Post on 21-Oct-2021
SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYADENPASAR, 7.8 OKTOBER 2O1 6
PROSIDINGBAHASA, POLITIK, DAN KEKUASAAN DAIAM
DINAMIKA KEBUDAYAAN,i'}
Penyunting :
I Ketut SudewaI Wayan Teguh
EAKULTAS ILMU BUBAYAUNIVERSITAS UI}AY*NA
201,6
i
DAFTAR ISI
Jamu Minum Orang Pintar: Bahasa dan Kekuasaan.
Prof. Dr. Faruk, SU. 1
Sejarah Lokal: Keteladanan Dalam Tindakan
Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A 16
Nilai Pendidikan Karakter dalam “Geguritan Bagus Diarsa”.
I Ketut Nama 40
Memeluk Mimpi: Ketidaknetralan Wacana Pelestarian
Bali Masa Kolonial dan Masa Kini.
I Nyoman Wijaya 49
Penggunaan Akronim Sebagai Jargon Politik:
Studi Sejarahnya di Indonesia.
I Ketut Darma Laksana 61
Bahasa dan Kekuasaan di Ranah Akademik.
I Gusti Ayu Gde Sosiowati 71
Base Lame dan Base Karang di Dalam Bahasa Melayu Bali.
I Nyoman Suparwa 80
Bahasa Sang Penguasa pada Cerita Rakyat Bali Kuna.
P.A.A. Senja Pratiwi 93
Trauma Kekuasaan dalam Cerpen-Cerpen Terakhir
Made Sangra.
I Made Suarsa 104
Metafora Kekuasaan dalam Bahasa Indonesia:
Kajian Linguistik Korpus.
I Made Rajeg dan Kadek Sanjaya 114
Revitalisasi Rumah Pengasingan Bung Karno
Di Kota Ende.
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo 126
ii
Kanji dan Keseharian Orang Jepang.
Renny Anggraeny 137
Makna dan Struktur Kalimat dalam Ujaran
Bahasa Indonesia
Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida 148
Kesantunan dalam Pelayanan:
Studi Kasus pada Pusat Perbelanjaan Isetan.
I Gede Oeinada 158
Kekuasaan dalam Bahasa: Kajian Etnolinguistik
Ritual Tumpek dalam Kehidupan Masyarakat Bali.
Ni Wayan Sumitri dan I Wayan Arka 165
Kesantunan Berbahasa pada Bagian Kehumasan
Universitas Warmadewa.
Agus Darma Yoga Pratama 183
Antara Narasi dan Eksposisi: Kemampuan Bahasa Bali
Sebagai Bahasa Pengetahuan dalam Cerita Rakyat dan
Buku Pelajaran Sekolah Jaman Kolonial.
Ida Ayu Laksmita Sari 193
Hikikomori: Penyakit Sosial ataukah Gaya Hidup?
Ngurah Indra Pradhana 204
Daya Situasi Tuturan
I Nengah Sukartha 212
Glokalisasi Kerajinan Patung di Bali.
Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini
dan I Made Rajeg 225
Relasi Politik dan Perkembangan Bahasa Belanda Di Hindia Belanda Abad XIX.
Sulandjari 243
Kotodama sebagai Kearifan Lokal Masyarakat
Jepang dalam Berucap.
Ni Putu Luhur Wedayanti 255
iii
Desa Sanur dalam Perspektif Sejarah Budaya.
I Wayan Srijaya 263
Sikap Budaya dan Sikap Bahasa: Implikasinya
Dalam Pemertahanan Bahasa Bali.
Putu Sutama 275
Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia:
Sebuah Kajian Subkategorisasi.
I Wayan Teguh 282
Sejarah Terjadinya Republik Demokratik Timor
Leste dan Bahasanya: Sekilas Lintas.
Ketut Riana 293
Diskriminasi Cerita Calonarang terhadap Citra
Ibu dalam Masyarakat Bali.
I Nyoman Duana Sutika 308
Peranan Karya Tulis Ilmiah dalam Bahasa Indonesia
dan Analisis Permasalahan Penulisan Karya Ilmiah.
Ni Wayan Arnati 322
Dewa Nini: Ikon Dewa Dewi Kesuburan dari Bali yang Semakin Langka.
I Wayan Redig 334
Geguritan Sucita Mwah Subudhi: Aspek Tema dan Nilai agama Hindu.
Luh Putu Puspawati 343
Menilik Pengaruh Kekuasaan Majapahit Berdasarkan
Motif Hias pada Tinggalan Arkeologi.
Rochtri Agung Bawono 359
Perilaku Sintaksis Kata Sifat Bahasa Bali Pada Tataran Frase.
Ni Made Suryati 367
Politik dan Gender: Kajian Wacana.
I Gusti Ngurah Parthama dan Ni Luh Kade Yuliani Giri 379
Kekuasaan Tokoh-tokoh dalam Novel Doben Karya
iv
Maria Matildis Banda: Kajian Reseptif.
Sri Jumadiah 387
Bsrêng Barong Using Kemiren:
Kearifan Tradisi, Penegasan Nilai Sakral dan Identitas Diri
Orang Using dalam Era Global.
Ketut Darmana 400
Sasmita: Cara Mengenali Pergantian Pupuh Dalam Tembang Macapat.
I Ketut Ngurah Sulibra 415
Sewa Bodha Keadaban Gelgel dalam Teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra.
Ida Bagus Rai Putra 430
Perkembangan Teater di Bali melalui Sosok Dramawan Abu Bakar
I Nyoman Darma Putra 456
Relasi Kuasa Dalam Novel Indonesia
Bertema Bali Karya Pengarang Non-Bali 478
I Made Sujaya
Arus Balik 'Tersingkap':Memikirkan Politik Dunia Nusantara
bersama Pramoedya dan Heidegger 486
Jeffrey Willever Jacobson
MENILIK PENGARUH KEKUASAAN MAJAPAHIT BERDASARKAN MOTIF HIAS PADA TINGGALAN ARKEOLOGI
Rochtri Agung Bawono Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana
rabawono@gmail.com
Abstrak
Kekuasaan Majapahit berdasarkan Kitab Negarakrtagama meliputi seluruh Nusantara, daratan Malaya, dan Brunei, tetapi wilayah inti Kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah dan seluruh Jawa Timur yang selalu dipimpin oleh keluarga raja, sedangkan wilayah di luar wilayah inti tidak disebutkan secara jelas penguasanya. Luasan pengaruh kekuasaan ini dapat diketahui berdasarkan motif hias yang terdapat pada tinggalan arkeologi yang diproduksi pada Masa Majapahit tersebut. Motif hias yang menjadi penciri pada Masa Majapahit yaitu surya (prabha) dan meander pita Majapahit.
Pengambilan sampel tinggalan arkeologi dilakukan secara acak mewakili daerah yang kemungkinan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit atau sesudahnya. Berdasarkan sebaran motif hias meander pita dan surya Majapahit yang terdapat pada tinggalan arkeologi diketahui bahwa konsentrasi terbanyak terdapat di Jawa Timur secara keseluruhan yang memperkuat dugaan bahwa wilayah ini mendapat pengaruh terkuat sehingga layak disebut sebagai wilayah inti Kerajaan Majapahit. Wilayah lain yang mendapat pengaruh kuat berdasarkan kedua motif hias tersebut yaitu Bali, sedangkan wilayah yang juga terdapat motif hias tersebut yaitu Cirebon, Palembang, dan Papua.
Kata Kunci: motif hias, meander pita, surya Majapahit, dan kekuasaan. 1. Pendahuluan
Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Nusantara yang dianggap
memiliki wilayah sangat luas bahkan melebihi wilayah Indonesia saat ini.
Berdasarkan Kitab Negarakrtagama (Desawarnnana) wilayah kekuasaan
Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk dicatat hingga Lemuri (Aceh) hingga
Wanin (Papua), termasuk Buruneng (Brunei), Hujung Medini, Pahang, Kelantan,
Trengganu, Johor, Kedah (Malaya), Tumasik (Singapura), dan Uda (Mindanau-
Philipina) (Muljana, 2006; Riana, 2009). Data pendukung luasan wilayah
Majapahit yaitu kitab Pararaton, Sejarah Melayu, Kidung Sunda, dan Babad
Tanah Jawi.
Bila ditelisik lebih jauh, luas wilayah Kerajaan Majapahit menunjukkan
hanya sebatas Provinsi Jawa Timur sekarang, dan sebagai Jawa Tengah yang
disebut sebagai kerajaan bawahan meliputi Daha, Wengker, Matahun, Lasem,
Pajang, Paguhan, Kahuripan, Singasari, Mataram, Wirabhumi, dan Pawanuhan
(Muljana, 2006). Seluruh kerajaan bawahan tersebut kekuasaannya dipegang oleh
keluarga Raja Majapahit, sedangkan wilayah lain tersebut disebut sebagai
Dwipantara atau Nusantara yang merupakan kerajaan vassal.
Luasnya kekuasaan tersebut selain diketahui dari data catatan seharusnya
juga didukung oleh data artefaktual yang mampu menunjukkan kehadiran
pengaruhnya di wilayah tersebut. Salah satu data arkeologi yang ingin ditelusuri
lebih mendalam untuk melihat pengaruh kekuasaan yaitu data ragam hias khas
Majapahit yang masih dapat ditemukan di lokasi-lokasi kekuasaan sebagai bukti
nyata kehadiran pengaruh Kerajaan Majapahit.
Ragam hias merupakan seni dekorasi yang terdapat pada setiap hasil karya
manusia. Perkembangan seni hias pada awalnya hanyalah sekedar memberikan
rasa keindahan (dekoratif) saja karena adanya bidang-bidang kosong pada setiap
bagian karya, tetapi pada perkembangan selanjutnya seni hias dianggap sebagai
identitas sang pembuat karya bahkan sebagai simbol dan memiliki makna yang
jauh lebih khusus.
Setiap periode memiliki ragam hias yang berkembang dibandingkan
dengan motif yang lain sehingga motif hias tersebut dapat disebut sebagai
langgam atau gaya motif hias dalam satu kurun waktu. Langgam atau gaya motif
hias yang berkembang dianggap sebagai penciri suatu periode atau kerajaan
tertentu. Seni hias yang merupakan bagian dari langgam tersebut dapat menjadi
pembeda setiap periode.
Berdasarkan uraian di atas maka tulisan ini bertujuan untuk mengungkap
pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit melalui motif hias yang berkembang
atau periode sesudahnya.
2. Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan
diperoleh data bahwa motif hias yang sangat berkembang pada Masa Kerajaan
majapahit yaitu surya (prabha) dan meander pita Majapahit (Bawono dan
Zuraidah, 2015; 2016).
Surya Majapahit merupakan simbol kebesaran kerajaan Majapahit yang
berupa lingkaran yang dikelilingi garis-garis atau susunan tumpak di luarnya.
Bentuk tersebut dianggap sebagai simbol matahari (raja-kerajaan) yang mampu
menerangi-mengayomi bumi (wilayah) dan sekaligus sebagai sumber penggerak
kehidupan. Bentuk surya beserta pancarannya juga digambarkan tidak bulat tetapi
memanjang ke bawah mengikuti bentuk tubuh arca dan penempatannya sebagai
latar belakang arca sehingga seolah-olah sebagai sinar yang muncul dari tubuh
arca dan dipahatkan di stella (sandaran arca). Pancaran surya dengan tipe ini
disebut juga sebagai prabha atau sinar kewibawaan (kemuliaan). Prabha berupa
surya Majapahit juga digambarkan bulat-lingkaran di belakang kepala menyerupai
Sirascakra (lambang kedewataan).
Motif hias kedua yaitu meander pita Majapahit yaitu lengkungan khas
menyerupai patra mesir (berkembang pesat di Cina) yang digambarkan pada
pinggir bidang dengan bentuk geometris yang tegas. Hiasan meander Majapahit
kemungkinan besar diambil dari ide lengkung atau gelombang daun teratai, karena
merupakan salah satu motif hias flora yang sering digunakan pada Masa
Majapahit. Istilah lain meander pita yaitu sulur pita Majapahit karena bentuknya
menyerupai sulur-suluran dengan gelombang yang teratur tetapi memiliki bentuk
yang sangat khas.
Kedua motif hias tersebut dianggap mewakili untuk melakukan
pengamatan terhadap tinggalan yang tersebar di seluruh Nusantara berupa
bangunan arsitektural atau artefak lepas. Semakin banyak motif hias surya
(prabha) dan meander pita Majapahit tersebut ditemukan dan kaya ragamnya
maka daerah tersebut memiliki pengaruh kekuasaan Majapahit yang sangat kuat
dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan inti.
3. Pembahasan
Pusat atau ibukota Kerajaan Majapahit berdasarkan penelitian para ahli
terletak di Trowulan Kabupaten Mojokerto Provinsi Jawa Timur. Bahkan Henry
Maclaine Pont telah melakukan pengamatan langsung terhadap tinggalan
purbakala dan menetap di Trowulan antara tahun 1921-1924 untuk
merekonstruksi istana Majapahit. (Sidomulyo, 2007; Munandar, 2008; Tim PATI,
2011; Rangkuti, 2012). Hingga saat ini wilayah Trowulan memiliki dan
ditemukan banyak tinggalan purbakala berupa candi, nisan, kolam, struktur
bangunan, keramik, terakota, logam, prasasti, yoni, dan arca.
Temuan batu berpahatkan surya Majapahit ditemukan di Trowulan dengan
berbagai variasi, diantaranya merupakan koleksi Pusat Informasi Majapahit (PIM)
dan Museum Nasional Jakarta. Surya Majapahit koleksi PIM memiliki sudut
delapan mengelilingi lingkaran yang dipahatkan dewa penguasa 9 arah mata
angin, sedangkan surya Majapahit koleksi Museum Nasional berbentuk lingkaran
bersudut delapan menyerupai bentuk teratai dengan 8 dewa di antara helai sudut
pancarannya. Bentuk serupa juga ditemukan di Candi Cetho-Lereng Gunung
Lawu Jawa Tengah dengan bentuk bulat bersudut 9 dan terdapat untaian mutiara
yang melingkar pada bagian tengahnya.
Bentuk lain surya Majapahit yang dipahatkan pada bangunan juga
ditemukan di Candi Angka Tahun dan Candi Rekonstruksi Panataran-Blitar,
Candi Sawentar-Blitar, Candi Jawi-Malang, Candi Kebo Ireng-Pasuruan, Candi
Bangkal-Mojokerto, dan Candi Rimbi-Jombang. Surya Majapahit ternyata juga
mempengaruhi ragam hias Islam khususnya pada nisan terdapat pada nisan-nisan
Troloyo dan kompleks makam Sunan Bonang.
Menarik untuk dilihat bahwa di luar wilayah tersebut, Bali memiliki
banyak hiasan surya Majapahit terutama pada bangunan-bangunan pura dan
artefak-artefak pendukung lainnya. Bahkan sebagian besar hiasan pada puri-puri
(istana) di Bali ditemukan unsur surya Majapahit. Hal ini disebabkan adanya
kepercayaan bahwa seluruh puri-puri di Bali merupakan keturunan dari
Majapahit.
Surya Majapahit dalam bentuk prabha pada arca hampir ditemukan di
seluruh wilayah Jawa Timur antara lain arca Parwati (Perwujudan Tribhuwana)-
Jombang, arca berpasangan-Tulungagung, arca pengendara-Tigowangi Kediri,
dan hampir seluruh arca koleksi PIM dan Museum Nasional yang berasal dari
Periode Majapahit sebagian besar memiliki prabha dimaksud.
Motif hias meander Majapahit merupakan bentuk khas kemungkinan besar
yang merupakan adopsi patra mesir yang berkembang di Cina, sering
digambarkan pada keramik dan artefak lepas lainnya. Meander dengan patra mesir
bentuknya patah-patah atau kaku, sedangkan meander pita Majapahit bentuknya
lebih dinamis menyerupai bentuk lengkungan. Bentuk yang dinamis tersebut
seolah-olah mengikuti bentuk lengkung pinggiran daun teratai. Ragam seni hias
berbentuk teratai sangat terkenal dan popular digunakan pada benda-benda seni
Kerajaan majapahit, bukan hanya benda-benda untuk kebutuhan istana, tetapi
masyarakat juga menggunakan motif teratai untuk menghiasinya.
Meander pita Majapahit dalam perkembangannya berbeda dengan seni
hias lainnya. Motif ini dianggap sebagai motif sacral dan hanya dijumpai pada
bangunan-bangunan suci (candi), arca dewa atau perwujudan, dan benda-benda
khusus untuk kalangan istana. Motif ini tidak dijumpai disemua temuan arkeologi
sehingga motif meander pita kemungkinan adalah simbol kebangsawanan atau
khusus untuk kalangan keluarga raja.
Motif meander pita Majapahit dapat dijumpai pada sebagian besar candi-
candi Periode Majapahit antara lain kompleks Candi Panataran-Blitar, Candi
Bajangratu-Trowulan, Candi Surowono-Kediri, Candi Jabung-Probolinggo, Candi
Rimbi-Jombang, Candi Jago-Malang, Candi Tigawangi-Kediri, Candi Surowono-
Kediri, Candi Penampihan (Asmorobangun)-Kediri, Candi Mirigambar-Kediri,
Jandi Jawi-Pasuruan, Candi Kedaton-Probolinggo, dan Candi-candi di
Penanggungan. Motif hias tersebut menghiasi pelipit candi, pinggiran panil,
pembatas antarrelief dalam satu panil, atau hiasan relief yang menyerupai awan,
air, atau batuan. Berbeda dengan kasus di Bali, meander pita yang dipahatkan
pada beberapa bangunan suci lebih menggunakan meander dengan tipe patra
Mesir yang berkembang di Cina. Walaupun demikian pengaruh meander tersebut
kemungkinan besar selain dari unsur seni Cina yang kuat juga pengaruh seni
Majapahit juga berpengaruh.
Bentuk meander pita Majapahit tidak hanya dipahatkan pada bangunan
tetapi juga pada benda seni lainnya. Temuan 4 yoni naga di Klinterejo, Lebak
Jabung, Japanan Sedah, dan Badas-Tugu (tersimpan Museum Nasional?) yang
dianggap sebagai batas Kota Majapahit terdapat hiasan meander pita Majapahit
dengan pemahatan yang mewah. Jika benar yoni tersebut dianggap batas resmi
negara maka motif hias meander pita Majapahit tersebut sangat layak dipahatkan
pada sisi-sisinya. Yoni lain yang terdapat hias meander pita ditemukan pula di
Krasaan-Probolinggo. Demikian temuan 4 umpak besar yang ditemukan di
Komplek Candi Penataran juga dipahatkan meander pita Majapahit tersebut.
Meander pita Majapahit pada unsur-unsur di Kompleks Candi Penataran menjadi
penting karena candi tersebut merupakan candi kerajaan yang selalu dikunjungi
oleh raja-raja Majapahit.
Arca-arca yang dibuat pada masa Majapahit terdapat meander (sulur) pita
Majapahit pada bagian-bagian tertentu menggantikan atau menyerupai hiasan
pita-kain. Demikian juga meander pita ini menjadi kekhasan terutama pada bagian
lipatan ujung kain di pinggang yang dipahatkan dalam arca. Arca-arca tersebut
antara lain arca yang terdapat di Candi Penataran, arca Wisnu-Kediri, arca
perwujudan Raden Wijaya, arca perwujudan Tribhuwana, Arca Suhita, dan masih
banyak arca lainnya di wilayah Jawa Timur. Demikian juga pada logam-logam
berupa arca, senjata, maupun perhiasan yang dibuat pada Masa Majapahit
sebagian menggunakan motif meander pita. Misalnya hiasan cakra temuan
Kebonsari-Pasuruan (koleksi Museum Nasional) juga menggunakan hiasan
meander pita Majapahit mengelilingi lingkar dalam cakra. Sebuah perak di
Palembang juga ditemukan dengan motif hias meander pita, kemungkinan
merupakan pengaruh seni hias Majapahit.
Meander pita Majapahit juga ditemukan melimpah pada terakota baik pada
selongsong pilar ataupun wadah terakota. Meander ini memiliki tipe yang
beragam baik berupa patra Mesir ataupun meander awan yang sering dipahatkan
pada bangunan-bangunan suci. Kemelimpahan tinggalan terakota dengan ragam
hias meander pita Majapahit sangat mendukung data bahwa Trowulan dianggap
sebagai pusat kerajaan atau Ibokota Majapahit.
Sebuah kotak kayu kuno dari Cirebon juga memiliki hiasan awan-awan
yang dikenal pula sebagai meander pita tetapi dalam bentuk yang sedikit berbeda,
hiasan seperti itu terdapat pula pada candi-candi di Jawa Timur dari Periode
Majapahit. Seluruh pinggir papan kayu tersebut terdapat meander pita Majapahit
dengan menyerupai seni gaya Bali. Bentuk sejenis juga terdapat pada warangka
keris kuno dari Cirebon yang digambarkan seperti batu-batuan sehingga berbeda
dengan meander awan yang biasanya diletakkan di pinggir. Meander ini terletak
di tengah-tengah warangka dan menyatu dengan sulur-suluran tanaman.
Sangat menarik untuk didalami lebih lanjut yaitu temuan benda-benda ukir
berbahan kayu di Papua yang memahatkan motif hias meander pita Majapahit
pada seruit besar, haluan perahu dari Papua Utara, dan Pelenting dari Teluk Tanah
Merah (van der Hoop, 1949). Pemahatan meander pada ukiran-ukiran kayu
mengingatkan kembali pada kekuasaan Majapahit hingga Wanin (Papua) seperti
yang tertera dalam Negarakrtagama. Adanya motif hias meander pita Majapahit
mendukung pernyataan bahwa pengaruh kekuasaan Majapahit terbentang hingga
Papua yang merupakan bagian ujung timur dari Nusantara.
4. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah
yang memiliki motif hias surya (prabha) dan meander pita Majapahit paling
banyak yaitu wilayah Jawa Timur dan sebagian timur Jawa Tengah baik yang
terpahatkan pada bangunan candi, struktur bangunan, dan artefak lepas.
Kemelimpahan dan keragaman kedua motif hias tersebut terdapat di Trowulan-
Mojokerto sehingga menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan pusat
kebudayan Majapahit sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjuk
sebagai Ibukota Majapahit. Wilayah lain seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang,
Kediri, Blitar, Tulungagung, Jombang, dan Karanganyar merupakan wilayah inti
kerajaan Majapahit karena terdapat pahatan kedua motif pada bangunan suci dan
arca dewa-perwujudan, sehingga wilayah ini selalu menjadi tempat keluarga inti
memimpin di kerajaan bawahan tersebut.
Wilayah Bali merupakan wilayah yang mendapat pengaruh kedua motif
hias tersebut sangat besar selain Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pengaruh ini tidak
menjadikan Bali di pimpin oleh keluarga inti raja Kerajaan Majapahit tetapi masih
menganggap sebagai keturunan langsung dari orang Majapahit. Tinggalan kedua
motif hias juga dijumpai di Palembang, Cirebon, dan Papua menunjukkan bahwa
pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit menjangkau daerah tersebut.
Daftar Pustaka
Bawono, RA dan Zuraidah. 2015. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar Budaya Periode Majapahit sebagai Desain Pengembangan
Usaha Batik”. Laporan Penelitian-Tahun Kedua. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Bawono, RA dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit” disampaikan dalam Seminar Nasional Seri Bahasa, Sastra, dan Budaya di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana pada tanggal Senin, 29 Februari 2016
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Jakarta: LKiS Yogyakarta.
Munandar, Agus Aris. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu
Rangkuti, Nurhadi. 2012. “Batas Kota Majapahit”. Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Hal: 4-21. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.
Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Tim PATI I. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I. Jakarta: FIB UI.
Van der Hoop, A.N.J.Th. 1949. Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Koninklijk Bataviaasch Genootschap.
rsBr{ 9?8-602-294-143-9
llll il lt lilll]ilillllllt ililgttt B6OZ?ttg h1 43gtt
tldayana lJniversityPress