Post on 24-Nov-2021
1
Case Report
ORBITAL EXTRAPLEURAL SOLITARY FIBROUS TUMOR
Ni Made Laksmi Utari
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
2
ABSTRAK
Orbital Extrapleural Solitary Fibrous Tumor
Ni Made Laksmi Utari
Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali Jalan P.B Sudirman, Denpasar 80232. Bag. I.K. Mata, Telp/fax (0361)244364
Email: bagmataunud07@gmail.com
Pendahuluan:
Orbital Extrapleural Solitary Fibrous Tumor (Orbital Extrapleural SFT)
merupakan tumor sel spindel yang berasal dari sel mesenkimal atau fibroblas.
Orbital Extrapleural SFT dilaporkan terjadi lebih dari 50 kasus pada literatur
oftalmologi dan patologi. Manifestasi klinis utama adalah proptosis unilateral
tanpa rasa nyeri serta bersifat progresif. Penatalaksanaan utama adalah bedah
reseksi. Orbital Extrapleural SFT merupakan tumor yang sangat jarang ditemukan
dan seringkali salah terdiagnosa. Laporan ini memaparkan kasus Orbital
Extrapleural SFT terutama mengenai penegakan diagnosa serta
penatalaksanaannya.
Deskripsi Kasus:
Kasus adalah seorang perempuan berusia 38 tahun dengan keluhan
benjolan pada mata kanan tambah membesar perlahan dalam 4 tahun, tampak
proptosis dengan massa berbatas tegas ukuran 7,3 cm x 6,5 cm x 5,5 cm,
permukaan kulit licin, terfiksir, warna kemerahan, konsistensi padat, berdarah,
dan nyeri. Kesimpulan hasil pemeriksaan histopatologi adalah Orbital
Extrapleural SFT. Pemeriksaan immunohistokimia CD34 menunjukkan hasil
ekspresi kuat dan difus. Pasien didiagnosa dengan OD tumor orbita e.c. Orbital
Extrapleural SFT, dilakukan tindakan OD eksenterasi orbita dan rekonstruksi
dengan temporal muscle flap + glabelar cutaneous flap.
Diskusi:
Solitary Fibrous Tumor merupakan neoplasma sel spindel yang biasanya
dijumpai pada pleura, namun dapat pula terjadi ekstrapleura. Angka kejadian SFT
pada orbita relatif jarang terjadi. Gambaran yang diperoleh dari pemeriksaan
radiologi tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosa Orbital Extrapleural
SFT karena sulit dibedakan dari tumor dengan lesi vaskular lainnya, sehingga
dibutuhkan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia untuk penegakan
diagnosa.
3
ABSTRACT
Orbital Extrapleural Solitary Fibrous Tumor
Ni Made Laksmi Utari
Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali Jalan P.B Sudirman, Denpasar 80232. Bag. I.K. Mata, Telp/fax (0361)244364
Email: bagmataunud07@gmail.com
Introduction:
Orbital Extrapleural Solitary Fibrous Tumor (Orbital Extrapleural SFT) is
a spindle cell tumor arising from mesenchymal cells or fibroblasts. More than 50
cases of Orbital Extrapleural SFT have been reported in the ophthalmologic and
pathologic literature. Main clinical manifestation is a progressive painless
unilateral proptosis. Treatment for Orbital Extrapleural SFT is surgical resection.
Orbital Extrapleural SFT is a very rare tumor and very often misdiagnosed. This
report describes a case of Orbital Extrapleural SFT with focus on diagnosis
making and treatments.
Case Description:
Case is a female 38 years old with complain of a mass on her right eye,
slowly enlarging within 4 years, appearing as proptosis with mass sized at 7,3 cm
x 6,5 cm x 5,5 cm, smooth surface, fixated, reddish in color with solid
consistency, bleeding and pain. Conclusion from histopathology report is Orbital
Extrapleural SFT. Immunohistochemical CD34 result shows strong and diffuse
expression. Patient was diagnosed with RE orbital tumor e.c. Orbital Extrapleural
SFT, and was managed with RE orbital exenteration and reconstructed with
temporal muscle flap + glabelar cutaneous flap.
Discussion:
Solitary Fibrous Tumor is a spindle cell neoplasm most occur in the
pleura, but can arise from extrapleural. The incidence of Orbital Extrapleural SFT
is relatively rare. Radiological imaging is most often not specific enough to
diagnose as Orbital Extrapleural SFT because this tumor is difficult to
differentiate with other vascular lesions tumors, so histopatological and
immunohistochemical examinations are needed to make a proper diagnosis.
4
PENDAHULUAN
Solitary Fibrous Tumor (SFT) merupakan tumor sel spindel yang berasal dari sel
mesenkimal atau fibroblas. Tumor ini pada umumnya terjadi pada parietal atau
visceral dari pleura, perikardium, dan mediastinum yang mengenai pasien dengan
rentang usia 9-76 tahun (terutama dekade keempat). Solitary Fibrous Tumor
merupakan tumor yang jarang dan belakangan ini dilaporkan terjadi pada
ekstrapleural seperti hepar, sinus nasal dan paranasal, thyroid, kelenjar ludah dan
parotis, tulang belakang, dan orbita. Orbital Extrapleural SFT dilaporkan terjadi
lebih dari 50 kasus pada literatur oftalmologi dan patologi (Ingrid, et al., 1996 ;
Francesco, et al., 2002).
Orbital Extrapleural SFT tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dengan
manifestasi klinis utama adalah proptosis unilateral tanpa rasa nyeri serta bersifat
progresif. Orbital Extrapleural SFT juga dapat mengakibatkan penurunan tajam
penglihatan dan hambatan gerak bola mata. Tumor ini menginvasi jaringan sekitar
orbita seperti sinus paranasal dan ruang intrakranial. Diagnosa Orbital
Extrapleural SFT tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis atau
evaluasi radiologi, namun membutuhkan pemeriksaan histopatologi dan
imunohistokimia untuk konfirmasi (Ali, et al., 2011 ; Cheang, et al., 2013).
Orbital Extrapleural SFT pertama kali dilaporkan oleh Westra et al. dan
Dorfman et al. pada tahun 1994, yang menjelaskan gambaran histopatologi klasik
dan karakteristik imunohistokimia dari SFT. Penegakan diagnosa Orbital
Extrapleural SFT sebenarnya sudah dapat ditegakkan dengan temuan
histopatologi walaupun kadang sulit dibedakan dengan tumor jinak orbita lainnya
sehingga dibutuhkan pemeriksaan imunohistokimia untuk memastikan penegakan
diagnosa (Bernardini, et al., 2003 ; Kim, et al., 2008).
Gambaran histopatologi dasar dari Orbital Extrapleural SFT adalah tumor
bulat batas tegas tanpa kapsul dengan pola yang tidak teratur, tampak sel spindel
dengan latar belakang serabut-serabut kolagen dengan area hiposeluler dan
hiperseluler. Beberapa kasus dapat dijumpai focal hemangiopericytoma-like
pattern berupa cabang pembuluh darah iregular, fibrous histiocytoma-like
storiform pattern, dan neural-like pattern dengan area palisade dan sarkomatosa
5
sinovial. Variasi hasil pemeriksaan mikrobiologi inilah yang dapat menyebabkan
terjadinya kesalahan diagnosa terutama jika jaringan yang patologis diambil lebih
sedikit dibandingkan jaringan normal (Bernardini, et al., 2003 ; Kim, et al., 2008).
Penanda diagnostik yang paling penting dalam menegakkan diagnosa
Orbital Extrapleural SFT adalah CD34 (merupakan suatu hematopoietic
progenitor cell antigen). Orbital Extrapleural SFT menunjukkan imunopositif
yang kuat dan difus untuk CD34 (pada 79-100% kasus), vimentin, bcl-2 (B-cell
lymphoma 2), dan imunonegatif untuk keratin, cytokeratin, antigen epitel
membran, S100, smooth muscle actin, dan desmin pada pewarnaan
imunohistokimia (Demicco, et al., 2012 ; Cheang, et al., 2013).
Diagnosa banding utama dari Orbital Extrapleural SFT antara lain
haemangiopericytoma, schwannoma, fibrous histiocytoma dan optic nerve sheath
meningioma. Selain itu tumor orbita lainnya seperti neurofibroma, fibrosarkoma,
giant cell angiofibroma, dan giant cell fibroblastoma juga menunjukkan derajat
reaktivitas CD34 yang bervariasi. Smooth muscle tumor seperti leiomyoma dan
leiomyosarkoma menunjukkan hasil positif kuat untuk smooth muscle actin dan
desmin, dan hasil negatif pada S100, BCL2, dan CD34. Tumor neural sperti
schwannoma dan neurofibroma dapat menunjukkan positif fokal pada CD34 dan
BCL2 serta positif kuat pada protein S100. Kondisi reaktif seperti nodular fasciitis
menunjukkan hasil negatif untuk BCL2 dan CD34. Pada fibrous histiocytoma
menunjukkan positif fokal untuk BCL2 dan CD34 serta pewarnaan intens dengan
variasi keratin dan alpha-1-antichymotrypsin. Solitary Fibrous Tumor dibedakan
dari haemangiopericytoma berdasarkan hasil CD34, dimana pada
haemangiopericytoma tampak CD34 yang pudar dan patchy (Girnita, et al., 2009 ;
Ali, et al., 2013).
Pemeriksaan radiologi menunjukkan Orbital Extrapleural SFT sebagai
well-defined soft tissue mass dengan enhancement kuat heterogen atau homogen
pada CT-Scan atau MRI. Dibandingkan dengan korteks serebri atau muskulus,
intensitas sinyal SFT tampak sebagai isointens pada T1-wighted dan isointens ke
hipointens pada T2-weighted, refleksi jaringan fibrous dengan susunan kolagen
yang tinggi. Perubahan tulang terutama yang mengarah pada kondisi destruksi
6
disekitar massa tumor yang tampak dari pemeriksaan CT-Scan harus menjadi
perhatian serius terhadap kecurigaan ke arah maligna (Hsu, et al., 2004 ; Kim, et
al., 2008).
Penatalaksanaan utama pada Orbital Extrapleural SFT adalah bedah
reseksi. Pada umumnya SFT bersifat jinak sehingga sebagian besar diterapi
dengan eksisi lokal. Transformasi maligna dan rekurensi jarang terjadi pada SFT.
Pada beberapa kasus diperlukan pembedahan ulang untuk membersihkan sisa
tumor karena belum ada penelitian yang menunjukkan manfaat dari radioterapi
atau kemoterapi pada residual SFT. Rekurensi lokal biasanya terkait eksisi
inkomplit pada tumor terutama Orbital Extrapleural SFT yang mengalami
perluasan ke jaringan dan tulang sekitar orbita, dimana dilaporkan bahwa eksisi
komplit sekunder lebih sulit (Kim, et al., 2008 ; Ali, et al., 2013).
Orbital Extrapleural SFT merupakan tumor yang sangat jarang ditemukan
dan seringkali salah terdiagnosa, sehingga penulis tertarik melaporkan kasus ini
untuk menambah wawasan mengenai Orbital Extrapleural SFT terutama
mengenai penegakan diagnosa serta penatalaksanaannya.
LAPORAN KASUS
Kasus adalah seorang perempuan berusia 38 tahun datang ke Unit Gawat Darurat
(UGD) RSUP Sanglah diantar keluarganya pada tanggal 26 februari 2014, dengan
keluhan tumbuh benjolan pada mata kanan yang membesar secara perlahan sejak
4 tahun yang lalu, nyeri pada mata kanan hingga kepala. Pasien juga mengeluhkan
penglihatan kanan bertambah kabur terutama sejak 2 tahun yang lalu dan saat ini
sudah tidak dapat melihat dengan mata kanan. Pasien sebelumnya berobat ke
Puskesmas dan disarankan ke RSUP Sanglah. Riwayat trauma dan penyakit yang
sama dalam keluarga disangkal. Riwayat memakai kaca mata disangkal. Keluhan
penyakit lainnya disangkal. Sehari-hari pasien bekerja sebagai petani.
7
Gambar 1. Proptosis mata kanan (Courtesy : Oka).
Hasil pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus mata kanan No Light
Perception (NLP), hambatan gerak bola mata ke segala arah. Tampak proptosis
dengan massa berbatas tegas ukuran 7,3 cm x 6,5 cm x 5,5 cm, permukaan kulit
licin, terfiksir, warna kemerahan, konsistensi padat, berdarah, dan nyeri. Kornea
tampak keruh dengan segmen anterior dan posterior bola mata tidak dapat
dievaluasi. Pada mata kiri didapatkan visus 6/6 dengan segmen anterior dan
posterior bola mata dalam batas normal.
Pasien didiagnosa dengan Oculo Dextra (OD) proptosis e.c. tumor orbita.
Disarankan rawat inap, pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan hematologi,
serta CT-Scan kepala fokus orbita potongan axial-coronal dengan dan tanpa
kontras. Pasien mendapat terapi asam mefenamat 3 x 500 mg dan gentamycin
salep mata 3x sehari.
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 26 Februari 2014
menunjukkan hasil leukositosis (WBC = 12.400/µL), Hb = 12.0 g/dL, dan pada
pemeriksaan hematologi menunjukkan hasil dalam batas normal.
CT-Scan kepala fokus orbita dengan kontras dilakukan pada tanggal 5
Maret 2014 memperoleh hasil massa solid heterogen di kavum orbita kanan
(intraconal) yang mendesak dinding lateral, medial, inferior dan superior orbita,
menyebabkan pelebaran kavum orbita disertai scaloping dan erosi sebagian atap
orbita kanan, mengobliterasi nervus optikus, muskulus rektus superior, inferior,
lateral dan medial kanan, muskulus obliquus superior dan inferior kanan, tanpa
mengifiltrasi bulbus okuli kanan, curiga massa malignant retroorbita kanan.
Pasien kemudian didiagnosa dengan OD tumor orbita e.c. suspect meningioma
serta rencana dilakukan insisional biopsi dengan anestesi lokal.
8
Gambar 2. CT-Scan kepala fokus orbita. Tampak massa solid heterogen di kavum
orbita kanan (Courtesy : Oka).
Hasil histopatologi mikroskopis dari insisional biopsi palpebra superior
yang dikerjakan pada tanggal 19 Maret 2014 menunjukkan potongan jaringan
tumor yang tersusun atas sel-sel neoplastik berbentuk ovoid sampai spindel,
neoplasma pucat eosinofilik dengan batas antarsel yang tidak jelas dan inti yang
vesikular, sel-sel neoplastik tersebut tampak dipisahkan oleh matriks jaringan ikat
kolagen yang tebal yang pada beberapa fokus tampak mengalami hyalinisasi,
disekitarnya banyak ditemukan pembuluh darah bercabang yang berdinding tipis
(haemangiopericytoma-like vessels), dengan kesimpulan Extrapleural Solitary
Fibrous Tumor.
Gambar 3. Gambaran mikroskopis tampak haemangiopericytoma-like vessels
(Courtesy : Oka).
Pasien kemudian didiagnosa dengan OD Orbital Extrapleural SFT rencana
dikonsultasikan ke bagian radioterapi untuk mengecilkan massa tumor sebelum
9
dilakukan tindakan eksenterasi orbita, dilakukan pemeriksaan laboratorium (darah
lengkap dan kimia klinik) serta rontgen thorax.
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 28 Maret 2014
menunjukkan anemia ringan (RBC = 3,19 x 106/µl, HGB = 9,2 g/dL, HCT = 23,3
%, MCV = 72,8 fL, MCH = 28,7 g/dL, MCHC = 39,4 g/dL), pemeriksaan kimia
klinik menunjukkan peningkatan SGPT (9,7 µL) dan peningkatan kreatinin (1,09
mg/dL). Hasil rontgen thorax dalam batas normal.
Tanggal 30 Maret 2014 pasien datang kembali ke UGD dengan keluhan
ukuran tumor bertambah besar dan mudah berdarah. Dari pemeriksaan didapatkan
ukuran tumor 8,5 cm x 7 cm x 6 cm. Pasien disarankan rawat inap kembali untuk
mendapat terapi radiasi yang direncanakan pada tanggal 16 April 2014.
Pasien dikonsultasikan ke bagian Bedah Onkologi pada tanggal 3 April
2014 yang kemudian direncanakan operasi bersama (OD eksenterasi dan
rekonstruksi dengan temporal muscle flap + glabelar cutaneous flap dibawah
anestesi umum) pada tanggal 16 April 2016 dan terapi radiasi tidak dilakukan.
Pasien kemudian dikonsultasikan ke bagian Penyakit Dalam dan Anestesi
untuk kelayakan operasi pada tanggal 7 April 2014. Bagian Penyakit Dalam
mendiagnosis dengan anemia ringan dan resiko untuk tindakan operasi. Bagian
Anestesi menyatakan pasien dengan status fisik ASA II, anemia ringan dan saran
untuk dikonsultasikan ke bagian Hematologi. Bagian Hematologi menyatakan
pasien dengan Anemia Ringan Hipokromik Mikrositer e.c. Anemia Defisiensi
Besi (ADB), dengan resiko untuk dilakukan tindakan operasi dan disarankan
untuk transfusi PRC (Packed Red Cell) hingga HGB >10 g/dL pre operasi.
Dilakukan pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 8 April 2014 dengan
hasil RBC = 3,67 x 106/µl, HGB = 8,6 g/dL, HCT = 25 %, MCV = 68,2 fL, MCH
= 23,4 g/dL, MCHC = 34,4 g/dL, pemeriksaan imunologi menunjukkan
penurunan ferritin (3.65 ng/ml), serta kimia klinik menunjukkan penurunan BUN
(6 mg/dL) dan serum iron (6,2 µg/dL).
Pasien rawat inap kembali pada tanggal 14 April 2014. Transfusi PRC
pertama dilakukan pada tanggal 16 April 2014 sebanyak 1 kolf kemudian pada
tanggal 17 April sebanyak 1 kolf dengan HGB post transfusi = 10,7 g/dL (18
10
April 2014), operasi ditunda atas saran dari anestesi karena kondisi pasien tidak
optimal untuk operasi.
Tanggal 2 Mei 2014 pasien menjalani operasi OD eksenterasi orbita dan
rekonstruksi dengan temporal muscle flap + glabelar cutaneous flap. Eksenterasi
orbita merupakan tindakan pengangkatan seluruh orbita termasuk bola mata,
jaringan lunak orbita, serta kelopak mata dan adneksa mata. Tindakan eksenterasi
dilakukan dengan membuat sayatan sampai ke tulang orbita, perdarahan diatasi
dengan kauter dan injeksi pehacain. Insisi dilakukan dari kulit dengan batas tepi
tumor diperdalam lapis demi lapis hingga periosteum sepanjang tepi rima orbita
sampai ke apeks orbita. Periosteum dipisahkan dari tulang sampai apeks orbita.
Diseksi tumor dilakukan sejauh mungkin sampai ke apeks dan jaringan orbita.
Ligasi pembuluh darah dengan silk 3.0, kemudian massa tumor diangkat dan
dilepaskan dengan menggunakan gunting bengkok. Perdarahan diatasi dan
dilanjutkan dengan tindakan rekonstruksi.
Rekonstruksi dimulai dengan membuat insisi bentuk “question mark” di
regio temporal dextra diperdalam sampai periosteum. Preservasi muskulus
temporalis, muskulus dirotasikan ke arah orbita kemudian muskulus temporalis
ditambatkan ke rima orbita untuk menutup defek eksenterasi dan berfungsi
sebagai bantalan outerline. Outerline diambil dari forehead flap atau glabelar
flap. Flap dirotasikan dan diposisikan diatas muskulus temporalis. Luka dijahit
lapis demi lapis. Sisa defek forehead ditutup dengan skin graft dari regio femur
sinistra. Pasang drain dan tutup luka.
Pasien kemudian mendapat terapi Ceftriaxon 2 x 1 gram (intravena),
Morfin 10 mg dalam 24 cc NaCl (1 cc/jam), Paracetamol 4 x 500 mg per oral
(selama 5 hari), rawat luka resipien hari ke-6, rawat luka donor hari ke-14, rawat
luka lainnya setiap 2 hari, pertahankan drain dalam keadaan vakum, pasien
dirawat untuk observasi nyeri dan perdarahan di ruangan.
11
Gambar 4. OD eksenterasi dan rekonstruksi dengan temporal muscle flap +
glabelar cutaneous flap (Courtesy : Oka).
Dilakukan pemeriksaan histopatologi dari sediaan jaringan tumor dengan
bola mata menunjukkan gambaran morfologi sesuai dengan gambaran Orbital
Extrapleural SFT, tidak tampak infiltrasi sel tumor ke dalam bola mata. Hasil
immunohistokimia CD34 menunjukkan ekspresi kuat dan difus.
12
Gambar 5. A. Tampak irisan jaringan tumor yang berbatas tegas disertai bercak
kemerahan di bagian tengah. B. Tampak tumor berbatas tegas dan hiperselular
terdiri dari proliferasi sel neoplastik membentuk struktur fasikulus pendek sebagian
tersusun acak (patternless pattern) (HE, 4X) (Courtesy : Oka).
Gambar 6. A. Sel tumor berbentuk oval hingga spindle diselingi pembuluh darah
yang berdinding tipis dan bercabang terjepit di antara sel neoplastik membentuk
struktur haemangipericytoma-like pattern. B. Mitosis (Courtesy : Oka).
Gambar 7. Pulasan Imunohistokimia CD34 menunjukkan ekspresi kuat dan difus
(Courtesy : Oka).
A B
A
A
B
B
A
13
Bedah onkologi merencanakan tindakan potong flap pada tanggal 24 mei
namun pasien menolak dan menyatakan ingin melakukan perawatan luka di
Rumah Sakit terdekat daerah asal (Rehak Flores).
Gambar 8. Foto kondisi terakhir pasien (Courtesy : Oka).
PEMBAHASAN
Solitary Fibrous Tumor merupakan neoplasma sel spindel yang biasanya dijumpai
pada pleura, namun dapat pula terjadi ekstrapleura. Angka kejadian SFT pada
orbita relatif jarang terjadi. Penelitian oleh Khrisnakumar et al. pada tahun 2003
menunjukkan Orbital Extrapleural SFT terjadi lebih banyak pada pria dari pada
wanita dengan rentang usia yang panjang (9-44 tahun). Sedangkan penelitian
sebelumnya oleh Scott et al. pada tahun 1996 menyatakan bahwa Orbital
Extrapleural SFT terjadi pada usia dekade kelima sampai ketujuh tanpa
dipengaruhi jenis kelamin dengan manifestasi klinis berupa proptosis unilateral
tanpa rasa nyeri pada beberapa pasien, dan disertai nyeri pada beberapa pasien
lainnya (Scott, et al., 1996 ; Khrisnakumar, et al., 2003). Pada laporan kasus ini,
pasien adalah seorang perempuan berusia 38 tahun dengan keluhan tumbuh
benjolan pada mata kanan yang tambah membesar secara perlahan sejak 4 tahun
yang lalu, nyeri pada mata kanan hingga kepala, tampak proptosis unilateral.
14
Orbital Extrapleural SFT dapat mengakibatkan penurunan tajam
penglihatan dan hambatan gerak bola mata. Penelitian oleh Khrisnakumar et al.
pada 6 kasus didapatkan 3 kasus dengan tajam penglihatan (VA) normal (6/6), 2
kasus dengan VA 6/24, dan 1 kasus dengan VA 1/300, dimana 4 kasus mengalami
perbaikan visus menjadi 6/6 pasca operasi (Khrisnakumar, et al., 2003 ; Ali, et al.,
2013). Pada kasus, pasien mengeluhkan penglihatan kanan bertambah kabur
terutama sejak 2 tahun yang lalu dan saat ini sudah tidak dapat digunakan untuk
melihat (VOD NLP) disertai hambatan gerak bola mata ke segala arah. Tajam
penglihatan NLP dapat sebagai akibat infiltrasi sel tumor ke N.II dan kompresi
massa tumor di N.II serta keterlambatan penanganan dimana pasien datang
berobat sudah dalam kondisi lanjut.
Lokasi Orbital Extrapleural SFT bervariasi, meliputi ruang intrakonal
maupun ekstrakonal dari orbita, glandula lakrimal, sakus lakrimal, maupun
kelopak mata. Orbital Extrapleural SFT seringkali berlokasi di bagian superior
dari orbita. Penelitian oleh Kim et al. pada 6 kasus SFT orbita, didapatkan 3 lesi
pada ruang intrakonal dan ekstrakonal, 2 lesi pada sakus lakrimal, dan 1 lesi pada
kelopak mata inferior (Kim, et al., 2008). Pada kasus ini massa solid heterogen
terdapat di kavum orbita kanan (intraconal) yang mendesak dinding lateral,
medial, inferior dan superior orbita.
Gambaran histopatologi dasar dari Orbital Extrapleural SFT adalah tumor
bulat batas tegas tanpa kapsul dengan pola yang tidak teratur, serabut-serabut
kolagen yang tebal, area hiposeluler dan hiperseluler pada sel spindel, serta focal
hemangiopericytoma-like pattern pada cabang pembuluh darah iregular. Pada
beberapa kasus dapat dijumpai fibrous histiocytoma-like storiform pattern,
sarkoma sinovial dan neural-like pattern pada susunan palisade regional
(Bernardini, et al., 2003 ; Kim, et al., 2008). Pada kasus didapatkan hasil
mikroskopis berupa potongan jaringan tumor yang tersusun atas sel-sel neoplastik
berbentuk ovoid sampai spindel, neoplasma pucat eosinofilik dengan batas antar
sel yang tidak jelas dan inti yang vesikular, sel-sel neoplastik tersebut tampak
dipisahkan oleh matriks jaringan ikat kolagen yang tebal yang pada beberapa
fokus tampak mengalami hyalinisasi, disekitarnya banyak ditemukan pembuluh
15
darah bercabang yang berdinding tipis (haemangiopericytoma-like vessels),
dengan kesimpulan Ekstrapleural Solitary Fibrous Tumor.
Orbital Extrapleural SFT menunjukkan respon imunopositif yang kuat dan
difus untuk CD34 (pada 79-100% kasus), vimentin, bcl-2 (B-cell lymphoma 2),
dan imunonegatif untuk keratin, cytokeratin, antigen epitel membran, S100,
smooth muscle actin, dan desmin pada pewarnaan imunohistokimia (Demicco, et
al., 2012 ; Cheang, et al., 2013). Penelitian Krishnakumar et al. menunjukkan
hasil CD34 immunoreactivity pada sebagian besar kasus serta aktivitas mitotic
yang negatif atau minimal pada tipe SFT jinak. Namun, pada beberapa kasus SFT
yang ganas dapat pula menunjukkan hilangnya imunoreaktivitas CD34 dan
jumlah mitotik yang tinggi (Girnita, et al., 2009). Pada kasus didapatkan respon
imunopositif yang kuat dan difus untuk CD34.
Laporan kasus oleh Cheang et al. pada tahun 2013 menunjukkan SFT
sebagai well-defined soft tissue mass dengan enhancement kuat heterogen atau
homogen pada CT-Scan. Sedangkan pada MRI intensitas sinyal SFT tampak
sebagai isointens pada T1-wighted dan isointens ke hipointens pada T2-weighted,
refleksi jaringan fibrous dengan susunan kolagen yang tinggi (Kim, et al., 2008 ;
Cheang, et al., 2013). Hasil CT-Scan kepala fokus orbita pada laporan kasus ini
menunjukkan massa solid heterogen di kavum orbita kanan (intraconal) yang
mendesak dinding lateral, medial, inferior dan superior orbita, menyebabkan
pelebaran kavum orbita disertai scaloping dan erosi sebagian atap orbita kanan,
mengobliterasi nervus optikus, muskulus rektus superior, inferior, lateral dan
medial kanan, muskulus obliquus superior dan inferior kanan, tanpa mengifiltrasi
bulbus okuli kanan, curiga massa malignant retroorbita kanan. Namun, gambaran
yang diperoleh dari pemeriksaan radiologi tidak cukup spesifik untuk menegakkan
diagnosa Orbital Extrapleural SFT karena sulit dibedakan dari tumor dengan lesi
vaskular lainnya.
Penatalaksanaan utama pada Orbital Extrapleural SFT adalah bedah
reseksi. Pada umumnya Orbital Extrapleural SFT bersifat jinak sehingga sebagian
besar diterapi dengan eksisi lokal. Reseksi massa tumor disesuaikan dengan
ukuran dan lokasi tumor. Defek yang terjadi dilakukan rekonstruksi dengan
16
menggunakan flap. Pada beberapa kasus, diperlukan pembedahan ulang untuk
membersihkan sisa tumor karena belum ada penelitian yang menunjukkan
manfaat dari radioterapi atau kemoterapi pada residual Orbital Extrapleural SFT.
Rekurensi lokal biasanya terkait eksisi inkomplit pada tumor terutama SFT yang
mengalami perluasan ke jaringan dan tulang sekitar orbita, dimana dilaporkan
bahwa eksisi komplit sekunder lebih sulit (Kim, et al., 2008 ; Ali, et al., 2013).
Pada kasus dilakukan tindakan OD eksenterasi orbita dan rekonstruksi dengan
temporal muscle flap + glabelar cutaneous flap.
Flap kulit lokal merupakan pilihan utama pada forehead reconstruction.
Flap lokal pada regio ini memungkinkan penggantian jaringan yang hilang dengan
jaringan yang serupa dengan kelenturan jaringan yang sesuai. Tiga hal utama
dalam melakukan rekonstruksi adalah pemilihan jaringan yang sesuai, mekanisme
pergerakan jaringan dan posisi bekas luka. Jaringan donor yang dipilih idealnya
memiliki struktur dan warna yang serupa dengan jaringan resipien. Rekonstruksi
forehead regional dapat berupa midline forehead, paramedian forehead, dan
lateral forehead (Ling, et al., 1996). Pada kasus, flap diambil dari sub unit yang
terdekat dari defek untuk mendapatkan jaringan yang serupa dengan defek, dipilih
paramedian forehead hingga lateral forehead karena dibutuhkan muskulus
temporalis dextra sebagai bantalan dan sekaligus menutup defek.
Skin graft merupakan suatu tindakan pembedahan dengan pemindahan
sebagian atau seluruh ketebalan kulit dari satu daerah asal (donor) tanpa disertai
vaskularisasi ke daerah lain (resipien) untuk menutup suatu defek. Syarat-syarat
Skin graft yang baik adalah vaskularisasi resipien yang baik, kontak yang akurat
antara skin graft dengan resipien dan imobilisasi. Skin graft dibedakan menjadi
split thickness skin graft (STSG) dan full thickness skin graft. Donor skin graft
dapat diambil dari daerah mana saja di tubuh seperti perut, dada, punggung,
bokong, dan ekstremitas. Umumnya yang sering dilakukan adalah diambil dari
paha. Alat yang digunakan pada STSG dapat berupa pisau / blade, pisau khusus
(Humby), atau dermatom. Penyembuhan atau epitelialisasi pada STSG
membutuhkan waktu antara 7-14 hari (Ramona, 2008).
17
Rekurensi dan keganasan pada Orbital Extrapleural SFT jarang dilaporkan
terjadi. Penelitian oleh Cheang et al. pada dua pasien menunjukkan bebas
rekurensi setelah reseksi komplit untuk jangka waktu yang lama. Penelitian lain
Bernardini et al., menyebutkan 4 dari 6 kasus SFT mengalami rekurensi yang
diduga sebagai akibat eksisi inkomplit pada saat eksisi awal. Serta 1 kasus
mengalami rekurensi berulang hingga 3 kali reseksi dan menunjukkan perubahan
kearah keganasan (Bernardini, et al., 2003 ; Cheang, et al., 2013). Pada kasus
sudah dilakukan eksisi luas massa tumor secara komplit dengan tujuan untuk
mencegah rekurensi, tetapi resiko rekurensi belum dapat belum dapat disingkirkan
karena pasien tidak datang kembali untuk evaluasi kondisi pasca operasi dan tidak
melanjutkan penatalaksanaan.
RINGKASAN
Seorang perempuan berusia 38 tahun dengan keluhan tumbuh benjolan pada mata
kanan yang tambah membesar secara perlahan sejak 4 tahun yang lalu, nyeri pada
mata kanan hingga kepala, penglihatan kanan bertambah kabur. Visus mata kanan
NLP, hambatan gerak bola mata ke segala arah, tampak proptosis dengan massa
berbatas tegas ukuran 7,3 cm x 6,5 cm x 5,5 cm, permukaan kulit licin, terfiksir,
warna kemerahan, konsistensi padat, berdarah, dan nyeri, serta kornea tampak
keruh dengan segmen anterior dan posterior bola mata tidak dapat dievaluasi.
Kesimpulan dari hasil mikroskopis dari insisional biopsi palpebra superior adalah
Ekstrapleural Solitary Fibrous Tumor. Pasien didiagnosa dengan Orbital
Extrapleural SFT. Dilakukan tindakan OD eksenterasi orbita dan rekonstruksi
dengan temporal muscle flap + glabelar cutaneous flap.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. J., Honavar, S.G., Naik, M.N., Vemuganti, G.K., 2013. Orbital solitary
fibrous tumor: A rare clinicopathologic correlation and review of
literature. Journal of Research in Medical Sciences, 18(6), p. 529-531.
Ali, M. J., Honavar, S.G., Naik, M.N., Vemuganti, G.K., 2011. Orbital solitary
fibrous tumor: A clinicopathologic correlation and review of literature.
Oman Journal of Ophthlamology, 4(3), p. 147-149.
Bernardini, F.P., Conciliis, C.D., Scheider, S., Kersten, R.C., Kulwin, D.R., 2003.
Solitary Fibrous Tumor of the Orbit, Is it Rare? Report of a Case Series
and Review of the Literature. American Academy of Ophthalmology,
Vol.110, No.7, p.1442-1448.
Cheang, W., Wei, L., Wang, J., Tsai, H., 2013. Orbital solitary fibrous tumor: A
report of two cases. Taiwan Journal of Ophthalmology, 3, p.120-122.
Demicco, E.G., Park, M.S., Araujo, D.M., Fox, P.S., Basset, R.L., Pollock, R.E.,
Lazar, A.J., Wang, W., 2012. Solitary fibrous tumor: a clinicopathological
study of 110 cases and proposed risk assessment model. Modern
Pathology (25), p. 1298-1306.
Girnita, L., Sahlin, S., Orrego, A., Seregard, S., 2009. Malignant solitary fibrous
tumour of the orbit. Acta Ophthalmologica, p. 464-467.
Hsu, S., Lai, P., Wang, J., Yip, C., 2004. Case Report – Solitary Fibrous Tumor of
the Orbit. Journal of the Chinese Medical Association Vol.67, No.9,
p.483-486.
Kim, H.J., Kim, H.-J., Kim, Y.-D., Yim, Y.J., Kim, S.T., Jeon, P., Kim, K.H.,
Byun, H.S., Song, H.J., 2008. Solitary Fibrous Tumor of the Orbit: CT and
MR Imaging Findings. AJNR Am J Neuroradiol, 29:857-62.
Krishnakumar, S., Subramanian, N., Mohan, R., Mahesh, L., Biswas, J., Rao,
N.A., 2003. Solitary Fibrous Tumor of the Orbit: A Clinicopathologic
Study of Six Cases With Review of the Literature. Survey of
Ophthalmology, Vol.48, No.5, p.544-554.
19
Ling, E.H., Wang, T.D., 1996. Local flaps in forehead and temporal
reconstruction. Facial Plast. Surg. Clin. North Amer. 4, no. 4: 469-479.
Ramona, D.L., 2008. Skin Graft. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. P.1-11.
Scott, I.U., Tanenbaum, M., Rubin, D., Lores, E., 1996. Solitary Fibrous Tumor of
the Lacrimal Gland Fossa. Ophthalmology Vol.103, No.10, p.1613-8.