Post on 11-Dec-2015
description
REFRAT
RHINITIS ALERGI
DISUSUN OLEH :HILYATUS SHALIHAT, S.KED
1102010125
PEMBIMBING :DR. MOH. ANDI F, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN ILMU THTRS TK II MOH RIDWAN MEURAKSA JAKARTA
RINITIS ALERGI
1. PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari
600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40
juta warganya menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang
pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan
cukup tinggi (5,8%).2
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi.1
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media, dan
sinusitis paranasal, asma bronchial, gangguan fungsi tuba eustachius.1
2
2. ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (hip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit dan
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung . Kerangka tulang terdiri dari :
1. tulang hidung (os nasal)
2. prosessus frontalis os nasal
3. prosessus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung , yaitu :
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor)
3. tepi anterior kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.1
3
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :
1. lamina perpendikularis os etmoid
2. vomer
3. Krista nasalis os maksilaris
4. Krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan adalah :
1. Kartilago septum
2. kolumela
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalh
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan yang terkecil adalah
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus, yaitu :
1. meatus inferior, terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral ronggga hidung. Pada meatus inferior terdapat pula muara
(ostium) duktus nasolakrimalis.
4
2. meatus medius, terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior.
3. meatus superior merupakan ruangan di antara konka superior dan konka media.
Terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung :
1. dinding anterior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum
2. dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kibriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kibriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus uncinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
Perdarahan hidung, pada bagian atas rongga hidung mendapat
perdarahan a.Etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah rongga hidung
mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Persarafan hidung bagian depan dan atas rongga hdung mendapat
persarafan sensoris dari n.Etmoidalis anterior. Rongga hidung lainnya , sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n.Maksilaris melaui ganglion
sfenopalatina. Fungsi penghidu berasal dari n.Olfaktorius.
5
3. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut.1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejalabersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
4. EPIDEMIOLOGI
Meskipun insiden rhinitis alergi yang tepat tidak diketahui, tampaknya
menyerang sekitar sekitar 10 % dari populasi umum. Dapat timbul pada semua
golongan umur, terutam anak dan dewasa, namun berkurang berkurang dengan
bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin,
golongan etnis dan ras tidak berpengaruh.1
5. ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah allergen inhalan (dewasa) dan allergen ingestan
(anak-anak). Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Dipeberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan
cara masuknya, allergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara pernafasan,
misalnya tungau debu rumah, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan
serta jamur.
2. Alerge ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.
6
6. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergika merupakan suatu penyakit inflamasi ang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi laergi
terdiri dai 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Cepat(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlansung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.3
Pada kontak pertama dengan alergn atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah dip
roses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MC kelas II yang kmudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti IL I yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berprolifersi menjadinTh
1 dan Th 2.3
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sepertin IL 3, IL 4, IL 5, dan IL
13, IL 4 da IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan
sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E
akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama
histamin. Selain histamin juga di keluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2, Leukotrien C4, bradikinin, Platelet Activating Factor dan
berbagai sitokin (IL3,IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF) dan lainlain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).4
Histamin akan merangsang reseptor III pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin2. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
7
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain itu, histamine juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran ICAM I.4
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinifil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan.Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4,IL 5 dan
GM-CSF dan ICAM I pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinohilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik, iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembapan udara yang tinggi.4
7. GAMBARAN HISTOLOGIK
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan sub mukosa.2
Di luar serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi persisten sepanjang tahun, sehingga terjadi perubahan irreversible, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa sehingga tampak mukosa
hidung menebal. 2
Dengan masunya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi berupa :
1. Respon primer, yaitu proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag).
Bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil selurunya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder, yaitu reaksi bersifat spesifik. Yang mempunyai 3
kemungkinan yaitu : system imunitas seluler atau humoral atau kedua-
8
duanya dibangkitkan. Bila Ag dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tertier.
3. Respon tertier, yaitu reaksi imunologik yang terjadi yang tidak
menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap,
tergantung dari daya eleminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu :
1. Tipe 1 (reaksi anafilaksis/immediate hypersensitifity)
2. Tipe 2 (reaksi sitotoksik)
3. Tipe 3 (reaksi kompleks imun)
4. Tipe 4 (delayed hypersensitivity).
8. KLASIFIKASI
Berdasarkan sifat berlangsungnya :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal), terjadi pada Negara dengan 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial), timbul intermitten atau terus
menerus, tanpa variasi musim, timbul sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering adalah alergen inhalan. Gangguan fisiologik pada golongan
perennial lebih ringan dibandingkan golongan musiman tetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.1
Klasifikasi WHO :
1. Intermitten : bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu.
2. Persisten : bila gejala lebih dari 4 hari /minggu dan lebih dari 4 minggu.
Berdasarkan berat ringannya penyakit :
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
9
9. GEJALA KLINIK
1. Serangan bersin berulang lebih dari 5 kali dalam satu kali serangan.
2. Rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
kadang disertai lakrimasi.
3. Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit berlangsung lama(lebih
dari 2 tahun) adalah bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner)
akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering
menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute).
Lama- lama akantimbul garis melintang di dorsum nasi seperti bawah
bawah (allergic crease).
4. Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria, atau eksim.
10. DIAGNOSIS
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal yang kadang disertai dengan banyaknya air mata kelur
(lakrimasi).2
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah
allergic shiner, allergic salute, dan allergic crease, serta facies adenoid.
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).3
3. Pemeriksaan Penunjang
Hitung jenis : peningkatan kadar Ig E
RAST (Radio Immuno Sorbent Assay Test)
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test)
Pemeriksaan stologi hidung
10
Prick test
Skin End-point Titration (SET)
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT)
Diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test)
11. DIAGNOSIS BANDING
1. Rinitis non alergi
2. Rinitis infeksiosa
3. Common cold
12. PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya.1
2. Medikamentosa
Antihistamin, dianjurkan AH-1 karen a bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sl target. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa, dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal.
Preparat kortikosteroid, diberikan bila respon fase lambat tidak
berhasil diatasi dengan pengobatan sebelumnya.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.2
3. Operatif
Tidakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.3
4. Imunoterapi
11
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari adalah pembentukan IgG
bocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang
umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.3
13. KOMPLIKASI
Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah :
1. Polip hidung
Alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknyapolip
hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis Paranasal.
DAFTAR PUSTAKA
12
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa
Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm
6-11.
3. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
4. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, N I. Pengaruh Rinitis Alergi
(ARIA WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius.
Cermin Dunia Kedokteran 166 volume 37 (7). 2008; 405-410.
5. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC. 2006; 803-805.
13