Post on 16-Oct-2021
PENDIDIKAN INKLUSI
LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF DAN IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH
Disusun oleh :
Nurul Azizah (K2319066)
Rijal Fadil S (K2319070)
Tiara Tasya Royani (K2319083)
Yolanda Farra Alista (K2319087)
Hani Nur’aini Rahmawati (K2320104)
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Dasar Teori
Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah
yang dikumandangkan oleh UNESCO. Istilah pendidikan inklusi berasal dari istilah
Education for All yang artinya pendidikan yang ramah untuk semua, dengan
pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali.
Dengan demikian, maka dapat disumpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-
sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon Shevin dalam
O’Neil, 1994). Pendidikan inklusif merupakan konsep ideal yang memberikan
kesempatan dan peluang sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk
mendapatkan haknya sebagai warga negara (Ilahi, 2013).
1. Tunagrahita (Mental Retardation)
Anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru
antara lain 4 anak tunagrahita (mental retardation). Ada beberapa definisi dari
tunagrahita, antara lain:
a) American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM,
mendefinisikan retardasi mental/ tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi
intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan
tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan
dalam perilaku adaptif.
b) Japan League for Mentally Retarded dalam B3PTKSM, mendefinisikan retardasi
mental/ tunagrahita ialah fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah
berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan dalam perilaku adaptif; dan terjadi pada
masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
c) The New Zealand Society for the Intellectually Handicapped menyatakan tentang
tunagrahita adalah bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila kecerdasannya
jelas- jelas di bawah rata-rata dan berlangsung pada masa perkembangan serta
terhambat dalam adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan sosialnya.
2. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengen- dalikan
emosi dan kontrol sosial. Idividu tunalaras biasanya menunjukan perilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya.
Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh
dari lingkungan sekitar. Menurut Eli M. Bower, anak dengan hambatan emosional
atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima
komponen berikut:
a) Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau
kesehatan.
b) Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan
guru-guru.
c) Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
d) Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak
menggembirakan atau depresi.
e) Bertendensi ke rah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan berkaitan
dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku juga bisa
diidentifikasi melalui indikasi berikut:
Bersikap membangkang,
Mudah terangsang emosinya,
Sering melakukan tindakan aggresif,
Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
3. Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik
permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat
gangguan pendengaran adalah:
Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).
4. Tunanetra (Partially seing and legally blind)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan
low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang
memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah
dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan
dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang
lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus
diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media
yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan
tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang
bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
5. Tunadaksa (physical disability)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan
oleh kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau
akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu
memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat
yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol
gerakan fisik.
6. Tunaganda (Multiple handicapped)
Menurut Johnston & Magrab, tunaganda adalah mereka yang mempunyai
kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan
perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan
dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di
masyarakat. Walker berpendapat mengenai tunaganda sebagai berikut:
a. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan
pendidikan khusus.
b. Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi.
c. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi khusus.
7. Kesulitan Belajar (Learning disabilities)
Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada
satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan
berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi,
brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu
kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan
motoric persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan
ruang dan keterlambatan perkembangan konsep. Berikut adalah karakteristik anak
yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca, menulis dan berhitung :
Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
Kalau membaca sering banyak kesalahan
Nilai standarnya 3.
Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6
dengan 9, dan sebagainya,
Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
Tulisannya banyak salah atau terbalik atau huruf hilang,
Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
Nilai standarnya 4.
Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
Sulit mengoperasikan hitungan atau bilangan,
Sering salah membilang dengan urut,
Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5,
dengan 8, dan sebagainya,
Sulit membedakan bangun-bangun geometri. Nilai standarnya 4.
8. Anak Berbakat (Giftedness and special talents)
Menurut Milgram, R.M(1991:10), anak berbakat adalah mereka yang
mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet
(Terman), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford), kemampuan memimpin dan
kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa (Marlan). Anak berbakat
mempunyai empat kategori, sebagai berikut:
Mempunyai kemampuan intelektual atau intelegensi yang menyeluruh,
mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan
masalah secara sistematis dan masuk akal.
Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang berbeda
dalam matematika, bahasa asing, musik, atau ilmu pengetahuan alam.
Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Pada umumnya mampu
berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak umum dan memerlukan
pemikiran tinggi.
Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil dan berbeda dengan yang
lain.
9. Anak Autistik
Autism Syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada
ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala
autism menurut Delay & Deinaker dan Marholin & Philips antara lain:
Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh,
muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
Selalu diam sepanjang waktu.
Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada
monoton, kemudian dengan suara yang aneh akan menceritakan dirinya
dengan beberapa kata kemudian diam menyendiri lagi.
Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut dan tidak menyenangi
sekelilingnya.
Tidak tampak ceria.
Tidak peduli terhadap lingkungannya, kecuali terhadap benda yang
disukainya.
Secara umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi
saraf dan intelektual, Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan
perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
10. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive)
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw
& Perret, 1986:261).symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor brain damage, an
emotional disturbance, a hearing deficit or mental retardaction. Dewasa ini banyak
kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit
disorder (ADHD).
B. Landasan Pendidikan Inklusi
Pelaksanaan pendidikan inklusif didasari oleh beberapa landasan. Landasan tersebut,
antara lain sebagai berikut. Menurut Herawati (2016), landasan pendidikan inklusif
adalah sebagai berikut.
1. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambing negara Burung
Garuda yang berartui “Bhinneka Tunggal Ika”. Keragaman dalam etnik, adat
istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
b. Pandangan agama, khususnya Islam yang menegaskan bahwa:
(1) Manusia dilahirkan dalam keadaan suci,
(2) Kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik, tetapi taqwanya,
(3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri,
(4) Manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif).
c. Pandangan universal hak asasi manusia yang menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
Secara yuridis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2)
Ayat (1) berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Ayat (2), berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”.
b. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 48 dan Pasal 49
Pasal 48 : “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
tahun untuk semua anak”.
Pasal 49 : “Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
c. UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 5
– Ayat (1) : “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan bermutu”.
– Ayat (2) : “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.
– Ayat (3) : “Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus”.
– Ayat (4) : “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Pasal 11
– Ayat (1) : “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
– Ayat (2) : “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Pasal 12 ayat (1)
– (1b) : “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dngan bakat, minat dan
kemampuannya”.
– (1e) : “Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada
jalur dan satuan pendidikan lain yang setara”.
Pasal 32
– Ayat (1) : “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa”.
– Ayat (2) : “Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah teerpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan
/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi
ekonomi”.
Pasal 15 alinea terakhir : “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah”.
Pasal 45 ayat (1) : “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
d. Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan
Pasal 2 ayat (1) : “Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan,
standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan”.
Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus
terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.
e. Surat Edaran (SE) Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003
Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif : Menyelenggarakan dan
mengembangkan di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang
terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.
3. Landasan Empiris
Secara empiris, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948.
b. Konvensi Hak Anak, 1989.
c. Konferensi Dunia Tentang Pendidikan Untuk Semua, 1990.
d. Resolusi PBB Nomor 48/49 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi
Orang Berkelainan.
e. Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi, 1994.
f. Komitment Dakar Mengenai Pendidikan Untuk Semua, 2000.
g. Deklarasi Bandung (2004) Dengan Komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif”.
h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah
terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
(1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh
yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar
untuk semua.
(2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai
bagian dari program- program untuk perkembanganusia dini anak, pra sekolah
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih
rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi.
(3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Menurut Wathoni (2013), landasan pendidikan inklusif adalah sebagai berikut.
1. Landasan Yuridis
Secara yuridis, penyelenggaraan pendidikan inklusif berdasarkan atas:
a. UUD 1945.
b. UU No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
c. UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
d. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
e. UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
f. Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
g. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No.380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003
Perihal Pendidikan Inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap
kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA,
dan SMK.
2. Landasan Empiris
Secara empiris, penyelenggaraan pendidikan inklusif berdasarkan atas:
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights).
b. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention of Thr Rights of Children).
c. Konferensi Dunia Tentang Pendidikan Untuk Semua, 1990 (World Conference on
Education for All).
d. Resolusi PBB No.48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang
Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunitites for
Person With Dissabilities).
e. Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (Salamanca Statement
on Inclusive Education)
f. Komitmen Dakar Mengenai Pendidikan Untuk Semua, 2000 (The Dakar
Commitment on Education for All).
g. Deklarasi Bandung, 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif”.
C. Tujuan Pendidikan Inklusi
1. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan
pendidikan layak sesuai kebutuhannya,
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar,
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan
angka tinggal kelas dan putus sekolah, dan
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
BAB II
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA
Implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang
mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya
implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang sangat penting. Dimana para
pelaksana kebijakan dapat mengetahui apakah program yang dibuat berhasil/tidak
dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Keberadaan Permendiknas tentang Pendidikan Inklusif tidak hanya
memperkaya wacana baru, tapi sekaligus menjadi petunjuk teknis operasional bagi
pengelola sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Hal itu
menunjukkan adanya peran pemerintah dalam penyelenggaraannya sehingga
tanggung jawab tidak semata-mata dibebankan pada sekolah penyelenggara, karena
peraturan menteri tersebut mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menunjuk minimal
satu SD dan SMP di tingkat kecamatan dan satu SMA di tingkat kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota juga wajib menjamin terselenggaranya pendidikan
inklusif serta tersedia sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang
ditunjuk, melalui peningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi
pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif. Meskipun demikian, secara makro implementasi pendidikan inklusif di
Indonesia dapat dikatakan belum optimal. Hal itu berkaitan dengan berbagai
permasalahan seperti banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum mendapat
hak pendidikan, sumber daya guru dan persoalan kurikulum serta persepsi
masyarakat.
Masih Banyak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang Belum
Memperoleh Hak Pendidikan.
Permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM) Guru.
Permasalahan Kurikulum
Persepsi Masyarakat yang Kurang Mendukung Pendidikan Inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan paradikma baru yang bertujuan untuk
pemenuhan hak azasi manusia atas pendidikan tanpa adanya diskriminasi, dengan
memberi kesempatan pendidikan yang berkualitas kepada semua anak tanpa
perkecualian, sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk secara
aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama. Pada
umumnya sistem Pembelajaran pendidikan inklusif di jenjang Sekolah Dasar dan
Sekolah menengah menerapkan pendekatan model inklusif (full inclusive), dimana
peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya dalam kelas yang sama. Kurikulum yang digunakan yaitu Kurikulum
modifikasi, yang merupakan hasil dari penyesuaian kurikulum standar satuan
pendidikan dengan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik
berkebutuhan khusus membutuhkan modifikasi kurikulum yang disesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan kondisi khusus yang dimilikinya.
Ada 3 jenis kurikulum yang diterapkan di system Pendidikan inklusi di
Indonesia yaitu kurikulum standar nasional, kurilulum akomodasi di atas standar
nasional dan kurikulum akomodatif dibawah standar nasional. Kurikulum standar
nasional adalah kurikulum yang diterapkan di sluruh sekolah inklusif di Indonesia.
Sedangkan kurikulum akomodasi adalah kurikulum yang sudah disesuaikan dengan
bakat dan minat dari peserta didik. Kurikulum akomodatif dapat memiliki bobo diatas
atau dibawah dari kurikulum standar nasional. Penerapan kurikulum akomodatif
menggunakan penyelarasan berbentuk ekskalasi yang nantinya membuat peserta didik
dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran yang selaras dengan peserta regular. Pada
pengelolaan kelasnya terdapat 3 kelas regular umu yang menerapkan kurikulum
standar nasional, sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dirasa dapat mengikuti
peserta didik regular. Ruang kelas regular dengan GPK yang menerapkan standar
kurikulum nasional namun siswa berkebutuhan khusus mendapatkan bantuan bagi
GPK. Serta, kelas khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang dipisah
dengan siswa regular sehingga peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan
bimbingan secara maksimal.
Dalam sekolah inklusi jug ahrus memenuhi fasilitas yang memadai bagi ABK.
setiap bagunan fasilitas umum harus memenuhi standar aksesibilitas untuk anak
berkebutuhan khusus. Seperti halnya fasilitas umum lain, sekolah inklusi juga
memiliki kewajiban menciptakan layanan di setiap gedung agar ramah terhadap
peserta didik berkebutuhan khusus. Adapun aksesibilitas gedung harus meliputi empat
unsur fasilitas dan aksesibilitas yaitu keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan
kemandirian.
BAB III
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI DI SMA
A. SMAN 1 WANADADI (RIJAL FADIL)
SMAN 1 Wanadadi merupakan sekolah yang mendapatkan SK dari
kementrian Pendidikan sebagai sekolah inklusi. Dari wawancara saya dengan salah
satu guru mata pelajaran yang ada di SMAN 1 Wanadadi mereka sudah menerima
siswa inklusi sejak lama. Fasilitas yang diberikan sudah memenuhi untuk ABK.
Namun, mereka belum menerima ABK dengan gejala autis karena belum ada tenaga
pendidik yang mumpuni.
Siswa yang inklusi yang di terima di SMA N 1 Wanadadi adalah siswa yang
memiliki keterbatasan fisika seperti tunanetra, cacat dll. Kurikulum yang digunakan di
SMA N 1 Wanadadi menggunakan kurikulum standar nasional jadi perlakuan yang
diberikan antara ABK dengan regular sama. Namun, guru-guru di SMA N 1
Wanadadi memberikan keringanan kepada ABK untuk bertanya diluar jam pelajaran
agar mendapatkan penjelasan yang lebih. Kebanyakan siswa yang masuk SMA N 1
Wanadadi adalah siswa yang tidak mau masuk ke SLB dan lebih memilih sekolah
regular.
Siswa ABK yang ada di SMA N 1 Wanadadi juga sarat akan prestasi.
Contohnya siswa bernama Novi yang berhasil menjuarai kompetisi OSN Matematika
khusus siiswa berkebutuhan khusus tingkat Nasional. Tidak tanggung-tanggung dia
menyabet juara satu. Dan dia berkuliah sebagai kakak tingkat kita di UNS Jurusan
PLB atas rekomendasi gubernur dan sudah lulus tahun 2020.
B. SMAN 1 GROBOGAN (YOLANDA FARRA)
Menurut hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap salah satu guru yang
mengajar di SMA Negeri 1 Grobogan melalui telfon whatsapp, saya mendapat
informasi bahwa SMA Negeri 1 Grobogan memiliki kemungkinan untuk menerima
anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didiknya. Sejauh ini, belum ada ABK yang
mendaftarkan dirinya sebagai peserta didik di SMA Negeri 1 Grobogan. Menurut
penjelasan guru, pihak sekolah akan memberikan perlakuan khusus jika terdapat ABK
yang menjadi peserta didik. Pihak sekolah akan memperlakukan peserta didik
sebagaimana mestinya sesuai dengan kelainan yang dimilikinya. Jika kelainannya
ringan, maka perlakuan khusus pun tidak terlalu ketara. Berbeda halnya jika
kelainannya berat, maka perlakuan khusus yang diberikan oleh pihak sekolah akan
semakin ketara atau terlihat. Selain perlakuan khusus, pihak sekolah juga akan
mengupayakan kepada peserta didik lain agar memandang ABK seperti teman yang
lainnya. Dalam hal ini, pihak sekolah berharap agar ABK tidak dianggap remeh atau
aneh di mata peserta didik lain dan sebisa mungkin ABK ini dijadikan teman baik
oleh peserta didik yang lainnya.
Kegiatan pembelajaran yang diterapkan untuk ABK akan menyesuaikan
kondisi ABK tersebut. Terkait sarana dan prasarana sendiri, SMA Negeri 1 Grobogan
belum memiliki sarana prasarana apapun untuk peserta didik ABK. Hal ini
dikarenakan belum adanya ABK yang mendaftarkan diri sebagai peserta didik di
SMA Negeri 1 Grobogan. Apabila ada ABK yang mendaftarkan dirinya, maka pihak
sekolah akan mengupayakan pemenuhan sarana dan prasarana bagi ABK tersebut.
Terkait guru khusus untuk mendampingi ABK, SMA Negeri 1 Grobogan
belum menyediakan guru pendamping khusus dan belum bekerja sama dengan pihak
lain, baik dengan guru mata pelajaran maupun pihak di luar sekolahan yang ahli
dalam menangani ABK. Hal ini dikarenakan belum adanya ABK yang mendaftarkan
diri sebagai peserta didik di SMA Negeri 1 Grobogan. Apabila ada ABK yang
mendaftarkan dirinya, maka pihak sekolah akan mengupayakan kerja sama dengan
pihak-pihak yang diperlukan dalam mendampingi ABK tersebut.
C. SMAN 1 AJIBARANG (TIARA TASYA)
SMA Negeri 1 Ajibarang merupakan salah satu SMA negeri diKkabupaten
Banyumas yang terletak di bagian barat Kabupaten Banyumas. Menurut hasil
wawancara saya melalui chat whatsapp, saya mendapat informasi bahwa SMA
menerima anak berkebutuhan khusus, terakhir anak berkebutuhan khusus di fisik yang
mendaftar adalah angkatan 2021 namun tidak terlalu berpengaruh besar pada kegiatan
belalajar mengajar sehingga dari pihak sekolah tidak ada perlakuan khusus untuk anak
tersebut saat kegiatan belajar berlangsung. Perlakuan khusus yang diberikan sekolah
yaitu dalam bentuk anak meminta izin untuk melakukan checkup secara rutin ke
rumah sakit, perlakuan lain yang dilakukan guru mata pelajaran dan guru bk yaitu
dengan memberikan pengertian kepada teman angkatannya dan teman sekelasnya
agar tidak memandang aneh siswa tersebut karena secara IQ atau kecerdasan anak
tersebut dikategorikan bagus.
Anak berkebutuhan khusus seperti tunarungu dan tunanetra sejauh ini belum
ada yang mendaftarkan diri di SMA ini. Kurikulum yang digunakan untuk anak
berkebutuhan khusus akan menyesuaikan dengan abk tersebut, dari segi fasilitas SMA
bisa dikatakan kurang untuk penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan
sehingga SMA akan menyesuaikan dengan abk yang mendaftarkan dirinya di SMA
ini karena selama ini SMA belum menyediakan fasilitas khusus anak tunanetra
maupun tunarungu.
Terkait guru pendamping yang dikhususkan untuk abk di SMA ini belum
menyediakan guru pendamping khusus dan belum bekerjasama baik dengan guru
mata pelajaran maupun orang luar SMA yang ahli menangani abk. Jenis anak
berkebutuhan khusus yang diterima di SMA ini belum pasti karena yang dapat
memutuskan adalah pihak sekolah.
Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan informasi-informasi terkait
kelas inklusif untuk anak berkebutuhan khusus di SMA Negeri Ajibarang yaitu
dengan teknik wawancara melalui media online chat whatsapp sebagai
narasumbernya adalah guru bimbingan dan konseling.
D. SMAN 113 JAKARTA TIMUR (HANI NUR’AINI)
SMA Negeri 113 merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas di DKI
Jakarta, atau lebih tepatnya di Jakarta Timur. Menurut hasil wawancara saya melalui
aplikasi Whatsapp, saya mendapatkan informasi bahwa di SMAN 113 ini menerima
anak berkebutuhan khusus sesuai juknis PPDB DKI Jakarta. Sekitar 4 tahun lalu
SMAN 113 pertama kali menerima siswa berkebutuhan khusus yang berjumlah tiga
orang siswa yang saat ini siswa tersebut sudah lulus. Selanjutnya pada tahun ajaran
2020-2021 terdapat satu orang yang saat ini kelas X IPS. Untuk jenis siswa yang
diterima di SMAN 113 hingga saat ini hanya anak dengan kemampuan IQ nya rendah
dengan psikis yang sehat. Sehingga tidak adanya fasilitas khusus yang digunakan,
karena siswa tersebut secara fisik tidak ada masalah. Namun, tidak menutup
kemungkinan bahwa siswa dengan jenis berkebutuhan yang lain dapat diterima di
SMAN 113 ini.
Kurikulum yang berlaku untuk anak berkebutuhan khusus sama dengan
kurikulum yang digunakan saat ini yaitu kurikulum 2013 (K-13). Di SMAN 113
untuk pelatihan anak berkebutuhan khusus hanya ada pada guru BK yang pernah
menerima pelatihan dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Dalam proses
belajar mengajar semua siswa diperlakukan sama namun untuk penilaian berbeda.
Hasil kerja untuk anak berkebutuhan khusus di SMAN 113 dianggap tuntas dalam
proses belajar mereka. Keluhan untuk anak berkebutuhan khusus pasti ada saja,
namun tetap pada profesinya dimana seorang guru tetap harus mendidik seluruh
siswanya.
Dan terkait guru pendamping yang dikhususkan untuk anak berkebutuhan
khusus di SMA ini juga sama seperti teman-teman yang lain, di SMAN 113 ini masih
belum menyediakan guru pendamping khusus dan belum bekerjasama baik dengan
guru mata pelajaran maupun orang luar SMA yang ahli menangani anak berkebutuhan
khusus.
E. SMA IT Al Huda Wonogiri (NURUL A)
Menurut hasil wawancara saya melalui aplikasi Whatsapp, saya mendapatkan
informasi bahwa di sekolah ini belum pernah menerima siswa berkebutuhan khusus.
Karena sekolah ini juga baru didirikan pada tahun 2015, sehingga pada perencanaan
pendidikan inklusif di sekolah tersebut masih belum bisa dipastikan. Tetapi
penerimaan siswa berkebutuhan khusus kemungkinan bisa terjadi pada sekolah ini,
hanya saja memang untuk kurikulum yang diterapkan sama dengan siswa yang lain
(pada normalnya). Hanya saja besar peran guru BK dalam pelatihan dalam menangani
siswa berkebutuhan khusus. Dalam proses belajar mengajar semua siswa diperlakukan
sama namun untuk penilaian berbeda.
LAMPIRAN
Nama : Hani Nuraini R
Asal : Jakarta
Asal Sekolah: SMA 113 Jakarta
Identitas Sekolah
Nama Sekolah : SMA N 113 Jakarta
NPSN : 20103286
Alamat : Jl. Al Baidho 1 Monumen Pancasila Sakti, Cipayung, Jakarta Timur, 13810
Status Sekolah : Negeri
Waktu Penyelenggaraan : Sehari Penuh/5hari
Jenjang Pendidikan : SMA
Kurikulum : 2013
Bukti wawancara, guru Mapelnya ibu saya.
Nama : Rijal Fadil Sumartoyo
Asal : Banjarnegara
Sekolah: SMA N 1 Wanadadi Banjarnegara
Identitas Sekolah
Nama Sekolah : SMA N 1 Wanadadi
NPSN : 20303946
Alamat : Jl. Raya Tapen-Wanadadi, Rakit, Banjarnegara, 53462
Status Sekolah : Negeri
Waktu penyelenggaraan : Sehari Penuh/ 5 hari kerja
Jenjang Pendidikan : SMA
Kurikulum : 2013
Nama : Yolanda Farra Alista
Asal : Grobogan
Asal Sekolah: SMAN 1 Grobogan
Identitas Sekolah SMA Negeri 1 Grobogan
Nama : SMA Negeri 1 Grobogan
Tahun Berdiri : 1976
NPSN : 20313850
Akreditasi : A
Alamat : Jl. Pangeran Puger No.23 Grobogan
Kode Pos : 58152
Desa/Kelurahan : Grobogan
Kecamatan : Kec. Grobogan
Kabupaten : Kab. Grobogan
Provinsi : Jawa Tengah
Status Sekolah : Negeri
Waktu Penyelenggaraan : Sehari penuh/5 hari
Kurikulum : Kurikulum 2013
Jenjang Pendidikan : SMA
Nama : Nurul Azizah
Asal : Wonogiri
Asal Sekolah: SMA IT Al Huda Wonogiri
Nama : Tiara Tasya Royani
Asal : Banyumas
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Ajibarang
Identitas Sekolah
Nama :SMA Negeri 1 Ajibarang
NPSN : 20302170
Alamat : Jln Raya Pancurendang, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah
Kode Pos : 53163
Status Sekolah : Negeri
Waktu Penyelenggaraan : Sehari Penuh/5 hari
Jenjang Pendidikan : SMA
Kurikulum : 2013
DAFTAR PUSTAKA
O’Neil, J. (1994). Can inclusion work: A Conversation With James Kauffman and Mara
Sapon-Shevin. Educational Leadership. 52(4), 7-11.
Ilahi, M.T. (2013). Pendidikan Inklusif, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Herawati, N.I. (2016). Pendidikan Inklusif. Jurnal Pendidikan Kampus Cibiru. 2(1).
Diperoleh pada 06 Mei 2021 dari
https://ejournal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/view/2755
Wathoni, K. (2013). Implementasi Pendidikan Inklusi dalam Pendidikan Islam. Ta’allum :
Jurnal Pendidikan Islam. 1(1), 99-109. Diperoleh pada 06 Mei 2021 dari
http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/taalum/article/view/548
Dermawan, Oki.(2013).Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus di
SLB.Jurnal Ilmiah Pxikolog;Lampung. (Vol 6 No.2 Hal 886-897)
Handayani, Titik & Rahadian, Angga Sisca. (2013). Peraturan Perundangan Dan
Implementasi Pendidikan Inklusif. Masyarakat Indonesia, 39(1): 27-48.
Sudarto, Zaini. (2016). Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jurnal
Pendidikan, 1 (1): 89-97.
Firdaus, Endis. (2010). Pendidikan Inklusif Dan Implementasinya Di Indonesia. Diperoleh 7
Mei 2021 pada http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195703031988031-
ENDIS_FIRDAUS/Makalah_pro_internet/1nkls_Seminar.pdf
Irvan, Muchamad & Jauhari, Muhammad Nurrochman. 2018. Implementasi Pendidikan
Inklusif Sebagai Perubahan Paradigma Pendidikan Di Indonesia Diperoleh pada 7 Mei
2021
https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr9BNdPqZZg71AANAJXNyoA;_ylu=Y29sbwNnc
TEEcG9zAzEEdnRpZANBMDYxNV8xBHNlYwNzcg--
/RV=2/RE=1620515279/RO=10/RU=https%3a%2f%2fwww.researchgate.net%2fpubli
cation%2f336845472_IMPLEMENTASI_PENDIDIKAN_INKLUSIF_SEBAGAI_PE
RUBAHAN_PARADIGMA_PENDIDIKAN_DI_INDONESIA/RK=2/RS=8zK54XD
DkXMFMS96XNOUHDxszNg-