Post on 29-Jul-2020
PENGARUH DANA KEISTIMEWAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT DAN KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DENGAN BELANJA MODAL DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
Disusun Oleh:
BANIADY GENNODY PRONOSOKODEWO
121600495
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI YKPN
YOGYAKARTA
2018
83
PENGARUH DANA KEISTIMEWAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT DAN KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DENGAN BELANJA MODAL DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
Baniady Gennody Pronosokodewo
STIE YKPN Yogyakarta
Abstract
The purpose of this research is to determine the effect of Privilege Funds on
public welfare and poverty with capital expenditure and economic growth as an
intervening variable of the public welfare and poverty in DIY province. This
research is hypothesis testing studies, by testing the effects of exogenous variables,
privilege funds to the public welfare and poverty as endogenous variables,
involving capital expenditure and economic growth as endogenous interventions.
The data used in this research is district or city in DIY province's budget during
the period 2014-2016. Hypothesis testing method using SEM PLS and the result of
the research indicates that privilege funds can not influence the capital
expenditure, privilege funds can influence on economic growth, capital
expenditures influence economic growth, economic growth influence the public
welfare, and economic growth influence poverty.
Key word: Privileg Fund, Public Welfare, Poverty, Capital Expenditure,
Economic Growth
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum yang menggunakan suatu sistem otonomi
daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Pelaksanaan otonomi daerah sudah
dimulai sejak tahun 2001 yang diharapkan dapat membantu serta mempermudah
dalam berbagai urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berdasarkan
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998, otonomi adalah suatu pemberian hak
dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Otonomi
daerah yang berlaku pada saat ini telah diatur berdasarkan UU Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. DIY sebagai daerah yang menggunakan
sistem kerajaan/monarki, pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan
Hamangkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII melakukan “Ijab Qabul” yang
menyatakan untuk bergabung menjadi salah satu wilayah NKRI. Menurut UU
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pasal
5 ayat 1, Dana Keistimewaan bertujuan untuk menjaga warisan budaya,
melestarikan serta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat DIY. Dana
keistimewaan ini digunakan melingkupi lima bidang urusan yaitu Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bidang Kelembagaan, Bidang
Kebudayaan, Bidang Pertanahan, dan Bidang Tata Ruang.
Sebelum disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta, pada periode 2009-2012, persentase Rasio
Penduduk Miskin (RPM) pada kota Yogyakarta, kabupaten Bantul, Sleman,
Kulon Progo, dan Gunungkidul menurun yaitu masing-masing sebesar 0,67%;
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
84
0,67%; 1,01%; 1,33%; dan 1,72%. Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) selama periode 2010-2012 pada kota Yogyakarta, kabupaten Bantul,
Sleman, Kulon Progo, dan Gunungkidul meningkat masing-masing sebesar 0,57;
0,82; 0,41; 0,91; dan 1,49. Selama Dana Keistimewaan dialokasikan dari tahun
2013-2016, persentase RPM pada kota Yogyakarta, kabupaten Bantul, Sleman,
Kulon Progo, dan Gunungkidul menurun yaitu masing-masing sebesar 1,12%;
1,93%; 1,47%; 1,09%; dan 2,36%, penurunan ini lebih besar dibandingkan
dengan penurunan pada periode 2009-2012. Dilihat dari IPM selama periode
2014-2016 pada kota Yogyakarta, kabupaten Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan
Gunungkidul meningkat masing-masing sebesar 1,54%; 1,31%; 1,42%; 1,70%;
dan 0,79%, peningkatan ini lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada
periode 2010-2012.
Tabel 1.1
Rasio Penduduk Miskin (%) Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2008-2016
Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2104 2015 2016
Kota Yogyakarta 10,81 10,05 9,75 9,62 9,38 8,82 8,67 8,75 7,70
Bantul 18,54 17,64 16,09 17,28 16,97 16,48 15,89 16,33 14,55
Sleman 12,34 11,45 10,70 10,61 10,44 9,68 9,50 9,46 8,21
Kulon Progo 26,85 24,65 23,15 23,62 23,32 21,39 20,64 21,40 20,30
Gunungkidul 25,96 24,44 22,05 23,03 22,72 21,70 20,83 21,73 19,34
Sumber: BPS DIY
Tabel 1.2
Indeks Pembangunan Masyarakat
Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2010-2016
Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kota Yogyakarta 82,72 82,98 83,29 83,61 83,78 84,56 85,32
Bantul 75,31 75,79 76,13 78,78 77,11 77,99 78,42
Sleman 79,69 80,04 80,10 80,26 80,73 81,20 82,15
Kulon Progo 68,83 69,53 69,74 70,14 70,68 71,52 72,38
Gunungkidul 64,20 64,83 65,69 66,31 67,03 67,41 67,82
Sumber: BPS DIY.
Sakir dan Mutiarin (2015) menemukan temuan pelaksanaan kebijakan
anggaran Dana Keistimewaan yaitu (1) prioritas Dana Keistimewaan yang lebih
dominan untuk urusan kebudayaan, yaitu tahun 2013 sebesar 91,89%, tahun 2014
sebesar 71,62% dan tahun 2015 sebesar 76,87%; (2) kualitas belanja Dana
Keistimewaan yang penyerapannya tidak maksimal sejak tahun 2013 sampai
tahun 2015, di tahun 2013 serapan anggaran sebesar 23,58%, tahun 2014 sebesar
64,88% dan tahun 2015 sebesar 20,06%; (3) kepentingan Dana Keistimewaan
belum memiliki identifikasi output dan outcome secara jelas, sehingga belum
menggambarkan/mencerminkan perkembangan Dana Keistimewaan; (4) persepsi
pemangku Dana Keistimewaan antara pemerintah pusat, Kasultanan, Pakualaman,
elit politik, masyarakat dan pemilik modal yang belum sama; (5) sejak tahun 2013
sampai tahun 2015 dampak adanya Dana Keistimewaan belum dapat dinikmati
oleh masyarakat secara maksimal, di tahun 2014 angka kemiskinan DIY paling
tinggi di Jawa yaitu sebesar 14,55%.
Penggunaan Dana Keistimewaan dialokasikan untuk belanja langsung
dalam melestarikan keistimewaan DIY terutama untuk bidang kebudayaan.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
85
Selama periode 2013-2015, bidang kebudayaan merupakan bidang dengan
anggaran terbesar. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
menurunkan angka kemiskinan kabupaten/kota di DIY, maka Dana Keistimewaan
yang dianggarkan seharusnya dialokasikan ke belanja modal dengan persentase
lebih besar dibanding dengan belanja pegawai maupun belanja barang dan jasa.
Peningkatan belanja modal dapat berdampak pada meningkatnya kesejahteraan
masyarakat dan penurunan jumlah penduduk miskin. Jika belanja modal
digunakan untuk peningkatan pembangunan dan perbaikkan fasilitas publik
seperti, sekolah, puskesmas, perpustakaan, lapangan pekerjaan dan sebagainya,
maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penurunan jumlah
penduduk miskin.
Tabel 1.3
Pagu Dana Keistimewaan DIY Tahun 2013-2016 (Dalam ribuan rupiah)
Sumber: Bappeda DIY.
Tabel 1.4
Realisasi Anggaran Belanja Modal (Rp)
Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2014-2016
Kabupaten/Kota 2014 2015 2016
Kota Yogyakarta
193.078.279.594
256.395.156.433 313.355.764.155
Bantul
310.415.290.766
334.880.395.261 338.953.648.072
Sleman
282.862.049.259
426.782.827.409 348.203.013.231
Kulon Progo
146.576.953.515
226.055.713.904 307.589.295.243
Gunungkidul
127.289.721.491
238.175.034.445 260.198.561.110
Sumber: DPPKA DIY
Selama Dana Keistimewaan dialokasikan dari tahun 2013-2016 di DIY,
belanja modal dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari tahun 2013-2016.
Dengan adanya Dana Keistimewaan diharapkan dapat meningkatkan potensi
kegiatan perekonomian seperti penataan wawasan budaya pendukung
keistimewaan, pengembangan industri kreatif berbasis budaya, pengembangan
desa budaya, dan pengembangan desa wisata berbasis budaya yang dapat menarik
investor untuk menanamkan modalnya di DIY, sehingga pertumbuhan ekonomi
meningkat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk
meneliti pengaruh Dana Keistimewaan terhadap kesejahteraan masyarakat dan
Bidang 2013 2014 2015 2016
Tata
Pemerintahan
0 400.000 0 0
Kelembagaan 2.516.142,5 1.676.000 1.650.000 1.800.000
Kebudayaan 212.546.511 375.178.719 420.800.000 179.050.365
Pertanahan 6.300.000 23.000.000 10.600.000 13.850.000
Tata Ruang 10.030.000 123.620.000 114.400.000 352.749.635
Jumlah 231.392.653,5 523.874.719 547.450.000 547.450.000
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
86
kemiskinan dengan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel
intervening. Kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini diukur dengan IPM,
sedangkan kemiskinan diukur dengan RPM.
Tabel 1.5
PDRB ADHK 2010 Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2010-2016
Sumber: BPS DIY.
Rumusan Masalah
1. Apakah Dana Keistimewaan berpengaruh terhadap belanja modal pada
APBD kabupaten/kota di DIY?
2. Apakah Dana Keistimewaan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di DIY?
3. Apakah belanja modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di DIY?
4. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di DIY?
5. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan
kabupaten/kota di DIY?
Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji pengaruh Dana Keistimewaan terhadap belanja modal pada
APBD kabupaten/kota di DIY.
2. Untuk menguji pengaruh Dana Keistimewaan terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota di DIY.
3. Untuk menguji pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di DIY.
4. Untuk menguji pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di DIY.
5. Untuk menguji pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
kabupaten/kota di DIY.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis dan akademis pada penelitian ini yaitu sebagai sarana untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh Dana keistimewaan
terhadap kesejahteraan masyarakat dan kemiskinan dengan belanja modal dan
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel intervening.
-
10.000.000.000.000
20.000.000.000.000
30.000.000.000.000
40.000.000.000.000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jogja
Bantul
Sleman
kulon Progo
Gunungkidul
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
87
2. Manfaat praktisi pada penelitian ini yaitu sebagai sarana informasi bagi
pemerintahan daerah DIY dalam memaksimalkan penyerapan Dana
Keistimewaan yang dampaknya dapat dinikmati masyarakat DIY secara
maksimal. Penelitian ini diharapkan juga dapat sebagai referensi bagi
akademisi dan peneliti pada umumnya yang ingin melakukan penelitian
berikutnya dalam bidang yang sama.
Batasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan tahun 2014-2016 sebagai periode penggunaan Dana
Keistimewaan. Penelitian ini tidak menggunakan tahun 2013 sebagai awal
penggunaan Dana Keistimewa karena dalam Laporan Kinerja Dana Keistimewaan
belum adanya rincian alokasi untuk kabupaten/kota. Penelitian ini meneliti
variabel Dana Keistimewaan terhadap kesejahteraan masyarakat yang diukur
dengan IPM dan kemiskinan diukur dengan RPM dengan belanja modal dan
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel intervening. Variabel Dana Keistimewaan
diukur berdasarkan realisasi alokasi Dana Keistimewaan kabupaten/kota di DIY
selama periode 2014-2016.
Variabel belanja modal pada penelitian ini menggunakan data realisasi
belanja modal APBD kabupaten/kota di DIY tahun 2014-2016, variabel belanja
modal tidak menggunakan belanja modal khusus Dana Keistimewaan, karena data
tersebut tidak dapat ditelusuri oleh DPPKA DIY. Sedangkan variabel
pertumbuhan ekonomi pada penelitian ini menggunakan PDRB Atas Dasar Harga
Konstan (ADHK). Penelitian ini mengacu pada kabupaten/kota seperti, Bantul,
Sleman, Kulonprogo, Gunungkidul dan Kota Yogyakarta.
TINJAUAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai kontrak
antara prinsipal dengan agen untuk melakukan beberapa layanan atas nama
mereka yang melibatkan pendelegasian sebagai wewenang pengambilan
keputusan kepada agen. Menurut Halim dan Abdullah (2006), teori keagenan
yaitu teori yang mengaitkan hubungan prinsipal dengan agen yang berasal dari
teori ekonomi, sosiologi, dan organisasi. Teori keagenan menjelaskan hubungan
antara prinsipal dengan agen yang dikontrak oleh prinsipal untuk bekerja demi
kepentingan prinsipal, maka pihak agen harus mempertanggungjawabkan semua
pekerjaanya kepada prinsipal. Hubungan antara prinsipal dengan agen
mengakibatkan adanya informasi asimetri, karena agen yang diberikan wewenang
oleh prinsipal memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal.Berkaitan
dengan penelitian ini teori keagenan didasari adanya desentralisasi asimetris
antara daerah yang menerima dana otsus/Dana Keistimewaan dengan daerah yang
tidak menerima dana otsus/Dana Keistimewaan, sehingga daerah seperti DIY
yang mendapatkan Dana Keistimewaan mendapatkan tambahan transfer dana dari
pemerintah pusat. Tambahan transfer dana tersebut seharusnya dapat
meningkatkan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan jika
penggunaan dana tersebut efisien dan efektif.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
88
Hubungan agensi pada penelitian ini terjadi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan pengguna anggaran, dan pengguna
anggaran dengan kuasa pengguna anggaran. Pemerintah pusat sebagai prinsipal
memberikan Dana Keistimewaan kepada pemerintah daerah dengan tujuan untuk
melestarikan keistimewaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat DIY.
Pemerintah daerah juga dapat berperan sebagai prinsipal yang memberikan
anggaran Dana Keistimewaan kepada Pengguna Anggaran (PA) untuk
melaksanakan wewenang keistimewaan. Namun, Pengguna Anggaran (PA) juga
berperan sebagai prinsipal yang memberikan kuasa penggunaan anggaran Dana
Keistimewaan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk membelanjakan
anggaran Dana Keistimewaan. Agar penggunaan Dana Keistimewaan tersebut
tidak menyimpang dari tujuannya, maka Bappeda DIY ditunjuk sebagai fungsi
monitoring dan evaluasi dan pembentukkan Pansus Danais oleh DPRD DIY untuk
mengawasi pelaksanaan Dana Keistimewaan.
Teori Desentralisasi Fiskal
Penerapan desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat bertujuan untuk mendorong
kemandirian pemerintah daerah dalam mengelola tata pemerintahan dan
keuangannya. Namun, pemerintah pusat tidak lepas tangan secara penuh dalam
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah, sehingga dalam penerapan
desentralisasi fiskal dibentuklah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang diganti menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Menurut Mardiasmo (2002), pemberian otonomi daerah tidak lagi
sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai
keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potennsi
daerah dan diharapkan pemerintah daerah semakin mandiri, mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan mampu meningkatkan kepercayaan
publik. Pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus
membuat suatu rencana pendapatan dan belanja untuk tahun tertentu yang disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD). Namun, pendapatan daerah
tidak bisa sepenuhnya untuk membiayai pembangunan. Oleh karena itu, transfer
dana dari pusat menjadi sumber penerimaan untuk mendukung pembangunan.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian
sumber keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa
pendapatan transfer yaitu Dana perimbangan seperti Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK); Dana Otonomi
Khusus (Dana Otsus) untuk Nanggroe Aceh Darussalam, Papua dan Papua Barat;
Dana Keistimewaan (Danais) untuk DIY; dan Dana Desa.
Menurut Shah dan Thompson (2002), desentralisasi fiskal dapat berjalan
efektif karena ada 3 komponen yaitu (1) adanya otonomi dan kecukupan dalam
penerimaan (revenue autonomy and adequacy); (2) adanya otonomi dalam
pengeluaran (expenditure autonomy); adanya hak istimewa untuk melakukan
pinjaman (borrowing privileges). Menurut UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pasal 42 ayat 1 dan 3, pemerintah
menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan keistimewaan
DIY berupa Dana Keistimewaan yang diperuntukkan bagi dan dikelola oleh
pemerintah daerah DIY yang pengalokasian dan penyalurannya melalui
mekanisme transfer ke daerah. Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
89
Nomor 124/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian dan Penyaluran Dana
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Pasal 1 ayat 4, Dana Keistimewaan
adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan untuk mendanai
kewenangan keistimewaan dan merupakan bagian dari dana transfer ke daerah.
Teori Belanja Modal
Menurut PSAP Nomor 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran, belanja modal
adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
member manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja
tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud. Akuntansi belanja
disusun selain untuk memenuhi pertanggungjawaban sesuai ketentuan, juga dapat
dikembangkan untuk keperluan pengendalian bagi manajemen. Menurut Asiri et
al. (2016), belanja modal secara umum dialokasikan untuk membangun sarana-
prasarana yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian serta
merangsang pihak swasta untuk berinvestasi. Belanja modal akan dialokasikan
oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan
untuk kepentingan masyarakat, serta kegiatan ini akan menimbulkan permintaan
barang dan jasa yang akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang
dan jasa sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah (Badrudin, 2017).Dana
Keistimewaan yang ditransfer oleh pemerintah pusat akan dibelanjakan sesuai
dengan program dan kegiatan. Pengguna Anggaran (PA) yang bertanggung jawab
dalam penggunaan Dana Keistimewaan untuk belanja yaitu Biro Tata Pemerintah
sebagai PA bidang tata cara jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur; Biro
Organisasi sebagai PA bidang kelembagaan; Dinas Kebudayaan sebagai PA
bidang kebudayaan; dan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang sebagai PA bidang
pertanahan dan bidang tata ruang.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah daerah dipandang perlu memerhatikan pertumbuhan ekonomi sebagai
sebuah instrumen dalam mendorong pembangunan ekonomi agar pada akhirnya
dapat mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan yang efektif dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi
maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga
akan meningkat. Kaldor (1963) menyatakan pertumbuhan ekonomi yang cepat
harus mengkorbankan (trade off) pemerataan distribusi pendapatan, pertumbuhan
yang cepat terjadi pada saat share yang diterima oleh pemilik modal lebih besar
dari share yang diterima oleh pemilik tenaga kerja agar terjadi peningkatan
tabungan untuk investasi, dan growth with distribution lebih menekankan kepada
peningkatan produktivitas dan investasi luar negeri untuk meningkatkan produksi
nasional.
Menurut Kuznets (1995), pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan
kapasitas jangka panjang suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis
barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai
dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idelogis yang
diperlukannya. Pertumbuhan ekonomi itu dicapai oleh tiga faktor yaitu
peningkatan persediaan barang yang stabil, perkembangan/kemajuan teknologi,
dan penggunaan teknologi secara efisien dan efektif. Menurut Badrudin (2017),
pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
90
ekonomi di suatu daerah. Salah satu bentuk pembangunan ekonomi adalah
pembangunan infrastruktur serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan
pemerintahan daerah. Pertumbuhan ekonomi adalah perubahan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per tahun yang dinyatakan dalam satuan persen. Oleh
karena itu untuk menghitung laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah harus
mengetahui nilai PDRBnya. Menurut Sumbayak et al. (2015), penting sekali
adanya pertumbuhan PDRB yang terus meningkat setiap tahun agar terjadi
kemajuan perekonomian dan pada akhirnya tercermin secara rill dalam
pendapatan masyarakat (PDRB per kapita).
Teori Kesejahteraan Masyarakat dan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi seharusnya juga memberikan manfaat langsung terhadap
peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan alokasi
belanja rumah tangga untuk makanan yang bergizi dan pendidikan, sehingga
meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Ranis, 2004). Kesejahteraan masyarakat
menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan
yang lebih baik. Berdasarkan UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Masyarakat adil dan makmur adalah kondisi
masyarakat yang dicapai dengan konsep dan proses pembangunan inklusif.
Pembangunan ekonomi inklusif adalah pembangunan ekonomi yang mampu
mewujudkan pertumbuhan ekonomi (pro growth) yang disertai dengan pro job
(penyerapan tenaga kerja), pro poor (pengurangan angka kemiskinan), dan pro
equity (pemerataan distribusi pendapatan), pro enviroment (tidak merusak
lingkungan hidup). Artinya pembangunan yang berorientasi pada pencapaian laju
pertumbuhan ekonomi tertentu namun tetap mempertimbangkan penyerapan
tenaga kerja dengan mengurangi angka pengangguran terbuka, pengurangan rasio
penduduk miskin, pengurangan gini rasio, dan pembangunan yang berorientasi
pada lingkungan hidup (Badrudin, 2017).
Kemiskinan merupakan permasalahan bagi setiap bangsa yang
penanganannya dilakukan dengan memenuhi hak-hak dasar masyarakat melalui
pembangunan inklusif. Kemiskinan memang merupakan masalah bagi setiap
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kondisi kemiskinan
setidaknya disebabkan oleh rendahnya taraf pendidikan, rendahnya kualitas
kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan, kondisi demografi yang sulit maupun
terisolasi dan ketidakstabilan politik. Menurut Chambers (1987), inti
permasalahan kemiskinan terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan
(deprivation trap) yaitu terdiri dari kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, isolasi,
kerentanan dan ketidakberdayaan. United Nations Development Programme
(UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi kekurangan pendapatan dan
kesulitan ekonomi. Namun, kemiskinan juga dipandang sebagai suatu keadaan
dimana kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, maupun mempengaruhi
proses politik dan faktor lainnya yang penting bagi masyarakat.
Penelitian terdahulu
1. Larasati (2016) meneliti tentang Implementasi Dana Keistimewaan Periode
Tahun 2013-2015 di Biro Hukum Sekretariat DIY. Hasilnya menunjukkan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
91
bahwa Dana Keistimewaan di Biro Hukum Setda DIY telah terlaksana
dengan baik meskipun realisasi dana belum sepenuhnya optimal.
2. Nuriyatman (2016) meneliti tentang Implementasi Desentralisasi di DIY
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan
DIY. Hasilnya menunjukkan bahwa masih terdapat kendala-kendala teknis
dalam penyerapan anggaran yaitu dari sisi transfer Dana Keistimewaan.
3. Kartika (2014) meneliti tentang Analisis Kesiapan Pengelolaan Dana
Keistimewaan DIY tahun Anggaran 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa ada
empat kendala dalam mengelola Dana Keistimewaan yaitu terbatasnya waktu
pelaksanaan, belum rincinya penerjemahan makna keistimewaan sesuai
Perdais, padatnya kegiatan pemerintahan reguler, dan terbatasnya jumlah
SDM. Namun, pemerintah memiliki lima upaya dalam rangka optimalisasi
Dana Keistimewaan yaitu membatasi tugas dan fungsi, menyusun
perencanaan lebih awal, menyusun usulan rincian Perdais, menyesuaikan
KPA, dan mengajukan permohonan penyesuaian sesi atau termin.
4. Fadlan (2016) meneliti tentang Kebijakan Mengenai Ketidakpastian Besaran
Persentase Dana Keistimewaan bagi DIY. Hasilnya menunjukkan bahwa
terdapat berbagai indikator penilaian kebutuhan Dana Keistimewaan,
sehingga tidak merugikan pemerintah pusat sebagai pemberi, dan atau
pemerintah DIY sebagai penerima. Pemberian Dana Keistimewaan bagi DIY
tidak bertentangan dengan konstitusi, karena pemberian status keistimewaan
oleh pemerintah pusat pasti diikuti dengan tambahan desentralisasi fiskal.
5. Pradhani (2016) meneliti tentang Pengaturan dan Pengelolaan Keuangan
Urusan Kebudayaan sebagai Urusan Pemerintahan Konkuren dan Urusan
Keistimewaan di DIY. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak adanya aturan
yang mengatur bahwa seluruh urusan kebudayaan di DIY merupakan urusan
keistimewaan, namun secara tidak langsung dengan didanainya program dan
kegiatan seluruh urusan kebudayaan dengan dana keistimewaan, kecuali
pengeluaran rutin, menunjukkan bahwa urusan kebudayaan di DIY setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan urusan
keistimewaaan.
6. Sakir dan Mutiarin (2015) meneliti tentang Kebijakan Anggaran Dana
Keistimewaan DIY. Hasilnya menunjukkan bahwa belum semua stakeholder
memahami bahwa progam/kegiatan keistimewaan pada dasarnya juga
merupakan bagian dari Program Pembangunan Daerah, ketidaksiapan dan
kekhawatiran dari PA dan KPA terkait pengadaan barang dan jasa, terutama
bagi Kabupaten/Kota. Selama ini pengadaan barang dan jasa dianggap
sebagai aktivitas yang beresiko bagi panitia pengadaan maupun pejabat
pembuat komitmen, kekurangan sumber daya manusia (SDM) sebagai
pelaksana dan pengelolaan keuangan dana keistimewaan, perencanaan
program, kegiatan dan anggaran belum mencerminkan kebutuhan dan
kapasitas dari PA/KPA masing-masing kewenangan keistimewaan, dan
partisipasi masyarakat DIY dalam pelaksanaan kewenangan keistimewaan
belum dilibat sejak awal perumusan program, kegiatan dan penganggaran.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
92
Pengembangan Hipotesis
Dana Keistimewaan terdiri atas lima bidang kewenangan yaitu bidang
kebudayaan, bidang kelembagaan, bidang tata cara pengisian jabatan, bidang
pertanahan dan tata ruang. Dana Keistimewaan yang dialokasikan pada bidang
kelembagaan, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang, selama periode 2013-2016
mengalami kenaikan signifikan. Dana keistimewaan seharusnya digunakan untuk
menyediakan lebih banyak fasilitas publik yang terkait dengan tata ruang,
pertanahan, kebudayaan dan kelembagaan.
Semakin tinggi Dana Keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat,
maka semakin tinggi belanja modal pemerintah daerah, karena pemerintah daerah
DIY mendapatkan tambahan anggaran untuk dibelanjakan dalam rangka
menyelenggarakan keistimewaan dan kesejahteraan masyarakat. Sakir dan
Mutiarin (2015), Larasati (2016), Nuriyatman (2016), dan Kartika (2016)
menyatakan penyerapan Dana Keistimewaan belum optimal karena adanya
kendala-kendala terhadap penyerapan Dana Keistimewaan yaitu seperti
kekurangan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana dan pengelolaan
keuangan Dana Keistimewaan dan belum rincinya penerjemahan makna
keistimewaan sesuai Perdais.
H1: Dana Keistimewaan berpengaruh positif terhadap belanja modal APBD
kabupaten/kota di DIY.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan
pembangunan ekonomi di suatu daerah. Salah satu bentuk pembangunan ekonomi
adalah pembangunan infrastruktur serta sarana dan prasarana yang mendukung
kegiatan pemerintahan daerah. Dana keistimewaan akan dialokasikan untuk
mendanai lima bidang kewenangan keistimewaan, Dana Keistimewaan menjadi
sumber pendapatan yang baru bagi pembangunan DIY khususnya pada lima
urusan kewenangan keistimewaan. Hal tersebut akan memberikan dampak pada
pembangunan yang meningkatkan produksi barang dan jasa terutama pada bidang
kebudayaan untuk meningkatkan sektor pariwisata. Adanya peningkatan sektor
pariwisata yang menjadi pendapatan unggulan dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi pada kabupaten/kota di DIY.
Sakir dan Mutiarin (2015) menyatakan bahwa Dana Keistimewaan kurang
optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena belum rincinya
penerjemahan makna keistimewaan sesuai Perdais. Kartika (2016), menyatakan
walaupun penyerapan Dana Keistimewaan kurang optimal, namun pemerintah
memiliki lima upaya dalam rangka optimalisasi Dana Keistimewaan yaitu
membatasi tugas dan fungsi, menyusun perencanaan lebih awal, menyusun usulan
rincian Perdais, menyesuaikan KPA, dan mengajukan permohonan penyesuaian
sesi atau termin. Menurut Fadlan (2016), pemberian keistimewaan kepada DIY
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena pemberian keistimewaan
diikuti dengan tambahan desentralisasi fiskal berupa Dana Keistimewaan.
H2: Dana Keistimewaan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota di DIY.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
93
Belanja modal digunakan untuk mendanai kegiatan pembangunan yang
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Pembangunan tersebut dapat berupa
tanah; persediaan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringan;
dan fasilitas publik lain sehingga dapat memudahkan aksesibilitas masyarakat
dalam kegiatan sehari-hari dan untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat.
Jika kegiatan ekonomi masyarakat tidak didukung oleh pemerintah daerah, maka
pertumbuhan ekonomi tidak akan meningkat. Menurut Sasana (2009), tambahan
desentralisasi fiskal berdampak pada pertumbuhan ekonomi, apabila desentralisasi
fiskal dipusatkan pada pengeluaran/pembelanjaan publik
Menurut Kuncorojati (2015), peningkatan belanja modal dapat
memberikan dampak pada pembangunan yang meningkatkan produksi barang dan
jasa, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Sedangkan menurut Asiri
et al. (2016) belanja modal secara umum dialokasikan untuk membangun sarana-
prasarana yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian serta
merangsang pihak swasta untuk berinvestasi. Alokasi belanja modal yang
digunakan untuk pembangunan dan perbaikkan infrastruktur dan fasilitas publik
dapat meningkatkan investasi berupa aset maupun dana segar. Peningkatan
investasi diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik.
H3: Belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di DIY.
Pembangunan ekonomi dapat diukur dengan adanya pertumbuhan
ekonomi, peningkatan pertumbuhan ekonomi juga memberikan manfaat langsung
terhadap peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan
alokasi belanja rumah tangga untuk makanan yang bergizi dan pendidikan,
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Ranis, 2004). Tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu negara menunjukkan tingkat kemakmuran
masyarakat. Semakin besar pendapatan nasional, semakin besar kesejahteraan
masyarakat. Selain pendapatan nasional, pendapatan per kapita juga menjadi tolak
ukur yang paling sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat.
Midgley dan Conley (2010) menyatakan bahwa pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi wajib menghasilkan perbaikkan dalam wujud nyata dari
kesejahteraan masyarakat dengan menitikberatkan pada peningkatan standar
kehidupan, pendidikan dan kesehatan. Apabila pertumbuhan ekonomi baik, maka
tingkat pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Peningkatan pendapatan
yang terjadi meningkatkan kebutuhan hidup masyarakat yang lebih baik, hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pembangunan masyarakat meningkat. Kuncorojati
(2015) memiliki pernyataan yang berbeda, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
justru semakin menurun kesejahteraan masyarakat, karena pertumbuhan ekonomi
yang hanya menitikberatkan pada pembangunan eksklusif.
H4: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap Kesejahteraan
Masyarakat kabupaten/kota di DIY.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat menggambarkan kenaikkan aktivitas
ekonomi yang kemudian diharapkan dapat mampu menurunkan angka kemiskinan.
Pertumbuhan PDRB per kapita dinilai lebih mencerminkan kondisi perubahan
perekonomian lapisan masyarakat atau kemajuan dari tingkat kesejahteraan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
94
masyarakat (welfare). Menurut Sumbayak et al. (2015), penting sekali adanya
pertumbuhan PDRB yang terus meningkat setiap tahun agar terjadi kemajuan
perekonomian dan pada akhirnya tercermin secara rill dalam pendapatan
masyarakat (PDRB per kapita). Dengan adanya peningkatan pertumbuhan
ekonomi, maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor
produksi juga akan meningkat, sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan.
Kuncorojati (2015) menyatakan bahwa, semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi maka semakin tinggi pula angka kemiskinan. Meningkatnya angka
kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi dengan
pembangunan dan perbaikkan fasilitas publik untuk masyarakat miskin.
Sedangkan hasil penelitian hasan dan Zikriah (2010), peningkatan PDRB
memberikan dampak terhadap jumlah penduduk miskin, peningkatan PDRB
mengindikasikan kemudahaan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi
maupun sosial kemasyarakatan. Sasana (2009) menyatakan bahwa, menurunnya
angka kemiskinan merupakan efek dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
H5: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap kemiskinan
kabupaten/kota di DIY.
Metode Penelitian
Populasi yang akan menjadi objek penelitian ini adalah realisasi penggunaan Dana
Keistimewaan pada lima bidang secara keseluruhan dari Bidang Kebudayaan,
Bidang Pertanahan, Bidang Tata Ruang, Bidang Kelembagaan dan Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan anggaran pada
kabupaten/kota di DIY selama tahun 2014-2016. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Sumber data penelitian
ini adalah:
1. Data Laporan Realisasi Anggaran APBD kabupaten/kota di DIY dan Laporan
Kinerja Dana Keistimewaan selama periode 2014-2016 yang diperoleh secara
langsung dari Bappeda DIY. Data yang diperoleh yaitu realisasi Dana
Keistimewaan dan belanja modal APBD kabupaten/kota di DIY.
2. Data pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di DIY selama periode 2014-
2016 yang diperoleh dari BPS melalui www.bps.go.id.
3. Data kesejahteraan masyarakat pada penelitian ini diukur menggunakan IPM
dan data tentang kemiskinan diukur menggunakan RPM selama periode
2014-2016 yang diperoleh dari BPS memalui www.bps.go.id.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model
analisis Partial Least Square (PLS) untuk menguji pengaruh. Menurut Ghozali
(2014), tujuan PLS adalah membantu peneliti untuk mendapatkan nilai variabel
laten untuk tujuan prediksi dengan model analisis:
1. Inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten. Inner model
menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada substantive
theory.
2. Outer model yang menspesifikasi hubungan antara variabel laten dengan
indikator atau variabel manifest. Outer model mendefinisikan bagaimana
setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya.
3. Weight relation mengestimasi nilai kasus dari variabel laten. Tanpa
kehilangan generalisasi, dapat diasumsikan bahwa variabel laten dan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
95
indikator atau variabel manifest diskala zero means dan unit variance (nilai
standardize), sehingga parameter lokasi (parameter konstanta) dapat
dihilangkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dana Keistimewaan memiliki nilai realisasi terendah sebesar Rp4.125.771.950
yaitu di Kabupaten Sleman pada tahun 2014, nilai realisasi tertinggi sebesar
Rp493.501.137.133 yaitu di Kota Yogyakarta pada tahun 2016, dan nilai rata-rata
realisasi tahun 2014-2016 sebesar Rp85.418.234.747. Variabel belanja modal
memiliki nilai realisasi terendah sebesar Rp127.289.721.491 yaitu di Kabupaten
Gunungkidul pada tahun 2014, nilai realisasi tertinggi sebesar Rp426.782.827.409
yaitu di Kabupaten Sleman di tahun 2016, dan nilai rata-rata realisasi tahun 2014-
2016 sebesar Rp274.054.113.593. Variabel pertumbuhan ekonomi memiliki laju
pertumbuhan terendah sebesar 4,54% yaitu di Kabupaten Gunungkidul pada tahun
2014, laju pertumbuhan tertinggi sebesar 5,30% yaitu di Kabupaten Sleman pada
tahun 2014, dan rata-rata laju pertumbuhan tahun 2014-2016 sebesar 4,97%.
Berdasarkan tabel 4.2, tampak bahwa IPM memiliki nilai terendah sebesar 67,03
yaitu di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2014, nilai tertinggi sebesar 85,32
yaitu di Kota Yogyakarta pada tahun 2016, dan nilai rata-rata sebesar 76,54.
Persentase RPM memiliki nilai terendah sebesar 7,70% di Kota Yogyakarta pada
tahun 2016, nilai tertinggi sebesar 21,73% yaitu di Kabupaten Gunungkidul pada
tahun 2015, dan nilai rata-rata sebesar 14,40%.
Tabel 4.1
Analisis Deskriptif Dana keistimewaan, Belanja Modal, dan
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di DIY DIY Tahun 2014-2016
Keterangan
N
Dalam Rupiah Pertumbuhan
Ekonomi
(%) Dana
Keistimewaan
Belanja Modal
Minimum 15 4.125.771.950 127.289.721.491 4,54
Maksimum 15 493.501.137.133 426.782.827.409 5,30
Rata-rata 15 85.418.234.747 274.054.113.593 4,97
Deviasi Standar 15 159.032.101.004 78.842.307.599 0,2256
Sumber: Data Penelitian, diolah
Tabel 4.2
Analisis Deskriptif Indikator IPM dan RPM
Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2014-2016
Keterangan N IPM RPM
Minimum 15 76,44 13,10%
Maksimum 15 85,32 15,03%
Rata-rata 15 77,31 14,40%
Deviasi Standar 15 0,862 0,90%
Sumber: Data Penelitian, diolah
Berdasarkan tabel 4.1 tampak bahwa realisasi terendah Dana Keistimewaan
yaitu di kabupaten Sleman justru memiliki nilai realisasi belanja modal tertinggi
dan memiliki laju pertumbuhan PDRB tertinggi di DIY. Sebaliknya, nilai realisasi
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
96
tertinggi Dana Keistimewaan yaitu Kota Yogyakarta memiliki nilai realisasi
belanja modal dan laju pertumbuhan PDRB lebih rendah daripada kabupaten
Sleman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan Dana
Keistimewaan belum tentu dapat meningkatkan realisasi belanja APBD.
Peningkatan belanja modal APBD kabupaten/kota di DIY disebabkan oleh adanya
peningkatan Dana Perimbangan dan Dana Desa
Penelitian Outer Model
Nilai indicator weight untuk IPM dan RPM signifikan atau kurang dari 5%, hal ini
menunjukkan model pengukuran untuk menguji konstruk dalam rangka
mengetahui kemampuan instrument mengukur apa yang seharusnya diukur
dengan menggunakan indicator weight adalah signifikan. IPM sebagai indikator
untuk mengukur variabel kesejahteraan masyarakat dan RPM sebagai indikator
untuk mengukur variabel kemiskinan ditunjukkan dengan hasil outer weight yang
hasilnya menunjukkan <0,001. Variabel dalam penelitian ini memiliki nilai
indicator weight untuk semua variabel yaitu variabel eksogen Dana Keistimewaan,
variabel endogen intervening belanja modal, pertumbuhan ekonomi, variabel
endogen kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM dan kemiskinan yang
diukur dengan RPM nilai signifikansinya <0,001.
Tabel 4.3
Indicator Weight Variabel Manifes
Indikator Nilai Indicator Weight Keterangan
IPM <0,001 Signifikan
RPM <0,001 Signifikan
Sumber: Data diolah
Penelitian Inner Model
Model struktural atau inner model pada penelitian akan disebut fit apabila p-value
dari ARS dan APC <5%, serta nilai AVIF <5. Model struktural atau inner model
pada kerangka konseptual akan dihitung Goodness of Fit Inner Model berdasarkan
nilai R2 masing-masing variabel endogen. Nilai R
2 variabel endogen pada
penelitian ini ditunjukkan pada tabel 4.4. Goodness of Fit Inner Model pada
analisis PLS menggunakan ukuran Stone-Geisser Q-Square Test yang berupa nilai
Q-Square predictive relevance dihitung berdasarkan nilai R2 masing-masing
variabel eksogen yaitu variabel belanja modal sebesar 0,12, pertumbuhan
ekonomi sebesar 0,57, dan kesejahteraan masyarakat sebesar 0,20. Dengan
demikian, nilai Q-Square predictive relevance sebesar:
Q2
= 1-(1-R12) (1-R2
2) (1-R3
2) (1-R4
2)
=1-(1-0,12)(1-0,57)(1-0,80)(1-0,91)
=1-(0,88)(0,43)(0,20)(0,09)
=1-0,0083952
= 0,9931888
Tabel 4.4
Nilai R2 Variabel Eksogen
Variabel Eksogen Nilai R2
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
97
Belanja Modal (R12) 0,12
Pertumbuhan Ekonomi (R22) 0,57
Kesejahteraan Masyarakat (R32) 0,80
Kemiskinan (R32) 0,91
Sumber: Data diolah
Tabel 4.5
Goodness of Fit Test
Hasil p-value Kriteria Keterangan
APC= 0,647 <0,001 <0,05 Diterima
ARS= 0,601 <0,001 <0,05 Diterima
AVIF= 1,000 <5, ideally <3 Diterima
Sumber: Data diolah
Pengujian Hipotesis
Gambar 4.1 Hasil Pengujian Hipotesis
Tabel 4.6
Hasil Pengujian Hipotesis
Hipotesis Koefisien Jalur p-value Prediksi Temuan Hipotesis
DKBM (H1) -0,34 0,06 + - Ditolak
DKPE (H2) 0,40 0,03 + + Diterima
BMPE (H3) 0,65 <0,01 + + Diterima
PEKM (H4) 0,89 <0,01 + + Diterima
PEMS (H5) -0,33 <0,01 - - Diterima
Sumber: Data diolah
1. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel Dana Keistimewaan tidak
berpengaruh terhadap belanja modal yang ditunjukkan dengan nilai p-value
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
98
sebesar 0,06 lebih besar dari tingkat signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05.
Dengan demikian, hipotesis H1 yang menyatakan bahwa Dana Keistimewaan
berpengaruh positif terhadap belanja modal APBD kabupaten/kota di DIY
ditolak. Hasil dari pengujian ini mendukung penelitian Larasati (2016),
Nuriyatman (2016), dan Kartika (2016) yang menyatakan penyerapan Dana
Keistimewaan belum optimal karena adanya kendala-kendala terhadap
penyerapan Dana Keistimewaan. Menurut Sakir dan Mutiarin (2015) kendala-
kendala tersebut berupa pelaksanaan kebijakan anggaran Dana Keistimewaan
yang masih memprioritaskan untuk urusan kebudayaan, yaitu tahun 2013
sebesar 91,89%, tahun 2014 sebesar 71,62% dan tahun 2015 sebesar 76,87%,
dimana Dana Keistimewaan yang digunakan untuk belanja modal sangatlah
rendah; dan kualitas belanja Dana Keistimewaan yang penyerapannya tidak
maksimal sejak tahun 2013 sampai tahun 2015, di tahun 2013 serapan
anggaran sebesar 23,58%, tahun 2014 sebesar 64,88% dan tahun 2015
sebesar 20,06% karena kurangnya SDM sebagai pelaksana dan pengelolaan
keuangan Dana Keistimewaan dan belum rincinya penerjemahan makna
keistimewaan sesuai Perdais.
2. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel Dana Keistimewaan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan
nilai p-value sebesar 0,03 lebih kecil dari tingkat signifikansi yang ditetapkan
yaitu 0,05 dan nilai koefisien jalur sebesar 0,40 yang memiliki angka positif.
Dengan demikian, hipotesis H2 yang menyatakan bahwa Dana Keistimewaan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di DIY
diterima. Hasil pengujian ini tidak mendukung penelitian Sakir dan Mutiarin
(2015) yang menyatakan bahwa Dana Keistimewaan belum optimal dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena belum semua pemangku
kepentingan memahami bahwa Program/Kegiatan Keistimewaan pada
dasarnya juga merupakan bagian dari Program Pembangunan, ketidakpastian
dan kekhawatiran dari pengguna anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) terkait pengadaan barang dan jasa, terutama bagi
Kabupaten/Kota, kepentingan Dana Keistimewaan belum memiliki
identifikasi output dan outcome secara jelas, sehingga belum
menggambarkan/mencerminkan perkembangan Dana Keistimewaan, persepsi
pemangku Dana Keistimewaan antara pemerintah pusat, Kasultanan,
Pakualaman, elit politik, masyarakat dan pemilik modal yang belum sama,
sejak tahun 2013 sampai tahun 2015 dampak adanya Dana Keistimewaan
belum dapat dinikmati oleh masyarakat secara maksimal, di tahun 2014
angka kemiskinan DIY paling tinggi di Jawa yaitu sebesar 14,55%. Kartika
(2016), menyatakan walaupun penyerapan Dana Keistimewaan kurang
optimal, namun pemerintah memiliki lima upaya dalam rangka optimalisasi
Dana Keistimewaan yaitu membatasi tugas dan fungsi, menyusun
perencanaan lebih awal, menyusun usulan rincian Perdais, menyesuaikan
KPA, dan mengajukan permohonan penyesuaian sesi atau termin, sehingga
alokasi Dana Keistimewaan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Fadlan (2016), pemberian keistimewaan kepada DIY dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena pemberian keistimewaan diikuti
dengan tambahan desentralisasi fiskal berupa Dana Keistimewaan. Dengan
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
99
demikian pengalokasian Dana Keistimewaan dapat dioptimalkan untuk
pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di DIY.
3. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel belanja modal berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan nilai p-value
<0,01 lebih kecil dari tingkat signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05 dan nilai
koefisien jalur sebesar 0,65 yang memiliki angka positif. Dengan demikian,
hipotesis H3 yang menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di DIY diterima. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian Kuncorojati (2015) yang menyatakan
belanja modal berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut Sumbayak et al. (2015), penting sekali adanya pertumbuhan PDRB
yang terus meningkat setiap tahun agar terjadi kemajuan perekonomian dan
pada akhirnya tercermin secara rill dalam pendapatan masyarakat (PDRB per
kapita). Dengan adanya peningkatan belanja modal maka diharapkan akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Sasana (2009), tambahan
desentralisasi fiskal berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Apabila
desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran /pembelanjaan publik, maka
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Menurut Asiri et al. (2016)
belanja modal secara umum dialokasikan untuk membangun sarana-prasarana
yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian serta
merangsang pihak swasta untuk berinvestasi. Alokasi belanja modal yang
digunakan untuk pembangunan dan perbaikkan infrastruktur dan fasilitas
publik dapat meningkatkan investasi berupa aset maupun dana segar.
Peningkatan investasi diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan
publik. Dengan adanya pembangunan oleh pemerintah dan tambahan
investasi tersebut, maka dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang optimal.
4. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan
dengan nilai p-value <0,01 lebih kecil dari tingkat signifikansi yang
ditetapkan yaitu 0,05 dan nilai koefisien jalur sebesar 0,89 yang memiliki
angka positif. Dengan demikian, hipotesis H4 yang menyatakan bahwa
belanja modal berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat
kabupaten/kota di DIY diterima. Hasil pengujian pada penelitian ini tidak
mendukung dari penelitian Kuncorojati (2014) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di DIY. Dilihat dari tabel 1.1, periode sesudah
penggunaan Dana Keistimewaan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang diukur dengan indikator IPM. Penelitian yang dilakukan Ranis (2004) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan meningkatkan alokasi
belanja rumah tangga untuk makanan yang bergizi dan pendidikan, sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Midgley dan Conley (2010)
menyatakan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wajib
menghasilkan perbaikkan dalam wujud nyata dari kesejahteraan masyarakat
dengan menitikberatkan pada peningkatan standar kehidupan, pendidikan dan
kesehatan. Hasil pengujian pada penelitian ini menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Hal ini berarti, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi
pula kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di DIY.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
100
5. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan yang ditunjukkan dengan nilai p-
value <0,01 lebih kecil dari tingkat signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05
dan nilai koefisien jalur sebesar -0,96 yang memiliki angka negatif. Dengan
demikian, hipotesis H5 yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif terhadap kemiskinan kabupaten/kota di DIY diterima.
Hasil pengujian pada penelitian ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Hal ini berarti semakin meningkat
pertumbuhan ekonomi maka semakin menurun angka kemiskinan di
kabupaten/kota di DIY. Hasil pengujian ini tidak mendukung hasil penelitian
Kuncorojati (2015) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Dilihat dari tabel 1.1, periode
sesudah penggunaan Dana Keistimewaan menurunkan angka keminskinan
yang diukur dengan indikator RPM. Sasana (2009) menyatakan bahwa,
menurunnya jumlah penduduk miskin merupakan efek dari meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. Menurut hasan dan Zikriah (2010), peningkatan
PDRB memberikan dampak terhadap jumlah penduduk miskin, peningkatan
PDRB mengindikasikan kemudahaan masyarakat untuk melakukan aktivitas
ekonomi maupun sosial kemasyarakatan.
Kesimpulan
1. Hasil pengujian yang disajikan pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa, variabel
Dana Keistimewaan tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Hal ini berarti,
semakin tinggi alokasi Dana Keistimewaan belum dapat meningkatkan
belanja modal APBD kabupaten/kota di DIY.
2. Hasil pengujian yang disajikan pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa, variabel
Dana Keistimewaan berpengaruh positif terhadap variabel pertumbuhan
ekonomi. Hal ini berarti, semakin tinggi alokasi Dana Keistimewaan, maka
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di DIY.
3. Hasil pengujian yang disajikan pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa, variabel
belanja modal APBD kabupaten/kota di DIY berpengaruh positif terhadap
variabel pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti, semakin tinggi belanja modal
APBD kabupaten/kota di DIY, maka dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota di DIY, karena belanja modal digunakan untuk
pembangunan dan perbaikkan infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik
yang dapat meningkatkan kegiatan perekonomian, sehingga memacu
meningkatnya pendapatan masyarakat.
4. Hasil pengujian yang disajikan pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa, variabel
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap variabel kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di DIY. Hal ini berarti, semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi, maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
kabupaten/kota di DIY.
5. Hasil pengujian yang disajikan pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa, variabel
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap variabel kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di DIY. Hal ini berarti, semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi, maka dapat menurunkan angka kemiskinan
kabupaten/kota di DIY.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
101
Saran
1. Penambahan indikator untuk mengukur Indeks Gini dan pengangguran yang
dapat memberikan penjelasan apakah Dana Keistimewaan dapat menurunkan
Indeks Gini maupun pengangguran kabupaten/kota di DIY.
2. Penggunaan variabel belanja modal khusus Dana Keistimewaan agar dapat
mengintepretasikan seberapa besar Dana Keistimewaan digunakan untuk
belanja modal.
3. Penambahan waktu penelitian untuk mengetahui perkembangan alokasi Dana
Keistimewaan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, penrunan kemiskinan, penurunan pengangguran
dan perbaikkan nilai Indeks Gini.
DAFTAR PUSTAKA
Asiri, A. A. A, et al. 2016. Pengaruh Belanja Modal dan Investasi Swasta
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kesempatan Kerja di
Provinsi Sulawesi Utara Periode 2003-2013. Jurnal Berkala Ilmiah
Efisiensi, Vol. 16, No. 03.
[BPS] Badan Pusat Statistik Yogyakarta. (Online). https://yogyakarta.bps.go.id/
(diakses 2 Oktober 2017)
Badrudin, Rudy. 2017. Ekonomika Otonomi Daerah. Edisi Kedua. Yogyakarta:
UPP-STIM YKPN.
Fadlan, Herlambang. 2016. Kebijakan Mengenai Ketidakpastian Besaran
Prosentase Dana Keistimewaan Bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ghozali, Imam. 2014. Partial Least Square Konsep, Metode dan Aplikasi:
Menggunakan Program WarpPLS 4.0. Semarang: Badan Penerbit-Undip.
Halim, Abdul dan Abdullah, Syukiriy. 2006. Studi atas Belanja Modal pada
Anggaran Pemerintah Daerah dan Hubungannya dengan Belanja
Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintahan
ISSN: 0216-8642, Vol. 2, No 2.
Hasan, T. I. B dan Zikriah.2010. Pengaruh Belanja Modal Pemerintah dan
Produk Domestik Bruto terhadap Penduduk Miskin di Aceh. Jurnal SAINS
Riset Vol. 1, No 13.
Jensen, M.C dan Meckling, W.H. 1976. The Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure. Journal of Finance ial
Economics, Page 305-365
Kartika, Dewi. 2016. Analisis Kesiapan Pengelolaan Dana Keistimewaan daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun Anggaran 2013. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Larasati, H. Nadia. 2016. Implementasi Dana Keistimewaan Periode Tahun
2013-2015 di Biro Hukum Sekretariat Daerah daerah Istimewa
Yogyakarta (Setda DIY). Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Penerbit ANDI
Midgley, J. and Conley, A, (Eds.), (2010). Social Work and Social Development:
Theories and Skills for Developmental Social Work. Oxford :University
Press.
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id
102
Nuriyatman, Eko. 2016. Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012
Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pasca
Sarjana Hukum UNS, Vol. IV, No. 2.
Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengisian
Jabatan, Pelantikan, Gubernur dan wakil Gubernur, pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur
Peraturan Daerah Istimewa Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kelembagaan
Pemerintah daerah daerah Istimewa Yogyakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 25 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.07/2015 tentang Tata cara
Pengalokasian dan Penyaluran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta
Pradhani, S. I. 2016. Pengaturan Pengelolaan Keuangan Urusan Kebudayaan
Sebagai Urusan Pemerintahan Konkuren dan Urusan Keistimewaan di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Ranis, Gustav.2004. Human Development and Economic Growth. Working
Papers 887. Ekconomic Growth Center. New Haven: Yale University.
Sakir dan Mutiarin, Dyah. 2015. Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Kebijakan
Publik, Vol. 2, No. 3.
Sasana, Hadi. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Vol. 10, No. 1, Hal. 103-124.
Sumbayak, D. J, et al. 2015. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan. Vibiz Regional Reasearch
Center. Jakarta: FE UI
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1998.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan daerah istimewa
Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
PLAGIASI MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
repository.stieykpn.ac.id