Post on 22-Jun-2015
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul
“Tigkah Laku Prososial”.
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai dasar tingkah laku prososial, tahap-
tahap perilaku menolong, respons terhadap keadaan darurat, pengaruh internal dan eksternal
dalam menolong serta komitment jangka panjang terhadap tingkah laku prososial.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang tingkah laku
prososial secara mendalam yang akan di deskripsikan dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkompeten.
Tangerang, 9 November 2013
Penyusun
1
MATERI
1. Pengertian Tingkah Laku Prososial
Tingkah laku prososial merupakan suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada
orang yang melakkukan tindakann tersebut dan mungkin bahkan melibatkan suatu
risiko bagi orang yang menolong.
Deaux, Dane dan Wrightsman mengatakan bahwa dalam tingkah laku
menolong yang lebih diutamakan adalah kepentingan orang lain dibandingkan
kepentingan sendiri terutama dalam situasi darurat1.Contoh dari tingkah laku
menolong yang paling jelas menurut (Batson, 1981 dalam Sarwono, 2009) adalah
alturisme, yaitu suatu motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain yang
berupa tindakan seseorang untuk memberikan bantuan pada orang lain yang tidak
bersifat mementingkan diri sendiri (selfess) melainkan untuk kebaikan orang lain
(selfish).
2. Teori Tingkah Laku Prososial
Beberapa teori yang mengkaji tingkah laku prososial, diantaranya :
2.1 Teori Evolusi
Menurut teori evolusi inti dari kehidupan adalah kelangsungan hidup gen. Gen
dalam diri manusia telah mendorong manusia untuk memaksimalkan kesempatan
berlangsungnya suatu gen agar tetap lestari.
a. Perlindungan Kerabat (kin protection)
“Kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepanjang galah” pribahasa tersebut
menunjukkan bahwa kasih sayang orang tua kepada anaknya tidak akan
pernah putus. Orang tua akan selalu siap untuk memberikan bantuannya
kepada anak, walau harus mengorbankan kepentingan dirinya demi anak-
anaknya. Menurut teori evolusi, tindakan orang tua ini adalah demi
kelangsungan gen-gen orang tua yang ada dalam diri anak. Orang tua yang
mengutamakan kesejahteraan anak dibandingkan dengan kesejahteraan dirinya
sendiri, gennya akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk bertahan dan
lestari dibandingkan orang tua yang mengabaikan anaknya (Myers, 1996
1 Deaux, Dane dan Wrightsman,1993 dalam Sarwono, 2009
2
dalam Sarwono, 2009). Hal ini berlaku juga untuk kerabat yan lebih jauh di
mana kedekatan gen-gen secara biologis membuat manusia terprogram secara
alami untuk lebih menolong orang yang masih tergolong kerabatnya.
b. Timbal-balik biologik (biological reciprocity)
Dalam teori evolusi terdapat prinsip timbal-balik, yaitu menolong untuk
memperoleh pertolongan kembali2. Seseorang menolong karena ia
mengantisipasi kelak orang yang ditolong akan menolongnya kembali sebagai
balasan dan bila ia tidak menolong maka kelak ia pun tidak akan mendapat
pertolongan.
2.2 Teori Belajar
Sumbangan teori belajar terhadap tingkah laku menolong ada dua teori yang
menjelaskan tingkah laku menolong, yaitu teori belajar sosial (social learning
theory) dan teori pertukaran sosial (social exchange theory).
a. Teori Belajar Sosial (social learning theory)
Dalam teori belajar sosial, tinkah laku manusia dijelaskan sebagai hasil proses
belajar terhadap lingkungan. Berkaitan dengan tingkah laku menolong,
seseorang menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap
model prososial. Dalam sebuah penelitian dilapangan, seorang wanita muda
(asisten peneliti) yang bannya kempes memarkirkan mobilnya disamping
jalan. Para pengendara yang lewat di jalan itu lebih banyak yang berhenti dan
menolong wanita ini jika sebelumnya mereka melihat situasi dimana ada
wanita lain yang punya masalah dengan mobilnya dan terlihat ada yang
menolong (Baron, Byrne dan Branscombe, 2006). Dalam kehidupan sehari-
hari, sering kali peminta sumbangan mencantumkan dalam daftar penyumbang
nama orang (fiktif) dan besar sumbangan yang diberikan dengan jumlah yang
cukup signifikan. Hal ini dimaksudkan agar mendorong calon penyumbang
untuk mau menyumbang dan sering kali cara ini berhasil.
Selain peranan model prososial di dunia nyata model-model prososial di media
juga cukup efektif dalam membentuk norma sosial yang mendukung tingkah
2 Sarwono, 2002 dalam Sarwono 2009
3
laku menolong. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak
cenderung merespons secara prososial setelah melihat model di media
melakukan tingkah laku menolong, maka sebaliknya model anti sosial dapat
menghambat tingkah laku menolong (Baron, Byrne dan Branscombe 2006).
Dengan demikian, seseorang dapat menjadi alturis karena lingkungan
memberi cotoh-contoh yang dapat di observasi untuk bertindak menolong.
Menurut teori belajar, apa yang tampak sebagai alturis sesungguhnya dapat
mempunyai kepentingan pribadi yang terselubung. Misalya, orang dapat
merasa lebih baik setelah memberikan pertolongan, atau menolong untuk
menghindari perasaan bersalah atau malu jika tidak menolong.
b. Teori Pertukaran Sosial (social exchange theory)
Menurut teori pertukaran sosial, interaksi sosial bergantung pada untung dan
rugi yang terjadi. Teori ini melihat tingkah laku sosial sebagai hubungan
pertukaran dengan memberi dan menerima (take and give relationship). Apa
yang dipertukarkan dapat berupa materi (berupa uang atau perhiasan) atau non
materi (misalnya penghargaan, penerimaan, prestasi).
Untuk menjelaskan tingkah laku menolong teori ini mengatakan bahwa
interaksi manusia mengikuti prinsip ekonomi, yaitu memaksimalkan ganjaran
(untung) dan meminimalkan biaya (rugi) yang disebut dengan strategi
minimax. Contohnya ketika seseorang ditawarkan untuk donor darah,
sebelum mendonorkan darahnya, ia akan menghitung untung ruginya. Bila
ikut mendonor, maka untungnya ia bisa mendapatkan penghargaan dari
lingkungan ataupun kepuasan batin karena telah berbuat baik, dan ruginya ia
harus menahan rasa sakit ketika disuntik. Sebaliknya jika ia tidak mendonor
maka ia tidak perlu menahan rasa sait karena disuntik namun ia tidak akan
mendapat penghargaan dari lingkunganya.
Sesuai dengan teori pertukan sosial, tingkah laku menolong juga bisa semata-
mata hanya untuk menutupi kepentingan pribadi seseorang. Misalnya
mendonor darah untuk mendapatkan pujian, bukan niat untuk menolong orang
yang membtuhkan. Dengan demikian, keuntungan dari tingkah laku menolong
dapat bersifat menolong untuk memperoleh imbalan dari lingkungan (external
self-rewards) atau menolong untuk mendapatkan kepuasan batin (internal self-
rewards).
4
2.3 Teori Empati
Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif dan
kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa
yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang mampu
memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya. Daniel Batson
(2008) menjelaskan adanya hubungan antara empati dengan tingkah laku
menolong serta menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari motivasi
alturistik.
1. Hipotesis Empati-alturistik (emphaty-altursm hypotesis)
Dalam hipotesis ini dikatakan bahwa perhatian yang empatik yang
dirasakan seseorang terhadap penderitaan orang lain akan menghasilkan
motivasi untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Motivasi
menolong ini bisa sangat kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam
aktivitas menolong yang tidak menyenangkan, berbahaya bahkan dapat
mengancam jianya (Batson, 2008 dalam Sarlito, Sarwono, 2009). Dengan
demikian, motivasi seseorang untuk menolong adalah karena ada orang
lain yang membutuhkan bantuan dan rasanya menyenangkan bila dapat
berbuat baik.
2. Model mengurangi perasaan negatif (negative-state-relief model )
Model mengurangi perasaan negatif dikemukakan oleh Caldini dan rekan-
rekannya dalam penelitiannya (1981 dalam Baron, Byrne dan Branscombe,
2006). Dalam teori ini dijelaskan bahwa orang menolong untuk
mengurangi perasaan negatif akibat melihat penderitaan orang
lain.Penderitaan ini tidak selalu harus merupakan akibat dari melihat
penderitaan orang lain. Seseorang bisa saja berada dalam suasana hati
yang negatif sebelum melihat orang yang kesusahan dan dengan menolong
diharapkan ia dapat mengurangi perasaan negatifnya tersebut. Dengan
demikian, tingkah laku menolong dapat berperan sebagai self-help agar
seseorang terbebas dari suasana hati yang tidak menyenangkan.
3. Hipotesis Kesenangan Empatik (emphathic joy hypothesis)
5
Tingkah laku menolong dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan
empatik.3 Dalam hipotesis tersebut, dikatakan bahwa seseorang akkan
menolong bila ia memperkirakan dapat ikut merasakan kebahagiaan orang
yang akan ditolong atas pertolongan yang diberikannya. Satu hal yang
paling penting disini adalah seseorang yang menolong perlu untuk
mengetahui bahwa tindakannya akan memberikan pengaruh yang positif
bagi orang yang ditolong. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali
seseorang menolong karena percaya bahwa pertolongannyaakan
memberikan hasil yang positif.
Dari tiga teori empati yang telah dijelaskan, terlihat bahwa kondisi afektif
seseorang merupakan elemen yang penting. Seseorang menolong karena
tindakannya akan meningkatkan perasaan positif dan mengurangi perasaan
negatif atas dirinya.
2.4 Teori Perkembangan Kognisi Sosial
Dalam merespons suatu situasi darurat (situasi yang membutuhkan
pertolongan), tentunya diperlukan sejumlah informasi yang harus direspons
dengan cepat aebelum seseorang memutuskan untuk memberikan pertolongan.
Dengan demikian, tingkah laku menolong melibatkan proses kognitif seperti
persepsi, penalaran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Pendekatan kognisinberfokus pada pemahaman yang mendasari suatu tingkah
laku sosial. Penelitian yang mengkaji hubungan antara perkembangan kognisi
sosial dengan tingkah laku menolong lebih difokuskan pada bagaimana
seorang anak memahami kebutuhan orang lain dan bereaksi membantunya.
2.5 Teori Norma Sosial
Norma merupakan harapan-harapan masyarakat yang berkaitan dengan
tingkah laku yang seharusnya dilakukan seseorang (Myers, 1996 dalam
Sarlito, Sarwono, 2009). Ada dua bentuk norma sosial yan memotivasi
seseorang untuk melakukan tingkah laku menolong yaitu: norma timbal-balik
(the reciprocity norm) dan norma tanggung jawab sosial (the social
responsibility norm).
3 Smith,dkk dalam Baron, Byrne dan Branscombe, 2006
6
1. Norma Timbal-Balik (the reiprocity norm)
Norma timbal-balik merupakan norma yang bersifat universal yaitu
seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Hal ini
menyiratkan adanya prinsip balas budi dalam kehidupan bermasyarakat4 .
Dengan demikian, seseorang harus menolong orang lain karena kelak di
masa mendatang, ia akan ditolong oleh orang lain atau ia pernah ditolong
orang pada masa sebelumnya. Norma ini berlaku untuk hubungan sosial
yang bersifat setara. Untuk hubungan sosial yang tidak setara, misalnya
dengan anak-anak dan orang cacat, berlaku norma tanggung jawab sosial
(Myers, 1996 dalam Sarwono,2009).
2. Norma Tanggung Jawab Sosial (the social-responsibility norm)
Bila norma timbal-balik mengharuskan seseorang berbuat seimbang antara
memberi dan menerima di dalam sebuah hubungan sosial, maka dalam
norma tanggung jawab sosial, orang harus memberikan pertolongan
kepada orang yang membutuhkan pertolongan tanpa mengharapkan
balasan di masa datang (Schwartz, 1975 dalam Sarwono, 2009). Norma ini
memotivasi orang untuk memberikan bantuannya kepada orang-orang
yang lebih lemah dari dirinya, misalnya membantu orang yang cacat,
membantu orang yang sudah tua, atau seorang anak membantu adiknya
yang lebih kecil ketika terjatuh untuk bangun kembali.
3.Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Menolong
a) Bystender
Bystender atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran
yang sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong
atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat.
b) Daya Tarik
Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik)
akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Apapun faktor
yang dapat memnyebabkn ketertatikan bystender kepada korban, akan meningkatkan
terjadinya respons untuk menolong (Clark,dkk dalam Sarwono,2009).Seseorang akan
4 Menurut sosiolog Alvin Gouldner (1960) yang dikutip dalam Sarlito, Sarwono, 2009.
7
cenderung menolong orang yang dalam beberapa hal mirip dengan dirinya (Krebs,
1975 dalam Sarwono, 2009). Oleh karena itu orang pada umumnya akan menolong
anggota kelompoknya terlebih dahulu (in-group) baru kemudian menolong orang lain
(out-group) karena sebagai suatu kelompok tentunya ada beberapa kesamaan dalam
diri mereka yang mengiikat mereka dalam suatu kelompok.
c) Atribusi Terhadap Korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia
mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah diluar kendali korban
(Weiner, 1980 dalam Sarwono, 2009). Dengan demikian pertolongan tidak akan
diberikan bila bystender mengasumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada
korban adalah kesalahan korban sendiri (atribusi internal).
d) Ada Model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang
untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Dalam obsevasinya terhadap orang-
orang yang berbelanja di sebuah toko pada musim natal di New Jersey5, melihat
bahwa orang-orang kemungkinan akan lebih besar untuk memberikan sumbangannya
di kotak amal yang disediakan di toko tersebut bila sebelumnya mereka melihat ada
orang lain yang menyumbang.
e) Desakan Waktu
Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang
punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan
kepada yang memerlukannya (Sarwono,2002 dalam Sarwono,2009).
f) Sifat Kebutuhan Korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benarr-benar
membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan
bantuan yang dibutuhkan (legitimate og need), dan bukanlah tanggung jawab korban
5 Byran dan Test (1967) yang dikutip dalam Baron, Byrne, Branscombe (2006)
8
sehingga dia membutuhkan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal)6. Dengan
demikian, orang yang meminta pertolongan akan memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk ditolong daripada orang yang tidak meminta pertolongan (walau ia
sesungguhnya juga butuh pertolongan) karena permintaan tolong korban membuat
situasi pertolongan menjadi tidak ambigu.
4.Pengaruh faktor dari dalam diri
1. Suasana hati (mood)
Emosi sesorang dapat mempengaruhi kecendrungannya untuk menolong (Bron,
Byrne, Branscombe, 2006 dalam sarwono 2009). Emosi positif secara umum
meningkatkan tingkah laku menolong. Namun, jika situasinya tidak jelas (ambigu),
maka orang yang sedang bahagia cendrung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada
keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang sedang sedih
mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun, jika dengan menolong
dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikkan pertolongan.
2. Sifat
Beberapa penelitian terhadap hubungan antara karakteristik seseorang dengan
kecendrungannya untuk menolong. Orang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia
akan mempunyai kecendrungan mudah menolong (Karremans, dkk, 2005 dalam
sarwono 2009). Orang yang mempunyai pemantauaan diri (self monitoring) yang
tinggi juga cendrung lebih penolong, karena dengan menjadi penolong, ia akan
memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi (White & Gerstein, 1987, dalam
sarwono, 2002). Beberapa karakteristik lainnya yang mengandung tingkah laku
menolong adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval). Individu yang
kebutuhannya akan pujian ataupuntanda-tanda penghargaan lainnya sangat tinggi, jika
situasi menolong memberikan peluang untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya,
maka ia akan meningkatkan tingkah laku menolongnya.7
3. Jenis kelamin
Peranan gender terhadap kecendrungan sesorang untuk menolong sangat bergantung
pada 8situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cendrung lebih mau
6 Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono 20097 Deutsch & Lamberti, 1986, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006.
9
terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya
menolong sesorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran
tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai
keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih tampil menolong
pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh.8 Dalam
penelitian yang dilakukan Zimmer-Gembeck, dkk. (2005) ditemukan bahwa
kecendrungan untuk menolong pada anak-anak remaja lebih besar pada remaja
perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki.
4. Tempat tinggal
Orang yang tinggal dipedesaan cendrung lebih penolong daripada orang yang tinggal
didaerah perkotaan. Hali ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu
orang-orang yang tinggal diperkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari
lingkungan. Oleh karenanya, ia harus selektif dalam menerima paparan informasi
yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah
sebabnya, diperkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan
orang lain karena dia sudah overload dengan nenan tugasnya sehari-hari (Deaux,
Dane, Wrightsman, 1993).
5. Pola asuh
Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain
tidak terlepas dari pola asuh didalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis
secara signifikan memfasilitasi adanya kecendrungan anak untuk tumbuh menjadi
seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orangtua dalam menetapkan
standra-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong (Bern, 1997 dalam
Sarwono 2009). Pola asuh orangtua yang demokratis juga turut mendukung
terbentuknya internal locus of control (Mashoedi, 2003 dalam Sarwono 2009), yang
merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik (Baron, Byrne, Branscombe,
2006 dalam Sarwono 2009), yaitu orang yang suak menolong memiliki locus of
control internal yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka
menolong.
5.Pertolongan Jangka Panjang
8 Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono 2009.
10
Dalam pembahasan respon manusia pada prilaku sosial dengan menolong orang yang
membutuhkan, prilaku prososial mempunyai pembahasan yang lebih luas, yaitu
komitmen manusia dalam prilaku tersebut yang akan terus menerus terjadi, kita tentu
menyadari dalam kehidupan kita tak lepas dari kebutuhan akan tolong menolong dan
itu akan terus berlanjut, seperti adanya yayasan amal, pekerjaan polisi, lembaga sosial,
dan masih banyak lagi yang lainnya yang mengabdikan hidup mereka untuk terus
membantu orang lain.9Menolong sebagai respons pada situasi darurat dapat bersifat
seketika ataupun membutuhkan waktu yang lama untuk terus terlibat memberikan
pertolongan. Seperti para sukarelawan yang memberikan bantuan pada peristiwa
bencana alam, menjadi pendamping bagi penderita AIDS, pendamping dipanti-panti
asuhan atau panti jompo, tentunya siapa saja yang menawarkan diri untuk
memberikan bantuan harus memiliki komitmen dalam waktu, keterampilan bahkan
materi dalam waktu yang cukup panjang. Dengan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, maka sesorang harus benar-benar termotivasi untuk secara sukarela
memberikan pertolongan jangka panjang. Salah satu tipe prilaku prososial ialah
menjadi relawan membantu orang yang membutuhkan, baik dalam kejadian bencana
alam atau pun yang lainnya, biasanya relawan akan mencurahkan seluruh waktu
mereka, berhari-hari, minggu bahkan bulan, apakah ini menyusahkan mereka. Di
Amerika sendiri terdapat total 26.7% dari populasi bergabung dengan organisasi
relawan, contoh saat badai katrina melanda wilayah new orelans dan pemerintah
hampir kewalahan untuk recovery, begitu banyak relawan yang berkumpul dan
bergotong royong Clary dan Snyder (1999) dalam Baron, Byrne, Branscombe (2006)
telah mengidentifikasikan adanya enam fungsi dasar yang berlaku pada para pekerja
sukarela seperti berikut : fungsi nilai (misanya, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan),
fungsi pemahaman (belajar lebih memahami dunia), fungsi pengembangan
(pengembangan diri melalui aktivitas sukarela), fungsi karier (berhubungan dengan
karier), fungsi sosial (memperkuat hubungan sosial), dan fungsi perlindungan
(misalnya, untuk mengurangi perasaan negatif atau rasa bersalah).Selain fungsi-fungsi
tersebut terdapat motivasi yang mendasari perilaku sukarela tersebut. Tindakan selain
manusia terikat dengan faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya dalam dari luar
dirinya dalam bentuk justru mendorong atau kekuatan dari dalam dirinya yang
9 Menurut Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2008
11
menjadi katalis untuk melakukan . Serta dalam kegiatan sukarela , minat mereka
untuk secara sukarela paling efektif jika mereka mengakui bahwa individu-individu
yang berbeda memiliki alasan yang berbeda untuk terlibat dalam kegiatan tersebut .
Setiap relawan dalam perilaku dengan biasa adalah tujuan yang berbeda dan motif di
balik semua yang telah dilakukan .
Berdasarkan penelitian , ditemukan jika motif yang mendasari perilaku prososial di
HIV / AIDS relawan adalah motif yang altruistik motif ( egois ) atau masyarakat
motif kekhawatiran , yaitu adanya drive tersebut; ingin meminimalkan penyebaran
HIV / AIDS , ingin lebih memberikan kontribusi kepada masyarakat , terutama bagi
kelompok minoritas seperti orang dengan HIV / AIDS ( ODHA ) agar tidak untuk
menjadi terisolasi lagi, dan ingin menjadi mediator untuk menyuarakan untuk
menyuarakan hati nurani mereka yang menginginkan perhatian tidak dikucilkan .
Egoisme motif ( egoisme ) , yang meliputi antara lain , motif pengembangan pribadi ,
yaitu adanya drive tersebut; ingin mendapatkan pengalaman berorganisasi , ingin
belajar komunikasi yang lebih baik , ingin merasakan tantangan melalui
perpanjangan. kegiatan secara langsung dengan berbagai lapisan masyarakat .
Keinginan untuk meningkatkan pemahaman motif , termasuk , ingin tahu bagaimana
kegiatan dan bagaimana menangani orang yang sudah terinfeksi HIV / AIDS ,
mendapatkan ilmu dan mendapatkan pengetahuan ketika datang untuk berurusan
HIV / AIDS . Motif untuk meningkatkan harga diri yaitu adanya drive tersebut; ingin
sesekali berguna bagi masyarakat karena untuk ini , mereka menganggap bahwa
mahasiswa hanya bisa bersenang-senang , menghabiskan uang orang tua dan hanya
ingin melakukan kegiatan demonstratif . Motif sosial , dorongan untuk menambah
teman . Motif Karir ,menjadi HIV / AIDS relawan untuk mendapatkan link jika akan
mencari pekerjaan suatu hari nanti .10
Motivasi lain yang mucul dalam komitmen jangka panjang prilaku social ialah, kami
akan merangkumnya dalam sebuah tabel
10 Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2008
12
Kepentingan Pribadi
Integritas Moral
Prilaku yang lebih mengutamakan nilai moral dan sosial
Sebuah prilaku dimana seseorang akan mendapat kepuasaan diri
6. Siapa yang akan ditolong ?
a. Gender
Persepsi terhadap adanya kebutuhan akan pertolongan sangat menentukan
apakah seseorang akan ditolong atau tidak. Bagaimana dengan perempuan, yang
dipersepsikan sebagai kurang mampu dan lebih tergantung? Apakah perempuan
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk ditolong daripada laki-laki? Meskipun
terlihat sebagai sterotip yang merendahkan perempuan, peneliti telah secara konsisten
menunjukkan bahwa laki-laki cendrung memberikkan pertolongan pada perempuan.11
b.Kesamaan
Kesamaan dengan orang lain mendukung munculnya perasaan yang positif,
dan apa adanya perasaan positif memperbesar peluang untuk munculnya tingkah laku
menolong sehingga orang cendrung menolong kepada orang yang memiliki lesamaan
dengan dirinya (Myers, 1996 dalam Sarwono 2009). Kesamaan ini bisa berupa
kesamaan dalam penampilan ataupun kesamaan dalam keyakinan.
c. Orang yang meminta pertolongan
Ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan
ketidakpastian mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respons
bystander untuk menolong. Kondisi tidak jelas (ambigu) dapat menyebabkan
penolong potensial menahan diri dan menunggu kejelasan. Cara paling efektif bagi
seorang korban untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut adalah dengan meminta
pertolongan secara jelas (Baron, Byrne, Branscombe, 2009 dalam Sarwono 2009).
11 Piliavin dan Unger, 1985, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006 dalam Sarwono 2009.
13
7.Bagaimana Orang Menerima Pertolongan ?
Menerima pertolongan dapat menunjukkan bahwa seseorang memiliki
"ketidakmampuan" dalam hal tertentu. Selain itu juga, dapat menimbulkan perasaan
utang budi kepada penolong yang membuat korban merasa harus membalas kebaikan
penolong dimasa datang. Dalam memberikkan pertolongan kepada orang lain, kita
harus memperhatikan cara-cara menolong yang tidak mengancam harga diri korban
agar pertolongannya dapat dihargai ataupun diterima. Pertolongan, selain tidak
mengancam harga diri, juga jangan sampai membuat korban menjadi tergantung
untuk seterusnya. Bila orang mudah mendapat bantuan, dampaknya dapat
mempengaruhi persepsinya terhadap ketidakmampuan dirinya sehingga ia menjadi
kurang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dan kurang mendukung
terbentuknya internal locus of control (Berns, 1997 dalam Sarwono 2009).
8. Meningkatkan Tingkah Laku Menolong
Untuk meningkatkan tingkah laku menolong, hambatan-hambatan yang dapat
mengurangi munculnya tingkah laku menolong perlu dihilangkan, diantaranya
ketidakjelasan situasi darurat. Situasi darurat yang jelas akan mendorong keberanian
seseorang untuk memberikan bantuan. Oleh karena itu, selain adanya kejelasan situasi
darurat, meningkatkan rasa tanggung jawab setiap orang juga penting. Memberikan
bantuan adalah tanggung jawab setiap orang, bukan tanggung jawab orang lain.
Meningkatkan rasa bersalah dan menciptakan self-images (gambaran diri) yang
positif pada penolong potensial juga dapat meningkatkan kemungkinan munculnya
pertolongan. Hal ini dapat dilakukan melalui teknik door-in-the-face, yaitu stategi
untuk memperoleh persetujuan dari orang lain dengan cara mengajukan permintaan
setingkat lebih tinggi dari yang diinginkan. Apabila permintaan tersebut ditolak, maka
ia mengajukan permintaan yang lebih kecil dan masuk akal. Hal ini membuat orang
yang dimintai pertolong merasa bersalah bila menolaknya lagi dan untuk
mendapatkan self-images yang positif, maka penolong potensial pun memberikan apa
yang diminta (dalam hal ini berupa pertolongan) (Myers, 1996 dalam Sarwono 2009).
Sosialisai tingkah laku menolong dalam masyarakat dapat diciptakan melalui kegiatan
amal dan memberikan dukungan pada orang-orang yang melakukan tingkah laku
menolong. Sifat altruis juga dapat ditumbuhkan melalui pola asuh dirumah ataupun
14
pendidikan disekolah. Anak-anak yang sejak kecil ditanamkan untuk memiliki rasa
tanggung jawab pribadi cendrung lebih bersifat altruis (Berns, 1997 dalam Sarwono
2009).
Kesimpulan
Tingkah laku menolong adalah tindakan individu yang ditunjukkan untuk menolong
orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi penolong. Contoh menolong yang
murni adalah altruism, yaitu menolong untuk kesejahteraan orang lain semata
(selfless), tanpa motivasi untuk kepentingan diri sendiri (selfish)
Berbagai teori telah menjelaskan mengapa orang menolong. Pendekatan teori evolusi
menekankan peran gen dalam mempengaruhi tingkah laku menolong, yaitu untuk
membantu kelangsungan hidup gen dari suatu spesies.
Pada teori belajar, tingkah laku menolong dijelaskan melalui teori belajar sosial dan
teori pertukaran sosial. Dalam teori belajar sosial menolong merupakan hasil proses
belajar sosial terhadap lingkungan, sedangkan teori pertukaran sosial menekankan
bahwa dalam suatu interaksi sosial terdapat prinsip minimax (memaksimalkan untung
15
dan meminimalkan rugi). Dengan demikian, dalam tingkah laku menolong ada
perhitungan untung rugi. Keuntungan tersebut dapat bersifat menolong untuk
memperoleh imbalan dari lingkungan (external self-rewards) atau menolong untuk
kepuasan batin (internal self-rewards).
Teori empati berusaha menjelaskan mengapa ada orang yang menolong tanpa pamrih.
Ada tiga teori empati, yaitu hipotesis empati-altruisme, model mengurangi perasaan
negatif, dan hipotesis kesenangan empatik. Pada hipotesis empati-altruisme menolong
adalah untuk membantu orang lain dan rasanya menyenangkan bila dapat membantu
orang lain. Model mengurangi perasaan negatif mengemukakan bahwa tingkah laku
menolong adalah untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan negatif yang timbul
akibat melihat kesulitan orang lain. Sedangkan hipotesis kesenangan empatik
menjelaskan bahwa seseorang akan menolong bila ia memperkirakan dapat
memberikan dampak positif pada orang lain dan dapat ikut merasakan kebahagiaan
orang yang akan ditolong karena pertolongan yang diberikannya tersebut.
Teori perkembangan kognisi sosial memfokuskan pada pemahaman yang mendasar
suatu tingkah laku menolong. Perkembangan kognisi individu bergerak dari tahap
yang bersifat tidak logis (illogical), egosentrik, dan selfish-hedonistic, ketahap yang
lebih bersifat logis (logical), empati dan mempertimbangkan moral.
Seseorang menolong karna ia merasa harus melakukannya. Ini merupakan penjelasan
teori norma sosial terhadap tingkah laku menolong. Norma timbal-balik menegaskan
bahwa seseorang harus menolong orang yang sudah menolongnya, sementara norma
tanggung jawab sosial menjelaskan bahwa seseorang harus menolong orang yang
membutuhkan pertolongan.
Faktor situasional turut mempengaruhi apakah suatu tingkah laku menolong akan
diberikan atau tidak. Faktor-faktor tersebut adalah bystander, daya tarik korban,
atribusi terhadap korban, adanya model yang menolong, desakan waktu, dan sifat
kebutuhan korban. Selain faktor situasional, faktor dalam diri individu juga dapat
mempengaruhi tingkah laku menolong seperti suasana hati, sifat, jenis kelamin,
tempat tinggal, dan pola asuh.
Dalam mengambil keputusan apakah akan menolong atau tidak, ada lima tahap yang
harus dilalui oleh calon penolong. Tiap tahap memberi peluang pada calon penolong
apakah ia akan terus memproses situasi darurat yang dilihatnya atau ia akan berhenti
disuatu tahap sehingga pertolongan tidak diberikan.
16
Siapakah yang akan ditolong? Gender (dalam hal ini perempuan), kesamaan antara
calon penolong dengan yang ditolong, dan kejelasan bahwa korban butuh pertolongan
akan memperbesar peluang untuk ditolong. Pertolongan dapat mengancam harga diri
orang yang ditolong. Oleh karena itu, agar pertolongan dapat diterima dan dihargai,
kita perlu memperhatikan cara-cara menolong yang tidak menurunkan harga diri
korban.
Tingkah laku menolong adalah salah satu bentuk interaksi manusia yang psitif
sehingga perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran
individu bahwa menolong adalah tanggung jawab masing-masing individu, sehingga
tidak perlu terjadi penyebaran tanggung jawab. Dukungan terhadap kegiatan-kegiatan
amal juga merupakan saran untuk menyosialisasikan tingkah laku menolong. Pola
asuh dan pendidikan disekolah juga tidak kalah pentingnya dalam menumbuhkan
pribadi-pribadi yang altruis.
Daftar Pustaka
Sarlito, Sarwono. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.
Baron, Robert A, Byrne, Donn. 2005. Psikologi Sosial Edisi Sepuluh. Jakarta : Erlangga.
Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2006. Social Psychology Ten Edition. Boston :
Allyn & Bacon, Inc.
Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2008. Social Psychology Twelfth Edition.
Boston : Allyn & Bacon, Inc.
17
Nilsson, Jonas. 2008. Investment with a Conscience: Examiningthe Impact of Pro-Social Attitudes
and Perceived Financial Performance on Socially Responsible Investment Behavior. Journal of
Business Ethics. 83,307–325.
Bryant, Phil C, Davis,Charlotte A, Hancock, Julie I, Vardaman , James M. 2010. When Rule Makers
Become Rule Breakers: Employee Level Outcomes of Managerial Pro-Social Rule Breaking. Journal
of Employ Respons Rights J. 22,101–112
Sakalaki, Maria,Sotiriou, Penelope. 2010. Pro-Self Orientationand Preferencefor Deceitful
Strategies: Social ValueOrientation, Dispositionaland Behavioral Correlatesof Economic
Opportunism. Journal of StudiaPsychologica. 157-165.
18