Post on 02-Jan-2016
Makalah agama islam
AAN ARDIANSYAH20 MEI 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur harusnya selalu kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena
atas kasih sayang, rahmat dan petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Tokoh Flsafat Etika Islam.
Makalah ini dibuat sebagai media penambah wawasan bagi pembacanya dan
sebagai bentuk kepedulian terhadap perkembangan Agama Islam yang belum
mancapai titik perkembagan maksimal, di mana para pemeluk Agama Islam masih
belum sepenuhnya mengetahui bahwa ajaran Agama Islam itu sangat lengkap dan
mencakup berbagai aspek kehidupan.
Saya menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak, sangat kami harapkan
dalam menyempurnakan makalah ini. Sangat diharapkan makalah ini dapat berguna
dan dimanfaatkan sebagaimana degan tujuannya sehingga dapat mendatangkan
manfaat bagi pembacanya.
Makassar, 20 Mei 2013
Penyusun,
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
TOKOH FILSAFAT ETIKA ISLAM................................................................. 4
A. Mulla Shadra...................................................................................... 4
1. Biografi Mulla Sadra............................................................... 4
2. Karya-Karya Mulla Sadra....................................................... 4
3. Filsafat Mulla Sadra................................................................ 4
B. Al-Razi.............................................................................................. 7
1. Biografi Al-Razi...................................................................... 7
2. Filsafat Ar-Razi....................................................................... 7
3. Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang Kenabian............... 8
C. Al-Farabi............................................................................................ 10
1. Biografi Al-Farabi................................................................... 10
2. Filsafat al-Farabi .................................................................... 10
D. Al-Ghazali.......................................................................................... 13
1. Biografi Al-Ghazali................................................................. 13
2. Karya-Karya Al-Ghazali......................................................... 13
3. Filsafat al-Ghazali................................................................... 13
a. Epistimologi................................................................... 13
b. Metafisika...................................................................... 15
c. Moral............................................................................. 17
2
d. Jiwa................................................................................ 18
E. Ibnu Maskawaih................................................................................ 20
1. Biografi Ibnu Maskawaih........................................................ 20
2. Karya-Karya Ibnu Maskawaih................................................ 20
3. Filsafat Ibnu Maskawaih......................................................... 21
a. Hikmah dan Falsafah..................................................... 21
b. Metafisika...................................................................... 21
c. Teori evolusi................................................................. 22
d. Dasar-dasar Etika........................................................... 23
F. Ibnu Rusyd........................................................................................ 26
1. Biografi Ibnu Rusyd................................................................ 26
2. Filsafat Ibnu Rusyd................................................................. 26
G. Ibnu Sina............................................................................................ 27
1. Biografi Ibnu Sina................................................................... 27
2. Filsafat Ibnu Sina.................................................................... 28
PENUTUP........................................................................................................... 29
SOAL DAN JAWABAN.................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 35
3
TOKOH FILSAFAT ETIKA ISLAM
A. Mulla Shadra
1. Biografi Mulla Sadra
Shadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya
Qawami al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla
Shadra, dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Pendidikan
dasarnya dijalani dikotanya dalam bidang al-Qur'an, Hadis,
Bahasa Arab dan Bahasa Persia kemudian dilanjutkan di
Isfahan sebuah kota pusat studi yang penting pada masa itu.
Di sana, Mulla Shadra berguru kepada Baha' al-Din al-Amili
(w. 1622 M), Mir Damad (w. 1631) dan Mir Abu Al-Qasim
Findereski (w. 1640).
Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki
sebanyak tujuh kali, dan wafat di Basrah sekembalinya dari menunaikan ibadah haji
yang ketujuh pada 1641.
2. Karya-Karya Mulla Sadra
Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak diantaranya; Al-
Suhrawadi, Hikmah Al-Isyraq, Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al-Hikmah, dan Ibn sina,
Al-Syifa bersanding dengan risalah-risalahnya tentang organization, Resurraction
(Awal Penciptaan dan Hari Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa
makalah singkatnya dalam tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang
berpengaruh adalah Al-Masya'ir (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah
(Menghancurkan Arca-Arca Paganisme), dan "Hikmah Transedental", yang lebih
dikenal sebagai "Empat Pengembaraan" (Al-Asfar Al-Arba'ah).
3. Filsafat Mulla Sadra
Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap
berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang
dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi.
Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang
dibawa oleh Adam. Dari Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian
para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-
orang Yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam
perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.
4
Dalm konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani
kuno. Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato.
Dan kategori kedua dimulai oleh Pythagoras yang menerima filsafat dari sulaiman
dan para rahib Mesir-seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat
Arab. Di antara "tiang-tiang filsafat", Mulla Shadra menyebut nama Empedocles,
Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles, sedangkan mengenai hubungan
Plotinus-yang dijulukinya dengan guru Yunani dan acp disebutnya dengan rasa
hormat dengan Plato dan Aristoteles, Mulla Shadra, seperti kebanyakan filosof
Muslim lainnya, samasekali berskap diam. Semua "tiang filsafat" Yunani yang
disebutkan di atas, menurut Mulla Shadra, menerima "cahaya Hikmah" dari
"mercusuar kenabian".
Inilah sebabnya, para filosof itu secara keseluruhan bersesuaian dengan para
nabi dalam persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan
hari kebangkitan. Terlepas dari pandangannya tentang sejarah filsafat ini, sosok
metodologi
Mulla Shadra yang mesti diperhatikan adalah penerapan kategori-kategori filsafat
dan tasawuf pada ajaran-ajaran Syi'ah. Dia berpendapat bahwa tahapan kenabian
dalam sejarah dunia berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw., "pamungkas
para nabi". Tahapan selanjutnya ialah imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri dari
dua belas imam Syi'ah. Imamah akan terus berlanjut hingga kembalinya imam kedua
belas yang saat ini masih gaib menurut doktrin Syi'ah.
Empat perjalanan jiwa, seperti yang dikemukakan dalam Al-Asfar Al-
Arba'ah,
adalah sebagai berikut:
- Perjalanan dari makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
- Perjalanan menuju Tuha melalui (bimbingan )Tuhan.
- Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
- Perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan
sebuah perpaduan cahaya dan kegelapan. Karena itulah ada keterkaitan antara alam
akal, atau "alam perintah", demikian para sufi menyebutnya, dan alam materiil, atau
"alam ciptaan". Yang terakhir dimulai dengan garis lintas universal-yang
memisahkan "alam akal" atau alam jiwa dengan alam materiil atau alam entitas-
entitas indriawi.
5
Diagram berikut akan melukiskan hierarki atau "mata rantai wujud" dalam
konsep
Mulla Shadra yang pada dasarnya mirip konsep Neoplatinos:
Cahaya Tertinggi
(Wajib Al Wujud)
Alam Perintah atau Entitas-Entitas Tunak(Alam Kawruhan)
Bentuk-Bentuk Kawruhan
(Jiwa Manusia)
Falak Universal
(Falak Luar)
Alam Ciptaan
(Alam Materiil)
Dari diagram ini dapat kita lihat bagaimana Mulla Shadra seperti halnya para
filosof Isyraqi lain melanjutkan tradisi Ibn Sina dan neo Platonisme dengan
variasivariasi yang lebih bersifat verbal atau semantic.
Pandangan yang sempurna yang diperkaya oleh Mulla Shadra dengan kutipan
ekstensif dari Al-Qur'an, Hadits, dan ucapan-ucapan Imam Syi'ah, memiliki tujuan
melindungi keyakinan tentang kebangkitan kembali. Melalui penyulingan subtil ini,
status raga yang tadinya kabur itu kini diasumsikan memiliki bentuk etereal. Dan
dalam kondisi seperti ini, raga dinyatakan identik dengan jiwa. Etereal berasal dari
bahasa Inggris ethereal, yaitu unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas luar
angkasa.
6
B. Al-Razi
1. Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin
Zakaria bin Yahya Al-Razi. Dia lahir di Ray, dekat Teheran,
Iran, pada 865 M/251 H. Al-Razi hidup di bawah
pemerintahan Dinasti Saman. Di kota Ray, Al-Razi belajar
ilmu kedokteran pada Ali bin Rabban al-Thabari, belajar
ilmu filsafat pada al-Balkhi. Di samping itu, Al-Razi juga
belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia. Di masa
mudanya, Al-Razi hidup sebagai tukang intan, penukar mata
uang, dan sebagai pemusik/pemetik kecapi. Al-Razi menulis hampir semua karyanya
kecuali matematika
Al-Razi dikenal sebagai seorang pemberani dan pengeritik dogma-dogma
Islam yang fundamental, seperti soal Al-Qur`an, kenabian, dan takdir. Buku Naqd al-
Adyan aw fi al-Nubuwwah yang diduga kuat sebagai karyanya, menjadi sasaran kritik
dari lawan-lawannya, seperti: 1) Abu Hatim Al-Razi (seorang teolog, ahli hadis, dan
da’i beraliran Syi’ah Ismailiyah); 2) Abu Qasim al-Balkhi (seorang Mu’tazilah yang
berbeda soal waktu dan zaman); dan 3) Ibnu Tammar yang menolak tulisan Al-Razi
berjudul Al-Thibb Al-Ruhani.
Al-Razi meninggal pada 5 Sya’ban 313 H bertepatan dengan 27 Oktober 925
M karena menderita penyakit semacam katarak. Beberapa dokter menawarkannya
untuk mengobati kebutaan matanya, tetapi Al-Razi menolaknya dengan berkata,
“Sudah banyak dunia yang aku lihat, dan aku tidak ingin melihatnya kembali”.
2. Filsafat Ar-Razi
Al-Razi dikenal dengan ajaran “Lima Kekal”, yaitu:
- al-Bari Ta’ala (Allah): hidup dan aktif (dengan sifat independent).
- al-Nafs al-Kulliyyah (jiwa universal): hidup dan aktif dan menjadi al-mabda`
alqadim al-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifnya bersifat dependent. Al-
Nafs al-Kulliyyah tidak berbentuk. Namun karena punya naluri untuk bersatu dengan
al-Hayula al-Ula, maka al-Nafs al-Kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form)
sehingga bisa menerima sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam
semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah
menciptakan ruh untuk menempati benda-benda alam dan badan manusia di mana
jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Oleh karena semakin lama jiwa bisa
7
terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa
yang terlena dalam fisik tersebut.
- al-Hayula al-Ula (materi pertama): tidak hidup dan pasif. Al-Hayula al-Ula adalah
substansi (jauhar) yang kekal yang terdiri dari dzarrah, dzarat (atom-atom). Materi
yang sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi
air, yang renggang menjadi substansi udara, dan yang lebih renggang menjadi api.
Al-Hayula al-Ula: kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya,
semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam
sekejab yg sangat sederhana dan mudah.
- al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang
kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ‘tempat’ yang sesuai. Ada dua
macam ruang: ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas
sesuai keterbatasan maujud yang menempatinya. Sementara ruang universal tidak
terbatas dan tidak terikat pada maujud, karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan
tanpa maujud.
- al-Zaman al-Muthlaq (zaman absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Zaman atau
masa ada dua: relatif/terbatas yang bisaa disebut al-waqt dan zaman universal yang
bisa disebut al-dahr. Yang terakhir ini (al-dahr) tidak terikat pada gerakan alam
semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.
3. Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang Kenabian
Sebagian dari penjelasan al-Razi yang menunjukkan pengingkarannya pada
kenabian dan cenderung merendahkan posisi para nabi adalah dapat dilihat dalam
dua buah karyanya, Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal al-Mutanabbi`in? (Kehebatan
Para Nabi atau Tipu Muslihat Orang-Orang yang Mengaku Nabi?) dan Naqd al-
Adyan aw fi al-Nubuwwah? (Kritik atas Agama-Ag/ama atau Kenabian?). Karya
yang pertama mendapat sambutan cukup sukses di kalangan kelompok yang
menyebarkan ajaran zindiq dan ateis, khususnya kaum Qaramithah (salah satu dari
sekte-keagamaan Syi’ah–pen).
Abu Hatim menyebut bahwa al-Razi berkata, “Yang lebih utama bagi hikmah
dan kasih sayang Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada seluruh
hamba-Nya untuk mengetahui, baik cepat atau lambat, beberapa manfaat dan
kemudharatan, dan tidak boleh melebihkan sebagian mereka dari yang lain serta
tidak boleh terdapat pertentangan dan pertikaian di antara mereka sehingga
menyebabkan kebinasaan. Hal ini lebih hati-hati dari pada Dia menjadikan sebagian
dari mereka beberapa pemimpin, lalu pengikut-pengikutnya membenarkan sang
8
imam (pemimpin) dan mengingkari pemimpin lainnya sehingga terjadi peperangan di
antara mereka dan menimbulkan bencana. Keba-nyakan manusia binasa karena hal
ini”. Disebutkan pula bahwa Al-Razi mengatakan, “Para nabi tidak berhak mengaku
diri mereka sebagai manusia yang istimewa, baik secara akal maupun spiritual,
karena seluruh manusia adalah sama dan bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah
Swt. adalah tidak boleh memberi keistimewaan seseorang atas lainnya”.
9
C. Al-Farabi
1. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di
desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari
wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di
wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus,
ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950
M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser
atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang
pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
2. Filsafat al-Farabi
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan
nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan
danalam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena
pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam)
dari pancaran Wājib al-Wujud (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini
melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga
diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-
Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang
disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal);
al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang
menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
- Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini
berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal
I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
- Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang
substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
- Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang
substansinya Akal III → Saturnus.
- Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang
substansinya Akal IV → Jupiter.
- Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang
substansinya Akal V → Mars.
10
- Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang
substansinya Akal VI → Matahari.
- Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang
substansinya Akal VII → Venus.
- Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang
substansinya Akal VIII → Mercury.
- Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang
substansinya Akal IX → Bulan.
- Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang
substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar
terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql alfa’āl
(akal aktif) yang bisaanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib alsuwar
(pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya
tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal
Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi). 2) esensinya
berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang
tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal
dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat
accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena
substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir)
yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk ,
berkadar, bergerak, dan berdimensi. Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3
daya:
- Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghadiyah, nutrition),
memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah,
reproduction).
- Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hassah, sensation) dan
imajinasi (mutakhayyilah, imagination).
- Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql
‘amali) dan akal teoretis (‘aql nazhari).
Menurut Al-Farabi, Nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi
dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai
11
pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu
berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat
limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di
dalamnya ada daya imaginasi luar bisaa, berupa al-hads (semacam insight khusus).
Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan
demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan
bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.
12
D. Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin
Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di
Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M).
Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana
sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-
Ghazzali, karena dinisbatkan kepada mata pencaharian
ayahnya, tetapi ayah mempunyai semangat keagamaan yang
tinggi seperti terlihat ada simpatiknya pada ulama, dan mengharapkan anaknya
menjadi ulama yang selalu memberi nasehat pada uamaqt. Sebelum ayahnya wafat,
ayahnya menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad yang pada itu
masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.
2. Karya-Karya al-Ghazali
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
- Maqashid-Al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang
pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
- Tahafut Al-Filasafah (Kekacuaan Pikiran Para Filsuf), dikarang sewaktu berada
di Bagdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
- Mi’yar Al-‘Ilm (Kriteria-Kriteria / Standar Keilmuan).
- Ihya ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Agama-Agama), merupakan karya
terbesar Al-Ghazali.
- Al-Munqidz Min Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan), merupakan sejarah
alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan mereflesikan sikapnya terhadap beberapa
macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
- Al-Ma’arif Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
- Misyakat Al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan tentang
akhlak dan tasawuf.
- Minhaj Al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
- Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).Al-Mustadzhir Qisthasul
Mustaqim (Nerca Yang Lurus).
3. Filsafat al-Ghazali
a. Epistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-
Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya
13
betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga.
“sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh
dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang
betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian
keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Seperti
inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal
yang dapat yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya
bahwa panca indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya
tidak bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit,
kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih
besar dari bumi”.
Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan
meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya.
Sewaktu bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang
kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat
benar itu sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang
menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-
pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Artinya, akal
pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan itu. Seperti
yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini yang tidak
mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen dalam
menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia
menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan
adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan
hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber
pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali
mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan
memberikan nur- yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke
dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan
a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-
dzawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap
pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi
berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.
14
Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi
pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah
(mendekatkan diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan
filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika,
dan metafisika.
Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat
pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah
menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika),
sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis
(dahriyyun), naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok pertama
materialis, terdiri dari para filsuf awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan
Demokritus (460-360 SM), mereka pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa
dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka
tidak beragama.
Kelompok kedua naturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar
akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala
sesuatunya, mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal
kerohanian dan sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa
dalam istilah naturalis sebagai sautu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematiaan
jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
Kelompok ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka
menyerang menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali berpendapat kaum
theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah. Sebab itu dia menilai
mereka maupun para filsuf muslim yang mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut
pendaatnya diantara pengukut mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik
filsafat Aristoteles ke dalam dunia islam.
b. Metafisika
Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras
terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam
lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam
dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru
mereka.
15
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan
dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi
pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh
persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika).
Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’ , sedangkan dalam
tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka
dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum
muslimn.
Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
- Alam qadim (tidak bermula).
- Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak.
- Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-
Nya,ungkapan ini bersifat metaforis.
- Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam.
- Penolakan akan sifat-sifat tuhan.
- Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-
wujud.
- Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
- wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
- Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
- Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
- Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan
secara universal.
- Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
- Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara
umum.
- Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
- Tujuan yang menggerakkan langit.
- Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-
haditsah).
- Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
- Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak
menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
16
- Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya
membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya.
- Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
- Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
- Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang
terjadi di dalam.
- Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali,
setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya
hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak
menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap mengakui
pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Kedua:
dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya
telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan
ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular. Ketiga: tentang pembagian
filsafat yunani dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun),
dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya
mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada
bagian epistimologi burhani.
Al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: (1) kaum
awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum pilihan (elect) yang akalnya
tajam dan berpikir secara mendalam, dan (3) kaum penengkar. Sebagai filosof-filosof
dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua
golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh
karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat
diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum
khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan
berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang
tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.
c. Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
-Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami
ciri kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang
mempelajarinya.
17
- Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
- Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha
menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus
terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga
akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam
kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak
diamalkan tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali
bercorak teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada
akibatnya. Suatu derat baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan
dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Masalah kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan
manusia adalah kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri
khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan
tanpa kebodohan,dan kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna
kepuasan yang sempurna. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang sesuai
Al-qur’an dan Hadits adalah surga.
d. Jiwa
Manusia diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk
yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk
spiritual rabbani yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah
yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada
dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya.
Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali,
berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa
mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran
perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam
kehidupan manusia.
Mengenai kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan
sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya.
Disini Al-Ghazali berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin
(kemungkinan hancurnya jiwa apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai
filsuf (jiwa mempunyai sifat substanai kekla). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali
terhadap filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya
18
jiwa, yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk
memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan
al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap
jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup
kekal. Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan
jasad merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan
jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan
menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan
itu dilakukan secara sadar.
19
E. Ibnu Maskawaih
1. Biografi Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang
filosuf muslim yang memusatkan
perhatiannya pada etika islam. Ia
seorang sejarawan tabib, ilmuan
dan sastrawan. Nama lengkapnya
adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad
bin Ya’qub bin Maskawaih.
Namanya yang lebih masyhur
adalah Maskawaih atau Ibnu
Maskawaih.dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih
tergolong menganut aliran syi’ah. Maskawaih dilahirkan di Ray (Iran), pada 320H
(932M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421H (16 Pebruari 1030M).
2. Karya-Karya Ibnu Maskawaih
Maskawaih dikenal terutama dalam keahliannya sebagai sejarawan dan
filosuf, Maskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Maskawaih-lah
yang pertama mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis
(sejarahwan) diantaranya adalah sebagai berikut:
- Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
- Kitab Al-Fauz Al-Akbar, tentang etika.
- Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika.
- Kitab Tadzhib Al-Akhlaq Wa Rath-hir Al-‘Araq, tentang etika.
- Kitab Tartib As-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan
Bani Abbas dan Bani Buwaih
- Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah
sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369H.
- Kitab Al-Jami’, tentang ketabiban.
- Kitab Al-Adawiyah, tentang obat-obatan.
- Kitab Al-Asyribah, tentang minuman.
Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai ahli
filsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Ide dan pandangannya jelas
mendahului zaman menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan sarjana Islam
yang tiada tolak bandingan pada zamannya.
20
3. Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Hikmah dan Falsafah
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan , wisdom)
dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas
(aqilah) yang mampu membeda-bedakan (Mumayyis). Hikmah adalah bahwa engkau
mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) atau engkau mengetahui perkara-perkara
ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari
pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran sepiritual (ma’qulat) dapat
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Maskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian : bagian teori dan bagian
praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya
untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu
pikirannya benar. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang
mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Jika manusia
memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka ia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
b. Metafisika
Metafisika Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan
pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwah). Sejarah lengkap metafisika Maskawaih
dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz Al Ashghar.
- Bukti-bukti adanya Tuhan pencipta
Membuktikan adanya Tuhan Pencipta, dari satu segi dapat dikatakan mudah,
karena kebenaran ada-Nya telah terbukti pada dirinya sendiri dengan amat jelas.
Adapun segi kesukarannya ialah karena keterbatasan akal manusia. Maskawaih
berusaha membuktikan bahwa Tuhan Pencipta itu Esa, azali (tanpa awal) dan
bukannya materi (jism). Tuhan dapat diketahui dengan cara menidakkan (negative),
bukan dengan cara positif. Pembuktian secara positif berarti pembuktian secara
langsung, sedang pembuktian secara negative adalah secara tidak langsung, Tuhan
adalah bergerak, Tuhan adalah tidak Esa, Tuhan adalah diciptakan dan sebagainya.
Maskawaih menggunakan berbagai macam argument untuk menetapkan
adanya Tuhan. Yang penting ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang
terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat
gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawa masing-masing (sifat gerak itu
berbeda-beda), maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang
menjadi sumber gerak, Penggerak pertama yang tidak bergerak yaitu Tuhan.
21
- Jiwa (an-Nafs)
Maskawaih mengatakan bahwa jiwa berasal dari limpahan Akal Aktif. Jiwa
bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah
satu pancaindera. Kesatuan aqliah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa
itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan
demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal,
subyek yang berfikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiganya merupakan
sesuatu yang satu.
Menurut Maskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang
bertingkattingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai
berikut:
- An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
- An-Nafs al-sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
- An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas.
Dengan jiwa yang cerdas utuh, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat dan
dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang
paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya
selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu.
- Kenabian (An-Nubuwah)
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang
sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian:
- Maskawaih membicarakan masalah-masalah tingkatan wujud dalam alam dan
hubungannya satu sama lain.
- Dibicarakannya pula manusia yang merupakan mikrokosmos dibandingkan dengan
alam semesta yang merupakan mikrokosmos.
- Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya manusia yang mengalami
perkembangan pancaindera meningkat menjadi kekuatan bersama.
- Dibicarakan pula perihal wahyu dan cara diperolehnya.
- Tentang perbedaan antara nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus akhirnya
tentang perbedaan antara nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang mengaku
sebagai nabi (mutanabbi).
c. Teori evolusi
Maskawaih berpendapat bahwa segala yang ada di alam mengalami proses
evolusi, dilaluinya rentetan proses kejadian yang nyata rantainya tidak terputus.
22
Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana.
Kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinggi.
Maskawaih mengemukakan betapa tinggi kedudukan para Nabi dibanding
dengan manusia lainnya, dengan jalan terlebih dulu mengungkapkan proses evolusi.
Maskawaih menetapkan adanya tipe manusia yang memang sanggup sampai ke
tingkat kemanusiaan yang paling tinggi, yang memperoleh kebenaran-kebenaran
yang hakiki tidak dengan jalan berpikir, tetapi dengan jalan wahyu, yaitu para nabi.
Nabi tingkatnya lebih tinggi dari filosof.
d. Dasar-dasar Etika
Sebagai bapak etika Islam, Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (Al
Mu’allim Al-Tsalits), setelah Al-Farabi, yang digelari Guru Kedua (Al-Mu’allim Al-
Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (Al-Mu.allim Al-Awwal)
adalah Aristoteles. Teorinya tentang etika secara runic ditulis dalam kitab Tahzib Al-
Akhlaq wa That-hir Al-‘arq (pendidikan budi dan pembersihan watak). Mengenai
teori etika Maskawaih, dalam kesempatan ini hanya akan disajikan dasar-dasarnya
saja, yaitu:
a. Unsur-Unsur Etika Maskawaih
Teori Etika Maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia
ajaran syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Usaha Maskawaih adalah
mempertemukan ajaran syariat Islam dengan teori-teori etika dalam filsafat, setelah
berusaha mempertemukan antara berbagai macam teori etika dalam filsafat.
b. Pengertian Akhlak
Kata akhlaq adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Maskawaih
memberikan pengertian khuluq sebagai peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.
Dengan kata lain khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan . Perikeadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah
sejak kecil, dan dapat pula merupakan hasil latihan membisaakan diri. Hal ini dapat
dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa
pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan
yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya. Dari sini pula
Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam
hubungannya dengan pembinaan akhlak.
c. Keutamaan (fadhilah)
23
Maskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah
atau syahwiyah , (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar kelezatan-
kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpuh pada kemarahan dan
keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat segala sesuatu.
Keselarasan antara tiga keutamaan dasar itu menimbulkan keutamaan lain,
yang merupakan kesempurnaan ketiga keutamaan dasar tersebut. Dengan demikian
keutamaan-keutamaan jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom), ’iffah
(kesucian), syaja’ah (keberanian) dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan adalah
keutamaan jiwa cerdas, kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat; keutamaan lahir
jika manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal yang
sehat, hingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya. Keberanian adalah keutamaan
jiwa ghadhabiyah (shabu’iyah”). Keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari
kumpulan tiga macam keutamaan tersebut diatas:
- Kebahagiaan (sa’adah)
- Cinta ( mahabbah)
- Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak
d. Perihal Kematian
Adanya kematian itu merupakan bukti keadilan tuhan terhadap hamba-Nya,
tidak ada alasan untuk takut mati. Rasa takut semacam itu akan mengganggu
ketentraman dan kebahagiaan hidup. Takut mati yang merupakan penyakit jiwa itu
dapat terjadi karena adanya sebab-sebab sebagai berikut:
- Tidak mengetahui hakikat kematian.
- Tidak mengetahui kesudahan jiwa.
- Tidak mengetahui kekekalan jiwa.
- Mempunyai sangkaan bahwa kematian itu merupakan sakit yang amat berat,
melebihi pedihnya sakit yang mendahuluinya.
- Adanya kebingungan, karena tidak tahu apa yang akan dialaminya setelah mati.
- Karena adanya rasa berat untuk bercerai dengan yang disenanginya, yaitu
keluarga, anak, harta benda dan kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya.
- Agar orang jangan sampai takut mati harus diatasi dengan rasa sebagai berikut:
- Orang harus mengetahui bahwa mati itu hakikatnya tidak lebih daripada jiwa
yang menghentikan penggunaan alatnya.
- Orang harus mengetahui bahwa sebenarnya mati itu ada dua macam: mati iradi
dan mati alami. Mati iradi adalah mematikan keinginan-keinginan (syahwat) dan
24
meninggalkan usaha memenuhi tuntutan-tuntutannya sedang mati alami adalah
terpisahnya jiwa dari badan.
- Orang harus mengetahui benar bahwa mati hanyalah peristiwa badaniah yang
menjadi jalan pelepasan jiwa dan penghormatan bagi jiwa.
- Orang harus menyadari bahwa rasa sakit itu hanya berada pada orang hidup dan
orang hidup itulah yang menerima bekas jiwa yang ada pada badannya.
- Orang yang merasa takut mati karena takut akan tertimpa hukuman setelah mati
harus menyadari bahwa yang ditakuti itu sebenarnya bukan matinya tetapi
siksanya yang mungkin diderita setelah mati.
- Pengalaman manusia setelah mati patut ditakuti.
- Orang tidak boleh kuatir akan berpisah dengan keluarganya, anak dan harta
benda, sebab semuanya tidak akan kekal.
25
F. Ibnu Rusyd
1. Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu
Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di Kardova
pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling
agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam.
Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas
didunia Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat
di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai
Averroes. Keturunannya terdiri daripada golongan
yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya
merupakan kadi di Kardova.
Pada lewat penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd dipulihkan semula
apabila Khalifah Al-Mansor Al-Muwahhidi menyadari kesilapan yang dilakukannya.
Namun, segala kurniaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sempat
dikecapi karena beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1198.
Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan
umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan
ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak,
fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahwu. Antara karya besar yang pernah
dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah "Kulliyah fit-Thibb" yang mengandungi
jilid, mengenai perubatan secara umum, MabadilFalsafah (Pengantar Ilmu Falsafah),
Tafsir Urjuza yang membicarakan perubatan dan tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu
kalam, Kasyful Adillah, yang mengungkap persoalan falsafah dan agama, Tahafatul
Tahafut, ulasannya terhadap buku Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul
Falaisafah, dan Muwafaqatil Hikmah Wal Syari'a yang menyentuh persamaan antara
falsafah dengan agama.
2. Filsafat Ibnu Rusyd
Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang
berkaitan dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan
idea yang bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya
mengenai perkara tersebut. Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang
perubatan apabila Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan menjaga
kesihatan.
26
Beberapa pandangan yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga
didapati mendahului zamannya. Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak
hanya akan dialami oleh setiap orang sekali sahaja. Kehebatannya dalam bidang
perubahan tidak berlegar di sekitar perubatan umum, tetapi juga merangkum
pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia. Ilmu pengetahuan yang
dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang berkaitan dengan
kemasyarakatan apabila beliau cuba membuat pembahagian masyarakat itu kepada
dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat
awam.
Pembahagian strata sosial ini merupakan asas pengenalan pembahagian
masyarakat berdasarkan kelas seperti yang dilakukan oleh ahli falsafah terkemudian,
seperti Karl Max dan mereka yang sealiran dengannya. Apabila melihat keterampilan
Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang ini, maka tidak syak lagi beliau merupakan tokoh
ilmuwan Islam yang tiada tolok bandingannya. Malahan dalam banyak perkara,
pemikiran Ibnu Rusyd jauh lebih besar dan berpengaruh jika dibandingkan dengan
ahli falsafah yang pernah hidup sebelum zamannya ataupun selepas kematiannya.
G. Ibnu Sina
1. Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali al-
Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara
(Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun,
dia telah menguasai dengan baik studi tentang Al Quran
dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika, dipelajarinya dari Abu
Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu.
Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang
sangat beragam.
Kemampuannya dalam bidang pengobatan sudah
begitu mumpuni di usianya yang masih belia. Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas
tahun, dia sudah berhasil menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur.
Padahal sebelumnya para pakar kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun
yang mampu mengatasi penyakit sang raja. Atas jasanya itu, Manshur bermaksud
memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru lebih memilih izin dari sang raja untuk
diperkenankan meggunakan perpustakaan kerajaan yang dikenal memiliki koleksi
buku-buku yang unik.
27
2. Filsafat Ibnu Sina
Karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat,
dan al-Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan
ensiklopedi filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari
filsafat hingga ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi
Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam. Ibnu Sina mengelompokkan
seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar, yakni: pengetahuan teoritis dan
pengetahuan praktis. Pengetahuan teoritis meliputi fisika, matematika, dan
metafisika, sedangkan pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan ilmu
politik.
Jenius yang satu ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik
maupun secara batin. Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain, untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap segala hal, serta untuk
dapat belajar, belajar, dan belajar. Karena terlalu banyak memeras otak dan
diperparah oleh gejolak politik pada masa itu, kesehatannya semakin memburuk.
Akhirnya, pada tahun 1037 dia kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana.
28
PENUTUP
Tokoh-tokoh filsafat dan etika dalam islam adalah tokoh yang sangat penting
di mana melalui pandangan mereka lahir suat motivasi dan penjelasan-penjelasan
yang akan sangat membatu umat sesudahnya untuk lebih mudah dalam memahami
ilmu agama.
Filsafat etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak
terhingga dan agung yang bukan saja beriskan sikap, prilaku secara normative,
yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari
hubungan manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan
historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan
pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia
untuk menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian,
kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara
pandang dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi
pada Tuhan, buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah pean orang tua dalam
memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan
menyikapinya dengan bijak dan damai sbagaimana Islam lahir ke bumi membawa
kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
29
SOAL DAN JAWABAN
1. Siapa sajakah nama tokoh filsafat dalam islam yang penting untuk kita
ketahui ?
Jawab :
A. Mulla Shadra
B. Al-Razi
C. Al-Farabi
D. Al-Ghazali.
E. Ibnu Maskawaih
F. Ibnu Rusyd
G. Ibnu Sina
2. Apakah fungsi dari etika islam ?
Jawab :
Fungsinya adalah salah satunya untuk mengetahui hak dan kewajiban
sesama.dan mnentukan yang baik dan yang tidak
3. Apa alasan yang paling mendasar sehingga Al-Ghazali tidak sependapat
dengan para filsuf lainnya ?
Jawab :
Alasan yang mendasar adalah Al-Ghazali menganggap bahwa para filsuf
telah mengeluarkan pendapat dan pandangan yang keliru sekaitan dengan
sifat sifat tuhan, dan mulai melenceng dari ajaran Agama Islam yang murni.
4. Apakah manfaat atau faedah mempelajari filsafat ?
Jawab : Manfaat atau faedah mempelajari filsafat menurut saya filsafat itu
bermanfaat dalam memecahkan berbagai masalah-masalah yang terjadi dalam
kehidupan, yang mana masalah-masalah itu dapat terselesaikan dengan
mencari kebijakan-kebijakan yang baik ataupun dapat terungkapnya suatu
30
kebenaran-kebenaran yang menurut kita hal itu belum jelas kebenarannya.
Misalkan saja contohnya yaitu pada zaman dahulu orang beranggapan bahwa
Tuhan mereka matahari dan mereka menyembah matahari, namun mereka
mulai berfikir ketika datang malam hari, maka matahari tidak ada lagi dan
mereka beranggapan bahwa bulan adalah Tuhan mereka, namun pada saat itu
mereka berfikir pula bagaimana jika pada saat siang hari mereka harus
menyembah apa, maka dari situ mereka mulai berfikir, siapakah yang dapat
menciptakan bulan, bintang, matahari serta alam semesta ini dan itulah Tuhan
kita.
Itu merupakan salah satu contoh seseorang berfilsafat, selain itu juga
menurut saya filsafat juga bermanfaat sekali bagi diri kita untuk
menyongsong masa depan yang lebih semangat dan lebih baik. Misalkan saya
contohnya kita memikirkan atau membuat suatu keinginan kita untuk
menjalani kehidupan kita kedepannya nanti bagaimana, dan dengan begitu
kita akan lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan yang kita jalani.
5. sebutkan contoh manfaat filsafat dalam kehidupan ?
Jawaban:
Yaitu ketika seseorang mengalami kebingungan untuk menentukan asebuah
tindakan yang harus ia lakukan dalam suatu kegiatan perpolitikan, maka ia
dapat menggunakan buku atau pendapat para filsuf dalam mencari
pemecahannya.
6. Mengapa pendapat al-Razi dikatakan sangat kotraversional ? apa buktinya !
Jawaban :
Pendapat atau pandangan al-Razi dikatakan kontraversional karena Sebagian
dari penjelasan al-Razi yang menunjukkan pengingkarannya pada kenabian
dan cenderung merendahkan posisi para nabi adalah dapat dilihat dalam dua
buah karyanya, Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal al-Mutanabbi`in? (Kehebatan
31
Para Nabi atau Tipu Muslihat Orang-Orang yang Mengaku Nabi?) dan Naqd
al-Adyan aw fi al-Nubuwwah? (Kritik atas Agama-Ag/ama atau Kenabian?).
Abu Hatim menyebut bahwa al-Razi berkata, “Yang lebih utama bagi hikmah
dan kasih sayang Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada
seluruh hamba-Nya untuk mengetahui, baik cepat atau lambat, beberapa
manfaat dan kemudharatan, dan tidak boleh melebihkan sebagian mereka dari
yang lain serta tidak boleh terdapat pertentangan dan pertikaian di antara
mereka sehingga menyebabkan kebinasaan. Hal ini lebih hati-hati dari pada
Dia menjadikan sebagian dari mereka beberapa pemimpin, lalu pengikut-
pengikutnya membenarkan sang imam (pemimpin) dan mengingkari
pemimpin lainnya sehingga terjadi peperangan di antara mereka dan
menimbulkan bencana. Keba-nyakan manusia binasa karena hal ini”.
Disebutkan pula bahwa Al-Razi mengatakan, “Para nabi tidak berhak
mengaku diri mereka sebagai manusia yang istimewa, baik secara akal
maupun spiritual, karena seluruh manusia adalah sama dan bentuk keadilan
dan kebijaksanaan Allah Swt. adalah tidak boleh memberi keistimewaan
seseorang atas lainnya”.
7. Apa perbedaan pendapat para filsuf islam dengan para filsuf modern ?
Jawab :
Perbedannya yaitu para filsuf modern berpandangan bahwa kebenaran yang
teritinggi di alam adalah akal sehat dan pemikiran yang jernih, sedangkan
tentang nilai tentang ketuhanan merupakan suat kebebasan setiap insan untuk
memilihnya. Sedangkan menurup para filsuf islam kebenaran yang hakiki
adalah suatu gabungan atara filsafat dan ajaran islam, di mana kebenaran
filsafat terikat dari hukum-hukum Agama.
8. Diantara para filsuf diatas siapa yang menurut anda paling menonjol dari
yang lainnya, mengapa ?
32
Jawab :
Bukan berarti membandingkan, tetapi jika dilihat dari pendapat mereka dan
kepopuleran karyanya maka yang palimng menonol adalah Al-Gazali karena
pendapatnya mencakup dan membahas mengenai pendapat para filsuf lainnya
dan buku-bukunya sangat banyak beredar khususnya di Indonesia.
9. Apa yang dimaksudkan dalam teori evolusi yang dikemukakan oleh
Maskawaih ?
Jawab :
Maskawaih berpendapat bahwa segala yang ada di alam mengalami proses
evolusi, dilaluinya rentetan proses kejadian yang nyata rantainya tidak
terputus. Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud
yang sederhana. Kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang
lebih tinggi.
Maskawaih mengemukakan betapa tinggi kedudukan para Nabi dibanding
dengan manusia lainnya, dengan jalan terlebih dulu mengungkapkan proses
evolusi. Maskawaih menetapkan adanya tipe manusia yang memang sanggup
sampai ke tingkat kemanusiaan yang paling tinggi, yang memperoleh
kebenaran-kebenaran yang hakiki tidak dengan jalan berpikir, tetapi dengan
jalan wahyu, yaitu para nabi. Nabi tingkatnya lebih tinggi dari filosof. Namun
buakan berarti dia mengatakan bahwa manusia itu berasal dari kera,
melainkan manusia itu merupakan ciptaan Allah SWT. yang merupakan anak
cucu Adam.
10. Apa perbedaan pendapat Al-Gazali dan Maskawaih mengenai metafisika ?
Jawab :
Menurut Al-Gazali Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-
Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme islam, karena
mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika.
33
Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme
muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan
dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna
bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua
puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam
bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-
bida’ , sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir,
karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama
sekali dengan pendirian semua kaum muslimn.
Menurut Maskawaih Membuktikan adanya Tuhan Pencipta, dari satu
segi dapat dikatakan mudah, karena kebenaran ada-Nya telah terbukti pada
dirinya sendiri dengan amat jelas. Adapun segi kesukarannya ialah karena
keterbatasan akal manusia. Maskawaih berusaha membuktikan bahwa Tuhan
Pencipta itu Esa, azali (tanpa awal) dan bukannya materi (jism). Tuhan dapat
diketahui dengan cara menidakkan (negative), bukan dengan cara positif.
Pembuktian secara positif berarti pembuktian secara langsung, sedang
pembuktian secara negative adalah secara tidak langsung, Tuhan adalah
bergerak, Tuhan adalah tidak Esa, Tuhan adalah diciptakan dan sebagainya.
Maskawaih menggunakan berbagai macam argument untuk
menetapkan adanya Tuhan. Yang penting ditonjolkan adalah adanya gerak
atau perubahan yang terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam
benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawa
masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda), maka adanya gerak yang
berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber gerak,
Penggerak pertama yang tidak bergerak yaitu Tuhan.
Pada umumnya pandangan mereka adalah sama.
DAFTAR PUSTAKA
34
- http://Halid.nurislami.com
- http://www.nlm.nih.gov/hmd/arabic/E8.html
- http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com
35