Post on 16-Oct-2021
PERILAKU LENTUR BALOK BETON BERTULANG DENGAN BESI YANG TERKOROSI
(FLEXURAL BEHAVIOR OF REINFORCED CONCRETE BEAMS WITH CORRODED STEEL BARS)
DISERTASI
AKSA H. MARDANI P0800311030
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa
yang atas izinnya sehingga penelitian dan penulisan ini yakni “Perilaku
Lentur Balok Beton Bertulang Dengan Besi Yang Terkorosi” dapat
terselesaikan. Dalam melaksanakan penelitian ini upaya dan perjuangan
keras kami lakukan dalam menyelesaikannnya.
Kami menyampaikan penghargaan yang sangat tinggi dan amat
mendalam kepada bapak Prof. Dr. H. M. Wihardi Tjaronge, ST., M.Eng,
atas bimbingan, arahan dan petunjuknya sehingga penelitian dan
penyusunan disertasi ini dapat kami laksanakan dengan baik. Ucapan dan
penghargaan yang sama kami sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Victor
Sampebulu, M.Eng dan Prof. Dr. Rudy Djamaluddin, ST., M.Eng selaku
Co-Promotor yang banyak memberikan waktu, arahan dan bimbingannya
kepada kami. Kepada bapak kami mengucapkan terima kasih dan
penghormatan yang setingi-tingginya atas bimbingan yang begitu tulus
danikhlas.
Ucapan dan penghargaan kami sampaikan kepada Prof. Ir. Priyo
Subprobo, MS., Ph.D, selaku penguji eksternal dari Institut Sepuluh
Novemver Surabaya (ITS) dan Prof. Dr-Ing Ir. Herman Parung, Ir. H.
Achmad Bakri Muhiddin, M.Sc., Ph.D, Dr. Eng. Hj. Rita Irmawaty, ST.,
MT dan Dr. Eng. A. Arwin Amiruddin, ST., MT selaku tim penguji yang
banyak memberikan arahan dan masukan kepada kami. Kepada
iii
bapak/ibu kami mengucapkan terima kasih dan penghormatan yang
setingi-tingginya atas masukan dan arahan demi kelengkapan disertasi ini.
Penghargaan yang setinggitingginya kepada ; Rektor Universitas
Hasanuddin (Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA), bapak Prof. Dr.
Muhammad Ali, SE, MS. (Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas
Hasanuddin), bapak Dr-lng. Ir. Wahyu Haryadi Piarah, MS.ME. (Dekan
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin), bapak Dr. Ir. H. Muh. Arsyad
Thaha, MT (Ketua Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin),
bapak Prof. Dr. M. Wihardi Tjaronge, ST. M.Eng (Ketua Program Studi
S3 Teknik Sipil Universitas Hasanuddin) dan bapak/ibu dosen
Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam proses perkuliahan. Bapak/ibu staf Pascasarjana
Unhas dan staf Prodi S3 Teknik Sipil yang sangat membantu dalam
proses administrasi, kami sampaikan banyak terima kasih.
Ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada Dr. M. Akbar
Caronge, ST. M.Eng., Miswar Tumpu, ST., Awad Akbar ST, dan
Mahasiswa S1 dan S2 serta kepada bapak/ibu yang telah membantu
dalam semua aktivitas, sehingga disertasi ini dapat selesai. Atas segala
keikhlasan, pikiran dan tenaganya yang tidak ternilai.
Terima kasih saya haturkan kepada keluarga Saya, Bapak Saya
Latjutjeng H. Mardani (alm), Ibu Saya Hj. Haripa MS (almh) Bapak Mertua
Ir. Naufal Ellong (alm) Ibu Mertua Soraya Ambarak, dan Ipar saya Bapak
H. Helmy D. Yambas, SE. MH, Drs. Mubin Abidin, MA, Bustamil Balla SE,
iv
Gazali Salampaga, Rosni Damang dan Kakak saya Dra. Hj. Nurfa L. H.
Mardani, SH, Dra. Idha L. H. Mardani, MA dan adik saya Mas’ulung L. H.
Mardani, SH., Royani L. H. Mardani, SE., Mawarni L. H. Mardani, SE serta
istri saya Nidya Zwayza, anak saya Muhammad Raihan Putra Mardani,
Khalishah Afifah Putri Mardani dan Amirah Maumun Putri Mardani yang
telah memberikan dukungan dan sabar menunggu sampai selesainya
studi ini. Hanya dengan doa semoga Allah SWT, dapat membalasnya.
Akhirnya kami ucapkan salam sejahtera buat kita semua.
Makassar, 22 November 2017
Salam
Aksa H. Mardani
v
ABSTRAK
AKSA H. MARDANI. Perilaku Lentur Balok Beton Bertulang Dengan Besi Yang Terkorosi (dibimbing oleh H. M. Wihardi Tjaronge, Victor Sampebulu dan Rudy Djamaluddin).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh yang timbul
akibat korosi yang terjadi dan efektifitas penggunaan tulangan yang di coating terhadap perilaku lentur balok beton bertulang.
Ada empat jenis benda uji dan tiga diantara jenis benda uji tersebut dilakukan percepatan korosi yaitu balok beton normal dengan tulangan biasa (N), balok beton normal dengan tulangan biasa yang diberikan percepatan korosi (N acc), balok beton air laut dengan tulangan biasa yang diberikan percepatan korosi (SW acc) dan balok beton air laut dengan tulangan di coating yang diberikan percepatan korosi (SW acc C). Percepatan korosi baja yang di induksi pada arus listrik 1,45 A selama 21 hari berdasarkan persamaan faraday dan akselerasi korosi dilakukan dengan menggunakan air laut. Pengujian kuat lentur dilakukan dengan two point load. Pembebanan bersifat monotonic dengan kecepatan ramp actuator konstan sebesar 0.05 mm/dt sampai benda uji gagal.
Hasil dari penelitian menunjukkan terjadi penurunan kuat lentur beton bertulang akibat korosi pada tulangan yaitu pada benda uji N acc, SW acc dan SW acc C sebesar 7,95%, 14,57% dan 8,87% terhadap beton normal (N). Penggunaan besi coating pada beton bertulang yang menggunakan air laut dan pasir laut memiliki kapasitas lentur yang hampir sama dengan beton normal yang diakselerasi korosi (N acc). Sehingga besi coating dapat digunakan sebagai alternatif pada beton yang menggunakan air laut dan pasir laut.
Kata kunci : Beton bertulang, Akselerasi korosi, Perilaku lentur
vi
ABSTRACT
AKSA H. MARDANI. Flexural Behavior of Reinforced Concrete Beams With Corroded Steel Bar(supervised by H. M. WihardiTjaronge, Victor Sampebulu and Rudy Djamaluddin).
This study aims to determine the effect of corrosion and the
effectiveness of coating steel bar to flexural behavior of reinforced concrete beams.
There were four types of test specimens and three of them has treat by corrosion acceleration. The speciment are normal reinforced concrete beams with normal reinforcement (N), normal reinforced concrete beams with normal reinforcement given accelerated corrosion (N acc), seawater concrete beams reinforced with normal reinforcement given accelerated corrosion (SW Acc) and seawater concrete beams reinforced with coating reinforcement given accelerated corrosion (acc SW C) with steel induced by the electric current of 1.45 A for 21 days based of equality and accelerated corrosion faraday done using seawater.Flexuralof tests were performed with two point load. The loading is monotonic with a constant ramp actuator speed of 0.05 mm/second until the tested beams failed.
Results from the study showed a decrease in the flexural strength of reinforced concrete reinforcement due to corrosion at specimen Nacc, SWacc and SW acc C are 7.95%, 14.57% and 8.87% of the normal concrete (N). At the mean time the application of coatingiron on reinforced concrete using sea water and sea sand has a flexural capacity similar with normal concrete accelerated corrosion (N acc). Therefore the coating iron can be applied as an alternative to the concrete using sea water and sea sand.
Keywords :Reinforced concrete, Accelerated corrosion, Flexural behavior
vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... x
DAFTAR NOTASI ........................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................... 8
D. Batasan Masalah ...................................................... 8
E. Manfaat Penelitian .................................................... 9
F. Ruang Lingkup Penelitian ......................................... 9
G. Sistematika Penulisan .............................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Sebelumnya ............................................. 12
B. Material Penyusun Beton .......................................... 17
C. Karakteristik Beton .................................................... . 27
D. Tulangan Coating………………. ............................... .. 32
E. Peranan Hidrasi Semen Dalam Pengikatan Klorida .. .. 33
viii
F. Kekuatan Lentur Pada Balok Beton Bertulang .......... 38
G. Korosi Pada Baja Tulangan....................................... 47
H. Percepatan Korosi Tulangan ..................................... 51
I. Kerangka Pikir Penelian ............................................ 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Prosedur Penelitian .................................. 56
B. Rancangan Penelitian ............................................... 58
C. Benda Uji .................................................................. 59
D. Pembuatan Benda Uji ............................................... 60
E. Metode Akselerasi Korosi ......................................... 66
F. Pengujian Benda Uji ................................................. 68
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Fisik dan Mekanik Material ................... 75
B. Akselerasi Korosi Pada Beton Bertulang ................... 81
C. Pengujian Lentur Balok Beton Bertulang ................... 87
D. Studi Komparasi Penelitian Terdahulu ...................... 114
E. Temuan Empirik ........................................................ 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................ 117
B. Saran ....................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 119
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Syarat Fisika Semen Portland Komposit ................................. 20
2. Syarat – Syarat Gradasi Agregat Kasar .................................... 22 3. Syarat – Syarat Gradasi Agregat Halus .................................... 24
4. Ambang Batas Klorida Dengan Berbagai Kondisi (Ann, K. Y. dan
Song, H. W. 2007) ..................................................................... 37
5. Lebar Retak Maksimum Yang Diizinkan.................................... 46
6. Karakteristik Fisik Agregat ......................................................... 75
7. Karakteristik Kimia Air Laut ....................................................... 76
8. Komposisi Campuran Beton Untuk (kg/m3) ............................... 77
9. Hasil Pengujian Nilai Slump ...................................................... 77
10. Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton 28 hari ................................ 78
11. Nilai Modulus Elastisitas Secara Teori ...................................... 80
12. Lebar Retak Yang Dapat di Toleransi ....................................... 84
13. Tabel Rekapitulasi Pengujian Kuat Lentur ................................ 93
14. Pengujian Kuat Lentur Secara Teori (kondisi elastis) ............... 94
15. Pengujian Kuat Lentur Secara Teori (kondisi ultimit) ............... 94
16. Rekapitulasi Pola Retak Akibat Pembebanan ........................... 102
17. Tabel Rekapitulasi Hasil Pengujian Kuat Tarik Tulangan .......... 111
18. Tabel Rekapitulasi Penurunan Massa Dan Luas Tulangan....... 112
19. Tabel Rekapitulasi Seluruh Parameter Pengujian ..................... 113
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Korosi PadaBeton Bertulang ..................................................... 4
2. Mekanisme Terjadinya Korosi Pada Baja Tulangan ................ . 5 3. Hubungan Antara Tingkat Korosi (
2𝑅𝑇𝐷 × 100%) Dan Kekuatan
Lentur Balok .............................................................................. 16
4. Pengaruh Laju Korosi Pada Kekuatan Lentur Balok ............... . 17
5. Hubungan Tegangan dan Regangan Benda uji Beton ............ . 28
6. Hubungan Tegangan dan Regangan Liniear ............................ 31
7. Hubungan Tegangan dan Regangan Non Liniear .................... 31
8. Pola Pembebanan Pada Pengujian Kuat Liniear....................... 39
9. Perilaku Lentur Pada Beton ....................................................... 40
10. Perilaku Lentur Dekat Beban Ultimit .......................................... 41
11. Balok Tegangan Ekivalen Whitney ........................................... 42
12. Retak Pada Balok ...................................................................... 45
13. Deskripsi Singkat Dari Fenomena Korosi .................................. 49
14. Konsekuensi Akibat Korosi Pada Baja Tulangan ....................... 51
15. Skema Kolam Perendaman ....................................................... 53
16. Kerangka PikIr Penelitian ........................................................... 55
17. Bagan Alir Penelitian .................................................................. 57
18. Dimensi Balok Beton Bertulang ................................................. 60
19. Sketsa Pembebanan Balok Beton Bertulang............................. 60
xi
20. Cetakan Benda Uji Silinder........................................................ 61
21. Bahan Adukan Benda Uji .......................................................... 61
22. Potongan Memanjang Dan Melintang Balok Beton Bertulang
Normal ....................................................................................... 62
23. Potongan Memanjang Dan Melintang Balok Beton Bertulang Air
Laut ........................................................................................... 63
24. Beton Setelah Diratakan Dengan Sendok Semen ..................... 65
25. Benda Uji Silinder ...................................................................... 68
26. Uji Balok Beton Bertulang Dengan Indikator Pengukuran ......... 70
27. Positioning Dial Indicator Lendutan ........................................... 71
28. Skema Benda Uji Pada Pengujian Half – Cell Potential ............ 72
29. Set Up Benda Uji Kuat Tarik Baja ……………………………….. 73
30. Grafik Hubungan Tegangan Dan Regangan Beton Umur 28
Hari ............................................................................................ 79
31. Pola Retak Balok Normal Akselerasi Akibat Korosi (N acc) ...... 83
32. Pola Retak Balok Air Laut Akselerasi Akibat Korosi (SW acc) .. 83
33. Pola Retak Balok Air Laut Akselerasi Coating Akibat Korosi
(SW acc C) ................................................................................ 84
34. Uji Half Cell Potential ................................................................. 86
35. Histogram Beban Maksimum .................................................... 87
36. Histogram Persentase Penurunan Kapasitas Beban Balok ...... 88
37. Hubungan Beban Lendutan Benda Uji Balok Normal Tanpa
Akselerasi Korosi (N) ................................................................. 89
xii
38. Hubungan Beban Lendutan Benda Uji Balok Normal Akselerasi
(N acc) ....................................................................................... 90
39. Hubungan Beban Lendutan Benda Uji Balok Air Laut Akselerasi
(SW acc).................................................................................... 91
40. Hubungan Beban Lendutan Benda Uji Balok Air Laut Akselerasi
Coating (SW acc C) .................................................................. 92
41. Hubungan Beban Dan Regangan Beton Normal (N) ................. 95
42. Hubungan Beban Dan Regangan Beton Normal Akselerasi
(N acc) ....................................................................................... 96
43. Hubungan Beban Dan Regangan Beton Air Laut Akselerasi
(SW acc).................................................................................... 96
44. Hubungan Beban Dan Regangan Beton Air Laut Akselerasi
Coating (SW acc C) ................................................................... 97
45. Hubungan Beban Dan Regangan Beton Untuk Seluruh Benda
Uji .............................................................................................. 98
46. Histogram Regangan Beton Maksimum .................................... 99
47. Pola Retak Balok Normal Akibat Pembebanan ......................... 100
48. Pola Retak Balok Normal Akselerasi Akibat Pembebanan ........ 100
49. Pola Retak Balok Air Laut Akselerasi Akibat Pembebanan ....... 100
50. Pola Retak Balok Air Laut Akselerasi Coating Akibat Pembebanan
.................................................................................................. 100
51. Tulangan N 1 ............................................................................. 104
52. Tulangan N 2 ............................................................................. 105
xiii
53. Tulangan Nacc .......................................................................... 105
54. Tulangan SW acc 1 ................................................................... 105
55. Tulangan SW acc 2 ................................................................... 105
56. Tulangan SW acc 3 ................................................................... 106
57. Tulangan SW acc C 1 ............................................................... 106
58. Tulangan SW acc C 2 ............................................................... 106
59. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan N ............................ 108
60. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan N acc ..................... 109
61. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan SW acc .................. 110
62. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan SW acc C .............. 111
63. Set up Pengujian Dengan Dua Pembebanan ............................ 115
xiv
DAFTAR NOTASI Cl- = Ion Clorida
MPa = Mega Pascal
f’c = Kuat Tekan
P = BebanTekan
A = Luas Penampang Benda Uji
SNI = Standar Nasional Indonesia
PCC = Portland Composite Cement
UTM = Universal Testing Machine
P = Beban
∆ = Lendutan
σ = Tegangan Beton (MPa)
Ɛ = Regangan
Kg = Kilogram
kN = Kilonewton
kNmm = Kilonewton milimeter
mm = Milimeter
K = Kekakuan
N = Benda uji balok normal
N acc = Benda uji balok normal akselerasi
SW acc = Benda uji balok air laut akselerasi
SW acc C = Benda uji balok air laut akselerasi tulangan coating
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi khususnya beton pada saat ini, membuat
beton semakin banyak dipilih sebagai suatu bahan konstruksi. Konstruksi
beton banyak memiliki keuntungan selain bahannya mudah diperoleh,
juga harganya relatif lebih murah, mempunyai kekuatan tekan tinggi,
mudah dalam pengangkutan dan pembentukannya, serta mudah dalam
hal perawatannya. Hampir 60% material yang digunakan dalam pekerjaan
konstruksi menggunakan beton yang pada umumnya dipadukan dengan
baja (composite) atau dengan jenis lainnya, seperti pada pembuatan
gedung- gedung, jalan (rigid pavement), bendung, dermaga, saluran dan
lain-lain (Mulyono, 2003).
Namun, beton mempunyai perilaku yang spesifik yaitu memiliki kuat
tarik yang jauh lebih kecil dari kuat tekannya. Oleh karena itu material
beton umumnya digabungkan dengan material lain yang mempunyai kuat
tarik yang besar, seperti baja tulangan sehingga merupakan satu
kesatuan struktur komposit yang disebut beton bertulang.
Di sisi lain, peningkatan penduduk yang semakin pesat berdampak
pada ketersediaan sumber daya alam di seluruh dunia. Salah satunya
penggunaan air bersih. Dikatakan bahwa pada tahun 2025 setengah dari
umat manusia akan tinggal di daerah di mana air tawar tidak lagi
2
mencukupi. (Otsuki. N, dkk., 2011). Berdasarkan laporan yang diterbitkan
Badan Meteorologi Dunia (WMO) memaparkan bahwa pemenuhan
kebutuhan air bersih di seluruh dunia akan semakin memburuk. Menurut
Ban Ki-Moon selaku Sekjen PBB, pada tahun 2030 hampir separuh dari
populasi kita akan menghadapi krisis air dimana tingkat permintaan
melonjak 40% lebih tinggi dari persediaan yang ada.
Sebagian besar permukaan bumi merupakan wilayah perairan laut.
Penggunaan air laut dan pasir laut sebagai material penyusun beton
memberikan pengaruh terhadap kekuatan dan terjadinya proses karbonasi
pada beton.
Penggunaan air laut dan pasir laut saat ini menjadi salah satu
pembahasan yang ramai sebagai solusi alternatif dalam bidang konstruksi
beton. Dalam dunia teknik sipil, hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk
melakukan inovasi dalam teknologi pembuatan beton. Beberapa penelitian
telah dilakukan dalam penggunaan air laut sebagai material pencampuran
beton, baik untuk beton struktural maupun beton non struktural.
Dalam beberapa penelitian terdahulu, diperoleh data bahwa beton
dengan menggunakan air laut sebagai bahan pencampuran memiliki
kekuatan awal yang sedikit lebih tinggi (Anisa Junaid, dkk., 2009 dan
Ristinah Syamsuddin., dkk., 2011). Meskipun demikian, masih perlu
dilakukan beberapa penelitian lanjutan untuk mengklarifikasikan dengan
jelas.
3
Dari sudut pandang penghematan penggunaan air tawar, maka
kemungkinan menggunakan air laut sebagai pencampuran air dalam
beton harus diselidiki. Dalam beberapa literatur ditemukan bahwa
penggunaan air laut sangat memungkinkan penggunaan pencampuran
mortar beton, namun untuk kondisi tertentu diperlukan perlakuan khusus
utamanya dalam mencegah korosi. Jika penggunaan air laut sebagai
bahan beton diizinkan, maka akan sangat mudah dan ekonomis dalam
pembangunan khususnya konstruksi beton, terutama pada kawasan
pesisir pantai dan lingkungan yang rentan terhadap terjadinya korosi.
Dalam standar beton bertulang memberikan batasan tingkat klorida
(Cl-) yang diizinkan. Penggunaan air laut karena resiko terjadinya korosi
awal yang lebih besar, disebabkan oleh unsur klorida (Cl-) dalam senyawa
air laut. Air laut dihindari untuk digunakan sebagai pencampuran air untuk
beton bertulang, karena meningkatkan resiko korosi batang baja pada
beton.
Penggunaan air laut sebagai bahan pencampur pada beton dan
untuk perawatan beton telah dilakukan pada beberapa penelitian
sebelumnya. Efek dari pencampuran air laut akan di uji dan dijadikan
acuan dalam pencampuran beton. Selanjutnya dalam pengembangan
penggunaan air laut pada mortar beton kemudian akan di teliti dalam
penggunaannya dalam beton bertulang. Namun karena terjadinya korosi
dapat tercapai dalam waktu yang relatif lama, maka penelitian ini
digunakan tulangan beton yang mendapat perlakuan percepatan korosi.
4
Gambar 1 memperlihatkan fenomena kerusakan beton akibat korosi yang
terjadi pada tulangan.
Gambar 1. Korosi pada beton bertulang
Gambar 1 memperlihatkan terjadinya korosi pada baja tulangan yang
merupakan reaksi kimia antara baja tulangan dengan lingkungannya.
Proses korosi baja tulangan di dalam beton berlangsung secara
karbonasi, degradasi oleh sulfat, klorida dan leaching pada tulangan baja
yang terkorosi merupakan awal kerusakan beton, yang secara
keseluruhan akan memperpendek usia konstruksi.
Proses korosi untuk bahan bersifat baja senantiasa terjadi akibat
adanya pengaruh klorida. Proses ini dapat berlangsung secara cepat atau
5
lama tergantung perlakuan pada baja. Untuk beton bertulang, korosi pada
baja tulangan dapat terjadi karena adanya retak pada beton, celah rongga
beton dan sifat air yang terkandung dalam beton.
Banyak ditemukan kerusakan beton bertulang yang disebabkan oleh
korosi. Penyebab kerusakan tersebut meliputi masuknya garam atau ion
klorida (Cl-) di dalam beton dan proses karbonasi pada beton. Salah satu
kondisi yang rentan sekali terhadap serangan korosi tersebut terjadi pada
struktur beton yang terekspos di daerah pantai. Proses korosi pada
tulangan baja dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme terjadinya korosi pada baja tulangan
Beberapa dekade terakhir, penelitian tentang pengaruh korosi
tulangan pada sifat mekanik beton bertulang menjadi fokus dalam dunia
konstruksi. Untuk mempercepat laju korosi pada tulangan, beberapa
penelitian menggunakan metode korosi buatan yang dipercepat di
6
Laboratorium (accelerated corrosion test). Beberapa diantaranya adalah
Yingang, Du, dkk (2007) meneliti pengaruh korosi tulangan pada sifat
mekanik beton bertulang. Pengujian dilakukan pada balok beton bertulang
ukuran 150 x 200 x 2100 mm dengan tingkat korosi tulangan 10% pada
daerah tekan dan tarik benda uji. Nilai lekatan besi-tulangan dan daktalitas
mengalami penurunan akibat korosi tulangan serta pola keruntuhan
tergantung dari lokasi dan tingkat korosi tulangan.
Selain itu, J, Rodriguez, dkk (1996) meneliti pengaruh korosi
tulangan terhadap kapasitas lentur beton bertulang. Dari hasil penelitian
kapasitas lentur balok mengalami penurunan sebesar 23% dengan tingkat
korosi 14%.
C. A. Juarez, dkk (2011) meneliti pengaruh korosi tulangan geser
pada kapasitas geser balok beton bertulang dengan parameter penelitian
meliputi jarak sengkang dan tingkat korosi. Hasil penelitian menunjukkan
nilai kapasitas geser balok beton bertulang mengalami penurunan sebesar
30% dengan tingkat korosi 10%-14%. Selain itu, nilai daktalitas mengalami
penurunan akibat korosi pada tulangan geser yang ditunjukkan terjadinya
pola keruntuhan langsung pada benda uji.
Peneltian oleh Shanhua, Xu dkk (2017), menunjukkan bahwa nilai
kuat geser dipengaruhi oleh span-depth ratio dan tingkat korosi tulangan
geser. Korosi tulangan geser mengurangi kapasitas ikatan antara agregat
beton, daktalitas dan kapasitas lentur benda uji.
7
Berdasarkan penelitian sebelumnya maka fokus penelitian ini
mencoba mensimulasikan di laboratorium tentang perilaku lentur balok
beton bertulang dengan besi yang terkorosi dalam hal ini diberikan
perlakuan percepatan korosi besi beton. Pengujian ini dimaksudkan untuk
mengetahui perilaku lentur balok beton dalam waktu yang singkat akibat
adanya korosi yang dipercepat.
Untuk mencegah terjadinya korosi pada tulangan beton maka perlu
pemakaian bahan yang baik, mempertebal selimut beton, dan
penambahan dimensi struktur serta pemampatan beton, atau
penggunaan tulangan non korosif seperti stainless steel, galvanis, FRP
rebars dan tulangan coating.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana perilaku lentur yang timbul pada balok beton bertulang
dalam kondisi normal dan beton air laut yang diberikan perlakuan
percepatan korosi.
2. Bagaimana efektivitas penggunaan beton air laut terhadap kapasitas
lentur beton bertulang.
3. Bagaimana dampak penggunaan tulangan beton yang mengalami
korosi terhadap kapasitas lentur balok beton bertulang.
8
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini tentang penggunaan air
laut untuk bahan campuran beton dengan percepatan korosi pada
tulangan baja adalah :
1. Menganalisis perilaku lentur yang timbul pada balok beton bertulang
dalam kondisi normal dan beton yang mengalami percepatan korosi.
2. Mengetahui efektifitas penggunaan beton air laut terhadap kapasitas
lentur beton bertulang.
3. Mengetahui dampak penggunaan tulangan beton yang mengalami
percepatan korosi terhadap kapasitas lentur balok beton bertulang.
D. Batasan Masalah
Dari rumusan masalah yang telah diuraikan maka penelitian ini
dibatasi terhadap hal-hal yaitu :
1. Pengujian ini menggunakan 4 tipe balok beton dimana type 1 beton
normal akan digunakan sebagai acuan terhadap beton yang mengalami
akselesari korosi. Sementara 3 tipe beton lainnya diberikan perlakuan
percepatan korosi.
2. Beton yang diberikan perlakuan percepatan korosi terbagi dalam 3 tipe
yaitu : 1) beton normal akselerasi (Nacc); 2) beton air laur akselerasi
(SWacc); 3) beton air laut coating akselesasi (SWacc C).
9
3. Dari ke empat tipe benda uji, hal yang akan di teliti adalah perilaku
lentur, dengan pengujian tekan beton, half-cell potential dan pengujian
lentur.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini :
1. Mendapatkan komposisi dalam suatu campuran beton bertulang yang
menggunakan air laut.
2. Pemanfaatan beton bertulang yang menggunakan air laut pada lokasi
yang susah mendapatkan air tawar.
3. Menjadi referensi bagi bangunan struktur yang berdekatan dengan
daerah pantai yang bersentuhan langsung dengan air laut dan referensi
bagi peneliti selanjutnya.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini lingkup penelitian yang dilakukan berdasarkan
karakteristik bahan yang digunakan sebagai benda uji adalah :
a. Benda uji yang dipakai berupa beton yang berbentuk balok dengan
dimensi penampang lebar 15 cm x tinggi 20 cm dan panjang 160 cm.
b. Beton normal yang dipakai adalah dengan mutu K-300.
10
c. Beton yang digunakan pada balok menggunakan air laut dengan
mutu K-300.
d. Tulangan yang dipakai yaitu :
1. Tulangan pada daerah tekan : 2 Ф 8
2. Tulangan pada daerah tarik : 2D16
3. Tulangan sengkang : 11Ф10-150
4. Tulangan tarik yang di coating : 2D16
Perletakan balok adalah perletakan sederhana (sendi dan rol)
e. Dimensi cetakan silinder yang digunakan dengan diameter 10 cm dan
tinggi 20 cm.
f. Tulangan tarik yang dipakai terdiri dari dua type yaitu : Tulangan
biasa dan tulangan coating. Bahan coating yang digunakan adalah
cat tipe Zincromate Nippon.
g. Lamanya curing benda uji selama 28 hari.
G. Sistematika Penulisan
Agar lebih terarah tulisan ini, sistematika penulisan disertasi yang
akan dilakukan dapat diurutkan yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pokok-Pokok bahasan dalam BAB ini adalah latar belakang
masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika
penulisan.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari uraian penelitian sebelumnya yang terkait
dengan balok beton yang menggunakan air laut dengan
menggunakan tulangan normal maupun menggunakan
tulangan coating, dengan mekanisme percepatan korosi
(acceleration corrosion).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri dari uraian tentang persiapan penelitan mencakup
prosedur penelitian, rancangan benda uji dan alat, dimulai dari
perhitungan dimensi alat, bahan uji, pemasangan alat dan
persiapan penyediaan bahan, sampai pengujian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini terdiri dari analisa hasil pengujian benda uji meliputi :
hasil pengujian kuat tekan, pengujian half cell potential, dan
pengujian lentur pada balok beton normal dan balok beton air
laut.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab yang menyimpulkan hasil dari analisis penelitian
dan memberikan saran-saran dan rekomendasi penelitian.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan database yang dikumpulkan oleh Badan Sains dan
Teknologi Jepang (JST), tulisan terkait beton campuran air laut mulai
dipublikasikan sejak tahun 1974 hingga saat ini.
Taylor, Michael A. dan Kuwairi, Adam (1978) melakukan pengujian
terkait pengaruh garam laut terhadap kuat tekan beton polos pada umur 28
hari. Air laut buatan dihasilkan dengan menambahkan garam ke air suling.
Parameter yang diteliti adalah jenis semen, konsentrasi garam dalam air
suling. Air suling digunakan untuk membuat air laut dan sebagai bahan
referensi dengan hanya menggunakan satu rancang campuran. Kuat tekan
nominal yang direncanakan 13 MPa. Penelitian ini menunjukkan adanya
peningkatan kuat tekan hingga 12% pada beton yang menggunakan semen
tipe II dengan kadar kalsium klorida 0,1%. Demikian pula besaran kenaikan
yang ditunjukkan pada kurva kekuatan terhadap salinitas meningkat pada
level 5% hingga 7%. Satu-satunya pengecualian adalah pada penggunaan
semen tipe V yang menunjukkan penurunan kekuatan hingga 5%. Pengaruh
air garam pada beton disebabkan oleh zat kimia yang terkandung pada
semen.
13
Menurut Neville dan Brooks (1981) kerusakan beton di air laut
disebabkan klorida yang terkandung di air laut, yaitu NaCl dan MgCI2.
Senyawa ini bila bertemu senyawa semen menyebabkan gypsum dan
kalsium sulpho aluminat terjadinya ettringite dalam semen yang mudah larut.
Air laut umumnya mengandung 35.000 ppm (3,5 %) larutan garam, sekitar 78
% adalah sodium klorida dan 15 % adalah magnesium sulfat.
Mohammed, Tarek Uddin, dkk., (2002, 2004) melakukan penelitian
terkait kuat tekan, mineralogi, intrusi klorida dan korosi baja tulangan
tertanam pada beton yang dibuat dengan air laut dan air tawar. Penelitian
dirangkum berdasarkan beberapa penyelidikan terhadap paparan jangka
panjang pada lingkungan pasang surut. Penelitian dilakukan dalam dua seri.
Seri pertama menggunakan semen Portland tipe I, semen terak dan semen
fly ash. Dalam seri kedua, menggunakan semen Portland tipe I, semen
Portland dengan kekuatan awal tinggi, semen Portland dengan panas hidrasi
sedang dan semen blast furnace slag. Benda uji dibuat dalam bentuk silinder
dan prisma. Benda uji silinder terdiri dari beton polos dan beton bertulang
dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Tiga batang baja bulat
diameter 9 mm ditanam pada 20, 40, dan 70 mm dari selimut benda uji. Pada
benda uji prisma (100 x 100 x 600 mm), satu batang baja bulat diameter 9
mm dan panjang 500 mm ditanam ditengah bagian. Sebelum pemaparan,
celah lentur dibuat ditengah spesimen prisma. Penyelidikan pada seri
pertama dilakukan pada umur 28 hari dan 15 tahun. Sedangkan penyelidikan
14
untuk seri kedua dilakukan pada 28 hari, 15 tahun dan 20 tahun dari paparan.
Beton campuran air laut menunjukkan kekuatan awal yang tinggi. Setelah 20
tahun dari paparan, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kekuatan
tekan beton yang diamati untuk campuran beton dengan air laut dan airkeran.
Jumlah awal klorida (akibat penggunaan air laut) dapat menyebabkan inisiasi
korosi pada lokasi dari batang baja yang memiliki rongga/celah pada
interface baja-beton segera setelah pengecoran beton. Penggunaan air laut
menghasilkan pembentukan lubang korosi yang lebih dalam dibandingkan
dengan air keran.
Hartini, dkk., (2014) melakukan pengujian kuat tekan dan modulus
elastisitas pada beton dengan membandingkan antara beton normal dengan
beton yang menggunakan air laut dan pasir laut sebagai bahan pencampur.
Berdasarkan studi yang dilakukan diperoleh data bahwa dengan faktor air
semen yang sama, beton air laut mencapai kuat tekan dan modulus
elastisitas yang lebih tinggi daripada beton air tawar dengan persentase
kenaikan kuat tekan sebesar 1,02 % dan persentase kenaikan modulus
elastisitas sebesar 1,03 %.
Tjaronge, M. W., dkk. (2011) meneliti pengaruh air laut pada kekuatan
beton berongga yang menggunakan semen Portland komposit dan serat
mikro monofilament polypropylene. Uji kuat tekan dan kuat lentur dilakukan
pada 3, 7 dan 28 hari menunjukkan kekuatan meningkat di air laut. Hasil ini
15
memperlihatkan proses hidrasi tidak terganggu ketika beton berpori direndam
air laut.
Otsuki, Nobuaki (2011) mempelajari air laut sebagai air pencampur
menggunakan OPC (Ordinary Portland Cement) dan semen BFS (Blast
Furnace Slag) serta dicampur air tawar. Perbedaan daya tahan beton dengan
air tawar dan dengan air laut tidak banyak, tetapi perbedaan beton OPC dan
BFS sangat besar. Penggunaan air laut menurunkan jumlah pori - pori,
meningkatkan kuat tekan beton BFS dibandingkan menggunakan air tawar.
Penggunaan air laut aman digunakan sebagai air pencampuran dengan
ketentuan menggunakan semen BFS, bukan semen OPC, dan menggunakan
inhibitor korosi atau diperkuat dengan stainless steel atau penguatan tahan
korosi.
Mangat, S. Pritpal dan Elgarf, S. Mahmoud (2006) meneliti model untuk
memprediksi konsentrasi klorida dalam jangka panjang dari data
pemeriksaan rutin konstruksi beton telah dilakukan. Metode lapangan untuk
menentukan tingkat korosi pada beton bertulang telah dikembangkan, yang
membantu dalam prediksi umur layanan beton. Pengamatan selanjutnya
diperlukan dalam prediksi umur layanan akibat korosi pada struktur adalah
pengetahuan tentang kekuatan dari elemen beton bertulang yang
dipengaruhi oleh tingkat korosi.
Sejumlah peneliti telah berusaha untuk mendefinisikan umur layanan
beton bertulang akibat korosi. Telah dikemukakan bahwa 10 sampai 25
16
persen pengurangan kekuatan tulangan baja karena korosi sehingga
menurunkan umur layanan. Beberapa peneliti telah menetapkan tingkat
kerusakan berdasarkan indikasi visual, seperti noda karat dan modifikasi
warna. Penelitian dilakukan dengan beberapa benda uji dengan tingkat korosi
yang berbeda seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan antara tingkat korosi ( × 100%) dan kekuatan lentur
balok.
Jika dalam struktur beton bertulang periode korosi setelah inisiasi
adalah T tahun, maka kehilangan logam setelah T tahun = RT (cm).Oleh
karena itu, pengurangan persen pada diameter tulangan dalam T tahun
dapatdinyatakan dalam persamaan ( × 100 %). Hal ini menunjukkan
bahwa penurunan kekuatan ikatan antar permukaan pada baja dan
(% Kuat lentur)
17
permukaan pada beton merupakan faktor utama yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada beton. Kapasitas lentur balok terkorosi dari
penyelidikan ini bukan pengurangan tulangan cross section.
Gambar 4 menggambarkan efek dari laju korosi pada kapasitas beban
lentur yang memperlihatkan kerusakan pada balok akibat tingkat korosi yang
diberikan. Tingkat korosi atau laju korosi yang diberikanyaitu berbeda-beda :
1, 2, 3, dan 4 mA/cm. Sampai tingkat korosi 3,75 persen ( = 3,75 persen).
Gambar 4. Pengaruh laju korosi pada kekuatan lentur balok
B. Material Penyusun Beton
Material penyusun beton terdiri atas semen portland komposit (PCC),
agregat baik berupa agregat kasar maupun agregat halus dan air pencampur
yang digunakan untuk membuat adonan beton.
% Kuat Lentur
18
a. Semen Portland Komposit (PCC)
Semen merupakan zat berbentuk bubuk dan akan membentuk pasta
setelah bercampur dengan air. Pasta semen ini yang akan melekatkan dan
mengikat agregat pada campuran beton. SNI-15-7064 pasal 3.1 (2004)
mendefinisikan semen portland komposit sebagai bahan pengikat hidrolis
hasil penggilingan bersama-sama terak semen portland dan gips dengan
satu atau lebih bahan anorganik, atau hasil pencampuran antara bubuk
semen portland dengan bubuk bahan anorganik lain. Bahan anorganik
tersebut antara lain terak tanur tinggi (blast furnace slag), pozzolan, senyawa
silikat, batu kapur, dengan kadar total bahan anorganik 6%-35 % dari massa
semen portland komposit.
Semen portland komposit (Portland Composite Cement) dapat
digunakan untuk konstruksi umum seperti pada pekerjaan beton, pekerjaan
pasangan bata, pekerjaan selokan, jalan, pekerjaan pagar dinding dan
pekerjaan pembuatan elemen bangunan khusus seperti beton pracetak,
beton pratekan ataupun beton prategang, panel-panel beton, bata beton
(paving block) dan sebagainya.
Bahan pembentuk semen portland adalah :
1) Kapur (CaO), dari batu kapur
2) Silika (SiO2), dari lempung
3) Aluminium (AL2O3), dari lempung
Sedangkan bahan utama campuran semen portland adalah :
19
1) Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2) atau C3S
2) Dikalsium Silikat (2CaO.SiO2) atau C2S
3) Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3) atau C3A
4) Tetra Alumino Ferrid (4CaO.Al2O3.Fe2O3) atauC4AF
5) Gypsum (CaSO4.2H2O)
Senyawa C3S dan C2S berpengaruh besar terhadap kekuatan semen.
Dimana C3S berpengaruh pada kekuatan awal, sedangkan C2S sangat
berpengaruh terhadap kekuatan semen pada tahap selanjutnya. Waktu yang
diperlukan oleh semen dari keadaan cair menjadi mengeras disebut waktu
pengikatan (setting time). Waktu pengikatan (setting time) sangat dipengaruhi
oleh jenis semen dan senyawa C3S dan C2S yang terkandung dalam jenis
semen yang digunakan.
Syarat kimia untuk semen portland komposit, yaitu berupa SO3
maksimum dengan persyaratan sebesar 4,0 % dengan syarat fisika semen
portland komposit seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Syarat fisika dari
semen portland komposit terdiri dari beberapa jenis pengujian yaitu
kehalusan dengan alat blaine, kekekalan bentuk dengan autoclave, waktu
pengikatan dengan alat vicat berupa pengikatan awal dan pengikatan akhir,
kuat tekan pada umur 3 hari, umur 7 hari dan umur 28 hari, pengikatan semu
berupa penetrasi akhir yang terjadi dan kandungan udara yang terdapat
dalam mortar.
20
Tabel 1.Syarat Fisika Semen Portland Komposit
No. U r a i a n Satuan Persyaratan
1. Kehalusan dengan alat blaine m2/kg min. 280
2.
Kekekalan bentuk dengan autoclave:
- pemuaian
- penyusutan
%
%
maks. 0,80
maks. 0,20
3. Waktu pengikatan dengan alat vicat :
- pengikatan awal
- pengikatan akhir
menit
menit
min. 45
maks. 375
4. Kuat tekan :
- umur 3 hari
- umur 7 hari
- umur 28 hari
kg/cm2
kg/cm2
kg/cm2
min. 125
min. 200
min. 250
5. Pengikatan semu:
- penetrasi akhir
%
min. 50
6. Kandungan udara dalam mortar % volume maks.12
b. Agregat
Agregat merupakan komponen beton yang paling berperan dalam
menentukan besarnya kekuatan beton. Menurut SNI 2847-2013 agregat
adalah bahan berbutir, seperti pasir, kerikil, batu pecah dan slag tanur (blast-
furnace slag), yang digunakan dengan media perekat untuk menghasilkan
21
beton atau mortar semen hidrolis. Pada beton biasanya terdapat sekitar 60%
sampai sebesar 80% volume agregat (Nawy, Edward G., 2010). Sifat agregat
bukan hanya mempengaruhi sifat beton, akan tetapi juga mempengaruhi
ketahanan (durability, daya tahan terhadap kemunduran mutu akibat siklus
dari pembekuan-pencairan). Oleh karena itu, agregat lebih murah dari semen
maka secara logis agregat lebih tinggi presentasenya. Dengan demikian
agregat biasa diatur tingkatannya berdasarkan ukuran yang dimiliki oleh
agregat dan suatu campuran yang layak terhadap presentase agregat kasar
dan agregat halus serta persentase semen yang tergabung dalam mix design
atau rancangan campuran beton (Wang, Chu-Kia, 1993).
Berdasarkan SNI 03-2847-2013, agregat merupakan material granular,
misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tungku pijar yang dipakai
bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk membentuk beton atau
adukan semen hidrolik. Agregat sangat berpengaruh terhadap kualitas dan
kekuatan beton. Pada beton konvensional, agregat menempati 70% sampai
75% dari total volume beton.
1. Agregat Kasar
Agregat kasar adalah kerikil sebagai hasil dari disintegrasi alami dari
batuan-batuan alam atau berupa batu pecah yang dihasilkan atau diperoleh
dari industri pemecah batu (stone crusher) dan mempunyai ukuran butir yaitu
berada di antara 5 mm sampai dengan sebesar 40 mm (SNI 03-2847-2013).
22
Ukuran maksimum nominal agregat kasar menurut SNI 03-2847-2013 harus
tidak melebihi :
a. 1/5 jarak terkecil antara sisi cetakan, ataupun
b. 1/3 ketebalan slab, ataupun
c. 3/4 jarak bersih minimum antara tulangan atau kawat, bundel tulangan,
atau tendon prategang, atau selongsong.
Syarat-syarat gradasi agregat kasar yang diperoleh dari buku concrete
technology, A. M. Neville dan J. J. Brooks, 1981 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat - syarat gradasi agregat kasar (Concrete Technology, A. M.
Nevile & J.J Brooks, 1981)
Ukuran Saringan (mm) Presentasi Lolos Saringan (%)
50
38
19
9,5
4,75
100
95 - 100
35 - 70
10 - 30
0 - 5
2. Agregat Halus
Agregat halus adalah pasir alam sebagai hasil dari disintegrasi alami
batuan atau pasir yang dapat dihasilkan oleh industri pemecah batu dan
mempunyai ukuran butir 5 mm (SNI 03-2847-2013).
23
Persyaratan agregat halus secara umum menurut SNI 03-6821-2002
adalah :
a. Agregat halus terdiri dari butir-butir tajam dan keras.
b. Butir-butir halus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh
pengaruh cuaca. Sifat kekal agregat halus dapat di uji dengan larutan
jenuh garam. Jika dipakai natrium sulfat maksimum bagian yang hancur
adalah 10% berat.
c. Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% (terhadap
berat kering), jika kadar lumpur melampaui 5% maka pasir harus dicuci.
Gradasi agregat halus adalah distribusi ukuran butiran dari agregat
halus yang digunakan dalam salah satu bahan utama pencampuran beton.
Bila butir-butir agregat mempunyai ukuran yang sama atau biasa dikenal
dengan ukuran seragam maka volume pori akan semakin besar. Sebaliknya
bila ukuran butir-butirnya bervariasi atau gradasinya tidak seragam akan
terjadi volume pori yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena butiran yang
kecil akan mengisi pori yang terletak diantara butiran yang besar pada
campuran beton, sehingga pori-porinya akan semakin sedikit, dengan kata
lain kemampatan beton semakin tinggi. Pada agregat untuk pembuatan beton
sedapat mungkin diinginkan suatu butiran yang memiliki kemampatan yang
tinggi, karena volume porinya sedikit maka bahan pengikat yang dibutuhkan
juga sedikit dalam campuran beton. Oleh karena, bahan pengikat yang
24
dibutuhkan sedikit maka biaya juga yang dibutuhkan semakin kecil. Syarat-
syarat gradasi agregat halus dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat-syarat gradasi agregat halus (Concrete Technology, A. M.
Nevile & J.J. Brooks, 1981)
Ukuran Saringan (mm) Presentasi Lolos Saringan (%)
9,5
4,75
2,36
1,18
0,60
0,30
0,15
100
95 - 100
80 - 100
55 - 85
25 - 60
10 - 30
2 – 10
Pasir laut sebagai salah satu alternatif material agregat halus memiliki
ketersediaan dalam jumlah yang besar, walaupun kualitas dari
penggunaannya masih perlu dikaji lebih lanjut. Pada umumnya, pasir laut
merupakan gradasi yang halus, bulat dan seragam yang dapat mengurangi
daya lekat antarbutiran sehingga dapat mempengaruhi kekuatan dan
durabilitas beton. Selain itu, pasir laut juga banyak mengandung garam-
garam klorida (Cl-) dan sulfat (SO4-2) yang dapat memicu terjadinya karat
pada baja tulangan dalam beton. Garam sulfat, seperti magnesium sulfat
(MgSO4) secara agresif dapat bereaksi dengan semen yang akan
25
menghasilkan senyawa-senyawa yang volumenya akan mendesak ke luar
dan pada akhirnya akan merusak beton.
Penggunaan pasir laut pada dasarnya masih memiliki banyak
kekurangan, dimana beton yang dihasilkan meskipun memiliki kekuatan awal
yang besar dari beton normal, setelah umur 28 hari kekuatannya akan lebih
rendah (Nugraha dan Paul Antoni, 2007).
c. Air
Air memegang peranan penting dalam pembuatan beton karena
diperlukan dalam proses hidrasi semen. Selain itu, juga digunakan dalam
perawatan beton. Umumnya air yang digunakan adalah air yang dapat
diminum dan tidak mengandung bahan-bahan lain yang dapat
merusakkualitas beton.
Air laut sendiri tidak disarankan dalam penggunaannya pada beton
karena mengandung garam yang tinggi yang dapat menggerogoti kekuatan
dan keawetan beton. Hal ini disebabkan klorida (Cl-) yang terdapat pada air
laut merupakan garam yang bersifat agresif terhadap bahan lain termasuk
beton. Menurut A.M. Neville dan J. J. Brooks (1981) kerusakan beton di air
laut disebabkan klorida yang terkandung di air laut, yaitu NaCl dan MgCI.
Garam-garam sodium yang terkandung dalam air laut dapat
menghasilkan substansi yang bila berkombinasi dengan agregat alkali yang
reaktif, sama seperti dengan kombinasi dengan semen alkali. Karena itu air
26
laut tidak boleh dipakai untuk beton yang diketahui mempunyai potensi
agregat alkali reaktif, bahkan bila kadar alkalinya rendah. (Syamsuddin,
Ristinah, dkk., 2011).
Namun bila air bersih tidak tersedia, air laut dapat digunakan meskipun
sangat tidak dianjurkan. Meskipun kekuatan awal dengan penggunaan air
laut ini lebih tinggi daripada beton biasa, setelah 28 hari, kekuatannya akan
lebih rendah. Pengurangan kekuatan ini dapat dihindari dengan mengurangi
faktor air semen (Nugraha dan Paul Antoni, 2007).
Sebagian besar permukaan bumi merupakan wilayah laut yaitu
mencapai 70,8% (Rompas, R.M. dkk., 2009 dalam Erniati, dkk., 2013). Air
laut merupakan campuran dari 96,50 % air murni dan 3,50 % material lainnya
seperti garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-
partikel tak terlarut.
Air yang ada dalam perairan tidak berbentuk murni namun terasosiasi
dan terionisasi dengan beberapa garam, para ahli sepakat bahwa ukuran
garam-garam yang terlarut dalam air laut menggunakan satuan salinitas
(salinity). Salinitas air laut umumnya berkisar antara 23 % hingga 37 %
tergantung pada kondisi masing-masing wilayah, yakni yang banyak curah
hujan, muara sungai, limpasan es dan salju dan daerah setengah tertutup.Air
laut memiliki kadar garam rata-rata sekitar 35.000 ppm atau 35 g/liter.
Kandungan kimia utama dari air laut adalah klorida (Cl-), natrium (Na).
magnesium (Mg), Sulfat (SO4-2). Kebanyakan air laut mempunyai komposisi
27
yang serupa, berisi sekitar 3.5% garam larut dengan pH air laut sangat
bervariasi yaitu berkisar antara 7,5 hingga 8,4 dengan rata-rata yaitu sekitar
8,2.
C. Karakteristik Beton
1. Kuat tekan
Kuat tekan beton diwakili oleh tegangan maksimum f’c dengan satuan
N/mm atau MPa. Kuat tekan beton umur 28 hari berkisar antara nilai 10 - 65
MPa. Untuk struktur beton bertulang umumnya menggunakan beton dengan
kuat tekan berkisar 17-30 MPa, sedangkan untuk beton prategang digunakan
beton dengan kuat tekan lebih tinggi, berkisar antara 30 - 45 MPa. Mutu beton
dibedakan atas 3 macam menurut kuat tekannya, yaitu :
a. Mutu beton dengan f’c kurang dari 10 MPa, digunakan untuk beton non
struktur (misalnya kolom praktis, balok praktis).
b. Mutu beton dengan f’c antara 10 MPa sampai 20 MPa, digunakan untuk
beton struktur (misalnya balok, kolom, pelat, maupun pondasi).
c. Mutu beton dengan f’c sebesar 20 MPa ke atas, digunakan untuk struktur
beton yang direncanakan tahan gempa.
Nilai kuat tekan beton diperoleh melalui tata cara pengujian standar,
menggunakan mesin uji dengan cara memberikan beban tekan bertingkat
dengan kecepatan peningkatan beban tertentu dengan benda uji silinder
28
(diameter 150 mm, tinggi 300 mm) sampai hancur. Kuat tekan masing-masing
benda uji ditentukan oleh tegangan tekan tertinggi f’c yang dicapai benda uji
umur 28 hari akibat beban tekan selama percobaan. Dengan demikian dicatat
bahwa tegangan f’c bukanlah tegangan yang timbul saat benda uji hancur,
melainkan tegangan maksimum saat regangan beton εc mencapai nilai ±
0,002. Gambar 5 memperlihatkan hubungan tegangan dan regangan benda
uji beton.
Gambar 5. Hubungan tegangan dan regangan benda uji beton
2. Kuat Tarik Beton
Kuat tarik beton dilakukan dengan pengujian split cylinder yang hasilnya
mendekati kuat tarik yang sebenarnya, dimana diperoleh nilai kuat tarik dari
beberapa kali pengujian adalah 0,50-0,60 kali √f’c, sehingga untuk beton
normal digunakan 0,57√f’c. Pengujian kuat tarik beton ini juga menggunakan
29
benda uji yang sama dengan uji kuat tekan, yaitu silinder beton berdiameter
150 mm dan panjang 300 mm, yang diletakkan pada arah memanjang diatas
alat penguji.
Kemudian silinder akan diberikan beban merata searah tegak dari atas
pada seluruh panjang silinder. Ketika kuat tariknya terlampaui, maka benda uji
akan terbelah menjadi dua bagian, dimana tegangan tarik yang timbul pada
saat benda uji tersebut terbelah disebut split cylinder strength, diperhitungkan
pada persamaan 1 yaitu :
………………………………….…………….………………(1) Dimana :
ft = Kuat tarik belah (N/m2)
P = Beban pada waktu belah (N)
L = Panjang benda uji silinder (m)
D = Diameter benda uji silnder (m)
3. Perilaku Tegangan-Regangan Beton
Tegangan merupakan perbandingan antara gaya yang bekerja pada
beton dengan luas penampang beton. Keadaan ini dapat dinyatakan seperti
pada persamaan 2 :
σ =P/ A……………………………………………………………….…………….(2)
Dimana :
30
σ = Tegangan beton (MPa)
P = Beban (N)
A = Luas penampang beton (mm²)
Regangan adalah perbandingan antara pertambahan panjang yang
terjadi (ΔL) terhadap panjang mula-mula (L) benda uji dimana regangan
dinotasikan dengan ε dan tidak mempunyai satuan. Regangan yang terjadi
pada beton dinyatakan dalam persamaan 3 :
ε = ΔL/L……………………………………………...…………………………….(3)
Dimana :
ΔL= Perubahan panjang
L = Panjang awal
Jika hubungan tegangan dan regangan yang terbentuk dibuat dalam
bentuk grafik dimana setiap nilai tegangan dan regangan yang terjadi pada
benda uji dipetakan kedalamnya dalam bentuk titik-titik, maka titik-titik yang
terbentuk tersebut terletak dalam suatu garis lurus sehingga terdapat
kesebandingan antara hubungan tegangan dan regangan yang terjadi pada
hasil pengujian benda uji. Gambar 6 memperlihatkan hubungan tegangan dan
regangan linear.
31
Gambar 6. Hubungan tegangan dan regangan linear
Hubungan tegangan–regangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6
adalah hubungan yang linear, dimana regangan berbanding lurus dengan
tegangannya. Hukum Hooke berlaku dalam keadaan ini. Akan tetapi dalam
kondisi yang sebenarnya, tegangan tidak selalu berbanding lurus dengan
regangan, hubungan tersebut apabila dipetakan dalam bentuk titik-titik, maka
akan berbentuk seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Hubungan tegangan regangan non linear
32
D. Tulangan Coating
Zinc chromate adalah salah satu deretan meni besi, zinc chromate
mengandung pigment zinc yang mempunyai sifat kharakteristik anti korosi
yang sangat baik serta dipadukan dengan resin alkali resin sehingga aplikasi
zinc chromate dapat berfungsi sebagai cat anti korosi. Zinc chromate
umumnya bercorak warna hijau kekuningan atau hijau kecoklatan.
Zinc chromate diaplikasikan secara umum untuk pengecatan steel
structure, steel construction, tangki penyimpanan, kontainer, jalur perpipaan
dan material besi lainnya. Zinc chromate dikategorikan sebagai sistem
konvensional dalam dunia coating. karena resin yang dipergunakan adalah
teknologi terakhir yaitu alkali resin. Tipe resin yang umum dipakai pada zinc
chromate yaitu short alkali resin, medium alkali resin, long oil alkali resin.
Pada penelitian ini menggunakan type medium alkali resin. Tata cara
Coating secara konvensional pada tulangan baja dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk kepada para pihak-pihak yang berkepentingan dalam
mengerjakan pengecatan logam. Cara Coating besi dan baja dilakukan
sebagai yaitu :
1) Membersihkan semua debu, kotoran, minyak, gemuk dan sebagainya
dengan cara mencuci dengan “white spray” atau solvent lain yang cocok,
kemudian dilap dengan kain bersih.
33
2) Menghilangkan semua karat dan kerok dengan cara mengeruk atau
menggosok dengan sikat kawat bila perlu dengan sand blasting.
3) Memberi cat dasar Coating dan harus dijaga jangan sampai terkotori lapis
debu, kotoran, minyak, lemak, dan sebagainya sebelum diberi cat antara
dan cat tutup.
4) Bagian-bagian logam harus disikat dengan sikat kawat atau dikerok untuk
menghilangkan karat. Kemudian baru di Coating. Jumlah lapisan Coating
tergantung jenis struktur.
E. Peranan Hidrasi Semen Dalam Pengikatan Klorida
Dalam proses hidrasi semen yang bercampur dengan air laut akan
mempengaruhi ikatan kimia yang terjadi antara semen dan air laut dengan
membentuk fase baru dalam mikrostruktur beton sehingga mempengaruhi
sifat mekanis beton terutama pada durabilitas beton. Adanya klorida yang
terkandung pada campuran beton merupakan penyebab utama dari
kerusakan struktur beton yang berpotensi dalam pembentukan mekanisme
karat atau korosi yang terjadi pada baja tulangan yang ada dalam struktur
beton. Apabila ion klorida yang terkandung dalam air bereaksi dengan
semen, maka sebagian produk hidrasi semen akan mengikat ion klorida
dalam beton baik melalui pengikatan secara kimiawi maupun pengikatan
melalui adsorbsi secara fisik. Ion klorida yang tidak terikat oleh produk hidrasi
34
akan menyebar melalui pori-pori yang ada dalam beton dan dapat
terpenetrasi kedalam lapisan galvanis baja (Marinescu, M.V.A dan Brouwers,
H.J.H., 2010). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
pengaruh klorida dalam campuran beton, diantaranya Tjaronge, M.W., dkk.,
(2014), Mohammed, Tarek Uddin, dkk., (2004(a),(b)), Otsuki, Nobuaki, (2011)
dimana klorida sangat berpengaruh besar dalam campuran beton. Tidak
menutup kemungkinan bahwa air laut akan digunakan sebagai bahan
pencampur beton dimana beberapa penelitian diantaranya telah
menyebutkan bahwa pada tahun 2025 umat manusia akan kekurangan air
bersih (Otsuki, Nobuaki, 2011). Oleh sebab itu, diperlukan adanya
penanganan secara komprehensif untuk mencegah terjadinya kerusakan
pada beton dan terjadinya korosi yang terjadi pada tulangan baja yang dapat
merusak beton.
Ann, Ki Yong dan Song, Ha-Won (2007), juga telah meneliti tentang
ambang batas klorida yang dapat terkandung dalam beton, dimana jumlah
klorida yang terikat dalam beton sudah mencapai titik maksimum dalam arti
bahwa sudah tidak ada lagi unsur atau senyawa dari semen yang dapat
mengikat klorida. Ketika konsentrasi klorida berada pada ambang batas
tertentu dan interface kekuatan beton tercapai pada umur puncak dan korosi
dari besi beton baja mulai bereaksi. British Standard dalam Corrosion
Science memberikan batas klorida untuk beton bertulang yaitu sebesar 0,4%
dari berat semen yang digunakan dalam rancang campuran beton atau mix
35
design. Tabel 4 meperlihatkan ambang batas klorida dengan berbagai
kondisi. Kondisi-kondisi yang dimaksud adalah pore solution, specimen
dengan internal klorida (Cl-), specimen dengan external klorida (Cl-), dan
beton struktural dalam penerapan beton di lapangan sehingga beton
struktural yang direncanakan mampu mencapai target yang ada dan
memenuhi spesifikasi standar nasional Indonesia. Metode deteksi yang
digunakan untuk mengetahui kadar klorida yang terkandung dalam beton
bermacam-macam yaitu diantaranya half-cell potential, polarisation, AC,
macrocell, current, impedance, mass-loss, polarisation not mentioned, dan
lain-lain.
Ambang batas klorida dalam berbagai kondisi sangat diperlukan untuk
mengetahui kadar klorida yang boleh terkandung di dalam beton sehingga
pada umumnya korosi yang dapat terjadi pada beton akibat klorida dapat
ditangani dan di perbaiki sedini mungkin sehingga tidak dapat merusak beton
yang ada.Penelitian yang telah dilakukan oleh Marinescu dkk., 2010,
menunjukkan salah satu parameter paling penting yang dapat mempengaruhi
kapasitas pengikatan klorida adalah komposisi dari semen tersebut yang ada
dipakai dalam pembuatan beton. Kandungan C3A dalam semen sangat
menentukan jumlah fase AFm, sementara kandungan dari C3S dan C2S
dapat dihubungkan dengan jumlah CSH yang diperoleh pada hidrasi yang
ditimbulkan oleh semen.
Hidrat utama dari pasta semen adalah membentuk C-S-H gel
36
(torbomorite), Ca(OH)2, Aft (C3A. 3CaSO4.32H2O), dan AFm
(C3A.3CaSO4.10H2O). Dari hidrat, Aft dan Ca(OH)2 memiliki kapasitas kecil
untuk mengikat klorida, C-S-H memiliki permukaan yang sangat besar dan
mampu mengikat berbagai macam ion-ion yang ada dan termasuk ion klorida
tersebut. Selanjutnya, kapasitas pengikatan klorida C-S-H yang dapat terjadi
tergantung pada komposisi kimia yang ada dan luas permukaan serta jenis
larutan klorida dan kondisi eksperimental yang dilakukan (Mien, T. Van dkk.,
2008). Berdasarkan kedua fase hidrasi yang dapat mengikat klorida tersebut
sehingga yang lebih banyak yaitu CSH dan AFm, memiliki dua mekanisme
pengikatan klorida utama yang terjadi yaitu pengikatan melalui adsorpsi
secara fisik dan pengikatan melalui reaksi kimia yang terjadi. Fase CSH
dapat diketahui mampu mengikat klorida melalui penyerapan, sedangkan
AFm mengikat klorida melalui reaksi kimia yang terjadi dan dapat membentuk
garam friedel. Proses pengikatan klorida pada beton dapat dijelaskan dengan
reaksi kimiayang terjadi. Senyawa NaCl dan senyawa MgCl setelah bereaksi
dengan kapur padam (Ca(OH)2) dengan hasil hidrasi semen dari kalsium
klorida (CaCl), akan menjadi larut dimana akan menyebabkan kerugian dan
pelemahan pada beton sehingga aturan standar nasional Indonesia melalui
SNi 03-2847-2013 Perencanaan Beton Struktural Untuk Bangunan Gedung
memberikan gambaran tentang batas maksimum kandungan klorida yang
dapat terkandung pada beton.
37
Tabel 4. Ambang batas klorida dengan berbagai kondisi (Ann, Ki Yong dan Song, Ha-Won (2007))
kondisi Ambang batas Metode
Deteksi Total klorida (%)
Bebas klorida (%) [Cl]/[OH]
Pore Solution 0,6 0,3
Half-cell potential
Polarisation
Spesimen + internal Cl-
0,5-2,0
0,079-0,19
0,78-0,93 0,45 (SRPC)
0,90 (15% PFA)
0,68 (30% PFA)
0.97 (30% GGBS)
0,35-1,00
0,11-0,12 0,10 0,11 0,07 0,03
0,14-0,22
8-63
0,16-0,26 0,27 0,19 0,21 0,23
Polarisation Macrocell
current AC
impedance Massloss Half-cell potential
Cl-/OH- = 0,3
Spesimen + external Cl-
0,227 0,5-1,5
0,70 (OPC) 0,65 (15%
PFA) 0,50 (30%
PFA) 0,20 (50%
PFA) 1,8-2,9 0,5-1,4 0,6-1,4
0,364 1,5
Polarisation Half-cell potential Massloss
Polarisation Not
mentioned
Structure 0,2-1,5 Mass loss Catatan : SRPC :Sulphate resistant portland cement, PFA : pulverized fly ash, GGBS : ground granulated blast furnace slag, OPC : ordinary Portland cement
38
Persamaan 4, 5 dan 6 memperlihatkan persamaan reaksi yang
menunjukkan peranan hidrasi semen dalam pengikatan klorida.
Ca(OH)2 + 2NaCl CaCl2 + 2NaOH (4)
CaCl2 + (3CaO).Al2O3 + 10H2O (3CaO)Al2O3.CaCl2.10H2O (5)
Ca(OH)2 + MgCl2 CaCl2 + Mg(OH)2 (6)
F. Kekuatan Lentur Pada Balok Beton Bertulang
Beton bertulang adalah beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah
tulangan yang tidak kurang dari nilai minimum yang disyaratkan dengan atau
tanpa prategang, dan dapat direncanakan berdasarkan asumsi bahwa kedua
bahan tersebut bekerja sama dalam memikul gaya-gaya (SNI03-2847–2002,
Pasal 3.13). Baja tulangan memiliki sifat kuat terhadap gaya tarik, sedangkan
beton memiliki sifat kuat terhadap gaya tekan, namun lemah terhadap tarik.
Berdasarkan kelebihan dan kekurangan kedua material tersebut, maka
lahirlah beton bertulang menjadi satu kesatuan yang komposit dalam
menerima beban tekan maupun beban tarik.
Beton bertulang mempunyai sifat yang sangat sesuai dengan sifat bahan
penyusunnya, yaitu sangat kuat terhadap beban tarik maupun beban tekan
yang diberikan. Beban tarik pada beton bertulang dapat ditahan oleh baja
tulangan, sedangkan beban tekan cukup ditahan oleh beton itu sendiri. Beton
39
juga dapat melindungi baja dari kebakaran dankarat atau korosi yang terjadi
dengan tujuan beton agar tetapawet.
Lenturan murni adalah lenturan yang terjadi pada balok dengan
mengkondisikan gaya lintangnya sama dengan nol, yaitu dengan meletakkan
balok beton pada tumpuan sederhana yang dibebani secara simetris sejauh a
dari tumpuan seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pola pembebanan pada pengujian kuat lentur
1. Analisa Balok Beton Bertulang
Ketika suatu gelagar balok diberi beban sehingga menimbulkan momen
lentur, maka akan terjadi deformasi (regangan) lentur dalam balok tersebut.
Pada kejadian momen lentur positif, maka bagian atas akan mengalami
regangan tekan dan bagian bawah mengalami regangan tarik. Regangan-
regangan tersebut akan menimbulkan tegangan-tegangan yang harus dipikul
40
oleh balok, dimana tegangan tekan akan terjadi dibagian atas dan tegangan
tarik di bagian bawah.
Pada saat beban kecil, belum terjadi retak pada beton, dalam kondisi ini
beton dan baja tulangan bersama-sama akan menahan tegangan yang
terjadi. Distribusi tegangan akan tampak linear, bernilai nol pada garis netral
dan sebanding dengan regangan yang terjadi. Gambar 9 memperlihatkan
perilaku lentur pada beton.
Gambar 9. Perilaku lentur pada beton
Ketika beban diperbesar lagi, nilai regangan dan tegangan tekan akan
semakin meningkat, dan cenderung untuk tidak sebanding lagi, dimana
tegangan beton akan membentuk kurva non linear. Bentuk tegangan beton
tekan pada penampangnya akan berupa garis lengkung dimulai dari garis
netral sampai ke serat atas balok, seperti yang terlihat pada Gambar 10.
41
Gambar 10. Perilaku lentur dekat beban ultimit
Nd adalah resultan gaya tekan dalam sedangkan Nt adalah resultan
gaya tarik dalam. Kedua gaya ini memiliki garis kerja sejajar, sama besar,
tetapi berlawanan arah dan dipisahkan dengan jarak z sehingga membentuk
kopel momen tahanan dalam, dimana nilai maksimumnya disebut kuat lentur
atau momen tahanan penampang komponen struktur terlentur.
a. Analisa Balok Lentur Tulangan Tarik
Untuk merencanakan balok pada kondisi pembebanan tertentu maka
harus diketahui komposisi dimensi balok beton seperti lebar balok (b), tinggi
balok (h), dan jumlah serta luas tulangan baja (As), f’c dan fy sehingga dapat
menimbulkan momen tahanan dalam sama dengan momen lentur maksimum
yang ditimbulkan oleh beban.
Namun menentukan momen tahanan dalam bukanlah hal yang mudah
karena hubungan dengan bentuk diagram tegangan tekan diatas garis netral
42
dapat berbentuk garis lengkung. Untuk mempermudah perhitungan, maka
Whitney telah mengusulkan bentuk persegi panjang sebagai distribusi
tegangan beton tekan ekivalen dan juga telah diatur dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI). Standar SKSNI 03-2847-2002 pada pasal 12.2.7.1 juga
menetapkan bentuk tersebut sebagai ketentuan. Selain itu, menurut SK SNI
T-15-1991-03 kuat lentur nominal untuk balok penampang persegi dapat
diturunkan dengan menggunakan tegangan persegi ekivalen. Gambar 11
memperlihatkan balok tegangan ekivalen Whitney.
Gambar 11. Balok tegangan ekivalen Whitney
Persamaan 7 sampai persamaan 15 memperlihatkan persamaan yang
digunakan untuk membuat balok tegangan ekivalen Whitney.
……………………………………………………………….(7)
……………………………………………………………………….. (8)
43
…….………………………………………………………… (9)
………..………………………………………………. (10)
…………………………………………………………………….(11)
…………………………………………………………………..…(12)
………………………………………………………………..(13)
……….…………………………………………………………..(14)
………………………………………………………………………...(15)
Keterangan :
Nd = Resultan seluruh gaya tekan diatas garis netral
Nt = Resultan seluruh gaya tarik di bawah garis netral
Mr = Momen tahanan
Z = Jarak antara resultan gaya tekan dan tarik
c = Jarakserat tekan terluar ke garis netral
fy = Tegangan luluh tulangan baja
f’c = Kuat tekan beton
Asb = Luas tulangan balok
ρ = Rasio penulangan
44
d = Tinggi efektif balok
b = Lebar balok
β₁ = Konstanta yang merupakan fungsi dari kelas kuat beton
b. Retak Pada Balok Bertulang Ada 3 jenis retak yang terjadi pada balok beton bertulang, yaitu:
1. Retak lentur
Retak lentur adalah retak vertikal yang memanjang dari sisi tarik balok
dan mengarah ke atas sampai daerah sumbu netralnya serta terjadi pada
daerah momen lentur yang besar. Jika balok memiliki web yang sangat tinggi,
jarak retak akan sangat dekat, dengan sebagian retak terjadi bersamaan
sampai di atas tulangan, dan sebagian lagi tidak sampai ke tulangan. Retak
ini akan lebih lebar di pertengahan balok daripada di bagian dasarnya. Pada
penelitian ini, jenis retak inilah yang akan diidentifikasi.
2. Retak miring
Retak miring dapat disebabkan karena gaya geser yang dapat terjadi
pada bagian web balok beton bertulang baik sebagai retak bebas atau
perpanjangan dari retak lentur. Retak geser web kadang-kadang dapat terjadi
pada web-web penampang prategang, terutama dapat terjadi pada
penampang dengan flens yang besar dan web yang tipis. Jenis retak geser
45
miring yang paling umum ditemukan adalah retak geser lentur yang terjadi
pada balok prategang dan non prategang.
3. Retak puntir
Retak puntir cukup mirip dengan retak geser, namun retak ini melingkar
di sekeliling balok. Jika sebuah batang beton tanpa tulangan menerima torsi
secara murni maka batang tersebut akan retak dan runtuh di sepanjang garis
spiral dengan sudut sebesar 45º karena adanya gaya tarik diagonal yang
disebabkan oleh tegangan puntir. Gambar 12 memperlihatkan retak pada
balok beton bertulang.
Gambar 12. Retak pada Balok
Beton bertulang akan mengalami retak yang disebabkan oleh kekuatan
tarik beton yang cukup rendah. Retak tidak dapat dicegah dan dihindari
namun dapat dibatasi ukurannya dengan menyebar atau mendistribusikan
tulangan pada beton. Nilai lebar retak maksimum yang dapat diterima sangat
bervariasi yaitu dari sekitar 0,004 sampai 0,016 dan nilai ini sangat tergantung
46
pada lokasi terjadinya retak, jenis struktur, tekstur permukaan beton,
iluminasi, dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya retak
pada balok beton bertulang.
Komite ACI 224, dalam laporannya tentang retak memperlihatkan
sejumlah perkiraan lebar retak maksimum yang dapat diizinkan untuk batang
beton bertulang dalam berbagai situasi dan kondisi yang terjadi seperti pada
beton bertulang yang bersentuhan dengan udara kering, udara lembab,
tanah, larutan bahan kimia, air laut dan percikan air laut dan digunakan dapa
struktur penahan air. Nilai-nilai lebar retak ini dapat dilihat dalam Tabel 5
(Jack C. Mc Cormac, 2004). Tabel 5 memperlihatkan lebar retak maksimum
yang dapat diizinkan berdasarkan lebar retak yang ditentukan oleh Komite
ACI 224 dalam berbagai situasi dan kondisi yang ada diantaranya udara
kering, udara lembab, air laut maupun percikan air laut dan lain-lain.
Tabel 5. Lebar retak maksimum yang diizinkan
Batang yang bersentuhan dengan Lebar retak yang diizinkan (inch)
Udara kering 0,016
Udara lembab, tanah 0,012
Larutan bahan kimia 0,007
Air laut dan percikan air laut 0,006
Digunakan pada struktur penahan air 0,004
47
G. Korosi Pada Baja Tulangan
Baja merupakan bahan dengan kuat tarik yang tinggi dan koefisien
pemuaian yang hampir sama dengan beton. Sedangkan beton mempunyai
kelemahan pada nilai kuat tariknya. Hal ini menjadi pertimbangan
penggunaan baja sebagai tulangan pada beton yang menerima gaya tarik.
Secara umum, tulangan baja di dalam beton tidak akan terkorosi karena
pada lapisan baja terdapat lapisan pasif baja yang tipis yang berfungsi
sebagai pelindung. Lapisan pasif baja akan bereaksi dengan larutan asam
atau akan larut dalam kondisi asam. Karena sifat beton alkali, yaitu basa
dengan pH sekitar 12-13, baja tulangan didalam beton aman terhadap korosi.
Jika dilihat secara makro, beton merupakan material yang kuat, tetapi jika
dilihat secara mikro maka beton adalah material yang berpori dengan
diameter kecil. Pori–pori tersebut masih memungkinkan senyawa – senyawa
disekitar beton untuk berinfiltrasi kedalam beton dengan cara berdifusi.
Proses ini dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi di dalam dan di luar
beton.
Proses karbonasi menyebabkan beton kuat (CaCO3 mengisi pori-pori),
tetapi menimbulkan karat pada tulangan besi, tidak baik untuk beton
bertulang. Zat-zat garam tidak di pikirkan pada saat pencampuran yang
menyebabkan umur layanan beton bertulang menjadi pendek. Diperkirakan
48
pada masa berfungsi beton bertulang 10 – 60 tahun dengan kondisi baja
tulangan mengalami korosi.
Baja tulangan pada beton akan terkorosi bila lapisan pasif ini rusak yaitu
pH lingkungan pada bidang kontak baja dan beton turun hingga lebih kecil
dari 9,5. Kondisi ini yang biasanya disebabkan oleh proses karbonasi,
degradasi oleh klorida, serangan sulfat, serangan asam dari bakteri atau
degradasi oleh garam magnesium.
Pada korosi baja tulangan, kerusakan terjadi pada tulangan di dalam
beton. Hal ini disebabkan karena tulangan di dalam beton bereaksi dengan
air dan membentuk karat. Karat yang terbentuk pada tulangan ini
mengakibatkan penambahan volume besi tulangan tersebut yang kemudian
mendesak sehingga beton tersebut menjadi retak.
Lapisan pelindung yang pasif pada permukaan tulangan baja yang
terbentuk dengan sendirinya setelah dimulainya proses hidrasi semen terdiri
atas Fe2O3. Selama lapisan oksida tersebut ada, tulangan baja akan tetap
utuh. Namun ion klorida dapat merusak lapisan tersebut, ditambah dengan
adanya air dan oksigen yang menyebabkan korosi (karat) terjadi.
Gambar 13 memperlihatkan deskripsi singkat dari fenomena korosi.
Ketika terjadi perbedaan potensial listrik sepanjang tulangan baja di dalam
beton, sebuah lapisan elektrokimia akan terbentuk yaitu ada yang berbentuk
anoda dan katoda, dihubungkan dengan elektrolit yang terbentuk dari air
dalam campuran pasta semen. Ion positif Fe+ pada anoda masuk ke dalam
49
larutan sedangkan elektron bebas bermuatan negatif e- melewati baja ke
katodadimana mereka diserap oleh konstituendari elektrolit dan
dikombinasikan dengan air dan oksigen membentuk ion hidroksil (OH)-.
Perjalanan menuju elektrolit ditambah dengan ion besi membentuk
ferrichydroxide yang diubah oleh proses oksidasi lanjutan menjadi karat.
Persamaan reaksinya adalah :
Reaksi anodik :
Fe+ + 2e- Fe++ + 2(OH)¯ Fe(OH)2 (ferroushydroxide) (16)
4Fe(OH)2 + 2H20 + O2 4Fe(OH)3 (ferrichydroxide) (17)
Reaksi katodik:
e- + O2 + 2H2O → 4(OH)- (18)
Gambar 13. Deskripsi singkat dari fenomena korosi
Terlihat bahwa oksigen terserap sedangkan air diperbarui, hal ini
diperlukan agar proses dapat tetap berlanjut. Maka itu, korosi tidak akan
50
terjadi pada beton yang telah mengering, pada tingkat kelembapan sekitar
60%; begitu juga pada beton yang dibenamkan penuh di dalam air, kecuali
jika beton menyerap udara, yang salah satunya dapat disebabkan oleh
gelombang. Kadar kelembapan optimum korosi mencapai 70 hingga 80%.
Kelembapan yang makin tinggi menyebabkan penurunan tingkat penyerapan
oksigen.
Perbedaan energi elektrokimia dapat disebabkan oleh perbedaan
kondisi lingkungan pada beton, contohnya ketika beton terendam di air laut.
Kondisi yang sama dapat timbul ketika ada perbedaan besar pada ketebalan
dari selimut baja yang tersambung secara elektris. Sel elektrokimia juga
terbentuk karena variasi dari konsentrasi garam didalam air atau karena
adanya perbedaan cara penyerapan oksigen.
Agar korosi dapat dimulai, lapisan pasif harus dapat ditembus. Ion
klorida mengaktifkan permukaan baja untuk membentuk anode, permukaan
lapisan pasif menjadi katoda. Reaksinya adalah :
Fe+ + 2Cl- → FeCl2 (19)
FeCl2 + 2H2O → Fe(OH)2 + 2HCl (20)
Oleh karena itu, klorida dapat terbentuk sehingga proses karat terjadi,
meskipun terbentuk klorida besi pada tahap peralihan. Sel elektrokimia yang
membutuhkan anoda dan katoda yang saling terhubung oleh pori air, juga
51
oleh baja tulangan itu sendiri, dan sistem pori pada pasta semen yang telah
mengeras menjadi faktor utama penyebab korosi.
Konsekuensi dari korosi tulangan yaitu korosi dapat menyebabkan
volume tulangan menjadi beberapa kali lebih besar dibanding dengan volume
tulangan asli sehingga dapat menyebabkan retak, spalling atau delaminasi
pada beton. Gambar 14 memperlihatkan mekanisme konsekuensi yang
diakibatkan oleh korosi pada baja tulangan.
Gambar 14. Konsekuensi akibat korosi pada baja tulangan
H. Percepatan Korosi Tulangan
Tujuan penginduksian korosi pada baja tulangan adalah untuk
mensimulasikan bagaimana korosi dapat merusak ke dalam beton. Proses
korosi dimulai dengan memberikanarus listrik sebesar 1 mA / cm2. Pada
metode ini, sebuah energi potensial positif yang konstan (arus listrik)
diberikan pada tulangan yang tertanam pada beton sebagai elektrode yang
dapat dihitung secara berkala.
52
Proses korosi tulangan dilakukan di kolam / tangki yang terisi larutan
NaCl sebesar 3,5 % sebagai elektrolit. Rendaman beton dalam tangki telah
disesuaikan sedikit melebihi dari penutup beton di tambah diameter tulangan,
untuk memastikan perendaman yang memadai terhadap tulangan tarik.
Pemilihan intensitas arus listrik dan periode korosi pada balok beton
disesuaikan pada tingkat yang di inginkan. Persentase tingkat korosi dipilih
sebagai bagian pengurangan kekuatan tulangan tarik dalam skala waktu
yang singkat. Hubungan antara besarnya arus korosi dan besarnya
kehilangan berat logam akibat korosi ditentukan dengan menggunakan
hukum faraday sebagai berikut :
………………………………….. …………………………….. (21)
Dimana : Δω = kehilangan berat logam akibat korosi
A = berat atom besi (56 g)
I = arus korosi (amp)
t = waktu berlalu (detik)
Z = valensi dari bereaksi elektroda (besi), yang merupakan 2
F = Konstanta faraday (96.500 amp detik)
Berdasarkan hukum faraday tersebut yang mengekspresikan
kehilangan berat logam yang telah di berikan arus sebesar persentase
ampere yang di inginkan maka penurunan diameter tulangan akibat korosi
dapat di definisikan sebagai berikut :
53
………………………………………………………… (22)
Dimana : 2R = 2312 i
2R T/D = Penurunan diameter tulangan akibat korosi (T tahun)
R = Laju korosi untuk arus i (R = 1156 i) (cm / tahun)
i = Besarnya arus korosi (amp / cm2)
Model perendaman Impressed Voltage adalah untuk mempercepat
korosi pada tulangan beton yang di rendam dengan air laut. Metode
ImpressedVoltage merupakan salah satu metode percepatan korosi, yang
secara tidak langsung memberikan informasi mengenai karakteristik
penyerapan dari beton. Alat yang digunakan dalam pengujian ini meliputi
sumber daya DC, benda uji, bak perendaman yang mengandung larutan
NaCl sebesar 3,5 %, satu stainless plat, serta data logger. Alat dan bahan
yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Skema kolam perendaman
54
I. Kerangka Pikir Penelitian
Dalam upaya mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di
daerah-daerah terpencil khususnya pulau-pulau terpencil, Pemerintah daerah
diperhadapkan dengan permasalahan tingginya harga satuan biaya
pembangunan infrastrukturakibat material agregat yang didatangkan dari luar
daerah.Penggunaanair laut dan pasir laut sebagai material pembentuk beton
masih relatif minim digunakan di daerah-daerah yang terisolir dengan air
bersih. Hal ini disebabkan karena kandungan klorida atau ion Cl- yang
terkandung dalam pasir laut maupun air laut sehingga dapat menyebabkan
tulangan yang digunakan dapat berkarat. Oleh karena itu, penelitian ini
mencoba melakukan eksperimental di laboratorium dengan menggunakan air
laut dan pasir laut sebagai bahan pembentuk beton dan mensimulasikan
dengan proses akselerasi karat atau korosi. Gambar 16 memperlihatkan
kerangka pikir penelitian.
55
Gambar 16. Kerangka pikir penelitian
KESIM
PULA
N D
AN
SAR
AN
ISU STRATEGIS
Ketersediaan air bersih sebagai pencampur beton yang semakin berkurang dari waktu ke waktu sangat membutuhkan perhatian khusus
Pembangunan infrastruktur nasional di daerah terpencil
Pengembangan teknologi beton menggunakan alternatif material penyusun dari laut (air laut dan pasir laut)
IDENTIFIKASI MASALAH
Bagaimana perilaku lentur yang timbul pada balok beton bertulang dalam kondisi normal dibandingkan dengan beton air laut yang diberikan percepatan korosi
Bagaimana efektivitas penggunaan air laut terhadap kapasitas lentur beton bertulang
Bagaimana dampak penggunaan tulangan beton yang mengalami korosi terhadap kapasitas lentur beton
UJI LABORATORIUM
M Pengujian karakteristik material
Pengujian kuat tekan beton dari semua variabel pengujian dalam penelitian
Pengujian half-cell potential pada balok beton
Pengujian kuat lentur balok yang diakselerasi korosi
HASIL PENELITIAN
Mendapatkan karakteristik material
Mendapatkan nilai kuat tekan beton semua variabel pengujian
Mendapatkan nilai half-cell potential pada balok beton
Mendapatkan nilai kapasitas lentur balok beton bertulang
Mendapatkan nilai kuat tarik baja tulangan akibat akselerasi korosi
Pengujian kuat tarik baja tulangan akibat akselerasi korosi
56
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Prosedur Penelitian
Desain atau rancangan penelitian bisa diartikan suatu proses analisis
dan pengumpulan data penelitian hingga memperoleh suatu hasil yang
diharapkan dalam penelitian. Akan tetapi dalam arti luasnya rancangan
penelitian itu meliputi proses dari perencanaan serta pelaksanaan
penelitian hingga hasil dan kesimpulan dari suatu penelitian. Rancangan
penelitian meliputi semua prosedur dari penelitian sejak dari tujuan
penelitian hingga analisis data. Pembuatan rancangan penelitian sendiri
bertujuan agar penelitian bisa dijalankan dengan lancer dan tanpa
terjadinya kendala-kendala yang tidak diharapkan.
Penelitian ini diawali dengan studi pustaka dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya yaitu penelitian yang ada kaitannya dengananalisis
korosi pada baja tulangan, percepatan korosi pada baja tulangan serta
kuat lentur balok beton bertulang. Jenis penelitian ini selain kajian pustaka
juga dilakukan uji eksperimental yang secara garis besar dilaksanakan di
laboratorium Struktur dan Bahan Universitas Hasanuddin Fakultas Teknik.
Secara garis besar prosedur pelaksanaan penelitian mengikuti skema
bagan alir pada Gambar 17.
57
B.
C.
D.
Gambar 17. Bagan alir penelitian
MULAI
KAJIAN PUSTAKA Teori dasar dan Jurnal
PERSIAPAN Desain, Bahan dan Alat Pengujian
Sampel Selinder Berton Air Tawar Sebagai Camupuran Air Semen
Sampel Selinder Berton Air Laut Sebagai Campuran Air Semen dan
Pasir Laut
Uji Kuat Tekan
Sampel Balok (15x20x160) Menggunakan Air Tawar Sebagai Air
Semen dan Tulangan Biasa
Sampel Balok (15x20x160) Menggunakan Air Laut Sebagai Air Semen dan Tulangan Non Korosif
Uji Lentur balok beton
Pengujian Balok Dengan Beban Monotonik - Pengukuran tegangan dan regangan - Pengukuran lendutan - Pengukuran lebar retak
Hasil Tes dan Pengolahan Data
Pembahasan dan Kesimpulan
SELESAI
58
B. Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini, benda uji dibuat menjadi 4 tipe, yaitu
1. Balok beton bertulang normal dengan tulangan biasa dengan ukuran
baja 2D16 mm.
2. Balok beton bertulang normal dengan tulangan biasa dengan ukuran
baja 2D16 mm yang diberikan percepatan korosi.
3. Balok beton bertulang air laut dengan tulangan biasa dengan ukuran
baja 2D16 mm yang diberikan percepatan korosi.
4. Balok beton bertulang air laut dengan tulangan coating dengan ukuran
baja 2D16 mm yang diberikan percepatan korosi.
Penelitian ini dilakukan dengan pembuatan desain campuran beton
normal dengan air laut dan pasir laut sebagai bahan pencampur. Agregat
kasar yang digunakan merupakan material batu pecah yang diambil di
sekitar lokasi Sungai Bili-bili. Agregat halus yang digunakan terdiri dari 2
lokasi pengambilan, yaitu material pasir sungai yang diambil di sekitar
lokasi Sungai Bili-bili dan material pasir laut yang diambil di sekitar lokasi
Pantai Barombong, Makassar.
Waktu yang dibutuhkan dalam pengujian beton adalah 28 hari
dimana beton dicuring kering selama 7 hari dan dilakukan akselerasi
korosi selama 21 hari. Berdasarkan persamaan Faraday maka akselerasi
dilakukan dengan menggunakan air laut, sementara tulangan baja di
induksi dengan arus listrik 1,45 Ayang menjadi variabel bebas dalam
59
penelitian ini, sedangkan variabel terikatnya adalah kapasitas lentur dari
balok beton bertulang.
Pengumpulan data pola retak akibat korosi dilakukan setelah balok
beton bertulang berumur 28 hari. Selain itu, dilakukan pengujian half-cell
potential untuk mengetahui penyebaran korosi yang terjadi pada balok
beton bertulang. Selanjutnya pengumpulan data kapasitas lentur balok
dilakukan dengan memberikan pembebanan statik hingga mencapai
kekuatan batas balok. Data yang diperoleh digunakan untuk menganalisis
karakteristik balok beton bertulang dengan semua jenis variasi balok beton
bertulang dalam penelitian ini.
C. Benda Uji
Pada penelitian ini, benda uji yang digunakan terbagi menjadi balok
beton bertulang dengan campuran air tawar dan pasir sungai serta balok
beton bertulang dengan campuran air laut dan pasir laut. Selain itu,
beradsarkan benda uji yang dibuat dibedakan lagi berdasarkan perlakuan
percepatan korosi yang diberikan.
Gambar 18 menunjukkan benda uji menggunakan tulangan 2�8
pada daerah tekan dan 2D16 pada daerah tarik. Pada balok, dilakukan
pemasangan sebuah strain gauge pada tulangan daerah tarik dan tiga
buah di daerah tengah balok beton. Jenis strain gauge yang digunakan
dibedakan atas dua, yaitu strain gauge tipe FLA-2L-11 (gauge factor 2,12
± 1%) dan strain gauge tipe PL-60-11 (gauge factor 2,07 ± 1%) untuk
60
P
0.5P 0.5P
beton. Gambar 19 memperlihatkan pengujian balok lentur yang
menggunakan beban terpusat pada 2 titik pembebanan.
Gambar 18. Dimensi balok beton bertulang
Gambar 19.Sketsa pembebanan balok beton bertulang
D. Pembuatan Benda Uji
1. Persiapan Pembuatan Benda Uji Silinder
Langkah langkah yang harus dilakukan dalam pembuatan benda uji
silinder adalah :
a. Menyiapkan cetakan silinder dengan ukuran diameter 10 cm dan
tinggi 20 cm sebanyak jumlah sampel silinder yang direncanakan
0,5 m 0,5 m 0,6 m
61
(dalam penelitian ini sebanyak 4 sampel, masing-masing mutu
beton diambil sampel 3 buah silinder). Gambar 21 memperlihatkan
cetakan benda uji silinder.
Gambar 20.Cetakan benda uji silinder
b. Mengoleskan vaseline ke dalam cetakan silinder dengan tujuan
untuk memudahkan saat proses pelepasan beton dari cetakan
c. Menyiapkan bahan-bahan yang digunakan sebagai campuran
beton yaitu semen, pasir, kerikil, dan air laut sesuai perbandingan
mix design yang direncanakan. Gambar 22 memperlihatkan bahan
adukan benda uji.
Gambar 21. Bahan adukan benda uji
62
d. Menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam proses pencampuran
2. Persiapan Pembuatan Benda Uji Balok Beton Bertulang Normal
Langkah langkah yang harus dilakukan dalam pembuatan benda uji
balok beton bertulang adalah :
a. Menyiapkan cetakan yang sesuai untuk balok berukuran 15 x 20 x 160
cm.
b. Menyiapkan tulangan yang telah dirakit sedemikian rupa sesuai
dengan gambar perencanaan yang telah dibuat sebelumnya seperti
yang terlihat pada Gambar 23.
Gambar 22. Potongan memanjang dan melintang balok beton bertulang normal
c. Menyiapkan bahan-bahan penyusun beton seperti semen, pasir,
kerikil, dan air sesuai dengan perbandingan dalam perencanaan mix
design yang telah dibuat sebelumnya.
d. Menyiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses
pencampuran beton.
3. Persiapan Pembuatan Benda Uji Balok Beton Bertulang Air Laut
Langkah langkah yang harus dilakukan dalam pembuatan benda uji
63
balok beton bertulang air laut adalah :
a. Menyiapkan cetakan yang sesuai untuk balok berukuran 15 x 20 x 160
cm.
b. Menyiapkan tulangan yang telah dirakit sedemikian rupa sesuai
dengan gambar perencanaan yang telah dibuat sebelumnya seperti
Gambar 24. Demikian pula halnya sama dengan beton bertulang yang
menggunakan tulangan yang di Coating cat.
Gambar 23. Potongan memanjang dan melintang balok beton bertulang air laut
c. Menyiapkan bahan-bahan penyusun beton seperti semen, pasir laut,
kerikil, dan air laut sesuai dengan perbandingan dalam perencanaan
mix design yang telah dibuat sebelumnya.
d. Menyiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses pencampuran
beton.
4. Pengecoran Benda Uji Balok Beton
Langkah-langkah yang dilakukan saat proses pengecoran benda uji
balok beton bertulang normal adalah :
a. Meletakkan mesin pengaduk/molen pada lokasi yang rata dan stabil
kemudian hidupkan mesinnya.
64
b. Memasukkan air ke dalam molen untuk membersihkan dan
membasahi permukaan dalam molen.
c. Menuangkan pasir ke dalam molen sesuai dengan takaran yang telah
direncanakan dalam mix design.
d. Memasukkan semen ke dalam molen juga sesuai dengan
perencanaan mix design.
e. Menuangkan air secara perlahan-lahan ke dalam molen untuk
mempermudah pencampuran antara pasir dan semen.
f. Memasukkan kerikil ke dalam molen.
g. Membiarkan seluruh bahan tercampur dalam molen selama ± 5 menit
agar campuran semakin tercampur dengan baik.
h. Menuangkan campuran beton ke dalam alat uji slump untuk
mengetahui nilai slump campuran beton hingga tercapai nilai slump
yang ditentukan.
i. Menuangkan adukan beton ke dalam bekisting/cetakan balok yang
telah persiapkan sebelumnya.
j. Menggunakan vibrator dan alat perojok untuk membuat campuran
semakin padat dan dapat mengisi secara penuh ke dalam cetakan
balok
k. Meratakan permukaan cetakan benda uji dengan menggunakan
sendok semen. Gambar 25 memperlihatkan beton setelah diratakan
dengan sendok semen.
65
Gambar 24. Beton setelah diratakan dengan sendok semen
4. Perawatan Benda Uji Pasca Pengecoran
Perawatan beton atau yang dikenal dengan curing adalah kegiatan
penjagaan beton paska pengecoran dan finishing pengecoran dengan
tujuan menjaga kelembaban beton sehingga ikatanantara semen dan
agregat semakin kuat dan kualitas beton semakin baik. Selain itu,
perawatanbeton juga dilakukan untuk menghasilkan beton dengan
permukaan yang bagus, lebih awet danperlindungan terhadap besi
tulangan beton yang lebih baik.
Perawatan beton dilakukan segera setelah beton mengeras atau
mencapai final setting. Perawatan dilakukan minimal selama 7 (tujuh) hari
dan untuk beton berkekuatan awal tinggi minimal selama 3 (tiga) hari serta
harus dipertahankan dalam kondisi lembab, kecuali dilakukan dengan
66
perawatan yang dipercepat. Perawatan beton ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu:
a. Menempatkan beton segar dalam ruangan yang lembab.
b. Menempatkan beton segar dalam genangan air.
c. Menyelimuti permukaan beton dengan karung basah.
d. Menyirami permukaan beton secara terus menerus.
Pada penelitian ini, perawatan beton untuk silinder dan balok beton
dilakukan dengan cara menyelimuti beton segar dengan karung basah
sehingga seluruh permukaan silinder tertutupi selama 28 hari.
E. Metode Akselerasi Korosi
Pada penelitian ini metode akselerasi korosi menggunakan metode
konstan arus dengan menggunakan rumus Faraday sesuai dengan
persamaan 21 dan persamaan 22.
Menurut Mangat dan Elgraf pada kondisi lapangan besar arus korosi
adalah 900μA/cm2 untuk proses akselerasi korosi. Misalkan target
kehilangan korosi 7,5% terhadap luas permukaan tulangan D16 maka,
besarnya arus yang dibutuhkan adalah :
I = i x 3.14 x D x L
= 900μA/cm2 x 3.14x1.6 x 320
= 1.446.912 μA
= 1,45 A
Maka durasi akselerasi korosi untuk kehilangan 7.5% adalah :
67
7,5% = 2312 I TD
7,5 = 2312 . 0,9 𝑇16
𝑇 = 7,52312 .0,9 .16
𝑇 = 7,5130,05
T = 0,05767 tahun x 365 hari = 21 hari
Tujuan penginduksian korosi pada baja tulangan adalah untuk
mensimulasikan bagaimana korosi dapat merusak beton. Proses korosi
dimulai dengan memberikan energy anodic yang konstan sebesar 40 V.
Pengujian percepatan korosi juga pernah diteliti oleh peneliti lain. Pada
metode ini, sebuah energi potensial positif yang konstan diberikan pada
tulangan yang tertanam pada beton dan arus dari baja tulangan untuk
melawan electrode dan dihitung secara berkala.
Spesimen beton tetap dibenamkan pada larutan NaCl 3% selama 21
hari untuk mendapatkan tingkat korosi 7,5%. Tulangan kemudian
dihubungkan ke terminal positif (tulangan berperan sebagai anode) dari
sumber energi DC sedangkan terminal negatif terhubung ke stainless
steel. Larutan NaCl untuk spesimen beton digunakan untuk menginduksi
ion klorida masuk ke dalam spesimen. Energi Potensial anodik konstan
sebesar 40 V diaplikasikan ke semua spesimen selama 21 hari. Retak
pada sampel diperiksa secara visual setiap hari sedangkan arussecara
terus menerus dipantau. Lebar retak diukur setelah 21 hari.
68
F. Pengujian Benda Uji
1. Pengujian Kuat Tekan Beton untuk Beton Selinder
Pengujian kuat tekan beton dalam penelitian ini dilakukan pada
benda uji berbentuk silinder dengan ukuran tinggi 20 cm dan diameter 10
cm setelah beton berumur 28 hari.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian kuat tekan beton
silinder adalah :
1. Mengeluarkan benda uji silinder yang akan diuji kekuatan tekannya
dari bak perendam setelah beton berumur 28 hari kemudian diamkan
selama 1 hari agar benda uji berada dalam kondisi kering saat
pengujian atau dimasukan kedalam oven. Gambar 26 memperlihatkan
benda uji silinder.
Gambar 25. Benda uji silinder
69
2. Melelehkan mortar belerang dan letakkan kedalam cetakan pelapis.
3. Meletakkan permukaan atas benda uji ke dalam cetakan pelapis
secara tegak lurus dan diamkan selama beberapa detik sampai mortar
belerang mengeras dan menempel pada permukaan atas benda uji,
pemberian mortar belerang pada kedua sisi silinder.
4. Menimbang benda uji.
5. Meletakkan benda uji pada mesin tekan Compression Machine secara
centris.
6. Menyalakan mesin tekan dengan penambahan beban yang konstan.
7. Melakukan pembebanan sampai jarum penunjuk beban tidak naik lagi
dan catat angka yang ditunjukkan jarum penunjuk.
2. Pengujian Kuat Lentur Balok Beton Bertulang
Pada penelitian ini, pengujian lentur dilakukan pada 1 (satu) buah
balok beton bertulang, Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian
lentur balok beton bertulang adalah :
1. Mengatur perletakan sesuai dengan jarak yang telah direncanakan
sebelumnya.
2. Meletakkan benda uji di atas kedua perletakan sendi-rol yang telah
disiapkan.
3. Meletakkan besi yang digunakan sebagai pembebanan untuk benda
uji,dimana pembebanan akan dilakukan pada dua titik di tengah
bentang yang berjarak 60 cm.
70
4. Memasang 3 (tiga) buah Dial Indicator yang digunakan untuk
menghitung lendutan yang terjadi dengan jarak 75 cm. Pastikan dial
ini telah menyentuh dasar balok dan berada dalam posisiangka nol.
5. Meletakkan jack ditengah bentang diatas besi pembebanan dan
naikkan beban setiap 10 kg dengan membaca Manometer Jack.
6. Mencatat setiap penurunan yang terjadi pada dial ketika beban
dinaikkan dan perhatikan retak yang terjadi.
7. Melakukan pembacaan hingga balok mencapai keruntuhan. Gambar
27 memperlihatkan uji balok beton bertulang dengan indikator
pengukuranpada pengujian kuat lentur balok bertulang baik balok
beton bertulang normal maupun balok beton bertulang air laut.
Gambar 26. Uji balok beton bertulang dengan indikator pengukuran
Untuk pengujian balok lentur digunakan beban terpusat pada 2 titik
pembebanan seperti terlihat pada Gambar 27.
71
P
0.5P 0.5P
Gambar 27. Positioning dial indikator lendutan
3. Pengujian Half-Cell Potential
Pengujian Half-Cell Potential dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan relatif aktivitas korosi pada beton bertulang dengan cara
elektrokimia. Pengujian dilaksanakan berdasarkan ASTM C 876. Dalam
pengujian ini, sebuah voltmeter dengan impedansi yang tinggi
disambungkan diantara baja tulangan dan tembaga, temabaga sulfat
berfungsi sebagai elektroda pada permukaan beton dimana pengukuran
dapat dilakukan dengan metode Half Cell Potential. Skema benda uji
dapat dilihat pada Gambar 28.
Benda uji berupa beton bertulang seperti yang digunakan pada
pengujian Impressed Voltage juga di curing selama 28 hari dengan dua
tipe curing. Kemudian, benda uji ini dibenamkan dalam kolam berisi
larutan klorida 3% di dalam laboratorium pada suhu 20±2oC.
Perkembangan korosi pada tulangan baja diamati dengan metode half-cell
potential.
0,5 m 0,5 m 0,6 m
72
Alat yang dapat juga di gunakan untuk menyelidiki tingkat korosi
pada baja ialah Scanning Electron Microscopy (SEM). Elektron memiliki
resolusi yang lebih tinggi daripada cahaya. Cahaya hanya mampu
mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa mencapai resolusi sampai 0,1
– 0,2 nm.Disamping itu dengan menggunakan elektron kita juga bisa
mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan
karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua
jenis pantulan yaitu pantulan elastis dan pantulan non elastis, namun
dalam penelitian ini kami hanya melakukan pengujian dengan metode Half
Cell Potential seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 28. Skema benda uji pada pengujian half - cell potential
73
4. Pengujian Kuat Tarik baja
Set-up pengujian yang diilustrasikan pada Gambar 29 yang
menunjukkan posisi strain gauge untuk mengukur regangan yang terjadi
pada tulangan baja.Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dengan
tahapan-tahapan adalah pengujian kuat tarik baja dilaksanakan setelah
balok bertulang sudah diuji lentur, pengujian ini untuk mengukur
penurunan nilai elongasi serta nilai fy pada tulangan baja balok normal
yang mengalami percepatan korosi. Cara pengujian yaitu sama dengan
cara pengujian kuat tekan beton tetapi kalau uji tari baja dilakukan
penarikan pada batang baja hingga mencapai beban maksimum (fy).
LVDT meruapakan alat untuk mengukur lendutan yang bisa di
konversikan ke regangan melalui faktor tinggi benda uji. Compresso meter
adalah alat untuk mengukur regangan pada benda uji tekan. Strain gauge
ialah sebuah kabel yang digunakan untuk mengukur regangan baik pada
beton maupun baja dengan ketelitian mikron.
Gambar 29. Set up benda uji
Strain gauge
74
Langka-langkah pengujian kuat tarik baja Normal dan baja yang di
akselerasi yaitu :
1. Baja yang di akselerasi di bagi tiga bagian dan dipotong pada ukuran ±
30 cm
2. di timbang untuk mengetahi massa baja
3. Menyalakan mesin uji tarik dengan kuat tarik yang konstan
3. benda uji diletakan pada mesin uji dengan posisi tegak lurus
4. Melakukan uji tarik dan pembacaan jarum
5. setelah baja di uji Tarik di ukur kembali berapa penmbahan panjang
6. menghitung berapa elongasi antara baja normal dan baja akselerasi
75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Fisik dan Mekanik Material
1. Karakteristik Fisik Agregat
Agregat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari agregat
kasar (batu pecah) bersumber dari daerah Bili-bili Kabupaten Gowa, dan
agregat halus (pasir laut) bersumber dari daerah Pantai Barombong -
Makassar. Karakteristik fisik agregat diperlihatkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik fisik agregat
No. Karakteristik Agregat Agregat Halus
(Pasir Laut) Agregat Kasar (Batu Pecah)
1 Ukuran Maks. Aggregat 5 mm 20 mm
2 Modulus Kehalusan 1.90 8.10
3
BeratJenisSpesifik*
a. BJ. Nyata 2.41 2.63
b. BJ. DasarKering 2.56 2.82
c. BJ. Kering Permukaan 2.47 2.70
4 Penyerapan Air 2.46% 2.57%
5
Berat Volume
a. KondisiLepas 1.42 1.80
b. KondisiPadat 1.69 1.90
6 KadarAir - 1.69%
7 KadarLumpur 1,50% 0.50%
8 Kadar Organik No. 1 (Rendah) -
76
Untuk pengujian berat jenis spesifik dilakukan dengan menggunakan
air laut. Hasilpengujian karakteristik fisik agregat memperlihatkan bahwa
sebagian besar sifat fisik agregat memenuhi persyaratan yang
dipersyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Karakteristik Air Laut
Air pancampuran yang digunakan pada penelitian ini yakni air laut
yang bersumber dari Pantai Barombong-Makassar, SulawesiSelatan.
Komposisi kimia atau karakteristik kimia air laut yang terkandung dalam air
laut yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan pada Tabel 7. Unsur
utama yang terkandung dalam air laut adalah Natrium (Na), Magnesium
(Mg) dan Klorida (Cl-) dengan konsentrasi masing-masing sebesar 1,91%,
0,10% dan 1,57%.
Tabel 7. Karakteristik kimia air laut
Berat
Jenis
(gr/cm3)
pH
Komposisi Kimia
Na
(%)
Mg
(%)
Cl-
(%)
Ca
(ppm)
Si
(ppm)
S
(ppm)
1,029 8,53 1,91 0,10 1,57 553 898 861
(Sumber : Laboratorium Analisis Instrumen Jurusan Teknik Kimia Politeknik.)
Berdasarkan Tabel 7terlihat bahwa kandungan Cl- mencapai 1,57%.
Kadar ion Cl- larut air maksimum dalam pencampuran beton berdasarkan
SNI 2487-2013 adalah 1% dari berat semen untuk mencegah terjadinya
korosi pada besi tulangan.
77
3. Rancangan Campuran
Rancangan campuran beton terdiri dari beton normal (N) dan beton
air laut (SW). Beton di desain dengan slump rencana 10 ± 2,5 cm dan kuat
tekan rencana 35 ± 5 MPa. Tabel 8memperlihatkan komposisi campuran
beton untuk 1 m³.
Tabel 8.Komposisi campuran beton untuk (kg/m3)
No Material Beton Normal
(N)
Beton Air Laut
(SW)
1 Air tawar, (kg/m3) 204 -
2 Air laut, (kg/m3) - 204
3 Semen, (kg/m3) 513 513
4 Pasir Biasa, (kg/m3) 477 -
5 Pasir Laut, (kg/m3) - 477
6 Batu Pecah, (kg/m3) 1099 1099
4. Slump Test
Tingkat kelecakan ini dipengaruhi oleh komposisi campuran, kondisi
fisik dan jenis bahan pencampurnya. Hasil pengujian slump test
diperlihatkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil pengujian nilai slump
Jenis Beton Nilai Slump (cm) Syarat Nilai Slump (cm)
Beton Air Laut 9,0 10 ± 2,5
Beton Normal 8,0
78
Nilai yang didapatkan dari hasil pengujian slump test beton air laut
adalah 9 cm dan pada beton normal adalah 8 cm. Penggunaan air laut
dan pasir laut mempengaruhi nilai slump beton.
5. Kuat Tekan Beton
Pengujian kuat tekan (f’c) beton baik beton normal (N) maupun beton
yang menggunakan air laut (SW)sebagai bahan pencampuran dengan
menggunakan silinder berukuran �100 mm x 200 mm, masing-masing
sebanyak 3 buah benda uji pada umur 28 hari, dapat dilihat dalam Tabel
10. Pengujian kuat tekan mengacu pada SNI 1974-2011.
Tabel 10. Hasil pengujian kuat tekan beton 28 hari
No Tipe
Kuat tekan (MPa)
Benda uji 1 Benda uji 2 Benda uji 3 Rata-rata
1 Beton Normal
(N) 34,92 33,91 35,68 34,84
2 Beton Air Laut (SW) 31,18 31,06 35,40 32,34
Hasil pengujian karakteristik mekanik campuran beton berupa kuat
tekan beton normal menunjukkan kuat beton normal (N) sebesar 34,84
MPa, beton air laut (SW) adalah sebesar 32,34 MPa. Terjadi penurunan
kuat tekan beton dari beton normal ke beton yang menggunakan air laut
sebagai bahan pencampur sebesar 7,17%. Hal ini menunjukkan tidak
79
terjadi penurunan kuat tekan yang signifikan pada beton yang
menggunakan air laut dan pasir laut.
Gambar 30. Grafik hubungan tegangan dan regangan beton umur 28 hari
Nilai modulus elastisitas beton ditentukan dari grafik hubungan
tegangan-regangan beton berdasarkan persamaan ASTM C469 (2014).
Gambar 30 menunjukkan grafik hubungan tegangan dan regangan antara
beton normal (N) dan beton air laut (SW) sebagai bahan pencampur. Nilai
modulus elastisitas beton normal (N) sebesar 17.897,87 MPa dan
18.403,38 MPa untuk beton air laut (SW) sehingga dapat dikatakan
penggunaan air laut dan pasir laut sebagai bahan pencampuran beton
tidak mempengaruhi nilai modulus elastisitas jika dibandingkan dengan
beton normal. Selain itu, pengaruh air laut dan pasir laut pada nilai
modulus elastisitas tidak mempengaruhi nilai kuat tekan beton. Tabel
0
10
20
30
40
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
Tega
ngan
(MPa
)
Regangan (μ)
Beton NormalBeton Air Laut
80
11memperlihatkan nilai modulus elastisitas beton normal (N) dan air laut
(SW) yang diperoleh secara teoritis melalui rumus SNI dan nilai yang
diperoleh secara eksperimental di laboratorium.
Tabel 11. Nilai modulus elastisitas secara teori
Tipe Sampel Ec1 (MPa) Ec2 (MPa)
Beton normal (N)
1 27775,7 26222.23
2 27367,46 25836.82
3 28075,99 26505.73
Beton air laut (SW)
1 26149,67 24775.37
2 26196,97 24731.8
3 27962,5 26398.59
Ec (1) = 4700 𝑓′𝑐 (SNI 03-2847-2013) Ec (2) = 𝑊𝑐1,50,043 𝑓′𝑐 (SNI 03-2847-2013)
Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa nilai rata-rata modulus
elastisitas beton normal (N) secara teoritis berdasarkan rumus EC (1) dan
Ec (2) adalah masing-masing sebesar 27739,71 MPa dan 26188, 26 MPa.
Untuk beton air laut (SW) secara berturut-turut nilai modulus elastisitas
secara teoritis berdasarkan rumus Ec (1) dan Ec (2) adalah 26769.71 MPa
dan 25301.92 MPa. Hasil perhitungan menunjukkan nilai modulus
elastisitas eksperimental dan teoritis bebeda, di mana modulus elastisitas
secara eksperimental lebih kecil dibandingkan modulus elastisitas secara
teoritis yang langsung ditinjau dengan kuat tekan, dan nilai modulus
elastisitas secara teoritis yang ditinjau dengan berat beton. Namun nilai
modulus elastisitas yang ditinjau langsung dengan kuat tekan lebih besar
81
dibandingkan nilai modulus elastisitas secara teoritis yang ditinjau dengan
berat beton.
B. Akselerasi Korosi Pada Beton Bertulang
Karakteristik fisik balok beton bertulang akibat diberikan perlakuan
percepatan korosi adalah pola retak yang terjadi dan hasil uji half-cell
potential. Benda uji balok beton bertulang yang diberikan percepatan
korosi terdiri dari tiga jenis yaitu beton normal akselerasi (N acc), Beton air
laut (SW acc) dan beton air laut dengan besi coating (SW acc C).
1. Pola Retak Akibat Korosi
Gambar 31, Gambar 32 dan Gambar 33 masing-masing
memperlihatkan pola retak dari semua variasi benda uji yang diberikan
perlakuan percepatan korosi N acc, SW acc dan SW acc C.Pada benda
uji N acc dan SW acc terjadi pola retak pada samping kiri dan kanan
sejajar dan tegak lurus balok sedangkan pada benda uji SW acc C terjadi
pola retak pada bagian bawah balok sejajar dengan tulangan. Benda uji N
acc memiliki jumlah retak yang lebih sedikit dibandingkan dengan SW acc
dan SW acc C. Hal ini disebabkan karena kandungan ion klorida yang
lebih banyak pada benda uji yang menggunakan air laut dan pasir laut.
Benda uji SW acc C memiliki jumlah retak yang sedikit dibandingkan
dengan SW acc dan didominasi retak sejajar sengkang, hal ini
menunjukkan coating pada permukaan tulangan utama dapat mencegah
82
terjadinya ekspansi produk korosi yang dapat mengakibatkan retak. Lebar
retak maksimum N acc, SW acc dan SW acc C adalah 0,15 mm, 0,14 mm
dan 0,12 mm. Pada semua benda uji terlihat terjadinya fase brown stain.
Fase brown stain menandakan bahwa baja tulangan dalam beton
mengalami proses karat atau proses korosi akibat benda uji diberikan
percepatan korosi dengan kecepatan arus yang diberikan adalah sebesar
1,45 A.
Beton memasuki fase brown stain
Tampak Samping Kiri
Tampak Bawah
83
Gambar 31. Pola retak balok normal akselerasi akibat korosi (N acc)
Gambar 32. Pola retak balok air laut akselerasi akibat korosi (SW acc)
84
Gambar 33. Pola retak balok air laut akselerasi coating akibat korosi (SW acc C)
Tabel 12 memperlihatkan lebar retak yang dapat ditoleransi
berdasarkan kondisi keterbukaan. Kondisi balok N acc termasuk pada
kategori air laut dan percikan air laut yang rata rata retak terjadi dibagian
samping kiri - kanan balok yaitu sebesar 0,006 in atau 0,15 mm, sehingga
memenuhi lebar retak yang dapat di toleransi.
Tabel 12. Lebar lebar retak yang dapat di toleransi
Kondisi Keterbukaan Lebar retak yang dapat di toleransi
in. mm
Udara kering atau membran
pelindung 0,016 0,41
Kelembaban, udara lembab,
tanah 0,012 0,3
Bahan-bahan kimia peleleh es 0,007 0,18
Air laut dan percikan air laut ;
pembasahan atau pengeringan 0,006 0,15
Struktur penahan-air (tak
termasuk pipa tak-bertekanan) 0,004 0,10
85
2. Uji Half-Cell Potential
Gambar 34 memperlihatkan hasil uji half cell potential yang bertujuan
untuk mengetahui penyebaran korosi yang terjadi pada semua variasi
benda uji. Dari gambar 34 berdasarkan ASTM C 876, menunjukkan
bahwa tulangan yang telah diberi akselerasi korosi baik beton normal dan
beton air laut telah terjadi penyebaran korosi pada batang tulangan. Nilai
half-cell potential benda uji lebih kecil dari -350 mV,yang artinya tidak
terjadi korosi pada tulangan (90% tidak korosi). Baik Benda uji N acc, SW
acc dan SW acc C memiliki nilai half-cell potential yang hampir sama yaitu
-600 mV yang artinya terjadi korosi pada tulangan (90% korosi). Terlihat
bahwa hasil pengujian beton normal akselerasi (Nacc) lebih besar
penyebaran nilai half-cell potential dibandingkan dengan jenis beton
lainnya, retak pada bagian bawah beton membuat penyebaran korosi
lebih cepat karena proses masuknya air laut sangat mudah yang
diperlihatkan pada Gambar 31.
86
Gambar 34. Uji half cell Potential
87
C. Pengujian Lentur Balok Beton Bertulang
Pengujian lentur balok beton bertulang terdiri dari kapasitas lentur
balok beton bertulang, hubungan beban dan lendutan, hubungan beban
dan regangan beton, pola retak akibat pembebanan, kondisi tulangan
setelah pengujian lentur dan kuat tarik tulangan setelah pengujian kuat
lentur.
1. Kapasitas Lentur Balok Beton Bertulang
Gambar 35 memperlihatkan hubungan antara variasi benda uji
terhadap beban lentur maksimum yang dapat diterima oleh benda uji.
Gambar 35. Histogram beban maksimum
Gambar 35 menunjukkan beban maksimum benda uji Nadalah
sebesar 125.783 kN, N acc sebesar 115,787 kN, SW accsebesar 107,457
95
100
105
110
115
120
125
130
Beb
an (k
N)
Variasi Benda Uji
Normal
Normal acc
Air Laut acc
Air Laut acc Coating
88
kN, dan SW acc Csebesar 114,621 kN. Terjadi penurunan kapasitas
beban dari benda uji N ke N acc, SW acc dan SW acc C sebesar 7,95%,
14,57% dan 8,87%. Gambar 36 memperlihatkan histogram penurunan
kapasitas beban balok akibat diberikan perlakuan percepatan korosi
terhadap beton normal tanpa akselerasi korosi.
Gambar 36. Histogram persentase penurunan kapasitas beban balok
Untuk benda uji yang menggunakan air laut dan pasir laut, SW acc C
mempunyai penurunan kapasitas lentur yang kecil dibandingkan benda uji
SW acc dengan selisih penurunan sebesar 5.7%. Hal ini menunjukkan
besi coating memiliki ketahanan korosi yang lebih baik sehingga
menghasilkan nilai kuat lentur yang lebih besar.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Pers
enta
se P
enur
unan
(%)
Variasi Benda Uji
N - N acc
N - SW acc
N - SW acc C
89
2. Hubungan Beban dan Lendutan
Untuk mengevaluasi beban ultimit benda uji maka dibuat kurva
beban-lendutan yang datanya diambil pada saat pengujian. Sebagai
acuan digunakan lendutan tengah bentang. Grafik beban lendutan
masing-masing benda uji dapat dilihat pada Gambar 37 sampai
denganGambar 40. Beban ultimit ditandai dengan peningkatan lendutan
tanpa disertai peningkatan beban. Ketika pemberian beban dilanjutkan
maka pembacaan beban menunjukkan penurunan, lendutan dan lebar
retakan bertambah.
Gambar 37. Hubungan beban dan lendutan benda uji balok normal tanpa
akselerasi korosi (N)
0
20
40
60
80
100
120
140
0 5 10 15 20 25 30
Beb
an (k
N)
Lendutan (mm)
Normal (1)
Normal (2)
LVDT
90
Pada Gambar 38memperlihatkan pada benda uji N(1) batas
elastisitas terjadi pada beban 111,289 kN dengan nilai lendutan sebesar
8,0 mm. Sedangkan pada benda N(2) batas elastisitas terjadi pada beban
118,952 kN dengan nilai lendutan sebesar 10,17 mm. Sehingga
didapatkan nilai kekakuan pada benda ujiN(1) dan N(2) sebesar 13,91
kN/mm dan 11,70 kN/mm.
Gambar 38. Hubungan beban dan lendutan benda uji balok normal akselerasi (N acc)
Pada Gambar 38 Memperlihatkan pada benda uji N acc batas
elastisitas terjadi pada beban sebesar 102,625 kN dengan nilai lendutan
sebesar 6,74 mm. Sehingga didapatkan nilai kekakuan N acc sebesar
15,23 kN/mm.
Gambar 39 memperlihatkan hubungan beban dan lendutan benda uji
balok air laut akselerasi (SW acc).
0
20
40
60
80
100
120
140
0 5 10 15 20 25 30
Beb
an (k
N)
Lendutan (mm)
N acc
LVDT
91
Gambar 39. Hubungan beban dan lendutan benda uji balok air laut akselerasi (SW acc)
Pada Gambar 39 memperlihatkan pada benda uji SW acc(1) batas
elastisitas terjadi pada beban sebesar 111,289 kN dengan nilai lendutan
yaitu sebesar 8,0 mm. Sedangkan pada benda uji SW acc(2) batas
elastisitas terjadi pada beban yaitu sebesar 118,952 kN dengan nilai
lendutan sebesar 10,17 mm. Sehingga didapatkan nilai kekakuan pada
sampel benda uji SW acc(1) dan SW acc(2) masing-masing sebesar 13,91
kN/mm dan 11,70 kN/mm.
Gambar 40 memperlihatkan hubungan beban dan lendutan pada
benda uji balok air laut yang diberikan akselerasi dan tulangan diberikan
perlakuan coating (SW acc C).
0
20
40
60
80
100
120
140
0 5 10 15 20 25 30
Beb
an (k
N)
Lendutan (mm)
SW acc 1
SW acc 2
SW acc 3
LVDT
92
Gambar 40. Hubungan beban dan lendutan benda uji balok air laut akselerasi coating (SW acc C)
Pada Gambar 40 memperlihatkan benda uji SW acc C(1) batas
elastisitas terjadi pada beban 82,800 kN dengan nilai lendutan sebesar
6,37 mm. Sedangkan pada benda uji SW acc C(2) batas elastisitas terjadi
pada beban 100,783 kN dengan nilai lendutan sebesar 9,04 mm.
Sehingga didapatkan nilai kekakuan pada benda uji SW acc C(1) dan SW
acc C(2) sebesar 13,00 kN/mm dan 11,15 kN/mm.Tabel 13
memperlihatkan tabel rekapitulasi hasil pengujian kapasitas lentur balok
beton bertulang.
0
20
40
60
80
100
120
140
0 5 10 15 20 25 30
Beb
an (k
N)
Lendutan (mm)
SW acc C (1)
SW acc C (2)
LVDT
93
Tabel 13. Tabel rekapitulasi pengujian kuat lentur
Pada Tabel 13 memperlihatkan nilai K pada setiap benda uji berturut turut N, Nacc, SW acc, dan SW acc C yaitu
11,70 kN/mm, 15,23 kN/mm, 14,01 kN/mm, dan 12,075 kN/mm. Terjadi penurunan nilai K yang disebabkan oleh korosi
pada tulangan balok.
Variasi ∆
maks (mm)
Penurunan ∆ maks
terhadap normal (2)
(%)
Pmaks (kN)
Penurunan P maks
pada normal (2)
(%)
∆elastic
(mm)
Penurunan ∆ elastic
(%)
P elastic
(kN)
Penurunan P elastic
(%)
Penurunan Pmaks ke P
elastic (%)
K = P elastic/ '
elastic (kN/mm)
Normal (2) 23.29 - 131.947 - 10.17 - 118.952 - 90.15 11.70 Normal (1) 12.855 44.80 119.619 9.34 8 21.33 111.289 6.44 93.04 13.91
Normal acc 13.85 40.53 115.787 12.24 6.74 33.72 102.6256 13.72 88.63 15.23
SW acc 1 11.56 50.36 123.784 6.18 6.58 35.29 108.29 8.96 87.48 16.46 Sw acc 2 17 27.00 107.457 18.56 6.945 31.71 92.2964 22.40 85.89 13.29 SW acc 3 22.86 1.84 113.288 14.14 7.925 22.07 97.2944 18.20 85.88 12.28 SW acc Coating 1 17.49 24.90 108.79 17.55 6.37 37.36 82.8002 30.39 76.11 13.00
SW acc Coating 2 20.895 10.28 120.452 8.711 9.04 11.11 100.793 15.26 83.68 11.15
94
Tabel 13 memperlihatkan hasil yang diperoleh dalam uji lentur balok
dengan variasi benda uji pada kondisi elastis dan ultimate. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa nilai beban dan perpindahan balok Nacc lebih
rendah dari pada balok N keduanya pada kondisi elastis dan ultimate.
Selain itu, ditemukan bahwa nilai kekakuan balok Nacc lebih tinggi dari
pada balok N, bahkan pada kondisi elastis lebih rendah dari pada balok
N.(Penelitian ini menyebutkan bahwa kekakuan adalah di mana beban
elastis sesuai dengan puncak garis linier hubungan P-'). Hal Ini mungkin
karena produk korosi yang tersimpan dalam beton di zona tegangan
meningkatkan kekakuan lentur balok Nacc.
Tabel 14 dan 15 memperlihatkanhasil perhitungan kuat lentur secara
teori pada kondisi elastis dan ultimit, dimana kekakuan merupakan
perbandingan antara beban dan lendutan yang terjadi pada balok.
Tabel 14. Pengujian kuat lentur secara teori (kondisi elastis)
Beban
(P) (kN)
Modulus Elastisitas (E) (MPa) (4700 𝑓′𝑐)
Momen Inersia (I)
(mm4)( 112 𝑏ℎ
3)
Lendutan (∆) (mm) ( 𝑃𝑎24 𝐸𝐼 (3 𝑙2 − 4𝑎2))
Kekakuan (𝑃∆)(kN/mm)
Analisis 88,45 27.805,57 100.000.000 4,42 20,01
Tabel 15. Pengujian kuat lentur secara teori (kondisi ultimit)
Beban
(P) (kN)
Modulus Elastisitas (E) (MPa) (4700 𝑓′𝑐)
Momen Inersia (I)
(mm4)( 112 𝑏ℎ
3)
Lendutan (∆) (mm) ( 𝑃𝑎24 𝐸𝐼 (3 𝑙2 − 4𝑎2))
Kekakuan (𝑃∆)(kN/mm)
Analisis 91,75 27.805,57 100.000.000 6,9 13.29
95
3. Hubungan Beban dan Regangan Beton
Untuk mengevaluasi beban dan regangan pada beton maka dibuat
hubungan beban dan regangan beton yang terdiri dari benda uji N, N acc,
SW acc dan SW acc C. Gambar 41 memperlihatkan hubungan beban dan
regangan beton normal (N).
Gambar 41. Hubungan beban dan regangan beton normal (N)
Pada Gambar 41memperlihatkan hubungan beban dan regangan
beton benda uji N. Nilai beban maksimum adalah sebesar 119,619 kN
dengan nilai regangan sebesar 4070,42 µ. Gambar 42 memperlihatkan
hubungan beban dan regangan pada beton normal yang di akselerasi.
0
20
40
60
80
100
120
140
0 1000 2000 3000 4000 5000
Beb
an (k
N)
Regangan (μ)
96
Gambar 42. Hubungan beban dan regangan beton normal akselerasi(N acc)
Pada Gambar 42 memperlihatkan benda uji N acc mempunyainilai
beban maksimum sebesar 115,787 kN dengan nilai regangan sebesar
1965,26 µ. Gambar 43 memperlihatkan hubungan beban dan regangan
beton air laut yang di akselerasi (SW acc).
Gambar 43. Hubungan beban dan regangan beton air laut akselerasi (SW acc)
0
20
40
60
80
100
120
140
0 1000 2000 3000 4000 5000
Beb
an (k
N)
Regangan (μ)
0
20
40
60
80
100
120
0 1000 2000 3000 4000 5000
Beb
an (k
N)
Regangan (μ)
97
Pada Gambar 43 memperlihatkan benda uji SW acc mencapai nilai
beban maksimum sebesar 107kN dengan nilai regangan sebesar 3461,03
µ. Gambar 44 memperlihatkan hubungan beban dan regangan beton air
laut yang di akselerasi dan tulangannya diberikan perlakuan coating (SW
acc C).
Gambar 44. Hubungan beban dan regangan beton air laut akselerasi coating (SW acc C)
Pada Gambar 44 memperlihatkan benda uji SW acc C mencapai
nilai beban maksimumsebesar 120,452 kN dengan nilai regangan sebesar
2067,63 µ.
0
20
40
60
80
100
120
140
0 1000 2000 3000 4000 5000
Beb
an (k
N)
Regangan (μ)
98
Gambar 45. Hubungan beban dan regangan beton untuk seluruh benda uji
Gambar 45 memperlihatkan hubungan beban dan regangan beton
untuk semua variasi benda uji N, N acc, SW acc dan SW acc C.Terlihat
pada benda uji SW acc C memiliki nilai regangan yang lebih kecil (lebih
getas) dibandingkan dengan benda uji yang lain (N. N acc, SW acc)
karena tulangan pada benda uji SW acc C terjadi konsentrasi korosi pada
satu titik tertentu (pitting).
Gambar 46 memperlihatkan histogram hubungan antara variasi
benda uji dengan regangan beton maksimum.
0
20
40
60
80
100
120
140
0 1000 2000 3000 4000 5000
Beba
n (k
N)
Regangan (μ)
NN accSW accSW acc C
99
Gambar 46. Histogram regangan beton maksimum
Gambar 46 menunjukkan bahwa regangan beton untuk benda uji
balok normal akselerasi (Nacc) mengalami penurunan sebesar 51,71%,
dan benda uji balok air laut akselerasi (SW acc) mengalami penurunan
sebesar 14,97%, dan benda uji balok air laut akselerasi coating (SW acc
C) mengalami penurunan sebesar 49,20% jika dibandingkan terhadap
beton normal tanpa akselerasi (N).
4. Pola Retak Akibat Pembebanan Pola retak akibat pembebanan yaitu pola retak setelah pengujian
kuat lentur untuk semua variasi benda uji. Gambar 47 sampai dengan
Gambar 50 masing-masing memperlihatkan pola retak semua variasi
benda uji akibat pembebanan.
0500
10001500200025003000350040004500
N N acc SW acc SW acc C
Reg
anga
n (μ
)
Variasi Benda Uji
100
Gambar 47. Pola retak balok normal akibat pembebanan
Gambar 48. Pola retak balok normal akselerasi akibat pembebanan
Gambar 49. Pola retak balok air laut akselerasi akibat pembebanan
Gambar 50. Pola retak balok air laut akselerasi coating akibat pembebanan
Fasebrown stain
Fasebrown stain
101
Berdasarkan pengamatan pola retak pada Gambar 47 sampai
Gambar 50 memperlihatkan bahwa perambatan retak bergerak secara
intensif dari sisi tarik menuju ke sisi tekan balok. Tipe retak yang terjadi
pada balok N adalah retak geser-lentur dan pada balok N acc, SW acc
dan SW C acc adalah retak lentur. Pada balok normal mengalami retak
pertama pada saat pembebanan 19,82 kN dan gagal pada beban 130,11
kN. Sedangkan pada balok normal akselerasi mengalami retak pertama
pada saat pembebanan 20,32 kN dan gagal pada beban 115,78 kN, pada
balok SW acc mengalami retak pertama pada saat pembebanan 19,6 kN
dan gagal pada saat beban mencapai 113,28 kN dan pada balok SW C
acc mengalami retak pertama pada saat beban mencapai 19,82 kN dan
gagal pada saat beban mencapai 108, 79 kN. Pada balok normal retak
lebih banyak terjadi dibandingkan balok yang diakselerasi korosi,
dikarenakan pada balok yangdiakselerasi korosi beban lebih
terkonsentrasi pada suatu titik dan tidak mampu mentransferkan beban
pada setiap bentang. Tabel 16 memperlihatkan rekapitulasi pola retak
setelah pembebanan.
102
Tabel 16. Rekapitulasi pola retak akibat pembebanan Tampak Bentang N N acc SW acc SW acc C
Tampak Kanan
Bentang Kiri
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,04 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 1,3 mm
-
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,3 mm
Tengah Bentang
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 3,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 4,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 6,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 4,0 mm
Bentang Kanan
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,08 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 4,0 mm
-
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 2,0 mm
Tampak Kiri
Bentang Kiri
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,15 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,03 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,3 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,03 mm
Tengah Bentang
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 1,7 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 6,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 3,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 6,0 mm
Bentang Kanan
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,04 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,03 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 0,04 mm
-
103
LanjutanTabel 16.
Tampak Bentang N N acc SW acc SW acc C
Tampak Bawah
Bentang Kiri -
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 1,2 mm
- -
Tengah Bentang
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 4,1 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 10,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 5,0 mm
Lebar retak terbesar yang terjadi pada
daerah tarik adalah sebesar 5,2 mm
Bentang Kanan - - - -
104
Tabel 16 menunjukkan nilai lebar retak benda uji pada setiap
bentang. Pada benda uji balok N nilai lebar retak terbesar adalah sebesar
4,1 mm terjadi pada tampak bawah tengah bentang, pada benda uji balok
N acc nilai lebar retak terbesar adalah 10,0 mm terjadi pada tampak
bawah tengah bentang, pada benda uji balok SW acc nilai lebar retak
terbesar adalah 6,00 mm terjadi pada tampak samping kanan tengah
bentang, pada benda uji balok SW acc C nilai retak terbesar adalah 6,00
mm terjadi pada tampak samping kiri tengah bentang. Hal ini disebabkan
karena pada benda uji balok yang di akselerasi beban terkonsentrasi pada
suatu titik sedangkan benda uji balok normal beban dan di transfer ke
seluruh bentang balok.
5. Tulangan Setelah Pengujian Kuat Lentur Gambar 51 sampai dengan Gambar 58 memperlihatkan tipikal
tulangan setelah dilakukan pengujian kuat lentur, dimana terlihat untuk
semua variasi benda uji tulangan mengalami pembengkokan dan terjadi
korosi pada tulangan terutama pada benda uji yang diberikan perlakuan
percepatan korosi.
Gambar 51. Tulangan N 1
105
Gambar 52. Tulangan N 2
Gambar 53. Tulangan Nacc
Gambar 54. Tulangan SW acc 1
Gambar 55. Tulangan SW acc 2
106
Gambar 56. Tulangan SW acc 3
Gambar 57. Tulangan SW acc C 1
Gambar 58. Tulangan SW acc C 2
Pada Gambar 51 sampai dengan Gambar 58memperlihatkan
tulangan baja pada setiap benda uji. Pada Gambar 51 dan Gambar
52memperlihatkan gambar tulangan baja balok normal yang tidak
diberikan percepatan korosi sehingga karat pada tulangan tidak terlihat.
Pada Gambar 53 sampai Gambar 56 memperlihatkan tulangan baja pada
balok yang diberikan percepatan korosi dan pada Gambar 57dan Gambar
58memperlihatkan tulangan baja yang di coating pada balok yang
diberikan percepatan korosi sehingga ada perbedaan kerusakan tulangan
107
yang disebabkan oleh korosi. Pada tulangan N acc dan SW acc
penyebaran korosi terjadi secara menyeluruh pada tulangan sedangkan
pada tulangan SW acc C kerusakan yang terjadi pada daerah coating
yang sudah rusak sehingga kerusakan korosi lebih terkonsentrasi pada
titik yang sudah rusak.
Berdasarkan observasi visual pada tulangan setelah pengujian kuat
lentur maka jenis korosi yang terjadi pada benda uji balok beton bertulang
adalah macrocell. Korosi seringkali terjadi secara lokal, dengan korosi
beberapa sentimeter dan kemudian menjadi beberapa meter batang
tulangan pasif bersih, khususnya untuk korosi yang terinduksi oleh klorida.
Hal ini mengindikasikan pemisahan reaksi anodik dan reaksi katodik untuk
membentuk sebuah sel makro (macrocell). Sebagian hal ini disebabkan
karena mekanisme serangan klorida, dengan pembentukan lubang dan
dengan anoda-anoda kecil terkonsentrasi yang ‘disuapi’ oleh katoda-
katoda yang besar. Hal ini juga disebabkan serangan klorida umumnya
berhubungan dengan tingkat kelembaban tinggi yang memberikan
resistansi elektrik rendah pada beton dan transport ion-ion yang mudah
sehingga anoda-anoda dan katoda-katoda dapat berpisah dengan mudah.
6. Pengujian Kuat Tarik Tulangan Setelah Pengujian Kuat Lentur
Pengujian kuat tarik tulangan setelah pengujian kuat lentur dilakukan
untuk semua variasi benda uji baik pada benda uji normal maupun pada
benda uji air laut yang diakselerasi korosi dan diberikan perlakuan coating
108
pada tulangan. Gambar 58 memperlihatkan grafik hubungan tegangan
dan regangan tulangan normal.
Gambar 59. Hubungan tegangan regangan tulangan N
Pada Gambar 59 menunjukkan grafik hubungan tegangan regangan
tulangan N. Panjang garis elastis tulangan N terbentuk hingga tegangan
sebesar 450,88MPa dengan nilai regangan sebesar 2047,39μ dan nilai
tegangan maksimum 596,54 MPa dengan nilai regangan sebesar
141436,31 μ. Gambar 60 memperlihatkan grafik hubungan tegangan dan
regangan tulangan N acc
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50000 100000 150000 200000 250000
Tega
ngan
(MPa
)
Regangan (μ)
109
Gambar 60. Hubungan tegangan regangan tulangan N acc
Pada Gambar 60 menunjukkan grafik hubungan tegangan regangan
tulangan N acc. Panjang garis elastis tulangan Nacc terbentuk hingga
tegangan sebesar 399,89MPa dengan nilai regangan sebesar 1868,22μ
dan nilai tegangan maksimum 563,45 MPa dengan nilai regangan sebesar
119816,86μ. Gambar 61 memperlihatkan hubungan tegangan dan
reganan tulangan SW acc.
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50000 100000 150000 200000 250000
Tega
ngan
(MPa
)
Regangan (μ)
110
Gambar 61. Hubungan tegangan regangan tulangan SW acc
Pada Gambar 61 menunjukkan grafik hubungan tegangan regangan
tulangan SW acc sebagaimana grafik hubungan tegangan dan regangan
baja (tulangan) pada umumnya. Grafik hubungan tegangan dan regangan
pada pengujian kuat tarik tulangan terdiri dari dua fase yaitu fase elastic
dan fase plastis dimana kedua fase ini menunjukkan besarnya beban
yang terjadi pada saat fase tersebut terjadi hingga tulangan mencapai
pada beban maksimum dalam menerima gaya tarik. Panjang garis elastis
tulangan SWacc terbentuk hingga tegangan sebesar 398,52MPa dengan
nilai regangan sebesar 2301,87μ dan nilai tegangan maksimum 542,08
MPa dengan nilai regangan sebesar 54729 μ. Gambar 62 memperlihatkan
hubungan tegangan dan regangan tulangan SW acc C.
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50000 100000 150000 200000 250000
Tega
ngan
(MPa
)
Regangan (μ)
111
Gambar 62. Grafik hubungan tegangan regangan tulangan SW acc C
Pada Gambar 62 menunjukkan grafik hubungan tegangan regangan
tulangan SW acc C. Panjang garis elastis tulangan SWacc C terbentuk
hingga tegangan sebesar 349,69 MPa dengan nilai regangan sebesar
1938,32 μ dan nilai tegangan maksimum 537,41 MPa dengan nilai
regangan sebesar 42514 μ. Tabel 17 memperlihatkan tabel rekapitulasi
hasil pengujian kuat tarik tulangan
Tabel 17. Tabel rekapitulasi hasil pengujian kuat tarik tulangan
No. Panjang
Elongasi (%)
fy (Mpa)
fu (Mpa)
Penurunan
Awal (mm)
Akhir (mm)
Elongasi (%)
fy (%)
fu (%)
N 100.85 122.52 21.49 452.4 596.54 - - -
N acc 104.63 122.44 17.02 408.5 563.45 26,2 9,7 5,8
Sw acc 100.4 109.32 8.88 347.81 542.08 58,67 23,1 9,3
SW acc C 100.32 112.24 11.88 360.64 537.41 44,41 20,3 9.9
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50000 100000 150000 200000 250000
Tega
ngan
(MPa
)
Regangan (μ)
112
Tabel 17 memperlihatkan nilai rekapitulasi hasil pengujian kuat tarik
baja. Terjadi penurunan nilai elongasi pada tulangan balok N acc sebesar
26,2 %, tulangan balok SW acc sebesar 58,67 % dan tulangan balok SW
acc C sebesar 44,41 %. Selain itu, penurunan nilai fy dan fu pada
tulangan balok Nacc sebesar sebesar 9,7 % dan 5,8 %, pada tulangan
balok SW acc sebesar 23,1 % dan 9,3%, dan pada tulangan balok SW
acc C sebesar 20,3 % dan 9,9 %. Tabel 18 memperlihatkan tabel
rekapitulasi penurunan massa dan luas tulangan akibat pengujian tarik
yang dilakukan. Penurunan massa dan luas tulangan dihitung
berdasarkan variasi benda uji.
Tabel 18. Tabel rekapitulasi penurunan massa dan luas tulangan
No
Massa
(kg)
Panjang
(mm)
Diameter
Aktual
(mm)
Penurunan
Massa (%) Luas
(%)
N 0.518 34,5 15.61 - -
N acc 0.496 35,0 15.16 4.25 5.62
Sw acc 0.502 34,5 15.37 3.09 3.09
SW acc C 0.504 34,3 15.44 2.70 2.14
Pada tulangan N acc nilai penurunan massa yang diakibatkan oleh
korosi adalah sebesar 4,25 % (N acc terhadap N) dan penurunan nilai
luas penampang yang diakibatkan oleh korosi adalah sebesar 5,62 % (N
acc terhadap N), pada tulangan SW acc nilai penurunan massa yang
113
diakibatkan oleh korosi adalah sebesar 3,09% (SW acc terhadap N acc)
dan penurunan nilai luas penampang yang diakibatkan oleh korosi adalah
sebesar 3,09 %% (SW acc terhadap N acc), pada tulangan SW acc C
nilai penurunan massa yang diakibatkan oleh korosi adalah sebesar 2,70
% (SW acc C terhadap SW acc) dan penurunan nilai luas penampang
yang diakibatkan oleh korosi adalah sebesar 2,14 % (SW acc C terhadap
SW acc). Tabel 19 memperlihatkan tabel rekapitulasi seluruh parameter
pengujian.
Tabel 19. Tabel rekapitulasi seluruh parameter pengujian
Benda
uji
Kuat
tekan
(MPa)
P
elastic
(kN)
∆
elastic
(mm)
P
ultimate
(kN)
∆
ultimate
(mm)
Ɛ
ultimate
(μ)
Fy
(Mpa)
Fu
(Mpa)
Elongasi
(%)
N 34.84 118.95 10.17 131.94 23.29 4070.42 452.4 597.1 21.49
N acc - 102.63 6.74 115.78 13.85 1965.26 408.5 563.9 17.02
Sw
acc - 108.29 6.58 123.78 11.56 3462.03 347.81 542.1 8.88
Sw
acc C - 100.74 9.04 120.45 20.89 2067.63 360.64 537.4 11.88
Pada Tabel 19 terlihat seluruh parameter pengujian dimana benda uji
N dan SW acc C perbedaan tidak terlalu jauh, hal ini disebabkan oleh efek
perlakuan coating pada tulangan yang mampu mereduksi korosi yang
terjadi pada benda uji dan dapat mencegah penetrasi ion klorida ke
permukaan tulangan. Pada benda uji N acc dan SW acc yaitu benda uji
yang diberikan perlakuan akselerasi korosi memiliki nilai parameter
pengujian yang kecil dibandingkan dengan benda uji SW acc C. Hal ini
114
disebabkan oleh reaksi aniodik (persamaan 16 dan 17) dan reaksi katiodik
(persamaan 18) yang terjadi pada benda uji yang terkorosi. Reaksi anodik
dan katodik merupakan langkah pertama pada proses pembentukan
korosi. Namun, sebagian dari reaksi-reaksi tersebut merupakan hal yang
sederhana dalam memahami terjadinya korosi dan digunakan secara luas
dan pencegahan korosi baja pada beton.
Bila besi akan larut pada air pori (ion ferous Fe2+ pada persamaan
16, 17 dan 18 bersifat larut) kita tidak akan melihat retak dan hancurnya
beton. Beberapa tahapan harus muncul agar korosi terbentuk. Hal ini
dapat digambarkan dalam beberapa cara dan salah satunya diperlihatkan
dimana ferrous hydroxide menjadi ferric hydroxide dan kemudian hydrated
ferric oxide atau korosi.
D. Studi Komparasi Penelitian Terdahulu
Mangat, S. Pritpal dan Elgarf, S.Mahmoud (2006) meneliti Model
untuk memprediksi konsentrasi klorida dalam jangka panjang dari data
pemeriksaan rutin konstruksi beton telah dilakukan. metode lapangan
untuk menentukan tingkat korosi pada beton bertulang telah
dikembangkan, yang membantu dengan prediksi umur layanan beton.
Pengamatan selanjutnya diperlukan dalam prediksi umur layanan akibat
korosi pada struktur adalah pengetahuan tentang kekuatan dari elemen
beton bertulang yang dipengaruhi oleh tingkat korosi.Penelitian dilakukan
dengan beberapa benda uji dengan tingkat korosi yang berbeda.
115
Yuan, Yingshu dan Ji, Yongsheng (2007) meneliti tentang
perbandingan metode korosi yang dilakukan untuk beton bertulang yakni
dengan menggunakan metode galvonastatic dan dengan menggunakan
metode alam buatan. Dalam penelitian tersebut menggunakan balok
dengan dimensi (100 x 160 x 1500) mm dan menggunakan 2
pembebanan seperti yang terlihat pada Gambar 63.
Gambar 63. Set up pengujian dengan dua pembebanan
Nilai beban ultimit yang didapatkan pada penelitian tersebut adalah
sebesar 50,4 kN untuk balok A1 dan 49,8 kN untuk balok B1, 48,9 kN
untuk balok A2 dan 46,2 kN untuk balok B2, 46,3 kN untuk balok A3 dan
44,4 kN untuk balok B3.Sedangkan pada penelitian ini kita menggunakan
metode korosi dengan metode galvanostatic untuk mempercepat proses
korosi. Dalam penelitian ini menggunakan dimensi balok (150 x 200 x
1600) mm dan menggunakan 2 pembebanan.
Nilai beban ultimit yang didapatkan pada penelitian ini adalah
sebesar 131,9 kN pada benda uji N, 115,8 kN pada benda uji N acc, 123,8
kN pada benda uji SW acc 1, 107,5 kN pada benda uji SW acc 2, 113,3
116
kN pada benda uji SW acc 3, 108,79 kN pada benda uji SW acc C 1, dan
120, 5 kN pada benda uji SW acc C 2.
Du, Yingang, dkk., (2007) meneliti tentang studi experimental balok
beton dengan penguatan yang terkorosi untuk menginvestigasi kegagalan
model dan perilaku daktail. Hasil eksperimental menunjukkan bahwa,
selain menreduksi kuat lentur balok, korosi juga mengubah kegagalan
model dan mempengaruhi secara perilaku daktail benda uji.Dalam
penelitian ini juga memperlihatkan adanya penurunan nilai kuat lentur
balok dan membuat balok menjadi lebih daktail.
E. Temuan Empirik
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan,
ditemukan bahwa terjadi perbedaan kapasitas lentur dari ke empat tipe
benda uji. Beton yang di akselerasi mengalami penurunan kapasitas
lentur, penggunaan besi coating pada beton bertulang dengan campuran
air laut dan pasir laut (SW acc C) menunjukkan nilai kapasitas lentur yang
lebih kuat dibandingkan dengan beton normal yang diakselerasi korosi (N
acc). Selain itu, SW acc C menunjukkan jumlah retak yang lebih sedikit
dan lebar retak yang lebih kecil dibandingkan N acc, hal ini disebabkan
efek dari coating yang dapat mencegah penetrasi ion klorida
kepermukaan tulangan. Sehingga penggunaan besi coating efektif pada
beton yang terbuat dari air laut dan pasir laut dibandingkan dengan besi
biasa.
117
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan yaitu :
1. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, bahwa terjadi
perbedaan kapasitas lentur dari keempat tipe benda uji. Kuat lentur
beton bertulang mengalami penurunan akibat korosi pada tulangan.
Benda uji N acc, SW acc dan SW acc C mengalami penurunan kuat
lentur sebesar 12,24%, 14,14% dan 8,71% terhadap beton normal (N).
Tipe retak yang terjadi pada balok N adalah retak geser-lentur dan
pada balok N acc, SW acc dan SW C acc adalah retak lentur.
2. Penggunaan besi coating pada beton bertulang dengan campuran air
laut dan pasir laut (SW acc C) menunjukkan nilai kapasitas lentur yang
hampir sama dengan beton normal yang diakselerasi korosi (N acc).
Selain itu, SW acc C menunjukkan jumlah retak yang lebih sedikit dan
lebar retak yang lebih kecil dibandingkan N acc, hal ini disebabkan
efek dari coating yang dapat mencegah penetrasi ion klorida ke
permukaan tulangan. Sehingga penggunaan besi coating lebih efektif
pada beton yang terbuat dari air laut dan pasir laut dibandingkan
dengan besi biasa.
118
3. Korosi pada baja tulangan mengakibatkan penurunan kapasitas lentur.
Hasil penelitian ini menunjukan dengan tingkat korosi 4,25 % terjadi
penurunan kapasitas lentur sebesar 7,95%, hal ini dapat menjadi
referensi bagi perencana konstruksi untuk memperhitungkan umur
layanan konstruksi beton dengan prediksi tingkat korosi.
B. Saran
Hasil penelitian ini dapat mendukung pembangunan infrastruktur
khususnya daerah terpencil yang kekurangan sumber air tawar dan pasir
sungai. Selain itu, penggunaan air laut dan pasir laut sebagai bahan
pencampuran beton membuat produksi beton menjadi ekonomis dan
menjadi referensi bagi perencana konstruksi untuk memperhitungkan
umur layanan konstruksi beton dengan prediksi tingkat korosi.
119
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung (SNI 03 – 2847 – 2002). Departemen Pekerjaan Umum.
Anonim. 2013. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung (SNI 03 – 2847 – 2013). Departemen Pekerjaan Umum.
Anonim. 2004. Semen Portland Komposit (SNI 15-7064-2004). Departemen
Pekerjaan Umum.
Anonim. 2002. Persyaratan Agegat Halus (SNI 15-6821-2002). Departemen
Pekerjaan Umum.
Ann, K. Y., dan Song, H. W. 2007. Chloride threshold level for corrosion of
steel in concrete. Corrosion Science, 49(11), 4113-4133.
[doi:10.1016/j.corsci.2007.05.007].
Du, Yingang. dkk. 2007. Impact of Reinforcement Corrosion on Ductile
Behaviour of Reinforced Concrete Beams. ACI Structural Journal Title no
104-S28.
Hartini, Tjaronge. M.W, Irmawaty, R., Adisasmita, S. A., dan Amiruddin, A.
A.2014. Compressive Strength and Hydration Process of Self
Compacting Concrete (SCC) Mixed with Seawater, Marine Sand, and
Portland Composite Cement, Advanced Materials Research. 935(2014):
242-246.
120
Juarez, C. A. dkk. 2011. Ultimate and Nominal Shear Strength in Reinforced
Concrete Beams Deteriorated By Corrosion. Engineering Structures 33,
pp : 3189-3196.
Junaid, A., Tjaronge, M. W. dan Irmawaty, R. 2009. Studi Kekuatan Beton
yang Menggunakan Air Laut Sebagai Air Pencampur Pada Daerah
Pasang Surut. Repository Unhas.
Marinescu, M.W. A. and Brouwers, H.J.H., Free and Bound Chloride
Contents in cementitious materials. June 2010. 8th fib Phd Symposium in
Kgs.Lyngby, Denmark.
Mc Cormac, Jack C.2004.”Desain Beton Bertulang-Edisi Kelima-jilid 2”.
Penerbit Erlangga : Jakarta
Mien, V. T., Nawa, T. and Chanh, N. V. 2008. Contributions Of C-S-H And
AFm Hydrates To Chloride Binding Isotherms Of Various Cements. The
3rd ACF International Conference-ACF/VCA.
Mohammed, T.U., Yamaji, T. and Hamada, H. 2002. Chloride Diffusion,
Microstructure, and Mineralogy of Concrete after 15 Years of
Exposure in Tidal Environment.. ACI Material Journal. Vol. 99, No. 3.
Mohammed, T.U., Hamada, H. and Yamaji, T. 2004 (a). Performance of
seawater-mixed concrete in the tidal environment. Cement and Concrete
Research 34 : 593-603, Japan.
121
Mohammed, T.U., Hamada, H. and Yamaji, T. 2004 (b). Concrete After 30
Years of Exposure-Part II : Chloride Ingress and Corrosion of Steel
Bars.. ACI Material Journal. Vol. 101, No. 1.
Mulyono, Tri. 2003, Teknologi Beton, Penerbit ANDI Yogyakarta.
Nawy E.G. Juli 2010. Beton Bertulang-Suatu Pendekatan Dasar, Cetakan
Keempat. Bandung.
Neville. A. M. dan Brooks J.J. 1981. Concrete Technology. Longman
Scientific & Technical, New York.
Nugraha dan Antoni, P. 2007. Teknologi Beton, Surabaya : Penerbit Andi.
Otsuki, Nobuaki. 2011. Possibility Of Sea Water As Mixing Water In Concrete.
Conference on Our World in Concrete & Structures. Tokyo Institute of
Technology, Japan.
Rodriguez, J, Ortega L, Casal, M. J, danDiez, J. M., “Assessing Structural
Conditioan of Concrete Structures With Corroded Reinforcement,”
Concrete Repair, Rehabilitation and Protection, R. K. Dhir and M. R.
Jones, eds., E&FN Spon, 1996, pp : 65-78.
Rompas, R.M, Rumampuk, N. DC dan Rompas, J.R (2009). Oseanografi
kimia. PT. Walaw Bengkulen, Jakarta Timur dalam Erniati, Tjaronge,
M.W. Djamaluddin, R. and Sampebulu, V. Konsistensi dan KuatTekan
Mortar yang Menggunakan Air Laut Sebagai Mixing Water. KoNteKs 7,
Oktober 2013.
122
Mangat, S. Pritpal dan. Elgarf, Mahmoud S. 2006.Flexural Strength of
Concrete Beams with Corroding Reinforcement. ACI Structural Journal.
Syamsuddin, Ristinah, dkk. 2011. Pengaruh air laut pada perawatan (curing)
beton terhadap kuat tekan dan absorpsi beton dengan variasi faktor air
semen dan durasi perawatan. Jurnal Rekayasa sipil / Volume 5, No. 2 –
2011. ISSN 1978 – 5658.
Taylor, M.A., Kuwairi, A., 1978. Effects of ocean salts on the compressive
strength ofconcrete. Cement and Concrete Research 8, 491–500.
Tjaronge, M. W., dkk. 2011. Effect of Sea Water on The Strength of Porous
Concrete Containing Portland.
Tjaronge, M.W. 2012. Semen dan Beton Berongga. Cetakan 1. Telaga
Zamzam, Makassar.
Wang, Chu-Kia, Charles G, Salmon. 1993.Disain Beton Bertulang,
Erlangga,Jakarta.
Xu, Shanhua, dkk. 2017. Experimental Study On The Shear Behavior of RC
Beams With Corroded Stirrups. Joural of Advanced Concrete Technology
Vo. 15, pp : 178-189.
Yuan, Yingshu, dkk. 2007. Comparison on Two Accelerated Corrosion
Techniques for Concrete Structures. ACI Structural Journal Title No 104-
S34.