka-pusaka keraton…” (Bapak
Hd/19/02/2017).
Para remaja Baluwarti pun sependapat bahwa tradisi Kirab dimaknai sebagai
acara untuk menyambut bulan Suro. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mg:
“Setau saya si memang Kirab acara buat nyambut bulan Suro.
Masyarakat pasti udah tau kalau mau masuk 1 Suro malemnya ada
Kirab” (Mg/16/02/2017).
Makna selanjutnya, tradisi Kirab dimaknai sebagai bentuk penyembahan
kepada Tuhan YME, yaitu untuk berdoa dan sebagai wujud syukur kepada Tuhan
YME. Acara Kirab Pusaka dimaknai sebagai acara untuk memanjatkan doa kepada
Tuhan, hal tersebut ditandai dengan diamnya para petugas pembawa pusaka saat
Kirab Pusaka berlangsung sehingga terlihat khusuk dan kesan religius sangat terasa.
Acara Tirakatan dimaknai sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME. Hal tersebut
ditandai dengan adanya gunungan atau tumpeng besar. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Bapak Lurah Baluwarti:
“Pada saat acara Kirab Pusaka itu mas, biasanya yang bawa pusaka itu
diam semua, seperti lagi meditasi, mungkin ya itu mereka sedang
berdoa kepada Tuhan. Terus pada saat Tirakatan biasanya ada
gunungan, istilahnya itu tumpeng tapi ukurane besar mas, itu juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
punya arti tertentu, untuk lebih jelasnya mas’nya langsung bertanya
saja pada keraton kalau masalah itu” (Bapak Lh/16/02/2017).
Sehubungan dengan hal tersebut para remaja sependapat bahwa Kirab
dimaknai sebagai acara untuk berdoa dan bentuk syukur kepada Tuhan YME, Selain
itu mereka menuturkan bahwa tradisi Kirab yang merupakan acara dalam rangka
menyambut tahun baru Jawa berbeda dengan perayaan menyambut tahun baru
Masehi yang penuh hura-hura dan kesenangan. Tradisi Kirab menurut mereka acara
yang menarik karena dikemas dengan budaya lokal. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Mg:
“Kalau saya sendiri si mas, berpandangan seperti ini, kalau
menyambut tahun baru masehi kan biasanya dengan pesta dan seneng-
seneng, tapi kalau 1 Suro dengan adanya acara kirab itu berasanya
lebih penuh hikmat, acaranya itu juga mendekatkan diri ke Allah,
kesannya lebih religius aja sih mas, Cuma kan kirab ini ada budayanya
juga….ya saya kurang tau makna dari tradisi kirab itu sendiri apa
sebenarnya, tapi menurut saya ngliat acara Kirab sama Tirakatan yang
ada tumpeng besar itu maknanya ini, kita lebih diingatkan dan
didekatkan lagi pada Tuhan. Ngliat kekhusukan pas Kirab itu artinya
lagi berdoa atau nyembah, terus pas acara tumpeng besar itu kayak
syukuran gitu soalnya ada banyak olahan makanan. Ya itu mungkin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
karena Suro bulan istimewa jadi moment yang pas buat berdoa, juga
buat syukuran, menurut saya si seperti itu mas” (Mg/16/02/2017).
Berbeda dengan tokoh agama terkait dengan makna tradisi Kirab, di mana
pemikiran mereka menggunakan pendekatan agama khusunya agama Islam. Tradisi
Kirab mempunyai arti tersendiri jika dilihat dari sudut pandang Islam. Para tokoh
agama menuturkan bahwa tradisi Kirab selain merupakan acara dalam rangka
mendekatkan diri dan berdoa kepada Tuhan YME yang dikemas dengan
menggunakan pendekatan budaya, Kirab juga merupakan salah satu media dakwah
yang digunakan para wali dalam rangka menyebarkan ajaran Islam kepada
masyarakat. Cara tersebut dilakukan oleh para wali karena dengan cara tersebut
ajaran Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat bapak Jk:
“Lha untuk masalah tradisi Kirab itu sendiri, dilihat secara Islam itu
ceritanya sebagai sarana berdakwah para wali sanga. Karena dulu
untuk mengenalkan Islam dan ajarannya para wali sanga
menggunakan budaya setempat agar mudah diterima oleh
masyarakatnya” (Bapak Jk/18/02/2017)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 makna yang
terkandung dalam tradisi Kirab bagi masyarakat Surakarta. Pertama, tradisi Kirab
dimaknai sebagai acara dalam rangka menyambut bulan Suro. Kedua, tradisi Kirab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
dimaknai sebagai bentuk penyembahan kepada Tuhan YME, yaitu untuk berdoa dan
sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME. Ketiga, tradisi Kirab merupakan salah
satu media dakwah yang digunakan para wali dalam rangka menyebarkan ajaran
Islam kepada masyarakat.
3.3 Pemaknaan dalam Perspektif Semiotika C.S. Pierce
Setelah melihat pemaknaan Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta Menurut Perspektif masyarakat setempat, dalam sub bab ini akan
membahas tentang pemaknaan dengan membongkar tanda – tanda semiotika Charles
Sanders Pierce tentang Ikon, Indeks, dan Simbol yang terdapat dalam tradisi Kirab.
3.3.1 Ikon dalam Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Dalam teori semiotika C.S Pierce, Ikon adalah tanda yang secara Inheren
memiliki kesamaandengan arti yang ditunjuk. Misalnya sebuah foto dengan objek
fotonya, atau sebuah peta dengan daerah geografisnya.
Ikon yang terdapat dalam Upacara Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton
Kasunanan Surakarta adalah Hewan Kerbau Bule yang bernama Kyai Slamet. Kerbau
tersebut menjadi sosok sentral dalam upacara kirab ini. Ada beberapa hal yang
menarik dari sosok kerbau ini, selain karena memiliki bentuk dan warna fisik yang
berbeda dengan seekor kerbau biasa, kerbau Kyai Slamet juga dianggap keramat oleh
masyarakat Surakarta dan sekitarnya pada saat upacara kirab. Bagi masyarakat Solo,
dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang
asing. Setiap malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1
Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu
dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.
Berbeda dengan kirab kirab yang dilakukan di berbagai daerah pada saat
tanggal 1 Muharam. hanya di Keraton Kasunanan Surakartalah yang menggunakan
sosok binatang. Hal ini terjadi karena Keraton Kasunanan juga menganggap sosok
Kerbau Kyai Slamet merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap
keramat. Selain itu, pada saat kirab berlangsung orang-orang menyikapi kekeramatan
kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka
berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh
kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di
belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut
mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran
sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka
menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari
berkah Kyai Slamet.
Dari sanalah dapat dilihat peranan sentral dari Kebo Kyai Slamet. Selain
berbeda dari bentuk dan warna fisiknya, keunikan yang lain yaitu kekeramatan hewan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
ini yang sudah diyakini dalam tradisi masyarakat setempat menjadikan Kebo Kyai
Slamet Ikon dalam kirab. Maka dari itu penamaan tradisi kirab satu suro di Keraton
Kasunanan Surakarta sering disebut Kirab Kebo Kyai Slamet karena dalam kirab
yang menjadi Ikonnya adalah sosok Kebo Kyai Slamet.
3.3.2 Indeks dalam Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Dalam teori semiotika C.S Pierce, Indeks adalah tanda yang mengandung
hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Misalnya Asap yang menandakan
adanya api, atau mendung yang menandakan akan turun hujan.
Pada Upacara Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta juga
terdapat indeks – indeks yang menjadi sebuah tanda pada saat proses upacara Kirab
Kebo Kyai Slamet berlangsung. Indeks – Indeks tersebut sebagai berikut.
a. Upacara Perarakan Pusaka Keraton
Upacara Perarakan Pusaka Keraton merupakan sebuah indeks dalam
upacara Kirab Kebo Kyai Slamet. Upacara ini diperingati dengan kegiatan
kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan
Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan
keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di
halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian
utama pada barisan terdepan termasuk juga Kebo Kyai Slamet baru kemudian
diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Hal ini dimaknai
oleh masyarakat keraton sebagai lambang penghormatan terhadap pusaka
pusaka yang selama ini telah menjadi pelindung keraton.
Upacara ini merupakan indikasi dalam Tradisi Kirab Kebo Kyai
Slamet. Karena dengan adanya rangkaian upacara ini, masyarakat dapat
mengetahui bahwa sedang berlangsungnya Upacara Keirab Kebo Kyai
Slamet.
b. Upacara Ngalap Berkah
Upacara ngalap berkah atau mencari berkah merupakan indeks dalam
Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta. Walaupun dalam
upacara kirab kirab di daerah lain juga ada tradisi ngalap berkah, namun yang
menjadikan indeks dalam upacara kirab Kebo Kyai Slamet Keraton
Kasunanan Surakarta adalah cara ngalap berkah yang berbeda dan unik.
Masyarakat sekitar yang mengikuti upacara kirab memiliki cara unik saat
melakukan prosesi ngalap berkah, yaitu dengan berjalan mengikuti kirab,
saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak
cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang
kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh
ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal
memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut
berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari
berkah Kyai Slamet.
Masyarakat mempercayai bahwa kebo bule tersebut memiliki suatu
spirit (kekuatan) dan dianggap keramat sehingga dipercaya dapat membawa
berkah pada mereka. Dari hal tersebut maka banyak masyarakat yang
melakukan tindakan irasional seperti memegang tubuh kebo dan berebut
kotoran kebo yang dipercaya dapat menimbulkan berkah pada mereka. Dari
tindakan tersebut yang dilakukan seseorang akan ditiru oleh orang-orang lain
yang juga mengharapkan berkah dari kebo tersebut.
Upacara ini juga merupakan indikasi dalam Tradisi Kirab Kebo Kyai
Slamet. Karena dengan adanya rangkaian upacara ngalap berkah , masyarakat
dapat mengetahui bahwa sedang berlangsungnya kirab Kebo Kyai Slamet.
3.3.3 Simbol dalam Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta
Yang dimaksud dengan Simbol atau biasa disebut tanda dalam teori C.S
Pierce adalah suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan
bersifat arbriter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam sub
bab ini tidak akan dikaji semua simbol yang ada dalam upacara Kirab Kebo Kyai
Slamet hanya akan disebutkan beberapa dari bagian bagiannya yang telah
digolongkan berdasarkan wujud kebudayaan berdasarkan Koentjaraningrat, (2003 :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
74 ) J.J Honingmann yaitu ideas (ide), activities (sistem sosial) dan artifacts (wujud
fisik).
1. Ideas (ide)
Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya
abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam
pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah
kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai
sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
Dalam tradisi kirab kebo Kyai Slamet budaya yang berbentuk ide ini
dapat dilihat dalam bentuk simbol berupa Doa- doa yang digunakan dalam
upacara Kirab Pusaka bersifat sinkretis, artinya merupakan perpaduan antara
doa-doa yang digunakan dalam agama Hindu dan Islam dengan menggunakan
bahasa Arab, Kawl (jawa kuna) dan Jawa Baru. Ada doa utama dalam Upacara
Kirab Pusaka, yaitu : Doa Caos Dhahar dan Wilujengan untuk mengawali dan
mengakhiri Kirab Pusaka. Doa doa ini merupakan simbol dari ucapan syukur
kepada Sang Pencipta melalui komunikasi pribadi dalam bentuk ucapan mantra
yang mengandung makna tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
2. Activities (sistem sosial)
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan
dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi,
difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan
lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.
Dalam tradisi kirab kebo Kyai Slamet budaya yang berbentuk sistem
sosial dapat dilihat dalam bentuk simbol berupa sesaji. Terdapat berbagai Sesaji
pada saat berlangsungnya upacara Kirab Kebo Kyai Slamet. Dari setiap sesaji
mengandung simbol simbol tersendiri. Sesaji yang digunakan pada waktu
pelaksanaan upacara kirab tersebut terbagi menjadi 3 bagian yaitu sesaji
sebelum pelaksanaan, sesaji pada waktu pelaksanaan dan sesaji pada waktu
wilujengan. Simbol sesaji dan bentuk bentuknya sudah dipaparkan pada bab dua
secara detail. Pada intinya keseluruhan sesaji yang disajikan pada saat upacara
Kirab merupakan simbol ucapan terima kasih dalam bentuk hasil hasil alam
kepada alam semesta dan Sang Pencipta atas rahmat hidup yang diberikan.
3. Artifacts (wujud fisik).
Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya
merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Contohnya : candi, bangunan, baju, kain komputer dll.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Dalam tradisi kirab kebo Kyai Slamet budaya yang berbentuk artifact dapat
dilihat dalam bentuk simbol berupa
a. Kebo Bule
Hewan Kebo Bule yaitu Kebo Kyai Slamet menjadi sebuah simbol
keselamatan yang diyakini oleh masyarakat setempat. Seperti yang sudah
dipaparkan pada pembahasan pembahasan sebelumnya, Kebo Kyai Slamet
dianggap memiliki kekuatan sakral yang dapat menghasilkan berkah.
Penyimbolan ini merupakan bagian dari jenis budaya artifact. Masyarakat
membentuk suatu budaya dengan mempercayai suatu dari bentuk fisik, bentuk
nyata yang dapat dilihat. yaitu hewan kebo bule tersebut
b. Pakaian Kirab
Pakaian yang digunakan terdiri dari empat yaitu jarik, beskap dan
kebaya hitam, samir dan gajah Ngoling. Jarik sebagai simbol keagungan
keluarga kerajaan mataram, Beskap dan kebaya hitam warna hitam
melambangkan keagungan dan keabadian serta kesempurnaan. Warna hitam
juga dimaknai sebagai bentuk simbol keteguhan hati dan cita- cita yang luhur
dalam melaksanakan upacara dari leluhur. Samir warna merah, kuning dan
gajah Ngoling. Samir warna merah dimaksudkan sebagai lambang keberanian
dan keuletan, warna kuning melambangkan kemakmuran dan ketentraman
hidup manusia. Selain itu warna kuning juga mengandung arti penolak balak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dari makhluk halus dan roh jahat. Gajah Ngoling adalah rangkaian bunga melati
yang dibentuk setengah lingkaran dan dipakai ditelingan bagi yang akan
ngampil dan buntar pusaka. Bunga melati melambangkan kesucian.
Penyimbolan ini merupakan bagian dari jenis budaya artifact. Masyarakat
membentuk suatu budaya dengan mempercayai sesuatu dengan melihat bentuk
nyata yaitu berupa pakaian dan motif motifnya.
3.4 Rangkuman
Dilihat dari segi pemaknaannya, tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton
Kasunanan Surakarta terdapat perbedaan dari perspektif masyarakat yang
memaknai tradisi ini dari sudut pandang sejarah dan tradisi warisan. Sedangkan
dari perspektif semiotika C.S. Pierce pemaknaan kirab dapat dilihat melalui
analisis Ikon, Indeks, dan Simbol yang terdapat dalam tradisi tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pelaksanaan upacara tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta yang dilaksanakan di lingkungan istana Kasunanan Surakarta merupakan
tradisi yang sudah lama dilakukan. Pada awalnya tradisi ini bertujuan untuk
memperingati datangnya tahun baru dalam penanggalan Jawa (1 Suro) dengan
berbagai macam kegiatan. Misalnya kungkum di sungai atau sendang. tirakatan tidak
tidur semalam suntuk. Berpuasa dan lain sebagainya.
Kirab yang dilaksanakan di Keraton Kasunanan Surakarta juga memiliki cara
yang berbeda. Keraton melakukan Kirab Kebo Bule yang sering disebut Kebo Kyai
Slamet. Kerbau tersebut bagi masyarakat keraton dan masyarakat setempat diyakini
mempunyai kekuatan sakral yang sudah diturunkan oleh Kyai Slamet. Selain itu tata
cara yang berbeda juga dimiliki Keraton Kasunanan Serakarta dalam melakukan
Kirab. Mulai dari cara perarakan, peralatan yang digunakan, sampai adanya upacara
Ngalap Berkah kotoran Kebo Kyai Slamet. Bagi masyarakat tradisi ngalap berkah
merupakan momen yang ditunggu – tunggu dalam upacara Kirab Kebo Kyai Slamet.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Sebagian masyarakat percaya dengan mengikuti upacara Ngalap Berkah, mereka
akan mendapatkan berkah dan diberi kelimpahan rejeki.
Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet merupakan sebuah tradisi yang dihasilkan
dari kepercayaan masyarakat. Maka dari itu didalamnya pun terdapat maksud dan
tujuan kenapa diadakan Kirab. Masyarakat mempunyai tujuan tersendiri mengikuti
upacara kirab. Selain sebagai tradisi yang sudah turun temurun diwariskan, upacara
kirab ini juga sudah menjadi suatu ikon kebudayaan tersendiri bagi masyarakat
Surakarta. Selain itu, Tradisi Kirab bukan sebuah tradisi biasa akan tetapi merupakan
sebuah tradisi yang mengandung nilai yang bersifat adi luhur, yaitu nilai historis, nilai
edukasi dan nilai religius. Nilai-nilai yang dianggap berharga dan penting tersebut
masih bersifat abstrak. Oleh karena itu nilai-nilai tersebut kemudian diwujudkan
dalam bentuk norma. Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksinya yang
dimaksudkan untuk mengatur masyarakat guna mencapai nilai-nilai yang dianggap
berharga dan penting tersebut. Seperti nilai yang terkandung pada tradisi Kirab antara
lain yaitu nilai religious, nilai historis, dan nilai edukasi.
Pada masa sekarang tradisi Kirab oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
dijadikan paket wisata. Upacara tradisi Kirab merupakan salah satu bentuk upacara
tradisi kolektif yang masih dapat bertahan karena dalam pelaksanaannya masyarakat
selalu menunggu datangnya hari tersebut selain sebagai bentuk refleksi baik secara
individu maupun kelompok berfungsi juga sebagai ajang mawas diri untuk menjadi
manusia yang lebih baik. meneruskan tradisi leluhur dan lain sebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Selain mengandung nilai nilai, tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet juga
mengandung berbagai bentuk makna. Tradisi Kirab dimaknai sebagai acara dalam
rangka menyambut bulan Suro sebagai bentuk penyembahan kepada Tuhan YME,
yaitu untuk berdoa dan sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME. Selain itu tradisi
Kirab merupakan salah satu media dakwah yang digunakan para wali dalam rangka
menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Demikianlah pemaknaan kirab dari
pandangan masyarakat setempat.
Selain dari masyarakat setempat, pemaknaan Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet
juga dapat dilihat dari sudut pandang keilmuan. Melalui teori Semiotika C.S Pierce,
dengan membongkar tanda – tanda semiotika C.S Pierce tentang Ikon, Indeks, dan
Simbol yang terdapat dalam tradisi Kirab. Melalui teori ini dapat dilihat tiga hal
tersebut. Ikon yang ada dalam Upacara Kirab Kebo Kyai Slamet adalah Seekor
Kerbau Bule atau Kerbau Albino yang sering disebut Kebo Kyai Slamet. Binatang ini
menjadi Ikon karena memiliki peranan sentral dalam upacara Kirab sehingga menjadi
sebuah Ikon dan menjadi sebuah nama dalam pelaksanaan Upacara Kirab di Keraton
Kasunanan Surakarta. Kirab Kebo Kyai Slamet juga mempunyai sebuah indeks
sebagai tanda yang mengindikasikan bahwa tradisi ini hanya dapat ditemukan pada
Upacara Kirab Kebo Kyai Slamet yaitu pada Upacara Perarakan Pusaka Keraton, dan
Juga Tradisi Ngalap Berkah Kotoran Kebo Kyai Slamet. Kedua hal ini menjadi
sebuah indeks yang mengandung makna tersendiri dari tradisi Kirab Kebo Kyai
Slamet. Dan yang terakhir adalah simbol simbol dalam Kirab Kebo Kyai Slamet.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Terdapat banyak sekali simbol – simbol antara lain yang terdapat pada Hewan
Kerbau Bule sebagai simbol keselamatan, Pakaian Kirab sebagai simbol warga
kerajaan dan juga kesucian, Sesaji sebagai simbol ucapan terimakasih kepada Sang
Pencipta dan alam semesta dalam bentuk hasil alam, dan Doa – doa dalam bentuk
mantra yang bermakna sebagai simbol komunikasi ucapan syukur kepada Sang
Pencipta.
4.2 Saran
Keraton Kasusanan Surakarta memahami benar bahwa tradisi Kirab Kebo
Kyai Slamet mengandung makna dan nilai yang bersifat adi luhur. Makna dan nilai
tersebut dianggap sesuatu yang berharga dan penting dalam hidup serta dijadikan
pedoman untuk bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, semoga keraton selalu
berusaha mempertahankan tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet ditengah-tengah
masyarakat. Selain itu semoga pihak keraton dapat memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang pemaknaan kirab. Supaya makna dan nilai historis kirab yang
kurang tersampaikan secara utuh kepada masyarakat tidak menimbulkan interpretasi
yang berbeda dan membentuk persepsi masyarakat yang berlebihan. Dampaknya
adalah masyarakat dalam memaknai tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet hanya
berdasarkan persepsi mereka masing-masing tanpa mengerti dan memahami makna
sebenarnya dari tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan Surakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
DAFTAR PUSTAKA
Aart van Beek (1990). Images of Asia: "Life in the Javanese Kraton". Singapore:
Oxford University Press. ISBN 979-497-123-5.
Bratasiswara, Harmanto. (2000). Bauwarna Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan
Suryo Sumirat
Christomy, T. dan Untung Yuono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta : Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia
Hadisiswaya,A.M. (2009). Filosofi Wahyu Keraton. Klaten : CV.Sahabat.
Littlejohn, Stephen W. (1998). Theories of Human Communication. United States of
America: Wadsworth Publishing Company
Partana, Paina dan, Sugiyanto. (2011). Adiluhung: Kajian Budaya Jawa. Surakarta:
Institut Javanologi
Periplus Edition Singapura (1997). Periplus Adventure Guide "Java Indonesia".
Periplus Singapura
Pettinasarany, Sally. 1996. Dasar – Dasar Semiotika. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Purnamasari, Riza Ayu. (2014). Fenomena Kebo Bule di Keraton Kasunanan
Surakarta. Skripsi S1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta
Ramayulis. (2002). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia
Rochwulaningsih, Yety. dkk. 2007. Penulisan dan Penulisan Upacara Tradisional Di
Surakarta. Subdin Kebudayaan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Tengah
Rudianto, A. (2011, 27 November). Kirab 1 Suro. Solopos. Diperoleh 19
Januari2012, dari http://www.solopos.com/2011/feature/kirab-1-sura-126073
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Rusmiyatun, Siti. 2001. Upacara Kirab Kyai Slamet: Kajian Historis dan Fungsi
Upacara Dalam Kehidupan Masyarakat Keraton Surakarta Hadiningrat.
Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Saussure, de Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada
University Perss
Soeratman, D. (2000). Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta:
Yayasan untuk Indonesia
Sri Ahimsa Putra, Heddy. 1999. “Strukturalisme Levi Strauss untuk Arkeologi
Semiotik”. dalam Humaniora no 12. Jogjakarta: Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada. Studi Antropologi. Program Pasca SarjanaUniversitas Gadjah
Mada
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana University Perss
Sujiman, Panuti dan Art Van Zoes. 1992. Serba Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia
Pertaka Utama
Susanto, Lies Heri, dkk. (2010). Pemangku Budaya Yang Berwawasan Nusantara.
Surakarta: Aditya Communication
Taum, Yoseph Yapi. (2011). Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Penerbit Lamalera
Tim Penulis Solopos. (2004). Di Balik Suksesi Keraton Kasunanan
Surakarta.Surakarta: PT. Aksara Solopos
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
DAFTAR INFORMAN
1. Bapak Lurah Baluwarti. (Bapak Lh/16/02/2017)
2. Remaja Baluwarti atas nama Mega. (Mg/16/02/2017)
3. Ibu rumah tangga Kelurahan Baluwarti atas nama Ibu Siti. (Ibu
St/16/02/2017)
4. Pedagang atas nama Ibu Puji. (Ibu Pj/17/02/2017)
5. Penarik becak atas nama Bapak Hadi. (Bapak Hd/07/02/2017)
6. Tokoh masyarakat atas nama Bapak Joko. (Bapak Jk/18/02/2017)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
BIOGRAFI PENULIS
Nicolaus Ade Prasetyo atau lebih akrab dipanggil
dengan panggilan Nico, lahir di Solo, Jawa Tengah, 11
Juni 1992.
Lulus SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta
tahun 2011. Setelah itu sempat mengenyam kuliah di
Institut Seni Indonesia Surakarta jurusan Desain. Pada
tahun 2013 melanjutkan pendidikannya di Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Sastra Indonesia.
Pada pengerjaan tugas akhir untuk memenuhi syarat gelar sarjana, penulis
memilih mengambil topik skripsi budaya. Yang dibahas dalam tugas akhirnya
adalah tentang fenomena tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet di Keraton
Kasunanan Surakarta. Dengan judul tugas akhir “TRADISI KIRAB KEBO
KYAI SLAMET KERATON KASUNANAN SURAKARTA : SEJARAH DAN
PEMAKNAANNYA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DAN
SEMIOTIKA C.S. PIERCE.”
Selamat membaca, apabila ada saran dan masukan berkaitan dengan hasil
tugas akhir ini, bisa dikirimkan kepada penulis melalui emai
nicolausadeprasetyo@gmail.com. Terima kasih, Berkah Dalem.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI