Post on 05-Jul-2015
TAUHID DAN SAINS
(Agama dan Ilmu pengetahuan dalam Perspektif Islam)
Makalah Didiskusikan Pada Mata Kuliah Tauhid AmaliTerbatas Kelas A Program Studi Aqidah Akhlak
Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang
Dosen Pengampu :
Dr. H Yusuf Suyono, M.Ag
Disusun Oleh :
AINI MAHMUDAH( NIM 095112008)
PROGRAM PASCA SARJANA IAIN WALISONGOSEMARANG
2010
TAUHID DAN SAINS
(Agama dan Ilmu pengetahuan dalam Perspektif Islam)
Oleh: Aini Mahmudah
A. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi saat ini sedemikian pesat
dan amat mengagumkan, sehingga orang yang tidak memiliki keimanan ada yang
memprediksikan bahwa pada saatnya nanti manusia sama sekali tidak
memerlukan agama, tak ada lagi tanggungjawab yang muncul sebagai
konsekuensi dari keimanan. Apalagi di zaman modern ini dimana dengan
pengetahuannya manusia mampu menundukkan alam dan mengambil keuntungan
yang sebanyak-banyaknya dari alam tersebut. Bahkan ada yang mengatakan pada
saatnya nanti manusia mampu membuat dirinya sendiri.
Banyak alasan yang mereka kemukakan untuk meyakinkan bahwa
sesungguhnya manusia cukup hidup dengan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu
pengetahuan mereka beranggapan bahwa manusia akan sanggup mengatur sendiri
kehidupannya dan menata urusannya, tanpa intervensi iman dan risalah Tuhan.
Persepsi semacam ini sempat berpengaruh luas di dunia Barat, bahkan
sempat pula sampai kepada kita sebagai umat islam yang beriman. Secara logika,
sesungguhnya anggapan-anggapan semacam ini tidak memiliki landasan yang
kuat, dan meleset dari kenyataan yang ada dan sangat bertentangan dengan
keyakinan umat Islam yang beranggapan bahwa ada keterkaitan yang erat antara
iman dan ilmu pengetahuan.
Menurut Islam, inti agama adalah penerimaan doktrin dan pengamalan nyata
tauhid dalam semua domain kehidupan dan pemikiran manusia. Ini berarti bahwa
penciptaan sains oleh seorang Muslim mestilah berkaitan secara signifikan
dengan doktrin tauhid.
Dalam mempraktekkan dan mengamalkannya, kaum Muslim
menghubungkan sains dengan tauhid dengan cara memberikan ekspresi atau
1
ungkapan bermakna dalam teori maupun praktek kepada dua konsekuensi paling
fundamental dari tauhid, yakni prinsip kesatuan kosmis, khususnya kesatuan
dunia alam dan prinsip kesatuan pengetahuan dan sains. Para saintis-filosof
muslim menjadikan dua konsekuensi tersebut sebagai fondasi maupun tujuan
sains. Ketika mereka berhasil membuka cakrawala sains dengan menciptakan
pengetahuan baru, mereka semakin bertambah yakin kepada kebenaran tujuan
sains tersebut. Melalui pembuktian adanya kesaling-berkaitan seluruh bagian dari
alam semesta yang diketahui, merekapun semakin yakin bahwa kesatuan kosmis
membuktikan dengan jelas keesaan Allah (Bakar, 2008: 30).
B. PEMBAHASAN
1. Ilmu pengetahuan sebagai fenomena kemanusiaan
Ilmu pengetahuan merupakan ciri yang membedakan antara manusia dengan
makhluk Allah yang lain. Penciptaan manusia yang berilmu pengetahuan telah
menimbulkan keguncangan dalam alam ”kosmik” malaikat (QS.al-Baqarah 30-
34). Adam sebagai simbolisasi manusia memiliki kelebihan dibanding makhluk
yang lain yaitu berilmu, sehingga semuanya tunduk kecuali Iblis. Iblis tidak mau
tunduk kepada adam karena ia berasal dari api yang dinamis sementara Adam
berasal dari tanah yang pasif. Iblis telah lupa bahwa kepasifan Adam berbeda
dengan kemampuan lahiriyahnya dengan adanya ilmu yang terintegrasi pada
dirinya.
Tugas manusia adalah menundukkan dan mengendalikan Iblis. Keberadaan
Iblis sebagai ”pelaku kejahatan” dan musuh manusia hendaknya tidak hanya
sekedar dipahami sebagai sesuatu yang harus diwaspadai, dijauhi dan dimusuhi
saja. Akan tetapi keberadaan iblis juga dipahami sebagai sebuah potensi, dan
tugas manusia adalah mengelola potensi tersebut. Sebagaimana sifat api, kalau
dibiarkan liar dia akan merusak dan menghancurkan. Sedangkan jika dikelola dan
dikendalikan dengan baik ia akan berguna dan bermanfaat. Api bisa bermakna
2
batiniah yaitu hawa nafsu dalam jiwa manusia atau api dalam arti lahiriah, sebab
tidak ada teknologi tanpa melibatkan potensi api.(Zubair, 2002:2)
Ilmu selain menjadi pertanda kehadiran manusia juga menjadi keharusan
bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya. Supaya martabatnya sebagai
makhluk yang mulia tetap terjaga dan dapat menjalankan perannya sebagai
khalifah Allah di bumi secara optimal ada tiga alasan mengapa manusia harus
berilmu yaitu:
Pertama, manusia tidak siap hidup di ”alam pertama” yang berarti alam asli
yakni alam yang belum terolah dan belum tersentuh teknologi.
Kedua, manusia merupakan makhluk yang tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah dilakukan dan dicapainya.
Ketiga, manusia merupakan makhluk yang memiliki kebutuhan akan
jawaban atas pertanyaaan tentang ”makna” sebagai sesuatu yang bersifat
immateri dan batiniah. Pertanyaan-pertanyaan tentang makna hidup, tujuan hidup,
dan kehidupan sesudah mati merupakan contoh bahwa manusia butuh jawaban
yang tepat agar hidupnya tidak kehilangan orientasi (Zubair, 2002:2).
Ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia yang tersruktur dan
tersistematis yang menggunakan seluruh potensi kemanusiaan dengan metode
tertentu dan obyek tertentu, untuk menyingkapkan tabir yang menutup realitas.
Ilmu yang pada mulanya timbul dari usaha manusia dalam kebudayaannya untuk
memahami alam yang kemudian diterapkan untuk memenuhi keingintahuan
manusia. Perkembangan ilmu merupakan salah satu ciri akal manusia dalam
kebudayaannya. Hasrat untuk mencari mata rantai serta benang merah kesatuan
dalam keaneka ragaman fakta, data dan gejala merupakan sumber yang
menghasilkan ilmu pengetahuan.
Menurut Sa’id Hawwa (2005:78) Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia
merupakan fenomena yang paling menakjubkan diantara fenomena-fenomena
yang ada. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki
kecenderungan terhadap pengetahuan dengan tabiatnya yang selalu haus mencari
3
tahu segala sesuatu. Ia menganalisis, menyusun, membandingkan, menafsirkan,
menerima atau menolak dan berimajinasi. Manusia mampu berpikir sekalipun
sesuatu yang tadinya belum diketahuinya. Bahkan dengan ilmunya ia dapat
menggambarkan sebuah jalan bagi kehidupan, membangun peradaban atau
menghancurkannya.
2. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam
Sebelum membahas ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam ada
baiknya penulis membahas mengenai definisi ilmu (science) dan pengetahuan
(knowledge). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu berarti pengetahuan
tentang suatu bidang tertentu yang disusun secara sistematis dan menurut metode
tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
pengetahuan itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 423). Adapun
pengetahuan (knowledge) adalah
Bagi seorang muslim, pengetahuan bukanlah tindakan ataupun pemikiran
yang abstrak tapi merupakan bagian yang mendasari kemajuan dan pandangan
hidupnya. Oleh sebab itu ilmu memiliki arti yang penting bagi seorang muslim.
Sejak dulu banyak pemikir Muslim berusaha mengungkapkan konsep ilmu. Dan
usaha yang paling nyata tampak dalam upaya mereka mendefinikan ilmu yang
tiada habisnya-habisnya dengan kepercayaan bahwa ilmu merupakan perwujudan
dalam ”memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan”.
Ilmu dalam prespektif Islam berdasarkan intelek (hati nurani/akal subyektif)
yang mengarahkan rasio (akal obyektif) kepada pembentukan ilmu yang
berdasarkan pada kesadaran dan keimanan kepada Allah, karena kebenaran Allah
adalah muthlak. Kebenaran ilmu-ilmu sosial adalah relatif, karena pada diri
manusia berlaku sunnatullah yang sering dilanggar oleh manusia itu sendiri. Oleh
sebab itu kebenarannyapun harus diuji terus-menerus. Sementara ilmu kealaman
sepenuhnya mematuhi sunnatullah tersebut, oleh karena itu ilmu-ilmu alam
mengalami kemajuan lebih pesat daripada ilmu sosial (Saefuddin, 1991: 36).
4
Jika dalam Islam ilmu selalu terkait erat dengan ajaran agama, dalam konsep
Barat ilmu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan
agama adalah bagian dari pengetahuan (ilmu dibedakan dari pengetahuan).
Menurut mereka, sains dan berbagai cabangnya harus bersifat sekuler, duniawi
dan tidak bersifat keagamaan. Konsep ini terkait erat dengan latar belakang
sejarah keilmuan di Barat yang diawali dengan adanya pengadilan inquisi yang
dilakukan oleh gereja tehadap para ilmuwan yang pendapatnya bertentangan
dengan gereja. Untuk melawan gereja para ilmuwan kemudian berjuang
menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya (das
sein). Perjuangan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan bangkitnya
dunia keilmuan di Barat yang dikenal dengan renaissace (abad 15) dan
aufklarung (abad 18). Sejak saat itulah menurut penulis para ilmuwan Barat tidak
lagi percaya kepada agama yang dianggap membelenggu kemajuan ilmu
pengetahuan karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara
berpikir ilmiah.
Dalam konsep Islam ilmu disamping memiliki paradigma deduktif –induktif
juga mengakui paradigma transedental, yaitu pengakuan adanya kebenaran dari
Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, Malaikat,
kiamat, akhirat surga dan neraka) merupakan kebenaran agama yang tidak perlu
bukti secara empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisik tersebut benar adanya
(realistis). Di sinilah bedanya konsep epistimologi barat yang antroposentris
sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (Zainuddin, 2006: 76). Dengan
demikian Islam tidak hanya berkubang pada rasionalisme dan empirisme saja
tetapi juga mengakui intuisi dan wahyu. Oleh karena itu ilmu dalam perspektif
Islam tidak hanya berseumber dari pengetahuan inderawi saja tapi juga
pengetahuan naluri, pengetahuan rasio, pengetahuan intuitif/imajinatif dan
pengetahuan wahyu (Zainuddin, 2006: 61).
Konsep ilmu dalam perspektif Islam memang berbeda dengan pemahaman
Barat. Pengertian ilmu dalam Islam lebih luas cakupannya yaitu semua ilmu yang
5
berguna baik pengetahuan empiris maupun non empiris, wujud material maupun
wujud spiritual (ruhani). Menurut zaitun sebagaimana dikutip oleh Zainuddin
(2006: 90). Ilmu dalam prespektif Islam memiliki empat karakteristik yaitu:
1. Obyektif, artinya ilmu tidak diarahkan kepada kemauan hawa nafsu,
subyektifitas, fanatisme dan seterusnya. Dalam hal ini al-Qur’an banyak
menyebut peran hawa nafsu dalam menyesatkan manusia. Diantaranya QS.
Al-Kahfi 68
”Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
2. Kerendahan hati, yaitu menjauhkan diri dari sikap arogansi intelektual, karena
bagaimanapun kemampuan intelektual manusia terbatas. Sebagaiman firman
Allah QS. Yusuf 76 dan QS. Al-Isra 85
”Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi yang Maha Mengetahui”
”Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"
3. Kemanfaatan, yaitu ilmu yang berguna baik dari aspek empiris maupun non
empiris dalam aspek aqidah dan akhlak. Islam menekankan adanya ilmu yang
bermanfaat baik bagi indifidu maupun bagi masyarakat umum. Sebagaimana
sabda Nabi saw.
”Perumpamaan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ibarat harta yang tidak
diinfakkan untuk kepentingan di jalan Allah” (H.R. Ahmad dan Darimi)
4. Keajekan, artinya ilmu itu harus dicari secara terus menerus, dimana saja dan
kapan saja tanpa mengenal batas waktu (open ende d activity)
Senada dengan apa yang dituturkan oleh Zaitun. Al-Qardhawy yang juga
dikutip oleh Zainuddin (2006: 53) menyatakan bahwa ilmu dalam Islam sangat
6
luas cakupannya dan tidak terbatas pada ilmu menurut pandangan barat modern
yang eksperimental saja tetapi ia meliputi:
Pertama, aspek metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkapkan
apa yang disebut realitas agung (haqaiq al-kubra) yang menjawab pertanyaan
abadi: dari mana, kemana dan bagaimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut
manusia tahu landasan berpijaknya dan mengerti akan Tuhannya.
Kedua, aspek humaniora dan studi-studi yang berkaitan dengannya yang
meliputi pembahasan mengenai manusia dan hubungannya dengan dimensi ruang
dan waktu, psikologi, sosiologi, politik, ekonomi dan sebagainya.
Ketiga, aspek material yang bertebaran di jagat raya, atau ilmu yang
dibangun berdasarkan observasi dan eksperimen, yaitu dengan uji coba
laboratorium. Dan ilmu inilah yang berkembang di Barat.
Di dalam konsep Islam manusia dituntut untuk mencari ilmu yang
bermanfaat. Ukuran kemanfaatannya terletak pada sejauhmana ilmu tersebut
dapat mendekatkan dirinya kepada kebenaran Allah dan tidak merusak kehidupan
manusia itu sendiri. Kebenaran ilmu pengetahuan menurut Islam adalah
sebanding dengan kemanfaatannya. Secara terperinci ilmu pengetahuan yang
bermanfaat adalah apabila: 1) mendekatkan kepada kebenaran Allah, 2) dapat
membantu manusia merealisasikan tujuan-tujuannya, 3) dapat memberikan
pedoman bagi sesama, 4) dapat menyelesaikan persoalan ummat.
Berkaitan dengan kedudukan dan fungsi ilmu, Asghar Ali (1993: 35)
menjelaskan bahwa ilmu dan hikmah sebagai kata kunci yang disebut dalam al-
Qur’an. Oleh sebab itu menurutnya, ilmu dan hikmah tersebut harus dipahami
secara tepat untuk menjembatani Islam dengan dunia modern dengan menekankan
kepada penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan sebagai jalan menuju
kemajuan.
Menurut Asghar hasil penyerapan indera diproses oleh akal, kemudian
ditata melalui fikir dan dari keduanya melahirkan ilmu. Dan ilmu lewat
penghayatan yang mendalam dan konsepsi intuitif melahirkan hikmah. Dengan
7
demikian lantas muncul hubungan yang linier yaitu: aql-fikr-’ilm-hikmah. Dalam
hierarki pengetahuan ini, aql menempati tingkat yang paling rendah sedangkan
hikmah menempati peringkat yang paling tinggi. Alasannya jelas: aql hanya
merupakan instrumen untuk memperoleh pengetahuan, bukan tujuan akhir yang
diinginkan. Ilmu dalam terminologi al-Qur’an berarti pengetahuan agama,
pengetahuan ilmiah dan pengetahuan yang lainnya, sementara hikmah mengacu
pada penerapan ilmu pengetahuan demi kebaikan manusia bukan demi
kemandegan, kemunduran apalagi kerusakan. Hikmah menuntut agar tehnologi
nuklir digunakan untuk kemajuan umat manusia bukan untuk merusak. Ilmu dan
hikmah harus bersama-sama mewujudkan tujuan rububiyah (Ali, 1993: 42).
Dalam sistem Islam, iman sangat essensial, karena ilmu tanpa iman bukan
saja tidak produktif tetapi juga dapat menghancurkan dan membahayakan. Terkait
dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada iman. Konsep
al-Qur’an mengenai iman bil ghayb adalah sangat mengagumkan, asal ia
dipahami dengan tepat. Ghayb menurut Asghar, menyatakan potensi-potensi dari
kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikan manusia yang tersembunyi dari
pandangan manusia, dan hanya Allah yang mencipta kemungkinan-kemungkinan
tersebut yang ’Alim al Ghayb (maha mengetahui segala yang ghaib). Jadi, iman
pada kemungkinan-kemungkinan perbaikan adalah iman terhadap masa depan
yang menjadi inspirasi umat manusia. Iman bil Ghayb merupakan iman terhadap
kemungkinan-kemungkinan masa depan yang tidak terkira banyaknya. Iman
bahwa Allah melalui wakil-Nya (manusia khalifah fi al-ardh) merupakan pencipta
kemungkinan-kemungkinan tersebut (Asghar, 1993: 37)
Hubungan ilmu dan agama adalah hubungan simbiotik, karena agama
menyeru kepada pencarian ilmu dan memberikan posisi mulia bagi para ilmuwan
(QS. Al-Mujadalah 11). Agama menjadi pembimbing dan pengendali ilmu agar
terarah sedangkan ilmu menjadi salah satu jalan menuju keimanan. Dengan
aktifitas berfikir yang menghasilkan pengetahuan yang dipadu dengan dzikir yaitu
mengingat kemahakuasaan Allah atas penciptaan alam semesta maka akan dapat
8
memperkokoh keyakinan atas ketauhidan dan kemahakuasaan Allah (QS. Ali
Imron 191)
Islam menghendaki akidah yang dilandasi ilmu pengetahuan yang benar
bukan atas dasar taqlid dan perkiraan. Akidah Islam tidak takut ilmu itu akan
mendatangkan hasil yang bertentangan dengan fakta dan dasar-dasar agama yang
baku karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Jika
terjadi kontradiksi secara lahir antara kebenaran ilmu dan kebenaran agama,
biasanya disebabkan apa yang sebenarnya bukan ilmu dianggap sebagai ilmu dan
apa yang bukan agama dianggap sebagai agama (Pasya, 2004: 6).
Akidah tauhid dalam ajaran Islam menjamin kemanusiaan manusia dan
melepaskan belenggu pada daya kreasi dan pemahamannya agar manusia layak
memikul amanat sebagai khalifah Allah di muka bumi, mampu menangkap
kemahakuasaan Allah melalui penelitian ilmiah dan perenungan akan fenomena-
fenomena alam yang dilihat dan didengarnya. Dengan demikian keyakinannya
akan semakin kuat dan keimanannya makin bertambah sampai pada batas ketika
akal dan jiwanya merasakan ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3. Al-Qur’an sebagai Sumber Sains dan Pengetahuan
Spiritual
Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam. Ia
merupakan basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual tetapi bagi
semua jenis pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan
Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual. Gagasan
keterpaduan ini merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis
pengetahuan. Yang belakangan ini pada gilirannya diturunkan dari prinsip
keesaan Tuhan yang diterapkan pada wilayah pengetahuan manusia (Bakar, 2008:
149)
Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui
berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari
9
Tuhan yang Maha Mengetahui. Menurut pandangan al-Qur’an pengetahuan
manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena
Allah memberinya kemampuan yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak
filosof dan ilmuwan yang meyakini bahwa dalam berfikir dan mengetahui akal
manusia mendapat pencerahan dari akal ilahi.
Al-Qur’an bukanlah kitab sains. Tetapi ia memberikan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan
spiritual. Panggilan al-Qur’an untuk ”membaca dengan nama Tuhanmu” telah
ditaati secara setia oleh setiap generasi Muslim. Perintah itu telah dipahami
dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada
pondasi pengetahuan tentang realitas Tuhan.(Syihab, : 64)
Dr Mahdi Ghulsyani yang dinukil oleh Zubair (2002: 120-123) membagi
ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berisi agar manusia dengan pengetahuannya
memikirkan alam semesta sebagai jalan untuk mengenal Allah menjadi 8 bagian
yaitu:
1. Ayat-ayat yang menggambarkan elemen-elemen pokok obyek atau menyuruh
manusia untuk menyingkapkannya. Misalnya: QS. At-Thariq 5 dan QS. Al-
Insan 2.
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?
2. Ayat-ayat yang mencakup masalah cara penciptaan obyek-obyek material dan
menyuruh manusia menyingkap asal-usulnya. Misalnya: QS. Huud 7,QS. Al-
Mu’minuun 12-14, QS. Al-Anbiya 30, QS. Lukman 10, dan QS. Al-
Ghasyiyah 17-20
3. Ayat-ayat yang menyuruh manusia mempelajari gejala-gejala alam. Misalnya
QS. Az-Zumar 21, QS. Ar-Rum 48 dan QS. Al-Baqarah 164.
10
4. Ayat-ayat yang menunjukkkan bahwa Allah bersumpah atas berbagai obyek
alam. QS. As-Syams 1-6. QS. Al-Waqi’ah 75-76. dan QS. Ath-Thariq 1-3.
5. Ayat-ayat yang dengan merujuk beberapa gejala alam menjelaskan
kemungkinan terjadinya hari kebangkitan. Misalnya: QS. Al-Hajj 5. QS.
Yaasin 81 dan QS. Ar-Rum 19.Misalnya QS. An-Naml 88,
6. Ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah
Al-Mulk 3-4, QS. Al-Hijr 19, QS. Al-Furqan 2, QS. Az_zumar 5 dan QS. Al-
Anbiya 16.
7. Ayat-ayat yang menyuruh manusia menyingkap bagaimana alam semesta ini
berwujud. Misalnya: QS. Al-Ankabut 20
8. Ayat-ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam
semesta. Misalnya: QS.al-Baqarah 29, QS. An-Nahl 5 dan QS. Al-Hadid 25.
Ayat-ayat diatas semuanya menggambarkan bahwa segala sesuatu yang ada
di alam raya ini telah dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia. Dan manusia
diperintah untuk memikirkannya dengan tujuan melalui tafakkur manusia dapat
menghasilkan sains dan tehnologi yang berguna dan bermanfaat bagi manusia.
Dengan demikian tanpa ragu dapat dikatakan bahwa al-qur’an membenarkan
bahkan mewajibkan usaha-usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi
selama ia membawa manfaat bagi manusia.
4. Tauhid sebagai Sumber dan Semangat Ilmiah
Dalam pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan.
Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang
tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna
dengan monoteisme (Rahman, 1999: 83). Maka, sesuatu yang benar-benar
doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam kategori oneness, uniqueness dan
transcendence. Dengan demikian, Tuhan merupakan eksistensi yang berbeda
dengan segala bentuk eksistensi yang dapat dikenal atau dapat diimajinasikan
manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar), misalnya, merupakan konsepsi
11
tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak terbatas kebesarannya serta tak dapat
ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi atau wujud apa pun dalam realitas
hidup manusia. Dengan tauhid, timbul pengakuan bahwa Allah Maha Pencipta
segalanya (Anwari, 2009)
Osman Bakar (2008: 68) menyatakan bahwa kesadaran beragama orang
Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan keesaan Tuhan. Semangat ilmiah
tidak bertentangan dengan kesadaran religius, karena ia merupakan bagian yang
terpadu dengan keesaan Tuhan itu. Memiliki kesadaran akan keesaan Tuhan
berarti meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan adalah satu dalam Esensi-Nya,
Nama-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Konsekuensi penting dari pengukuhan
kebenaran sentral ini adalah harus menerima realitas obyektif kesatuan alam
semesta. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa kesatuan kosmis merupakan
bukti yang jelas akan keesaan Tuhan.
Hal fundamental yang kemudian menarik ditelaah sebagai konsekuensi
logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains, sebagaimana pernah terjadi
dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan
berpijak pada perspektif tauhid, dinamika perkembangan Islam selama kurun
waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh besarnya perhatian terhadap sains.
Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan dan
kemajuan sains, semuanya kembali pada hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan
tauhid, terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang
menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu
yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain
Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang singkat, namun maknanya
mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat dinamis dan progresif
(Siroj, 2006: 59). Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis kekuasaan
apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang memiliki
kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi (Siroj, 2006: 59-60).
12
Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak
geneologinya pada terbentuknya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang
spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah
satu efek tindak kreatif Ilahi (Bakar, 1991: 74). Pengetahuan tentang hubungan
antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi
dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan
antara sains dan pengetahuan spiritual (Bakar, 1991: 74). Berilmu pengetahuan
menurut Islam sama maknanya dengan: (1) Menyatakan ketertundukan pada
tauhid, dan (2) elaborasi pemahaman secara saintifik terhadap dimensi-dimensi
kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al Qur’an kemudian berperan sebagai
sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam (Baiquni, 1995: 9-62). Al Qur’an
berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, tetapi
bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber
utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan
spiritual (Purwanto, 2008: 188-194). Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan
konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan (Bakar,1991:74).
Sains dalam formulasi tauhid, termaktub ke dalam narasi kalimat
sebagai berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan
melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal
dari Tuhan yang Maha mengetahui. Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan
manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena
Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui.
Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan
berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi”
(Bakar, 1991:74)
Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu
hal, bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua
itu sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu
menguasai semua itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam
13
wilayah Ketuhanan. Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh,
mengetuk serta masuk ke dalam wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat
khazanah keilmuan yang tiada batas.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang berada di wilayah Ketuhanan,
Nasr (1997) menggunakan istilah yang tepat: scientia sacra. Istilah ini digunakan
untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian jauh menghantam dan
memporak-porandakan ilmu pengetahuan. Desakralisasi dapat disimak ke dalam
perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, yaitu sejak sekitar permulaan abad
ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap bersemayam di dalam wilayah
Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub dalam ajaran tauhid, hanya Tuhan yang
merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Siapa pun manusia, memang
memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apa pun serta
mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tidak mendapatkan restu dari
Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains bakal melalui jalan
berliku yang rumit. Upaya seksama memelihara tauhid, dengan sendirinya
merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu
pengetahuan.
Desakralisasi ilmu pengetahuan merupakan gejala ketika sains
ditahbiskan tidak lagi berasal dari Tuhan. Sains lalu dimengerti sebagai hasil dari
setiap upaya manusia yang tak ada hubungannya dengan Tuhan. Maka, hanyalah
persoalan waktu jika kemudian sains berubah fungsi untuk sekadar menjadi
instrumen perluasan antropologisme manusia. Ketika dengan ilmu pengetahuan
manusia kehilangan dimensi Ketuhanan, maka dengan sendirinya sangatlah
mudah bagi manusia untuk menjadikan sains sebagai alat pemukul demi
mengalahkan orang lain dalam pergumulan memperebutkan materi dan kekuasaan
politik. Sains lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari teknikalitas manusia untuk
menipu manusia lain. Tentang hal tersebut Nasr menulis: “Kini manusia modern
telah kehilangan sense of wonder, yang mengingatkan lenyapnya pengertian
14
tentang kesucian pada suatu tingkat di mana manusia mendasarkan eksistensinya
pada ilmu pengetahuan (Nasr,1997:2).
Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam
untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri.
Jalan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan
adanya yang absolut (Nasr, 1997: 3). Scientia sacra membawa manusia pada
kebebasan dari semua kunkungan (Nasr, 1997: 357). Sebab, Yang Suci itu tidak
lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan
dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi
keadaan kosong sama sekali dari kebenaran (Nasr,1997:357).
Sebagai penutup dalam pembahasan ini, Osman Bakar (2008: 68)
menyatakan bahwa kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah
kesadaran akan keesaan Tuhan. Semangat ilmiah tidak bertentangan dengan
kesadaran religius, karena ia merupakan bagian yang terpadu dengan keesaan
Tuhan itu. Memiliki kesadaran akan keesaan Tuhan berarti meneguhkan
kebenaran bahwa Tuhan adalah satu dalam Esensi-Nya, Nama-Nya, sifat-Nya dan
perbuatan-Nya. Konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran sentral ini
adalah harus menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta. Al-Qur’an
dengan tegas menyatakan bahwa kesatuan kosmis merupakan bukti yang jelas
akan keesaan Tuhan.
C. KESIMPULAN
1. Ilmu Pengetahuan merupakan fenomena kemanusiaan sebagai anugerah Allah
yang melekat pada dirinya semenjak dia diciptakan. Berkat ilmunya manusia
menduduki derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk lainnya dan dengan
ilmunya pula manusia dapat menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di
Bumi.
2. Dalam perspektif Islam ilmu memiliki kedudukan sebagai bagian dari agama
dan berfungsi sebagai petunjuk kepada kebenaran, pembebas dari kebodohan
15
dan untuk memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kesejahteraan hidup di
dunia dan akhirat.
3. Dalam konsep Islam ilmu menjadi jalan menuju keimanan. Ilmu yang
membuahkan keimanan selanjutnya melahirkan sifat khusyu’ dan tawadhu’
kepada Allah. Oleh sebab itu ilmu, iman dan amal harus dilaksanakan secara
simultan dan menjadi kepribadian Muslim.
4. Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam. Ia
merupakan basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual tetapi
bagi semua jenis pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi
pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual
5. Kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber dari semangat ilmiah
dalam seluruh wilayah pengetahuan.
D. PENUTUP
Dengan berbagai paparan diatas jelaslah bagi kita bahwa tugas
intelektual kita semua adalah mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat
mengantarkan manusia kepada pemahaman bahwa ilmu pengetahuan hanyalah
salah satu upaya manusia menemukan kebenaran hakiki dan mendekatkan diri
kepada Allah. Dan berlandaskan pada keyakinan yang kuat akan ketauhidan Allah
menjadi pemacu semangat untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu. Agar
kita semua menjadi hamba Allah yang mengabdi kepadanya dengan beramal
ilmiyah dan berilmu amaliyah.
Demikianlah uraian penulis mengenai Tauhid dan Sains. Dengan penuh
kerendahan hati sebagai akibat dari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman,
penulis yakin bahwa makalah ini masih penuh dengan kekurangan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Dan semoga karya
kecil ini dapat bermanfaat. Amiin.
16
Umi RohilJepara, 18 Mei 2010
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ashghar Engineering, 1993, Islam dan Pembebasan, terjemahan, Yokyakarta: LKIS
17
Anwari, 2009, Tauhid dan Kemajuan Sains, http://warungpojokfilsafat.blogspot.com
Bakar, Osman, 1991, Tauhid dan Sains: Esensi-esensi tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Yuliani Liputo dari judul asli Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamiv Science
----------------, 2008, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang agama dan Sains, Bandung: Pustaka Hidayah.
Hawwa, Sa’id, 2005, Allah Subhanahu wa Ta’ala, terj. Abdul Hayyi al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Pers
Madjid, Nurcholish, 1995, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Cetakan ke-3.
Majid, Abdul dkk, 1997, Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK, Jakarta: Gema Insani Press
Nasr, Seyyed Hossein. (1997). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjamahan Suharsono et.al. dari judul asli Knowledge and the Cecred.
Pasya, Dr Ahmad Fuad, 2004, Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an, Solo: Tiga Serangkai.
Purwanto, Agus, 2008, Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al Qur’an yang Terlupakan. Bandung: Mizan
Rahman, Fazlur. (1999). Major Themes of the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Siroj, Said Aqil. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan.
Syari’ati, ‘Ali. (1992). Humanisme: Antara Islam dan Mahzab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb
Syihab, Quraish, 1992 , Membumikan Alqur’an, Bandung: Mizan
18
Zainuddin, 2006, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Jakarta: Lintas Pustaka
Zubair, Ahmad Charris, 2002, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Yokyakarta: LESFI (Lembaga Studi Filsafat Islam)
.
19