Post on 24-Apr-2015
description
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi
amanat untuk terus mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen dalam
pendidikan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
2003). Hal ini dikarenakan persaingan global yang semakin tinggi, sehingga
masyarakat dituntut untuk terus meningkatkan sumber daya manusia, salah satu
caranya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan meningkatkan
mutu pendidikan akan membawa dampak signifikan terhadap peningkatan
sumber daya manusia yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pendapatan individual dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Hamushek &
Woessmann, 2007).
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka mulai
tahun 2005 pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI)
dan menengah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA). Ujian Nasional merupakan penilaian
hasil belajar yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan
teknologi (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003).
Ujian Nasional mencakup ujian teori dan praktek yang dilaksanakan secara
serentak di seluruh wilayah Indonesia pada setiap akhir tahun ajaran pelajaran.
2
Pelaksanaan dan penyelenggaraan UN telah diatur dalam Prosedur
Operasi Standar Ujian Nasional (POS UN). Di dalamnya juga dibahas mengenai
sanksi-sanksi hukum, sehingga jika seseorang, kelompok dan atau lembaga
terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diproses dan dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (BSNP, 2012).
Secara garis besar menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 tahun 2003, hasil UN berguna sebagai salah satu pertimbangan untuk
pemetaan mutu satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan
pendidikan dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan (BSNP, 2010). Mengingat pentingnya hasil dari UN tersebut, maka
pihak-pihak yang terkait dengan UN dalam hal ini adalah penyelenggara dan
peserta ujian wajib melaksanakan UN dengan menjunjung tinggi kejujuran
(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 tahun 2011).
Hasil dari ujian yang jujur akan menunjukkan prestasi dan pencapaian
belajar peserta didik yang sebenarnya, sehingga akan menggambarkan dan
memberikan informasi yang akurat tentang sejauh mana pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkembang (Cizek dalam Tas & Tekkaya, 2010). Di
Indonesia, fungsi paling penting dari UN adalah dimana hasil analisis data UN
akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan
mutu program atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007), informasi-
informasi yang tepat, akurat, dan reliabel yang diperoleh dari hasil UN yang jujur
akan sangat bermanfaat dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah
3
selanjutnya untuk mengatasi berbagai permasalahan di dalam dunia pendidikan
(Azwar, 2010).
Namun dalam kenyataannya, sejak standar kelulusan dalam UN
diterapkan, banyak terjadi praktek-praktek kecurangan dalam melaksanakan UN.
Orientasi Ujian Nasional yang hanya mementingkan kelulusan membuat banyak
pihak menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh standar kelulusan
(Kompas.com, 11 Juli 2011). Pihak-pihak tersebut baik sebagai peserta ataupun
penyelenggara UN melakukan berbagai usaha untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan, walaupun cara yang digunakan tersebut tidak sah atau melanggar
peraturan yang lebih dikenal sebagai perilaku curang (Genereux & McLeod
dalam Vinski & Tryon, 2009).
Perilaku curang dalam akademik merupakan kekeliruan individu dalam
menunjukkan pengetahuannya dengan cara penipuan atau melanggar peraturan
(Tas & Tekkaya, 2010) seperti menyontek, plagiat, memberi kemudahan kepada
orang lain, misrepresentasi d an sabotase (Whitley & Spiegel dalam Williams,
Nathanson, & Paulhus, 2010). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mencatat bahwa selama pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2009 terdapat
sedikitnya 22 kasus, mulai dari kategori ringan terkait dengan percetakan dan
distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN pada tingkat SMP, MTs, SLTA
dan MA. Demikian juga halnya dengan UN tahun 2010, BSNP mencatat bahwa
terdapat 9 kasus kecurangan (BSNP, 2010).
Menurut data pada tahun 2012 lebih dari 800 laporan masuk ke
Depdiknas mengenai permasalahan selama UN berlangsung, sebagian besar
diantaranya berisi aduan kebocoran soal dan kecurangan. Demikian juga dengan
laporan Retno Listyati yang merupakan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia
4
(FSGI) yang mengungkapkan bahwa sejumlah guru yang menjadi pengawas di
berbagai daerah di Indonesia melaporkan bahwa telah terjadi kecurangan dan
kebocoran soal pada saat ataupun sebelum UN berlangsung (Metronews.com,
28 Juni 2012).
Kecurangan masih merupakan permasalahan tersendiri setiap kali BSNP
melaksanakan UN, hal ini dapat dilihat pada laporan BSNP mengenai
pelaksanaan UN (BSNP, 2010). Hampir seluruh media masa menginformasikan
banyak terjadi bentuk-bentuk kecurangan dalam melaksanakan UN, contohnya
peserta ujian dapat dengan leluasa menggunakan handphone saat
melaksanakan ujian (Kompas.com, 19 April 2011), padahal dalam POS UN
2011/2012 telah jelas disebutkan bahwa peserta ujian dilarang untuk membawa
alat komunikasi elektronik ke dalam ruang ujian. Beredarnya kunci jawaban
(Kompas.com, 18 April 2011), siswa saling membantu saat ujian berlangsung,
guru membiarkan peserta ujian mencontek di ruang ujian (Kompas.com, 21 April
2011), guru sengaja membagi jawaban di depan kelas (Kompas.com, 21 April
2009) sampai kepada kasus mengatur pengacakan soal sedemikian rupa
sehingga memungkinkan siswa mendapat paket soal yang sama (Kompas.com,
25 April 2011). Melihat hal ini maka dapat diketahui bahwa kecurangan tidak
hanya melibatkan peserta ujian saja yang merupakan pihak yang paling
berkepentingan untuk lulus dalam UN, namun juga sudah sistematis
dilaksanakan oleh berbagai pihak, hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus
kecurangan yang terungkap yang melibatkan guru, kepala sekolah bahkan
pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil pengambilan data awal tanggal 22 Maret 2012
terhadap 67 remaja asal Sumatera Barat yang berada di Yogyakarta khususnya
5
remaja yang tinggal di Asrama Pemerintah Daerah Sumatera Barat, berstatus
mahasiswa, telah selesai melaksanakan UN, berasal dari sekolah menengah
umum yaitu SMA, SMK dan sekolah menengah agama yaitu MA yang terdiri dari
15 laki-laki dan 52 perempuan. Dari pengambilan data awal tersebut diperoleh
informasi bahwa sekitar 54% remaja melakukan kecurangan saat melaksanakan
UN, dimana 80% laki-laki melakukan kecurangan saat UN dan 73% remaja
perempuan juga melakukan hal yang sama. Remaja yang berasal dari sekolah
umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi yaitu sekitar 61%
dibandingkan dengan remaja yang berasal dari sekolah agama yang memiliki
tingkat kecurangan 41%. Sebagian besar remaja yakni 64% mengungkapkan
bahwa kunci jawaban ujian telah beredar sebelum ujian berlangsung dan 85%
dari remaja tersebut mengungkapkan bahwa gurulah yang memberikan kunci
jawaban dan 51% remaja kemudian mempergunakan kunci jawaban tersebut
untuk menjawab soal ujian. Menurut 51% remaja sebelum ujian berlangsung
guru mengingatkan agar saling membantu saat ujian dan 70% dari remaja
membantu teman dalam menjawab soal ujian. Sekitar 61% remaja mengatakan
bahwa lebih baik menyontek daripada tidak lulus ujian dan sekitar 78%
mengatakan bahwa menyontek saat ujian itu salah.
Menurut Click (dalam Lee, 2009) perilaku curang yang dilakukan di
sekolah merupakan gejala munculnya perilaku curang di kehidupan yang lebih
luas, dan kecurangan merupakan salah satu tindakan yang paling marak terjadi
dalam dunia pendidikan dan terus mengalami peningkatan selama tiga dekade
terakhir dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh McCabe, Trevino, dan
Butterfield (2001). Demikian juga halnya di Indonesia, setiap kali UN selesai
dilaksanakan maka laporan adanya kasus kecurangan kerap kali terjadi, baik
6
melalui Indonesia Corruption Watch (ICW) ataupun langsung ke Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan baik yang dapat dibuktikan kebenarannya maupun
yang tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan laporan ICW bahwa saksi yang
membuka kecurangan UN seringkali didiskriminasi, rendahnya perlindungan
terhadap saksi kasus kecurangan ini membuat banyak pihak yang enggan
mengungkap kasus kecurangan, sehingga sebagian besar dari kasus-kasus
kecurangan tersebut sulit untuk dibuktikan (antikorupsi.org, 20 Januari 2013). Hal
senada juga diungkapkan oleh West, Ravenscroft, dan Shrader (2004) dimana
ketika harus dilakukan pembuktian kasus kecurangan maka kasus tersebut
menjadi sangat sulit untuk diungkap. Jadi wajar, jika Inspektorat Jenderal
Kementrian Pendidikan Nasional dan Badan Standar Nasional Pendidikan hanya
dapat mengungkap sebagian kecil saja kasus kecurangan UN di Indonesia.
Kesulitan pengungkapan kasus kecurangan ini terlebih lagi pada kasus-kasus
kecurangan yang dilakukan secara sistematis karena melibatkan berbagai pihak
yang memiliki peran besar dalam UN, seperti kasus kecurangan di wiliyah
Brebes yang diungkapkan oleh FSGI, menurut FSGI kecurangan di Brebes
sudah terkondisikan secara rapi dengan melibatkan kepala sekolah, Kelompok
Kerja Kepala Sekolah (K3S), dan panitia penyelenggara. Sekretaris jendral FSGI
menyebutkan bahwa selain di Brebes, kecurangan sistematis terjadi di beberapa
tempat, seperti Jakarta, Bekasi, Tanggerang, Jambi, Palembang, Bandung,
Tebing Tinggi, Depok dan daerah lainnya (Antikorupsi.org, 2 September 2012).
Perilaku curang dalam dunia pendidikan pertama kali dipublikasikan oleh
Bill Bowers (dalam McCabe, dkk., 2001) berdasarkan hasil survei terhadap 5000
siswa diketahui bahwa tiga perempatnya melakukan kecurangan. Demikian juga
dengan penelitian selama 30 tahun yang dilakukan oleh McCabe dan Trevino
7
(dalam McCabe, dkk., 2001), dimana secara signifikan tingkat kecurangan terus
mengalami peningkatan, terutama pada saat tes ataupun ujian. Sudarmita
(dalam Widiastono & Tonny, 2004) menjelaskan bahwa maraknya kecurangan
yang terjadi dalam melaksanakan UN merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi
krisis moral pada remaja dalam lembaga pendidikan di Indonesia, tidak hanya
remaja di sekolah umum, akan tetapi juga remaja di sekolah dengan latar
belakang keagamaan yang kental, dimana seharusnya di sekolah agama remaja
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai moral
yang juga diajarkan pada pelajaran-pelajaran keagamaan di sekolah. Karena
bagaimanapun, tujuan pendidikan agama adalah untuk menumbuhkembangkan
akidah serta mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak
mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif,
jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal
dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas (BSNP,
2006).
Kecurangan merupakan perilaku tidak adil secara sosial yang tidak hanya
dibiarkan terjadi, bahkan juga dilakukan oleh para pendidik sendiri, seperti praktik
jual-beli soal, mark up nilai, memberikan kunci jawaban saat melaksanakan UN
dan kasus-kasus kebocoran soal dalam UN (Widiastono & Tony, 2004; BSNP,
2010). Dalam situasi seperti ini remaja sebagai peserta didik seringkali
mengalami kesulitan dalam menghargai nilai-nilai moral yang telah mereka
pelajari. Menurut Martin Hoffman (dalam Santrock, 2003) masa remaja
merupakan masa yang penting dalam perkembangan moral, dimana
perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai
8
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam
interaksinya dengan orang lain.
Perkembangan moral yang didasarkan pada penalaran moral merupakan
suatu prinsip moral yang tidak hanya terletak pada aturan suatu tindakan
sehingga tindakan itu disebut baik atau buruk, tetapi kemampuan seeorang untuk
memakai cara berpikir tertentu yang dapat menerangkan pilihannya, mengapa
melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
Penalaran moral merujuk kepada bagaimana individu memberikan alasan untuk
membenarkan perbuatan mereka (Matarazzo, Abbamonte, & Nigro, 2008).
Menghadapi UN di Indonesia, remaja sebagai individu memiliki keputusan
yang mutlak untuk terlibat dalam segala macam bentuk kecurangan dalam
melaksanakan UN atau tidak, melaksanakan ujian dengan jujur atau melakukan
kecurangan, hal ini sesuai dengan pilihan dan keputusan dari remaja itu sendiri.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu
karakteristik dari individu-individu yang tergoda untuk melakukan kecurangan
dapat dilihat dari kemampuan moral mereka, dimana individu yang memiliki
tingkat perkembangan penalaran moral yang tinggi memiliki kecenderungan
perilaku curang rendah (Davis dalam Bernardi, Metzger, Bruno, Hoogkamp,
Reyes, & Barnaby, 2004).
Maraknya kecurangan yang terjadi setiap tahun saat melaksanakan UN di
Indonesia apakah mungkin terkait dengan tingkat perkembangan moral remaja
yang rendah, sehingga remaja tidak mampu melaksanakan UN yang jujur sesuai
dengan yang semestinya. Demikian juga dengan kasus kecurangan, apakah
jenis sekolah atau jenis pendidikan memiliki peran dalam menentukan tingkat
kecurangan remaja, karena berdasarkan hasil survei awal ditemukan bahwa
9
remaja yang berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih
tinggi dibandingkan remaja yang berasal dari sekolah agama. Hal senada juga
terungkap dalam penelitian Sutton dan Huba (dalam Rettinger & Jordan, 2005)
yang menemukan bahwa siswa kursus berbasis keagamaan memiliki tingkat
kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang mengikuti
kursus yang sama namun berbasis umum.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini penting dilakukan untuk
melihat perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN, mengetahui tingkat
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah remaja serta kontribusi
keduanya dalam perilaku curang saat melaksanakan UN. Dengan demikian
maka fokus penelitian ini adalah perilaku curang yang dilakukan saat
melaksanakan Ujian Nasional, tingkat perkembangan moral dan jenis sekolah
remaja.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dalam
penelitian ini adalah adakah perbedaan perilaku curang berdasarkan tingkat
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada remaja?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku curang berdasarkan
tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada remaja.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat melihat dan perilaku curang
remaja sebagai peserta didik dalam melaksanakan Ujian Nasional, melihat
10
sampai dimana tingkat perkembangan penalaran moral remaja, serta peran dari
jenis sekolah terhadap perilaku curang remaja.
2. Manfaat
Diharapkan juga dengan adanya penelitian ini, dapat memberi beberapa
manfaat, yaitu:
a. Memberikan sumbangan bagi Ilmu Psikologi, terutama Psikologi
Pendidikan yang berhubungan dengan perilaku curang, tingkat
perkembangan moral dan jenis sekolah remaja. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi bagaimana peran dari tingkat
perkembangan penalaran moral serta jenis sekolah terhadap perilaku
curang remaja dalam melaksanakan UN.
b. Memberikan informasi pada praktisi pendidikan tentang perbedaan
perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN berdasarkan
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah remaja.
c. Memberikan alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk
mengurangi kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional di masa
yang akan datang.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Berbagai penelitian mengenai perilaku curang dan tingkat perkembangan
moral yang penulis temukan diantaranya adalah penelitian Krismani (2008)
tentang Perilaku menyontek remaja ditinjau dari kepatuhan kepada kelompok
dan rasa bersalah, penelitian Muslimin (2005) tentang penalaran moral siswa
ditinjau dari jenis lembaga pendidikan dan tingkat pendidikan orang tua. Tas dan
Tekkaya (2010) tentang Faktor Personal dan Kontekstual Kecurangan Siswa
11
dalam Sains, kemudian penelitian eksperimen yang dilakukan oleh West, dkk.,
(2004) tentang Kecurangan dan Keputusan Moral pada Mahasiswa. Studi
empirik yang dilakukan oleh Bernardi, dkk., (2004) tentang Pengujian Proses
Keputusan Siswa dalam Perilaku Curang dan penelitian yang dilakukan oleh
Matarazzo, dkk. (2008) mengenai Penalaran Moral dan Perilaku pada Masa
Dewasa serta penelitian Rettinger dan Jordan (2005) tentang Hubungan antara
Agama, Motivasi dan Kecurangan di Perguruan Tinggi.
Memang telah cukup banyak penelitian yang mengambil topik mengenai
perilaku curang, tingkat perkembangan penalaran moral dan latar belakang
pendidikan atau jenis sekolah remaja. Namun di Indonesia sendiri, penulis belum
menemukan penelitian yang secara bersama-sama meneliti tentang perbedaan
perilaku curang remaja dalam melaksanakan Ujian Nasional berdasarkan tingkat
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah, terlebih lagi penelitian yang
membahas mengenai kecurangan dalam melaksanakan UN. Sehingga penulis
berpendapat bahwa penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan
ketujuh penelitian sebelumnya (Krismani, 2008; Muslimin, 2005; Tas & Tekkaya,
2004; West, dkk., 2004; Bernardi, dkk., 2004; dan Matarazzo, dkk., 2008;
Rettinger & Jordan, 2005).
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perilaku Curang
1. Pengertian
Tas dan Tekaya (2010) mengungkapkan bahwa Perilaku curang
merupakan kesalahan individu dalam menggambarkan dan menampilkan
pengetahuannya dengan cara penipuan dan melangar peraturan. Sementara itu
Pavela (dalam Whitley & Spiegel, 2002) mendefinisikan kecurangan sebagai
bentuk perilaku yang dengan sengaja berusaha menggunakan alat-alat,
informasi-informasi atau bahan pelajaran yang tidak sah dalam upaya
pencapaian akademis, diantaranya adalah menggunakan kertas contekan,
melihat hasil kerja orang lain, serta bekerjasama dalam melaksanakan tugas dan
ujian. Hal senada juga disampaikan oleh Eisenberg (dalam Tayfun, 2009) yang
mengungkapkan bahwa perilaku curang merupakan perilaku dimana siswa
memperoleh dan mempergunakan informasi dari sumber yang tidak sah dan
menggunakannya untuk meningkatkan nilai ujian, dan menjadikan itu sebagai
usahanya sendiri.
Genereux dan Mcleod (dalam Vinski & Tyron, 2009) menjelaskan bahwa
perilaku curang merupakan upaya siswa untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan dalam suatu tugas dan ujian meskipun dengan menggunakan cara-
cara yang dilarang atau tidak disahkan. Kaufman (2008) menjelaskan bahwa
perilaku curang merupakan perilaku yang tidak etis atau tidak layak, termasuk di
dalamnya praktek memberi dan menerima pertolongan dalam tugas atau tes
akademis, dan menunjukkan pekerjaan kepada orang lain. Wideman (2008)
mengungkapkan bahwa perilaku curang merupakan perilaku tidak jujur yang
13
berhubungan dengan pencapaian akademik, termasuk di dalamnya menyontek,
plagiat, berbohong, dan bentuk lain yang mengambil keuntungan dari perilaku
tidak adil yang dilakukan oleh para siswa.
Jadi dari pemaparan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
perilaku curang merupakan perilaku tidak jujur yang berhubungan dengan
pencapaian akademik, dimana terjadi kesalahan individu dalam menggambarkan
dan menampilkan pengetahuannya dengan cara penipuan dan melanggar
peraturan, menggunakan alat-alat, informasi-informasi atau bahan pelajaran
yang tidak sah untuk meningkatkan pencapaian akademik. Dalam hal ini perilaku
curang dilakukan saat melaksanakan Ujian Nasional.
2. Bentuk-bentuk kecurangan
Menurut Pavela (dalam Whitley & Spiegel, 2002) diantara bentuk-bentuk
kecurangan adalah menggunakan kertas contekan, melihat hasil kerja orang lain,
bekerjasama dalam tugas dan ujian. Kemudian Wideman (2008) menjelaskan
yang termasuk bentuk-bentuk dari kecurangan adalah menyontek, plagiat,
berbohong, dan bentuk lain yang mengambil keuntungan dari perilaku tidak adil
yang dilakukan oleh para siswa. Kaufman (2008) menambahkan bahwa bentuk-
bentuk perilaku curang yaitu memberi dan menerima pertolongan dalam tugas
dan ujian akademis serta menunjukkan pekerjaan kepada orang lain. Davis,
Grover, Becker, dan McGregor (dalam Carter & Carter, 2001) menambahkan
salah satu bentuk kecurangan yaitu memberikan sinyal-sinyal non verbal untuk
membantu orang lain dalam ujian, misalnya menggunakan gerakan tangan atau
kaki.
McCabe dan Trevino (dalam Whitley & Spiegel, 2002) membagi
kecurangan dalam tiga kategori, yaitu:
14
a. Kecurangan dalam ujian
Bentuk-bentuk kecurangan dalam ujian adalah menggunakan kertas
contekan saat ujian, menyalin jawaban dari orang lain saat ujian, menggunakan
metode yang curang dalam memperoleh pertanyaan-pertanyaan yang akan
diujikan, menyalin jawaban orang lain tanpa sepengetahuannya dan membantu
orang lain dalam ujian.
b. Kecurangan dalam tugas (menyalin tugas dan pekerjaan rumah)
Diantara bentuk kecurangan dalam tugas adalah menyalin bahan-bahan
dan kemudian mengklaimnya sebagai pekerjaan sendiri, bekerjasama dalam
melaksanakan tugas ketika instruktur meminta untuk mengerjakan tugas tersebut
sendiri.
c. Plagiat
Plagiat atau penjimplakan merupakan kesengajaan dalam mengambil dan
mereproduksi ulang ide atau kata atau kalimat orang lain dan mengakuinya
sebagai pekerjaan sendiri (Pavela dalam Whitley & Spiegel, 2002). Diantara
bentuk-bentuk plagiat adalah membuat atau memalsukan bibliografi, mengambil
hasil pekerjaan atau tulisan orang lain, mengambil bagian-bagian penting dari
pekerjaan orang lain tanpa izin untuk menyelesaikan tugas sendiri, menyalin
beberapa kalimat atau bahan-bahan yang telah dipublikasikan tanpa
mencantumkan sumber yang jelas.
Dari beberapa bentuk-bentuk kecurangan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa bentuk-bentuk kecurangan dalam melaksanakan ujian
adalah:
15
a. Menggunakan kertas contekan atau alat-alat lain yang dapat dipergunakan
sebagai bahan contekan. Misalnya karet penghapus, penggaris,
handphone (hp), dsb.
b. Menggunakan bahasa verbal dan non verbal untuk memberi dan atau
menerima jawaban dalam ujian.
c. Bekerjasama dalam arti memberi dan atau menerima bantuan selama
ujian berlangsung.
d. Melihat dan menyalin hasil pekerjaan orang lain tanpa atau dengan izin
orang tersebut.
e. Mengetahui terlebih dahulu soal-soal yang akan diujikan, dalam hal ini
mengetahui kunci jawaban ujian.
Berdasarkan Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional yang dikeluarkan
oleh BSNP (2012) sebelum ujian dilaksanakan, ada beberapa peraturan dan tata
tertib yang harus dipenuhi oleh peserta UN selama ujian berlangsung. Tata tertib
tersebut memiliki kekuatan hukum, jadi saat terjadi pelanggaran terhadap tata
tertib tersebut, maka peserta ujian maupun pihak-pihak yang terlibat dalam
pelanggaran akan memperoleh sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam melaksanakan Ujian Nasional, peserta ujian yang dalam hal ini adalah
remaja dilarang untuk :
a. Membawa buku atau catatan lain, alat komunikasi elektronik, kalkulator
dan sebagainya ke dalam ruang UN kecuali alat tulis yang akan
dipergunakan.
b. Menanyakan jawaban soal kepada siapa pun.
c. Bekerjasama dengan peserta lain.
d. Memberi atau menerima bantuan dalam menjawab soal
16
e. Memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat
pekerjaan peserta lain.
f. membawa naskah soal UN dan LJUN keluar dari ruang ujian.
g. Menggantikan atau digantikan oleh orang lain.
3. Faktor yang mempengaruhi perilaku curang
Dari berbagai macam penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli
mengenai perilaku curang, penulis merumuskan bahwa secara garis besar
terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku curang, diantaranya adalah
faktor personal dan faktor situasional.
a. Faktor personal
1) Usia dan jenis kelamin.
Remaja yang berusia lebih muda memiliki tingkat kecurangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan remaja yang berusia lebih tua (Hilbert dalam Whitley,
1998; Bowers dalam Jordan, 2001) hal ini terlihat dari 10 penelitian yang
dilakukan terhadap mahasiswa dari rentang usia yang berbeda ditemukan bahwa
mahasiswa yang lebih muda memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mahasiswa yang lebih tua (Whitley, 1998). Laki-laki
memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan
(Wideman, 2008; Smith dalam Whitley, 1998) hal senada juga diungkapkan oleh
Szabo dan Underwood (dalam Wideman, 2008), berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap 291 mahasiswa ditemukan bahwa laki-laki memiliki tingkat
kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dengan
perbandingan 68% dan 39%.
.
17
2) Motivasi
Motivasi merujuk kepada alasan tertentu mengapa sesuatu dilakukan
(Djiwandono, 2006). Di dalam dunia pendidikan, motivasi akan menentukan
pencapaian yang diinginkan oleh siswa (Rettinger & Kramer, 2009). Siswa yang
belajar untuk mengembangkan pengetahuan (learning orientation) dan siswa
yang berorientasi pada prestasi (performance orientation) akan memiliki sikap
yang berbeda dalam kecurangan. Siswa yang memiliki orientasi berprestasi akan
lebih memungkinkan untuk melakukan kecurangan dibandingkan dengan siswa
yang memiliki orientasi untuk mengembangkan pengetahuan (Rettinger &
Jordan, 2005). Contohnya adalah, Anderman (dalam Rettinger & Jordan, 2005)
menemukan bahwa siswa pada sekolah menengah yang memiliki tujuan untuk
memperoleh nilai yang tinggi secara signifikan memiliki tingkat kecurangan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak. Demikian juga dengan
harapan untuk sukses, dimana siswa yang memiliki ekspektasi tinggi untuk
sukses sebagian besar akan melakukan berbagai cara untuk memperoleh apa
yang diinginkannya sehingga mereka akan lebih banyak melakukan kecurangan
dibandingkan dengan siswa yang ekspektasi untuk suksesnya sedang dan
rendah (Whitley dalam Olanrewaju, 2010).
3) Sikap
Sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu
terhadap objek sikap berupa orang, benda, tempat, gagasan, seituasi, atau
kelompok (Sobur, 2003). Sikap terhadap kecurangan merupakan permasalahan
yang cukup menentukan dalam keputusan individu untuk terlibat dalam
kecurangan itu sendiri. Individu yang memiliki sikap netral dalam memandang
kecurangan akan cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap perilaku
18
curang dengan cara meminimalisir dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh
perilaku curang tersebut dan lebih memungkinkan untuk melakukan kecurangan
dibandingkan individu yang benar-benar menganggap bahwa perilaku curang
adalah salah (Rettinger & Jordan, 2005). Bagaimanapun, individu yang
melakukan kecurangan dan individu yang tidak melakukan kecurangan memiliki
sikap yang berbeda terhadap perilaku curang (Jordan, 2001).
4) Stress dan tekanan
Persaingan untuk mencapai kesuksesan serta rasa takut untuk gagal
dalam lingkungan akademik mendorong siswa untuk melakukan kecurangan.
Siswa merasa bahwa mereka perlu melakukan praktik kecurangan karena
mendapat tekanan dari orang tua dan teman sebaya untuk sukses. Jadi ketika
remaja merasa memiliki kemungkinan untuk gagal dalam tugas ataupun ujian,
maka hal tersebut akan menimbulkan keinginan melakukan berbagai usaha agar
terhindar dari kegagalan, salah satu caranya adalah dengan melakukan
kecurangan (Kaufman, 2008).
5) Inteligensi dan Kecakapan Akademik
Inteligensi secara umum diartikan sebagai kemampuan untuk membuat
kombinasi dan berfikir abstrak (Ebbinghaus & Terman dalam Suryabrata, 2010).
Kemudian Binet menyatakan bahwa sifat hakikat inteligensi itu ada tiga macam
yaitu kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan tertentu,
kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai
tujuan itu, dan kemampuan untuk oto-kritik yaitu kemampuan untuk mengkritik
diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya
(Suryabrata, 2010).
19
Berdasarkan hasil penelitian siswa dengan inteligensi tinggi menunjukkan
tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki
inteligensi rendah (Bloodgood, Turnley, & Mudrack, 2008). Hal ini dikarenakan
siswa dengan inteligensi tinggi sepertinya lebih baik daripada siswa yang lain
dalam memahami materi-materi pelajaran yang relevan, melihat perbedaan dari
berbagai macam topik, lebih peka dalam lapangan emosional dan sosial dan
mengerti hubungan antara tindakan dan hasil, dengan demikian akan lebih
mudah mempergunakan pengetahuan dalam berbagai konteks (Kingston dalam
Bloodgood, dkk., 2008). Siswa yang memiliki kecakapan tinggi dalam akademis
menunjukkan perilaku curang yang lebih rendah dibandingkan siswa yang tidak
cakap (Whitley, 1998) hal ini terlihat dari siswa yang dapat menyelesaikan tugas-
tugasnya dengan baik, memiliki prestasi yang bagus dalam mata pelajaran akan
menunjukkan tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa
yang tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas akademisnya dengan baik serta
memiliki prestasi yang cenderung biasa-biasa saja.
6) Norma sosial dan teman sebaya (Peer Group)
Norma sosial yang berkembang seputar kecurangan dapat mendorong
individu untuk melakukan kecurangan, hal ini seperti yang ditemukan oleh
Dawkins (dalam Yardley, Rodriguez, & Bates, 2009) dimana sekitar 70% siswa
yang melakukan kecuangan karena melihat siswa lain melakukan hal yang sama.
Siswa yang berada dalam norma sosial yang mengizinkan perilaku curang akan
lebih memungkinkan untuk melakukan kecurangan, dibandingkan dengan siswa
yang berada dalam norma sosial yang tidak mengizinkan segala macam bentuk
kecurangan (Whitley, 1998).
20
Selanjutnya McCabe dan Trevino (dalam Yardley, dkk., 2009) menemukan
bahwa faktor yang cukup dominan dalam perilaku curang adalah hubungan
teman sebaya. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Jordan (2001), dimana
siswa yang melakukan kecurangan melaporkan bahwa teman sebaya melakukan
kecurangan yang sama di dalam kelas, sedangkan siswa yang tidak curang
melaporkan bahwa tidak terjadi kecurangan di dalam kelas (Rettinger & Kramer,
2009).
Siswa menjelaskan bahwa perilaku curang termasuk ke dalam
perbandingan sosial, dimana perbandingan menjadi dasar dari persepsi siswa
terhadap norma teman sebaya (Jordan, 2001; Rettinger & Kramer, 2009),
terdapat korelasi positif antara perilaku curang dan menyaksikan orang lain
melakukan kecurangan dan memberikan peran mempengaruhi teman sebaya
dengan baik (Jordan, 2001). Perilaku curang akan menjadi lebih tinggi jika teman
sebaya juga melakukan hal yang sama (Teodorescu & Andrei, 2009).
7) Penalaran Moral
Secara umum, siswa yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi memiliki
tingkat kecurangan yang rendah (Malinowski & Smith dalam Bernardi, dkk.,
2004). Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh hasil peneiltian Leming
(2001) dimana subjek yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi menunjukkan
perilaku curang yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang memiliki
tingkat penalaran moral sedang dan rendah pada situasi pengawasan yang
tinggi. Sementara itu, pada tingkat pengawasan yang rendah, tingkat kecurangan
antara subjek yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi, sedang dan rendah
sama saja. Kemudian Kohlberg (dalam Semerci, 2006) menemukan bahwa 70%
dari remaja pada tahap prakonvensional melakukan kecurangan, sedangkan
21
remaja tahap konvensional yang melakukan kecurangan adalah sekitar 55%.
Jadi, remaja pada tahap prakonvensional lebih banyak melakukan kecurangan
dibandingkan dengan remaja pada tahap konvensional.
8) Religiusitas
Religiusitas merupakan pengertian, melakukan, mengikuti serangkaian
doktrin-doktrin dan prinsip-prinsip keagamaan. Siswa yang mendapatkan
pelatihan keagamaan dan kepercayaan mempengaruhi perilaku dan
menyediakan batasan untuk membantu membedakan antara yang benar dan
salah. Siswa yang memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti
serangkaian doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat kecurangan
yang lebih rendah (Bloodgood, dkk., 2008).
Sutton dan Hoba (dalam Rettinger & Jordan, 2005) menemukan bahwa
religiusitas mempengaruhi sikap terhadap kecurangan dimana siswa yang lebih
religius memiliki beberapa pertimbangan untuk melakukan kecurangan, dan
siswa yang mengambil studi keagamaan memiliki tingkat kecurangan yang lebih
rendah dibandingkan dengan siswa lain.
b. Faktor Situasional
1) Kode etik
Lembaga pendidikan yang memiliki kode etik serta sanksi tegas mengenai
pelanggaran-pelanggaran akademik akan mempengaruhi perilaku curang siswa,
dimana siswa dari lembaga pendidikan yang memiliki kode etik yang jelas
memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga
pendidikan yang tidak memiliki kode etik (Whitley, 1998).
22
2) Tugas, kompetisi dan ukuran kelas.
Penelitian yang dilakukan Whitley (1998) mengungkapkan bahwa
banyaknya tugas dan kompetisi kelas mempengaruhi perilaku curang siswa,
dimana siswa dengan tugas yang banyak serta kompetisi kelas yang tinggi akan
memiliki kecenderungan untuk berperilaku curang dibandingkan dengan siswa
yang memiliki lebih sedikit tugas dan tingkat kompetisi kelas rendah.
Demikian juga dengan ukuran kelas, Houston (dalam Whitley, 1998)
mengemukakan bahwa kelas besar dengan jumlah siswa yang banyak
memberikan peluang lebih besar kepada siswanya untuk melakukan
kecurangan. Tingkat kesulitan dalam tugas dan ujian juga akan mempengaruhi
perilaku curang siswa, dimana patokan nilai rata-rata yang tinggi kemudian mata
ujian yang sulit dan keharusan untuk lulus membuat siswa takut mengalami
kegagalan serta menanggung resiko-resiko yang tidak diinginkan sehingga tidak
lagi memikirkan keuntungan atau kerugian dari perilaku curang karena yang lebih
penting adalah terhindar dari berbagai hukuman ketika mengalami kegagalan
(Kaufman, 2008).
3) Situasi ujian
Siswa cenderung melakukan kecurangan ketika resiko untuk berbuat
curang lebih sedikit, misalnya adalah tingkat pengawasan yang rendah
(Corcoran & Rotter dalam Whitley, 1998). Tempat duduk saat melaksanakan
ujian juga mempengaruhi perilaku curang, tempat duduk yang memiliki jarak satu
kursi kosong akan lebih baik daripada kursi peserta ujian berdekatan (Houston
dalam Whitley, 1998).
23
4) Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan salah satu tempat dimana individu
menuju kepada proses kedewasaan dalam berbagai aspek. Lembaga pendidikan
atau sekolah memiliki dua fungsi pokok yaitu tempat pendidikan dan lembaga
sosialisasi, sehingga sekolah tidak hanya sebatas pada pengalihan ilmu
pengetahuan saja tetapi juga untuk pengembangan kepribadian siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Rettinger dan Jordan (2005) menunjukkan
bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa mengikuti kursus yang
berbasis keagamaan lebih rendah dibandingkan siswa yang mengikuti kursus
yang sama akan tetapi berbasis umum. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
87% mahasiswa jurusan bisnis melakukan kecurangan, tingkat perilaku curang
ini lebih tinggi dibandingkan mahasiswa dari jurusan teknik, sains dan sosial
(Kaufman, 2008).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku curang dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor personal yang terdiri dari usia dan jenis kelamin, motivasi, sikap,
stress dan tekanan, inteligensi dan kecakapan akademik, norma sosial dan
teman sebaya, penalaran moral dan religiusitas. Sedangkan faktor situasional
dipengaruhi oleh kode etik, tugas, kompetisi dan ukuran kelas, situasi ujian dan
lembaga pendidikan.
4. Perilaku curang remaja
Remaja merupakan sebutan untuk individu yang telah berusia 12 sampai
dengan 21 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 1998), ada juga yang membatasi
dari usia 12 sampai dengan 20 tahun (Djiwandono, 2006). Dengan pembagian
12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa
remaja pertengahan dan 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. Pada masa
24
remaja, siswa mengalami berbagai macam perubahan, baik dari sisi fisik, kognitif
maupun sosio-emosional (Santrock, 2003).
Pada usia 11 tahun Piaget yakin bahwa pemikiran remaja telah beralih
dari operasi-operasi konkrit kepada operasi-operasi formal (Crain, 2007;
Santrock, 2003), remaja semakin mampu menggunakan pemikiran deduktif
hipotesis. Pada masa remaja, pengambilan keputusan akan semakin meningkat,
dimana remaja yang lebih tua akan lebih kompeten dalam mengambil keputusan
dibandingkan dengan remaja yang lebih muda. Pada perkembangan remaja
menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) perkembangan identitas merupakan
perkembangan yang paling komprehensif dan provokatif, dimana pandangan-
pandangan dunia menjadi penting. Saat remaja gagal mencapai perkembangan
identitas maka kenakalan akan banyak terjadi di kalangan remaja. Kenakalan itu
mengacu kepada suatu rentang perilaku yang luas, dari perilaku yang tidak dapt
diterima secara sosial sampai kepada pelanggaran serius hingga tindakan-
tindakan kriminal.
Carl Rogers (dalam Sunarto & Hartono, 2006) mengemukakan bahwa
remaja pada hakikatnya hanya mencoba untuk mengekspresikan kemampuan,
potensi, dan bakatnya untuk mencapai tingkat perkembangan pribadi yang
sempurna. Remaja memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri,
membutuhkan pengakuan akan kemampuannya, dan menurut Maslow (dalam
Sunarto & Hartono, 2006) kebutuhan ini disebut kebutuhan penghargaan.
Remaja membutuhkan penghargaan dan pengakuan bahwa remaja tersebut
telah mampu beridiri sendiri, mampu melaksanakan tugas-tugas seperti yang
diharapkan dan dilakukan oleh orang dewasa dan dapat bertanggung jawab atas
sikap dan perbuatan yang dikerjakannya. Karena remaja membutuhkan
25
penghargaan dan supaya mereka tidak dianggap anak-anak lagi, maka remaja
sering memunculkan penampilan reflectivity atau kecenderungan untuk berpikir
tentang apa yang terjadi pada pikiran diri seseorang dan mempelajari dirinya
sendiri (Djiwandono, 2006). Sehingga remaja memiliki kemungkinan lebih mudah
tidak puas dengan diri sendiri, cenderung mengkritik sifat-sifat pribadi,
membandingkan diri dengan orang lain dan mencoba berubah seperti orang lain.
Lingkungan sosial menuntut remaja untuk dapat meletakkan dasar-dasar
aturan untuk pembentukan sikap dan pola perilaku, sehingga ketika remaja
mengalami kegagalan akan berdampak pada penurun harga diri, yang akan
berlanjut kepada sikap agresif, tidak percaya diri yang akan menjurus kepada
perbuatan-perbuatan yang secara moral tidak dapat diterima oleh masyarakat
luas, misalnya melakukan kecurangan dalam proses pendidikan.
Perilaku curang yang dilakukan oleh remaja dewasa ini sungguh sangat
mengkhawatirkan, banyak ahli setuju bahwa selama tiga dekade ini perilaku
curang dalam dunia pendidikan terus mengalami peningkatan (McCabe, dkk.,
2001). Di Amerika misalnya, setelah melakukan survei terhadap 36.000 remaja
yang bersekolah di sekolah menengah atas, ditemukan bahwa 60% dari mereka
melakukan kecurangan saat mengikuti ujian akhir tahun (Josephson Institute of
Ethics dalam Murdock, Beauschamp, & Hinton, 2008). Hal ini semakin diperburuk
dengan semakin banyaknya remaja yang menganggap bahwa perilaku curang ini
sebagai sesuatu yang normal, perkembangan teknologi berperan dalam
pengikisan norma-norma serta akuntabilitas dalam sosial yang kemudian masuk
ke dalam dunia pendidikan (Kleiner & Chaput dalam Saulsbury, Brown, Heyliger,
& Beale, 2011). Perilaku curang merupakan salah satu perilaku yang harus
diperhatikan dengan serius karena perilaku curang di sekolah merupakan awal
26
dari perilaku curang dalam kehidupan yang lebih luas (Click dalam Lee, 2009).
Remaja yang melakukan kecurangan di sekolah biasanya akan melakukan hal
yang sama ketika melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (Kaufman, 2008;
Harding dalam Vinski & Tryon, 2009), yang pada akhirnya juga merambah ke
dalam dunia kerja (Teodorescu & Andrei, 2009; Kaufman, 2008; Vinski & Tryon,
2009; Chaput dalam Saulsbury, dkk., 2011). Sehingga secara tidak langsung
remaja telah membangun perilaku yang amoral dan tidak etis dalam kehidupan
sosialnya.
B. Perkembangan Penalaran Moral
1. Pengertian
Moral dapat diartikan sebagai karakteristik seseorang atau kelompok
yang menjadi pedoman dalam berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Moral merupakan ajaran tentang
akhlak, kewajiban, serta baik dan buruknya suatu perbuatan, yang berkaitan
dengan kemampuan individu untuk membedakan antara perbuatan benar dan
salah (Sunarto & Hartono, 2006). Santrock (2003) menjelaskan bahwa
perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai
mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan
orang lain. Jadi perkembangan moral merupakan progresifitas kapasitas berfikir
individu mengenai alasan tentang moral yang dipertanyakan yang berhubungan
dengan peraturan dan nilai-nilai yang harus dilakukan seseorang dalam
interaksinya dengan orang lain. Piaget (dalam Slavin, 2011) menjelaskan bahwa
struktur kemampuan kognisi berkembang terlebih dahulu sebelum penalaran
moral, dimana kemampuan kognisi akan menentukan kemampuan individu
bernalar tentang situasi sosial.
27
Penalaran moral menurut Haidt (dalam Paxton & Greene, 2010) diartikan
sebagai kesadaran aktifitas mental yang terdiri dari transformasi informasi
tentang orang-orang atau situasi untuk mencapai suatu penilaian moral. Dimana
penilaian moral merupakan evaluasi tentang baik dan buruk dari tindakan atau
karakter seseorang yang dibuat dengan menghormati satu set kebajikan yang
diselenggarakan oleh budaya atau sub kultur (Zande, Bekelmans, Vermunt, &
Waarlo, 2009).
Kohlberg (dalam Raaijmakers & Hoof, 2006) menjelaskan bahwa
penalaran moral dipahami sebagai manifestasi dari struktur batin, psikologis dan
kognitif yang mengatur tindakan ketika terjadi konflik moral pada individu.
Penalaran moral lebih ditekankan pada alasan yang mendasari suatu tindakan
yang digunakan dalam menilai baik buruknya tingkah laku (Gardner & Gardiner
dalam Martani, 1995). Sementara itu Rest (1979) menjelaskan bahwa penalaran
moral mengarah pada pembuatan sebuah keputusan mengenai apakah
kebenaran yang pasti berasal dari tindakan secara moral, seperti apa yang
seharusnya dilakukan. proses ini meliputi pemikiran perspektif dari pertimbangan
individu dalam sebuah pemecahan masalah ideal untuk dilema moral.
Dari beberapa penjelasan para ahli mengenai penalaran moral, maka
dapat disimpulkan bahwa penalaran moral merupakan manifestasi struktur batin,
psikologis dan kognitif yang diperoleh dari transformasi informasi mengenai
alasan-alasan yang mempertanyakan dan mengevaluasi sehingga sesuatu itu
dianggap baik atau buruk yang mengarah pada pembuatan sebuah keputusan
yang akan mengatur tindakan individu ketika sedang terjadi konflik moral.
28
2. Perkembangan moral
Perkembangan moral merupakan progresifitas kapasitas berfikir individu
mengenai alasan tentang moral yang dipertanyakan yang berhubungan dengan
peraturan dan nilai-nilai yang harus dilakukan dalam interaksinya dengan orang
lain. Dalam moral, terdapat tiga domain yang tidak dapat dipisahkan. Domain
atau komponen ini seringkali berkaitan satu sama lain, yaitu (Santrock, 2003):
a. Pertimbangan dan pemikiran
Bagaimana mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan
untuk melakukan berbagai tingkah laku etis, fokusnya adalah penalaran yang
dilakukan untuk menentukan keputusan moral.
b. Bertingkah laku
Bagaimana bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya, apakah
individu akan tetap melakukan suatu perbuatan yang amoral seperti yang
dilakukan oleh sebagian besar orang disekitarnya atau tetap mempertahankan
tingkah laku sesuai dengan yang seharusnya.
c. Perasaan
Bagaimana perasaan mengenai permasalahan moral, yakni bagaimana
perasaan individu setelah melakukan suatu perbuatan tertentu, apakah akan
mengulangnya dilain kesempatan atau menghilangkannya.
Piaget (dalam Slavin, 2011) menjelaskan bahwa kemampuan kognisi
akan menentukan kemampuan menalar situasi sosial. Piaget memiliki beberapa
gagasan yang menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dalam dua cara yang
berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangan yang
mereka miliki, yaitu:
29
a. Moralitas heteronom (heteronomous morality)
Merupakan tahap pertama dari perkembangan moral Piaget, terjadi pada
anak yang berusia 4 sampai 7 tahun, dimana keadilan dan peraturan dipahami
sebagai suatu properti dunia yang tidak dapat diubah, yang berada di luar
kendali manusia. Pada anak yang berada di tatahap heteronom, penilaian benar
atau baiknya tingkah laku berada pada konsekuensi dari tingkah laku tersebut,
bukan dari pelakunya. Anak-anak memandang bahwa -peraturan meruapakan
sesuatu yang pasti, bersifat tetap dan tidak dapat dirubah. Pada usia ini, anak-
anak percaya bahwa suatu pelanggaran secara otomatis akan berhubungan
dengan hukuman (Santrock, 2003; Slavin, 2011).
b. Moralitas otonom (otonom morality)
Merupakan tahap kedua, muncul pada saat anak berusia 7-10 tahun,
dimana anak menyadari bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia dan
dalam menilai suatu tindakan seseorang harus mempertimbngkan intensi si
pelaku selain memikirkan konsekuensinya. Pada masa ini, anak-anak yakin
bahwa nilai benar atau baiknya suatu tingkah laku dilihat dari intensi pelakunya,
kemudian juga anak-anak akan memandang peraturan sebagai suatu
kesepakatan, sehingga dapat diubah sewaktu-waktu dan jika terjadi pelanggaran
peraturan anak merasa bahwa hukuman tidak diberikan secara langsung dan
terjadi hanya bila yang bersangkutan melihat kesalan tersebut, dan masih ada
kemungkinan untuk dihindari (Santrock, 2003; Slavin, 2011).
Piaget (dalam Crain, 2007) menemukan bahwa serangkaian perubahan-
perubahan pada individu terjadi antara usia 10-12 tahun, dimana ketika itu anak
mulai memasuki tahap formal operasional. Pada tahapan ini anak akan berfikir
lebih logis, abstrak dan melakukan penalaran secara deduktif, sehingga anak
30
seringkali membandingkan kenyataan dengan sesuatu yang ideal,
mempertanyakan mengenai berbagai fakta, mampu menghubungkan masa lalu
dengan masa kini, telah memahami peran dalam masyarakat, sejarah dan alam
semesta dan dapat menempatkan konstruk mental mereka sebagai suatu objek
(Piaget dalam Santrock, 2003). Namun, perkembangan moral tidaklah berhenti
pada usia 12 tahun tersebut, tapi merupakan permulaan dari tahapan formal
operasional yang terus bekembang sampai usia 16 tahun, sehingga masalah-
masalah moral akan terus berkembang selama masa remaja (Crain, 2007).
3. Tahap-tahap penalaran moral
Menurut Turiel (dalam Martani, 1995) perkembangan penalaran moral
merupakan suatu proses yang terjadi secara gradual. Perkembangan terjadi
melalui tahapan tertentu, perubahan penalaran moral dijelaskan melalui model
ekuilibrium. Perubahan penalaran moral dari satu tahap ke tahap berikutnya
merupakan hasil dari keadaan disekuilibrium. Dalam perkembangan penalaran
moral, disekuilibrium berfungsi sebagai timbulnya konflik kognitif. Kondisi
disekulibrium akan menyebabkan seseorang berusaha menggunakan penalaran
sebagai upaya untuk memberikan sebuah penjelasan (Martani, 1995).
Berkembangnya penelitian di bidang perkembangan moral membuat
beberapa ahli perkembangan mengkritisi kualitas penelitian moral yang dilakukan
oleh Kohlberg, hal ini terkait dengan cara memperoleh data dalam penelitiannya.
Boyes, Biordano, dan Gaperyn (dalam Santrock, 2003) mengungkapkan bahwa
harus ada perhatian yang lebih besar terhadap bagaimana perkembangan moral
diuji, hal ini sepertinya disambut baik oleh James Rest (dalam Rest, Narvaez,
Thoma, & Bebeau, 2000) dimana Rest mengembangkan metode lain untuk
mengumpulkan informasi mengenai pemikiran moral yang tidak hanya
31
mengandalkan satu metode saja seperti yang dilakukan oleh Kohlberg. Menurut
Rest (1979) cerita dalam dilema moral Kohlberg terlalu sulit untuk diberi nilai,
sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut, Rest mengembangkan suatu
pengukuran terhadap perkembangan moral yang disebut dengan Defining Issue
Tes (DIT).
DIT merupakan perangkat moral untuk mengaktifkan skema moral yang
ada di dalam diri individu ketika individu membaca dilema moral yang disajikan
dalam DIT. Melalaui DIT, Rest menyimpulkan bahwa individu memahami situasi
moral dalam tiga skema besar, diantaranya adalah skema kepentingan pribadi,
skema pertahanan norma-norma, dan skema postkonvensional. Ketiga skema
tersebut akan mengatur perkembangan moral individu sehingga menempatkan
individu dalam tahap perkembangan moral yang dikembangkan oleh Kohlberg
(dalam Santrock, 2003).
Skema merupakan satu kerangka kognitif yang terdiri dari sejumlah ide
yang terorganisasi yang berlaku sebagai satu standar, sehingga terhadapnya
dapat dibuat reaksi berikutnya (Chaplin, 2006). Menurut Rest (dalam Rest,
Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000) skema dapat dipahami sebagai strukur
pengetahuan umum yang berada di memori jangka panjang. Skema, seperti
harapan, dugaan sementara dan konsep merupakan sesuatu yang dibentuk oleh
individu dan akan muncul dalam pengalaman ketika berhadapan dengan situasi
yang hampir mirip dengan situasi sebelumnya. Skema terdiri dari representasi
beberapa stimulus sebelumnya, terorganisir untuk memahami pengetahuan baru.
Menurut Rest (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000) fungsi dari skema
sangat penting untuk membentuk pemahaman manusia, panduan skema
memperhatikan informasi baru untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,
32
memberikan struktur atau makna logis untuk perlakuan dan panduan sehingga
individu dapat mengevaluasi dan memecahkan masalah dengan tepat. Berikut
adalah penjelasan mengenai ketiga skema perkembangan moral Rest (dalam
Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000) :
a. Skema kepentingan pribadi
Individu yamg masuk dalam kategori skema ini menggunakan dasar
kepentingan pribadi untuk menganalisis dan mempertimbangkan kerjasama
sosial berdasarkan hubungan kedekatan, seperti dengan keluarga, teman atau
orang yang dikenal oleh individu. Seperti pada tahap kedua dan ketiga
perkembangan penalaran Kohlberg (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau,
2000), pada masa ini rasa percaya, kasih sayang dan kesetiaan merupakan
dasar untuk melakukan penilaian moral, pernyataan benar dan salah didasarkan
pada konsekuensi yang akan terjadi pada individu.
Pada tahap ini individu memperlihatkan kekhawatiran-kekhawatiran
dalam memiliki hubungan dengan orang lain yang bukan keluarga, teman atau
dengan orang yang dikenal karena penilaiannbaik adalah apa saja yang
menyenangkan dan membantu orang lain yang memiliki hubungan dekat dan
disetujui oleh orang tesebut, seperti menggunakan penilaian orang tua.
Skema ini merujuk kepada tahap 2 dan 3 perkembangan penalaran moral
Kohlberg yaitu tahap individualisme dan tujuan serta tahap norma interpersonal,
dimana pada tahap ini pemikiran moral didasarkan pada hadiah atau reward dan
minat pribadi. Apa yang benar merupakan apa saja yang memuaskan kebutuhan
diri sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Kemudian individu
menganggap bahwa rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan terhadap orang
lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. Perilaku yang baik adalah
33
apa saja yang menyenangkan dan membantu orang lain dan disetujui oleh orang
tersebut. Misalnya dengan mengambil standar moral orang tua yang
menganggap anak sebagai anak yang baik. Tahap ini ditemukan pada sebagian
besar anak-anak SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP dan banyak siswa SMA
(Santrock, 2003; Crain, 2007; Ormrod, 2008; Slavin, 2011).
b. Skema pertahanan norma
Individu pada skema ini telah mempertimbangkan bagaimana
bekerjasama dengan orang lain dalam skala yang lebih luas, seperti orang asing
atau orang yang baru dikenal. Dengan skema ini individu mampu
mengidentifikasi aturan-aturan dan peran yang telah digariskan oleh pemerintah.
Sama seperti pada tahap keempat perkembangan penalaran Kohlberg (dalam
Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000), pada tahap ini penilaian moral
didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan dan tugas
sosial. Individu yang masuk dalam kategori skema ini akan memiliki unsur-unsur
seperti kebutuhan untuk mematuhi norma sosial karena telah digariskan oleh
pemerintah, menerapkan norma-norma untuk bekerjasama dengan masyarakat
yang lebih luas.
Penilaian baik dan buruk, benar dan salah harus memiliki aturan hukum
yang jelas dan seragam berlaku bagi setiap orang. Pada skema ini, individu
memandang norma sebagai jalan untuk membangun hubungan timbal balik
dengan orang lain, sehingga setiap warga negara harus mematuhi hukum dan
mengharapkan orang lain juga melakukan hal yang sama. Individu menilai
bahwa dalam masyarakat yang teratur terdapat struktur peran yang harus
dipatuhi, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menghormati sistem sosial,
memelihara tatanan sosial, karena tanpa hukum dan tatanan sosial orang akan
34
bertindak atas kepentingan sendiri, sehingga akan menyebabkan kekacauan dan
dalam situasi ini individu bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab untuk
mencegah hal tersebut.
Skema ini merujuk pada tahap keempat tingkat perkembangan penalaran
moral yang diungkapkan oleh Kohlberg yakni tahap moral sistem sosial. Pada
tahap ini penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum,
keadilan dan tugas sosial. Benar berarti melakukan kewajiban seseorang,
dengan memperlihatkan sikap hormat kepada orang yang berwenang dan
mempertahankan tatanan sosial tertentu bagi dirinya. Ditemukan pada sebagian
besar siswa SMA karena biasanya tidak akan muncul sebelum masa tersebut
(Ormrod, 2008).
c. Skema postkonvensional
Kewajiban moral didasarkan pada cita-cita bersama, sepenuhnya
berdasarkan hubungan timbal balik dan sesuai dengan apa yang digariskan oleh
masyarakat luas. Sama seperti tahap kelima dan keenam pada perkembanga
penalaran moral Kohlberg, dimana pada tahap ini seseorang memiliki
pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relatif, sehingga benar dan salah
serta baik dan buruk didasarkan pada hak-hak umum individu berdasarkan
standar yang telah disepakati oleh masyarakat.
Skema ini merujuk pada tahap kelima dan keenam tingkat perkembangan
penalaran moral yang dikembangkan oleh Kohlberg, yakni tahap hak komunitas
vs hak individu dan tahap prinsip etis universal. Pada tingkat ini moralitas
diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada standar orang lain.
Individu mengetahui adanya pilihan moral yang lain sebagai alternatif,
memperhatikan pilihan-pilihan tersebut dan memutuskan sesuai dengan kode
35
moral pribadinya. Sehingga individu mendefiniskan nilai-nilai berdasarkan prinsip
etika yang telah dipilihnya untuk diikuti. Tingkat ini jarang muncul pada individu
sebelum masa kuliah. Pada tahap ini seseorang memiliki pemahaman bahwa
nilai dan hukum adalah relatif dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda
dengan orang lain. Sehingga apa yang benar ditentukan berdasarkan hak-hak
individu umum dan berdasar standar yang telah disepakati oleh seluruh
masyarakat. seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada
hak manusia secara universal. Ketika dihadapkan pada suatu konflik antara
hukum dan kata hatinya, individu akan mengikuti kata hatinya, walaupun
keputusan tersebut dapat memunculkan resiko pada dirinya (Santrock, 2003;
Crain, 2007; Ormrod, 2008; Slavin, 2011).
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral
Berbagai macam penelitian telah menidentifikasi sejumlah faktor yang
berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral (Ormrod,
2008), diantaranya adalah:
a. Perkembangan kognitif
Penalaran moral yang tinggi memerlukan refleksi yang mendalam mengenai
ide-ide abstrak, sehingga dalam batas-batas tertentu perkembangan penalaran
moral bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg, Nucci, & Turiel dalam
Ormrod, 2008). Hal senada juga diungkapkan oleh Gibbs (dalam Matarazzo,
dkk., 2008) yang mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif memberikan
kontribusi penting terhadap perkembangan penalaran moral, dimana
perkembangan penalaran moral berkembang seiring dengan perkembangan
kognitif.
36
b. Penggunaan rasio
Anak-anak lebih cenderung memperolah manfaat dalam perkembangan
moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan
perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.
c. Isu dan dilema moral
Kohlberg menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika
mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara
memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu atau yang
lebih dikenal dengan disekuilibrium (ketidakseimbangan). Disekuilibrium
dipandang dapat memicu perkembangan moral, diskusi-diskusi mengenai isu-isu
moral dapat meningkatkan kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain
dan transisi ke penalaran yang lebih tinggi (Ormrod, 2008). Dari temuan ini
dihasilkan poin yang sangat penting, yaitu penalaran moral tidak semata-mata
dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan orang dewasa,
melainkan mucul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara
personal oleh individu itu sendiri, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang
seringkali ditinjau ulang, direvisi dan akhirnya diperbaiki oleh individu itu sendiri
seiring waktu.
d. Teman sebaya
Brown dan Theobald (dalam Rice, Dolgin, & Gale, 2008) menejalaskan
alasan kenapa teman sebaya mempengaruhi penalaran moral remaja adalah
karena tekanan yang berasal dari teman sebaya, pengharapan normatif terhadap
apa yang mereka lakukan, harapan dan proses modeling.
37
e. Perasaan diri
Efikasi diri akan membuat suatu perbedaan dalam perilaku moral (Narvaez &
Rest dalam Ormrod, 2008). Pada masa remaja, individu mulai mengintegrasikan
komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam identitas remaja secara
keseluruhan (Arnold, Biasi, & Nucci dalam Ormrod, 2008). Individu menganggp
diri sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian yang peduli kepada hak-hak
dan kebaikan orang lain sehingga akan meluas kepada masyarakat.
f. Peran keluarga
Penelitian menunjukkan bahwa keluarga khususnya orang tua memiliki
dampak yang cukup kuat untuk perkembangan individu. Orang tua memiliki
peran yang sangat penting dalam proses transisi individu dari anak-anak menuju
remaja (White & Matawie, 2004). Keluarga juga mengajarkan berbagai hal dasar
mengenai sosial, agama, politik, aksi-aksi prososial dan respon-respon sosial.
Dampak peran keluarga terhadap perkembangan moral individu berhubungan
dengan tingkat kehangatan, penerimaan, saling menghargai dan kepercayaan
yang diberikan kepada remaja. Selanjutnya adalah frekuensi serta intensitas
interaksi dan komunikasi antara orang tua dan remaja, disiplin, role model yang
ditunjukkan oleh orang tua serta kesempatan yang diberikan orang tua agar
remaja bisa mandiri (Rice, dkk., 2008).
g. Agama
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa agama membawa dampak
positif terhadap tingkah laku remaja (Youniss, McClellan, & Yates dalam Rice,
dkk., 2008). Misalnya, remaja yang lebih religius memiliki tingkat kecenderungan
yang lebih rendah dalam menggunakan obat-obatan dan perilaku-perilaku non
etik lainnya dibandingkan remaja yang tidak religius.
38
Jadi dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan penalaran moral remaja adalah perkembangan
kognitif, penggunaan rasio, isu dan dilema moral, teman sebaya, perasaan diri,
peran keluarga dan agama.
5. Perkembangan penalaran moral remaja
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai oleh remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok kepadanya dan kemudian
bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan masyarakat.
Remaja diharapkan dapat mengerti konsep-konsep moral yang berlaku umum
yang kemudian menjadi pedoman bagi perilakunya. Pada remaja, pandangan
moral individu biasanya menjadi lebih abstrak, berpusat pada apa yang benar
dan kurang pada apa yang salah, keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang
dominan, penilaian moral menjadi semakin kognitif sehingga remaja dapat
mengambil keputusan terhadap berbagai permasalah moral yang dihadapinya
(Hurlock dalam Sunarto & Hartono, 2006).
Jadi pada masa remaja, seiring dengan perkembangan kognitifnya maka
remaja juga akan mulai mempertimbangkan situasi-situasi sosial yang terjadi di
sekelilingnya. Pada masa remaja penalaran moral akan semakin berkembang,
maka peran keluarga, sekolah, lingkungan dan masyarakat akan menjadi sangat
penting untuk membantu remaja tumbuh dan berkembang secara optimal
sehingga perkembangan moral yang dimiliki oleh remaja akan berdampak
terhadap perilakunya dalam masyarakat.
39
C. Sekolah
1. Pengertian dan fungsi
Sekolah merupakan jenis pendidikan yang sudah terstandarisir secara
legal formal. Baik dalam jenjang, lama pendidikan, paket kurikulum, persyaratan
unsur-unsur pengelolaan, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan dan
kemampuan dari kebolehan dan keberartian nilai, prosedur evaluasi, penyajian
materi, dan bahkan pada persyaratan presensi waktu liburan, serta sumbangan
dana pendidikan (Sukamto, 1988; Rohman, 2001).
Sekolah memiliki tujuan yang jelas, yaitu mencapai tujuan pendidikan
nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka menerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warna
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut maka sekolah
harus memiliki fungsi-fungsi berikut ini (Ihsan, 2003):
a. Dapat menumbuhkembangkan peserta didik sebagai individu yang memiliki
perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik yang maksimal.
b. Membantu tumbuh kembang peserta didik sebagai makhluk sosial melalui
pengkajian bidang studi tertentu, dimana peserta didik perlu
mengembangkan sikap sosial, gotong royong, toleransi, demokrasi dan
sebagainya.
40
c. Mampu membentuk peserta didik menjadi manusia susila yang cakap, yang
mampu menampilkan diri sesuai dengan nilai dan norma hidup yang
berkembang di masyarakat.
d. Melalui pendidikan agama, harus dapat menumbuh kembangkan peserta
didik menjadi makhluk religius, sehingga dengan nilai-nilai keagamaan
peserta didik dapat menciptakan kerukunan hidup beragama, menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur manusia yang toleran.
2. Sekolah Menengah Tingkat Atas
Mengacu kepada Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah yang
terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional , pendidikan menengah merupakan
jenjang perantara yang menjembatani pendidikan dasar dengan pendidikan
tinggi (Sudjana, 1994). Pendidikan menengah terdiri dari Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Jalur pendidikan sekolah pada sekolah menengah tingkat atas
dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan, jalur ini dilaksanakan
oleh sekolah melalui kegiatan belajar mengajar, terdiri atas sekolah-sekolah yang
berjenis:
a. Pendidikan umum, merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan
pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan
pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingat akhir masa pendidikan.
Seperti SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan Universitas.
b. Pendidikan kejuruan, merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Misalnya sekolah menengah
kejuruan (SMK) yang meliputi banyak bidang kejuruan.
41
c. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penugasan
pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan, contohnya
Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah
Aliyah (MA).
d. Pendidikan luar biasa, merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan
untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental. Contohnya
sekolah luar biasa yang terbagi ke dalam beberapa jenis. Misalnya SLB-A
(yang menangani anak tuna netra), SLB-B (menangani anak tuna rungu),
SLB-C (yang menangani anak tuna daksa), SLB-D (yang menangani anak
tuna grahita).
Dari berbagai jenis sekolah di atas, yang menjadi fokus dalam penelitian
ini adalah remaja sebagai seorang peserta didik yang berasal dari jenis sekolah
pendidikan umum, yaitu SMA dan SMK dan sekolah pendidikan agama, yaitu
MA.
a. Sekolah Menengah Atas (SMA)
Sekolah Menengah Atas adalah lembaga pendidikan sebagai lanjutan
dari sekolah menengah pertama baik SMP maupun MTs. Lembaga pendidikan
yang mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi, institut, sekolah tinggi, akademi dan sebagainya. Sekolah menengah atas
menyelenggarakan pendidikan bagi siswa-siswanya dengan tujuan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986):
1) Mendidik peserta didik untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga
negara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.
42
2) Memberikan bekal dan kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, terutama di Universitas dan
institut.
3) Memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan
melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi, akademi, politeknik, program
diploma dan program lainnya yang setingkat.
4) Memberi bekal kemampuan bagi siswa yang akan terjun ke dunia kerja
setelah menyelesaikan pendidikannya.
Sekolah Menengah Atas yang diselenggarakan oleh pemerintah, dalam
hal ini adalah Departemen pendidikan dan kebudayaan, disebut SMA Negeri.
sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan swasta disebut SMA
swasta. Pendidikan formal baik bagi siswa SMA negeri mauppun SMA Swasta
berlangsung selama tiga tahun pelajaran atau enam semester dengan
berpedoman pada kurikulum yang berlaku.
Berikut ini adalah Kurikulum SMA kelas XI dan XII program Ilmu
Pengetahuan alam (IPA), program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan porgram
Bahasa terdiri atas 13 mata pelajaran masing-masing mata pelajaran. Jam
pelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana dalam sturktur
kurikulum, satuan pendidkan dimungkinkan menambah maksimum empat jam
pelajaran per minggu secara keseluruhan. Alokasi waktu satu jam pelajaran
adalah 45 menit dan minggu efektif dalam satu tahun pelajaran adalah 34-38
minggu.
43
Tabel 1
Struktur Kurikulum SMA Program IPA
Komponen Alokasi Waktu (Jam Pelajaran)
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Fisik 7. Kimia 8. Biologi 9. Sejarah 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan/Bahasa Asing
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 4 4 4 4 4 4 1 2 2
2
2 2 2
2 2 4 4 4 4 4 4 1 2 2
2
2 2 2
Total 39 39
Tabel 2
Struktur Kurikulum SMA Program IPS
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Sejarah 7. Geografi 8. Ekonomi 9. Sosiologi 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan/Bahasa Asing
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 4 4 4 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2
2 2 4 4 4 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2
Total 39 39
44
Tabel 3
Sturktur Kurikulum SMA Program Bahasa
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Sastra Indonesia 7. Bahasa Asing 8. Antropologi 9. Sejarah 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 5 5 3 4 4 2 2 2 2
2
2 2 2
2 2 5 5 3 4 4 2 2 2 2
2
2 2 2
Total 39 39
Sekolah Menengah Atas memiliki jumlah jam pelajaran umum yang lebih
banyak dibandingkan dengan mata pelajaran pendidikan agama, diantaranya
adalah Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi untuk program IPA. Sejarah,
Geografi, Ekonomi dan sosiologi untuk program IPS. Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Sastra Indonesia dan Bahasa Asing untuk program Bahasa.
b. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Sekolah menengah kejuruan diselenggarakan dengan masa belajar tiga
tahun, sama seperti sekolah menengah tingkat atas lainnya. Tujuan
diselenggarakannya pendidikan kejuruan adalah untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan peserta
didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
program kejuruannya. Peserda didik yang telah menyelesaikan program
pendidikannya di SMK dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi di
45
perguruan tinggi dan secara bersamaan juga siap untuk terjun ke dunia kerja
sesuai dengan kekhususan yang dimilikinya.
Tabel 4 Struktur Kurikulum SMK
Komponen Durasi Waktu (Jam)
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika
5.1 Matematika kelompok seni, pariwisata dan Teknologi Kerumahtanggaan
5.2 Matematika kelompok sosial, administrasi dan Akuntansi
5.3 Matematika kelompok teknologi, kesehatan dan pertanian
6. Ilmu Pengetahuan Alam 6.1 IPA 6.2 Fisika
6.2.1 Fisik kelompok pertanian 6.2.2 Fisika kelompok teknologi
6.3 Kimia 6.3.1 Kimia Kelompok pertania 6.3.2 kimia kelompok teknologi dan
kesehatan 6.4 Biologi
6.4.1 Biologi kelompok pertanian 6.4.2 biologi kelompok kesehatan
7. Ilmu pengetahuan sosial 8. seni budaya 9. pendidikan jasmani Olahraga dan kesehatan 10. kejuruan
10.1 Keterampilan komputer dan pengelolaan informasi
10.2 kewirausahaan 10.3 dasar kompetensi kejuruan 10.4 kompetensi kejuruan
B. Muatan lokal C. Pengembangan diri
192 192 192 440
330
403
516
192
192 276
192
192
192 192 128 128
192
202
192 140
1044 192 192
Keterangan: Durasi waktu yang dibutuhkan selama satu tahun pelajaran yaitu sekitar 34-38 minggu
Sekolah Menengah Kejuruan mengkhususkan lulusan agar memiliki
keahlian dalam bidang tertentu. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
46
serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, peserta didik harus harus
memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar
ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi dan mampu
berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaan nantinya, serta memiliki
kemampuan mengembangkan diri (BSNP, 2006).
Sebagaimana halnya SMA, peserta didik SMK juga memiliki kurikulum
sebagai acuan dalam melaksanakan pembelajaran seperti yang dapat dilihat
pada tabel 4, karena setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun, peserta
didik juga akan mengikuti Ujian Nasional disamping uji kompetensi untuk
keahlian sesuai dengan jurusannya masing-masing. Berdasarkan tabel struktur
kurikulum SMK dapat dilihat bahwa jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran
pendidikan agama SMK menempati porsi yang lebih banyak daripada SMA,
dimana dalam satu tahun ajaran, jumlah maksimal pelajaran pendidikan agama
yang diajarkan adalah sebanyak 192 jam.
c. Madrasah Aliyah (MA)
Madrasah Aliyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang setara
dengan SMA dan SMK, memiliki standar kompetensi yang sama dengan sekolah
menengah atas lainnya secara nasional, namun memiliki beberapa kurikulum
yang disesuaikan dengan arahan Departeman Agama, karena MA berada di
bawah pembinaan Departemen Agama (Depag) berbeda dengan SMA dan SMK.
Madrasah Aliyah secara teknis memiliki kesamaan dengan SMA dan SMK, yaitu
sebagai tempat berlangsungnnya proses belajar mengajar secara forma
(madrasah.kemenag.go.id, 2 Maret 2012). Tujuan pendidikan di MA adalah
terbentuknya peserta didik yang cerdas, rukun dan Muttafaqqih fi al-Din dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang bermutu, mandiri dan islami sehingga
47
menghasilkan lulusan yang mengedepankan nilai-nilai keislaman, memiliki
kualitas pendidikan yang baik, yang memiliki keimanan, ketakwaan, akhlak mulia
dan sikap toleran dengan mengedepankan kebutuhan masyarakat. Jadi secara
garis besar Madrasah Aliyah berusaha untuk menyeimbangkan pendidikan
umum dengan pendidikan agama (Pendis.kemenag.go.id, 2 Maret 2012). Karena
berada dalam pembinaan Departemen Agama, maka kurikulum yang dimiliki oleh
MA selain kurikulum yang ditetapkan oleh Depertemen Pendidikan Nasional
masih ditambah lagi dengan mata pelajaran agama (Pardamean, 2011). Tebel 5,
6 dan 7 akan memperlihatkan kurikulum kelas XII pada Madrasah Aliyah.
Tabel 5
Sturuktur Kurikulum MA Program IPA
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Al-Qur’an Hadist 2. Fiqih 3. Sejarah Kebudayaan Islam 4. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Bahasa Indonesia 6. Bahasa Inggris 7. Bahasa Arab 8. Matematika 9. Sejarah 10. Biologi 11. Fisika 12. Kimia 13. Seni Budaya 14. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan 15. TI dan Komunikasi
B. Muatan Lokal
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
Jumlah 50 50
Sebagaimana yang terlihat pada tabel 5 dapat diketahui bahwa untuk
program studi IPA pada MA masing-masing terdapat 3 mata pelajaran bidang
bidang keagamaan, yaitu Al-Qur’an Hadits, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan
Islam, masing-masing mata pelajaran tersebut memiliki jam pelajaran 2 jam
48
perminggunya sehingga dalam satu tahun ajaran, jam pelajaran pendidikan
keagamaan pada MA berjumlah 288 jam pelajaran.
Tabel 6
Sturuktur Kurikulum MA Program IPS
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II A. Mata Pelajaran
1. Al-Qur’an Hadist 2. Fiqih 3. Sejarah Kebudayaan Islam 4. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Bahasa Indonesia 6. Bahasa Inggris 7. Bahasa Arab 8. Matematika 9. Sejarah 10. Ekonomi 11. Geografi 12. Sosiologi 13. Seni Budaya 14. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 15. TI dan Komunikasi
B. Muatan Lokal
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
Jumlah 50 50
Tabel 6 memperlihatkan bahwa untuk program studi IPS pada MA juga
terdapat 3 mata pelajaran bidang bidang keagamaan, yaitu Al-Qur’an Hadits,
Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam, masing-masing mata pelajaran tersebut
memiliki jam pelajaran 2 jam perminggunya sehingga dalam satu tahun ajaran,
jam pelajaran pendidikan keagamaan pada MA berjumlah 288 jam pelajaran.
Sedangkan pada program studi keagamaan yang dapat dilihat pada tabel 7
terdapat 5 mata pelajaran keagamaan, sehingga kalau dijumlahkan dalam satu
tahun ajaran terdapat maksimal 532 jam pelajaran keagamaan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa jam pelajaran keagamaan pada MA lebih banyak
dibandingkan jam pelajaran di SMA dan SMK.
49
Tabel 7
Kurikulum MA Program Keagamaan
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Tafsir dan Ilmu Tafsir 7. Ilmu Hadits 8. Ushul Fiqih 9. Tasawuf/ Ilmu Kalam 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2
2
2 2 2
2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2
2
2 2 2
Jumlah 38 38
D. Pendidikan Agama di Sekolah
Dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar sekolah menengah
atas di seluruh Indonesia dapat diketahui bahwa salah satu yang membedakan
antara satu sekolah dan sekolah yang lain adalah mata pelajarannya,
sebagaimana perbedaan antara sekolah umum dengan sekolah agama. Sekolah
umum memiliki jumlah mata pelajaran keagamaan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan sekolah agama yang disesuaikan dengan Visi dan Misi
lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan agama yang menjadi konsentrasi
dalam penelitian ini adalah pendidikan agama Islam.
Mata pelajaran keagamaan untuk program studi IPA, IPS dan Bahasa
pada sekolah umum, khususnya SMA adalah 2 jam pelajaran perminggu dengan
jumlah pertemuan dalam satu tahun ajaran adalah 34-38 kali. Jadi, dalam satu
tahun ajaran, jam pelajaran pendidikan agama berjumlah 68-76 jam pelajaran.
50
Sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan, jumlah durasi untuk mata
pelajaran pendidikan agama dalam satu tahun pelajaran adalah sebanyak 192
jam. Sementara itu, Madrasah Aliyah merupakan sekolah menengah yang
memiliki jumlah jam pelajaran bidang keagamaan paling banyak dibandingkan
dengan SMA dan SMK, dimana jumlah jam pelajaran keagamaan MA mulai dari
288-532 jam dalam satu tahun ajaran.
Tujuan pendidikan agama Islam berdasarkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar SMA/MA (BSNP, 2006) adalah untuk menumbuhkembangkan
akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang
Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus mengembangkan
keimanan dan ketakwaan kepada ALLAH SWT serta mewujudkan manusia
Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin,
bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta
mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Pendidikan agama Islam merupakan usaha-usaha secara sistematis dan
pragmatis dalam membantu anak didik agar hidup sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam (Zuhaerini, 1983). Pendidikan agama Islam lebih banyak ditujukan kepada
perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan baik bagi
individu maupun bagi orang lain. Drajat (1992) menjelaskan bahwa pendidikan
Islam merupakan pendidikan iman dan pendidikan amal, sikap dan tingkah laku
pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup sehingga pendidikan Islam
merupakan pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Sehingga
pendidikan agama merupakan proses melatih dan mengembangkan
51
pengetahuan, keterampilan, pikiran, perilaku khususnya pada sekolah formal.
Pendidikan agama islam lebih bayak diuuka kepada perbaikan sikap mentalyang
terwujud dalam amal peruata, baik untuk keperluan pribadi maupun masyarakat.
Karena pendidikan agama tidak hanya bersifat teoritis saja, melainkan juga
menekankan pada praktek.
Hal terpenting dalam pendidikan agama di sekolah bukanlah mengejar
nilai tinggi, tetapi ukurannya adalah penghayatan dan aktualisasi nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari, seperti dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat
dan lingkungan. Pendidikan agama merupakan media yan sangat penting dalam
mensosialisasikan dan mewariskan tata nilai keagaman. Menurut Harsa (2008)
terjadinya krisis akhlak yang terlihat dalam banyaknya pelanggaran yang
dilakukan oleh remaja merupakan pertanda longgarnya pegangan terhadap
agama, sehingga menyebabkan hilangnya pengontrol diri dalam berperilaku,
untuk itu Harsa (2008) menilai bahwa penerapan pendidikan agama di rumah,
sekolah maupun masyarakat penting untuk ditingkatkan.
Drajat (dalam Firdaus, Ridwan, Andrian, & Rafiqi, 2008) menjelaskan
bahwa pendidikan agama sekurang-kurangnya diberikan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan kognitif dimana penyampaian informasi secara
teoritis, kemudian pendekatan yang bersifat mekanik atau rangsangan jawaban
yang disebut dengan proses mengkondisi sehingga terjadi automisasi dan dapat
dilakukan melalui latihan, tanya jawab dan melalui teladan, sehingga terjadi
proses pembelajaran yang berdampak pada perubahan tingkah laku (kognitif,
afektif dan psikomotor) ke arah yang lebih baik (Husairi, 2007).
Alokasi waktu yang sedikit untuk mata pelajaran pendidikan agama di
sekolah menurut Burdjani (2005) dapat menjadi penyebab hilangnya fokus dan
52
perhatian remaja pada nilai-nilai moralitas yang diajarkan pada pelajaran
keagamaan sehingga mempengaruhi perilaku remaja dalam kehidupan sehari-
hari. Selain itu menurut Gunarsa (dalam Azizah, 2006) menjelaskan bahwa pola
pembinaan agama di sekolah akan mempengaruhi perkembangan moral siswa,
sebagaimana hasil studi Penelitian dan Pengembangan Agama serta Pendidikan
Pelatihan Keagamaan tahun 2000 menerangkan bahwa merosotnya moral dan
akhlak peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama
yang terlampau padat pada materi, dan materi tersebut hanya mengedepankan
aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagamaan yang utuh.
E. Hipotesis
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Malinowski dan Smith (dalam
Benardi, dkk., 2004) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tingkat penalaran
moral yang tinggi memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan
dengan siswa dengan tingkat penalaran moral yang rendah. Hal tersebut juga
didukung oleh penelitian Leming (2001) dimana subjek yang memiliki tingkat
penalaran moral tinggi menunjukkan perlikau curang yang lebih rendah
dibandingkan dengan subjek yang memiliki tingkat penalaran moral yang sedang
dan rendah.
Perkembangan moral dapat ditingkatkan melalui pendidikan keagamaan
di sekolah. Sekolah umum, agama dan kejuruan merupakan jenis sekolah yang
memiliki perbedaan paling menonjol pada mata pelajaran yang menyangkut
pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan yang ada di sekolah secara
tidak langsung akan memberikan dampak terhadap perilaku siswa, karena
berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sekolah menengah atas
tujuan dilaksanakannya pendidikan agama adalah untuk peningkatan potensi
53
spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, akhlak mulia yaitu
manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
berdisiplin, bertoleransi serta mampu menjaga keharmonisan secara personal
dan sosial.
Hasil penelitian yang dilkukan oleh Rettinger dan Jordan (2005)
menunjukkan bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa yang
mengikuti kursus berbasis keagamaan lebih rendah dibandingkan dengan siswa
yang mengikuti kursus yang sama namun berbasis umum. Demikian juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bloodgood, dkk. (2008), dimana seseorang yang
memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti serangkaian doktrin-
doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat kecurangan yang lebih
rendah. Kemudian Sutton dan Hoba (dalam Rettinger & Jordan, 2005)
menyimpulkan bahwa religiusitas mempengaruhi sikap terhadap kecurangan
dimana siswa yang lebih religius memiliki beberapa pertimbangan untuk
melakukan kecurangan dan siswa yang mengambil studi keagamaan memiliki
tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa lain.
Dalam kajian teoritis disebutkan bahwa agama dan pendidikan
keagamaan merupakan faktor yang sama-sama memberikan pengaruh terhadap
perilaku curang dan penalaran moral, di Indonesia terdapat sekolah yang
mengkhususkan pendidikannya kepada pendidikan keagamaan (Islam), yaitu
Madrasah Aliyah atau MA. Sehingga penulis menduga bahwa sekolah yang
memiliki kurikulum dan pendalaman materi keagamaan akan menghasilkan
siswa yang lebih paham mengenai aturan-aturan keagamaan yang kemudian
54
dapat diterapkannya dikehidupan yang lebih luas melalui perbuatan-perbuatan
terpuji, seperti jujur dalam melaksanakan Ujian Nasional.
Hasil perbandingan jumlah jam pada mata pelajaran pendidikan
keagamaan dari ketiga jenis sekolah tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa
jumlah jam pendidikan keagamaan pada sekolah agama lebih tinggi
dibandingkan dengan sekolah umum dan kejuruan. Sehingga diduga bahwa
remaja yang memperoleh pendidikan keagamaan lebih banyak memiliki tingkat
perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat
kecurangan yang lebih rendah. Sehingga diperoleh kesimpulan untuk hipotesis
dalam penelitian ini adalah :
Hipotesis Kerja (H1)
Hipotesis Nihil (H0)
: Terdapat perbedaan perilaku curang berdasarkan
tingkat perkembangan penalaran moral (kepentingan
pribadi, pertahanan norma dan postkonvensional) dan
jenis pendidikan remaja (pendidikan umum dan
agama).
Tidak terdapat perbedaan perilaku curang dengan
tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis
pendidikan remaja.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi dan Operasionalisasi Variabel
1. Identifikasi Varibel
Berdasarkan kajian teoritis yang telah disampaikan di Bab II, dapat
disimpulkan bahwa penelitian ini berfokus pada perbedaan perilaku curang
dalam melaksanakan Ujian Nasional yang akan dihubungkan dengan tingkat
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada remaja. Dimana perilaku
curang merupakan variabel terikat dan tingkat perkembangan penalaran moral
serta jenis sekolah remaja merupakan variabel bebas.
Perilaku curang dalam penelitian ini merupakan segala bentuk
kecurangan yang dilakukan oleh remaja saat melaksanakan ujian nasional,
sehingga menunjukkan tinggi rendahnya perilaku curang remaja.Tingkat
perkembangan penalaran moral dalam penelitian ini merupakan tingkat
perkembangan penalaran moral yang dikembangkan oleh Rest dari teori
perkembangan penalaran moral Kohlberg (dalam Rest, 1979) terdiri dari skema
kepentingan pribadi, skema pertahanan norma dan skema postkonvensional.
Tingkat perkembangan penalaran moral menunjukkan seberapa besar remaja
mempergunakan pertimbangan moral yang paling prinsip untuk membuat suatu
keputusan dalam mengadapi dilema-dilema sosial yang ada di sekelilingnya.
Variabel terakhir adalah jenis pendidikan yang dilihat dari jenis sekolah
subjek, dimana dalam penelitian ini jenis sekolah merupakan konsentrasi
pendidikan yang ditempuh oleh remaja saat berada di sekolah menengah atas,
yaitu terdiri dari sekolah umum dan sekolah agama. Sekolah agama di sini
56
adalah sekolah yang menfokuskan pendidikan pada agama Islam dan memiliki
kurikulum keagamaan yang lebih banyak dibandingkan sekolah umum.
2. Operasionalisasi Variabel
a. Perilaku curang
Merupakan skor yang diperoleh dari skala perilaku curang yang
menunjukkan tingkat kecurangan yang dilakukan oleh subjek dalam
melaksanakan Ujian Nasional.
b. Perkembangan Penalaran moral
Merupakan skor yang diperoleh melalui skala Defining Issues Test (DIT)
Rest, yang mengukur tingkat perkembangan penalaran moral subjek.
c. Jenis Sekolah
Merupakan identitas pendidikan yang diperoleh dari angket yang diisi oleh
subjek sebelum mengerjakan skala penelitian.
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 177 remaja berusia 17 sampai 19
tahun yang baru saja selesai melaksanakan Ujian Nasional pada tahun ajaran
2011/2012 dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi A dan B di
Sumatera Barat. Alasan dipilihnya lokasi penelitian yaitu di Sumatera Barat
adalah karena dalam penelitian awal yang penulis lakukan terhadap 67 remaja
yang tersebar pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, 31 orang
diantaranya berasal dan mengikuti pendidikan menengah tingkat atas di
Sumatera Barat. Pemilihan subjek didasarkan pada teknik sampel purposif,
dimana karakteristik subjek telah ditentukan dan diketahui terlebih dahulu
berdasarkan ciri dan sifat populasinya (Winarsunu, 2007). Dimana identifikasi
subjek dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini:
57
Tabel 8
Identifikasi Subjek Penelitian
No Lokasi Penelitian Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Perguruan Tinggi A 39 56 95
2 Perguruan Tinggi B 43 39 82
Jumlah 82 95 177
C. Cara Pengumpulan Data
Pada penelitian ini instrumen yang akan digunakan untuk mengumpulkan
data terdiri dari:
1. Perilaku Curang
Perilaku curang remaja dalam melaksanakan Ujian Nasional diungkap
melalui skala perilaku curang. Pernyataan-pernyataan dalam skala perilaku
curang ini merupakan pernyataan langsung terarah kepada informasi mengenai
data perilaku curang yang hendak diungkap sehingga subjek akan tahu persis
mengenai informasi jenis apa yang hendak diteliti. Skala perilaku curang secara
tidak langsung juga akan menjelaskan bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan
oleh remaja dan juga tingkat kecurangan yang dilakukan oleh remaja saat
melaksanakan UN.
Pernyataan dalam skala perilaku curang ini dibuat berdasarkan bentuk-
bentuk perilaku curang yang diketahui oleh remaja, dimana penulis meminta
kepada 49 orang remaja yang pernah mengikuti UN untuk menuliskan bentuk-
bentuk kecurangan yang mereka ketahui dalam melaksanakan UN. Dari seluruh
jawaban remaja tersebut terdapat 45 pernyataan dengan 5 pilihan jawaban, yaitu
Tidak Pernah (TP), Pernah (P), Kadang-kadang (KD), Sering (SR) dan Sangat
Sering (SS). Seluruh aitem pernyataan dikelompokkan ke dalam 5 kategori
bentuk-bentuk perilaku curang yang telah dirumuskan melalui pendapat para ahli
58
(Pavela dalam Whitley & Spiegel, 2002; Wideman, 2008; Kaufan, 2008; Davis,
dkk., dalam Carter & Carter, 2001; McCabe & Trevino dalam Whitley & Spiegel,
2002). Pada tabel 10 dapat dilihat Blue-Print untuk skala perilaku curang remaja
dalam melaksanakan Ujian Nasional.
Tabel 9
Distribusi Aitem Skala Perilaku Curang Sebelum Uji Reliabilitas
No Indikator Nomor Aitem Jumlah Persen
1 Menggunakan kertas contekan atau alat-alat lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan contekan
1,6,10,13,16,19,22,24,26,28,30,32,34,36,38, 40,42,44,45
19 42,2
2 Menggunakan bahasa verbal dan non verbal untuk memberi atau menerima jawaban dalam ujian
2,7,11
3 6,7
3 Bekerjasama dalam arti memberi ataupun menerima bantuan selama ujian berlangsung
3,14,17,20,23,25,27,29,31,33,35,37,39,41,43
15 33,3
4 Melihat dan menyalin hasil pekerjaan orang lain tanpa atau dengan izin orang tersebut
4,8 2 4,4
5 Mengetahui terlebih dahulu soal-soal yang akan diujikan dan jawaban untuk soal ujian
5,9,12,15,18,21
6 13,3
Total 45 100
Sebelum memberikan skala ini kepada subjek penelitian yang
sesungguhnya, maka perlu diakukan uji coba terlebih dahulu untuk mengetahui
reliabilitas dan validitasnya. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau
keterpercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran
(Azwar, 2005). Analisis reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode
Cronbach’s Alpha. Reliabiltas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang
angkanya berada dalam rentang 0-1,00. Koefisien reliabilitas dianggap tinggi
apabila semakin mendekati angka 1,00 demikian juga sebaliknya, koefisien
reliabilitas dianggap rendah jika semakin mendekati anggka 0.
59
Validitas menunjukkan seberapa jauh suatu tes atau satu set dari operasi-
operasi mengukur apa yang seharusnya diukur (Jogiyanto, 2008) dan uji validitas
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana skala yang digunakan mampu
menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2005).
Analisis validitas pada penelitian ini menggunakan teknik validitas isi, dimana
suatu jenis validitas yang didasarkan pada butir-butir alat ukur yang digunakan
untuk mencerminkan suatu definisi konseptual (Walizer & Wienir, 1991). Hal ini
dapat dilihat pada blue-print skala perilaku curang. Dimana perilaku curang
dijelaskan melalui indikator-indikator perilaku curang yang diungkapkan oleh para
ahli.
Aitem skala perilaku curang dipilih berdasarkan koefisien korelasi aitem-
total. Parameter daya beda aitem yang berupa koefisien korelasi aitem-total
memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala dalam
mengungkap perbedaan individual sehingga dapat mengoptimalkan fungsi skala
(Azwar, 2005). Besarnya koefisien korelasi aitem-total bergerak dari 0 sampai
dengan 1,00 dengan tanda positif dan negatif, indeks daya diskriminasi semakin
baik jika korelasinya mendekati angka 1,00. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan
korelasi aitem total dengan batasan sama atau lebih besar dari 0,03 dan jika
memenuhi ini maka aitem memiliki daya diskriminasi tinggi, sementara jika
korelasi aitem total kurang dari itu maka dapat dikatakan bahwa aitem memiliki
indeks daya diskriminasi yang rendah (Azwar, 2005).
60
Tabel 10
Hasil Uji Reliabilitas Skala Perilaku Curang
No Indikator Terpilih Gugur Jumlah
1 Menggunakan kertas contekan atau alat-alat lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan contekan
18 1 19
2 Menggunakan bahasa verbal dan non verbal untuk memberi atau menerima jawaban dalam ujian
2 1 3
3 Bekerjasama dalam arti memberi ataupun menerima bantuan selama ujian berlangsung
15 - 15
4 Melihat dan menyalin hasil pekerjaan orang lain tanpa atau dengan izin orang tersebut
2 - 2
5 Mengetahui terlebih dahulu soal-soal yang akan diujikan dan jawaban untuk soal ujian
6 - 6
Total 43 2 45
Uji coba skala perilaku curang diujikan kepada 116 remaja yang telah
melaksanakan Ujian Nasional, terdiri dari 41 laki-laki dan 75 perempuan dengan
jenis sekolah menengah atas yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil uji coba
diperoleh koefisien korelasi aitem yang tinggi bergerak dari 0,124 sampai 0,613.
Pada tabel 10. dapat diketahui bahwa terpilih 43 aitem yang memiliki daya
diskriminasi tinggi dimana aitem memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,30 dan 2
aitem dinyatakan gugur karena memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,30.
Sehingga untuk jumlah aitem yang digunakan pada skala perilaku curang pada
subjek penelitian adalah sebanyak 43 aitem. Hasil uji reliabilitas skala perilaku
curang menunjukkan bahwa skala perilaku curang reliabel dengan koefisien
alpha sebesar 0,931.
2. Perkembangan Penalaran Moral
Defining Issues Test (DIT) merupakan skala yang digunakan untuk
mengukur perkembangan penalaran moral yang dikembangkan pertamakali oleh
61
Rest (dalam Santrock, 2003). Skala ini mencoba untuk menentukan isu moral
mana yang dianggap lebih penting oleh individu dalam suatu situasi tertentu
dengan cara memberikan serangkaian permasalahan dan sebuah daftar yang
berisi definisi dari isu-isu utama yang terdapat di dalamnya. DIT pertamakali
dipublikasikan pada tahun 1974 (Rest, Narvaez, & Thoma, 1999). Dalam
mengerjakan skala DIT, dibutuhkan waktu sekitar 50 menit dan DIT dapat
disajikan secara klasikal (Rest, 1979).
Penelitian telah menunjukkan bahwa DIT mampu menjelaskan perbedaan
tingkat perkembangan moral individu, skor DIT secara signifikan berhubungan
dengan kapasitas kognitif individu. Rest (dalam Rest, Narvaez, & Thoma, 1999)
telah melakukan penelitian selama lebih dari 20 tahun untuk melihat validitas dan
reliabilitas DIT, dari penelitian tersebut ditemukan korelasi antara tingkat
perkembangan penalaran moral dengan kapasitas kognitif individu. Reliabilitas
DIT diukur dengan menggunakan tes ulang atau Test-retest yang dilakukan pada
subjek dari latar belakang pendidikan, jenis kelamin dan usia yang berbeda,
diperoleh nilai r yang bergerak dari 0.70 sampai 0.80. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa DIT merupakan alat yang cukup handal untuk mengukur
tahap perkembangan penalaran moral individu yang sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan moral yang disusun oleh Kohlberg (dalam Rest, 1979).
DIT diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia pertama kali oleh Martani
(dalam Fitria, 2000) dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya. Uji
reliabilitas dilakukan pada siswa SMP dan Mahasiswa, hasil yang diperoleh
adalah adanya korelasi r yang bergerak antara 0.255 sampai 0.410. Penelitian
lain yang juga menguji reliabilitas dan validitas DIT dilakukan oleh Menanti
(dalam Wardani, 1998), dimana hasil uji reliabilitasnya menunjukkan nilai sebesar
62
0,78 dengan hasil uji validitas aitemnya menunjukkan nilai r yang bergerak
antara 0,38 sampai dengan 0,67. Sedangkan validitasnya diukur dengan validitas
konstruksi atau construct validity yang merupakan validitas yang didasarkan
pada kesesuaian antara alat ukur dengn konstruksi teoritis yang mendasari
penyusunan alat tersebut. Rest (1979) menjelaskan bahwa dasar dari
penyusunan DIT adalah dari teori perkembangan penalaran moral dengan
pendekatan kognitif yang dikemukakan oleh Kohlberg, dengan demikian
perkembangan penalaran moral merupakan psikologikal konstruk dan DIT
disusun berdasarkan operasionalisasi kosntruk tersebut (Fitria, 2000). Dilema-
dilema yang digunakan dalam DIT dirancang untuk membedakan ciri-ciri suatu
tahap perkembangan penalaran moral individu, yang paling penting dalam DIT
adalah melihat alasan yang mendasari terjadinya pengambilan keputusan dalam
menyelesaikan dilema-dilema tersebut.
McGeorge (dalam Rest, 1979) menjelaskan bahwa dalam mengerjakan
skala DIT dibutuhkan kemampuan membaca dan memahami pernyataan-
pernyataan yang terdapat di dalam masing-masing dilema, kemampuan ini mulai
dimiliki saat anak berada di sekolah menengah pertama, yaitu berusia sekitar 13
sampai 14 tahun. Secara teoritis, anak-anak yang yang berumur 13 tahun tidak
lagi berada pada tahap pertama dalam perkembangan penalaran moral,
sehingga dalam menyusun dan mengungkap tahap perkembangan penalaran
moral Rest (1979) memulainya dari tahap 2, dilanjutkan dengan tahap 3, tahap 4,
tahap 5 yang dibagi Rest menjadi dua bagian yaitu 5A yang menunjukkan
moralitas konstrak sosial dan tahap 5B yang menunjukkan moralitas intuitif dan
tahap yang terakhir adalah tahap 6. Pada dasarnya tahap 5A dan 5B dalam DIT
sama dengan tahap 5 dalam tahap perkembangan penalaran moral Kohlberg.
63
Dalam penelitian ini terdapat 5 dilema moral, pada masing-masing dilema
terdapat 12 pernyataan dalam masing-masing pernyataan terdapat 5 pilihan
jawaban, yaitu Amat Sangat Penting (ASP), Sangat Penting (SP), Penting (P),
Kurang Penting (KP), dan Tidak Penting (TP). Subjek diminta untuk membaca
suatu kasus yang bersifat hipotesis, kemudian diminta untuk mengambil
keputusan apa yang akan dilakukan, setelah itu subjek diminta untuk membaca
keduabelas pernyataan dan memilih satu jawaban untuk masing-masing item
pernyataan. Setelah menyelesaikan keduabelas pernyataan tersebut, subjek
diminta untuk memilih 4 pernyataan yang dianggap paling penting dan kemudian
merengkingnya dari 1 sampai 4.
Skoring akan dilakukan sesuai dengan skoring manual DIT yang telah
ditetapkan oleh Rest (1979), melalui proses sebagai berikut:
1) Menyiapkan lembar data untuk setiap subjek dengan format seperti yang
dapat dilihat pada tabel 11.
2) Dari keempat pernyataan yang telah dirangking oleh subjek, lihat pernyataan
yang pertama paling penting menurut subjek.
Tabel 11
Lembar data subjek
CERITA TAHAP
2 3 4 5A 5B 6 A M P
I
II
III
IV
V
Skor Total
Nilai Persentase
64
Keterangan:
a) 2, 3, 4, 5A, 5B dan 6 : Merupakan tahap perkembangan penalaran
moral.
b) A : Merupakan pandangan yang mencela tradisi dan menampilkan aturan
sosial yang semaunya sendiri. Menurut Rest (1979) hal ini mungkin
disebabkan oleh subjek yang berada pada masa transisi antara satu tahap
dengan tahap yang lain, biasanya skor A ini diabaikan dan tidak digunakan
dalam interpretasi maupun analisis lainnya.
c) M : Merupakan pernyataan yang tidak mengekspresikan suatu tahap
penalaran moral sama sekali. Skor M digunakan sebagai internal check dari
keajegan jawaban subjek, jika skor M yang diperoleh subjek melebihi 6 maka
skala DIT tidak dapat digunakan atau dinyatakan gugur.
d) P : Skor P diperoleh dengan cara menjumlahkan skor 5A, 5B dan 6. Rest
(1979) mengungkapkan bahwa P merupakan indeks dari suatu
perkembangan penalaran moral dimana seseorang menggunakan
pertimbangan moral yang paling prinsip dalam membuat suatu keputusan
moral.
3) Setelah diketahui pernyataan pertama paling penting, sesuaikan dengan
tabel untuk mengetahui tahap perkembangan penalaran moral subjek, seperti
yang dapat dilihat pada tabel 12. Misalnya, jika pernyataan paling penting
subjek pada cerita pertama adalah aitem no 6, maka berarti subjek berada
pada tahap 4; jika aitem 10 maka subjek berada pada tahap 5A.
65
Tabel 12
Tabel tahap perkembangan penalara moral
AITEM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
CERITA
I
II
III
IV
V
4 3 2 M 3 4 M 6 A 5A 3 5A
3 4 A 4 6 M 3 4 3 4 5A 5A
3 4 A 2 5A M 3 6 4 5B 4 5A
4 4 3 2 6 A 5A 5A 5B 3 4 3
4 4 2 4 M 5A 3 3 5B 5A 4 3
4) Setelah menemukan tahap aitem, maka tugas selanjutnya adalah memberi
skor untuk masing-masing rangking. Peringkat pertama paling penting diberi
skor 4, kedua paling penting diberi skor 3, ketiga paling penting diberi skor 2,
dan keempat paling penting diberi skor 1.
5) Setelah diberi skor, maka memasukkan skor masing-masing pernyataan ke
dalam lembar data. Kemudian menjumlahkan skor yang diperoleh masing-
masing kolom.
6) Untuk memperoleh nilai P yang merupakan skor paling prinsip dalam
perkembangan moral, maka skor 5A, 5B dan 6 harus ditambahkan.
7) Masing-masing dilema moral akan memiliki 4 entri data, dan kalau
dijumlahkan, maka semuanya akan berjumlah 20 entri data.
8) Setalah diperoleh nilai kasar dari masing-masing dilema moral, maka tahap
selanjutnya adalah membuat persentase dengan cara membaginya dengan
bilangan 0,5. Persentase ini akan menunjukkan profil perkembangan
penalaran subjek.
66
Setiap subjek dalam penelitian ini akan memiliki lembar datanya sendiri,
sehingga dapat diketahui tingkat perkembangan penalaran moral subjek dan
mengungkap seberapa besar subjek menggunakan pertimbangan moral yang
prinsip dalam membuat suatu keputusan dalam menghadapi dilema-dilema
sosial yang ada disekelilingnya melalui skor P yang diperoleh oleh subjek.
3. Jenis Sekolah
Jenis sekolah beserta data-data lain mengenai subjek seperti usia dan
jenis kelamin diperoleh melalui lembar identitas diri dan persetujuan yang diisi
oleh subjek sebelum mengisi skala penelitian.
D. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantiitatif. Pada penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan komparasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk
melihat perbedaan dari varibel-variabel yang sama terhadap subjek yang
berbeda-beda (Winarsunu, 2007).
E. Cara Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis penelitian, data yang diperoleh dalam penelitian
ini dianalisis secara serentak menggunakan teknik analisis varian faktorial atau
yang lebih dikenal dengan anava faktorial dengan bantuan program SPSS 16.0
for Windows. Anava faktorial merupakan teknik statistik parametri yang
digunakan untuk menguji perbedaan antara kelompok-kelompok data yang
berasal dari 2 variabel bebas atau lebih (Winarsunu, 2007).
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskipsi Subjek Penelitian
Setelah dilakukan pengambilan data terhadap subjek penelitian maka
dapat disajikan secara umum pada tabel 13 dan 14 mengenai gambaran
karakteristik subjek penelitian.
Tabel 13
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Jenis Kelamin Usia Total
17 Tahun 18 Tahun 19 Tahun
Laki-laki 0 27 55 82
Perempuan 5 54 36 95
Total 5 81 99 177
Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa tidak ada subjek laki-laki
yang berusia 17 tahun, 27 subjek berusia 18 tahun dan 55 subjek berusia 19
tahun, subjek paling banyak berada pada usia 19 tahun. Pada subjek perempuan
terdapat 5 subjek berusia 17 tahun, 54 subjek berusia 18 tahun dan 36 subjek
berusia 19 tahun, subjek paling banyak berusia 18 tahun.
Tabel 14
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Sekolah Saat UN
Jenis Kelamin Jenis Sekolah Total
Umum Agama
SMA SMK MA
Laki-laki 21 35 26 82
Perempuan 45 12 39 95
Total 65 47 65 177
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa subjek laki-laki yang
bersekolah di SMA adalah sebanyak 21 subjek, SMK sebanyak 35 subjek dan
68
MA sebanyak 36 subjek. Sementara itu subjek perempuan yang bersekolah di
SMA sebanyak 45 subjek, SMK 12 subjek MA sebanyak 39 subjek. Subjek laki-
laki dan perempuan terbanyak bersekolah di MA. Subjek laki-laki kebanyakan
bersekolah di SMK dan perempuan bersekolah di SMA.
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data
1. Perilaku Curang
Skala perilaku curang yang disebarkan kepada subjek penelitian
memperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,950. Hasil uji reliabilitas ini diperoleh
melalui analisis reliabilitas dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha.
Analisis data deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran secara
umum mengenai data penelitian. Melalui deskripsi data penelitian dapat
diperoleh gambaran tentang jumlah data, skor minimum, skor maksimum, mean,
dan deviasi standar. Variabel perilaku curang dalam melaksanakan Ujian
Nasional dapat diketahui bahwa jumlah data (N) sebanyak 177, memiliki nilai
rata-rata sebesar 29,80. Rentang skor sebesar 112 dengan skor minimal 0 dan
skor maksimal 112 serta memiliki deviasi standar sebesar 23,048. Hasil data
variabel perilaku curang dan variabel perkembangan moral dikategorisasikan
berdasarkan tinggi rendahnya jumlah skor dari masing-masing subjek.
Kategorisasi didasarkan pada model distrbusi normal. Berdasarkan satuan
deviasi standar dengan memperhitungkan rentangan skor minimum dan
maksimum teoritisnya, maka pada penelitan ini kategorisasi subjek dibagi
menjadi 3 kategori.
a. Kategori rendah, jika X < (M-1,0 SD)
b. Kategori sedang,jika (M-1,0 SD) ≤ X < (M+1,0 SD)
c. Kategori tinggi, jika (M+1,0 SD) ≤ X
69
Tabel 15
Kategorisasi Data Skala Perilaku Curang
Skor Interval Klasifikasi N Persentase
X < 7 Rendah 31 17,5 %
7 ≤ X < 53 Sedang 125 70,6%
53 ≤ X Tinggi 21 11,9%
Jumlah 177 100 %
Hasil kategorisasi data skala perilaku curang pada tabel 16 menejelaskan
bahwa skor perilaku curang kategori rendah berjumlah 31 subjek atau sekitar
17,5%. Kategori sedang berjumlah 125 subjek yaitu sekitar 70,6%, serta kategori
tinggi berjumlah 21 subjek yaitu sekitar 11,9%. Banyaknya jumlah subjek yang
berada pada kategori sedang menunjukkan bahwa sebagaia besar subjek
memiliki tingkat perilaku curang sedang. Sementara itu subjek yang tidak
melakukan kecurangan atau skor skala perilaku curang nol (0) adalah sebanyak
16 subjek yaitu sekitar 9%, sisanya yaitu sekitar 161 subjek atau 91% melakukan
kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional.
2. Tingkat perkembangan penalaran moral
Skala DIT merupakan skala yang dipergunakan untuk mengetahui tingkat
perkembangan penalaran subjek dimana dapat memberikan informasi mengenai
skor paling prinsip (skor P) dalam perkembangan moral, yang akan menunjukkan
seberapa besar subjek akan mempergunakan pertimbangan moral yang paling
prinsip untuk membuat satu keputusan dalam menghadapi dilema-dilema sosial
yang ada disekelilingya melalui tahap perkembangan penalaran moral yang
dikelompokkan kedalam skema perkembangan penalaran moral. Deskripsi
mengenai skema tahap perkembangan penalaran moral subjek dapat dilihat
pada tabel 16.
70
Tabel 16
Deskripsi Skema Tahap Perkembangan Penalaran Moral
Sekolah
Skema Tahap Perkembangan Moral Total Skema 1 Skema 2 Skema 3
Umum 6 104 2 112 Agama 7 57 1 65
Total 13 161 3 177
Berdasarkan tabel 16 dapat dilihat gambaran bahwa seluruh subjek
penelitian hanya berada pada tiga skema perkembangan penalaran moral, yaitu
skema 1 yang merupakan skema kepentingan pribadi, skema 2 yang merupakan
skema pertahanan norma dan skema 3 yang merupakan skema
postkonvensional. Tahap perkembangan penalaran moral subjek paling banyak
berada pada skema 2 yaitu skema pertahanan norma sebanyak 161 subjek atau
91%, kemudian skema 1 yaitu skema pertahanan norma sebanyak 13 subjek
atau 7% dan skema 3 yaitu skema postkonvensional sebanyak 3 subjek atau
2%.
3. Jenis Sekolah
Deskripsi statistik jenis sekolah subjek menjelaskan bahwa subjek
terbanyak berasal dari sekolah umum, yaitu sebanyak 112 subjek yang terdiri
dari 65 subjek berasal dari SMA dan 47 subjek berasal dari SMK. Sementara itu
subjek dari sekolah agama yaitu MA terdiri dari 65 subjek. Jadi dapat disimpulkan
dalam penelitian ini subjek terbanyak merupakan remaja yang berasal dari
sekolah umum.
C. Hasil
1. Uji Homogenitas
Dalam setiap perhitungan statistik yang menggunakan Anava harus
disertai landasan bahwa harga-harga varian dalam kelompok bersifat homogen
atau relatif sejenis. Homogenitas varian merupakan asumsi yang penting di
71
dalam penghitungan Anava, hal ini disebabkan karena pada hakekatnya anava
digunakan untuk membandingkan varian dalam kelompok yang berasal dari 3
kategori data atau lebih, dan kategori-kategori tersebut baru dapat dibandingkan
secara adil apabila harga-harga varian pada masing-masing kategori bersifat
homogen.
Pengujian homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Levene’s.
Uji ini dilakukan untuk menyatakan bahwa masing-masing varian dari variabel
terikat adalah sama. Pengambilan keputusan didasarkan pada hasil probabilitas
yang diperoleh melalui harga F, dimana apabila harga F terbukti signifikan berarti
terdapat perbedaan. Harga F yang diharapkan adalah harga F yang tidak
signifikan, yaitu jika harga F hitung yang lebih kecil daripada harga F tabel. Hasil
uji Leven’s diperoleh hasil Fhitung sebesar 1,043 dan jika dibandingkan dengan
nilai Ftabel maka diperoleh Ftabel sebesar 2,267 pada taraf 5% diperoleh harga
Fhitung lebih kecil dibandingkan Ftabel (1,043 < 2,267). Nilai probabilitas yang
diperoleh adalah 0,394, oleh karena 0,394 lebih besar dari 0,05 maka dengan
demikian dapat diinterpretasikan bahwa data terbukti tidak signifikan dan ini
menunjukkan tidak adanya perbedaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa varian variabel terikat adalah sama atau homogen, sehingga memenuhi
persyaratan untuk dilakukan analisis varian faktorial dan proses analisis varian
dapat dilanjutkan.
2. Uji Hipotesis
Hipotesis penelitian diuji secara serentak, hasil out put analisis
menunjukkan taraf signifikansi hasil hitung dan koefisien Fhitung seperti yang
terlihat pada tabel 17.
72
Tabel 17
Rangkuman Hasil Uji Hipotesis
Variabel Terikat : Perilau Curang
No Hipotesis F hitung F tabel Sig.
1 Gabungan (Model) 1,846 2,265 0,106
2 A 2,361 3,048 0,097
3 B 0,123 3,896 0,727
4 A*B 0,851 3,048 0,429
Variabel Bebas: A = Tingkat Perkembagan Penalaran Moral B= Jenis Sekolah
Hasil uji hipotesis untuk melihat perbedaan perilaku curang berdasarkan
tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah subjek diperoleh harga
Fhitung sebesar 1,846. Apabila harga ini dikonfirmasikan dengan harga Ftabel
dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka diperoleh Ftabel sebesar 2,265, sehingga
dapat dilihat bahwa Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel (1,846<2,265)
hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama tidak terdapat perbedaan
perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis
sekolah subjek. Secara terpisah, hasil hipotesis menunjukkan bahwa diperoleh
harga FA sebesar 2,361. Apabila harga ini dikonfirmasikan dengan harga Ftabel
dengan taraf signifiansi 0,05 (5%) maka diperoleh Ftabel sebesar 3,048 maka
terlihat bahwa FA lebih kecil dibandingkan harga F tabel (2,361<3,048), sehingga
dapat dikatakan bawa tidak terdapat perbedaan perilaku curang yang signifikan
bila ditinjau dari tingkat perkembangan penalaran moral remaja. Selanjutnya
untuk jenis sekolah, diperoleh FB sebesar 0,123. Apabila harga ini
dikonfirmasikan dengan harga Ftabel dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka
diperoleh Ftabel sebesar 3,896. Maka dapat dilihat bahwa FB lebih kecil
dibandingkan harga Ftabel (0,123<3,896), Sehingga dapat disimpulkan bawa tidak
terdapat perbedaan perilaku curang yang signifikan pada remaja bila ditinjau dari
73
jenis sekolah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku
curang berdasarkan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah
remaja.
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui interaksi antara tingkat
perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah subjek secara umum,
dimana berdasarkan hasil analisis data diperoleh FA*B sebesar 0,851. Jika
dibandingkan dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka akan diperoleh nilai Ftabel
sebesar 3,048, sehingga dapat dilihat bahwa FA*B lebih kecil dibandingkan Ftabel
(0,851<3,048), maka hal ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan
antara tingkat perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah subjek
terhadap perilaku curang subjek. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel tingkat perkembangan
penalaran moral dan jenis sekolah belum tentu turut memberikan perubahan
terhadap perilaku curang dalam melaksanakan UN.
Berdasarkan nilai rata-rata atau mean yang diperoleh dari masing-masing
kelompok penelitian menunjukkan bahwa terdapat mean yang berbeda. Adapun
mean subjek yang berada pada skema kepentingan pribadi yang berasal dari
sekolah umum adalah 23,667 dengan rerata perilaku curang yang berkisar
antara 5,313 sampai 42,021, sedangkan subjek yang berasal dari sekolah
agama memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 34,429 dengan rerata perilaku
curang yang berkisar antara 17,436 sampai 51,421. Bila kedua mean tersebut
dibandingkan maka terlihat bahwa subjek pada skema kepentingkan pribadi yang
berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah
dibandingkan dengan remaja pada skema yang sama namun berasal dari
sekolah agama.
74
Adapun mean untuk subjek pada skema pertahanan norma yang berasal
dari sekolah umum adalah 31,202 dengan rerata perilaku curang berkisar antara
26,793 sampai 35,610. Sedangkan yang berasal dari sekolah agama memiliki
mean yang lebih kecil yaitu sebesar 25,632 dengan rerata perilaku curang antara
19,667 sampai 31,586. Bila kedua mean tersebut dibandingkan maka akan
terlihat bahwa subjek pada skema pertahanan norma yang berasal dari sekolah
umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek
pada skema yang sama namum berasal dari sekolah agama.
Adapun mean untuk subjek yang berada pada skema poskonvensional
yang berasal dari sekolah umum memiliki mean sebesar 67,000 dengan rerata
perilaku curang berkisar antara 35,210 sampai 98,790. Sedangkan yang berasal
dari sekolah agama memiliki mean sebesar 51,000 dengan rerata perilaku
curang berkisar antara 6,042 sampai dengan 95,958. Bila kedua mean tersebut
dibandingkan maka dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada skema
poskonvensional yang berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan subjek yang berasal dari sekolah
agama.
Sementara itu, dari data penelitian dapat juga diperoleh hasil analisis lain
yang cukup berhubungan dengan penelitian, diantaranya adalah melihat
perbedaan perkembangan penalaran moral remaja berdasarkan jenis sekolah
remaja. Dari analisis data diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan
perkembangan penalaran moral remaja yang signifikan berdasarkan jenis
sekolahnya (umum dan agama), dengan perolehan Fhitung 4,653. Jika
dibandingkan dengan Ftabel 3,895 maka dapat diketahui bahwa Fhitung lebih besar
dari Ftabel (4,653>3,895). Berdasarkan rata-rata tingkat perkembangan panalaran
75
moral remaja, maka remaja dari sekolah umum memiliki rata-rata lebih rendah
yaitu 9,83 dibandingkan dengan remaja dari sekolah Agama yaitu 11,37.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral remaja yang bersekolah
di sekolah agama lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang bersekolah di
sekolah umum.
Peredaan perilaku curang remaja berdasarkan jenis kelamin, diperoleh
signifikansi 0,022 < 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan
tingat perlaku curang yang signfikan pada remaja berdasarkan jenis kelaminnya.
Dimana berdasarkan rata-rata diperoleh gambaran bahwa perilaku curang
remaja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan (34,06 >
26,12).
Analisis aitem dari skala perilaku curang menunjukkan bahwa terdapat
beberapa bentuk kecurangan yang dilakukan oleh sebagian besar subjek dalam
melaksanakan UN, diantaranya adalah menanyakan soal kepada teman dengan
kode soal yang sama yaitu 74%, memberikan bantuan jawaban kepada teman
dengan kode soal yang sama yaitu 71%, mencocokkan kode soal dengan teman
yang lain untuk saling membatu selama ujian yaitu 69%, membuat dan
menggunakan contekan rumus-rumus maupun kunci jawaban di kotak pensil
yaitu 69%, menerima jawaban dari teman melalui kertas kecil saat ujian
berlangsung 68%, memberikan contekan jawaban melalui kertas buram kepada
teman yaitu 65%, menerima contekan jawaban ujian melalui kertas buram dari
teman yaitu 62%, membawa kertas kecil berisi contekan ujian ke dalam ruang
ujian yaitu 62%, memperoleh jawaban ujian melalui sms 62%, membantu teman
dengan mengangkat lembar soal yang telah diberi tanda jawaban yaitu 60%,
menggunakan kertas kecil berisi contekan jawaban ujian saat ujian berlangsung
76
yaitu 59%, menggunakan kunci jawaban saat ujian berlangsung yaitu 59%,
memperoleh kunci jawaban sebelum ujian berlangsung yaitu 58%, menggunakan
hp untuk memberikan jawaban ujian yaitu 57%, menggunakan hp untuk
menerima jawaban ujian yaitu 57%, menyalin jawaban ujian dari lembar jawaban
ujian teman yaitu 55% dan menciptakan kode-kode tertentu untuk memperoleh
jawaban ujian yaitu 52%.
D. Pembahasan
Perilaku curang dalam melaksanakan UN merupakan perilaku tidak jujur
yang berhubungan dengan pencapaian akademik, dimana terjadi kesalahan
individu dalam menggambarkan dan menampilkan pengetahuannya dengan cara
penipuan dan melanggar peraturan, menggunakan alat-alat, informasi-informasi
atau bahan pelajaran yang tidak sah untuk meningkatkan pecapaian akademik
dalam melaksanakan UN. Dari 177 remaja yang diteliti, 91% remaja melakukan
kecurangan mulai dari kategori rendah, sedang hingga tinggi. Sisanya yaitu 9%
diduga tidak melakukan kecurangan yang terlihat dari perolehan skor pada skala
perilaku curang remaja. Dalam menghadapi UN, 21 remaja atau 11,9% memiliki
tingkat kecurangan yang tinggi, sekitar 125 remaja atau 70,6% masuk kategori
sedang dan 31 remaja atau 17,5% memiliki tingkat kecurangan yang rendah.
Sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian besar perilaku curang
remaja masuk ke dalam kategori sedang. Sementara itu jika dihubungkan
dengan skema perkembangan penalaran moral Rest (dalam Rest, Narvaez,
Thoma, & Bebeau, 2000) maka diketahui bahwa 13 remaja atau 7,3% berada
pada kategori skema kepentingan pribadi, kemudian 161 remaja atau 91%
77
berada pada kategori skema pertahanan norma dan 3 remaja atau 1,7% berada
pada kategori skema postkonvensional.
Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk melihat ada atau tidaknya
perbedaan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah atau
pendidikan terhadap perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan antara
perilaku curang remaja yang berada pada skema perkembangan penalaran
moral poskonvensional dengan remaja pada skema perkembangan penalaran
moral pertahanan norma maupun remaja yang berada pada skema
perkembangan penalaran moral kepentingan pribadi.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh West,
dkk. (2004), dimana hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara perkembangan moral dengan perilaku curang, penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa perkembangan moral dan kejujuran merupakan sesuatu
yang tidak berhubungan, namun tingginya tingkat kecurangan berhubungan
dengan rendahnya tingkat kejujuran. Bruggeman (1996) mengungkapkan bahwa
tingkat perkembangan moral tidak berhubungan dengan pilihan individu saat
menghadapi konflik moral yang terjadi. Hal ini didukung oleh Matarazzo, dkk.
(2008) seseorang akan menerapkan nilai-nilai moral jika dihadapkan pada situasi
yang yang tidak terlalu jauh dari fokus yang sedang mereka lakukan. Namun jika
situasi tersebut jauh dari fokus apa yang sedang mereka lakukan maka akan
terjadi pertimbangan untuk menerapkan nilai-nilai moral yang dianut.
Sebagian besar remaja dalam penelitian ini memiliki tingkat
perkembangan penalaran moral yang sedang atau berada pada skema
pertahanan norma, dimana remaja telah mampu untuk mengidentifikasi aturan-
78
aturan dan peran dalam masyarakat, remaja cenderung lebih patuh tehadap
hukum, aturan dan keadilan serta tugas sosial. Penilaian baik, buruk, benar dan
salah harus memiliki aturan yang jelas dan berlaku bagi semua orang, aturan dan
normalah yang mengatur hubungan timbal balik dengan orang lain, kepatuhan
pada aturan, nilai dan norma di dalam masyarakat dilakukan semata-mata untuk
menghormati sistem sosial, belum masuk pada kesadaran diri untuk mematuhi
aturan yang berlaku di dalam masyarakat seperti pada tahap pascakonvensional
Kohlberg maupun Rest (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000).
Selain itu, remaja pada skema pertahanan norma masuk pada tahap
penalaran konvensional yang dikembangkan oleh Kohlberg (dalam Ormrod,
2008). Perkembangan konvensional biasanya ditemukan pada segelintir siswa
SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP dan banyak siswa SMA. Menurut Kohlberg
(dalam Slavin, 2011) pada tingkat ini individu dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat akan mematuhi beberapa standar tertentu, tetapi standar tersebut
merupakan standar orang lain atau standar yang berlaku dalam masyarakat.
Individu pada tingkat perkembangan penalaran moral ini lebih mementingkan
kebutuhan kelompok, harapan keluarga, dan bangsa. Individu tidak lagi hanya
menghindari apa yang mengakibatkan mereka dihukum atau melakukan apa
yang membuat mereka merasa bahagia, akan tetapi mereka telah mulai
mempertimbangan standar-standar orang lain di luar dirinya sendiri. Peraturan
dan hukum masyarakat menggantikan peraturan dan hukum kelompok sebaya.
Menyadari hal tersebut, jika dihadapkan pada dilema moral dalam
kehidupan yang sebenarnya maka penalaran moral yang tinggi belum tentu
dapat diterapkan dalam tingkah laku yang sesuai dengan pertimbangan moral
remaja, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral
79
merupakan faktor yang penting dalam membuat keputusan moral, namun jika
terjadi interaksi dengan faktor lain yang lebih komplit maka tidak ada jaminan
bahwa remaja akan tetap mempergunakan pertimbangan moralnya dalam
berperilaku. Sehingga tinggi, sedang atau rendahnya tingkat perkembangan
penalaran moral remaja belum tentu akan berpengaruh terhadap tindakan yang
akan diambilnya. Hal senada ditigaskan oleh Atkinson (dalam Azizah, 2006) yang
mengungkapkan bahwa individu mengetahui bagaimana sebaiknya bertindak
tetapi mungkin tidak melakukannya jika ada kepentingan lain yang ikut terlibat.
Duriez dan Soenens (dalam Marquette, 2010) menjelaskan bahwa
tindakan moral merupakan hasil dari setidaknya empat komponen proses,
diantaranya yaitu mengidentifkasi situasi sebagai masalah moral, kemudian
mencari tahu apa yang harus dilakukan dan mengevaluasi kemungkinan rencana
dan tindakan, mengevaluasi bagaimana tindakan akan memenuhi nilai-nilai
moral dan non moral dan memutuskan tindakan yang akan ditempuh dan yang
terakhir adalah melaksanakannya dalam sebuah tindakan. Menyadari hal ini,
maka akan ada sebagian individu yang mengandalkan penalaran berdasarkan
asas keadilan, keuntungan, norma sosial ataupun prinsip agama sebelum
melaksanakannya dalam bentuk tindakan, sehingga tindakan akan selalu sejalan
dengan asas yang digunakan oleh individu untuk menalar situasi sosial dan
terkadang tindakan moral dapat tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat.
Dalam situasi menghadapi UN fokus remaja adalah mampu
menyelesaikan ujian dengan sebaik-baiknya dan lulus sesuai dengan harapan
remaja dan harapan pihak-pihak diluar diri remaja, seperti pihak keluarga,
sekolah dan masyarakat. Karena Jika situasi tidak memberikan kemudahan bagi
80
remaja dalam hal pencapaian kelulusan yang ingin diraih, maka remaja dapat
tidak menerapkan nilai-nilai moral yang mereka anut dalam sebuah bentuk
perilaku moral atau bisa jadi asas yang dipergunakan oleh remaja dalam
menghadapi dilema sosial dan moral yang terjadi mempergunakan asas
kepentingan, bukan asas keadilan, norma sosial maupun prinsip agama
sehingga tidak mengherankan, walaupun tingkat perkembangan moral remaja
tergolong sedang sampai tinggi, kecurangan saat melaksanakan UN masih
terjadi. Seperti halnya dalam kasus perilaku curang saat melaksanakan UN, jika
diperhatikan sebagaian besar remaja memiliki kemungkinan untuk membuat
keputusan moral sesuai dengan pertimbangan penalaran moral yang dimilikinya,
namun kenyataannya dilapangan tidak seperti itu, karena hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang pada remaja, baik
yang memiliki tingkat perkembangan penalaran moral tinggi, sedang maupun
rendah.
Selain melihat perbedaan perilaku curang berdasarkan tingkat
perkembangan penalaran moral remaja, penelitian ini juga ingin mengetahui
apakah terdapat perbedaan perilaku curang berdasarkan jenis sekolah remaja.
Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rettinger dan Jordan
(2005) menunjukkan bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa
dipengaruhi oleh pendidikan yang mereka ikuti, dimana siswa yang mengikut
kursus berbasis keagamaan memiliki tingat kecurangan yang lebih rendah
dibandingkan dengan siswa yang mengikuti kursus berbasis umum. Demikian
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bloodgood, dkk. (2008) dimana
subjek yang memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti
serangkaian doktrin-doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat
81
kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak, namun
hasil analisis data dari penelitian ini tidak sejalan dengan kedua penelitian
tersebut.
Walaupun secara umum terdapat perbedaan perkembangan penalaran
moral antara remaja yang bersekolah di sekolah umum (SMA dan SMK) dengan
remaja yang bersekolah di sekolah agama (MA) dimana dari nilai rata-ratanya
menunjukkan bahwa perkembangan penalaran moral remaja yang berasal dari
sekolah agama lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dari sekolah umum,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang
antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang
bersekolah di sekolah agama. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang
telah dilakukan oleh Godfrey dan Waugh (1998) dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang antara siswa dari
sekolah agama dengan siswa dari sekolah umum, baik melalui pengetahuan
tentang perilaku curang maupun teknik yang dipakai dalam melakukan
kecurangan. Penelitian yang dilakukan oleh Bruggeman (1996) juga
menunjukkan hal yang sama, bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang
antara siswa dari sekolah umum dengan siswa dari sekolah agama.
Perbedaan yang paling mendasar antara pendidikan yang diterima oleh
remaja di sekolah umum dengan sekolah agama terletak pada mata pelajaran
keagamaannya. Tujuan dari mata pelajaran keagamaan adalah untuk
peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, menjadi manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah,
82
cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi serta mampu menjaga
keharmonisan secara personal dan sosial.
Tidak terdapatnya perbedaan perilaku curang antara remaja dari sekolah
agama dengan remaja dari sekolah umum menjelaskan bahwa kualitas pelajaran
agama yang benar-benar mengajarkan remaja untuk berlaku jujur dan etis di
sekolah umum dan agama tidak jauh berbeda. Memang benar bahwa mata
pelajaran keagamaan sekolah agama lebih banyak dibandingkan dengan
sekolah umum, yaitu sekitar 6-14 jam perminggu, namun jika dilihat dari silabus
masing-masing mata pelajaran keagamaan tersebut dapat diketahui bahwa mata
pelajaran yang berhubungan dengan perilaku jujur dan etis hanya terdapat dalam
satu mata pelajaran dengan alokasi waktu 2 jam permingu yaitu pada mata
pelajaran Akidah Akhlak.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan yang
diperoleh remaja di sekolah umum yang berhubungan dengan jujur dan perilaku
etis yang dibutuhkan saat melaksanakan UN sama saja dengan sekolah agama.
Sehingga tidak mengherankan jika tidak terdapat perbedaan perilaku curang
antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang
bersekolah di sekolah agama. Ditambah lagi, bahwa selama ini pendidikan
agama dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini baru sampai kepada tahap
pengalihan pengetahuan atau baru menyentuh ranah kognitif remaja, hal ini
terlihat dari kemampuan remaja dalam mengaplikasikan pendidikan agama yang
diperolehnya ke dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan tatanan agama dan
masyarakat yang berlaku seperti kejujuran (Harsa, 2008). Adanya pihak yang ikut
membantu remaja dalam melakukan kecurangan dalam melaksanakan UN juga
bisa menjadi penyebab idak berbedanya perilaku curang antara remaja yang
83
berasal dari sekolah agama dengan remaja yang berasal dari sekolah umum,
seperti keterlibatan guru, pihak sekolah dan pemerintah daerah yang menjadikan
kecurangan tersusun secara sistematis.
Secara terpisah, tidak terdapat perbedaan perilaku curang antara variabel
tingkat perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah remaja. Demikian
juga ketika kedua variabel tersebut secara bersama-sama berusaha
menjelasakan perbedaan perilaku curang antara variabel tingkat perkembangan
penalaran moral dengan jenis sekolah remaja, hasil analisis variansi faktorial
menunjukkan bahwa perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN secara
bersama-sama tidak tergantung pada tingkat perkembangan penalaran moral
dan jenis sekolah remaja.
Tidak terdapatnya perbedaan antara tingkat perkembangan penalaran
moral dan jenis sekolah dengan perilaku curang mungkin disebabkan oleh
alasan kenapa remaja melakukan kecurangan itu sendiri, seperti yang diketahui
bahwa UN merupakan penilaian hasil belajar yang bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetesi lulusan secara nasonal pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari UN tersebut berguna
sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan pendidikan,
dasar seleksi masuk jenjang pedidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta
didik dari program atau satuan pendidikan dan dasar pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan (BSNP, 2010). Mengingat besarnya peran
dari hasil Ujian Nasional tersebut bagi remaja, terlebih lagi pada poin kedua dan
ketiga yaitu sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan
penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan pendidikan, maka
praktek kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional tidak terhindarkan lagi.
84
Hal ini berdasarkan data yang diperoleh dari 162 remaja yang melakukan
kecurangan. Sebanyak 157 remaja atau 97% mengungkapkan bahwa mereka
terpaksa melakukan kecurangan saat UN karena takut tidak akan lulus dalam
UN, yang dapat disimpulkan bahwa remaja harus lulus dalam UN bagaimanapun
caranya. Sementara itu sisnya yaitu 5 remaja atau 3% melakukan kecurangan
untuk memperoleh nilai tinggi.
Sekarang ini hasil ujian yang diperoleh oleh remaja terlihat sebagai
gambaran sempurna untuk menilai dan mengetahui sebarapa baik remaja di
sekolah. Pada masa remaja, individu membutuhkan pengakuan akan
kemampuannya baik dari teman sebaya, keluarga ataupun masyakarat secara
luas, tidak ada manusia yang ingin mengalami kegagalan, menyadari hal
tersebut maka sebagian besar remaja akan melakukan berbagai usaha agar
terhindar dari kegagalan tersebut (Kaufman, 2008).
Tidak semua remaja yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, banyak
yang memiliki kemampuan belajar yang tidak cukup baik dan ketika dituntut
untuk mencapai sesuatu dengan standar yang sulit untuk dicapai, maka remaja
menilai bahwa perilaku curang merupakan salah satu jalan keluar yang dapat
dimaklumi. Sehingga tidak mengeherankan jika perilaku curang dianggap
sebagai cara yang efisien untuk memperoleh nilai yang yang diharapkan
(Bouville, 2010). Peran dari ujian nasional yang masih cukup besar membuat
remaja tidak memiliki pilihan lain, jika ingin menyelesaikan program pendidikan
dari satu satuan pendidikan atau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya dan memperoleh nilai yang memuaskan maka lulus menjadi sebuah
kewajiban. Sehingga nilai-nilai moral dan agama yang dipelajari oleh remaja
85
disekolah tidak cukup mampu membuat siswa melaksanakan ujian dengan jujur,
hal ini terbukti dari tingkat kecurangan remaja dalam melaksanakan UN.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah motivasi remaja, karena
motivasi merujuk kepada alasan tertentu mengapa sesuatu dilakukan
(Djiwandono, 2006). Motivasi untuk lulus merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi perilaku curang remaja (Whitley, 1998). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Anderman (dalam Rettinger & Kramer, 2009) remaja yang
mementingkan kelulusan atau nilai dan memiliki orientasi untuk lulus tinggi, lebih
memilih untuk melakukan berbagai bentuk kecurangan daripada harus gagal
dalam ujian, walaupun telah ada aturan dan sanksi jelas yang mengatur
pelaksanaan ujian nasional.
Pada penelitian ini, selain variabel tingkat perkembangan penalaran moral
dan jenis sekolah masih terdapat beberapa faktor lain yang mendasari terjadinya
praktek kecurangan, faktor jenis kelamin misalnya, dalam penelitian ini penulis
menemukan bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan tingkat
kecurangan remaja. Dilihat dari rata-rata perilaku curang, laki-laki memiliki tingkat
kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Wideman (2008). Menurut Ward dan Beck
(1989) hal ini terjadi karena perempuan secara umum lebih mematuhi peraturan
sosial.
Ujian Nasional akan menjadi agenda rutin setiap akhir tahun pelajaran,
maka selain melihat perilaku curang dari tingkat perkembangan penalaran moral
dan jenis sekolah, dan kemudian disadari bahwa tidak terdapat perbedaan
perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis
sekolah remaja, untuk itulah sangat penting melihat dan mengetahui bahwa
86
masih banyak faktor personal maupun situasional yang akan mempengaruhi
tingkat kecurangan remaja dalam melaksanakan UN, seperti efikasi diri, kontrol
diri, strategi koping, norma sosial, teman sebaya dan lain sebagainya.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan
jenis pendidikan remaja. Terdapat perbedaan perkembangan penalaran moral
antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang
bersekolah di sekolah agama, dimana remaja dari sekolah agama memiliki
perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi dibanding remaja dari sekolah
umum. Terdapat perbedaan perilaku curang antara remaja laki-laki dengan
remaja perempuan, dimana remaja laki-laki memiliki tingkat kecurangan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan. Bentuk kecurangan yang
paling banyak dilakukan oleh remaja saat melaksanakan UN adalah
menanyakan dan membirikan bantuan kepada teman yang memiliki kode soal
yang sama, kemudian membuat dan menggunakan contekan yang berisi kunci
jawaban saat ujian berlangsung, menggunakan hp untuk saling membantu dalam
ujian, menyalin jawaban teman dan menciptakan kode-kode tertentu untuk saling
membantu saat UN berlangsung.
Saran
Berdasarkan hasil analisis, pembahasan dan kesimpulan pada penelitian
ini maka saran yang dapat diajukan adalah:
1. Bagi sekolah
a. Hendaknya pihak sekolah dapat meningkatkan pembinaan dan
pengembangan pendidikan moral khususnya pada perilaku jujur dan
etis terutama pada remaja yang berasal dari sekolah umum, karena
88
berdasarkan hasil penelitian, tingkat perkembangan penalaran moral
remaja dari sekolah umum lebih rendah jika dibandingkan dengan
remaja dari sekolah agama, sementara itu rata-rata skor perilaku
curang saat UN lebih tinggi dibandingkan remaja dari sekolah agama.
b. Meningkatkan pengawasan saat melaksanakan UN, karena
kecurangan yang banyak dilakukan oleh remaja terjadi saat ujian
tengah berlangsung.
2. Bagi peneliti selanjutnya.
Penelitian ini hanya meneliti sebatas pada perbedaan tingkat
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada perilaku curang
remaja dalam melaksanakan UN. Oleh karena itu bagi peneliti selanjutnya
diharapkan dapat megembangkan lagi penelitian ini, terutama pada aspek
motivasi remaja ketika melakukan kecurangan dalam UN. Serta faktor lain
yang mempengaruhi perilaku curang remaja.
89
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, N. (2006). Perilaku moral dan religiusitas siswa berlatar belakang
pendidikan umum dan agama. Jurnal Psikologi, 33(2), 94-109.
Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. (2010). Tes prestasi edisi ke 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bernardi, R. A., Metzger, R. L., Bruno, R. G., Hoogkamp, M. A., Reyes, L. E., &
Barnaby, G. H. (2004). Examining the decision process of students’ cheating behavior: An empirical study. Journal of Business Ethics, 50, 397-414.
Bloodgood, J. M., Turnley, W. H., & Mudrack, P. (2008). The influence of ethics
instruction, religiosity, and intelligence on cheating behavior. Journal of
Business Ethics, 82, 557-571.
Bouville. (2010). Why is cheating wrong? Journal Study Philosophize Education,
29, 67-76.
Bruggeman, E. L. (1996). Cheating, lying, and moral reasning by religious and
secular high school students. Journal of Education Research, 89(6), 340-
344.
BSNP. (2006). Standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA/MA. Diunduh
pada tanggal 11 Januari 2012 dari http://www.bsnp.go.id.
_____. (2010). Raih prestasi dengan kejujuran, 5. Diunduh pada tanggal 11 Januari 2012 dari www.bsnp.go.id.
_____. (2012). Prosedur operasi standar ujian nasional 2011/2012. Diunduh
pada tanggal 29 Maret 2012 dari http://www.bsnp.go.id. Burdjani, A. S. (2005). Tantangan pendidikan agama Islam dalam era globalisasi.
Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 3, 21-32.
Carter, S. L. & Carter, N. M. (2001). Acceptability of treatments for cheating in the
college classroom. Journal of Instructional Psychology, 33(33), 212-216.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi. (Dictionary of psychology). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Crain, W. (2007). Teori perkembangan konsep dan aplikasi (Theories of
development, concepts and applications third edition). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
.
90
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Panduan belajar ke sekolah menengah umum tingkat atas (SMA). Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
Djiwandono, S. E. W. (2006). Psikologi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta:
Grasindo. Drajat, Z. (1992). Ilmu pendidikan islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Farodlilah. (2012). Soal UN terbukti bocor. Diunduh pada tanggal 2 September
2012 dari http://www.antikorupsi.org/new/index.
Firdaus, A., Ridwan, M., Andrian, A., & Rafiqi. (2008). Upaya meningkatkan
akhlak dan kepribadian melalui pemahaman pendidikan agama. Jurnal
Pengabdian pada Masyarakat, 46, 28-32.
Fitria. (2000). Hubungan antara identitas diri dan perkembangan kepercayaan eksistensial dengan tingkat perkembangan penalaran moral remaja di Kodya Padang. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Godfrey, J. R. & Waugh, R. F. (1998). The perceptions of students from religious
schools about academic dishonest. Issues in Education Research, 8(2),
95-116.
Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja dan sekolah. Jakarta: Gunung Mulia.
Hamushek, A. E. & Woessmann, L. (2007). The role of education quality in
economic growth. Public Disclosure Authorized. World Bank Polycy Research Working Paper, 4, 122.
Harsa, T. (2008). Peran pendidikan dalam mengatasi krisis akhlak. Jurnal
Edukasi, 4(1), 45-56.
Husairi, E. (2007). Kejenuhan belajar siswa dalam proses pembelajaran
pendidikan agama Islam. Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 5(8),
107-120.
Ihsan, F. (2003). Dasar-dasar kependidikan. Jakarta: Rineke Cipta. Jogiyanto. (2008). Pedoman survei skala: Mengembangkan skala, mengatasi
bias dan meningkatkan respon. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Jordan, A. E. (2001). College student cheating: The role of motivation, perceived
norms, attitudes, and knowledge of instituonal policy. Journal Ethics and Behavior, 11(3), 233-247.
91
Kaufman, H. E. (2008). Moral and ethical issues related to academic dishonesty
on college campuses. Journal of College and Character, 9(5), 1-6.
Kementrian Agama. (2012). Pengertian dan karakteristik madrasah. Diunduh
pada taggal 2 Maret 2012 dari
http://madrasah.kemenag.go.id/detail38.html.
Kementrian Agama bidang Pendidikan Islam. Visi dan misi ditjen pendidikan
Islam. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2012 dari http://www.pendis.kemenag.go.id.
Krismani, D. Y. (2008). Perilaku menyontek remaja ditinjau dari kepatuhan
kepada kelompok dan rasa bersalah. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Latief, M. (25 April, 2009). Lihat, mereka bebas “nyontek” pakai hp!. Diunduh
pada tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. . (19 April, 2011). SMS kunci jawaban terus beredar. Diunduh pada
tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. . (18 April, 2011). SMS kunci jawaban terus beredar. Diunduh pada
tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. . (21 April, 2011). Banyak sekolah membiarkan kecurangan. Diunduh
pada tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. _ . (25 April, 2011). Dibeberkan, parahnya kecurangan un sma!. Diunduh
pada tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. Lee, D. E. (2009). Cheating in the classroom: Beyond policing. Heldref
Publication, 82(4), 171-174.
Leming, J. S. (2001). Cheating behavior, situational influence, and moral
development. The Journal of Education Research, 214-217. Marquette, H. (2010). Corruption, religion, and moral development. Working
Paper, 42, 1-30. Martani, W. (1995). Perkembangan penalaran moral pada remaja yang berbeda
latar belakang budaya. Jurnal Psikologi, 2, 14-20.
Matarazzo, O., Abbamonte, L., & Nigro, G. A. (2008). Moral reasoning and
behaviour in adulthood. Journal Engineering and Technology, 34, 667-
674.
McCabe, D. L., Trevino, L. K., & Butterfield, K. D. (2001). Cheating in academic
institutions: Decade of research. Journal Ethics and Behavior, 11(3), 219-
232.
92
Metrotv. (2 Mei, 2012). Mata najwa: Ujian penghabisan. Diunduh tanggal 28 Juni 2012 dari http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/05/02/12424/308/Ujian-Penghabisan.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (1998). Psikologi
perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murdock, T. B., Beauchamp, A. S., & Hinton, A. M. (2008). Predictors of cheating
and cheating attributions: Does classroom context influence cheating and
blame for cheating? European Journal of Psychology of Education, 23(4),
477-492.
Muslimin, Z. I. (2005). Penalaran moral siswa ditinjau dari jenis lembaga pendidikan dan tingkat pendidikan orang tua. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Olanrewaju, A. S. (2010). Correlation between academic cheating behavior and
achievement motivation. Journal of Nature and Science, 8(12), 130-134. Ormrod, J. E. (2008). Psikologi pendidikan edisi keenam (Educational Psycholog
6th edition). Jakarta: Erlangga. Pardamean, T. (2011). Sebuah tinjauan pemikiran terhadap madrasah aliyah
negeri (Case study: Sumatera utara). Diunduh pada tanggal 14 Maret 2012 dari http://madrasah.kemenag.go.id.
Paxton, J. M. & Greene, J. D. (2010). Moral reasoning: Hints and allegations.
Journal of Topics in Cognitive Science, 511-527.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59
tahun 2011. Diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 dari
http://subkioke.files.wordpress.com/2011/12/permen-no-59-tahun-2011-
ttg-un.pdf.
Raaijmakers, Q. & Hoof, A. V. (2006). Does moral reasoning repesent sociomoral
structure or political ideology? A further exploration of the relations
between moral reasoning, political attitudes, consistency of moral thought,
and the evaluation of human right in dutch young adults. Social Behavior
and Personality, 34(6), 617-638.
Rest, J. R. (1979). Development in judging moral issues. Minneapolis: University
of Minnesota Press.
Rest, J. R., Narvaez, D., & Thoma, S. J. (1999). Defining issue test 2: Devising
and testing a revised instrument of moral judgment. Journal of
Educational Psychology, 91(4), 644-659.
93
Rest, J. R., Narvaez, D., Thoma, S. J., & Bebeau, M. J. (2000). A neo-
kohlbergian approach to morality research. Journal of Moral Educaton, 29,
381-396.
Rettinger, D. A. & Jordan, A. E. (2005). The relations among religion, motivation,
and college cheating: A natural experiment. Journal Ethics and Behavior,
15(2), 107-129.
Rettinger, D. A. & Kramer, Y. (2009). Situational and personal cause of student cheating. Journal of Rest High Education, 50, 293-313.
Rice, P., Dolgin., & Gale, K. (2008). The adolescent: Development, relationships,
and culture. U.S.A: Pearson Rohman, A. (2001). Kebijakan pendidikan. Naskah Penelitian (Tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Santrock, J. W. (2003). Adolescence perkembangan remaja (Adolescence, 6th
ed). Jakarta: Erlangga.
Saulsbury, M. D., Brown, U. J., Heyliger, S. O., & Beale, R. L. (2011). Effect of Dispositianal traits on pharmacy students’ attitude toward cheating. American Journal of Pharmaceutical Education, 75(4), 1-7.
Semerci, C. (2006). The Options of medicine faculty students regarding cheating
in relation to kohlberg’s moral development concept. Journal Social Behavior and Personality, 34(1), 41-50.
Setiawan. (2010). Mengejar nilai, bukan memanfaatkannya. Diunduh pada
tanggal 11 Juli 2011 dari http://www.kompas.com. Slavin, R. E. (2011). Psikologi pendidikan teori dan praktik edisi kesembilan
(Educational psychology: Theory and practice, 9th ed). Jakarta: Indeks.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia. Sudjana, N. (1994). Konvensi nasional pendidikan Indonesia II. Jakarta: Rineka
Cipta. Sukamto. (1988). Perencanaan dan pengembangan kurikulum pendidikan
teknologi dan kejuruan. Departemen pendidikan dan kebudayaan. Direktorat jenderal pendidikan tinggi, proyek pengembangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Jakarta.
Sunarto & Hartono, A. (2006). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Grasindo. Suryabrata, S. (2010). Psikologi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
94
Tas, Y. & Tekkaya, C. (2010). Personal and contextual factors associated with
students’ cheating in science. The Journal of Experimental Education, 7,
440-463.
Tayfun, A. (2009). Is there a relationship between grade average point and students’ perception with regard to cheating factors. Journal of Commerce and Tourism Education, 49, 191-204.
Teodorescu, D. & Andrei, T. (2009). Faculty and peer influences on academic
integrity: College cheating in Romania. Journal High Education, 57, 267-282.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem pendidikan
nasional. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012 dari http://www.inherent-
dikti.net/files/sisdiknas.pdf.
Vinski, E. J. & Tryon, G. S. (2009). Study of a cognitive dissonance intervention to address high school students’ cheating attitudes and behaviors. Journal Ethics and Behavior, 19(3), 218-226.
Walizer, M. H. & Wienir, P. L. (1991). Metode dan analisis penelitian mencari
hubungan (Research methods and analysis: Searching for relationship).
Jakarta: Erlangga.
Ward, D. A. & Beck, W. L. (1989). Gender and dishonesty. Journal of Social
Psychology, 130(3), 333-339.
Wardani, I. (1998). Tingkat perkembangan penalaran moral remaja di sekolah
koedukasi dan non-koedukasi. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
West, T., Ravenscroft, S. P., & Shrader, C. B. (2004). Cheating and moral
judgment in the college classroom: A natural experiment. Journal of
Business Ethics, 54, 173-183.
White, F. A. & Matawie, K. M. (2004). Parental morality and family processes as predictors of adolescent morality. Journal of Child and Family Studies, 13(2), 219-233.
Whitley, B. E. Jr. (1998). Factors associated with cheating among college
students: A review. Journal Research in Higher Education, 39(3), 235-274.
Whitley, B. E. Jr. & Spiegel, P. K. (2002). Academic dishonesty an educator’s
guide. London: Lawrence Erlabum Assicates.
Wideman, M. A. (2008). Academic dishonesty in postsecondary education: A
literature review. Journal Teaching and Learning, 2, 1-12.
95
Widiastono & Tonny, D. (2004). Pendidikan manusia Indonesia. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Williams, K. M., Nathanson, C., & Paulhus, D. L. (2010). Identifying and profiling
scholastic cheaters: Their personality, cognitive ability, and motivation.
Journal of Experimental Psychology, 16(3), 293–307.
Winarsunu, T. (2007). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan.
Malang: UMM Press.
Yardley, J., Rodriguez, M. D., & Bates, S. (2009). True confessions: Alumni’s retrospective reports on undergraduate cheating behaviors. Journal of Ethics and Behavior, 19(1), 1-14.
Zande, P. V. D., Bekelmans, M., Vermunt, J. D,. & Waarlo, A. J. (2009). Moral
reasoning in genetics education. Educational Research, 44(1), 31-36.
Zuhaerini. (1983). Metodik khusus pendidikan agama. Surabaya: Usaha Nasional.
96
LAMPIRAN-LAMPIRAN
97
LAMPIRAN I
PERNYATAAN KESEDIAAN BERPARTISIPASI DALAM PROSES PENELITIAN
Sehubungan dengan kegiatan penelitian tesis yang diselenggarakan oleh
mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), maka
mahasiswa bernama :
Nama : Elmiyanti
Nim : 10/305634/PPS/02164
Melakukan kegiatan penelitian terhadap partisipan :
Inisial* :
Jenis Kelamin :
Usia :
Pendidikan Menengah Atas : SMA SMK MA
Lainnya________
Jurusan saat SMA/SMK/MA : IPA IPS Bahasa Keagamaan
Teknik ____________
Lainnya ___________
Dalam kegiatan penelitian ini, mahasiswa Magister Sains Psikologi akan
MENJAMIN KERAHASIAAN jawaban yang diberikan oleh partisipan. Setelah
membaca penjelasan ini, maka saya menyatakan bersedia berpartisipasi dalam
proses penelitian ini.
Padang, 2012
Mahasiswa Magister Sains Psikologi Partisipan
(Elmiyanti, S.Psi.I) *( )
* Nama/Inisial boleh tidak dicantumkan
98
LAMPIRAN II
(SKALA DIT-REST)
PETUNJUK PENGISIAN
Dalam angket ini terdapat beberapa cerita tentang masalah-masalah sosial. Pada
setiap akhir cerita, saudara diminta untuk memberikan pendapat tentang masalah-
masalah tersebut.
Langkah-langkah pengisian angket adalah sebagai berikut:
1. Bacalah baik-baik setiap cerita yang disajikan
2. Di bawah setiap cerita ada satu pertanyaan yang diajukan, dan ada 3
kemungkinan dianggap paling sesuai dengan pendapat saudara dengan
memberikan tanda cheklist disebelahnya pada lembar jawaban yang telah
disediakan.
3. Setiap cerita disertai dengan 12 pernyataan yang merupakan pertimbangan-
pertimbangan. Tugas saudara adalah mengemukakan seberapa besar
pentingnya pernyataan itu menurut pertimbangan saudara. Nyatakan pendapat
saudara tentang masing-masing pernyataan dengan memilih tanda-tanda yang
tersedia pada kolom disebelah kanan, setiap pernyataan diberi tanda check. Arti
tanda-tanda tersebut adalah:
ASP = Amat sangat Penting
SP = Sangat Penting
P = Penting
KP = Kurang penting
TP = Tidak penting
4. Sesudah menyatakan pendapat anda pada masing-masing pernyataan, pilih
empat pernyataan yang dianggap penting, kemudian buatlah peringkat (ranking)
dari empat pernyataan saudara.
99
CONTOH CERITA
Pak Joyo ingin membeli sebuah mobil. Ia sudah bekeluarga, mempunyai dua
anak kecil dan mempunyai gaji yang cukup. Mobil yang akan dibelinya merupakan satu-
satunya mobil bagi keluarga Pak Joyo. Rencananya mobil itu akan digunakan untuk pergi
bekerja, dan mengantar anak-anak dan isteri berbelanja atau sekali-sekali
berdarmawisata. Sebelum memutuskan mobil apa yang akan dibeli, Pak Joyo menyadari
bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
Andaikata saudara adalah Pak Joyo, apa saja yang menjadi bahan pertimbangan
saudara sebelum memutuskan untuk membeli sebuah mobil?
Pertimbangan-pertimbangan:
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Penjual mobilnya harus tetangga Pak Joyo (berarti pernyataan ini dianggp sebagai sesuatu yang tidak penting)
2 Membeli mobil bekas lebih ekonomis daripada membeli mobil baru
3 Warna mobilnya hijau, yang juga merupakan warna kesayangan bagi Pak Joyo
4 Mesinnya bagus, mudah perawatannya dan irit bahan bakar
5 Penampilan bentuk mobilnya harus menarik
(Kalau ada pernyataan aneh dan tidak masuk akal, dan terasa janggal bagi saudara,
berikan saja tanda cheklist di kolom “TP” atau Tidak Penting).
Selanjutnya pilih empat pernyataan yang menurut saudara merupakan yang terpenting,
tuliskan nomor pernyataan yang dipilih di tempat yang disediakan dan tulis menurut
besarnya kepentingan (berdasarkan urutan kepentingan)
Paling penting I = 2 II = 4 III =3 IV = 5
catatan: Pemilihan 4 yang terpenting ini, disesuaikan dengan pernyataan di atas dan
sesuai dengan tanda-tanda yang sudah dipilih berdasarkan tingkat kepentingannya.
100
CERITA I
Seorang wanita hampir meninggal karena menderita penyakit kanker. Ada
sesuatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya, obat itu berupa radium
yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota itu. Biaya penelitian dan
penemuan obat itu mahal, menghabiskan sekitar Rp 200.000,- . Si apoteker bermaksud
menjualnya dengan harga Rp 2.000.000,- untuk setiap dosis kecil obat tersebut.
Hendro, suami wanita yang sedang sakit tersebut mendatangi setiap kenalannya
untuk meminjam uang untuk membeli obat, dan berhasil mengumpulkan uang sebesar
Rp. 1.000.000,- . Hendro datang ke tempat apoteker dan mengatakan bahwa isterinya
hampir meninggal karenanya ia mau membeli obat dan sekaligus meminta kepada
apoteker untuk menjual obatnya dengan harga yang lebih murah atau ia boleh
membayarnya kemudian. Tetapi apoteker berkata: “Jangan begitu, sayalah yang
menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan keuntungan juga dari penemuan
tersebut. Hendro menjadi putus harapan dan berpikir untuk mengambil sedikit obat dari
toko tersebut agar dapat menyelamatkan isterinya.
Apakah Hendro akan mencuri obat tersebut?
(Pilihlah salah satu kemungkinan di bawah ini dengan memberikan tanda cheklist
disampingnya)
___ Ya, Hendro akan mencuri obat tersebut
___ Tidak dapat memutuskan
___ Tidak, Hendro tidak akan mencuri obat tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Bagaimanapun hukum masyarakat akan
dijunjung tinggi.
2 Adalah suatu hal yang wajar kalau suami begitu
cinta kepada istrinya dan berusaha untuk
kesembuhan isterinya walaupun untuk itu harus
mencuri.
3 Hendro berpikir bahwa ia dapat ditembak
sebagai seorang perampok atau dipenjara
karena mencuri obat.
4 Hendro adalah orang yang suka berkelahi, atau
pertimbangannya dipengaruhi oleh orang yang
suka berkelahi.
5 Hendro mencuri obat untuk kepentingan dirinya
sendiri atau untuk menolong orang lain.
101
ASP SP P KP TP
6 Bagaimanapun si apoteker berhak atas karya
penemuannya dan ini harus dihargai.
7 Hakikatnya hidup tidak sekedar kematian,
individu dan masyarakat.
8 Seharusnya ada nilai-nilai yang digunakan
sebagai dasar untuk mengatur bagaimana
seharusnya masyarakat bertindak.
9 Apoteker dapat bersembunyi dibalik hukum
penghargaan yang sebenarnya hanya
melindungi orang kaya.
10 Dalam kasus ini hukum merupakan cara yang
paling sesuai dengan tuntutan dasar setiap
anggota masyarakat.
11 Sudah sepantasnya kalau apoteker dirampok
karena kejam dan tamak.
12 Tindakan mencuri dalam kasus ini akan
berpengaruh baik bagi masyarakat.
Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut
saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara
merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingkat kepentingannya pada
tempat di bawah ini.
Yang paling penting: I= II= III= IV=
102
CERITA II
Seorang laki-laki dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Tetapi berjalan 1
tahun ia sudah melarikan diri dari penjara, dan pergi ke daerah yang jauh, dan mengganti
namanya menjadi Tomo. Selama 8 tahun hidup di daerah baru ini ia bekerja keras, dan
menyisihkan sedikit-demi sedikit penghasilannya untuk ditabung sebagai modal kerja, ia
berdagang dan menggaji pegawainya dengan upah yang cukup pantas, serta
memberikan sebagian dari keuntungannya untuk amal. Pada suatu hari datang seorang
pembeli bernama Nyonya Yunus yang merupakan tetangga pak Tomo dulu, dia
mengenali Pak Tomo sebagai seorang yang melarikan diri dari penjara 8 tahun yang lalu
dan sampai sekarang masih dicari polisi.
Apakah Nyonya Yunus akan melaporkan keadaan itu, sehingga Pak Tomo bisa dikirim
kembali ke penjara?
___Pak Tomo akan dilaporkan ke Polisi
___Tidak dapat memutuskan
___Pak Tomo tidak akan dilaporkan
Pertimbangan-pertimbangan:
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Pak Tomo telah menjadi orang biak-baik dan itu
sudah dibuktikannya dalam waktu yang cukup
lama
2 Seorang yang melarikan diri dari hukuman
karena perbuatan kriminalnya, apakah tidak
akan terdorong untuk melakukan tindakan
kriminal lagi.
3 Lebik baik memutuskan hubungan, tanpa
merasa mendapat beban hukum.
4 Pak Tomo benar-benar telah membayar
hutangnya kepada masyarakat
5 Masyarakat akan mencela terhadap apa yang
diharapkan Pak Tomo
6 Ada manfaatnya memisahkan penjara dari
masyarakat, khususnya dari orang-orang yang
dermawan.
103
ASP SP P KP TP
7 Alangkah kejamnya orang yang sampai hati
mengirim Pak Tomo ke penjara
8 Andaikata Pak Tomo dibiarkan saja pergi,
apakah adil dalam memperlakukan semua
narapidana yang dapat membantu dirinya
sendiri?
9 Nyonya Yunus adalah kenalan baiknya Pak
Tomo
10 Merupakan kewajiban setiap warga negara
untuk melaporkan orang yang lari dari penjara
tanpa mengabaikan keadaan sekelilingnya
11 Bagaimana keinginan masyarakat harus
dilayani sebaik-baiknya.
12 Memenjarakan Pak Tomo kembali merupakan
suatu hal yang baik dan melindungi orang lain.
Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut
saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara
merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingakat kepentingannya pada
tempat di bawah ini.
Yang paling penting: I= II= III= IV=
104
CERITA III
Ada seorang wanita yang hampir mati karena kanker yang dideritanya.
Diperkirakan ia hanya mampu bertahan selama kurang lebih 6 bulan, ia sangat menderita
dan kondisinya sangat lemah sehingga pemberian obat penawar rasa sakit atau Morfin-
pun tidak dapat mempercepat kematiannya. Wanita itu tidak sadar dan hampir gila
karena sakitnya. Pada saat-saat tenang ia meminta kepada dokter supaya diberi morfin
secukupnya agar lekas meninggal. Katanya ia sudah tidak tahan lagi menderita dan
akhirnya toh juga akan meninggal dalam beberapa bulan lagi.
Dokter akan berbuat apa?
___Dokter akan memberikan obat yang banyak sehingga wanita itu meninggal
___Tidak dapat memutuskan
___Dokter tidak memberi obat tersebut
Pertimbangan-pertimbangan:
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Keluarga wanita tersebut senang atau tidak
dengan pemberian obat yang melebihi dosis.
2 Dokter akan dihukum seperti orang lain kalau ia
memberikan obat yang melebihi ukuran kepada
wanita itu karena ini sama saja dengan
pembunuhan.
3 Lebih baik dibiarkan saja membuat keputusan
sendiri terhadap hidupnya dan matinya, tanpa
mengindahkan pendapat orang banyak.
4 Sebenarnya dokter dapat meluluskan
permintaan si wanita dan membuat
kematiannya seolah-olah seperti sebuah
kecelakaan.
5 Negara mempunyai hak untuk memelihara
(mempertahankan) kehidupan seseorang yang
sebenarnya tidak ingin hidup lagi.
6 Pandangan masyarakat terhadap kematian
lebih dipentingkan daripada nilai atau
pandangan pribadi.
105
ASP SP P KP TP
7 Kalaupun dokter bersimpati terhadap
penderitaan wanita dan mengusahakan
perawatan yang terbaik, bagaimana pendapat
masyarakat.
8 Menolong seseorang untuk mengakhiri
hidupnya merupakan suatu tindakan yang
kooperatif dan bertanggungjawab.
9 Bagaimanapun hanya Tuhan yang dapat
menentukan akhir hidup seseorang.
10 Dokter mempunyai nilai-nilai tersendiri yang
mengatur tingkah lakunya.
11 Masyarakat akan membiarkan seseorang yang
ingin mengakhiri hidupnya kapada saja orang
itu mau.
12 Masyarakat akan mebiarkan perbuatan bunuh
diri atau mercy killing dan tetap melindungi
orang yang ingin hidup.
Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut
saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara
merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingkat kepentingannya pada
tempat di bawah ini.
Yang paling penting: I= II= III= IV=
106
CERITA IV
Pak Westra adalah pemilik sekaligus manager sebuah pompa bensin. Dia ingin
menarik seorang teknisi untuk membantunya, tetapi mencari seorang teknisi yang baik
dan berkualitas sangat sulit. Orang yang dipandangnya memenuhi persyaratan adalah
seseorang yang bernama Liem, tetapi ia seorang keturuan Cina. Secara pribadi Pak
Westra tidak menolak dan tidak mempunyai prasangka etnis, tetapi ia ragu-ragu untuk
menarik Liem, karena kebanyakan pelanggannya tidak senang dengan keturuanan Cina,
pelanggannya akan berkurang kalau Liem bekerja di tempatnya.
Suatu hari Liem bertanya kepada pak westra apakah ada lowongan untuknya,
Pak Wesra mengatakan bahwa lowongan teknisi baru saja terisi walaupun Pak Westra
saat itu tidak menerima karyawan baru.
Karena ia belum menjumpai teknisi sebaik Liem, apa yang akan dilakukan selanjutnya
oleh Pak Westra?
___ Pak Westra akan menarik Liem
___ Tidak dapat memutuskan
___ Tidak akan menarik Liem
Pertimbangan-pertimbangan:
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Seorang pemilik berhak membuat sendiri
keputusan dagangnya.
2 Ada undang-undang atau hukum yang
melarang perbedaan rasial dalam kesempatan
bekerja.
3 Pak Westra adalah orang yang menentang
diskriminasi rasial, atau karena secara pribadi
ia tidak mempunyai prasangka rasial.
4 Mencari teknisi yang baik dan memperhatikan
keinginan langganan merupakan sesuatu yang
bijaksana bagi bisnisnya.
5 Keadaan individu harus disesuaikan dengan
keputusan masyarakat luas.
6 Keserakahan dalam persaingan bebas harus
sepenuhnya dihapuskan.
107
ASP SP P KP TP
7 Sebagian besar masyarakat di lingkungan Pak
Westra mempunyai sikap seperti pelanggannya
atau mereka justru menentang perbedaan
rasial.
8 Kalau mengangkat tenaga yang berkualitas
seperti Liem, justru membuatnya kehilangan
tempat di masyarakat.
9 Menolak Liem untuk bekerja sesuai dengan
moral Pak Westra.
10 Pak Westra dapat berkeras hati menolak
seseorang walaupun ia tahu bahwa pekerjaa itu
sangat berarti bagi Liem.
11 Dalam kasus seperti ini, kaidah agama
(misalnya: tidak membedakan sesama)
diperlukan.
12 Dalam menolong seseorang yang
membutuhkan jangan mengharap apa yang
dapat diperoleh darinya.
Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut
saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara
merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingkat kepentingannya pada
tempat di bawah ini.
Yang paling penting: I= II= III= IV=
108
CERITA V
Paimo seorang pelajar SLTA ingin menerbitkan koran pelajar, sehingga ada
tempat untuk mengeluarkan pendapat para pelajar. Ia ingin melakukan kritik terhadap
beberapa peraturan sekolah: seeperti larangan berambut gondrong, dan ingin mengulas
tentang pemilu di Philimina, Paimo mengadap kepala sekolah untuk meminta izin
penerbiatan majalah/koran. Kepala sekolah mengizinkan dengan syarat semua artikel
yang masuk harus diperiksa dan disesuaikan dengan aturan dari kepala sekolah. Paimo
menerimanya dan mulai memilih artikel yang mengena dan sesuai dengan persyaratan.
Dua minggu kemudian koran edisi perdana terbit, dan mendapatkan sambutan yang
menggembirakan. Ternyata para pelajar terkesan pada artikel Paimo dan mulai
melancarkan protes terhadap larangan berambut panjang dan terhadap beberapa
peraturan sekolah lainnya. Para orang tua murid yang ikut membaca ternyata tidak setuju
dengan tulisan Paimo dan meminta kepala sekolah untuk menghentikan penerbitannya,
karena isinya tidak mendidik ke arah yang baik. Kepala sekolah akhirnya minta Paimo
untuk menghentikan penerbitan dengan alasan mengacau suasana di sekolah.
Apakah kepala sekolah akan mencabut izin penerbitan koran itu seterusnya?
___ Ya akan dihentikan
___ Tidak dapat memutuskan
___ Tidak akan dihentikan
Pertimbangan-pertimbangan:
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Kepala sekolah lebih bertanggung jawa kepada
para pelajar atau kepada orang tua.
2 Kepala sekolah hanya menyatakan
mengizinkan terbit satu kali saja atau terbit
untuk waktu yang lama.
3 Walaupun kepala sekolah menghentikan
penerbitan koran, para pelajar tetap saja
melakukan protes.
4 Kalau ketenangan di sekolah terancam, kepala
sekolah berhak untuk memperingatkan para
pelajar.
5 Dalam kasus ini kepala sekolah berhak
mengatakan tidak.
109
ASP SP P KP TP
6 Kepala sekolah dapat menghentikan penerbitan
koran, tetapi apakah dapat mencegah diskusi
terhadap hal yang penting?
7 Keadaan ini dapat menyebabkan Paimo
kehilangan kepercayaan dari kepala sekolah.
8 Paimo adalah orang taat terhadap sekolah dan
negaranya.
9 Bagaimanapun penghentian penerbitan koran
berpengaruh terhadap pendidikan murid,
terutama dalam cara berpikir kritis dan
mengadakan penelitian
10 Paimo telah melanggar hak orang lain dengan
cara mempublikasikan pendapatnya sendiri.
11 Kepala sekolah terpengaruh oleh kemarahan
orang tua dan tahu situasi yang terbaik untuk
sekolah.
12 Paimo menggunakan surat kabar sebagai
media untuk menumpahkan rasa tidak puas
dan kebenciannya.
Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut
saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara
merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingakat kepentingannya pada
tempat di bawah ini.
Yang paling penting: I= II= III= IV=
110
LAMPIRAN III SKALA UJI COBA PERILAKU CURANG
Petunjuk Pengisian
Baca dan famahilah setiap pernyataan di bahwa ini dengan seksama, kemudian
berikan jawaban anda dengan cara mencheklis (√ ) pada jawaban yang anda rasa tepat.
KERAHASIAAN jawaban yang anda berikan akan DIJAMIN sepenuhnya. Tidak ada
jawaban yang dianggap benar atau salah dalam pernyataan ini, jadi usahakanlah
menjawab dengan KONDISI YANG SEBENARNYA sesuai dengan yang pernah anda
alami saat melaksanakan UJIAN NASIONAL.
Arti pilihan jawaban tersebut adalah:
TP : Tidak Pernah
P : Pernah
KD : Kadang-kadang
SR : Sering
SS : Sangat Sering
NO PERNYATAAN JAWABAN
TP P KD SR SS
1 Membawa Handphone (HP) ke ruang
ujian
2 Menggunakan isyarat tangan untuk
memberitahukan dan memperoleh
jawaban ujian
3 Membuat kunci jawaban di luar ruang
ujian
4 Melihat lembar jawaban teman tanpa
sepengetahuannya
5 Membeli kunci jawaban ujian sebelum
ujian berlangsung
6 Menggunakan Hp untuk memberikan
jawaban ujian
7 Menciptakan kode-kode tertentu untuk
memperoleh jawaban ujian
8 Menyalin jawaban dari lembar jawaban
teman
9 Memperoleh kunci jawaban sebelum
ujian berlangsung
111
TP P KD SR SS
10 Menggunakan Hp untuk menerima
jawaban ujian
11 Menanyakan jawaban kepada teman
dengan kode soal yang sama
12 Menggunakan kunci jawaban saat ujian
berlangsung
13 Menggunakan kertas kecil berisi
contekan jawaban ujian
14 Saling bertukar jawaban ujian di luar
ruang ujian
15 Menerima bocoran soal sebelum ujian
untuk soal tersebut berlangsung
16 Menggunakan kalkulator AlphaLink untuk
menyimpan kunci jawaban atau rumus-
rumus penting saat ujian
17 Menerima jawaban dari teman melalui
kertas kecil
18 Memperoleh bocoran soal ujian yang
dipelajari di lembaga bimbingan belajar
19 Menggunakan kalkulator Alphalink untuk
menerima dan memberikan jawaban ujian
20 Membentuk forum yang terdiri dari
teman-teman dengan kode soal yang
sama sebelum ujian dilaksanakan dan
merencanakan kerjasama saat ujian
21 Membahas bocoran soal ujian sebelum
ujian untuk soal tersebut berlangsung
22 Membawa kertas kecil berisi contekan
ujian ke dalam ruang ujian
23 Memberikan bantuan jawaban kepada
teman lain yang memiliki kode soal yang
sama
24 Menulis rumus-rumus atau kunci jawaban
di Papan Ujian
112
TP P KD SR SS
25 Membuat pos-pos ujian untuk
menyebarkan kunci jawaban
26 Menulis dan menggunakan rumus-rumus
serta kunci jawaban di kartu ujian
27 Membantu teman dengan mengangkat
lembar soal yang telah diberi tanda
jawaban
28 Membuat dan menggunakan contekan
rumus-rumus maupun kunci jawaban di
kotak pensil
29 Bertukar soal yang telah diberi tanda
jawaban
30 Membuat kunci jawaban di kertas kecil
dan menyembunyikannya di dalam
penghapus
31 Membantu teman dalam menjawab soal
ujian
32 Membuat dan menggunakan kunci
jawaban di penggaris
33 Membentuk forum untuk membahas
bocoran soal ujian sebelum ujian tersebut
berlangsung
34 Membuat dan menggunakan contekan di
tisu
35 Mencocokkan kode soal dengan teman
yang lain untuk saling membantu selama
ujian
36 Memperoleh jawaban ujian melalui SMS
37 Berdiskusi di dalam ruang ujian mengenai
jawaban selama ujian berlangsung
38 Menyelipkan kertas contekan maupun
kunci jawaban pada rautan
39 Berdiskusi di luar ruang ujian mengenai
jawaban selama ujian berlangsung
113
TP P KD SR SS
40 Menulis rumus-rumus maupun kunci
jawaban pada permukaan kulit
41 Memberikan contekan jawaban melalui
kertas buram pada teman
42 Menempelkan kunci jawaban di meja
atau dibawah meja
43 Menerima contekan jawaban melalui
kertas buram dari teman
44 Memperoleh jawaban ujian melalui rautan
dari teman
45 Menulis kunci jawaban di karet
penghapus
114
LAMPIRAN IV
SKALA PERILAKU CURANG
Petunjuk Pengisian
Baca dan famahilah setiap pernyataan di bahwa ini dengan seksama, kemudian
berikan jawaban anda dengan cara mencheklis (√ ) pada jawaban yang anda rasa tepat.
KERAHASIAAN jawaban yang anda berikan akan DIJAMIN sepenuhnya. Tidak ada
jawaban yang dianggap benar atau salah dalam pernyataan ini, jadi usahakanlah
menjawab dengan KONDISI YANG SEBENARNYA sesuai dengan yang pernah anda
alami saat melaksanakan UJIAN NASIONAL.
Arti pilihan jawaban tersebut adalah:
TP : Tidak Pernah
P : Pernah
KD : Kadang-kadang
SR : Sering
SS : Sangat Sering
NO PERNYATAAN JAWABAN
TP P KD SR SS
1 Membuat kunci jawaban di luar ruang
ujian
2 Melihat lembar jawaban teman tanpa
sepengetahuannya
3 Membeli kunci jawaban ujian sebelum
ujian berlangsung
4 Menggunakan Hp untuk memberikan
jawaban ujian
5 Menciptakan kode-kode tertentu untuk
memperoleh jawaban ujian
6 Menyalin jawaban dari lembar jawaban
teman
7 Memperoleh kunci jawaban sebelum
ujian berlangsung
8 Menggunakan Hp untuk menerima
jawaban ujian
9 Menanyakan jawaban kepada teman
dengan kode soal yang sama
115
TP P KD SR SS
10 Menggunakan kunci jawaban saat ujian
berlangsung
11 Menggunakan kertas kecil berisi
contekan jawaban ujian
12 Saling bertukar jawaban ujian di luar
ruang ujian
13 Menerima bocoran soal sebelum ujian
untuk soal tersebut berlangsung
14 Menggunakan kalkulator AlphaLink untuk
menyimpan kunci jawaban atau rumus-
rumus penting saat ujian
15 Menerima jawaban dari teman melalui
kertas kecil saat ujian berlangsung
16 Memperoleh bocoran soal ujian yang
dipelajari di lembaga bimbingan belajar
17 Menggunakan kalkulator Alphalink untuk
menerima dan memberikan jawaban ujian
18 Membentuk forum yang terdiri dari
teman-teman dengan kode soal yang
sama sebelum ujian dilaksanakan dan
merencanakan kerjasama saat ujian
19 Membahas bocoran soal ujian sebelum
ujian untuk soal tersebut berlangsung
20 Membawa kertas kecil berisi contekan
ujian ke dalam ruang ujian
21 Memberikan bantuan jawaban kepada
teman lain yang memiliki kode soal yang
sama
22 Menulis rumus-rumus atau kunci jawaban
di Papan Ujian
23 Membuat pos-pos ujian untuk
menyebarkan kunci jawaban
24 Menulis dan menggunakan rumus-rumus
serta kunci jawaban di kartu ujian
116
TP P KD SR SS
25 Membantu teman dengan mengangkat
lembar soal yang telah diberi tanda
jawaban
26 Membuat dan menggunakan contekan
rumus-rumus maupun kunci jawaban di
kotak pensil
27 Bertukar soal yang telah diberi tanda
jawaban
28 Membuat kunci jawaban di kertas kecil
dan menyembunyikannya di dalam
penghapus
29 Membantu teman dalam menjawab soal
ujian
30 Membuat dan menggunakan kunci
jawaban di penggaris
31 Membentuk forum untuk membahas
bocoran soal ujian sebelum ujian tersebut
berlangsung
32 Membuat dan menggunakan contekan di
tisu
33 Mencocokkan kode soal dengan teman
yang lain untuk saling membantu selama
ujian
34 Memperoleh jawaban ujian melalui SMS
35 Berdiskusi di dalam ruang ujian mengenai
jawaban selama ujian berlangsung
36 Menyelipkan kertas contekan maupun
kunci jawaban pada rautan
37 Berdiskusi di luar ruang ujian mengenai
jawaban selama ujian berlangsung
38 Menulis rumus-rumus maupun kunci
jawaban pada permukaan kulit
39 Memberikan contekan jawaban melalui
kertas buram pada teman
117
TP P KD SR SS
40 Menempelkan kunci jawaban di meja
atau dibawah meja
41 Menerima contekan jawaban melalui
kertas buram dari teman
42 Memperoleh jawaban ujian melalui rautan
dari teman
43 Menulis kunci jawaban di karet
penghapus
118
DATA HASIL UJI COBA DAN PENELITIAN
119