Post on 01-Dec-2015
description
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik
spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin
yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven
day Disease" dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine,
kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob
yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus (Ismanoe, 2007).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali
pusat (Tetanus Neonatorum). Walaupun tetanus dapat dicegah dengan
imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di Negara beriklim tropis dan Negara – Negara sedang
berkembang, sering terjadi di Brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara
lain di benua Asia (Ismanoe, 2007).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani (Sjamsuhidajat R, Jong
Wim de, 2005).
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan
oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,
biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti
oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga) (Dorland, 2002).
Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata (Ismanoe,
2007).
2.2 Etiologi Tetanus
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif: Clostridium tetani. Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia
dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini
bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka
seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan
memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin (Ritarwan, 2004).
3
Gambar. Clostridium tetani
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang
selalu bergerak, dan merupakan baktari anaerob obligat yang menghasilkan spora.
Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis
atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan
tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai
desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini
dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitive terhadap beberapa
antibiotic (Metronidazol, Penisilin). Bakteri ini jarang dikultur, karena
diagnosisnya berdasarkan klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis
melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang
terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai
polipeptida tunggal. Dengan autolysis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan
terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100 kDa)
yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam
sel, sedangkan rantai ringan (50 kDa) berperan untuk memblokade pelepasan
neurotransmitter (Ismanoe, 2007).
2.3 Epidemiologi Tetanus
Tetanus terjadi secara sporadic dan hampir selalu menimpa individu non
imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi
4
ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama Negara beriklim
tropis dan Negara-negara yang sedang berkembang. Penyakit ini umumnya terjadi
di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama
musim panas, dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program
imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-
anak (Ismanoe, 2007).
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995,
tetanus tetap bersifat endemic pada negara-negara sedang berkembang dan WHO
memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia
pada tahun 1992. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju (Ismanoe,
2007).
2.4 Patogenesis Tetanus
Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian
terkontaminasi oleh spora dari Clostridium tetani. Luka dengan potensi oksidasi
reduksi rendah membantu perkembangan spora menjadi bentuk vegetatif dan
mampu memproduksi toksin. Toksin ini menyebabkan jaringan mati, ditambah
dengan adanya benda asing menyebabkan infeksi aktif. Clostridium tetani tidak
mencetuskan peradangan dan port de’entrée tetap tampak tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain (Ismanoe,
2007).
Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin dapat secara local merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilimgi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri (Ismanoe, 2007).
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organism. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda denagn berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat
5
(100 kDa) dan rantai ringan (50 kDa) dihubungkan oleh suatu ikatan yang
sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Tetanoplasmin yang
dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada
gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang
dihasilkan banyak, maka toksin dapat memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian
akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam
badan sel di batang otak dan saraf spinal (Ismanoe, 2007).
Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron
inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transport
interneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang
otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik
dengan suatu mekanisme yang tidak jelas (Ismanoe, 2007).
Tetanospasmin mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana
setelah toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan
memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam
aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang
pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan
pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip
dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun
demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh
daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan
hipotalamus juga dipengaruhi. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat
berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf
cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah
pemulihan (Ismanoe, 2007).
6
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai
konvulsi. Spasme otot sangat nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture
tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-
otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat (Ismanoe, 2007).
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya
kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin
plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron bersifat irreversible.
Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan
mengapa tetanus berdurasi lama (Ismanoe, 2007).
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal, dimana sawar darah otak memblokade masuknya
toksin secara langsung ke dalam system saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa
waktu transport interneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek
akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang, hal ini menjelaskan urutan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus
generalisata (Ismanoe, 2007).
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmision dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichnine) terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous
System (ANS) dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,
7
periodisiti takikardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine
dalam urin (Ritarwan, 2004).
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychnin, dimana ia mengintervensi
fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan
menginhibisi terhadap batang otak (Ritarwan, 2004).
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi
yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga
timbul spasme otot yang khas (Ritarwan, 2004).
Gambar. Patogenesis tetanus2.5 Gejala Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3 hari – 4 minggu, kadang lebih lama, rata-
rata 8 hari. Berat penyakit berhubungan dengan masa inkubasinya; makin
pendek masa inkubasinya, prognosa penyakit semakin buruk. Umumnya, pada
pasien dengan masa inkubasi kurang dari 1 minggu, angka kematiannya
8
tinggi. Masa inkubasi rata-rata pada pasien yang meninggal adalah sekitar 7
hari, sedangkan pada pasien yang sembuh sekitar sebelas hari (Sjamsuhidajat
R, Jong Wim de, 2005)
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni (Adams, 1997)
1. Localized tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
4. Tetanus Neonatorum
Karakteristik dari tetanus (Gilroy, 1997)
- Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7
hari.
- Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
- Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
- Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher.
- Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena
spasme Otot masetter.
- Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity )
- Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
- Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
- Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak ).
2.6 Bentuk Tetanus
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni (Adams, 1997)
1. Localized tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
4. Tetanus Neonatorum
9
1. Tetanus Lokal (localized Tetanus)
Tetanus lokal termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan
(twitching) otot lokal dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera,
atau dapat memburuk menjadi bentuk umum (generalisata) (Dorland,
2002).
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan
biasanya menghilang secara bertahap (Adams, 1997).
Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, maka
dapat dijumpai tetanus lokal. Spasme dan rigiditas terbatas pada area
tubuh tertentu, dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot
sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat
neuromuscular junction (Ismanoe, 2007).
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin (Adams, 1997).
2. Cephalic tetanus
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,
yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya
1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang
tersering adalah saraf ke-7. Dysphagia dan paralisis otot ekstraokular dapat
terjadi. Mortalitasnya tinggi (Ismanoe, 2007).
3. Generalized Tetanus
Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus
yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata.
Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat
pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus
terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari (Ismanoe, 2007).
10
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila
berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorok, dan kesulitan
untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot
masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah
yang khas yang disebut risus sardonikus dan meluas ke otot-otot menelan
yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal dapat berlangsung beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas
otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan
opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan
dinding dada. Reflex tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam,
walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh
(Ismanoe, 2007).
Selain peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodic. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada
kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat
bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus
visual, stimulus auditorik atau emosional. Spasme yang terjadi dapat
bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat
kuat sehingga menyebabkan fraktur atau rupture tendon. Spasme yang
terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata
sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi
berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faryngeal
sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan dengan terjadinya
aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa (Ismanoe,
2007).
Pada bentuk ini yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus
generalisata (Ismanoe, 2007). Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan
otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
11
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni
spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria
dan retensi urine,kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah
tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal.
Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis (Adams, 1997).
Pada tetanus generalisata, otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh.
Otot-otot di kepala yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan
penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh
(Ismanoe, 2007).
Gangguan otonom terjadi dengan adanya instabilitas
kardiovaskuler yang tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardi dapat
terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardi dan henti jantung
berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi
vascular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan
jantung. Selama gangguan ini berlangsung, kadar katekolamin plasma
meningkat 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang dijumpai
pada feokromositoma. Norepunefrin lebih terpengarug daripada epinefrin.
Hiperaktivitas neuronal lebih mendominasu daripada hiperaktivitas
medulla adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang terjadi, tapi
mekanisme yang mendasarinya belum jelas (Ismanoe, 2007).
4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata
dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada
anak-anak dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,
terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril
(Ismanoe, 2007).
12
2.7 Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar,
Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem
yang sering dipakai.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett (Ismanoe, 2007):
1. Derajat I (ringan)
- Trismus ringan sampai sedang
- Spastisitas generalisata
- Tanpa gangguan pernapasan
- Tanpa spasme
- Sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang)
- Trismus sedang
- Rigiditas yang nampak jelas
- Spasme singkat ringan sampai sedang
- Gangguan pernapasan sedang dengan RR>30
- Disfagia ringan.
3. Derajat III (berat)
- Trismus berat
- Spastisitas generalisata
- Spasme reflex berkepanjangan
- Gangguan pernapasan dengan RR>40
- Serangan apnea
- Disfagia berat
- Takikardi > 120
4. Derajat IV (sangat berat)
- Derajat III dengan gangguan otonomik berat yang melibatkan sistem
kardiovaskuler
- Hipertensi dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardi, salah satunya bisa menetap.
13
2.8 Diagnosis
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis, karena pemeriksaan
kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesa tentang adanya
kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman, adanya trismus, risus
sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa
gangguan kesadaran, cukup menegakkan diagnosis tetanus (Sjamsuhidajat R, Jong
Wim de, 2005).
2.9 Diagnosis Banding
- Meningitis atau ensefalitis
- Hysteria (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
-
2.10 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme,
atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada
koma, aspirasi atau apnea atau sebagai konsekuensi dari perawatan intensif,
seperti pneumoni yang berkaitan dengan ventilator (Ismanoe, 2007).
Tabel. Komplikasi-Komplikasi Tetanus
Sistem KomplikasiJalan nafas Aspirasi *
Laringospasme/obstruksi *Obstruksi yang berkaitan dengan sedative *
Respirasi Apnea *Hipoksia *Gagal nafas *ARDS *Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)Komplikasi trakeostomi
Kardiovaskuler Takikardi*, hipertensi*, iskemia*Bradikardi*, hipotensi*Takiaritmia*, bradiaritmia*Asistol*Gagal jantung*
Ginjal Gagal ginjal*Stasis urin dan infeksi
14
GIT Stasis gasterIleusDiarePerdarahan*
Lain-lain Penurunan BB*Tromboembolus*Sepsis dengan gagal organ multiple*Fraktur vertebra selama spasmeRupture tendon akibat spasme
*Komplikasi yang mengancam jiwa
2.11 Pengobatan
Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas tiga upaya (Sjamsuhidajat R, Jong Wim
de, 2005):
1. Mengatasi eksotoksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat.
2. Menetralisasi toksin yang masih beredar dalam darah.
3. Menghilangkan kuman penyebab.
Pada penatalaksanaan penyakit tetanus, perlu ditentukan derajat keparahan
terlebih dahulu. Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolok ukur,
yaitu masa inkubasi, porte d’entrée, status imunologis, dan factor yang
memberatkan. Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan
penyakit dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005):
- Tetanus ringan (Score < 9)
- Tetanus sedang (Score 9-16)
- Tetanus berat (Score > 16)
Tabel. Score PhillipsTolok Ukur Nilai
Masa Inkubasi < 48 jam2-5 hari6-10 hari11-14 hari>14 hari
54321
Lokasi Infeksi Internal/umbilicalLeher, kepala, dinding tubuhEkstremitas proksimalEkstremitas distalTidak diketahui
54321
Imunisasi Tidak adaMungkin ada/ ibu mendapat>10 tahun yang lalu
1064
15
<10 tahunProteksi lengkap
20
Faktor yang memperberat
Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwaKeadaan yang tidak langsung membahayakan jiwaKeadaan yang tidak membahayakan jiwaTrauma atau penyakit ringanA.S.A. **
108421
** Sistem penilaian untuk menentukan risiko penyulit (American Society of Anesthesiologist).
- Score < 9 : Tetanus ringan- Score 9-16 : Tetanus sedang- Score > 16 : Tetanus berat
Tetanus ringan dapat sembuh tanpa pengobatan yang baku, sedangkan tetanus
berat memerlukan perawatan khusus yang intensif (Sjamsuhidajat R, Jong Wim
de, 2005).
Mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan, pengendalian
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan perbaikan nutrisi adalah tindakan yang
harus dilakukan (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
Untuk mengatasi kaku otot diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan
untuk sedasi digunakan:
- Fenobarbital
- Klorpromazin
- Diazepam
Pada tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan
mengambil alih pernapasan memakai respirator. Pada pasien dengan kaku laring
biasanya memerlukan trakeostomi (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
Pada perawatan harus dilakukan observasi ketat, terutama jalan nafas,
perubahan posisi, dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus, dan
pengosongan buli-buli. Fisioterapi paru dan anggota gerak serta perawatan mata
juga merupakan bagian dari perawatan baku. Pemberian nutrisi yang adekuat
dapat dilakukan dengan nutrisi pernteral dan enteral. Selama pasase usus baik
nutrisi enteral merupakan pilihan, tetapi bila perlu, dilakukan pemberian makan
lewat NGT atau gastrostomi (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
16
Dalam merawat pasien tetanus sebaiknya diusahakan ruangan tenang yang
dilindungi dari rangsangan penglihatan, pendengaran, dan perabaan. Ruangan
yang gelap tidak diperlukan karena perubahan dari gelap ke terang secaraa tiba-
tiba dapat memicu timbulnya kejang (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
Netralisasi toksin yang masih beredar dilakukan dengan memberikan
antitetanus serum (ATS) atau immunoglobulin tetanus human (Sjamsuhidajat R,
Jong Wim de, 2005).
Dosis:
ATS : 20.000 IU setiap, hari selama 5 hari
Immunoglobulin human : 3000-6000 unit, dosis tunggal
Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat luka yang
dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka dengan larutan
antiseptic, eksisi luka, dan histerektomi (bila uterus diperkirakan sebagai sumber
kuman tetanus), dan penggunaan antibiotik. Bila tidak ditemukan sumber infeksi
yang jelas, antibiotic merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan kuman
penyebab. Antibiotic yang dianjurkan dan efektif untuk membunuh Clostridium
tetani adalah (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005):
- Penisilin : 3 x 1,5 juta unit/ hari
- Metronidazol : 3 x 1 g/ hari
2.12 Pencegahan
Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu:
- Perawatan luka yang adekuat
- Imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus dengan tujuan
merangsang tubuh membentuk antibodi. Imunisasi pasif diperoleh dengan
memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau
antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat imunitas
dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid
(Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
17
Tabel. Indikasi pemberian imunisasi
Imunisasi sebelumnya Luka Bersih Luka KotorToksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada/ tidak pasti1x DT atau DPT2x DT atau DPT3x DT atau DPT
Ya *Ya *Ya *Tidak +
TidakTidakTidakTidak
Ya *Ya *Ya *Tidak ++
YaYaYaTidak
* = seri imunisasi harus dilengkapi+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih ++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuskuler (ATS 1500 U/ Imunoglobulin 250 U)DT : vaksinasi difteri-tetanusDPT : vaksinasi difteri-tetanus-pertusis
2.13 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi focus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, beratnya penyakit yang timbul, dan penyulit yang timbul
(Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
Masa inkubasi dan periode onset merupakan factor yang menentukan
prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.
Tabel. Klasifikasi Prognostik menurut Cole-Spooner
Kelompok Prognostik Periode Awal Masa InkubasiI <36 jam? ± 6 hariII >36 jam? >6 hariIII Tidak diketahui?? Tidak diketahui
Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostic I mempunyai angka
kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan yang intensif
menurunkan angka kematian akibat kegagalan nafas dan kelelahan akibat kejang.
Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata menurunkan angka kematian
(Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).
18
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005, Tetanus, dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah,
Edisi 2, EGC, Jakarta, pp: 21-24.
Ritarwan Kiking Dr., Tetanus, viewed 20 Mei 2011
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-
kiking2.pdf>.
Ismanoe gatoet, 2007, Tetanus, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III
Edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, pp: 1777-
1785.
Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.
Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997,
1205-1207.