Post on 09-Mar-2019
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PENCABUTAN
HAK POLITIK KORUPTOR
(Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Sahuri
NIM.1111045100001
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Mei 2016
Sahuri
ABSTRAK
SAHURI
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PENCABUTAN
HAK POLITIK KORUPTOR ( Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014)
Untuk memberantas kejahatan korupsi harus diterapkan sanksi yang tegas
agar memberikan efek jera bagi koruptor, sekaligus diharapkan dapat meredam
siapapun untuk tidak melakukan korupsi. Salah satu terobosan terbaru dengan
menerapkan sanksi pidana tambahan pencabutan hak tertentu. Penjatuhan pidana
tambahan tersebut pada kasus korupsi masih tergolong baru. Penerapan pidana
merupakan sarana penal mencegah terjadinya tindak pidana. Penjatuhan pidana
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan nasional maupun internasional.
Penjatuhan pidana merupakan kewenangan hakim. Penjatuhan pidana tambahan
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi tercantum dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 adalah pelaksanaan dari sarana
penal. Penerapannya tidak dibatasi jangka waktu seperti diatur dalam Pasal 38
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Akibatnya terjadi kontroversi dengan
HAM sedangkan kejahatan yang dilakukan adalah tindak pidana korupsi. Hak
memilih dan dipilih adalah salah satu hak asasi manusia yang harus dijaga
keberlangsungannya. Masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana
pandangan hukum Islam dan HAM tentang pencabutan hak politik koruptor?; 2)
Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa hak
politik koruptor?; dan 3) Bagaimana Analisis hukum Islam dan HAM terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014? Metode penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang - undangan dan
kasus. Hasil penelitian ini adalah bahwa sanksi pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik dalam putusan MA tersebut adalah sesuai menurut hukum
Islam, karena pencabutan hak politik dikategorikan kepada jarimah Ta’zir. yaitu
suatu bentuk hukuman atau sanksi yang tidak diatur dalam Alquran maupun
Hadist. Sedangkan dalam pandangan HAM pencabutan hak politik dalam putusan
MA No. 1195K/Pid.Sus/2014 berpotensi melanggar HAM, karena dalam
penjatuhannya Hakim tidak mengikuti aturan dalam undang-undang yang berlaku.
dalam putusan MA tersebut tidak dicantumkan batasannya pencabutan hak untuk
dipilih dalam jabatan publik terhadap LHI, sebenarnya sudah ada aturan dalam
pasal 38 KUHP tentang batasan-batasannya.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, serta berkat limpahan taufik dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai pelengkap syarat
guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa risalah kebenaran, serta kepada
keluarganya, dan para Tabi’in dan kita semua sebagai umatnya ysng selalu
senantiasa mengaharpkan syafaatnya.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit
hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namu berkat kesungguhan dan
ketabahan hati serta kerja keras dan berdoa serta dorongan dan bantuan dari
berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung sehingga hal-hal yang
demikian rumit dapat penulis atasi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu penulis
berterima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Seapudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag dan Bapak Nur Rohim, LLM,
sebagai ketua dan sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Yang selalu
memberikan dorongan dan motifasi kepada penulis, dan selalu
ii
membatu serta meluangkan waktu untuk hal-hal yang berkaitan
dengan perkuliahan.
3. Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik
atas nasihat dan arahannya.
4. Bapak Dr. Asmawi, MA dan Dr. Burhanudin, SH, MH sebagai
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan penuh
kesabaran dan motivasi yang tinggi, serta telah meluangkan waktu,
tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama membimbing penulis.
5. Dan kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya dengan
ikhlas kepada penulis, dan seluruh anggota staf perpustakaan yang
telah meminjamkan buku-buku guna menunjang kegiatan perkuliahan
hingga selesai.
6. Ayah M. Yata (Alm) dan Ibu Asminah (Alm), kakak-kakaku tercinta
( M. Yani, M. Yono, M. Yanto (Alm), Yunus, Yusman, Muhabat, M.
Sabin, dan Muhidin) dan kakak sepupuku Alkahfi S.Sy. serta sluruh
keluarga besarku yang telah memberikan do’a serta dukungan baik
moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepala Madrasah beserta Dewan Guru Tarbiyah Islamiyah Canduang
dan santriwan/i yang selalu memberi do’a dan dukungannya.
8. Teman-teman seperjuangan PI (Pidana Islam 2011) Iqbal Ramdhani,
M. Iqbal, Ahmad Rosyadi, Ahmad Syaifullah, Hadian Haris, Nurtri
Purwanto, Ahmad Suheri Harahap, dll. Terima kasih atas kesetiaan
iii
dalam pencarian ilmu di jurusan Pidana Islam, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu- persatu.
9. Kepada teman kos-kosan kertamukti Muklis Adib, Nurdin Araniri,
Rudi Marhazi, Ramadhan Yahya terimakasih atas bantuannya dan
telah setia menemani ketika suka maupun duka.
10. Kepada teman-teman dari Organisasi PAMALAYU BABEL
terimakasih atas dorongan dan motivasinya.
Akhirnya kepada Allah SWT, jualah penulis serahkan, agar semua bantuan
dari berbagai pihak tersebut diberikan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Semoga dalam penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan
bagi para pembaca pada umumnya. Terima Kasih.
Jakarta, 10 Mei 2016
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSTUJUAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...........................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................7
D. Tinjauan Pusataka ...............................................................8
E. Metode Penelitian..............................................................11
F. Sistematika Penulisan .......................................................12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTAN
HAK POLITIK .....................................................................14
A. Pengertian Hak Politik ......................................................14
B. Perlindungan Hak Politik .................................................15
C. Bentuk-Bentuk Hak Politik ..............................................19
D. Pengaturan Pencabutan Hak Politik .................................23
BAB III HAK POLITIK MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HAM .............................................................................36
A. Hak Politik dalam Islam ...................................................36
B. Pengertian dan Perkembangan HAM di Indonesia ..........38
v
C. Hak Politik Sebagai Bagian dari HAM ............................47
BAB IV SANKSI PENCABUTAN HAK POLITIK (Kajian Hukum
Islam dan HAM Terhadap Putusan MA) ...........................53
A. Deskripsi Kasus Putusan MA No. 1195 K/Pid.Sus/2014 .53
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim ....................................64
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan MA .............68
D. Analisa Pencabutan Hak Politik dalam Putusan MA
dari Perspektif HAM .........................................................71
BAB V PENUTUP ..............................................................................78
A. Kesimpulan .......................................................................78
B. Saran-Saran .......................................................................80
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan permasalahan besar yang merusak keberhasilan
pembangunan nasional. Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara secara spesifik. Badan Pengawas keuangan dan Pembangunan
(BPKP) mendifinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan
umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Korupsi menjadi penyebab ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak
sehat, dan kemerosotan moral bangsa yang terus-menerus merosot.1
Secara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi.
Pertama motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang
ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Dalam hal ini, pelaku merasa mendapatkan
kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil melakukannya. Pada tahap
selanjutnya korupsi menjadi gaya hidup, kebiasaan, dan tradisi/budaya yang
lumrah. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku
yang tidak menjadi bagian melekat dari pelaku itu sendiri. Motivasi kedua ini
misalnya melakukan korupsi karena alasan ekonomi, ambisi untuk mencapa suatu
jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf hidup atau karier jabatan melalui
jalan pintas.2
1 A. Ubaedilah dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet 6, h. 167 2 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP (Korupsi, Money Laundring, &
Trafficking), (Jakarta: Raih Asa Sukses Penebar Swadaya Group, 2014) h. 7
2
Korupsi menjangkiti kalangan penegak hukum, mulai dari kepolisian,
hakim, kejaksaan, pengadilan sampai ke MA. Kalangan praktisi dan akademisi
hukum telah menuding lembaga-lembaga peradilan di Indonesia telah menjelma
menjadi mafia peradilan, yaitu persekongkolan diantara penegak hukum. Karena
lembaga-lembaga peradilan korup maka semakin sulit memberantas korupsi di
Indonesia. seringkali lembaga-lembaga peradilan itu justru dijadikan tempat
berlindung bagi para koruptor. Ditengah peradilan yang korup, para koruptor
banyak yang dibebaskan atau dihukum ringan.3
Masalah korupsi memang bukan semata-mata hanya terkait dengan hukum
saja, melainkan juga ada kaitannya dengan budi pekerti, moral, etika atau akhlak,
Seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi memang punya niatan atau
kesengajaan untuk berbuat tidak baik, tidak benar dan berbuat kejahatan.
Bersangkutan dengan sengaja memperkaya diri sendiri tanpa menghiraukan
apakah tindakannya merugikan orang lain atau tidak, tidak peduli negara
dirugikan ataukah rakyat akan menderita sebagai akibat dari perbuatannya.
Karenanya ada yang menyatakan bahwa koruptor termasuk orang yang akhlaknya
tidak terpuji. orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya atau
kelompok dan golongannnya dengan mengorbankan hak-hak dan kepentingan
orang lain tanpa merasa berdosa dan bersalah.
Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
korupsi merupakan white collar crime (kejahatan orang berdasi) dengan perbuatan
yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga
dikatakan sebagai invisible crime (kejahatan tidak terlihat) yang sangat sulit
3Ardison Muhammad, KPK Serangan Balik Pemberantasan Korupsi, (Surabaya: Penerbit
Liris, 2009), h. 47
3
memperoleh prosedural pembuktiannya, karenanya seringkali memerlukan
“pendekatan sistem” terhadap pemberantasannya.4 Berbicara mengenai korupsi
tidak sekedar pemidanaan saja, tapi bagaimana kebijakan hukum pidana
menghadapi invisible crime tersebut.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi adalah UU Nomor 3 tahun 1971, UU Nomor 31 tahun 1999, dan UU
Nomor 2001. Delik korupsi sama dengan delik pidana, pada umumnya dilakukan
dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Dengan demikian, banyak
perkara/delik korupsi lolos dari “jaringan” pembuktian sistem KUHAP. Oleh
karena itu, pembuktian Undang-Undang tindak pidana korupsi mencoba
menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik yaitu pasal 37 ayat (1) sampai (5)
UU Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana diterapkan dalam sistem beracara pidana
di Malaysia.
Upaya pembentukan Undang-Undang ini, tidak tanggung-tanggung karena
baik dalam delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni sistem Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 dan sekaligus
dengan KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan
dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau
berimbang, dan yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut Undang-
Undang (negatife wettelijk overtuigging). Jadi, tidak menerapkan teori
4 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009),
h. 87
4
pembuktian terbalik murni, (zuivere omskeering bewijstlast), tetapi teori
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.5
Dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi itu
tidak terdapat peraturan tentang usaha preventif langsung tentang perbuatan
korupsi. Menurut prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, berpendapat bahwa peraturan
pidana seperti tercantum dalam undang-undang tersebut hanya merupakan
preventif secara tidak langsung, yaitu agar orang-orang lain tidak atau takut
melakukan perbuatan korupsi atau yang bersangkutan (terpidana) jera untuk
mengulangi perbuatan korupsinya dikemudian hari. Yang jelas, korupsinya sendiri
telah berlangsung dan tidak mungkin diperbaiki lagi.6
Mengenai pengenaan sanksi pidana yang tegas dan konsisten terhadap
pelaku tindak pidana korupsi ini berkaitan dengan faktor pengungkapan.
Pengenaan sanksi pidana dimaksudkan antara lain untuk mencegah agar terpidana
tidak melakukan korupsi lagi dan orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.
Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari segenap komunitas hukum
terutama aparat penyelidik, penyidik, penuntutan dan hakim dalam memberantas
korupsi yang berujung pada penjatuhan sanksi pidana yang tepat, tegas dan
konsisten kepada koruptor.
Terpidana dalam negara hukum, pada dasarnya orang yang dinyatakan
bersalah oleh sistem hukum yang telah ditetapkan oleh undangundang. Meskipun
bersalah terpidana memiliki hak-hak dasar yang bersifat non derogable rights
tersebut. Dalam konsep bernegara hukum dan welfare state, negara dan
5 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, Dan Korupsi di
Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses Penebar Swadaya Group, 2012), h.150 6 Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), h. 11-12
5
aparaturnya memiliki kewajiban untuk menegakkan keberlanjutan hak terpidana.
Sehingga pada saat menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana harus
diperhatikan keberlanjutan hak-hak non derogable khususnya terhadap hak
kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani. Pembatasan terhadap hak ini harus
tegas dijelaskan secara limitatif, karena menyangkut keberlangsungan kehidupan
dan masa depan manusia meskipun ia menjadi terpidana.
Penerapan pidana kepada pelaku kejahatan berdasarkan Pasal 10 KUHP,
pada hakikatnya melukai HAM pelaku. Hukum pidana yang melindungi HAM
korban kejahatan, namun dalam menjalankan fungsinya akan melukai HAM pihak
pelaku. Secara ideal perkembangan hukum pidana berbanding lurus dengan
perkembangan HAM. Keselarasan ini mengindikasikan hukum pidana
menghargai HAM baik korban maupun pelaku, oleh karena itu penerapan pidana
harus mendasarkan pada aturan yang ada, guna menghindari perlukaan HAM
pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014, LHI dipidana
dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan
publik/hak politik. Putusan tersebut, tidak dibatasi waktu lamanya pencabutan.
Hal ini mengingat jenis pidana tambahan tersebut merupakan bagian dari hak
asasi manusia. Meskipun tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang
luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penanganannya dapat dilakukan secara
luar biasa pula.
Pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibatasi berdasarkan undang-
undang, namun dalam pembatasan tersebut harus secara tegas disebutkan secara
limitatif waktu pencabutannya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi
6
manusia pihak terpidana. Jika ini tidak dilakukan maka dapat berakibat terjadinya
faktor kriminogen terhadap terpidana yang dilakukan oleh negara melalui alat
perlengkapannya. Akibatnya terjadi pelanggaran HAM oleh negara yaitu
terpidana menjadi korban pelanggaran yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat
negara melalui putusannya.
Dalam sistem pemidanaan, penjatuhan pidana terhadap terpidana
merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana baik secara khusus
maupun secara umum, serta memiliki efek deterence baik spesial maupun general.
Sehingga akibat dari pemidanaan yang dijatuhkan harus dapat bermanfaat baik
bagi terpidana maupun masyarakat. Penerapan pidana yang merupakan bagian
dari penegakan hukum pidana, dipengaruhi oleh profesionalitas penegak hukum.
Menurut Soekanto, terdapat lima faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan
hukum, yaitu: 1) faktor hukum atau undang-undang; 2) faktor penegak hukum; 3)
faktor sarana atau fasilitas; 4) faktor masyarakat; dan 5) kebudayaan. Dengan
demikian penerapan pidana dapat diprediksikan keefektifannya di masa depan.7
Mendasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut di atas, maka
penulis berkeinginan menganalisis lebih mendalam (indept investigation) terhadap
penerapan pidana pencabutan hak politik tersebut diatas dalam bentuk skripsi
dengan judul “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG
PENCABUTAN HAK POLITIK KORUPTOR (Kajian Hukum Islam dan
HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)”
7 Soekanto, S., Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2008), h. 8
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan tentang
pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan perumusan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini
penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai Perspektif Hukum Islam
dan HAM tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor (Kajian Hukum Islam dan
HAM terhadap Putusan MA Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014)
Dari pembatasan masalah diatas dapat diuraikan beberapa masalah yang
dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan HAM terhadap pencabutan hak
politik koruptor?
2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan
berupa pencabutan hak politik koruptor?
3. Bagaimana analisis hukum islam dan HAM terhadap putusan MA Nomor:
1195 K/Pid.Sus/2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Secara umum studi bertujuan, pertama, menggambarkan secara umum
mengenai pencabutan hak politik koruptor dalam hukum Islam dan HAM;
kedua untuk menjelaskan pertimbangan hakim terhadap pencabutan hak
politik koruptor, sehingga dapat dijelaskan serta menguji kebenaran terhadap
putusan MA Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014. secara spesifik penelitian ini
bertujuan :
8
b. Untuk menggambarkan pandangan hukum Islam dan HAM terhadap
pencabutan hak politik koruptor.
c. Untuk menjelaskan pertimbangan hakim terhadap pencabutan hak politik
koruptor
d. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam dan HAM terhadap putusan MA
No. 1195 K/Pid.Sus/2014.
2. Manfaat Penelitian
Adapun signifikansi penelitian ini dikemukakan sebagai berikut: pertama, hasil
penelitian ini di harapkan punya nilai signifikan bagi masyarakat pembangunan
pengetahuan ilmiah di bidang hukum, baik hukum positif dan hukum Islam.
Kedua, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam
pengembangan konsep pemidanaan, khususnya dalam penjatuhan pidana
tambahan pencabutan hak politik atau hak untuk memilih dan dipilih.. Ketiga,
hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang sanksi pencabutan
hak politik koruptor menurut hukum pidana Islam. Keempat, hasil penelitian ini
dapat dijadikan kontribusi pemikiran yang tepat upaya transformasi hukum pidana
Islam ke dalam hukum pidana positif. Kelima, hasil penelitian Ini diharapkan
dapat memberikan input kepada penegak hukum khususnya hakim dalam
menerapkan pidana tambahan pencabutan hak politik atau hak untuk memilih dan
dipilih.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian tentang skripsi ini telah dilakukan, baik yang
mengkaji secara umum skripsi tersebut maupun yang menyinggung secara
spesifik. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut.
9
Jurnal karya Rendy Herlambang & Sigid Riyanto ”Pencabutan Hak Politik
Sebagai Pidana Tambahan Bagi Terpidana Korupsi”, 8
. Dalam karya ini di
jelaskan tentang bagaimana undang-undang yang mengatur tentang sanksi
pencabutan hak-hak seorang terpidana , disini di jelaskan pula bagaimana batasan-
batasan atas pencabutan hak-hak tertentu. Dalam karya ini penulis melihat ada
kesamaan dalam pembahasan yang akan teliti oleh penulis, tetapi perbedaannya
hanya bahasan yang menitikberatkan kepada pencabutan hak politik dalam
perspektif hukum Islam dan HAM.9
Diantaranya juga buku karya M. Nurul Irfan “Korupsi Dalam Hukum
Pidana Islam”,10
. Dalam buku ini di jelaskan tentang korupsi dalam hukum
pidana Islam dan dijelaskan juga bagaimana seharusnya hukuman yang pantas
buat pelaku korupsi. Dari karya tulis tersebut, penulis melihat pokok masalah
yang dikajinya mencakup korupsi dalam pandangan hukum islam dan sanksinya,
penulis tidak menemukan kajian mengenai sanksi pencabutan hak politik itu
sebagai pelanggaran HAM.
Selanjutnya buku karya Aziz Syamsuddin “Tindak Pidana Khusus”,11
.
Dalam buku ini di jelaskan macam-macam tindak pidana khusus, termasuk di
dalamnya tindak pidana korupsi. Dalam buku ini tidak dijelaskan batas- batas
sanksi pencabutan hak politik seseorang yang melakukan korupsi.
Diantaranya juga jurnal karya Aji Lukman Ibrahim “Analisis Terhadap
Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Dalam
8 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003)
9 Jurnal Rendy Herlambang & Sigid Riyanto, Pencabutan Hak Politik Sebagai Pidana
Tambahan Bagi Terpidana Korupsi. 10
Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011) 11
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
10
Jabatan Publik Djoko Sosilo”,12
. Dalam jurnal ini di jelaskan tentang analisis
penjatuhan pidana tambahan terhadap Djoko Susilo. Tetapi penulis tidak
menemukan bagaimana analisis hukum islam terhadap penjatuhan sanksi
pencabutan hak politik bagi pelaku korupsi tersebut.
Diantaranya juga Jurnal Yudisial Dialektika Hukum Negara dan Agama.13
Dalam jurnal ini dibahas mengenai pencabutan hak politik terpidana korupsi
dalam perspektif HAM. Tetapi penulis tidak menemukan bahasan yang memuat
tentang bagaimana analisis HAM terhadap putusan pengadilan.
Diantaranya juga Karya ilmiah (skripsi) Gugum Ridho Putra yang berjudul
“Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah”
14Penelitian ini membahas hak narapidana untuk dipilih dalam pemilihan umum
daerah. Penulis tidak menemukan bahasan mengenai pencabutan hak politik
koruptor dalam hukum islam dan HAM.
Dari paparan di atas, terlihat penelitian yang menyinggung tindak pidana
korupsi beserta sanksinya di bahas secara umum dan dalam pengaturan hukum
positif dan hukum pidana Islam. Dalam kaitannya dengan skripsi penulis belum di
temukan pembahasan yang secara spesifik mengenai sanksi pencabutan hak
politik koruptor dalam kaitannya dengan putusan MA Nomor : 1195
K/Pid.Sus/2014.
12
Aji Lukman Ibrahim, Analisis Terhadap Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan
Hak Memilih dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Djoko Sosilo, (Vol. 3, No. 1, Juni 2014) 13
Jurnal Yudisial, Dialektika Hukum Negara dan Agama (Vol.8 No.1 April 2015 Hal. 1-
123), Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2015. 14
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 2012.
11
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, artinya penulis
tidak membutuhkan populasi dan sampel. Objek pembahasan ini tertuju pada
penelitian suatu putusan pengadilan, maka kajian ini termasuk pada penelitian
hukum normatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, adalah
penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.15
Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum
terdapat sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).16
Dari sudut pandang tersebut, penelitian ini
merupakan penelitian hukum yang menerapkan pendekatan kasus (case
approach).
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan metode penelitian
studi dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis
perlukan, yaitu dengan cara melihat undang-undang yang terkait dengan masalah
yang diteliti. Bahan yang digunakan berupa bahan hukum primer, yaitu bahan-
bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan objek penelitian. Pada penelitian ini bahan hukum primer yang
15
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105. 16
Peter Mahmud Mrzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008),
h. 93.
12
digunakan berupa: Putusan MA Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014 bahan hukum
sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen tidak
resmi. Terdiri atas: buku-buku, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan hakim.17
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis yaitu dengan menggunakan
teknik analisa data kualitatif dengan cara mengolah data kemudian diuraikan
untuk memberi gambaran (deskriptif), uraian-uraian yang berisi penafsiran dan
penalaran terhadap gambaran yang diperoleh dan argumentasi rasional (analitik)
untuk menjelaskan dan mempertahankan gambaran yang diperoleh.
4. Teknik Penulisan
Pada skripsi ini, penulis menggunakan metode penulisan skripsi yang
mengacu pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2012 Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan ini, maka penyusun dalam penelitiannya
dibagi menjadi lima BAB, dan tiap-tiap BAB dibagi dalam sub-BAB yang
disesuaikan dengan luas pembahasan. Didalam menulis penelitian ini penulis telah
menyusun sistematikanya dengan tujuan agar pembaca dapat diarahkan kepada
satu masalah agar dapat dipahami, adapun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
BAB Pertama ini merupakan BAB pendahuluan yakni penulis akan
membahas tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, pembatasan dan
17
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 54.
13
perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB kedua dibahas tentang “Tinjauan Umum Pencabutan Hak Politik”
terdiri dari 4 (empat) sub pembahsan, yaitu: (1). pengerian hak politik, (2).
Perlindungan Hak Politik, (3). Bentuk-bentuk Hak Politik (4). Penerapan
Pencabutan Hak Politik.
BAB ketiga dibahas tentang “hak politik Menurut Hukum Islam dan
HAM” terdiri dari 3 (tiga) sub pembahsan yaitu: (1). Hak Politik dalam Islam, (2).
Pengertian dan perkembangan HAM di Indonesia, (3). Hak politik sebagai bagian
dari HAM.
BAB keempat dibahas tentang “kajian Hukum Islam dan HAM terhadap
putusan MA, BAB ini menyajikan 4 ( empat ) sub bagian yaitu: (1). Deskripsi
kasus putusan MA Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014, (2). Pertimbangan dan Putusan
hakim, (3). Pandangan Hukum pidana Islam terhadap putusan MA, dan (4).
Analisa pencabutan hak politik dalam putusan MA dari Perspektif HAM
BAB kelima merupakan penutup menyimpulkan dari pernyataan yang
diajukan dan memberikan saran atau rekomendasi sebagai bahan refleksi bagi
semua pihak terkait temuan-temuan dilapangan mengenai putusan MA. Yang
terdiri dari dua sub BAB: Kesimpulan dan Saran-Saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTAN HAK POLITIK
A. Pengertian Hak Politik
Untuk mendefinisikan hak politik perlu dipisahkan terlebih dahulu
tentang pengertian hak dan politik. Secara bahasa hak berarti yang benar, tetap
dan wajib, dan kebenaran dan kepunyaan yang sah.18
Hak dapat juga disebut hak
asasi yaitu, sesuatu yang dimiliki oleh seseorang karena kelahirannya, bukan
karena diberikan oleh masyarakat atau negara.19
Sedangkan kata politik berasal dari kata pulitic (inggris) yang menunjukan
sifat pribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata latin politicus dan
bahasa yunani ((Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata
tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politik kemudian
diserap ke dalam bahasa indonesia dengan tiga arti, yaitu: segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu
negara atau terhadap negara lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenagaraan, segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau mengenai
suatu masalah).20
18
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), h. 211 19
B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. I, h. 193 20
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 886
15
Dari penjelasan diatas, secara garis besar hak politik dapat diartikan
sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu
Atau diambil oleh siapapun dalam kehidupan bermasyarkat disuatu negara.
Menurut para ahli hukum, hak kewarganegaraan adalah hak yang dimiliki dan
diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik
(negara), seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang
jabatan umum dalam negara, 21
atau hak politik itu adalah hak-hak di mana
individu memberi andil melalui hak tersebut dalam mengelola masalah-masalah
negara atau pemerintahnya.22
Salah satu bentuk dari hak kewarganegaraan adalah
hak politik. dimana, hak politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan
dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara. 23
Hak politik pada hakikatnya mempunyai sifat melindungi individu dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Karena itu, dalam mendukung
pelaksanaannya peranan pemerintah perlu diatur melalui perundang-undangan,
agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat tidak melampaui
batas-batas tertentu.
B. Perlindungan Hak Politik
Hak seorang warga negara merupakan kehadiran kewajiban di pihak
negara yang direpresentasikan oleh penyelenggara negara, maka menjadi jelaslah
bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak warga negara nya.
21
A. M. Saefuddin, Ijtihad Folitik Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), cet. I, h. 17 22
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan
Al-Amin, 1984), cet. I, h. 17 23
Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam,
(Bandung: angkasa, 2003), h. 149.
16
Melihat ruang lingkup konsepsi politik yang oleh Miriam Budiardjo24
dipahami
sebagai segala kegiatan-kegiatan pokok politik menyangkut : (1) negara; (2)
kekuasaan (power); (3) pengambilan keputusan (decisionmaking); (4)
kebijaksanaan (policy, beleid); (5) pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation).
Hak politik secara sederhana bisa dartikan sebagai segala sesuatu hal yang
menyangkut politik yang dapat dituntut oleh warga negara untuk memenuhinya.
Dengan begitu bisa dipahami bahwa hak (entittlement) dalam konteks hak politik,
adalah menyangkut segala bidang politik yang menjadi hak warga negara dimana
negara berkewajiban memenuhinya.
Jaminan hak politik warga negara dalam hukum nasional berpuncak
kepada konstitusi tertulis Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Sejarah perlindungan hak politik warga negara Indonesia mengalami pasang
surut semenjak orde lama, orde baru dan kembali bangkit ketika memasuki masa
orde reformasi. Perlindungan hak politik dalam UUD Tahu 1945 pasca
Amandemen diatur dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (3) dan pasal 28 E
ayat (3) sebagaimana berbunyi sebagai berikut25
Pertama, pasal 27 ayat (1). Pasal ini menyatakan bahwa : segala warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Bunyi
pasal 27 diatas menegaskan bahwa segala warga negara dijamin kesetaraan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tanpa terkecuali. Rumusan
tersebut dengan jelas menyatakan bahwa konstitusi kita mengakui prinsip equality
24
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1998), h. 8 25
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Ps 27 ayat (1), 28, 28D, dan pasal 28E.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
17
before the law atau persamaan kedudukan dihadapan hukum. Implikasi yuridis
dari pasal 27 ini tidak hanya menempatkan kedudukan warga negara dalam hak
yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan, tetapi juga mengemban
kewajiban yang setara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
sebaik-baiknya.
Kedua, pasal 28 UUD Tahun 1945. Pasal 28 menyatakan bahwa :
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainnya, ditetapkan dengan undang-undang. Bunyi pasal 28 UUD
Tahun 1945 ini sepintas terlihat bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul
dijamin secara ekspilsit dalam undang-undang. Akan tetapi pendapat Jimly
Asshiddiqie adalah bahwa pasal 28 ini sama sekali bukanlah jaminan hak asasi
manusia seperti yang seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi.
Akhir bunyi pasal 28 menyatakan bahwa hak berserikat itu ditetapkan
dengan undang-undang. Berarti dengan demikian, bisa diartikan bahwa jaminan
itu baru akan ada setelah ditetapkan dengan undang-undang. Karena itu,
sebenarnya ketentuan asli pasal 28 UUD Tahun 1945 itu bukanlah rumusan hak
asasi manusia seperti umumnya dipahami.26
Ternyata setelah ditelusuri lebih
lanjut, pada waktu diperdebatkan dalam sidang-sidang BPUPKI pada bulan juli
1945, rumusan asli pasal 28 UUD 1945 ini bermula dari usul Mohammad Hatta
dan Mohammad Yamin yang menghendaki agar ketentuan hak berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat dapat dijamin dalam rangka undang-
undang dasar yang sedang disusun.27
Akan tetapi, ide Hatta dan Yamin ini ditolak
26
Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2005), h. 8. 27
Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1997), h. 88-91.
18
dengan tegas oleh Soepomo dan Soekarno karena dianggap berbau individualisme
dan liberlisme. Ide-ide tentang perlindungan hak asasi manusia yang lazim
berkembang di negara-negara demokrasi liberal biasa dituangkan dalam jaminan
konstitusi, dinilai tidak sesuai dengan cita negara kekeluargaan yang di usung oleh
Soepomo. Karena itu, sebagai kompromi, disepakatilah rumusan sebagaimana
yang tertuang dalam pasal 28 tersebut.
Ketiga Pasal 28 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bunyi pasal ini
menyatakan dengan tegas bahwa akses publik kepada pemerintahan seperti hak
memperoleh perlakuan dan pelayanan publik kepada pemerintahan adalah hak
setiap warga negara Indonesia. Dengan ketentuan pasal 28D ayat (3) ini setiap
orang memiliki hak yang sama dalam pemerintahan seperti hak memperoleh
perlakuan yang sama dalam pemerintahan seperti hak memperoleh perlakuan dan
pelayanan publik yang sama dalam pemerintahan, termasuk pula hak untuk
menduduki jabatan publik dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
Terakhir pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa : setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sepintas bunyi
pasal ini sama dengan rumusan pasal 28 yang menyatakan bahwa kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. Bunyi pasal 28 ini sebagaimana
dijelaskan Jimly Asshiddiqie bukanlah jaminan hak asasi manusia dalam
konstitusi, karena perlindungannya ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang.
19
Sedangkan bunyi pasal 28E ayat (3) dengan tegas menjamin hak berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Dengan demikian, menurut Jimly perlindungan hak berserikat dan
berkumpul telah ditetapkan menjadi hak asasi yang dilindungi oleh pasal 28E ayat
(3). Semestinya pasal 28 dihapuskan karena bertentangan dengan pasal 28E ayat
(3). Dengan demikian konsepsi hak berserikat warganegara yang diatur dalam bab
X UUD NRI tahun 1945 amandemen, haruslah dipahami dalam kerangka pasal
28E ayat (3) dan bukan dalam kerangka pasal 28. Hal ini karena kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan dan tulisan,
memang telah dijamin oleh UUD 1945, mekipun ketentuan pelaksanaannya
memang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
C. Bentuk-Bentuk Hak Politik
Angin segar perlindungan hak asasi manusia menguat paska disahkannya
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasca masa-
masa represif dan pembungkaman hukum pada masa orde baru, gerakan
penegakan HAM mengalir deras ketika pintu reformasi 1998 terbuka. Lahirlah
kemudian undang-undang HAM ini dimana salah satu yang dijamin adalah hak
politik. Perlindungan hak politik dalam undang-undang ini meskipun banyak
kekurangan, namun diharapkan bisa memperkuat hak politik rakyat ditengah
ketidak adilan politik yang telah lama mengakar. Dalam hak politik ini, hak
politik warga negara diatur dalam bab hak turut serta dalam pemerintahan, yakni
20
diatur dalam pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 44 yang berbunyi sebagai
berikut28
:
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas,
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan
pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah
dalam rangka pelaksanaan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan
lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari semua perlindungan hak politik sebagaimana yang telah dibahas
diatas, maka secara general, hak politik yang dilindungi instrumen hukum
nasional bahkan hukum internasional mencakup hak-hak sebagai berikut:
1. Pertama, Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum.
2. Kedua, Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya.
3. Ketiga, Hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan
atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun dengan
tulisan.
4. Keempat, Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik
di dalam pemerintahan.
28
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia. No 39 tahun 1999. LN No 165 Tahun
1999. TLN. No 3886. Ps 43 ayat (1), (2), (3) dan Ps 44.
21
Hak yang pertama yakni untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum tercermin dalam bentuk partisipasi masyarkat untuk ikut memberikan suara
dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih merupakan ranah politik
praktis dimana jabatan-jabatan politik yang tersedia antara lain : jabatan presiden
dan wakil presiden yang pemilihannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 48
tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Jabatan
gubernur, bupati dan walikota beserta masing-masing wakilnya yang diatur dalam
undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah direvisi melalui
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan Daerah. Terakhir
jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi, kabupaten dan walikota yang
peraturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan
dewan perwakilan rakyat daerah.
Hak yang kedua yakni hak untuk turut serta dalam pemerintahan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya. Hak politik masyarakat pada
dasarnya luas, namun kondisi yang dipahami masyarakat sekarang hak politik
justru direduksi hanya pada saat pemilihan umum saja. Padahal pemilihan umum
hanyalah mekanisme untuk memilih wakil rakyat dan merupakan salah satu dari
sekian hak politik yang bisa di charge masyarakat. Terkait hak yang kedua ini
misalnya, masyarakat bisa turut serta dalam pemerintahan secara langsung. Secara
tidak langsung telah dilakukan dengan memilih wakil rakyat melalui pemilu.29
Partisipasi masyarakat secara langsung misalnya dalam hal memberikan
aspirasi dan masukan-masukan terkait kerja-kerja DPR dalam pembuatan
29
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 2012), h. 40
22
perundang-undangan. Pemberian masukan-masukan dari masyarakat sangat
penting bagi subtstansi produk DPR. Hal ini karena nantinya produk undang-
undang itu akan berdampak secara luas kepada kehidupan masyarakat. Selain itu
juga pada dasarnya masyarakat punya hak untuk mengawasi kerja DPR selaku
wakil yang mereka berikan amanah jabatan parlemen. Sifat rapat-rapat DPR pada
dasarnya terbuka, kecuali rapat memang ditentukan tertutup. Hanya saja persoalan
publikasi dan penguatan animo masyarakat men-support aspirasi yang belum
berhasil dijalankan DPR sehingga masyarakat seakan tidak tahu kalau mereka
memiliki hak.
Bentuk hak politik yang ketiga adalah hak mengajukan pendapat,
permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan
maupun dengan tulisan. Bentuk yang ketiga ini adalah bentuk saluran aspirasi
masyarakat secara langsung kepada pemerintah. Saluran aspirasi terkait
pengaduan atas pelayanan publik yang kurang memuaskan bisa diajukan kepada
lembaga pemerintah, termasukpun kepada lembaga yang secara khusus
menangani pelanggaran adminitrasi pelayanan publik yang dikenal dengan
sebutan Ombudsman Republik Indonesia.
Bentuk hak politik yang keempat yakni hak untuk duduk dan diangkat
dalam setiap jabatan publik di dalam pemerintahan. Hak atas jabatan publik di
dalam pemerintahan. Hak atas jabatan publik adalah milik masyarakat. Sangat
logis bahwa hak untuk menduduki jabatan publik wajib dilindungi karena hak ini
salah satu yang menjamin keberlanjutan negara demokrasi. Pos jabatan yang
23
berhak di isi masyarakat terdapat cukup banyak. 30
Setidaknya terdapat 34 jabatan
publik yang disebutkan dalam konstitusi. Ke- 34 jabatan itu adalah tiada lain dan
tiada bukan merupakan hak masyarakatlah untuk mengisinya.
D. Pengaturan Pidana Pencabutan Hak Politik.
1. Menurut Hukum Positif
Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Idealnya
sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atau
supermasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam
negara.31
Dalam hal ini, putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting
bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yangberupa penjatuhan
pidana dan pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan
muncul begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. Seperti yang dikutip oleh
Bambang Waluyo, G.P. Hoefnageles mengatakan bahwa sanksi dalam hukum
pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-
undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada
penjatuhan vonis oleh hakim.32
Hukum pidana Indonesia telah memberikan dasar yuridis untuk melakukan
pencabutan hak tertentu sebagai bentuk pidana tambahan. Pencabutan hak tertentu
itu salah satunya berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik, hal ini
dilakukan agar memberikan perlindungan kepada masyarakat dari perilaku pejabat
30
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah, h. 41 31
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 33 32
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010),
h. 79.
24
yang menyimpang. Dalam penjatuhan sanksi pidana ada dua bentuk sanksi yang
diatur dalam KUHP, yaitu:
a. Pidana pokok
Pidana pokok adalah pidana yang dapat dijatuhkan tersendiri oleh hakim,
yang bersifat imperatif yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
Pidana tambahan menurut Andi Hamzah, adalah pidana yang hanya dapat
dijatuhkan di samping pidana pokok. Jenis pidana tambahan yaitu pencabutan
beberapa hak tertentu, pengumuman putusan hakim.
Dalam pengaturan pencabutan hak-hak, itu diatur dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis Pidana
tambahan terdiri atas:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.33
1. Pencabutan hak-hak tertentu juga di atur sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
b. Hak memasuki angkatan bersenjata
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum.
d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut hukum
(gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas, terhadap orang yang bukan anaknya sendiri.
e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.34
2. Perampasan barang tertentu diatur dalam pasal 39 KUHP, yaitu:
33
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 6. 34
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, h. 19
25
(a). Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau yang
dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, beleh dirampas. (b).
Dalam menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja
atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi
dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. (c). Hukuman
perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang oleh hakim
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang disita.
3. Pengumuman putusan hakim
Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada
khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-
hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dala surat kabar yang
sama, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhukum.35
Cara - cara
menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43
KUHP).
Kata tertentu dalam pencabutan hak berarti pencabutan itu tidak dapat
dilakukan terhadap semua hak, hanya hak tertentu saja yang bisa dicabut. Apabila
semua hak yang dicabut, akan membawa konsekuensi terpidana kehilangan semua
haknya termasuk kesempatan untuk hidup.
Dalam ayat (2) Pasal 35 tersebut berbunyi Hakim tidak berkuasa akan
memecat seorang pegawai dari jabatannya, apabila dalam Undang-undang umum
telah ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa untuk melakukan
pemecatan. Dalam Pasal 36 KUHP, pencabutan hak dapat dilakukan terhadap
orang-orang yang melanggar kewajiban-kewajiban khusus atau mempergunakan
35
Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 112-113
26
kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya,
melakukan tindak pidana.36
Mengenai lamanya pencabutan hak terdapat dalam Pasal 38 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Bila dijatuhkan hukuman pencabutan hak, maka hakim menentukan lamanya
sebagai berikut:
a. Jika dijatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup buat selama
hidup.
b. Jika dijatuhkan hukuman penjara sementara atau kurungan buat selama
lamanya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun.
c. Dalam hal denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan
selama-lamanya lima tahun.
2. Hukuman itu mulai berlaku pada hari keputusan Hakim dapat dijalankan
Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
hukuman pokok. Penjatuahan hukuman tambahan itu biasanya bersifat fakultatif.
Hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan.37
Pengaturan mengenai
hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan
lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan
tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Dalam UU No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) misalnya, diatur juga mengenai
hukuman tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti misalnya
pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang
dikorupsi, penutupan perusahaan dll.38
Sebagai pidana tambahan, pencabutan hak tertentu berarti hanya bersifat
menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, kata Andi Hamzah, hukuman ini
36
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia. (Bandung : Armico, 1984), h. 12. 37
Laden Marpaung, Asas-Asas-Praktik Hukum Pidana , (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), h. 111. 38
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/pidana-pokok-dan-tambahan, diakses
27 oktober 2015.
27
tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, dalam arti dapat
dijatuhkan tetapi tidak harus. Adakalanya pidana tambahan bersifat imperatif,
yaitu dalam Pasal 250bis, 261, dan 275 KUHP.39
Kata „tertentu‟ dalam pencabutan hak mengandung makna bahwa
pencabutan tidak dapat dilakukan terhadap semua hak. Hanya hak-hak tertentu
saja yan boleh dicabut. Kalau semua hak dicabut membawa konsekuensi terpidana
kehilangan kesempatan hidup. Dijelaskan Kanter dan Sianturi dahulu ada
hukuman tambahan berupa kematian perdata (mort civile) untuk pelaku kejahatan
berat. Tetapi dewasa ini pidana kematian perdata sudah tidak dikenal lagi. UUDS
1950 tegas melarang pidana kematian perdata. Dalam konstruksi UUD 1945 paska
amandemen, ada juga hak asasi manusia yang dilarang untuk dicabut.40
Pencabutan hak tertentu hanya untuk delik-delik yang tegas ditentukan
oleh undang-undang. Kadang-kadang dimungkinkan oleh undang-undang untuk
mencabut beberapa hak bersamaan dalam suatu perbuatan seperti Pasal 350
KUHP. Pasal ini menyebutkan pada waktu menjatuhkan hukuman untuk perkara
makar mati (doodslag), pembunuhan berencana (moord) atau karena salah satu
kejahatan yang diterangkan Pasal 344, 347, dan 348, dapat dijatuhkan hukuman
mencabut hak-hak yang disebut dalam Pasal 35 KUHP.
Menurut Roeslan Saleh masuknya pencabutan hak tertentu dalam KUHP
karena pembentuk undang-undang menganggap hukuman tambahan tersebut
patut. Kepatutan bukan karena ingin menghilangkan kehormatan seseorang,
39
Andi Hamzah, Asas- Asas Hukum Pidana, edisi revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
h. 202. 40
Kanter & Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Storia Grafika, 2002), h. 481.
28
melainkan karena alasan lain seperti pencegahan khusus. Misalnya, pencabutan
hak seseorang menjadi dokter karena malpraktik. Maksud pencabutan hak itu
adalah agar kejahatan serupa tidak dilakukan lagi oleh orang yang bersangkutan.41
Pencabutan hak memegang jabatan tidak berarti mencabut atau menghapus
jabatan. Dalam bahasa Utrecht „tidaklah terjadi pemecatan dari jabatan sendiri
(geen ontzetting uit het ambt zelf).Yang dicabut adalah hak seseorang untuk
memangku jabatan tertentu. Pasal 227 KUHP mengancam siapapun yang masih
memangku jabatan padahal hakim sudah mencabut haknya. Mencabut hak
memegang jabatan berbeda dari pemecatan. Pemecatan atau skorsing pejabat dari
jabatan dilakukan oleh pejabat administrasi seperti atasan langsung atau Badan
Kepegawaian Negara. Jadi, pemberhentian dari jabatan berdasarkan suatu putusan
hakim yang telah menetapkan pencabutan hak untuk memangku jabatan itu
dilakukan oleh atasan administratif si pemangku jabatan.42
Wirjono Prodjodikoro menegaskan di luar ketentuan Buku II KUHP
dimungkinkan mencabut hak memegang jabatan dalam hal ada kejahatan jabatan
atau dalam hal orang dalam melakukan tindak pidana melanggar kewajiban
jabatan khusus atau mempergunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana, yang
diberikan kepadanya melalui jabatan itu. 43
Hak memilih dan dipilih yang dapat dicabut adalah hak berdasarkan
undang-undang, misalnya untuk menjadi anggota DPR atau mengisi jabatan
publik lainnya.
41
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit
Gadjah Mada, 1960), h. 19. 42
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1999), h. 330. 43
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco,
1989), h. 175.
29
Pemberian pidana tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan
publik kepada pelaku tindak pidana korupsi merupakan sebuah terobosan yang
harus diletakkan dalam kerangka untuk meminimalisir terjadinya korupsi. Hukum
pidana di Indonesia telah cukup memberikan dasar yuridis kepada para hakim
yang menangani perkara korupsi untuk menjatukan pidana tambahan tersebut.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan
karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa.44
tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa. Pada konteks ini, KPK dalam merumuskan
dakwaan kian mengintensifkan penggunaan kombinasi Undang-undang Tindak
Pidana Korupsi dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
tuntutan yang makin maksimal. Terobosan lainnya adalah dengan menggunakan
pasal-pasal hukuman tambahan, menuntut pembayaran uang pengganti yang
besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi menjadi salah satu cara
membuat jera. Hukuman tambahan juga diberikan dengan menuntut pencabutan
hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.45
2. Menurut Hukum Islam
Dalam hukum pidana Islam tujuan utama dari dari penetapan dan
penarapan hukuman adalah untuk pencegahan, pengajaran, dan pendidikan. Selain
itu bertujuan untuk melindungi kebutuhan hidup manusia atau bisa disebut dengan
istilah Al maqasid al syari‟ah al khamsah. Kelima tujuan tersebut adalah, Hifz al-
44 Lihat Penjelesan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 45
Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, h. 3.
30
din (memelihara agama), Hifz al- nafsi ( memelihara jiwa), Hifz al-maal
(memelihara harta), Hifz al-mashli (memelihra keturunan), dan hifz al-„aqli
(memelihara akal)46
Adapun hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum
pidana Islam terbagi atas tiga bagian yaitu: Jarimah hudud, qishash, Ta‟zir.
1. Jariamh Hudud
Jariamh hudud merupakan tindak pidana terberat dala huku pidana
Islam, karena tindak pidana ini menyangkut hak-hak Allah didalamnya,
artinya apabila seseorang melakukan salah satu dari jenis tindak pidana
hudud, maka ia telah melanggar satu dari sekian hak Allah kepada-Nya.
Sanksi terhadap pelaku jarimah ini, berupa siksaan fisik atau moral,
menurut syariat yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur‟an,
atau kenyataan yang dilakuakan oleh seseorang atau kelompok, sengaja
atau tidak sengaja, dalam istilah fikih disebut dengan jarimah. Jarimah al-
hudud berarti tindak kejahatan yang menjadikan pelakunya dikenakan
sanksi had. Adapun jenisnya itu adalah rajam, jilid atau dera, potong
tangan, penjara/kurungan seumur hidup eksekusi bunuh,
pengasingan/deportasi, dan salib.47
2. Jarimah qishash/ diyat
Qishash dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan setimpal yang
dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya. Lain
halnya dengan diyat, diyat artinya denda dalam bentuk benda atau harta,
46
Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), Cet. I, h. 12
47
Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 106
31
sesuai ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak
korban, sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Yang
bertanggung jawab atau sanksi hukum bagi orang yang membunuh
diserahkan kepada manusia, dalam arti bahwa manusia sebagai subyek
hukum diberikan kewenangan untuk memilih sanksi hukum dari beberapa
alternatif yang diajukan.48
Dalam qishash dikelompokan menjadi dua yaitu,
qishash ghair an-nafs yaitu qishash yang membuat korbannya meninggal
dan qishash ghair an-nafs yaitu qishash yang berkaitan dengan pidana
pencederaan atau melukai, namun korbannya tidak sampai meninggal.
3. Jarimah ta‟zir
Menurut bahasa, lafaz ta‟zir berasal dari kata azzara yang berarti
menolak dan mencegah, dan juga bisa berarti mendidik, mengagungkan
dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.49
Dari
pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu
mencegah dan menolak. Karena ia dapat mencegah dan menolak. Karena
ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dan
pengertian kedua yaitu mendidik dan memperbaiki perbuatan pelaku agar
ia menyadari perbuatan jarimahnya, kemudian meninggalkan dan
menghentikannya. Dari beberapa pengertian ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili dalam
bukunya Ahmad Wardi Muslich.
Sedangkan secara terminologis ta‟zir adalah bentuk hukuman yang
tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara‟ dan menjadi
48
Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 125 49
Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), h. 248
32
kekuasaan waliyyul amri atau hakim.50
Menurut Al-Mawardi, ta‟zir
didefinisikan sebagai berikut:
“Ta‟zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara‟”
Sebagaian ulama mengartikan ta‟zir sebagai hukuman yang berkaitan
dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak
ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Hadis. Ta‟zir berfungsi memberiakan
pengajaran kepada pelaku dan sekaligus mencegah untuk tidak mengulangi
perbuatannya.51
Ulama sepakat menetapkan bahwa ta‟zir semua kejahatan yang tidak
diancam dengan hukuman hudud dan bukan pula termasuk jenis jinayat.
Hukuman ta‟zir diterapkan pada dua kejahatan, yaitu kejahatan
meninggalkan kewajiban atau kejahatan melanggar larangan.52
Adapun
ciri-ciri tindak pidana ta;zir yaitu: landasan dan ketentuan hukumnya
didasarkan pada ijma, mencakup semua bentuk kejahatan /kemksiatan
selain hudud dan qishash, ta‟zir terjadi pada kasus-kasus yang belum
ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara‟. Meskipun jenis sanksinya telah
tersedia, hukumannya ditetpkan oleh penguasa atau qadhi (hakim), dan di
dasari pada ketentuan umum syariat Islam dan kepentingan keseluruhan.
Selain hukuman pokok, pelaku jarimah ta‟zir dapat dikenai hukuman
tambahan yakni berupa: peringatan keras dan dihadirkan dihadapan sidang, dicela,
dikucilkan, di nasehati, dipecat dari jabatannya, dan diumumkan kesalahannya.
50
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 10, (Bandung: Alma‟arif, 1987), h. 151 51
Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), h. 141. 52
Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia 2009), h. 54. Cet I.
33
Hukuman ta‟zir dilihat dari hak yang dilanggar jarimah ta‟zir dapat dibagi kepada
dua bagian yaitu, Pertama Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak Allah. Kedua
Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak individu. Sedangkan jika dilihat dari segi
sifatnya dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu:53
a. Ta‟zir karena melakukan perbuatan maksiat;
b. Ta‟zir yang melakukan perbuatan yang membahayakan
kepentingan umum;
c. Ta‟zir karena melakukan pelanggaran;
Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta‟zir juga
dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu, Pertama, jarimah ta‟zir yang berasal dari
jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau
ada syubhat seperti pencurian tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga. Kedua,
jarimah ta‟zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara‟ tetapi hukumannya
belum ditetapkan seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan.
Ketiga, jarimah ta‟zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh
syara‟, jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.54
Mengenai kaitannya dengan sanksi pencabutan hak politik bagi pelaku
tindak pidana korupsi, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi tersebut adalah
sama dengan bentuk ta‟zir dalam hukum pidana Islam. Mengingat Dalam Islam
hukuman tindak pidana korupsi memang tidak diatur secara harfiah, baik dalam
Al-Qur‟an maupun Hadis.
53
Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 225 54
Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 225
34
Namum, secara umum, hukuman bagi tindak pidana korupsi adalah ta‟zir,
yaitu hukuman yang setimpal dan menjerakan menurut ijtihad hakim, dari yang
terberat [hukuman mati] hingga yang teringan [penjara] sesuai dengan berat dan
ringannya tindakan dan dampak korupsi yang dilakukan. Karena itulah, hukuman
bagi pelaku korupsi yang ringan adalah dengan diberikan teguran atau celaan,
dimasukan kedalam daftar tercela, dinasihati, dan dipecat dari jabatannya. Yang
cukup berat adalah diberi hukuman dera atau cambuk dan pengasingan satu tahun.
Jumlah cambuknya minimal 39 kali dan maksimal 100 kali sesuai dengan kondisi
(jumlah harta yang dikorup, akibatnya, dan kondisi koruptor).55
Umar bin Khattab misalnya pernah menjatuhkan hukuman cambuk
sebanyak 100 kali dan penjara satu tahun kepada Mu‟iz bin Abdullah, karena
telah melakukan tindak pidana pemalsuan stempel kas negara (Bait al-mal)
kemudian mengambil harta negara tersebut. Untuk penjara, maksimalnya adalah
dipenjara hingga mati.56
Dalam menemukan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi
dalam hukum Islam terdapat pada fiqih jinayah, yaitu ta‟zir yang berarti hukuman
terhadap pelaku yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sanksinya di dalam
nash. Hukuman ini dijatuhkan untuk memberikan pelajaran terhadap terpidana
agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi jenis
hukumannya disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan).
Pencabutan hak politik adalah salah satu bentuk hukuman yang baru di
Indonesia dan dalam hukum pidana islam jenis sanksi ini masuk kedalam jarimah
55
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group 2013), h. 298 56
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi, Persepektif Ulama
Muhamadiyah, (Jakarta: PP Muhammadiyah dan Partnership 2006), h. 78-86
35
ta‟zir. wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. Di samping
itu, ciri khas dari ta‟zir adalah sebagai berikut: (1) hukumannya tidak tertentu dan
tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan ada
batas minimal dan maksimal, (2) penentuan hukuman tersebut adalah hak
penguasa (ulil amri). Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59:
“Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an) dan
Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikaian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. An-Nisa : 59)
Dalam surat ini menjelaskan bahwa ulil-amri sangat mungkin untuk
membentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan bentuk dan jenis
sanksinya, dengan tetap bersumber pada syariat Islam (Al-Qur‟an dan Sunnah
Rosulullah) yaitu melalui lembaga ta‟zir. Sedangkan menurut Ibn Qudamah
menyebutkan bahwa batas hukuman ta‟zir diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai
dengan tindak pidananya, pelakunya, waktunya, dan pelaksanaannya.
36
BAB III
HAK POLITIK MENURUT HUKUM ISLAM DAN HAM
A. Hak Politik dalam Islam
Islam adalah agama yang universal yang mengajarkan keadilan bagi semua
manusia tanpa pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan Islam meletakan
manusia pada posisi yang mulia. Manusia digambarkan oleh Al-Qur‟an sebagai
makhluk yang paling sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari pandangan
kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam
Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan
oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu A‟la al-
Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan Allah SWT. Kepada setiap
manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan
apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen dan kekal.57
Dalam Perspektif Islam, hak-hak politik sejatinya merupakan bagian
intrinsik dari hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Pelacakan intens
terhadap monoteisme Islam sebagai ajaran dasar akan menjelaskan secara
sempurna hal tersebut. Sebgai prinsip dasar, monoteisme merupakan pembebasan
yang membawa konsekuensi pada keberadaan seluruh umat manusia dalam
kedudukan yang sederajat. Setiap manusia memiliki hak yang sama sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas masing-masing untuk mengaktualisasikan hak-hak
dasariahnya, serta mengartikulasikan aspirasinya yang objektif.
Demikian pula, hak-hak mereka yang bersifat prinsip harus mendapat
perlindungan yang sama. Tidak ada satu manusia atau kekuatan manapun di dunia
57
Ubaedilah dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Dan Masyarakat Madani, cet 6, h. 125
37
yang dapat memasung dan mereduksi hak-hak dasar yang melekat pada setiap
manusia, termasuk hak-hak politik, kecuali karena alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan yang mengacu secara jelas kepada nilai-nilai etika moral
kemanusiaan dan ajaran subtansial agama.58
Hak politik merupakan Hak Asasi
setiap warga negara untuk serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya
hak untuk berkumpul dan berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk
mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila
terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang
bertentangan dengan aspirasi rakyat. Menurut Muhammad Anis Qasim yaitu:59
a. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum;
b. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan
lembaga setempat; dan
c. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal-hal lain yang
mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat.
Ketiga hak ini, tegas Qasim tidak berlaku kecuali bagi orang-orang yang
memenuhi syarat-syarat tertentu disamping syarat kewarganegaraan, seseorang
boleh menggunakan atau tidak menggunakan hak-hak politik tersebut tanpa ikatan
apa pun. Menurut A. M. Saefuddin bahwa tiap individu memiliki hak-hak politik
diantaranya hak memilih, hak pengawasan, hak pemecatan, hak pencalonan dalam
menduduki jabatan.60
58
http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg0003.html diakses pada tanggal 24
Mei 2016 59
Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam:
Tinjauan dari persefektif Politik Islam, h. 67 60
A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h. 17-19
38
Menurut Al- Maududi paling tidak ada enam macam hak politik yang
diakui dalam Islam, yaitu:61
(1) Hak kebebasan untuk mengeluarkan pokok
pikiran, pendapat, dan keyakinan.62
Hal ini lanjut Al-Mududi, meliputi hak
kebebasan untuk mengkritik pemerintah dan pejabatnya. (2) Hak untuk berserikat
dan berkumpul, (3) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan
negara, (4) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintah negara, (5)
Hak untuk memilih atau dipilih sebagai ketua dan anggota Dewan
Permusyawaratan Rakyat (DPR), (6) Hak untuk memberikan suara dalam
pemilihan umum.
B. Pengertian dan Perkembangan HAM di Indonesia
1. Pengertian HAM
Menurut teaching human rigth yang diterbitkan oleh perserikatan bangsa-
bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. hak
hidup mislanya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu
yang membuat seseorang tetap hidup tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai
manusia akan hilang.63
Senada dengan pengertian diatas adalah pernyataan awal hak asasi
manusia yang dikemukakan oleh Jhon Locke, menurutnya hak asasi manusia
adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang maha pencipta sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada
61
Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam, h.
52 62
Abu A‟ la Maududi, Islamic Law and Constitution, (Lahore, Pakistan: Islamic
Publication Ltd, 1977), h. 283 63
A. Ubaedilah dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Dan Masyarakat Madani, cet 6, h. 110
39
kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia.
HAM adalah hak dasar setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang maha Esa;
bukan pemberian manusia atau lembagakekuasaan.
Hak Asasi Manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.64
Pada hakikatnya, HAM terdiri dari
dua hak fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak
tersebut lahir hak-hak lain yang sifatnya turunan, atau tanpa keduanya hak-hak
turunan tersebut sulit untuk ditegakkan. Adapun hak-hak turunan tersebut adalah
meliputi segala hak-hak dasar hak hidup, hak berpendapat, hak beragama dan hak
penghidupan yang layak, ditambah dengan hak persamaan di muka hukum, hak
milik, hak memperoleh kecerdasan intelektual.
2. Perkembangan HAM di Indonesia
Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya The Universal
Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang tercermin
dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para the founding father indonesia
dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.100 Rapat besar BPUPKI yang
diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan memori tentang perlu
tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh karena
itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan dimuat
64
Lihat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
40
secara terbatas dalam UUD 1945, yaitu sebanyak tujuh pasal saja.101 Sedikitnya
pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945
bukan karena naskah UUD ini disusun sebelum adanya Universal Declaration of
Human Rights.65
Dengan hanya memuat tujuh pasal yang mengatur secara terbatas
mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945, M. Yamin dalam salah satu
tulisannya seperti yang dikutip oleh Jimly, memberikan komentar, “bahwa pada
waktu UUD 1945 dicanangkan pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi pasal-
pasalnya benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan
demikrasi revolusioner. Akibat pendirian ini yaitu hak asasi tidak diakui secara
seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana
politik dan sosial pada tahun 1945, yang dipengaruhi oleh peperangan antara
fasisme melawan demokrasi. Waktu merancang konstitusi 1945 maka hak-hak
asasi yang lebih luas memang dimajukan , tetapi usul itu kandas atas alasan,
bahwa pada waktu itu hak asasi dipandang sebagai kemenangan liberalisme yang
tidak disukai”.
Pendapat bahwa hak asasi asasi manusia adalah bersumber dari
individualisme dan liberalisme yang bertentangan dengan asas kekeluargaan yang
dianut oleh bangsa Indonesia sangatlah berpengaruh dalam proses pembentukan
UUD 1945 oleh panitia nperancang UUD, sehingga pengaturan mengenai hak
asasi sangatlah terbatas. Padahal, menurut Jimly dapatlah dibuktikan dalam
65 Pada tahun 1945 telah ada Declaration of Independent Amerika Serikat dan Declaration
des Droit de l‟homme et du Citoyen Perancis, yang dijadikan bahan untuk penyusunan pasal-pasal
tentang hak asasi manusia yang lebih lengkap dari apa yang kemudian disepakati dalam UUD
1945.
41
sejarah perkembangannya, hak asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme
dan individualisme, melainkan oleh absolutisme. Hak asasi manusia timbul
sebagai reaksi terhadap absolutisme tindakan sewenang-wenang penguasa
terhadap rakyat.
Dalam perjalanan sejarah, Konsitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang pernah berlaku
selama sekitar 10 tahun (1949-1959), justru memuat pasal-pasal tentang HAM
yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan dengan UUD 1945.66
Bahwa
dapat dikatakan bahwa kedua UUD tersebut mendasarkan ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan HAM-nya pada pernyataan umum tentang Hak Asasi
Manusia (universal declaration of human rights) yang mulai berlaku pada tanggal
10 Desember 1948.
Pada tahun 1949, setelah aksi militer kedua dan dalam rangka persiapan
pembentukan negara Republik Indonesia Serikat, suasana dunia sedang diliputi
antara lain oleh adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)67
pada
tanggal 10 desember 1948. Karena itu, dalam perundingan antara delegasi BFO
dan delegasi Republik Indonesia, dicapai kesepakatan untuk memasukkan seluruh
ketentuan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS 1949. Oleh karen itu, UUD
RIS 1949 termasuk Konsitusi Pelopor di dunia yang mengadopsi ketentuan
DUHAM secara utuh dan lengkap sebagai tindak lanjut deklarasi PBB pada bulan
Desember 1948 tersebut.
66 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. 4 (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1995,) h. 85 67 Boermauna, Hukum International, cet.4,( Bandung:Penerbit Alumni, 2003), h. 597
42
Kemudian, setelah Republik Indonesia kembali ke Negara Kesatuan pada
tahun 1950 dan UUDS 1950 disusun, dengan sedikit perubahan, seluruh pasal tentang
Hak Asasi Manusia dipindahkan dari rumusan UUD RIS 1949 menjadi rumusan
UUDS 1950. Seperti halnya perumusan UUD RIS 1949, ketentuan tentang Hak Asasi
Manusia yang dicakup dalam rumusan UUDS 1950 dikatakan sangat lengkap
cakupannya sehingga menurut Muhammad Yamin disebut sebagai konstitusi yang
paling berhasil memasukkan Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan oleh
perserikatan bangsa bangsa ke dalam dokumen konstitusi.
Berdasarkan konstitusi RIS 1949, pengaturan tentang HAM terdapat
dalam bagian V yang berjudul “hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar
manusia”. Pada bagian tersbeut terdapat 27 pasal, dari pasal 7 sampai dengan
pasal 33. Pasal-pasal tentang HAM yang hampir keseluruhannya serupa dengan
konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga
terdapat dalam bagian V yang berjudul “hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar
manusia”. Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari pasal 7 sampai dengan pasal 34.
Menurut Yamin, seperti yang dikutip oleh Jimly, bahwa yang menjadi
dasar pemikiran bagi perumusan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia dalam
UUD RIS 1949 dan kemudian menjadi rumusan pasal 7 sampai dengan pasal 43
UUDS 1950 adalah prinsip bahwa:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 43)
2. Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa (pasal 35)
3. Perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan (pasal 38)
4. Hak milik adalah fungsi sosial (pasal 26)
Mengenai ketentuan lainnya tentang hak asasi manusia dalam kedua naskah
konstitusi UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, dapat dikatakan hampir sama. Jika
43
dirinci dan disarikan, ketentuan tentang hak/kebebasan, larangan pelanggaran
HAM, serta ketentuan mengenai kewajiban negara dan kewajiban warga negara
dalam kedua konstitusi ini adalah:
1. Hak berkumpul (freedom of association) dan Hak bersidang (freedom of
assembly) (pasal 20)
2. Hak untuk mengeluarkan pendapat (freedom of expression) (pasal 19)
3. Hak untuk mogok dan berdemonstrasi atau unjuk rasa (pasal 21)
4. Hak untuk mengajukan pengaduan (pasal 22)
5. Hak untuk mengajukan petisi (pasal 22)
6. Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (pasal 18
dan43)
7. Hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi setiap warga negara (pasal 28)
8. Kebebasan untuk mendirikan serikat pekerja (pasal 29)
9. Hak untuk mendapatkan perlindungan keluarga (pasal 39)
10. Hak fakir miskin dan anak terlantar untuk dipelihara (pasal 39)
11. Hak atas perlindungan diri dan harta benda (pasal 8)
12. Kebebasan bergerak dan tinggal dimana saja dalam wilayah negara (pasal 9)
13. Kebebasan meninggalkan negeri dan kembali lagi (pasal 9)
14. Hak untuk perlakuan jujur oleh hakim yang tidak memihak (pasal 13)
15. Hak untuk membela diri depan hakim (pasal 14)
16. Kebebasan bertempat tinggal (kediaman) untuk tidak diganggu gugat (psal16)
17. Kebebasan rahasia surat (pasal 17)
18. Kebebasan agama dan keinsyafan batin serta pikiran (pasal 18)
44
19. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dan memangku jabatan
pemerintahan (pasal 23)
20. Kebebasan hak milik, baik sendiri atau bersama-sama (pasal 26)
21. Hak untuk mendapatkan pengajaran bagi setiap warga negara (pasal 30)
22. Kebebasan untuk melakukan pekerjaan sosial dan amal (pasal 31)
Perdebatan tentang konsepsi HAM kemudian muncul dalam persidangan
konstituante, yang dibentuk antara lain berdasarkan pasal 134 UUDS 1950. Dalam
pasal tersebut dinyatakan bahwa konsituante (sidang pembuat Undang-Undang
Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan undang-undang dasar
sementara ini (UUDS 1950). Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan
umum pada tahun 1950 tersebut kemudian bersidang , hingga dibubarkan melalui
Keppres nomor 150 tahun 1959. Pada tanggal 12 agustus 1958, dibentuklah suatu
drafting commitee di dalam konstituante. Ia bertugas untuk meringkas berbagai
perdebatan dalam bidang HAM dan memformulasikan rancangan putusan-putusan
dalam bidang HAM yang akan diambil dalam sidang paripurna. Laporan komite
tersebut disampaikan pada tanggal 19 agustus 1958 yang didalamnya terdapat 88
formulasi yang berkaitan dengan 24 macam yang berasal dari HAM dari daftar I
yang asli; 18 hak-hak warga negara; 13 hak-hak tambahan yang belum diputuskan
apakah mereka akan digolongkan sebagai HAM atau hak-hak sipil; hak-hak yang
masih dalam perdebatan , hak-hak yang dihapus atau digabungkan dengan hak-
hak lainnya melalui prosedural yang diputuskan dengan baik.
45
Kurangnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM dalam
Undangundang dasar 1945 (UUD 1945)68
menurut Harun Al Rasyid, sebenarnya
UUD 1945 itu sama sekali tidak memberikan jaminan apapun mengenai Hak
Asasi Manusia. Lebih lanjut menurutnya yang diperdebatkan antara Hatta-Yamin
di satu pihak dan Soekarno- Soepomo di lain pihaknya hanya berkenaan dengan
substansi pasal 28 yang akhirnya disepakati berbunyi: “kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-undang.” Hatta dan Yamin telah mengusulkan
pencantuman jaminan hak asasi manusia disini, tetapi oleh Soekarno dan
Soepomo ditolak karena hal itu bertentangan dengan paham integralistik. Karena
itu sebagai jalan tengahnya disepakati rumusan yang demikian itu. Akan tetapi
menurut Jimly Ashidiqqie, jika diamati secara seksama, pasal 28 itu sama sekali
tidak memberikan jaminan mengenai adanya pengekuan konstitusional akan hak
dan kebebasan berserikat (freedom of association), berkumpul (freedom of
assembly), dan menyatakan pendapat (freedom of expresion). Pasal 28 itu
hanyalah bahwa hak-hak tersebut akan ditetapkan oleh Undang-undang. Artinya
sebelum ditetapkan dengan undang-undang maka hak itu sendiri belumlah ada.
Oleh karena itu ide untuk mengadopsi perlindungan hak asasi manusia itu,
terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan, lahirnya pemerintahan Orde Baru, adalah
untuk melindungi HAM. Berpedoman kepada pengalam orde lama yang kurang
mengindahkan hak asasi warga negara, sidang umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat sementara ke IV menetapkan ketetapan MPRS nomor XIV/MPRS/1966 yang
memerintahkan antara lain penyusunan piagam hak asasi manusia. Artinya, Majelis
68 Dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 150 tahun 1959 tertanggal 5 juli 1959 maka
UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali sebagai konstitusi republik indonesia.
46
Permusyawaratan Rakyat menyadari ketidaklengkapan Undang-Undang Dasar 1945
dalam mengatur hak asasi manusia. Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah
panitia-panitia ad hoc, yang dalam penyusunannya mengundang para sarjana,
cendikiawan dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang HAM.
Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dihimpun panitia menyusun suatu piagam
tentang Hak-hak Asasi dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara.
Dengan keputusan pimpinan majelis MPRS tanggal no. 24/B/1967 hasil
kerja panitia ad hoc IV dan, III, dan II diterima dengan baik sebagai bahan pokok
untuk disebarluaskan guna penyempurnaan lebih lanjut. Pada tanggal 12 maret
1967 diputuskan bahwa panitia ad hoc II, III, dan IV diubah menjadi pania ad hoc
B, dan masa kerjanya diperpanjang selama 6 bulan sejak keluarnya keputusan
MPRS no. 7/MPRS/1967.
Setelah ada tanggapan dari masyarakat, maka panitia ad hoc B
mengadakan penyempurnaan terhadap piagam tersebut. Sayangnya, hasil karya
panitia Ad Hoc B tersebut tidak menjadi kenyataan, karena pada sidang Umum
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke V tahun1968, anggota-anggota
MPRS tidak berhasil mencapai kata sepakat untuk mengesahkannya menjadi suatu
ketetapan. Bahkan, setelah terbentuknya MPR hasil pemilihan umum tahun 1971,
dengan ketetapan No. V/MPR/1973, MPR menyatakan ketetapan MPRS dengan
No.XIV/MPRS/1966 tidak berlaku lagi dan dicabut. Dengan demikian, piagam
Hak Asasi Manusia yang pernah dihasilkan oleh MPRS itu hanya tinggal sejarah
saja.69
69 Lihat himpunan ketetapan MPRS dan MPR tahun 1960-2002, Setjen MPR-RI, Jakarta
2002
47
Setelah masa reformasi, perubahan UUD 1945 adalah dianggap sebagai
sesuatu yang niscaya. Bahkan, perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan puncak
dari aspirasi dari gerakan reformasi itu sendiri. Materi yang semula hanya tujuh butir
sekaranbertambah dengan signifikan, perumusannya menjadi lebih lengkap dan
menjadikan UUD NRI 1945 merupakan salah satu UUD yang paling lengkap memuat
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya perubahan satu
sampai ke empat UUD NRI 1945 pada tahun 2002, yang dimuat dalam BAB XA
tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28A sampai dengan 28 J.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap
hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah
satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di
samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki
kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi.
Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan
kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan,
untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang
disandang oleh setiap manusia, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan
oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia
berada harus di jamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang
dimanapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain
sebagaimana mestinya.
C. Hak Politik Sebagai Bagian dari HAM
Dalam Undang- Undang Nomor 39 1999 tentang Hak Asasi Manusia
“Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya,
secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas”. Demikian
48
bunyi Pasal 21 ayat (1) Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia. Ketentuan ini
semakian diperkuat dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa, Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.70
Sejak lahirnya NKRI tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan UUD 1945,
yang memuat beberapa ketentuanketentuan tentang penghormatan HAM warga
negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau
penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga Negara (citizen‟s rights) atau hak-
hak constitusional warga Negara (the citizen‟s constitusional rights) dapat
terlaksana. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak
dasar (basic right) setiap individu atau warganegara yang harus dijamin
pemenuhannya oleh Negara. Hak Politik warga Negara mencakup hak untuk
memilih dan dipilih, penjamin hak dipilih secara tersurat dalam UUD NRI Tahun
1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat
(3);. Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1);
Pasal 6A (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD NRI Tahun 1945.
Perumusan pada Pasal-Pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya
diskirminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama dan implementasinya hak dan kewajiban pun harus
bersama- sama.71
Ketentuan UUD NRI Tahun 1945 di atas mengarahkan bahwa negara
harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya
70
Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 71
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
49
berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan
dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum di Indonesia.
Makna dari ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum
perundan-gundangan yang mengatur tentang Pemilihan Umum khususnya
mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang
seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya
dalam Pemilihan Umum.
Sebab Ketentuan UUD NRI Tahun 1945 di atas mengarahkan bahwa
negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya,
khususnya berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi
berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum di
Indonesia. Makna dari ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk
produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan Umum
khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang
yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilihan Umum, sebab pembatasan hak pilih warga negara
merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. pembatasan hak
pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.
International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966)
berkaitan dengan hak pilih warga negara menegaskan dalam Pasal 25 yang
menyebutkan bahwa: “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk tanpa pembedaan apapun seperti yang disebutkan dalam Pasal 2
ICCPR dan tanpa pembatasan yang tidak wajar baik untuk berpartisipasi dalam
50
menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-
wakil yang dipilih secara bebas.
Selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas
dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran
suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan
kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di
negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan. Ketentuan di atas
ditujukan untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi. Pembatasan,
penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi warga negara.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
secara nyata memberikan pengakuan terhadap Hak-hak warga negara yaitu: (a)
Hak untuk hidup; (b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; (c) Hak
mengembangkan diri; (d) Hak memperoleh keadilan; (e) Hak atas kebebasan
pribadi; (f) Hak atas rasa aman; (g) Hak atas kesejahteraan; (h) Hak turut serta
dalam pemerintahan; (i) Hak wanita; dan (j) Hak anak. Pada point (h) secara nyata
Negara memberikan pengakuan kepada setiap warga Negara untuk ikut serta
dalam pemerintahan baik dalam hal hak memilih dan dipilih.72
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk
memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut menurut ketentuan
Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan
72
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
51
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kedua ketentuan Pasal di atas jelas
menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara
Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilih dan dipilih.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,
dinyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, jelas
menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, dimungkinkan
adanya pembatasan. pembatasan yang demikian ini mengacu pada ketentuan
Pasal tersebut harus diatur dalam undang-undang, artinya tanpa adanya
pengaturan tentang pembatasan tersebut berdasarkan undang-undang maka tidak
dimungkinkan dilakukan adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan
kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara Indonesia. Kerangka
hukum yang demikian ini perlu untuk dipahami secara bersama dalam rangka
memaknai “hak” yang telah diakui dan diatur secara hukum di Indonesia.
Kondisi demikian tersebut di atas, apabila mengacu pada ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menunjukkan adanya bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih
dan dipilih yang melekat pada warga negara Indonesia. Adanya ruang untuk
melakukan pembatasan terhadap hak yang melekat pada setiap orang dan warga
52
negara Indonesia sebagimana dikemukakan di atas, melahirkan pengaturan bahwa
hak memilih dan dipilih tersebut dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua
warga negara Indonesia. Artinya, hak memilih tersebut diberikan pembatasan-
pembatasan sehingga warga Negara yang diberikan jaminan untuk memiliki hak
memilih dan dipilih tersebut benar-benar merupakan warga negara yang telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.73
73 https://raezaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-
sebagai-saranapelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu/ diakses pada tanggal 17 Mei
2016 pukul 21.05 WIB
53
BAB IV
SANKSI PENCABUTAN HAK POLITIK
(KAJIAN HUKUM ISLAM DAN HAM TERHADAP PUTUSAN MA)
A. Deskripsi Kasus Putusan MA No.1195 K/Pid.Sus/2014
Dalam putusan No. 1195K/Pid/.Sus/2014, tentang tindak pidana korupsi
dan tindak pidana pencucian uang, penulis mengambil data perkara dari
pengadialan Mahkamah Agung yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi
dan tindak pidana pencucian uang. Dalam kasus ini sebelumnya telah di putuskan
pada pengadilan Negeri Putusan Nomor: 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST
yang diputuskan pada tanggal 5 Desember 2013. Putusan Pengadilan Tinggi untuk
terpidana LHI tercantum dalam Putusan Nomor : 14/PID/ TPK/2014/PT.DKI
yang diputus pada tanggal 15 April 2013, dalam kasus ini Luthfi Hasan Ishaaq
selaku pegawai negeri atau pepenyelengara negara yaitu sebagai Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2009-2014.
Bahwa pada tanggal 05 Oktober 2012 bertempat di Hotel Grand Hyatt
Jakarta Pusat, Elda Devianne Adiningrat melakukan pertemuan dengan Maria
Elizabeth Liman selaku Direktur Utama PT Indoguna Utama dalam rangka
membahas upaya penambahan kuota impor daging sapi untuk PT Indoguna
Utama, dalam pertemuan tersebut Elda Devianne Adiningrat menyatakan akan
memperkenalkan Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah yang
merupakan orang kepercayaan Terdakwa yang dapat membantu PT. Indoguna
Utama.74
74
Mahkamah Agung , P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h. 03
54
Selanjutnya pada bulan November 2012 bertempat di Restoran Angus
Steak House Senayan City Jakarta Selatan, Elda Devianne Adiningrat
mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah, dalam
pertemuan tersebut Maria Elizabeth Liman menyampaikan permintaan bantuan
terkait penambahan kuota impor daging sapi untuk PT. Indoguna Utama pada
Semester II Tahun 2012 dan menyatakan akan memberikan dukungan kepada
PKS serta meminta dikenalkan dengan Terdakwa, permintaan tersebut disanggupi
Ahmad Fathanah dan mengarahkan Maria Elizabeth Liman untuk membuat surat
permohonan yang ditujukan kepada Menteri Pertanian, yang mana proses
selanjutnya akan dipantau oleh Ahmad Fathanah.
Dalam rangka menindaklanjuti arahan Ahmad Fathanah tersebut, pada
tanggal 08 November 2012 PT. Indoguna Utama mengajukan surat permohonan
penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 500 (lima ratus) ton untuk
semester II tahun 2012 kepada Menteri Pertanian, namun surat permohonan
tersebut ditolak oleh Kementerian Pertanian dengan alasan sudah tidak ada kuota
dan batas waktu pengajuan sudah berakhir, selain itu permohonan tersebut tidak
sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian RI (Permentan RI) Nomor :
50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan
Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia.75
Atas penolakan dari Kementrian Pertanian tersebut, Ahmad Fathanah
meminta Elda Devianne Adiningrat menyampaikan kepada Maria Elizabeth
Liman agar mengajukan kembali permohonan penambahan kuota impor daging
75 Mahkamah Agung , P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h. 05
55
sapi kepada Menteri Pertanian, sehingga pada tanggal 27 November 2012 PT
Indoguna Utama dengan mengikut-sertakan 3 (tiga) anak perusahaan lainnya yaitu
PT Sinar Terang Utama, CV Cahaya Karya Indah dan CV Surya Cemerlang
Abadi mengajukan 4 (empat) surat permohonan penambahan kuota daging
sebanyak 5.150 (lima ribu seratus lima puluh) ton untuk Semester II Tahun 2012
kepada Menteri Pertanian, akan tetapi Kementerian Pertanian tetap menolak
permohonan tersebut dengan alasan yang sama sebagaimana alasan penolakan
sebelumnya.
Setelah mengetahui penolakan Kementrian Pertanian tersebut, pada
tanggal 30 November 2012 bertempat di Restoran Angus Steak House di Chase
Plaza Jakarta Selatan AHMAD FATHANAH melakukan pertemuan dengan
Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat membicarakan rencana
pengajuan kembali permohonan penambahan kuota impor daging sapi sebanyak
8.000 (delapan ribu) ton untuk tahun 2013;
Untuk menindak-lanjuti rencana tersebut, pada tanggal 18 Desember 2012
Maria Elizabeth Liman memerintahkan Juard Effendi, selaku Direktur General
Affair and HRD PT. Indoguna Utama sekaligus Ketua Asosiasi Pengusaha
Importir Daging Indonesia (ASPIDI) untuk mengajukan 5 (lima) surat
permohonan penambahan kuota daging sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton untuk
tahun 2013 kepada Menteri Pertanian atas PT Indoguna Utama dan 4 (empat)
anak perusahaan lainnya yaitu PT. Sinar Terang Utama, PT. Nuansa Guna Utama,
CV. Cahaya Karya Indah dan CV. Surya Cemerlang Abadi, kemudian Maria
Elizabeth Liman meminta Juard Effendi membuat surat atas nama ASPIDI yang
ditujukan kepada Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, padahal saat itu
56
belum ada Surat Keputusan Menko Perekonomian mengenai penetapan
penambahan kuota impor daging sapi;
Dalam rangka meloloskan pengajuan surat permohonan penambahan kuota
impor daging sapi tersebut, pada tanggal 28 Desember 2012 Ahmad Fathanah
mempertemukan Terdakwa dengan Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne
Adiningrat di Restoran Angus Steak House Chase Plaza Jakarta Selatan, dalam
pertemuan tersebut Maria Elizabeth Liman meminta Terdakwa untuk membantu
pengurusan penerbitan rekomendasi dari Kementerian Pertanian atas permohonan
penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton yang
diajukan oleh PT Indoguna Utama beserta 4 (empat) anak perusahaannya,
permintaan tersebut disanggupi Terdakwa dengan mengarahkan Maria Elizabeth
Liman agar menyiapkan data sebagai bahan diskusi dengan Suswono serta
menjanjikan akan mempertemukan Maria Elizabeth Liman
dengan Suswono.76
Setelah pertemuan tanggal 28 Desember 2012 tersebut, Ahmad Fathanah
melalui telepon berpesan kepada Elda Devianne Adiningrat agar memperingatkan
Maria Elizabeth Liman untuk tidak memberitahukan perihal pertemuan antara
Maria Elizabeth Liman dengan Terdakwa kepada pihak lain karena Terdakwa
tidak akan bersedia membantu apabila ada pihak lain mengetahui pertemuan
tersebut, kemudian Ahmad Fathanah meminta Maria Elizabeth Liman agar
menunjukkan komitmennya dalam membantu dana kepada Terdakwa;
Pada tanggal 30 Desember 2012 bertempat di Private Room Lantai IV
Restoran Angus Steak House Senayan City Jakarta Selatan, Ahmad Fathanah
76 Mahkamah Agung , P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h. 07
57
kembali melakukan pertemuan dengan Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne
Adiningrat, dalam pertemuan tersebut Ahmad Fathanah menyampaikan bahwa
Maria Elizabeth Liman akan dibantu dalam pengurusan penambahan kuota impor
daging sapi dan Menteri Pertanian akan mempelajari terlebih dahulu situasi dan
kondisinya sebagaimana hasil pertemuan di Lembang, sehingga dengan
penyampaian Ahmad Fathanah tersebut Maria Elizabeth Liman menegaskan
komitmennya untuk memberi bantuan dukungan dana kepada PKS.;77
Pada tanggal 08 Januari 2013 pukul 15.16 Wib, Ahmad Fathanah
menelepon Ahmad Zaky selaku Sekretaris pribadi Terdakwa untuk
memberitahukan informasi dari Elda Devianne Adiningrat bahwa PT Indoguna
Utama sudah memasukkan permohonan penambahan kuota impor daging sapi ke
Kementerian Pertanian sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton, apabila Menteri
Pertanian menerbitkan surat rekomendasi atas permohonan tersebut maka Maria
Elizabeth Liman akan memberikan komisi/fee sebesar Rp5.000,00 (lima ribu
rupiah) perkilogram atau seluruhnya sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh
miliar rupiah), kemudian Ahmad Fathanah meminta Ahmad Zaky agar segera
menyampaikan informasi tersebut kepada Terdakwa.
Pada tanggal 09 Januari 2013 pukul 12.32 Wib, Ahmad Fathanah
menelepon Terdakwa untuk menanyakan rencana Terdakwa yang akan
mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan Suswono, kemudian Ahmad
Fathanah menginformasikan bahwa Maria Elizabeth Liman telah memasukkan
permohonan penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 8.000 (delapan ribu)
ton dan akan memberikan komisi/fee sebesar sebesar Rp5.000,00 (lima ribu
77 Mahkamah Agung , P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h. 07
58
rupiah) perkilogram atau seluruhnya sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh
miliar rupiah), atas pertanyaan dan informasi dari Ahmad Fathanah tersebut
Terdakwa meminta Ahmad Fathanah agar memberitahu Maria Elizabeth Liman
untuk mempersiapkan data yang dapat meyakinkan Menteri bahwa data Badan
Pusat Statistik (BPS) tidak benar dan swasembada mengancam ketahanan daging
dalam Negeri, selanjutnya Terdakwa menyampaikan akan mengusahakan
penambahan kuota menjadi 10.000 (sepuluh ribu) ton agar komisi/fee yang
diperoleh menjadi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), dan
menjanjikan akan segera mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan
Suswono.
Menindaklanjuti percakapan telepon tersebut, Terdakwa kemudian
menyampaikan permintaan Maria Elizabeth Liman kepada Suswono, yang mana
Suswono menyatakan kesediaannya untuk bertemu Maria Elizabeth Liman dan
menyepakati pertemuan dilakukan pada tanggal 11 Januari 2013 di Medan,
kemudian Terdakwa mengajak Soewarso selaku orang kepercayaan Suswono
untuk mengikuti pertemuan di Medan agar dapat membantu Terdakwa
mewujudkan rencana pertemuan Suswono dengan Maria Elizabeth Liman,
selanjutnya Terdakwa memberitahukan Ahmad Fathanah tentang rencana
pertemuan di Medan tersebut dan meminta agar memberitahukannya kepada
Maria Elizabeth Liman.78
Pada tanggal 09 Januari 2013 Ahmad Fathanah menghubungi Elda
Devianne Adiningrat agar menyampaikan informasi tentang rencana pertemuan di
Medan kepada Maria Elizabeth Liman dan meminta disediakan tiket perjalanan,
78 Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h.
07
59
akomodasi penginapan serta bantuan dana untuk kepentingan Terdakwa,
selanjutnya Elda Devianne Adiningrat memberitahukan informasi dan permintaan
Ahmad Fathanah tersebut kepada Maria Elizabeth Liman, sehingga kemudian
Maria Elizabeth Liman menyiapkan tiket dan akomodasi serta memerintahkan
Arya Abdi Effendi selaku Direktur Operasional PT. Indoguna Utama untuk
mengeluarkan uang sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan
menyerahkannya kepada Ahmad Fathanah melalui Elda Devianne Adiningrat,
selanjutnya Elda Devianne Adiningrat memerintahkan staffnya yang bernama
Jerry Roger Kumontoy untuk mengambil uang di Kantor PT Indoguna Utama dan
memberitahu Ahmad Fathanah bahwa uang sudah diterima, akan tetapi Ahmad
Fathanah meminta agar uang tersebut disimpan dan jangan digunakan karena
diperuntukkan kepada Terdakwa.
Terdakwa bersama Ahmad Fathanah, Soewarso, Maria Elizabeth Liman
dan Elda Devianne Adiningrat, pada tanggal 10 Januari 2013 berangkat ke Medan
dengan menggunakan pesawat yang sama dan sesampainya di Medan Terdakwa
langsung melakukan kegiatan temu tokoh sedangkan Ahmad Fathanah, Soewarso,
Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat menuju penginapan di
Hotel Aryaduta Medan, selanjutnya Maria Elizabeth Liman menyerahkan data
yang telah disiapkan PT Indoguna Utama kepada Soewarso di Restoran Hotel
Aryaduta Medan dengan permintaan agar disampaikan kepada Suswono.
Bahwa data yang diserahkan Maria Elizabeth Liman tersebut dibawa oleh
Soewarso ke Hotel Santika tempat ia dan Suswono menginap, kemudian pada
malam itu juga Soewarso menyerahkan data tersebut kepada Suswono,
selanjutnya Suswono memerintahkan Soewarso menghubungi Maria Elizabeth
60
Liman agar menemui Suswono di Hotel Santika Medan pada tanggal 11 Januari
2013 sekitar pukul 06.00 Wib,79
namun atas permintaan Terdakwa pertemuan
tersebut dilaksanakan di tempat Terdakwa menginap yaitu di kamar 9006 Hotel
Aryaduta Medan;
Pada tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul 06.00 Wib bertempat di kamar
9006 Hotel Aryaduta Medan, Terdakwa bersama Maria Elizabeth Liman dan
Ahmad Fathanah melakukan pertemuan dengan Suswono yang didampingi oleh
Soewarso, dalam pertemuan tersebut Terdakwa memperkenalkan Maria Elizabeth
Liman kepada Suswono dan kemudian Maria Elizabeth Liman memaparkan data
tentang krisis daging sapi yang menyebabkan harga daging sapi menjadi tinggi
sehingga diperlukan penambahan kuota impor daging sapi tahun 2013 serta
menginformasikan adanya praktek jual-beli Surat Persetujuan Impor (SPI) daging
sapi oleh beberapa perusahaan, pemaparan Maria Elizabeth Liman tersebut
ditanggapi Suswono dengan menyatakan bahwa data tersebut tidak valid sehingga
Suswono meminta Maria Elizabeth Liman melakukan uji publik terlebih dahulu
untuk mendukung keabsahan data yang telah disampaikan, kemudian Suswono
juga meminta Maria Elizabeth Liman agar menyerahkan data perusahaan yang
telah melakukan praktek jual beli sapi.
Pada hari dan tanggal yang sama saat akan kembali ke Jakarta, bertempat
di Bandara Polonia Medan Maria Elizabeth Liman dihadapan Elda Devianne
Adiningrat menegaskan kembali komitmennya kepada Ahmad Fathanah bahwa ia
akan memberikan komisi fee sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) perkilogram
apabila permohonan penambahan kuota impor daging sapi tahun 2013 yang
79 Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h.
07
61
diajukan PT Indoguna Utama dan anak perusahaannya disetujui oleh Kementerian
Pertanian.
Dalam rangka menindaklanjuti hasil pertemuan di Medan, pada tanggal 11
Januari 2013 sekira pukul 19.00 Wib bertempat di Restoran Angus Steak House
Senayan City Jakarta Selatan, Maria Elizabeth Liman bersama Elda Devianne
Adiningrat, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi melakukan pertemuan dengan
Suharyono selaku Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan
Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian, dalam pertemuan tersebut Maria
Elizabeth Liman meminta Suharyono memberikan data Rekapitulasi Permohonan
dan Penerbitan (RPP) terkait perusahaan-perusahaan yang melakukan praktek jual
beli SPI, beberapa hari kemudian Suharyono menyerahkan data dimaksud kepada
Elda Devianne Adiningrat melalui Achdiat Basari, selanjutkan data tersebut
diserahkan kepada Terdakwa melalui Ahmad Fathanah berikut Surat Permohonan
dari PT Indoguna Utama dan beberapa anak perusahaannya tertanggal 18
Desember 2012 tentang Penambahan Kuota Impor Daging Sapi sebanyak 8.000
(delapan ribu) ton serta Surat Permohonan Tambahan sebanyak 2.000 (dua ribu)
ton sehingga seluruhnya menjadi 10.000 (sepuluh ribu) ton.
Pada tanggal 18 Januari 2013, Terdakwa memberitahu Ahmad Fathanah
bahwa data berikut Permohonan Penambahan Kuota Impor Daging Sapi dari PT.
Indoguna Utama tersebut telah diserahkan kepada Suswono dan Terdakwa akan
menemui Suswono pada hari Senin tanggal 21 Januari 2013 untuk membahasnya,
kemudian Terdakwa meminta Ahmad Fathanah menanyakan maksud tanda
lingkaran merah pada beberapa nomor perusahaan yang terdapat pada tabel data
yang diserahkan kepada Suswono, atas pertanyaan Terdakwa tersebut Ahmad
62
Fathanah menghubungi Elda Devianne Adiningrat untuk menanyakan maksud
tanda lingkaran dengan tinta merah pada nomor-nomor tertentu tersebut, setelah
itu Ahmad Fathanah menjelaskan kepada Terdakwa bahwa nomor yang dilingkari
dengan tinta merah adalah Importir sebaga sebagaimana penjelasan Elda
Devianne Adiningrat.
Sekira tanggal 20 Januari 2013 Terdakwa bersama Ahmad Fathanah dan
Elda Devianne Adiningrat melakukan pertemuan dengan Ridwan Hakim di Kuala
Lumpur untuk melanjutkan pembicaraan mengenai data dan permohonan
penambahan kuota impor daging sapi Maria Elizabeth Liman yang sudah
diserahkan kepada Suswono, dalam pertemuan tersebut juga dibicarakan masalah
kesalah-pahaman antara Maria Elizabeth Liman dengan Ridwan Hakim terkait
tunggakan pembayaran proyek-proyek sebelumnya.80
Pada tanggal 28 Januari 2013 sekitar pukul 20.00 Wib bertempat di
Restoran Angus Steak House Senayan City Jakarta Selatan Ahmad Fathanah
melakukan pertemuan dengan Maria Elizabeth Liman dan Arya Abdi Effendi,
dalam pertemuan tersebut Ahmad Fathanah meminta Maria Elizabeth Liman
mewujudkan komitmennya untuk kelancaran upaya pengurusan penambahan
kuota impor daging sapi yang sedang diusahakan oleh Terdakwa, permintaan
Ahmad Fathanah disanggupi oleh Maria Elizabeth Liman dengan memerintahkan
Arya Abdi Effendi untuk menyiapkan uang sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah), selanjutnya sekitar pukul 21.38 Wib Maria Elizabeth Liman
memberitahukan Ahmad Fathanah agar menemui Arya Abdi Effendi keesokan
harinya di PT Indoguna Utama untuk mengambil uang yang telah disiapkan, atas
80 Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, ha.
11
63
pemberitahuan tersebut Ahmad Fathanah menyampaikan ucapan terima kasih dan
menyatakan akan memberitahukan kabar gembira tersebut kepada Terdakwa.
Pada hari Selasa tanggal 29 Januari 2013 sekitar pukul 16.00 Wib, Ahmad
Fathanah dengan menggunakan mobil Toyota Land Cruiser Prado warna Hitam
Nomor Polisi B 1739 WFN menuju PT Indoguna Utama untuk menemui Juard
Effendy, Arya Abdi Effendi dan Rudy Susanto di ruang rapat kantor PT. Indoguna
Utama, beberapa saat kemudian Ahmad Fathanah keluar dari kantor PT. Indoguna
Utama diiringi Arya Abdi Effendi, Juard Effendi yang membawa plastik warna
hitam berisi uang Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan Rudy Susanto
yang membawa 2 (dua) kardus berisi uang sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) menuju mobil milik Ahmad Fathanah yang diparkir di halaman kantor
PT Indoguna Utama, kemudian Juard Effendi bersama Rudy Susanto meletakkan
bungkusan plastik dan kardus berisi uang yang seluruhnya berjumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) di dalam mobil Ahmadfathanah.
Selanjutnya Ahmad Fathanah menuju Hotel Le Meridien Jakarta dan
setibanya di hotel tersebut Ahmad Fathanah berpesan kepada sopirnya yang
bernama Sahrudin agar berhati-hati karena di dalam mobil ada daging milik
Terdakwa, lalu Ahmad Fathanah menelepon Terdakwa untuk dan menyampaikan
: “ada kabar yang sangat menguntungkan” yang dijawab oleh Terdakwa : “Iya..iya
nanti, ana lagi di atas panggung”, beberapa saat kemudian Ahmad Fathanah
ditangkap petugas KPK sedang bersama seorang wanita bernama Maharani
Suciyono dalam kamar nomor 1740 Hotel Le Meridien Jakarta dan kemudian
keduanya dibawa ke kantor KPK untuk diproses;
64
Setelah Terdakwa menerima telepon dari Ahmad Fathanah, pada hari dan
tanggal yang sama sekitar pukul 21.50 Wib, Terdakwa menelepon Achmad Rozi
dan berpesan agar memberitahu Elda Devianne Adiningrat untuk segera
memberikan update data tentang Kebutuhan Daging di lapangan untuk tahun 2013
kepada Soewarso supaya Suswono mempunyai argumentasi yang bisa dijadikan
landasan perlunya penambahan impor daging sapi sehingga dapat dieksekusi
dalam minggu-minggu ini, selanjutnya Achmad Rozi menyampaikan permintaan
Terdakwa tersebut kepada Elda Devianne Adiningrat melalui telepon.
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim MA
1. Pertimbangan Hakim MA
Alasan hakim MA mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
I/ Penuntut Umum karena perbuatan Terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Korupsi dan Pencucian Uang
yang dilakukan secara bersama-sama. Sedangkan alasan hakim menolak Kasasi
II/Terdakwa ditolak karena permohonan kasasi dari Terdakwa merupakan
pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pemeriksaan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Tingkat Banding. Alasan tersebut merupakan penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan dan alasan
semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi.
Pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
diterapkannya suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas
65
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Demi terwujudnya rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat pidana
denda dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 huruf b.1 KUHP maka pidana denda dan pidana tambahan
yang dijatuhkan terhadap Terdakwa yang terbukti melakukan gabungan beberapa
perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP harus
ditambah seperti disebutkan di bawah ini.
Bahwa judex facti kurang cukup dalam pertimbangan hukumnya
(onvoldoende gemotiveerd), yaitu kurang mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 197 ayat (1) f KUHAP.
Perbuatan Terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan
transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi untuk
mendapatkan imbalan/fee dari pengusaha daging sapi.
Mengenai pertimbangan hakim terhadap kasus ini adalah karena terdakwa
dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana Pencucian Uang yang
didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 5
ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
66
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-Undang RI Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP. Pasal 6 ayat (1) huruf b dan c Undang-Undang RI
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.81
Perbuatan Terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan
transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak khususnya masyarakat
pemilih yang telah memilih Terdakwa menjadi anggota DPR RI. Bahwa perbuatan
Terdakwa menjadi ironi demokrasi karena tidak melindungi dan tidak
mempergunakan nasib petani peternak sapi nasional.
Hubungan transaksional antara Terdakwa sebagai Anggota Badan
Kekuasaan Legislatif dengan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman
merupakan Korupsi politik, karena dilakukan Terdakwa yang berada dalam posisi
81
Putusan MA No. 1195 K/Pid.Sus/2014, h. 96
67
memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious
crime).
Terdakwa telah menerima janji pemberian uang Rp40.000.000.000,00
(empat puluh miliar rupiah) yang sebagian dari padanya yaitu sebesar
Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) telah diterima melalui
saksi Ahmad Fathanah, saksi Maria Elizabeth Liman tidak akan memberikan uang
tersebut tanpa keterlibatan Terdakwa untuk membantunya.
2. Putusan Hakim MA
Setelah mendengar dan mengamati memori Kasasi yang diajukan oleh dari
Pemohon Kasasi I/ Penuntut Umum majelis hakimpun menimbang dan
menyatakan terdakwa terbukti bersalah karena melakukan kejahatan sebagaimana
yang diatur dalam pasal-pasal yang di dakwaakan, maka hakim MA menjatuhkan
hukuman sebagai berikut:
Menyatakan Terdakwa LUTHFI HASAN ISHAAQ terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”KORUPSI
DAN PENCUCIAN UANG YANG DILAKUKAN SECARA
BERSAMA-SAMA”.
Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 18 (delapan belas) tahun dan denda sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
selama 6 (enam) bulan.
68
Menetapkan mencabut hak Terdakwa untuk dipilih dalam jabatan
publik; Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan
Menetapkan berupa alat bukti untuk dirampas untuk negara dan
dikembalikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.82
C. Pandangan Hukum Islam terhadap Putusan MA
Dalam hukum Islam seseorang yang melakukan perbuatan tindak pidana,
sanksi hukumannya harus dijatuhkan kepada si pelaku yang bersangkutan dan
tidak dapat dikaitkan atau ditanggung oleh siapapun baik itu keluarganya, saudara
atau kerabatnya sekalipun. Seperti apa yang ditegaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-
Baqarah ayat 286:
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang di
usahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa) : “ ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika
82 Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014, hal.
175
69
kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri maaflah kami;
ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami.
Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir” (Q.S. Al-Baqarah : 286)
Ayat diatas menegaskan bahwasanya hukuman pidana tidak dapat
dialihkan kepada orang lain ataupun kepada keluarga terdakwa, sanksi diberikan
hanya kepada si pelaku tindak pidana atau yang melakukan perbuatan melanggar
hukum.83
Dalam Islam, hukuman tindak pidana korupsi memang tidak diatur secara
harfiah, baik dalam Al-Qur‟an maupun Hadis. Namum, secara umum, hukuman
bagi tindak pidana korupsi adalah ta‟zir, yaitu hukuman yang setimpal dan
menjerakan menurut ijtihad hakim, dari yang terberat [hukuman mati] hingga
yang teringan [penjara] sesuai dengan berat dan ringannya tindakan dan dampak
korupsi yang dilakukan. Karena itulah, hukuman bagi pelaku korupsi yang ringan
adalah dengan diberikan teguran atau celaan, dimasukan kedalam daftar tercela,
dinasihati, dan dipecat dari jabatannya. Yang cukup berat adalah diberi hukuman
dera atau cambuk dan pengasingan satu tahun. Jumlah cambuknya minimal 39
kali dan maksimal 100 kali sesuai dengan kondisi (jumlah harta yang dikorup,
akibatnya, dan kondisi koruptor).84
Umar bin Khattab misalnya pernah
83
Ahmad Hanafi , Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet
Ke-IV, h. 87 84
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group 2013), h. 298
70
menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak 100 kali dan penjara satu tahun kepada
Mu‟iz bin Abdullah, karena telah melakukan tindak pidana pemalsuan stempel
kas negara (Bait al-mal) kemudian mengambil harta negara tersebut. Untuk
penjara, maksimalnya adalah dipenjara hingga mati.85
Hukum islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap
tindak pidana ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang
paling ringan sampai yang paling berat. Tindak pidana ta‟zir meliputi tindak
pidana hudud, qishas, diyah yang syubhat, atau tidak memenuhi syarat tetapi
sudah merupakan maksiat. Kemudian tindak pidana yang ditentukan oleh Al-
Qur‟an dan hadits, namun tidak ditentukan sanksinya. Selanjutnya tindak pidana
yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemaslahatan umat. Allah berfirman dalam
surat An-Nisa ayat 59 :
“Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an) dan
Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikaian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. An-Nisa : 59)
Jika kita melihat dari segi hukum pidana Islam, putusan pencabutan hak
politik yang dijatuhkan oleh Hakim MA terhadap terdakwa sesuai dengan sanksi
ta‟zir dalam pidana islam, seseorang yang melakukan jarimah korupsi dan suap
85
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi, Persepektif Ulama
Muhamadiyah, (Jakarta: PP Muhammadiyah dan Partnership 2006), h. 78-86
71
dapat dikenakan hukuman ta‟zir. karena masalah korupsi dan suap dalam hukum
islam belum ada pembahasan yang terinci dan tegas di dalam Al-Qur‟an dan Al-
Hadits, sehingga korupsi dan suap dimasuakan ke dalam jarimah Ta‟zir. Dalam
pelaksanaan hukuman ta‟zir hak mutlak diberikan kepada ulil amri atau hakim
dimaksudkan untuk memberi keleluasaan yang memberi kemungkinan
berbedanya hukuman keluwesan dalam menanggapi kemajuan budaya manusia,
sehingga dengan demikian hukum islam dapat responsip terhadap setiap
perubahan sosial.86
Karena sanksi hukuman ta‟zir dapat berubah sesuai dengan kepentingan
dan kemaslahatan. Hakim boleh mengancam lebih dari satu hukuman, ia boleh
memperingan atau memperberat hukuman, jika hukuman tersebut mempunyai dua
batasan terpenting, hukuman tersebut sudah cukup untuk mendidik, memperbaiki
dan mencegah pelaku tindak pidana tersebut. Karena ta‟zir menurut bahasa berarti
larangan, pencegahan, menegur, dan memukul.87
Secara syar‟i ta‟zir adalah
hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya) yang wajib dilaksanakan
terhadap maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu
menyangkut hak Allah maupun hak pribadi.
D. Analisa Pencabutan Hak Politik dalam Putusan MA dari Perspektif
HAM
Kewenangan penerapan pidana dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ada
di tangan hakim. Dalam menerapkannya hakim harus mempertimbangkan
berbagai hal yang tidak hanya secara yuridis normatif tetapi juga secara
86
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. II, h. 167. 87
Abdul Aziz Dahlan, et. Al, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000), h. 1771, cet. 4.
72
sosiologis, serta berfokus tidak hanya terhadap pelaku tetapi juga korban,
masyarakat, bangsa, dan negara. Hakim harus pula memperhatikan straf soort,
straaf maart, dan straf modus (jenis, kuantitas, dan cara penjatuhan pidana).
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/ Pid.Sus/2014 penjatuhan
pidana tambahan berupa penerapan pidana pencabutan hak dipilih dalam jabatan
publik terhadap terdakwa pelaku korupsi yaitu LHI tidak ada pembatasan sampai
kapan pidana tambahan tersebut dijatuhkan. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 38
KUHP, yang mengatur pembatasan terhadap penjatuhan pidana pencabutan hak
tertentu. Mengenai lamanya pencabutan hak terdapat dalam Pasal 38 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Bila dijatuhkan hukuman pencabutan hak, maka hakim menentukan lamanya
sebagai berikut:
a. Jika dijatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup buat selama
hidup.
b. Jika dijatuhkan hukuman penjara sementara atau kurungan buat selama
lamanya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun.
c. Dalam hal denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan
selama-lamanya lima tahun.
2) Hukuman itu mulai berlaku pada hari keputusan Hakim dapat dijalankan.
Penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik yaitu hak untuk dipilih
dan memilih dalam jabatan publik kepada pelaku korupsi menjadi relevan jika ada
pembatasan waktu penjatuhannya. Di samping itu pada faktanya korupsi yang
dilakukan oleh terpidana LHI memiliki akses dengan kekuasaan politik. Terpidana
menjabat sebagai presiden salah satu partai politik di Indonesia. Sebagai seorang
presiden suatu partai politik memiliki kekuasaan untuk menentukan arah
kebijakan partainya. Dalam kasus tersebut terpidana terbukti melakukan hubungan
73
transaksional dengan pengusaha sapi untuk kepentingan pribadi. Atas nama
presiden partai politik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat hubungan
transaksional tersebut dapat lebih mudah dilaksanakan dengan kompensasi
kebijakan partai di tingkat legislasi. Tindakan ini mencederai kepercayaaan
konstituennya dan menjadi ironi demokrasi karena sebagai wakil rakyat terpidana
memiliki kewajiban untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan peternak
sapi sebagai kanstituennya, namun hal tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan
perbuatannya justru merugikan para peternak sapi yang pada hakikatnya adalah
konstituennya. Perbuatan pimpinan partai melakukan korupsi ini merupakan
korupsi politik.
Mendasarkan pada profesionalitas hakim, seharusnya tidak adanya
pembatasan penerapan pidana politik terhadap pelaku korupsi tidak boleh terjadi.
Hakim harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Berperilaku adil, jujur,
arif, dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi harus diterapkan dalam
menjatuhkan pidana pencabutan hak politik terhadap terpidana.
Hakim harus juga memperhatikan ketentuan yang ada dalam Pasal 38
KUHP yang telah mengatur ketentuan masa penerapan pidana pencabutan hak
tertentu. Secara sosiologis, hakim harus mempertimbangkan kepentingan pribadi
terpidana apalagi berkaitan HAM. Akibatnya putusan ini berpotensi melanggar
HAM terpidana jika tidak ada pembatasan penerapan pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik terpidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP.
Mengenai penjatuhan pidana pencabutan hak politik terhadap terpidana, tidak
berpotensi melanggar HAM karena HAM (khususnya hak politik) dapat dibatasi
74
sepanjang tindak pidana yang dilakukan mengganggu kepentingan umum dan
negara, serta dalam rangka menjamin terlaksananya HAM orang lain.
Menurut Hotma Sibuea melalui komunikasi personal dengan Warih Anjari
pada tanggal 5 Februari 2015 bahwa dalam perspektif hukum tata negara
penerapan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih (hak
politik) sepanjang tidak bersifat permanen tidak melanggar HAM. Apalagi
dijatuhkan terhadap terpidana korupsi yang sangat merugikan masyarakat. HAM
berbeda dengan hak politik. HAM adalah hak seluruh umat manusia, sedangkan
hak politik adalah hak dalam kedudukan warga negara dari suatu negara tertentu.
Hak tersebut berupa hak untuk memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan
publik. Hak politik dapat dibatasi dengan pencabutan yang bersifat temporer.
Pencabutan hak ini berupa pembatasan untuk waktu tertentu terhadap kebebasan
dalam konteks aktivitas politik terpidana.88
Dalam vonis Luthfi Hasan Ishaaq ini adalah majelis hakim tidak
mencantumkan berapa lama dipilih dalam jabatan publik tersebut dicabut, ini
berarti hak dipilih dalam jabatan publik dicabut selamanya yang seharusnya
mendapatkan batasan seperti yang diatur dalam Pasal 38 KUHP, dan UU HAM
yang hanya mengenal pembatasan.
Jadi bukan dicabut seutuhnya, dihilangkan atau ditiadakan, melainkan
hanya mengurangi atau membatasinya. Akibatnya terjadilah pelanggaran HAM
dalam vonis pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik tersebut.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 73:
“Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi
88
Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik dalam Persepektif Hak Asasi, dalam Jurnal
Yudisial “ Dialektika Hukum Negara dan Agama” Vol. 8 No. 1 April 2015, h. 40
75
oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.” Yang menjadi fokus
dalam pasal ini adalah pembatasan berdasarkan undang-undang, semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa. Selanjutnya dalam Pasal 74, “Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-
undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan, atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi
manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.89
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D Angka
(3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.”90
Dengan jaminan hak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan, maka menurut penyusun vonis penjatuhan pidana tambahan
pencabutan hak dipilih dalam dalam jabatan publik pada kasus Luthfi Hasan
Ishaaq bertentangan dengan konstitusi yang mengatur mengenai jaminan hak asasi
manusia yang diatur dalam Pasal 28D angka (3) UUD 1945 seperti yang telah
diuraikan di atas.
Dalam Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 43:
1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
89 Lihat Pasal 73 dan Pasal 74 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Korupsi. 90
Lihat Pasal 28D Angka (3) UUD RI Tahun 1945
76
2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Selain dalam UUD 1945 dan UU HAM, Undang-undang Nomor 12 Tahun
2005 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik juga menjamin hak
memilih dan dipilih dalam jabatan publik warga negara dalam Pasal 25:46 Setiap
warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak
layak, untuk:
1) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara
langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
2) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan
dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan
suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para
pemilih;
3) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar
persamaan dalam arti umum.
Dengan berdasarkan pasal tersebut menurut peneliti, pencabutan hak
politik yang diterapkan pada Luthfi Hasan Ishaaq yang tidak mencantumkan
berapa lama hak tersebut dicabut tidak dapat dibenarkan. Karena telah mencabut
salah satu bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam UU HAM, meskipun
pencabutan tersebut melalui vonis hakim.
Seharusnya dalam vonis penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak
dipilih dalam jabatan publik jangan sampai mengurangi atau merampas harkat dan
martabat seseorang sebagai manusia seperti yang termuat dalam dalam TAP MPR
77
NO. XVII Tahun 1998 Tentang HAM yang berbunyi Setiap manusia diakui dan
dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin,
warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa
serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya
harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri
dan peranannya secara utuh.”91
Mengingat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terpidana LHI
berdampak meluas pada perekonomian negara, dan merupakan penyelenggara
negara maka sepantasnya penegakan yang extra diterapkan pada terpidana
tersebut. Penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan langkah
penegakan yang bersifat extra ordinary enforcement. Namun penegakan yang
bersifat extra tersebut tetap harus mengedepankan HAM, karena pidana tambahan
yang dijatuhkan merupakan bagian dari HAM yang tetap dijunjung tinggi
91 Lihat Bagian Pemahaman Hak Asasi Manusia Bagi Bangsa Indonesia pada TAP MPR
NOMOR XVII /MPR/1998 Tentang HAM.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan skripsi diatas, yang berkaitan dengan
perspektif hukum Islam dan HAM tentang pencabutan hak politik koruptor
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1195K/Pid.Sus/2014), maka penulis
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pandangan hukum Islam terhadap pencabutan hak politik koruptor, bahwa
dalam menemukan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam
hukum Islam terdapat pada fiqih jinayah, yaitu ta‟zir yang berarti hukuman
terhadap pelaku yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sanksinya di dalam
nash. Hukuman ini dijatuhkan untuk memberikan pelajaran terhadap
terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi
jenis hukumannya disebut denganUqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan).
Pencabutan hak politik adalah salah satu bentuk hukuman yang baru di Indonesia
dan dalam hukum pidana islam jenis sanksi ini masuk kedalam jarimah ta‟zir.
2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Luthfi Hasan
Ishaaq, karena Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak
pidana Pencucian Uang yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) a, b, c, Pasal 6
Ayat (1) a, b, c Undang-Undang No.15 Tahun 2002 juncto Undang-Undang
No.25 Tahun 2003, Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 2010.
dan demi terwujudnya rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat pidana
denda dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 huruf b.1e KUHP maka pidana denda dan pidana
tambahan yang dijatuhkan terhadap Terdakwa yang terbukti melakukan
79
gabungan beberapa perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 ayat
(1) KUHP harus ditambah seperti disebutkan di bawah ini.
Bahwa judex facti kurang cukup dalam pertimbangan hukumnya
(onvoldoende gemotiveerd), yaitu kurang mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 197 ayat (1) f KUHAP.
Perbuatan Terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan
transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi untuk
mendapatkan imbalan/fee dari pengusaha daging sapi.
Perbuatan Terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan
transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak khususnya
masyarakat pemilih yang telah memilih Terdakwa menjadi anggota DPR RI.
Bahwa perbuatan Terdakwa menjadi ironi demokrasi karena tidak melindungi
dan tidak mempergunakan nasib petani peternak sapi nasional.
Bahwa hubungan transaksional antara Terdakwa sebagai Anggota Badan
Kekuasaan Legislatif dengan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman
merupakan Korupsi politik, karena dilakukan Terdakwa yang berada dalam
posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang
serius (serious crime).
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014. Tim majelis hukum
selain menjatuhkan pidana penjara dan denda terhadap Luthfi Hasan Ishaaq,
majelis hakim juga mencabut hak politiknya. Dari putusan MA tersebut maka
jika ditinjau dari hukum Islam, hukuman yang dijatuhkan sudah sesuai,
karena sanksi bagi pelaku korupsi dalam Islam adalah ta‟zir. Sedangkan
dalam pandangan HAM terhadap putusan tersebut bahwa sanksi pencabutan
80
hak politik yang dijatuhkan kepada terdakwa melanggar Hak Asasi Manusia,
karena ada syarat-syarat yang diatur undang-undang tidak dijalankan
sepenuhnya oleh hakim.
B. Saran-Saran
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/ Pid.Sus/2014 berupa penerapan
pidana pencabutan hak politik terhadap terdakwa pelaku korupsi tidak ada
pembatasan sampai kapan pidana tambahan tersebut dijatuhkan. Hal ini
melanggar ketentuan Pasal 38 KUHP, yang mengatur pembatasan terhadap
penjatuhan pidana pencabutan hak tertentu.
Saran dari penulis jaksa penuntut umum dalam menuntut dan hakim dalam
menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi, jangan sampai hanya
menitikberatkan pada pembalasan bagi perbuatan terpidana agar terpidan jera, dan
juga untuk mematuhi tuntutan rasa keadilan bagi masyarakat dengan megabaikan
rasa keadilan bagi terpidana.
Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu
harus mencantumkan berapa lama hak tersebut dicabut, sebagimana yang diatur
dalam pasal 38 KUHP. Sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM dalam vonis
yang dijatuhkan. Karena dalam HAM hanya dikenal pembatasan hak warga
negara secara utuh.
81
DAFTAR PUSTAKA
A. M. Saefuddin. Ijtihad Folitik Cendikiawan Muslim. Jakarta: Gema Insani
Press. 1996.
Ahmad Kosasih. HAM dalam Persfektif Islam. Jakarta: Salemba Diniyah. 2003
Al Faruq Asadulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 2009.
Alfitra. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses Swadaya Group. 2012.
______. Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP(Korupsi, Money
Loundring, & Trafficking). Jakarta: Raih Asa Sukses Penebar Swadaya Group.
2014.
Ali Zainudin. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
2006.
Ashiddiqie Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. 1997.
_________. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi. 2005.
_________. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press. 2005.
Audi Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy, Canbridge : Canbridge
University Press. 1995.
B. N. Marbun. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996.
82
Budiardjo Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia. 1998.
Djazuli A. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam). Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1997.
Elmuhtaj Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. Jakrta :
Kencana. 2005.
Fahmi Muhamad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Hakim Rahmad. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung: CV Pustaka
Setia. 2000.
Hamzah Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta: PT Pradnya Paramita. 1986.
_________. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2005.
_________. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.
Hanafi Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2005.
Ibnu Syarif Mujar. Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas
Islam. Bandung: angkasa. 2003.
Jurnal Aji Lukman Ibrahim. Analisis Yuridis Terhadap Penjatuhan Pidana
Tambahan. 2014.
Jurnal Yudisial. Dialektika Hukum Negara dan Agama. Komisi Yudisial Republik
Indonesia. 2015.
Kanter & Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Storia Grafika. 2002.
83
Karta Negara Satochid.t.th. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1, Jakarta: Balai
Rektur Mahasiswa.
Lamintang P.A.F. Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung : Armico. 1984.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 1195 K/Pid.Sus/2014.
Marpaung Laden. Asas-Asas-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
2005.
Metrokusumo Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
1999.
Muhammad Ardison. KPK Serangan Balik Pemberantasan Korupsi. Surabaya:
Penerbit Liris. 2009.
Nurul Irfan. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2011.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Group. .
2008.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola. 1994.
Prasetyo Teguh. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.
2010.
Prodjodikoro Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco.
1989.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.
Remmelink Jan. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2003.
84
Ridho Putra Gugum. Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Depok, 2012.
Rois Abdul, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak-Hak Politik Dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta 2008.
Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah 10. Bandung: Alma‟rif. 1987.
Saleh Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit
Gadjah Mada. 1960.
Seno Adji Indriyanto. Korupsi Dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit Media.
2009.
Soedarto. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni. 1986.
Soemodihardjo Dyatmiko. Mencegah dan Memberantas Korupsi (Mencermati
Dinamikanya di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2008.
Thalib Hambali. Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, cet.II, Jakarta:
Kencana. 2009.
Ubaedilah .A dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani,Cet.6. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2010.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
1999.
85
UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
W. Nickel James. Hak Asasi Manusia [Making Sense of Human Rights,
Philosophical Reflection on The Universal Declaration of Human Rights]
diterjemahkan oleh Titis Eddy Arini, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
1996.
Waluyo Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Wardhi Muslich Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
Zaidan Abdul Karim. Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam. Jakarta:
Yayasan Al-Amin. 1984.
Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/pidana-pokok-dan-tambahan
http://www.negarahukum.com/hukum/pencabutanhakpolitik.htm
www.nasional.kompas.com/ read/2014/09/19/13543051/