Post on 20-Jan-2016
description
DAFTAR TABEL
PROFIL KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH
TAHUN 2009
TABEL 1 Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Rasio Beban Tanggungan, Rasio
Jenis Kelamin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009
TABEL 4 Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Berusia 10 Tahun Ke Atas Diperinci Menurut Tingkat
Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 5 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Melek Huruf Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 6 Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 7 Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 8 Jumlah Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas dan Rasio Korban Luka dan Meninggal Terhadap Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 9 AFP Rate, % TB Paru Sembuh, dan Pneumonia Balita di Tangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 10 HIV/AIDS Ditangani, Infeksi Menular Seksual Diobati, dan DBD Ditangani Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 11 Persentase Penderita Malaria Diobati Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 12 Persentase Penderita Kusta Selesai Berobat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 13 Kasus Penyakit Filaria Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 14 Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Penyakit Menular Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 15 Cakupan Kunjungan Neonatus, Bayi dan Bayi BBLR Yang Ditangani Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 16 Jumlah Kecamatan Rawan Gizi dan Status Gizi Bayi dan Balita Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 17 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4, Ibu Hamil Risti dan Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan
dan Ibu Nifas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 18 Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita, Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/SMP/SMU Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 19 Jumlah PUS, Peserta KB, Peserta KB Baru, dan KB Aktif, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 20 Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 21 Pelayanan KB Baru Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 22 Persentase Cakupan Desa/Kelurahan UCI Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 23 Persentase Cakupan Imunisasi Bayi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 24 Cakupan Bayi, Balita, dan Bumil Yang Mendapat Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 25 Jumlah Ibu Hamil Yang Mendapatkan Pelayanan Fe 1, Fe 3, dan Ibu Nifas mendapat vitamin A
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 26 Jumlah WUS dengan Status Imunisasi TT Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007
TABEL 27 % Akses Ketersediaan Darah untuk Ibu Hamil dan Neonatus yang dirujuk Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 28 Jumlah dan Persentase Ibu Hamil dan Neonatus Risiko Tinggi/Komplikasi Ditangani Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 29 Persentase Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Gawat Darurat Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009
TABEL 30 Jumlah dan Persentase Desa/Kelurahan Terkena KLB Yang Ditangani < 24 Jam Menurut
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 31 Jumlah Penderita dan Kematian, CFR, KLB menurut jenis KLB, Jumlah Kecamatan, dan Jumlah Desa Yang Terserang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 32 Jumlah Bayi Yang Diberi ASI Eksklusif Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 33 Persentase Desa/Kelurahan Dengan Garam Beryodium Yang Baik Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009
TABEL 34 Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Puskesmas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 35 Jumlah Kegiatan Penyuluhan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 36 Penduduk Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 37 Cakupan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin dan JPKMM Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009
TABEL 38 Persentase Pelayanan Kesehatan Kerja Pada Pekerja Formal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 39 Cakupan Pelayanan Kesehatan Pra Usila dan Usila Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 40 Cakupan Wanita Usia Subur Mendapat Kapsul Yodium Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 41 Persentase Darah Donor Diskrining terhadap HIV-AIDS Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 42 Jumlah Kunjungan Rawat Jalan, Rawat Inap, Pelayanan Gangguan Jiwa di Sarana Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 43 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut Kemampuan Labkes dan Memiliki 4 Spesialis
Dasar Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 44 Ketersediaan Obat sesuai dengan Kebutuhan Pelayanan Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 45 Persentase Rumah Tangga Sehat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 46 Jumlah dan Persentase Posyandu Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 47 Persentase Rumah sehat Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 48 Persentase Keluarga Memiliki Akses Air Bersih Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
TABEL 49 Keluarga Dengan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009
TABEL 50 Persentase Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) Sehat Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 51 Persentase Institusi Dibina Kesehatan Lingkungannya Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 52 Persentase Rumah/Bangunan Yang Diperiksa Jentik Nyamuk Aedes dan Persentase
Rumah/Bangunan Bebas Jentik Nyamuk Aedes Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 53 Persebaran Tenaga Kesehatan Menurut Unit Kerja Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 54 Jumlah Tenaga Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 55 Jumlah Tenaga Medis di Sarana Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 56 Jumlah Tenaga Kefarmasian di Sarana Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 57 Jumlah Tenaga Keperawatan di Sarana Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 58 Jumlah Tenaga Kesehatan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
TABEL 59 Jumlah Tenaga Teknisi Medis Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 60 Anggaran Kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 61 Jumlah sarana Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 62 Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 63 Indikator Pelayanan Rumah Sakit Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 64 Kasus Penyakit Tidak Menular di Puskesmas dan Rumah Sakit Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 65 Penyuluhan Pencegahan, Penaggulangan, dan Penyalahgunaan NAPZA Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 66 Persentase Penulisan Resep Obat Generik Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 67 Jumlah dan Persentase Ibu Hamil Risiko Tinggi Dirujuk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 68 Jumlah Keluarga Sadar Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 69 Kebutuhan, Pengadaan, Ketersediaan Obat Esensial dan Obat Generik Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
TABEL 70 Kebutuhan, Pengadaan, Ketersediaan Obat Narkotika dan Psikotropika Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
TABEL 71 Pemeriksaan Kesehatan Siswa TK, SLTP, SLTA Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
alam mewujudkan Jawa Tengah Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan di Jawa
Tengah tidak dapat dilakukan sendiri oleh aparat pemerintah di sektor kesehatan, tetapi
harus dilakukan secara bersama-sama melibatkan peran serta swasta dan masyarakat.
Segala upaya kesehatan yang dilakukan baik oleh sektor kesehatan dan non kesehatan
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan upaya mengatasi masalah kesehatan
perlu dicatat dan dikelola dengan baik dalam suatu system informasi kesehatan.
Sistem Informasi Kesehatan (SIK) yang evidence based diarahkan untuk
penyediaan data dan informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu, untuk itu peran data
dan informasi kesehatan menjadi sangat penting dan makin terasa dibutuhkan dalam
manajemen kesehatan yaitu sebagai dasar pengambilan keputusan di semua tingkat
administrasi pelayanan kesehatan.
Kebutuhan data dan informasi kesehatan dari hari ke hari semakin meningkat.
Masyarakat semakin peduli dengan situasi kesehatan dan hasil pembangunan kesehatan
yang telah dilakukan oleh pemerintah terutama terhadap masalah-masalah kesehatan yang
berhubungan langsung dengan kesehatan mereka, sebab kesehatan menyangkut hajat
hidup masyarakat luas dan semua orang butuh untuk sehat. Kepedulian masyarakat akan
informasi kesehatan ini memberikan nilai positif bagi pembangunan kesehatan itu sendiri.
Untuk itu pihak pengelola program harus bisa menyediakan dan memberikan data dan
informasi yang dibutuhkan masyarakat yang dikemas secara baik, sederhana, informatif,
dan tepat waktu.
Profil kesehatan hanyalah salah satu produk dari Sistem Informasi Kesehatan yang
penyusunan dan penyajiannya dibuat sesederhana mungkin tetapi informative, untuk
dipakai sebagai alat tolok ukur kemajuan pembangunan kesehatan di Jawa Tengah
sekaligus juga sebagai bahan evaluasi program-program kesehatan dalam upaya
mewujudkan Jawa Tengah Sehat 2010 . Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah adalah
gambaran situasi kesehatan yang memuat berbagai data tentang situasi dan hasil
pembangunan kesehatan selama satu tahun. Data dan informasi
Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah merupakan buku statistik kesehatan
untuk menggambarkan situasi dan kondisi kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.
Profil Kesehatan Provinsi ini berisi data/informasi yang menggambarkan derajat kesehatan,
sumber daya kesehatan, dan capaian indikator hasil pembangunan kesehatan di Provinsii
Jawa Tengah selama satu tahun.
B. SISTEMATIKA PENYAJIAN
Adapun sistematika penyajian Profil Kesehatan adalah sebagai berikut :
BAB 1: PENDAHULUAN
Bab ini berisi penjelasan tentang maksud dan tujuan Profil Kesehatan dan sistematika dari
penyajiannya.
BAB 2: GAMBARAN UMUM
Bab ini menyajikan tentang gambaran umum kabupaten/kota. Selain uraian tentang letak
geografis, administratif, dan informasi umum lainnya, bab ini juga mengulas faktor -faktor
yang berpengaruh terhadap kesehatan dan faktor-faktor lainnya misal kependudukan,
ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lingkungan.
BAB 3: SITUASI DERAJAT KESEHATAN
Bab ini berisi uraian tentang indikator mengenai angka kematian, angka kesakitan, dan
angka status gizi masyarakat.
BAB 4: SITUASI UPAYA KESEHATAN
Bab ini menguraikan tentang pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rujukan
dan penunjang, pemberantasan penyakit menular, pembinaan kesehatan lingkungan dan
sanitasi dasar, perbaikan gizi masyarakat, pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan,
pelayanan kesehatan dalam situasi bencana. Upaya pelayanan kesehatan yang diuraikan
dalam bab ini juga mengakomodir indikator kinerja Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan (SPM-BK) serta upaya pelayanan kesehatan lainnya yang diselenggarakan oleh
kabupaten/kota.
BAB 5: SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN
Bab ini menguraikan tentang sarana kesehatan, tenaga kesehatan, pembiayaan kesehatan
dan sumber daya kesehatan lainnya.
BAB 6: KESIMPULAN
Bab ini diisi dengan sajian tentang hal-hal penting yang perlu disimak dan ditelaah lebih
lanjut dari profil kesehatan kabupaten/kota di tahun yang bersangkutan. Selain
keberhasilan-keberhasilan yang perlu dicatat, bab ini juga mengemukakan hal-hal yang
dianggap masih kurang dalam rangka penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
LAMPIRAN
Pada lampiran ini berisi resume/angka pencapaian kabupaten/kota dan 71 tabel data yang
merupakan gabungan Tabel Indikator Kabupaten Sehat dan Indikator pencapaian kinerja
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Profil Kesehatan dapat disajikan dalam
bentuk tercetak (berupa buku) atau dalam bentuk lain (disket, cd-rom, tampilan di situs
internet, dan lain-lain).
GAMBARAN UMUM
A. KEADAAN GEOGRAFI
rovinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang terletak cukup strategis karena berada diantara dua provinsi
besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Provinsi Jawa Tengah sebelah barat
berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa
Timur, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah selatan berbatasan
dengan Samudra Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya antara 5 °40' -
8°30' lintang selatan dan antara 108°30' - 111°30' bujur timur (termasuk Pulau Karimunjawa).
Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544,12 km², secara administratif
terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, yang tersebar menjadi 573 kecamatan dan 8.576
desa/kelurahan. Wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas 2.138,51 km², atau
sekitar 6,57% dari luas total Provinsi Jawa Tengah, sedangkan Kota Magelang merupakan
wilayah yang luasnya paling kecil di Jawa Tengah, yaitu seluas 18,12 km².
Secara topografi, wilayah di Jawa Tengah terdiri dari wilayah daratan yang dapat
dibagi menjadi 4 (empat) kriteria :
- Ketinggian antara 0 - 100 m dari permukaan air laut, seluas 53,3%, yang daerahnya
berada di sepanjang pantai utara dan pantai selatan.
- Ketinggian antara 100 - 500 m dari permukaan air laut seluas 27,4%.
- Ketinggian antara 500 - 1.000 m dari permukaan air laut seluas 14,7%.
- Ketinggian diatas 1.000 m dari permukaan air laut seluas 4,6%.
B. KEADAAN PENDUDUK
1. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk
Jumlah Penduduk Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 32.864.563 jiwa.
Dengan luas wilayah sebesar 32.544,12 km², maka rata-rata kepadatan penduduk di
Jawa Tengah sebesar 1.010 jiwa untuk setiap kilometer persegii (km²). Wilayah
terpadat adalah Kota Surakarta, dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 11.996
jiwa per kilometer persegi (km²). Wilayah terlapang di Jawa Tengah adalah Kabupaten
Wonogiri, dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 541 jiwa per kilometer persegi
(km²). Dengan demikian dapat dilihat bahwa persebaran penduduk di Jawa Tengah
belum merata.
Dengan jumlah rumah tangga sebesar 8.900.367 rumah tangga, maka rata-rata
jumlah anggota rumah tangga di Jawa Tengah adalah 3,69 jiwa untuk setiap rumah
tangga. Jumlah penduduk tertinggi berada di Kabupaten Brebes sebesar 1.800.958 jiwa
(5,48% dari jumlah penduduk Jawa tengah) dan terendah di Kota Magelang sebesar
137.055 jiwa (0,42% dari jumlah penduduk Jawa Tengah). Data mengenai
kependudukan dapat dilihat pada lampiran Tabel 1.
2. Rasio Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari rasio jenis kelamin,
yaitu perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan per 100 penduduk
perempuan. Berdasarkan hasil Proyeksi Supas tahun 2005 oleh Badan Pusat Statistik,
didapatkan jumlah penduduk laki-laki di Jawa Tengah 16.331.511 jiwa (49,69%) dan
jumlah penduduk perempuan di Jawa Tengah 16.533.052 jiwa (50,31%). Sehingga
didapat rasio jenis kelamin sebesar 98,78. Dengan demikian di Jawa Tengah, tiap-tiap
100 penduduk perempuan ada sekitar 98 atau 99 penduduk laki-laki. Data mengenai
Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.
3. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur
Struktur/komposisi penduduk Jawa Tengah menurut kelompok umur dan jenis
kelamin menunjukkan bahwa penduduk laki-laki maupun perempuan mempunyai
proporsi
terbesar pada kelompok umur 15 - 19 tahun dan 20 - 24 tahun. Gambaran
komposisii penduduk secara lebih rinci dapat dilihat pada lampiran Tabel 3.
Adapun perbandingan komposisi proporsi penduduk Provinsi Jawa Tengah
menurut usia produktif dari tahun 2004 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada tabel
berikut: Tabel 2.1
Persentase Kelompok Usia Produktif Jawa Tengah tahun 2005 - 2009
Kelompok Usia (Tahun)
TAHUN
2005 2006 2007 2008 2009
0 - 14 27,07 % 25,98 % 27,02 % 26,57 % 25,03 %
15 - 64 66,16 % 66,92 % 65,21 % 65,66 % 67,87 %
65 + 6,77 % 7,10 % 7,77 % 7,77 % 7,11 %
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (Susenas 2008)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa proporsi penduduk tahun 2009 bila dibandingkan
dengan tahun 2008, pada kelompok usia produktif (15 - 64 tahun) mengalami
peningkatan, sedangkan pada kelompok usia belum produktif (0 - 14 tahun) mengalami
penurunan. Hal ini berarti bahwa angka beban tanggungan menjadi berkurang.
4. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate)
Angka Fertilitas Total adalah rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang
wanita selama masa usia produktif (15 - 49 tahun). Berdasarkan hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002- 2003 diperoleh angka fertilitas total di
Jawa Tengah adalah 2,1 yang artinya rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang
wanita selama masa usia produktif adalah 2 anak.
Pada tahun 2007 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia kembalii
dilaksanakan dan didapatkan hasil bahwa angka fertilitas total di Jawa Tengah adalah
2,3. Berarti ada kenaikan jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita.
C. KEADAAN EKONOMI
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang
diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari
pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto, baik atas dasar harga berlaku
maupun atas dasar harga konstan. Dari publikasi Jawa Tengah Dalam Angka Tahun
2009, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah 2009 ditunjukkan oleh laju pertumbuhan
PDRB atas dasar harga konstan 2000.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2008 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, lebih lambat
dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 5,46% (2007 = 5,59%). Hal tersebut cukup
beralasan mengingat kondisi perekonomian tahun ini cukup bergejolak dengan adanya krisis
moneter yang melanda seluruh negara di dunia.
Pertumbuhan riil sektoral tahun 2008 mengalami fluktuasi dari tahun
sebelumnya. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan sebesar 7,81%, meskipun peranannya terhadap PDRB hanya sekitar
3,48%. Sektor pertambangan dan penggalian ternyata mengalami pertumbuhan yang
paling rendah selama tahun 2008, yaitu sebesar 3,83%.
Sektor industri pengolahan masih memberikan sumbangan tertinggi terhadap
ekonomi Jawa Tengah yaitu sebesar 33,08%, dengan laju pertumbuhan sebesar
4,50%. Sektor pertanian yang juga merupakan sektor dominan memberikan
sumbangan berarti bagi perekonomian Jawa Tengah sebesar 19,60% dengan
pertumbuhan riil sebesar 5,09%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran mengalami
pertumbuhan sebesar 5,10%, masih mempunyai peranan yang cukup besar terhadap
pertumbuhan ekonomi, karena mampu memberi andil sebesar 19,73%.
Dari angka-angka indeks implisit PDRB dapat diketahui kenaikan harga dari
waktu ke waktu baik secara agregat maupun secara sektoral. Secara agregat indeks
implisit di Jawa Tengah tahun 2008 sebesar 216,30. Sedangkan secara sektoral,
pertumbuhan indeks implisit yang paling cepat atau di atas angka rata-rata indeks
implisit Jawa Tengah pada tahun 2008 terjadi pada sektor listrik dan air bersih sebesar
266,14%. Sektor lain yang perkembangan indeks implisitnya paling lamban adalah
sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar 189,85%.
Pada tahun 2008, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita atas
dasar harga berlaku mencapai 11,1 juta rupiah, naik 15,29% dari tahun sebelumnya.
Sementara untuk PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 mencapai 5,1 jua
rupiah atau meningkat 4,66%.
Tabel 2.2 Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Di Jawa Tengah Tahun 2004 - 2008 (Juta rupiah)
Tahun PDRB atas dasar harga berlaku
PDRB atas dasar harga konstan
2004 193.435.263,05 135.789.872,31
2005 234.435.325,31 143.051.213,88
2006 281.996.709,11 150.682.654,74
2007 312.428.807,09 159.110.253,77
2008 362.938.708,25 167.790.369,85
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2009)
2. Angka Beban Tanggungan
Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur, maka angka beban
tanggungan (dependency ratio) penduduk Provinsi JawaTengah tahun 2008 sebesar
52,29, dan pada tahun 2009 angka tersebut mengalami penurunan menjadi 51,43 yang
artinya dari setiap 100 penduduk usia produktif (usia 15 - 64 tahun) harus menanggung
beban hidup sekitar 51 penduduk usia belum produktif (0 - 14 tahun) dan usia tidak
produktif (65 tahun ke atas).
D. KEADAAN PENDIDIKAN
Tingkat pendidikan dapat berkaitan dengan kemampuan menyerap dan menerima
informasi kesehatan serta kemampuan dalam berperan serta dalam pembangunan
kesehatan. Masyarakat yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, pada umumnya
mempunyaii pengetahuan dan wawasan yang lebih luas sehingga lebih mudah menyerap
dan menerima informasi, serta dapat ikut berperan serta aktif dalam mengatasi masalah
kesehatan dirinya dan keluarganya.
Dibandingkan dengan tahun 2008 secara umum telah terjadi peningkatan di bidang
pendidikan. Peningkatan terjadi pada tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMU. Hal ini wajar
terjadi mengingat semakin digalakkannya program sekolah gratis bagi jenjang SD dan SMP
dan program-program pendidikan lainnya. Berikut ini disajikan tabel persentase jumlah
penduduk yang berusia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2007, 2008 dan 2009.
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Usia 10 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007, 2008 dan 2009
Tahun
Blm/Tdk Pernh Seklh
Tdk punya Ijazah SD/MI
SD/MI
SMP
SMU/SMK DIPL/AK/
PT
Total
2007 7,84 26,46 31,74 15,58 12,45 5,93 100,00
2008 9,33 23,03 32,01 16,58 14,64 4,41 100,00
2009 8,42 22,16 32,50 17,22 15,21 4,48 100,00
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah
Peningkatan tersebut berimbas pada kemampuan baca tulis penduduk yang
tercermin dari angka melek huruf. Persentase penduduk yang dapat membaca dan menulis
huruf latin dan huruf lainnya pada tahun 2009 sebesar 90,58%, sedangkan yang buta huruf
sebesar 9,42%. Bila dilihat dari jenis kelaminnya, maka penduduk laki-laki lebih banyak
yang melek huruf dibandingkan dengan penduduk perempuan, angka melek penduduk laki -
laki sebesar 94,61% dan perempuan sebesar 86,67%. Data mengenai angka melek huruf
dapat dilihat pada lampiran Tabel 5.
Demikian gambaran umum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 secara ringkas
dengan penyajian tentang kependudukan, perekonomian, dan pendidikan. Faktor
perekonomian dan pendidikan secara bersama-sama dengan kesehatan digunakan untuk
menentukan indeks pembangunan manusia.
SITUASI DERAJAT KESEHATAN
ambaran masyarakat Provinsi Jawa Tengah masa depan yang ingin dicapaii oleh
segenap komponen masyarakat melalui pembangunan kesehatan Provinsi Jawa
Tengah adalah Jawa Tengah Sehat 2010 yang mandiri dan bertumpu pada potensi
daerah. Untuk mewujudkan visi tersebut ada empat misi yang diemban oleh seluruh jajaran
petugas kesehatan di masing-masing jenjang administrasi pemerintahan, yaitu menggerakkan
pembangunan berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
dengan bertumpu pada potensi daerah, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu, merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Jawa Tengah, dan mendorong
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta
lingkungannya.
Guna mempertegas rumusan Visi Jawa Tengah Sehat itu, telah ditetapkan indikator-
indikatornya secara lebih terinci yang mengacu pada Indikator Indonesia Sehat 2010, yang
terdiri atas indikator derajat kesehatan sebagai hasil akhir yang terdiri atas indikator-indikator
untuk mortalitas, morbiditas, dan status gizi; indikator hasil antara, yang terdiri atas indikator -
indikator untuk keadaaan lingkungan, perilaku hidup, akses dan mutu pelayanan kesehatan;
serta indikator proses dan masukan yang terdiri atas indikator-indikator untuk pelayanan
kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan, dan kontribusi sektor terkait.
Adapun situasi derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah adalah sebagaii
berikut :
A. ANGKA KEMATIAN
Kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu dapat menggambarkan
status kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan kesehatan,
kondisi lingkungan fisik dan biologik secara tidak langsung. Disamping itu dapat digunakan
sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program
pembangunan kesehatan.
1. Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi ( 0-12 bulan ) per
1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB dapat menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor penyebab
kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan
program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. Bila AKB di suatu
wilayah tinggi, berarti status kesehatan di wilayah tersebut rendah.
AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000 kelahiran hidup,
meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 9,17/1.000 kelahiran hidup.
Angka kematian bayi tertinggi adalah di Kota Semarang sebesar 18,59/1.000 kelahiran
hidup, sedang terendah adalah di Kab. Demak sebesar 4,42/1.000 kelahiran hidup.
Apabila dibandingkan dengan target dalam Indikator Indonesia Sehat tahun 2010
sebesar 40/1.000 kelahiran hidup, maka AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sudah melampaui target, demikian juga bila dibandingkan dengan cakupan yang
diharapkan dalam MDG ( Millenium Development Goals ) ke - 4 tahun 2015 yaitu
17/1.000 kelahiran hidup.
Gambar 3.1
Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006 - 2009
Peningkatan AKB di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 dapat memberi
gambaran adanya penurunan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebagai contoh, pelayanan kesehatan antenatal yang menurun ditunjukkan oleh
cakupan kunjungan K4 serta pemberian tablet Fe 90 yang pada tahun 2009 juga
mengalami penurunan.
2. Angka Kematian Balita
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian balita ( 1 th - 5 th ) per
1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKABA dapat menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan anak balita, tingkat pelayanan KIA/Posyandu, tingkat
keberhasilan program KIA/Posyandu, dan kondisi sanitasi lingkungan.
AKABA di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 11,60/1.000
kelahiran hidup, cenderung meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2008
sebesar 10,12/ 1.000 kelahiran hidup. AKABA tertinggi adalah di Kota Semarang
sebesar 23,50/1.000 kelahiran hidup, sedang yang terendah adalah di Kabupaten
Demak sebesar 4,98/1.000 kelahiran hidup.
Apabila dibandingkan dengan target dalam Indikator Indonesia Sehat tahun
2010 sebesar 58/1.000 kelahiran hidup, maka AKABA di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sudah melampaui target, demikian juga bila dibandingkan dengan cakupan yang
diharapkan dalam MDG ( Millenium Development Goals ) ke - 4 tahun 2015 yaitu
23/1.000 kelahiran hidup.
Gambar 3.2
Angka Kematian Balita di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006 - 2009
3. Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) mencerminkan risiko yang dihadapi ibu-ibu selama
kehamilan dan melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan sosial
ekonomi, keadaan kesehatan yang kurang baik menjelang kehamilan, kejadian
berbagai komplikasi pada kehamilan dan kelahiran, tersedianya dan penggunaan
fasilitas pelayanan kesehatan ternasuk pelayanan prenatal dan obstetri. Tingginya
angka kematian ibu menunjukkan keadaan sosial ekonomi yang rendah dan fasili tas
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan prenatal dan obstetri yang rendah pula.
Kematian ibu biasanya terjadi karena tidak mempunyai akses ke pelayanan
kesehatan ibu yang berkualitas, terutama pelayanan kegawatdaruratan tepat waktu
yang dilatarbelakangi oleh terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil
keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, serta terlambat mendapatkan
pelayanan di fasilitas kesehatan. Selain itu penyebab kematian maternal juga tidak
terlepas dari kondisii ibu itu sendiri dan merupakan salah satu dari kriteria 4 “terlalu”,
yaitu terlalu tua pada saat melahirkan (> 35 tahun), terlalu muda pada saat melahirkan
(< 20 tahun), terlalu banyak anak (> 4 anak), terlalu rapat jarak kelahiran/paritas (< 2
tahun).
Angka kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2009 berdasarkan
laporan dari kabupaten/kota sebesar 117,02/100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
telah memenuhi target dalam Indikator Indonesia Sehat 2010 sebesar 150/100.000 dan
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan AKI pada tahun 2008 sebesar
114,42/100.000 kelahiran hidup. AKI tertinggi adalah di Kabupaten Pemalang sebesar
201,50/1.000 kelahiran hidup. Sedang yang terrendah adalah di Kota Tegal yaitu
sebesar 38,97/1.000 kelahiran hidup.
Kejadian kematian maternal paling banyak adalah pada waktu nifas sebesar
49,12%, disusul kemudian pada waktu bersalin sebesar 26,99%, dan pada waktu hamil
sebesar 23,89%. Penyebab kematian adalah perdarahan sebesar 22,42%,
eklamsii sebesar 28,76%, infeksi sebesar 3,54%, dan lain-lain sebesar 45,28%.
Gambar 3.3
Angka Kematian Ibu Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006 - 2009
4. Angka Kecelakaan Lalu-lintas
Kasus kecelakaan lalu lintas adalah jumlah korban (meninggal dunia, cedera
berat, cedera sedang, dan cedera ringan) sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas.
Kabupaten/kota yang melaporkan kejadian kecelakaan lalu lintas sebanyak 25
kabupaten/kota, sedang 10 kabupaten/kota tidak melaporkan. Angka kecelakaan lalu
lintas per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 112,67
mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 73,75. Angka tersebut
sangat tinggi bila dibandingkan dengan target Indonesia Sehat tahun 2010 sebesar
10/100.000 penduduk.
Angka kecelakaan lalu lintas ini dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal
ini dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang sangat pesat,
sedang kuantitas jalan relatif tetap atau kecil sekali perkembangannya. Angka
Kecelakaan tertinggi terjadi di Kota Tegal yaitu sebesar 3.211/100.000 penduduk. Kota
Tegal merupakan daerah dengan kepadatan penduduk 6.990 per km2 yang merupakan
daerah perbatasan antara Jawa Tengah dengan Kota Jakarta dan merupakan jalur lalu
lintas
menuju Kota Jakarta sehingga sangat rawan terjadi kecelakaan lalu
lintas. Proporsii kematian pada kasus kecelakaan lalu lintas tahun 2009 cukup
besar sebanyak 923 (2,8 %) kasus kematian akibat kecelakaan.
Gambar 3.4
Angka Kecelakaan Lalu Lintas di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 - 2009
B. ANGKA KESAKITAN
1. Angka “Acute Flaccid Paralysis” (AFP)
Dalam upaya untuk membebaskan Indonesia dari penyakit Polio, maka
pemerintah telah melaksanakan Program Eradikasi Polio (ERAPO) yang terdiri dari
pemberian imunisasi polio rutin, pemberian imunisasi masal pada anak balita melalui
PIN (Pekan Imunisasi Nasional) dan surveilans AFP. Surveilans AFP adalah
pengamatan dan penjaringan semua kelumpuhan yang terjadi secara mendadak dan
sifatnya flaccid (layuh), seperti sifat kelumpuhan pada poliomyelitis. Prosedur
pembuktian penderita AFP terserang virus polio liar atau tidak adalah sebagai berikut :
- Melakukan pelacakan terhadap anak usia < 15 tahun yang mengalami kelumpuhan
mendadak (<14 hari) dan menentukan diagnosa awal.
- Mengambil specimen tinja penderita tidak lebih dari 14 hari sejak kelumpuhan,
sebanyak dua kali selang waktu pengambilan I dan II > 24 jam.
- Mengirim kedua specimen tinja ke laboratorium dengan pengemasan khusus (untuk
Jawa Tengah dikirim ke laboratorium Bio Farma Bandung)
- Hasil pemeriksaan specimen tinja akan menjadi bukti virologi adanya virus polio liar
didalamnya.
- Diagnosa akhir ditentukan pada 60 hari sejak kelumpuhan. Pemeriksaan klinis ini
dilakukan oleh dokter spesialis anak atau syaraf untuk menentukan apakah masih
ada kelumpuhan atau tidak.
Hasil pemeriksaan virologis dan klinis akan menjadi bukti yang syah dan meyakinkan
apakah semua kasus AFP yang terjaring termasuk kasus polio atau tidak sehingga
dapat diketahui apakah masih ada polio liar di masyarakat.
Secara statistik jumlah penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara
100.000 anak usia < 15 tahun. Di Jawa Tengah setiap tahun minimal harus menemukan
184 penderita AFP. Pada tahun 2009 Jawa Tengah menemukan 193 penderita AFP,
sehingga telah melampaui target yang harus ditemukan yaitu 184 kasus.. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium, dari 193 kasus yang diperiksa semua menunjukan negatif
polio (berarti tidak ditemukan virus polio liar).
Gambar 3.5
Penemuan Kasus AFP di Provinsi Jawa Tengah
Tahun
2004 -
2009
2. Angka Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)
TB merupakan salah satu kedaruratan global (global emergency). Kegagalan
pengobatan TB sebagian besar karena pasien berobat secara tidak teratur, sehingga
menimbulkan kasus-kasus MDR maupun XDR. WHO telah menyusun strategi yang
dianggap paling cost efektif untuk mengatasi permasalahan kegagalan pengobatan TB,
yaitu dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short Course ) yang
telah dimulai sejak tahun 1995.
Cakupan penemuan kasus TB baru BTA (+) atau case detection rate di Jawa
Tengah tahun 2005 s/d 2008 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 70%.
Meskipun masih dibawah target yang ditentukan, capaian Case Detection Rate tahun
2009 48,15 % meningkat dibanding tahun 2008 sebesar 45,16%, dengan angka
kesembuhan 83,92%
Untuk meningkatkan cakupan CDR dan angka kesembuhan, pada tahun
2009 telah dilakukan berbagai upaya yaitu SDM baik tenaga medis, paramedis dan
laboratorium, pertemuan jejaring antar unit pelayanan kesehatan, assistensi ke rumah
Sakit. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu dievaluasi untuk menilai apakah hasil kegiatan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan sekaligus mengidentifikasi permasalahan yang
ditemukan untuk selanjutnya disusun rencana tindak lanjut perbaikan.
Dengan angka insiden penderita baru BTA (+) sebesar 107/100.000 penduduk,
maka diperkirakan pada tahun 2009 di Provinsi Jawa Tengah terdapat 35.165 penderita
baru BTA (+). Dengan target penemuan penderita baru BTA (+) atau Case Detection
Rate (CDR) > 70%, maka diharapkan minimal 24.615 penderita baru BTA (+) dapat
ditemukan untuk selanjutnya diobati dan disembuhkan.
Penemuan penderita baru BTA (+) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebanyak 16.716 penderita atau 48,15%, meningkat bila dibandingkan dengan CDR
tahun 2008 sebesar 45,16%. CDR tertinggi adalah di Kota Pekalongan sebesar
96,09% dan yang terendah adalah di Kabupaten Grobogan sebesar 24,20%. Terdapat
empat kabupaten/kota yang sudah melampaui target 70% yaitu Kota Pekalongan
(96,09%), Kota Surakarta (92,12%), Kabupaten Pekalongan (89,76%) dan Kabupaten
Batang (80,92%).
Gambar 3.6 Angka Penemuan TB Paru
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Evaluasi pengobatan pada penderita TB paru BTA (+) dilakukan melaluii pemeriksaan
dahak mikroskopis pada akhir fase intensif satu bulan sebelum akhir pengobatan dan
pada akhir pengobatan dengan hasil pemeriksaan negatif. Dinyatakan sembuh bila hasil
pemeriksaan dahak pada akhir pengobatan ditambah minimal satu kali pemeriksaan
sebelumnya (sesudah fase awal atau satu bulan sebelum akhir pengobatan) hasilnya
negatif.
Bila pemeriksaan follow up tidak dilakukan, namun pasien telah menyelesaikan
pengobatan, maka evaluasi pengobatan pasien dinyatakan sebagai pengobatan
lengkap. Evaluasi jumlah pasien dinyatakan sembuh dan pasien pengobatan lengkap
dibandingkan jumlah pasien BTA (+) yang diobati disebut dengan keberhasilan
pengobatan (Succes Rate)
Angka kesembuhan (Cure Rate) TB paru di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 83,92%, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 yang mencapaii
88,45%. Angka ini masih dibawah target nasional sebesar 85%. Angka kesembuhan
tertinggi adalah di Kabupaten Batang sebesar 95,70%, sedang yang terendah adalah di
Kabupaten Blora sebesar 56,22%. Penyebab belum terpenuhinya target cure
rate diantaranya karena lemahnya case holdingkhususnya di BBKPB/BKPM/BP4 dan
rumah sakit yang berakibat tingginya kasus mangkir/default. Untuk meningkatkan case
holding perlu dibentuk jejaring antar unit pelayanan kesehatan dengan koordinator
petugas kabupaten/kota.
Gambar 3.7
Angka Kesembuhan TB Paru
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
3. Persentase Balita Dengan Pneumonia Ditangani
ISPA baik pada anak maupun dewasa adalah salah satu penyakit yang
mempunyai keterkaitan dengan beberapa penyakit lain yang mempunyai gejala awal
dan faktor risiko yang hampir sama. Beberapa penyakit tersebut antara lain TB pada
anak maupun dewasa, Asma, ILI, Flu Baru/H1N1, Flu Burung, dll. Dengan adanya
keterkaitan beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kematian, maka perlu adanya
upaya-upaya baik berupa kebijakan maupun strategi untuk dapat menekan angka
kesakitan dan kematian. Selain itu kita juga perlu mewaspadai dan memahami dengan
adanya sinyal-sinyal epidemiologi. Upaya-upaya yang dilakukan akan menghadapi
masalah dan tidak akan menyelesaikan masalah apabila hanya dilakukan dari sektor
kesehatan saja, oleh karena itu perlu adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik
dari lintas sektor maupun lintas program.
Berdasarkan survei kematian balita tahun 2005 kematian pada balita sebagian
besar disebabkan karena pneumonia (23,6%). Kematian Ibu, Bayi dan Balita
merupakan salah satu parameter derajat kesehatan suatu negara. MDGs dalam goals 4
dan 5 mengamanatkan bahwa angka kematian balita harus mampu diturunkan 2/3 dan
kematian ibu turun ¾ pada tahun 2015. Sehingga tahun 2015 angka kematian bayi
menjadi 17/1000 kelahiran hidup (KH), balita menjadi 23/1000 KH dan angka kematian
ibu turun menjadi 125/100.000 KH. Untuk mencapai angka-angka tesebut sangatlah
tidak mudah mengingat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi.
Berdasarkan SKRT 2001 angka kematian < 1 th disebabkan karena saluran
nafas (28%) dan Perinatal (36%). Penyebab kematian anak 1 - 4 tahun adalah
dikarenakan saluran nafas 23%.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyebab kematian anak yang
paling umum di negara berkembang. Hampir semua kematian karena ISPA pada anak
adalah akibat ISPA bagian bawah terutama Penumonia. Walaupun demikian tidak
semua ISPA bagian bawah serius, bronkhitis relatif sering terjadi pada anak akan tetapi
jarang menyebabkan fatal.
ISPA bagian atas hanya sedikit mengakibatkan kematian akan tetapi dapat
mengakibatkan sejumlah kecacatan. Otitis media merupakan penyebab utama ketulian di
negara berkembang dan sangat berperan dalam timbulnya gangguan perkembangan dan
gangguan belajar pada anak-anak.
Indikator nasional cakupan penemuan penderita pneumonia tahun 2009
sebesar 86%. Kondisi di Jawa Tengah pada tahun 2009 cakupan penemuan
pneumonia mencapaii 26,76%. Perkiraan jumlah balita tahun 2009 sebanyak 4.423.370
balita, dengan jumlah pneumonia 69.619.
Persentase sasaran balita pneumonia yang harus ditemukan dan di
tatalaksana sesuai standart disuatu daerah dalam setahun yaitu:
Tahun Target % penemuan pneumonia
balita
2005 46
2006 56
2007 66
2008 76
2009 86
Gambar 3.8
Cakupan Penanganan Kasus Pnemonia Balita
Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009
Cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita adalah penemuan dan
tatalaksana penderita Pneumonia Balita yang mendapat antibiotik sesuai standar atau
pneumonia berat dirujuk ke rumah sakit di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 25,96% mengalami peningkatan bila dibanding cakupan tahun 2008 yang
mencapai 23,63%. Angka ini masih sangat jauh dari target SPM tahun 2010 sebesar
100%.
4. Prevalensi HIV (Persentase kasus terhadap penduduk berisiko)
Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan tahun 2009 sebanyak 138 sebagian besar
didapat dari hasil konseling dan testing HIV sukarela (VCT/Voluntary Counselling and
Testing) di rumah sakit. Untuk kasus AIDS sebanyak 421 kasus dari laporan VCT
rumah sakit, laporan rutin AIDS kab/kota serta BP4. Peningkatan infeksi HIV dan kasus
AIDS ini dikarenakan upaya penemuan atau pencarian kasus yang semakin intensif
melalui VCT di rumah sakit dan upaya penjangkauan oleh LSM peduli AIDS di
kelompok risiko tinggi. Kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es artinya kasus
yang dilaporkan hanya sebagian kecil yang ada di masyarakat. Berdasarkan hasil
estimasi Depkes tahun 2006 diperkirakan ada sekitar 8.506 ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) di Jawa Tengah, angka ini yang sebenarnya harus dicari. Sementara jumlah
kumulatif HIV/AIDS di Jawa Tengah sampai dengan 2009 sebanyak 2.488 dengan
rincian 1.518 infeksi HIV dan 970 kasus AIDS.
Gambar 3.9
Kasus HIV/AIDS di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 1999 - 2009
Dari grafik di atas menunjukan bahwa kecenderungan (trend) kasus HIV
maupun AIDS selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan secara
signifikan terjadii mulai tahun 2001 (82 HIV/AIDS), hampir dua kali tahun 2000 (43
HIV/AIDS). Penemuan kasus AIDS tahun 2009 meningkat sangat tajam 2 kali lipat lebih
dibanding tahun 2008. Jumlah kasus tertinggi adalah di Kota Surakarta sebanyak 53
kasus. Kabupaten yang tidak ada kasus HIV/AIDS adalah Kabupaten Sragen.
Selain melakukan kegiatan serosurvei HIV dan surveilans/pengamatan kasus
AIDS, Dinas Kesehatan juga melakukan pengamatan terhadap hasil skrining/penapisan
darah donor melalui UTDD PMI Jawa Tengah. Tujuan skrining ini adalah untuk
mengamankan darah donor supaya bebas dari beberapa penyakit seperti Hepatitis C,
Sifilis, Malaria, DBD termasuk juga bebas dari virus HIV. Dari tabel di bawah
menunjukan bahwa dari jumlah sample darah yang diperiksa setiap tahun selalu
ditemukan hasil reaktif HIV. Pada tahun 2008 hasil skrining menunjukan jumlah reaktif
HIV yang paling tinggi yaitu sebesar 520 dari 348.795 jumlah sample yang diperiksa
(1.49). Sedangkan tahun 2009 terjadi penurunan hasil reaktif yang cukup besar yaitu
275 dari 312.793 jumlah sample yang diperiksa (0.88). Dibawah ini nampak terlihat
perkembangan jumlah sample yang diperiksa dan hasil yang reaktif HIV dari tahun 2002
sampai dengan 2009.
Tabel Hasil Skrining Darah Donor di UTDD PMI Jawa Tengah
Tahun 2002-2009
Tahun Jumlah Sample Diperiksa Jumlah
Reaktif HIV
% Reaktif HIV
(1/1000)
2002 215.526 45 0.21
2003 243.448 92 0.38
2004 267.850 219 0.82
2005 282.213 336 1.19
2006 300.410 392 1.30
2007 337.031 271 0.80
2008 348.795 520 1.49
2009 312.793 275 0.88
Dari tabel di atas diketahui bahwa dari tahun 2004-2009 prevalensi pada
screening darah donor di PMI cenderung meningkat setiap tahun dari 0.21 tahun 2002
menjadi 0.88 di tahun 2009. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar
1.49.
Semua darah donoh yang reaktif HIV sudah langsung dimusnahkan dan tidak diberikan
kepada recipient (penerima), sehingga keamanan penerima darah terjamin.
Gambar 3.10
Grafik Trend Prevalensi HIV pada Skrining Darah Donor di Jawa Tengah Tahun 2002-2009
5. Persentase HIV/AIDS Ditangani
Sesuai kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit HIV/AIDS,
seluruh penderita HIV/AIDS harus mendapatkan pelayanan sesuai standar.
Tatalaksanaan penderita HIV/AIDS meliputi Voluntary Counseling Testing (VCT) yaitu
tes konseling secara sukarela, perawatan orang sakit dengan HIV/AIDS,
pengobatan Anti Retroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, dan rujukan kasus
spesifik.
Di Provinsi Jawa Tengah kasus AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1993.
Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Bulan Desember 2009 secara kumulatif
jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 2.488 kasus dengan rincian infeksi HIV sebanyak
1.518 kasus, sedang kasus AIDS sebanyak 970 kasus dan 319 orang diantaranya
sudah meninggal. Keseluruhan (100%) kasus HIV/AIDS yang ditemukan tersebut sudah
mendapat penanganan sesuai standar. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010
sebesar 100%.
6. Persentase Infeksi Menular Seksual Diobati
Penyakit Menular Seksual (PMS) atau biasa disebut penyakit kelamin adalah
penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Yang termasuk PMS adalah
Syphilis, Gonorhoe, Bubo, Jengger ayam, Herpes, dan lain-lain. Infeksi Menular
Seksual (IMS) yang diobati adalah kasus infeksi menular seksual yang ditemukan
berdasarkan syndrome dan etiologi serta diobati sesuai standar.
Jumlah kasus infeksi menular seksual di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Peningkatan kasus ini dikarenakan pencatatan dan
pelaporan yang semakin baik. Meskipun demikian kemungkinan kasus yang
sebenarnya di populasi masih banyak yang belum terdeteksi. Program Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Menular Seksual mempunyai target bahwa seluruh kasus
IMS yang ditemukan harus diobati sesuai standar.
Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009, kasus IMS diobati sebesar 77,80%,
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 98,14%.
Ini berarti belum seluruh kasus IMS yang ditemukan diobati atau belum mencapai target
yaitu 100%.
Gambar 3.11
Cakupan Penanganan Kasus Infeksi Menular Seksual
Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 - 2009
7. Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue masih merupakan permasalahan serius di
Provinsi Jawa Tengah terbukti 35 kabupaten/kota sudah pernah terjangkit penyakit
DBD. Angka kesakitan / Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 sebesar 5,74/10.000 penduduk. Angka ini mengalami penurunan bila
dibandingkan tahun 2008 sebesar 5,92/10.000 penduduk. Meskipun demikian, angka
tersebut masih jauh di atas target nasional yaitu < 2/10.000 penduduk. Angka kesakitan
tertinggi adalah di Kota Semarang yaitu sebesar 23,79/100.000 penduduk, terendah
adalah di Kabupaten Brebes yaitu sebesar 1,14/10.000 penduduk. Setiap penderita
DBD yang dilaporkan dilakukan tindakan perawatan penderita, penyelidikan
epidemiologi di lapangan serta upaya pengendalian.
Tingginya angka kesakitan DBD di Provinsi Jawa Tengah ini disebabkan karena
adanya iklim yang tidak stabil dan curah hujan yang cukup banyak pada musim
penghujan yang merupakan sarana perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegipty yang
cukup potensial, juga didukung dengan tidak maksimalnya kegitan PSN di masyarakat
sehingga menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD di beberapa
kabupaten bahkan di beberapa provinsi. Gambar 3.12
Angka Kesakitan dan Kematian DBD
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 - 2009
Angka kematian / Case Fatality Rate (CFR) DBD pada tahun 2009 adalah
sebesar 1.42%, lebih tinggi bila dibandingkan CFR tahun 2008 sebesar 1,19%. Begitu
juga bila dibandingkan dengan target nasional (<1%), angka ini juga masih berada
diatasnya. Angka kematian tertinggi adalah di Kota Pekalongan yaitu sebesar 18,00%
dan yang terendah atau tidak ada kematian adalah Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Banyumas. Angka kesakitan DBD di Kabupaten/Kota hampir
semuanya lebih dari 2 per 10.000 penduduk. Hanya ada 4 Kabupaten/Kota dengan
angka kesakitan kurang dari 2 per 10.000 penduduk yaitu Kabupaten Kebumen,
Pemalang, Brebes dan Kota Pekalongan.
Kabupaten/Kota yang tidak terjadi kematian karena DBD sebanyak 2
Kabupaten yaitu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara. Sedangkan
Kabupaten/Kota dengan angka kematian lebih dari 1 % sebanyak 20 Kabupaten/Kota. 8. Penanganan Kasus DBD
Penderita DBD yang ditangani adalah penderita DBD yang penanganannya
sesuai standar di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan penderita
DBD yang ditangani di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 100%, berarti
sudah mencapai target SPM tahun 2010 sebesar 100%. Demikian juga dengan tahun-
tahun sebelumnya, cakupan penderita DBD yang ditangani selalu mencapai 100%,
artinya seluruh penderita DBD yang ada semuanya ditangani sesuai standar.
Cakupan penanganan penderita DBD yang sudah 100% ini berdampak pada
penurunan angka kematian penyakit DBD yang cenderung menurun dari tahun ke tahun
yaitu dari 2,53 pada tahun 2005, menjadi 2,01 pada tahun 2006, 1,6 pada tahun 2007,
dan 1,19 pada tahun 2008. Tetapi pada tahun 2009 mengalami peningkatan angka
kematian (CFR) sebesar 1,42 yang disebabkan adanya keterlambatan deteksi dini oleh
masyarakat sehingga mengakibatkan terlambatnya penanganan kasus DBD pada
pelayanan kesehatan.
9.
9. Penanganan Diare pada Balita
Cakupan penemuan diare di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 48,5%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 47,8%. Data
selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa cakupan penemuan diare masih sangat
jauh di bawah target yang diharapkan yaitu sebesar 80%. Hal ini disebabkan oleh
belum maksimalnya penemuan penderita diare baik oleh kader, puskesmas, RS swasta
maupun pemerintah.
Gambar 3.13
Cakupan Penemuan Penderita Diare
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Adanya peningkatan cakupan penemuan penderita diare disebabkan adanya
peningkatan pengiriman laporan dari kabupaten/kota dibandingkan tahun sebelumnya.
Gambar 3.14
Grafik Kasus diare berdasarkan kelompok umur
Di Jawa Tengah tahun 2005 - 2009
Kasus penyakit diare per golongan umur dari tahun 2005 sampai tahun 2009
juga mengalami kenailkan, tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan untuk kasus
yang dewasa meskipun untuk kasus balita juga mengalami kenaikan Gambar 3.15
Grafik CFR Diare di Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Dari gambar 3.16 terlihat bahwa angka kematian diare (CFR) di Jawa Tengah
tahun 2006 mengalami penurunan, tetapi tahun 2007 sampai tahun 2009 mengalami
kenaikan, hal ini dapat dinilai bahwa tatalaksana diare yang belum sesuai dengan
standar SOP, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pencegahan diare dan
pengetahuan petugas tentang upaya penanggulangan diare.
Incidence Rate diare di Provinsi Jawa tengah pada tahun 2009 sebesar 1,95%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar
1,86%. Incidence Rate tertinggi adalah di Kota Tegal yaitu sebesar 4,02% dan yang
terendah adalah di Kabupaten Pati sebesar 0,59%. Sedangkan Case Fatality Rate diare
pada tahun 2009 ini sebesar 0.021%, mengalami peningkatan bila dibandingkan
dengan CFR tahun 2008 sebesar 0.006%. CFR tertinggi adalah di Kabupaten Cilacap
yaitu sebesar 0.36%, dan yang terendah atau tidak ada kasus kematian yang
disebabkan diare terjadi di 20 kabupaten/kota.
Jumlah kasus diare pada Balita setiap tahunnya rata-rata di atas 40%. Ini
menunjukkan bahwa kasus diare pada Balita masih tetap tinggi dibandingkan golongan
umur lainnya. Berdasarkan tujuan dari program P2 diare episode yang diharapkan
adalah 1-2 kali/tahun, artinya maksimal balita boleh terkena diare tidak lebih dari dua
kali dalam setahun. Cakupan penanganan Balita dengan diare di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009 sebesar 100%, berarti sudah mencapai target. Demikian juga pencapaian
tahun 2008 sudah mencapai 100%.
10. Angka Kesakitan Malaria
Penyakit Malaria masih menjadi permasalahan Kesehatan masyarakat di
Provinsi Jawa Tengah. Saat ini tidak ditemukan baik kabupaten maupun
kecamatan High Case Incidence ( HCI ) namun masih ditemukan desa High Case
Incidence ( HCI )sebanyak 16 desa yang tersebar di 5 Kabupaten yaitu Purworejo,
Kebumen, Purbalingga, Banyumas dan Jepara. Secara umum di Jawa Tengah kasus
malaria pada tahun 2009 mengalami penurunan meskipun sangat kecil
persentasenya. Peta endemisitas Kabupaten yang mempunyai desa HCI Malaria di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.16
Peta Endemisitas Malaria di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
Annual Parasite Incidence ( API ) merupakan indikator untuk memantau
perkembangan penyakit Malaria di wilayah Jawa - Bali. Dengan API sebesar
0.04 %o pada tahun 2009, ini berarti sama dibandingkan tahun 2008 ( API
mencapai 0.04 %o). Perkembangan insidens malaria di Provinsi Jawa Tengah
sejak tahun 2005 dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.17
Annual Parasite Incidence Malaria (‰)
Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009
Pada tahun 2009 API Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,044 ‰ terjadi sedikit
penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 0,049 ‰. Demikian jugaterjadi penurunan
jumlah kasus pada tahun 2009 (1529 kasus) dibandingkan tahun 2008 ( 1602 kasus).
Penurunan insidens Malaria ini sebagai langkah awal menuju Jawa Tengah bebas
Malaria (eliminasi malaria ) pada tahun 2015.
11. Persentase Penderita Malaria Diobati
Persentase penderita Malaria yang diobati di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 secara rata-rata adalah 100%, ini berarti sudah mencapai target SPM 2010
sebesar 100%. Sebanyak 15 kabupaten/kota tidak ditemukan kasus Malaria yaitu :
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Blora, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Batang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota
Surakarta, Kota Salatiga, dan Kota Tegal.
12. Persentase Penderita Kusta Selesai Berobat
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, yang dapat
menimbulkan masalah sangat komplek. Bukan hanya segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi. Stigmatisasi di masyarakat hingga kini masih menjadi
ganjalan utama dalam upaya memutus rantai penularan kusta. Akibatnya, meski secara
signifikan terjadi penurunan angka prevalensi, namun kasus-kasus baru masih selalu
bermunculan. Dengan kemajuan teknologi pengobatan, melalui MDT (Multy Drug
Therapy) dan kemajuan teknologi komunikasi untuk promotif dan pencegahan
seharusnya penyakit kusta sudah dapat diatasi dan tidak menjadi masalah lagi
Meskipun terdapat Unit Pelayanan Kesehatan yang cukup banyak namun tidak
semua UPK menemukan dan mengobati penderita kusta. Di Jawa Tengah hanya ada 2
Rumah Sakit yang memberikan pelayanan khusus kepada penderita kusta yaitu RSU
Tugurejo di Semarang, RS Kelet Donorejo di Jepara. Hal tersebut disebabkan penyakit
kusta tidak tersebar di semua daerah.
Tahun 1991 WHO mengeluarkan resolusi eliminasi kusta tahun 2000. Eliminasi
adalah menekan angka kusta sampai kusta tidak menjasi masalah kesehatan. Menurut
WHO, angka eliminasi kusta prevalensi <1/ 10.000 penduduk. Indonesia tahun 2000
sudah capai eliminasi kusta (prev <1/10.000 penduduk dan CDR < 0,5/ 10.000
penduduk.
Provinsi Jawa Tengah tahun 2000 sudah capai eliminasi kusta. Tetapi kalau
dilihat per kab/ kota masih ada yang endemis. Ada 8 kabupaten/ kota hight endemis
kusta yang berada di pantai utara Jawa (pantura) Kabupaten Blora, Rembang, Kudus,
Pekalongan, Pemalang, Tegal, Kota Pekalongan, dengan prevalensi >1/ 10.000
penduduk dan angka penemuan penderita baru tiap tahun >5/ 100.000 penduduk. Ada
6 kabupaten/ kota termasuk sustained endemis kusta yang juga ada di sekitar pantura,
kabupaten Pati, Grobogan, Demak, Jepara, Batang dan kota Tegal dimana prevalensi
penderita kusta < 1/ 10.000 penduduk tetapi angka penemuan penderita baru tiap tahun
>5/ 100.000 penduduk. Penemuan penderita kusta baru di Jawa Tengah tiap tahun
sekitar 1500 samapai dengan 1700 kasus, 80% berasal dari 9 kabupaten/ kota hihg
endemis dan 5 sustained endemic.
Setelah dicermati data penderita kusta dari tahun ke tahun tidak menunjukkan
penurunan yang bermakna.
- Penderita baru ditemukan (CDR) sekitar 1.500 per tahun
- Penderita anak 9%
- Penderita cacat tk.2 mencapai 11% (200 orang) Gambar 3.18
Kab/Kota dengan kasus kusta tinggi
Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
Cakupan program kusta diukur berdasarkan angka penderita kusta type PB dan
MB selesai berobat. Cakupan program kusta type MB tahun 2009 berdasarkan jumlah
penderita baru tahun 2007 yang selesai berobat sampai dengan tahun 2009 hanya 87%
lebih rendah dari target 95%. Sedangkan kusta type PB diambil dari data penderita baru
tahun 2008 yang selesai berobat ada 85% lebih rendah dari target 90%. Cakupan
selama 3 tahun terakhir kusta type PB cenderung menurun, sedangkan type MB
cenderung naik sedikit. Cakupan kusta tidak bisa tercapai dikarenakan masih banyak
penderita yang tidak berobat teratur atau penderita yang seharusnya sudah selesai
berobat (Release From Treatment/ RFT) tetapi belum dicatat sudah RFT. Rendahnya
cakupan penderita kusta yang RFT juga dikarenakan adanya ketentuan baru
pengobatan untuk penderita default. Penderita PB tidak minum obat lebih dari 3 bulan
dalam jangka waktu 9 bulan sudah dianggap default. Ketentuan lama penderita disebut
default kalau 3 bulan berturut-turut tidak minum obat. Penderita MB tidak minum obat
lebih dari 6 bulan dalam jangka wakti 18 bulan sudah disebut default. Ketentuan lama
penderita MB berturut-turut 6 bulan tidak berobat baru dikatakan default.
Gambar 3.19
Peta Endemisitas Kusta di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
13. Kasus Penyakit Filariasis Ditangani
Jumlah kasus Filariasis di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Secara kumulatif, jumlah kasus Filariasis pada tahun 2009 sebanyak 356
penderita. Untuk tahun 2009 kabupaten/kota yang melaporkan adanya penderita
sebanyak 24 kabupaten/kota. Pada tahun 2009 terdapat 2 (dua) kabupaten/kota yang
endemis Filariasis yaitu : Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.
Gambar 3.20
Penemuan Penderita Filariasis
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Kasus Filariasis yang ditangani di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009
adalah 100%. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010 sebesar ≥ 90%.
Sebagaimana tahun 2008, penanganan kasus Filariasis pada tahun - tahun
sebelumnya juga sudah mencapaii 100% atau semua kasus yang ada mendapatkan
penanganan sesuai standar. Sebanyak 10 kabupaten/kota tidak ditemukan kasus
Filariasis yaitu : Kabupaten Magelang, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri,
Grobogan, Rembang, Jepara, Kota Magelang, Kota Surakarta dan Kota Semarang.
14. Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
Yang termasuk dalam PD3I yaitu Polio, Campak, Difteri, dan Tetanus
Neonatorum. Dalam upaya untuk membebaskan Indonesia dari penyakit tersebut,
diperlukan komitmen global untuk menekan turunnya angka kesakitan dan kematian
yang lebih banyak dikenal dengan Eradikasi Polio (ERAPO), Reduksi Campak
(Redcam) dan Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN).
Saat ini telah dilaksanakan Program Surveilans Integrasi PD3I, yaitu
pengamatan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Difteri, Tetanus
Neonatorum, dan Campak). Dalam waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus PD3I yang
dilaporkan adalah sebagi berikut:
a. Difteri
Jumlah kasus Difteri di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 30
kasus yang tersebar di 9 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Grobogan, Kabupaten Semarang, Kabupaten Brebes, Kota Semarang dan Kota
Surakarta. Sedangkan 26 kabupaten/kota yang lain tidak ada kasus.
Jumlah kasus Difteri pada tahun 2009 ini lebih banyak bila dibandingkan
dengan tahun 2008 tetapi lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun tahun
sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena pencapaian cakupan imunisasi yang
meningkat (> 85%). Penemuan kasus selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 3.21
Penemuan Kasus Difteri di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 - 2009
b. Tetanus Neonatorum
Jumlah kasus Tetanus Neonatorum di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 sebanyak 15 kasus yang tersebar di 7 kabupaten/kota yaitu Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang,
Kabupaten Kudus, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes. Sedangkan 28
kabupaten/kota lainnya tidak ada kasus.
Kasus tertinggi adalah di Kabupaten Rembang sebanyak 5 kasus dan
Kabupaten Brebes sebanyak 4 kasus, sedangkan 5 kabupaten lainnya masing-
masing
1 - 2 kasus. Penemuan kasus Tetanus Neonatorum selama lima tahun
terakhir dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.22
Penemuan Kasus Tetanus Neonatorum di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 -
2009
c. Campak
Jumlah kasus Campak di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebanyak 3.614
kasus. Kasus terbanyak terdapat di Kabupaten Banjarnegara sebesar 659 kasus.
Ada 4 Kabupaten yang tidak terdapat kasus yaitu Kab. Sragen, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Demak, dan Kota Pekalongan.
Jumlah kasus Campak tahun 2009 ini mengalami kenaikan yang
signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini dimungkinkan karena
pencapaian cakupan imunisasi yang menurun dari 99,18% menjadi 96,595.
Penemuan kasus campak selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 3.23
Kasus Campak Yang Dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 -
2009
15. Penyakit Tidak Menular
Penyakit tidak menular (PTM) yang diintervensi meliputi jantung koroner,
dekompensasio kordis, hipertensi, stroke, diabetes mellitus, kanker serviks, kanker
payudara, kanker hati, kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis, asma bronkiale, dan
kecelakaan lalu lintas. Penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, stroke,
diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif kronis dan kanker tertentu, dalam kesehatan
masyarakat sebenarnya dapat digolongkan sebagai satu kelompok PTM utama yang
mempunyai faktor risiko sama (common underlying risk factor). Faktor risiko tersebut
antara lain faktor genetik merupakan faktor yang tidak dapat diubah (unchanged risk
factor), dan sebagian besar berkaitan dengan faktor risiko yang dapat diubah (change
risk factor) antara lain konsumsi rokok, pola makan yang tidak seimbang, makanan
yang mengandung zat aditif, kurang berolah raga dan adanya kondisi lingkungan yang
tidak kondusif terhadap kesehatan.
Penyakit tidak menular mempunyai dampak negatif sangat besar karena
merupakan penyakit kronis. Apabila seseorang menderita penyakit tidak menular,
berbagai tingkatan produktivitas menjadi terganggu. Penderita ini menjadi serba
terbatas aktivitasnya, karena menyesuaikan diri dengan jenis dan gradasi dari penyakit
tidak menular yang dideritanya. Hal ini berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan
tidak diketahui kapan sembuhnya karena memang secara medis penyakit tidak menular
tidak bisa disembuhkan tetapi hanya bisa dikendalikan. Yang harus mendapatkan
perhatian lebih adalah bahwa penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian
tertinggi dibanding dengan penyakit menular.
a. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit yang mengganggu
jantung dan sistem pembuluh darah seperti penyakit jantung koroner (angina
pektoris, akut miokard infark), dekompensasio kordis, hipertensi, stroke, penyakit
jantung rematik, dan lain-lain. Penyakit Tidak Menular di Jawa Tengah Tahun 2009
hanya sebesar 91 % karena masih ada 3 Kab/kota yang belum ada datanya. Ada
penurunan kasus yang cukup tajam pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008
sebesar 640.195 kasus atau sebesar 29,45 %. Hampir semua kelompok Penyakit
Tidak Menular mengalami penurunan jumlah kasus, kecuali kasus penyakit psikosis
yang justru mengalami peningkatan sebesar 137 % dari tahun 2008. Artinya jumlah
kasus Psikosis pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebanyak 1,37 kali
dibanding tahun 2008. Kasus tertinggi Penyakit Tidak Menular pada tahun 2009
adalah kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah. Ada sebanyak 833.094
kasus penyakit jantung dan pembuluh darah (54,33 %). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 3.24
Kasus Penyakit Tidak Menular di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
Adapun kasus tertinggi Penyakit Tidak Menular Tahun 2009 pada kelompok
penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit Hipertensi Esensial,
yaitu sebanyak 698.816 kasus (83,88 %). Adapun jumlah kasus tertinggi ada di
Kabupaten Klaten sebanyak 56.404 kasus (8,07 %). Disamping itu, penyakit
Hipertensi Essensial dalam 3 tahun terakhir ini menunjukkan adanya peningkatan
kasus yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 3.25
Tren Peningkatan Kasus Hipertensi Essensial di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 -
1) Hipertensi
Hipertensi atau sering disebut dengan darah tinggi adalah suatu keadaan
di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang memberi gejalaberlanjut pada
suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke
(terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung
koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan
ventrikel kiri / bilik kiri (terjadi pada otot jantung).
Hipertensi merupakan penyakit yang sering dijumpai diantara penyakit
tidak menular lainnya. Hipertensi dibedakan menjadi hipertensi primer yaitu
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yaitu
hipertensi yang muncul akibat adanya penyakit lain seperti hipertensi ginjal,
hipertensi kehamilan, dll.
Prevalensi kasus hipertensi essensial di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 2,13% menurun bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar
2,65%. Terdapat dua kabupaten/kota dengan prevalensi sangat tinggi di atas
10% yaitu Kota Magelang sebesar 14,08% dan Kota Tegal sebesar 10,38%.
Gambar 3.26
Prevalensi Kasus Hipertensi Essensial
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009
2) Stroke
Stroke adalah suatu penyakit menurunnya fungsi syaraf secara akut
yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara mendadak
dan cepat yang menimbulkan gejala dan tanda sesuai dengan daerah otak yang
terganggu. Stroke disebabkan oleh kurangnya aliran darah yang mengalir ke
otak, atau terkadang menyebabkan pendarahan di otak.
Stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik yaitu adanya perdarahan
otak karena pembuluh darah yang pecah dan stroke non hemoragik yaitu lebih
karena adanya sumbatan pada pembuluh darah otak. Prevalensi stroke
hemoragik di Jawa Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih tinggi dibandingkan
dengan angka tahun 2008 sebesar 0.03. Prevalensi tertinggi tahun 2009 adalah
di Kab. Kebumen sebesar 0,29%. Sedang prevalensi stroke non hemorargik
pada tahun 2009 sebesar 0,09%, mengalami penurunan bila dibandingkan
prevalensii tahun 2008 sebesar 0,11%. Prevalensi tertinggi adalah di Kota
Surakarta sebesar 0,75%.
Gambar 3.27
Prevalensi Penyakit Stroke Hemoragik & Non Hemoragik
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
3) Dekompensasio Kordis
Dekompensasio kordis merupakan kegagalan jantung dalam memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau istilah lain adalah payah
jantung. Gambaran klinis dekompensasio kordis kiri adalah sesak
nafas: dyspnoe d’effort dan ortopne, pernafasan cheynes stokes, batuk-batuk
mungkin hemoptu, sianosis, suara serak, ronchi basah halus tidak nyaring,
tekanan vena jugularis masih normal. Sedangkan gambaran klinis
dekompensasio kordis kanan adalah gangguan gantrointestinal seperti
anoreksia, mual, muntah, meteorismus dan rasa kembung di epigastrum. Selain
itu terjadi pembesaran hati yang mula-mula lunak, tepi tajam, nyeri tekan, lama
kelamaan menjadi keras, tumpul dan tidak nyeri. Dapat juga terjadi edema
pretibial, edema presakral, asites dan hidrotoraks, tekanan jugularis meningkat.
Prevalensi kasus dekompensasio kordis tahun 2009 sebesar 0,14%
artinya dari 10.000 orang terdapat 14 orang yang menderita penyakit ini,
mengalami penurunan bila dibandingkan prevalensi tahun 2008 sebesar 0,18%.
Prevalensi tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 1,10%.
Gambar 3.28
Prevalensi Dekompensasio Kordis
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
b. Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis adalah suatu kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah
akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif. Absolut artinya pankreas
sama sekali tidak bisa menghasilkan insulin sehingga harus mendapatkan insulin
dari luar (melalui suntikan) dan relatif artinya pankreas masih bisa menghasilkan
insulin yang kadarnya berbeda pada setiap orang. (Perkeni 2002)
WHO (1985) mengklasifikasikan penderita DM dalam lima golongan klinis,
yaitu DM tergantung insulin (DMTI), DM tidak tergantung insulin (DMTTI), DM
berkaitan dengan malnutrisi (MRDM), DM karena toleransi glukosa terganggu (IGT),
dan DM karena kehamilan (GDM). Di Indonesia, yang terbanyak adalah DM tidak
tergantung insulin. DM jenis ini baru muncul pada usia di atas 40 tahun. DM dapat
menjadi penyebab aneka penyakit seperti hipertensi, stroke, jantung koroner, gagal
ginjal, katarak, glaukoma, kerusakan retina mata yang dapat membuat buta,
impotensi, gangguan fungsi hati, luka yang lama sembuh mengakibatkan infeksi
hingga akhirnya harus diamputasi terutama pada kaki.
DM merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikendalikan, artinya sekali didiagnosa DM seumur hidup bergaul dengannya.
Penderita mampu hidup sehat bersama DM, asalkan mau patuh dan kontrol
teratur. Gejala khas berupa Polyuri (sering kencing), Polydipsi(sering
haus), Polyfagi (sering lapar). Sedangkan gejala lain seperti Lelah/lemah, berat
badan menurun drastis, kesemutan/gringgingan, gatal/bisul, mata kabur, impotensi
pada pria, pruritis vulva hingga keputihan pada wanita, luka tdk sembuh-sembuh,
dll. Kelompok Faktor Risiko Tinggi antara lain pola makan yang tidak seimbang,
riwayat Keluarga/ada keturunan, kurang olah raga, umur Lebih dari 40th, obesitas,
hipertensi, kehamilan dengan berat bayi lahir > 4 kg, kehamilan dengan
hiperglikemi, gangguan toleransi glukosa, lemak dalam darah tinggi, abortus,
keracunan kehamilan, bayi lahir mati, berat badan turun drastis, mata kabur,
keputihan, gatal daerah genital, dan lain-lain.
Prevalensi diabetes mellitus tergantung insulin (DM TI) di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2009 sebesar 0,19%, mengalami peningkatan bila dibandingkan
prevalensi tahun 2008 sebesar 0,16%. Prevalensi tertinggi adalah di Kota
Semarang sebesar 1,15%. Sedang prevalensi kasus DM tidak tergantung insulin
lebih dikenal dengan DM tipe II, mengalami penurunan dari 1,25% menjadi 0,62%
pada tahun 2009. Prevalensi tertinggi adalah di Kota Surakarta sebesar 5,11%.
Gambar 3.29
Prevalensi Penyakit Diabetes Mellitus
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
c. Neoplasma
Neoplasma atau kanker adalah tumor ganas yang ditandai
dengan pertumbuhan dan perkembangan abnormal dari sel-sel tubuh, yang tumbuh
tanpa kontrol dan tujuan yang jelas, mendesak dan merusak jaringan normal. Di
Indonesia terdapat lima jenis kanker yang banyak diderita penduduk yakni kanker
rahim, kanker payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker kulit, dan kanker
rektum.
Kasus penyakit kanker yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 sebesar 24.204 kasus lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2008
sebanyak 27.125 kasus, terdiri dari Ca. servik 9.113 kasus (37,65%), Ca. mamae
12.281 kasus (50,74%), Ca. hepar 2.026 (8,37%), dan Ca. paru 784 kasus (3,24%).
Prevalensi kanker di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah
sebagaii berikut : kanker serviks sebesar 0,028% dan tertinggi di Kota Semarang
sebesar 0,382%; kanker payudara sebesar 0,037% dan tertinggi di Kota Surakarta
sebesar 0,637%; kanker hati sebesar 0,006% dan tertinggi di Kota Surakarta
sebesar 0,034%; kanker paru 0,002% dan tertinggi di Kota Surakarta sebesar
0,027%.
Gambar 3.30
Prevalensi Penyakit Kanker
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
d. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Penyakit Paru Obtruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
adanya hambatan aliran pernafasan bersifat reversible sebagian dan progresif yang
berhubungan dengan respon inflamsi abnormal dari paru terhadap paparan partikel
atau gas berbahaya. (Global Obstructive Lung Disease 2003).Faktor risiko pencetus
terjadinya PPOK adalah perokok aktif/pasif, debu dan bahan kimia, polusi udara di
dalam atau di luar ruangan, infeksi saluran nafas terutama waktu anak-anak, usia,
genetik, jenis kelamin, ras, defisiensi alpha-1 antitripsin, alergi dan autoimunitas.
Prevalensi kasus PPOK di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan
yaitu dari 0,20% pada tahun 2008 menjadi 0.12% pada tahun 2009 dan tertinggi di
Kota Tegal sebesar 0,83%.
Gambar 3.31
Prevalensi PPOK Di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 - 2009
e. Asma Bronkial
Asma Bronkial terjadi akibat penyempitan jalan napas yang reversibel dalam
waktu singkat oleh karena mukus kental, spasme, dan edema mukosa serta
deskuamasi epitel bronkus / bronkeolus, akibat inflamasi eosinofilik dengan
kepekaan yang berlebihan. Serangan asma bronkhiale sering dicetuskan oleh ISPA,
merokok, tekanan emosi, aktivitas fisik, dan rangsangan yang bersifat
antigen/allergen antara lain :
- Inhalan yang masuk ketubuh melalui alat pernafasan misalnya debu rumah,
serpih kulit dari binatang piaraan, spora jamur dll.
- Ingestan yang masuk badan melalui mulut biasanya berupa makanan seperti
susu, telur, ikan-ikanan, obat-obatan dll.
- Kontaktan yang masuk badan melalui kontak kulit seperti obat-obatan dalam
bentuk salep, berbagai logam dalam bentuk perhiasan, jam tangan dll.
Prevalensi kasus asma di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar
0.66% mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar
1,07% dan prevalensi tertinggi di Kota Surakarta sebesar 2,42%.
Gambar 3.32
Prevalensi Asma Bronkial
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009 C. ANGKA STATUS GIZI MASYARAKAT
1. Persentase Kunjungan Neonatus
Kunjungan neonatus (KN) adalah kunjungan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan ke rumah ibu bersalin, untuk memantau dan memberi pelayanan
kesehatan untuk ibu dan bayinya. Pada Permenkes 741/ th. 2008, Standar
Pelayanan Minimal (SPM), KN dibagi menjadi 3, yaitu KN 1 adalah kunjungan
pada 0-2 hari ,KN 2 adalah kunjungan 2-7 hari dan KN 3 adalah kunjungan setelah
7- 28 hari. Cakupan kunjungan neonatus di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009
sebesar 99,37%, terjadi kenaikan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 94,66. Dari
35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah, rata-rata KN-1 sudah lebih dari 90 %, bahkan
beberapa Kabupaten/Kota ada yang mencapai 100%. Adapun KN-1 Jawa Tengah
tahun 2009 yang masih kurang dari 90 % adalah Kab Tegal (83,69).
Untuk meningkatkan Kunjungan Neonatus di Kabupaten/Kota, pemerintah
telah mengupayakan alokasi dana diantaranya melalui dana Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) disamping pendanaan lainnya baik dari Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Selain itu perlu dilakukan analisis apakah jumlah tenaga
kesehatan yang ada telah mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan tersebut
serta tenaga kesehatan yang bertugas apakah telah melakukan pelayanan
kesehatan secara optimal.
Untuk lebih jelasnya kunjungan neonatal di Jawa Tengah pada tahun 2009
adalah sebagai berikut :
Gambar 3.33
Cakupan Kunjungan Neonatus
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Secara keseluruhan di tingkat Provinsi Jawa Tengah cakupan kunjungan
neonatus sudah memenuhi target yaitu lebih dari 90%, . Hal ini dimungkinkan
adanya upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat
melalui bidan, bertambahnya tenaga bidan desa dan penempatan bidan di desa.
Selain itu juga upaya peningkatan pelayanan tenaga kesehatan melalui pelatihan
Manajemen Terpadu bayi Muda ( MTBM) dan penyuluhan perawatan neonatus di
rumah dengan menggunakan buku KIA dan meningkatnya pengetahuan ibu untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan untuk bayinya.
2. Persentase Kunjungan Bayi
Kunjungan bayi adalah bayi yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai
dengan standar oleh tenaga kesehatan, paling sedikit 4 kali, di luar kunjungan
neonatus. Setelah umur 28 hari. Setiap bayi berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan memantau pertumbuhan dan perkembangannya secara teratur
setiap bulan di sarana pelayanan kesehatan. Cakupan kunjungan bayi tingkat
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 95,12%, menurun bila
dibandingkan tahun 2008 sebesar 96,44%.
Bila merujuk pada target cakupan kunjungan bayi tahun 2009 dalam Renstra
Dinas Kesehatan provinsi Jawa Tengah, yaitu minimal 50%, maka cakupan
kunjungan bayi tahun 2009 telah tercapai. Artinya Kabupaten/Kota dengan cakupan
kunjungan bayi mencapai 90% sudah lebih dari 50%. Namun demikian upaya
peningkatan secara kuantitas dan kualitas terus dilakukan mengingat sistem
pencatatan dan pelaporan di setiap jenjang masih perlu ditingkatkan.
Cakupan kunjungan bayi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2009
yang cakupannya masih dibawah 90 % yaitu Kabupaten Batang (24,10%),
Kabupaten Sragen (83,27%),Kabupaten Pemalang (84,12%) dan Kabupaten
Cilacap (86,21%). Sedangkan Kabupaten/Kota yang telah mencapai 100% yaitu
KabupatenKota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kabupaten
Pekalongan, Kab. Banjarnegara, Kab. Banyumas, dan Kabupaten Sukoharjo.
Cakupan kunjungan bayi di Jawa Tengah dari tahun 2005 sampai tahun
2009 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 3.34
Cakupan Kunjungan Bayi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Perlu diwaspadai, mengingat cakupan Kunjungan Bayi tahun 2009 menurun
dibandingkan tahun 2008. Selain itu perlu dilakukan kajian apakah kunjungan bayi
sudah memenuhi kualitas kunjungan yang baik, yaitu sudah memberikan pelayanan
kesehatan bagi bayi, pemantauan pertumbuhan dengan penimbangan dan
pengukuran tinggi badan untuk mengetahui status gizi bayi, pemantauan
perkembangan melalui Stimulasi, Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang
(SDIDTK) serta pemberian imunisasi dasar lengkap .
3. Persentase BBLR Ditangani
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram. Penyebab terjadinya BBLR antara lain karena ibu hamil
mengalami anemia, kurang suply gizi waktu dalam kandungan, ataupun lahir kurang
bulan. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah perlu penanganan yang serius,
karena pada kondisi tersebut bayi mudah sekali mengalami hipotermi dan belum
sempurnanya pembentukan organ-organ tubuhnya yang biasanya akan menjadi
penyebab utama kematian bayi.
Jumlah bayi berat lahir rendah ( BBLR) di Jawa Tengah pada tahun 2009
sebanyak 16.303 meningkat bila dibandingan tahun 2008 sebesar 11.865. Adapun
persentase bayi dengan berat lahir rendah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 2,81% meningkat bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 2.08,%. Bayi
dengan berat badan lahir rendah yang ditangani oleh tenaga kesehatan secara
keseluruhan di tingkat Provinsi Jawa Tengah, cakupannya tidak selalu mengalami
peningkatan. Tahun 2009 bayi BBLR yang ditangani sebesar 96,67% menurun bila
dibandingkan tahun 2008 sebesar 99,67 % meningkat bila dibandingkan tahun
2007 sebesar 92,77%. Kenaikan cakupan ini dimungkinkan karena penanganan
BBLR yang banyak ditangani oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan
kesehatan pemerintah, swasta dan penanganan lain. Kemungkinan peningkatan
lain juga karena mulai dikembangkan dan sosialisasi pelatihan mengenai
manajemen asfekia, dan manajemen BBLR, penerapan Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM) pada petugas kesehatan baik di tingkat kabupaten sampai ke
Puskesmas, yang salah satu metode di dalamnya adalah metode kanguru
(menghangatkan bayi dengan sentuhan kulit bayi dan ibu/ pengasuhnya secara
langsung ) diharapkan dapat mengurangi kematian bayi BBLR dan pengobatan
secara dini bagi bayi melalui MTBM dan MTBS.
Cakupan BBLR yang ditangani di Jawa Tengah tahun 2009 sudah
memenuhi target dalam Renstra Dinas Kesehatan provinsi Jawa Tengah sebesar
70 %. Namun apabila dilihat per Kabupaten/Kota, masih ada yang belum mencapai
target yaitu Kabupaten Banjarnegara (42,01%).
4. Balita Dengan Gizi Buruk
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan tumbuh kembang Balita di Posyandu, dilanjutkan dengan penentuan
status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi
buruk harus segera ditindak lanjuti dengan rencana tindak yang jelas, sehingga
penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal.
Pendataan gizi buruk di Jawa Tengah didasarkan pada 2 kategori yaitu
dengan indikator membandingkan berat badan dengan umur (BB/U) dan kategori
kedua adalah membandingkan berat badan dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining
pertama dilakukan di posyandu dengan membandingkan berat badan dengan umur
melalui kegiatan penimbangan, jika ditemukan balita yang berada di bawah garis
merah (BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan konfirmasi status gizi
dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan. Jika ternyata
balita tersebut merupakan kasus buruk, maka segera dilakukan perawatan gizi
buruk sesuai pedoman di Posyandu dan Puskesmas. Jika ternyata terdapat
penyakit penyerta yang berat dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera
dirujuk ke rumah sakit.
Berdasarkan hasil penimbangan pada tahun 2009 jumlah gizi buruk dengan
indikator berat badan menurut tinggi badan sebanyak 4.908 balita (0,26%) lebih
rendah bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebanyak 5.598 balita (0,28%), angka
ini masih lebih rendah dari target nasional sebesar 3%. Angka tertinggi di
Kab. Cilacap sebesar 3,56% dan terendah di Kabupaten Sragen 0,00%.
5. Kecamatan Bebas Rawan Gizi
Hasil pemantauan kerawanan pangan dan gizi di wilayah kecamatan di Jawa
Tengah memberikan gambaran bahwa sebagian besar wilayah kecamatan di Jawa
Tengah sudah bebas dari rawan pangan dan gizi. Hanya beberapa daerah
Kabupaten yang masih mempunyai wilayah kecamatan yang masih rawan pangan
dan gizi. Dari 573 kecamatan di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun
2009 terdapat 534 diantaranya sudah bebas dari rawan pangan dan gizi hanya 39
kecamatan yang masih mengalami kerawanan pangan dan gizi.
Kecamatan tersebut berada pada 8 kabupaten yaitu 4 kecamatan di
Kabupaten Cilacap, 4 kecamatan di Kabupaten Banyumas, 2 kecamatan di
Kabupaten Purworejo, 4 kecamatan di Kabupaten Rembang, 9 kecamatan di
Kabupaten Demak, 11 kecamatan di kabupaten Temanggung, 2 kecamatan di
Kabupaten Batang, dan 1 kecamatan di Kota Semarang. Untuk dapat melihat lebih
jelas jumlah kecamatan rawan di 35 kabupaten/kota dapat dilihat tabel dibawah ini.
Gambar 3.35 Kecamatan Rawan Gizi
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
BAB
4
SITUASI UPAYA KESEHATAN
A. PELAYANAN KESEHATAN DASAR
1. Pelayanan Kesehatan Ibu
a. Cakupan Kunjungan Ibu hamil
elayanan kesehatan ibu meliputi pelayanan kesehatan antenatal,
pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan nifas. Cakupan pelayanan
antenatal dapat dipantau melalui pelayanan kunjungan baru ibu hamil (K1) untuk
melihat akses dan pelayanan kesehatan ibu hamil sesuai standar paling sedikit
empat kali (K4) dengan distribusi pemberian pelayanan yang dianjurkan adalah
minimal satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali
pada triwulan ketiga umur kehamilan.
Kunjungan ibu hamil sesuai standar adalah pelayanan yang mencakup
minimal : (1) Timbang badan dan ukur tinggi badan, (2) ukur tekanan darah, (3)
skrining status imunisasi tetanus (dan pemberian Tetanus Toxoid), (4) (ukur) tinggi
fundus uteri, (5) Pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan), (6) temu
wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling), (7) Test laboratorium
sederhana (Hb, protein urin) dan atau berdasarkan indikasi (HbsAG, Sifilis, HIV,
Malaria, TBC)
Cakupan pelayanan lengkap ibu hamil (K4) di Jawa Tengah pada tahun
2009 sebesar 93,39% dengan cakupan tertinggi Kota Surakarta (122,19%) dan
cakupan terendah Kabupaten Rembang (84,06%). Cakupan K4 tahun 2009
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 (90,14%)
dan dibawah target SPM 2015 sebesar 95%. Dari 35 kabupaten/kota yang ada di
Jawa Tengah baru 10 kabupaten/ kota yang sudah melampaui target cakupan K4
yaitu
Kabupaten Banyumas (96,33%), Kabupaten Purbalingga (97,00%),
kabupaten Wonogiri (101,25%), Kabupaten Karanganyar (96,05%), Kabupaten Pati
(99,99%), Kabupaten Demak (97,72%), Kabupaten Batang (100,22%), kabupaten
Pekalongan (99,41%), Kota Magelang (97,09%) dan Kota Surakarta (122,19%).
Gambar 4.1
Cakupan Pelayanan Antenatal K4 di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 - 2009
b. Persalinan Yang Ditolong Oleh Tenaga Kesehatan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan adalah ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 93,03%,
mengalami kenaikan dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008 sebesar
90,98%. Angka tersebut sudah melampaui target SPM 2015 sebesar 90%.
Gambar 4.2
Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009
Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Grobogan (100,04%) dan terendah
adalah Kabupaten Tegal (73,90%). Dari 35 kabupaten/kota yang ada di Provinsi
Jawa Tengah, sebanyak 28 kabupaten/kota sudah melampaui target SPM 2010
(90%). Secara keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah, cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami kenaikan mulai dari tahun 2005
sebesar 81,36%, kemudian 86.09% pada tahun 2006, 86.60% pada tahun 2007,
90,98% pada tahun 2008 dan 93,03% pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan
adanya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan persalinan oleh
tenaga kesehatan, adanya perencanaan persalinan yang baik dari ibu, suami
maupun dukungan keluarga.
c. Pelayanan Ibu Nifas
Paska persalinan (masa nifas) berpeluang untuk terjadinya kematian ibu
maternal, sehingga perlu mendapatkan pelayanan kesehatan masa nifas dengan
dikunjungi oleh tenaga kesehatan minimal 3 (tiga) kali sejak persalinan. Pelayanan
Ibu Nifas meliputi pemberian Vitamin A dosis tinggi ibu nifas yang kedua dan
pemeriksaan kesehatan paska persalinan untuk mengetahui apakan terjadi
perdarahan paska persalinan, keluar cairan berbau dari jalan lahir, demam lebih dari
2 (dua) hari, payudara bengkak kemerahan disertai rasa sakit dan lain-lain.
Kunjungan terhadap ibu nifas yang dilakukan petugas kesehatan biasanya
bersamaan dengan kunjungan neonatus.
Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2009 yaitu 80,29% menurun bila
dibandingkan pencapaian cakupan tahun 2008 (92,94%) dan dibawah target SPM
tahun 2015 (90%). Cakupan tertinggi adalah Kabupaten Grobogan (102,79%) dan
terendah Kabupaten Tegal (25,34%). Dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah masih ada 18 kabupaten/kota yang belum mencapai target.
d. Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe
Program penanggulangan anemia yang dilakukan adalah memberikan tablet
tambah darah yaitu preparat Fe yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia
pada balita, ibu hamill, ibu nifas, remaja putri, dan WUS ( Wanita Usia Subur ). Hasil
survey anemi ibu hamil pada 15 kabupaten/kota pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa prevalensi anemi di Jawa Tengah adalah 57,7%, angka ini masih lebih tinggi
dari angka nasional yakni 50,9%.
Penanggulangan anemi pada ibu hamil dilaksanakan dengan memberikan
90 tablet Fe kepada ibu hamil selama periode kehamilannya. Cakupan ibu hamil
mendapat 90 tablet Fe di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 85,62%,
lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008 sebesar 87,06%
dan masih di bawah target SPM 2010 sebesar 90%. Cakupan tertinggi adalah di
Kabupaten Wonogiri (104,68%) dan yang terendah adalah di Kabupaten Kebumen
sebesar 7,37%.
Gambar 4.3
Persentase Pemberian Tablet Fe Pada Ibu Hamil
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Dari grafik di atas dapat diihat bahwa cakupan Fe 1 sudah cukup baik,
namun cakupan Fe 3 masih belum memadai. Masih ada sekitar 6,97% ibu hamil
tidak meneruskan konsumsi Fe sampai pada Fe 3. Hal ini amat mungkin berkaitan
dengan masih tingginya prevalensi anemi pada ibu hamil.
2. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah
a. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita dan Prasekolah
Deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah yang
dimaksudkan adalah anak umur 1 - 6 tahun yang dideteksi dini pertumbuhan
dan perkembangannya sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan dan dideteksi
sesuai jadwalnya. Standart Pelayanan Minimal (SPM) menargetkan paling sedikit 2
kali per tahun balita dan pra sekolah mendapatkan pemantauan perkembangan
setiap tahunnya. Upaya pemantauan perkembangan kesehatan anak diarahkan
untuk meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak dengan perhatian
khusus pada kelompok balita yang merupakan masa krisis atau periode emas
tumbuh kembang anak.
Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah tingkat
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 50,29%, meningkat bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 44,76%. Ada 3 kabupaten yang
mempunyai cakupan tertinggi (100%) yaitu Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo dan
kabupaten Pati. Sementara masih ada 4 kabupaten yang tidak tersedia datanya
yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Magelang, Kabupaten Blora dan
Kabupaten Kendal. Cakupan tersebut ini masih jauh dibawah target SPM 2010
sebesar 95%.
Gambar 4.4
Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita dan Pra Sekolah
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Upaya peningkatan ketrampilan petugas kesehatan dalam upaya Stimulasi
Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang anak (SDIDTK) telah dilakukan
dengan pelatihan standarisasi SDIDTK di semua kabupaten/kota baik di tingkat
Provinsi maupun tingkat Kabupaten. Untuk pengembangan program SDIDTK maka
ketrampilan bisa diperoleh tidak hanya melalui pelatihan formal tetapi juga bisa on the
job training baik di puskesmas maupun di Rumah Sakit.
Kementerian yang bertanggung jawab langsung terhadap program
pengembangan anak usia dini yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan, Departemen Agama, Kementerian Sosial dan BKKBN telah mendukung
pengembangan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak balita dan pra
sekolah melalui integrasi kegiatan posyandu, PAUD dan BKB. Diharapkan melalui
integrasi tersebut, semua balita dan anak pra sekolah akan mendapatkan stimulasi,
Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang yang akan mamacu pertumbuhan
dan perkembangannya secara optimal sesuai tahap perkembangannya.
Untuk implementasi pelaksanaan SDIDTK di lapangan maka Pemerintah
bersama semua unsur terkait baik swasta, organisasi profesi, LSM dan masyarakat
perlu mendukung baik sarana prasarana, pendanaan dan sumber daya
manusianya.
b. Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD dan setingkat
Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat adalah pemeriksaan
kesehatan terhadap murid baru kelas 1 SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang
meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, pemeriksaan ketajaman mata,
ketajaman pendengaran, kesehatan gigi, kelainan mental emosional dan kebugaran
jasmani. Pelaksanaan penjaringan kesehatan ini dikoordinir oleh puskesmas
bersama dengan guru sekolah dan kader kesehatan/konselor kesehatan. Setiap
puskesmas mempunyai tugas melakukan penjaringan kesehatan siswa SD?MI di
wilayah kerjanya dan dilakukan satu kali pada setiap awal tahun ajaran baru
sekolah.
Untuk siswa SD dan setingkat ditargetkan 100 % mendapatkan pemantauan
kesehatan melalui penjaringan kesehatan. Dengan melakukan penjaringan
kesehatan siswa SD dan setingkat diharapkan dapat menapis / menjaring anak
yang sakit dan melakukan tindakan intervensi secara dini sehingga anak yang sakit
menjadi sembuh dan anak yang sehat tidak tertular menjadi sakit.
Gambar 4.5
Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Siswa SD/MI
Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009
Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga
kesehatan/guru UKS/kader kesehatan sekolah pada tahun 2009 sebesar 43,80%,
sedikit meningkat dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 43,77%. Nilai
cakupan terendah di Kabupaten Purworejo sebesar 5,13% dan tertinggi (100%)
dicapai oleh 4 kabupaten yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Pati dan Kabupaten Tegal. Selain itu ada 3 kabupaten yang tidak masuk
datanya yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Blora.
c. Pelayanan Kesehatan Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa dan terjadi perubahan fisik yang cepat menyamai orang dewasa, tetapi
emosinya belum dapat mengikuti perkembangan jasmaninya, hal ini sering
menimbulkan gejolak sehingga masa ini perlu mendapat perhatian. Salah satunya
adalah pendidikan dan perhatian agar anak berperilaku hidup sehat, baik secara
fisik maupun mental.
Pemeriksaan kesehatan remaja adalah pemeriksaan kesehatan siswa kelas
1 SLTP dan setingkat, kelas 1 SMU dan setingkat melalui penjaringan kesehatan
terhadap murid kelas 1 SLTP dan Madrasah Tsanawiyah, kelas 1 SMU/SMK dan
Madrasah Aliyah yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan guru
UKS terlatih dan kader kesehatan remaja secara berjenjang. Cakupan pemeriksaan
kesehatan siswa Remaja oleh tenaga kesehatan/Guru UKS/kader kesehatan remaja
di Provinsi JawaTengah tahun 2009 sebesar 29,21%, menurun dibandingkan
cakupan tahun 2008 yang sebesar 35,47%.
Cakupan terendah adalah di Kabupaten Kebumen (5,08%) dan tertinggi
(100%) adalah di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten
Batang. Sementara itu ada 8 kabupaten/kota yang tidak ada datanya yaitu
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Blora,
Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara dan Kota Tegal.
Gambar 4.6
Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Remaja
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2009
3. Pelayanan Keluarga Berencana
a. Peserta KB Baru
Peserta KB Baru adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang baru pertaman
kali menggunakan salah satu cara/alat dan/atau PUS yang menggunakan kembali
salah satu cara/alat kontrasepsi setelah mereka berakhir masa kehamilannya.
Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebanyak 6.483.189 meningkat sebanyak 125.353 dibanding tahun 2008. Jumlah
peserta KB baru pada tahun 2009 sebanyak 870.891 atau 13,43% dari jumlah PUS
yang ada. Peserta KB baru tersebut menggunakan kontrasepsi sebagai berikut :
- MKJP : IUD (3,73%), MOP/MOW (2,22%) dan Implant (10,61%)
- NON MKJP : Suntik (60,91%), PIL (17,31%) dan Kondom (5,23%)
Gambar 4.7
Persentase Pemakaian Kontrasepsi Peserta KB Baru
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar peserta KB baru
mempergunakan kontrasepsi NON MKJP (83,44%). Peserta KB baru tersebut
membutuhkan pembinaan secara rutin dan berkelanjutan untuk menjaga
kelangsungan pemakaian kontrasepsi.
b. Peserta KB Aktif
Peserta KB aktif adalah akseptor yang pada saat ini memakai kontrasepsi
untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan. Cakupan peserta KB
aktif adalah perbandingan antara jumlah peserta KB aktif dengan Pasangan Usia
Subur si satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan peserta KB aktif
menunjukkan tingkat pemanfaatan kontrasepsi di antara Pasangan Usia Subur.
Cakupan peserta KB aktif di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar
78,37%, mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan pencapaian tahun
2008 sebesar 78,09%. Angka ini masih di bawah target tahun 2010 sebesar 80%.
Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Semarangsebesar 83,60% dan terendah
adalah di Kota Tegal sebesar 71,46%. Sebanyak 10 kabupaten/kota telah
melampaui target tahun 2010 yaitu Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo,
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten
Pekalongan, dan Kabupaten Brebes.
Gambar 4.8
Cakupan Peserta KB Aktif di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 - 2009
Adapun jenis kontrasepsi yang digunakan para peserta KB aktif adalah
sebagai berikut :
- MKJP : IUD (8,77%), MOP/MOW (7,02%) dan Implant (9,61%)
- NON MKJP : Suntik (55,80%), PIL (17,09%) dan Kondom (1,71%)
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar peserta KB baru
mempergunakan kontrasepsi NON MKJP (74,60%).
Gambar 4.9
Persentase Pemakaian Kontrasepsi Peserta KB Aktif
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
Peserta KB hormonal tersebut membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan
untuk menjaga kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Secara khusus, proporsi
pemakai kontrasepsi suntikan sangat besar yaitu 55,80%, hal tersebut dapat
difahami karena akses untuk memperoleh pelayanan suntikan relatif lebih mudah,
sebagai akibat tersedianya jaringan pelayanan sampai di tingkat desa/kelurahan
sehingga dekat dengan tempat tinggal peserta KB.
Sementara itu partisipasi pria (bapak) untuk menjadi peserta KB aktif dengan
mempergunakan kontrasepsi MOP dan kondom sangat kecil, karena terbatasnya
pilihan kontrasepsi yang disediakan bagi pria, dan sebagian pria masih
beranggapan bahwa KB merupakan urusan ibu (istri), sehingga ibu (istri) yang
menjadi sasaran.
4. Pelayanan Imunisasi
a. Persentase Desa yang Mencapai “Universal Child Immunization” (UCI)
Strategi operasional pencapaian cakupan tinggi dan merata berupa
pencapaian Universal Child Immunization (UCI) yang berdasarkan indikator
cakupan DPT-HB 3, Polio 4 dan Campak dengan cakupan minimal 80% dari jumlah
sasaran bayi di desa. Pencapaian UCI desa di Jawa Tengah dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, kecuali tahun 2005 mengalami penurunan karena
ketersediaan vaksin tidak mencukupi. Hasil UCI desa tahun 2003 (82,08%), 2004
(83,51%), 2005 (77,06%), 2006 (84,42%), 2007 (83,64%) , 2008 (86,83%) dan 2009
(91,95%). Dari hasil pencapaian UCI desa tahun 2009 kabupaten/kota yang sudah
mencapai target UCI desa tahun 2009 (98%) adalah Kabupaten Magelang (100%),
Kabupaten Sragen (100%), Kabupaten Kudus (100%), Kabupaten Demak (100%),
Kabupaten Temanggung (100%), Kota Surakarta (100%), Kabupaten Banyumas
(99,40%), Kota Semarang (98,87%) dan Kabupaten Kendal (98,60%). Sedangkan
yang pencapaian UCI desa terendah adalah di Kabupaten Brebes (71,72%).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tidak pencapaian UCI desa di
beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah pada umumnya disebabkan karena
penghitungan sasaran (denominator) yang melebihi dengan kondisi riil jumlah
sasaran di lapangan.
Gambar 4.10
Cakupan Desa/Kelurahan UCI di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005 - 2009
Kabupaten/kota yang belum mencapai target imunisasi dasar lengkap pada bayi
disebabkan antara lain :
- Adanya perbedaan jumlah sasaran pada perencanaan dibandingkan dengan
sasaran yang ada, hal ini dikarenakan penentuan jumlah sasaran masih
berdasarkan angka estimasi jumlah penduduk bukan dari hasil pendataan.
- Belum semua Puskesmas membuat Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
imunisasi secara rutin (bulanan, tribulanan) dikarenakan banyak petugas
imunisasi yang merangkap dengan tugas lain.
- Belum dilakukan pelaksanaan sweeping atau kunjungan rumah untuk
melengkapi status imunisasi pada daerah-daerah yang cakupan imunisasinya
masih rendah, pada umumnya disebabkan keterbatasan sumber daya atau
tenaga banyak yang merangkap dengan tugas lain.
- Masih ada sebagian kecil orang tua yang menolak anaknya untuk diimunisasi
dikarenakan keyakinan/kepercayaan agama, dan lain-lain.
b. Cakupan Imunisasi bayi
Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi
serta anak balita dilaksanakan program imunisasi baik program rutin maupun
program tambahan/suplemen untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) seperti TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan
Campak. Bayi seharusnya mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG
1 kali, DPT-HB 3 kali, Polio 4 kali, HB Uniject 1 kali dan campak 1 kali. Sebagai
indikator kelengkapan status imunisasi dasar lengkap bagi bayi dapat dilihat dari
hasil cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi
yang terakhir yang diberikan pada bayi umur 9 (sembilan) bulan dengan harapan
imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan lengkap (BCG, DPT-HB, Polio, dan
HB).
Selain pemberian imunisasi rutin, program imunisasi juga melaksanakan
program imunisasi tambahan/suplemen yaitu Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)
DT, BIAS Campak yang diberikan pada semua usia kelas I SD/MI/SDLB/SLB,
sedangkan BIAS TT diberikan pada semua anak usia kelas II dan III
SD/MI/SDLB/SLB, Backlog Fighting (melengkapi status imunisasi).
Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi di Jawa Tengah dari semua antigen
sudah mencapai target minimal nasional (85%), pencapaian tiap tahun mengalami
peningkatan. Jumlah sasaran bayi pada tahun 2009 adalah 577.750. Sedang
cakupan masing-masing jenis imunisasi adalah sebagai berikut: BCG (102,05%),
DPT+HB 1 (100,89%), DPT+HB 3 (99,04%), Polio 4 (99,14%), Campak (96,59%).
Gambar 4.11
Cakupan Imunisasi Bayi di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 - 2009
c. Drop Out Imunisasi DPT1-Campak
Dalam rangka mencapai dan mempertahankan UCI desa, analisis PWS
harus diikuti dengan tindak lanjut. Dengan grafik PWS akan terlihat dan dapat
dianalisis cakupan dan kecenderungan setiap bulan, maka dapat segera diketahui
kekurangan cakupan dan beban yang harus dicapai setiap bulan pada periode
berikutnya. Untuk kecenderungan cakupan setiap bulan dapat diketahui dengan
indikator Drop Out (DO). Sesuai kesepakatan dengan kabupaten/kota indikator DO
di Jawa Tengah maksimal 5% atau (-5%). Pada tahun 2009 untuk tingkat Provinsi
Jawa Tengah mencapai 4,19%.
Sedangkan dilihat per kabupaten/kota yang DO-nya lebih dari 5% atau (-5%)
sebanyak 9 kabupaten/kota (25,71%) yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes dan Kota Salatiga.
d. WUS Mendapat Imunisasi TT
Imunisasi TT Wanita usia Subur adalah pemberian imunisasi TT pada
Wanita Usia Subur (15-39 th) sebanyak 5 dosis dengan interval tertentu yang
berguna bagi kekebalan seumur hidup. Data kegiatan imunisasi TT WUS saat ini
akurasinya masih sangat kurang sehingga belum dapat dinalisis. Hal ini disebabkan
:
- Pencatatan dan pelaporan status imunisasi 5 dosis belum berjalan dengan baik
karena pelaksanaan skrining status TT belum optimal.
- Penggunaan format pelaporan yang berbeda antara kabupaten/kota ke provinsi
dan puskesmas ke kabupaten/kota terutama untuk TT ibu hamil dan non ibu
hamil.
5. Pelayanan Kesehatan Gigi
a. Rasio Tambal Cabut Gigi Tetap
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas meliputi
kegiatan pelayanan dasar gigi dan upaya kesehatan gigi sekolah. Kegiatan
pelayanan dasar gigi adalah tumpatan (penambalan) gigi tetap dan pencabutan gigi
tetap. Indikasi dari perhatian masyarakat adalah bila tumpatan gigi tetap semakin
bertambah banyak berarti masyarakat lebih memperhatikan kesehatan gigi yang
merupakan tindakan preventif sebelum gigi tetap betul betul rusak dan harus
dicabut. Sedang pencabutan gigi tetap adalah tindakan kuratif dan rehabilitatif yang
merupakan tindakan terakhir yang harus diambil oleh seorang pasien.
Di tahun 2009 pelayanan dasar gigi mengalami penurunan sebesar
0,27% dibandingkan dengan tahun 2008. Jumlah tumpatan gigi tetap di tahun 2009
juga turun sebesar 0,26% bila dibandingkan dengan tahun 2008, sementara jumlah
pencabutan gigi tetap juga mengalami penurunan yang hampir sama yaitu sebesar
0,27%. Hal ini menandakan bahwa motivasi masyarakat dalam mempertahankan
gigi geliginya sudah baik, maka fungsi kunyah akan tetap baik sehingga sistim
pencernaan semakin bagus akibatnya kesehatan secara umum akan meningkat dan
diharapkan di tahun-tahun mendatang jumlah pencabutan gigi tetap trennya
semakin menurun. Dilihat dari rasio tumpatan dan pencabutan gigi tetap tahun 2009
ini sama dengan rasio tahun 2008 yaitu 0,71, hal ini berarti bahwa masih banyak
masyarakat yang melakukan pencabutan gigi dibandingkan melakukan tumpatan
gigi tetap.
Ada beberapa Kabupaten/Kota yang pencabutan giginya jauh lebih banyak
dibandingkan tumpatan giginya (rasio rendah), hal ini menandakan bahwa
masyarakat di kabupaten yang bersangkutan masih kurang memperhatikan
kesehatan gigi & mulut dan kemungkinan frekuensi penyuluhan kesehatan gigi &
mulut yang dilakukan oleh petugas kesehatan di setiap lini baik yang dilakukan
didalam maupun diluar gedung, masih sangat minim. 3 Kabupaten dengan rasio
terendah adalah : Kabupaten Rembang 0,04 (tumpatan 222, pencabutan 5.012),
Kabupaten Purworejo 0,10 (tumpatan 441, pencabutan 4.473) dan Kabupaten
Klaten 0.27 (tumpatan 3.685, pencabutan 13.525). Sementara beberapa
Kabupaten/Kota yang rasionya tinggi (penumpatan lebih banyak dibandingkan
dengan pencabutan) antara lain Kota Tegal (2,57), Kabupaten Kendal (1.83) dan
Kabupaten Kudus (1.77). Namun dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah masih ada
1 kabupaten yang belum melaporkan pelayanan kesehatan gigi yaitu Kabupaten
Pati.
Gambar 4.12
Rasio Tumpatan dan Pencabutan Gigi Tetap
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
b. Murid SD/MI Mendapat Pemeriksaan Gigi dan Mulut
Kegiatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut lainnya adalah Upaya
Kesehatan Gigi Sekolah yang merupakan upaya promotif dan preventif kesehatan
gigi khususnya untuk anak sekolah. Kegiatan UKGS meliputi pemeriksaan gigi pada
seluruh murid untuk mendapatkan murid yang perlu perawatan gigi, kemudian
melakukan perawatan pada murid yang memerlukan.
Prosentasi jumlah murid yang diperiksa untuk tahun 2009 (36,31%) lebih
tinggi dibandingkan pencapaian tahun 2008 (33,22%). Beberapa kabupaten
memang mempunyai cakupan sangat rendah seperti Kabupaten Cilacap (1.94%),
Kabupaten Wonosobo (2.45%) dan Kabupaten Purworejo (2.67%). Sementara
kabupaten yang mempunyai cakupan di atas 100% adalah Kabupaten Sragen
(167,88%), meskipun cakupan tersebut tinggi tetapi terlihat tidak masuk akal, hal ini
kemungkinan besar karena kesalahan dalam menyerahkan data yang diberikan ke
Dinas Kesehatan Provinsi.
Gambar 4.13
Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Gigi Murid SD
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
c. Murid SD/MI Mendapat Perawatan Gigi dan Mulut
Cakupan perawatan gigi dan mulut murid SD/MI di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009 mengalami penurunan dari 62,95% di tahun 2008 menjadi 54,75%,
dimana masih ada 3 kabupaten/ kota yang tidak ada datanya. Kabupaten/Kota yang
sudah bisa merawat seluruh murid yang memerlukan perawatan gigi adalah
Kabupaten Purworejo dan Kota Salatiga (100%).
Gambar 4.14
Cakupan Perawatan Gigi Murid SD
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
6. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut
Pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut yang dimaksudkan adalah
penduduk usia 45 tahun ke atas yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai
dengan standar oleh tenaga kesehatan, baik di Puskesmas maupun di
Posyandu/Kelompok Usia Lanjut . Yang termasuk dalam kelompok pra usia lanjut
adalah kelompok umur 45 - 59 tahun, sedangkan usia lanjut adalah kelompok umur
lebih atau sama dengan 60 tahun.
Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut tingkat Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 42,27% meningkat bila dibandingkan cakupan
pada tahun 2008 yang hanya sebesar 29,36%, tetapi masih jauh dibawah target
cakupan pelayanan kesehatan usia lanjut tahun 2010 (70%). Kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah dengan cakupan tertinggi adalah Kota Magelang (132,49%) dan
terendah adalah Kabupaten Wonosobo (2,84%). Sementara masih ada 1 kabupaten
yang tidak ada data pelayanan kesehatan baik bagi pra usila maupun usila yaitu
Kabupaten Klaten.
Gambar 4.15
Pelayanan Kesehatan Pra Usila dan Usila
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Masih rendahnya cakupan pelayanan kesehatan pra usila dan usila dan
sedikitnya kabupaten/kota yang mencapai target pelayanan kesehatan pra usila dan
usila tahun 2010, menggambarkan bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
belum memperhatikan pelayanan kesehatan untuk kelompok pra usila dan usila yang
merupakan kelompok usia berisiko. Upaya-upaya yang telah dilakukan Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pra usila
dan usila adalah sbb :
- Pertemuan Koordinasi Program Kesehatan Usila Provinsi Jawa Tengah, dengan
kesepakatan identifikasi kelompok pra usila di masing-masing SKPD kabupaten/
kota dan memberikan dukungan kegiatan dan pelayanan kesehatan.
- Advokasi ke SKPD provinsi dengan pengembangan model kelompok pra
usila percontohan dan fasilitasi pelayanan kesehatan
7. Pelayanan Kesehatan Kerja
Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dan merata untuk
seluruh masyarakat merupakan keinginan yang menjadi landasan pelaksanaan
pembangunan kesehatan di Indonesia.
Pembangunan kesehatan di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu harus
diakui relatif berhasil, terutama pembangunan infra struktur pelayanan kesehatan yang
telah menyentuh sebagian besar wilayah kecamatan dan pedesaan.
Namun keberhasilan yang sudah dicapai belum dapat menuntaskan
problem kesehatan masyarakat secara menyeluruh, bahkan sebaliknya tantangan
sektor baik formal maupun informal kesehatan cenderung semakin meningkat.
Tantangan lainnya yang harus ditanggulangi antara lain adalah meningkatnya masalah
kesehatan kerja, serta dampak globalisasi yang akan memberikan pengaruh terhadap
perkembangan keadaan kesehatan masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas
sangat diperlukan upaya agar masalah kesehatan di masa depan dapat ditanggulang i
sehingga mencapai kualitas kesehatan masyarakat senantiasa terjaga baik.
Beberapa upaya pelayanan kesehatan kerja yang dilakukan di Jawa Tengah
adalah pembinaan upaya pengembangan pelayanan kesehatan kerja pada puskesmas di
kawasan/sentra industri. Peningkatan kapasitas dokter puskesmas dan dokter klinik
perusahaan tentang pelayanan kesehatan kerja dan deteksi dini penyakit akibat kerja,
serta peningkatan kerja sama lintas sektor dan lintas program dalam pengembangan
pelayanan kesehatan kerja baik di Puskesmas maupun di masyarakat.
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang letaknya cukup
strategis karena berada di daratan padat Pulau Jawa, diapit oleh dua Provinsi besar
Jawa Barat dan Jawa Timur, dan satu Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data
dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, jumlah Penduduk di Jawa Tengah
tahun 2006 (hasil SUSENAS 2006) adalah 32.908.850 jiwa dan lebih dari 60%
penduduknya merupakan usia kerja. Sebagian besar diantara usia kerja ini (sekitar
70%) merupakan pekerja pada sektor informal dan selebihnya merupakan pekerja
sektor formal.
Pekerja sektor informal adalah mereka yang bekerja dengan modal skala kecil
dengan ciri-ciri antara lain : bekerja dalam jam kerja yang tidak tetap dan umumnya
mempergunakan tenaga kerja dari lingkungan keluarga sendiri, risiko bahaya pekerjaan
tinggi, keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja, kesadaran
tentang risiko bahaya pekerjaan rendah, kondisi pekerjaan tidak ergonomis, keluarg a
banyak yang terpajan, kurangnya pemeliharaan kesehatan (M. Mikhew (ICHOIS 1997))
Sedang pekerja sektor formal adalah pekerja yang bekerja pada perusahaan,
instansi instansi pemerintah dimana dalam menjalankan pekerjaannya pekerja tersebut
mendapat perlindungan dari undang- undang yang ada, baik untuk kesejahteraannya
maupun untuk kesehatannya. Namun begitu untuk lebih melindungi pekerja pada
sektor formal ini kegiatan pencegahan penyakit akibat kerja perlu lebih dilaksanakan.
Pekerja sektor formal maupun informal memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu sudah sepatutnya para pekerja ini
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Salah satunya adalah dalam bidang
peningkatan derajat kesehatan.
Gambar 4.16
Pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009
Pada tahun 2009, cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor informal sebesar
54.89%. Dibandingkan tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 3.96%. Ada beberapa
kabupaten yang melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan kerja sektor informal
dengan cukup baik (>100%) antara lain Kota Semarang (143,19%), Kabupaten
Wonosobo, Kabupaten Sukoharjo, Kota Tegal, Kabupaten Blora dan Kota Salatiga
(100%). Namun dari kabupaten yang mempunyai cakupan 100% itu kemungkinan
belum seluruh kelompok kerja didata, jumlah pekerja yang di data kurang dari 1000
orang maka pendataan perlu ditinjau kembali. Disamping itu ada beberapa kabupaten
yang telah mengisi jumlah pekerja informal yang didata namun belum mengisi jumlah
pekerja yang dilayani yaitu Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kendal.
Cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor formal yang mendapat pelayanan
kesehatan tahun 2009 sebesar 61.31% mengalami peningkatan dibandingkan
pencapaian tahun 2008 (56,49%) namun tetap lebih rendah bila dibandingkan tahun
2007 (63,26%), hal ini disebabkan karena kurang lancarnya pelaporan dari
kabupaten/kota. Dari 35 kabupaten/kota masih ada 6 kabupaten/kota yang tidak ada
datanya. Agar lebih meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi pekerja sektor
formal maka koordinasi lebih ditingkatkan baik dengan lintas sektor maupun dengan
pengelola poliklinik perusahaan.
Secara keseluruhan cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor formal lebih
tinggi daripada sektor informal. Hal ini dikarenakan pendataan dan pembinaan sektor
formal memang lebih bagus dibandingkan dengan sektor informal.
8. Upaya Penyuluhan Kesehatan
Kesehatan sebagai hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
menjadi tanggung jawab setiap orang, keluarga dan masyarakat serta didukung oleh
pemerintah. Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
mengamanatkan Pembangunan Kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk itu upaya
kesehatan harus ditingkatkan secara terus menerus untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, lingkungan yang
sehat dan informasi serta edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung
jawab. Setiap orang juga berkewajiban berperilaku Hidup Bersih dan Sehat seta
menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung
jawabnya.
Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar
mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh
kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan yang
diselenggarakan di Pusat dan Daerah mencakup diantaranya penyebarluasan informasi
termasuk penyuluhan kesehatan.
Upaya penyuluhan adalah semua usaha secara sadar dan berencana yang
dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia sesuai prinsip-prinsip pendidikan dalam
bidang kesehatan. Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan yang dilakukan pada
kelompok sasaran tertentu, misalnya : kelompok siswa sekolah, kelompok ibu-ibu PKK
dan lain sebagainya. Sedangkan penyuluhan massa adalah penyuluhan yang dilakukan
dengan sasaran massa seperti : pameran, pemutaran film, melalui media massa, cetak
dan elektronik
Dari data yang masuk pada tahun 2009 di wilayah Provinsi Jawa Tengah,
jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan berjumlah 381.857 kegiatan, terbagi menjadi
penyuluhan kelompok sebanyak 339.399 kegiatan dan penyuluhan massa sebanyak
42.458 kegiatan. Bila dibanding data 2 tahun sebelumnya yaitu tahun 2008 dan 2007,
jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan semakin meningkat. Tahun 2008, kegiatan
penyuluhan kesehatan sebanyak 165.287 kegiatan, terdiri dari 144.770 kegiatan
penyuluhan kelompok dan 20.517 kegiatan penyuluhan massa. Sedangkan pada tahun
2007 kegiatan penyuluhan kesehatan sebanyak 91.975 terdiri dari 87.595 kegiatan
penyuluhan kelompok dan 4.380 kegiatan penyuluhan massa.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa upaya promosi kesehatan dari tahun ke
tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran, kemampuan dan
kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Kegiatan penyuluhan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
NAPZA/NARKOBA (P3 NAPZA/NARKOBA) oleh tenaga kesehatan adalah semua
usaha secara sadar dan berencana yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku
manusia sesuai prinsip-prinsip pendidikan yakni pada tingkat sebelum seseorang
menggunakan NAPZA/NARKOBA.
Gambar 4.17
Cakupan Upaya P3 NAPZA/NARKOBA
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Adapun data cakupan penyuluhan P3 NAPZA/NARKOBA di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 19,96%, mengalami sedikit peningkatan dibandingkan
dengan cakupan tahun 2008 sebesar 19,07% dan tahun 2007 sebesar 12,05%. Namun
cakupan ini masih dibawah target Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2010
sebesar 30%. Hal ini kemungkinan karena masih ada kabupaten/kota yang belum
melaporkan,atau karena minimnya pencatatan dan pelaporan terkait kegiatan
penyuluhan termasuk penyuluhan P3 NAPZA/NARKOBA. Tetapi persentase cakupan
cenderung mengalami kenaikan dari tahun 2006 sampai 2009, yang kemungkinan juga
perilaku masyarakat sasaran, lambat laun semakin sadar untuk menerima in formasi
kesehatan.
B. PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN DAN PENUNJANG
1. Akses Ketersediaan Darah Untuk Ibu Hamil dan Neonatus Dirujuk
Dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, hanya 16 kabupaten/kota yang
sudah masuk datanya untuk indikator akses ketersediaan darah dan komponen yang
aman untuk menangani rujukan bumil dan neonatus. Hal ini disebabkan belum semua
rumah sakit memiliki pencatatan dan pelaporan untuk indikator ini. Sedikitnya data yang
masuk menyebabkan angka cakupan yang diperoleh belum menggambarkan cakupan
yang sebenarnya. Sehingga ke depan perlu perbaikan dalam sistem pencatatan dan
pelaporannya.
Dari data yang masuk diperoleh cakupan akses ketersediaan darah dan
komponen yang aman untuk menangani rujukan bumil dan neonatus di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 97,77%, mengalami peningkatan bila dibandingkan
dengan cakupan tahun 2008 sebesar 89,00%. Dari 16 kabupaten/kota, 12 diantaranya
sudah melampaui target 2010 sebesar 80% yaitu Kabupaten Cilacap (100%),
Kabupaten Banjarnegara (100%), Kabupaten Kebumen (100%), Kabupaten Sukoharjo
(100%), Kabupaten Blora (100%), Kabupaten Demak (100%), Kabupaten Pekalongan
(100%), Kabupaten Pemalang (99,06%), Kabupaten Tegal (100%), Kota Surakarta
(100%), Kota Pekalongan (100%) dan Kota Tegal (100%).
Gambar 4.18
Akses Ketersediaan Darah Untuk Menangani Rujukan Bumil dan Neonatus
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
2. Komplikasi kebidanan yang ditangani
Komplikasi kebidanan yang dimaksud adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu
bersalin dan ibu nifas yang dapat mengancam jiwa ibu dan/atau bayi. Komplikasi dalam
kehamilan diantaranya : a) Abortus, b) Hiperemesis Gravidarum, c) perdarahan per
vaginam, d) Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia), e) kehamilan lewat
waktu, f) ketuban pecah dini. Komplikasi dalam persalinan diantaranya : a) Kelainan
letak/presentasi janin, b) Partus macet/distosia, c) Hipertensi dalam kehamilan
(preeklampsia, eklampsia) d) perdarahan pasca persalinan, e) Infeksi berat/sepsis, f)
kontraksi dini/persalinan premature, g) kehamilan ganda. Komplikasi dalam nifas
diantaranya : a) Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia), b) Infeksi nifas,
c) perdarahan nifas. Ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas dengan komplikasi yang
ditangani adalah ibu hamil, bersalin dan nifas dengan komplikasi yang mendapatkan
pelayanan sesuai standar pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Polindes,
Puskesmas, Puskesmas PONED, Rumah Bersalin, RSIA/RSB, RSU, RSU PONEK).
Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
adalah sebanyak 125.841 ibu hamil atau sebesar 99,46 dari target ibu hamil risti (20%
ibu hamil). Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani tahun 2009 adalah 57,78%.
Untuk tahun-tahun sebelumnya yang dihitung hanya cakupan komplikasi pada ibu hamil
yang ditangani. Pencapaian cakupan tahun ini masih dibawah target SPM tahun 2015
(80%), tetapi diharapkan target tercebut bias tercapai sebelum tahun 2015.
3. Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani
Menurut definisi operasionalnya, neonatus dengan komplikasi adalah neonatus
dengan penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan
kematian. Neonatus dengan komplikasi seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus
neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (berat badan lahir rendah < 2500 gr),
sindroma gangguan pernafasan dan kelainan congenital maupun yang termasuk
klasifikasi kuning pada MTBS.
Neonatus dengan komplikasi yang ditangani adalah neonatus komplikasi yang
mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dokter dan bidan di sarana
pelayanan kesehatan. Perhitungan sasaran neonatus dengan komplikasi adalah
dihitung berdasarkan 15% dari jumlah bayi baru lahir. Indikator ini mengukur
kemampuan manajemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
secara profesional kepada neonatus dengan komplikasi.
Tahun 2009 perkiraan bayi dengan komplikasi bila dihitung dari banyaknya
sasaran bayi, maka jumlahnya sebesar 86.896 bayi. Dari jumlah perkiraan tersebut,
yang mendapat penanganan oleh tenaga kesehatan di tiap jenjang pelayanan
kesehatan sebesar 21.652 bayi (24,92%). Cakupan Neonatus Risiko Tinggi/komplikasi
yang ditangani tersebut masih jauh dari target cakupan sebesar 80%, yaitu setiap
Kabupaten/Kota seharusnya mencapai target minimal 80%.
Masih rendahnya Neonatus risiko tinggi yang mendapatkan pelayanan
kesehatan kemungkinan belum ada keseragaman mengenai definisi operasional
mengenai neonatal yang termasuk dalam risiko tinggi, sehingga belum semua neonatus
dengan risiko tinggi/komplikasi dicatat dan dilaporkan. Selain hal tersebut, target
neonatus komplikasi yang ditangani untuk neonatal resiko tinggi seharusnya 15 % dari
jumlah sasaran bayi pertahun, namun belum semua Kabupaten Kota mempunyai
persepsi / pemahaman yang sama.
4. Pelayanan Gawat Darurat
a. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat Yang Dapat
Diakses Masyarakat
Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat
diakses masyarakat adalah sarana kesehatan yang telah mempunyai kemampuan
untuk melaksanakan pelayanan gawat darurat sesuai standar dan dapat diakses
oleh masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Kemampuan pelayanan gawat darurat
yang dimaksud adalah upaya cepat dan tepat untuk segera mengatasi puncak
kegawatan yaitu henti jantung dengan Resusitasi Jantung Paru Otak (Cardio-
Pulmonary-Cebral-Resucitation) agar kerusakan organ yang terjadi dapat
dihindarkan atau ditekan sampai minimal dengan menggunakan Bantuan Hidup
Dasar (Basic Life Support) dan
Bantuan Hidup Lanjut (ALS). Sedang yang dimaksud sarana kesehatan adalah rumah bersalin,
Puskesmas, dan rumah sakit baik rumah sakit umum, jiwa maupun khusus.
Gambar 4.19
Sarana Kesehatan (RS, Pusk, RB) Dengan Kemampuan Pelayanan Gawat Darurat Yang Dapat Diakses Masyarakat
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Puskesmas dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat
diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 538 dari
853 Puskesmas yang ada di Jawa Tengah (63,07%). Dari jumlah puskesmas yang
mempunyai kemampuan kegawatdaruratan mengalami kenaikan bila dibandingkan
dengan tahun 2008 (51,57%) demikian juga untuk Rumah Sakit (RSU, RSJ & RSK))
mengalami peningkatan dari 93,01% pada tahun 2008 menjadi 96,79% pada tahun
2009. Sementara untuk Rumah Bersalin hanya 31,51% dari 365 rumah bersalin
yang ada, melaporkan mampu menangani kegawatdaruratan. Secara keseluruhan,
sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat
diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 60.94%,
mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 62,37%.
b. Pemenuhan Darah di Rumah Sakit
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Tranfusi Darah adalah upaya kesehatan
berupa segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan
penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan yang
mencakup kegiatan-kegiatan pengerahan penyumbangan darah, pengambilan,
pengamanan, pengolahan, penyimpanan dan penyampaian darah kepada pasien
melalui sarana pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data dari PMI Provinsi Jawa Tengah bahwa Jumlah Pendonor
Darah di UTD PMI se Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 315.216
orang dimana persentase darah yang periksa sebesar 99,23%. Jumlah ini lebih
rendah bila dibandingkan tahun 2008 yang sebanyak 348.795 pendonor dengan
persentase pemeriksaan mencapai 100%.
Target program upaya kesehatan di bidang transfusi darah adalah 95%
permintaan darah oleh RSU maupun RSK (pemerintah dan swasta) mampu
dipenuhi oleh Unit Transfusi Darah (UTD). Sebagian kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah tidak mempunyai data permintaan dan penerimaan darah oleh rumah
sakit. Pada tahun 2009 ini, data yang masuk sangat sedikit sehingga tidak bisa
dianalisis karena tidak bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya tentang
pemenuhan darah di rumah sakit. Berdasarkan data yang dilaporkan, diketahui
kebutuhan darah di Rumah Sakit tahun 2009 sebanyak 132.196 kantong dan dapat
dipenuhi 98,51% atau sebanyak 130,221 kantong.
Permasalahan yang dihadapi dalam program pelayanan darah di Rumah
Sakit di Provinsi Jawa Tengah saat ini adalah :
- Tidak ada kesamaan dalam menentukan kriteria Bank Darah Rumah Sakit
(BDRS) dalam pelayanan bank darah di Rumah Sakit. Misalnya standar
ketersediaan blood bank, standar ketersediaan ruangan dan standar
ketersediaan tenaga yang melayani.
- Pelayanan darah dengan ketersediaan bank darah di RS menjadi beban bagi
RS baik dari biaya operasional dan biaya pengadaan sarana prasarana. Hal ini
disebabkan beberapa rumah sakit berdekatan lokasi atau masih satu area lokasi
dengan UTD setempat, sehingga tidak ada kendala transportasi dalam
pengiriman darah.
C. AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN
1. Cakupan Rawat Jalan
Cakupan rawat jalan adalah cakupan kunjungan rawat jalan baru di sarana
pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta di satu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Cakupan kunjungan rawat jalan di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2009 sebesar 45,01% lebih tinggi dibanding cakupan tahun 2008 (36,90%),
yang tertinggi adalah di Kota Magelang (123,40%), terendah di Kabupaten Klaten
(4,75%). Target SPM tahun 2010 untuk cakupan rawat jalan adalah 15%.
Cakupan yang sangat tinggi tersebut mengisyaratkan bahwa pencatatan dan
pelaporan di sarana pelayanan kesehatan masih belum benar, disamping pemahaman
terhadap definisi operasional suatu variabel yang belum benar pula. Berdasarkan
definisi operasional yang ada, seharusnya seorang yang berkunjung ke sarana
pelayanan kesehatan, dalam satu tahun hanya dihitung satu kali meskipun ia datang
berkali kali dalam tahun tersebut.
2. Cakupan Rawat Inap
Cakupan rawat inap adalah cakupan kunjungan rawat inap baru di sarana
pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah di satu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Cakupan rawat inap di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 4,09%, sedikit lebih tinggi dibanding cakupan tahun 2008 sebesar 3,09%. Ini
berarti sudah melampaui target 2010 sebesar 1,5%. Cakupan terendah adalah
Kabupaten Purbalingga sebesar 0,32%, sedangkan tertinggi di Kota Tegal sebesar
33,54%.
3. Pelayanan Kesehatan Jiwa
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang mengalami
gangguan kejiwaan, yang meliputi gangguan pada perasaan, proses pikir, dan perilaku
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan
peran sosialnya.
Tahun 2009 ini, sudah semua kabupaten/kota melaporkan hasil pelayanan
kesehatan jiwa, hal ini dapat dilihat dari hasil cakupan pelayanan kesehatan jiwa di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 yaitu sebesar 1,41% meningkat dibandingkan
cakupan tahun 2008 yang hanya 0,36%. Cakupan ini masih jauh dibawah target SPM
2010 yang sebesar 15%. Hanya ada satu kabupaten yang mencapai target SPM 2010
yaitu Kabupaten Purbalingga (20,26%).
Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan jiwa di RS berasal dari Rumah
Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang
ada saat ini adalah tidak semua Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik jiwa
karena belum tersedia tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di masyarakat
yang berobat di sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan tersebut, upaya yang
perlu dilakukan adalah peningkatan pembinaan program kesehatan jiwa di sarana
kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/refreshing bagi dokter dan paramedis
Puskesmas terutama upaya promotif dan preventif, serta meningkatkan pelaksanaan
sistem monitoring dan evaluasi pencatatan dan pelaporan program kesehatan jiwa.
4. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Laboratorium Kesehatan
Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium kesehatan yang
dapat diakses masyarakat adalah cakupan sarana kesehatan yang telah mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan sesuai standar
dan dapat diakses oleh masyarakat dalam waktu tertentu. Kemampuan pelayanan
laboratorium kesehatan yang dimaksud adalah upaya pelayanan penunjang medik
untuk mendukung dalam pelayanan medik, dimana untuk menegakkan diagnosis dokter
di rumah sakit.
Gambar 4.20
Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Labkes
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009
Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium yang dapat
diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 94,41% dengan
perincian untuk RSU 97,69%, RS Jiwa 100%, RS Khusus 95,0%, dan Puskesmas
93,67%.
5. Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Kesehatan Spesialis Dasar
Target Penyelenggaraan empat pelayanan kesehatan spesialis dasar dalam
Indikator Indonesia Sehat 2010 sebesar 100%. Dari 173 Rumah Sakit Umum di Provinsi
Jawa Tengah baik pemerintah maupun swasta, baru 84,39% atau 146 RSU yang
memiliki minimal 4 spesialis dasar. Hal ini berkaitan dengan disyaratkannya
penyelenggaraan 4 pelayanan kesehatan spesialis dasar pada perizinan pendirian
sebuah rumah sakit.
6. Ketersediaan Obat Esensial dan Generik Sesuai Kebutuhan
Ketersediaan obat sesuai kebutuhan adalah ketersedian obat pelayanan
kesehatan dasar di unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan kabupaten/kota. Ada
33 jenis obat yang wajib dilaporkan ketersediaannya berdasarkan Surat Edaran
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI Nomor :
IR.01.02.112 tanggal 13 Mei 2004.
Jumlah kebutuhan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat kebutuhannya
oleh kabupaten/kota adalah 217.408.106 satuan kemasan. Sementara jumlah
ketersediaan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat ketersediaannya oleh
kabupaten/kota adalah 300.149.886 satuan kemasan. Persentase ketersediaan 33 jenis
obat yang wajib dilaporkan tingkat ketersediaannya oleh Kabupaten/kota adalah
138,06%, artinya kebutuhan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat
ketersediaannya oleh Kabupaten/kota sudah dapat tersedia seluruhnya.
Terdapat 3 (tiga) jenis obat yang persentase tingkat ketersediaannya <100%,
yang artinya belum dapat tersedia dengan cukup yaitu : Dexamethasone injeksi 5
mg/ml-2 ml (86,1%), Kotrimoksazol suspensi (95,8%) dan OAT kategori 3 (81,4%).
Sementara 30 (tiga puluh) jenis obat yang lain, persentase tingkat ketersediaannya
>100%.
Dari 33 jenis obat yang wajib dilaporkan tingkat ketersediaannya oleh
Kabupaten/kota, jenis obat yang persentase ketersediaannya paling tinggi yaitu
Kloroquin tablet 150 mg (13.208%), sebenarnya hanya 12 kabupaten/kota yang
melaporkan kebutuhan dan ketersediaannya dan yang membuat tingkat
ketersediaannya tinggi adalah karena tingkat ketersediaan yang tinggi di Kabupaten
Purworejo (19.416%) dan kabupaten Sragen (6.532%). Sedang jenis obat yang
persentase ketersediaannya paling rendah adalah OAT kategori 3 (81,4%).
Rata-rata item obat esensial yang dibutuhkan kabupaten/kota tahun 2009
adalah sebanyak 110 item, sementara rata-rata item obat esensial yang tersedia di
Kabupaten/kota sebanyak 109 item. Sehingga persentase ketersediaan obat esensial
Kabupaten/kota adalah 99,66%, artinya kebutuhan obat esensial di Kabupaten/kota
hampir dapat tersedia seluruhnya.
Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat esensial >100% ada 12
Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat esensial di Kabupaten/kota tersebut telah
dapat tersedia semuanya, sedangkan Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan
obat esensial <100% ada 19 Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat esensial
Kabupaten/kota tersebut belum dapat tersedia semuanya. Sementara masih ada 4
kabupaten/kota yang tidak tersedia datanya. Kabupaten dengan persentase
ketersediaan obat esensial paling tinggi adalah Kabupaten Kudus (182,24%), sedang
Kabupaten dengan persentase ketersediaan obat esensial paling rendah adalah
Kabupaten Rembang (72,22%).
Rata-rata item obat generik yang dibutuhkan Kabupaten/kota pada tahun
2009 adalah sebanyak 118 item, sedangkan rata-rata yang tersedia sebanyak 121 item
(102,67%), artinya kebutuhan obat generik Kabupaten/kota dapat tersedia seluruhnya.
Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat generik >100% ada 12
Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat generik Kabupaten/kota tersebut telah dapat
tersedia semuanya, sedangkan Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat
generik <100% ada 19 Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat generik Kabupaten/kota
tersebut belum dapat tersedia semuanya. Sementara masih ada 4 kabupaten/kota yang
tidak tersedia datanya. Kabupaten dengan persentase ketersediaan obat generik paling
tinggi adalah Kabupaten Boyolali (190,75%), sedangkan terendah adalah Kabupaten
Wonogiri (71,35%).
Trend persentase ketersediaan obat esensial maupun obat generik dalam 4 (empat)
tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat, sebagaimana terlihat pada gambar
berikut ini.
Gambar 4.21
Ketersediaan Obat Esensial dan Obat Generik
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
7. Ketersediaan Obat Narkotika dan Psikotropika
Rata-rata jumlah kebutuhan item obat Narkotika dan Psikotropika di
kabupaten/kota tahun 2009 adalah sebanyak 4 item, sedangkan rata-rata jumlah
ketersediaannya sebanyak 4 item juga. Sementara persentase ketersediaan obat
Narkotika dan Psikotropika Kabupaten/kota adalah 111,66%, artinya seluruh kebutuhan
obat Narkotika dan Psikotropika Kabupaten/kota telah tersedia semuanya.
Kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat Narkotika dan
Psikotropika >100% ada 20 Kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat Narkotika dan
Psikotropika Kabupaten/kota tersebut telah dapat tersedia semua, sedangkan
kabupaten/kota dengan persentase ketersediaan obat Narkotika dan Psikotropika
<100% ada 12 kabupaten/kota, artinya kebutuhan obat Narkotika dan Psikotropika
Kabupaten/kota tersebut belum dapat tersedia semua. Kabupaten dengan persentase
ketersediaan obat Narkotika dan Psikotropika paling tinggi adalah Kabupaten Kudus
(367,74%) dan yang terendah adalah Kabupaten Wonosobo (71,43%). Sementara
masih ada 3 kabupaten/kota yang tidak tersedia datanya.
8. Penulisan Resep Obat generik
Jumlah penulisan resep di RSU dan RSK pemerintah di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009 adalah sebanyak 18.461.163 lembar, sedangkan jumlah resep (yang
mengandung) obat generik di RSU dan RSK pemerintah sebanyak 11.695.202 lembar.
Persentase penulisan resep obat generik di RSU dan RSK milik pemerintah adalah
63,35%, artinya resep yang isinya (mengandung) obat generik adalah lebih dari
separuh/setengah dari total resep yang diterima RSU dan RSK milik pemerintah.
Kabupaten dengan RSU dan RSK milik pemerintah yang memiliki persentase
penulisan resep obat generik 100% adalah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten
Batang (100%), sedang Kabupaten dengan RSU dan RSK milik pemerintah yang
memiliki persentase penulisan resep obat generik paling rendah adalah Kabupaten
Jepara (6,22%). Sementara itu masih ada 5 kabupaten/kota yang tidak tersedia
datanya.
D. PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SANITASI DASAR
Lingkungan sehat merupakan salah satu pilar utama dalam pencapaian Indonesia
Sehat 2010. Lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap derajat
kesehatan, disamping perilaku dan pelayanan kesehatan.
Program Lingkungan Sehat bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup
yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kesehatan kewilayahan untuk
menggerakkan pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan. Adapun kegiatan
pokok untuk mencapai tujuan tersebut meliputi : (1). Penyediaan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Dasar (2). Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas Lingkungan (3). Pengendalian
Dampak Risiko Lingkungan (4). Pengembangan Wilayah Sehat.
Pencapaian tujuan penyehatan lingkungan merupakan akumulasi berbagai
pelaksanaan kegiatan dari berbagai lintas sektor, peran swasta dan masyarakat.
Pengelolaan kesehatan lingkungan merupakan penanganan yang paling kompleks,
kegiatan tersebut sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya, berbagai lintas sektor
ikut serta berperan (Bappeda, Bapermas, Perindustrian, Lingkungan Hidup, Pertanian,
Cipta Karya dan Dinas Kesehatan). 1. Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi
Adanya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor air minum dan
penyehatan lingkungan dalam penggunaan prasarana dan sarana yang dibangun,
melalui kebijakan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan yang ditandatangani oleh
Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian
Pekerjaan Umum cukup signifikan terhadap penyelenggaraan kegiatan penyediaan air
bersih dan sanitasi khususnya di daerah.
Strategi pelaksanaan diantaranya, meliputi penerapan pendekatan tanggap kebutuhan,
peningkatan sumber daya manusia, kampanye kesadaran masyarakat, upaya peningkatan
penyehatan lingkungan, pengembangan kelembagaan dan penguatan sistem monitoring
serta evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan menjadi acuan pola pendekatan
kegiatan penyediaan Air Bersih dan Sanitasi.
Pada dasarnya negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
kebutuhan pokok minimal sehari - hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih
dan produktif (UU No. 7 Tahun 2004, pasal 10). Namun pada kenyataannya persentase
penduduk miskin masih tinggi, sehingga kemampuan untuk mendapat akses ke sarana
penyediaan air minum yang memenuhi syarat masih terbatas.
Masyarakat berpenghasilan rendah, ternyata membayar lebih besar untuk
memperoleh air daripada masyarakat berpenghasilan tinggi, hal ini menunjukkan
ketidakadilan dalam mendapatkan akses pada air minum. Walaupun terdapat program
- program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, namun
akses terhadap air minum belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Perlu
dukungan kebijakan yang lebih fokus untuk penyediaan sanitasi dan air minum bagi
masyarakat berpenghasilan rendah.
a. Akses Sarana Air Bersih
Jumlah keluarga yang diperiksa akses air bersih sebanyak 3.814.389
(42,86%) dari 8.900.367 KK dan yang telah memiliki akses sarana air bersih
sebanyak 3.142.157 (82,38%). Keluarga yang telah akses air bersih tersebut,
terbanyak memanfaatkan Sumur gali (45,58 %).
Gambar 4.22
Akses Air Bersih Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
b. Sarana Sanitasi Dasar
Kepemilikan sarana sanitasi dasar yang dimiliki oleh keluarga meliputi
persediaan air bersih, jamban, tempat sampah, dan pengelolaan air limbah. Jumlah
KK yang telah memiliki Persediaan Air Bersih (PAB) 2.969.747 (77,86%),
Jamban 2.629.797 (68,95 %), Tempat Sampah 2.781.564 (72,93%) dan Jumlah KK
yang telah memiliki pengelolaan air limbah : 2.117.447 (55,51 %).
Gambar 4.23
Cakupan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009
Dalam mendukung perubahan sanitasi total khususnya buang air besar di
sembarang tempat, telah dilakukan pemicuan Community Led Total Sanitation
(CLTS) di 30 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah untuk mendukung pencapaian
wilayah stop buang air besar di sembarang tempat dan penurunan penyakit
berbasis lingkungan, khususnya Diare. Melalui CLTS terjadi perubahan perilaku
tidak buang air besar di sembarang tempat tanpa ada stimulan, pembiayaan tidak
ada subsidi dan jamban adalah private good.
2. Pengawasan dan Pemeliharaan Kualitas Lingkungan
a. Pengawasan Institusi
Kondisi kesehatan lingkungan pada institusi meliputi institusi pendidikan,
kesehatan, tempat ibadah, kantor dan sarana lain dititikberatkan pada aspek
hygiene sarana sanitasi yang erat kaitannya dengan kondisi fisik bangunan institusi
tersebut.
Gambar 4.24
Cakupan Institusi Dibina Kesehatan Lingkungannya
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 - 2009
Pada Tahun 2009 pencapaian cakupan institusi yang dibina yaitu sarana kesehatan
81,90%, pendidikan 71,48%, tempat ibadah 57,49%, kantor 70,81% dan sarana
lainnya 59,75%. Kegiatan yang dilakukan dalam meningkatkan kesehatan
lingkungan di insitusi adalah:
Pengendalian faktor risiko lingkungan institusi terhadap penyakit berbasis
lingkungan.
Pembinaan kesehatan lingkungan di institusi sekolah dan pondok pesantren.
b. Rumah Sehat
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah
haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan
produktivitas. Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan merupakan faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit khususnya
penyakit berbasis lingkungan seperti Demam Berdarah Dengue, Malaria, Flu
Burung, TBC, ISPA dan lain - lain.
Pada Tahun 2009 sebanyak 41,18% (3.314.318 buah) rumah telah diperiksa
kondisi kesehatan lingkungannya secara sampling dan yang memenuhi syarat
rumah sehat sebesar 65,12%.
Gambar 4.25
Cakupan Rumah Sehat Di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 - 2009
Jumlah rumah yang bebas jentik nyamuk Aedes aegypti tahun 2009
sebanyak 2.330.525 rumah atau 79,38% (Pemantauan jentik di 2.935.764 rumah
dari 7.773.432 rumah yang ada). Cakupan angka bebas jentik ini masih dibawah
target 95 %. Oleh karena itu gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3 M
Plus (Menguras, Menutup, Mengubur dan Plusnya adalah Mencegah Gigitan
Nyamuk), bila memungkinkan pemakaian ulang kaleng, ban untuk pot dan lain -
lain harus selalu digerakkan secara optimal, mengingat kasus Demam Berdarah
yang cenderung meningkat dan bertambah luasnya wilayah yang terjangkit.
c. Pengawasan Tempat - Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan
Tempat - tempat umum adalah kegiatan bagi umum yang dilakukan oleh
badan pemerintah, swasta atau perorangan yang langsung digunakan oleh
masyarakat yang mempunyai tempat dan kegiatan tetap serta memiliki fasilitas.
Pengawasan sanitasi tempat umum bertujuan untuk mewujudkan kondisi yang
memenuhi syarat kesehatan agar masyarakat pengunjung terhindar dari
kemungkinan bahaya penularan penyakit serta tidak menyebabkan gangguan
terhadap kesehatan masyarakat di sekitarnya. Risiko dari pengelolaan makanan
mempunyai peluang yang besar dalam penularan penyakit karena jumlah
konsumen relatif banyak dalam waktu yang bersamaan.
Cakupan pengawasan sanitasi tempat - tempat umum yang memenuhi
syarat kesehatan Tahun 2009 meliputi Hotel 88,87%, Restoran 75,38%, Pasar
61,78% dan TUPM lainnya (73.59%). Pada Tempat Umum Pengelolaan Makanan,
jumlah diperiksa sebanyak 48.694 buah dan yang memenuhi syarat kesehatan
35.826 (73.57%)
Beberapa hambatan dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan
antara lain, yaitu :
Tenaga Pengelola Penyehatan Lingkungan di Puskesmas sebagian besar
merangkap tugas lain dan sangat terbatas untuk memperoleh pelatihan tentang
penyehatan lingkungan.
Anggaran kegiatan penyehatan lingkungan di Puskesmas sangat
terbatas,karena belum menjadi prioritas. Anggaran di Kabupaten/Kota masih
berorientasi kepada pemberian bantuan sarana air bersih dan jamban keluarga
karena masyarakat maupun stakeholder masih berorientasi/menginginkan
stimulan tersebut. Hal ini berdampak pula pada kegiatan pemicuan stop buang
air besar sembarangan di masyarakat masih lamban.
Kebiasaan Buang Air Besar di sembarang tempat masih cukup besar karena
berkaitan dengan budaya dan ekonomi.
Pedoman/instrumen dan media promosi tentang penyehatan
lingkungan terbatas di Puskesmas dan Kabupaten/Kota.
Data cakupan program Penyehatan Lingkungan merupakan sampling bukan
total populasi dan setiap tahunnya dilakukan sampling yang berbeda.
Peralatan penunjang kegiatan penyehatan lingkungan sangat terbatas di
Puskesmas. Hal ini menjadikan petugas Puskesmas kurang percaya diri ketika
bertugas di masyarakat/lapangan.
Belum optimalnya sinkronisasi pembangunan di bidang air minum dan
penyehatan lingkungan (Bapermas, Cipta Karya, Kesehatan dan Swasta).
Kondisi sanitasi masih buruk disamping belum adanya dukungan perilaku hidup
bersih dan sehat sehingga masih terjadi penyakit dan kejadian luar biasa yang
berhubungan dengan sanitasi lingkungan.
Upaya yang telah dilakukan antara lain :
Pembahasan kegiatan dan monitoring evaluasi Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (AMPL) oleh Kelompok Kerja AMPL Provinsi dan Kabupaten/Kota
serta sinkronisasi kegiatan Provinsi dengan Kabupaten/Kota.
Pengembangan Community Led Total Sanitation (CLTS) dalam memicu
perubahan perilaku buang air besar di sembarang tempat dan penurunan
penularan penyakit Dare dan Polio serta pengembangan hygiene dan sanitasi
sekolah.
Pengembangan kabupaten/kota sehat dalam mendukung kawasan sehat dan
penggerakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Pemberian stimulan dan penggerakan masyarakat dalam akses sanitasi
(stimulan rumah sehat untuk penderita TBC dan ISPA).
Pendidikan dan pelatihan tenaga penyehatan lingkungan Puskesmas melalui
dana APBD Provinsi melalui kerjasama antara Badan Pendidikan dan Pelatihan
Provinsi dengan Dinas Kesehatan Provinsi.
Fasilitasi perencanaan dan evaluasi serta data/indikator penyehatan lingkungan
dengan mengacu rencana strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan data di
Kabupaten/Kota.
Pengembangan MPA - PHAST (Methodology For Participatory
Assesment dan Participatory Hygiene and Sanitation Transformation) untuk
memicu perubahan perilaku yang berkaitan dengan kegiatan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat.
E. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
1. Pemantauan Pertumbuhan Balita
a. Partisipasi Masyarakat Dalam Penimbangan
Salah satu upaya untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat adalah
melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang sebagian kegiatannya
dilaksanakan di Posyandu. Penimbangan terhadap bayi dan balita yang dilakukan di
posyandu merupakan upaya masyarakat memantau pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan balita yang dintegrasikan dengan pelayanan kesehatan
dasar lain (KIA, Imunisasi, Pemberantasan Penyakit). Partisipasi masyarakat dalam
penimbangan di posyandu tersebut digambarkan dalam perbandingan jumlah balita
yang ditimbang (D) dengan jumlah balita seluruhnya (S). Semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam penimbangan di posyandu maka semakin baik pula data yang
dapat menggambarkan status gizi balita.
Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 75,89%, lebih rendah bila dibandingkan dengan
pencapaian tahun 2008 yang sebesar 76,47%. Cakupan tertinggi adalah di
Kabupaten Pati yakni sebesar 97,64% dan terendah adalah di Kabupaten Cilacap
yakni sebesar 32,39%.
Gambar 4.26
Cakupan Balita Yang Datang Dan Ditimbang (D/S) Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Kabupaten/kota yang belum dapat mencapai target partisipasi masyarakat
sebesar 80% sebanyak 23 kabupaten/kota. Banyak hal dapat mampengaruhi tingkat
pencapaian partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu antara lain
tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan gizi,
faktor ekonomi dan sosial budaya. Dari data yang ada menggambarkan bahwa
pedesaan dan perkotaan tidak memperlihatkan perbedaan yang menyolok dalam
partisipasi masyarakat tetapi yang sangat berpengaruh adalah faktor ekonomi dan
sosial budaya.
b. Balita Yang Naik Berat Badannya
Keberhasilan kader posyandu dalam memberikan penyuluhan gizi kepada
masyarakat di desanya sehingga orang tua dapat memberikan makanan yang
cukup gizi kepada anaknya dapat tergambar dari jumlah balita yang naik
timbangannya. Anak sehat bertambah umur akan bertambah berat badannya dan
persentase Balita yang naik timbangannya dapat menggambarkan tingkat
kesehatan balita di wilayah kerja Posyandu. Beberapa hal yang mungkin
mempengaruhi tingkat pencapaian Balita yang naik timbangannya antara lain
pengetahuan keluarga tentang kebutuhan gizi Balita, penyuluhan gizi masyarakat
dan ketersediaan pangan di tingkat keluarga.
Gambar 4.27
Cakupan Balita Yang Naik Berat Badannya (N/D)
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Cakupan Balita yang naik timbangannya di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 75,93%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan
tahun 2008 (74,95%). Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Cilacap sebesar
87,94% dan terendah adalah di Kota Magelang sebesar 57,45%.
Cakupan Balita yang naik timbangannya selama 4 tahun terakhir
berfluktuasi, dimana mengalami penurunan dari tahun 2006 sampai dengan tahun
2008, tetapi meningkat lagi pada tahun 2009 ini.
c. Balita Bawah Garis Merah (BGM)
Hasil penimbangan bayi dan balita di posyandu disamping tergambar balita
yang naik timbangannya juga diperoleh data balita BGM. BGM adalah merupakan
hasil penimbangan dimana berat badan balita berada di bawah garis merah pada
KMS. Tidak semua BGM dapat menggambarkan gizi buruk pada balita, hal ini
masih harus dilihat tinggi badannya, jika tinggi badan sesuai umur maka keadaan ini
merupakan titik waspada bagi orang tua untuk tidak terlanjur menjadi lebih buruk
lagi, namun jika balita ternyata pendek maka belum tentu anak tersebut berstatus
gizi buruk.
Target yang ingin dicapai secara nasional untuk BGM adalah kurang dari
5%. Persentase balita BGM Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 2,82%, ini
merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan dengan target nasional.
Persentase BGM di kabupaten/kota sangat bervariasi yaitu persentase terendah di
Kabupaten Pati yaitu sebesar 0,61 % dan tertinggi di Kabupaten Cilacap sebesar
29,06%. Kabupaten yang persentase BGM-nya masih belum mencapai target (>
5%) adalah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Batang (6,8%).
Gambar 4.28
Balita Bawah Garis Merah (BGM)
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Intervensi terhadap balita BGM antara lain adalah dengan pemberian MP-
ASI untuk balita berumur 6-24 bulan. Pada tahun 2009 jumlah anak BGM (6-24
bulan) sebanyak 127.145 anak dan yang mendapatkan penanganan berupa
pemberian MP-ASI adalah sebanyak 49.322 anak (38,79%). Pemberian MP-ASI
pada anak BGM adalah salah satu intervensi yang diambil dalam menangani
masalah anak BGM agar tidak jatuh pada kondisi yang lebih buruk lagi (Gizi Buruk).
Secara rata-rata di Provinsi Jawa Tengah Cakupan Balita Garis Merah (BGM)
mengalami fluktuatif dari tahun 2006 sebesar 1,97%, turun menjadi 1,52% di tahun
2007, naik lagi menjadi 2,99% tahun 2008 dan tahun 2009 turun lagi menjadi
2,82%.
2. Pelayanan Gizi
a. Bayi dan Balita Mendapat Kapsul Vitamin A
Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar diseluruh
dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama
pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis
penyakit yang merupakan “Nutrition Related Diseases” yang dapat mengenai
berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem
kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak
kurang Vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia
6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang.
Salah satu program penanggulangan KVA yang telah dijalankan adalah
dengan suplementasi kapsul Vitamin A dosis tinggi 2 kali pertahun pada Balita dan
ibu nifas untuk mempertahankan bebas buta karena KVA dan mencegah
berkembangnya kembali masalah Xerofthalmia dengan segala manifestasinya
(gangguan penglihatan, buta senja dan bahkan kebutaan sampai kematian).
Disamping itu pemantapan program distribusi kapsul Vitamin A dosis tinggi juga
dapat mendorong tumbuh kembang anak serta meningkatkan daya tahan anak
terhadap penyakit infeksi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada bayi dan anak.
Balita yang dimaksud dalam program distribusi kapsul Vitamin A adalah bayi
yang berumur mulai umur 6-11 bulan dan anak umur 12 - 59 bulan yang mendapat
kapsul vitamin A dosis tinggi. Kapsul Vitamin A dosis tinggi terdiri dari kapsul
Vitamin A biru dengan dosis 100.000 SI yang diberikan pada bayi berumur 6-11
bulan dan kapsul vitamin A berwarna merah dengan dosis 200.000 SI yang
diberikan pada anak umur 12-59 bulan dan diberikan pada bulan Pebruari dan
Agustus setiap tahunnya.
Berdasarkan data yang yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di
Jawa Tengah tahun 2009, cakupan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada bayi
sebesar 98,11%, mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan cakupan
tahun 2008 yang sebesar 98,57%. Ini berarti sudah melampaui target SPM sebesar
95%. Sebagian besar kabupaten/kota telah melampaui target, hanya ada 3
kabupaten/kota yang masih di bawah target yaitu Kabupaten Cilacap (80,51%),
Kabupaten Jepara (93,79%) dan Kabupaten Pemalang (91,04%).
Gambar 4.29
Cakupan Suplementasi Kapsul Vit. A Pada Bayi dan Balita
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada Balita tahun 2009 sebesar
83,31%, mengalami banyak penurunan dibandingkan cakupan tahun 2008 yang
mencapai 95,14%. Cakupan ini masih di bawah target SPM sebesar 95%. Cakupan
tertinggi (>100%) sudah dapat dicapai oleh 4 kabupaten/kota yaitu Kabupaten
Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Pati dan Kota Surakarta. Cakupan
terendah adalah di Kabupaten Blora sebesar 14,41%. Cakupan pemberian kapsul
vitamin A pada bayi dan Balita selama 4 tahun terakhir (2006-2009) dapat dilihat
dalam gambar berikut ini :
b. Ibu Nifas Mendapat Kapsul Vitamin A
Ibu nifas adalah ibu yang baru melahirkan bayinya yang dilaksanakan di
rumah dan atau rumah bersalin dengan pertolongan dukun bayi dan atau tenaga
kesehatan. Suplementasi vitamin A pada ibu nifas merupakan salah satu program
penanggulangan kekurangan vitamin A.
Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A adalah cakupan ibu nifas yang
mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) pada periode sebelum 40 hari
setelah melahirkan. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 87,31%, mengalami penurunan dibandingkan dengan
cakupan tahun 2008 yang mencapai 92,94%. Cakupan tertinggi (>100%) dicapai
oleh Kabupaten Banyumas dan Kota Semarang. Sementara cakupan terendah
adalah di Kabupaten Cilacap sebesar 50,18%.
Beberapa hal yang mempengaruhi fluktuasi angka cakupan pemberian
vitamin A pada bayi, balita, dan bufas diantaranya adalah :
- Advokasi, pendekatan, dan lain-lain bentuk yang disertai dengan
penyebarluasan informasi.
- Forum komunikasi, yang bermanfaat sebagai wahana yang mendukung
terlaksananya kegiatan KIE di berbagai sektor terkait.
- Sosialisasi pemberian kapsul Vitamin A terhadap petugas kesehatan di
Puskesmas, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya.
- Kegiatan konseling/konsultasi gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas dan rumah sakit pada sasaran ibu anak.
- Tersedianya sarana pelayanan kesehatan yang terjangkau.
- Lintas program/ lintas sektor terkait (Promosi Kesehatan, Imunisasi, dll)
- Adanya sweeping dari kader kesehatan dengan sasaran ibu anak yang belum
mendapatkan kapsul Vitamin A pada bulan kapsul.
c. Bayi BGM Gakin Mendapat MP ASI
Bayi Bawah Garis Merah (BGM) keluarga miskin adalah bayi usia 6 - 11
bulan yang berat badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah
pada KMS. Keluarga miskin adalah keluarga yang ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah kabupaten/kota melalui Tim Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK) dengan
melibatkan Tim Desa dalam mengidentifikasi nama dan alamat gakin secara tepat
sesuai dengan Gakin yang disepakati. Cakupan pemberian makanan pendamping
ASI pada bayi usia 6 - 11 bulan BGM dari keluarga miskin adalah pemberian MPASI
dengan porsi 100 gram per hari selama 90 hari.
Cakupan bayi BGM Gakin yang mendapat MP-ASI di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009 sebesar 26,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan cakupan
tahun 2008 yang mencapai 32,49%. Sementara cakupan tahun 2007 sangat t inggi
yaitu mencapai 95,72%. Cakupan yang sangat fluktuatif tersebut menunjukkan
kurangnya validitas data tersebut. Kurangnya validitas data tersebut disebabkan
banyaknya kabupaten/kota yang tidak masuk datanya untuk indikator ini. Data tidak
masuk disebabkan memang kesulitan untuk mendapatkan data tersebut. Kesulitan
itu disebabkan pencatatan pelaporan yang ada saat ini belum memisahkan bayi
BGM dari maskin dan non maskin. Untuk itu perlu adanya perbaikan pencatatan,
sehingga ke depan akan didapatkan data yang lengkap dan benar untuk indikator
ini.
d. Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan
Balita gizi buruk mendapat perawatan adalah balita dengan gizi buruk yang
ditangani di sarana pelayanan kesehatan dan atau di rumah oleh tenaga kesehatan
sesuai tata laksana gizi buruk di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Sedang gizi buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB) dengan Z score < -3 SD, dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus,
kwasiorkor, dan marasmus-kwasiorkor).
Gambar 4.30
Cakupan Balita Gizi Buruk Yang Mendapat Perawatan
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Jumlah Balita gizi buruk yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2009 sebanyak 4.696 balita. Balita gizi buruk yang mendapatkan perawatan
sesuai standar sebanyak 3.404 kasus atau sebesar 72,49%. Persentase ini
menurun jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 80,97%. Hal ini ada
kaitannya dengan partisipasi masyarakat dan fihak-fihak lain dalam perawatan gizi
buruk.
Sebanyak 28 kabupaten/kota sudah memenuhi target 100%. Satu kabupaten
tidak masuk datanya yaitu Kabupaten Sragen. Enam kabupaten/kota mempunyai
cakupan yang rendah (< 100%). Untuk kabupaten/kota yang cakupannya sangat
rendah ini kemungkinan terjadi karena kesalahan persepsi dan kurangnya
pemahaman terhadap definisi operasional variabel.
e. Wanita Usia Subur Yang Mendapat Kapsul Yodium
Pemberian kapsul yodium kepada sasaran wanita usia subur di daerah
endemik berat dan sedang dimaksudkan untuk mencegah kretinisme pada bayi.
Daerah-daerah endemik GAKY yang memerlukan intervensi kapsul yodium meliputi
11 kabupaten, yaitu Cilacap, Banjarnegara, Wonosobo, Magelang, Wonogiri,
Karanganyar, Pati, Temanggung, Kendal, Tegal dan Brebes.
Berdasarkan laporan yang masuk dari 9 kabupaten tampak bahwa cakupan
WUS yang mendapat kapsul yodium baru mencapai 52,66%. Cakupan ini cukup
rendah dibandingkan dengan target sebesar 90%, walaupun masih lebih tinggi
tajam dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yang sebesar 49.91%. Dari 9
kabupaten/kota yang mempunyai cakupan tertinggi adalah Kabupaten Magelang
(98,84%). Sementara cakupan terendah adalah Kabupaten Wonogiri yang hanya
sebesar 1,47%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian untuk dilakukan validasi data
dan apabila ternyata memang cakupannya sangat rendah, perlu dilakukan kajian
untuk menemukan masalah dan merumuskan upaya peningkatan cakupan WUS
yang mendapatkan kapsul Yodium.
Gambar 4.31
Cakupan WUS Mendapat Kapsul Yodium
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
F. PERILAKU HIDUP MASYARAKAT
1. Persentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di rumah tangga merupakan upaya
untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan
PHBS dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah risiko terjadinya
penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan
kesehatan masyarakat.
Yang dimaksud rumah tangga sehat adalah proporsi rumah tangga yang
memenuhi minimal 11 indikator dari 16 indikator PHBS tatanan rumah tangga. Adapun
16 indikator PHBS tatanan Rumah tangga Provinsi Jawa Tengah meliputi :
a. Variabel KIA dan GIZI : Persalinan Nakes; ASI Eksklusif; Penimbangan Balita; Gizi
seimbang
b. Variabel KESLING : Air bersih; Jamban; Sampah;Kepadatan hunian;lantai rumah.
c. Variabel GAYA HIDUP : Aktifitas fisik; Tidak merokok; Cuci tangan;Kesehatan gigi
dan mulut; Miras/Narkoba
d. Variabel UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(JPK) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Berdasarkan data hasil pengkajian PHBS Tatanan Rumah Tangga yang
dilaporkan oleh Dinas Kesehatan 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2009,
dapat diketahui bahwa dari sejumlah 8.885.675 rumah tangga yang ada di Jawa
Tengah, yang dilakukan pengkajian baru sejumlah 2.085.999 rumah tangga atau baru
mencapai 23% atau terjadi kenaikan sebesar 9% apabila dibandingkan dengan hasil
pengakajian tahun 2008 dimana dari 8.771.411 Rumah Tangga yang ada baru sebesar
14% yang telah dilakukan pengkajian (1.185.571 Rumah Tangga), akan tetapi
mengalami penurunan sebesar 10% apabila dibandingkan dengan hasil pengkajian
tahun 2007 yang telah mencapai 33% Rumah Tangga. Hal ini disebabkan karena
belum semua Kabupaten/Kota secara rutin mengalokasikan dukungan dana dari APBD
II untuk kegiatan pemetaan PHBS.
Gambar 4.32
Grafik Persentase Rumah Tangga Sehat Berdasarkan Strata
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 s/d 2009
Apabila dilihat dari pencapaian persentase rumah tangga sehat yaitu yang
diwakili oleh rumah tangga yang mencapai strata sehat utama dan sehat paripurna
telah mencapai 63,68% dengan cakupan tertinggi di Kabupaten Wonogiri (92%),
sedangkan cakupan rumah tangga sehat terendah adalah Kabupaten Kendal dan
Kabupaten Wonosobo yaitu masing-masing sebesar (49%). Terjadi peningkatan
dibandingkan dengan cakupan rumah tangga sehat pada tahun 2008 yang mencapai
57,91% demikian juga apabila dibandingkan dengan cakupan tahun 2007 yang
mencapai 43.79%. Sebanyak 20 Kabupaten/Kota telah mencapai target rumah tangga
sehat melebihi 65% (target SPM tahun 2010), mengalami penurunan apabila dibanding
Tahun 2008 yang telah mencapai 22 Kabupaten/kota. Dan apabila dibandingkan
dengan target pencapaian Renstra tahun 2008-2013 yaitu Kabupaten/Kota mencapai
rumah tangga sehat 75%, pencapaian Jawa Tengah belum berhasil, karena baru
mencapai 63,68 %. Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan perilaku tidak dapat
terjadi dalam waktu singkat, tetapi memerlukan proses yang sangat panjang termasuk
didalamnya perlu upaya pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan. Berikut
ini adalah Grafik persentase rumah tangga sehat berdasarkan strata Utama dan
Paripurna di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 s/d 2009.
Gambar 4.33
Grafik Persentase Rumah Tangga Sehat (Strata Utama dan Strata Paripurna)
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 s/d 2009
Berdasarkan hasil pemetaan PHBS tatanan Rumah Tangga Kabupaten/Kota
tahun 2009, diperoleh 5 (lima) urutan prioritas masalah berdasarkan 16 indikator PHBS
sebagai berikut :
o Perilaku anggota rumah tangga tidak merokok baru mencapai 33%, sehingga masih
ada sebesar 67% Rumah tangga yang belum bebas rokok (variabel gaya hidup)
o Perilaku Rumah Tangga yang memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya
mencapai 50%, sehingga masih ada sebesar 50% rumah tangga yang belum
memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya ( variabel KIA/Gizi)
o Rumah tangga yang menjadi anggota JPK mencapai 55%, sehingga masih ada
45% Rumah tangga yang belum menjadi anggota JPK ( variabel UKM)
o Perilaku anggota rumah tangga melakukan aktifitas fisik mencapai 65%, sehingga
masih ada 35% Rumah Tangga yang belum melakukan aktifitas fisik secara rutin
(variabel gaya hidup)
o Rumah tangga yang menggunakan lantai rumah kedap air mencapai 67%,
sehingga masih ada 33% rumah tangga yang menggunakan lantai tidak kedap air
(Variabel kesling)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari 5 urutan prioritas masalah tersebut,
diperlukan kegiatan intervensi yang melibatkan lintas program/sektor terkait, mengingat
kelima urutan prioritas masalah tersebut mewakili variabel yang beragam, sehingga
koordinasi dengan program dan sektor terkait diharapkan dapat mendukung
peningkatan dan pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Persentase Posyandu Aktif
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, utamanya 5 program
prioritas yang meliputi (KB; KIA; Gizi; Imunisasi dan penanggulangan diare dan ISPA)
dengan tujuan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Gambar 4.34
Persentase Posyandu Berdasarkan Strata
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 s/d 2009
Dasar penghitungan Strata/penilaian tingkat perkembangan posyandu yang
selama ini digunakan adalah :
a. Manajemen ARRIF dengan 8 indikator yang meliputi : Frekuensi penimbangan;
Rerata kader bertugas pada hari buka Posyandu; Rerata cakupan D/S; Cakupan
kumulatif KB; Cakupan kumulatif KIA; Cakupan kumulatif imunisasi; Ada tidaknya
program tambahan dan Cakupan dana sehat
b. Penghitungan strata Posyandu secara kuantitatif berdasar Surat Gubernur Jawa
Tengah nomor 411.4/05768, tanggal 20 Februari 2007 tentang Pedoman teknis
penghitungan strata Posyandu secara kuantitatif di Jawa Tengah yang dinilai
meliputi :
Variabel Input : kepengurusan, kader,sarana, prasarana dan dana
Variabel Proses : pelaksanaan program pokok, program pengembangan dan
administrasi
Variable Output : D/S; N/S; K/S; cakupan K4; pertolongan persalinan oleh
nakes; Cakupan peserta KB, Imunisasi; dana sehat; Fe; Vit A; pemberian ASI
eksklusif dan frekuensi penimbangan.
Berdasarkan laporan Kabupaten/kota, jumlah posyandu di Jawa Tengah dalam
3 tahun terakhir mengalami peningkatan. Data Posyandu di Jawa Tengah pada tahun
2009 sebanyak 48.096 buah, mengalami kenaikan sebesar 811 buah apabila
dibandingkan dengan jumlah Posyandu Tahun 2008 sebanyak 47.285 buah, serta
mengalami kenaikan sebesar 1.273 posyandu apabila dibandingkan dengan jumlah
Posyandu tahun 2007 yaitu sejumlah 46.823 buah.
Gambar 4.35
Jumlah Posyandu Di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 s/d 2009
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa Posyandu secara kuantitatif maupun
kualitatif dalam 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan. Meskipun kenaikan
secara kualitatif (strata purnama dan strata mandiri) relatif kecil.
a. Posyandu Purnama
Posyandu Purnama adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan
kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima
orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu
menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya masih
terbatas yakni kurang dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu.
Posyandu yang mencapai Strata Purnama pada tahun 2009 sebanyak
15.770 (32,79%), dengan nilai tertinggi di Kabupaten Karanganyar (52,24%) dan
terendah di Kabupaten Blora (13,92%). Cakupan tersebut mengalami penurunan
apabila dibanding tahun 2008 yang mencapai 33,85%. Sebanyak 8 kabupaten/kota
(22,86%) telah berhasil mencapai target SPM 2010 (40%). Angka tersebut apabila
dibandingkan dengan target Renstra tahun 2009 ”bahwa sebanyak 80%
Kabupaten/Kota telah mengembangkan Posyandu Purnama 40%” masih jauh
tertinggal, karena pencapaian di Jawa Tengah tahun 2009 baru mencapai 22,86%. Gambar 4.36
Cakupan Posyandu Purnama Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006 - 2009
Belum tercapainya target sesuai Renstra dapat disebabkan kegiatan
revitalisasi posyandu yang sudah dilaksanakan selama ini belum optimal, yang
dipengaruhi beberapa kendala antara lain :
Kegiatan Koordinasi dan sinkronisasi lintas program/sektoral belum optimal,
Dukungan lintas sektor belum terlihat nyata/masih sepotong-potong
Kelengkapan sarana prasarana maupun ketrampilan kader yang masih perlu
ditingkatkan.
Melihat kondisi tersebut, kegiatan revitalisasi posyandu masih perlu
mendapat perhatian dari semua sektor/pihak terkait. Termasuk didalamnya adalah
dengan mengoptimalkan fungsi Posyandu maupun pokjanal Posyandu yang sudah
terbentuk baik di tingkat Provinsi,Kabupaten/Kota maupun Kecamatan serta pokja
Posyandu di tingkat desa/kelurahan.
b. Posyandu Mandiri
Posyandu Mandiri adalah Posyandu sudah dapat melaksanakan kegiatan
lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau
lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu
menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih
dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu.
Posyandu yang mencapai Strata Mandiri tahun 2009 sejumlah 6.051 buah
(12,58%), dengan nilai tertinggi di Kota Surakarta (50,34%) dan terendah di
Kabupaten Rembang (0,16%). Pencapaian tersebut mengalami peningkatan
sebesar 2,53% dibanding tahun 2008 yang mencapai 10,05% dan terjadi
peningkatan sebesar 3,82% dibanding tahun 2007 yang mencapai 8,76%.
Pencapaian Cakupan tersebut sudah melampaui target SPM 2010 (> 2%),
hanya masih tersisa satu Kabupaten (2,86%) yang belum mencapai target
posyandu mandiri 2 % yaitu Kabupaten Rembang yang baru mencapai strata
mandiri 0,16 %. Gambar 4.37
Cakupan Posyandu Mandiri di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006 - 2009
Apabila dilihat dari gambar 4.38, terlihat bahwa terjadi kenaikan persentase
pencapaian strata mandiri. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 1,29%
dari tahun 2007, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,53% dari
tahun 2008. Berdasarkan data di atas, dan hasil pemantauan di lapangan, hal
tersebut dapat terjadi seiring dengan dikembangkannya Posyandu Model (Kegiatan
Posyandu yang sudah diintegrasikan dengan minimal satu kelompok kegiatan yang
sesuai dengan karakteristik daerah, misal kegiatan BKB, PAUD, UP2K). Sehingga
secara tidak langsung kegiatan integrasi tersebut dapat mempengaruhi pencapaian
indicator proses maupun indicator output posyandu.
3. Bayi Yang Mendapat ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan yang sempurna dan
terbaik bagi bayi karena mengandung unsur-unsur gizi yang dibutuhkan oleh bayi untuk
pertumbuhan dan perkembangan bayi guna mencapai pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang optimal.
ASI adalah hadiah yang sangat berharga yang dapat diberikan kepada bayi,
dalam keadaan miskin mungkin merupakan hadiah satu-satunya, dalam keadaan sakit
mungkin merupakan hadiah yang menyelamatkan jiwanya (UNICEF). Oleh sebab itu
pemberian ASI perlu diberikan secara eksklusif sampai umur 6 (enam) bulan dan tetap
mempertahankan pemberian ASI dilanjutkan bersama makanan pendamping sampai
usia 2 (dua) tahun.
Kebijakan Nasional untuk memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan telah
ditetapkan dalam SK Menteri Kesehatan No. 450/Menkes/SK/IV/2004. ASI eksklusif
adalah Air Susu Ibu yang diberikan kepada bayi sampai bayi berusia 6 bulan tanpa
diberikan makanan dan minuman, kecuali obat dan vitamin. Bayi yang mendapat ASI
eksklusif adalah bayi yang hanya mendapat ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan di
satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Pemberian ASI eksklusif bukan hanya isu nasional namun juga merupakan isu
global. Pernyataan bahwa dengan pemberian susu formula kepada bayi dapat
menjamin bayi tumbuh sehat dan kuat, ternyata menurut laporan mutakhir UNICEF
(Fact About Breast Feeding) merupakan kekeliruan yang fatal, karena meskipun insiden
diare rendah pada bayi yang diberi susu formula, namun pada masa pertumbuhan
berikutnya bayi yang tidak diberi ASI ternyata memiliki peluang yang jauh lebih besar
untuk menderita hipertensi, jantung, kanker, obesitas, diabetes dll.
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif
hanya sekitar 40,21%, terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun 2008 (28,96%),
tetapi dirasakan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target pencapaian ASI
eksklusif tahun 2010 sebesar 80%.
Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Banyumas yaitu sebesar 87,99%.
Sedangkan yang terendah adalah di Kabupaten Kudus sebesar 4,77%. Hanya 4
kabupaten/kota saja yang telah mencapai pemberian ASI eksklusif di atas 60% yaitu
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Blora.
Gambar 4.38
Cakupan Pemberian ASI Eksklusif Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2006 - 2009
Beberapa hal yang menghambat pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah :
1). Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga lainnya mengenai manfaat ASI dan cara
menyusui yang benar.
2). Kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan.
3). Faktor sosial budaya.
4). Kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja.
5). Gencarnya pemasaran susu formula.
Upaya- upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan cakupan
pemberian ASI eksklusif tetap berpedoman pada Sepuluh Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui yaitu ;
1) Sarana Pelayanan Kesehatan mempunyai kebijakan Peningkatan Pemberian Air
Susu Ibu (PP-ASI) tertulis yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua
petugas.
2) Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan dan ketrampilan untuk
menerapkan kebijakan tersebut.
3) Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan
penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2
tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui.
4) Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah melahirkan yang
dilakukan di ruang bersalin (inisiasi dini). Apabila ibu mendapat operasi caesar, bayi
disusui setelah 30 menit ibu sadar.
5) Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara mempertahankan
menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi medis.
6) Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru
lahir.
7) Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam
sehari.
8) Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama
dan frekuensi menyusui.
9) Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.
10) Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) dan rujuk ibu
kepada kelompok tersebut ketika pulang dari rumah sakit, rumah bersalin atau
sarana pelayanan kesehatan.
4. Desa Dengan Garam Beryodium yang Baik
Persentase desa/kelurahan dengan garam beryodium yang baik,
menggambarkan identitas mutu garam beryodium yang dikonsumsi penduduk di suatu
desa/kelurahan. Pada tahun 2009 di Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 48,81% dari
desa/kelurahan yang disurvey, masyarakatnya telah mengkonsumsi garam beryodium
yang memenuhi syarat (mengandung KJO3 30-80 ppm).
Gambar 4.39
Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beryodium Baik
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
Berdasarkan laporan yang masuk dari 31 kabupaten/kota, diantaranya yang
tertinggi adalah Kabupaten Sragen dengan 100% penduduknya telah mengkonsumsi
garam beryodium. Sedangkan kabupaten dengan konsumsi garam beryodium terendah
adalah Kabupaten Wonosobo (4,91%). Target cakupan untuk indikator ini adalah 90%,
sesuai dengan sasaran Garam Beryodium untuk Semua pada tahun 2010. Hal ini
berarti bahwa belum ada kemajuan yang berarti selama 4 tahun terakhir. Sejak tahun
2006 - 2009 berturut-turut tampak kecenderungan yang stagnan seperti dapat dilihat
pada gambar berikut.
5. Keluarga Sadar Gizi (Belum)
Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya
melakukan perilaku gizi seimbang yang mencakup 5 indikator yaitu : biasa
mengkonsumsi aneka ragam makanan, selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan
anggota keluarganya, khususnya balita dan ibu hamil, hanya menggunakan garam
beryodium untuk memasak makanannya, memberi dukungan pada ibu melahirkan
untuk memberikan ASI eksklusif dan biasa sarapan/makan pagi.
Cakupan keluarga sadar gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah
41,24%, ada peningkatan dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar
35,26%. Cakupan terendah adalah Kabupaten Cilacap (14,15%) dan tertinggi di Kota
Surakarta (94,79%).
Cakupan yang naik atau turun sangat mencolok tersebut mengindikasikan
kurang akuratnya data yang ada. Hal ini salah satunya disebabkan banyaknya
kabupaten/kota yang tidak ada datanya. Pada tahun 2009 ini, sebanyak 11
kabupaten/kota datanya tidak masuk. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 9
kabupaten/kota tidak tersedia data. Tidak tersedianya data tersebut dikarenakan tidak
semua kabupaten/kota melaksanakan kegiatan pemantauan keluarga sadar gizi. Tidak
adanya kegiatan berkaitan dengan tidak adanya pendanaan untuk kegiatan tersebut.
G. PELAYANAN KESEHATAN DALAM SITUASI BENCANA
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular dan keracunan masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di Jawa Tengah. Tingginya frekuensi KLB
seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), Chikungunya, AFP (Acute Flacid Paralisys),
Keracunan Makanan, Difteri, Campak, Diare, bencana serta munculnya penyakit baru
seperti Avian Influenza (Flu Burung), disamping menimbulkan korban kesakitan dan
kematian juga berdampak pada situasi sosial ekonomi masyarakat secara umum
(keresahan masyarakat, produktivitas menurun). Kondisi tersebut menuntut adanya
upaya/tindakan secara cepat dan tepat (kurang dari 24 jam) untuk menanggulangi setiap
KLB serta melaporkan kepada tingkat administrasi kesehatan di atasnya.
Data frekuensi KLB penyakit menular, keracunan makanan, dan bencana selama
tahun 2008 sebanyak 536 kejadian tersebar di 35 kabupaten/kota. Dari 536 desa/kelurahan
yang terkena KLB, seluruhnya (100%) telah mendapatkan penanganan kurang dari 24 jam
oleh Puskesmas bersama Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
Gambar 4.40
Distribusi Frekuensi KLB menurut Jumlah Desa Yang Terserang
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006-2009
Dari grafik di atas diketahui bahwa jumlah desa/kelurahan yang terkena KLB di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2006-2009 mengalami fluktuasi yaitu dari 567 desa/kelurahan
pada tahun 2006 meningkat menjadi 1023 desa/kelurahan pada tahun 2007, tetapi tahun
2008 dan 2009 terus mengalami penurunan yaitu sebanyak 543 dan 536 desa/kelurahan.
Gambar 4.41
Distribusi Frekuensi Persentase Desa/Kelurahan Terkena KLB
Yang Ditangani Kurang Dari 24 jam
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006-2009
Dari grafik di atas diketahui bahwa persentase desa/kelurahan tekena KLB yang
ditangani kurang dari 24 jam di Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009 mengalami fluktuasi yaitu
dari 99,65% pada tahun 2006 meningkat menjadi 99,84% pada tahun 2007 kemudian turun
menjadi 99,63% dan meningkat lagi tahun 2009 menjadi 100% atau semua desa/kelurahan
yang terkena KLB mendapatkan penanganan kurang dari 24 jam.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu desa/kelurahan dalam
jangka waktu tertentu. Sebaran Kejadian Luar Biasa menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2009 menunjukkan bahwa 3 kabupaten/kota dengan frekuensi KLB
terbanyak adalah Kabupaten Cilacap (63 kejadian), Kabupaten Sukoharjo (56 kejadian) dan
Kabupaten Wonogiri (50 kejadian).
Gambar 4.42
Jenis Kejadian Luar Biasa
Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
Dari 536 desa/kelurahan yang terkena KLB di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009, jenis KLB dengan frekuensi kejadian tertinggi adalah KLB DBD (95 desa/kelurahan)
tersebar di 13 kabupaten/kota pada 55 kecamatan. Angka serangan (Attack Rate) KLB
DBD pada tahun 2009 sebesar 0,15%, mengalami sedikit kenaikan bila dibandingkan
dengan attack rate tahun 2008 yang sebesar 0,10%, sedangkan angka kematian (Case
Fatality Rate) akibat KLB DBD pada tahun 2009 sebesar 2,81%, mengalami kenaikan bila
dibandingkan CFR tahun 2008 sebesar 2,58%.
Kejadian Luar Biasa chikungunya yang ditemukan di 81 desa/kelurahan merupakan
KLB dengan frekuensi tertinggi kedua dengan angka serangan kasus (AR=1,63%) dan
angka kematian kasus (CFR=0,00%). Kondisi tersebut mengalami penurunan bila
dibanding tahun 2008 dimana frekuensi KLB chikungunya sebanyak 98 kejadian, dengan
angka serangan (AR=1,46%) dan angka kematian kasus (CFR=0,00%). Meskipun ada
penurunan jumlah desa/kelurahan, tetapi ada peningkatan di Attack Rate-nya, sehingga
tetap diperlukan adanya upaya peningkatan program, terutama kegiatan bidang promosi
(melalui penyuluhan) dan preventif (pemberantasan sarang nyamuk)
Berdasarkan Case Fatality Rate, KLB Tetanus Neonatorum merupakan kasus
KLB dengan Case Fatality Rate tertinggi (44,44%). Urutan selanjutnya adalah KLB
H1N1 (37,50%), HIV/AIDS (33,33%) dan KIPI (25%).
SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN A. SARANA KESEHATAN
1. Data Dasar Puskesmas
usat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah merupakan
sarana pelayanan masyarakat di tingkat dasar. Puskesmas terdiri dari
Puskesmas Perawatan, Puskesmas Non Perawatan, Puskesmas Pembantu, dan
Puskesmas Keliling. Jumlah Puskesmas di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak
853 (termasuk 303 Puskesmas Rawat Inap).. Bila dibandingkan dengan konsep wilayah
kerja Puskesmas, dengan sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas
rata-rata 30.000 penduduk per Puskesmas, maka rasio jumlah Puskesmas per 30.000
penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun tahun 2009 sebesar 0,78 lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 0,79. Ini berarti bahwa di Provinsi Jawa
Tengah jumlah Puskesmas masih kurang. Rasio tertinggi di Kabupaten Banjarnegara
(1,20) dan Rasio Terendah di Kabupaten Sukoharjo (0,43).
Kekurangan jumlah Puskesmas ini diupayakan agar dapat terpenuhi dengan
adanya Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Jumlah Puskesmas Pembantu
mengalami sedikit kenaikan dari 1.846 pada tahun 2008 menjadi 1.850 pada tahun
2009. Dengan adanya Puskesmas Pembantu diharapkan dapat mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahun 2009 jumlah Puskesmas Keliling di Provinsi Jawa Tengah adalah
1.130 unit, bertambah bila dibandingkan tahun 2008 yang hanya berjumlah 1.020 unit.
Rasio Puskesmas Keliling terhadap Puskesmas pada tahun 2009 adalah 1,32. Ini
berarti semua Puskesmas telah memiliki Puskesmas Keliling, bahkan ada yang memiliki
lebih dari satu. Puskesmas Perawatan juga bertambah dari 267 buah pada tahun 2008
menjadi 303 pada tahun 2009. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Perawatan, Puskesmas
Pembantu, dan Puskesmas Keliling dapat dilihat pada gambar di bawah. Gambar 5.1
Jumlah Puskesmas, Puskesmas Perawatan, Puskesmas Pembantu, dan Puskesmas Keliling Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009
2. Indikator Pelayanan Rumah Sakit
Indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan sarana rumah sakit
antara lain dengan melihat perkembangan fasilitas perawatan yang biasanya diukur
dengan jumlah rumah sakit dan tempat tidurnya serta rasionya terhadap jumlah
penduduk. Pada tahun 2009 jumlah rumah sakit di Provinsi Jawa Tengah menurut
jenis dan kepemilikannya adalah sebagai berikut : Tabel Jumlah Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah menurut jenis dan pemilikan
Tahun 2009
Pemilikan/Pengelola
Pem Pusat Pem Prov Pem Kab/Kota TNI/Polri BUMN Swasta Jml
RSU 2 4 42 11 1 113 173
RSJ 1 3 0 0 0 2 6
RSB 0 0 0 0 0 10 10
RSK lainnya
2 0 0 0 0 48 50
JML : 5 7 42 11 1 173 239
a. Pemakaian Tempat Tidur/Bed Occupancy Rate (BOR)
Merupakan prosentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu
tertentu. Indikator ini dipergunakan untuk menilai suatu kinerja rumah sakit dengan
melihat persentase pemanfaatan tempat tidur rumah sakit atau Bed Occupation
Rate (BOR). Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan
fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (>85%)
menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi, sehingga perlu
pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. BOR yang ideal untuk
suatu rumah sakit adalah antara 60% sampai dengan 80%.
Dari 239 Rumah Sakit di Jawa Tengah tahun 2009 yang terdiri dari 11 RS
(4,51%) mempunyai tingkat pemanfaatan sangat tinggi diatas maksimal occupancy
rate, 74 RS (30,32%) mempunyai BOR yang dianggap cukup ideal. Tetapi masih
terdapat 75 RS (34,83) tingkat pemanfaatannya masih kurang, bahkan ada 40 RS
(18,85%) yang tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah
b. Rata-rata Lama Rawat Seorang Pasien / Average Length of Stay (ALOS)
Rata-rata lama rawat seorang pasien yang secara umum/Average Length of
Stay (ALOS) yang ideal adalah antara 6 - 9 hari. Rata-rata lama rawat seorang
pasien di RS se Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 3,87, mengalami
peningkatan bila dibandingkan nilai ALOS tahun 2008 sebesar 3,61. Angka tersebut
masih berada dibawah nilai ALOS yang ideal. Dari 198 RS yang melapor, hanya 13
rumah sakit yang mempunyai nilai ALOS ideal yaitu RSUD Banyumas, RSIA
Amelia Banyumas, RSIA Aisyiyah Purworejo, RS Cakra Husada Klaten, RS Wira
Husada Blora, RSUD Kudus, RSUD Kraton Kab. Pekalongan, RSJ Prof dr. Soerojo
Kota Magelang, RSUD dr. Moewardi Surakarta, RSJ Daerah Surakarta, RSJ &
Syaraf Puri Waluyo Surakarta, RS Sejahtera Bakti & Holistik Salatiga dan RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Sedangkan 185 rumah sakit lainnya masih mempunyai nilai
ALOS di bawah 6.
a. Rata-rata Hari Tempat Tidur Tidak Ditempati / Turn Of Interval (TOI)
TOI bersama dengan ALOS merupakan indikator tentang efisiensi
penggunaan tempat tidur. Semakin besar TOI maka efisiensi penggunaan tempat
tidur semakin jelek. Angka ideal untuk TOI adalah 1 - 3 hari. Rata-rata TOI di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 5,90. Ini berarti nilai TOI di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2009 belum masuk di angka ideal. Dari 198 RS yang melapor,
ada 94 rumah sakit yang mempunyai nilai TOI di atas 3.
b. Angka Kematian Umum Penderita Yang Dirawat di RS / Gross Death
Rate (GDR)
Angka GDR adalah untuk mengetahui mutu pelayanan atau perawatan rumah
sakit. Semakin rendah GDR, berarti mutu pelayanan rumah sakit semakin baik.
Angka GDR yang dapat ditolerir maksimum 45. Rata-rata angka GDR di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 18,66, berarti masih berada dalam kisaran yang
bisa ditolerir. Dari 198 RS yang melapor, sebanyak 21 rumah sakit mempunyai nilai
GDR melebihi angka yang dapat ditolerir.
c. Angka Kematian Penderita Yang Dirawat < 48 Jam / Net Death Rate (NDR)
Angka NDR adalah untuk mengetahui mutu pelayanan atau perawatan rumah
sakit. Nilai NDR yang dapat ditolerir adalah 25 per 1.000 penderita keluar. Rata-rata
NDR di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 8,47, berarti masih berada
dalam kisaran yang bisa ditolerir.
Dari 198 RS yang melapor, sebanyak 13 rumah sakit mempunyai nilai NDR
melebihi angka yang dapat ditolerir. Dari data NDR dan GDR di Provinsi Jawa
Tengah tersebut, masih diperlukan tindak lanjut dengan upaya baru dalam
pelayanan kesehatan agar seluruh RS mempunyai NDR dan GDR di bawah angka
yang dapat ditolerir.
3. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut Kepemilikan/Pengelola
Sarana Pelayanan Kesehatan terdiri dari RSU, RSJ, RSB, RS Khusus lainnya,
Puskesmas Perawatan, Puskesmas Non Perawatan, Pustu, Puskesling, RB, BP/Klinik,
Praktek Dokter Bersama, Praktek Dokter Perorangan dan Praktek Pengobatan
Tradisional. Jumlah sarana pelayanan kesehatan pada tahun 2009 sebanyak 15.129
unit, yang terbagi dalam 6 (enam) kepemilikan yaitu : Pemerintah Pusat sebanyak 5
(0,03%), Pemerintah Provinsi sebanyak 8 (0,05%), Pemerintah kabupaten/kota
sebanyak 4.102 (0,67%), TNI/POLRI sebanyak 21 (0,14%), BUMN sebanyak 5
(0,03%), Swasta sebanyak 10.988 (72,63%).
4. Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta
Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta terdiri dari RSU, RSJ, RSB, RS Khusus
lainnya, Puskesmas, Posyandu, Polindes, PKD, RB, BP/Klinik, Apotek, Toko
Obat,GFK, Industri Obat Tradisional, Industri Kecil Obat Tradisional, Praktek Dok ter
Bersama, Praktek Dokter Perorangan dan Praktek Pengobatan Tradisional. Pada tahun
2009 jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta sebesar 10.362 buah. Persentase
tertinggi adalah Praktek Dokter Perorangan (60,02%), terendah adalah Rumah Sakit
Jiwa (0,02%).
5. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat terdiri atas Desa Siaga, Forum
Kesehatan Desa, Poskesdes, Polindes, dan Posyandu. Total UKBM tahun 2009 adalah
70.740 buah, lebih banyak daripada tahun 2008. UKBM terbanyak adalah Posyandu
sebesar 48.096 (67,99%).
Poliklinik Kesehatan Desa adalah wujud upaya kesehatan bersumberdaya
masyarakat yang merupakan Program Unggulan di Jawa Tengah dalam rangka
mewujudkan desa siaga. PKD merupakan pengembangan dari Pondok Bersalin Desa.
Dengan dikembangkannya Polindes menjadi PKD maka fungsinya menjadi bertambah
yaitu sebagai tempat untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan
masyarakat, sebagai tempat untuk melakukan pembinaan kader/pemberdaya an
masyarakat serta forum komunikasi pembangunan kesehatan di desa, dan sebagai
tempat memberikan pelayanan kesehatan dasar termasuk kefarmasian sederhana
serta untuk deteksi dini dan penanggulangan pertama kasus gawat darurat.
Pengembangan PKD dimulai sejak tahun 2004. Jumlah PKD pada tahun 2009
sebanyak 5.552 buah.
Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah
kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Sebuah desa
dikatakan menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-kurangnya
sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Jumlah Desa Siaga pada tahun 2009
adalah 8.128 buah, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan jumlah
Poskesdes tahun 2008 sebanyak 7.419.
B. TENAGA KESEHATAN
1. Persebaran Tenaga Kesehatan
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dilakukan melalui perbaikan fisik dan
penambahan sarana prasarana, penambahan peralatan dan ketenagaan serta
pemberian biaya operasional dan pemeliharaan. Namun dengan semakin tingginya
pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan
semakin meningkat. Untuk itu dibutuhkan penambahan tenaga kesehatan yang
terampil dan siap pakai sesuai dengan karateristik dan fungsi tenaganya.
Sampai saat ini kebutuhan tenaga kesehatan masih belum sepenuhnya
terpenuhi. Hal tersebut dapat dilihat dari usulan permintaan kebutuhan tenaga
kesehatan baik di pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang sulit
terpenuhi akibat belum tertatanya data-data serta belum siapnya anggaran untuk
perekrutan pegawai. Kekurangan lain disebabkan belum tergantinya tenaga kesehatan
yang sudah pensiun, dan makin kompleksnya masalah-masalah kesehatan yang
ditangani oleh tenaga tersebut.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga kesehatan tersebut ditangani dengan
membuka penerimaan CPNS baru baik secara swakelola maupun tenaga pusat yang
ditempatkan di daerah. Usulan lain dalam mencukupi kekurangan tenaga juga
dilakukan pengangkatan Dokter Tidak Tetap, Bidan Tidak Tetap yang kedepannya
mengangkat tenaga kesehatan lain sebagai pegawai tidak tetap disamping sebagai
Pegawai Harian Lepas (PHL). Dalam pengangkatan PTT tersebut dilakukan masa bakti
selama 3 (tiga) tahun baik dengan dana Pemerintah Pusat maupun dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing kabupaten/kota.
Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak
50.392 pegawai. Penempatan tenaga kesehatan tersebut tersebar belum merata pada
masing-masing pelayanan kesehatan. Secara berurutan persentase penempatan
tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah sebagai berikut :
Rumah Sakit sebesar 51,80 lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar
50,26% , Puskesmas sebesar 40,85% lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2008
sebesar 42,75%, Dinas Kesehatan kabupaten/kota sebesar 2,88% lebih kecil
dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 3,02%, sarana kesehatan lain sebesar
3,08% lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 2,74%, Institusi
Diklat/Diknakes sebesar 1,40% lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar
1,22%, dan Dinas Kesehatan Provinsi sebesar 0,41 lebih kecil dibandingkan dengan
tahun 2008 sebesar 0,47%.
2. Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk
a. Rasio Tenaga Dokter Spesialis
Rasio Dokter Ahli per 100.000 penduduk di provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 8,00, mengalami peningkatan bila dibandingkan rasio tahun 2008
sebesar 5,25. Rasio tersebut berada diatas target Indonesia Sehat 2010 dan
standar dari WHO sebesar 6 per 100.000 penduduk. Rasio dokter ahli per 100.000
penduduk yang tertinggi adalah di Kota Surakarta sebesar 69,61 dan rasio terendah
adalah di Kabupaten Klaten dan Kota Salatiga sebesar 0,00 per 100.000 penduduk
karena tidak ada dokter spesialis.
Gambar 5.2 Rasio Dr. Spesialis di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
b. Rasio Tenaga Dokter Umum
Rasio Dokter Umum per 100.000 penduduk tahun 2009 sebesar 11,35,
mengalami peningkatan dibanding tahun 2008 yang mencapai 10,41. Rasio tersebut
masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per 100.000 penduduk.
Rasio Dokter Umum per 100.000 penduduk yang terbesar adalah Kota Surakarta
sebesar 52,78 dan rasio terendah adalah Kabupaten Brebes sebesar 5,42.
Gambar 5.3 Rasio Dr. Umum di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
c. Rasio Tenaga Dokter Gigi
Rasio Dokter Gigi di Provinsi Jawa Tengah per 100.000 penduduk tahun
2009 sebesar 3,14 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan rasio tahun
2008 sebesar 2,72. Hal ini berarti masih di bawah target Indonesia Sehat 2010
sebesar 11 per 100.000 penduduk. Rasio terendah di Kabupaten Batang sebesar
0,88 dan tertinggi di Kota Tegal sebesar 13,31.
Gambar 5.4 Rasio Dr. Gigi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
d. Tenaga Kefarmasian
Tenaga Kefarmasian terdiri dari Apoteker, S-1 Farmasi, D-III Farmasi, dan
Asisten Apoteker. Jumlah tenaga kefarmasian di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 adalah 2.948. Rasio tenaga kefarmasian per 100.000 penduduk tahun 2009
sebesar 8.97, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008
sebesar 9,13. Rasio tertinggi adalah di Kota Semarang sebesar 22,46, diikuti
Kota Surakarta sebesar 20,92. Rasio terendah adalah di Kota Salatiga (1,47).
Sedangkan khusus untuk tenaga apoteker per 100.000 penduduk sebesar 2,07,
mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar
2,37. Angka tersebut masih jauh dibawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 10
per 100.000 penduduk.
Gambar 5.5 Rasio Tenaga Farmasi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
e. Rasio Tenaga Gizi
Tenaga Gizi terdiri dari D-IV/S-1 Gizi, D-III Gizi, dan D-1 Gizi. Jumlah
Tenaga Gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 1.248 orang. Rasio
Tenaga Gizi per 100.000 penduduk sebesar 3,80, mengalami peningkatan bila
dibandingkan rasio tahun 2008 sebesar 3,56. Angka tersebut masih di bawah target
Indonesia Sehat 2010 sebesar 22 per 100.000 penduduk. Rasio tertinggi adalah di
Kota Magelang yaitu sebesar 27,24 dan terendah adalah di Kabupaten Kudus
sebesar 1,16. Gambar 5.6
Rasio Tenaga Gizi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
f. Rasio Tenaga Keperawatan
Jumlah Tenaga Keperawatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009
adalah 21.612 orang. Rasio Tenaga Keperawatan per 100.000 penduduk sebesar
65,76, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar
60,43 per 100.000 penduduk. Angka tersebut masih di bawah target Indonesia
Sehat 2010 dan standar dari WHO sebesar 117.5 per 100.000 penduduk. Rasio
tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 650,00, disusul kemudian oleh Kota
Surakarta sebesar 387,62, Kota Tegal sebesar 210,36, Kota Semarang sebesar
189,18 dan Kota Pekalongan sebesar 171,12. Lima Kota tersebut telah melampaui
standar Indonesia Sehat 2010. Rasio yang tinggi tersebut disebabkan di kota-kota
tersebut terdapat rumah sakit rujukan yang cukup besar sehingga memerlukan
tenaga perawat yang banyak pula. Sedangkan rasio terendah adalah di Kabupaten
Klaten yaitu sebesar 16,50.
Gambar 5.7 Rasio Tenaga Perawat di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
g. Rasio Tenaga Bidan
Jumlah Tenaga Bidan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah
11.971 orang. Rasio Tenaga Bidan per 100.000 penduduk sebesar 36,69,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar 34.43.
Rasio tersebut masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 100 per
100.000 penduduk. Rasio tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 71,31 dan
yang terendah adalah di Kota Salatiga sebesar 16,25. Belum ada satu
kabupaten/kotapun yang memenuhi target Indonesia sehat 2010.
Gambar 5.8 Rasio Tenaga Bidan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
h. Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat
Jumlah Tenaga Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2009 adalah 1.351 orang. Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat per 100.000
penduduk sebesar 4,14, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan rasio tahun
2008 sebesar 3.61. Rasio tersebut masih di bawah target Indonesia Sehat 2010
sebesar 40 per 100.000 penduduk. Rasio tertinggi adalah di Kota Salatiga sebesar
23,54, disusul kemudian oleh Kota Magelang sebesar 15,60. Rasio terendah adalah di
Kabupaten Kebumen yaitu sebesar 0,41. Belum ada satu kabupaten/kotapun yang
memenuhi target Indonesia Sehat 2010.
Gambar 5.9 Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
i. Rasio Tenaga Sanitasi
Tenaga sanitasi terdiri dari D-III sanitasi dan D-I sanitasi. Jumlah Tenaga
Sanitasi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 1.125 orang. Rasio
Tenaga Sanitasi per 100.000 penduduk sebesar 3,45, mengalami penurunan bila
dibandingkan rasio tahun 2008 sebesar 3,59. Rasio tersebut masih sangat jauh di
bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per 100.000 penduduk. Rasio
tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 15,60 dan terendah adalah di Kabupaten
Kebumen sebesar 1,15. Rasio tenaga sanitasi dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 5.10
Rasio Tenaga Sanitasi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
j. Rasio Tenaga Teknisi Medis
Tenaga Teknisi Medis terdiri atas analis laboratorium, teknik elektromedik,
penata rontgent, penata anestesi, dan fisioterapi. Jumlah Tenaga Teknisi Medis di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 2.954 orang. Rasio Tenaga Teknisi
Medis per 100.000 penduduk sebesar 8.99, mengalami sedikit kenaikan bila
dibandingkan dengan rasio tahun 2008 sebesar 8,86. Rasio tertinggi adalah di Kota
Magelang yaitu sebesar 60,91, dan yang terendah adalah di Kabupaten Demak
sebesar 2,42.
Gambar 5.11 Rasio Tenaga Tehnisi Medis di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Secara umum jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah masih
belum tercukupi sesuai dengan indikator Indonesia Sehat 2010. Namun Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) telah berusaha mencukupi
kebutuhan tenaganya. Usaha yang dilakukan berupa pengangkatan tenaga baru
seperti CPNS, PHL maupun PTT.
Pemerataan tenaga kesehatan yang tersebar di wilayah pelayanan
kesehatan diupayakan dengan peningkatan sarana-sarana kesehatan yang ada
seperti peningkatan akreditasi rumah sakit serta peningkatan Puskesmas menjadi
Puskesmas Rawat Inap dan peningkatan pemberian Insentif oleh Departemen
Kesehatan bagi Tenaga Medis yang mau melaksanakan masa bakti di daerah
terpencil maupun sangat terpencil.
C. PEMBIAYAAN KESEHATAN
1. Persentase Anggaran Kesehatan Dalam APBD Kabupaten/Kota
Pada tahun 2009 jumlah total anggaran kesehatan di 35 kabupaten/kota se
Jawa Tengah Rp.2.121.096.713.805 dengan kontribusi terbesar sebesar 73,25%
berasal dari APBD Kab/kota. Kontibusi terendah adalah sumber biaya PHLN yaitu
0,19%. Persentase kontibusi anggaran kesehatan APBD Kab/kota tahun 2009 ini
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2008 (78,70%).
APBD Provinsi yang dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan di kab/kota
tahun 2009 adalah sebesar 0,57 %, jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan
tahun 2008 yaitu sebesar 0,95%. Kontribusi persentase DAK Bidang Kesehatan di
kabupaten/kota tahun 2009, baik yankes dasar maupun yankes rujukan (non Provinsi)
lebih besar jika dibandingkan dengan DAK Bidang Kesehatan tahun 2008 (12,07%).
Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004, dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah/desentralisasi, terdapat pembagian peran dan wewenang antara
pemerintah pusat dan daerah. Dalam pembangunan kesehatan, pemerintah pusat dan
daerah menyediakan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas.
Melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), pemerintah pusat memberikan anggaran pada
daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
merupakan prioritas nasional.
DAK Bidang Kesehatan terdiri dari 2 (dua) pelayanan, yaitu:
a. Upaya Pelayanan Kesehatan Dasar jumlah anggaran Rp.258.389.000.000,-
tersebar di 35 kabupaten/kota, jumlah terbesar di Kab. Klaten yaitu sebesar
Rp.9.257.000.000,- dan yang terkecil di Kota Salatiga yaitu Rp.5.614.000.000,- .
DAK pelayanan kesehatan dasar tahun 2009 dimanfaatkan untuk pembangunan,
peningkatan, perbaikan dan pengadaan sarana prasarana serta peralatan kesehatan
Puskesmas dan jaringannya, Poskesdes serta penyediaan sarana/prasarana
penunjang pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.
b. Upaya Pelayanan Kesehatan Rujukan di RS Kab/kota jumlah anggaran sebesar
Rp.30.347.000.000,- tersebar di 20 Rumah sakit kabupaten/kota, jumlah terbesar di
RSUD Ashari Pemalang (Rp.3.017.000.000,-) dan yang terkecil di BLUD
RSU Banyumas (Rp. 662.000.000,-). DAK pelayanan kesehatan rujukan
dimanfaatkan untuk pembangunan, peningkatan, perbaikan dan pengadaan sarana
prasarana serta peralatan kesehatan RS Provinsi/Kabupaten/Kota serta Unit
Transfusi Darah.
Jumlah anggaran ASKESKIN tahun 2009 mengalami peningkatan dari tahun
2008 sebesar 6,55% menjadi 11,03% pada tahun 2009. Anggaran kesehatan
bersumber PHLN tahun 2009 yang mencapai 0,19% dari keseluruhan anggaran
kesehatan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 (0,21%).Kontribusi
anggaran kesehatan bersumber dana lain tahun 2009 mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 0,07% menjadi 1,35%.
Anggaran belanja bersumber APBD Kab./kota yang dialokasikan untuk
pembiayaan kesehatan di kabupaten/kota tahun 2009 sebesar 9,15% dari total jumlah
APBD kabupaten/kota, Mengalami kenaikan 3,11% dibandingkan tahun 2008 yaitu
6,04%. Hal ini merupakan respon pemerintah yang positif terhadap pembangunan
bidang kesehatan di kab./kota.
Total angaran kesehatan di kab/kota tahun 2009 adalah sebesar
Rp.2.121.096.713.805,- mengalami kenaikan sebesar 33,32% dibandingkan dengan
tahun 2008 (Rp.1.590.940.254.847,-) Untuk anggaran kesehatan perkapita mengalami
kenaikan dari Rp.63.958,- pada tahun 2008 menjadi Rp.64.541,- pada tahun 2009.
2. Pembiayaan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Perorangan
a. Cakupan Penduduk Yang Menjadi Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah telah
berupaya mengembangkan berbagai upaya kesehatan, salah satunya adalah
dengan mengembangkan suatu upaya kesehatan melalui program jaminan
kesehatan. Program ini dikembangkan dengan tujuan merubah pola pembayaran
yang biasanya dibayar setelah pelayanan diberikan dan pelayanan kesehatan yang
diterima secara komprehensif.
Namun disadari sampai saat ini perkembangan peserta jaminan kesehatan
sangat kurang menggembirakan. Data terakhir di Provinsi Jawa Tengah
menggambarkan perkembangan kepesertaan jaminan kesehatan saat ini baru
mencapai 19,37% dari total penduduk non maskin, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 18,09%. Angka ini masih
sangat jauh di bawah target SPM 2010 sebesar 80%, bahkan dari target SPM 2005
sebesar 30% sekalipun. Sementara yang belum terjamin dengan pelayanan
kesehatan sebesar 80,63%.
Perkembangan kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari tahun
ke tahun mengalami fluktuasi, kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
mengalami peningkatan yang menggembirakan sampai tahun 2006, pada tahun
2007 merupakan titik antiklimak kepesertaan Jaminan Kesehatan. Dua tahun
terakhir peserta Jaminan Kesehatan kembali mengalami peningkatan sedikit demi
sedikit.
Bila dikaitkan dengan Program Jamkesmas, kemungkinan Program
Jamkesmas memberikan dampak negatif pada kepesertaan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Pra Bayar. Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan
Premi/Pra Bayar banyak yang mengundurkan diri dengan adanya program
Jamkesmas yang membebaskan anggotanya dari segala beban iur biaya.
Penurunan jumlah penduduk yang masuk dalam katagori non masyarakat
miskin ditengarahi akibat dampak negatif Program Jamkesmas. Masyarakat yang
dulunya merasa non miskin berramai-ramai mengaku miskin supaya dapat masuk
dalam Program Jamkesmas.
Gambar 5.12 Cakupan Kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Penduduk Non Maskin di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009
Kepesertaan program jaminan kesehatan penduduk non maskin yang
diperinci menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan angka
yang bervariasi mulai dari cakupan 3,52% (Kabupaten Brebes) hingga 100%
(Kabupaten Rembang). Kepesertaan program jaminan kesehatan masyarakat non
maskin di Kabupaten Jepara hanya pada Askes PNS. Sedangkan di Kabupaten
Rembang dengan cakupan kepesertaan program jaminan kesehatan masyarakat
non maskin mencapai 100% karena menerapkan Program Jaminan Kesehatan
Rembang Sehat (JKRS).
Sebanyak 10 kabupaten/kota mempunyai cakupan kepesertaan program
jaminan kesehatan penduduk non maskin <10%. 11 kabupaten/kota mempunyai
cakupan 10% hingga 20%. Dan 12 kabupaten/kota mempunyai cakupan > 20%.
Sementara masih terdapat dua kabupaten yang belum lengkap datanya, yaitu
Kabupaten Klaten dan Kota Salatiga. Kepesertaan jaminan kesehatan tersebut
diperinci; Askes (40,84%), Bapel/Pra Bapel (14,31%), Jamsostek (18,98%), Dana
Sehat (8,44%), dan lain-lain (17,43%).
Gambar 5.13 Cakupan Kepesertaan Program JPK Pra Bayar Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangan “Universal Coverage”
kepesertaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan pada tahun 2014 yang berarti bahwa seluruh
penduduk di Indonesia pada tahun 2014 harus memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Saat ini
kabupaten yang sudah mencapai cakupan 100% adalah Kabupaten Rembang meskipun masih pada
Pelayanan Kesehatan Dasar.
b. Cakupan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan Masyarakat Rentan
Kesehatan bagi fakir miskin atau masyarakat tidak mampu merupakan aset
satu-satunya. Oleh karena itu apabila sakit akan mengakibatkan keterpurukan
terutama untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kelangsungan kehidupan
bagi diri dan keluarganya. Berbagai upaya dan terobosan telah dilakukan dalam
upaya memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin. Hal ini menjadi
sangat fenomenal bagi wujud tanggung jawab negara untuk memenuhi hak sehat
bagi setiap penduduk sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Bagi kelompok
ini telah diimplementasikan melalui pengembangan program jaminan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu atau lebih dikenal dengan ”Jamkesmas”.
Sasaran dari program Jamkesmas ini adalah masyarakat miskin dan tidak
mampu yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) yang dikenal dengan kuota. Kuota Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2008 adalah sebesar 11.715.881 jiwa atau sekitar 33% dari total penduduk.
Cakupan kepesertaan program Jamkesmas tahun 2009 sebesar 90,55%
yang berarti bahwa masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak
tercakup Jamkesmas sebesar 9,45%. Cakupan tersebut meningkat bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 90,12%. Meskipun demikian
angka tersebut masih belum mencapai target SPM sebesar 100%. Gambar 5.14
Cakupan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 - 2009
Pelayanan kesehatan yang diberikan bagi pasien masyarakat miskin dan
tidak mampu meliputi pelayanan kesehatan di Puskesmas dan di rumah sakit.
Pelayanan kesehatan di Puskesmas meliputi rawat jalan tingkat pertama, rawat inap
tingkat pertama, persalinan normal di Puskesmas dan jaringannya, pelayanan
gawat darurat, dan pelayanan transport untuk rujukan bagi pasien. Sedang
pelayanan di rumah sakit meliputi rawat jalan tingkat lanjut, rawat inap tingkat lanjut,
pelayanan obat dan bahan habis pakai, pelayanan penunjang medik, serta
pelayanan tindakan dan operasi. Gambar 5.15
Cakupan Pelayanan Peserta Jamkesmas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009
KESIMPULAN A. Derajat Kesehatan
1. Mortalitas/Angka Kematian
a. AKB di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000 kelahiran hidup,
sudah melampaui target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40/1.000 kelahiran hidup
dan juga sudah melampaui target MDG ( Millenium Development Goals ) ke - 4
tahun 2015 yaitu 17/1.000 kelahiran hidup.
b. AKABA di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 11,60/1.000 kelahiran
hidup, sudah melampaui target Indikator Indonesia Sehat tahun 2010 sebesar
58/1.000 kelahiran hidup dan juga sudah melampaui target MDG ( Millenium
Development Goals ) ke - 4 tahun 2015 yaitu 23/1.000 kelahiran hidup.
c. Angka kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2009 sebesar
117,02/100.000 kelahiran hidup, telah memenuhi target dalam Indikator Indonesia
Sehat 2010 sebesar 150/100.000 kelahiran hidup.
2. Morbiditas/Angka Kesakitan
a. Pada tahun 2009 di Provinsi Jawa Tengah ditemukan 193 penderita AFP, sehingga
telah melampaui target yang harus ditemukan yaitu 184 kasus. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium, dari 193 kasus yang diperiksa semua menunjukan
negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio liar).
b. Case Detection Rate (CDR) atau angka penemuan penderita TB paru BTA (+) di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 48,15%, lebih rendah daripada target
SPM sebesar 70%. Sedang angka kesembuhan TB Paru (Cure Rate) sebesar
83,92%, masih dibawah target nasional sebesar 85%.
c. Cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 25,96%, masih sangat jauh dari target SPM tahun 2010 sebesar
100%.
d. Jumlah kasus baru HIV dan AIDS dari Januari - Desember 2009 sebanyak 559
terdiri dari 138 infeksi HIV dan 421 kasus AIDS. Sejak pertama kali ditemukan
sampai dengan Bulan Desember 2009 secara komulatif jumlah kasus HIV/AIDS
sebanyak 2.488 kasus dengan rincian infeksi HIV sebanyak 1.518 kasus, sedang
kasus AIDS sebanyak 970 kasus dan 319 orang diantaranya sudah meninggal.
Keseluruhan (100%) kasus HIV/AIDS yang ditemukan tersebut sudah mendapa t
penanganan sesuai standar. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010 sebesar
100%. Sedang penanganan Infeksi Menular Seksual (IMS) baru mencapai 77,80%,
berarti masih dibawah target sebesar 100%.
e. Angka kesakitan (IR) penyakit DBD di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 sebesar
5,74/10.000 penduduk dan angka kematian (CFR) sebesar 1,42%. Angka kesakitan
tersebut masih lebih tinggi dari target nasional yaitu < 2/10.000 penduduk. Demikian
juga dengan angka kematian, masih lebih tinggi dari dari target nasional yaitu < 1%.
f. Cakupan penemuan penderita diare di Provinsi Jawa tengah tahun 2009 sebesar
50,66%, masih jauh di bawah target sebesar 80%. Akan tetapi semua penderita
diare yang ditemukan seluruhnya (100%) mendapatkan penanganan sesuai
standar.
g. Annual Parasite Incidence (API) penyakit Malaria di Provinsi Jawa tengah tahun
2009 sebesar 0,047‰ , ini berarti terjadi penurunan kasus malaria dibanding tahun
2008 (API mencapai 0,049‰). Seluruh penderita Malaria Positif yang ditemukan
mendapatkan penanganan sesuai standar.
h. Angka Penemuan kasus baru (CDR) Kusta di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 4,18/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,66/10.000 penduduk,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan CDR tahun 2008 sebesar
4,96/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,56/10.000 penduduk.
i. Kasus Filariasis di provinsi Jawa Tengah yang ditemukan sampai tahun 2009
sebanyak 353 kasus tersebar di 24 kabupaten/kota dan kesemuanya (100%) sudah
ditangani sesuai standar. Ini berarti sudah mencapai target SPM 2010 sebesar ≥
90%.
j. Kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Polio, Campak, Difteri
dan Tetanus Neonatorum, cenderung mangalami peningkatan. Hal ini dimungkinkan
karena pencapaian cakupan imunisasi yang menurun bila dibandingkan dengan
tahun 2008.
k. Kejadian penyakit tidak menular cenderung menurun pada tahun 2009. Prevalensi
kasus hipertensi essensial di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 2,13%
menurun bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 2,65%. Hipertensi lain
menurun dari 0,98% pada tahun 2008 menjadi 0,21% pada tahun 2009. Prevalensi
stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih tinggi
dibandingkan dengan angka tahun 2008 sebesar 0.03%. Stroke non hemoragik
menurun dari 0,13% pada tahun 2008 menjadi 0,09% pada tahun 2009.
Dekompensasi kordis meningkat dari 0,23% pada tahun 2008 menjadi 0,14% pada
tahun 2009. Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin menurun dari 1,25% pada
tahun 2008 menjadi 0,58% pada tahun 2009. Diabetes Mellitus tergantung insulin
meningkat dari 0,16% pada tahun 2008 menjadi 0,18% pada tahun 2009. Kanker
Leher Rahim tidak mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,03%. Kanker Payudara
tidak mengalami peningkatan sebesar 0,04%. Kanker hati menurun dari 0,18% pada
tahun 2008 menjadi 0,01% pada tahun 2009. Kanker paru menurun dari 0,005%
pada tahun 2008 menjadi 0,002% pada tahun 2009. PPOK menurun dari 0,20%
pada tahun 2008 menjadi 0,12% pada tahun 2009. Asma Bronkial menurun dari
1,07% pada tahun 2008 menjadi 0,66% pada tahun 2009.
3. Status Gizi
a. Cakupan kunjungan neonatus di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar
99,37%,mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008
sebesar 94,66%. Angka tersebut sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 90%.
b. Cakupan kunjungan bayi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar
95,07%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yaitu
96,04%. Angka tersebut sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 90%.
c. Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 2,81%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan persentase
tahun 2008 sebesar 2,08%. Sedangkan berat bayi dengan berat badan lahir rendah
yang berhasil ditangani di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 96,67%,
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar
99,67% dan masih lebih rendah dari target SPM 2010 sebesar 100%.
d. Jumlah balita gizi buruk dengan indikator berat badan menurut tinggi badan di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebanyak 4.696 Balita atau 0,24%, angka ini
masih lebih rendah dari target nasional sebesar 3%.
e. Dari 573 kecamatan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2009
terdapat 534 diantaranya sudah bebas rawan pangan dan gizi. Hanya 39
Kecamatan yang masih mengalami kerawanan pangan dan gizi.
B. Upaya Kesehatan
1. Pelayanan Kesehatan Dasar
a. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008
sebesar 93,39%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun
2008 sebesar 90,14%, dan hampir mendekati target pencapaian tahun 2010 yaitu
95%.
b. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009 sebesar 93,03%, mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan
cakupan tahun 2008 sebesar 90,98%., angka tersebut sudah mencapai target SPM
2010 sebesar 90%.
c. Cakupan pelayanan pada ibu nifas di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar
80,29%, menurun bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 92,94% dan
sudah dan angka tersebut masih dibawah target tahun 2009 sebesar 90%.
d. Cakupan pemberian Fe 3 pada ibu hamil di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 85,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun
2009 sebesar 87,06%. Angka tersebut masih di bawah target SPM sebesar 90%.
e. Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah tingkat Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 50,30%, meningkat bila dibandingkan
dengan cakupan tahun 2008 sebesar 44,76%. Cakupan tersebut ini masih jauh
dibawah target SPM tahun 2005 sebesar 65% apalagi bila dibandingkan dengan
target SPM 2010 sebesar 95%.
f. Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD/MI oleh tenaga kesehatan/guru
UKS/kader kesehatan sekolah pada tahun 2009 sebesar 37,82%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2008 sebesar 43,77%. Cakupan tersebut masih jauh di bawah
target SPM 2010 sebesar 80%.
g. Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa remaja oleh tenaga kesehatan/Guru
UKS/kader kesehatan remaja di Provinsi JawaTengah tahun 2009 sebesar 30,91%,
lebih rendah bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 34,49%. Cakupan
tersebut masih jauh di bawah target SPM tahun 2010 sebesar 80%.
h. Jumlah peserta KB baru pada tahun 2009 sebanyak 870.891 atau 13,43% dari
jumlah PUS yang ada.
i. Cakupan peserta KB aktif di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar
78,37%, mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar
78,09%. Angka ini masih di bawah target tahun 2010 sebesar 80%.
j. Hasil UCI desa di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 91,95%, mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008 sebesar 86,83%,
angka tersebut sudah melampaui target tahun 2008 sebesar 90%.
k. Cakupan masing-masing jenis imunisasi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009;
BCG (101,96%), DPT-HB 1 (100,80%), DPT-HB 3 (98,95%), Polio 4 (99,05%),
Campak (96,59%), kesemuanya sudah di atas target minimal nasional sebesar
85%.
l. Angka Drop Out (DO), sesuai kesepakatan dengan kabupaten/kota indikator DO dii
Jawa Tengah maksimal 5% atau (-5%). Pada tahun 2009 untuk tingkat Provinsi
Jawa Tengah sebesar 4,19%.
m. Rasio tumpatan dan pencabutan gigi tetap di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 0,71, mengalami penurunan bila dibandingkan rasio tahun 2008 sebesar
0.73.
n. Cakupan pemeriksaan gigi murid SD di Provinsi Jawa Tengah tahu 2009 sebesar
33,20%, mengalami penurunan bila dibandingkan cakupan tahun 2008
sebesar 33,22%. Cakupan perawatan gigi murid SD yang perlu mendapatkan
perawatan pada tahun 2009 sebesar 54,71%, mengalami penurunan bila
dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 62,95%.
o. Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut tingkat Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2009 sebesar 42,27%, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 29.36%, dan masih di bawah
target SPM 2010 sebesar 70%.
p. Cakupan pekerja pada industri informal yang mendapat pelayanan kesehatan kerja
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 54,89%, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 50,92%. Ini berarti sudah
melampaui target SPM 2010 sebesar 40%.
q. Cakupan pelayanan kesehatan pada pekerja di sektor formal di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 61,31%, mengalami peningkatan bila dibandingkan
dengan cakupan tahun 2008 yang mencapai 56,49% dan masih di bawah target
SPM 2010 sebesar 80%.
2. Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Penunjang
a. Cakupan akses ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani
rujukan bumil dan neonatus di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 97,77%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar
89,00%. Angka tersebut sudah melampaui target 2010 sebesar 80%.
b. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani tahun 2009 sebesar 57,78%. Angka
tersebut sudah melampaui target Nasional tahun 2009 sebesar 55%.
c. Cakupan neonatal risti tertangani Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar
24,92%.
d. Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat
diakses masyarakat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 65,34%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 62,37%. Angka ini
masih di bawah target SPM 2010 sebesar 80%.
3. Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan
a. Cakupan kunjungan rawat jalan di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2009 sebesar 42,34%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar
36,90%. Target SPM tahun 2010 untuk cakupan rawat jalan adalah 15%.
b. Cakupan rawat inap di sarana kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 3,53%. Ini berarti telah melampaui target 2005 (1%), bahkan juga target
tahun 2010 (1,5%).
c. Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 99,36%, lebih rendah dibandingkan dengan kondisi
tahun 2008. Cakupan ini masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar
100%.
d. Keseluruhan rumah sakit yang ada di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009
hanya 84,39% sudah menyelenggarakan empat pelayanan kesehatan spesialis
dasar. Ini berarti belum mencapai target Indonesia Sehat 2010.
e. Ketersediaan 33 jenis obat yang wajib dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 138,06%. Ini berarti sudah melampaui target SPM 2010 sebesar 90%.
f. Persentase rata-rata item obat esensial tersedia di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 99,66%, mengalami peningkatan bila dibandingkan
dengan cakupan tahun 2008 sebesar 99,56%. Ini berarti secara umum kebutuhan
obat esensial kabupaten/kota hampir dapat tersedia seluruhnya dan hampir
mencapai target SPM 2010 sebesar 100%
g. Persentase rata-rata item obat generik yang tersedia di kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 102,67%, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 95,25% dan sudah
melampaui target SPM 2010 sebesar 100%.
h. Persentase rata-rata item obat Narkotika dan Psikotropika tersedia di
kabupaten/kota sebesar 111,66%. Ini berarti secara umum kebutuhan obat
Narkotika dan Psikotropika kabupaten/kota sudah dapat tersedia seluruhnya dan
sudah mencapai target SPM 2010 sebesar 100%.
i. Cakupan penulisan resep obat generik di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 63,35%,. Mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun
2008 sebesar 46,71%. Cakupan tersebut masih jauh dari target SPM 2010 sebesar
90%.
4. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar
a. Cakupan rumah yang memenuhi syarat kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 65,12%. Angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan
pencapaian tahun 2008 yang mencapai 58,83%. Cakupan rumah sehat tersebut
masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 80%.
b. Cakupan keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih sebesar 82,38%,
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar
83,23%. Penurunan ini terjadi karena adanya perbaikan data dan pemahaman yang
lebih baik terhadap definisi operasional variabel. Cakupan tersebut masih di bawah
target Indonesia Sehat 2010 sebesar 85%.
c. Cakupan keluarga yang memiliki jamban yang memenuhi syarat kesehatan di
Provinsii Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 72,22%, mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yang mencapai 71,08%.
d. Cakupan keluarga yang memiliki tempat sampah memenuhi syarat kesehatan di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 65,87%. Sedangkan cakupan keluarga
memiliki sarana pengelolaan air limbah yang memenuhi syarat kesehatan sebesar
56,82%.
e. Hotel yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 88,87%. Restoran yang memenuhi
syarat kesehatan sebesar 75,38%. Pasar yang memenuhi syarat kesehatan
sebesar 61,78%. Tempat pengelolaan makanan yang memenuhi syarat kesehatan
sebesar 73,59%.
f. Cakupan pembinaan kesehatan lingkungan di institusi di Provinsi JawaTengah
tahun 2009 untuk sarana kesehatan adalah 81,90%. Cakupan sarana pendidikan
yang dibina kesehatan lingkungannya sebesar 71,48%. Cakupan sarana ibadah
yang dibina kesehatan lingkungannya sebesar 57,49%. Cakupan perkantoran yang
dibina kesehatan lingkungannya sebesar 70,81. Sedang sarana lain yang dibina
kesehatan lingkungannya sebesar 59,75%.
g. Cakupan rumah bebas jentik nyamuk Aedes Aegypti di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 79,34%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan
tahun 2008 yang mencapai 73,57%. Angka ini masih di bawah target SPM tahun
2010 sebesar > 95%, bahkan masih di bawah target SPM tahun 2005 sebesar 95%.
5. Perbaikan Gizi Masyarakat
a. Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009 sebesar 75,89%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
cakupan tahun 2008 sebesar 76,47%. Angka ini hampir mencapai target tahun 2008
sebesar 76%.
b. Balita yang naik timbangannya di Provinsi Jawa tengah tahun 2009 sebesar
75,93%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2008
yang mencapai 74,95% dan sudah melampaui target tahun 2008 sebesar 75%.
c. Jumlah Balita BGM di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 54.196
kasus atau 2,82%, menurun bila dibandingkan persentase tahun 2007 sebesar
2,99%. Akan tetapi ini merupakan angka yang cukup rendah jika dibandingkan
dengan target nasional sebesar ≤ 5%.
d. Cakupan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada bayi di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2009 sebesar 98,11%, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 yang hanya mencapai 98,53%. Angka
tersebut sudah melampaui target SPM sebesar 95%.
e. Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada Balita di Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2009 sebesar 81,59%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
cakupan tahun 2008 yang hanya mencapai 95,14%. Angka tersebut masih
dibawah target SPM sebesar 95%.
f. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 87,31%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun
2008 yang mencapai 92,94%. Angka ini hampir mendekati target SPM tahun 2008
sebesar 88%.
g. Cakupan ibu hamil yang mendapat Fe 90 di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 85,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun
2008 yang mencapai 87,06%. Angka ini masih di bawah target SPM tahun 2010
sebesar 90%.
h. Cakupan bayi BGM Gakin yang mendapat MP-ASI di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 26,62%, mengalami penurunan bila dibandingkan cakupan tahun
2008 yang mencapai 32,49%. Angka tersebut masih sangat jauh di bawah target
SPM tahun 2010 sebesar 100%.
i. Cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 40,21%, terjadi peningkatan yang
tajam bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 28,96% , tetapi angka
ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target tahun 2010 sebesar 80%.
j. Persentase desa/kelurahan dengan garam beryodium yang baik di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2009 sebesar 48,81%. Angka ini masih jauh di bawah target
SPM 2010 sebesar 90%.
k. Cakupan keluarga sadar gizi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah
41,24%, masih sangat jauh di bawah target SPM 2010 sebesar 80%.
6. Perilaku Hidup Masyarakat
a. Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat yaitu yang diwakili
oleh rumah tangga yang mencapai strata sehat utama dan sehat paripurna sebesar
63,68%, mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008
sebesar 62,45%. Angka tersebut masih dibawah target SPM tahun 2010 sebesar
65% dan juga masih di bawah target Renstra Provinsi Jawa Tengah tahun 2008
sebesar 95%.
b. Posyandu yang mencapai strata purnama pada tahun 2009 sebesar 32,79%,
mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008
sebesar 33,85%. Cakupan tersebut masih di bawah target SPM 2010 sebesar 40%.
c. Posyandu yang mencapai strata mandiri sebesar 12,58%, mengalami peningkatan
bila dibandingkan pencapaian tahun 2008 sebesar 10,05%. Cakupan tersebut juga
sudah melampaui target SPM 2010 sebesar > 2%.
7. Pelayanan Kesehatan Dalam Situasi Bencana
Frekuensi KLB penyakit menular, keracunan makanan, dan bencana selama tahun
2009 sebanyak 536 kejadian tersebar di 35 kabupaten/kota. Dari 536 desa/kelurahan
yang terkena KLB, sebanyak 536 desa/kelurahan (100%) telah ditangani kurang dari 24
jam oleh Puskesmas bersama Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
C. Sumber Daya Kesehatan
1. Tenaga Kesehatan
a. Rasio dokter ahli per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 8,00 sudah melampaui target Indonesia Sehat 2010 sebesar 6 per 100.000
penduduk.
b. Rasio tenaga dokter umum per 100.0000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 11,35 masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40
per 100.000 penduduk.
c. Rasio tenaga dokter gigi per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 3,14 masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 11
per 100.000 penduduk.
d. Rasio tenaga farmasi per 100.000 penduduk sebesar 8,97. Sedang khusus untuk
tenaga Apoteker per 100.000 penduduk sebesar 2,07 masih jauh di bawah target
Indonesia Sehat 2010 sebesar 10 per 100.000 penduduk.
e. Rasio tenaga gizi per 100.000 penduduk tahun 2009 sebesar 3,80 masih jauh di
bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 22 per 100.000 penduduk.
f. Rasio tenaga keperawatan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 65,76 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 60,43
dan masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 117,5 per 100.000
penduduk.
g. Rasio Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar
36,43 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 34,43 dan masih jauh
di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 100 per 100.0000 penduduk.
h. Rasio tenaga kesehatan masyarakat per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2009 sebesar 4,11 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008
sebesar 3,61 dan masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per
100.000 penduduk.
i. Rasio tenaga sanitasi per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 3,42 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 3,59
dan masih jauh di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 40 per 100.000
penduduk.
j. Rasio tenaga teknisi medis per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 sebesar 8,99 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 8,86.
2. Sarana Kesehatan
a. Pada tahun 2009 jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Tengah adalah 853 buah.
Bila dibandingkan dengan konsep wilayah kerja Puskesmas, dengan sasaran
penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk per
Puskesmas, maka jumlah Puskesmas per 30.000 penduduk pada tahun 2009
adalah 0,78. Ini berarti bahwa di Provinsi Jawa Tengah jumlah Puskesmas masih
kurang. Akan tetapi kekurangan ini dapat dipenuhi dengan bertambahnya
Puskesmas Perawatan dari 267 buah pada tahun 2008 menjadi 303 pada tahun
2009 dan adanya Puskesmas Pembantu (1850 unit) dan Puskesmas Keliling (1.130
unit) terlebih lagi dengan dikembangkannya Poliklinik Kesehatan Desa (5.552 unit).
b. Jumlah Rumah Sakit Umum di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 berjumlah 173
buah yang terdiri dari RSU Pemerintah sebanyak 48 buah ( 2 RSU milik
Departemen Kesehatan, 4 RSU milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan 42
milik Pemerintah Kabupaten/Kota), RSU milik TNI/POLRI sebanyak 11 RS, RSU
milik Departemen lain sebanyak 1 buah, dan RSU milik Swasta sebanyak 113 buah.
c. Jumlah Rumah Sakit Khusus Pemerintah dan Swasta di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009 adalah 66 buah, terdiri dari 6 Rumah Sakit Khusus milik Pemerintah dan
60 milik Swasta.
d. Balai Kesehatan Paru Masyarakat milik Pemerintah sebanyak 5 unit dan 1 Balai
Kesehatan Indera Masyarakat Semarang.
3. Anggaran Kesehatan
Anggaran belanja yang dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan di kabupaten/kota
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sekitar 9,15% dari seluruh pembiayaan
kabupaten/kota. Hal ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2008
sebesar 6,04% dan masih di bawah target Indonesia Sehat 2010 sebesar 15%. Sedang
anggaran kesehatan perkapita pada tahun 2009 sebesar Rp. 64.541,-
4. Pembiayaan Jaminan Kesehatan
Cakupan kepesertaan program Jamkesmas di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009
sebesar 90,55%, yang berarti bahwa masih terdapat masyarakat miskin dan tidak
mampu yang tidak tercakup Jamkesmas sebesar 9,45%. Cakupan tersebut meningkat
bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2008 sebesar 90,12%. Meskipun demikian
angka tersebut masih belum mencapai target SPM sebesar 100%.
Demikian gambaran hasil pembangunan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun
2008 sebagai wujud nyata kinerja seluruh jajaran kesehatan di Provinsi Jawa Tengah
dalam upaya mewujudkan Jawa Tengah Sehat 2010 yang Mandiri dan Bertumpu pada
Potensi Daerah.