Post on 04-Feb-2018
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR 02 TAHUN 2006
TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Provinsi Jawa Timur
dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna,
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah.
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan atar
sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah
merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan /atau dunia usaha.
c. bahwa telah terjadi perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang
wilayah yang tidak sesuai dengan Perda Nomor 4 tahun 1966
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur.
d. bahwa sehubungan dengan adanya perubahan sistem
pemerintahan yang berpengaruh terhadap sistem penataan ruang
wilayah.
e. bahwa dengan ditetapkannya peraturan pemerintah Nomor 47
Tahun 1997 tentang RTRW Nasional, maka strategi dan arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan
ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a, b, dan c,
perlu menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Timur dengan peraturan daerah Provinsi Jawa Timur
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Provinsi Jawa Timur Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1950 tentang Mengadakan Perubahan Dalam Undang-Undang
Tahun 1950 Nomor 2 Dari Hal Pembentukan Provinsi Jawa Timur
(Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 32);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2824);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274);
6. Undang-Undang 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317);
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419).
8. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3427);
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469) ;
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya (Lembaran Negara Tahun 1992 Tahun 1992 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469);
11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3478).
12. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan lembaran
Negara Nomor 3479).
13. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu Lintas
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3480);
14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3481);
15. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3493);
16. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Negara
Nomor 3501);
17. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran negara nomor 3699);
18. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3881);
19. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Negara
Nomor 3888);
20. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4169);
21. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Negara
Nomor 1226);
22. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3477);
23. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 7389);
24. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
25. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
26. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437);
27. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4444);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3226);
29. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara 3294);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
(Tambahan Lembaran Negara Nomor 4489);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan K ewajiban, serta Bentuk dan Tata ruang
cara Peran serta masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran
Negara Tahun 1996), Nomor 104);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang RTRW
Nasional (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3721);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3747);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776)
36. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Analisa
Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat
Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara 3934);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara 3952);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
(Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 119);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4385);
41. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung;
42. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
43. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 1998 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi
dan RTRW Kabupaten / kota;
44. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
45. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Tata Cara Peran serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan
Tata Ruang di Daerah;
46. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Izin Lokasi.
47. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 TAHUN 2001
Tentang Jenis Rencana Usaha dan / atau kegiatan yang wajib di
lengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
48. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor
1456.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan
Karts;
49. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor
1457.K/20/MEM/2000 tentang Penetapan 6(enam) Pedoman
Bidang Penataan Ruang;
50. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor
327 Tahun 20023 tentang Penetapan 6 (enam) Pedoman Bidang
Penataan Ruang;
51. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 2004 tentang
Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
52. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 11
Tahun 1991 tentang Penetapan Kawasan Lindung di Provinsi
Daerah Tingkat I Jawa Timur;
53. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Hutan Raya R Soeryo;
54. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2003
tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi di Provindi
Jawa Timur;
55. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2005
tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi di Provinsi
Jawa Timur.
56. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
dan GUBERNUR JAWA TIMUR
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
2. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
3. Kabupaten / Kota adalah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
4. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarakan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan
ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya serta memelihara
kelangsungan kehidupannya.
6. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
7. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
8. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat
RTRW Provinsi adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Timur yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah provinsi.
9. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten / Kota adalah rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur.
10. Kawasan dan wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
11. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna pembangunan berkelanjutan
12. Kawasan budidaya adalah kawsasan yang telah ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
13. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar
kawasan lindung baik berupa kawsasan perkotaan maupun kawsasan
pedesaan yang berfungsi sebagai linkungan tempat
tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
14. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan
utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi.
15. Kawasan perkotaan atau perkotaan adalah kawasan yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
ekonomi.
16. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional
mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya termasuk
kawasan yang diprioritaskan.
17. Kawasan Pengembangan Utama Komoditi yang selanjutnya disebut
Kapuk adalah Kawasan ekonomi yang didominasi oleh satu komodita
dalam satu wilayah kabupaten / kota.
18. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terintegrasi yang selanjutnya
disebut Kapeksi adalah kawasan potensial dengan berbagai macam
produktifitas komoditi yang saling terkait antar wilayah kabupaten /
kota dan dapat diolah menjadi suatu komoditas baru khususnya
komoditas olahan yang saling terkait.
19. Kawasan Pengembangan Utama yang selanjutnya Kaput adalah
Kawasan budidaya yang berperan mendorong pertumbuhan ekonomi
bagi suatu kawsasan dan sekitarnya, serta dapat mewujudkan
pemerataan pengembangan wilayah dalam skala regional atau
nasional.
20. Kawasan khusus militer adalah kawsasan yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk kegiatan pertahanan dan keamanan yang terdiri
dari kawasan latihan militer, kawsasan TNI Angkatan Darat, kawasan
Pangkalan TNI AU, kawsasan pangkalan TNI laut.
21. Pusat Kegiatan Nasional adalah pusat permukiman yang mempunyai
potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan
mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya serta
sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, simpul transportasi yang
melayani beberapa provinsi dan nasional.
22. Pusat Kegiatan Wilayah adalah kota sebagai pusat jasa, pusat
pengolahan dan simpul transportasi yang melayani beberapa
kabupaten.
23. Pusat Kegiatan Lokal adalah pusat permukiman kota sebagai pusat
jasa, pusat pengolahan dan simpul transportasi yang mempunyai
pelayanan satu kabupaten atau beberapa kecamatan.
24. Kawasan Prioritas adalah kawasan yang dianggap perlu diprioritaskan
penanganannya serta memerlukan dukungan penataan ruang segera
dalam kurun waktu perencanaan.
25. Kawasan Strategis adalah kawasan yang memiliki lingkup pengaruh
yang berdampak nasional, penguasaan dan pengembangan lahan
relatif besar, mempunyai prospek ekonomi yang relatif baik, serta
memiliki daya tarik investasi.
26. Kawasan Potensial adalah kawasan yang memiliki peran untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawsaan sekitarnya serta
dapat mewujudkan pemerataan pemanfaatan ruang.
27. Kawasan Pengendalian Ketat adalah kawasan yang memerlukan
pengawasan secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk
mempertahankan daya dukung, mencegah dampak negatif, menjamin
proses pembangunan yang berkelanjutan.
28. Satuan Wilayah Pengembangan yang selanjutnya disingkat SWP
adalah suatu wilayah dengan satu dan atau semua kabupaten / kota-
perkotaan didalamnya mempunyai hubungan hirarki yang terikat oleh
sistem jaringan jalan sebagai prasarana perhubungan darat, dan atau
yang terkait oleh sistem jaringan sungan atau perairan sebagai
prasarana perhubungan air.
29. Energi baru dan terbarukan adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh
teknologi baru.
30. Energi terbarukan adalah bentuk energi yang dihasilkan dari
sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat
berkelanutan jika dikelola dengan baik.
31. Ekosistem adalah sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
32. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan generasi mendatang.
33. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan ekosistem untuk
mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus
mempertahankan produktifitas, kemampuan adaptasi dan
kemampuan memperbaruhi diri.
34. Ramah lingkungan adalah suatu kegiatan industri, jasa dan
perdagangan yang dalam proses produksi atau keluarannya
mengutamakan metoda atau teknologi yang tidak mencemari
lingkungan dan tidak berbahaya bagi makhluk hidup.
BAB II RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Timur ini mencakup strategi dan struktur pemanfaatan
ruang wilayah provinsi yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
Ruang lingkup RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
meliputi :
a. Tujuan Pemanfaatan ruang wilayah untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan yang diwujudkan melalui
strategi pemanfaatan ruang wilayah untuk tercapainya pemanfaatan
ruang yang berkualitas.
b. Struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah.
c. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.
BAB III ASAS, TUJUAN DAN STRATEGI
Pasal 4
RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disusun
berasaskan :
a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, tepat
guna, berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan.
b. Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Pasal 5
Tujuan pemanfaatan ruang wilayah sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3
huruf a, adalah :
a. Mengakomodasikan kebijakan pembangunana dari pemerintah dan
aspirasi masyarakat dalam dimensi ruang
b. Mengemban kebijakan pengembangan dan mendorong pertumbuhan
wilayah berdasarkan potensi pembangunan;
c. Mewujudkan tata lingkungan yang serasi antara sumber daya alam,
sumber daya buatan, sumber daya manusia sehingga terwujudnya
kehidupan masyarakat yang sejahtera.
pasal 6
(1) Untuk mewujudkan tujuan pemanfaatan ruang wilayah sebagaimana
dimakdus dalam Pasal 5 ditetapkan strategi pemanfaatan ruang
wilayah.
(2) Strategi pemanfaatan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Stuktur pemanfaatan ruang wilayah;
b. Pola pemanfaatan ruang wilayah;
c. Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budaya
d. Arahan pengelolaan kawasan pedesaan, kawasan perkotaan, dan
kawasan tertentu.
e. Arahan pengelolaan sistem pusat permukiman pedesaan dan
perkotaan
f. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah.
g. Arahan pengembangan kawasan diprioritaskan.
h. Arahan pengembangan kawasan pesisir dan kepulauan.
i. Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, dan tata
guna udara.
j. Pemanfaatan ruang daerah.
BAB IV STRUKTUR DAN POLA PEMANFATAN RUANG WILAYAH
Bagian Pertama struktur Pemanfaatan Ruang Wilayah
Paragraf 1 Umum Pasal 7
(1) Struktur pemanfaatan ruang wilayah diwujudkan berdasarkan arahan
pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan sistem
pusat permukiman perkotaan serta arahan sistem prasarana wilayah.
(2) Struktur pemanfaatan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pusat permukiman perdesaan, pusat permukiman
perkotaan, dan prasarana wilayah.
Paragraf 2 Sistem Pusat Permukiman Perdesaan
Pasal 8
(1) Sistem pusat permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan membentuk pusat pelayanan desa
secara berhirarki.
(2) Pusat permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarakan pelayanan perdesaan secara berhierarki,
meliputi:
a. Pusat pelayanan antar desa
b. Pusat Pelayanan setiap desa
c. Pusat pelayanan pada setiap dusun atau kelompok pemukiman.
(3) Pusat pelayanan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
secara berhirarki memiliki hubungan dengan pusat kecamatan
sebagai kawasa perkotaan terdekat, dengan perkotaan sebagai pusat
Sub SWP dan denan ibukota kabupaten masing-masing.
Paragraf 3 Sistem Pusat Permukiman Perkotaan
Pasal 9
Sistem pusat permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (2), meliputi:
a. Orde perkotaan
b. Hirarkhi Perkotaan
c. Perwilayahan
d. Fungsi satuan wilayah pengembangan
Pasal 10
(1) Orde perkotaan yang dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, meliputi :
a. Orde I : Kota Surabaya.
b. Orde IIA : Kota Malang.
c. Orde II B : Perkotaan Sidoarjo, Perkotaan Gresik, Perkotaan Tuban, Perkotaan
Lamongan, Perkotaan Jombang, Kota Mojokerto, Kota Pasuruan,
Perkotaan Bojonegoro, Perkotaan Bangkalan, Kota Madiun, Kota
Kediri, Perkotaan Jember, Perkotaan Banyuwangi, Kota Blitar, Kota
Probolinggo Perkotaan Pamekasan. Kota Batu
d. Orde IIIA Perkotaan Ponorogo, Perkotaan Ngawi, Perkotaan Nganjuk, Perkotaan
Tulungagung, Perkotaan Lumajang, Perkotaan Kepanjen, Perkotaan Sumenep.
e. Orde III B : Perkotaan Magetan, Perkotaan Trenggalek, Perkotaan Pacitan,
Perkotaan Bondowoso, Perkotaan Situbondo, Perkotaan Sampang, Perkotaan
Caruban.
(2) Hirarki perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, meliputi:
a. Perkotaan Metropolitan meliputi Perkotaan Surabaya
Metropolitan Area yang meliputi Kota Surabaya, Perkotaan Sidoarjo dan
sekitarnya, Perkotaan Gresik dan sekitarnya dan Perkotaan Bangkalan dan
sekitarnya; dan Perkotaan Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kota Batu,
serta Perkotaan Kepanjen dan sekitarnya.
b. Perkotaan Menengah meliputi Perkotaan Tuban,
Perkotaan Lamongan, Perkotaan Jombang, Kota Mojokerto, Kota Pasuruan,
Perkotaan Bojonegoro, Kota Madiun, Kota Kediri, Perkotaan Jember, Perkotaan
Banyuwangi, Kota Blitar, Kota Probolinggo, Perkotaan Pamekasan dan Kota
Batu.
c. Perkotaan Kecil meliputi Perkotaan Sampang, perkotaan
Sumenep, Perkotaan Ngawi, Perkotaan Magetan, Perkotaan Nganjuk, Perkotaan
Bondowoso, Perkotaan Tulungagung, Perkotaan Trenggalek, Perkotaan
Ponorogo, Perkotaan Situbondo, Perkotaan Pacitan, Perkotaan Lumajang,
Perkotaan Kepanjen dan Perkotaan Caruban.
(3) Perwilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c adalah 9 (sembilan)
SWP:
a. SWP Gerbangkertosusila Plus meliputi: Kota Surabaya,
Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten
Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Kabupaten
Jombang, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten dan Kota Pasuruan dengan pusat
pelayanan di Kota Surabaya.
b. SWP Malang Raya meliputi: Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang,
dengan pusat pelayanan di Kota Malang.
c. SWP Madiun dan sekitarnya meliputi: Kota Madiun, Kabupaten Madiun,
Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Ngawi, dengan pusat pelayanan di Kota Madiun.
d. SWP Kediri dan sekitarnya meliputi: Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten
Nganjuk, Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Tulungagung, dengan pusat
pelayanan di Kota Kediri.
e. SWP Probolinggo - Lumajang meliputi: Kota Probolinggo, Kabupaten
Probolinggo dan Kabupaten Lumajang, dengan pusat pelayanan di Kota
Probolinggo
f. SWP Blitar meliputi: meliputi Kota, Blitar dan Kabupaten Blitar, dengan pusat
pelayanan Kota Blitar.
g. SWP Jember dan sekitarnya meliputi: Kabupaten Jember, Kabupaten
Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo, dengan pusat pelayanan di Perkotaan
Jember
h. SWP Banyuwangi meliputi: Kabupaten Banyuwangi, dengan pusat pelayanan di
Perkotaan Banyuwangi.
i. SWP Madura dan Kepulauan meliputi: Kabupaten Sampang, Kabupaten
Pamekasan dan Kabupaten Sumenep dengan pusat pelayanan di Perkotaan
Pamekasan.
(4) Setiap SWP diarahkan mempunyai fungsi wilayah sesuai dengan potensi wilayah
masing-masing.
a. SWP Gerbangkertasusila Plus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
diarahkan mempunyai fungsi wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian
tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, perikanan, peternakan,
pertambangan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, pariwisata, transportasi,
industri, dan sumberdaya energi dengan fungsi pusat SWP sebagai pusat pelayanan
wilayah, pemerintahan, perdagangan, jasa, industri, pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan prasarana wisata.
b. SWP Malang Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b mempunyai
fungsi wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan,
perdagaingan, jasa, pendidikan, kesehatan, pariwisata, industri transportasi, dan
sumberdaya energi dengan fungsi pusat SWP sebagai pusat pelayanan wilayah,
pemerintahan, perdagangan, jasa, industri, pendidikan, kesehatan, dan
prasarana wisata.
c. SWP Madiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c mempunyai fungsi
wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura, kehutanan, peternakan, pertambangan, pendidikan,
kesehatan, pariwisata, dan industri dengan fungsi pusat SWP sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan, jasa, industri, pendidikan, dan kesehatan.
d. SWP Kediri dan sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d
mempunyai fungsi wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, pertambangan,
pendidikan, kesehatan, pariwisata, perikanan, industri dan sumberdaya energi
dengan fungsi pusat SWP sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, jasa,
industri, pendidikan, dan kesehatan
e. SWP Probolinggo - Lumajang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e
mempunyai fungsi wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan,
pendidikan, kesehatan, pariwisata, industri, dan sumberdaya energi, dan
dengan fungsi pusat SWP sebagai pusat pemerintahan, industri, perdagangan,
jasa, kesehatan, pariwisata.
f. SWP Blitar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f mempunyai fungsi
wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan:~' perikanan, pendidikan,
kesehatan, pariwisata sum~erdaya energi dengan fungsi pusat SWP sebagai
pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dan pariwisata.
g. SWP Jember dan sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g
mempunyai fungsi wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan,
pertambangan, pendidikan, kesehatan dan pariwisata dengan fungsi pusat SWP
sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dan
transportasi.
h. SWP Banyuwangi sebagaimana dimaksud'pada ayat (3) huruf h mempunyai- ,
fungsi wilayah sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, pertambangan, perikanan,
industri, pendidikan, kesehatan, dan pariwisata dengan fungsi pusat SWP
sebagai pusat pelayanan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan,
kesehatan, transportasi, dan pariwisata.
i. SWP Madura dan Kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i
mempunyai fungsi sebagai pengembangan kegiatan pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, pertambangan, perikanan,
industri, pendidikan, kesehatan, dan pariwisata dengan fungsi pusat SWP
sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan,
pariwisata.
Paragraf 4 Sistem Prasarana Wilayah
Pasal 11
Sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf e, meliputi :
a. sistem prasarana transportasi meliputi: jalan, kereta api, penyeberangan, laut,
udara dan angkutan massal cepat perkotaan.
b. sistem prasarana telematika.
c. sistem prasarana sumberdaya energi.
d. Sistem prasarana sumberdaya air.
e. sistem prasarana gas.
f. sistem prasarana lingkungan.
Bagian Kedua Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah
Pasal 12
Pola pemanfaatan ruang wilayah menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung
dan kawasan budidaya.
Paragraf 1 Pola Pemanfaatan Kawasan Lindung
Pasal 13
Pola pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, meliputi:
a. kawasan suaka alam.
b. kawasan pelestarian alam.
c. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
d. kawasan perlindungan bawahan.
e. kawasan perlindungan setempat.
f. kawasan rawan bencana alam.
Pasal 14
(1) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi
a. cagar alam
b. suaka marga satwa.
(2) Cagar alam meliputi:
a. Besowo Gadungan di Kabupaten Kediri.
b. Cagar Alam Ceding, di Kabupaten Bondowoso
c. Cagar Alam Watangan Puger 1, di Kabupaten Jember.
d. Cagar Alam Sungai Kolbu di Kabupaten Probolinggo.
e. Curah Manis I -Vill di Kabupaten Jember.
f. Gunung Abang, di Kabupaten Pasuruan.
g. Guwo Lowo/Nglirip, di Kabupaten Tuban.
h. Gunung Picis di Kabupaten Ponorogo.
i. Gunung Sigogor di Kabupaten Ponorogo.
j. Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten
Banyuwangi.
k. Manggis Gadungan di Kabupaten Kediri.
l. Nusa Barong, di Kabupaten Jember.
m. Pulau Bawean, Pulau Noko dan Pulau Nusa di Kabupaten Gresik.
n. Pulau Saobi, di Kepulauan Kangean Kabupaten Sumenep
o. Pulau Sempu, di Kabupaten Malang.
p. Rogpjampi 11 di Kabupaten Banyuwangi.
q. Pancuran Ijen I dan 11 di Kabupaten Bondowoso.
(3) Suaka marga satwa meliputi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, berlokasi
di Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, serta Pulau
Bawean di Kabupaten Gresik.
Pasal 15
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b,
meliputi :
a. taman nasional
b. taman hutan raya
c. taman wisata alam
(2) Kawasan taman nasional meliputi:
a. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Kabupaten Malang, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo.
b. Taman Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo.
c. Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi.
d. Taman Nasional Alas Purwo di Kabupaten Banyuwangi.
e. Taman Nasional laut Sepanjang dan Saobi di Kepulauan Kangean Kabupaten
Sumenep.
(3) Kawasan hutan raya yaitu Taman Hutan Raya R Soeryo di Kabupaten Malang,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan Kota Batu.
(4) Taman wisata alam, meliputi:
a. Taman Wisata Kawah ljen, di Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten
Bondowoso
b. Taman Wisata Tretes, Gunung Baung, di Kabupaten Pasuruan.
Pasal 16
(1) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf c, meliputi:
a. lingkungan non bangunan.
b. lingkungan bangunan non gedung.
c. lingkungan bangunan gedung dan halamannya.
d. kebun raya.
(2) Lingkungan non bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi
a. Monumen Keganasan PKI, di Kabupaten Madiun.
b. Monumen Trisula, di Kabupaten Blitar.
c. Petilasan Sri Aji Joyoboyo, di Kabupaten Kediri.
d. Gunung Kawi, di Kabupaten Malang.
e. Situs Purbakala Trinil, di Kabupaten Ngawi.
(3) Lingkungan bangunan non gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. Asta Tenggi di Kabupaten Sumenep.
b. Arca Totok Kerot di Kabupaten Kediri.
c. Candi Penataran dan Candi Simping di Kabupaten Blitar.
d. Candi Singosari, Candi Jago, Candi Kidal, Candi Badut di Kabupaten Malang.
e. Candi Jawi di Kabupaten Pasuruan.
f. Candi. Cungkup, Candi Dadi dan Makam Gayatri di Kabupaten Tulungagung.
g. Candi Jolotundo di Kabupaten Mojokerto
h. Makam Sunan Ampel di Kota Surabaya.
i. Makam KH. Hasyim Asyari, KH. Wachid Hasyim dan Makam Sayyid Sulaiman
di Kabupaten Jombang.
j. Makam Batu Ampar di Kabupaten Pameksan.
k. Makam Syaikhul Khalil dan Pesarean. Air mata lbu Kabupaten Bangkalan
l. Makam Maulana Malik Ibrahim, Makam Sunan Giri (Giri Kedaton), Makam
Fatimah Binti Maimun, Makam Kanjeng Sepuh dan Kawasan Gunung Surowiti
di Kabupaten Gresik.
m. Makam Sunan Drajat di Kabupaten Lamorigan.
n. Makam Batoro Katong di Kabupaten Ponorogo.
o. Makam Sunan Bonang di Kabupaten Tuban.
p. Recolanang di Kabupaten Mojokerto
q. Situs Sarchopagus di Kabupaten Bondowoso.
r. Kawasan Trowulan di Kabupaten Mojokerto.
(4) Lingkungan bangunan gedung dan halamannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi :
a. Pelestarian bangunan gedung dan/atau lingkungan cagar budaya di Kota
Surabaya.
b. Benteng Pendem Van den Bosch di Kabupaten Ngawi.
c. Pelestarian bangunan Pabrik Gula di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Madiun,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Kediri dan Kabupaten
Malang.
d. Makam Proklamator, Museum Bung Karno dan Petilasan Aryo Blitar di Kota
Blitar.
e. Monumen PETA (Suprijadi) di Kota Blitar.
(5) Kebun Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah Kebun Raya
Purwodadi di Kabupaten Pasuruan.
Pasal 17
(1) Perlindungan bawahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d, meliputi
:
a. kawasan hutan lindung
b. kawasan resapan air.
c. kawasan kars kelas 1
(2) Kawasan hutan lindung, meliputi:
a. Kota Batu
b. Kabupaten Blitar
c. Kabupaten Bangkalan
d. Kabupaten Banyuwangi
e. Kabupaten Bojonegoro
f. Kabupaten Bondowoso
g. Kabupaten Jember
h. Kabupaten Jombang
i. Kabupaten Kediri
j. Kabupaten Lamongan
k. Kabupaten Lumajang
l. Kabupaten Mojokerto
m. Kabupaten Magetan
n. Kabupaten Malang
o. Kabupaten Madiun
p. Kabupaten Nganjuk
q. Kabupaten Ngawi
r. Kabupaten Pacitan
s. Kabupaten Pasuruan
t. Kabupaten Probolinggo
u. Kabupaten Ponorogo
v. Kabupaten Pamekasan
w. Kabupaten Situbondo
x. Kabupaten Sampang
y. Kabupaten Sumenep
z. Kabupaten Tuban
aa. Kabupaten Trenggalek
bb. Kabupaten Tulungagung
(3) Kawasan resapan air terdapat di seluruh wilayah kabupaten/kota.
(4) Kawasan kars kelas I yang berfungsi sebagai perlindungan hidrologi dan ekologi,
meliputi:
a. Kabupaten Blitar
b. kabupaten Bangkalan
c. Kabupaten Tulungagung
d. Kabupaten Trenggalek
e. Kabupaten Malang
f. Kabupaten Ngawi
g. Kabupaten Ponorogo
h. Kabupaten Pacitan
i. Kabupaten Sampang
j. Kabupaten Tuban
Pasal 18
Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e,
meliputi
a. kawasan sekitar mata air
b. kawasan sekitar waduk/danau
c. kawasan sempadan sungai
d. kawasan sempadan pantai
e. kawasan sempadan sungai di kawasan permukiman
f. kawasan pantai berhutan bakau/mangrove
g. kawasan terbuka hijau kota
Pasal 19
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f,
meliputi
a. rawan letusan gunung api.
b. rawan banjir.
c. rawan gempa, gerakan tanah, longsor, dan banjir bandang.
d. rawan tsunami
(2) Kawasan rawan letusan gunung api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi:
a. Gunung Lawu, di Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan.
b. Gunung Liman dan Gunung Wilis, di Kabupaten Madiun, Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Kediri dan
Kabupaten Nganjuk
c. Gunung Kelud, di Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar dan Kabupaten malang.
d. Gunung Butak, di Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang.
e. Gunung Bromo di Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Probolinggo dan Kabupaten Pasuruan.
f. Gunung Semeru, di Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang.
g. Gunung Lamongan, di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo.
h. Gunung Merapi di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Situbondo.
i. Gunung Raung di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Jember.
j. Gunung Welirang di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto.
k. Gunung ljen di Kabupaten Bondowoso, Banyuwangi.
l. Gunung Argopuro di Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Jember.
(3) Kawasan rawan banjir, gempa, gerakan tanah dan longsor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Bondowoso
c. Kabupaten Banyuwangi
d. Kabupaten Jember
e. Kabupaten Jombang
f. kabupaten Lumajang
g. Kabupaten Malang
h. Kabupaten Mojokerto
i. Kabupaten Magetan
j. Kabupaten Ngawi
k. Kabupaten Pacitan
l. Kabupaten Pasuruan
m. Kabupaten Probolinggo
n. Kabupaten Ponorogo
o. Kabupaten Sampang
p. Kabupaten Situbondo
q. Kabupaten Sampang
r. Kabupaten Trenggalek
s. Kabupaten Tulungagung
(4) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat
di Pantai Selatan, yang meliputi:
a. Kabupaten Pacitan
b. Kabupaten Trenggalek
c. Kabupaten Tulungagung
d. Kabupaten Blitar
e. Kabupaten Malang
f. Kabupaten Lumajang
g. Kabupaten Jember
h. Kabupaten Banyuwangi
Paragraf 2 Pola Pemanfaatan Kawasan Budidaya
Pasal 20
Pola pemanfaatan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, meliputi:
a. kawasan hutan produksi
b. kawasan pertanian
c. kawasan perikanan
d. kawasan perkebunan
e. kawasan peternakan
f. kawasan pariwisata
g. kawasan permukiman
h. kawasan industri
i. kawasan pertambangan
j. kawasan perdagangan.
Pasal 21
Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, terbagi
berdasarkan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan), meliputi:
a. Kabupaten Bojonegoro
b. Kota Batu
c. Kabupaten Blitar
d. Kabupaten Bangkalan
e. Kabupaten Bondowoso
f. Kabupaten Banyuwangi
g. Kabupaten Gresik
h. Kabupaten Jombang
i. Kabupaten Jember
j. Kota Kediri
k. Kabupaten Kediri
l. Kabupaten Lamongan
m. Kabupaten Tuban
n. Kabupaten Lumajang
o. Kabupaten Madiun
p. Kabupaten Magetan
q. Kabupaten Ngawi
r. Kabupaten Malang
s. Kabupaten Mojokerto
t. Kabupaten Nganjuk
u. Kabupaten Ponorogo
v. Kabupaten pasuruan
w. Kabupaten Probolinggo
x. Kabupaten Pacitan
y. Kabupaten Pamekasan
z. Kabupaten Sampang
aa. Kabupaten Sumenep
bb. Kabupaten Situbondo
cc. Kabupaten Trenggalek
dd. Kabupaten Tulungagung
Pasal 22
(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b meliputi
sawah beririgasi, sawah tadah hujan, dan pertanian lahan kering.
(2) Kawasan sawah beririgasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sawah
dengan sistem irigasi teknis maupun irigasi sederhana terdapat diseluruh
kabupaten/kota.
(3) Kawasan sawah tadah hujan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di
semua kabupaten/kota.
(4) Kawasan pertanian lahan kering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di
semua kabupaten/kota.
Pasal 23
(1) Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c,'meliputi :
a. perikanan tangkap
b. perikanan budidaya air payau c. perikanan budidaya air tawar d. perikanan
budidaya laut
(2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi :
a. rencana pengembangan fisheries town di Kabupaten Banyuwangi dan
pengembangan outer ring fishing port, coldstorage dan industri perikanan di,
Sendangbiru Kabupaten Malang.
b. kawasan pengembangan utama komoditi perikanan di pantai selatan meliputi
Kabupaten Pacitan, Prigi Kabupaten Trenggalek, Sendangbiru Kabupaten
Malang dan Puger Kabupaten Jember dan kawasan potensial lainnya meliputi:
Ujungpangkah Kabupaten Gresik, Brondong Kabupaten Lamongan,
Pondokmimbo Kabupaten Situbondo, Bulu Kabupaten Tuban dan
Pasongsongan Kabupaten Sumenep.
c. pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) meliputi Prigi di
Kabupaten Trenggalek, Sendangbiru Kabupaten Malang dan Brondong di
Kabupaten Lamongan.
d. pengembangan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Muncar Kabupaten
Banyuwangi, Puger Kabupaten Jember, Mayangan Kota Probolinggo, Paiton
Kabupaten Probolinggo dan Lekok Kabupaten Pasuruan.
e. pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Sipelot Kabupaten Malang,
Pancer Kabupaten Banyuwangi, Bulu Kabupaten Tuban, Pasongsongan
Kabupaten Sumenep dan Tamperan Kabupaten Pacitan,
(3) Pemanfaaatan kawasan budidaya perikanan air payau sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Bangkalan
c. Kabupaten Banyuwangi
d. Kabupaten Gresik
e. Kabupaten Jember
f. Kabupaten Lumajang
g. Kabupaten Malang
h. Kabupaten Pasuruan
i. Kota Pasuruan
j. Kabupaten Probolinggo
k. Kota Probolinggo
l. Kabupaten Pamekasan
m. Kabupaten Pacitan
n. Kabupaten Sidoarjo
o. Kabupaten Sampang
p. Kabupaten Situbondo
q. Kabupaten Tuban
r. Kabupaten Trenggalek
s. Kabupaten Tulungagung
t. Kota Surabaya
(4) Pengembangan kawasan perikanan budidaya air tawar tersebar di kabupaten/kota.
(5) Pengembangan kawasan perikanan budidaya laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, meliputi
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Bangkalan
c. Kabupaten Banyuwangi
d. Kabupaten Lamongan
e. Kabupaten Malang
f. Kabupaten Pamekasan
g. Kabupaten Probolinggo
h. Kabupaten Sampang
i. Kabupaten Sumenep
j. Kabupaten Situbondo
k. Kabupaten Tuban
l. Kabupaten Trenggalek
m. Kabupaten Tulungagung
Pasal 24
(1) Pemanfaatan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf
d, diarahkan untuk meningkatkan peran serta, efisiensi, produktivitas dan
keberlajutan, dengan mengembangkan kawasan industri masyarakat perkebunan
yang selanjutnya disebut kimbun.
(2) Kimbun dimaksud pada ayat (1) dikembangkan di setiap lokasi pengembangan dan
sentra produksi yang diselenggarakan dengan kebersamaan ekonomi dan
berwawasan lingkungan.
(3) Pemanfatan Kimbun di bagi menjadi 7 (tujuh) wilayah:
a. Kimbun Ijen - Argopuro - Raung di Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Jember,
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo dengan komoditi yang
dikembangkan antara lain kopi, tembakau dan tebu
b. Kimbun Bromo - Tengger - Semeru di Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan,
Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo dengan komoditi yang
dikembangkan antara lain kopi, tebu, kelapa dan cengkeh.
c. Kimbun Kelud di Kabupaten Blitar, Kabupaten Jombang, Kabupaten Kediri,
Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Malang dengan komoditi yang dikembangkan
antara lain kopi, tebu, kakao dan cengkeh.
d. Kimbun Wilis di Kabupaten Madiun, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Nganjuk dengan
komoditi yang dikembangkan antara lain kopi, tebu, kakao dan kelapa.
e. Kimbun Lawu di Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pacitan,
Kabupaten Ngawi dengan komoditi yang dikembangkan antara lain kopi, tebu,
kakao, kelapa dan cengkeh.
f. Kimbun Pantura meliputi Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Tuban, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten
Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro dengan komoditi yang
dikembangkan antara lain kelapa, tembakau, tebu, jambu mente dan kapas.
g. Kimbun Kepulauan Madura meliputi Kabupaten Bangkalan, Kabupaten
Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep dengan komoditi
yang dikembangkan antara lain kelapa, tembakau dan jambu mente
Pasal 25
(1) Pemanfaatan kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e
meliputi peternakan ternak besar, peternakan ternak kecil, peternakan unggas.
(2) Sentra peternakan ternak besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Bojonegoro
c. Kabupaten Bondowoso
d. Kabupaten Banyuwangi
e. Kabupaten Jember
f. Kabupaten Kediri
g. Kabupaten Lumajang
h. Kabupaten Malang
i. Kabupaten Magetan
j. Kabupaten Nganjuk
k. Kabupaten Pasuruan
l. Kabupaten Probolinggo
m. Kabupaten Sumenep
n. Kabupaten Situbondo
o. Kabupaten Trenggalek
p. Kabupaten Tulungagung
q. Kabupaten Tuban
(3) Sentra peternakan ternak kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat di
seluruh Kabupaten.
(4) Kawasan peternakan unggas terkonsentrasi di wilayah
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Jombang
c. Kabupaten Kediri
d. Kabupaten Mojokerto
e. Kabupaten Pasuruan
f. Kabupaten Sidoarjo
g. Kabupaten Tulungagung
Pasal 26
(1) Pola pemanfaatan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
huruf f meliputi kawasan yang terbentang di sepanjang koridor pariwisata dan
kawasan kepulauan yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan.
(2) Pemanfaatan kawasan pariwisata sebagaim,ana dimaksud pada ayat (1) meliputi
:
a. kawasan pengembangan pariwisata koridor utara, meliputi: Kabupaten Tuban,
Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik dan Kota
Surabaya.
b. kawasan pengembangan pariwisata koridor tengah, meliputi: Kabupaten
Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Madiun,
Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Kediri, Kabupaten Jombang, Kabupaten
Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso.
c. kawasan pengembangan pariwisata koridor selatan, meliputi: Kabupaten
Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar,
Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember dan
Kabupaten Banyuwangi.
d. kawasan pengembangan pariwisata kepulauan, meliputi: Kabupaten
Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten
Sumenep dan pulau-pulau kecil lainnya.
(3) Kawasan pariwisata yang dapat dikembangkan berdasarkan koridor
sebagaimana pada ayat (2) Pasal 26 meliputi:
a. kawasan pengembangan pariwisata koridor utara meliputi potensi wisata alam,
minat khusus dan budaya antara lain : pantai, telaga, sumber api alam, goa,
berbagai peninggalan sejarah seperti makam, gedunggedLing tua, situs
sejarah, berbagai sarana wisata buatan, kerajinan cinderamata, dll serta
berbagai kegiatan wisata minat khusus.
b. kawasan pengembangan pariwisata koridor tengah meliputi potensi wisata
alam, minat khusus dan budaya antara lain : pantai, telaga, sumber api alam,
goa, berbagai peninggalan sejarah seperti makam, gedunggedung tua, situs
sejarah, berbagai sarana wisata buatan, kerajinan cinderamata, dll serta
berbagai kegiatan wisata minat khusus
c. kawasan pengembangan pariwisata koridor selatan meliputi potensi wisata
alam, minat khusus dan budaya antara lain : pantai, air terjun, obyek wisata
buatan, makam, candi serta berbagai kegiatan wisata minat khusus seperti
ziarah, berbagai kegiatan penelitian, kegiatan wisata petualangan dan lain-lain.
d. kawasan pengembangan pariwisata kepulauan meliputi potensi wisata alam,
minat khusus dan budaya antara lain : pantai, taman laut, api alam, karapan
sapi, makam, peninggalan kraton serta berbagai kegiatan wisata minat khusus
seperti kegiatan penyelaman, memancing, berlayar dan lain-lain.
(4) Agar arah pengembangan pariwisata dapat lebih terfokus dan efisien maka
disusun prioritas pengembangan, meliputi:
a. kawasan prioritas utama adalah kawasan yang memiliki nilai daya saing serta
menjadi primadona pengembangan pariwisata di Jawa Timur, antara lain
Kawasan Bromo Tengger-Semeru di Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Ijen di Kabupaten Bondowoso
dan Kabupaten Banyuwangi; Plengkung di Kabupaten Banyuwangi; Desa
Wisata Trowulan Kabupaten Mojokerto serta potensi unggulan lainnya.
b. kawasan pendukung yang merupakan penyangga dari kawasan prioritas utama
yang meliputi wisata budaya reog di Kabupaten Ponorogo; karapan sapi di
Kabupaten Madura dan berbagai sentra kerajinan rakyat di Jawa Timur.
c. kawasan potensial yang meliputi: Kawasan segitiga emas Ijen yang berada di
Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso; taman laut di Pulau Saor, Saobi dan
Mamburit di Kabupaten Sumenep; Kawasan Wisata Bentar di Kabupaten
Probolinggo; Wisata Pelabuhan Rest Area Suramadu, Wisata Bahari di
Kabupaten Lamongan, Pulau Bawean, Kawasan Prigi di Kabupaten
Trenggalek, serta kawasan-kawasan lain yang potensial.
Pasal 27
(1) Pemanfaatan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf
g, meliputi permukima'n perdesaan, perkotaan, dan khusus. - '
(2) Permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. permukiman pusat perdesaan.
b. permukiman desa.
c. permukiman pada pusat perdusunan.
(3) Permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. permukiman perkotaan metropolitan
b. permukiman perkotaan menengah.
c. permukiman perkotaan kecil.
(4) Permukiman perkotaan metropolitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
merupakan permukiman di perkotaan yang memiliki fungsi sebagai:
a. kota Inti sebagai pusat pelayanan.
b. perkotaan penyangga atau satelit.
c. perkotaan baru mandiri.
d. perumahan baru skala besar.
(5) Permukiman perkotaan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
merupakan permukima,n di perkotaan yang memiliki fungsi sebagai:
a. pusat pelayanan SWP.
b. pusat pertumbuhan skala wilayah.
c. pusat pelayanan perkotaan antara metropolitan dan perkotaan kecil.
(6) Permukiman perkotaan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c,
merupakan permukiman di perkotaan yang memiliki fungsi sebagai:
a. pusat pelayanan kabupaten.
b. pusat pertumbuhan skala kabupaten.
c. pusat pelayanan perkotaan kecamatan.
(7) Permukiman pada kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sebagai tempat peristirahatan pada kawasan pariwisata.
b. kawasan permukiman yang timbul akibat perkembangan infrastruktur.
d. permukiman yang timbul akibat kegiatan sentra ekonomi.
e. permukiman di sekitar kawasan industri.
(8) Dalam kawasan permukiman perkotaan, Kabupaten/Kota harus menyediakan
peruntukan lahan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah seluas
areal berdasarkan kebutuhan dan atau sesuai ketentuan dalam pembangunan
perumahan dan permukiman dengan lingkungan yang berimbang.
Pasal 28
(1) Pemanfaatan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf h,
meliputi:
a. kawasan industri estate.
b. sentra industri kecil.
c. zona industri.
(2) Kawasan industri estate sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Kota Surabaya.
b. Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) di Kabupaten Pasuruan.
c. Ngoro Industrial Park (NIP) di Kabupaten Mojokerto.
d. Kawasan industri Jabon di Kabupaten Sidoarjo.
e. Lamongan Integreted Shorebase (LIS) di Kabupaten Lamongan.
f. Kawasan industri di Kabupaten Gresik.
g. Kawasan industril di Kabupaten Tuban.
h. Kawasan industri di Kabupaten Bojonegoro.
i. Kawasan industri di Sendangbiru Kabupaten Malang.
j. Kawasan Industri Gerbang Mas di Kabupaten Probolinggo.
k. Kawasan industri Paiton di Kabupaten Probolinggo.
I. Kawasan Industri di Kabupaten Bangkalan
(3) Sentra industri kecil sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf b, terdapat diseluruh
kabupaten/kota.
(4) Zona industri sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, meliputi
f. koridor Taman -Sepanjang - Krian dan koridor Waru di Kabupaten Sidoarjo.
g. koridor Osowilangon - Romokalisari di Kota Surabaya
h. koridor Driyorejo - Bambe, dan koridor Gresik - Manyar di Kabupaten Gresik.
i. koridor Mojoagung - Jombang di Kabupaten Jombang.
j. Zona industri Wongsorejo di Kabupaten Banyuwangi.
k. zona industri Jetis di Kabupaten Mojokerto.
l. koridor Tuban - Bojonegoro di Kabupaten Tuban.
Pasal 29
(1) Pemanfaatan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
huruf i, meliputi pertambangan Bahan Galian Golongan C dan golongan A dan B
(2) Pertambangan galian C sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi :
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Bojonegoro
c. Kabupaten Bondowoso
d. Kabupaten Banyuwangi
e. Kabupaten Gresik
f. Kabupaten Jember
g. Kabupaten Jombang
h. Kabupaten Kediri
i. Kabupaten Lumajang
j. Kabupaten Malang
k. Kabupaten Mojokerto
l. Kabupaten Madiun
m. Kabupaten Magetan
n. Kabupaten Nganjuk
o. Kabupaten Ngawi
p. Kabupaten Pacitan
q. Kabupaten Ponorogo
r. Kabupaten Pasuruan
s. Kabupaten Probolinggo
t. Kabupaten Situbondo
u. Kabupaten Sidoarjo
v. Kabupaten Sumenep
w. Kabupaten Trenggalek
x. Kabupaten Tulungagung
y. Kabupaten Tuban
(3) Penambangan Bahan Galian Golongan A dan B sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi :
a. Kabupaten Blitar
b. Kabupaten Banyuwangi
c. Kabupaten Bondowoso
d. Kabupaten Bojonegoro
e. Kabupaten Gresik
f. Kabupaten Jember
g. Kabupaten Jombang
h. Kabupaten Lumajang
i. Kabupaten Malang
j. Kabupaten Mojokerto
k. Kabupaten Magetan
l. Kabupaten Nganjuk
m. Kabupaten Ngawi
n. Kabupaten Pacitan
o. Kabupaten Ponorogo
p. Kabupaten Sumenep
q. Kabupaten Trenggalek
r. Kabupaten Tulungagung
s. Kabupaten Sidoarjo
Pasal 30
(1) Pemanfaatan kawasan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf
j meliputi perdagangan skala wilayah, skala kota, dan perdagangan sektor informal.
(2) Perdagangan skala wilayah yang dimaksud pada alyat (1) adalah wilayah yang
memiliki fasilitas perdagangan seperti pasar induk, grosir diarahkan di tiap pusat
SWP.
(3) Perdagangan skala kota meliputi perdagangan jenis pertokoan dan perdagangan
pasar yang diarahkan di setiap wilayah kabuppten/kota.
(4) Perdagangan sektor informal yang berkembang di setiap wilayah perkotaan dan
perdesaan, diatur dan/atau disedialkan ruangnya oleh pemerintah kabupaten/kota.
Bagian Ketiga Arahan Pengelolaan kawasan Lindung dan Budidaya
Pasal 31
(1) Arahan pengelolaan kawasan lindung meliputi semua upaya perlindungan,
pengawetan, konservasi dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan
lingkungannya guna mendukung kehidupan secara serasi yang berkelanjutan dan
tidak dapat dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya.
(2). Arahan konservasi kawasan lindung meliputi kawasan cagar alam, suaka alam,
kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya dab ilmu pengetahuan.
(3) Arahan pengelolaan kawasan lindung tidak dapat dialihfungsikan.
(4) Arahan pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain :
a. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
b. mempertahankan fungsi ekologis kawasan alami.
c. pengawasan dan pemantauan untuk pelestarian kawasan konservasi dan hutan
lindung.
d. penambahan luasan kawasan lindung, yang merupakan hasil alih fungsi hutan
produksi menjadi hutan lindung.
e. pengembangan kerjasama antar wilayah dalam pengelolaan kawasan lindung.
f. percepatan rehabilitasi lahan milik masyarakat yang termasuk di dalam kriteria
kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon lindung yang dapat di
gunakan sebagai perlindungan kawasan bawahannya yang dapat diambil hasil
hutan non-kayu.
g. membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa
memiliki/mencintai alam.
h. pemanfaatan kawasan lindung untuk sarana pendidikan penelitian dan
pengembangan kecintaan terhadap alam.
i. percepatan rehabilitasi hutan/reboisasi hutan lindung dengan tanaman yang
sesuai dengan fungsi lindung.
j. menindak tegas prilaku vandalisme terhadap obyek wisata.
Pasal 32
(1) Arahan pengelolaan kawasan budidaya meliputi segala usaha untuk meningkatkan
pendayagunaan lahan yang dilakukan di luar kawasan lindung, yang kondisi fisik
dan sumber daya alamnya dianggap potensial untuk dimanfa.atkan, tanpa
mengganggu keseimbangan dan kelestarian ekosistem.
(2) Arahan pengelolaan kawasan hutan produksi antara lain
a. kawasan hutan produksi yang mempunyai tingkat kerapatan tegakan rendah
harus dilakukan percepatan reboisasi, serta percepatan pembangunan hutan
rakyat.
b. mengarahkan di setiap wilayah kabupaten/kota mewujudkan hutan kota.
(3) Arahan pengelolaan kawasan pertanian antara lain
a. pengembangan sawah irigasi teknis dilakukan dengan memprioritaskan
perubahan dari sawah tadah hujan menjadi sawah irigasi sejalan dengan
perluasan jaringan irigasi dan pengembangan waduk/embung.
c. perubahan kawasan pertanian harus tetap memperhatikan luas kawasan yang
dipertahankan sehingga perlu adanya ketentuan tentang pengganti lahan
pertanian.
d. pemanfaatan kawasan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi dan
produktifitas tanaman pangan dengan mengembangkan kawasan cooperative
farming dan holtikultura dengan mengembangkan kawasan good agriculture
practices.
(4) Arahan pengelolaan kawasan perikanan antara lain :
a. mempertahankan, merehabilitasi dan merevitalisasi tanaman bakau/mangrove.
b. pengembangan budidaya perikanan tangkap dan budidaya perikanan laut.
c. menjaga kelestarian sumber daya air terhadap'' pencemaran limbah industri
maupun limbah lainnya.
d. pengendalian melalui sarana kualitas air dan mempertahankan habitat alami
ikan.
e. peningkatan produksi dengan memperbaiki sarana dan prasarana perikanan.
(5) Arahan pengelolaan kawasan perkebunan antara lain
a. pengembangan kawasan perkebunan hanya di ' kawasan yang dinyatakan
memenuhi syarat, dan diluar area rawan banjir serta longsor.
b. dalam penetapan komoditi tanaman tahunan selain mempertimbangkan
kesesuaian lahan, konservasi tanah dan air juga perlu mempertimbangkan
aspek sosial ekonomi dan keindahan/estetika.
c. peningkatan pemanfaatan kawasan perkebunan dilakukan memalui peningkatan
peran serta masyarakat yang tergabung dalam kawasan kimbun
masing-masing.
(6) Arahan pengelolaan kawasan peternakan, antara lain:
a. meningkatkan kegiatan peternakan secara alami dengan mengembangkan
padang penggembalaan.
b. kawasan peternakan diarahkan mempunyai keterkaitan dengan pusat distribusi
pakan ternak.
c. mempertahankan ternak plasma- nutfah sebagai potensi daerah.
d. pengembangan kawasan peternakan diarahkan kepada pengembangan
komoditas ternak unggulan yang dimiliki oleh daerah yaitu kornoditas ternak
yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
e. kawasan budidaya ternak yang berpotensi untuk dapat menularkan penyakit dari
hewan ke manusia atau sebaliknya pada permukiman padat penduduk, akan
dipisahkan sesuai standart teknis kawasan usaha peternakan, dengan
memperhatikan kesempatan berusaha dan melindungi daerah permukiman
penduduk dari penularan penyakit hewan menular.
f. pengaturan pemeliharaan hewan yang diternakkan serta tata niaga hewan dan
produk bahan asal hewan dikawasan perkotaan dengan tingkat kepadatan lebih
dari 300.000 jiwa akan diatur lebih lanjut secara teknis dengan Peraturan
Gubernur.
g. peningkatan nilai ekonomi ternak dengan mengelola dan mengolah hasil ternak,
seperti pembuatan industri pengolah hasil ternak, mengolah kulit, dan
sebagainya.
(7) Arahan pengelolaan kawasan pariwisata antara lain
a. tetap melestarikan alam sekitar untuk menjaga keindahan obyek wisata.
b. tidak melakukan pengerusakan terhadap obyek wisata alam seperti menebang
pohon.
c. melestarikan perairan pantai, dengan memperkaya tanaman mangrove untuk
mengembangkan ekosistem bawah laut termasuk terumbu karang dan biota laut
yang dapat di jadikan obyek wisata taman laut.
d. tetap melestarikan tradisi petik lauVIarung sesaji sebagai daya tarik wisata.
e. menjaga dan melestarikan peninggalan bersejarah.
f. meningkatkan pencarian/penelusuran terhadap benda bersejarah untuk
menambah koleksi budaya.
g. pada obyek yang tidak memiliki akses yang cukup, perlu ditingkatkan
pembangunan dan pengendalian pembangunan sarana dan prasarana
transportasi ke obyek-obyek wisata alam, budaya dan minat khusus.
h. merencanakan kawasan wisata sebagai '~'bagian dari urban/regional desain
untuk keserasian lingkungan.
i. meningkatkan daya tarik wisata melalui penetapan jalur wisata, kalende*r wisata,
informasi dan promosi wisata.
j. menjaga keserasian lingkungan alam dan buatan sehingga kualitas visual
kawasan wisata tidak terganggu.
k. meningkatkan peranserta masyarakat dalam menjaga kelestarian obyek wisata,
dan daya jual/saing
(8) Arahan pengelolaan kawasan permukiman antara lain
a. pengembangan kawasan budidaya yang secara teknis dapat digunakan untuk
permukiman harus aman dari bahaya bencana alam, sehat, mempunyai akses
untuk kesempatan berusaha dan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan
ketersediaan permukiman, mendayagunakan fasilitas dan utilitas disekitarnya
serta meningkatkan sarana dan prasarana perkembangan kegiatan sektor
ekonomi yang ada.
b. pengembangan permukiman perdesaan dilakukan dengan menyediakan fasilitas
dan infrastruktur secara berhirarki sesuai dengan fungsinya sebagai: pusat
pelayanan antar desa, pusat pelayanan setiap desa, dan pusat pelayanan pada
setiap dusun atau kelompok permukiman
c. menjaga kelestarian permukiman perdesan khususnya kawasan pertanian.
d. pengembangan permukiman perkotaan dilakukan dengan tetap menjaga fungsi
dan hirarki kawasan perkotaan.
e. membentuk duster-duster permukiman untuk menghindari penumpukan dan
penyatuan antar kawasan permukiman, dan diantara duster permukiman
disediakan ruang terbuka hijau
f. pembentukan perkotaan metropolitan, Surabaya dan Malang dihubungkan
dengan sistem transportasi yang memadai diantaranya mass rapid transport.
g. pengembangan perkotaan baru mandiri dan pdrumahan baru skala besar di
sekitar Surabaya, yaitu Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten
Pasuruan, dan Kabupaten Bangkalan.
h. pengembangan kawasan sekitar kaki jembatan Suramadu untuk kegiatan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi
i. perkembangan perkotaan menengah dilakukan dengan membentuk pelayanan
wilayah yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya.
j. permukiman perkotaan kecil dilakukan melalui pembentukan pusat pelayanan
skala kabupaten dan perkotaan kecamatan yang ada di kabupaten.
k. permukiman kawasan khusus seperti penyediaan tempat peristirahatan pada
kawasan panwisata, kawasan permukiman baru sebagai akibat perkembangan
infrastruktur, kegiatan sentra ekonomi, sekitar kawasan industri, dilakukan
dengan tetap mernegang kaidah lingkungan hidup dan bersesuaian dengan
RTRW masing-masing kabupaten/kota.
(9) Arahan pengelolaan kawasan industri antara lain
a. pengembangan kawasan industri dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
ekologis.
b. pengembangan kawasan industri harus didukung oleh adanya jalur hijau sebagai
penyangga antar fungsi kawasan.
c. pengembangan zona industri pada daerah aliran sungai harus didasari dengan
perhitungan kernampuan daya dukung sungai.
d. pengembangan kegiatan industri harus didukung oleh sarana dan prasarana
industri.
e. pengelolaan kegiatan industri dilakuk.a,n dengan mempertimbangkan keterkaitan
proses produksi mulai dari industri dasar/hulu dan industri hilir serta industri
antara, yang dibentuk berdasarkan pertimbangan efisiensi biaya produksi, biaya
keseimbangan lingkungan dan biaya aktifitas sosial.
f. setiap kegiatan industri sejauh mungkin menggunakan metoda atau teknologi
ramah lingkungan dan harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan terhadap
kemungkinan adanya bencana industri.
(10) Arahan pengelolaan kawasan pertambangan antara lain
a. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan mempertimbangkan
potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya dengan
kelestarian lingkungan.
b. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi/reklamasi sesuai
dengan zona peruntukan yang ditetapkan dengan melakukan penimbunan tanah
subur dan/atau bahan-bahan lainnya sehingga menjadi lahan yang dapat
digunakan kembali sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budidaya lainnya
dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.
c. setiap kegiatan usaha pertambangan harus menyimpan dan mengamankan
tanah atas (top soil) untuk keperluan rehabilitasi/reklamasi lahan bekas
penambangan.
(11) Arahan pengelolaan kawasan perdagangan antara lain
a. pengembangan kawasan perdagangan dilakukan dengan berhirarki sesuai
skala ruang dan fungsi wilayah.
b. pengembangan kawasan perdagangan dan kegiatan komersial lain yang
berpengaruh bagi pertumbuhan skala wilayah dan atau berpengaruh pada tata
ruang dalam lingkup wilayah perlu memperhatikan kebijakan tata ruang wilayah
Pemerintah Provinsi.
c. pengembangan kawasan perdagangan dilakukan secara bersinergi dengan
perdagangan informal sebagai sebuah aktivitas perdagangan yang saling
melengkapi.
d. pengembangan kawasan dan atau lokasi perdagangan yang terkait dengan
sarana dan prasarana yang di kelola provinsi memperhatikan rekomendasi
provinsi.
Bagian Keempat Arahan Pengelolaan Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan
dan Kawasan Tertentu
Pasal 33
Arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu
merupakan arahan pengembangan perkotaan dengan kawasan yang bersifat
pedesaan, serta kawasan tertentu sehingga tercipta tata ruang yang berkelanjutan.
Pasal 34
Arahan pengelolaan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
meliputi:
a. fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pela~anan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
b. pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif pembangunan
perdesaan melalui keterkaitan kawasan perkotaan - perdesaan untulk
meningkatkan peran perkembangan kawasan perdesaan.
Pasal 35
Arahan pengelolaan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
meliputi:
a. fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah, pusat
pengolahan dan distribusi hasil pertanian, perdagangan, jasa, pemerintahan,
pendidikan, kesehatan, serta transportasi, pergudangan dan sebagainya.
b. fungsi perkotaan sedang dan kecil sebagai pemasok kebutuhan dan lokasi
pengolahan agroindustri dan berbagai kegiatan agrobisnis.
c. kota sebagai pusat pelayanan, pusat prasarana dan sarana sosial ekonomi
mempengaruhi pedesaan dalam peningkatan prod uktifitasnya.
d. meniaga pembangunan perkotaan yang berkelanjutan melalui upaya menjaga
keseimbangan wilayah terbangun dan tidak terbangun, mengembangkan hutan
kota dan menjaga eksistensi wilayah yang bersifat perdesaan di sekitar kawasan
perkotaan.
Pasal 36
(1) Arahan pengelolaan kawasan tertentu sebagaim.ana dimaksud dalam Pasal 33,
merupakan kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis
yang penataan ruangnya diprioritaskan, yakni Gerbangkertosusila Plus.
(2) Arahan pengembangan kawasan tertentu Gerbangkertosusila Plus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penataan ruang di bagi dalam duster untuk memfokuskan pada penciptaan
kawasan yang dapat bersinergi dengan wilayah lainnya.
b. pengendalian secara garis besar mengarah pada upaya mengendalikan laju
perkembangan kota yang monosentris sehingga tidak terjadi penumpukan
beban transportasi yang cenderung,berorientasi memusat.
c. meningkatkan fungsi wilayah sesuai dengan daya dukung kawasan.
d. membentuk kawasan perkotaan baru mandiri dan perumahan 'Skala ' besar di
kawasan sekitar Surabaya, *hususnya di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten
dresik, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Bangkalan
e. meningkatkan transportasi umum massal antara Surabaya sebagai kota inti
dengan perkotaan disekitarnya.
f. menjaga pembangunan yang berkelanjutan melalui upaya menjaga
keseimbangan wilayah terbangun dan tidak terbangun termasuk
mengembangkan hutan kota dan menjaga eksistensf wilayah yang bersifat rural
di sekitar kawasan perkotaan.
Bagian Kelima Arahan Pengelolaan Sistem Permukiman Perdesaan
dan Perkotaan
Pasal 37
Arahan terhadap sistem pusat permukiman dibedakan atas pengembangan pusat
permukiman perkotaan.
Pasal 38
(1) Arahan pengembangan pusat permulkiman perdesaan adalah penataan struktur
ruang pedesaan sebagai sistem pusat permukiman di pedesaan yang berpotensi
menjadi pusat pertumbuhan di perdesaan.
(2) Arahan pengembangan struktur ruang pedesaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melalui:
a. pembentukan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP).
b. pembentukan Pusat Desa.
c. pembentukan Pusat Permukiman Perdusunan.
(3) Pengelolaan struktur ruang perdesaan merupakan upaya untuk mempercepat efek
pertumbuhan di kawasan perdesaan.
(4) Setiap pusat pelayanan dikembangkan melalui penyediaan berbagai fasilitas
sosial-ekonomi yang mampu mendorong perkembangan kawasan perdesaan.
Pasal 39
(1) Arahan pengembangan sistem pusat permukiman perkotaan meliputi arahan
terhadap fungsi pusat kegiatan dan arahan terhadap penataan struktur ruang
pusat-pusat permukiman perkotaan.
(2) Pengplolaan pusat permukiman perkotaan terkait dengan fungsi pusat kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pusat kegiatan nasional, wilayah dan
lokal, meliputi:
a. Pusat Kegiatan Nasional adalah Gerbangkertosusila Plus.
b. Pusat.Kegiatan Wilayah adalah Malang Raya, Perkotaan Jember, Kota Kediri,
Kota Madiun, Kota Blitar, Kota Probolinggo, Perkotaan Banyuwangi,, Perkotaan
Pamekasan.
c. Pusat Kegiatan Lokal, adalah Perkotaan Pacitan, Perkotaan Trenggalek,
Perkotaan Tulungagung, Perkotaan Ponorogo, Perkotaan Magetan, Perkotaan
Ngawi, Perkotaan Nganjuk, Perkotaan Bondowoso, Perkotaan Situbondo,
Perkotaan Lumajang, Perkotaan Sampang, Perkotaan Sumenep, Perkotaan
Caruban.
Bagian Keenam Arahan Pengembangan Sistem Prasarana Wilayah
Paragraf 1
Arahan Pengembangan Prasarana Transportasi Jalan
Pasal 40
(1) Arahan pengembangan sistem prasarana transportasi jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, terdiri dari prasarana jalan umum yang
dinyatakan dalam status dan fungsi jalan, serta prasarana terminal penumpang
jalan.
(2) Pengelompokan jalan berdasarkan status da.pat dibagi menjadi jalan nasional,
jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota.
(3) Pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan dibagi kedalam jalan arteri, jalan
kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan.
(4) Pengelompokan jalan berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan
jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
(5) Arahan pengembangan prasarana jalan meliputi arahan pengembangan bagi jalan
nasional jalan tol, jalan nasional bukan jalan tol, jalan provinsi, jalan lintas selatan,
jalan lintas/tembus kabupaten dan jalan lingkar kota dan perkotaan.
(6) Pengembangan prasarana jalan meliputi pengembangan jalan baru dan
pengembangan jalan yang sudah ada.
Pasal 41
(1) Jaringan jalan tol yang sudah dikembangkan di Jawa Timur, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5), meliputi jalan tol Surabaya - Gempol, dan jalan
tol Surabaya -Manyar.
(2) Arahan pengembangan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
ruas:
a. Jalan Tol Surabaya - Gresik - Lamongan - Bojonegoro.
b. Jalan Tol Manyar - Paciran - Tuban.
c. Jalan Tol Krian - Legundi - Bunder.
d. Jalan Tol Gempol - Pandaan - Malang - Kepanjen.
e. Jalan Tol Surabaya - Mojokerto - Jombang - Kertosono Caruban - Ngawi -
Mantingan.
f. Jalan Tol Madiun - Caruban.
g. Jalan Tol Gempol - Pasuruan - Probolinggo - Situbondo Banyuwangi.
h. Jalan Tol Waru - Juanda - Suramadu - Perak (Tol Lingkar . I Timur).
i. Jalan Tol Aloha - Wonokromo -: Perak (Tol tengah kota).
(3) Jalan nasional sebagai jalan arteri primer yang sudah dikembangkan di Jawa Timur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5), meliputi:
a. Surabaya - Malang.
b. Surabaya - Mojokerto - Jombang - Kertosono - Nganjuk Caruban - Ngawi -
Mantingan.
c. Caruban - Karangjati - Padas - Ngawi.
d. Surabaya - Gresik - Lamongan - Tuban - Bulu (Batas Jawa Tengah).
e. Surabaya - Sidoarjo - Gempol - Pasuruan Probolinggo Situbondo - Banyuwangi.
f. Kamal - Bangkalan - Sampang - Pamekasan - Sumenep Kalianget.
(4) Arahan pengembangan jalan nasional sebagai jalan arteri primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), meliputi ruas:
a. Gresik - Sadang - Tuban.
b. Mojokerto - Mojosari – Gempol
c. Babat - Bojonegoro - Padangan - Ngawi.
(5) Jalan nasional sebagai jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (5) yang sudah dikembangkan, meliputi:
a. Ngawi - Maospati - Madiun - Caruban.
b. Tuban - Sadang - Gresik.
c. Tulungagung -Kediri - Kertosono.
d. Malang - Kepanjen.
e. Wonorejo - Probolinggo.
f. Mojokerto - Mojosari - Gempol.
g. Donorejo -Pacitan - Panggul - Trenggalek - Tulungagung Blitar - Kepanjen -
Turen - Lumajang - Wonorejo - Jember Rogojampi -Banyuwangi.
(6) Jalan provinsi sebagai jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (5), meliputi ruas:
a. Pacitan - Ponorogo - Madiun.
b. Maospati - Magetan - Cemorosewu.
c. Nganjuk - Bojonegoro - Ponco - Jatirogo.
d. Bojonegoro - Ponco - Pakah.
e. Pantai Serang - Blitar - Srengat - Kediri - Nganjuk.
f. Karanglo - Pendem.
g. Malang -Pendem - Batu - Pujon - Kandangan - Pare Kediri.
h. Kandangan - Pulorejo - Jombang - Ploso - Babat.
i. Batu -Pacet - Mojosari - Krian.
j. Purwosari - Kejayan - Pasuruan.
k. Sidoarjo - Krian - Gresik.
l. Mojokerto - Gedek -Lamongan.
m. Jember - Bondowoso - Situbondo.
n. Bangkalan - Ketapang - Sotabar - Pasongsongan - Sumenep -Pantai Lumbang.
o. Sampang - Ketapang.
p. Pamekasan - Sotabar.
q. Malang - Turen - Talok - Druju - Sendangbiru.
r. Ponorogo - Trenggalek.
s. Pilang - Sukapura.
t. Pasuruan - Kejayan - Tosari.
u. Purwodadi - Nongkojajar.
v. Lumajang - Kencong - Kasiyan - Puger.
w. Rogojampi - Srono - Muncar.
x. Padangan-.Cepu.
y. Ponorogo - Biting.
(7) Arahan pengembangan jalan provinsi sebagai jalan kolektor primer sebagaima.na
dimaksud pada ayat (6), meliputi ruas Bondowoso ~ukasari - ljen - Banyuwangi dan
Karanglo - Batu.
(8) Arahan pengembangan Jalan Lintas Selatan meliputi dua kelompok jaringan jalan
lintas selatan dan ruas jalan sirip jalan lintas selatan, Status peyelenggaraan ruas
jalan lintas selatan akan ditetapkan kemudian sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(9) Arahan pengembangan Jalan Lintas Selatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8),
meliputi:
a. Mukus - Wareng - Pacitan - Kayen - Sudimoro di Kabupaten Pacitan.
b. Panggul - Jarakan - Durenan di Kabupaten Trenggalek.
c. Bandung - Gambiran - Sine - Molang di Kabupaten Tulungagung.
d. Ringin Bandulan - Jolosutro di Kabupaten Blitar.
e. Panggung - Waru Sendang Biru - Talok - Dampit di Kabupaten Malang.
f. Pronojiwo - Jarid - Bagu - Wot Galih di Kabupaten Lumajang.
g. Puger - Sumberrejo - Tangkinol di Kabupaten 16mber.
h. Glenmore - Rogpjampi di Kabupaten Banyuwangi.
(10) Arahan pengembangan jalan sirip jalan lintas selatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (8), meliputi:
a. Punung - Kalak - Batas Jawa Tengah, Kayen - Jetak Hadiwarno, Bangunsari -
Ngadirejan di Kabupaten Pacitan.
b. Panggul - Munjungan - Prigi - Karanggongso - Batas Tulungagung di
Kabupaten Trenggalek.
c. Trenggalek - Popoh di Kabupaten Tulungagung.
d. Bence - Kanigoro - Pantai Serang - Kesamben - Binangun Wates - Pantai
Jolosutro di Kabupaten Blitar.
e. Kedung , Banteng - Taman Asri di Kabupaten Malang.
f. Pronojiwo - Tempusari - Bagu - Tempeh - Pandanwangi di Kabupaten
Lumajang.
g. Ambulu - Watu Ulo dan Kraton - Paseban di Kabupaten Jember.
h. Kendeng Lembu - Sumber Jambe - Pesanggaran - Kutorejo Muncar - Srono -
Rogpjampi di Kabupaten Banyuwangi.
(11)Arahan jalan tembus antar wilayah kabupaten/kota yang sudah dikembangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5), meliputi ruas:
a. Pasrepan - Puspo - Wonokitri - Bromo.
b. Telaga Sarangan (Magetan) - Karanganyar (Jawa Tengah).
c. Magetan - Jogorogo - Mantingan.
d. Banyuwangi - ljen; Bondowoso - Sukasari.
e. Pacitan - Ponorogo - Purwantoro - Wonogiri - Solo.
f. Sudimoro - Ngrayun - Ponorogo.
g. Bandar - Ponorogo.
h. Ngoro - Krembung - Sidoarjo.
(12) Arahan pengembangan jalan tembus antar wilayah kabupaten/kota, meliputi ruas:
a. Papar - Pare.
b. Malang - Ngadas - Jemplang - Bromo.
c. Situbondo - Arjasa - Kayumas - Ijen.
d. Nganjuk - Sawahan - Ngebel - Ponorogo.
e. Kediri - Pulung - Ponorogo.
f. Padangan - Dander - Rabat - Lamongan.
g. Sumberejo - Kamer - Brengel.
h. Tulungagung - Bendungan Wonorejo - Pagerwojo Bendungan Trenggalek -
Bendungan Sawo - Ponorogo Ngebel -Nganjuk.
i. Ponorogo - Babadan - Lembeyan - Gorang gareng – Magetan
j. Ngawi - Dungus - Madiun.
(13)Arahan pengembangan jalan lingkar kota sebagaimana dimaksud dalam.Pasal 40
ayat (4), meliputi jalan lingkar kota dan perkotaan.
(14)Arahan pengembangan terminal jalan berupa pengembangan terminal penumpang
jalan berskala regional di setiap kabupaten/kota.
Paragraf 2 Arahan Pengembangan Prasarana Transportasi
Perkeretaapian
Pasal 42
(1) Arahan pengembangan prasarana transportasi perkeretaapian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal, 11 huruf a meliputi arahan pengpmbangap jalur
perkeretaapian, pengembangan prasarana transportasi kereta api untuk keperluan
penyelenggaraan perkeretaapian komuter, dry port, terminal barang, serta
konservasi rel mati.
(2) Arahan pengembangan jalur perkeretaapian meliputi arahan pengembangan jalur
kereta api ganda, dan penataan jalur perkeretaapian di wilayah Gerbangkertosusila
Plus. Jalur Kereta Api yang beroperasi saat ini :
a. Jalur Utara : Surabaya (Pasar Turi) - Lamongan - Babat Bojonegoro - Cepu.
b. Jalur Tengah: Surabaya (Semut) - Surabaya (Gubeng) Wonokromo - Jombang -
Kertosono - Madiun Solo.
c. Jalur Timur : Surabaya (Semut) - Surabaya (Gubeng) Wonokromo - Sidoarjo -
Bangil .,~ Pasuruan Probolinggo -Jember - Banyuwangi.
d. Jalur Lingkar: Surabaya (Semut) - Surabaya (Gubeng) Wonokromo - Sidoarjo -
Bangil - Lawang Malang - Blitar -Kediri - Kertosono - Surabaya.
(3) Arahan pengembangan jalur perkeretaapian ganda ditujukan pada jalur jalur
sebagai berikut:
a. Surabaya - Lamongan - Babat - Bojonegoro - Cepu.
b. Surabaya - Mojokerto - Jombang - Kertosono - Nganjuk Madiun - Sragen.
c. Surabaya - Bangil - Lawang - Singosari - Malang.
d. Bangil - Pasuruan - Probolinggo - Jember - Banyuwangi. e. Malang - Kepanjen -
Blitar - Tulungagung - Kertosono.
(4) Arahan pengembangan prasarana perkeretaapian untuk keperluan
penyelenggaraan kereta api komuter seperti yang sudah diselenggarakan pada
lintas Surabaya - Porong ditujukan pada koridor-koridor, meliputi:
a. Surabaya - Lamongan - Babat.
b. Surabaya - Mojokerto - Jombang. c. Surabaya - Porong - Bangil.
d. Surabaya - Gresik.
e. Pasar Turi - Stasiun Gubeng. f. Lawang - Malang - Kepanjen. g. Madiun -
Ponorogo - Slahung.
(5) Arahan pengembangan prasarana jalur perkeretaapian di Gerbangkertosusila Plus
berupa penataan jalur yang terdiri dari tindakan pemasangan jalur ganda, tindakan
pemasangan jalur melayang, serta pemindahan lintasan perkeretaapian regional,
bila diperlukan.
(6) Arahan pengembangan dry port meliputi pengembangan dry port yang sudah ada di
Rambipuji Kabupaten Jember serta pembangunan dry port di Kota Malang, Kota
Kediri dan Kabupaten Jombang
(7) Arahan pengembangan terminal barang perkeretaapian, meliputi:
a. pengembangan fasilitas terminal peti kemas Pasar Turi, terminal barang Kali Mas
Kota Surabaya.
b. pengembangan terminal barang di Babat Kabupaten Lamongan.
(8) Arahan konservasi rel mati ditujukan pada ruas-ruas potensial, sebagai berikut:
a. Bojonegoro - Jatirogo.
b. Madiun - Ponorogo - Slahung.
c. Mojokerto - Mojosari - Porong.
d. Ploso - Mojokerto - Krian.
e. Malang - Turen -Dampit.
f. Malang - Pakis - Tumpang.
g. Babat - Jombang.
h. Babat - Tuban.
i. Kamal - Bangkalan - Sampang - Pamekasan.
j. Jati - Probolinggo - Paiton.
k. Klakah - Lumajang - Pasirian.
l. Lumajang - Gumukmas - Balung - Rambipuji.
m. Panarukan - Situbondo - Bondowoso - Kalisat. n. Rogojampi - Blambangan.
(9) Arahan pengembangan jalur perkeretaapian di Pulau Madura meliputi Kamal -
Bangkalan - Sampang - Pamekasan – Sumenep dan penyambungan ke jaringan
kereta api di Surabaya.
Paragraf 3 Arahan Pengembangan Prasarana
Transportasi Penyeberangan
Pasal 43
Arahan pengembangan prasarana transportasi penyeberangan meliputi arahan
pengembangan pelabuhan penyeberangan, sebagai berikut:
a. pembangunan Pelabuhan penyeberangan Bawean di Kabupaten Gresik.
b. Pembangunan Pelabuhan penyeberangan Paciran di Kabuaten Lamongan
c. Pembangunan pelabuhan penyeberangan kalianget di Kabupaten Kabupaten
Banyuwangi
d. Pengembangan pelabuhan penyeberangan Ketapang di Kabupaten Banyuwangi
e. Pengembangan Pelabuhan penyeberangan jangkar di kabupaten Situbondo
Paragraf 4 Arahan Pengembangan Prasarana Transportasi Laut
Pasal 44
(1) Arahan pengembangan prasarana transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf, a meliputi pengembangan pelabuhan umum, dan pelabuhanm
khusus.
(2) Pelabuhan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sudah
dikembangkan, meliputi :
a. Pelabuhan Internasional Hub Tanjung Perak
b. Pelabuhan Nasional merupakan pelabuhan utama tersier di Pelabuhan Gresik di
Kecamatan Gresik, Tanjung Wangi di Kabupaten Banyuwangi, Tanjung
Tembaga di Kota Probolinggo, Pasuruan di Kota Pasuruan, Sapudi di Kabupaten
Sumenep Kalbut di Kabupaten Situbondo, Sapeken di Kabupaten Sumenep,
Paiton di Kabupaten Probolinggo, Bawean di Kabupaten Gresik, Kangean di
Kabupaten Sumenep.
c. Pelabuhan Regional merupakan Pelabuhan pengumpan primer yang berfungsi
khusus untuk melayani kegiatan dan alih moda angkutan laut di pelabuhan
Kalianget di Kabupaten Sumenep, Pnarukan di Kabupaten Situbondo, Brondong
di Kabupaten Lamongan, Branta di Kabupaten Pamekasan, Telaga Biru di
Kabupaten Bangkalan, Tuban di Kabupaten Tuban, Boom banyuwangi.
d. Pelabuhan Lokal meurpakan Pelabuhan pengumpan sekunder di Pelabuhan
Masalembu di Kabupaten Sumenep, Sampang, Besuki di Kabupaten Situbondo,
Gayam di Kabupaten Sumenep, Raas di Kabupaten Sumenep, Sepulu di
Kabupaten Bangkalan, Pantai Utara, Pantai selatan, Pasean dan Gili Mandangin
di Kabupaten Pamekasan.
(3) Arahan pengembangan Pelabuhan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. pengembangan Pelabuhan Internasional Hub untuk jangka pendek-menengah, di
wilayah antara Teluk Lamong sampai Pelabuhan Gresik dengan kapasitas
terbatas, dan untuk jangka menengah-panjang di wilayah Kabupaten Bangkalan
bagian utara.
b. pengembangan Pelabuhan berskala layanan nasional dan internasional di pantai
utara Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tuban untuk mendukung
perkembangan industri dan pariwisata di pantai utara, serta Pelabuhan
Sendangbiru di Kabupaten Malang di pantai selatan.
c. pengembangan Pelabuhan umum nasional di pantai selatan untuk mendukung
potensi industri, pariwisata, pertanian dan pertambangan di Kabupaten Pacitan,
dan Kabupaten Trenggalek.
(4) Arahan pengembangan Pelabuhan khusus dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan dengan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.
Paragraf 5 Arahan Pengembangan Prasarana Transportasi Udara
Pasal 45
(1) Prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
meliputi bandara umum dan bandara khusus.
(2) Prasarana transportasi udara yang sudah dikembangkan meliputi:
a. bandara umum meliputi Bandara Juanda di Kabupaten Sidoarjo, Bandara Abdul
Rahman Saleh di Kabupaten Malang, Bandara Noto Hadinegoro di
Kabupaten.Jember, Bandara di Kabupaten Banyuwangi, Bandara Trunojoyo di
Kabupaten Sumenep.
b. bandara khusus di Pagerungan Kabupaten Sumenep.
(3) Arahan pengembangan bandara umum, meliputi:
a. pengembangan bandara Internasional di kawasan Pantura.
b. pengembangan bandara umum domestik regional di Banyuwangi.
c. pengembangan bandara umum domestik regional Bawean di Kabupaten
Gresik.
d. pengembangan bandara umum domestik lokal di Kabupaten Jember.
(4) Arahan pembangunan bandara khusus di Kabupaten Blitar dan Kabupaten
Bojonegoro sesuai dengan kebutuhan dan mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 6 Arahan Pengembangan Angkutan Masal Cepat perkotaan
Pasal 46
(1) Arahan pengebangan angkutan massa cepat diwilayah perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 huruf a, adalah pengembangan angkutan massal cepat di
wilayah Gerbangkertasusila Plus dan wilaah Malang Raya.
(2) Penentuan teknologi angkutan masal cepat yang akan diterapkan harus dilakukan
melalui kajian teknis berdasarkan penetapan trayek, kondisi medan, prakiraan
permintaan dan kemampuan pendanaan.
(3) Laanan angkutan umum massal perkotaan merupakan sebuah Public Service
Obligation (PSO) yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.
(4) Penyelenggaraan angkutan umum masal perkotaan dapat dilakukan oleh
pemerintah swasta, atau kerjasama antara pemerintah dan swasta.
Paragraf 7 Arahan Pengemangan Sistem Prasarana Telematika
Pasal 47
(1) Prasarana telematika adalah perangkat komunikasi dan pertukaran infromasi yang
dikembangkan untuk tujuan-tujuan pengambilan keputusan di ranah publik ataupun
privat.
(2) Prasarana telematika yang dikembangkan, meliputi :
a. system kabel
b. system seluler
c. system satelit
(3) Arahan pengembangan praarana telematika sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terus ditingkatkan perkembangannya hingga mencapai pelosok wilayah yang belum
tersangkau sarana prasraana telematika mendorong kualitas perencanaan dan
pelaksanana pembangunan
(4) Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah terpencil, pemerintah memberi dukungan
dalam pengemangan kemudahan jaringan telematika.
(5) Pengelolaan ada di bawah otorita tersendiri sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku
(6) Pengaturan lebih lanjut tentang pemanfaatan teknologi telematika akan diatur oleh
Peraturan Gubernur.
Paragraf 8
Arahan Pengembangan Sistem Prasarana Sumberdaya Energi
Pasal 48
(1) Sumberdaya energi adalah sebagaian dari sumberdaya alam yang dapat
dimakfaatkan sebagai sumber energi dan atau energi baik secara langsung
maupun dengan proses konervasi atau transportasi.
(2) Pengembangan sumber daya anergi dimaksudkan untuk menunjang penyediaan
jaringan energi listrik dan pemenuhan energi lainnya.
(3) Pengembangan sarana untuk pengembangan listrik meliputi :
a. Pengembangan pembangkit PLTU Jawa Timur Selatan, PLTU Grati, PLTU
Paiton III – IV, PLTU Madura, PLTU Pasuruan, akan memberikan peningkatan
supply energi listrik ke system Jawa Bali (termasuk Wilayah Madura) dengan
pengendali system operasi di Jawa Timur di Waru Kabupaten Sidoarjo.
b. Pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 500 KV dan
Saluran Udara dan atau Kabel Tegangan Tinggi 150 KV diperlukan untuk
menyalurkan energi listrik yang dibangkitkan oleh pambangkit baru, yaitu
SUTET 500 KV aiton – Banyuwangi, serta transmisi 150 KV, Kediri, Gresik,
Sidoarjo, Nganjuk, Tulungagung, Madiun, Mojokerto, kota Surabaya dan
Kabupaten Bangkalan.
c. Pengembangan system distribusi 20 KV diperlukan untuk menyalurkan energi ke
kawasan yang pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota serta
daerah yang belum berlistrik dan bergantung pada dana yang ada.
(4) Pengembangan energi baru dan terbarukan oleh pemerintah provinsi maupun
kabupaten/kota yang meliputi :
a. energi mikrohidro di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Kabuipaten Situbondo,
Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Jember, Kabupaten Luajang, Kabupaten
Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Madiun, kabupaten
Magetan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto dan Kota Baru.
b. Energi angin di wiayah kepulauan dan pesisir
c. Energi surya di wilayah perdesaan dan terpecil
d. Energi panas bumi di Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten
Madiun, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Mojokerto an Kota Batu.
e. Energi gelombang di wilayah pesisir
(5) Arahan pengelolaan sumberdaya energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk memenuhi kebutuhan listrik dan energi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Paragraf 9
Arahan Pengembangan Prasraana Sumberdaya Air
Pasal 49
(1) Prasarana sumberdaya air adalah prasarana pengembangan sumberdaya air untuk
memenuhi berbagai kepentingan
(2) Pengembangan prasarana sumberdaya air untuk air bersih diarahkan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumber air permukaan dan sumber air tanah
(3) Rencana pengembanga prasarana sumber air permukaan untuk air bersih
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikembangkan di lokasi :
a. Bendungan karet kali Lamong untuk memenuhi kebutuhan air bersih khususnya
di daerah Gresik
b. Bengawan Jero di Kabupaten Lamongan.
c. Dan Sie di Kabupaten Lamongan
d. Jabung retarting basin – Sembayat barrage dan Flood way Sedayu Lawas di
Kabupaten Lamongan
e. Pemenuhan air baku Floodway Sedayu Lawas – Babat Barrage – Jabung
retarding basin, smbayat Barrage, Bojonegoro Barrage, Waduk Tawun di
Kabupaten Bojonegoro.
f. Pelayaran di Kabupaten Sidoarjo
g. Penjernihan air jagir di Wonokromo
h. Singoladri, Lider dan Kedawung di Kabupaten Banyuwangi
i. Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo
j. Umbulan di Kabupaten Pasuruan
(4) Penembangan prasananasumber air tanah untuk air bersih dengan melakukan
penurapan mata air dan membangun sumur bor, pencegahan pencemaran pada
Cekuangan Air Tanah CAT) meliputi :
a. CAT Brantas
b. CAT Bulukawang
c. CAT Besuki
d. CAT Bondowoso – Situbondo
e. CAT Banyuwangi
f. CAT Blambangan
g. CAT Bangkalan
h. CAT Jember – Lumajang
i. CAT Ketapang
j. CAT Lasem
k. CAT Ngawi – Ponorogo
l. CAT Panceng
m. CAT Pasuruan
n. CAT Probolinggo
o. CAT Randublatung
p. CAT Surabaya – Lamongan
q. CAT Sumberbening
r. CAT Sampang – Pamekasan
s. CAT Sumenep
t. CAT Tuban
u. CAT Toranggo
v. CAT Wonosari
w. CAT Wonorejo
x. Selain itu dapat dikembangkan di waduk dan embung
(5) Arahan pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
:
a. Pembangunan prasarana sumber daya air
b. Semua sumber air baku dari dam, embung, waduk, telaga, bendungan serta
sungai – sungai klasifikasi I – IV yang airnya data dimanfaatkan secara langsung
dan dikembangkan untuk berbagai kepentingan.
c. Zona pemanfaatan DAS dilakukan dengan membagi tipologi DAS berdasarkan
tipologinya
d. Penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan
wilayah sungai tersebut pada zona kawasan lindung tidak diijinkn pemanfaatan
sumber daya air untuk fungsi budidaya, termasuk juga untuk penambangan.
e. Prasarana sumberdaya air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan lintas
wilayah administrative Kabupaten / kota dikoordinasikan oleh Pemerintah
Provinsi.
Pasal 50
(1) Prasarana pengairan direncanakan sesuai dengan kebutuhan peningkatan sawah
irigasi teknis dan non teknis baik untuk irigasi air permukaan maupun air tanah.
(2) Rencana pengembangan pengairan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) disusun
berdasarkan wilayah sungai
(3) Pengembangan waduk, dam dan embung serta pompanisasi terkait dengan
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
mempertimbangkan :
a. daya dukung sumber daya air
b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat
c. kemampuan pembiayaan
d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air
e. posisi Jawa Timur sebagai lumbung sosial
(4) Dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka pengembangan
waduk, dam dan embung serta pompanisasi ditetakan meliputi :
a. Dam Genting I di Kabupaten Blitar
b. Dam Babadan di Kabupaten Nganjuk
c. Dam Tuga di Kabupaten Trenggalek
d. Dam Wonsalam di Kabupaten Jombang
e. Dam Karangnongko di Kabupaten Bojonegoro
f. Embung Dempobarat, Jarin, Bujur Timur dan Embung Sumberwaru di Kabupaten
Pamekasan.
g. Embung Pengolahan, Tambak Poncok, Sangkiyah, Dupok, Paselaju,
Pangolangan 2, Maneron, Pakis 3, Manuan, Kombangan 1, Kombangan 2,
Kombangan 3, dan Kampak di Kabupaten Bangkalan.
h. Embung Cepret, Wakah di Kabupaten Ngawi
i. Embung Pacin di Kabupaten Madiun
j. Embung Kertoasri di Kabupaten Pasuruan
k. Embung Mojoroto di Kabupaten Mojokerto
l. Embung Dermo, Kabluk di Kabupaten Lamongan
m. Waduk penampung banjir Jabung/Jabung retarding basin di kali Lamongan
n. Waduk Beng di Kabupaten Jombang
o. Waduk genting di Kabupaten Malang
p. Waduk Bajulmati di Kabupaten Banyuwangi
q. Waduk Nipah di Kabupaten Sampang
r. Waduk Blega di Kabupaten Bangkalan
s. Waduk Kedung Brubus di Kabupaten Madiun
t. Waduk Gonggang di Kabupaten Magetan
u. Waduk Bendo di Kabupaten Ponorogo
v. Waduk Banjaranyar di Kabupaten Gresik
w. Waduk Tawun, Pejok di Kabupaten Bojonegoro
x. Waduk Antrogan di Kabupaten Jember
(5) Area lahan beririgasi teknis harus dipertahankan agar tidak berubah fungsi menjadi
perutukan yang lain, jika areal tersebut terpaksa harus berubah fungsi maka
disediakan lahan areal baru yang menggantikannya dengan luasan minimal sama
ditambah dengan biaya ivestasi yang telah ditanamkan di lokasi tersebut.
Pasal 10 Arahan Pengelolaan Sistem Prasraana Migas
Pasal 51
(1) Prasarana migas adlaah jaringan/ distribusi minyak dan gas bumi melalui pipa di
darat dan laut, kereta api dan angkutan jalan raya.
(2) Rencana pengembangan sumber dan prasarana migas, meliputi :
a. Kabupaten Bojonegoro
b. Kabupaten Bangkalan
c. Kabupaten Gresik
d. Kabupaten Lamongan
e. Kabupaten Pamekasan
f. Kabupaten Sidoarjo
g. Kabupaten Sampang
h. Kabupaten Sumenep
i. Kabupaten Tuban
j. Kabupaten / kota lain berdasarkan hasil eksplorasi
(3) Rencana pengembangan sumber dan prasarana migas pada wilayah darat dan
wilayah laut sepanjang 4 sampai dengan 12 mil aut.
(4) Arahan prasarana migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya
adalah di bawah instansi / badan / lembaga sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 11 Arahan Pengembangan Sistem Prasarana Lingkungan
Pasal 52
(1) Prasarana lingkungan merupakan arahan pengelolaan prasarana yang digunakan
lintas wilayah administrative.
(2) Prasarana yang digunakan lintas wilayah secara administrative sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. tempat pembuangan akhir (TPA) terpadu yang dikelola bersama untuk
kepentingan antar wilayah
b. tempat pengelolaan limbah industri B3 dan Non B3
(3) Arahan pengembangan system prasarana lingkungan yang digunakan lintas
wilayah secara administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :
a. kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah
sampah terutama di wilayah perkotaan
b. pengalokasian tempat pembuangan akhir sesuai dengan persyaratan teknis
c. pengeloaan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan
kaidah teknis
d. pemilihan lkasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung
lingkungan
e. Setiap kabupaten/kota diwajibkan menyediakan ruang untuk TPA dan atau TPA
terpadu.
Bagian Ketujuh Arahan Pengebangan Kawasan Diprioritaskan
Pasal 53
(1) Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan merupakan kawasan yang
mempunyai karakter khusus dan perlu ditangani secara tersendiri
(2) Kawasan diprioritaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Kawasan Ekonomi Potensial
b. Kawasan Strategis
c. Kawasan Tertinggal
d. Kawasan Rawan Bencana
e. Kawasan Khusus Militer
f. Kawasan Perbatasan
g. Kawasan pengen
(3) Arahan pengembangan kawasan diprioritaskan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi :
a. pengelolaan kawasan yang berpotensi mendorong perkembangan kawasan
sekitar dan atau berpengaruh terhadap perkembangan wilayah secara umum.
b. Pengelolaan kawasan perbatasan dalam satu kesatuan arahan dan kebijakan
yang sering bersinergi
c. Mendorong perkembangan / revitalisasi otensi wilayah yang belum berkembang
d. Penempatan pengelolaan kawasan diprioritaskan dalam kebijakan utama
pembangunan daerah
e. Mendorong tercpainya tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan.
f. Peningkatan kontrol terhadap kawasan yang diprioritaskan
g. Endorong terbentuknya badan pengelolaan kawasan yang diprioritaskan
Pasal 54
(1) Kawasan ekonomi potensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf
a dijabarkan dalam sentra ekonomi yakni Kawasan Pengembangan Utama
Komoditi, Kawasan Pengembangan Terintegrasi dan Kawasan Pengembangan
Utama.
(2) Kawasan Pengembangan Utama Komoditi dan Kawasan Pengembangan
Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di berbagai wilayah
kabupaten/kota.
(3) Kawasan Pengembangan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
wilayah :
a. Tuban, Lamongan dan sekitarnya
b. Surabaya dan sekitarnya
c. Kediri, Blitar dan sekitarnya
d. Malang dan sekitarnya
e. Probolinggo dan sekitarnya
f. Jember dan sekitarnya
g. Madiun dan sekitarnya
h. Banyuwangi dan sekitarnya
i. Madura
Pasal 55
(1) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b,
merupakan suatu daerah yang mempunyai potensi social ekonomi untuk
dikembangkan yang berbasis pada sumber daya alam serta melalui pusatusat
pengembangan penduduk, dengan diterapkan teknologi dan modal maka daerah
tersebut akan menjadi fungsi dan peran khusus bagi daerah sekitarnya (hiterland)
guna mencapai tujuan pengembangan wilayah.
(2) Kawasan strategis yang dikembangkan adalah Kawasan East Java Industrial
Integreted Zone (EJIIZ) sebagai kawasan yang memiliki system legal, administrasi
laut dan udara, kawasan berikat, ekspor prosesing zone, kawasan industri serta
cargo yang dikelola secara terintegrasi.
Pasal 56
Kawasan tertinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c, banyak
terdapat di kawasan pesisir selatan Jawa Timur dan Madura dengan arahan meliputi :
a. peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar
b. penyediaan kesempatan dalam pendayagunaan laan dan sumberdaya alam
setempat.
c. Pembentukan organisasi perwilayahn perbaikan struktur penggunaan dan
pengelolaan sumber daya alam dan manusia
d. Peningkatan kesempatan kerja melalui penanggulangan pengangguran,
pengembangan sector pertanian yang berdaya serap tinggi terhadap tenaga kerja
e. Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam
f. Peningkatan sumber daya manusia
g. Pelestarian lingkungan hidup
h. Pengembanga keuntungan komparatif antar wilayah dan tidak terjadi tumpang
tindih peran dan fungsi wilayah satu dengan lainnya
i. Peningkatan daya saing sector ekonomi potensial
j. Peningkatan daya tarik kawasan denga cara menyediakan prasarana dan sarana
penunjang
k. Perbaikan system pemasaran produk yang dihasilkan kawasan.
Pasal 57 Kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d
merupakan kawasan yang rentan terhadap bencana alam; terutama untuk bencana
alam yang terjadinya seperti rawan letusan gunung api, rawan banjir, rawan gempa,
gerakan tanah, longsor, lanjir bandang dan rawan tsunami atau yang meruakan
fenomena alam lainnya, dengan arahan meliputi :
a. menciptakan infrastruktur yang khusus did aerah rawan bencana sehingga nilai
investasi yag ditanamkan tidak terlalu sia-sia dan daerah terseut dapat
berkembang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
b. Menciptakan peraturan bangunan, membatasi keleluasaan membangun pada
daerah-daerah yang dianggap rawan bencana secara optimal sebagaimana
dilakukan pada daerah-daerah lainnya
c. Mempertimbangkan kestabilan lereng dalam perencanaan, perancangan, dan
pengembangan lokasi bangunan
d. Pengendalian atas garapan lahan pada daeerah erbukitan dan pegunungan
e. Mempertahankan dan merevitalisasi kawasan mangrove/bakau sebagai barier
area untuk mitigasi bencana (tsunami).
f. Menyediakan ruang untuk evakuasi yang dapat berupa ruang terbuka hijau
g. Tidak mencetak sawah lahan basah pada kawasan terjal
Pasal 58
(1) Kawasan khusus militer seagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf e
merupakan kawasan yang lokasinya jauh dari kegiata umum perkotaan, dimana
masyarakat umum tidak diijinkan memakai atau menempati lahan yang ada dan
telah ditetapkan sebagai kawasan khusus.
(2) Kawasn khusus militer digunakan sebagai kepentingan pertahanan keamanan
nasional (TNI) dan kawasan yang digunakan dengan fungsi kegiatan militer
dikategorikan sebagai kawasan khusus mencakup daerah pangkalan, lokasi latihan,
obyek vital, basis dan daerah demobilisasi, yang berlkasi di :
a. Badnara Iswahyudi di Kabupaten Magetan
b. Bandara Abdurahman Saleh Kabupaten Malang
c. Bumi Marinir di Karangpilang Kota Surabaya
d. Daerah latihan Gunung Bancak di Kabupaten Magetan
e. Daerah latihan Gunung Majang Komplek di Kabupaten Jember
f. Daerah Basis Armada Timur di Tanjung Perak kota Surabaya
g. Daerah latihan di Teleng Gesingan Kabupaten Pacitan
h. Gudang Senjata dan pabrik pembuatan senjata di Turen Kabupaten Malang
i. Gudang Amunisi di batu Poron Kabupaten Bangkalan Madura
j. Gudang Mesiu Curah Daru di Kabupaten Bondowoso
k. Gudang senjata dan amunisi Angkatan darat di Saradan Kabupaten Madiun
l. Kawasan Air Weapon Range TNI AU di Partai Pesirian.
m. Kawasan KODAM V Brawijaya di Surabaya
n. Kawasan KOSTRAD di Singosari Kabupaten Malang.
o. Kawasan KOSTRAD di Kraton Kabupaten Pasuruan
p. Kawasan latihan Gunung Grati di Kabupaten Pacitan
q. Kawasan TNI AU di Raci Kabupaten Pasuruan
r. Kawasan TNI AU dan daerah latihan di Punung Kabupaten Pacitan
s. Tempat latihan gabungan tempur di Asembagus Kabupaten Situbondo
(3) Kawasan Khusus diarahkan dengan :
a. membatasi antara lahan terbangun di sekitar kawasan khusus dengan kawasan
lainnya yang belum terbangun sehingga diperoleh batas yang jelas dalam
pengelolaannya
b. pemberian hak pengelolaan kepada masyarakat atau pemerintah, harus
berdasarkan kerjasama berdasarkan ketentuan yang telah disepakati sehingga
akan menguntungkan kedua belah pihak.
Pasal 59
(1) Kawasan perbatasan sebagaimana dimaksud pada pasal 53 ayat (2) huruf f
merupakan kawasan antar provinsi dan Kabupaten / kota dan kegiatan yang perlu
adanya pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan industri, kegiatan
domestik, kegiatan pertanian, kegiatan peternakan dan kegiatan perikanan
budidaya.
(2) Kawasan perbatasan antar provinsi dan Kabupaten / kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf f merupakan kawasan yang mempunyai kontribusi
terhadap pencapaian sasaran secara nasional dan atau regional dalam
pemanfaatan lahan dan pemanfaatan ruang di daerah perbatasan.
(3) Kawasan yang memiliki interaksi secara langsung dalam pemanfaatan ruang di
sekitar wilayah perbatasan Provinsi Jawa Timur yang meliputi :
a. Kawasan RATUBANGNEGORO (Blora, Tuban, Rembang, dan Bojonegoro)
merupakan wilayah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah di bagian
utara.
b. Kawasan KAWISMAWIROGO (Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Magetan,.
Ngawi, Ponorogo) merupakan wilayah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa
Tengah di bagian Tengah.
c. Kawasan PAWONSARI (Pacitan, Wnogiri, Wonosari) merupakan wilayah
perbatasan Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta di
bagian selatan.
d. Kawasan perbatasan di bagian timur dengan Provinsi Bali dan dibagian utara
dengan Kalimantan Selatan.
(4) Arahan pengelolaan kawasan perbatasan antar kota dengan Kabupaten dan atau
antar Kabupaten untuk mencapai kesesuaian fungsi antar wilayah dan kerjasama
infrastruktur dan pemanfaatan ruang antar wilayah, didasarkan pada :
a. prinsip saling menguntungkan
b. penciptaan efisiensi dalam roses pembangunan dengan memperhatikan
efisiensi dan efektifitas dalam memanfaatkan sumber daya
c. tetap memelihara kualitas lingkungan hidup
d. tetap mempertahankan fungsi dasar kawasan, terutama kawasan lindung
Pasal 60
(1) Kawasan pengednalian ketat (High Control Zone) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf g merupakan kawasan yang memerlukan pengawasan
secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung,
mencegah dampak negatif, menjamin proses pembangunan yang berkalnjutan.
(2) Kawasan pengendalia ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pemanfaatan ruang di sekitar :
a. kawasan perdagangan regional
b. kawasan kaki jembatan Suramadu di kota Surabaya dan Kabupaten Bangkalan
yang meliputi kawasan tertentu / fair ground, interchange jalan akses dan / atau
rencana reklamasi pantai.
c. Wilayah aliran sungai, sumber air dan stren kali dengan sempadanya
d. Kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian lingkungan hidup
meliputi kawasan konservasi hutan bakau/mangrove.
e. Transportasi terkait kawasan jaringan jalan, perkeretaapian, area / lingkup
kepentingan pelabuhan, kawasan sekitar bandara, kawasan di sekitar jalan
arteri / tol.
f. Prasarana wilayah dalam skala regional lainnya seperti area di sekitar jaringan
pipa gas, jaringan SUTET dan TPA terpadu.
g. Kawasan rawan bencana
h. Kawasan lindung prioritas dan pertambangan skala regional
i. Kawasan konservasi alami, udaya dan yang bersifat unik dan khas
Bagian Kedelapan Arahan Pengembangan Kawasan Pesisir dan Kepulauan
Pasal 61
Arahan Pengembangan Kawasan Pesisir dan Kepulauan
a. menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil.
b. Mengembangkan pola spatial pantai berdasar sumber daya yang ada
c. Menjaga fungsi tumbuhan antai/mangrove, terumbu karang dan ekosistem pantai
secara lestari dan alami
d. Menjaga fungsi bidegradasi di pesisir akibat perencanaan dari daratan
e. Memelihara fasilitas publik dan kemudahan akses di wilayah pesisir
f. Memelihara muara sungai yang alami maupun pelabuhan di sekitar muara
g. Mengembangkan masyaraka pesisir melalui program ekonomi, pendidikan dan
social
h. Pemberdayaan masyarakat dan aparat pemeirntah untuk melindungi ekosistem dan
sumber daya pesisir, untuk pemanfaatan yang berkalanjutan
i. Mengendalikan pemanfaatan ruang pesisir untuk kegiatan yang berpotensi
memberikan dampak lingkungan yang besar dan luas
j. Mengkhususkan pengelolaan lokasi di wilayah pesisir yang digunakan untuk
kepentingan militer keamanan dan kepentingan strategis negara.
Pasal 62
(1) Arahan pengelolaan sumberdaya kelautan pada kepulauan untuk pelestarian fungsi
alami dan pemanfaatanm secara ekonomi maupun sumber daya terbarukan lainnya
wajib didasarkan pada azas kecocokan dan keterlanjutan daya dukung lingkungan
alam.
(2) Setiap upaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut dan pulau mengikuti
peraturan dan perundangan yang berlaku.
Bagian Kesembilan Arahan Pengelolaan tata Guna Tanah, Tata Guna Air,
Tata Guna Udara, dan Tata Guna Sumber Daya Alam Lainnya.
Pasal 63
Arahan pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna
sumberdaya alam lainnya, yaitu :
a. tata guna tanah meliputi kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan
penatagunaan tanah
b. tata guna air meliputi kebijakan penatagunaan dan penyelenggaraan air
pemrukaan dan air tanah
c. tata guna udara meliputi kebijakan penatagunaan dan penyelenggaraan ketinggian
bangunan, lintasan pesawat, saluran udara tegangan tinggi dan saluran udara
tegangan ekstra tinggi.
d. Tata guna sumber daya alam lainnya diarahkan Provinsi pada pemanfaatan sumber
daya alam dengan tetap memperhatikan fungsi kelestarian kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung kehidupan secara berkelanjutan.
Pasal 64
(1) Arahan tata guna tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a, dilakukan
melalui upaya perlindungan taah dan perlindungan / pengawetan
keseimbangannya terhadap kelestarian lingkungan hidup, meliputi :
a. pengaturan peruntukan dan peggunaan tanah yang memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
b. Penggunaan tanah yang mengacu pada fungsi (zona) yang telah ditetapkan
untuk kawasan konservasi.
c. Lahan yang berperan strategis bagi kelestarian lingkungan seperti
pengembangan tanaman lindung pada kawasan konservasi
d. Penggunaan tanah yang tidak sesuai rencana tata ruang tidak dapat diperluas
atau dikembangkan penggunaannya.
e. Pola penyesuaian penggunaan / pemanfaatan tanah dilakukan melalui
penataan kembali (konsolidasi tanah), upaya kemitraan dan penerahan /
pelepasan hak atas tanah pada negara atau pihak lain dengan penggantian
sesuai peraturan perundang-undangan.
f. Menunjang keseimbangan pembangunan dengan penyediaan tanah disetiap
tingkatan pemerintahan baik provinsi maupun Kabupaten / kota yang selaras
dengan rencana tata ruang.
(2) Arahan pengelolaan tata guna air sebagaimana dimaksud dlaam pasal 63 huruf b,
dilakukan melalui upaya kelestarian sumberdaya air terdiri dari :
a. penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian baik air permukaan
dan / atau air tanah
b. pengembangan daerah rawa, untuk pertanian dan atau untuk budidaya
perikanan
c. pengendalian dan pengaturan banjir serta usaha untuk perbaikan sungai, waduk
dan sebagainya serta pengaturan prasarana dan sarana sanitasi
d. pengaturan dan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri dan
pencegahan terhadap pencemaran atau pengotoran air.
e. Pemeriksaan ketersediaan kuantitas dan kualitas air yang berkelanjutan, melalui
pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
pengisian air pada sumber air; pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
penaturan daerah sempadan sumber air; rehabilitasi hutan dan lahan dan / atau
pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan pelestarian alam.
(3) Arahan pengelolaan tata guna udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf
c, meliputi :
a. menjaga kelestarian kualitas udara terhadap pencemaran lingkungan
b. pengaturan jalur SUTT dna SUTET
c. pengaturan frekuensi radio dan jalur transmisi lainnya
d. pemantauan pola cuaca / iklim tropika dan aspek metereologi lainnya
e. pengaturan jalur penerbangan umum dan khusus
f. pengaturan ruang udara untuk keperluan militer
g. pengaturan ketinggian bangunan
h. pengaturan ruang kawasan keselamatan operasional penerbangan di bandara
Bagian Kesepuluh Pemanfaatan Ruang Daerah
Pasal 65
(1) Pemanfaatan ruang di daerah bertujuan untuk meningkatkan kegiatan
pembangunan, kesejahteraan masyarakat investasi dan memelihara serta
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
(2) RTRW Provinsi merupakan acuan untuk sinkronisasi dan keterpaduan dalam
penyusunan dan revisi RTRW Kabupaten / kota.
(3) Dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata
ruang wilaah Provinsi, pemerintah Provinsi dan Kabupaten / kota menyediakan
pencadangan lahan dimasing-masing wilayah di setiap tahun anggaran.
(4) Untuk mewujudkan pola pemanfaatan ruang daerah disusun prioritas sector dan
wilayah di Jawa Timur.
(5) Prioritas sebagaimana dimaksud pad ayat (4) meliputi prioritas sector dan wilayah
di Jawa Timur.
(6) Tahapan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi tahapan 5
(lima) tahun pertama sampai ketiga
(7) Syarat zoning pemanfaatan ruang yang lebih detail akan diatur oleh Peraturan
Gubernur.
Pasal 66
(1) Langkah-langkah pengelolaan kaasan indung meliputi :
a. percepatan rehabilitasi kawasan lindung yang teah mengalami penurunan
kwaitas tegakan serta degradasi ahannya.
b. Penambahan kawasan lindung baru yang termasuk dalam kawasan
perindungan bawahan yakni kawasan resapan air mempunyai fungsi sebagai
kawasan yang dapat menampung genangan air serta curah hujan dan
mempunyai jenis tanah yang dapat menyerap air tinggi (porous).
c. Pada kawasan dengan fungsi perindungan bawahan mengendalikan jenis
tegakan disesuaikan dengan karakter taah dan analisa potensi ekonomi di
masing-masing wilayah.
d. Penambahan hutan lindung yang merupakan hasil alih fungsi hutan produksi
yang mempunyai kriteria kawasan indung menjadi hutan lindung
e. Alih fungsi hutan mangrove di dalam dan di luar kawasan hutan menjadi
kawasan lidung
f. Pengamanan hutan lindung dari gangguan hutan dan okupansi lahan hutan
(2) Langkahlangkah pengelolaan kawasan budidaya meliputi :
a. arahan pemanfaatan ruang kawasan budaya secara optimal, berdaya guna,
serasi, seimbang dan berkelanjutan.
b. Arahan untuk menentukan prioritas pemanfaatan ruang antar kegiatan budidaya
yang berbeda
c. Arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya
tertentu ke jenisnya
d. Pecepatan rehabilitasi hutan produksi yang telah mengalami penurunan kualitas
tegakannya perluasan hutan rakyat serta pembangunan hutan kota
e. Pengamaan hutan produksi dari gangguan illegal loging
f. Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh diterlantarkan, harus
dipelihara pemanfaatannya dan mencegah kerusakan.
g. Perubahan fugsi penggunaan tanah sawah yang tidak produktif dan bukan
eririgasi teknis dapat dilakukan untuk kegiatan yang sesuai dengan rencana tata
ruang sehingga meningkatkan fungsi wilaah dengan tidak meninggalkan kaidah
eklogis, sedangkan sawah subur dan beririgasi teknis dipertahankan untuk
menunjang swasembada pangan
h. Arahan neraca penggunaan tanah tentang perimbangan antara ketersediaan
dan kebutuhan penggunaan tanah menurut fungsi kawasan.
Pasal 67
(1) Langkah-langkah pengelolaan kawasan pedesaan meliputi :
a. pemanfaatan dan pengembangan kawasan agropolitan yang strategis dan
potensial.
b. Pemantapan kelembagaan masyarakat dan pemerintah pedesaan dalam
pengelolaan kegiatan pertanian, kelautan, perikanan, peternakan, perkebunan,
kehutanan, agrobisnis dan agroindustri.
c. Membangun kawasan pedesaan melalui peningkatan produktivitas dan
pemberdayaan masyarakat di kawasan pedesaan.
d. meningkatkan keterkaitan aksesibilitas antara kawasan perdesaan dan
perkotaan.
e. mengelola dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam di perdesaan
sesuai dengan prinsip-prinsip pernbangunan berkelanjutan.
f. membangun sistem jaringan pelayanan inter dan intra sektor dan wilayah untuk
mendukung keunggulan potensi kawasan/daerah, berupa antara lain pendidikan
formal dan informal, pernasaran, kelembagaan, teknologi informasi.
g. meningkatkan daya tarik wilayah untuk mengurangi tingkat migrasi,
hyperurbanisasi diwilayah Surabaya Metropolitan Area (mendukung
langkah-langkah pengelolaan kawasan perkotaan).
h. menjadikan pengembangan kawasan perdesaan sebagai buffer yang
mempunyai nilai ekonomis, untuk menjaga pengembangan kawasan perkotaan ,
yang tidak terkendali.
(2) Langkah-langkah pengelolaan kawasan perkotaan meliputi:
a. mengendalikan hyperurbanisasi khususnya di wilayah Surabaya Metropolitan
Area (SMA).
b. mengalihkan penumpukan beban transportasi yang cenderung berorientasi ke
arah Surabaya.
c. menjaga keseimbangan keberlanjutan lingkungan dengan keseimbangan wilayah
terbangun dan tidak terbangun termasuk juga menjaga eksistensi wilayah
yang.bersifat rural di sekitar kawasan perkotaan.
d. menyediakan ruang terbuka hijau minimal 20 % dimana 10% berupa hutan kota
di kawasan kota/perkotaan.
e. mendorong persebaran pembangunan infrastruktur perkotaan.
f. membangun infrastruktur yang dapat mengendalikan pekembangan yang
monosentris.
g. menyerasikan perkembangan fisik perkotaan yang dapat menimbulkan disparitas
perkembangan kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan.
h. mendorong terbentuknya sistern duster dengan pusat pusat pelayanan
Pasal 68
Langkah-langkah pengelolaan kawasan tertentu Gerbangkertosusila Plus adalah
sebagai berikut :
a. dipertahankan untuk berfungsi sebagai pusat pertumbuhan wilayah nasional yang
mendukung pelayanan pengembangan wilayah disekitarnya dan Indonesia bagian
Timur.
b. mencegah pertumbuhan kawasan terbangun bagian barat Selatan Surabaya ke
kawasan pertanian tanaman pangan dan lindung di wilayah Mojokerto - Sidoarjo -
Malang.
c. diarahkan untuk meningkatkan spesialisasi fungsi jasa keuangan, teknologi sistem
informasi, pendidikan dan pengangkutan laut.
d. meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan sistem perangkutan massal intra
urban (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya dan Lamongan).
e. meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan utilitas kota yang memenuhi
standar internasional.
f. meningkatkan kualitas pelayanan pernerintahan yang mendukung terjaganya minat
investasi pasar modal
g. memantapkan aksesibilitas metropolitan Gerbangkertosusila Plus ke kota-kota
Pusat Kegiatan Nasional lainnya di Pulau Jawa dan wilayah nasional lainnya,
melal'ui peningkatan kualitas sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara.
h. meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang menjamin kesejahteraan dan
kreativitas masyarakat Surabaya dan sekitarnya.
L meningkatkan kernampuan kerjasama pemb,angunan antar kota dan pengendalian
pemanfaatan ruang dan sumberdaya di wilayah Gerbangkertosusila Plus.
j. meningkatkan aksesibilitas Kota Surabaya ke kota-kota hinterland.
Pasal 69
Pokok-pokok kebijaksanaan sumber daya tanah, sumber daya air, sumber daya udara
dan tata guna sumber daya lainnya, meliputi:
a. Kebijakan menjaga keseimbangan daya dukung air terhadap kebutuhan
perkembangan penduduk dan kegiatannya.
b. kebijakan menjaga keseimbangan daya dukung pangan khususnya beras terhadap
kebutuhan perkembangan penduduk.
c. kebijakan peningkatan pertumbuhan dan pengembangan ekonomi wilayah terhadap
pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada ekonomi lokal, mengikuti dan
menyesuaikan perkembangan ekonomi dunia.
d. kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan
pemerataan pembangunan wilayah.
e. kebijakan pemanfaatan ruang wilayah secara optimal yang mencerminkan
keterkaitan antar sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
f. kebijakan pelaksanaan rencana tata ruang melalui upaya pemanfaatan dan
pengendalian secara terbuka, berkeadilan menjunjung tinggi hukum, persamaan
serta berorientasi pada pelayanan umum pada semua lapisan masyarakat.
Pasal 70
(1) Untuk mewujudkan keserasian pemanfaatan ruang daerah, sumber daya air dan
udara di Provinsi Jawa Timur, maka diperlukan koordinasi dan kerjasama
pemanfaatan ruang antar kabupaten/kota sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
(2) Untuk menjamin terwujudnya keseraian pemanfaatan ruang daerah maka
diperlukan kerjasama dalam pemanfaatan ruang antar kabupaten/kota, yang
mengacu pada peta potensi wilayah berdasarkan hasil pemetaan yang
terkoordinasi antara provinsi dan seluruh kabupaten/kota.
BAB V PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 71
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan
dan penertiban terhadap %pemanfaatan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah usaha untuk menjaga
kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam
rancangan tata ruang.
(3) Dalam pengawasan akan mencakup kegiatan
a. meningkatkan dan memantapkan fungsi kelembagaan Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (BKPRD) baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
dalam melaksanakan pengawasan.
b. pemantauan, usaha atau perbuatan mengamati, mengawasi dan memeriksa
dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang.
c. evaluasi, usaha untuk menilai kemajuan pemanfaatan ruang dan kesesuaiannya
dengan rencana tata ruang baik dampak positif maupun dampak negatif yang
ditimbulkan.
(3) Penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah usaha untuk mengambil
tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.
Pasal 72
Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 71, meliputi:
a. pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung.
b. pengendalian pemanfaatan ruang di kawasanbudidaya.
c. pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perdesaan.
d. pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan.
e. pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan diprioritaskan.
Pasal 73
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 huruf a adalah upaya pengawasan dan penertiban terhadap
kawasan-kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung (kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan perlindun.gan bawahan) sesuai
dengan arahan pengelolaan kegiatan untuk masing-masing kategori kawasan
lindung yang ada.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang di kawa,5an budidaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 huruf b adalah upaya pengawasan dan penertiban terhadap
kawasan budidaya tidak terbangun (Kawasan hutan produksi, kawasan pertanian
lahan kering, kawasan pertanian lahan basah, kawasan perkebunan, kawasan
perikanan, dsb) maupun kawasan budidaya terbangun (kawasan perumahan,
kawasan perdagangan, kawasan i.n,d,ustri, dsb) sesuai dengan arahan
pengembangan kegiatan dan pemanfaatan ruang untuk tiap jenis kawasan
budidaya yang ada, antar kawasan budidaya, maupun adanya perubahan jenis
pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya tertentu ke jenisnya.
(3) Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 huruf c adalah upaya pengawasan dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang di kawasan perdesaan sesuai dengan rencana tata ruang.
(4) Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 huruf d adalah: upaya pengawasan dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan sesuai dengan rencana tata ruang.
(5) Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan diprioritaskan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 huruf e adalah upaya pengawasan dan penertiban
terhadap pemanfaatan ruang di kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai
kawasan diprioritaskan yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan rencana
tata ruang.
Pasal 74
(1) Jenis kegiatan penertiban pemanfaatan ruang.,termasuk tata guna tanah, tata guna
air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya, meliputi :
a. pada kawasan lindung:
i. diterapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang analisis mengenai
dampak lingkungan hidup bagi berbagai usaha dan/atau kegiatan yang.
sudah ada di kawasan lindung dan/atau berhimpit dengan kawasan lindung
yang mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
ii. diterapkan ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fungsi lindung
kawasan yang telah terganggu kepada fungsi lindung yang dilakukan secara
bertahap.
iii. diterapkan peraturan yang mewajibkan dilaksanakannya kegiatan
perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rehabilitasi daerah bekas
penambangan pada kawasan lindung.
b. pada kawasan budidaya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan
diprioritaskan dengan menegakkan prosedur perijinan dalam mendirikan
bangunan di kabupaten/kota untuk menjami,n pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan peruntukan ruang dan kegiatan yang direncanakan.
(2) Terhadap pemanfaatan ruang di kawasan pengendalian ketat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 harus mendapat izin dari Gubernur.
Pasal 75
(1) Pendayagunaan mekanisme perijinan pemanfaatan ruang dan lokasi pembangunan
merupakan bagian dari pengendalian terhadap pemanfaatan ruang wilayah agar
pemanfaatan ruang atau pembangunan sesuai dengan RTRW Provinsi.
(2) Pendayagunaan mekanisme perijinan pemajifaatan ruang dan lokasi pembangunan
dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. tahap gagasan/ide.
b. tahap pemberian ijin lokasi.
c. tahap kegiatan pembangunan.
d. tahap kegiatan berusaha.
e. tahap perubahan pembangunan.
f. tahap evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah.
(3) Tahap gagasan/ide sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yaitu
investor/masyarakat/pemerintah memberi suatu studi kelayakan seperti prastudi
kelayakan, studi kelayakan, kelayakan ekonomi dan lingkungan.
(4) Tahap pemberian ijin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi :
a. persetujuan prinsip percadangan tanah.
b. persetujuan penguasaan peruntukan ruang.
c. persetujuan pembebasan peruntukan ruang.
d. persetujuan ruang.
e. persetujuan tetangga sekitar.
f. penyelesaian administrasi pertanahan.
(5) Tahap kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yaitu
pengaturan dan pengendalian proses fisik pembangunan kawasan lindung,
kawasan budidaya dan kawasan tertentu yang terdapat pada wilayah perencanaan.
(6) Tahap kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d yaitu
mengontrol kegiatan-kegiatan berusaha/ usaha yang diisyaratkan sehingga
tercaped pertumbuhan ekonomi wilayah yang diharapkan.
(7) Tahap perubahan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e yaitu
upaya penyesuaian fungsi-fungsi kawasan sesuai dengan perkembangan yang
terjadi serta dampak-dampak yang ditimbulkannya.
(8) Penataan yang dilakukan oleh seluruh pihak,terkait dengan pelaksanaan RTRW
Provinsi sebagai kebijakan matra ruang akan diberikan insentif atau disinsentif yang
akan diatur dengah Peraturan Gubernur
Pasal 76
Aparatur pemerintah dalam kegiatan penataan ruang wilayah Provinsi Jawa Timur
sesuai dengan kewenangannya wajib berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam
proses penataan ruang.
Pasal 77
(1) Terhadap aparatur pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Mekanisme pemanggilan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi administratif
dilakukan sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku.
BAB VI HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 78
Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak :
a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
b. mengetahui secara terbuka RTRW Provinsi, rencana tata ruang kawasan,
rencana rinci tata ruang kawasan.
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari
penataan ruang.
d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang.
Pasal 79
(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang, selain dari Lembaran Daerah masyarakat
dapat mengetahui rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengumuman
atau penyebarluasan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Kewajiban untuk menyediakan media pengumuman atau penyebarluasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penempelan/pemasangan
peta rencana tata. ruang yang bersangkutan pada tempat-tempat umum dan juga
pada media massa, serta melalui pembangunan sistem informasi tata ruang.
Pasal 80
(1) Dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf c, pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan atau kaidah
yang berlaku.
(2) Untuk menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang
terkandung didalamnya, menikmati manfaat ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dapat berupa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dilaksanakan
atas dasar pemilikan, penguasaan, atau pemberian hak tertentu berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan
yang berlaku atas ruang pada masyarakat setempat.
Pasal 81
(1) Hak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status
semula yang dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat pelaksanaan RTRW Provinsi
diselenggarakan dengan cara musyawarah antara pihak yang berkepentingan.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyelesaiannya dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 82
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Provinsi Jawa Timur, masyarakat wajib :
a. berperan serta dalam memelihara kualitas ruang.
b. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pasal 83
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 82 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah,
baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun
temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung
lingkungan, , esteti,ka lingkungan, lokasi dan struktur pemanfaatan ruang serta
dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.
Pasal 84
Dalam pemanfaatan ruang di daerah, peran serta masyarakat dapat berbentuk :
a. pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku.
b. bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan yang mencakup lebih dari satu wilayah
kabupaten/kota di daerah.
c. penyelenggaraan kegiatan Pembangunan berdasarkan RTRW Provinsi dan
rencana tata ruang kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
d. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW kabupaten/kota
yang telah ditetapkan
e. bantuan teknik dan pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan/atau kegiatan
menjaga, memelihara, serta meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 85
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi.
Pasal 86
Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peran serta masyarakat dapat berbentuk :
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ' ruang wilayah dan kawasan yang meliputi
lebih dari satu wilayah Kabupaten/kota di daerah, termasuk pemberian informasi
atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang kawasan dimaksud.
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan
ruang.
Pasal 87
Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86. disampaikan secara, lisan atau tertulis kepada Gubernur dan
pejabat yang ditunjuk.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 88
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 82 huruf b diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)..
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan diancam pidana sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah kejahatan.
B A B VIll PENYIDIKAN
Pasal 89
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi diberikan
wewenang untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hádala :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas.
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan di bidang
penataan ruang.
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang penataan ruang.
d. memeriksa buku-buku catatan-catatan dan dokumen dokumen lain berkenaan
tindak pidana di bidang penataan ruang.
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut.
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang penataan ruang.
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang penataan
ruang.
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
j. menghentikan penyidikan.
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan men'yampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai
dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
B A B IX KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 90
(1) RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilengkapi dengan lampiran
berupa buku Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur 2005 - 2020 dan
album peta.
(2) Buku rencana sebagaimana dimaksud pada ayat,(1), terdiri dari:
Bab I : Pendahuluan.
Bab II : Potensi, Masalah dan Prospek Pengembangan Wilayah
Bab III : Strategi Pemanfaatan Ruang Wilayah Jawa Timur.
Bab IV : Arahan Pengelolaan Pemanfaatan Ruang Wilayah Jawa Timur.
Bab V : Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Bab VI : Hak, kewajiban dan peranserta masyarakat.
Bab VII : Penutup.
(3) Buku RTRW Provinsi dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
Pasal 91
RTRW Provinsi berfungsi sebagai kebijakan matra ruang dari RPJP untuk penyusunan
RPJMD pada periode berikutnya.
Pasal 92
RT,RW Provinsi digunakan sebagai pedoman bagi :
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah.
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar
wilayah Provinsi serta keserasian antar sektor.
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau masyarakat.
d. penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan dasar dalam pengawasan
terhadap perijinan lokasi pembangunan.
Pasal 93
Terhadap RTRW Provinsi dapat dilakukan peninjauan kembali 5 (lima) tahun sekali.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Pada saat mulai berlakunya peraturan daerah ini, maka semua RTRW Kabupaten/Kota
dan sektoral yang berkaitan dengan penataan ruang di daerah tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan RTRW Provinsi.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
Dengan beriakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Tingkat I Jawa Timur Nomor 4 Tahun 1996 Tentang RTRW Provinsi Jawa Timur Tahun
1997/1998 2011/2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 96
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 97
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur.
Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal
GUBERNUR JAWA TIMUR
Ttd.
H. IMAM UTOMO. S