Post on 02-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Acara :Pengolahan/Pengawetan dengan Pengasapan
B. Hari/Tanggal : Kamis/21 Oktober 2010
C.Tujuan :
1. Mengetahui cara-cara pengasapan pangan
2. Memilih bahan bakar yang menghasilkan aroma yang khas
pada pangan yang diasap
3.Mengolah/mengawetkan pangan dengan pengasapan
4.Menilai secara organoleptik pangan yang diasap
1
BAB II
METODE PERCOBAAN
A. Alat dan Bahan
Alat :
1. Pengasap panas
2. Pengasap dingin
3. Alumunium foil secukupnya
Bahan :
1. Daging sapi
2. Daging ayam
3. Daging tuna
4. Garam
5. Asap cair
2
B. Cara Kerja
Daging sapi, daging ayam, ikan tuna
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pengasapan merupakan penggabungan antara proses penggaraman,
pengasapan dan pengeringan. Pada proses pengasapan ikan, perlakuan penggaraman
diterapkan sebelum ikan diasap dengan cara merendam ikan dalam larutan garam (brine) yang
kekentalannya serta lama perendamannya disesuaikan dengan selera konsumen atau
Menimbang ikan
Menyiangi, mencuci, dan membersihkan bahan
Merendam dalam larutan garam 10% selama 15 menit
Menimbang bahan (BDD)
Merendam dalam larutan asap cair selama 2 menitTanpa pengasapan
Larutan asap cair 4%
Larutan asap cair 3%
Larutan asap cair 2%
Membumbui bahan dan mendiamkan selama 15 menit
Meletakkan di atas Loyang yang telah berisi allumunium foil
Memasukkan ikan kedalam oven selama 25 menit (setiap 10 menit dilakukan uji organoleptik)
Mematangkan
Menimbang dan menguji organoleptik
permintaan pasar. Perendaman ikan dalam larutan garam dilakukan dengan konsentrasi 10%-
15% dari berat ikan selama 30-40 menit. Moeljanto (1998) mengatakan bahwa tujuan
penggaraman adalah agar daging ikan menjadi kompak (firm) karena penghisapan air oleh
garam dan penggumpalan protein dalam daging ikan. Penggaraman juga bertujuan agar rasa
daging ikan menjadi lebih enak (5-15%) dan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk.
Menurut Wibowo (1992), Pengggaraman ikan mengakibatkan pengeluaran sebagian air dari
jaringan ikan dan diganti larutan garam. Penggaraman dapat dilakukan dengan cara merendam
di dalam larutan garam atau menaburkan garam kering ke permukaan ikan, dengan kadar
garam antara 1-20 % berat ikan.
Ikan yang telah mengalami proses penggaraman akan mempunyai daya simpan dan
daya awet yang tinggi karena garam dapat menghambat atau menghentikan sama sekali reaksi
autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh ikan. Dimana garam menyerap
cairan tubuh ikan sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan,
bahkan akhirnya mematikan bakteri. Selain menyerap cairan tubuh ikan, garam juga menyerap
cairan tubuh bakteri sehingga bakteri akan mengalami kekeringan dan akhirnya mati
(Jabat,2007).
Dalam membuat ikan asap kita harus menyiangi ikan terlebih dahulu untuk mengurangi
kontaminasi bakteri terutama yang ada di insang dan bagian alat pencernaan. Setelah
penyiangan, ikan selanjutnya dicuci sampai bersih dari kotoran dan sisa darah dengan air yang
mengalir. Setelah disiangi ikan lalu direndam dalam larutan garam. Setelah itu Penirisan ikan
dilakukan setelah perendaman dalam larutan garam, bertujuan untuk mengurangi jumlah air
yang menempel pada ikan dengan menggatungkannya pada rak-rak selama 1-4 jam hingga
permukaan kering. Setelah itu baru kita lakukan proses pengasapan (Jabat 2007).
Ikan yang diasapi dapat berupa ikan segar yang baru di tangkap, atau yang sudah
didinginkan atau dibekukan. Ikan asap dapat berbentuk utuh, fillet, pembelahan atau bagian
kepala dihilangkan tergantung pada ukuran ikan dan selera konsumen (Swastawati, 2002).
Penggunaan bawang putih bertujuan untuk menambah citarasa ikan asap juga dapat
berperan sebagai bahan pengawet. Bawang putih selain mengandung aroma khas juga
mengandung senyawa allisin yang berfungsi sebagai antibakteri.
Ikan yang digunakan dalam praktikum pengasapan ini adalah ikan tuna, secara
organoleptik ikan tuna yang di gunakan terlihat segar. Tanda-tanda ikan yang masih segar
antara lain : daging kenyal,mata jernih menonjol,sisik kuat dan mengkilat,sirip kuat,warna
keseluruhan termasuk kulit cemerlang,insang berwarna merah,dinding perut kuat,bau ikan
segar.
Tabel 1.1 Tabel Hasil pengamatan setiap 10 menit
10 menit
pertama
Pengamatan Tanpa Asap Cair
Asap Cair 2% Asap Cair 3% Asap Cair 4%
Rasa Asin Asin Lebih asin Asin sekaliWarna Putih Putih Putih PutihAroma Amis, bau
bawang menyengat
Amis bawang Agak amis, bau bawang
Bau asap menyengat
Tekstur Halus, lunak Halus, lunak Halus, lebih lunak
Lebih halus
Bentuk Padat Padat berair Padat lebih beair
Agak padat
10 menit kedua
Rasa Asin Asin Lebih asin Asin sekaliWarna Putih Putih Putih PutihAroma Bau bumbu
bawangAgak amis, bau
bawangBau bawang Bau asap
menyengatTekstur Halus, lunak Halus, lunak Halus, lunak Halus, lunakBentuk Padat Padat tidak
berairPadat tidak
berairPadat rapuh
Hasil dari pengamatan tanpa oven pada 10 menit pertama dengan konsentrasi asap cair 4%
memiliki rasa yang lebih asin daripada menggunakan asap cair dengan konsentrasi 2% dan 3%.
Dari segi warna meskipun berbeda konsentrasi tetap memiliki warna yang sama yaitu sama-
sama putih. Aroma amis lebih tercium pada konsentrasi yang lebih rendah. Tekstur dengan
konsentrasi tinggi lebih halus daripada konsentrasi rendah. Pada konsentrasi asap cair 2%
bentuknya lebih padat daripada ikan yang direndam dalam konsentrasi lebih tinggi.
Pada 10 menit kedua rasa dengan konsentrasi asap cair yang lebih tinggi masih tetap lebih
asin,warna pada semuanya tetap putih. Aroma tidak berubah masih sama dengan 10 menitu
pertama. Teksturnya menjadi lebih lunak pada semua konsentrasi asap cair,bentuknya pada
konsentrasi 4% menjadi padat dan rapuh sedangkan pada konsentrasi 2 dan 3% menjadi padat
dan tidak berair.
Tabel 1.2.Tabel Hasil Uji Organoleptik Ikan Setelah Dioven 25 Menit
Uji Organoleptik Tanpa Asap Cair Asap Cair 2% Asap Cair 3% Asap Cair 4%Rasa Asin Asin Lebih asin Asin sekali
Warna Putih Putih Putih PutihAroma Bau berbumbu Tidak
amis,berbumbuAgak amis, berbumbu
Bau asam menyengat
Tekstur Halus, lunak Halus,lunak Halus, lunak Halus, lunakBentuk Padat kering Padat kering Padat kering Padat kering
Pada ikan asap yang dioven selama 25 menit rasa pada konsentrasi tinggi akan lebih
asin, warna pada semua konsentrasi tidak ada yang berbeda. Aroma pada ikan tanpa asap cair
lebih mengarah ke bau bumbu, pada ikan dengan asap cair 2% tidak bau amis dan ada aroma
bumbu,pada ikan dengan asap cair 3% aromanya agak amis dan ada aroma bumbu,pada ikan
dengan konsentrasi asap cair 4% memiliki bau asam yang menyengat. Tekstur pada
keseluruhan ikan setelah di oven adalah halus dan lunak sedangkan bentuknya padat dan
kering.
Dari pengamatan di atas pada ikan yang diberikan konsentrasi asap cair lebih tinggi
akan paling tampak perbedaan organoleptiknya. Dan akan semakin tampak perbedaan
organoleptiknya jika ikan tersebut di oven.
Tabel 1.3. Tabel Hasil Pengamatan Berat Bahan Ikan Tuna
Berat awal bahan : 217,4 gr
Berat setelah disiangi : 62,6 gr ( ½ bagian ikan )
Tanpa asap cair Asap cair 2% Asap cair 3% Asap cair 4%Berat awal (Setelah dipotong) 6,3 gr 6,2 gr 5,3 gr 4,8 grBerat setelah dioven 25 menit 6 gr 5 gr 4 gr 4 gr
Setelah dilakukan pengovenan selama 25 menit ikan tuna akan mengalami penyusutan
berat hal ini dikarenakan suhu oven yang panas mampu menguapkan air di dalam ikan tersebut.
Suhu yang tinggi dapat menghentikan aktifitas enzim-enzim yang tidak diinginkan,
menggumpalkan protein ikan dan menguapkan sebagian air dari dalam jaringan daging ikan
(Jabat,2007).
Pada pengasapan terdapat beberapa proses yang mempunyai efek pengawetan, yaitu :
penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapannya sendiri. Pengasapan adalah
salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses pengawetan makanan, terutama
daging, ikan. Makanan diasapi dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu,
dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak terpanggang atau terbakar. Sewaktu
pengasapan berlangsung, makanan harus dijaga agar seluruh bagian makanan terkena asap.
Waktu pengasapan bergantung ukuran potongan daging dan jenis ikan. Api perlu dijaga agar
tidak boleh terlalu besar. Bila suhu tempat pengasapan terlalu panas, asap tidak dapat masuk
ke dalam makanan. Sewaktu pengasapan dimulai, api yang dipakai tidak boleh terlalu besar
(Anonim,2010). Tujuan dari pengasapan adalah untuk mengawetkan dan memberi warna dan
rasa spesifik pada ikan. Butiran-butiran asap mengambil peranan penting dalam pewarnaan.
Pengeringan mempunyai fungsi penting dalam pengawetan ikan asap, kecepatan penyerapan
asap kedalam daging ikan dan pengeringannnya tergantung kepada banyaknya asap yang
terjadi, suhu dan kandungan air dari ikan yang diasapi (Jabat,2007).
Cara membuat asap cair dengan konsentrasi 2% adalah dengan mengencerkan 10ml
asap cair di dalam 500 ml air, asap cair dengan konsentrasi 3% dibuat dengan mengencerkan
15 ml asap cair ke dalam 500 ml air, dan asap cair dengan konsentrasi 4%dibuat dengan cara
mengencerkan 20 ml asap cair ke dalam 500 ml air.
Ikan yang di asap akan memiliki kulit yang mengkilap hal ini disebabkan karena
terjadinya reaksi-reaksi kimia di antara zat-zat yang terdapat dalam asap, yaitu antara
formaldehid dengan phenol yang menghasilkan lapisan damar tiruan pada permukaan ikan
sehingga menjadi mengkilap. Untuk berlangsungnya reaksi ini diperlukan suasan asam dan
asam ini telah tersedia di dalam asap itu sendiri. Warna ikan asap yang baik biasanya kuning
emas sampai kecoklatan dan warna ini timbul karena terjadinya reaksi kimia antara phenol dari
asap dengan oksigen dari udara. Setelah diasapi ikan mempunyai rasa yang sangat spesifik,
yaitu rasa keasap-asapan yang sedap. Rasa tersebut dihasilkan oleh asam-asam organic dan
phenol serta zat-zat lain sebagai pembantu (Jabat,2007).
Kandungan gizi ikan tuna mentah dalam 100 gr
Hasil penelitian Swastawati (2004) membuktikan bahwa lama pengasapan dapat
mempengaruhi komposisi nutrisi ikan terutama kadar lemaknya. Suhu yang tinggi selama
proses pengasapan ikan dapat menurunkan kadar asam lemak omega-3 (DHA) ikan. Oleh
karena itu perlu dipertimbangkan lama waktu pengasapan ikan yang benar-benar efektif untuk
mempertahankan nilai gizi sekaligus mengawetkan dan aman bagi konsumen.
Ada 2 cara pengasapan utama yang biasa dilakukan ialah Pengasapan Dingin (cold
smoking) dan Pengasapan Panas (hot smoking), pada pengasapan dingin suhu asap tidak
boleh melebihi 400C, kelembaban nisbi (R.H) yang terbaik antara 60 – 70%. Di atas 70% proses
pengeringan berlangsung sangat lambat dan di bawah 60 % permukaan ikan akan mengering
terlalu cepat, kadar air ikan asap yang dihasilkan dengan cara pengasapan dingin relatif rendah,
sehingga pengasapan terutama diterapkan untuk tujuan pengawetan ikan (ikan asapnya lebih
awet dari pada yang dihasilkan dengan cara pengasapan panas).Pada pengasapan panas,
suhu asap mencapai 1200C atau lebih dan suhu pada daging ikan bagian dalam dapat
mencapai 600C. Kadar air ikan asap yang dihasilkan relatif masih tinggi, sehingga daya awetnya
lebih rendah daripada yang dihasilkan dengan cara pengasapan dingin. Pengasapan panas
biasanya menghasilkan ikan asap yang mempunyai rasa yang baik. Untuk memperoleh rasa
Zat gizi Jumlah dalam 100 gr
AirEnergiProtein Total lemak
59.83g198 kkal29.13 g8.2 g
ikan asap yang diinginkan, perlu dilakukan variasi pada penggaraman dan perlakuan-perlakuan
pendahuluannya (Jabat,2007)
Dalam pengasapan panas biasanya dalam ruang pengasapan suhunya sekitar 70-85oC,
suhu panas yang ada dalam alat pengasapan sepenuhnya diserap oleh ikan-ikan itu sehingga
dengan cepat ikan akan menjadi kering dan matang, rasa ikan menjadi enak dan berdaging
lunak (Irawan,1997).
Peralatan yang dipergunakan pada pengasapan panas dan pengasapan dingin ialah
kamar asap tradisional atau mekanik, kamar tradisional sangat sederhana dan ikan hanya di
gantungkan di atas api yang berasal dari serbuk gergaji. Kontrol terhadap jumlah panas dan
asap yang dihasilkan sangat sulit dilakukan, oleh karena itu dalam usaha memperbaiki proses
pengasapan telah dikembangkan berbagai pola kamar asap mekanik. Dalam kamar asap
mekanik ini suhu dan asap yang mengalir kedala kamar asap dapat dikontrol dengan baik dan
mudah (Jabat,2007)
Menurut (Winarno,1993) Teknik pengasapan tradisional biasanya menggunakan
peralatan yang sederhana, tanpa adanya pertimbangan untuk menjaga mutu ikan sebagai
bahanmentah dengan standar sanitasi dan hygiene yang sangat rendah. Konsekuensinya
produk akhir tidak menarik bentuk maupun penampilannya, tidak merangsang selera, dan
bahkan tidak cocok untuk digunakan sebagai makanan
Kriteria mutu sensoris ikan asap yang baik adalah sebagai berikut:
Parameter Deskripsi Mutu Ikan Asap
Kenampakan Permukaan ikan asap cerah, cemerlang dan
mengkilap. Kalau kusam dan suram menunjukkan
bahwa ikan yang diasap sudah kurang bagus
mutunya atau karena perlakuan dan proses
pengasapan tidak dilakukan dengan baik dan benar.
Tidak tampak adanya kotoran berupa darah yang
mengering, sisa isi perut, abu, atau kotoran lain.
Adanya kotoran semacam ini menjadi indikasi kalau
pengolahan dan pengasapannya tidak baik. Kalau
pada permukaan ikan terdapat deposit kristal garam
maka hal ini menunjukkan bahwa penggaraman
terlalu berat dan tentunya rasanya sangat asin.
Pada ikan asap tidak tampak tanda-tanda adanya
jamur atau lendir.
Warna Ikan asap berwarna coklat keemasan, coklat
kekuningan, atau cokelat agak gelap. Warna ikan
asap tersebar merata. Adanya warna kemerahan
disekitar tulang atau warna gelap di bagian perut
menunjukkan bahwa ikan yang diasap sudah
bermutu rendah.
Bau Bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam,
tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa
bau asam, tanpa bau apak.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai
tajam, tanpa rasa getir atau pahit, tidak terasa tengik.
Tekstur Tekstur kompak, cukup elastis, tidak terlalu keras
(kecuali produk tertentu seperti ikan kayu), tidak
lembek, tidak rapuh, dan tidak lengket. Hendaknya
kulit ikan tidak mudah dikelupas dari dagingnya.
Sumber : Wibowo (2002)
Asap kayu terdiri dari uap dan padatan yang berupa partikel-partikel yang amat kecil
yang keduanya mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dalam perbandingan yang
berbeda. Senyawa-senyawa kimia yang menguap diserap oleh ikan terutama dalam bentuk uap,
senyawa tersebut memberikan warna dan rasa yang diinginkan pada ikan asap. Partikel-partikel
padatan tidak begitu penting pada proses pengasapan dan asap akan mengawetkan makanan
karena adanya aksi desinfeksi dari formaldehid, asam asetat dan phenol yang terkandung
dalam asap. Bila kayu atau serbuk kayu dibakar, maka selulose akan diuraikan menjadi alkohol-
alkohol berantai lurus yang lebih pendek, aldehid-aldehid, keton-keton dan asam-asam organic.
Selain lignin diuraikan menjadi turunan-turunan phenol, quinol, guaikol dan piragatol. Dengan
menggunakan teknik kromatografi kertas telah diketahui adanya kurang lebih 20 macam
senyawa kimia dalam asap. Persentase setiap senyawa kimia pada asap yang dihasilkan
tergantung kepada jenis kayu yang digunakan.
Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu tinggi maka harus digunakan jenis kayu
keras (non-resinous) atau sabut dan tempurung kelapa, sebab kayu-kayu yang lunak akan
menghasilkan asap yang mengandung senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan hal-hal dan
bau yang tidak diinginkan (Jabat,2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengasapan, antara lain :
1. Jenis bahan bakar.
Jenis kayu yang baik untuk digunakan sebagai bahan bakar adalah kayu keras
seperti kayu turi,serbuk gergaji, kayu jati, sabut dan tempurung kelapa (Wibowo, 2002).
Jenis kayu keras mengandung senyawa phenol dan asam organik yang cukup tinggi
yang sangat dibutuhkan untuk proses pengasapan. (Kanoni, 1991).
2. Kepekatan asap.
Asap mempunyai efek antibakteri atau bakterisidal sehingga dapat
mengawetkan ikan. Menurut Hudaya et al., (1981) apabila mengandung kadar air tinggi
maka asap akan pekat sedangkan bila berkadar air rendah maka asap akan tipis.
3. Suhu.
Sebaiknya asap tidak dihasilkan dari pembakaran di atas 175-205°C, karena
pada suhu tinggi akan menimbulkan rasa pahit dan zat karsinogenik pada produk.
Pada pengasapan yang dilakukan dengan suhu tinggi juga dapat menyebabkan hasil
produk yang kurang baik, karena permukaan daging akan mengeras sehingga cairan
pada bagian dalam tubuh ikan menjadi terhalang penguapannya. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya peristiwa “case hardening”. (bagian luar daging ikan
mengering tetapi bagian dalamnya masih basah).
4. Kelembaban udara. (RH)
Proses penyerapan asap sangat mempengaruhi kelembaban udara, sehingga
pengontrolan sangat penting. Kelembaban yang tinggi menambah waktu pengasapan
dan memperbanyak konsentrasi asap yang terserap dalam daging ikan sehingga rasa
asap menjadi sangat kuat, tetapi produk tidak kering. Sebaliknya RH yang terlalu
rendah dapat menghambat penyerapan asap.
5. Sirkulasi udara.
Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan asap yang
lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan selama proses
pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan kontinyu sehingga
partikel asap yang melekat menjadi terarah dan merata (Afrianto dan Liviawaty, 1993).
6. Lama Pengasapan.
Asap cair merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang dibuat
dengan mengkondensasikan asap cair hasil pirolisis. Asap cair hasil pirolisis ini tergantung pada
bahan dasar dan suhu pirolisis (Darmaji dkk, 1998). Asap memiliki kemampuan untuk
mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Pirolisis
tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13 %,
karbonil 11,3 % dan asam 10,2%. Asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk
karena terjadinya pirolisis tiga komponen kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi. Komponen-
komponen tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis kayu, umur
tanaman sumber kayu, dan kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah. Komponen-
komponen tersebut meliputi asam yang dapat mempengaruhi citarasa, pH dan umur simpan
produk asapan; karbonil yang bereaksi dengan protein dan membentuk pewarnaan coklat dan
fenol yang merupakan pembentuk utama aroma dan menunjukkan aktivitas antioksidan (Astuti,
2000). Komposisi unsur kimia asap adalah sebagai berikut:
Zaitsev et . al. (1996)
Keuntungan penggunaan asap cair menurut Maga (1986) antara lain lebih intensif dalam
pemberian citarasa, kontrol hilangnya citarasa lebih mudah, dapat diaplikasikan pada berbagai
jenis bahan pangan, lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai bahan asap, polusi lingkungan
dapat diperkecil dan dapat diaplikasikan ke dalam bahan dengan berbagai cara seperti
penyemprotan, pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan.
Penggunaan asap cair yang diproses dengan baik dapat mengeliminasi komponen asap
berbahaya yang berupa hidrokarbon polisiklis aromatis. Komponen ini tidak diharapkan karena
beberapa di antaranya terbukti bersifat karsinogen pada dosis tinggi. Melalui pembakaran
terkontrol, aging, dan teknik pengolahan yang semakin baik, tar dan fraksi minyak berat dapat
dipisahkan sehingga produk asapan yang dihasilkan mendekati bebas HPA (Pszczola,1995)
Adanya senyawa fenol dalam asap cair memberikan sifat antioksidan terhadap fraksi
minyak dalam produk asapan. Dimana senyawa fenolat ini dapat berperan sebagai donor
hidrogen dan efektif dalam jumlah sangat kecil untuk menghambat autooksidasi lemak (Astuti,
2000). Asam-asam yang ada di dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat,
butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat mempengaruhi
flavor, pH dan umur simpan makanan (Pszczola, 1995). Senyawa asam terutama asam asetat
mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal. Asam
asetat bersifat mampu menembus dinding sel dan secara efisien mampu menetralisir gradien
pH transmembran.
Peran bakteriostatik dari asap cair semula hanya disebabkan karena adanya formaldehid
saja tetapi aktivitas dari senyawa ini saja tidak cukup sebagai penyebab semua efek yang
diamati. Kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam-asam organik yang bekerja
secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikrobia (Pszczola1995). Adanya fenol
dengan titik didih tinggi dalam asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi (Astuti, 2000).
Menurut Ruiter (1979) karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan
warna coklat pada produk asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah
aldehid glioksal dan metal glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan
peranan yang rendah. Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada
produk yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil.
Senyawa karbonil (aldehid dan keton) mempunyai pengaruh utama pada warna (reaksi
maillard) sedang pengaruhnya pada citarasa kurang menonjol. Warna produk asapan
disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan gugus amino (Girard, 1992). Kandungan
senyawa karbonil dari berbagai jenis kayu bervariasi antara 8,56-15,23% dengan variasi rata-
rata 11,84% sedangkan untuk tempurung kelapa sebesar 13,28% (Tranggono., dkk, 1996).
Pembuatan asap cair dilakukan dengan destilasi.Bahan cangkang sawit sebelumnya
dianalisa kadar hemiselulosa, selulosa dan lignin kemudian kadar airnya dibuat menjadi 8%,
13% dan 18% dengan pengering kabinet.Asap cair dibuat dengan memasukkan 1 kg cangkang
sawit ke dalam reaktor kemudian ditutup dan rangkaian kondensor dipasang.Selanjutnya dapur
pemanas dihidupkan dengan mengatur suhu dan waktu yang dikehendaki.Pada penelitian ini
suhu yang digunakan 350°C, 400°C dan 450 °C sedangkan waktu yang digunakan adalah 45
menit, 60 menit dan 75 menit yang dihitung pada saat tercapai suhu yang dikehendaki.Asap
yang keluar dari reaktor akan mengalir ke kolom pendingin melalui pipa penyalur asap yang
mana pada pipa ini terdapat selang yang dihubungkan botol penampung untuk menampung tar ,
kemudian ke dalam kolom pendingin ini dialirkan air dengan suhu kamar menggunakan aerator
sehingga asap akan terkondensasi dan mencair.Embunan berupa asap cair yang masih
bercampur dengan tar ditampung kedalam erlenmeyer, selanjutnya disimpan di dalam botol,
sedangkan asap yang tidak terembunkan akan terbuang melalui selang penyalur asap
sisa.Selanjutnya asap cair + tar yang terdapat didalam botol dilakukan pengendapan untuk
memisahkan tar dan asap cair (Darmadji,2005).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.KESIMPULAN
1. Pengasapan terdiri dari 2 macam cara yaitu pengasapan dingin dan pengasapan
panas.
2. Jenis kayu yang baik untuk digunakan sebagai bahan bakar adalah kayu keras
seperti kayu turi,serbuk gergaji, kayu jati, sabut dan tempurung kelapa
3. Pengasapan dilakukan memlalui beberapa tahap yaitu
penggaraman,pengeringan,pemanasan dan pengasapan.
4. Pangan yang telah diolah dengan pengasapan akan memiliki aroma dan rasa
yang khas.
B. SARAN
Sebaikmya selain menggunakan asap cair dalam praktikum juga dilakukan dengan
pengasapan biasa (kering) agar dapat membandingkan perbedaanya.
Tangerang,10 November 2010
Asisten Praktikan
Wening Widyastari Wulandari Riantina Rizky Nir Sonia Prameswari
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1993. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Darmadji, P ,Setiawan, I,Raharjo, B. 1997. Pengawetan Ikan dengan Pencelupan dalam Liquid
Smoke. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Buku I. Perhimpunan Ahli
Teknologi Indonesia. Jakarta.
Darmadji,P.2005. Asap Cair Dari Cangkang Sawit. http://www.iptek.net.id
Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat and Meat Product. Pure Appl. Chem., 49 :
1640-1653.
Hudaya, S. dan Daradjat, S. 1981. Dasar-Dasar Pengawetan I. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta,
Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Penerbit Aneka. Solo
Moeljanto, R. 1998. Pengolahan Ikan Untuk Indonesia. Penerbit Nelpan, Jakarta.
Jabat,2007.Pembuatan Ikan Asap. http://bisnisukm.com/pembuatan-ikan-asap.html
Kanoni, S. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Ikan. PAU Pangan dan Gizi. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Maga,J.A.1986.PAH of Mesquite smoke and grilled beef.J.Agric.Food.Chem (34) 249-251
Pszczola, D. E. 1995. Tour Higlights Production and Uses of Smoke Base Flavors. Food Tech.
(49): 70-74
Swastawati, F. 2002. Pengasapan Ikan dengan Smoking cabinet. Badan Penerbit Undip.
Semarang.
Swastawati, F. 2004. The Effect of Different Concentration of salt and Smoking Duration to the
Quality and Self-Life of Smoked Milkfish (Chanos-chanos sp). Proceeding of the JSPS-
DGHE International Workshop on Processing Technology of Fisheries Products. Vol 18,
March 2004. ISBN : 4-925135-18-9. Page 223-227.
Tranggono, dkk. 1996. Identifikasi Asap cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. J.
ilmu dan Tek. Pangan. Vol. 1(2) : 15-24.
Wibowo. S. 1992. Petunjuk Laboratorium (Industri Mikrobiologi dan Bioteknologi). PAU UGM.
Yogyakarta.
Wibowo, S. 2002. Industri Pengasapan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Winarno, F.G. 1993. Kimia Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka
Umum. Jakarta.
Zaitsev, V.I., Keizevetter, L. Lagunov, T. Makarova, D. Minder and V. Padsevalvo. 1996. Fish
Curing and Processing. Mir Published.Moskow.