Post on 22-Jun-2015
13
BAB II
OPTIMALISASI FUNGSI SISA PENGLIHATAN ANAK LOW VISION
A. Indra Penglihatan
Pengetahuan umum tentang mata dan bagaimana mata bekerja akan
membantu memahami tentang gangguan penglihatan dan bagaimana membantu
siswa yang mengalami gangguan penglihatan (Mason, 1997). Pengetahuan umum
tersebut mencakup bagian-bagian mata, fungsi mata, dan kelainan penglihatan
yang sering terjadi.
Secara sederhana, mata dan bagian-bagian mata dapat digambarkan
sebagai berikut :
Gambar 2.1. Mata dan Bagian-Bagian Mata
Diadopsi dari Keeffe (1994 : 55)
Bagian-bagian mata yang penting untuk diketahui setidaknya mencakup :
satu, kelopak mata yang bertugas melindungi dan mempertahankan permukaan
depan mata agar tetap basah. Dua, kornea yang merupakan “jendela penglihatan”
yang letaknya di bagian depan mata. Bentuknya yang melengkung membantu
14
untuk memfokuskan cahaya yang masuk. Tiga, konjungtiva yang merupakan
lapisan tipis dan bening yang menutupi sclera (lapisan kuat berwarna putih yang
menyelimuti mata) dan bagian dalam kelopak mata. Empat, iris adalah bagian
mata yang berwarna dan mudah berganti ukuran untuk mengendalikan jumlah
cahaya yang masuk ke dalam pupil. Lima, pupil yaitu bagian tengah dari iris.
Pupil akan menjadi kecil jika cahaya yang masuk terang, dan akan membesar jika
cahaya yang masuk remang-remang karena untuk memberi kesempatan agar
cahaya yang masuk bisa lebih banyak. Enam, lensa yang berbentuk oval dan
bening. Lensa ini mudah mencembung atau memipih karena untuk memfokuskan
cahaya ke retina dari benda-benda jauh atau dekat. Tujuh, Retina adalah lapisan
bagian dalam mata yang berfungsi untuk menerima cahaya dan meneruskan pesan
sepanjang syaraf mata ke otak. Bagian kecil di tengah retina adalah macula yang
dapat melihat perincian (Keeffe, 1994).
Mata berfungsi sebagai alat untuk menerima informasi dari luar yang
bersifat visual. Dalam menjalankan fungsinya, mata tidak dapat bekerja sendiri.
Mata bekerja bersama otak untuk membentuk bayangan gambar yang dilihat oleh
mata melalui proses melihat. Secara sederhana proses melihat adalah sebagai
berikut : pertama-tama cahaya masuk melalui kornea, kemudian diteruskan ke
lensa melalui bola mata yang berisi cairan bening (vitreous). Lensa berakomodasi
agar cahaya yang masuk dapat diteruskan ke retina dengan tepat. Dari retina
bayangan benda dieruskan ke syaraf penglihatan untuk kemudian dibawa ke otak.
Oleh otak bayangan tersebut diartikan.
15
Secara garis besar, mata mempunyai dua kemampuan melihat yaitu
penglihatan sentral dan penglihatan lapang pandang (Mason, 1997). Yang
dimaksud dengan penglihatan sentral (visual acuity) adalah kemampuan mata
untuk melihat benda secara focus. Kemampuan mata ini sering digunakan untuk
membaca atau melihat benda secara detail. Sedangkan yang dimaksud dengan
penglihatan lapang pandang (visual field) adalah kemampuan mata untuk melihat
sekitar (melihat kanan/kiri, atas, dan bawah tanpa mata memfokuskan/
mengarahkan ke obyek). Kemampuan mata ini sering digunakan untuk
mempercepat membaca, medeteksi benda/kejadian sekitar selain yang dilihat
secara focus dan untuk mobilitas.
Secara normal, mata mempunyai kemampuan melihat jauh (distance
vision) dan melihat dekat (near vision) (Mason, 1997). Kemampuan melihat jauh
dan melihat dekat sangat terkait dengan kemampuan refraksi lensa mata untuk
memfokuskan cahaya ke retina. Pada waktu melihat jauh lensa mata akan
mencembung dan pada waktu melihat dekat lensa mata akan memipih. Seperti
yang terlihat dalam gambar berikut:
Distance vision Near vision
Gambar 2.2. Refraksi Lensa Mata Memfokuskan Cahaya ke Retina
Diadopsi dari Mason (1997 : 33)
16
Adakalanya penglihatan seseorang mengalami gangguan atau kelainan.
Akibat dari kelainan tersebut mata dapat menjadi low vision bahkan menjadi buta.
B. Low Vision
1. Pengertian Low Vision
Kecacatan penglihatan dibagi menjadi dua jenis yaitu buta dan low vision.
Anak cacat penglihatan dalam kategori low vision tidak sama dengan anak buta.
Penderita low vision hanya kehilangan sebagian dari fungsi penglihatannya dan
masih mempunyai sisa penglihatan yang masih bisa difungsikan. Tingkat
kehilangan fungsi penglihatannya mempunyai gradasi dari yang ringan sampai
berat. Sedangkan anak buta yaitu tidak memiliki sisa penglihatan yang cukup atau
tidak sama sekali untuk dapat membaca tulisan cetak atau untuk kebutuhan
orientasi dan mobilitas meskipun dibantu dengan alat bantu yang paling efektif
yang tersedia.
Menurut WHO (1992), kategori kerusakan penglihatan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel 2.1. Klasifikasi Ketajaman Penglihatan
Kategori Tajam penglihatan setelah koreksi (mata terbaik) Standar definisi WHO Definisi WHO secara
fungsional (th. 1992) 0 6/6 – 6/18 Normal Normal 1 < 6/18 – 6/60 Kerusakan penglihatan Low vision 2 < 6/60 – 3/60 Kerusakan penglihatan berat Low vision 3 < 3/60 – 1/60 Buta Low vision 4 < 1/60 – Persepsi cahaya Buta Low vision 5 Tidak ada persepsi cahaya Buta Buta (Dijk : 2004)
Dari kategori kerusakan penglihatan tersebut di atas maka yang disebut
low vision adalah suatu keadaan mata setelah koreksi optimal dengan kacamata
17
atau lensa kontak, visus mata terbaik kurang dari 6/18 hingga persepsi cahaya atau
luas penglihatannya kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi namun secara
potensial dapat menggunakan penglihatannya untuk merencanakan atau
melakukan suatu pekerjaan (WHO, 1992). Yang dimaksud dengan visus 6/18
adalah ketajaman penglihatan anak low vision untuk melihat obyek dalam jarak 6
meter, sedangkan obyek tersebut dapat dilihat oleh mata normal dalam jarak 18
meter. Persepsi cahaya maksudnya penglihatan anak masih bisa mengenali
sorotan cahaya, misalnya sorotan cahaya lampu senter. Sedangkan luas
penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi maksudnya penglihatan mata
kanan kurang dari 10 derajat dan penglihatan mata kiri kurang dari 10 derajat dari
titik fiksasi (penglihatan lurus/visual acuity).
Definisi yang lebih mendekati fungsional adalah dikemukakan oleh
Barraga dalam Widdjajantin (1997 : 200-201), yaitu : ‘Anak kurang lihat memiliki
keterbatasan-keterbatasan dalam penglihatan jauh, tetapi dapat melihat benda-
benda dan bahan-bahan dalam jarak beberapa inci’. Sedangkan Corn dalam
Widdjajantin (1997 : 200) mengemukakan yang disebut low vision adalah:
Orang yang masih kurang sekali kemampuan lihatnya meskipun telah dikoreksi, akan tetapi orang ini masih bisa meningkatkan fungsi penglihatannya melalui penggunaan alat-alat bantu optikal dan non optikal serta memodifikasi lingkungan dan atau teknik-teknik.
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud low
vision adalah orang yang mempunyai keterbatasan kemampuan penglihatannya
baik ketajaman penglihatannya yang kurang dari 6/18 dan atau lapang
pandangnya yang kurang dari 10 derajat walaupun setelah mendapat koreksi
matanya, namun dari kondisi tersebut anak masih dapat difungsikan
18
penglihatannya baik dengan alat optik maupun non optik, serta memerlukan
modifikasi lingkungan dan atau teknik-teknik.
Seorang anak perlu diduga menyandang gangguan penglihatan yang mungkin
sampai kepada taraf low vision apabila anak tersebut mempunyai tampilan mata dan atau
tingkah laku penglihatan yang berbeda dengan orang lain. Diantara tampilan mata dan
tingkah laku penglihatan yang perlu mendapat dugaan bahwa seorang anak mungkin
menyandang low vision dapat dilihat di tabel 2.2 dan 2.3.
Tabel 2.2. Tampilan Mata Tabel 2.3. Tingkah Laku Penglihatan
- Mata sangat kecil - Mata tertutup atau
setengah tertutup - Bulu mata tumbuh ke
dalam - Mata tampak tidak ada
pupil - Mata tampak seperti
susu - Mata tampak
menjelajah atau terus bergerak
- Mata tampak tergores atau rusak
- Mata sering terinfeksi atau mata lengket
- Terus menerus berkerut- Kejulingan yang parah- Gerakan mata sangat
cepat (dari sisi ke sisi atau dari atas ke bawah)
- Gerakan mata tidak seperti orang pada umumnya
- Terus menerus berkedip
- Sering menyentuh mata (misalnya mengucak, menggosok, dll.)
- Tatapan mata tampak terpesona oleh cahaya
- Mengepakkan jari (senang mengepakkan tangan di depan mata)
- Gerakan kepala yang tidak biasa (misalnya sering menggelengkan kepala)
- Kepala berputar (gerakan kepala memutar)
- Meletakkan tangan menutupi mata - Mengedipkan mata kalau ada cahaya - Menghindari cahaya terangmenghindari
pekerjaan jarak dekat - Tampak melihat beberapa warna lebih
baik dari warna lainnya - Tampak jelas mempunyai masalah
memfokuskan (misalnya obyek jauh ke dekat, obyek besar ke kecil)
- Rentang perhatian pendek - Kemampuan merawat diri sendiri rendah- Kemampuan komunikasi rendah - Perubahan perilaku yang dramatis
menjadi sedih atau marah tanpa alas an yang jelas)
- Tubuh kaku dan jarang kelihatan rileks - Terkejut oleh suara-suara
(Dijk, 2004)
19
Tidak semua low vision mempunyai tampilan mata dan tingkah laku
penglihatan yang sama. Setiap anak low vision mempunyai karakteristik individu
yang berbeda-beda. Sehingga dapat dikatakan untuk menduga bahwa seorang
anak menyandang low vision sifatnya kasuistik. Maka dari itu setelah guru
mendeteksi atau menduga bahwa seorang anak menyandang low vision, langkah
selanjutnya adalah mengindentifikasi secara seksama sebelum anak dirujuk ke
dokter mata untuk mendapatkan penanganan medis.
2. Penyebab dan Jenis-Jenis Low Vision
Beberapa penyebab terjadinya low vision yang sering dijumpai diantaranya
: kerusakan kornea, katarak, glukoma, sindrom rubella, distropi retina, diabetes,
kesalahan refraksi, kecelakaan, praktek pengobatan mata yang berbahaya, dan
sebagainya (Keeffe, 1994). Penyebab dari low vision tersebut tidak selalu
menimbulkan jenis low vision yang sama. Secara garis besar low vision dapat
digolongan menjadi 4 kelompok yaitu (1) central scotoma, (2) nystagmus, (3)
limited peripheral visual field, dan (4) amblyopia (Backman and Inde, 1979 : 8-
11). Setiap golongan low vision, dijelaskan oleh Backman dan Inde sebagai
berikut :
Golongan low vision yang termasuk central scotoma adalah gangguan
penglihatan detail. Penderita ini mengalami kesulitan untuk membaca dan melihat
secara detail pada jarak tertentu.
Anak yang tergolong nystagmus tidak dapat mengontrol gerakan matanya.
Pada penderita ini mata selalu bergerak-gerak sehingga sulit untuk memfokuskan
20
penglihatannya. Kecacatan ini bisa terjadi pada masa kanak-kanak atau sejak
lahir, pada penderita katarak sejak lahir, atau pada albinism. Anak yang
nystagmus membutuhkan metode membaca khusus, yaitu penyesuaian pergerakan
kepala daripada pergerakan mata untuk menemukan posisi yang enak dimana
gerakan mata (nistagmus) bisa sekecil mungkin (Backman dan Inde, 1979).
Limited peripheral visual field merupakan jenis low vision yang
mengakibatkan keterbatasan lapang pandang dimana penyandang low vision
hanya bisa melihat ke samping. Mereka mengalami kesulitan mobilitas secara
mandiri jika tanpa menggunakan tongkat putih, anjing penuntun, atau alat
mobilitas lainnya. Akan tetapi mereka relatif lebih bisa mengakses tulisan standar
atau dengan pembesaran tulisan yang terkecil baik dengan alat optik maupun
tanpa alat optik, tergantung dari besar kecilnya sisa penglihatan pusat. Problem
yang sering dihadapi yaitu pada waktu membaca hanya terlihat sebagian huruf
dari kata, sehingga sering kali dalam membaca lambat dan lebih sering
menghentikan pada setiap baris pada teks (Backman dan Inde, 1979).
Amblyopia adalah gangguan penglihatan yang disebabkan oleh kesalahan
pembiasan (refraksi) karena lensa mata yang tidak normal, sehingga cahaya yang
masuk ke mata tidak tepat jatuh di retina. Jenis amblyopia antara lain yaitu
Hyperopia (kesulitan melihat dekat), myopia (kesulitan melihat jauh), dan
astigmatism (kesulitan melihat vertikal dan horisontal, dan mungkin disertai
dengan hyperopia dan myopia) (Dijk, 2004).
21
C. Optimalisasi Fungsi Sisa Penglihatan Anak Low Vision
Anak low vision merupakan anak tunanetra yang masih mempunyai sisa
penglihatan. Sisa penglihatan yang dimilikinya dapat dimanfaatkan untuk
membantu aktifitas sehari-hari yang berhubungan dengan penglihatan. Karena
penglihatan merupakan media untuk menerima informasi dari lingkungannya
yang sangat penting, maka anak low vision walaupun hanya memiliki fungsi sisa
penglihatan sekecil apapun sebaiknya pemanfaatan fungsi sisa penglihatannya
dioptimalkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Brohier dalam Keeffe (1994 : 41)
yaitu : ‘Biarkan anak itu melihat dan melihat lagi, dan bantu dia mengerti apa
yang dilihatnya’.
Optimalisasi fungsi sisa penglihatan anak low vision adalah pemberian
kesempatan kepada anak low vision untuk memanfaatkan sisa penglihatannya
semaksimal mungkin baik dengan menggunakan optik maupun non optik dan
bantuan lainnya untuk kelancaran anak low vision dalam belajar (Oppegaard,
2000). Upaya optimalisasi fungsi sisa penglihatan anak low vision meliputi
penanganan medis dan penanganan fungsional. Penanganan medis merupakan
tanggung jawab dokter mata atau petugas kesehatan lainnya. Sedangkan
penanganan fungsional merupakan tanggung jawab guru dan orang tua. Guru
mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan pendidikan yang
sesuai dengan kondisi penglihatan anak low vision terutama yang berhubungan
dengan bagaimana mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan anak low vision.
Penanganan untuk mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan anak low
vision meliputi tahap-tahap sebagai berikut : (1) Deteksi atau dugaan oleh guru
22
atau orang tua bahwa seorang anak diduga mengalami gangguan penglihatan. (2)
Identifikasi gangguan penglihatan. (3) Rujukan ke dokter mata untuk
mendapatkan kepastian. (4) Asesmen klinis dan penanganan secara medis yang
dilakukan oleh dokter mata. (5) Rujukan kembali ke guru yang mengajar anak low
vision. (6) Asesmen fungsional yang dilakukan guru. (7) Latihan penggunaan
fungsi sisa penglihatan efektif. (8) Pemanfaatan fungsi sisa penglihatan dalam
pembelajaran. (Dijk, 2004). Dari delapan tahap tersebut diatas yang bisa
dilakukan oleh guru adalah deteksi, identifikasi, asesmen fungsional, latihan
penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif, dan pemanfatan fungsi sisa
penglihatan.
Pembahasan tentang deteksi dan identifikasi telah disinggung di halaman
18 – 19. Untuk memperoleh pengetahuan secara lengkap tentang optimalisasi
fungsi sisa penglihatan anak low vision yang menjadi wewenang guru, maka
berikut ini secara berturut-turut akan dibahas tentang asesmen fungsional, latihan
penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif, dan pemanfaatan fungsi sisa
penglihatan dalam pembelajaran anak low vision.
1. Asesmen Fungsional
Asesmen fungsional yang dilakukan bagi anak low vision dimaksudkan
untuk mengetahui seberapa baik penggunaan penglihatan untuk tujuan tertentu
yang diperlukan dalam kegiatan sehari-hari, terutama untuk keperluan
pembelajaran bagi anak low vision. Secara garis besar tujuannya adalah : untuk
menentukan apa yang bisa dilihat, bagaimana melihatnya/menggunakan
23
penglihatannya, dan kondisi/situasi yang bagaimana penglihatannya dapat
digunakan. (Dijk, 2004).
Beberapa informasi pendukung tentang anak low vision yang perlu
diketahui oleh guru sebelum melakukan asesmen fungsional adalah tentang
masalah mata dan sejarahnya, ketajaman penglihatan anak baik penglihatan jauh
maupun dekat, luas pandang penglihatan anak, penglihatan warna, tingkat
kekontrasan, pencahayaan yang disukai dan tidak disukai anak (Dijk, 2004).
Informasi tersebut dapat diperoleh dari orang tua, dokter mata atau guru
melakukan sendiri terhadap anak pada beberapa hal kecuali informasi tentang
masalah mata dan sejarahnya. Informasi tentang masalah mata dan sejarahnya
biasanya didapat dari orang tua dan atau dokter mata yang menangani anak low
vision secara medis. Informasi ini terutama tentang kondisi penglihatan anak
apakah progresif atau stabil.
Asesmen fungsional yang perlu dilakukan kepada anak low vision meliputi
(1) Kesadaran dan perhatian terhadap benda (fiksasi). (2) Kontrol gerakan mata
tracking. (3) Kontrol gerakan mata scanning. (4) Membedakan benda. (5)
Membedakan perincian untuk mengenali tindakan dan mencocokkan benda. (6)
Membedakan perincian pada gambar. (7) Mengenali dan persepsi pola huruf,
angka dan kata (Keeffe, 1994). Selain ke tujuh materi asesmen tersebut di atas,
WHO dalam Dijk (2004) menambahkan satu materi asesmen yaitu kemampuan
koordinasi mata dan tangan anak low vision.
Asesmen fungsional dapat dilakukan guru secara dikondisikan atau
melalui pengamatan aktifitas anak sehari-hari dan mencari informasi dari orang
24
tua atau dokter mata yang pernah menangani anak low vision. Secara garis besar
asesmen ada dua macam, yaitu asesmen formal dan asesmen informal (Taylor :
2000). Asesmen formal adalah asesmen yang sudah terstandar baik alatnya
maupun prosedur pelaksanaannya, contohnya tes penglihatan Snellen. Sedangkan
asesmen informal adalah asesmen yang dikembangkan sendiri oleh guru.
Asesmen yang biasanya dilakukan oleh guru adalah asesmen informal. Asesmen
ini biasanya dilakukan pada awal anak masuk sekolah. Semua hasil asesmen
dicatat dan dijadikan pedoman untuk melakukan pelatihan penggunaan fungsi sisa
penglihatan efektif, menentukan alat bantu penglihatan yang sesuai, menentukan
media belajar anak low vision yang sesuai, dan dijadikan dasar untuk memberikan
bantuan yang sesuai dalam kegiatan belajar anak low vision dan aktifitas lainnya.
Asesmen fungsional selain dilakukan pada saat anak masuk sekolah, juga
harus dilaksanakan pada saat anak mengikuti pembelajaran di sekolah. Hal ini
untuk mengetahui perkembangan fungsi penglihatannya dan menentukan program
selanjutnya. Proses asesmen tersebut dikenal dengan dynamic assessment
(asesmen yang berkelanjutan) (Vigotsky dalam krauss : 1996). Semua hasil
asesmen dijadikan dasar untuk menyusun Program Pengajaran Individual (PPI).
2. Latihan Penggunaan Fungsi Sisa Penglihatan Efektif
Atas dasar pernyataan Brohier dalam Keeffe (1994) : 41 yaitu : “Biarkan
anak itu melihat dan melihat lagi, dan bantu dia mengerti apa yang dilihatnya”,
maka anak low vision seyogyanya diberikan latihan keterampilan penggunaan
fungsi sisa penglihatan efektif agar penglihatan anak dapat dimanfaatkan dan jika
25
memungkinkan ditingkatkan kemampuannya untuk membantu anak dalam
kegiatan belajar serta aktifitas lainnya.
Latihan keterampilan penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif dilakukan
setelah mengetahui kondisi sebenarnya penglihatan anak dan dari hasil asesmen
fungsional yang telah dilakukan. Tujuan memberikan latihan keterampilan
penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif adalah untuk memberi semangat dan
membantu setiap anak untuk menggunakan penglihatannya dengan cara terbaik
dan juga untuk memberi berbagai kesempatan pada anak untuk belajar dan
mengerti lingkungannya (Keeffe, 1994).
Lebih lanjut Keeffe (1994 : 41) mengemukakan tiga hal pokok untuk
melatih penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif yaitu:
(1) Stimulasi penglihatan. Orang yang kurang awas atau yang tidak pernah menggunakan penglihatannya, perlu mengetahui bahwa mereka dapat menggunakan penglihatan mereka. Mereka memerlukan dorongan untuk melakukannya. (2) Efisiensi penglihatan. Cara menggunakan penglihatan dapat ditingkatkan dengan latihan. Ukuran penglihatan tidak berubah setelah latihan, yaitu visus atau luas penglihatan tidak akan berubah karena latihan. (3) Mengetahui kapan dan cara menggunakan penglihatan dapat memberi pengertian tentang cara merubah lingkungan (contohnya cahaya), memilih bahan yang sesuai dan menggunakan alat-alat bantu kurang awas jika diperlukan. Materi latihan keterampilan penggunaan fungsi sisa penglihatan efektif
sama dengan materi asesmen fungsional, yaitu: fiksasi, tracking, scanning,
membedakan benda, membedakan perincian untuk mengenali tindakan dan
mencocokkan benda, membedakan perincian pada gambar, mengenali dan
persepsi pola huruf, angka dan kata, dan koordinasi mata dan tangan anak low
vision (Oppegaard, 2000). Selain itu alat bantu penglihatan baik optik maupun
non optik yang akan digunakan anak low vision juga perlu dilatihkan bagaimana
26
cara menggunakan dan merawatnya agar alat-alat tersebut betul-betul bermanfaat
untuk membantu penglihatan anak low vision.
3. Optimalisasi Fungsi Sisa Penglihatan Anak Low Vision dalam Pembelajaran di Ruang Kelas.
Pembelajaran bagi anak low vision mempunyai ciri khas tersendiri.
Pembelajarannya sedapat mungkin mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan yang
masih dimilikinya. Beberapa prinsip pembelajaran bagi anak low vision yaitu:
a. Pendekatan Pembelajaran Anak Low Vision
Ada tiga pendekatan dalam pembelajaran anak low vision yang
hubungannya dengan optimalisasi fungsi sisa penglihatan, yaitu : (1) Pendekatan
stimulasi (vision stimulation). Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan
rangsangan penglihatan dan menumbuhkan kesadaran penglihatan. (2) Pendekatan
efisiensi penglihatan (vision eficiency). Pendekatan ini diwujudkan dengan cara
membimbing anak agar melakukan efisiensi penggunakaan penglihatan. (3)
Pendekatan pelayanan pendidikan dengan menggunakan sisa penglihatan (vision
utilization instruction), yaitu dorongan bagi anak agar menggunakan sisa
penglihatan semaksimal mungkin untuk mengamati obyek. (Corn, 1996).
b. Strategi Pembelajaran
Semua bentuk pembelajaran bagi anak low vision bermuara pada 3
orientasi, yaitu: (1) Berorientasi pada fungsional, yaitu meningkatkan fungsi sisa
penglihatan, seperti meningkatkan ketajaman penglihatan, mengurangi silau,
27
memperluas lapang pandang, meningkatkan sensitifitas terhadap kekontrasan. (2)
Berorientasi pada tujuan, yaitu agar penyandang low vision dapat merencanakan
dan melaksanakan tugas sehari-hari seperti belajar dan bepergian. (3) Berorientasi
pada sikap, yaitu membantu anak low vision agar dapat beradaptasi dan
bersosialisasi secara wajar, tumbuh percaya diri, dan sadar akan kondisi
penglihatannya. (Hosni et al, 2004).
c. Modifikasi Pembelajaran
Pembelajaran kepada anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus
termasuk di dalamnya anak low vision sedikit banyak memerlukan modifikasi
pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Mr. Lindquist dalam Johnsen &
Skorten (2003 : 59) bahwa “bukan sistem pendidikan kita yang memiliki hak atas
anak-anak tertentu, melainkan sistem yang berlaku di sebuah negara yang harus
disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan semua anak.” Lebih lanjut dipertegas
oleh Johnsen (2003 : 289) yang menyatakan bahwa : “Di setiap kelas diperlukan
tingkat fleksibilitas yang tinggi untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan
tingkat penguasaan, kemungkinan dan hambatan belajar semua anak.”
Modifikasi pembelajaran dilakukan untuk memperkecil hambatan bagi
anak low vision dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar yang standar pada
sebagian atau keseluruhan kurikulum yang ada. Modifikasi tidak terbatas pada
materinya saja, akan tetapi bisa kepada perencanaan, metode, alat peraga, setting
kelas, dan sebagainya tergantung pada kebutuhan anak. Hal ini diperkuat oleh
pendapatnya Corn (1988 : 100) yang dikenal dengan “Corn’s model of visual
28
funcsioning”. Salah satu dari model Corn dinyatakan bahwa faktor lingkungan
(environmental coes) turut mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bagi anak
low vision. Ada lima komponen lingkungan yang perlu diperhatikan, yaitu warna
(color), kekontrasan (contrast), waktu (time), jarak (space), dan
cahaya/penerangan (illumination). Beberapa modifikasi yang sering dilakukan
oleh guru adalah sebagai berikut:
1) Program Pengajaran Individual (PPI) Anak Low Vision
PPI atau yang sering dikenal dengan Individual Educational Plans (IEPs)
adalah program yang diperuntukkan bagi anak yang mempunyai kebutuhan
khusus (Dempsey, 2001). Program ini merupakan sebuah konsekuensi bagi
pendidik yang mempunyai anak didik berkelainan seperti low vision atau
mempunyai kebutuhan khusus lainnya baik di pendidikan khusus maupun di
pendidikan reguler. PPI dibuat oleh lintas disipliner. Artinya program ini
walaupun dibuat oleh guru yang mengajar anak, namun tetap melibatkan pihak-
pihak lain yang mengetahui dan mempunyai wewenang terhadap anak
berkebutuhan khusus. Untuk membuat PPI bagi anak low vision, orang-orang
yang terlibat contohnya guru yang mengajar anak low vision, orang tua, kepala
sekolah, dokter mata, guru pembimbing khusus (GPK).
2) Penggunaan Alat Peraga
Pada umumnya, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran sangat
membantu anak memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Begitu
juga dalam pembelajaran bagi anak low vision, alat peraga merupakan salah satu
penentu yang mendukung suksesnya pembelajaran. ada beberapa hal yang perlu
29
diperhatikan dalam menyediakan dan menggunakan alat peraga yang
diperuntukkan untuk membantu pemahaman anak low vision terhadap materi yang
disampaikan oleh guru. Pengelolaan alat peraga yang diperuntukkan bagi anak
low vision, setidaknya memenuhi lima persyaratan, yaitu: visibilitas (keleluasaan
pandangan), aksesibilitas (mudah digunakan/dicapai), fleksibilitas (keluwesan),
kenyamanan/aman, dan memenuhi unsur keindahan (Luisell, 1992 dalam
Winataputra :1998). Pendapatnya Luisell tersebut sebenarnya lebih tertuju kepada
pengelolaan fisik kelas, akan tetapi pendapatnya dapat dipakai dalam pengelolaan
alat peraga, karena pengelolaan alat peraga sangat terkait dengan pengelolaan fisik
kelas.
Unsur-unsur di atas untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan alat peraga
setidaknya ada tiga unsur yang relevan. Secara singkat keterkaitannya adalah
sebagai berikut: (1) Unsur visibilitas, yaitu alat peraga agar bisa dilihat oleh anak
low vision harus memenuhi jarak yang tepat, pembesaran, kekontrasan, warna
yang tidak menyilaukan, dan pencahayaan yang cukup. (2) Unsur aksesibilitas,
yaitu alat-alat peraga yang ada seyogyanya mudah digunakan dan dijangkau oleh
anak low vision. (3) Unsur fleksibilitas, yaitu alat-alat peraga dapat digunakan
tidak hanya untuk mengajar anak low vision saja, akan tetapi bisa digunakan untuk
anak lain. Kriteria lainnya yaitu alat-alat peraga sebaiknya juga mudah ditata dan
bisa digunakan pada berbagai situasi.
3) Penggunaan Alat Bantu Penglihatan
Secara garis besar alat bantu penglihatan untuk low vision dibagi menjadi
dua jenis, yaitu alat bantu optik dan alat bantu non optik. Suatu alat dikatakan alat
30
bantu optik jika alat tersebut menggunakan lensa atau sistem lensa untuk
membantu penglihatan seseorang (Jose, 1997). Sedangkan suatu alat dikatakan
alat bantu non optik apabila alat tersebut digunakan untuk membantu penglihatan
seseorang akan tetapi tidak menggunakan lensa atau sistem lensa.
Seorang low vision memerlukan alat bantu optik dan atau non optik
sifatnya sangat individual. Artinya tidak semua jenis low vision memerlukan alat
bantu optik dan atau non optik. Keperluan alat bantu tersebut sangat tergantung
dari kondisi penglihatan, jenis low vision, tingkat low vision dan hal-hal lainnya.
Untuk mengetahui seorang low vision memerlukan alat bantu penglihatan yang
sesuai atau tidak memerlukan alat bantu penglihatan, maka hal tersebut
memerlukan asesmen yang tepat baik secara medis maupun secara fungsional.
Alat optik mempunyai dua jenis yaitu alat untuk pembesaran/magnifier
dan alat yang digunakan untuk ketepatan penglihatan/refraction (Jose, 1997).
Beberapa jenis alat optik yang sering digunakan untuk low vision antara lain
kacamata pembesar, stand magnifier, hand magnifier, dan teleskop. Semua alat
optik tersebut mempunyai jenis, bentuk, dan ukuran yang bermacam-macam.
Penggunaannyapun disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya kacamata pembesar
digunakan untuk membantu membaca, menulis dan mengamati obyek dalam jarak
dekat. Teleskop digunakan oleh beberapa low vision untuk membantu melihat
jarak jauh.
Alat bantu non optik digunakan oleh low vision bersamaan dengan
penggunaan alat optik atau digunakan secara sendiri tanpa alat optik. Tujuan
penggunaan alat bantu non optik adalah untuk membantu memperjelas obyek
31
yang dilihat. Beberapa jenis alat bantu non optik yang sering digunakan oleh low
vision antara lain: typoscope (alat berlubang sebesar tulisan yang akan dibaca),
posisi di kelas (dekat cahaya/papan tulis), penyangga membaca/menulis, tulisan
yang diperbesar, kacamata filter/topi, buku bergaris tebal, pensil warna hitam,
merubah tehnik membaca, warna, kontras, pencahayaan, jarak, dll (Dijk, 2004).
Selain itu perkembangan teknologi juga menyumbang alat bantu low vision seperti
CCTV (close circuit television) dan pembesaran tulisan dengan menggunakan
komputer.
4) Media Belajar Anak Low Vision
Media yang sering digunakan low vision untuk belajar secara garis besar
ada empat macam yaitu : tulisan standar (standard print), tulisan yang diperbesar
(enlarge print), media belajar braille (braille text), dan media alat dengar
(auditory learning) (Erin, 2003).
Beberapa ketentuan anak low vision dalam menggunakan media belajar
adalah sebagai berikut : (1) Tulisan standar (standard print), jika anak low vision
masih bisa menggunakannya untuk membaca atau menulis secara nyaman yaitu
dengan cara diatur jarak obyek (tulisan) dengan mata atau dibantu dengan
menggunakan alat optik maupun non optik. (2) Tulisan yang diperbesar (enlarge
print), jika anak sudah tidak mampu lagi membaca tulisan standar secara efisien
dengan menggunakan alat dan adaptasi lainnya. Ada kemungkinan penggunaan
tulisan yang diperbesar tetap memerlukan alat optik dan atau alat bantu non optik.
(3) Media belajar braille, jika anak low vision sudah tidak mampu lagi
menggunakan tulisan standar ataupun diperbesar secara efisien atau tidak nyaman
32
lagi membaca dalam waktu sedang. Dan (4) alat dengar (auditory learning).
Media ini digunakan secara kombinasi dengan salah satu dari ketiga media di atas
atau merupakan media utama. Dikatakan sebagai media utama jika anak low
vision sudah tidak mampu lagi menggunakan ketiga media di atas karena suatu
kondisi tertentu.
d. Pelatihan Orientasi Mobilitas (OM) Anak Low Vision di Ruang Kelas
Walaupun anak low vision mempunyai sisa penglihatan yang masih dapat
difungsikan, tidak berarti anak low vision tidak membutuhkan latihan orientasi
dan mobilitas. Program pelatihan OM bagi anak low vision sangat terkait dengan
kondisi penglihatannya. Namun pada intinya program OM anak low vision tetap
mempertimbangkan penggunaan penglihatan semaksimal mungkin untuk
membantu mengamati lingkungan. Disamping itu juga aspek-aspek lainnya juga
turut memberikan masukan terhadap program yang akan dijalankan oleh
instruktur OM seperti latar belakang pendidikan, kondisi kehidupan, kondisi
kesehatan, saat terjadi kelainan, penglihatan terbaiknya, alat bantu penglihatan
yang dipakai, persepsi dirinya tentang lingkungan, dsb. (Rahardja, 2004).
Latihan orientasi dan mobilitas di dalam ruang kelas untuk anak low vision
tetap diajarkan bagaimana menggunakan sisa penglihatan. Tujuan dari latihan OM
di ruang kelas adalah agar anak low vision dapat mengakses dan beraktifitas di
ruang kelas dengan lancar, aman, dan tepat.
Pada prinsipnya latihan OM dilakukan dengan menempuh langkah-
langkah sebagai berikut : Pertama yang perlu dilatihkan adalah menumbuhkan
kesadaran penglihatan. Langkah ini membantu anak menyadari penglihatannya.
33
Langkah kedua yaitu latihan identifikasi benda/simbol yang ada di ruang kelas
dengan sisa penglihatannya. Langkah ketiga yaitu menyusun komponen
benda/gambar. Langkah ini untuk melatih ciri-ciri obyek yang ada di ruang kelas.
Langkah ketiga yaitu melatih menata sumber cahaya agar anak dapat menjaga
posisi dirinya terhadap datangnya cahaya. Langkah keempat yang merupakan
langkah terakhir yaitu melatih anak mengidentifikasi simbol abstrak, seperti huruf,
angka, kata, dan kalimat (Rahardja, 2004).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan latihan orientasi
dan mobilitas bagi anak low vision adalah sebagai berikut:
1) Asesmen Anak Low Vision untuk OM
walaupun anak low vision sudah diketahui kondisi penglihatannya, sudah
diasesmen baik secara klinis maupun fungsional, dan diketahui faktor-faktor
lainnya, namun untuk membuat program OM tetap dilakukan asesmen khusus
yang dijadikan dasar untuk memberikan latihan orientasi dan mobilitas bagi anak
low vision. Asesmen khusus untuk OM dapat ditempuh baik dengan wawancara
maupun pengamatan terhadap kemampuan OM anak low vision (Dijk, 2001).
Setting asesmen setidaknya mencakup aktifitas anak di rumah, di sekolah, dan
lingkungan tempat tinggal anak yang hubungannya dengan aktifitas orientasi dan
mobilitas anak.
2) Prinsip-Prinsip Latihan OM bagi Anak Low Vision
Untuk memberikan latihan OM kepada anak low vision tetap berpedoman
pada bagaimana mengoptimalkan fungsi sisa penglihatan yang masih dimiliki
34
anak low vision. Dijk (2001 : 25) mengemukakan lima prinsip untuk latihan
orientasi dan mobilitas bagi anak low vision, yaitu :
(1) Mengajarkan menggunakan penglihatan sisa. (2) Menggunakan penerangan/cahaya untuk memperoleh manfaat yang maksimal. (3) Belajar mengetahui dimana benda-benda seharusnya berada. (4) Menggunakan petunjuk dari indera lainnya untuk membantu memecahkan masalah penglihatan. (5) Menggunakan titik penglihatan terbaik untuk menyesuaikan kondisi mata dan situasi tertentu.
Kelima prinsip tersebut sebagai pegangan bagi instruktur OM untuk
merancang program, melaksanakan latihan, dan melakukan evaluasi. Namun yang
perlu diingat bahwa tidak semua anak low vision mempunyai sisa penglihatan
yang cukup untuk melakukan orientasi dan mobilitas. Hal ini tentu memerlukan
penyesuaian latihan baik materi, metode, alat, waktu dan sebagainya.
3) Melatih Kesadaran Tubuh Anak Low Vision
Kesadaran tubuh merupakan prasyarat penting untuk perkembangan
keterampilan orientasi dan mobilitas (Keeffe et al, 1988). Lebih lanjut Keeffe et al
(1988 : 87-88) mengemukakan bahwa kesadaran tubuh yang perlu dilatihkan ada
tujuh, yaitu: “The head, the body, movement, positions, directional concepts, size
concepts, and shape conceps”.
4) Materi OM di dalam Ruang Kelas
Menurut Keeffe et al (1988 : 90), ada beberapa materi OM yang perlu
dilatihkan kepada anak low vision di ruang kelas antara lain:
Locate door, determine posision of door (open, closed), avoid stationary object before contact, avoid moving obstructions before contact,
35
locate unoccupied chair in classroom, locate teacher in classroom, determine the number of people in the classroom (from desk), locate wall clock, differentiate between large and small hands on the clock, read watch face, identify chalkboar in room, walk along white line on floor, identify school equipment items, locate equipment storage areas, collect equipment for a given task, identify without touch eating utensils on desk or table.
Benda-benda atau aktifitas yang telah dikemukakan oleh Keeffe, et al
tersebut tidak semua ada di kelas atau obyeknya tidak sama atau tidak semuanya
dialami oleh anak low vision atau bahkan melakukan aktifitas lainnya. Maka dari
itu pelatihan OM harus disesuaikan dengan keadaan, benda-benda yang ada, dan
aktifitas yang biasa dilakukan anak low vision. Yang paling penting harus diingat
dan dipertimbangkan dalam pelaksanaan latihan OM tentang empat buah kata
yaitu : warna, kontras, jarak, dan ukuran (Hosni et al, 2004).
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian tentang
optimalisasi fungsi sisa penglihatan anak low vision ini adalah sebagai berikut:
Judul penelitian: Impact of Optical Devices on Reading Rates and
Expectations forVvisual Functioning. Penelitian ini dilakukan oleh Bell, J. K. et al
pada tahun 2002 di Amerika Serikat. Penelitian ini menggambarkan penerapan
sebuah program yang bernama PAVE (Providing Access to the Visual
Enviroment). Program ini ditujukan untuk kebutuhan literasi dan akses visual
untuk lingkungan low vision, salah satunya dengan memanfaatkan alat-alat optik
(optical devices). Temuan penelitian menunjukkan bahwa PAVE dapat
mengurangi jarak kecepatan membaca antara anak low vision dengan teman
36
sebayanya yang awas. PAVE juga meningkatkan harapan terhadap siswa dan guru
untuk memfungsikan penglihatannya.
Judul penelitian: Program Bimbingan Optimalisasi Penggunaan Sisa
Penglihatan Anak Low Vision Tingkat Dasar SLB-A di Bandung. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Ehan pada tahun 2002 ini menunjukkan bahwa kemampuan
anak low vision dalam menggunakan sisa penglihatan untuk belajar sangat
beragam, begitu pula kemampuan akademiknya berbeda-beda. Sarana pendukung
terciptanya suatu layanan pendidikan yang dibutuhkan oleh anak low vision sangat
kurang.
Judul penelitian: Head Teacher’s Perception Regarding the Needs of
Teachers to Work in Inclusive Education with Low Vision Students. Penelitian ini
dilakukan oleh Gasparetto, M.E.R.F. et al (1999) kepada 23 kepala sekolah di
kota Campinas negara bagian Sao Paulo Brazil. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa para guru yang mengajar anak low vision memerlukan literatur khusus.
95,7% berpendapat bahwa para guru memerlukan program orientasi pada awal
mengajar anak low vision dan memerlukan program kursus pendek sebagai
program kelanjutannya secara teratur.
Judul penelitian : Visually Impaired - Activity Abilities, Limitations,
Change Goals and Quality of Life the Prospect of Rehabilitation. Penelitian ini
dilakukan oleh Lutteman, B. dari lembaga The Centra of Low Vision, Örebro,
Sweden pada tahun 1997 dan dipublikasikan pada tahun 2002. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa beberapa aktifitas yang menyebabkan problem bagi low
vision adalah mobilitas, membaca, menulis, menonton TV, bekerja dengan piranti
37
dan peralatan komunikasi, dan bekerja dengan piranti komputer dan aktifitas yang
berhubungan dengan hobi/kegemaran. Komparasi dari kemampuan beraktifitas,
tujuan dan kualitas hidup yang berubah, menunjukkan tidak ada hubungannya dan
tidak signifikan (insignificant).
Judul penelitian: Visual Fatigue in Children with Low Vision. Penelitian
ini dilakukan oleh Fitzmaurice, K. et al di Melbourne Australia. Temuannya
dipublikasikan pada tahun 2002. Fitzmaurice at.al meneliti tingkat kelelahan mata
pada 39 siswa low vision di SD dan SLTP. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa ada tujuh akibat pada waktu anak low vision melakukan pekerjaan melihat
dekat, menulis, menggunakan komputer, dan menggunakan papan kerja. Dua
diantara tujuh akibat tersebut yaitu pada gejala penghindaran (73,7%) dan
kelelahan (73%). Kedua gejala inilah yang paling sering muncul pada saat anak
low vision melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut di atas. Akibat lainnya (selain
dua gejala di atas) yaitu penglihatan kabur (remang-remang), hilangnya
konsentrasi, sakit kepala dan mata, meningkatnya nistagmus, dan hilangnya
konsentrasi disertai sakit mata.