Post on 11-Oct-2015
description
1
PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM
2007
HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2
PANEL AHLI
Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
TIM TEKNIS
Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua
dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota
dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota
dr. N. Soebijanto, SpPD Anggota
dr. Suginarti, M.Kes Anggota
dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota
dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota
dr. Melani Marissa Anggota
dr. Titiek Resmisari Anggota
dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di
bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health
Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka
mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per
1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1
Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000
kelahiran hidup.2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the worlds mother
2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus
disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan
diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh
kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan
lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah
satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama
yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality
rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi
karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah
dan ditanggulangi.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat
mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-
18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di
negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup
dengan angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data
yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-
September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka
kematian sebesar 14,18%.8
Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya
yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada
bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong
terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah
pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.
berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan
terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan
4
kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan
juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru,
hati, dan lain-lain.9
Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran
hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk
melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar
rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara
umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10
1.2. Permasalahan
Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.
Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.
Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka
kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik
spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam
tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan
penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis
neonatorum.
Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis
yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran
penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu,
pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur
merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan
tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil
yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik
antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara.
Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan
sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran
klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi
penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola
resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit
menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi
nosokomial.8,11
Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah
menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti
pemeriksaan Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain
sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa
5
kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan
dan kerugiannya.
Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu
diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum
sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di
Indonesia.
Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan
yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat
informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah
memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan
akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang
lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini
membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin
belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan
dikembangkan dikemudian hari. 12,13,14
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis
neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan
yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi
Indonesia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence-
based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan
sepsis neonatorum.
2. Tersusunnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan
proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang
diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.
6
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
2.1. Strategi penelusuran kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan
elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New
England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease
Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Journal
of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-2006)
serta World Health Organization tentang Neonatal Problems tahun 2003. Kata
kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in
newborn, SGB (Group B Streptococcus).
2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi
Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)
berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian
ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat
rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan
berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.
Tingkat pembuktian (Level of evidence)
Ia. Meta-analisis randomized controlled trials.
Ib. Minimal satu randomized controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.
IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.
IIIa. Studi cross-sectional.
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus.
IV. Konsensus dan pendapat ahli.
Tingkat rekomendasi
A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.
B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.
C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.
7
BAB III
SEPSIS NEONATORUM
3.1. Definisi
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses
berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik,
disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16
3.2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat
proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan
pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia
coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang
Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per
1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21
Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara
maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan
penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh
mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis
berdasarkan awitan dan sumber infeksi.
8
Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi20
Dini Lambat
Awitan
Sumber infeksi
72 jam
Lingkungan (nosokomial)
Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian
besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak
dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL).9
3.3. Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.
Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu
berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan
perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab
utama dari sepsis neonatorum.23
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999
di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan
Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering
ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus
pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada
meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama
Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif
juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24
Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat
pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun
terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada
tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter
sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
9
menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter
sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26
Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu26
1975-1980 1985-1990 1995-2003
RSCM/FKUI
(Monintja, 1981;
Amir Aminullah
1993, I 2003)
Amerika Serikat
(Texas Univ.; CDC
Atlanta)
(Shattuck 1992;
Schuchat 1997)
Inggris
(Health PT 2003)
Salmonella sp
Klebsiella sp
Group B Strep.
E. coli
Listeria sp
Pseudomonas sp
Klebsiella sp
E. coli
Group B Strep.
Listeria sp
Enterovirus
Group B Strep.
E. coli
Listeria sp
Enterovirus
Acinetobacter sp
Enterobacter sp
Pseudomonas sp
Serratia sp
E. coli
Group B Strep
Listeria sp
Strep. Pneumoniae
Group B Strep
Listeria sp
E. coli
Enterovirus
Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004
Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering
adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria
monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan
berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-
negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Koloni-
koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva,
dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang
invasif.4
Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar
waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari
survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000
terhadap 5447 pasien BBLR (BL
10
Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada
BBLR ( < 1500 Gram)28
Organisme
SAD
SAL
Jumlah infeksi
(% of total)
Mortalitas
(%)b
Jumlah infeksi
(% of total)
Mortalitas
(%)b
Gram-positive bacteria
(total)
31 (36.9) 26 922 (70.2) 11.2
SGB 9 (10.7) 30 (2.3) 21.9
Viridans streptococcus 3 (3.6)
Other streptococci 4 (4.8)
Listeria monocytogenes 2 (2.4)
Coagulase-negative
Staphylococcus
9 (10.7) 629 (47.9) 9.1
Staphylococcus aureus 1 (1.2) 103 (7.8) 17.2
Enterococcus species 43 (3.3)
Other 3 (3.6) 117 (8.9)
Gram-negative bacteria
(total)
51 (60.7) 41 231 (17.6) 36.2
Escherichia coli 37 (44.0) 64 (4.9) 34.0
Haemophilus influenzae 7 (8.3)
Citrobacter 2 (2.4)
Bacteroides 2 (2.4)
Klebsiella 1 (1.2) 52 (4.0) 22.6
Pseudomonas 35 (2.7) 74.4
Enterobacter 33 (2.5) 26.8
Serratia 29 (2.2) 35.9
Other 2 (2.4) 18 (1.4)
11
Fungi (total) 2 (2.4) 160 (12.2) 31.8
Candida albicans 2 (2.4) 76 (5.8) 43.9
Candida parapsilosis 54 (4.1) 15.9
Other 30 (2.3)
a NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447
orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL .
b Semua penyebab kematian .
Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641
Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis
neonatorum berlainan antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman
penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan pola
kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang
peranan yang sangat penting.
3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari
infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory
Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ,
dan akhirnya kematian (tabel 4).16
Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus16
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:
Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi
dan desaturasi O2
Suhu tubuh tidak stabil (37.5C)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik
Hitung leukosit 34000x109/L
CRP >10mg/dl
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
16 S rRNA gene PCR : Positif
FIRS/
SIRS
Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai
dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat
dalam Tabel 5.
SEPSIS
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ
tunggal
SEPSIS BERAT
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan
resusitasi cairan dan obat-obat inotropik
SYOK
SEPTIK
12
Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah
mendapatkan pengobatan optimal
SINDROM DISFUNGSI
MULTIORGAN
KEMATIAN
Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan
laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada
International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai
kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5
dan 6).29
Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan
bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)
maupun terbukti infeksi (proven).30
Tabel 5. Kriteria SIRS 29
Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per
menit
Laju napas
per menit
Jumlah leukosit X
103/mm
3
Usia 0-7 hari >38,5C atau 180 atau 50 >34
Usia 7-30 hari >38,5C atau 180 atau 40 >19,5 atau
13
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu: 5,31
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini
ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.
Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan
amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam
rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan
ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir
akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan
Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian
terlalu padat, dll.31
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
INFEKSI
INTRANATAL
INFEKSI
PRANATAL
14
klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain
pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit.32
3.5.1 Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.
Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang
memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab,
sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein
spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks
LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14
akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk
transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.32
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
(2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.
Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak
mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun
non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.16, 34
Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai
dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer
dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan
mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.33,35
15
Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis33
Sumber : Short MA. Adv Neonat Care 2004; 5:258-73
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang
meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral
dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan
sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon (IFN- ), interleukin 1-
(IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin
antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti
inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi
terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta
kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses
inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ
vital dapat berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi
fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder
(nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin),
dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
16
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi
sehingga menyebabkan kerusakan organ.33
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.
Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini
disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan
ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan
menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.33
3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung
akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik
secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin
dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga
mengaktivasi jalur intrinsik.33
Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan
membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis.
Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk
menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu,
trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi
kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang
terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.
Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui
lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan
hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
17
Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company33
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.5.3. Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh
darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.33
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase-
type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah
plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis
fibrin.33,37,38
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan
inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.33
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh
tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis
akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.33,35,39,40 Hasil
pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup
D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-
dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan
trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan
18
disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai
gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat
menyebabkan kematian.33
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular.
Gambar 4. Supresi Fibrinolisis
Sumber:......................................
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular
menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor
pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM
secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan.
Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis
buruk.33,Error! Bookmark not defined.
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan
koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya
trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,
syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan
kematian.41 Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
19
prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang
memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.33
Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi33
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.6 DIAGNOSIS
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk
menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk
adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat
lainnya.8
3.6.1. Faktor Risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi
dan lain-lain.
Faktor risiko ibu:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.27,42,43
2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi
perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45
3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42
4. Kehamilan multipel.42,44,46
5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.47
20
6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.47
Faktor risiko pada bayi:
1. Prematuritas dan berat lahir rendah.42,43,46,48
2. Dirawat di Rumah Sakit.49
3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal
distress dan trauma pada proses persalinan.42,43,48
4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,
pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.42,43,48
5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia.42,46
6. Asfiksia neonatorum.27,43,48
7. Cacat bawaan.27,43,48
8. Tanpa rawat gabung.43
9. Tidak diberi ASI.49
10. Pemberian nutrisi parenteral.50,51
11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.50
12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.49
13. Buruknya kebersihan di NICU.49
Faktor risiko lain:
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering
terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit
putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur
cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga
pasien, serta buruknya kebersihan di NICU.27,42,46,48
Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih
menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak
adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini.
Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.
3.6.2. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis
yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon
21
tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat
dilihat dalam tabel 7.6,52
Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak
lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan
kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat
(letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch
cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular
(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan
kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,
ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan
lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).53,54
Tabel 7. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus 25
Gejala klinis
Frekuensi
Aminullah ,
1993
Shattuck,
1992
Pong A,
2003
Gangguan minum 100% 35% 48%
Letargi/tampak sakit berat 100%
Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%
Ikterus/hiperbilirubinemia 55%
Jittery/Iritabel 16% 62% 60%
Kejang 48% 19% 42%
Gangguan serebral (spastis, paresis) 23%
Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%
Serangan apnea 20% 15% 31%
Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%
Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood
Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat
bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:55
Laju napas > 60 kali per menit
Retraksi dada yang dalam
Cuping hidung kembang kempis
Merintih
Ubun ubun besar membonjol
Kejang
Keluar pus dari telinga
22
Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba
dingin)
Letargi atau tidak sadar
Penurunan aktivitas /gerakan
Tidak dapat minum
Tidak dapat melekat pada payudara ibu
Tidak mau menetek.
Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan
Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan
diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan
kategori tersebut.56
Tabel 8. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis 8
Kategori A Kategori B
Gangguan napas (misalnya: apnea,
frekuensi napas > 60 atau
23
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;
Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja
timbulnya;
Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi
tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.
Bayi berumur lebih dari tiga hari
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda
atau lebih pada Kategori B;
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.
Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak
menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis
neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.57
Clinical signs and symptoms
Not able to feed
Not attaching to the breast
No suckling at all
Temperature >37.7C or 60 breaths/min.
Severe chest indrawing
Nasal flaring
Grunting
Reduced movements
Crepitations
Lethargic or unconscious Convulsions
Bulging fontanelle
Cyanosis
Reduced digital capillary refill time
Pus draining from the ear
Redness around umbilicus extending to the skin
Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective
NON SPECIFIC
Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti
pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.
24
3.6.3. Pemeriksaan Penunjang
3.6.3.1 Laboratorium
3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman
A. Kultur Darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan
karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.58
Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan
kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-
masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis
neonatorum awitan dini maupun lanjut.
Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa
infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis
sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada
pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur
negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas.
Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah
persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri
pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh
kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat
menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat
disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu
penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan
hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml
dengan hitung koloni
25
menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum awitan dini
maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan
serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, pungsi lumbal diulang 24-
36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan
cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan
kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.5 Dari
penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur
darah negatif.9
Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk
mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih
baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.5,22
Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik
kandung kemih.60
Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan
lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.28
B. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua
dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam
melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini
dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk
golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.5 Walaupun dilaporkan
terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk
identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan
fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan
penggunaan antibiotic pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri.61
Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,
seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena
merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.
Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair
dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec dan BacT
Alert dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan
kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,
26
berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda
sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis
banyak dilaporkan di kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas
yang berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai
petanda sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi
yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus
dan bayi prematur (tabel 9).62
Tabel 9. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur62
Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin
Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
27
Vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1)
Cell surface markers
Neutrophil Lymphocyte Monocyte
CD11b CD3 HLA-DR
CD11c CD19
CD13 CD25
CD15 CD26
CD33 CD45RO
CD64 CD69
CD66b CD71
Others
Lactate
Micro-erythrocyte sedimentation
Superoxide anion (respiratory burst)
Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235
3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang
diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:
Hitung trombosit.
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari
100.000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width)
meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.5
Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,
walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus
sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang
tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan
dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan
bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,
eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang
terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis
sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita
hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta
intraventrikular.5
28
Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.
Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima
untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah
0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama
kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan
kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio
I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis
neonatorum dapat ditegakkan.5
Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan
yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau
peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui
sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat
proses persalinan.
Pemeriksaan kadar D-dimer.
D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh
karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem
fibrinolisis.63 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak
spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh
penyebab lain seperti trombosis, keganasan dan terapi trombolitik.64, 65,66, 67
Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara
lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole
blood agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan
antibodi monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks.
Metode ini sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal,
namun kurang sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara
ELISA konvensional dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan
kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif
lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA
antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan
cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati
cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda
bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing metode, belum ada
satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas abnormal.
29
3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-
6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di
neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi
yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah
stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai
proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L.
Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada
diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic
work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk
mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor
yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan,
jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan
infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).5,68,69
Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai
sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi
positif 48,77%.70 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis
awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.71
Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan
dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.
Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik72
Sumber: http://neoreviews.aappublications.org
30
Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik72
Sumber: Kruger M, et al. Biol Neonate 2001; 80: 118-123
3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT)
PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat
13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel
parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam
darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama
bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya
menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni
31
beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik
dapat dihentikan.5
IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem
imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan
fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis
protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis
neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum
peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak
terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari
penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan
dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan
kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya
dan risiko pemberian antibiotik.73,74 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh
terhadap hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9.
Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi
terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma
terjadi pada waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun.
Perbandingan waktu dan konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada gambar
9.
Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP
32
3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa
Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini
pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan
mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar
Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna
mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain
bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan
prognosis pasien sepsis neonatorum.
Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan
spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan
oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang
menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor
risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.75
PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien
sepsis neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada
kuman dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi
dan sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau,
diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan
memperbaiki prognosis pasien.23
Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga
bermanfaat untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik
molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah
terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif
88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan
lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive
test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala
sepsis.
Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk
mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.
Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas
98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat
terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah
Sakit Rujukan Propinsi.
33
3.6.3.2 Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,
misalnya:
- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS
(Respiratory Distress Syndrome).
- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.5
- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan
dini yang telah terbukti dengan kultur.22
Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks
untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark
ataupun abses.5
USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan
ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan
perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan
progresivitas komplikasi.5
3.6.4. Pendekatan Diagnosis
Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan
diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit.
Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar.
Oleh karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan
berbagai cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang
mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan
diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan
diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko
tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10).76
Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko 77
Risiko mayor
1. Ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
5. Ketuban berbau
34
Risiko minor
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka
pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan
penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan
dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih
efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.76
Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan
memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan
diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya
dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau
sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem
skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan
diagnosis sepsis awitan lambat.77
Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal77
Penemuan Skor
Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem pernafasan,
gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).
Jumlah leukosit total
35
3. Laju endap darah 15 mm/jam
4. Lateks C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)
5. Lateks haptoglobin positif (>25 mg/100 mL)
Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini
mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga
dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan
spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78
Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga
dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil
pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring
system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79
Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini
dan lambat80
Penemuan Skor
Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat.
Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun.
Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) 0,3
Jumlah imatur PMN meningkat.
Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (5000/mm3 atau 25.000, 30.000, dan
21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari).
Terdapat perubahan degeneratif pada PMN 3+ untuk vakuolisasi, granulasi toksik, dan
badan Dohle.
Jumlah trombosit 150.000 / mm3.
1
1
1
1
1
1
1
Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7
Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum
awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar
jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor 3 maka
sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79
Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana
karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan
darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah
mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang
menunjang sistem skoring tersebut.79
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan
36
menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16
Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16
Variabel Klinik
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
3.7. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu
dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan
pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan
komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan
antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman
penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut segera
diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif
(adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum
terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous
37
immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan
penggunaan sitokin rekombinan.5
3.7.1 Pemberian antibiotik
Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan
pengobatan dapat menyebabkan kematian.17,80 Pada kasus tersangka sepsis, terapi
antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah
diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan
dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan
pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik
harus dihentikan.187
Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat
universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah
resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan
resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.19 Oleh karena itu, kebijakan dalam
pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans
bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal
untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.19,52
Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu,
mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.81 Pemakaian antibiotik
secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.19,82
Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan
menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti
Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta
lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan
bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap
vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang
mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 53,83
Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram
negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira
50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap
sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilin-
tazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul
(kira-kira 20%).53
Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada
bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan
38
Enterobacter sp.84 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk
terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai
angka prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp.
menunjukkan resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan
gentamisin; resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan
seftriakson; dan resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.81 Data
terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUI-
RSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat
tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua
(sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini ketiga
(imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter
sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus
sp. masih sensitif terhadap amikasin.82
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens
sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan
insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten
terhadap ampisilin.80,85 Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,
seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif
memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena
itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan
untuk mencegah resistensi tersebut. 86
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme
pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan
memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara
berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.53
Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan
intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus
berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.87
Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan
intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif
untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti
telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi
(kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi
justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.54,87
39
3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan
Listeria monocytogenes.18 Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah
aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif
terhadap semua organisme penyebab SAD.18,22 Kombinasi ini sangat dianjurkan
karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.18
3.7.1.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga
digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab
infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena
telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.
Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau
amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh
sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat
menginaktifkan aminoglikosida lain.18
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular),
obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan
sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus
dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan
piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan
seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif
terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.18
Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin
atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan
utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat
baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten
terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat
menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian,
sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis
karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara
berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten
dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi
ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas
dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
40
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik
lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati
dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).18
Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak
bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya
disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan
neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan
secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik.
3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ
atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada
keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian
inotropik, dan pemberian komponen darah.88,89,90 Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di
kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian
transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.
3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)
Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti
merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini
dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada
proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi
komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.5 Manfaat pemberian
IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat
kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi
prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak
memperlihatkan perbedaan.91 Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk.
melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi
kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.92
Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah
dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT)
didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga
41
terinfeksi.93 Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis,
angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada
belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus
Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan
angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah
pemberian IVIG poliklonal.94
Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan
kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang
dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti
aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.96
3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-
CSF)
Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan
masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien
sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-
CSF.97 Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.98 G-CSF
merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya
adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas
kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan
fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis
neonatorum.99 Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di
dalam sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang
meningkat.100 Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun
dapat meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum
tulang dan dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun
tidak memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.100,101 Oleh karena
itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan tetapi beberapa klinik
menggunakannya dengan dosis 10 g/kg/hari pada pasien dengan neutropenia yang
tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90 Dari Cochrane review
disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup untuk menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara rutin dalam
mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan pemberian
IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95
Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi
jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.
42
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi
nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan
membutuhkan biaya yang mahal.89
3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT)
Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,
sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai
pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama
antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.
Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan
plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.102,103,104,105 Tujuan TT
pada sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan
memperbaiki keadaan umum pasien.88,102,104 Dikatakan demikian karena berdasarkan
penelitian-penelitian yang pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT
dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan
fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta
jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan
oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan
konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distres
pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah
yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan
atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming
the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric
exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersama-
sama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien)
dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra
indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan
tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding
diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah
kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.106
TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan
TT memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup
menjanjikan dan menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia,
sklerema, DIC dan asidosis berat. Tabel 14 di bawah ini, menunjukkan survival dari
beberapa penelitian kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan
43
juga mengenai efek samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat
menyebabkan kematian.107
Tabel 14. Angka Survival bayi yang dilakukan TT108
Peneliti Survival (n) (%)
Dilakukan TT Tidak dilakukan TT
Prodhom et al, 1974 7/8 (88) 0/8(0)
Tollner et al, 1977 10/10 (100) 5/10(50)
Pearse et al, 1978 13/19(68) 7/17(41)
Belohradsky et al, 1978 37/74 (50) 60/132 (45)
Countney et al, 1979 23/34 (68) 4/14 (29)
Lemos, 1981 8/8 (100) 0/14 (0)
Bassi et al, 1981 12/22 (55) 7/13 (54)
Narayanan et al, 1984 8/20 (40) 2/20 (10)
Xanthou et al, 1985 25/44 (57) 18/62
Gross et al, 1987 7/11 (64) 8/11 (73)
Total 150/250 (60) 111/311 (35.69)
Sumber : Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. 2002
3.7.2.4 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pada bayi dengan sepsis, pemberian FFP biasanya diberikan apabila
ditemukan gangguan koagulasi. Gangguan koagulasi yang sering dihadapi pasien
adalah Koagulasi Diseminasi Intravaskular/KID (Disseminated Intravascular
Coaagulation/DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi,
komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun
FFP mengandung antibodi protektif tertentu, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah
antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada
pemberian secara kontinyu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam), kadar proteksi baru
dapat dicapai. Studi yang dilaporkan oleh Acuna et al mengemukakan bahwa pada
kenyataannya FFP hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar
IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena
(Intravena Immunoglobulin-IVIG), pemberian IVIG ini akan lebih aman dalam
menghindarkan efek samping pemberian FFP.97
3.7.2.5 Pemberian Pentoxifilin
Pentoxifilin merupakan turunan xantin yang memiliki aktivitas inhibitor
fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane
44
review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum
terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.108
3.7.2.6 Pemberian Melatonin
Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal
bebas. Melatonin merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin yang
dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvant untuk mengatasi sepsis
neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari.
Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini
merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok kontrol.
Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dengan sampel
yang lebih besar.109
3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik
Seperti telah dikemukakan terdahulu bah