Post on 01-Apr-2019
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia yang mempunyai peran sebagai makhluk sosial. Untuk berkomunikasi,
dibutuhkan alat berupa bahasa untuk menyampaikan pesan, keinginan, harapan,
perasaan, permohonan, perintah dan sebagainya. Untuk mengetahui pesan atau
maksud dalam bahasa dibutuhkan ilmu pragmatik. Ilmu pragmatik adalah studi
tentang maksud penutur bahasa yang dihubungkan dengan konteks (Yule, 2006:3).
Keinginan, harapan, perasaan, permohonan, larangan dan perintah merupakan bagian
dari ilmu pragmatik yang disebut tindak tutur, yaitu tindakan-tindakan yang
ditampilkan lewat tuturan (Yule, 2006:82). Dari beberapa jenis tindak tutur, tindak
tutur direktif merupakan tindak tutur yang sering digunakan dalam berkomunikasi.
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang digunakan penutur untuk
mengekspresikan maksud penutur yang dijadikan alasan bagi petutur untuk bertindak
(Bach dan Harnish, 1979:47). Tindak tutur direktif mempunyai beberapa maksud,
yaitu perintah, larangan, nasehat, permohonan, permintaan, berdoa, dan lain-lain.
Bahasa Arab merupakan bahasa asing yang banyak dipakai dan diserap ke
dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut tidaklah mengherankan, karena mayoritas
bangsa Indonesia beragama Islam yang berasal dari negara Arab, sehingga bahasa
Arab merupakan bahasa Agama Islam. Banyak kegiatan ibadah yang mengharuskan
pelaksananya untuk memakai bahasa Arab, contohnya ketika melakukan shalat,
2
berdo’a, menunaikan ibadah haji dan sebagainya, pelaksanaannya harus menuturkan
kalimat-kalimat berbahasa Arab. Selain itu, bahasa Arab juga merupakan bahasa al-
Qur’an dan Hadis yang menjadi pedoman umat Islam. Hal itu membuat pemeluk
agama Islam banyak yang belajar bahasa Arab. Karena itulah, penting melakukan
penelitian tentang bahasa Arab ini.
Umat Islam mempunyai dua pedoman hidup yang keduanya berbahasa Arab,
yaitu al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, sedangkan Hadis adalah perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang membawa
ajaran Islam untuk disampaikan kepada manusia. Hadis dibagi menjadi tiga sesuai
bentuknya, yaitu hadis qauliy yang berupa tuturan, hadis fi’liy yang berupa perbuatan,
dan hadis taqririy yang berupa ketetapan. Diantara ketiga bentuk hadis tersebut, hadis
qauliy yang berupa tuturan Nabi Muhammad merupakan hadis yang mempunyai
kedudukan paling kuat daripada bentuk hadis lainnya. Tuturan dalam hadis itu berisi
ajaran yang sebagian besar berbentuk tindak tutur Direktif yang berupa nasehat,
permintaan, doa, perintah, dan larangan. Selain tindak tutur direktif, tuturan dalam
hadis juga menggunakan bentuk lain seperti tindak tutur asertif, tindak tutur
ekspresif, tindak tutur deklarasi dan tindak tutur komisif. Karena penggunaan tindak
tutur direktif banyak digunakan dalam hadis, maka menarik untuk diteliti. Penelitian
akan difokuskan lagi pada tindak tutur direktif yang berupa perintah dan larangan
karena dua tindak tutur tersebut menjadi dominan dalam hadis.
3
Agar perintah dan larangan yang disampaikan itu diterima dengan baik,
tentunya Nabi Muhammad menggunakan bentuk dan strategi tertentu dalam
tuturannya yang patut untuk diketahui. Kesuksesan strategi tersebut sudah terbukti
dengan menyebarnya Islam ke seluruh dunia. Hal itulah yang membuat penelitian
tentang hadis dari segi tindak tutur yang berupa perintah dan larangan menarik untuk
dilakukan, sehingga dapat diketahui karakteristik tuturan Nabi Muhammad.
Dalam Hadis, banyak tuturan yang mengandung perintah dan larangan dengan
berbagai variasi cara penyampaian, sehingga ditemukan berbagai bentuk dan strategi
tindak tutur perintah dan larangan. Contoh tuturan dalam Hadis yang mengandung
perintah dan larangan adalah sebagai berikut.
(1) ارم سعد فداك أيب و أميIrmi sa’ad fadaka abi wa ummi
‘Panahlah sa’ad, tebusanmu adalah ayah dan ibuku’
(Hadis ke-85, hal: 372)
Konteks: tuturan Rasulullah kepada sa’ad ketika melihat ada seorang laki-
laki musyrik yang membakar amarah orang Islam dalam perang Uhud.
(2) اللحد لنا و الشق لغريناAl-lahdu lana wasy-syaqqu ligairina
‘Lahad untuk kita dan syaq untuk selain kita’
(Hadis ke-24, hal: 194)
Konteks: tuturan Rasulullah kepada para sahabatnya ketika akan
menguburkan seseorang yang baru saja masuk Islam.
(3) ال جتمعوا بني الرطب و البسر و بني الزبيب و التمر نبيذاLa tajma‘u bainar-rutabi wal-busri wa bainaz-zabibi wat-tamri nabizan
4
‘Janganlah kalian mengumpulkan antara kurma matang dengan kurma
yang belum matang dan antara anggur kering dengan kurma kering
sebagai minuman’
(Hadis ke-50, hal: 276)
Konteks: tuturan nabi kepada orang-orang yang sedang bersamanya
karena ada seorang laki-laki yang mabuk karena minum campuran kurma
dan anggur.
(4) من حيرم الرفق حيرم اخلريMan yuharrimur-rifqa yuharrimul-khaira
‘Barangsiapa mengharamkan kelembutan maka dia mengharamkan
kebaikan’
(Hadis ke-64, hal: 320)
Konteks: tuturan Rasulullah kepada ‘Aisyah ketika ‘Aisyah memaki-maki
unta yang dinaikinya karena sulit dikendarai.
Pada contoh (1), tuturan tersebut dituturkan oleh Nabi Muhammad kepada
Sa’ad bin Abi Waqas. Tuturan tersebut adalah tuturan yang berbentuk kalimat
imperatif yang ditandai oleh fi’il Amr ‘irmi’ yang bermaksud memerintahkan Sa’ad
untuk memanah laki-laki musyrik yang sedang membakar amarah muslimin. Adapun
contoh (2), dituturkan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat yang akan
mengubur orang yang baru masuk Islam. Tuturan tersebut berbentuk kalimat
deklaratif yang bermaksud perintah untuk membuatkan lahad untuk mengubur mayat
orang yang baru masuk Islam. Pada contoh (3), tuturan tersebut dituturkan kepada
orang-orang yang sedang bersamanya. Tuturan itu berbentuk kalimat imperatif yang
ditandai dengan la an-nahiyah la tajma‘u yang bermaksud larangan untuk mencampur
kurma matang dengan kurma yang belum matang dan mencampur anggur kering
5
dengan kurma kering. pada. Pada contoh (4),tuturan dituturkan kepada Aisyah ketika
dia memaki-maki unta yang ditunganginya.
Pada contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa penyampaian perintah dan
larangan tidak hanya menggunakan bentuk kalimat imperatif, namun juga dapat
menggunakan kalimat deklaratif. Perintah dan larangan juga tidak hanya disampaikan
dengan tindak tutur langsung, tetapi bisa juga disampaikan dengan tindak tutur tidak
langsung. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk mengetahui bentuk dan
strategi yang dipakai dalam penyampaian perintah dan larangan dalam hadis.
Hadis nabi sangatlah banyak dan dikodifikasikan dalam banyak buku hadis,
seperti buku Shahih Bukhari, Shahih Muslim, sunan Abu Dawud, Sunan Nasai,
Musnad Ahmad, dan lain-lain. Karakter buku-buku Hadis itu sebagian besar hanya
mengumpulkan matan dan rawinya saja sehinga susah untuk melihat konteks dari
masing-masing hadis. Karena itulah, Imam Suyuthi menaruh perhatian besar terhadap
konteks dalam tiap hadis, sehingga dia menyusun buku hadis yang dilengkapi dengan
konteks masing-masing hadis yang berjudul Asbabul-Wurud Al-Hadis. Kitab ini
memiliki beberapa kelebihan dibanding kitab-kitab hadis yang lain, yaitu praktis,
disertai dengan konteks hadis, klasifikasinya berdasarkan ilmu fiqih sehingga lebih
aplikatif, kompilasi dari banyak kitab hadis, dan dapat mewakili hadis-hadis dalam
kitab hadis lain. Karena kelebihan itulah, kitab ini dijadikan objek kajian dalam
penelitian ini.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka disusunlah
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tindak tutur perintah dan larangan dalam Hadis dilihat dari modus
kalimatnya?
2. Bagaimana strategi tindak tutur perintah dan larangan dalam Hadis?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan perintah dan larangan Hadis dilihat dari modus kalimatnya.
2. Menjelaskan strategi tindak tutur perintah dan larangan dalam Hadis.
1.4 Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang diharapkan bisa diperoleh dari penelitian ini, yaitu: (1)
manfaat teoritis, dan (2) manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi untuk bidang
linguistik dalam mengungkap bentuk variasi tindak tutur perintah dan
larangan dalam bahasa Arab, serta memahami lebih dalam alasan dari
pembentukan perintah dan larangan itu dari sudut pandang konteks dalam
tuturan itu. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
7
dalam mengungkap alasan penggunaan strategi tindak tutur dari sudut
pandang konteks dalam tuturan.
2. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu para pembelajar
bahasa Arab dalam merangkai dan memilah kata-kata untuk membentuk
sebuah perintah maupun larangan dalam bahasa Arab yang disesuaikan
dengan konteks yang ada, sehingga perintah dan larangan itu tersampaikan
dengan cara yang baik dan benar.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang pragmatik telah banyak dilakukan, terutama mengenai
konsep tindak tutur bahasa Arab yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian
pragmatik tentang tindak tutur telah dilakukan pada media cetak maupun media
elektronik. Media cetak yang dimaksud berbentuk iklan, komentar pembaca pada
sebuah koran, pamflet peringatan, naskah drama, dan al-Qur’an, sedangkan media
elektronik yang dimaksud berbentuk video khutbah, video pengajaran bahasa, dan
film. Penelitian Pragmatik tindak tutur direktif pada iklan diantaranya dilakukan oleh
Aminah (2006) dengan judul “Iklan dalam Surat Kabar Al-Ittihad” dan Rakhmatika
(2009) dengan judul “Iklan pada Majalah Ekonomi Al-Iqtisad Wal-Amal”. Mereka
menemukan beberapa macam strategi tindak tutur dalam iklan berbahasa Arab, yaitu
tindak tutur langsung literal, langsung tidak literal, tidak langsung literal, dan tidak
langsung tidak literal.
8
Penelitian pragmatik tindak tutur direktif pada komentar pembaca pada sebuah
koran dilakukan oleh Lailiyah (2013), dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur
Direktif dalam Rubrik Reader’s Forum di The Jakarta Post” menyatakan bahwa,
pertama, berdasarkan struktur dan modus kalimat, jenis tindak tutur direktif dalam
rubrik reader’s forum pada surat kabar “The Jakarta Post” terdiri dari tindak tutur
langsung yang berupa kalimat imperatif; tindak tutur tidak langsung yang terdiri dari
kalimat deklaratif dan kalimat tanya; sedangkan berdasarkan makna kata-kata yang
menyusunnya hanya terdapat tindak tutur literal karena penutur dalam rubrik tersebut
cenderung memberikan komentar dan tanggapan dengan mengatakan maksudnya
secara langsung dan jelas. Kedua, ada beberapa maksud yang ditemukan dalam
tuturan direktif pada rubrik tersebut, yaitu: 1) maksud memerintah ditemukan dengan
bentuk kalimat imperatif dan kalimat deklaratif; 2) maksud melarang yang ditandai
dengan pemarkah negatif not pada kata kerja bantu, bentuk kalimat imperatif, dan
dengan kalimat deklaratif; 3) maksud meminta yang ditandai dengan hadirnya kata
please dalam kalimat imperatif dan penggunaan kata can/could dalam kalimat
interogratif; 4) maksud menyarankan yang ditemukan dalam bentuk kalimat
deklaratif, kata kerja performatif, kalimat interogratif, dan dalam bentuk impersonal;
5) maksud mengajak yang ditandai dengan kata let’s; 6) maksud memperingatkan
dengan kalimat imperatif dan kalimat deklaratif; 7) maksud mengharapkan yang
ditandai dengan kata hope dan expect; 8) maksud membiarkan yang ditandai dengan
kata let yang diikuti objek ketiga. Ketiga, berdasarkan strategi kesopanan yang
diterapkan penutur untuk mencegah tindakan mengancam muka petutur, ditemukan
9
strategi kesopanan positif yang berupa 1) menggunakan penanda yang menunjukkan
kesamaan jati diri atau kelompok, 2) berusaha melibatkan petutur dalam suatu
kegiatan tertentu, 3) memberikan dan meminta alasan; dan strategi kesopanan negatif
yang berupa 1) mengungkapkan secara tidak langsung, 2) melakukan secara hati-hati
dan tidak terlalu optimistik, 3) memberikan penghormatan, 4) tidak menyebutkan
penutur dan petutur, dan 5) menyatakan tindakan mengancam wajah sebagai
ketentuan sosial yang umum berlaku.
Penelitian pragmatik tindak tutur direktif pada pamflet dilakukan oleh Maulani
(2010), dalam skripsinya yang berjudul “Jenis tindak tutur perintah mematikan
handphone dalam pamflet-pamflet pada masjid-masjid di kota Isma’iliyyah” juga
membahas tindak tutur. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa penutur pada
pamflet dalam menyampaikan maksudnya menggunakan lima macam tindak tutur,
yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, tindak tutur perlokusi, tindak tutur
langsung literal, dan tindak tutur tidak langsung literal. Penggunaan tindak tutur
langsung literal pada pamflet-pamflet tersebut bertujuan agar mitra tutur langsung
mengerti maksud penutur, sedangkan penggunaan tindak tutur tidak langsung literal
bertujuan untuk memperhalus perintah dan berkesan lebih sopan kepada mitra tutur.
Tujuan pamlet pada masjid-masjid di kota Ism’iliyyah mempunyai maksud
memerintahkan kepada mitra tutur agar mematikan handphone ketika memasuki
masjid agar tidak mengganggu kekhusukan sholat.
Penelitian pragmatik tindak tutur direktif pada naskah drama dilakukan oleh
Fikriyandi (2012) dengan judul “Tindak Tutur dalam Naskah Drama Pygmalion
10
karya Taufik Al-Hakim”. Penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam naskah drama
Pygmalion terdapat tindak lokusi, tindak ilokusi, maupun perlokusi. Adapun tindak
tutur yang paling banyak ditemukan adalah tindak ilokusi yang berupa asertif,
direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Dari sekian macam ilokusi, yang paling
banyak dipakai adalah asertif dan direktif.
Penelitian pragmatik tindak tutur direktif pada al-Qur’an dilakukan oleh
Purnawan (2009), dalam tesisnya yang berjudul “Tuturan Direktif dalam Al-Qur’an
(Kajian Pragmatik terhadap Ayat-Ayat Hukum)” membahas modus tuturan direktif
yang digunakan, maksud tutur, konteks tutur, dan fungsi pemakaian tindak tutur
direktif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tuturan direktif ayat-ayat hukum
menggunakan modus tuturan direktif langsung dan modus tuturan direktif tidak
langsung. Penggunaan tuturan direktif langsung meliputi modus imperatif, modus
imperatif bersyarat, dan modus imperatif dengan peringatan; Sedangkan penggunaan
direktif tidak langsung terdiri atas tuturan deklaratif tak berpenanda, tuturan
pernyataan keharusan, tuturan pernyataan kebolehan, serta tuturan himbauan. Dari
aspek fungsi pemakaiannya, tuturan direktif ayat-ayat hukum terdiri dari fungsi
memerintah, fungsi melarang, fungsi mewajibkan, fungsi mengharamkan, fungsi
membolehkan, dan fungsi menunjukkan cara.
Penelitian pragmatik tindak tutur direktif pada Khotbah dilakukan oleh
Hidayati (2010), dengan judul “Jenis Tindak Tutur dalam Khotbah Jum’at di Masjid
Syarqi Kairo Mesir” juga membahas tentang tindak tutur. Kesimpulan dari skripsinya
tersebut adalah bahwa penutur khotbah jum’at, dalam menyampaikan khotbahnya
11
tidak hanya menggunakan satu macam tindak tutur, tetapi beberapa macam tindak
tutur, seperti tindak tutur lokusi, tindak tutur Ilokusi, dan tindak tutur perlukosi.
Adapun tindak tutur yang banyak dipakai dalam khotbah Jum’at dengan judul “Baina
As-Surah wal-Haqiqah” adalah tindak tutur lokusi karena hanya digunakan untuk
menyatakan atau menginformasikan sesuatu.
Penelitian pragmatik tindak tutur direktif pada pengajaran bahasa dilakukan
oleh Kurniawati (2014), dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Direktif dalam
Pengajaran Percakapan Bahasa Inggris” membahas tentang, pertama, jenis-jenis
tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris yaitu perintah,
ajakan, permintaan perizinan, sindiran, pancingan, saran, nasehat, persilaan, larangan,
peringaran, dan keluhan. Kedua, strategi penyampaian tindak tutur direktif yang
berupa strategi langsung literal, langsung nonliteral, tidak langsung literal, dan tidak
langsung nonliteral. Ketiga, fungsi tindak tutur direktif yang berupa memerintah,
meminta, melarang, memberi izin, mempercayakan, menyindir, mengingatkan,
mengajak, meminta informasi, menasehati, menyarankan, memotivasi,
mempersilakan, mendorong, memancing keaktifan siswa. Keempat, strategi
kesopanan bertutur dengan menggunakan strategi kesopanan secara langsung tanpa
penyelamatan muka dan tidak langsung dengan penyelamatan muka, baik dengan
kesopanan positif maupun negatif. Kesopanan positif itu berupa usaha melibatkan
petutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertentu, mengusahakan persetujuan dengan
petutur, memberi alasan, menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jatidiri
atau kelompok, membuat lelucon, menawarkan suatu tindakan timbal balik, membuat
12
persepsi bahwa penutur memahami keinginan petutur,menghindari pertentangan
dengan petutur, dan mengungkapkan rasa optimisme; sedangkan kesopanan negatif
itu berupa bertutur seccara tidak langsung sesuai konvensi.
Adapun yang membahas tentang film adalah penelitian yang dilakukan oleh
Indraswari (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Ilokusi Pengasuh
Anak dalam Tayangan Nanny 911”. Ada tiga poin penting dalam penelitian ini.
Pertama, tentang jenis tindak tutur yang digunakan yang dibagi pada tiga bagian,
yaitu: bagian pembukaan yang terdiri dari asertif, direktif, komisif, dan fatis; bagian
isi yang terdiri dari asertif, komisif, ekspresif, direktif, fatis, dan verdiktif; serta
bagian penutup yang terdiri dari asertif, direktif, verdiktif, ekspresif, dan fatis. Kedua,
berdasarkan strategi tindak tutur yang digunakan, yaitu tindak tutur literal langsung,
tindak tutur literal tidak langsung, dan tindak tutur tidak literal langsung. Ketiga,
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak tutur pengasuh anak, yaitu seting
waktu dan tempat, peserta tutur, tujuan tuturan, urutan tindak, jiwa pertuturan, media
yang dipakai dalam pertuturan, norma, genre, warna emosi, dan citra rasa tutur.
‘Aini (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Direktif Bahasa
Inggris dalam Transkrip dialog Film Nanny Mcphee” memberikan gambaran
mengenai tuturan direktif bahasa Inggris berdasarkan situasi nyata yang menyangkut
bentuk tuturan, makna, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bentuk tuturan
direktif yang ditemukan dalm film ini berupa bentuk imperatif, deklaratif, dan
interogratif. Ada beberapa makna yang terkandung dalam tuturan direktif dalam film
tersebut, yakni memerintah, melarang, menyarankan, meminta, mengajak,
13
mempersilakan, membiarkan menyindir, mempercayakan minta maaf, minta izin, dan
memperingatkan. Sedangkan faktor dominan yang mempengaruhi munculnya tindak
tutur direktif adalah latar belakang peserta tutur, warna emosi, situasi tutur, maksud
dan tujuan, dan norma.
Rachman (2014), dalam tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Direktif Bahasa
Arab dalam Film Umar” menyimpulkan bahwa tindak tutur direktif bahasa Arab
dalam film Umar memiliki berbagai jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur direktif
langsung dengan bentuk kalimat imperatif yang ditandai oleh verba perintah, verba
larangan, verba dengan perfiks ‘ista’ dan kata untuk memanggil; tindak tutur direktif
tidak langsung dengan bentuk kalimat deklaratif dan intogratif yang ditandai oleh
kata tanya. Faktor yang mempengaruhi munculnya tuturan adalah latar belakang
peserta tutur, warna emosi, situasi tutur, maksud dan tujuan tutur, dan genre.
Sedangkan fungsi dari tindak tutur direktif pada film ini adalah memerintah,
melarang, meminta, menasehati, mengajak, mengharapkan, memperingatkan,
menantang, dan mempersilakan.
Dilihat dari beberapa penelitian di atas, dapat diketahui bahwa penelitian
tindak tutur perintah dan larangan dalam tulisan ini berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya. Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yaitu, pada penelitian ini diambil tindak tutur
perintah dan larangan bahasa Arab dalam Hadis. Dari segi objek formal, sudah
banyak yang membuat penelitian tentang tindak tutur direktif dari berbagai bahasa,
terutama bahasa Arab, tetapi belum ada penelitian yang secara khusus meneliti
14
tentang tindak tutur direktif yang bermaksud perintah dan larangan dalam bahasa
Arab. Dari segi objek material, sudah banyak peneliti yang meneliti objek yang
berupa media cetak yang berbentuk iklan, koran, pamflet, naskah drama, dan al-
Qur’an dengan kajian tindak tutur, tetapi belum ada yang meneliti Hadis dari sudut
pandang tindak tutur. Tuturan dalam hadis berbeda dengan tuturan yang terdapat pada
iklan, koran, dan pamflet, karena isi dalam hadis merupakan ajaran dan pedoman
hidup. Selain itu, penutur hadis adalah nabi yang merupakan utusan Tuhan yang
mempunyai keistimewaan dibandingkan manusia lain. hadis ini juga berbeda dengan
al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan tuturan Tuhan yang Maha Sempurna,
sedangkan Hadis merupakan tuturan manusia yang mungkin salah.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Definisi pragmatik
Pragmatik adalah kajian tentang hubungan bahasa dengan konteks yang
menjadi dasar atas pemahaman bahasa (Levinson, 1983). Hal itu juga senada dengan
pendapat Yule (2006:3) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang
maksud penutur bahasa yang dihubungkan dengan konteks. Wijana (1996:1)
menyatakan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari
eksternal bahasa dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi. Pragmatik juga
mengkaji makna yang berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik. Makna
dalam kajian pragmatik adalah makna ujaran yang terdapat pada eksternal bahasa,
15
sedangkan makna dalam kajian semantik adalah makna kalimat yang terdapat pada
internal bahasa (Purwo, 1990:16).
1.6.2 Definisi tindak tutur
Persoalan tindak tutur adalah persoalan yang paling utama dalam pragmatik.
Sehubungan dengan ini, secara teoritis tindak tutur yang yang semula dibedakan
menjadi dua, yakni tindak tutur performatif dan tindak tutur konstatif (Austin, 1962)
dikembangkan oleh penerusnya, searle menjadi tiga, yakni tindak lokusi, tindak
ilokusi, dan tindak perlokusi (Searle, 1969). menurut Yule (2006:83), tindak lokusi
merupakan tindak dasar tuturan atau tindak tuturan yang yang menghasilkan suatu
ungkapan linguistik yang bermakna; tindak ilokusi adalah pembentukan tuturan
dengan mempertimbangkan fungsi, maksud, dan tujuan di dalam pikiran; sedangkan
tindak perlokusi adalah tindak yang mengacu pada efek pada petutur yang
ditimbulkan dari tuturan yang dilakukan seorang penutur. Jadi tindak tutur lokusi itu
berhubungan dengan teks tuturan; tindak tutur ilokusi berhubungan dengan penutur,
sedangkan perlokusi itu berhubungan dengan petutur.
Dalam penggunaannya, Searle dalam parker (1986:17) menyebutkan bahwa
tindak tutur dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, literal maupun
tidak literal. Tuturan !احمل كتابي ‘Ambilkan buku saya!’ menunjukkan tindak tutur
ilokusi yaitu meminta secara langsung. Hal itu berbeda dengan tuturan هل تستطيع أن
Bisakah anda membawakan buku saya?’ yang merupakan bentuk tindak‘ تحمل كتابي؟
tutur ilokusi meminta secara tidak langsung.
16
Tindak tutur langsung dapat ditandai dari wujud formal sintaksisnya. Tindak
tutur langsung adalah tuturan yang sesuai dengan modus kalimatnya, misalnya
kalimat tanya digunakan untuk bertanya, kalimat deklaratif digunakan untuk
memberitahukan, sedangkan kalimat perintah digunakan untuk menyuruh, mengajak,
atau memohon untuk melakukan sesuatu, contohnya kalimat perintah !خذ محفظتي
‘Ambilkan tas saya’, kalimat deklaratif كنت أستاذا هنا ‘aku dosen di sini’, dan kalimat
tanya ماذا تعمل؟ ‘Apa yang kamu lakukan?’. Sedangkan kalimat tidak langsung adalah
tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, misalnya kalimat tanya digunakan
untuk menyuruh, kalimat deklaratif digunakan untuk menawarkan, dan sebagainya.
Tindak tutur tidak langsung ini bisa mengakibatkan respon yang beragam tergantung
dari konteksnya. Sebagai contoh, tuturan seorang kakak yang lagi belajar dengan
serius kepada adiknya yang bermain bersama teman-temannya sambil berteriak-teriak
apakah kamu bisa diam?’. Tuturan tersebut merupakan kalimat‘ هل تستطيع أن تسكت ؟
tanya yang digunakan untuk menyuruh.
Selain tindak tutur langsung dan tidak langsung, ada juga tindak tutur literal
dan non-literal. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sesuai
dengan kata-katanya. Contohnya tuturan شبعت ‘Saya kenyang’ ketika diucapkan
seseorang setelah makan banyak. Sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak
tutur yang maksudnya tidak sesuai dengan kata-katanya. Contohnya tuturan أحسنت يا
Bagus Zaid!’ ketika diucapkan pengawas ujian kepada Zaid yang ketahuan‘ زيد
menyontek pada waktu ujian. Wijana (1996:33-35) mengungkapkan bahwa jika
tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan dengan tindak tutur literal
17
dan tidak literal akan didapatkan empat kelompok tindak tutur, yaitu tindak tutur
langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal,
dan tindak tutur tidak langsung tidak literal.
Berdasarkan fungsinya, Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan
tindak tutur ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki
fungsi komunikatif, yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, tindak tutur
ekspresif, tindak tutur komisif, dan tindak tutur deklarasi. Penjelasan kelima macam
bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Asertif , yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan
(suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim
(claiming).
2. Direktif, yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk
membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya,
memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting),
menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).
3. Ekspresif, adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau
menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya
berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf
(pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa
(condoling).
18
4. Komisif, yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau
penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan
menawarkan sesuatu (offering)
5. Deklarasi,Yaitu bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis
(chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing),
mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).
Menurut Yule (2006:93), tindak tutur direktif adalah jenis tindak tutur yang
dipakai penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini
menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi perintah,
pesan, permohonan, dan saran. Menurut Bach dan Harnish (1979:47) tindak tutur
direktif adalah tindak tutur yang digunakan penutur untuk mengekspresikan maksud
penutur yang dijadikan alasan bagi petutur untuk bertindak. Tindak tutur tersebut
berupa permintaan, perintah, pertanyaan, dan larangan. Keempatnya dibedakan
berdasarkan kekuatan usahanya, tetapi pada dasarnya bertujuan agar petutur
melakukan sesuatu untuk penutur (Kreidler, 1998:191). Dapat disimpulkan dari
ungkapan-ungkapan di atas bahwa tindak tutur direktif dapat berupa perintah, pesan,
permohonan, saran, permintaan, pertanyaan, maupun larangan.
1.6.3 Bentuk tindak tutur
Bentuk tindak tutur yang dimaksud adalah modus kalimat yang dipakai dalam
tindak tutur. Menurut Wijana, kalimat berdasarkan modusnya dapat dibedakan
19
menjadi tiga macam, yaitu kalimat deklaratif, kalimat imperatif, dan kaliamat
interogatif.
1. Kalimat deklaratif
kalimat deklaratif berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada
orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa perhatian seperti
tercemin pada pandangan mata yang menunjukkan adanya perhatian. Kalimat
berita mempunyai pola intonasi yang disebut pola intonasi berita.
Kalimat berita di dalamnya tidak ada kata-kata tanya seperti apa,
siapa, di mana, mengapa, kata-kata ajakan seperti mari, ayo, kata persilahan
silahkan, serta kata larangan jangan. Jadi, penentu jenis kalimat di sini
didasarkan pada ciri formal kalimat dan bukan ditentukan oleh tanggapan
yang diharapkan dan oleh maknanya.
2. Kalimat imperatif
Kalimat imperatif merupakan kalimat yang mengharapkan tanggapan
yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara dan ditandai dengan
intonasi suruh. Berdasarkan strukturnya, kalimat imperatif dapat digolongkan
menjadi empat golongan, yaitu kalimat perintah sebenarnya, kalimat larangan,
kalimat persilaan, dan kalimat ajakan. Kalimat perintah sebenarnya
merupakan kalimat imperatif yang bermaksud perintah, sedangkan kalimat
larangan merupakan kalimat imperatif yang bermaksud larangan. kalimat
perintah adalah kalimat yang menuntut dilaksanakannya suatu pekerjaan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
20
kedudukannya (Al-Jarim dan Amin, 1999:179). Kalimat perintah dalam
bahasa Arab ditandai dengan empat hal, yaitu fi’il amr, lam amr , mashdar
pengganti fi’il amr, dan ism fi’il amr. sedangkan kalimat larangan adalah
kalimat yang menuntut untuk tidak dilaksanakannya suatu pekerjaan .
Kalimat larangan dalam bahasa Arab ditandai dengan fi’il mudhari’ yang
didahului oleh la nahiyah.
3. Kalimat interogatif
Kalimat interogatif berfungsi menanyakan sesuatu dan ditandai
dengan tanda tanya. Menurut Rahardi (2005:77-78), Kalimat interogatif
dibagi menjadi dua, yaitu kalimat interogatif total dan kalimat interogatif
parsial. Kalimat interogatif total biasanya ditandai dengan adanya kata-kata
kah, apa, apakah, bukan, dan bukankah yang hanya memerlukan jawaban ya,
sudah, tidak, bukan, atau belum. adapun kalimat interogatif parsial biasanya
ditandai kata-kata tanya yang memerlukan jawaban penjelasan seperti, apa,
siapa, mengapa, kenapa, bagaimana, mana, bilamana, kapan, bila, dan
berapa.
Dalam bahasa arab, kalimat interogatif total ditandai dengan adanya
kata tanya seperti هل dan أ yang memerlukan jawaban نعم dan ال . Pada kata
tanya أ , selain memerlukan jawaban نعم dan ال , kadang dia juga memerlukan
jawaban yang berbentuk pilihan. Adapun kalimat interogatif parsial ditandai
dengan kata-kata tanya yang memerlukan jawaban penjelasan seperti ,ما, من
أين, كيف, ماذ, لماذ, أي
21
1.6.4 Faktor terjadinya tindak tutur
Kajian pragmatik adalah makna ujaran yang terdapat pada eksternal bahasa.
Eksternal bahasa yang dimaksud dalam kajian pragmatik adalah aspek-aspek tutur
yang meliputi penutur dan petutur, konteks, tujuan tutur, tuturan sebagai tindak tutur
dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Penutur adalah orang yang mengeluarkan
tuturan dan penutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan. Aspek yang berkaitan
dengan penutur dan petutur adalah umur, latar belakang sosial, ekonomi, ras, jenis
kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. Konteks adalah suatu pengetahuan latar
belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur. Konteks tuturan
mencakup aspek seting sosial yang melatarbelakangi tuturan yang bersangkutan.
Tujuan tuturan adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu. Tuturan dalam kajian
pragmatik dapat dipahami sebagai bentuk tindak tutur dan dapat dipahami juga
sebagai produk tindak tutur.
Hymes (dalam Choir, 2004:47-49) mengemukakan konsep situasi tutur yang
terangkum dalam sebuah akronim SPEAKING yaitu setting (tempat), participant
(peserta tutur), ends (tujuan), act of sequence (urutan tutur), keys (cara), instrumenties
(media), norms (norma), dan genres (kategori tuturan).
1. S adalah setting, yaitu tempat dan waktu terjadinya pertuturan, termasuk
didalamnya kondisi psikologis dan kultural yang menyangkut pertuturan
tersebut.
22
2. P adalah participant atau peserta tutur, yaitu penutur dan petutur yang
merupakan pihak yang terlibat dalam peristiwa tutur
3. E adalah ends, yaitu tujuan yang ingin dicapai dalam suatu situasi tutur.
4. A adalah act of sequence, yaitu urutan tutur yang mengacu pada bentuk dan
isi aktual dari apa yang dibicarakan dalam tuturan.
5. K adalah keys, yaitu cara atau jiwa dari pertuturan yang dilangsungkan. Hal
ini meliputi kondisi psikologi seseorang saat bertutur
6. I adalah instrumentalities, yaitu penggunaan kaidah berbahasa dalam
pertuturan.
7. N adalah norm, yaitu norma atau aturan dalam berinteraksi.
8. G adalah genres, yaitu kategori tuturan yang dapat berbentuk puisi, surat,
artikel dan sebagainya.
Selain itu, masalah situasi tutur juga dikemukakan oleh Poedjosoedarmo
(dalam Nadar, 2009) dengan menggunakan memoteknik OOE MAU BICARA
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. O1 adalah orang ke 1 yang merupakan pribadi penutur, yaitu latar belakang
penutur yang meliputi jenis kelamin, asal daerah, golongan masyarakat,
umur, profesi, kelompok etnis, dan aliran kepercayaan.
2. O2 adalah orang ke 2 yang merupakan lawan tutur atau petutur. Petutur
menentukan bentuk tuturan yang keluar dari penutur. Tuturan akan
disesuaikan dengan kondisi petutur, seberapa tinggi tingkatan sosialnya dan
seberapa akrab hubungannya dengan penutur.
23
3. E adalah emosi O1, yaitu suasana emosi penutur pada waktu yang
bersangkutan hendak bertutur. Warna emosi penutur akan sangat
mempengaruhi bentuk tuturannya.
4. M adalah maksud dan tujuan percakapan. Hal itu berpengaruh pada
pembentukan tuturan.
5. A adalah adanya O3 dan dan barang-barang lain disekitar peristiwa tutur.
Suatu tuturan akan berubah bentuknya jika datang orang ke 3 pada suatu
adegan tutur. Misalnya, O1 dan O2 sedang bercakap-cakap dengan bahasa
non-formal, kemudian datang O3 yang merupakan seorang dosen dari O1
dan O2, maka bahasa percakapanpun menjadi lebih formal.
6. U adalah urutan tutur. O1 yang memulai percakapan akan lebih bebas
menentukan bentuk tuturannya dari pada O2 yang merupakan petutur.
7. B adalah bab yang dibicarakan atau pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan
akan mempengaruhi suasana pembicaraan.
8. I adalah instrumen atau sarana penutur. Sarana penutur ini meliputi bagaimana
percakapan itu terjadi, apakah melalui surat, email, atau telepon. Hal ini juga
akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul dalam percakapan.
9. C adalah citarasa tutur. Citrarasa tutur ini meliputi waktu penggunaan ragam
bahasa santai, formal, maupunragam bahasa indah.
10. A adalah adegan tutur, yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat dan
waktu peristiwa tutur
24
11. R merupakan register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk
wacana pidato akan dilakukan sesauai ketentuan yang lazim yaitu diawali
dengan sapaan, salam, introduksi, isi, dan penutup.
12. A adalah aturan atau norma bahasa. Ada sejumlah norma yang harus
dipatuhi misalnya kejelasan dalam bicara. Ada juga norma yang perlu
dipatuhi seperti anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur, status
dan yang laiannya yang bersifat pribadi. Hal itu dapat menetukan bentuk
tuturan yang muncul.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif. Ada tiga tahapan
dalam penulisan penelitian ini, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian
hasil analisis data. Pada tahap pengumpulan data, data diperoleh dari hadis dalam
buku Asbab Wurud Al-Hadits karya Imam As-Suyuthi dengan menggunakan metode
simak dan dilanjutkan dengan menggunakan teknik catat, yakni mencatat hasil
penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:44-45). Data berupa tuturan pada
hadis yang mengandung tindak tutur perintah dan larangan. Tuturan-tuturan tersebut
dicatat dan ditransliterasikan ke tulisan latin berdasarkan pedoman tranliterasi yang
dikeluarkan oleh Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian data untuk menjawab rumusan
masalah yang ada.
Pada tahapan analisis, penulis menggunakan metode kontekstual. Penulis
berusaha untuk memahami maksud penutur dengan menggunakan kaidah pragmatik
25
yang berorientasi pada konteks sebuah tuturan (Poedjosoedarmo, tt). Selanjutnya
penulis akan mengungkap bentuk-bentuk tindak tutur perintah dan larangan.
Kemudian, untuk menjawab rumusan masalah kedua, tindak tutur perintah dan
larangan tersebut dikelompokkan sesuai strategi yang dipakai dalam penyampaian
tuturan.
Setelah analisis data selesai, hasil analisis data akan disajikan dalam bentuk
laporan informal (Sudaryanto, 1993:145). Maksud dari penyajian data dalam bentuk
laporan informal adalah penyajian data tersebut disampaikan dengan menggunakan
kata-kata biasa, yaitu kata-kata apabila dibaca dengan serta-merta dapat langsung
dipahami (Kesuma, 2007:71).
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab dua berisi analisis modus kalimat tindak tutur perintah dan larangan dalam
Hadis.
Bab tiga berisi analisis strategi tindak tutur perintah dan larangan pada Hadis.
Bab empat merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan
saran. Pada bagian akhir akan dilengkapi dengan daftar pustaka yang digunakan
sebagai acuan dalam penelitian ini dan lampiran-lampiran data penelitian.