Post on 29-Jan-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi
basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah
bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual
masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek
modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan
situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan
keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang
bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafi’i melalui proses kanonisasi dan
kodifikasi sunnah ke dalam hadits.
Pertentangan penafsiran terhadap materi sunnah pada tepian lain memunculkan istilah
bid’ah sebagai kebalikan konsep sunnah. Konsep sunnah dan bid’ah ini dipakai secara
berbeda oleh para ahli hadits, ahli usul, ahli fiqh dan ahli kalam. Jika ahli fiqh lebih
berorientasi kepada penilaian hukum, ahli hadits dan ahli usul memaknainya sebagai proses
keberagaman yang berorientasi pada Nabi Saw dan salaf al-Salih. Sementara ahli kalam
memaknainya salam artian I’tikad yang didasarkan kepada Allah dan RasulNya dan tidak
kepada rasio semata. Makna ini dimunculkan pada abad 4 H oleh golongan Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang dikenal dengan sebutan ahl al-Sunnah, sementara golongan yang berbeda
pandangan seperti Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan Syi’ah mendapatkan sebutan Iahl al-
bid’ah, ahl al-alwa dan ahl al zaig wa al-tadlil.
1
B. Rumusan Masalah
1. Konsep sunnah dan bid’ah ?
2. Pembagian sunnah dan bid’ah ?
3. Bid’ah pada masa Rasul dan sahabat ?
4. Kelompok anti bid’ah dan dalilnya ?
C. Tujuan
1. Mengetahui konsep sunnah dan bid’ah.
2. Mengetahui pembagian sunnah dan bid’ah.
3. Mengetahui bid’ah pada masa Rasul dan sahabat.
4. Mengetahui kelompok anti bid’ah dan dalilnya.
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
A Konsep Sunnah dan Bid’ah
Diskursus tentang sunnah dan bid’ah oleh Kyai Hasyim dipersandingkan dengan
sunnah secara berlawanan. Term bid’ah dipakai oleh Kyai Hasyim untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesesuaian dengan
parameter Ahl al-sunnah dalam konsepsinya. Mereka ini, oleh Kyai Hasyim disebut
Ahl al-Bid’ah. Selain itu, uraian tentang bid’ah dikaitkan dengan perbedaan
pandangan antara kalangan pesantren dan pembaru mengenai sejauhmana sebuah
ekspresi keagamaan atau pranata-pranata baru dalam agama bisa disebut bid’ah.
Dalam Risalah Ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan karya-karyanya yang lain, Kyai
Hasyim banyak memberikan penjelasan secara detail tentang bid’ah dan berbagai
manifestasinya di tengah-tengah masyarakat. Terutama setelah diskursus bid’ah yang
mengemuka banyak dipersinggungkan dengan praktek-prakter keberagamaan muslim
tradisional di Jawa, seperti peringatan hari kelahiran Nabi (maulid nabi), slametan
(sedekah untuk mayit), ziarah ke makam leluhur dan para wali, dan sebagainya.
Menurut Kyai Hasyim, bid’ah dapat diartikan mendatangkan atau menciptakan
suatu perkara baru di dalam agama, dan meyakininya sebagai bagian dari ajaran
agama, padahal perkara tersebut sebenernya tidak menjadi bagian dari ajaran agama.
berbeda dengan sementara kalangan yang menganggap bahwa, seluruh perkara baru
(muhdathah) adalah bid’ah dan sekaligus sesat tanpa terkecuali, bagi Kyai Hasyim
tidak semua muhdathah berstatus bid’ah. Dalam bahasa berbeda dapat dinyatakan,
tidak semua muhdathah adalah bid’ah, karena meskipun tidak terdapat dalil yang
jelas (sarih), namun bisa jadi, tetap bersandar pada shari’at. Sandaran dimaksud
dapat digali dengan menggunakan berbagai pendekatan metodelogis yang ada,
misalnya, melalui mekanisme penganalogian (qiyas). Hal ini berarti, penerjemahan
terhadap teks-teks otoritatif (Hadith) tetang bid’ah harus menggunakan pendekatan
yang lebih menyeluruh (holistik) atau hanya tekstual semata.
Setiap perkara yang baru datang harus ditelusuri secara meneyeluruh, sebelum
diputuskan status hokum kebid’ahannya. Jika sebuah perkara yang baru datang
3
(muhdathah) memiliki sandaran shari’at, baik secara langsung maupun setelah
ditelisik melalui berbagai pendekatan kontekstual, maka hal itu tidak berstatus
bid’ah. Sebaiknya, muhdathah baru disebut sebagai bid’ah, ketika ia tidak memiliki
persinggungan dengan shari’at sedikitpun. Selain itu, pengambilan tentang bid’ah
juga harus menyertakan kajian terhadap berbagai pendapat yang ada secara
komprehensif. Ketika, misalnya, terdapat dua pendapat atau lebih dalam satu perkara
yang baru datang (muhdathah), tidak dengan serta merta mengambil pendapat yang
membid’ahkan muhdathah tersebut. Sebaliknya, berbagai pendapat harus diuji atau
ditarjih lebih dulu, dan pendapat yang paling unggul (al-qur’an al mu’tamad)
akhirnya dipakai sebagai rujukan memutuskan status muhdathah tersebut.
Untuk menentukan status bid’ah pada suatu muhdathah, dibutuhkan terlebih
dahulu analisa teks al-Sunnah berdasarkan kaidah-kaidah mustalah Hadith yang telah
dibakukan oleh generasi pendahulu (salafuna al-salih), termasuk para mujtahid.
Pendapat tentang status bid’ah baru akan di terima, setelah melalui analisis
mendalam terhadap teks Hadith yang dijadikan sebagai rujukan. Selian itu, apakah
muhdathah tersebut pernah dipraktekkan oleh generasi salaf atau tidak harusnya
ditetapkan secara proporsional. Muhdathah yang belum pernah dilakukan oleh
generasi salat, selama tidak ada pelarangan dan memiliki argument shari’at, tidak
termasuk bid’ah. Ini berarti muhdathah yang tidak pernah dilakukan oleh generasi
terdahulu tidak seluruhnya adalah bid’ah. Karena bisa jadi, ada kodisi-kondisi
historis tertentu yang memungkinkan muhdathah belum pernah dilakukan.
Penentuan status bid’ah pada muhdathah tertentu harus dirinci berdasarkan
klasifikasi status hokum yang berlaku dalam shari’at Islam. Status muhdathah sangat
terkait dengan enam status hokum yang selama ini berlaku, yakni wajib, sunnah,
haram, makruh, khilaf awla, dan mubah. Selama terdapat argumentasi dan dalil yang
dapat dijadikan sebagai ilhaq terhadap penentuan status muhdathah, maka tidak
berstatus bid’ah. Sebaliknya, jika dengan menggunakan metode ilhaq dan tidak
ditemukan argument maupun dalilnya, maka status muhdathah adalah bid’ah secara
otomatis.
Dengan penggunaan metode ilhaqi ini, maka bisa jadi muhdathah emiliki status
bid’ah yang bermacam. Terdapat muhdathah yang memiliki status bid’ah wajibah,
4
mandumah, namun juga terdapat status diharamkan (mahrumah) dan tersesat.
Dengan mengutip al-Shabshiri dalam Sharkh Arba in Nahwawi, Kyai Hasyim
menegaskan, terhadap Hadist Nabi yang mengatakan:
(Barang siapa menciptakan suatu perkara yang baru datang dalam agama atau
melindungi orang yang menciptakan perkara yang baru tersebut, maka baginya
laknat Allah).
Maka termasuk dalam kandungan Hadith tersebut adalah transaksi-transaksi
yang rusak,hukum-hukum yang penuh kebohongan dan penyelewengan, dan contoh-
contoh lainnya yang tidak bersesuaian dengan hokum shari’at. Dikecualikan dari
masalah-masalah di atas, adalah muhdathah yang tidak memiliki dalil shara’ seperti
masalah-masalah ijtihadiyah yang diantara masalah-masalah dan dalil-dalil
penguatnya tidak memiliki persinggungan langsung, kecuali berdasarkan atas
persangkaan (judgement) mujtahid. Seperti menulis teks al-Qur’an, membersihkan
madhhab-madhhab (dari penyelewengan), menulis kitab-kitab gramatika Bahasa
Arab dan Matematika. Atas dasar paparan di atas, ibn ‘Abd al-Salam membagi
hukum perkara-perkara yang baru datang (al-hawadith) ke dalam lima status
hokum. Lalu dia mengatakan: Bid’ah adalah perbuatan yang tidak diketahui pada
zaman Nabi SAW, adalah wajib hukumnya seperti belajar gramatika Bahasa Arab,
kosa kata-kosa kata yang asing (gharib) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
berdasarkan ketentuan shari’at yang ada. (Bid’ah) yang disunnahkan, seperti
membangun pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga madrasah, dan berbagai
kebajikan lainnya yang belum pernah dilakukan pada zaman Muhammad. (Bid’ah)
yang dimakruhkan seperti diperbolehkan seperti bersalaman setelah shalat Asar dan
Subuh, membuat aneka ragam minuman, makanan, pakaian dan sebagainya.
Jika engkau mengetahui apa yang telah dipaparkan di atas, jika dikatakan:
Bid’ah seperti membuat tasbih, mengucapkan niat dengan suara kerasa, tahlil
5
beserta sedekah kepada mayit ketika memiliki kesempatan melakukannya, ziarah
kubuh, dan sebagainya. Seluruhnya (pada dasarnya) bukanlah bid’ah….
Lebih lanjut, Kyai Hasyim membagi membagi bentuk-bentuk bid’ah menjadi tiga:
pertama, bid’ah sarihah, yaitu suatu perkara yang dianggap merupakan bagian dari
agama, padahal tidak memiliki landasan dalil shar’i dan juga tidak memiliki
kesesuaian atau tidak bisa disepadankan dengan suatu maslah yang telah memiliki
ketetapan hokum shara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah
jenis ini berpontensi membunuh eksistensi sunnah dan membatalkan perkara yang
haq. Bid’ah ini merupakan seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya
dikemukakan sejumlah alas an pada kerangka usul maupun furu tetaplah tidak dapat
mempengaruhi ke-sarih-an bid’ah-nya; kedua, bid’ah izafiyah, yaitu suatu perkara
yang disandarkan pada suatu masalah --yang telah memiliki ketetapan hokum
tertentu--, sehingga apabila masalah itu diterima sebagai sandaran perkara bid’ah
tersebut, maka akan menepis kontroversi mengenai status hukumnya, apakah sebagia
sunnah atupun bid’ah, dan ; ketiga, bid’ah khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi
oleh dua dalil yang saling bertentangan, di satu sisi bisa dinyatakan sebagai sunnah
berdasarkan pada dalil tertentu, dan dinyatakan sebagi bid’ah jika menggunakan dalil
yang berbeda. Contoh bid’ah jenis ini adalah membuat kepengurusan jam’iyah atau
majlis dzikir dan do’a bersama.
Narasi Kyai Hasyim tentang bid’ah di atas, secara umum berhasil mementahkan
judgement kalangan modernis bahwa semua bid’ah adalah sesat (kullu bid’ah
dalalah), sekaligus mengukuhkan fungsi shari’at menjawab tuntutan Islam sebagai
hidayah dan rahmat bagi umat manusia. Berbagai pranata sosial yang diungkapkan
oleh Kyai Hasyim sebagai contoh Muhdathat dalam kutipan di atas, merupakan
bentuk bid’ah yang tak terhindarkan dalam wilayah kebudayaan yang bersifat sangat
dinamis. Oleh karena itu, tidak mungkin menyatakan bahwa semua kebaikan yang
menyertai perkembangan kebudayaan manusia itu disebut bid’ah yang sesat.
B Pembagian Sunnah dan Bid’ah
Pembagian Sunnah
Sunnah dalam pandangan ulama terbagi dalam empat bagian, yaitu :
6
1. Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah merupakan perkataan atau sabda Rasulullah SAW yang
didalamnya menerengkan hukum-hukum agama dan maksud Al-Quran yang
berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Sunnah qauliyah ini juga
dinamakan khabar, hadits, atau sunnah. Sunnah qauliyah pun terbagi menjadi tiga
tingkatan ;
a) Sunah qauliyah yang jelas dan pasti kebenarannya dari Allah melalui Rasul dan
diriwayatkan secara mutawatir.
b) Sunah qauliyah yang diragukan kebenarannya atau kesalahannya, karena tidak
bisa membedakan mana yang kuat, benar atau salah, orang yang meriwayatkan
diragukan kejujuran dan keadilannya, dst.
c) Sunah qauliyah yang dianggap tidak benar sama sekali, seperti tidak masuk
akal, khabar yang menyalahi atau bertentangan dengan khabar mutawatir, dst.
2. Sunnah fi’liyah
Sunnah fi’liyah adalah perbuatan nabi yang berdasarkan tuntunan rabbani untuk
ditiru dan diteladani yang kemudian dinukilkan oleh para sahabat. Seperti :
كمارايتمونى صلوا
اصلى
Artinya : Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melaksanakan
shalat ( HR Bukhari dan Muslim ).
خذواعنى
مناسككم
Artinya : Ambillah daripadaku cara – cara mengerjakan haji ( HR Muslim ).
3. Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyah merupakan pengakuan nabi dengan tidak mengingkari sesuatu
yang diperbuat oleh seorang sahabat ( orang tunduk dan mengikuti syara ) ketika
dihadapan nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu nabi sendiri tidak
menyanggah, tidak menyalahkan atau juga tidak menunjukkan bahwa beliau
meridhainya. Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama
dengan perkataan dan perbuatan Nabi SAW sendiri yaitu dapat dijadikan hujjah
7
(ketetapan hukum), seperti ketika sahabat melakukan shalat dibani Quraidhah,
Nabi bersabda :
بنى االفى احدكم اليصلين
قريظه
Artinya : Janganlah melaksanakan shalat seseorang diantara kalian kecuali di Bani
Quraidhah. Pemaknaan hadits ini oleh kalangan sahabat dimaknai beragam, ada
sahabat yang tidak shalat ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani Quraidhah,
sebagian lagi memahami hadits tersebut mengharuskan segera shalat ashar, agar
setelah shalat segera sampai di bani Quraidhah.
4. Sunnah hammiyah
Sunnah hammiyah adala sesuatu yang dikehendaki Nabi lalu disampaikan kepada
para sahabat sehingga sahabat itu mengetahui, tetapi beliau belum sempat
melaksanakan. Menurut Imam As-Syaukany, sunnah hammiyah tidak masuk
kategori karena hanya merupakan goresan hati dan lintasan hati yang tidak pernah
diperintahkan dan dilaksanakan Rasulullah SAW. Berbeda halnya dengan imam
Syafi’i mengatakan bahwa sunah hammiyah termasuk, walaupun masih dalam
lintasan hati, namun seandainya ada pada waktu pasti nabi akan melaksanakannya
sehingga menjadi sunah bagi kita. Seperti “ nabi menghendaki puasa pada tanggal
9 Muharram dengan sabdanya : “ Insya Allah tahun depan saya akan memuasai
hari yang kesembilannya”. (HR Muslim dan Abu Dawud). Cita-cita Nabi tersebut
tidak sempat dikerjakan sebab sebelumnya sampai tanggal tersebut Nabi wafat.
Pembagian Bid’ah
Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua ; yaitu bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Dalam hal
ini, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’I –mujtahid besar dan
pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di
dunia Islam-, berkata:
8
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi
al-Qur’an atau sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,
sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan
Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’I,
1/469).
Al-Imam al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika
membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat
(3/22), beliau mengatakan :
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”
(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat 3/22).
Bahkan dalam Syarh Shahih Muslim dan Raudhat al-Thalibin, al-Imam al-
Nawawi membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian. Bahkan membagi bid’ah
secara lebih rinci, yaitu menjadi lima hokum sesuai dengan alur yang diikuti oleh
mayoritas ulama. Pembagian bid’ah menjadi dua, dan bahkan menjadi lima, juga
dilakukan oleh al-Hafizh Bin Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, beliau berkata:
9
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga
bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabilah bid’ah itu masuk dalam naungan
sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila
masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut
bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka
menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hokum.”
(Fath al-Bari, 4/253).
Pembagian bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin
Isma’il al-Amir al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum
Wahabi. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau
mengatakan :
10
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
didahului pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. Ulama telah membagi
bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama
dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan
menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-
madrasah, 3) bid’ah mubabah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam
dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya
sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadist “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-
kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Al-Imam al-Amir al-Shan’ani, Subul al-
Salam, 2/48).
Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi
kaum Wahabi, juga membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian.
Dalam kitabnya Nail al-Authar (3/25)-yang telah diterbitkan dalam bahasa edisi
Indonesia oleh kaum Wahabi-, al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari tentang pembagian bid’ah tanpa memberinya komentar.
11
“Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari, “Asal mula bid’ah adalah suatu
yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam istilah syara’, bid’ah
diucapkian sebagai kebalikan sunnah, sehingga bid’ah itu tercela. Sebenarnya,
apbila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’,
maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap
buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk
dalam keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi
menjadi lima hokum.” (al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, juz
3 hal. 25).
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh
Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi (Wahabi). Dalam hal
ini, Syaikh Ibn Taimiyah berkata:
12
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan
baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau
keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah tidak akan pernah
menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah yang berdasarkan
kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui
menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’I berkata,
“Bid’ah itu ada dua. Pertama bid’ah menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan astar
sebaian sahabat Rasulullah. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak
menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan
perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah.” Pernyataan al-Syafi’i ini
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.”
(Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
Dari uarian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap
kurun waktu mulai dari al-Imam al-Syafi’I, al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar
dan Syaikh Ibn Taimiyah telah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah
dan bid’ah madzmunah. Bahkan lebih rinci, bid’ah dibagi menjadi lima bagian sesuai
dengan komposisi hokum syara’ yang ada. Pembagian tersebut juga diikuti oleh dua
ulama Syiah Zaidiyah yang menjadi rujukan kaum Wahabi, yaitu al-Imam al-
Shan’ani dan al-Imam al-Syaukuni dalam kedua kitab beliau, yaitu kitab Subul al-
Salam Syah Bulugh al-Maram dan kitab Nail al-Authar min Asrar Muntaqa al-
Akhbar.
C Bid’ah Pada Masa Rasul dan Sahabat
Bid’ah hasanah Pada Masa Rasulullah Saw
1. Hadist Sayidina Mu’adz bin Jabal
13
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “pada masa Rasulullah, bila seseorang
dating terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang
yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang
tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk kedalam shalat berjamaah
bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-
orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah
dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan
tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah selesai shalat,
maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah
Rasulullah selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang
berbedah dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab: “Mu’adz bin jabal,
beliau bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.
“Dalam riwayat Mu’adz bin jabal, beliau bersabda; “Mu’adz telah memulai cara
yang baik buat shalat kalian. Begitulah shalat yang harus kalian kerjakan.” (HR.
al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syabibah dan lain-lain. Hadist ini
dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-Id dan al-hafizh Ibn Hazm al-
Andalausi).
Hadist ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti
shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntutan syara’. Dalam hadist ini, Nabi
tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru
dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?” Bahkan beliau membenarkannya, karena
perbuatannya Mu’adz sesuai dengan kaidah berjamaah, yaitu makmum harus
mengikuti imam.
2. Hadist Sayidina Bilal
14
”Abu hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bertanya kepada bilal ketika shalat
fajar. “Hai bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam
islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu disurga?” Ia
menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum
pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkan dengan
shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau
berkata kepada bilal:”Dengan apa kamu mendahuluiku ke surge?” Ia menjawa:
“Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua rakaat setelahnya. Dan
aku belum pernah hadast, kecuali aku berwudhu’ setelahnya dan harus aku
teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah.” Nabi berkata: “Dengan
dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (3/34), hadist ini memberikan
faidah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena bilal
memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi membenarkannya.
Nabi belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai
berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi bilal melakukannya atas ijtihadnya
sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi. Ternyata Nabi
membenarkannya, bahkan memberikannya kabar gembira tentang derajatnya disurga,
sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunat bagi seluruh umat.
3. Hadist Ibn Abbas
15
“Sayyidina Ibn Abbas r.a berkata: “Aku mendatangi Rasulullah pada akhir malam, lalu aku shalat di belakangnya. Teryata beliau mengambil tanganku dan menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah Saw memulai shalatnya, aku mundur ke belakang. Lalu Rasulullah Saw menyelesaikan shalatnya. Setelah aku mau pulang, beliau berkata; “Ada apa. Aku tempatkan kamu lurus di sebelahku, tetapi kamu malah mundur?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, tidak selayaknya bagi seorang shalat lurus di sebelahmu sedang engau Rasulullah yang telah menerima karunia dari Allah. “Ibn Abbas berkata: Teryata beliau senang dengan jawabanku, lalu mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertianku terhadap agama.”Hadits shahih. (HR. al-Imam Ahmad).Hadits ini membolehkan berjihat membuat perkara baru dalam agama apabila
sesuai dengan syara’. Ibn Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal
sebelumnya Rasulullah Saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau Saw,
teryata beliau Saw tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan memberinya hadiah
doa. Dan seperti inilah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah.
4. Hadits Ali bin Abi Thalib r.a
16
“Sayidina Ali r.a berkata: “Abu Bakar bila membaca al-Qur’an dengan suara
lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca al-
Qur’an, mencampur surah ini dengan surah ini dengan surah itu. Kemudianhal
itu dilaporkan pada Nabi Saw. Sehingga beliau Saw bertanya kepada Abu Bakar:
“Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab: “Allah dapat
mendengar suaraku walaupun lirih. “Lalubertanya kepada Umar. “Mengapa
kamu membaca dengan suara keras?”Umar menjawab: “Aku mengusir setan dan
menghilangkan kantuk.” Lalu beliau bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu
mencampur surah ini dengan surah itu?”Ammar menjawab: “Apakah engkau
pernah mendengarku mencampurnya dengan sesutau yang bukan al-
Qur’an?”Beliau menjawab: “Tidak.”Lalu beliau bersabda: “Semuanya baik.”
(HR. Ahmad).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga
sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihatnya masing-
masing, sehingga sebagian sahabatnya melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang
berbeda-beda itu, dan teryata Rasulullah Saw membenarkan dan menilai semuanya
baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya
sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah Saw pasti buruk atau keliru.
5. Hadits ‘Amr bin al-Ash r.a
17
“Amr bin al-Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Salasil berkata:
“Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau manid, tapi takut
sakit. Akhirnya aku betayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama
sahabat-sahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah Saw, mereka
melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya: “Hai ‘Amr,
mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu
junub?”Aku menjawab: “Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Peyanyang kepadamu.”
(Qs. Al-NISA’: 29). Maka aku bertayamum dan shalat.” Lalu Rasulullah Saw
tersenyum dan tidak berkata apa-apa” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-
Daraquthni. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim, al-Dzahabi dan lain-lain).
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah.’Amr bin al-‘Ash melakukan tayamum
karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi Saw
mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya. Dengan
demikian, tidak semua perkara yang tidak dianjurkan oleh Nabi Saw itu pasti
tertolak, bahkan dapat menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’
seperti dalam hadits ini.
6. Hadits Umar bin al-Khaththab r.a
18
“Umar r.a berkata: Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah
didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: “Allahu akbar kabiran
walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.”Setelah Nabi Saw
selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?”Laki-
laki itu menjawab: “Saya, ya Rasulullah. Demi Allah saya hanya bermaksud baik
dengan kalimat itu, “Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu
langit terbuka menyambut kalimat itu. “Ibn Umar berkata: “Aku belum pernah
meninggalkannya sejak mendengarnya.” (HR. Muslim).
7.
Hadits Rifa’ah bin Rafi’ r.a
19
“Rifa’ah bin Rafi’ r.a berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi r.a.
ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah.”
Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fih. ”Setelah selesai shalat, beliau bertanya:
“Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya,”Beliau
bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya.”
(HR. al-Bukhari).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya
dari Nabi Saw, yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah dan dzikir dalam I’tidal.
Teryata Nabi Saw membenarkan perbuatan mereka, bahkan member kabar gembira
tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’,
dimana dalam i’tidal dan iftitah itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267),
bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama
dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi Saw), dan
bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang
lain.
Bid’ah hasanah setelah Rasulullah Saw Wafat
1. Penghimpunan al-Qur’an dalam Mushhaf
20
“Sayidina Umar r.a mendatangi Khalifah Abu Bakar r.a dan berkata: “Wahai
Khalifah Rasulullah Saw, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah
telah mengorbanan para penghafal al-Qur’an, dan bagaimana kalau anda
mengihimpun al-Qur’an dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana
kita akan melakukan sesuatau yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah
Saw?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik.” Umar terus meyakinkan Abu
Bakar, sehingga akhirnya Abu bakar menerima usulan Umar. Kemudian
keduanya menemui Zaid bin Tsabit r.a, dan menyampaikan tentang rencana
mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw?” Keduanya menjawab:
“Demi Allah, ini baik.” Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah
melapangkan dada Zaid sebagimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan
Umar dalam rencana ini,” (HR. al-Bukhari).
Umar mengusulkan penghimpunan al-Qur’an dalam satu Mushhaf. Abu Bakar
mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Tetapi
Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walupun belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dengan demikian, tindakan beliau ini tegolong
bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-Qur’an dalam satu mushhaf
hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar al-Qur’an tetap terpelihara. Oleh
karena itu, penghimpunan al-Qur’an ini tergolong bid’ah hasanah yang wajibah.
2. Shalat Tarawih
21
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku
pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Teryata orang-orang di masjid
berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga
yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu umar r.a berkata: “Aku
berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih
baik.” Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam
berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka
melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu,
Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir
malam, lebih baik daripada di awal malam.”Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari).
Rasulullah Saw tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah.
Beliau hanya melakukanya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau
tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula
mengumpulkan mereka untuk melakukanya.demikian pula pada masa Khalifah Abu
Bakar r.a kemudian Umar r.a mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat
tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukanya. Apa
yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau
mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Pada hakekatnya, apa yang beliau
lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah Saw telah bersabda:
22
“Rasulullah Sawbersabda: “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk”.
3. Adzan Jum’at
“Al-Sa’ib bin Yazid r.a berkata: “Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan
Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar.
Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau
menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di pasar Madinah.”
(HR. al-Bukhari).
23
Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan
apabila imam telah duduk diatas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin
luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui
dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambahkan
adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka
segera berkumpul untuk menunaikan shalat jum’at, sebelum imam hadir diatas
mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau
lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang
oleh kaum Muslimain. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Ustman
termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadist
sebelumnya.
4. Shalat Sunnah Sebelum Shalat ‘Id dan Sesudahnya
24
“Al-Walid bin Sari berkata: “Pada suatu hari raya, kami keluar bersama, Amirul
Mu’minin Ali bin Abi Tholib ra. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau
menanyakan tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘id an sesudahnya.
Tertapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang
menayakan hal yang sama pada beliau. Dan beliaupun tidak menjawabnya.
Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir 7
kali, dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khotbah. Setelah turun dari
mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: ”Hai Amirul
Mu’minin, mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat ‘id!” Beliau
menjawab: “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya padaku tentang
sunnah, sesungguhnya Nabi Saw belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat ‘id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan,lakukanlah, dan
siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang
yang mau shalat, agar tidak termasuk “orang yang melarang seorang hamba
ketika dia mengerjakan shalat.” (HR. al-Imam al-Bazzar dalam al-Musnad.
(Lihat: al-Hafizh al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid (2/438).
25
Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan
sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin
Ali bin Abi Thalib r.a, dan teryata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka.
Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah, siapa saja boleh
melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafaur Rasyidin,
memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw belum
tetntu salah dan tercela.
5. Hadits Talbiyah
Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa do’a talbiyah yang dibaca oleh
Rasulullah Saw ketika menunaikan ibadah haji adalah:
Tetapi Abdullah bin Umar r.a sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan
kalimat:
Hadits tentang doa talbiyah Nabi Saw dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan
oleh Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn
Umar, Sayidina Umar r.a juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi
Saw dengan kalimat:
26
Dalam riwayat Abu Dawud (1813) dengan sanad yang shahih, Ahmad (3/320) dan
Ibn Khuzaimah (2626), sebagai sahabatmenambah bacaan talbiyah-nya dengan
kalimat:
Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Mathalib al-Aliyah
meriwayatkan bahwa, Sayidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyah-nya menambah
kalimat:
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang
beragam dari para sahabat, menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam
tasyahhud, talbiyah dan lain-lainya terhadap dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi
Saw). Karena Nabi Saw sendiri telah mendengar tamabahan para sahabat dalam
talbiyah, dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat melakukan
tambahan pula, seperti Umar Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali, Anas
dan lain-lain r.a. Kebolehan menambahkan dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur
ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ijma’ (konsensus)
ulama.
6. Redaksi Shalawat Nabi Saw
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah dan salah
satu ualama otoritatif di kalangan kaum Wahabi, meriwayatkan beberapa redaksi
shalawat Nabi Saw yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya
Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam Saw. Antara lain
shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud r.a berikut ini:
27
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan redaksi shalawat Sayidina
Abdullah bin Abbas r.a, berikut ini:
Syaikh Ibn al-Qayyim juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam
‘Alqamah al-Nakha’I r.a, seorang tabi’in, sebagai berikut:
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-
Imam al-Syafi’i r.a sebagai berikut:
Demikian beberapa redaksi shalawat Nabi Saw yang disusunoleh para sahabat dan
ulama salaf yang diriwayatkan olek Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya jala’ al-
Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam Saw. Hal tersebut yang menjadi
inspirasi bagi para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga
lahirlah shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, al-Fatih, al-Munjiyat dan lain-lain.
D. Kelompok Anti Bid’ah dan Dalilnya
28
Sebelum pemaparan dalil-dalil bid’ah hasanah, perlu disebutkan disini hadist
yang dijadikan sebagian kalangan untuk menolak adanya bid’ah hasanah. Hadist
tersebut berbunyi :
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasuluallah bersabda : “Sebaik-baik ucapan
adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-
jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR.
Muslim).
Menurut kelompok ini, hadist di atas sangat tegas mengatakan bahwa semua
bid’ah itu adalah kesesatan. Ddalam hal ini, seorang ulama Wahabi kontemporer
bernama Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, berkata dalam kitabnya al-
Ibda’ fi kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’ (kreasi tentang kesempurnaan syara’
dan bahanya bid’ah) :
“Hadist ‘semua bid’ah adalah sesat’, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa
terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan
umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh).” Apakah setelah
ketepatan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian,
atau menjadi lima bagian? Selamanya, (pembagian) ini tidak akan pernah.”
(Muhammad bin Shalih al’Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-
Ibtida’, hal. 13)
29
Pernyataan di atas memberikan pengertian bahwa hadist “semua bid’ah adalah
sesat”, bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa
terkecuali, sehingga tidak ada satu pun bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah,
apalagi disebut bid’ah mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya.
Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadist
diatas, masih perlu dipertimbangkan. Kerena tidak semua kosa kata ”kullu” dalam
al-Qur’an dan hadist, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan
pembatasan. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya berkata :
“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)” adalah kalimat general yang
terkadang dimaksudkan kepada makna yang terbatas, seperti firman Allah
tentang Ratu Saba’ :“Ia dikarunia segela sesuatu.” (QS. Al-Naml: 23). Padahal
banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan
Nabi Sulaiman.”
Dalam pernyataan diatas, Syaikh al-‘Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata
“kullu” dalam teks al-Qur’an dan hadist bermakna general (‘am), tetapi ada yang
bermakna terbatas (khash). Di sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak
persoalan baru yang harus diakui, Syaikh al-‘Utsaimin juga terjebak dalam
pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin
berkata:
30
“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi,
bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukkan
keharamannya. Tetapi hokum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama
adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram
dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan
keberlakuannya.” (Al-‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 639-640).
Pernyataan al-‘Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid’ah
secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Dengan klasifikasi
bid’ah menjadi dua (versi al-‘Utsaimin), yaitu bid’ah dalam hal agama, dan memberi
bukti bahwa al-‘Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya (tidak ada
pembagian dalam bid’ah). Dalam bagian lain, al-Utsaimin juga menyatakan :
“Di antara kaidah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hokum
tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga disyariatkan.
Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan
perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan
madrasah-madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, meskipun
bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dalam bentuk seperti ini,
31
namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hokum perantara
mengikuti hokum tujuannya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah
untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, maka membangunnya di hukumi
haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengajarkan syariat, maka
membangunnya disyariatkan.” (Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-
Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’, hal. 18-19).
Dalam pernyataan ini, al-‘Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil
sebelumnya. Pada awalnya dia mengatakan bahwa semua bid’ah secara keseluruan,
tanpa terkecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya dineraka, dan tidak akan pernah
benar membagi bid’ah menjadi tiga apalagi lima.
Dengan demikian, para ulama ahli hadist dan ahli fikih berpandangan bawha
hadist “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata general (‘am) yang maknanya
terbatas (khash). Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-nawawi menyatakan:
“Sabda Nabi Saw “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang
dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar
bid’ah itu sesat (bukan seluruhnya).” (al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih
Muslim, 6/154).
Oleh karena hadist “semua itu sesat”, adalah redaksi general yang maknanya
terbatas, makna para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan
bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian
sesuai komposisi hukum islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.
Dalil-dalil berikut ini akan dibagi menjadi dua; dalil-dalil bid’ah hasanah pada
masa Rasulullah, dan dalil-dalil bid’ah hasanah sesuai Nabi wafat.
32
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi
basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah
bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual
masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek
modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan
situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan
keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang
bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafi’i melalui proses kanonisasi da
kodifikasi sunnah ke dalam hadits.
Bid’ah adalah mengerjakan suatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalil al-Anam,2/172).
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam MUhyiddin Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata :
“Bid’ah adalah mengerjakan suatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah “
(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’wa al-Lughar,3/22).
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, para perawat mampu mengetahui konsep keluarga sejahtera
dengan baik dan mampu mengaplikasikannya dengan lancar.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Navis dkk. 2012.Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.Surabaya:Khalista
Achmad Muhibbin Zuhri, 2010.Pemikiran KHM. Hasyim Asy’ari tentang
Aswaja.Surabaya:Khalita
34