Post on 23-Mar-2019
VI. MASALAH INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Berdasarkan kepada hasil penelitian pada bab-bab terdahulu dapat diperoleh
pengetahuan situasi institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam, yaitu
cita-cita perubahan yang dikehendaki, respon pemerintah dalam membangun struktur,
respon perusahaan dalam bentuk pilihan perilaku dan kinerja. Bagaimana interaksi
antara situasi yang satu dengan situasi lainnya, dan bagaimana hal tersebut dapat
terjadi akan dibahas dalam bab ini.
6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang
Perubahan UU, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang terbit antara
tahun 1999 sampai dengan 2007 dicirikan oleh perubahan orientasi yang belum di
aktualisasikan kedalam kebijakan kehutanan secara utuh, mempunyai hirarkhi yang
tidak konsisten dan mengandung unsur-unsur yang menyebabkan institusi tidak
efektif. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah dan direspon oleh perusahaan
secara rasional, berikut ini disampaikan analisanya.
6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan
Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41
tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan
yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh,
dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu
tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan
179
mendistribusikan manfaat yang optimal secara berkeadilan. Yang dimaksudkan
dengan hutan yang berkualitas tinggi adalah apabila fungsi-fungsi ekologi, ekonomi
dan sosial dapat berjalan, sehingga hutan bukan hanya memproduksi kayu saja tetapi
hutan juga menghasilkan produk-produk lain seperti hasil hutan bukan kayu, plasma
nuftah, dan jasa-jasa lingkungan (paragraf 7 dan 8 penjelasan umum UU. 41.1999) .
Dengan kata lain bahwa pengelolaan hutan dimaknai sebagai kegiatan untuk
memproduksi multiproduk (dan jasa) hasil hutan yang optimal.
Produksi multiproduk di hutan alam dicirikan oleh hubungan ketergantungan
antara produk yang satu dengan lainnya, seperti keberadaan beberapa spesies
tumbuhan maupun satwa tertentu bergantung dari keberadaan spesies lainnya,
sebagaimana dikemukakan oleh Hamilton (1993). Hubungan interdependensi
memungkinkan adanya faktor produksi yang non-allocable (Beattie dan Taylor,
1985), sebagai contoh produksi jasa lingkungan yang berupa tata air tidak dapat
dipisahkan dari proses produksi kayu. Jasa lingkungan bergantung pada kualitas
tegakan hutan yang dibangun melalui pengelolaan hutan untuk produksi kayu, faktor-
faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan jasa lingkungan sama dengan
faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan tegakan yang baik.
Sebagaimana dikemukakan oleh Beattie dan Taylor (1985) bahwa untuk
menghasilkan manfaat optimal melibatkan proses pengambilan keputusan untuk
menentukan tingkat produksi multiproduk yang menghasilkan keuntungan (manfaat)
maksimal. Keputusan tersebut melibatkan perhitungan dalam rangka minimisasi
biaya produksi dan maksimasi keuntungan. Proses ini memerlukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi. Pertama optimasi dapat dilakukan
180
apabila terdapat unit analisis atau unit produksi yang jelas, kedua terdapat berbagai
pilihan kombinasi produk yang dikehendaki, ketiga diketahui nilai keuntungan setiap
produk yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Undang-
undang no. 41 /1999 mengenal tiga tingkatan unit pengelolaan hutan, yaitu
pengelolaan hutan wilayah provinsi, pengelolaan hutan wilayah kabupaten dan
pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Pembagian wilayah administrasi
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota sudah jelas batas-batasnya, dengan
demikian kepastian tentang batas-batas wilayah pengelolaan hutan tingkat unit
manajemen menjadi suatu hal yang harus dipastikan keberadaannya. Wilayah
pengelolaan tingkat unit ini dalam undang-undang dikenal sebagai Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH), jika KPH tidak tersedia maka optimasi tidak dapat
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 belum
tersedia satupun KPH yang telah dilengkapi dengan organisasi dan sarananya.
Optimasi manfaat dapat dilakukan apabila di dalam setiap unit tersebut memiliki
potensi lebih dari satu produk atau manfaat yang dapat diproduksi. Dalam konsep
optimasi yang terjadi adalah mengkombinasikan upaya-upaya pengelolaan hutan
untuk menghasilkan berbagai macam produk atau manfaat sehingga diperoleh total
nilai produk akhir secara maksimal. Hutan mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan berbagai manfaat, oleh sebab itu untuk melakukan optimasi, pada
setiap unit pengelolaan hutan harus ditetapkan terlebih dahulu jenis-jenis produk atau
manfaat yang akan diproduksi sebagai tujuan pengelolaan hutan.
Optimasi pada tingkat unit pengelolaan (KPH) berbeda dengan optimasi
pengelolaan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi. Pengelolaan hutan
181
tingkat kabupaten dan provinsi, merupakan agregasi dari berbagai KPH (produksi,
lindung, konservasi), jenis-jenis status hutan (hutan negara, adat, dan hutan hak).
Optimasi pada tingkat ini dimaksudkan untuk mendukung misi pengurusan hutan
tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi (pasal 10 dan pasal 18). Pengelolaan pada
tingkat wilayah ini dilakukan oleh pemerintah, sehingga permerintah perlu membuat
perhitungan optimasi manfaat hutan tingkat wilayah, menetapkan tujuan pengelolaan
hutan secara spesifik dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik untuk memfasilitasi
upaya para pihak dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang menghasilkan
manfaat optimal di wilayahnya. Optimasi tingkat wilayah ini berkaitan dengan
indikator kinerja utama organisasi makro dan meso yang berupa kecukupan hutan,
penutupan hutan dan peran sektor kehutanan yang dikehendaki (lihat lampiran 6).
Optimasi memerlukan nilai sebagai dasar untuk mengukur manfaat yang
diproduksi dan mengukur biaya untuk memproduksinya. Sebagaimana telah diketahui
bahwa hutan mempunyai karakteristik disamping menghasilkan produk-produk privat
yang dapat diperdagangkan, hutan juga menghasilkan barang-barang publik dan
eksternalitas. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), pengertian eksternalitas
dinyatakan sebagai pengaruh aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak
dicerminkan di dalam pasar. Eksternalitas dapat berupa eksternalitas negatif
manakala tindakan salah satu pihak menimbulkan beban kepada pihak lain, atau
berupa eksternalitas positif manakala tindakan salah satu pihak memberikan manfaat
kepada pihak lain. Aktifitas pengelolaan hutan dapat mengandung kedua jenis
eksternalitas ini, sebagai contoh eksternalitas positif dapat terjadi ketika pengelola
hutan melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan hutan yang sehat sehingga
182
dapat berfungsi secara maksimal, ketika hutan berfungsi dengan baik, maka hutan
memberikan pengaruh terhadap stabilitas iklim, fungsi tata air, habitat bagi berbagai
macam kehidupan, keindahan alam dan fungsi-fungsi lain yang dinikmati oleh pihak-
pihak lain yang tidak turut membiayai pengelolaan hutan tersebut. Sementara
eksternalitas negatif terjadi terutama pada saat dilakukan penebangan pohon dalam
rangka produksi kayu, dampak dari penebangan tersebut dapat berupa erosi yang
menimbulkan sedimentasi sungai, gangguan tata air, hilangnya habitat satwa dan lain-
lain akibat yang ditanggung oleh pihak lain, sementara pihak lain itu tidak turut
menikmati manfaat dari penebangan pohon tersebut.
Sedangkan barang publik oleh Pindyck dan Rubinfeld (2001) dinyatakan bahwa
barang publik mempunyai dua karakter yaitu non-rival dan non-exclusive. Barang
publik yang dihasilkan hutan bersifat non-rival yaitu ketika hutan telah berfungsi
maka penambahan jumlah pengguna manfaat hutan tidak akan menambah biaya
produksi barang tersebut. Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat non-
ekslusif sebagai contoh adalah oxigen, tidak ada yang bisa mencegah orang untuk
mengkonsumsi oksigen yang diproduksi dari hutan yang dikelolanya dan pengguna
produk tersebut tidak dapat dikenai biaya. Manfaat hutan lebih banyak dinikmati
oleh pengguna tidak langsung, dalam pengertian Dye (1995) merupakan hal yang
tergolong kedalam urusan publik.
Dengan memperhatikan karakteristik hutan sebagaimana tersebut di atas, untuk
melakukan optimasi pengelolaan hutan diperlukan adanya ukuran yang
mencerminkan nilai kemanfaatan dari produk yang dihasilkannya, dan ukuran yang
dapat mencerminkan biaya produksi, serta tersedia mekanisme yang menghubungkan
183
antara perolehan pendapatan dengan pembiayaan oleh pengelola hutan. Terhadap
produk yang dapat diperdagangkan, pasar telah menyediakan mekanisme hubungan
tersebut, sedangkan terhadap eksternalitas dan barang-barang publik diperlukan
kebijakan publik yang dapat menghubungkan antara biaya dan pendapatan.
Untuk melakukan koreksi pasar atas keberadaan eksternalitas (Pindyck dan
Rubinfeld, 2001), terdapat beberapa pilihan kebijakan yaitu standardisasi emisi, pajak
emisi, perdagangan ijin emisi atau daur ulang. Standar emisi adalah aturan yang
menetapkan tingkat emisi yang masih diperbolehkan terjadi, pelanggaran atas batas
ini dapat dikenakan denda atau hukuman kriminal. Sedangkan pajak emisi adalah
biaya yang dikenakan atas setiap satuan emisi yang dihasilkan oleh seseorang atau
perusahaan. Pada perdagangan ijin emisi, setiap pelaku diharuskan mempunyai ijin
emisi yang menunjukkan jumlah emisi yang diperbolehkan, mereka yang
memproduksi emisi lebih besar dari ijinnya dapat membeli ijin emisi dari pihak yang
memproduksi emisi lebih kecil dari ijinnya. Sedangkan koreksi pasar atas
keberadaan barang publik dilakukan dengan kebijakan subsidi oleh pemerintah.
Pemerintah di beberapa negara mempunyai kebijakan pemberian subsidi sebagai
insentif kepada untuk membangun hutan, pemerintah Findlandia menanggung biaya
pembangunan hutan hingga mencapai 25% dari total biaya dengan nilai rata-rata
setara dengan Rp. 550 Milyard pertahun (APHI, 2004). Sementara itu di tingkat dunia
sedang berkembang mekanisme perdagangan karbon yang merupakan bentuk upaya
koreksi terhadap keberadaan eksternalitas pada pengelolaan hutan. Berbagai
mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment on Environmental Services / PES)
telah banyak didiskusikan oleh berbagai lembaga internasional.
184
Dalam perkembangannya, kehendak undang-undang belum dapat diterjemahkan
dengan baik oleh aturan-aturan pelaksanaannya. Peraturan pemerintah yang mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi yaitu Peraturan Pemerintah nomor 34
tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
nomor 6 tahun 2007 serta peraturan-peraturan menteri tidak mengarahkan perubahan
tujuan pengelolaan hutan dari orientasi kayu menjadi orientasi produksi multiproduk,
peraturan-peraturan tersebut mengatur pemanfaatan multiproduk dengan tidak
memberi perhatian yang cukup pada manajemen produksi multiproduk. Peraturan
Pemerintah no. 44 tahun 2004 maupun Peraturan Menteri Kehutanan no.
P.28/Menhut-II/2006 tidak menjelaskan dan tidak mengatur tentang proses-proses
optimasi fungsi maupun produksi/manfaat. Mandat undang-undang untuk
mewujudkan manfaat optimal masih diterima sebatas retorika, belum ditejemahkan
ke dalam kebijakan dan peraturan.
Berdasarkan peraturan yang telah diterbitkan pemerintah, disimpulkan bahwa
belum ada kebijakan publik yang secara eksplisit dimaksudkan untuk melakukan
koreksi atas masalah eksternalitas dan barang publik yang terjadi pada pengelolaan
hutan produksi alam. Selain itu KPH sebagai unit analisa belum disiapkan, oleh sebab
itu perubahan orientasi belum dapat dilaksanakan.
6.1.2. Hirarkhi Organisasi Kehutanan
Undang-undang Kehutanan mengatur hirarkhi organisasi dan kebijakan ke dalam
tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Pengaturan hirarkhi
ini berkaitan dengan hirarkhi organisasi dan kebijakan yang terdiri dari makro, meso
185
dan mikro. Sedangkan dari konteks kebijakan pengaturan hirarkhi juga mempunyai
kesesuaian dengan kuadran kebijakan yang memposisikan kebijakan publik,
kebijakan privat dan quasi publik. Pengurusan hutan adalah hirarkhi tingkat makro
yang berhubungan dengan pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan mencakup
wilayah luas, pengurusan hutan juga merupakan domain kebijakan publik yang
berupa tugas pemerintah yang menyangkut kepentingan bersama. Pengelolan hutan
dibagi kedalam tiga tingkatan yaitu wilayah provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit
manajemen atau disebut sebagai KPH, masing-masing berada pada tingkat makro,
meso dan mikro. Sejalan dengan karakteristik hutan yang juga memproduksi
ekternalitas dan barang publik maka pengelolaan hutan termasuk dalam ranah
kebijakan publik dan quasi publik. Pada tingkat makro dan meso pengelolaan hutan
termasuk dalam kebijakan publik karena mencakup wilayah luas dan mengatur
kepentingan bersama masyarakat di dalam wilayahnya, sedangkan pengelolaan hutan
pada tingkat KPH dapat dikategorikan sebagai quasi publik karena KPH sebagai unit
managemen terkecil adalah sebuah entitas individual yang mempunyai otoritas untuk
melakukan tindakan-tindakan manajemen atas kawasan hutan negara yang
dikelolanya, tetapi KPH juga melaksanakan pekerjaan pemerintah dalam
memproduksi barang publik dan mengelola eksternalitas hutan, dua hal terakhir ini
yang dipercaya menyebabkan kegagalan pasar. Sepanjang tidak dilakukan koreksi
atas keberadaan barang publik dan ekternalitas pada pengelolaan hutan, maka peran
pemerintah masih diperlukan. Pemanfaatan hutan adalah hirarkhi tingkat mikro dan
merupakan wilayah privat, dimana pemanfaatan hutan adalah aktifitas memanfaatkan
hasil produksi multiproduk dari pengelola hutan (KPH). Hubungan-hubungan
186
transaksi antara pengelola hutan (KPH) dangan pengguna (pemanfaat) adalah
hubungan transaksi individual. Hubungan struktur organisasi kehutanan yang diatur
oleh Undang-Undang 41/1999 adalah seperti Tabel 45.
Tabel 45. Hubungan Hirarkhi Organisasi Kehutanan Menurut UU. 41/1999
Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan
Pengurusan Makro Publik Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi Makro Publik 2. Wilayah Kab/Kota Meso Publik 3. Unit Pengelolaan (KPH) Mikro Quasi Publik Pemanfaatan Mikro Privat
Berdasarkan ketentuan undang-undang, transaksi antara pengelola dengan
pengguna dilakukan melalui mekanisme ijin-ijin usaha. Berdasarkan hirarki yang
ditentukan oleh undang-undang, apabila organisasi pengelola tingkat unit telah ada
maka kedudukan ijin usaha berada pada lapisan yang paling rendah, seperti pada
gambar 21. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa ijin usaha yang terjadi dalam
konteks hubungan antara pengelola dengan pengguna adalah bentuk transaksi
pemanfaatan hasil produksi yang merupakan wilayah privat, harus dibedakan dengan
ijin usaha yang berupa ijin pendirian usaha yang merupakan kewenangan publik
karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi demi melindungi
kepentingan publik. Ijin usaha dalam konteks pemanfaatan hasil hutan adalah
hubungan transaksi produk hasil hutan antara pengelola dengan pengguna, hubungan
transaksi ini seperti yang terjadi antara Perum Perhutani dengan pembeli kayu, antara
pengelola hotel dengan penyewa ruang pamer atau pengguna kamar, antara pengelola
kebun binatang dengan penyewa toko cindera mata yang ada di dalamnya dan
187
transaksi pengelola stadion dengan pengunjung yang membeli karcis ijin masuk.
Hubungan-hubungan transaksional individu ini memerlukan ijin dari pengelola untuk
mengambil manfaat.
Aturan pelaksanaan yang berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak
konsisten melaksanakan struktur organisasi kehutanan yang dikehendaki oleh
undang-undang. Penyimpangan ini dapat dilacak dari pengaturan perencanaan
pengelolaan hutan dan perijinan usaha pemanfaatan dalam Peraturan Pemerintah no.
34 tahun 2002. Wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan hutan
(RPH) yang merupakan rencana tingkat unit (KPHP) yang merupakan rencana
individual dan mikro, didistribusikan kepada institusi tingkat meso dan makro dengan
meniadakan peran institusi mikro. RPH jangka satu tahun disusun oleh instansi
kehutanan (tanpa disebut identitasnya) dan disahkan oleh Gubernur, RPH jangka 5
tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri, RPH 20
tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri.
Pengaturan ini menyebabkan Menteri, Gubernur dan Bupati melaksanakan urusan-
urusan yang bersifat mikro
Di bidang perijinan juga berlaku hal yang serupa, bupati, gubernur dan menteri
mempunyai peran dalam pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan, sedangkan ijin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi wewenang menteri. Dalam terminologi
Schlager dan Ostorm (1992) perijinan adalah exclusion right maka dengan
diambilnya hak ekslusi oleh birokrasi maka definisi hak pengelolaan pada KPH
menjadi tidak lengkap, dan KPH sebagai unit pengelolaan tidak dapat menjalankan
fungsinya sebagai pengelola.
188
48
Pengurusan Hutan
Pengelolaan Provinsi
Pengelolaan Kabupaten
Pengelolaan Unit
Blok
Pemanfaatan
Petak
Ijin Usaha Pemanfaatan Gambar 21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki Organisasi Kehutanan
Akibat dari pilihan organisasi yang tidak membedakan hirarki makro, meso mikro,
dan tidak membedakan domain publik dan privat membawa pemerintah terlibat
langsung dalam aktivitas operasional sehingga pemerintah menjalankan peran
regulator, penegak aturan dan pemain. Kedudukan dan peran para pihak menjadi
bercampur-baur tanpa hirarki yang jelas (Gambar 22). North (1990) telah
mengingatkan bahwa agar institusi ekonomi berjalan secara efektif harus ada
pemisahan antara pembuat aturan dan pemain, dan menurut Sewel (1992) peran
pemerintah diposisikan pembuat aturan dan penegak peraturan. Mengapa pemisahan
ini diperlukan, Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scoot (2008),
memberikan alasan bahwa mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya
memerlukan wewenang dan legitimasi. Namun demikian berdasarkan pemahaman
Skocpol (1985) dan North (1990) di dalam Scott (2008), bahwa dalam prakteknya
189
negara membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan
terpisah dari aktor-aktor social lainnya.
Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan
Pengurusan Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi 2. Wilayah Kab/Kota 4. Unit Pengelolaah (KPH Pemanfaatan
Gambar 22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan
Keterlibatan pemerintah secara langsung pada urusan mikro pada situasi hirarki
yang tidak terstruktur dengan baik menimbulkan kesulitan untuk memposisikan
perannya dalam fungsi publik dan privat. Perannya sebagai regulator, wasit dan
sekaligus pemain, menghasilkan aturan-aturan yang mengandung konflik kepentingan
seperti peraturan mengenai sanksi yang berimbas pada kepentingan langsung
pemerintah, kebijakan SILIN dan penurunan batas diameter yang mengutamakan
kepentingan jangka pendek daripada tujuan optimasi manfaat adalah contoh dari
adanya konflik kepentingan tersebut. Sebagai pemegang kekuasaan, maka untuk
mendapatkan kepentingannya, pemerintah melakukan perversi yaitu mengambil
keuntungan atas beban pihak lain melalui peraturan yang dibuatnya, pemindahan
tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan, pembebanan biaya penilaian
kinerja kepada perusahaan, pembebanan biaya informasi dan lain sebagainya adalah
contoh aturan yang bersifat perversif.
190
Salah satu negara yang telah menerapkan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
memperoleh manfaat multiguna, dan menerapkan hirarki secara konsisten adalah
Swedia. Swedia juga pernah mengalami kerusakan hutan yang serius pada masa yang
lalu dan akibat perang, namun telah berhasil mengembalikan kondisi hutannya
dengan sangat baik hasil inventarisasi hutan nasional pada 1990 menunjukkan bahwa
stok hutan meningkat 50% dan produksi kayu terus meningkat, jika pada tahun 1982
produksi kayu mencapai 64,5 jutan m3 maka pada tahun 1999 meningkat menjadi
72,4 juta m3
Aspek
jauh melampaui produksi kayu Indonesia. Tabel 46 menyampaikan
perbandingan pengaturan institusi hutan negara antara Indonesia dan Swedia.
Tabel 46. Perbandingan Pengaturan atas Hutan Negara di Indonesia dengan Hutan Negara di Swedia
Indonesia Swedia(1)
Landasan Peraturan
Undang-Undang Kehutanan Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999
Undang-Undang Kehutanan Swedia tahun 1993
Filosofi Hutan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu sumber penyangga kehidupan, harus disyukuri dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hutan adalah suatu sumber-daya nasional harus dikelola sehingga memberi manfaat maksimal yang lestari dan menjamin pelestarian keaneka-ragaman hayati.
Tujuan Pengelolaan
Menghasilkan hutan berkualitas tinggi dengan beragam produk dan manfaat yang optimal dan terdistribusi secara berkeadilan
Menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi yang memproduksi multiguna
Instrumen teknologi untuk mencapai tujuan
Belum jelas pengaturannya Mengubah orientasi mono-kultur menjadi hutan campuran, dan memadukan sistem silvikultur dengan konservasi sumberdaya hutan secara sederajad.
Peran Pemerintah
1. Pengurusan Regulator Memberikan petunjuk;
191
Aspek Indonesia Swedia(1)
Inventarisasi hutan;
Pengukuhan hutan;
Penatagunaan hutan;
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan;
Litbang, Diklat, Penyuluhan;
Pengawasan;
Informasi Kehutanan
Memberikan hibah kepada
pemilik hutan yang
memenuhi kontrak;
Inventarisasi hutan;
Informasi kehutanan;
Urusan lingkungan (ekologi) tertentu;
Pengaturan timber scaling;
Statistik Kehutanan dan Peramalan tren sektor kehutanan
2. Pengelolaan Menentukan pilihan teknologi, volume produksi, rencana usaha, dan rencana karya tahunan, mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan praktek pengelolaan hutan kepada peru-sahaan IUPHHK,
Memiliki 51% saham pada Perusahaan Negara Kehutanan “Assidoman”, 49% saham di jual di bursa saham Tidak ada pembatasan umur ijin
3. Pemanfaatan Memberikan ijin-ijin usaha pada kawasan hutan negara;
Mengesahkan rencana-rencana usaha dan rencana karya tahunan;
Mengawasi pelaksanaan kewajib-an pengelolaan hutan oleh perusa- haan IUPHHK;
Memberikan sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban perusahaan.
Bersama-sama dengan Dewan Kehutanan Nasional (Skog-svardsforbund) menetapkan traget produksi tahunan; Melalui kantor kehutanan daerah memberikan petunjuk atas renca-na penebangan yang diajukan oleh pemilik/pengelola hutan; Memberikan penilaian atas kinerja produksi, dan merenca-nakan pemberian subsidi penanaman kembali.
Kecenderungan Kinerja Pembangunan Stok Hutan
Negatif (laju deforestasi positif) Positif (Stok tegakan hutan terus meningkat)
Sumber : Skogsstyrelsen. 1994
192
Swedia mengaktualisasikan perubahan orientasi kayu menjadi orientasi
sumberdaya hutan dengan mengubah pilihan teknologi pengelolaan hutan, yaitu
dengan memadukan teknik silvikultur dan teknik konservasi sumberdaya hutan.
Sementara pemerintah tidak terlibat langsung dalam kegiatan operasional, dengan
menyerahkan operasional pengelolaan hutan kepada perusahaan kehutanan
Assidoman/Domansverket, sehingga pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan
publik.
Pemerintah Swedia selain mengambil jarak untuk menghidari keterlibatannya
secara langsung dalam aktivitas tingkat mikro, juga membangun mekanisme kontrol
yang melekat (built in control mechanism) dengan melibatkan publik melalui pasar
modal.
Hasil studi Hirakuri (2003) mendukung teori tentang perlunya pemerintah tidak
terlibat langsung pada urusan tingkat mikro. Studi yang membandingkan praktek
pengelolaan hutan di Brazil dan Finlandia, menunjukkan bahwa pemerintah Brazil
yang banyak mengatur aspek-aspek administratif dan hal-hal detail lainnya, pada
akhirnya kehilangan tingkat kepatuhan yang berakibat kerusakan hutan lebih tinggi
dibandingkan dengan Findlandia yang mengatur hal-hal pokok, dan menyerahkan
keputusan pengelolaan hutan kepada organisasi tingkat mikro, sementara pemerintah
berkonsentrasi pada kebijakan publik memberikan hasil bahwa tingkat kepatuhan
sangat tinggi dan produktivitas hutan lebih tinggi.
Hasil studi Yin (2003), menggambarkan bahwa campurtangan pemerintah yang
minimal mampu meningkatkan partisipasi masyarakat secara nyata dalam
membangun hutan di China. Reformasi yang dilakukan di China bagian utara, yang
193
mengubah sistem komunal menjadi sistem tanggung jawab keluarga (household
responsibility system), yang dikombinasikan dengan perubahan pasar dari sistem
quota produksi dengan mekanisme pasar mampu meningkatkan rasio luas hutan dari
5% menjadi 12.5 %. Sebaliknya di China bagian selatan dimana hutan-hutan dikelola
negara menunjukkan bahwa produktifitas hutannya lebih rendah.
6.2. Arti Penting Kepemilikan Hutan Negara
Mengapa berkembang aturan main yang mempunyai ciri tanpa hirarki, konflik dan
perversif ? Penelitian ini tidak secara khusus meneliti tentang motivasi para pihak
dalam membuat aturan, sehingga tidak memberi jawaban dari sisi motivasi.
UU memberikan “pesan” yang mengambang tentang status kepemilikan hutan
negara, disatu sisi dikatakan bahwa status hutan terdiri dari hutan negara dan hutan
hak, namun di sisi lain diatur bahwa pengertian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”
(pasal 4: 1), pengaturan ini memberikan ketidak pastian tentang siapa pemilik hutan
negara. Ketidak pastian tentang kepemilikan ini menyebabkan definisi tentang hak
properti atas hutan negara tidak lengkap sehingga klasifikasi hak sebagaimana
dikemukakan oleh Schlager dan Ostorm (1992) tidak dapat dilakukan. Hak kelola,
hak sewa dan hak guna adalah hak-hak yang dapat ada kalau jelas pemiliknya. Jika
hak-hak tersebut diberikan tanpa dilandasi dengan ijin dari pemiliknya, maka telah
terjadi tindak kejahatan. Status kepemilikan atas hutan negara yang tidak terdefinisi
dengan lengkap, menyebabkan pemerintah tidak dapat memposisikan kepemilikan
atas asset tegakan di hutan negara dan tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dalam
menata hubungan-hubungan tentang hak-hak properti.
194
6.2.1. Dasar Menentukan Status Asset Tegakan Hutan
Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam lainnya, pengelolaan hutan
melibatkan pembiayaan untuk menghasilkan tegakan hutan, sehingga biaya-biaya
tersebut tersimpan di dalam stok tegakan hutan itu sendiri. Pada pengelolaan tambang
biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan dengan pembuatan stok bahan tambang,
demikian pula dengan perikanan tangkap biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan
dengan pembentukan populasi ikan di laut. Pengelolaan atas dua jenis sumberdaya
alam tersebut tidak perlu secara eksplisit mengatur kepemilikan atas barang tambang
dan ikan di laut, melainkan cukup dengan penguasaan yang efektif.
Undang-undang kehutanan tidak secara spesifik mengatur tentang status asset
tegakan hutan, demikian pula aturan-aturan yang dibangun oleh pemerintah juga tidak
menyinggung status ini. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset memerlukan
kejelasan tentang pengaturan definisi hak properti secara lengkap, sehingga dapat
ditentukan siapa pemilik asset tersebut. Undang-undang dan aturan-aturan yang tidak
secara eksplisit menentukan pemilik hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk
menentukan siapa yang menjadi pemilik atas stok tegakan hutan alam yang berstatus
sebagai hutan negara.
Pengalaman masyarakat Ejidos di Mexico sebagaimana disampaikan oleh Van den
Berg (2001), bahwa 100 tahun yang lalu pemerintah setempat mengubah kebijakan
properti lahan komunal (community land right), menjadi hak pengelolaan kepada
keluarga yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya dan berlaku selama masih
digunakan untuk produksi hasil tanaman. Hak tersebut kembali ke negara bila yang
bersangkutan tidak bekerja sebagai penggarap lahan tersebut. Dari segi keamanan
195
atas hak, skema ini cukup aman, tetapi tidak ada pengakuan atas asset tegakan yang
ditanam. Meskipun keluarga tersebut telah mengeluarkan banyak biaya untuk
menanam pepohonan, namun ketika keluarga itu beralih profesi atau pindah tempat
tinggal, investasinya tidak terakumulasi sebagai asset yang bisa ditransaksikan,
akibatnya seluruh biaya yang sudah ditanamkan menjadi beban tetap (fix cost) bagi
pergantian profesinya.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam IUPHHK adalah kegiatan bisnis dengan tujuan
untuk memaksimumkan keuntungan. Menurut Hampton (1989), untuk
memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan
mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara
meminimumkan biaya produksi. Di dalam Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu,
status asset tegakan merupakan hal yang sangat penting, mengingat bahwa ketidak
jelasan statusnya dapat menimbulkan persepsi sebagai asset menganggur dan
mendorong perusahaan untuk menjadikannya tunai. Hasil penelitian Kartodiharjo
(1998), menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan HPH
tidak termotivasi untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari adalah akibat dari
tidak adanya pengakuan dan pencatatan tegakan sebagai asset.
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan diperlakukan sebagai
biaya yang “hilang sia-sia” karena nilai tesebut tidak tersimpan di dalam tegakan dan
tidak menjadi kekayaan perusahaan maupun pemerintah, tegakan hutan tidak ada
yang memiliki. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa pengakuan asset
memberikan lebih banyak pilihan, karena asset dapat diakumulasikan sebagai alat
penyimpan kekayaan, yang dapat dikonversikan ke dalam jenis asset lainnya atau
196
dikonsumsi sejalan dengan perkembangan kebutuhan, sehingga memberikan insentif
terhadap inovasi dan investasi. Siapapun yang membiayai dan mencurahkan
kemampuannya untuk membangun hutan tidak akan kehilangan nilai usahanya karena
nilai itu tersimpan di dalam tegakan sebagai asset, dan apabila ia memerlukan atau
akan berganti usaha asset tersebut dapat diubah ke jenis asset lainnya dengan cara
bertransaksi kepada pihak yang ingin melanjutkan usaha pembangunan hutan.
Dengan mentransaksikan asset tegakan memungkinkan masuknya perusahaan lain
yang lebih kompeten untuk melanjutkan usaha, dibandingkan dengan
mempertahankan perusahaan yang lama. Sementara apabila tidak diakui sebagai
asset, maka perusahaan-perusahaan kehutanan yang menanamkan uangnya dalam
bentuk tegakan akan terjebak di dalamnya dan tidak dapat keluar dari bisnis ini, jika
ia beralih bidang usaha seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membangun tegakan
harus direlakan sebagai biaya tetap atas pergantian usaha.
Pengakuan tegakan sebagai asset juga mengurangi resiko finansial apabila
didukung dengan kebijakan untuk meniadakan batas umur ijin dan menggantikannya
dengan kriteria kinerja fungsi hutan. Sanksi pencabutan dan umur ijin memberi
ketidak-pastian usaha, karena sewaktu-waktu asset dapat beralih menjadi milik
negara, sehingga lembaga keuangan tidak tertarik untuk membiayai proyek
pembangunan hutan (Ferreira, 2004) . Pengakuan dan jaminan keamanan asset serta
transferabilitasnya dapat meningkatkan bankabilitas proyek pembangunan hutan
(Mendelshon, 1990 di dalam Ferreira, 2004).
Jika pengakuan sebagai assset diintegrasikan dengan neraca sumberdaya hutan,
maka akan diperoleh ukuran moneter atas kekayaan hutan. Dengan adanya ukuran
197
moneter, pembangunan kehutanan dapat dikomunikasikan dalam bahasa yang lebih
mudah dimengerti oleh otoritas fiskal. Dengan demikian kebijakan kehutanan dapat
difasilitasi untuk masuk ke dalam arus utama (main stream) kebijakan ekonomi.
Pengaturan gaya Ejidos tergolong lebih maju daripada IUPHHK karena tiga hal
yaitu ada kejelasan strata hak yang diberikan berupa hak kelola, ada kepastian jangka
panjang berupa kepastian hak sepanjang masih digunakan sesuai kontrak, dan hak
tersebut dapat diwariskan. Berbeda dengan IUPHHK yang diberikan hak
pemanfaatan, dibatasi jangka waktu ijinnya dan tidak dapat diwariskan. Mekanisme
ini bukan saja menimbulkan beban tetap terhadap perusahaan yang akan berganti
bidang usahanya, melainkan juga memberikan ketidak pastian usaha. Adanya sanksi
pencabutan, jangka waktu ijin dan ketentuan bahwa asset tidak bergerak menjadi
milik negara, menyebabkan hutan tidak dapat dijadikan agunan sehingga sulit
mendapatkan layanan investasi dari perbankan.
Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk
mendudukkan status tegakan hutan sebagai asset karena pengakuan asset memerlukan
kejelasan pemiliknya. Tegakan hutan tidak dapat menjadi alat penyimpan asset,
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan alam menjadi biaya yang
hilang karena tidak disimpan sebagai kekayaan, dan bisnis kehutanan sulit mendapat
dukungan perbankan oleh sebab itu perilaku rasional tidak akan membelanjakan
uangnya untuk membangun hutan.
Sama seperti pada bagian terdahulu, pemerintah tidak melakukan perubahan yang
nyata, disamping kemungkinan adanya motivasi untuk memperkuat kekuasaan dan
adanya resistensi namun terdapat kemungkinan bahwa respon ini karena mereka
198
terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal, (Scott, 2008). Dalam
hal ini birokrasi terikat oleh aturan PSAK-32 yang kewenangan regulasinya tidak
langsung berada di Departemen Kehutanan, tetapi pada Ikatan Akuntan Indonesia.
6.2.2. Dasar Menata Hubungan Hak Properti
Pengakuan atas kepemilikan hutan negara akan memudahkan pengaturan strata
hak properti atas hutan secara baik, dapat diketahui siapa pemilik, siapa pengelola,
siapa penyewa dan siapa pengguna. Masing-masing aktor dapat mengidentifkasikan
dirinya, sehingga dapat menjalankan peran masing-masing sesuai dengan
kedudukannya. Kemampuan identifikasi ini akan memfasilitasi pengaturan hirarki
institusi.
Sebagai pembanding dapat diperhatikan pengaturan hak-hak properti hutan negara
yang berlaku di Swedia, data perbandingan ini disajikan pada Tabel 47. Hak
kepemilikan atas hutan diakui secara jelas, sehingga terdapat hutan negara, hutan
milik perorangan, hutan milik perusahaan, dan hutan milik komunitas (Nilsson,
1990). Terhadap hutan yang dimiliki oleh negara, sejak tahun 1993 pemerintah
memberikan hak pengelolaan atas hutan negara kepada perusahaan kehutanan
“AssiDoman”, pemerintah memiliki saham sebesar 51 % dan sisanya 49% dijual ke
pasar modal (Borealforest, 2010). Pemerintah sebagai salah satu pemilik hutan tidak
terlibat langsung dalam urusan-urusan mikro. Pemerintah berkonsentrasi pada
kebijakan publik untuk memajukan kehutanan di seluruh wilayah negaranya. Tugas-
tugas pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang berupa : pemberian
nasehat; distribusi hibah pemerintah kepada pemilik hutan yang berhasil memenuhi
199
kontrak, inventarisasi hutan, aktifitas informasi, urusan-urusan ekologik tertentu,
pengaturan timber scaling, statistik kehutanan dan peramalan sektor kehutanan.
(Skogsstyrelson, 1994).
Selanjutnya undang-undang kehutanan swedia juga mengatur bahwa setiap orang
yang akan melakukan penebangan hutan harus menyampaikan rencana
penebangannya kepada pemerintah setempat untuk diberikan petunjuk apabila
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, dan apabila dalam 15 hari tidak ada
petunjuk maka penebangan dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan rencana
tersebut pemerintah memeriksa dan menilai kondisi setelah penebangan, jika hasilnya
memenuhi kriteria kinerja yang berlaku, maka pemerintah merencanakan besarnya
hibah atau subsidi yang akan diberikan kepada yang bersangkutan untuk membiayai
penanaman kembali. Hal-hal yang bersifat teknis tidak diurus oleh pemerintah secara
langsung melainkan didevolusikan kepada para pemilik/pengelola hutan. Para
pemilik/pengelola hutan membentuk Federasi Pemilik Hutan Swedia (Skogsagarnas
Riksforbund) untuk meningkatkan pendapatan finansial para anggotanya. Tujuan
tersebut dicapai dengan mengkoordinasikan perdagangan kayu dan memberikan
bantuan kepada pemilik tentang teknik-teknik logging dan silvikultur.
Undang-undang kehutanan swedia juga mengatur hak-hak tradisional masyarakat
Swedia yang berupa akses kehutan (right of common acces) setiap orang berhak
melewati hutan milik siapapun, berhak menikmati lanskap, memungut jamur dan
buah berry, dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Aktivitas berkendaraan dan
berkemah yang melampaui 24 jam diharuskan mendapat ijin dari pemilik/pengelola
hutan.
200
Apabila kepemilikan hutan negara dinyatakan dengan jelas seperti yang telah
dilakukan oleh pemerintah Swedia, maka klasifikasi hak sesuai metoda Schlager dan
Ostorm (1992) dapat dilakukan atas properti hutan negara menjadi sebagai berikut :
pemilik hutan negara adalah negara mewakili warga negara Indonesia, yang
dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan pengurusan hutan; pengelola
adalah pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan pengelolaan tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota, sedangkan pengelola tingkat unit adalah KPH pada
hutan negara dan masyarakat adat terhadap hutan adat serta pihak lain yang diberikan
wewenang pengelolaan; termasuk dalam kelompok penyewa adalah penerima ijin
usaha pemanfaatan kawasan dan penerima ijin usaha jasa lingkungan wisata alam
yang memerlukan areal tertentu untuk mengembangkan produk wisatanya; terakhir
dapat digolongkan sebagai pengguna adalah penerima ijin-ijin usaha pemanfaatan
kayu, bukan kayu, produk jasa lingkungan dan penerima ijin pemungutan hasil hutan.
Klasifikasi menurut Schlager dan Ostorm (1992) tersebut dapat membantu untuk
memposisikan KPHP dan pihak-pihak lainnya dengan lebih jelas dan lebih baik
dibandingkan dengan penataan menurut peraturan pemerintah yang ada. Dengan
memanfaatkan klasifikasi Schlager dan Ostorm, maka hubungan-hubungan tersebut
dapat diatur menjadi sebagaimana Tabel 48.
Negara sebagai perwakilan seluruh rakyat Indonesia dapat diposisikan sebagai
“pemilik” hutan negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah melalui
kewe-nangan pengurusan hutan. Negara sebagai pemilik hutan mempunyai strata hak
yang paling lengkap, termasuk hal alienation yaitu hak untuk memindah tangankan
seluruh atau sebagian dari hutan tersebut kepada pihak lain. Melalui kewenangan
201
pengurusan, pemerintah dapat melakukan tindakan alih fungsi hutan produksi
termasuk mengubah status hutan menjadi bukan hutan, tukar menukar kawasan, dan
ijin pinjam pakai. Pemerintah mempunyai pilihan untuk mengaktualisasikan hak-hak
atas kepemilikannya dengan cara melaksanakan sendiri atau dengan cara memberikan
kepada pihak lain kepada pengelola, penyewa dan atau pengguna sesuai dengan strata
hak yang diberikan.
Agar efektif batasan hak properti harus lengkap dan tepat, oleh karenanya setiap
pilihan mengandung implikasi pendelegasian hak-haknya. Jika pemilik memilih
menjalinj hubungan dengan pengelola, maka hak-hak access and withdrawal,
management, dan exclusion, harus didevolusikan kepada pengelola, sementara hak
allienasion tetap menjadi hak pemeili8k untuk melaksanakannya. Demikian pula jika
pemilik menjalin hubungan dengan pengguna, maka hak yang diberikan adalah
access and withdrawal, sehingga strata hak yang lainnya menjadi tanggung jawab
pemilik untuk melaksanakannya.
Situasi yang berlaku saat ini, pemerintah juga tidak dapat membuat definis hak-
hak properti atas hutan negara secara lengkap dan jelas, kedudukan pemilik,
pengelola, penyewa dan pengguna (pemanfaat) tidak terdifinisi dengan baik, sehingga
terjadi kerancuan pengaturan. Dalam kasus IUPHHK, pengguna diposisikan sebagai
pengelola dengan memberikan beban kewajiban-kewajiban pengelolaan. Pemerintah
tidak mampu mengidentifikasikan dirinya, akibatnya tidak dapat mengidentifikasi
peran diri sendiri dan aktor-aktor lain dalam menjalin hubungan kontraktual
dengannya. Oleh sebab itu sejalan dengan pendapat Titienberg (1992) hak-hak
properti atas hutan tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
Tabel 47. Perbandingan Penggunaan Strata Hak Pada Hutan Negara di Indonesia dan Swedia Strata Hak Indonesia Swedia
Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Access and withdrawal
Diatur pemerintah
Tidak Jelas pelaku dan pengaturannya
Tidak Jelas pelaku dan pengaturannya
Mendapat ijin usaha dari pemerintah dengan dibebani kewajiban pengelolaan
Negara menyerahkan kewenangannya kepada pengelola, Perusahaan Negara Kehutanan (Assidoman)
(Assidoman) Berwenang melaksanakan
Atas ijin pengelola
Dijamin oleh undang-undang sebagi right of common access. Seijin pengelola jika melampaui batas 24 jam
Management
Diatur pemerintah
na Berwenang melaksanakan
Atas ijin pengelola
na
Exclusion Diatur pemerintah
na Na Berwenang melaksanakan
na Na
Alienation Diatur pemerintah
na na na Menjualan saham di bursa saham
na na na
203
Tabel 48. Pengaturan Hak-hak Properti yang Berlaku pada KPHP, Berdasarkan Klasifikasi Schlager dan Ostorm
Strata Hak
PEMILIK (Owner)
PENGELOLA (Proprietor)
PENYEWA (Claimant)
PENGGUNA (Autorized
User)
Negara KPH, Hutan Adat, Hutan
Desa IUPK, IUPJL
IUPHHK, IUPHHBK,
IUPHH, IUPJL
Access and Withdrawal X X X X
Management X X X Exclusion X X Alienation X
Kerancuan dalam mendefinisikan hak properti menyulitkan pemerintah dalam
memposisikan hirarkhi institusi dan kebijakan secara jelas menyebabkan pemerintah
pusat dan daerah memasuki wilayah-wilayah mikro yang merupakan domain urusan
individu, hal seperti ini tidak terjadi di Swedia. Ijin-ijin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu yang merupakan hubungan transaksi individu ditangani langsung oleh
Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Menteri
juga terlibat langsung dalam memutuskan pilihan teknologi yang digunakan pada
pengelolaan hutan tingkat KPH. Sedangkan Bupati/walikota dan Gubernur juga
mengambil alih peran yang dapat dilakukan oleh KPH, sehingga terlibat langsung
dalam transaksi pemanfaatan kawasan, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan, yang merupakan urusan tingkat mikro. Pilihan manajemen
yang memposisikan Menteri, Gubernur dan Bupati/walikota terlibat dalam urusan
tingkat mikro memerlukan penguasaan informasi yang detail dan kapasitas
pengendalian dan pengawasan yang kuat. Penguasaan informasi secara cepat menjadi
204
semakin penting jika dikaitkan dengan misi pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi
hutan, dimana karakterisitik tegakan hutan disamping sebagai produk, ia juga
berperan sebagai “pabrik” sehingga jika terjadi kesalahan akan berdampak jangka
panjang. Oleh sebab itu informasi yang cepat dapat memberikan arahan untuk
mengambil tindakan secara cepat guna menghindari dampak buruk yang meluas.
PP no. 34/2002 dan PP no. 6/2007 mempunyai bias terhadap hutan negara. Hal-hal
yang diatur lebih tepat diberlakukan untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan
negara, sedangkan undang-undang memerintahkan pengaturan terhadap seluruh status
hutan, sehingga pembentukan KPH, penunjukan pengelola dan prosedur perijinan
tidak tepat diberlakukan pada hutan hak, hutan adat, hutan desa yang menurut
undang-undang diberikan kewenangan pengelolaan. Bias pengaturan ini dapat terjadi
karena logika tata urutan penetapan tidak diikuti, undang-undang membangun logika
urutan penetapan dimulai dari status hutan, fungsi hutan, wilayah pengelolaan,
pemanfaatan dan terakhir perijinan.
6.3. Respon Pemerintah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat tiga respon pemerintah
yaitu mengosongkan pranata pengelolaan hutan tingkat unit, memindahkan tanggung
jawab pengelolaan hutan dan kapasitas penegakan aturan yang lemah.
6.3.1. Kekosongan Pranata Pengelolaan Hutan Tingkat Unit.
Definisi hak properti atas hutan negara yang tidak lengkap, tegakan yang tidak
diakui sebagai asset dan hirarki yang rancu, memberikan pilihan kepada pemerintah
205
untuk tidak segera membentuk pengelolaan tingkat unit (KPH). Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 tidak ada satupun unit manajemen
KPHP yang telah dilengkapi dengan organisasi yang beroperasi di lapangan. Luas
KPHP yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan data tersebut baru
mencapai 4% dari luas hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Dengan
demikian tidak ada orgaisasi yang bekerja untuk melaksanakan tugas pengelolaan
hutan negara, atau terjadi kekosongan pranata pengelola hutan tingkat unit.
Kekosongan pranata ini diisi dengan cara memindahkan tanggung jawab pengelolaan
hutan dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK dan dengan
mengambil wewenang melaksanakan hubungan transaksional pemanfaatan hasil
hutan dari pengelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Kekosongan pranata ini telah
terjadi sejak dimulainya sistem pengusahaan hutan pada tahun 1970 dan berlangsung
sampai sekarang.
Hak pengelolaan yang efektif berdasarkan Schlager dan Ostorm (1992) harus
dilengkapi dengan strata hak (1) access and withdrawal, (2) management, dan (3)
exclusion. Strata hak management dan exclusion masih dipegang oleh pemerintah,
oleh sebab itu pemberian kewajiban pengelolaan kepada perusahaan tidak
menghilangkan situasi kekosongan pranata. Dengan demikian pilihan kebijakan ini
memiliki peluang gagal yang tinggi terutama jika tidak didukung oleh penguasaan
informasi dan kapasitas pengawasan yang tinggi oleh pemerintah. Adalah tugas
pemerintah untuk mengubah ketidak-pastian menjadi resiko yang dapat
diperhitungkan melalui kebijakan publik sehingga memfasilitasi perusahaan untuk
memasuki bisnis dan mengambil resiko itu, bukan tindakan yang sebaliknya.
206
KPHP yang diharapkan dapat diperankan sebagai pengelola yang dilengkapi
dengan strata hak access and withdrawl, management, dan exclusion pada akhirnya
tidak dapat menjalankan peran tersebut karena hak management, dan exclusion
diambil alih oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 yang telah
menjabarkan tugas dan tanggung jawab kepala KPH belum dapat memposisikan
KPHP secara baik. Dengan pengambil-alihan kedua strata hak-hak tersebut, maka
kepala KPHP hanya berperan sebagai pekerja pelaksana dari pemegang wewenang
pengelolaan yang sesungguhnya.
6.3.2. Salah Pilih (adverse selection)
Tujuan pemerintah melakukan seleksi perusahaan penerima IUPHHK baik melalui
mekanisme lelang maupun pengajuan permohonan adalah agar diperoleh mitra kerja
yang berkualitas tinggi dan kompeten untuk melaksanakan pekerjaannya dan
kewajiban yang diberikan kepadanya untuk mengelola hutan. Akan tetapi hasil
penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mendapat kualifikasi baik dari 40
perusahaan contoh hanya sekitar 10 %, populasi, sedangkan perusahaan yang tidak
berkualifikasi baik lebih dominan. Dengan demikian mekanisme yang dijalankan oleh
pemerintah tidak berhasil memilih perusahaan yang baik, pemerintah telah salah
pilih. Bagaimana hal ini terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Mekanisme seleksi kualifikasi yang dilakukan oleh Menteri terdistorsi oleh
prosedur yang mengharuskan perusahaan yang lulus seleksi mendapatkan
rekomendasi bupati dan gubernur. Subyektifitas bupati dan gubernur menjadi penentu
pemilihan calon perusahaan yang akan menerima IUPHHK. Selain itu masing-
207
masing perusahaan lebih mengetahui kapasitasnya atau keinginannya untuk
memenuhi aturan main atau kewajiban yang diterima apabila ijin diberikan
dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Diasumsikan bahwa terdapat dua
jenis perusahaan yang mengikuti proses lelang, yaitu perusahaan yang “baik” yaitu
perusahaan yang mempunyai komitmen pada pengelolaan hutan lestari, ia telah
menginternalisasikan kewajiban-kewajiban kedalam bisnisnya sebagai bagian nilai-
nilai perusahaan dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan ini
melaksanakan kewajiban-kewajiban itu sesuai dengan standard dan ketentuan yang
berlaku. Jenis perusahaan kedua adalah perusahaan “buruk” adalah perusahaan-
perusahaan yang memposisikan kewajiban sebagai beban exogenus yang tidak
berhubungan dengan kepentingan usahanya. Ia akan meminimumkan biaya
menjalankan kewajiban, termasuk dengan cara melaksanakan kewajiban dibawah
standar aturan yang berlaku. Jenis perusahaan “baik” akan memiliki kurva permintaan
yang tajam, sedangkan perusahaan “buruk” akan mempunyai kurva permintaan yang
lebih landai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darusman, et all (2003) yang
menunjukkan bahwa biaya perunit output perusahaan yang menerapkan PHL sedikit
lebih tinggi dari biaya perusahaan non-PHL meskipun perbedaan tersebut tidak
signifikan.
Di dalam setiap unit ijin melekat satu set kewajiban untuk mewujudkan PHL,
dengan demikian dapat dianalogikan bahwa unit ijin setara dengan set kewajiban.
Kemiringan kurva permintaan ijin menurun karena setiap penambahan satu set
kewajiban menyebabkan utilitas marginalnya menurun, dan sampai batas tertentu
nilai marginal utilitasnya sama dengan nol. Sementara itu kurva suplai yang
208
menggambarkan seperangkat kewajiban mempunyai kemiringan mendatar karena
hanya ada satu set kewajiban pada setiap ijin dan nilai biaya perunit dianggap tetap.
Pemerintah pada prinsipnya melakukan penawaran ijin (set kewajiban) kepada
pelaku bisnis, dan pelaku bisnis memberikan permintaan ijin (set kewajiban) maka
hubungan transaksional keduanya dapat diilustrasikan pada gambar 23.
Gambar 23. Adverse Selection pada Perijinan Pemanfaatan Kayu
Jika S adalah kurva penawaran set kewajiban, dan MB adalah kurva permintaan
set kewajiban perusahaan “baik”, dan MB1 adalah kurva permintaan set kewajiban
perusahaan “buruk” , Q adalah jumlah ijin dan jika diasumsikan setiap ijin dimiliki
oleh satu perusahaan maka Q juga mencerminkan jumlah perusahaan, sedangkan UC
adalah beban perunit yang timbul sebagai konsekwensi pelaksanaan kewajiban.
UC
Pi
Pe
MB MB1
S
S1
Q1 Q2 Q3 Q
209
Pemerintah hanya mempunyai satu tarif (set kewajiban) yang dibayar secara tunai
dalam bentuk iuran ijin usaha (IIU), dana reboisasi (DR) dan provisi sumberdaya
hutan (PSDH) dan dibayarkan tidak dalam bentuk tunai yang berupa kewajiban-
kewajiban pengelolaan hutan lestari. Tidak ada pembedaan tarif untuk perusahaan
“baik” dan perusahaan “buruk”. Pada tingkat penawaran S maka biaya perunit adalah
merupakan tarrif yang ditentukan pemerintah sebesar Pe, maka jumlah perusahaan
atau jumlah ijin yang ditransaksikan adalah Q2 yang terdiri dari perusahaan baik
sebanyak Q1 dan perusahaan buruk sebanyak (Q2 – Q1). Apabila pemerintah
mengubah aturan mainnya yang mengakibatkan beban perunitnya meningkat hingga
> Pi, maka hanya perusahaan buruk yang memasuki bisnis kehutanan sebanyak Q3.
Jika data hasil penilaian kinerja tersebut diterapkan pada gambar 22, maka Q1
adalah perusahaan yang mempunyai nilai baik sebesar lebih-kurang 10 %, perusahaan
yang tidak masuk dalam kategori baik adalah (100% - 10%) atau sebanyak 90%.
Adanya adverse selection menghadirkan lebih banyak perusahaan tidak dalam
kategori baik yang memasuki usaha kehutanan. Dalam penelitian ini ditunjukkan
oleh jumlah perusahaan yang tergolong baik hanya berkisar 10%, dan perusahaan
yang menjalankan visi dan misinya dengan baik tidak lebih dari 5% saja. Mengingat
bahwa salah satu kriteria penting yang digunakan dalam proses seleksi adalah
pernyataan visi dan misi, namun kenyataan menunjukkan bahwa hanya 5 % yang
menjalankannya, dan hanya 10 perusahaan penerima IUPHHK tergolong sebagai
perusahaan yang mencapai nilai akhir baik. Kenyataan ini mengkonfirmasi adanya
masalah salah pilih.
210
6.3.3. Penegakan Lemah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas dalam mengendalikan
pelaksanaan kewajiban teknis dan administrasi perusahan (urusan mikro) adalah
rendah, didukung dengan kemampuan menguasai informasi yang rendah pula, serta
adanya peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan secara bersama-
sama membuat penegakan aturan lemah. Hubungan keterkaitan dari berbagai masalah
yang timbul dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah diilustrasikan pada
gambar 24.
Pengidentifikasian pengguna yang diposisikan sebagai pengelola dan adanya
kekosongan pranata pengelola hutan, menimbulkan konflik kepentingan para pihak
yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu. Keterlibatan
pemerintah pada urusan mikro dan inkonsistensi dalam penempatan kewenangan
menyebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sangat rumit.
Kompleksitas ini menimbulkan peluang dibuatnya peraturan-peraturan yang
mengandung konflik kepentingan. Ketentuan tentang sanksi administrasi yang berupa
penghentian pelayanan, penghentian kegiatan di lapangan dan pencabutan ijin, akan
berdampak kepada kepentingan pemerintah. Penerapan sanksi-sanksi tersebut secara
konsisten akan berpengaruh kepada penurunan produksi, dan pemerintah
berkepentingan atas kinerja produksi hasil hutan.
Konflik ini mendorong pemerintah memberikan toleransi-toleransi dalam
penegakan aturan, signal ini menunjukkan adanya ruang negosiasi terhadap sanksi
pelanggaran administrasi, maka berlakukah apa yang disebutkan oleh Wiliamson
(1985) terdahulu, bahwa situasi ini membuka peluang kolusi antara pengawas dan
211
perusahaan. Kebiasaan perusahaan yang lebih banyak mengembangkan manajemen
lobi daripada manajemen profesional (Abeng, 1996), juga mendukung terjadinya
pelemahan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998) maka situasi yang berlaku pada masa
HPH masih belum berubah dimana pemerintah dan pengusaha terjebak dalam
perilaku opportunistik.
Gambar 24. Hubungan antara Struktur tidak Efektif dengan Kapasitas Penegakan
Kapasitas pemerintah yang lemah dalam penegakan aturan ditunjukkan oleh data
hasil penelitian bahwa jumlah perusahaan yang termonitor dikenakan sanksi dalam
bentuk peringatan maupun eksekusi terlalu rendah jika dibandingkan dengan jumlah
perusahaan yang mendapat nilai buruk. Mengingat bahwa penilaian yang dilakukan
oleh Lembaga Penilai Independen dilakukan dengan membandingkan antara
KesalahanIdentifikasi
PeranPemerintahPengusaha
KonflikAturan
KonflikKepentingan
SulitDitegakkan
Asymmetric Information
LobbyTransaksi
KapasitasPenegakan
AturanLemah
KesalahanIdentifikasi
PeranPemerintahPengusaha
KonflikAturan
KonflikKepentingan
SulitDitegakkan
Asymmetric Information
LobbyTransaksi
KapasitasPenegakan
AturanLemah
212
peraturan dan pelaksanaannya maka nilai buruk memberikan indikasi pelanggaran,
namun tidak semua pelanggaran dikenakan sanksi oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil nilai pada verifier-verifier pada keempat kelompok indikator
diketahui adanya kecenderungan bahwa hanya sebagian kecil perusahaan yang
melaksanakan peraturan yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaaan yang mencapai
nilai baik pada verifier-verifier tersebut rata-rata berada dibawah 10%. Pada Tabel 49
disampaikan aturan (verifier) yang paling banyak dilanggar yang ditunjukkan oleh
jumlah perusahaan yang tidak mendapat nilai baik pada verifier / indikator yang
bersangkutan.
Selama periode tahun 2004-2009 pemerintah telah menjatuhkan sanksi pencabutan
ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebanyak 59 ijin yang mendekati 20% dari
jumlah ijin yang diberikan dan berlaku pada periode tersebut. Pencabutan ini
sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama
lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan
rencana produksi tahunan (RKT) selama tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini
sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10
tahun. Sebanyak 17 ijin dicabut karena diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada
pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan
lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima
tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya.
Pencabutan terhadap 20% dari ijin yang diterbitkan, tidak menggambarkan
kemampuan pemerintah dalam menegakkan aturan. Berdasarkan data sanksi yang
diberikan oleh pemerintah baik dalam bentuk peringatan pertama, peringatan kedua,
213
peringatan ketiga dan eksekusi atas sanksi diketahui bahwa jumlah perusahaan yang
mendapatkan sanksi berbanding terbalik dengan perusahaan yang tidak mendapat
nilai baik. Jika diperhatikan Tabel 49 jumlah perusahaan yang tidak menjalankan
aturan penggunaan tenaga kerja mencapai 97,5 % namun jumlah perusahaan yang
mendapat sanksi peringatan pada tahun 2008-2009 sebanyak 3 perusahaan (+ 1%).
Diantara 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh terdapat 1 (2.5%) perusahaan
yang mendapat sanksi peringatan, selebihnya tidak mendapat sanksi dari pemerintah.
Mengingat bahwa pemerintah mengatur urusan mikro, maka sangat banyak aturan
yang harus ditegakkan. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kapasitas dalam
menegakkan aturan tergolong lemah, pemerintah hanya mempunyai kiemampuan
terbatas untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian kontrak dengan penerima IUPHHK
Tabel 49. Daftar 9 Ketentuan yang Paling Banyak Dilanggar Berdasarkan Nilai Verifier Hasil Penilaian LPI pada 40 Perusahaan Tahun 2008- 2009
No Verifier Jumlah perusahaan tidak bernilai baik (%)
1 Realisasi secara fisik pembinaan dan perlindungan hutan (BIN)
95
2 Keberadaan tenaga professional kehutanan (SDM) 97.5
3 Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL) 97.5
4 Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS)
97.5
5 Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA) 97.5
6 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3)
97.5
7 Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic
100
8 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic 100
9 Pengelolaan Fauna langka, dilindungi, endemic 97.5
214
6.4. Respon Perusahaan
Perusahaan merspon peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah dan sekaligus
juga merespon perilaku pemerintah, oleh sebab itu penting disini untuk memahami
bagaimana sistem yang dibangun bekerja dilapangan.
6.4.1. Cara Kerja Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
Definisi hak properti yang tidak lengkap, kekosongan pranata dan pemindahan
tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan IUPHHK-HA,
membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatur perlakuan akuntansi atas biaya-
biaya yang timbul pada pengelolaan hutan sebagai asset. Pilihan kebijakan yang
pertama mempengaruhi perilaku pemerintah dalam menentukan pilihan-pilihan
kebijakan selanjutnya. Hubungan-hubungan tersebut diilustrasikan seperti gambar 25.
Struktur peraturan yang tidak secara tegas mengakui tegakan hutan alam sebagai
asset dan penjelasan undang-undang yang menyatakan bahwa pengertian negara
“menguasai” seluruh hutan di Indonesia tidak berarti “memiliki” menimbulkan
kendala bagi pemerintah untuk memposisikan kepemilikan hutan negara sejajar
dengan kepemilikan hutan hak oleh individu, meskipun pengertian tersebut
dimaksudkan untuk menghindari penafsiran perampasan hak kepemilikan warga
negara atas hutan hak oleh negara bukan dimaksudkan sebagai larangan bagi negara
untuk memiliki hutan negara. Tidak adanya penegasan tentang kepemilikan hutan
negara dan tidak adanya pengakuan tegakan hutan alam sebagai asset mempengaruhi
definisi hak properti atas hutan negara, sehingga menghasilkan aturan yang tidak
mendefinisikan hak properti secara lengkap.
215
Gambar 25. Keterkaitan Unsur-unsur Penyebab Institusi Tidak Efektif
Pilihan kebijakan seperti yang diatur atau sengaja tidak diatur dalam peraturan-
peraturan pemerintah tersebut, membawa implikasi kepada peraturan-peraturan
tingkat menteri yang menyebabkan banyaknya urusan-urusan pemerintah di tingkat
mikro. Seperti telah dingatkan oleh berbagai ahli (Douglas C North, Oliver C
Williamson, Joseph E Stiglitz dan Hendix Van den Berg) bahwa peran pemerintah
sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang bersaing, namun
kekuasaan yang besar pada pemerintah dapat membahayakan kelangsungan ekonomi.
Oleh karenanya tidak diharapkan pemerintah mencampuri urusan-urusan individual
kegiatan usaha, pemerintah sebagai regulator dan wasit penegak aturan sebaiknya
tidak dalam waktu yang bersamaan berperan sebagai pemain. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa lebih dari 56 % kewenangan urusan-urusan pengelolaan dan
Definisi Hak PropertiTidak lengkap &
inkonsistensi hirarkhiwewenag makro,
meso, mikro
Investasi tidakmenghasilkan asset Perversi
Kekuasaan
Informasiasimetrik
KonflikAturan
KesalahanIdentifikasiIUPHHK :
Penggunasebagai
Pengelola
Biaya Transaksi Tinggi
Definisi Hak PropertiTidak lengkap &
inkonsistensi hirarkhiwewenag makro,
meso, mikro
Investasi tidakmenghasilkan asset Perversi
Kekuasaan
Informasiasimetrik
KonflikAturan
KesalahanIdentifikasiIUPHHK :
Penggunasebagai
Pengelola
Biaya Transaksi Tinggi
Definisi Hak PropertiTidak lengkap &
inkonsistensi hirarkhiwewenag makro,
meso, mikro
Investasi tidakmenghasilkan asset Perversi
Kekuasaan
Informasiasimetrik
KonflikAturan
KesalahanIdentifikasiIUPHHK :
Penggunasebagai
Pengelola
Biaya Transaksi Tinggi
216
pemanfaatan hutan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang seharusnya
sementara 44% urusan-urusan yang diatur dalam peraturan menteri telah ditempatkan
pada posisi yang sebenarnya. Banyak urusan-urusan tingkat mikro yang diposisikan
pada tingkat meso dan makro, demikian pula terdapat urusan tingkat meso yang
kewenanganya diposisikan pada tingkat makro. Masih terdapat kecenderungan
sentralisasi kekuasaan yang berupa mengangkat urusan tingkat yang lebih rendah ke
tingkat yang lebih tinggi.
Struktur yang demikian dan adanya kendala-kendala lain yang dimiliki pemerintah
yang menyebabkan pemerintah tidak segera memberdayakan KPH, mendorong
pemerintah untuk memposisikan pengguna hak/pemanfaat hutan alam sebagai
pengelola melalui pengaturan pemberian beban kewajiban pengelolaaan hutan dan
ancaman sanksi-sanksi termasuk pencabutan ijin kepada penerima HPH/IUPHHK.
Posisi perusahaan penerima HPH/IUPHHK yang lemah dihadapan pemerintah dan
adanya kondisi informasi yang tidak simetrik merupakan insentif bagi pembuatan
aturan-aturan yang mengandung perversi kekuasaan, yaitu kebijakan atau tindakan
yang menguntungkan satu pihak atas beban pihak lain. Sebaliknya perversi kekuasaan
memberikan kemampuan untuk menciptakan kebijakan atau tidak membuat kebijakan
yang menimbulkan informasi tidak simetrik.
Struktur yang diciptakan melalui cara-cara di atas menimbulkan kerumitan
administrasi dan manajemen, akibat dari kompleksitas ini lahirlah peraturan-peraturan
yang mengandung konflik kepentingan. Dengan struktur yang banyak mengandung
masalah ini menimbulkan biaya transaksi tinggi termasuk dengan memberikan
peluang kepada pencari rente dan free riders.
217
Disamping itu, cara pengaturan yang berupa pemindahan tanggung jawab
pengelolaan hutan dan perolehan informasi pelaksanaan perjanjian dari pemerintah
kepada perusahaan adalah bentuk pengaturan yang mengandung konflik kepentingan.
Selain itu kebijakan penggunaan teknik silvikultur intensif (SILIN) yang berdasarkan
laporan Heriansyah (2008) menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dan
kehilangan sumberdaya genetik, dan demikian pula Peraturan Menteri Kehutanan no
P.11/Menhut-II/2007 yang menurunkan batas diameter yang dapat ditebang, adalah
peraturan yang mengandung konflik kepentingan pemerintah. Keputusan-keputusan
ini diambil karena desakan kebutuhan meningkatkan produksi jangka pendek,
sementara kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan multiproduk harus
dikorbankan. Konflik kepentingan ini terjadi karena pemerintah berperan sebagai
regulator, wasit dan pemain, bangun institusi yang seperti ini akan cenderung tidak
stabil, mudah berubah bergantung kepada kekuatan kelompok kepentingan yang
bermain.
Bangunan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi, melibatkan
pemerintah dalam urusan-urusan tingkat mikro, rancang bangun institusi seperti ini
memerlukan dukungan informasi yang kuat. Kapasitas pemerintah dalam penguasaan
informasi tentang hutan, hasil hutan, perusahaan, dan tentang perbuatan perusahaan di
lapangan tergolong lemah. Data dan informasi tentang kondisi hutan yang dimiliki
oleh pemerintah adalah data yang memiliki resolusi rendah dan tidak aktual.
Kebutuhan pemerintah atas data beresolusi tinggi dalam rangka menjalankan
wewenangnya bergantung dari data informasi milik perusahaan. Situasi penguasaan
218
informasi yang lemah masih belum berubah jika dibandingkan dengan situasi pada
masa HPH (Kartodihardjo, 1998)
Dalam menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian IUPHHK,
pemerintah memperoleh informasi dari perusahaan yang bersangkutan. Prosedur
evaluasi keberlanjutan ijin usaha yang dilakukan dengan mengundang perusahaan
(direksi dan komisaris) untuk mempresentasikan laporannya didepan kelompok kerja
adalah bentuk paling kongkrit dari ketergantungan ini. Sementara itu penilaian
kinerja yang dilakukan oleh lembaga penilai independen yang dibiayai oleh
perusahaan IUPHHK yang dinilai, terutama pada penilaian kedua dan seterusnya,
adalah modifikasi dari cara evaluasi tersebut diatas.
Hubungan kontraktual yang berlaku dalam sistem pengusahaan hutan /HPH tidak
berbeda dengan sistem ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu/IUPHHK (periksa
Lampiran 3). Pada kedua sistem tersebut mempunyai kemiripan dalam proses-proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya banyak melibatkan peran pemerintah
pusat dan daerah sampai pada tingkat mikro, demikian pula dengan kewajiban-
kewajiban yang menjadi beban perusahaan. Meskipun terdapat perbedaan dalam
proses perolehannya, dimana dalam sistem HPH hubungan koneksitas antara
pemohon dengan pemerintah sangat kuat, sedangkan dalam mekanisme IUPHHK
perolehan dilakukan dengan mekanisme “lelang” namun mekanisme yang
mengharuskan adanya rekomendasi bupati/walikota dan gubernur masih memberikan
adanya hubungan koneksitas yang mempengaruhi sistem. Dalam penelitian
Kartodihardjo (1998), diketahui bahwa institusi yang bekerja pada sistem
pengusahaan hutan (HPH) menimbulkan transaksi biaya tinggi. Sedangkan penelitian
219
Mardipriyono (2004) dan Darusman dan Bahruni (2003) pada Tabel 44 menunjukkan
bahwa institusi yang bekerja pada sistem IUPHHK juga menimbulkan transaksi biaya
tinggi, termasuk di dalamnya teridentifikasi biaya-biaya transaksi yang merugikan
dan illegal. Kedua penelitian tersebut dilakukan pada dua rejim institusi yang
berbeda, namun kedua-duanya menyimpulkan terjadinya biaya transaksi tinggi,
merugikan dan illegal. Oleh sebab itu terdapat indikasi bahwa institusi yang bekerja
pada sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan belum terbebas dari transaksi biaya
tinggi, transaksi merugikan dan transaksi illegal
Hasil penelitian ini menunjukkan respon perusahaan yang berbeda dengan respon
layak yang diharapkan. Jumlah perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik hanya
berkisar 10 % dari 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh, ini mengindikasikan
bahwa hanya sedikit perusahaan yang menempatkan kegiatan pengelolaan hutan
lestari sebagai kegiatan prioritas perusahaan. Bagian terbesar dari penerima IUPHHK
tidak tertarik untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari yang juga diindikasikan
secara kuat oleh banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan visi dan misinya
(95%), perilaku ini adalah respon dari struktur dan akibat dari salah pilih.
Perhitungan korelasi antara umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan
induk dengan capaian nilai kinerja menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut tidak
berhubungan dengan capaian nilai akhir kinerja pengelolaan hutan pada tingkat unit
manajemen. Umur atau lamanya kepemilikan ijin oleh perusahaan yang tidak
berkorelasi dengan capaian nilai akhir kinerja, menunjukkan perilaku bahwa
perusahaan tidak mengalami proses belajar untuk mengelola hutan secara lestari.
Diantara 10% perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik terdapat perusahaan baru
220
dan perusahaan lama, demikian pula masih banyak perusahaan yang telah lama
beroperasi namun mempunyai nilai yang tidak termasuk dalam kategori baik.
Sedangkan tidak ada korelasi antara luas konsesi dengan nilai akhir menjelaskan
bahwa kedudukan perusahaan IUPHHK sebagai pengguna, tidak mempunyai
kepentingan langsung dengan keberhasilan pengelolaan hutan, oleh sebab itu ia tidak
memiliki kepentingan langsung dengan luas ijin. Data hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua variabel-variabel yang berupa kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan
untuk menghasilkan STOK mempunyai korelasi yang tidak nyata dengan potensi
hutan dan rentabilitas. Korelasi yang tidak nyata menunjukkan bahwa aktivitas
perusahaan tidak sedang membangun stok tegakan melainkan sedang melakukan
produksi jangka pendek.
Kedudukannya sebagai pengguna menyebabkan perusahaan tidak memiliki hak
mengeksklusi atas manfaat dan biaya, dan tidak memiliki hak mengelola hutan,
sehingga luas konsesi tidak dapat menggambarkan efektifitas penggunaan hak-hak
tersebut melainkan hanya sebagai informasi untuk memperkirakan manfaat yang
dapat ia terima dalam jangka waktu tertentu.
Pada penilaian indikator prasyarat, berdasarkan 6 indikator yang termasuk sebagai
indikator fokus yaitu yang mempunyai peranan penting dalam mencapai pengelolaan
hutan lestari, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada setiap indikator
berkisar pada angka 10%, apabila masing-masing berbobot sama maka rata-rata
jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 8,3%. Sebagian besar perusahaan
tidak mampu memenuhi atau mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari.
Informasi ini menjelaskan bahwa struktur institusi pengelolaan dan pemanfaatan
221
hutan tidak memberikan insentif untuk mengarahkan perilaku perusahaan dalam
mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari.
Pada indikator produksi, berdasarkan rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai
nilai baik pada setiap indikator diperoleh nilai rata-rata jumlah perusahaan yang
mencapai nilai baik adalah 8,9 persen, nilai sedang sebanyak 59,6 persen dan 31
persen buruk. Indikator-indikator ini mencerminkan perilaku perusahaan dalam
menjalankan aktifitas produksi kayu, sebagian besar berperilaku tidak termasuk
dalam kategori baik dan 31 persen nyata-nyata berperilaku buruk. Untuk memahami
makna dari hasil nilai ini, sebagai contoh digunakan indikator (P.2.1) sebagaian besar
perusahaan mempunyai nilai sedang dan buruk, ini menunjukkan bahwa dokumen
perencanaan yang terkait dengan perencanaan blok dan petak tebangan terdapat
ketidak sesuaian antara isi dokumen dengan kondisi lapangan, dan sebagian dokumen
tersebut hanya formalitas untuk memenuhi syarat administrasi saja. Sementara itu
pada indikator (P.2.2) dimana perusahaan yang mendapatkan nilai buruk sebesar
52.5%, berarti bahwa terdapat verifier yang bernilai buruk yang menunjukkan bahwa
ada ketentuan yang tidak dilaksanakan. Meskipun produksi adalah tujuan utama
perusahaan IUPHHK, namun institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak dapat
mengarahkan perilaku perusahaan untuk memberikan prioritas pada cara-cara
menjalankan produksi yang lestari.
Jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada kelompok indikator ekologi
sangat sedikit, jika diambilkan rata-ratanya hanya sebesar 3,4%. Pada indikator
(E.3.4) ketersediaan prosedur identifikasi dan implementasi flora-fauna langka,
dilindungi dan endemik, dan indikator (E.3.5) tentang pengelolaanya, tidak ada
222
satupun dari contoh perusahaan dalam penelitian ini yang mempunyai nilai baik.
Perusahaan tidak sungguh-sungguh memperhatikan indikator ekologi, karena produk
tindakan-tindakan pengelolaan ekologi adalah berupa barang publik dan atau
eksternalitas, sementara itu pemerintah tidak menyediakan mekanisme insentif
sebagai koreksi atas adanya persoalan tersebut.
Pada indikator sosial, terdapat 9 % perusahaan yang mendapatkan nilai baik, 81 %
sedang dan 10 % buruk. Mengingat bahwa indikator sosial berhubungan dengan
kepentingan masyarakat sekitar, maka terdapat tuntutan langsung dari masyarakat
terhadap pelaksanaan aktivitas yang diukur dalam kelompok indikator sosial.
Sebanyak 81 persen perusahaan mencapai nilai sedang, adalah nilai sedang yang
tertinggi diantara kelompok indikator lainnya. Capaian ini juga dapat dimaknai
sebagai indikasi kapasitas negosiasi masyarakat dengan perusahaan, tuntutan
masyarakat atas kebutuhan ekonominya dapat mempengaruhi keputusan pilihan
perilaku perusahaan sampai kepada batas ruang negosiasi yang tersedia.
6.4.2. Keberadaan Principal-Agent Problems
Pindyck, et al (2001) Principal Agent Problems adalah masalah yang muncul
apabila manager (agen) tetap berbuat untuk mencapai tujuannya meskipun ketika
perbuatan ini dilakukan menurunkan keuntungan pemilik (principal). Masalah ini
akan terjadi pada situasi pengaturan hubungan dimana prestasi atau kesejahteraan
seseorang (pemilik) bergantung kepada perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain
(agen). Jika pemilik tidak mempunyai cukup informasi, atau biaya untuk
223
mendapatkan informasi tersebut terlalu mahal, maka pemilik kehilangan kendali atas
perjanjian yang disepakati.
Bahwa pemerintah tidak mempunyai cukup informasi baik untuk kepentingan
perencanaan maupun kepentingan pengawasan pelaksanaan kewajiban telah
dijelaskan sebelumnya. Mengingat bahwa aturan yang dibuat pemerintah adalah
aturan-aturan teknis opersional lapangan, maka akan memerlukan biaya yang besar
oleh sebab itu pemerintah melalui peraturan yang dibuatnya menyerahkan
pembiayaan penilaian (evaluasi) atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada
perusahaan yang bersangkutan. Oleh sebab itu pemerintah telah kehilangan kendali
atas perjanjian yang menjadi dasar perikatannya dengan perusahaan penerima
IUPHHK. Situasi ini masih menunjukkan situasi yang sama jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998).
Apakah kesejahteraan atau keberhasilan misi pemerintah (principal) bergantung
kepada perbuatan perusahaan penerima IUPHHK (agent) ? Jawabnya adalah ya.
Pertama kesejahteraan pemerintah yang berupa penerimaan pendapatan negara bukan
pajak tergantung kepada hasil kerja perusahaan dalam memproduksi kayu. Semakin
besar volume produksi kayu semakin besar pula pendapatan pemerintah. Kedua
produksi kayu di hutan alam dapat dilakukan dengan cara-cara non-PHL yang
menimbulkan kerusakan hutan lebih besar dari yang seharusnya, jika hal ini terjadi
maka pemerintah menanggung beban yang lebih besar, bukan saja beban langsung
yang berupa biaya pemulihan potensi hutan, namun juga beban tidak langsung yang
timbul karena terjadinya eksternalitas negatif.
224
Dengan demikian institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang bekerja saat
ini, menyebabkan pemerintah kehilangan kendali atas perjanjian IUPHHK karena
pemerintah tidak dapat menguasai informasi yang diperlukan untuk mengawasinya.
Institusi juga memberi insentif kepada perusahaan untuk melakukan tindakan-
tindakan untuk mencapai keuntungan meskipun tindakan-tindakannya menyebabkan
peningkatan beban pemerintah sebagai dampak dari perbuatannya. Problem
principal-agent terjadi bukan semata-mata keinginan perusahaan untuk melakukan
tindakan menyimpang, melainkan karena struktur yang diberlakukan memberi
peluang untuk tindakan tersebut sebagai pilihan rasional.
6.4.3. Keberadaan Moral Hazard Problems
Pindyck, et al (2001), menjelaskan problem moral hazard terjadi bila satu pihak
yang tindakannya tidak dapat diamati mempengaruhi peluang atau sifat pembayaran
hal yang terkait dengan peristiwa. Jika satu pihak (pertama) dalam mendapatkan hak
pihak lain (kedua) disertai syarat atau kewajiban kepada pihak kedua, dan pihak lain
tersebut tidak dapat diawasi perilakunya yang berkaitan dengan syarat atau kewajiban
tersebut oleh pihak kedua, maka pihak pertama akan melakukan tindakan-tindakan
yang menyebabkan resiko atau peluang beban pihak kedua semakin besar.
Hubungan kontrak antara pemerintah dengan perusahaan penerima IUPHHK
dibuat dengan perjanjian bahwa pihak penerima harus melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang dikehendaki oleh pihak pemberi. Jenis kewajiban yang diatur dalam
perjanjian IUPHHK adalah kewajiban yang bersifat teknis operasional pengelolaan
hutan di lapangan. Model perjanjian yang disertai dengan syarat menjalankan
225
kewajiban hanya akan efektif jika pemerintah mempunyai kapasitas untuk mengawasi
dan mengendalikan pelaksanaannya. Menurut Wiliamson (1985), adanya informasi
yang tidak berimbang dapat melahirkan kesepakatan yang melanggar aturan atau
kolusi antara pengawas dan pelaksana dalam mengambil keputusan diterima atau
tidaknya hasil pekerjaan atau hasil pelaksanaan kewajiban.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak cukup menguasai
informasi, dan kapasitas pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban dan
menegakkan aturannya adalah lemah. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan 40 perusahaan yang digunakan sebagai contoh terdapat 8.3 % yang
mendapat nilai baik pada kelompok indikator prasyarat, sedangkan untuk kelompok
indikator produksi, ekologi dan sosial jumlah perusahaan yang mendapat nilai baik
beruturt-turut adalah 8.92%, 3.75% dan 9.00%. Hasil ini menunjukkan bahwa
sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Tindakannya yang menjalankan proses produksi dengan tidak mengikuti aturan
tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
hanya 12.5 % perusahaan dalam contoh yang mendapatkan nilai baik pada verifier
kerusakan tegakan tinggal, dengan kata lain aktivitas sebagian besar perusahaan
menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dari yang diperbolehkan dalam
perjanjian.
Tindakan perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban dengan baik,
menimbulkan beban kepada pemerintah untuk mengembalikan potensi hutan.
Problem moral hazard terjadi sebagai respon atas institusi yang dikembangkan oleh
226
pemerintah. Potensi kerusakan hutan yang timbul akibat bekerjanya institusi yang
menyebabkan problem moral hazard dijelaskan pada gambar 26.
Gambar 26. Moral Hazard pada Sistem Produksi Kayu di Hutan Alam
Gambar 26 memberi ilustrasi moral hazard dalam kaitannya dengan produksi,
pemerintah tidak mempunyai informasi yang cukup terhadap kapasitas perusahaan
dalam memenughi persyaratan produksi sehingga perusahaan cenderung memberi
informasi kapsitas yang lebih besar, disamping itu pemerintah juga tidak mengetahui
potensi yang benar sehingga perusahaan menggunakan peluang untuk memperbesar
volume potensi hutan. Jika S sebagai kurva penawaran pemerintah yang berupa nilai
kewajiban perunit volume atau unit luas pemanenan yang dijinkan, dan MB adalah
UC
Pe
MB MB1
S
Q1 Q2 Q
227
kurva permintaan perusahaan-perusahaan yang melaksanakan pengelolaan hutan
lestari, maka tingkat kesetimbangan produksi lestari berada pada Q1.
Jika terjadi moral hazard perusahaan-perusahaan hanya melaksanakan sebagaian
kewajiban atau melakukan tindakan-tindakan penyuapan atau kulusi untuk
mempengaruhi penilaian pemerintah atas pelaksanaan kewajiban oleh pemerintah
sehingga biaya perunit menjadi lebih rendah, maka kurva permintaan akan bergeser
menjadi MB1. Akibatnya jumlah yang dipanen menjadi Q2 yaitu lebih besar dari
yang seharusnya. Volume yang dipanen lebih tinggi mempercepat kerusakan hutan
dari Q1 menjadi Q
Penelitian ini tidak secara spesifik meneliti motivasi dari para penyelenggara
negara, tetapi bahwa peluang adanya alasan-alasan tersebut sangat dimungkinkan.
Akan tetapi disamping hal tersebut di atas layak untuk dipertimbangkan alasan-alasan
berdasarkan pendekatan kesejarahan institusi (historical institutionalism). Para
pengambil kebijakan adalah birokrat yang telah lama bekerja di Departemen
2 .
6.5. Resistensi pada Perubahan
Mengapa pemerintah tidak dapat merealisasikan perubahan yang dikehendaki oleh
UU. North (1990) menyampaikan alasan bahwa resistensi terjadi karena sistem
politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien demi melindungi kepentingan
tertentu. Sementara Van den Berg (2001) beralasan bahwa birokrasi menggunakan
peraturan untuk memperkuat kekuasaannya. Sedangkan Jepperson (1991) dan Scott
(2008), menyatakan bahwa birokrasi cenderung resisten karena perubahan tersebut
menyangkut tatanan sosial yang cenderung dipelihara diwariskan, dan direporduksi.
228
Kehutanan, dan telah menjalani karier sebagai pejabat pelaksana kebijakan di daerah.
Dua hal ini layak dipertimbangkan sebagai alasan yang mewarnai kebijakannya.
Pertama, konsep hubungan pemerintah dengan swasta dalam memanfaatkan hasil
hutan yang paling banyak dikenal adalah konsep Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Konsep ini merupakan konsep yang lahir sebelum konsep-konsep hubungan
kontraktual yang lainnya dibuat. Aplikasi yang luas pada masa itu, dan dinilai
berhasil dalam kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh
sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas, dan berkembangnya
industri kehutanan yang pesat dibandingkan dengan industri lainnya, menjadikan
HPH sebagai satu-satunya konsep institusi yang sangat dikenal dan di kagumi. Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa semua konsep hubungan kontraktual antara
pemerintah dengan pihak swasta (pengusaha) dibuat dengan menggunakan model
HPH., tabel berikut ini sebagai gambarannya
Tabel 50. Perbandingan Model Institusi HPH dan Bentuk Perijinan Lain di Kehutanan
Substansi HPH HPHTI HPHKm HP-
WA
IUPHHK
Syarat Administrasi X X X X X
Syarat Teknis X X X X X
Umur Ijin X X X X X
Kewajiban-kewajiban
Teknis
X X X X X
Pengesahan Rencana Karya X X X X X
Sanksi-sanksi X X X X X
Perpanjangan ijin X X X X X
229
Substansi yang diatur mempunyai kemiripan struktur, yang membedakan adalah
komoditasnya, ukuran-ukuran (luas, volume, biaya, dll). Sebagai sebuah model yang
paling dikenal, dapat mempengaruhi pendekatan dan cara berfikir yang diikuti oleh
banyak pihak dan menjadi kepercayaan bersama yang cenderung diwariskan.
Pewarisan kultur juga dapat menyebabkan cara berfikir yang terkungkung oleh
batas-batas imaginer yang dibuat sendiri, keterkungkungan ini yang membatasi
kemampuan menghasilkan perubahan. Konsep berfikir yang digunakan masih
bergantung kepada batas-batas kebiasaan yang berlaku umum, rujukan-rujukan yang
terbatas, dan pengetahuan yang terbatas. Berfikir keluar dari kerangka yang umum
berlaku dianggap sebagai hal yang salah atau tidak baik. Gambar 27 berikut ini biasa
digunakan dalam test psikologi, dapat membantu menjelaskannya.
Jika pada gambar 27 (a) diajukan perintah “Hubungkan kesembilan titik dengan
menggunakan empat buah garis”!, maka orang yang berfikir terkungkung (Gambar
27.b) akan membatasi pikirannya pada batas imaginer di titik-titik terluar yang
mengakibatkan mereka tidak pernah dapat menyelesaikan perintah itu, selalu ada
kekurangan satu garis. Sedangkan mereka yang membebaskan diri dari kungkungan
dapat menjawab secara kreatif menembus batas-batas imaginer (Gambar 27.c).
(a). Perintah (b). Terkungkung (c). Kreatif
Gambar 27. Konsep Berfikir Terkungkung dan Kreatif
230
Kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan publik juga terjadi dalam pola berfikir
terkungkung pantas untuk dipertimbangkan sebagai penyebab resistensi, pertama
dalam banyak kasus kebijakan publik bidang kehutanan dilakukan melalui proses
konsultasi publik dengan harapan bahwa dominasi kepentingan kelompok tertentu
dapat dihilangkan, namun pada kenyataanya masih terdapat peraturan yang
mengandung perversi. Kedua sistem pengusahaan hutan telah berlangsung selama 40
tahun merupakan pengetahuan yang paling banyak diketahui oleh komunitas
kehutanan, dan komunitas ini adalah pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan
termasuk dalam konsultasi publik. Ketiga birokrat kehutanan di pusat dan daerah
tebiasa berkerja sebagai pelaksana peraturan, dan terbiasa membuat kebijakan teknis
yang berupa aturan-aturan mikro. Hal seperti ini menjadi media yang cocok bagi
berkembangnya kultur berfikir terkungkung, yaitu cara-cara berfikir yang terbatas
pada hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai kebenaran, dan tabu
untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Dalam hal penegakan aturan, Scott (2008) membangun institusi dengan tiga pilar,
salah satunya adalah pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kepasitas
untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika
diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka
mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang
layak adalah inti dari pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang
ada, baik formal maupun informal. Sedangkan oleh North (1987) berpendapat bahwa
“ Adalah politik yang akan menentukan dan memaksakan (enforces) aturan ekonomi
231
dari suatu permainan”. Pendapat-pendapat ini juga layak untuk dipertimbangkan
sebagai hal yang memberi kontribusi pada kesulitan melakukan perubahan.
Alasan kedua adalah bahwa Pemerintah bias pada hutan negara sehingga logika
penetapan kebijakannya melompat dan mengabaikan hutan hak. Undang-undang
mengembangkan logika pengurusan hutan dimulai dengan penetapan status hutan,
fungsi hutan, wilayah / unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Penerapan
logika pengurusan hutan menurut Undang-undang akan menghasilkan pranata seperti
Tabel 51.
Tabel 51. Logika Pengurusan Hutan berdasarkan Undang-Undang dan Pranata yang Dihasilkan
No. Urutan Logika Pranata yang Dihasilkan
1
Status Kepemilikan Hutan
(Pasal 5) Hutan Negara Hutan Hak
Pengelola
(Pasal 5,)
Pemerintah/BUMN Pemilik atau Pengelola yang ditunjuk
Masyarakat Adat Pemerintah Desa Pengelola Khusus
2 Fungsi Pokok
(Pasal 6, Pasal 7)
Lindung (L) Lindung (L) Konservasi (K) Konservasi (K) Produksi (P) Produksi (P)
3
Unit Pengelolaan
(KPH)
(Pasal 8, Pasal 17)
KHdTK
KHdTK
4 Perijinan Pemanfaatan Pemilik Pemilik Pengelola Pengelola
L K
P
L K
P
232
Kewajiban pemerintah untuk menetapkan status hutan merupakan perintah
pertama yang diberikan oleh undang-undang, hal ini dilakukan untuk memberikan
kepastian dan perlindungan hak properti atas hutan baik pada hutan negara maupun
pada hutan hak atau hutan rakyat (Pasal 5). Kepastian tentang kepemilikan ini akan
menjadi dasar untuk menentukan pihak-pihak yang berhak untuk mengelola hutan
(penjelasan pasal 5). Selanjutnya berdasarkan status kepemilikannya tersebut,
pemerintah ditugaskan untuk menetapkan fungsi pokok pada hutan-hutan tersebut
berdasarkan fungsi yang dominan (pasal 6 dan 7). Kemudian pada pasal 8 dan pasal
17 pemerintah diberi mandat untuk membentuk unit-unit pengelolaan (KPH)
termasuk Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHdTK). Apabila pada hutan hak
difungsikan sebagai hutan lindung dan/atau konservasi pemerintah berkewajiban
memberikan kompensasi (penjelasan pasal 36). Berdasarkan unit-unit pengelolaan
tersebut dilakukan pemanfaatan hutan melalui pemberian ijin-ijin oleh pihak yang
berwenang sesuai dengan status kepemilikan hutannya.
Undang-undang mengatur urutan tersebut secara sistemik, namun ditinjau dari
sejarah kelahiran peraturan pelaksanaannya aturan yang pertama lahir adalah
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan perijinan pemanfaatan, yang dalam
urutan undang-undang merupakan urutan terkahir. PP. 34/2002 lahir secara
premature, yaitu ketika perangkat-perangkat lainnya belum tersedia, seperti
organisasi pengelola hutan tingkat unit, mekanisme kompensasi, perencanaan dan
konsep hubungan transaksional yang sesuai dengan kehendak perubahan. Sedangkan
peraturan yang lahir lebih awal cenderung dijadikan sebagai rujukan bagi peraturan-
peraturan yang lahir kemudian, oleh sebab itu bias pada PP. 34/2002 terus terbawa
233
dan mempengaruhi rumusan-rumusan peraturan dan kebijakan lainnya sehingga
biasnya juga terus berkembang. Birokrasi yang bekerja saat ini terjebak oleh aturan
yang ada, sebagaimana pernyataan Scott (2008) bahwa kapasitas birokrasi untuk
melakukan perubahan sering dibatasi oleh aturan formal dan informal.
Sebagai implikasi dari kelahiran yang premature tersebut, dalam menjalankan
undang-undang pemerintah telah bias dengan membuat aturan yang hanya mengurus
kepentingannya sendiri yaitu mengurus hutan negara. Scokpol (1985) didalam Van
den Berg (2001) menyatakan bahwa karena negara sebagai pihak yang membuat
aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan
terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya, hal ini telah terbukti terjadi. Demikian pula
Stiglitz (2000) yang mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
kegagalan adalah karena lemahnya kontrol politik, pemerintah diberikan kewenangan
untuk membuat aturan pelaksanaan yang dapat tidak sejalan dengan keinginan
undang-undang. Tuntutan undang-undang yang berupa optimasi pengelolaan hutan
memerlukan organisasi dan mekanisme baru yang berbeda dengan konsep HPH,
namun sebelum konsep baru ini ada, telah dilahirkan PP. 34/2002 yang melanjutkan
konsep HPH dengan mengubah nama menjadi IUPHHK.
Peraturan Pemerintah no. 34/2002 dan Peraturan Pemerintah no. 6/2007 adalah
peraturan yang hanya mengatur urusan-urusan pemerintah terhadap hutan negara,
keberadaan hutan hak terabaikan karena belum ada peraturan yang setara yang
berkaitan dengan hutan hak. Akibat dari bias pemerintah pada hutan negara, maka
kebijakan-kebijakan publik untuk meningkatkan partisipasi publik dalam membangun
hutan masih kurang mendapat perhatian demikian pula pasal 36 UU. 41/1999.
234
6.6. Kinerja Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi
Tujuan pengelolaan hutan adalah untuk menghasilkan hutan yang berkualitas
tinggi untuk memproduksi multiproduk secara optimal. Berdasarkan indikator-
indikator yang digunakan dalam penilaian kinerja pengelolaan hutan di perusahaan
IUPHHK pada unit manajemen, indikator yang dapat menunjukkan kualitas hutan
adalah indikator Potensi hutan. Oleh sebab itu pada penelitian ini sebagai proxi atas
capaian kinerja pengelolaan hutan dalam menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi
digunakan nilai capaian kinerja potensi hutan. Sedangkan usaha pemanfaatan hutan
adalah aktivitas bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, untuk itu
sebagai proxi atas indikator kinerja usaha digunakan nilai capaian rentabilitas
perusahaan.
Berdasarkan hasil penilaian terhadap indikator potensi tegakan diperoleh informasi
bahwa jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik adalah 15 %, nilai sedang 45 %
dan nilai buruk 40%. Berdasarkan kriteria yang digunakan nilai sedang diberikan jika
potensi sama dengan standard dan baik jika lebih tinggi dari standar, dengan
demikian jumlah perusahaan yang mempunyai kondisi tegakan hutan layak untuk
diproduksi mencapai 60%. Dapat dimaknai bahwa 60% perusahaan yang menerima
IUPHHK mempunyai kondisi hutan yang berkualitas baik, dan 40 % mempunyai
kondisi kualitas hutan yang buruk. Berdasarkan aturan yang berlaku, maka hanya
60% dari total ijin usaha yang ada yang dapat diberikan jatah tebangan, jika
pemerintah menjalankan aturan dengan konsisten maka 40% perusahaan yang
mempunyai kondisi hutan buruk tidak diijinkan menebang, namun dari 40 perusahaan
yang dinilai seluruhnya mendapat ijin penebangan. Informasi ini mendukung hasil
235
penelitian yang menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah menjalankan aturan adalah
lemah.
Hasil uji korelasi 24 variabel dengan potensi hutan menunjukkan bahwa variabel-
variabel yang berupa kewajiban yang dimaksudkan untuk membangun hutan,
mempunyai korelasi yang tidak nyata terhadap potensi hutan. Ini menunjukkan bahwa
IUPHHK konsisten menjalankan kedudukannya sebagai pengguna yang mempunyai
kepentingan produksi jangka pendek, perusahaan tidak sedang membangun hutan.
Pengalihan kewajiban pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan tidak
dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi. Potensi hutan yang ada bukan
merupakan kinerja perusahaan melainkan hasil dari faktor lain.
Argumen ini diperkuat oleh korelasi yang tidak nyata antara kerusakan tegakan
tinggal dengan kewajiban-kewajiban membangun hutan, baik-buruknya tegakan
tinggal hanya dipengaruhi oleh kesesuaian areal dengan fungsi produksi, pengakuan
unit manajemen oleh para pihak dan ketersediaan modal.
Berdasarkan capaian nilai rentabilitas, terdapat 15 % perusahaan mendapatkan
nilai baik, 45% mendapat nilai sedang dan 40 % mendapat nilai buruk. Hasil uji
korelasi 24 variabel bahwa dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang
cenderung tidak memperhatikan hasil akhir atas praktek-praktek pengelolaan hutan
dan hasil perhitungan korelasi antara variabel-variabel dengan potensi hutan, maka
korelasi positif yang terjadi dengan rentabilitas dapat dipahami sebagai korelasi atas
tujuan jangka pendek kegiatan usaha. Rentabilitas yang diperoleh bukan merupakan
hasil kinerja pengelolaan hutan dalam membangun hutan yang berkualitas baik,
melainkan semata-mata karena aktivitas produksi / pemanfaatan.
236
Variabel-variabel yang berkorelasi nyata adalah variabel-variabel yang
berhubungan dengan produksi baik yang terkait dengan persyaratan penerbitan
Rencana Karya Tahunan (RKT) maupun yang berkaitan dengan modal kerja untuk
produksi. Variabel yang terkait dengan RKT adalah realisasi tata batas (TAT),
kondisi pal batas di lapangan (PAL), kesesuaian produksi dengan riap (RAS),
penerapan silvikultur (SIL) dan investasi kembali ke hutan (RIV), sedangkan variabel
yang terkait dengan perolehan modal kerja untuk produksi adalah solvalitas (SOL).
Sementara itu korelasi yang tidak nyata antara rentabilitas dengan potensi hutan,
mengkonfirmasi bahwa hubungan-hubungan yang positif tersebut berorientasi jangka
pendek dan menjelaskan bahwa perolehan keuntungan perusahaan tidak
menjadikannya sebagai insentif untuk mengelola hutan dengan baik. Terdapat
pemisahan yang tegas antara kepentingan perusahaan yang dalam rancang bangun
institusi diposisikan sebagai pengguna, dengan kepentingan pengelolaan hutan.
Perusahaan dalam statusnya sebagai pengguna tidak mempunyai kepentingan
terhadap keberhasilan pengelolaan hutan, melainkan berkepentingan terhadap
rentabilitas.
Kepentingan pengelolaan hutan harus diletakkan secara baik kepada pengelola
hutan, kebijakan yang memindahkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada
pengguna (pemanfaat) hasil hutan terbukti tidak dapat mengarahkan perilaku
perusahaan maupun perilaku pemerintah untuk mempraktekkan pengelolaan hutan
lestari dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan hutan yaitu produksi
multiproduk yang memberikan manfaat optimal.
237
6.7. Masalah Mendasar Institusi Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi
Hasil penelitian diatas mengonfirmasi bahwa ada kontribusi atas adanya masalah
institusional pengelolaan dan pemanfaatan hutan terhadap penurunan kinerja makro
sektor kehutanan, melalui laju deforestasi yang masih positif sehingga mempengaruhi
kualitas hutan dan produksi hasil hutan. Kualitas hutan yang terus menurun terjadi
karena institusi yang dibangun tidak dapat mengarahkan perilaku para pihak yang
terkait untuk menjalankan prinsip-prinsip dan praktek-praktek pengelolaan hutan
alam produksi dalam rangka menghasilkan multiproduk hutan secara lestari dan
berkeadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang kehutanan.
Berdasarkan pengetahuan dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa masalah
institutional pengelolaan dan pemanfaatan hutan meliputi sumber masalah yang
berhubungan dengan deforestasi dan penurunan kualitas hutan, masalah langsung dan
masalah mendasar atau masalah pokok, yaitu
Sumber masalah yang berhubungan dengan kerusakan hutan dan penurunan
produktivitas hutan adalah perilaku pemerintah dan perusahaan atas kebijakan-
kebijakan yang diambil dan tindakannya dilapangan. Kebijakan pemerintah berupa
pilihan teknologi silvikultur intensif (SILIN) terbukti mendongkrak produksi kayu
tetapi juga menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar, demikian pula kebijakan
penurunan batas diamater yang dapat ditebang melalui Peraturan Menteri Kehutanan
berpotensi meningkatkan kerusakan hutan. Demikian pula konsisten terhadap
penerapan aturan dalam keputusan pemerintah (daerah) menetapkan/mengesahkan
RKT akan berdampak langsung pada kualitas hutan. Perilaku pemerintah dalam
238
mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak, menjatuhkan sanksi atau
tidak menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan, memberikan signal tentang batas-batas normatif yang dipertimbangkan
oleh perusahaan untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan ia lakukan. Hasil
penelitian yang mengindikasikan pemerintah lemah dalam menegakkan aturan
mengisayaratkan bahwa pemerintah cenderung memberi toleransi pada pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi, tersedia ruang negosiasi. Kemungkinan tindakan negosiasi
ini bisa terjadi, Abeng (1996) di dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa
pengusaha Indonesia dan banyak pengusaha asing yang bekerja di negara
berkembang membiasakan diri untuk mengembangkan manajemen lobi daripada
manajemen profesional. Keputusan dan perilaku pemerintah direspon oleh
perusahaan dengan melakukan perbuatan yang tidak menjadikan kepentingan
pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas, dan tidak melaksanakan peraturan-
peraturan dengan baik. Sesuai dengan kepentingan utamanya, perusahaan lebih
memperhatikan produksi kayu jangka pendek dari pada optimasi dan produktivitas
hutan jangka panjang.
Masalah langsung adalah kelahiran premature PP.34/2002 yang menimbulkan
berbagai masalah termasuk kekosongan pranata pada pengelolaan hutan tingkat unit
manajemen. Masalah ini terkait dengan pengorganisasian aktivitas pengelolaan hutan
di lapangan. Unit-unit pengelolaan hutan yang dirancang untuk memproduksi
multiproduk seperti yang diharapkan oleh undang-undang belum tersedia, secara
mencukupi. Adapun terhadap unit KPHP yang telah ditetapkan batas-batasnya belum
dilengkapi dengan organisasi pelaksana yang bertanggung atas keberhasilan
239
pengelolaan hutan di KPHP yang bersangkutan. Kekosongan pranata ini disikapi
dengan berbagai cara-cara yang cenderung pragmatis menyetarakan areal IUPHHK
sebagai KPHP, mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah
kepada perusahaan IUPHHK, meletakkan wewenang managemen (right to manage)
pada hirarkhi institusi meso dan makro, dan meletakkan wewenang pemberian ijin-
ijin transaksi multiproduk (right to exclude) pada hirarkhi yang lebih tinggi.
Keputusan penyelesaian masalah secara pragmatis ini menyebabkan tidak ada
akuntabilitas pengelolaan hutan. Tidak ada satu pihakpun yang dapat memikul
tanggung jawab secara langsung atas kinerja pengelolaan hutan. Perusahaan tidak
dapat dimintakan pertanggung jawabannya karena hak yang diberikan adalah hak
memanfaatkan hasil hutan, sementara pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu ia
pertanggung jawabkan kepada pemberi kewajiban, sehingga yang ia pertanggung
jawabkan adalah pelaksanaan aturan bukan kinerja pengelolaan hutan, dimana
pemerintah telah mengatur pedoman hingga petunjuk teknisnya. Sementara
pemerintah berdalih bahwa pengelolaan hutan menjadi kewajiban perusahaan
penerima IUPHHK.
Masalah pokok atau mendasar adalah berkaitan dengan masalah struktural berupa
rancang bangun institusi yang tidak efektif. Definisi hak properti atas hutan tidak
dapat dilakukan karena tidak ada penegasan tentang status kepemilikan hutan negara.
Pasal 4 Undang-Undang no 41/1999 mengatur bahwa semua hutan wilayah negara
Republik Indonesia termasuk kekayaan alamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, dan pasal 5 membagi status hutan di Indonesia menjadi
hutan hak dan hutan negara. Penjelasan atas pasal ini yang menyebutkan bahwa
240
pengerian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”, menimbulkan penafsiran bahwa negara
tidak mempunyai hak memiliki atas hutan, pada hal di dalam penjelasan pasal 5 juga
menyebutkan adanya hutan desa dan hutan rakyat. Pemerintah tidak berbuat untuk
mempertegas status kepemilikan hutan negara melainkan membiarkan pengertian
yang mengambang tersebut dan mengambil langkah-langkah kebijakan berdasarkan
status kepemilikan hutan negara yang tidak jelas. Didukung oleh undang-undang
yang juga tidak mengatur secara jelas status asset tegakan hutan, pemerintah tidak
dapat mendefinisikan hak properti atas hutan negara secara lengkap, definisi yang
tidak lengkap ini membuat hak properti atas hutan menjadi tidak efektif. Dihadapkan
pada kenyataan ini dan situasi dimana pemerintah tidak menguasai informasi atas
hutan, pemerintah membangun institusi dan kebijakan yang rumit dan mengandung
unsur-unsur yang membuat institusi yang tidak efektif. Hirarkhi organisasi tidak
dibuat dengan batas-batas jurisdiksi yang jelas, pemerintah banyak memasuki urusan-
urusan tingkat mikro yang menyebabkan pemerintah memegang peran sebagai
regulator, wasit dan sekaligus pemain. Peran ini mengandung unsur konflik
kepentingan, sehingga kekuasaannya sebagai regulator dapat melahirkan aturan-
aturan yang mengandung konflik kepentingan, mengandung perversi dan
menimbulkan biaya transaksi tinggi dan merugikan. Sementara kewenangannya
sebagai wasit yang harus menegakkan aturan tidak dapat dilaksanakan secara efektif
akibat adanya konflik kepentingan, peraturan yang konflik antara satu dengan
lainnya, penguasaan informasi yang lemah, sehingga secara keseluruhan
menyebabkan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi lemah.
Hubungan-hubungan permasalahan kelembagaan ini ditunjukkan pada gambar 28.
241
Gambar 28