Post on 22-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat.
Anatomi dari abses leher dalam sangat komplek, sehingga sulit untuk menentukan lokasi
infeksi. Untuk membuat diagnosis dari abses leher dalam cukup sulit karena abses ini ditutupi
oleh beberapa jaringan lunak yang ada pada leher dan juga sulit untuk mempalpasi serta
menginspeksi dari luar.
Angka kejadian abses submandibula berada di bawah abses peritonsil dan retrofaring.
Namun dewasa ini, angka kejadiannya menduduki urutan tertinggi dari seluruh abses leher
dalam. 70 – 85% dari kasus disebabkan oleh infeksi dari gigi, selebihnya karena sialadenitis,
limfadenitis, laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Selain itu, angka kejadian juga
ditemukan lebih tinggi pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap. Komplikasi
yang paling tinggi mortalitasnya pada abses leher dalam adalah mediastinitis. Mortalitas
mediastinitis di Amerika serikat bervariasi antara 19 - 47 %, pasien sering membutuhkan
perawatan di ICU dan proses pemulihan yang lama. Mediastinitis akut dapat berkembang
menjadi fulminan dan tak berespon walau dengan terapi yang adekuat.1
1.2 Batasan masalah
Pada referat ini dibahas tentang abses leher dalam dan komplikasinya pada mediastinum.
1
1.3 Tujuan penulisan
Untuk menambah wawasan penulis mengenai abses leher dalam dan komplikasinya pada
mediastinum.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang dirujuk dari berbagai literatur.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Abses leher dalam adalah kumpulan nanah (pus) yang terbentuk dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penyebaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
sinus paranasal, leher, telinga dll.Penyebaran infeksi dapat terjadi secara langsung, hematogen,
atau limfogen. Abses leher dalam dapat dibagi sesuai letak abses yaitu abses peritonsiler,
parafaring, retrofaring, mastikator, submandibula, submental, sublingual dan sebagainya.1-4Abses
leher dalam dapat mengenai salah satu ruang potensial atau lebih.2-4
Sejak ditemukan antibiotika angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian
(mortalitas) kasus abses leher menurun drastis, walaupun demikian abses leher dalam tetap
merupakan salah satu kegawatan di bidang THT.Keterlambatan diagnosis atau terapi yang tidak
sesuai dan tidak adekuat dapat mengakibatkan komplikasi membahayakan seperti mediastinitis
yang akan menyebabkan risiko kematian sebesar 40 %.2-4
Diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang anatomi fasia dan ruang potensial leher
secara baik, serta faktor penyebab abses leher dalam untuk dapat memperkirakan perjalanan
penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.2-4
2.2 Anatomi
3
Gambar 1. Anatomi ruang leher dalam1
Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal terdiri
dari fasia servikal superficial (superficial fascia) dan fasia servikal profunda (deep fascia) yang
dipisahkan oleh m.platisma. Fasia servikal superficial terletak di bawah kulit leher, terdiri dari
pembuluh darah dan saraf superficial. Sedangkan fasia servikal profunda terbagi menjadi 3
bagian, yaitu lapisan luar (external layer), lapisan tengah (visceral/ pretracheal layer) dan
lapisan dalam (posterior/ prevertebral layer).2-6
4
Ruang Retorfaring
Ruang retrofaring merupakan ruang potensial yang terletak diantara lapisan media fasia
servikal profunda yang mengelilingi faring dan esophagus disebelah anterior serta bagian alar
lapisan fasia servikal profunda disebelah posterior. Di superior berbatasan dengan dasar
tengkorak dan di inferior berbatasan dengan vertebra torakal pertama atau kedua. Ruang ini
berisi kelenjar getah bening retrofaring.2-4
Ruang Parafaring
Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal lateral atau
ruang perifaring. Ruang parafaring dibagi dua yaitu ruang parafaring anterior dan posterior.
Ruang parafaring anterior berbatasan dengan dasar tengkorak di bagian superior dan angulus
mandibul dibagian inferior. Disebelah anteromedial berbatasan dengan fasia bukofaringeal
sedangkan sebelah posterior berbatasan dengan fasia yang melapisis muskulus stiloid dan
dinding anterior selubung karotis. Fasia yang melapisi muskulus pterigoid internus merupakan
batas anterolateral sedangkan ligamentum stilomandibula merupakan batas posterolateral. Di
bagian posteromedial berbatasan dengan fasia alar. Ruang parafaring anterior berisi kelenjar
limfe dan jaringan ikat.2-4
Ruang parafaring posterior dibentuk oleh selubung karotis. Dasar tengkorak merupakan
batas superior dan ruang leher visera merupakan batas inferior. Di sebelah lateral berbatasan
dengan fasia parotis sedangkan disebelah medial berbatasan denagn fasia yang membatasi ruang
retrofaring. Ruang parafaring posterior berisi a.Karotis interna, v.jugularis interna, a. faring
asenden, n.hipoglosus, n.vagus dan n.glosofaringeus.2-4
Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submental dan submaksila. Ruang
sublingual dibatasi oleh mandibula dibagian anterior dan lateral. Lidah merupakan batas superior
sedangkan muskulus milohioid merupakan batas inferior. Di dalam ruang sublingual terdapat
kelenjar liur sublingual beserta duktusnya.2-4
Ruang submental berbatasan dengan fasia leher dalam dan kulit dagu di sebelah anterior.
Batas superior adalah muskulus milohioid anterior dan batas inferior adalah tulang hioid.
Muskulus digastrikus anterior merupakan batas lateral. Di dalam ruang submental terdapat
kelenjar limfe submental.2-4
5
Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjar liur submaksila atau submandibula beserta
duktusnya yang berjalan ke posterior melalui tepi posterior muskulus milohioid kemudian masuk
ke ruang sublingual. Batas superior ruang submaksila adalah muskulus milohioid dan muskulus
hipoglosus. Di sebelah inferior berbatasan dengan lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher
dan dagu. Batas medial ruang submaksila adalah muskulus digastrikus anterior dan batas
posterior adalah muskulus stilohioid serta muskulus digastrikus posterior.2-4
Ruang Parotis
Fasia superfisial leher dalam melapisi kelenjar parotis dan berhubungan dengan kelenjar
limfe membentuk ruang parotis. Fasia ini tidak menutup secara rapat pada bagian atas kelenjar
sehingga terdapat hubungan langsung dengan ruang parafaring. Arteri karotis interna, v.fasialis
serta n.fasialis melalui ruang ini.2,3
Ruang mastikator
Ruang mastikator berisi ramus pterigoid dan badan mandibula, tendon muskulus
temporalis, muskulus maseter saraf serta pembuluh darah alveolaris anterior. Terletak di sebelah
anterior dan lateral ruang parafaring serta sebelah inferior ruang temporal.2,3
Ruang peritonsiler
Di sebelah medial, ruang peritonsil berbatasan dengan tonsil palatina dan disebelah
lateral berbatasan dengan muskulus konstriktor faring superior. Batas superior, inferior, anterior
dan posterior adalah pilar anterior serta pilar posterior tonsil.2,3
Ruang Temporal
Terletak di antara fasia temporalis dan tulang temporalis. Muskulus temporalis membagi
ruang ini menjadi 2 bagian yaitu bagian superfisial dan profunda. Di dalamnya terdapat
a.maksilaris interna dan pembuluh darah serta saraf madibula.2,3
2.3 Epidemiologi
6
Parhiscar dan Har-El7, melakukan penelitian retrospektif pada 210 kasus abses leher
dalam dari tahun 1991-1998. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan jumlah kasus
abses parafaring menempati urutan pertama(43%), diikuti abses mandibula(28%), Ludwig’s
Angina (17%) dan abses retrofaring (12%). Sethi dan Stanley8 melaporkan pada periode Januari
1991-juli 1989 terdapat 55 kasus abses leher dalam dengan angka kematian 22%. Fachruddin9
melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-Desember 1993 di Bagian THT
FK-UI RSUPN-CM , usia berkisar antara 15-35 tahun terdiri dari 20 pasien laki-laki dan 13
wanita.Angka kekerapan abses leher dalam mulitipel belum diketahui secara pasti. Di poliklinik
Sub-Bagian Laring Faring FK-UI RSUPN-CM, periode I Januari 2002 – 31 Maret 2002 didapat
6 kasus abses leher dalam dan 1 kasus diantaranya merupakan abses leher dalam multipel.
2.4 Etiologi
Sebelum ditemukan antibiotik, tujuh puluh persen dari kasus abses leher dalam
disebabkan oleh penyebaran infeksi yang berasal dari faring dan tonsil. Setelah ditemukan
antibiotika , infeksi gigi merupakan sumber infeksi terbanyak yang merupakan infeksi leher
dalam. Penyebab lain dari abses leher dalam adalah infeksi yang berasal dari kelenjar liur,
saluran saluran nafas bagian atas, sinus paranasal , kelenjar tiroid, telinga tengah , trauma infeksi
lokal rongga mulut dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada tonsilektomi dengan
anastesi lokal. Dua puluh persen kasus abses leher dalam tidak diketahui penyebabnya. Pada
anak-anak penyebab tersering adalah tonsilitis akut dan infeksi gigi.2-4,6,10
Sebagain besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran beberapa jenis kuman aerob
maupun anaerob. Dari golongan aerob penyebab terbanyak adalah kuman Streptokokus,
Stafylokokus, Dipthteriodes dan Neiseria. Sedangkan dari golongan anaerob penyebab tersering
adalah Bakterioides, Peptostreptokokus, Eubakterium, Fusobakterium dan Pseudomonas.2-4,11
2.5 Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, gejala
klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinik yang ditimbulkan sesuai
dengan letak ruang leher dalam yang terkena. Pada kasus demikian pemerikasan penunjang
memegang peranan penting.2-5
7
Foto jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang
terpenting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah sub kutis, cairan di dalam jaringan lunak
leher. Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara selulitis
dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto thoraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah bening hilus.2-5
Pemeriksaan Tomografi Komputer (CT-scan) dapat membantu menggambarkan lokasi
dan perluasan abses. Pada gambaran CT-scan dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah,
peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak sekitar abses.
Pemeriksaan pencitraan magnetik resonans(MRI) memberikan gambaran peningkatan densitas
pada jaringan yang mengalami inflamasi dibandingkan dengan jaringan normal. Pemeriksaan
MRI relatif mahal dan tidak setiap rumah sakit mempunyai alat ini, sehingga pemeriksaan MRI
pada kasus abses leher dalam bukan merupakan prosedur baku. Ultrasonografi (USG) adalah
sarana penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif murah. USG digunakan sebagai
pemandu pada saat aspirasi atau drainase abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan
untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian antibiotik yang sesuai.2,3,12
Abses peritonsil
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan dan
hipersalifasi. Nyeri telinga dan sengau juga dapat terjadi pada abses ini. Pada pemeriksaan fisik
terdapat trismus, uvula terdorong ke sisi yang sehat. Tonsil edema, hiperemis dan kadang-kadang
terdapat detritus. Palatum edema dan hiperemis.Untuk memastikan diagnosis dilakukan pungsi
dan aspirasi pus dari tempat yang paling menonjol atau berfluktuasi. 2-4
Abses retrofaring
Abses retrofaring biasanya ditemukan pada anak yang berusia tiga bulan sampai lima
tahun. Pada bayi dan anak-anak ruang retrofaring mengandung kelenjar getah bening masing-
masing 2-5 buah terletak di kanan dan kiri setinggi vertebra servikal dua tiga, yang terdapat
aliran dari hidung, sinus paranasal, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah.2-4
Penyebab abses retrofaring, sebagian besar kasus adalah penjalaran infeksi dari rongga
mulut dan tenggorok. Gejala klinis berupa demam, pembengkakan di daerah leher,pergerakan
8
leher yang terbatas, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagi. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan
pembengkakan dinding posterior faring, pembesaran getah bening leher dan posisi kepala
hiperekstensi serta miring sisi yang sehat. Pada kasus yang berat dapat disertai dengan sumbatan
jalan nafas.2-4
Penelitian Wholey yang dikutip dari Scoot2, Shumrick3, Facruddin4 menyimpulkan bahwa
foto jaringan lunak leher juga didapatkan penebalan jaringan lunak leher ukuran lebih dari 7 mm
pada vertebra servikal ke dua (retrofaring) baik pada anak maupun dewasa. Tebal jaringan lunak
setinggi vertebra servikal ke enam (ruang retrotrakea) lebih 14 mm pada anak dan 22 mm pada
dewasa, menunjukan adanya proses patologik di retrofaring. Pemeriksaan CT-Scan membantu
menentukan batas-batas dan perluasan abses.
Abses Parafaring
Gejala klinik abses parafaring berupa demam, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan pembengkakan daerah perimandibula, trismus, pendorongan
dinding lateral faring ke medial, edema uvula, palatum mole dan pilar tonsil. Tanda-tanda abses
parafaring anterior dan posterior dapat dibedakan sebagai berikut :
1.Abses parafaring anterior
a.trismus, karena iritasi pada muskulus pterigoid medialis/internus,
b. Pembengkakan dan indurasi di belakang angulus mandibula atau di ujung bawah
glandula parotis,
c. Prolaps tonsil dan fossa tonsilaris karena terdesak ke arah medial.
2. Abses parafaring posterior
Terutama ditandai dengan pembengkakan di posterior plika palatoglossus,
pembengkakan pada lateral faring bagian posterior dan pembengkakan daerah parotis, tanpa
trismus dan prolaps tonsil.10
Apabila terjadi komplikasi, di samping tanda-tanda tersebut di atas dapat dijumpai juga
gejala-gejala meningitis, perdarahan dari a. Karotis interna, trombosis v. Jugular interna, sesak
nafas atau asfiksi bila abses meluas ke laring atau terjadi mediastinitis.2-4
9
Pada pemeriksaan foto polos leher bisa didapatkan pergeseran trakea ke anterior an
pembengkakan jaringan lunak leher. Penggunaan CT-Scan sangat membantu mendiagnosis
abses leher dalam, karena dapat membedakan abses dengan massa tumor atau selulitis serta
keterlibatan pembuluh darah. CT-Scan pada abses parafaring dapat berupa gambaran kistik
tunggal atau multiokulasi, densitas rendah ,udara atau cairan pada abses dan pemeriksaan dengan
kontras terdapat penyengatan pada dinding abses.2,3,9,10,12
Abses submandibula
Pada abses submandibula terdapat gejala demam, nyeri tenggorok, sukar menelan dan
trismus. Daerah submandibula edema,hiperemis dan nyeri tekan. Jika lidah terangkat dan
terdorong ke posterior dapat terjadi sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan foto polos leher terdapat
gambaran penebalan jaringan lunak leher. Untuk memastikan diagnosis dilakukan pungsi dan
aspirasi pus dari tempat yang paling berfluktuasi. 2-4
Abses parotis
Infeksi ini sering terjadi pada pasien-pasien dehidrasi dan kebersihan mulut yang buruk.
Terdapat nyeri di daerah nggulus mandibula tetapi tidak terdapat trismus.2-4
Abses mastikor
Infeksi di ruang ini kebanyakan berasal dari infeksi gigi. Terdapat trismus akibat iritasi
muskular maseter dan pembengkakan di daerah mandibula. Infeksi dapat menyebar ke ruang
temporal, parotis dan parafaring.Selain gejala infeksi umum juga terdapat nyeri di daerah
muskulus temporalis dan trismus. 2-4
2.6 Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada abses leher dalam sebagai akibat keterlambatan
diagnosis, penatalaksanaan yang tidak tepat dan tidak adekuat. Penjalaran infeksi ke daerah
karotis dapat terjadi dan menimbulkan erosi sarung karotis dan menyebabkan perdarahan.
Adanya trombosis atau emboli v. jugularis interna dapat dikenali dengan adanya gejala demam,
nyeri sepanjang muskulus sternokleidomastoideus, hiperpireksia dan tanda-tanda sepsis. Emboli
dapat menyebar ke paru-paru dan menimbulkan abses paru. Jika infeksi menyebar ke rantai 10
simpatis atau saraf kranial dapat terjadi sindroma Horner. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah osteomielitis mandibula, osteomielitis vertebra, mediastinitis, dan dehidrasi. Komplikasi
pembedahan antara lain kerusakan sistem vaskuler, infeksi, aspirasi, septikemia dan
pembentukan jaringan parut.2-4
2.7 Komplikasi ke mediastinum
Mediastinum adalah ruang ekstrapleura yang dibatasi sternum di sebelah depan, kolumna
vertebralis di sebelah belakang, pleura mediastinal di sebelah lateral kiri dan kanan, di superior
oleh thoracic inlet dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri dari tiga area :
anterosuperior mediastinum, middle mediastinum, posterior mediastinum. Mediastinitis adalah
peradangan di daerah mediastinum yang terdiri dari mediastinitis akut dan kronik. Mediastinitis
akut adalah penyakit yang jarang dan diagnosis dini pada penyakit ini amat sukar. Mediastinitis
akut dapat dibagi menjadi supuratif (abses) dan nonsupuratif. Mediastintis supuratif disebut juga
mediastinitis flegmonia lebih sering didapatkan, penyebarannya dapat terlokalisasi atau difus
dengan atau tanpa pembentukan abses.2-4
Komplikasi yang paling tinggi mortalitasnya pada abses leher dalam adalah mediastinitis.
Mortalitas mediastinitis di Amerika serikat bervariasi antara 19 - 47 %, pasien sering
membutuhkan perawatan di ICU dan proses pemulihan yang lama. Mediastinitis akut dapat
berkembang menjadi fulminan dan tak berespon walau dengan terapi yang terbaik. Mediastinitis
dapat berkembang menjadi Descending Necrotizing Mediastiniti (DNM) akibat infeksi
orofaringeal yang menyebabkan sepsis di leher yang menyebar ke mediastinum melalui ruang -
ruang potensial di leher, pada jenis ini mortalitas dapat diatas 50%. Ruang potensial yang
terpenting adalah retrofaringeal atau retroviseral dengan batas anterior lapisan tengah fasia leher
dalam dan di posterior oleh fasia alar (lapisan dalam fasia leher), terletak di belakang hipofarings
dan esofagus dari dasar tengkorak sampai dengan mediastinum superior. Ruang ini merupakan
rute utama penyebaran infeksi orofaringeal ke mediastinum. Dinamika pernafasan
mempengaruhi penyebaran infeksi melalalui fasia tersebut. Fluktuasi tekanan negatif introtoraks
menarik udara, air liur, dan mikroorganisme tertarik ke dalam mediastinum menyebabkan infeksi
dan nekrosis, tetapi tidak seluruh infeksi mengikuti jalannya fasia leher dalam penyebarannya ke
mediastinum.2-4
11
2.8 Penatalaksanaan
Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan drainase. Barakate
dkk(2001) secara lebih terinci mengatakan bahwa penatalaksanaan yang adekuat suatu abses
leher dalam yang tergantung pada pengenalan proses sedini mungkin, pemberian antibiotik yang
tepat, mencegah dan mengatasi sumbatan saluran nafas dan perawatan yang intensif. Terapi
medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun kuman anaerob
dan simtomatis sesuai keluhan serta gejala klinik yang timbul. Pemberian cairan untuk
memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit sangat diperlukan.2-5,13
Pemberian antibiotik
Secara garis besar, antibiotika digolongkan berdasarkan susunan senyawa kimianya,
antara lain: golongan penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, aminoglikosida, makrolida,
linkosamid, polipeptida, sulfonamid dan trimetoptrim, metronidazole, kuinolon, sefalosporin dan
golongan lainnya.14-16
Pemilihan antibiotik yang ideal tentu saja harus didasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang sudah pasti (definitif therapy), tetapi hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Pada
sebagian besar kasus, diagnosis klinik dapat ditegakkan tetapi pemeriksaan mikrobiologi belum
diperoleh hasil maka pemberian antibiotik dapat dimulai dengan perkiraan ilmiah (educated
guess) atau secara empiris (empirical therapy).14
Di Sub-Bagian Laring Faring FK-UI RSUPN-CM, antibiotika harus segera diberikan
dalam dosis adekuat secara parenteral. Sebelum ada hasil kultur dan resistensi, diberikan
antibiotik berdasarkan pengalaman jenis kuman yang sering ditemukan yaitu untuk kuman aerob
dan anaerob.14
Penisilin G 300.000-1.200.000 unit/hari atau amoksisilin 25-30 mg/kgBB/hari atau
sefalosporin 25-50 mg/kgBB/hari atau gentamisin 20-80 mg 1-2 kali sehari. Metronidazol dapat
diberikan per infus, per rektal atau oral 3x 62,5-500 mg/hari. Pada infeksi tuberkulosis diberikan
tuberkulostatika.14
Drainase abses
Tindakan drainase dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau umum. Pada abses
peritonsil insisi dilakukan pada tempat yang paling berfluktuasi atau pada pertengahan garis yang
12
ditarik dari uvula ke gigi molar tiga atas pada sisi yang sakit. Luka insisi dilebarkan dengan
kuman dan pus dikeluarkan sebanyak-banyaknya. Bila infeksi sudah tenang dianjurkan untuk
dilakukan tonsilektomi.2-5
Tindakan drinase pada abses parafaring dilakukan dengan pendekatan
ekstraoral/eksterna. Insisi intraoral dapat dilakukan bila terdapat penonjolan ke dalalm rongga
faring. Drainase eksterna dilakukan dalam narkosis. Dengan terdapatnya trismus dan edema
faring akan menyebabkan kesulitan memasukkan pipa endotrakea sehingga mempersulit
prosedur pemeberian anestesi umum. Pada kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi
dngan anestesi lokal terlebih dahulu, untuk selanjutnya diberikan anestesi umum dan dilakukan
eksplorasi abses.2-5
Insisi yang dianjurkan pada drainase eksterna abses parafaring adalah teknik Mosher
(1929) yaitu insisi seperti huruf “T” yang dilakukan pada daerah kurang lebih 1-2 cm di bawah
dan sejajar dengan mandibula sampai di batas anterior muskulus sternokleidomastoideus
dilanjutkan dengan garis vertikal di sebelah anterior muskulus sternokleidomastoideus. Struktur
anatomi yang penting dan harus diidentifikasi adalah selubung karotis (carotid sheat), hal ini
disebabkan karena ketiga fasia leher dalam membentuk selubung karotis ini sehingga selubung
karotis disebut sebagai Lincoln highway of the neck. 2-6
Pada abses retrofaring insisi dilakukan dengan anestesi lokal atau narcosis. Untuk
mencegah aspirasi, posisi pasien tredelenberg dengan kepala hiperekstensi. Dilakukan pungsi
dan aspirasi pada bagian yang paling berfluktuasi kemudian dilakukan insisi vertikal sepanjang
daerah yang menonjol. Pasca tindakan yang sebaiknya dipasang pipa hidung-
lambung(nasogastric tube/NGT). 2-6
Insisi abses submandibula dilakukan pada garis tengah dibawah dagu sepanjang kurang
lebih 3 cm. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai mencapai ruang sublingual. Setelah
tindakan dipasang salir. 2-4
Pada abses mastikator insisi dibuat dibawah mandibula dan dilakukan pelebaran secara
tumpul hingga periosteum. Insisi pada abses parotis dilakukan di daerah yang paling menonjol
sejajar dengan cabang n. Fasialis. Drainase juga dilakukan dengan cara aspirasi. Pada abses
ruang temporal, insisi dibuat kurang lebih 3 cm di belakang kantus lateralis.2,3
13
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Abses leher dalam adalah kumpulan nanah (pus) yang terbentuk dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam.
2. Abses leher dalam dapat mengenai salah satu ruang potensial di leher atau menyebar
mengenai ruang potensial leher lainnya sehingga terjadi abses leher dalam multipel.
3. Komplikasi yang paling tinggi mortalitasnya pada abses leher dalam adalah mediastinitis.
4. Penatalaksanaan yang adekuat tergantung pada pengenalan proses secara dini, antibiotika
yang tepat, mencegah dan mengatasi sumbatan saluran nafas, drainase abses serta
perawatan yang intensif.
3.2 Saran
Seorang dokter, merupakan kompetensinya untuk dapat mengetahui , mendiagnosis, dan
mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus – kasus pasien abses leher dalam dengan
komplikasi ke mediastinum
15
16