Post on 24-Dec-2015
description
RESPONSI
ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
“KETUBAN PECAH PREMATUR”
I. IDENTITAS
Nama : Ny. DR
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : TNI-AL
Agama : Islam
Alamat : Perum Pesona Sekar Gading, Sekardangan - Sidoarji
Tgl MRS : 17 Juli 2013 pukul 05.30 WIB.
TGL pemeriksaan : 17 Juli 2013 (08.00 WIB)
II. ANAMNESSA
II. A. Keluhan Utama :
Keluar cairan jernih dari kemaluan
II. B. Keluhan Tambahan :
Kenceng-kenceng
II. C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke diantar keluarganya dengan keluhan keluar
cairan jernih dari kemaluan, tidak berbau dan tidak ada partikel-partikel
didalamnya. Dirasa sejak tadi malam pukul 00.00 WIB, cairan tersebut
keluar cukup banyak saat dirumah. Lendir (-), darah (-), gerak aktif
janin (+), mual (-), muntah (-), riwayat trauma (+).
Sebelumnya pasien mengatakan pernah patah tulang panggul 3
tahun lalu dan pasien kontrol ke poli orthopedi RSAL dan tidak ada
kontra indikasi untuk melahirkan pervaginam.
1
II. D. Riwayat Penyakit Dahulu :
HT (-)
DM (-)
Asma (-)
Alergi (-)
Fraktur pelvis Sinistra (2010) tidak dioperasi
II. E. Riwayat Penyakit Keluarga :
HT (-)
DM (-)
Asma (-)
Alergi (-)
II. F. Riwayat Haid :
- HPHT : 14 – 10 – 2012
- TP : 21 – 07 – 2013
- Menarche : 13 Tahun
- Siklus : 28 hari, teratur
- Lama : 7 hari
- Disminore : (+)
II. G. Riwayat Pernikahan :
- Suami : I
- Menikah : 2 Tahun
II. H. Riwayat Perssalinan :
- I : Hamil ini.
II. I. Riwayat Ante Natal Care :
- Non-RSAL : 8x di dokter Sp.OG
- RSAL : 3x
II. J. Riwayat KB : (-)
2
III. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum : Cukup baik
- Tinggi Badan : 158 Cm
- Berat Badan : 53 Kg sebelum hamil / 60 Kg Hamil
b. Vital Sign :
- Kesadaran / GCS : Compos mentis / 4-5-6
- Tensi : 110/70 mmHg
- Nadi : 80 x/menit reguler
- temp : 36,3 C axiller
- RR : 20x/ menit
c. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala : A/I/C/D = - / - / - / -
2. Leher : Pembesaran KGB (-), Struma gravidarum (-)
3. Dada : - Cor : S1S2 tunggal G(-), M(-)
- Pulmo : Vesikuler/Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
4. Abdomen : Cembung, simetris
Striae Gravidarum (+)
5. Ekstremitas : - Akral Hangat :
- Edema :
6. Columna vert : dbn
c. Status Obstetri
Leopold I : TFU 3 jari dibawah procesus xyphoideus, terasa bagian besar janin teraba lunak, batas tidak tegas, tidak melenting. Kesan : bokong
Leopold II : Teraba bagan keras memanjang pada perut kiri ibu.
Kesan : punggung kiri
+ +
+ +
- -
- -
3
Leopold III : Teraba bagian janin keras, batas tegas, melenting, fix (+)
Kesan : kepala sudah masuk PAP
Leopold IV : divergen
TFU : 31 cm
HIS : (-)
DJJ : 12-11-12 / 144x
VT : Ø 1cm/ 25%/ ket(-) lakmus merah biru/ let.kep/ss.mel/ UPD~N/ PS=3
IV. Pemeriksaan Penunjang
-
V. Assessment
Diagnosa Kerja
GI P0000 / uk. 39-40 minggu /T/H/IU/Let.Kep/ KPP + fraktur ramus inferior os.pubis sin / TBJ 2700
VI. Penatalaksanaan
a. Planing Terapi
1. MRS
2. Bed Rest
3. NST rusak
4. Inj. Cefotaxim 3x1 g
5. Rippening misoprostol 4x50 mcg/oral/6jam s/d PS≥5
6. Bila PS ≥ 5 pro OD 12 jam setelah misoprostol terakhir
7. Bila inpartu pro spt B
b. Planing monitoring
1. Observasi Vital Sign : TD, N, RR, T. rectal tiap 3 jam
2. Observasi CHPB, keluhan pasien dan keluarnya cairan
3. Observasi tanda-tanda inpartu
4
Follow Up
17/7/2013 pukul 05.30
S : Pasien datang sendiri oleh karena keluar cairan pervaginam sejak pukul. 00.00
- Riwayat Haid :
HPHT : 14 – 10 – 2012
TP : 21 – 07 – 2013
UK : 39/40 minggu
- Riwayat KB : (-)
- Riwayat ANC : RS Ambon 8 x
- Riwayat fraktur ramus os pubis sinistra 2010, tidak di operasi
TS orthopedi (poli RSAL tgl 01-072013 tidak ada kontra indikasi melahirkan pervaginam
O : CM, A/I/C/D = (-)
Vital Sign :
- TD: 110/70, nadi : 88 x/menit, RR: 20 x/menit, Temp : 36,3
- C/P = dbn
- Status Obstetri
- TFU : 29 cm
- DJJ : 12-12-12
- Letak : kepala
- HIS : (-)
- VT : 1 cm / 25% / Ket (-) Lakmus test (+) /letak kepala/ SS Mel / H I / UPD-N/ PS:3
A : GI P0000 / 39-40 minggu / T/H/IU/ KPP/Riw. Fraktur ramus inferior os pubis/ Pres.Kep / tidak inpartu/ KPP / TBJ 2700 gr.
P : - Bed rest
- NST Rusak
- inj cefotaxim 3X1g
5
- Bila 1 x 24 jam tak inpartu atau T.rek > 37,6, pro terminasi sesuai PS
- Repening misoprostol 4 x 50 µg/ oral evaluasi 6 jam sampai P.S > 5
- Bila PS > 5, pro OD 12 jam setelah misoprostol terakhir.
- Bila inpartu pro SptB
- Monitor : Vital Sign / Keluhan / DJJ His
pukul 06.00 :
- Pelvic score 3, Misoprostol I 50 µg/ oral
- Pro evaluasi pukul 12.00 WIB.
Pukul 12.00 :
- pelvic score 4, misoprostol II 50 µg/ oral
- Pro evaluasi pukul 18.00
- Inj. Dexa 2 amp IV
Pukul 15.00 :
S : keluhan (-). Gerak janin (+) baik
O : S. TV CM, A/I/C/D (-)
TD : 110/70 Nadi : 88x/menit RR:20x/menit
St. O : HIS : (-)
DJJ (+) : 12-11-12
A : GI P0000 / 39-40 minggu / T/H/IU/ KPP dalam terminasi misoprostol /Riw. Fraktur ramus inferior os pubis/ Pres.Kep / tidak inpartu/ KPP / TBJ 2700 gr.
P : - Pro evaluasi pelvic score pukul 18.00
- Bila inpartu Pro Spt.B
- Monitoring kel/ VS/ DJJ/ HIS
Pukul 18.00 :
- PS = 4
- misoprostol III 50 µg/ oral/ 6 jam
- Lapor dr. Prasti Sp.OG acc
- Lapor dr. Frans Sp. OG usul OD
6
- Lapr dr. Prasti Sp.OG acc OD
Pukul 22.45
- Infus D5 I drip piton ½ ampul + alinamin F ½ ampul
- Mulai 8 tetes/ menit
- Inj. Alinamin F ½ ampul / IV/ bolus
18/7/’13
Pukul 01.00
S : kenceng-kenceng makin sering, gerak janin (+) baik
O : St. TV CM, A/I/C/ (-)
TD: 110/70 Nadi: 88x/menit RR:18x/menit T: 37,4
Cor/pulmo : dbn
St.O : HIS (+), DJJ: 12-12-12
VT: Ø 7cm/ 50%/ let.kep/ UUK kiri depan/ H-II/UPD~N
A: G1P000039-40 minggu / T/H/IU/ KPP dalam terminasi OD + inpartu kala I fase aktif /Riw. Fraktur ramus inferior os pubis/ Pres.Kep / TBJ 2700 gr.
P: - Observasi CHPB
- Evaluasi 2 jam
- Pro Spt.B
Pukul 02.00
S : ibu ingin mengejan
O : St. TV CM, A/I/C/ (-)
TD: 110/70 Nadi: 92x/menit RR:18x/menit T: 37,5
Cor/pulmo : dbn
St.O : HIS (+), DJJ: 12-12-13
VT: Ø lengkap/ let.kep/ UUK kiri depan/ H-III+/UPD~N
A: G1P000039-40 minggu / T/H/IU/ KPP dalam terminasi OD + inpartu kala II/Riw. Fraktur ramus inferior os pubis/ Pres.Kep / TBJ 2700 gr.
P: Ibu dipimpin mengejan
7
Pukul 02.04
Lahir bayi Spt. B ♀ / 3400g/ 50cm/ AS 8-9
Lahir placenta lengkap dengan perasat Brandt Andrew
Ketuban Hijau Keruh + didapatkan lilitan 1x di leher
Pukul 04.00
S : keluhan (-)
O : St. TV CM, A/I/C/ (-)
TD: 120/70 Nadi: 88x/menit RR:18x/menit T: 37,4
Cor/pulmo : dbn
St.O TFU ~ pusat
A: P1001 PP Spt.B 2 jam + HD sedang
P: - Bed Rest
- Diet TKTP
- As Mefenamat 3x500
8
- Rob 1x1
- Pindah R. Nifas
- Vulva higiene
Pukul 05.45
- VS baik, perdarahan ± 50cc
- Infus Aff
Pukul 07.00
S: Perdarahan (+), pasien ganti pembalut jam % tadi, sempat mengigil
O: St.V CM, A/I/C/D (-)
TD : 110/70, N: 92x/menit, RR:20x/menit, T: 36,8
St.O TFU ~ pusat
Kontraksi uterus (+) baik
v/v fluksus (-)
A: P1001 Spt.B hr-0
P: - diet TKTP
- Asam mefenamat 3x1
- SF 2x1
- KIE ASI eksklusif dan v/v higiene
- Mx: VS/kel/fluksus/kontraksi uterus
19/7/’13 Pukul 07.00
S: Keluhan (-)
O: St.V CM, A/I/C/D (-)
TD : 110/70, N: 80x/menit, RR:20x/menit, T: 36,3
St.O TFU ~ pusat
Kontraksi uterus (+) baik
v/v fluksus (-)
A: P1001 Spt.B hr-1
P: - diet TKTP
- Asam mefenamat 3x1
- SF 2x1
9
- KIE ASI eksklusif dan v/v higiene
- Mx: VS/kel/fluksus/kontraksi uterus
20/7/’13 Pukul 07.00
S: Keluhan (-)
O: St.V CM, A/I/C/D (-)
TD : 120/80, N: 82x/menit, RR:20x/menit, T: 36,1
St.O TFU ~ pusat
Kontraksi uterus (+) baik
v/v fluksus (-)
A: P1001 Spt.B hr-2
P: - Pro KRS
- Kontrol Poli nifas 1 minggu lagi
10
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Ketuban pecah prematur adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-
tanda persalinan. Dimana memiliki batasan yaitu ketuban pecah, 1 jam kemudian
tidak diikuti tanda-tanda awal persalinan.
ETIOLOGI
Etiologi ketuban pecah prematur belum diketahui. Faktor predisposisi
ketuban pecah prematur ialah :
1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD.
Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini.
2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase).
3. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya tumor, hidramnion, gemelli.
4. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab
terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan
dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya
disertai infeksi
5. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.
11
6. Keadaan sosial ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan
antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis dan Neischeria gonorhoe.
7. Faktor lain yaitu:
· Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
· Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum
· Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C
PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan pecahnya selaput ketuban adalah :
1. Korio amnionitis, menyebabkan selaput ketuban jadi rapuh
2. Inkompentensia serviks, yakni kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh
karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan atau tindakan kuret).
3. Kelainan letak, sehingga tidak ada bagian terendah anak yang menutup PAP
(pintu atas Panggul), yang dapat mengurangi tekanan terhadap membran
bagian bawah.
4. Trauma, yang menyebabkan tekanan intra uterin (intra amniotik) mendadak
meningkat.
MANIFESTASI KLINIS
Bila keluarnya air ketuban banyak dan mengandung mekonium / verniks maka
diagnosis dengan inspeksi mudah ditegakkan. Tapi bila keluarnya cairan sedikit,
maka diagnosis harus didasarkan pada :
1. Anamnesis :
Kapan keluarnya cairan
Warna
Bau
Adakah partikel-partikel didalam cairan (lanugo verniks)
12
2. Inspeksi :
Keluar air ketuban per vaginam warna putih keruh, jernih, kuning, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi
3. Periksa dalam :
Janin mudah diraba
Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering.
4. Inspekulo :
Tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban
sudah kering.
Bila fundus ditekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar cairan dari
ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior.
5. Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan leukosit darah > 15.000/l bila terjadi infeksi
Tes lakmus merah berubah menjadi lakmus biru
Amniosentesis
USG : menentukan usia kehamilan, indeks cairan amnion berkurang
Bila dengan cara diatas ternyata ketuban sudah pecah, maka diambil ketentuan
sebagai berikut :
1. Saat ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis pasti tentang
kapan ketuban pecah.
2. Kalau anamnesis tidak pasti, maka saat ketuban pecah adalah saat
penderita masuk kamar bersalin (MKB).
3. Kalau berdasarkan anamnesis pasti bahwa ketuban pecah sudah lebih
dari 24 jam, maka setelah MKB dievaluasi 2 jam. Bila setelah 2 jam tidak ada
13
tanda-tanda inpartu maka harus diputuskan untuk terminasi persalinan (induksi /
seksio sesarea).
DIAGNOSIS BANDING
1. Cairan dalam vagina bisa urine / fuor albus
2. “Hind water” dan “fore water rupture of the membrane” pada kedua keadaan ini
tidak ada perbedaan penatalaksanaannya.
3. Inkontinesia uri.
4. Vaginitis.
5. Hydrorrhe gravidarum.
6. Hipersekresi kelenjar-kelenjar mucin yang berada di serviks.
7. Peradangan pada saluran genital lainnya yang dapat menghasilkan cairan.
8. Adanya fistula yang menghubungkan antara saluran kemih dengan saluran
genetalia.
KOMPLIKASI
Pada ibu :
1. Infeksi intra uterin
Korio amnionitis karena ketuban yang utuh merupakan barier atau
penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya
selaput ketuban maka flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen
yang bisa membahayakan baik bagi ibu maupun pada janinnya. Kematian
perinatal meningkat dari 17% menjadi 68% apabila ketuban sudah pecah 48
jam anak belum lahir.
Endometritis
Sepsis puerperalis
2. Peningkatan tindakan operasi sesar.
3. Solusio plasenta.
14
Pada Janin :
1. Pertumbuhan janin terhambat (IUGR)
2. Kompresi dan prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin
akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang)
3. Persalinan preterm
4. “Amniotic Band Syndrome”, yakni kelainan bawaan akibat ketuban
pecah sejak hamil muda sebabkan oligohidramnion, bahkan sering partus kering
(dry labour)
5. Acute Respiratory Disstres Syndrome, Pulmonary hypoplasia dan
pneumonia.
6. Infeksi pada janin hingga sepsis. Dikatakan secara klinis amnionitis
terjadi antara 3–30% dari kasus KPD prematur. Dan bayi yang lahir dari ibu
secara klinis didapatkan tanda-tanda korioamnionitis, 1–15% mempunyai kultur
positif. Mortalitas neonatus dari kasus KPD prematur yang mengalami sepsis
berkisar 0–13%. Dan pemberian antibiotika yang sesuai dapat menekan insiden
sepsis pada neonatus.
7. Komplikasi yang menyebabkan peningkatan angka mortalitas pada
perinatal akibat prematuritas adalah Respiratory Distress Syndrome,
Intraventricular Hemorrhage dan Necrotizing Enterocolitis.
Tanda-tanda infeksi intra uterin
Kriteria Gibbs :
T° rectal > 37,8°C disertai dengan tanda-tanda sebagai berikut :
- Maternal tachycardia (HR > 100/m)
- Fetal tachycardia (HR > 160 bpm)
- Uterine tenderness
- Foul odor of amniotic fluid
- Maternal leucocytosis ( > 15.000/lpb)
15
Tanda-tanda fetal distress
- DJJ tachycardia/bradycardia/ireguler
- Gerak anak berkurang atau malah meningkat cenderung konvulsi
- Air ketuban mekonial
PENATALAKSANAAN
Ketuban pecah prematur pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.
A. KPP dengan kehamilan aterm
1. Diberikan antibiotic
2. Observasi suhu rectal tiap 3 jam,bila ada kecenderungan meningkat >37,6
segera terminasi
3. bila suhu rectal tidak meningkat, ditunggu 24 jam, bila belum ada tanda-
tanda inpartu dilakukan terminasi
B. KPP dengan kehamilan premature
1. EFW > 1500 gram
1.1 - ampisilin 4x1 gr/hari, im/iv selama 2 hari dan gentamisin 60-80 mg
2-3x sehari selama 2 hari
- kortiko steroid untuk merangsang maturasi paru (betametason 12 mg
iv, 2 x selang 24 jam)
1.2 Observasi 2 x 24 jam, kalau belum inpartu segera terminasi
1.3 Observasi suhu rectal tiap 3 jam, bila ada kecenderungan meningkat
>37,6 segera terminasi
2. EFW < 1500 gram
• Observasi 2x 24 jam
• Observasi suhu rectal tiap 3 jam
• Pemberian antibiotik dan kortikosteroid (s.d.a)
• VT selama observasi tidak dilakukan, kecuali ada his atau inpartu
16
• Bila Trectal meningkat >37,6 segera terminasi
• Bila cairan tidak keluar 2x24 jam :
USG : bagaimana jumlah air ketuban :
a. bila jumlah air ketuban cukup, kehamilan dilanjutkan,
perawatan di ruangan sampai dengan 5 hari
b. bila jumlah air ketuban minimal segera terminasi
bila 2x24 jam cairan ketuban masih tetap keluar, segera terminasi
bila konservatif, sebelum pulang penderita diberi nasehat :
a. segera kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau
keluar cairan lagi
b. tidak boleh koitus
c. tidak boleh memanipulasi vagina
Terminasi persalinan yang dimaksud di atas adalah :
- induksi persalinan dengan memakai drip Oxytosin (5u/500 cc D5), bila
persyaratan klinis (USG & NST) memenuhi
- seksio sesar : bila persyaratan untuk drip oxytosin tidak terpenuhi (ada
kontra indikasi ) atau drip oksitosin gagal
C. KPP yang dilakukan induksi
1. bila 12 jam belum ada tanda-tanda awal persalinan dengan atau belum
keluar dari fase laten, induksi dinyatakan gagal dan persalinan diselesaikan
dengan seksio sesaria.
2. bila dengan 2 botol (@5u./500cc D5) dengan tetesan maksimal, belum
inpartu atau belum keluar dari fase laten, induksi dinyatakan gagal
persalinan diselesaikan dengan seksio sesar
17
D. KPP yang sudah inpartu
1. evaluasi, setelah 12 jam harus keluar dari fase laten. Bila belum keluar
dari fase laten dilakukan akselerasi persalinan dengan drip oksitosin atau
terminasi dengan seksio sesar bila ada kontra indikasi untuk drip oksitosin
(evaluasi klinis, USG & NST )
2. bila pada fase laten didapatkan tanda-tanda fase laten memanjang, maka
dilakukan akselerasi persalinan dengan drip oksitosin atau terminasi seksio
sesar bila ada kontraindikasi drip oksitosin
CATATAN
1. Evaluasi Persalinan setelah masuk fase aktif, sesuai dengan persalinan
yang lain (Kurva Friedman)
2. Pada keadaan ketuban pecah pada fase laten (inpartu), maka
penatalaksanaan seperti KPP inpartu, dihitung mulai saat pecahnya ketuban.
Menurut buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal maka
penanganan ketuban pecah dini :
Penanganan konservatif
o Rawat rumah sakit
o Beri antibiotik ( amphicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila tak tahan
amphicilin dan metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari).
o Jika umur kehamilan < 32- 34 minggu dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
o Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negative, beri deksamethason, obervasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
o Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada tanda infeksi,
berikan tokolitik ( salbutamol ), deksamethason dan induksi sesudah 24 jam.
o Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotic dan lakukan
induksi.
18
o Nilai tanda-tanda infeksi ( suhu, lekosit, tanda-tanda infeksi intrauterine )
o Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesetin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betamethason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksamethason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali
Penanganan aktif
o Kehamilan > 37 minggu induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio
sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 μg intravagial tiap 6 jam
maksimal 4 kali.
o Bila didapatkan tanda infeksi berikan antibiotic dosis tinggi dan persalinan
diakhiri
o Skor pelvic < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika
induksi gagal lanjut dengan seksio sesaria
o Bila pelvic skor > 5 induksi persalinan dan partus pervaginum
Cara Induksi Persalinan
Secara medis
a. Infuse oksitosin
Kemasan yang dipakai adalah pitosin, sintosinon. Syarat-syarat pemberian
infuse oksitosin
1) Agar infuse oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan dan
tidak memungkinkan penyulit baik pada ibu dan janin, maka
diperlukan syarat-syarat berikutnya :
a) Kehamilan aterm
b) Ukuran panggul normal
c) Tidak ada CPD (disproposi antara pelvis dan janin).
d) Janin dalam presentasi kepala
e) Serviks sudah matang yaitu, porsio teraba lunak, mulai mendatar
dan mulai membuka.
19
2) Untuk menilai serviks ini dapat juga dipakai skor bishop, yaitu bila
nilai berlebih dari 8, induksi persalinan kemungkinan besar akan
berhasil.
Oksitosin merupakan agen farmakologi yang lebih disukai untuk
menginduksi persalinan apabila serviks telah matang. Konsentrasi oksitosin
dalam plasma serupa selama kehamilan dan selama fase laten dan fase aktif
persalinan, namun terdapat peningkatan yang bermakna dalam kadar oksitosin
plasma selama fase akhir dari kala II persalinan. Konsentrasi oksitosin tertinggi
selama persalinan ditemukan dalam darah tali pusat, yang menunjukkan bahwa
adanya produksi oksitosin yang bermakna oleh janin selama persalinan.
Oksitosin endogen diesekresikan dalam bentuk pulsasi selama persalinan
spontan, hal ini tampak dalam pengukuran konsentrasi oksitosin plasma ibu
menit per menit.
Seiring dengan perkembangan kehamilan, jumlah reseptor oksitosin
dalam uterus meningkat (100 kali lipat pada kehamilan 32 minggu dan 300 kali
lipat pada saat persalinan). Oksitosin mengaktifkan jalur fosfolipase C-inositol
dan meningkatkan kadar kalsium ekstraseluler, menstimulasi kontraksi otot
polos miometrium. Banyak studi acak yang terkontrol dengan penggunaan
plasebo memfokuskan penggunaan oksitosin dalam induksi persalinan.
Ditemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah (fisiologis) dan dosis tinggi
(farmakologis) sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang
adekuat.
Oksitosin dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja. Ia diabsorpsi
oleh mukosa bukal dan nasal . Jika diberikan per oral, oksitosin dengan cepat
diinaktifkan oleh tripsin. Rute intravena paling sering digunakan untuk
menstimulasi uterus hamil karena pengukuran jumlah indikasi yang diberikan
lebih tepat dan dapat dilakukan penghentian obat secara relatif cepat apabila
terjadi efek samping.
Saat diabsorpsi, oksitosin didistribusikan dalam cairan ekstraseluler dan
tidak berikatan dengan protein. Dibutuhkan waktu 20-30 menit untuk mencapai
kadar puncak plasma. Interval waktu yang lebih singkat dapat memperpendek
20
induksi persalinan, tetapi lebih cenderung berhubungan dengan hiperstimulasi
uterus dan gawat janin. Mekanisme oksitosin adalah dengan meningkatkan
konsentrasi kalsium intraseluler. Hal ini dicapai dengan pelepasan deposit
kalsium pada retikulum endoplasma dan dengan meningkatkan asupan kalsium
ekstraseluler. Aktivitas oksitosin diperantarai oleh reseptor membran spesifik
yang berpasangan dengan protein transduser dan efektor yang membawa
informasi dalam sel.
Transduser oksitosin adalah guanosil trifosfat (GTP) binding protein atau
protein G. Kompleks reseptor oksitosin – protein G menstimulasi fosfolipase C
(PLC). Fosfolipase C secara selektif akan menghidrolisa fosfatidil inositol 4,5–
bifosfat (PIP 2) untuk membentuk inositol 1,4,5-trifosfat (IP3) dan 1,2-diasil
gliserol. IP3 menyebabkan keluarnya kalsium dari retikulum endoplasma yang
meningkatkan konsentrasi kalsium sitoplasma. Peningkatan konsentrasi
kalsium intraseluler yang disebabkan karena lepasnya kalsium dan retikulum
endoplasma tidak adekuat untuk mengaktivasi sepenuhnya mekanisme
kontraktil miometrium dan kalsium ekstraseluler yang penting untuk aksi
oksitosin yang adekuat. Apabila tidak ada kalsium ekstraseluler, respon sel-sel
miometrium terhadap oksitosin menurun. Kompleks oksitosin – protein G
membantu keluarnya kalsium dari retikulum endoplasma dengan melakukan
perubahan pada kanal kalsium, baik secara langsung maupun melalui efek yang
diperantarai IP3, menyebabkan influks kalsium ekstraseluler. Efek oksitosin
terhadap masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel miometrium tidak
sensitif terhadap nifedipin.
21
Gambar 2. Mekanisme aksi oksitosin.6
Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus melalui mekanisme yang bebas
dari konsentrasi kalsium intraseluler. Ditemukan bahwa akonsentrasi Prostaglandin
E (PGE) dan Prostaglandin F (PGF) meningkat selama pemberian oksitosin.
Oksitosin juga menstimulasi produksi PGE dan PGF dari desidua manusia.
Penemuan ini menunjukkan adanya interaksi positif antara oksitosin dan
prostaglandin sebagai tambahan terhadap aksi uterotonika dan mungkin pelepasan
prostaglandin oleh oksitosin perlu untuk mengifisienkan kontraksi uterus selama
persalinan.
Teknik infuse oksitosin berencana
1) Semalam sebelum infuse oksitosin, hendaknya klien sudah tidur dengan
nyenyak.
2) Pagi harinya penderita diberi pencahar (Kandung kemih dan rektum
dikosongkan)
3) Infuse oksitosin hedaknya dikerjakan pada pagi hari dengan observasi yang
baik.
4) Disiapkan cairan dextrose 5% 500 ml yang diisi dengan 5 unit oksitosin.
22
5) Cairan yang sudah disiapkan mengandung 5 U oksitosin ini dialirkan secara
intravena melalui saluran infuse dengan jarum no 20 G.
6) Jarum suntik intravena dipasangkan di vena bagian volar lengan bawah
7) Tetesan permulaan kecepatan pertama 10 tetes/menit.
8) Timbulnya kontraksi rahim dinilai dalam setiap 15 menit. Bila dalam waktu
15 menit ini HIS tetap lemah, tetesan dapat dinaikan. Umumnya tetesan
maksimal diperbolehkan sampai mencapai kadar oksitosin 30-40 tetes/menit,
maka berapapun kadar oksitosin yang dinaikan tidak akan menimbulkan
tambahan kekuatan kontraksi lagi. Sebaiknya infuse oksitosin dihentikan.
9) Penderita dengan infus oksitosin harus diamati secara cermat untuk
kemungkinan timbulnya tetania uteri, tanda-tanda rupture uteri membakat,
maupun tanda-tanda gawat janin
10) Bila kontraksi timbul secara teratur dan adekuat , maka kadar tetsan oksitosin
dipertahankan. Sebaliknya bila tejadi kontraksi rahim yang sangat kuat,
jumlah tetsan dapat dikurangi atau sementara dihentikan.
11) Infuse oksitosin ini hendaknya tetap dipertahankan sampai persalinan selasai
yaitu sampai satu jam sesudah lahirnya plasenta.
12) Evaluasi kemajuan janin pembukaan serviks dapat dilakukan dengan periksa
dalam bila HIS telah kuat dan adekuat. Pada waktu pemberian infuse
oksitosin bila ternyata kemudian persalinan telah berlangsung, maka infuse
oksitosin dilanjutkan sampai pembukaan lengkap. Segera setelah kala II
dimulai, maka tetesan infuse oksitosin dipertahankan dan ibu di pimpin
mengejan atau dipimpin dengan persalinan buatan sesuai dengan indikasi
yang ada pada waktu itu. Tetapi bila sepanjang pemberiaan infuse oksitosin
timbul penyulit pada ibu maupun janin. Maka infuse oksitosin harus segera
dihentikan dan kehamilan segera diselesaikan dengan seksio sesarea.
b. Prostaglandin E2
Prostaglandin bereaksi pada serviks untuk membantu pematangan
serviks melalui sejumlah mekanisme yang berbeda. Ia menggantikan substansi
ekstraseluler pada serviks, dan PGE2 meningkatkan aktivitas kolagenase pada
23
serviks. Ia menyebabkan peningkatan kadar elastase, glikosaminoglikan,
dermatan sulfat, dan asam hialuronat pada serviks. Relaksasi pada otot polos
serviks menyebabkan dilatasi. Pada akhirnya, prostaglandin menyebabkan
peningkatan kadar kalsium intraseluler, sehingga menyebabkan kontraksi otot
miometrium. Risiko yang berhubungan dengan penggunaan prostaglandin
meliputi hiperstimulasi uterus dan efek samping maternal seperti mual,
muntah, diare, dan demam. Saat ini, kedua analog prostaglandin tersedia untuk
tujuan pematangan serviks, yaitu gel dinoprostone (Prepidil) dan dinoprostone
inserts (Cervidil). Prepidil mengandung 0,5 mg gel dinoproston, sementara
Cervidil mengandung 10 mg dinoprostone dalam bentuk pessarium.
Teknik untuk memasukkan gel dinoprostone (Prepidil)
1. Seleksi pasien :
Pasien tidak demam
Tidak ada perdarahan aktif pervaginam
Penilaian denyut jantung janin teratur
Pasien memberikan informed consent
Skor Bishop <4
2. Letakkan gel pada suhu ruangan sebelum dipasang, sesuai dengan instruksi
pabrik.
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus 15 sampai 30 menit
sebelum gel dimasukkan dan dilanjutkan selama 30 sampai 120 menit
setelah gel dimasukkan
4. Masukkan gel ke dalam serviks sesuai dengan arahan berikut :
Jika serviks belum mendatar, gunakan kateter endoserviks 20 mm untuk
memasukkan gel ke dalam endoserviks tepat di bawah ostium uteri
internum. Jika pendataran serviks 50%, gunakan kateter endoserviks 10 mm
5. Setelah pemberian gel, pasien harus tetap berbaring selama 30 menit
sebelum boleh bergerak
6. Dapat diulangi setiap 6 jam, sampai 3 dosis dalam 24 jam
24
7. Nilai akhir pematangan serviks meliputi kontraksi uterus yang kuat, skor
Bishop > 8, atau perubahan status ibu atau janin.
8. Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah 1,5 mg dinoprostone (3
dosis) dalam 24 jam
9. Jangan mulai pemberian oksitosin selama 6 sampai 12 jam setelah
pemberian dosis terakhir, untuk memperoleh onset persalinan spontan dan
melindungi uterus dari stimulasi yang berlebihan.
Teknik pemasangan dinoprostone pervaginam (Cervidil)
1. Seleksi pasien
2. Penggunaan sejumlah kecil lubrikan yang mengandung air, letakkan di
forniks posterior dari serviks. Sementara alat tersebut menyerap
kelembaban dan cairan, ia melepaskan dinoprostone dalam kecepatan 0,3
mg per jam selama 12 jam
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinyu mulai
15 sampai 30 menit sebelum pemberian. Karena hiperstimulasi dapat
terjadi sampai sembilan setengah jam setelah pemberian, denyut jantung
janin dan aktivitas uterus harus dimonitor sejak pemberian sampai 15
menit setelah dilepaskan.
4. Setelah insersi, pasien harus tetap berbaring selama 2 jam
5. Lepaskan insersi dengan mendorong talinya setelah 12 jam, saat fase aktif
dimulai, atau jika terjadi hiperstimulasi uterus.
Interval waktu aman minimal antara pemberian prostaglandin E2 dan
permulaan pemberian oksitosin belum diketahui pasti. Menurut petunjuk
pembuatannya, induksi oksitosin harus ditunda selama 6 hingga 12 jam.
Efek samping
Angka hiperstimulasi uterus dilaporkan, didefinisikan sebagai 6
kontraksi atau lebih dalam 10 menit selama total 20 menit, adalah 1 persen
25
untuk gel intraserviks (dosis 0,5 mg) dan 5% untuk gel intravagina (dosis 2
hingga 5 mg). karena dapat terjadi hiperstimulasi serius atau gangguan janin
lebih lanjut, prostaglandin biasanya tidak digunakan pada persalinan. Jika
terjadi, hiperstimulasi biasanya dimulai dalam 1 jam setelah gel di sisipan
dimasukan. Irigasi serviks dan vagina untuk mengeluarkan gel serviks belum
terbukti bermanfaat.
Salah satu kemungkinan keunggulan gel intravagina adalah bahwa
pengeluaran sisipan ini dengan menariknya biasanya meredakan efek samping
tersebut. Efek sistemik berupa demam, muntah, dan diare akibat prostaglandin
E2 sangat jarang terjadi. Produsen obat ini menganjurkan kehati-hatian dalam
pemakaian obat ini pada pasien dengan glaucoma, gangguan hati dan ginjal
yang berat/asma.
c. Misoprostol
Misoprostol (cytotec) adalah prostaglandin E1 sintenik, dan saat ini
tersedia berbagai tablet 100 mcg untuk mencegah ulkus peptic. Penggunaan
misoprostol tidak direkomendasikan pada pematangan serviks atau induksi
persalinan pada wanita yang pernah mengalami persalinan dengan seksio
sesaria atau operasi uterus mayor karena kemungkinan terjadinya ruptur uteri.
Wanita yang diterapi dengan misoprostol untuk pematangan serviks atau
induksi persalinan harus dimonitor denyut jantung janin dan aktivitas uterusnya
di rumah sakit sampai penelitian lebih lanjut mampu mengevaluasi dan
membuktikan keamanan terapi pada pasien. Misoprostol berharga murah, stabil
pada suhu kamar, dan mudah diberikan peroral atau dengan memasukannya
kevagina, tetapi tidak ke serviks.
d. Misoprostol vagina
Tablet misoprostol vagina dimasukan kedalam vagina setara dan mungkin
lebih 25µg. Dosis misoprostol intravagina yang lebih tinggi (50 µg atau lebih)
menyebabkan peningkatan bermakna takisistol uterus, pengeluaran dan aspirasi
mekonium, dan sesar atas indikasi hiperstimulasi uterus. Laporan rupture
26
uterus pada wanita dengan riwayat pembedahan dengan menyebabkan
misoprostol tidak boleh digunakan pada para wanita tersebut.
Uji klinis menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberian interval dosis
25 mcg intravagina setiap empat sampai enam jam. Dosis yang lebih tinggi atau
interval dosis yang lebih pendek dihubungkan dengan insidensi efek samping
yang lebih tinggi, khususnya sindroma hiperstimulasi, yang didefinisikan
sebagai kontraksi yang berakhir lebih dari 90 detik atau lebih dari lima
kontraksi dalam 10 menit selama dua periode. 10 menit berurutan, dan
hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal dua menit.
Ruptur uteri pada wanita dengan riwayat seksio sesaria sebelumnya juga
mungkin merupakan komplikasi, yang membatasi penggunaannya pada wanita
yang tidak memiliki skar uterus. (Evidence level B, studi kohort). Teknik
penggunaan misoprostol vagina adalah sebagai berikut :
1. Masukkan seperempat tablet misoprostol intravagina, tanpa menggunakan
gel apapun (gel dapat mencegah tablet melarut)
2. Pasien harus tetap berbaring selama 30 menit
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinyu selama
minimal 3 jam setelah pemberian misoprostol sebelum pasien boleh
bergerak
4. Apabila dibutuhkan tambahan oksitosin (pitosin), direkomendasikan
interval minimal 3 jam setelah dosis misoprostol terakhir
5. Tidak direkomendasikan pematangan serviks pada pasien-pasien yang
memiliki skar uterus (Evidence level A, RCT)
Telaah Cochrane menyimpulkan bahwa penggunaan misoprostol dapat
menurunkan insidensi seksio sesaria. Insidensi persalinan pervaginam lebih
tinggi dalam 24 jam pemberian misoprostol dan menurunkan kebutuhan
oksitosin (pitosin) tambahan. (Evidence level A, tinjauan sistematis RCT).
Tinjauan pustaka tambahan menunjukkan bahwa misoprostol merupakan agen
yang efektif untuk pematangan serviks. (Evidence level A, telaah sistematis
RCT)
27
Telaah Cochrane menurut grup Pregnancy and Childbirth
mengidentifikasikan 26 uji klinis tentang misoprostol untuk pematangan
serviks atau induksi persalinan atau keduanya. Studi-studi ini menunjukkan
bahwa misoprostol lebih efektif daripada prostaglandin E2 agar terjadi
persalinan pervaginam dalam 24 jam dan mengurangi kebutuhan dan jumlah
total oksitosin tambahan. Meskipun dalam penelitian ini dinyatakan bahwa
misoprostol dihubungkan dengan insidensi hiperstimulasi uterus yang lebih
tinggi dan cairan amnion kehijauan (meconium staining), tetapi komplikasi ini
biasanya dijumpai dengan dosis misoprostol yang lebih tinggi (>25μg). Tidak
ada penelitian yang menunjukkan bahwa paparan misoprostol intrapartum
(atau agen pematangan serviks prostaglandin lain) menimbulkan efek samping
jangka panjang terhadap janin yang lahir tanpa gawat janin.
ACOG Committee on Obstetric Practice menyatakan bahwa tablet
misoprostol intravaginal efektif dalam induksi persalinan pada wanita hamil
dengan serviks yang belum matang. Komite ini menekankan bahwa hal-hal
berikut ini sebaiknya dilakukan untuk meminimalkan risiko hiperstimulasi
uterus dan ruptur uteri pada pasien-pasien yang menjalani pematangan serviks
atau induksi persalinan pada trimester ketiga, yaitu :
1. Jika misoprostol digunakan untuk pematangan serviks atau induksi
persalinan pada trimester ketiga, dipertimbangkan pemberian dosis awal
seperempat tablet 100 μg (sekitar 25 μg).
2. Dosis sebaiknya tidak diberikan lebih sering daripada setiap 3-6 jam.
3. Oksitosin seharusnya tidak diberikan kurang dari 4 jam setelah dosis
misoprostol terakhir.
4. Misoprostol sebaiknya tidak digunakan pada pasien bekas SC atau bekas
operasi uterus mayor.
Penggunaan dosis misoprostol yang lebih tinggi (misalnya 50 μg setiap 6
jam) untuk induksi persalinan mungkin dapat diberikan pada beberapa situasi,
meskipun ada laporan bahwa dosis tersebut meningkatkan risiko komplikasi,
termasuk hiperstimulasi uterus dan ruptur uteri. Grande multipara juga
merupakan faktor risiko relatif untuk terjadinya ruptur uteri.
28
e. Misoprostol oral
Afektivitas misoprostol oral, 100 µg, serupa dengan misoprostol intravagina 25
µg
f. Cairan hipertonik intrauterine
Pemberian cairan hipertonik cairan amnion dipakai untuk merangsang
kontraksi rahim pada kehamilan dengan janin mati. Cairan hipertonik yang
dipakai dapat berupa cairan garam hipertonik 20%, urea dan lain-lain, kadang-
kadang pemakaian urea dicampur dengan prostaglandin untuk meperkuar
rangsangan pada otot-otot rahim.
Cara ini dapat menimbulkan penyulit yang cukup berbahaya, misalnya
hipernatremia, infeksi gangguan pembekuan darah.
g. Dilator servikal higroskopis
Dilatasi servikal dapat dilakukan dengan menggunakan hygroscopic
osmotic cervical dilators, yang digunakan untuk terminasi persalinan awal.
Dilator mekanik ini digunakan untuk mematangkan servik sebelum dilakukan
induksi persalinan. Penggunaan dilator ini aman, meskipun dapat
menyebabkan anafilaksis yang mengikuti setelah memasukkan laminaria.
Penggunaan dilator menjadi cukup sering karena harga yang murah dan
penggunaannya yang mudah.
Perkembangan yang cepat dalam pematangan serviks didapatkan pada
wanita terhadap penggunaan dilator higroskopis untuk induksi dengan
oksitosin. Tetapi, tidak ada efek yang menguntungkan pada laju persalinan
melalui vagina atau waktu yang dibutuhkan mulai dari induksi sampai
persalinan jika dibandingkan dengan penggunaan oksitosin saja.
29