Post on 01-Feb-2021
OPTIMASI SUHU DAN LAMA WAKTU PENGERINGAN SERBUK KALDU
INSTAN CEKER AYAM PADA SKALA PILOT PLANT
SKRIPSI
Oleh:
NURUL HIDAYATI
135100101111034
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
OPTIMASI SUHU DAN LAMA WAKTU PENGERINGAN SERBUK KALDU
INSTAN CEKER AYAM PADA SKALA PILOT PLANT
Oleh:
NURUL HIDAYATI
135100101111034
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
iv
v
vi
RIWAYAT HIDUP
Nurul Hidayati dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal
14 Mei 1995, yang merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Mokh.
Mokhtarom, M. MPd. dan Ibu Amisih. Penulis
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN
Kepatihan pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke
SMPN 1 Bojonegoro dengan tahun kelulusan 2010,
dan menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN
1 Bojonegoro pada tahun 2013.
Selama masa pendidikannya, penulis aktif sebagai Asisten Praktikum Biologi,
Mikrobiologi dan Evaluasi Gizi Pangan, Staff Departemen Multimedia Forum
Kajian Islam Teknologi Pertanian 2013-2014, Staf Biro Kesekretariatan
Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian 2014/2015 dan anggota Divisi
Kreatif Flotus EO. Kegiatan kepanitiaan yang diikuti oleh penulis adalah sebagai
anggota Divisi Pendamping pada OPJH THP 2014 dan PKKFTP 2015, anggota
Divisi Acara pada Pestaflogista Himalogista Great Event 9, dan anggota Divisi
Konsumsi pada Flotus Fest ’15. Selain aktif di kepanitiaan, penulis juga aktif
dalam kegiatan kompetisi dan mendapatkan dana penelitian PKM-PE dari Dikti
dalam program Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2016. Pada tahun 2017,
penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendapatkan gelar Sarjana
Teknologi Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
vii
Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin...
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan),
tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)
dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.”
Asy-Syarh (94): 5-8
viii
NURUL HIDAYATI. 135100101111034. Optimasi Suhu dan Lama Waktu
Pengeringan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Pada Skala Pilot Plant.
Skripsi. Pembimbing: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes.
RINGKASAN
Permintaan pasar akan kebutuhan ayam pedaging di Indonesia yang sangat tinggi menghasilkan ceker ayam sebanyak 65.894 ton/tahun yang hingga saat ini pemanfaatannya masih minim. Ceker ayam yang seringkali dimanfaatkan sebagai kaldu berpotensi diproduksi pada skala industri menjadi bentuk instan sebagai pangan fungsional antiinflamasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi parameter kritis yaitu proses pengeringan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan suhu dan lama waktu pengeringan optimum serbuk kaldu instan ceker ayam pada skala pilot plant, untuk mengetahui perbandingan karakteristik produk skala laboratorium dengan skala pilot plant, serta untuk mengetahui kelayakan finansal pada rencana usahanya. Penelitian skala laboratorium menggunakan modifikasi formulasi dari penelitian sebelumnya. Penelitian optimasi skala pilot plant disusun dan dirancang dengan Respon Surface Methodology-Central Composite Design. Faktor yang dioptimasi adalah suhu (55oC, 60oC, 65oC) dan lama waktu (10 menit, 11 menit, 12 menit) pengeringan serbuk kaldu dengan respon kadar air dan kadar kondroitin sulfat. Kondisi optimum yang diperoleh adalah proses pengeringan dengan suhu 60,85oC selama 10,05 menit. Hasil verifikasi menunjukkan kadar air serbuk kaldu instan ceker ayam sebesar 1,90% dan kadar kondroitin sulfat sebesar 0,99% yang berada pada prediction interval. Hasil analisa produk akhir memiliki karakteristik, yaitu kadar air 1,90 ± 0,02%, kadar protein 32,48 ± 0,28%, kadar lemak 12,05 ± 0,80%, kadar abu 28,92 ± 0,09%, kadar karbohidrat 24,64 ± 0,52%, kadar glukosamin 1,26 ± 0,05%, kadar kondroitin sulfat 0,99 ± 0,23%, kelarutan 50,87 ± 1,00%, daya serap uap air 8,59 ± 0,19%, kadar asam lemak bebas 0,37% dan bilangan peroksida 13,66 ± 4,49%. Pengukuran warna menghasilkan nilai L* 60,33 ± 1,24, nilai a* 3,83 ± 0,26 dan nilai b* 21,77 ± 0,42. Analisa kelayakan finansial serbuk kaldu instan ceker ayam menyatakan proyek usaha ini layak untuk dijalankan. Kriteria investasi usaha yaitu net present value sebesar Rp. 5.838.964.104,00; internal rate of return 35,26%, net benefit/cost 2,305, pay back period selama 2 tahun 9 bulan 21 hari, dan break event point sebanyak 1.076.033 unit. Produk serbuk kaldu fungsional dijual seharga Rp. 3.600,00/packs dengan berat 11 g.
Kata kunci: analisa finansial, kaldu instan ceker ayam, scale up, response
surface methodology
ix
NURUL HIDAYATI. 135100101111034. Optimization of Instant Powdered
Chicken Feet Broth’s Drying Temperature and Time on Pilot Plant Scale
Production. Undergraduate Thesis. Supervisor: Dr. Ir. Tri Dewanti
Widyaningsih, M. Kes.
SUMMARY
The market demand for broiler chickens in Indonesia which is very high produced chicken feets about 65.894 tons/year which the utilization is still minimal until now. Chicken feet which are often used as broths are potentially produced into an instant form as an antiinflammatory functional food on industrial scale. Therefore, it is necessary to optimize the critical parameters of the drying process. The aim of this study was determining the optimal temperature and time of instant powdered chicken feet broth’s drying on pilot plant scale, finding out the characteristics comparison of the laboratory and pilot plant’s product, and knowing financial feasibility of the business plan. The research of the laboratory scale was using modification of formulation from previous research. The optimization of pilot plant scale’s research prepared and designed with Response Surface Methodology-Central Composite Design. The optimized factors were powdered broth’s drying temperature (55oC, 60oC, 65oC) and time (10 minutes, 11 minutes, 12 minutes) with the response of water and chondroitin sulfate content. The optimum condition obtained was drying process with temperature 60,85oC for 10,05 minutes. The verification results showed the instant powdered chicken feet broth’s water content was 1.90% and chondroitin sulfate content was 0.99% which is on prediction interval. The final product were 1,90 ± 0,02% water content, 32,48 ± 0,28% protein content, 12,05 ± 0,80% fat content, 28,92 ± 0,09 % ash content, 24,64 ± 0,52% carbohydrate content, 1,26 ± 0,05% glucosamine content, 0,99 ± 0,23% chondroitin sulfate content, 50,87 ± 1.00% solubility, 8.59 ± 0.19% water vapor absorption, 0.37% free fatty acid content and 13.66 ± 4.49% peroxide number. Color analysis showed the value of L* 60.33 ± 1.24, a* 3.83 ± 0.26 and b* 21.77 ± 0.42. Financial analysis of instant powdered chicken feet broth stated that this business project was feasible to run. Feasibility of this project were net present value of Rp. 5.838.964.104,00; internal rate of return 35,26%; net benefit / cost 2,30; pay back period for 2 years 9 months 21 days, and break event point 1,076,033 units. Functional powdered broth sold for Rp. 3.600,00/packs with weigh of 11 g.
Keywords: financial analysis, instant chicken feet broth, scale up, response
surface methodology
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Optimasi Suhu dan Lama Waktu Pengeringan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam
Pada Skala Pilot Plant” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat akademik dalam menempuh jenjang pendidikan Sarjana Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Dalam menyelesaikan skripsi ini,
penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk
itu sebagai ungkapan rasa hormat yang mendalam, penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
2. Ibu, Bapak, adik, serta seluruh keluarga atas doa, semangat, motivasi, dan
kasih sayangnya yang selalu melimpah setiap waktu.
3. Ibu Dr. Ir. Tri Dewanti W, M. Kes. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, saran dan motivasi atas terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak Jasman Silalahi selaku General Manager Production yang telah
memberikan bimbingan dan bantuan saat penelitian skala pilot plant.
5. Ibu Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc dan Ibu Wenny Bekti S., STP.,
M.Food St., PhD selaku dosen penguji.
6. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP. selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang.
7. Mas Nizar Rohman Saputra yang begitu banyak memberikan dukungan
secara materiil dan moril selama penelitian pilot plant berlangsung.
8. Mbak Nida, Mas Ryan dan Mas Rochman sebagai tim sukses ceker yang
telah banyak sekali membantu selama penelitian.
9. Elina, Anis, Nana, Via, Ida, Erna, Ella, Iput, Nike, Gaby, dan Vela sebagai
sahabat-sahabat yang telah menemani suka duka masa-masa kuliah.
10. Mbak Nova, Mbak Devit, Pak Wiwit, Mas Rizal, Mas Wulung, Edy, Rafly,
Mas Verta, Mas Alfan, Mas Alif, Pak Wahid, Pak Mamad, Pak Hari, Pak
Ngateno dan seluruh keluarga IFTC serta QA&P Department yang begitu
banyak memberikan bantuan, keceriaan, dukungan, pengetahuan dan saran
selama penelitian pilot plant berlangsung.
xi
11. Mbak Eva, Hilya, Anindyah, Mbak Luluk dan seluruh teman-teman yang
telah membantu analisa-analisa yang diperlukan dalam penelitian.
12. Keluarga THP 2013, Kost KSR30 dan Gisoven Dance Cover yang
senantiasa memberikan semangat dengan cara masing-masing.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, telah
banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT selalu memberikat rahmat, hidayah serta inayah-Nya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, referensi dan pengalaman,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
waktu yang akan datang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Malang, 4 Agustus 2017
Nurul Hidayati
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................................... v
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... vi
RINGKASAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan ......................................................................................... 3
1.4 Manfaat ........................................................................................ 3
1.4 Hipotesis ....................................................................................... 3
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
2.1 Ceker Ayam ................................................................................. 4
2.2 Tulang Rawan .............................................................................. 6
2.3 Glukosamin .................................................................................. 7
2.4 Kondroitin Sulfat ........................................................................... 10
2.5 Osteoarthritis ................................................................................ 12
2.6 Mekanisme Antiinflamasi Glukosamin dan Kondroitin Sulfat......... 13
2.7 Kaldu Instan ................................................................................. 16
2.8 Penggandaan Skala ..................................................................... 19
2.9 Metode Permukaan Respon ......................................................... 20
2.10 Analisa Kelayakan Finansial ......................................................... 21
III METODE PENELITIAN ....................................................................... 25
3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................... 25
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 25
3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 26
3.4 Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 29
3.5 Pengamatan Penelitian ................................................................ 32
3.6 Analisa Data ................................................................................. 33
3.7 Diagram Alir Penelitian ................................................................. 34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 38
4.1 Analisa Bahan Baku Skala Laboratorium...................................... 38
4.2 Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Laboratorium ................................................................................ 41
4.3 Perbedaan Kondisi Skala Laboratorium dengan Pilot Plant .......... 46
4.4 Analisa Bahan Baku Skala Pilot Plant .......................................... 48
4.5 Penetapan Center Point serta Kombinasi Perlakuan .................... 51
xiii
4.6 Hasil Pengukuran dan Analisa Respon Optimasi Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant ...................... 52
4.7 Analisa Signifikansi ANOVA Respon Optimasi Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant ...................... 54
4.8 Optimasi Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant dengan Design Expert 7.1.5 ........................................ 67
4.9 Verifikasi Formula Optimum Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant ........................................................................... 68
4.10 Pembandingan Karakteristik Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant dengan Skala Laboratorium ............................... 69
4.11 Analisa Kelayakan Finansial Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam .... 76
V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 82
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 82
5.2 Saran ........................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 84 LAMPIRAN .............................................................................................. 93
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Analisa Proksimat Ceker Ayam ..................................... 5
Tabel 3.1 Formulasi Rancangan Penelitian Tahap I .............................. 26
Tabel 3.2 Formulasi Rancangan Penelitian Tahap II ............................. 27
Tabel 3.3 Rancangan Penelitian Tahap II .............................................. 28
Tabel 4.1 Hasil Analisa Bubuk Ceker Ayam Skala Laboratorium .......... 38
Tabel 4.2 Hasil Analisa Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Laboratorium ......................................................................... 41
Tabel 4.3 Perbandingan Hasil Analisa Bubuk Ceker Ayam ................... 48
Tabel 4.4 Hasil Penelitian Pendahuluan Skala Pilot Plant ..................... 51
Tabel 4.5 Hasil Optimasi Olahan Program Design Expert 7.1.5 ............ 52
Tabel 4.6 Hasil Pemilihan Model Uraian Jumlah Kuadrat Respon Kadar Air ............................................................................... 55
Tabel 4.7 Lack of Fit Test Respon Kadar Air ......................................... 56
Tabel 4.8 Pemilihan Model Berdasarkan Ringkasan Statistik Respon Kadar Air ............................................................................... 56
Tabel 4.9 Hasil Analisa Ragam (ANOVA) Pada Respon Kadar Air Model Kuadratik ..................................................................... 57
Tabel 4.10 Hasil Pemilihan Model Uraian Jumlah Kuadrat Respon Kadar Kondroitin Sulfat .......................................................... 61
Tabel 4.11 Lack of Fit Test Respon Kondroitin Sulfat .............................. 62
Tabel 4.12 Pemilihan Model Berdasarkan Ringkasan Statistik Respon Kadar Kondroitin Sulfat .......................................................... 63
Tabel 4.13 Hasil Analisa Ragam (ANOVA) Pada Respon Kadar Kondroitin Sulfat Model Linear ............................................... 64
Tabel 4.14 Komponen dan Respon yang Dioptimasi, Target, Batas Atas dan Bawah, serta Importance pada Optimasi Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant ..................................... 67
Tabel 4.15 Solusi Titik Optimum Terpilih Hasil Perhitungan Design Expert 7.1.5 ........................................................................... 68
Tabel 4.16 Hasil Prediksi dan Verifikasi Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant .......................................................... 68
Tabel 4.17 Perbandingan Hasil Analisa Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam ..................................................................................... 70
Tabel 4.18 Asumsi-asumsi Pada Analisa Finansial Usaha Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam ................................................................ 77
Tabel 4.19 Nilai Kriteria Investasi Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam ....... 79
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ceker Ayam ...................................................................... 4
Gambar 2.2 Morfologi Ceker Ayam ....................................................... 5
Gambar 2.3 Struktur Tulang Rawan ..................................................... 7
Gambar 2.4 Struktur Kimia Glukosamin ................................................ 7
Gambar 2.5a Glukosamin Hidroklorida ................................................... 8
Gambar 2.5b Glukosamin Sulfat ............................................................. 8
Gambar 2.5c Glukosamin Sulfat-Natrium Kloriida Kopresipitat ............... 8
Gambar 2.6 Sintesis Glukosamin dari Glukosa ..................................... 9
Gambar 2.7 Struktur Kimia Kondroitin Sulfat ........................................ 10
Gambar 2.8a Kondroitin Sulfat A ............................................................ 11
Gambar 2.8b Kondroitin Sulfat C ............................................................ 11
Gambar 2.9 Biosintesis Kondroitin Sulfat .............................................. 11
Gambar 2.10 Mekanisme Antiinflamasi Glukosamin ............................... 14
Gambar 2.11 Mekanisme Antiinflamasi Kondroitin Sulfat ........................ 16
Gambar 3.1 Proses Pembuatan Bubuk Ceker Ayam Pada Skala Laboratorium ..................................................................... 34
Gambar 3.2 Proses Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Laboratorium ..................................................................... 35
Gambar 3.3 Proses Pembuatan Bubuk Ceker Ayam Pada Skala Pilot Plant ................................................................................. 36
Gambar 3.4 Proses Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala
Pilot Plant .......................................................................... 37
Gambar 4.1a Bagian Ceker yang Diproses Menjadi Bubuk Ceker Ayam 40
Gambar 4.1b Bubuk Ceker Skala Laboratorium...................................... 40
Gambar 4.2 Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Laboratorium ...... 42
Gambar 4.3 Mesin Reo Kneader .......................................................... 47
Gambar 4.4a Bagian Ceker yang Diproses Menjadi Bubuk Ceker Ayam 50
Gambar 4.4b Bubuk Ceker Skala Pilot Plant .......................................... 50
Gambar 4.5 Kurva Normal Plot of Residuals Respon Kadar Air ............ 59
Gambar 4.6a Kontur Plot ........................................................................ 60
Gambar 4.6b Kurva Permukaan Respon Variabel Suhu dan Lama Waktu Pengeringan Terhadap Respon Kadar Air ......................... 60
Gambar 4.7 Kurva Normal Plot of Residuals Respon Kadar Kondroitin
Sulfat ................................................................................ 65
Gambar 4.8a Kontur Plot ........................................................................ 66
Gambar 4.8b Kurva Permukaan Respon Variabel Suhu dan Lama Waktu Pengeringan Terhadap Respon Kadar Kondroitin Sulfat ... 66
Gambar 4.9 Kurva Permukaan Respon Titik Optimum ......................... 67
Gambar 4.10 Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant ........... 69
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penduduk Indonesia lebih suka mengonsumsi daging ayam karena harganya
yang cenderung lebih murah. Hal tersebut menyebabkan permintaan pasar akan
kebutuhan ayam pedaging sangat tinggi. Pemotongan ayam pedaging yang
berlebih penyediaannya menghasilkan bagian-bagian dari ayam yang kurang
termanfaatkan seperti kepala, kulit dan ceker (Hashim et. al., 2014). Berdasarkan
data Direktorat Jendral Peternakan pada tahun 2016, terdapat ceker ayam
sebanyak 1.689.584 ton. Belum banyak masyarakat yang mengetahui bahwa di
dalam ceker ayam terdapat komponen glikosaminoglikan (GAG), terdiri dari
glukosamin dan kondroitin sulfat yang berpotensi sebagai agen antiinflamasi.
Komponen GAG pada ceker ayam dapat dimanfaatkan sebagai alternatif
pengganti antiinflamasi dari tulang sirip ikan hiu dikarenakan hiu adalah hewan
yang dilindungi dan harganya cenderung mahal (Widyaningsih et. al., 2015).
Ceker ayam seringkali digunakan oleh masyarakat untuk membuat kaldu.
Penggunaan ceker ayam untuk kaldu dikarenakan kandungan lemak dan
proteinnya yang masih cukup tinggi yaitu sebanyak 20% untuk protein dan 4%
untuk lemak. Dewasa ini banyak industri makanan memproduksi kaldu dalam
bentuk instan dengan tujuan untuk kepraktisan penggunaannya (Swasono,
2008). Namun, kaldu siap olah yang beredar di pasaran cenderung belum ada
yang berfungsi sebagai pangan fungsional.
Penelitian mengenai bumbu ceker ayam telah dilakukan oleh Milala (2014).
Namun, bumbu ceker dengan karakteristik fisik dan kimia terbaik cenderung
kurang disukai oleh panelis, sehingga diperlukan modifikasi bumbu tambahan
yang digunakan. Bumbu ceker yang telah diteliti terbukti dapat berfungsi sebagai
agen antiinflamasi, dimana penghambatan peradangan udema mengalami
peningkatan dari jam ke-1 hingga jam ke-5 mencapai 78,19% dengan pemberian
dosis 200 mg/kgBB tikus. Berdasarkan aspek kemanfaatan yang besar tersebut,
serbuk kaldu instan ceker ayam berpotensi untuk diproduksi pada skala industri.
Produk baru yang akan diproduksi pada skala industri memerlukan tahap uji
coba yang mampu menjembatani perbedaan proses dari skala laboratorium ke
skala industri. Penggandaan skala melalui pilot plant merupakan tahapan uji
2
coba produksi yang dapat memberikan gambaran proses produksi mendekati
skala industri dengan cara mengidentifikasi kondisi proses kritis, sehingga
kestabilan mutu proses produksi dapat dipertahankan.
Kondisi kritis pada pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam adalah proses
pengeringan. Dari beberapa faktor yang memengaruhi proses pengeringan, suhu
dan lama waktu merupakan parameter kritis. Proses pengeringan bumbu ceker
oleh Milala (2014) dilakukan menggunakan oven kabinet selama 6 jam pada
suhu 60oC. Namun, kondisi pengeringan tersebut menghasilkan kadar air 7%
yang belum memenuhi standar dari BPOM untuk bumbu ekstrak daging ayam
yaitu kadar air tidak lebih dari 4%. Suhu dan lama waktu pengeringan serbuk
kaldu skala pilot plant dapat dimungkinkan berbeda dengan skala laboratorium
dikarenakan jumlah bahan yang digunakan menjadi berlipat sesuai dengan
kapasitas penggandaan skala serta peralatan dan kondisi proses yang berbeda.
Dari penelitian pendahuluan skala pilot plant, diperoleh center point dari
parameter kritis adalah suhu 60oC selama 11 menit.
Penelitian optimasi skala pilot plant kemudian disusun dengan Respon
Surface Methodology-Central Composite Design. Faktor yang dioptimasi adalah
suhu (55oC, 60oC, 65oC) dan lama waktu (10 menit, 11 menit, 12 menit)
pengeringan serbuk kaldu dengan respon kadar air dan kadar kondroitin sulfat.
Kadar air dipilih untuk dioptimasi agar dapat sesuai dengan standar BPOM,
sedangkan kadar kondroitin sulfat dipilih karena produk yang akan dihasilkan
merupakan produk fungsional antiinflamasi yang mengunggulkan komponen
GAG. Produk dengan respon optimal akan dianalisa kelayakan finansialnya
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan penerimaan gagasan
proyek dari rencana usaha serbuk kaldu instan ceker ayam.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana menentukan waktu pengeringan optimum serbuk kaldu instan
ceker ayam pada skala pilot plant?
2. Bagaimana perbandingan karakteristik serbuk kaldu instan ceker ayam
skala laboratorium dengan skala pilot plant?
3. Bagaimana studi kelayakan finansial pada rencana usaha pembuatan
serbuk kaldu instan ceker ayam ini?
3
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menentukan suhu dan waktu pengeringan optimum serbuk kaldu
instan ceker ayam pada skala pilot plant.
2. Untuk mengetahui perbandingan karakteristik serbuk kaldu instan ceker
ayam skala laboratorium dengan skala pilot plant.
3. Untuk mengetahui kelayakan finansial pada rencana usaha pembuatan
serbuk kaldu instan ceker ayam.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Diperoleh suhu dan waktu pengeringan optimum serbuk kaldu instan ceker
ayam pada skala pilot plant yang menghasilkan kadar kondroitin-sulfat
yang tinggi dan kadar air yang rendah.
2. Menciptakan inovasi serbuk kaldu instan ceker ayam di kalangan
masyarakat luas, sehingga produk ini dapat dirasakan manfaatnya.
1.5 Hipotesis
Semakin tinggi suhu yang digunakan dan semakin lama waktu pengeringan
serbuk kaldu instan ceker ayam skala pilot plant yang dilakukan akan
menyebabkan penurunan kadar air dan kadar kondroitin sulfat.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ceker Ayam
Populasi ayam di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan hewan
lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan penduduk Indonesia yang lebih suka
mengonsumsi daging ayam karena harganya yang lebih murah bila dibandingkan
dengan harga daging sapi. Pemotongan ayam pedaging yang berlebih
penyediaannya menghasilkan bagian-bagian dari ayam yang kurang
termanfaatkan secara optimal seperti kepala, kulit dan ceker. Bagian-bagian ini
kemudian kebanyakan diproses menjadi pakan hewan (Hashim et al., 2014).
Gambar ceker ayam dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Ceker Ayam (Wesi, 2011)
Ceker ayam adalah suatu bagian dari tubuh ayam yang kurang diminati
karena jumlah daging yang menempel pada ceker sangat sedikit dan banyak
tulang. Ceker ayam terdiri atas komponen kulit, tulang utama, tulang rawan, otot
dan kolagen. Berat ceker ayam sendiri hanya sekitar 2-3% dari berat badan
seekor ayam. Ceker ayam memiliki ukuran keliling minimal 4 cm dan panjangnya
mencapai 13 cm (Miwada dan Simpen, 2013). Morfologi ceker ayam dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
5
Gambar 2.2 Morfologi Ceker Ayam (Anonim, 2016)
Analisa proksimat yang dilakukan oleh Hashim et al. (2014) pada Tabel 2.1
menunjukkan bahwa ceker ayam dapat digunakan sebagai substrat protein
karena kandungan proteinnya yang tinggi mencapai 20,10%.
Tabel 2.1 Hasil Analisa Proksimat Ceker Ayam
Analisa Komposisi (%)
Kadar air 65,08 ± 0,90 Kadar lemak 3,90 ± 1,16 Kadar protein 20,10 ± 0,98
Kadar abu 8,16 ± 1,92
Sumber: Hashim et al. (2014)
Selama ini ceker ayam banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kaldu
dan olahan makanan dengan harga terjangkau. Selain mengandung komponen-
komponen pada Tabel 2.1, ceker ayam juga kaya akan kalsium, fosfor dan
hydroxypatite serta memiliki kandungan senyawa aktif seperti gelatin, kondroitin
sulfat, kitin/kitosan dan kolagen. Hydroxypatite merupakan jenis kalsium yang
dapat berpotensi menyembuhkan osteoporosis. Komponen dasar penyusun
protein pada ceker adalah asam amino glisin-prolin dan hidroksiprolin-arginin-
glisin. Ceker juga mengandung zat kapur dan mineral (Suryati et al., 2015).
Protein kolagen pada ceker ayam memiliki antigen imunogenik yang mampu
menghasilkan antibodi. Antigen imunogenik mampu berikatan dengan antibodi
spesifik dan mampu menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen. Kolagen
juga dapat bertindak sebagai antihipertensi golongan ACE-inhibitor yang
memperlambat aktivitas enzim ACE dengan mengurangi produksi angiotensin II.
Angiotensin II dapat menyebabkan kontraksi dan menyempitkan pembuluh darah
6
yang mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi. Kolagen dapat menurunkan
kadar renin dalam plasma, sehingga tidak mengakibatkan tekanan darah menjadi
lebih tinggi (Guimaraes et al., 2012).
2.2 Tulang Rawan
Tulang terdiri dari sel, serat dan bahan pengisi. Bahan pengisi pada tulang
adalah protein dan garam-garam mineral seperti kalsium fosfat sebanyak 58,3%,
kalsium karbonat 1%, magnesium fosfat 2,1% dan protein sebanyak 30,6%.
Proteoglikan yang terdapat pada tulang rawan adalah molekul yang besar dan
kompleks, tersusun atas asam hialuronat yang akan menjadi cabang dari
beberapa kondroitin sulfat dan keratan sulfat yang dihubungkan dengan sebuah
protein penghubung (Kalangi, 2014).
Menurut Marks (2000), komponen antar sel pada tulang rawan terdiri atas:
1. Serabut atau serat yang terdiri dari serabut kolagen, retikular dan elastis.
2. Substansi dasar yang terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan.
Sebagian besar glikosaminoglikan terikat menyilang pada kolagen dengan
protein sebagai proteoglikan, dimana proteoglikan yang terpenting dalam
jaringan ikat adalah asam hialuronat.
3. Sel-sel, seperti sel fibroblast, sel adiposa, mast cell dan makrofag.
Tulang rawan yang terdapat pada ceker ayam merupakan protein kompleks
yang membentuk suatu glikosaminoglikan dan proteoglikan yang mengandung
glukosamin, kolagen dan kondroitin sulfat yang dapat berfungsi sebagai
antiinflamasi. Pada tulang rawan ayam, lebih umum dijumpai perulangan Gly-
Ser-Gly daripada perulangan Ser-Gly. Proteoglikan pada tulang rawan sebagian
besar berupa agrekan yang secara alami memiliki 3 bagian terpisah. Bagian di
antara G1 dan G2 biasa disebut interglobular domain (IGD) yang memiliki
struktur seperti batang. Bagian ini memiliki beberapa daerah pemecahan
proteolitik seperti matriks metaloproteinase (MMP), protease serin seperti
plasmin dan leukosit elastase, dan protease asam seperti katepsin B (sistein
protease). Domain IGD adalah domain yang diserang pada penyakit persendian
seperti osteoarthritis yang mengakibatkan hilangnya seluruh bagian yang
mengandung GAG (Kiani et al., 2002). Letak kondroitin sulfat dan glukosamin
pada tulang rawan disajikan pada Gambar 2.3.
7
Gambar 2.3 Stuktur Tulang Rawan (Shao, 2005)
Protein kompleks dapat dimanfaatkan sebagai suplemen bagi penderita
osteoporosis, rematik, radang sendi dan tumor yang merupakan inflamasi kronik
pada manusia atau hewan (Lane, 1992 dalam Dhyantari, 2014). Kolagen yang
terdapat pada tulang rawan baik untuk kesehatan kulit karena dapat mengurangi
efek penuaan (Pramudiartha, 2011).
2.3 Glukosamin
Glukosamin (2-amino-2-deoxy-D-glukosa) merupakan amino monosakarida
yang paling melimpah di jaringan ikat dan tulang rawan. Struktur kimia
glukosamin dapat dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Struktur Kimia Glukosamin (Shao, 2005)
Glukosamin ditemukan dalam berbagai bentuk, antara lain glukosamin sulfat,
hidroklorida, N-asetilglukosamin, atau garam klorohidrat dan isomer
8
dekstraoratorik. Beberapa bentuk glukosamin disajikan pada Gambar 2.5.
Glukosamin yang umum dikonsumsi adalah dalam bentuk cocrystals atau
coprecipitates glukosamin sulfat dan glukosamin hidroklorida (Dahmer and
Schiller, 2008). Produksi glukosamin hidroklorida dapat dilakukan dari kitin
melalui reaksi hidrolisis sederhana dan depolimerisasi melalui perendaman
didalam larutan asam hidroklorida (Mojarrad et al., 2007).
(A) (B)
(C)
Gambar 2.5 (a) Glukosamin hidroklorida, (b) Glukosamin sulfat, (c) Glukosamin sulfat-
natrium klorida kopresipitat (Miller and Clegg, 2011)
Glukosamin merupakan senyawa yang dapat disintesis dalam tubuh manusia
dari glukosa yang menjadi prekursor untuk biosintesis beberapa makromolekul
(Jerosch, 2011). Pada pembentukan dan perbaikan kartilago, glukosamin dalam
bentuk aminomonosakarida akan terkonsentrasi pada kartilago dan membentuk
sebuah ikatan yang lebih panjang yang dikenal sebagai glikosaminoglikan dan
akan membentuk ikatan yang lebih besar yaitu proteoglikan (Syafril, 2006).
Struktur dasar glikosaminoglikan seperti asam hialuronat dan kondroitin sulfat
terdiri dari asam uronat (seperti asam glukuronat) dan turunan glukosamin
(seperti N-asetil-glukosamin dan N-asetil galaktosamin). Sintesis glukosamin dari
glukosa terjadi melalui jalur biosintesis heksosamin (HBP), seperti yang
digambarkan pada Gambar 2.6.
9
Gambar 2.6 Sintesis Glukosamin dari Glukosa (Robles-Flores et al., 2012)
Sintesa glukosamin dimulai dengan fosforilasi glukosa menjadi glukosa-6-
fosfat oleh enzim heksokinase yang dapat dialihkan dari jalur glikolitik/glikogen
utama ke jalur sekunder. Kemudian glukosa-6-fosfat akan diubah menjadi
fruktosa-6-fosfat yang selanjutnya dikonversi menjadi glukosamin-6-fosfat oleh
glutamin fruktosa-6-fosfat aminotransferase (GFAT) dengan penambahan gugus
amino dari glutamin. Jalur sintesis heksosamin ini menghubungkan metabolisme
glikolitik dengan metabolisme asam amino melalui kebutuhan glutamin untuk
menghasilkan glukosamin-6-fosfat. Selanjutnya, glukosamin-6-fosfat diubah
menjadi N-asetil-glukosamin (GlcNAc) dan N-asetil galaktosamin (GalNAc).
Turunan glukosamin ini digabungkan dengan asam uronat untuk membentuk
glikosaminoglikan yang ada di tulang rawan sendi, kulit dan jaringan lainnya.
Jalur HBP sendiri memuncak dengan pembentukan uridin difosfo-β-N-
asetilglukosamin (UDP-GlcNAc) yaitu substrat donor tinggi energi untuk O-linked
N-acetylglucosaminyl transferase (OGT).
Dalam tulang rawan, glukosamin sangat penting untuk pembentukan asam
hialuronat, kondroitin sulfat serta keratan sulfat. Ketiga senyawa tersebut
merupakan komponen yang paling penting dari matriks ekstraselular tulang
rawan artikular dan cairan sinovial (Kirkham and Samarasinghe, 2009).
Glukosamin berperan dalam sintesis membran lapisan sel, kolagen, osteosid dan
10
tulang matriks. Glukosamin berfungsi untuk menghambat degradasi proteoglikan,
memperbaiki tulang rawan yang rusak dan memiliki efek antiarthritis. Toksisitas
dari glukosamin sendiri tidak pernah dilaporkan dan berbagai studi klinis telah
membuktikan bahwa glukosamin aman untuk dikonsumsi (FDA, 2004; EFSA,
2009). Penelitian Hathcock and Shao (2007) menunjukkan bahwa dosis
glukosamin batas aman konsumsi oral adalah sebesar 2000 mg/hari.
2.4 Kondroitin Sulfat
Kondroitin sulfat (CS) merupakan komponen utama dari tulang rawan dan
jaringan ikat pada sendi. CS adalah salah satu senyawa GAG alami yang
terbentuk oleh unit-unit disakarida yang terdiri dari asam D-glukoronat (GlcA) dan
N-asetil-D-galaktosamin (GalNAc). Kondroitin sulfat merupakan GAG tersulfatasi
yang biasa ditemukan terikat pada protein sebagai bagian dari proteoglikan.
Proteoglikan merupakan suatu protein yang mengandung satu atau lebih ikatan
kovalen dengan komponen GAG. Proteoglikan memiliki sifat hidrofilik sehingga
menyebabkan tulang rawan memiliki kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi
pada tulang rawan berfungsi sebagai bantalan dan menyediakan nutrisi bagi
jaringan avascular (Jerosch, 2011).
Sebagai komponen utama dari matriks ekstraseluler, kondroitin sulfat
dianggap penting dalam menjaga kesehatan tulang rawan. Struktur kimia dari
kondroitin sulfat dapat dilihat pada Gambar 2.7. Sedangkan bentuk-bentuk
kondroitin sulfat disajikan pada Gambar 2.8. Kondroitin sulfat memberikan
ketahanan tulang rawan pada saat terjadi tekanan. Hilangnya CS akan
menurunkan retensi terhadap tekanan dan dapat mengakibatkan kerusakan
pada tulang rawan. Kondroitin sulfat juga dapat menghambat gejala osteoarthritis
seperti nyeri dan peradangan (Gregory et al., 2008).
Gambar 2.7 Struktur Kimia Kondroitin Sulfat (Shao, 2005)
11
(A) (B)
Gambar 2.8 (a) Kondroitin Sulfat A (b) Kondroitin Sulfat C (Kardiman, 2013)
Kondroitin sulfat dapat dibentuk dari glukosamin, dimana glukosamin
ditransport dari jaringan ekstraseluler oleh transporter glukosa yang kemudian
difosforilasi oleh enzim heksokinase menjadi glukosamin-6-fosfat. Glukosamin-6-
fosfat yang terbentuk diasetilasi menjadi N-asetil-glukosamin-6-fosfat oleh enzim
glukosamin-fosfat-N-asetiltransferase dan dikonversi menjadi uridin difosfo
glukosamin (UDP-GlucNAc) oleh enzim UDP-N-asetil-glukosamin fosforilase.
UDP-GlucNAc berikatan dengan protein dari residu serin dan treonin yang
dikatalisis oleh enzim uridin difosfo N-asetil glukosamin polipeptida-β-N-
asetilglukosaminiltransferase. UDP-GlucNAc pada inner surface retikulum
endoplasma dan vesikel golgi dikonversi menjadi N-asetil galaktosamin oleh
enzim UDP-galaktosa 4’epimerase, dimana terjadi penambahan sulfat pada
posisi 4 dan 6 oleh enzim sulfo transferase dan dari tahapan ini terbentuklah
kondroitin sulfat. Biosintesis CS ini disajikan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Biosintesis Kondroitin Sulfat (Silbert and Sugumaran, 2002)
12
2.5 Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang banyak
ditemukan di masyarakat, khususnya masyarakat dewasa atau usia lanjut.
Osteoarthritis merupakan penyakit radang yang ditandai dengan hilangnya tulang
rawan secara bertahap pada area persendian yang mengakibatkan gesekan
antara tulang, sehingga menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan. Selain
memengaruhi tulang rawan, OA juga menyebabkan perubahan pada tulang
periartikular dan peradangan pada membran sinovial. Ketika terjadi osteoarthritis,
tulang periartikular bereaksi dengan formasi osteofit yang menyebabkan
pembatasan dalam gerakan sendi (Felson, 2009).
Konsep inflamasi pada patogenesis OA didasari oleh banyaknya bukti
respons inflamatif baik akut maupun kronik. Salah satu pertanda respons
inflamasi akut adalah peningkatan C-reactive protein (CRP). Peningkatan jumlah
leukosit dalam cairan sendi, rendahnya kadar protein dan buruknya viskositas,
serta adanya radang pada sinovium merupakan bukti kuat yang menunjang teori
inflamasi pada patogenesis OA. Selanjutnya, inflamasi akan memicu rangkaian
enzimatik seperti peningkatan enzim metaloproteinase (MMP) dan kolagenase
yang diinduksi oleh interleukin-1 (IL-1) yang kemudian menghambat sintesis
matriks dan mengakibatkan kerusakan pada sendi. Beberapa tipe osteoarthritis
antara lain OA inflamatif, OA nodal dan OA sekunder. OA inflamatif mempunyai
manifestasi inflamasi yang sangat menonjol dan seringkali dijumpai pada efusi
sendi. OA nodal yaitu bentuk OA yang disertai nodus-nodus DISH (diffuse
idiopathic skeletal hyperosthosis). OA sekunder merupakan osteoarthritis yang
terkait dengan penyakit lainnya (Depkes, 2006).
Terapi OA umum berfokus terutama pada pengobatan gejala seperti
pengurangan rasa sakit, tetapi tidak mengobati penyebabnya. Bagaimanapun,
tujuan dari terapi harus diutamakan pada penundaan degenerasi tulang rawan
dan bahkan regenerasi struktur tulang rawan. Salah satu pendekatan dalam
tujuan terapi osteoarthritis tersebut adalah pengobatan dengan kondroprotektif,
seperti glukosamin sulfat, kondroitin sulfat, asam hialuronat, hidrolisat kolagen,
atau nutrien seperti antioksidan dan asam lemak omega-3. Sejumlah studi klinis
telah menunjukkan bahwa penggunaan mikronutrien menyebabkan penurunan
gejala OA yang lebih efektif dengan kerugian yang lebih minimal (Jerosch, 2011).
Tindakan kondroprotektif oleh mikronutrien dapat dijelaskan dengan
mekanisme ganda yaitu: (1) sebagai komponen dasar tulang rawan dan cairan
13
sinovial, mikronutrien merangsang proses anabolik metabolisme tulang rawan;
(2) tindakan antiinflamasi dari nutrien dapat menunda berbagai proses katabolik
inflamasi yang diinduksi di tulang rawan. Kedua mekanisme tersebut dapat
memperlambat perkembangan kerusakan tulang rawan dan dapat membantu
untuk menumbuhkan struktur sendi, yang selanjutnya dapat mengurangi rasa
sakit dan meningkatkan mobilitas sendi yang terkena OA (Jerosch, 2011).
2.6 Mekanisme Antiinflamasi Glukosamin dan Kondroitin Sulfat
2.6.1 Mekanisme Antiinflamasi Glukosamin
Mekanisme efek kondroprotektif glukosamin yang mungkin adalah stimulasi
langsung kondrosit, pemasukkan sulfur ke dalam tulang rawan sendi dan
perlindungan terhadap proses degenerasi dengan cara mengubah ekspresi
genetik. Secara molekuler penggunaan GS menyebabkan peningkatan signifikan
protein inti agrekan dan mRNA, penurunan matriks MMP-3, pencegahan
interleukin 1 (IL-1) dan stimulasi prostaglandin E (Miller and Clegg, 2011).
Hasil model penampang lintang dari ligamentum anterior crucatium (ACLT)
menunjukkan bahwa glukosamin memberikan tindakan kondroprotektif dengan
menghambat degradasi kolagen tipe II melalui pengaturan penurunan MMP dan
meningkatkan sintesis kolagen tipe II pada tulang rawan artikular. Kedua,
vitrostudy menggunakan kondrosit dan sel sinovial menunjukkan bahwa GS
meningkatkan kadar enzim pensintesis asam hialuronat (HAS) dan menginduksi
produksi asam hialuronat. Akhirnya, GS dapat mengatur ekspresi SIRT1 (sebuah
gen putatif dari metabolisme tulang rawan normal) dalam kondrosit, sehingga
menunjukkan tindakan kondroprotektif (Nagaoka, 2014).
Chan et al. (2005) menemukan bahwa glukosamin terbukti mampu
menurunkan ekspresi dari enzim nitrit oxide synthase-2 (NOS-2) dan
cyclooxygenase-2 (COX-2) pada sel. Namun, mekanisme penurunan NOS-2 dan
COX-2 oleh glukosamin hingga saat ini masih belum diketahui pasti. Penelitian
terbaru menduga bahwa aktivitas anti inflamasi glukosamin terjadi melalui
penurunan aktivasi dari faktor NF-κB. Glukosamin diduga mampu berinteraksi
langsung dengan struktur protein dari NF-κB akibat adanya gugus bermuatan
seperti sulfat. Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa terjadi pengurangan
ekspresi mRNA TNF-α dan IL-1β pada hewan coba yang telah diterapi
menggunakan glukosamin (Bak et al., 2014).
14
Efek antiinflamasi dari glukosamin juga dapat menurunkan produksi IL-8 yang
diinduksi oleh IL-1β. Mekanisme penurunan IL-8 dilakukan melalui modifikasi
protein Sp1 oleh glukosamin. Glukosamin dalam tubuh akan masuk kedalam sel
dan dikonversi menjadi UDP-N-acetylglucosamine (UDP-GlcNAc). UDP-GlcNac
kemudian ditambahkan ke residu serin atau treonin oleh enzim O-GlcNac
transferase (OGT) yang dapat diinhibisi oleh senyawa aloksan. Sp1 merupakan
protein yang meregulasi ekspresi gen sitokin seperti IL-8 (Nagaoka, 2014).
Mekanisme antiinflamasi glukosamin digambarkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Mekanisme Antiinflamasi Glukosamin (Nagaoka, 2014)
Varghese et al. (2007) membuktikan bahwa glukosamin dapat meningkatkan
produksi komponen matriks tulang rawan dalam kultur kondrosit, seperti agrekan
dan kolagen tipe II. Glukosamin juga meningkatkan produksi asam hialuronat
pada eksplan sinovium. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Tiku et al.
(2007) menunjukkan bahwa glukosamin mencegah degenerasi kolagen dalam
kondrosit dengan menghambat reaksi lipoksidasi dan oksidasi protein. MMP dan
agrekanase adalah enzim pembelah dominan dalam tulang rawan. Enzim MMP
berfungsi untuk membelah domain interglobular dari molekul agrekan yang
kemudian menyebabkan hilangnya fungsi agrekan. Glukosamin mampu
menghambat sintesis MMP. Glukosamin juga menghambat proses inflamasi
yang bertanggung jawab dalam degenerasi tulang rawan.
15
2.6.2 Mekanisme Antiinflamasi Kondroitin Sulfat
Kondroitin sulfat dan glukosamin merupakan senyawa yang sering diberikan
bersama-sama sebagai agen antiinflamasi. Pemberian kedua senyawa
dilaporkan dapat menurunkan mediator inflamasi seperti IL-1β, IL-6, TNF-α, IL-8,
NOS dan PGE2 (Nagaoka, 2014). Efek antiinflamasi CS diduga berhubungan
dengan kemampuannya mengurangi pembentukan oksigen reaktif dan
melindungi membran sel dari oksigen reaktif (Canas et al., 2010). Pada inflamasi
gout, terjadi peningkatan level oksigen reaktif akibat infiltrasi sel neutrofil untuk
proses fagositosis sel (Ashley et al., 2010). Penghambatan radikal bebas ini
merepresentasikan aktivitas antioksidan dari komponen CS.
Kondroitin sulfat juga dilaporkan dapat memengaruhi regulasi gen pro-
inflamasi dengan memblokir translokasi faktor NF-κB ke nukelus. Selain itu, CS
dapat menghambat fosforilasi extracellular signal-regulated kinase ½ (Erk ½) dan
p38 mitogen-activated protein kinase (p38MAPK) dan menghambat translokasi
nuklear dari faktor NF- κB. NF- κB merupakan kunci penting dalam respon
inflamasi, sehingga sering dijadikan target untuk penghambatan penyakit yang
berhubungan dengan inflamasi. Terhambatnya aktivitas NF- κB akan
menyebabkan terhambatnya sintesis enzim proteolitik (MMP-3, MMP-9, MMP-13
dan katepsin B), enzim pro-inflamasi (phospholipase A2/ PLA2, cyclooxygenase-
2/ COX-2 dan nitrit oxide synthase-2/ NOS-2) dan sitokin pro-inflamasi (TNF-α
dan IL-1) (du Souich et al., 2009). PLA2 dan COX-2 merupakan enzim yang
berperan dalam proses produksi mediator inflamasi prostaglandin E2 (PGE2).
Sedangkan NOS-2 merupakan enzim yang mengkonversi L-arginin menjadi nitrit
oxide (NO). Peningkatan semua enzim tersebut akan meningkatkan respon rasa
sakit dan produksi sitokin (Chan et al., 2005).
Kemampuan kondroitin sulfat untuk memperlambat perkembangan
osteoarthritis telah dibuktikan dalam uji klinis yang dilakukan oleh Clegg et al.
(2006). Dalam penelitian tersebut, asupan CS menyebabkan peningkatan yang
signifikan secara statistik pada lutut sendi yang bengkak, dimana rasa sakit pada
lutut pasien dapat berkurang hingga 20%. Penelitian yang dilakukan oleh
Huskisson (2008) membuktikan bahwa kondroitin sulfat dapat merangsang
metabolisme kondrosit serta mendorong sintesis kolagen dan proteoglikan yang
merupakan komponen dasar penyusun tulang rawan. Selain itu, CS dapat
menghambat kerja enzim leukosit elastase dan hialuronidase yang diketahui
memiliki konsentrasi tinggi dalam cairan sinovial dari pasien dengan penyakit
16
rematik. Kondroitin sulfat juga meningkatkan produksi asam hialuronat oleh sel
sinovial, yang kemudian dapat meningkatkan viskositas dan tingkat cairan
sinovial. Pada umumnya kondroitin sulfat menghambat destruksi tulang rawan
dan menstimulasi proses anabolik pembentukan tulang rawan (Kardiman, 2013).
Mekanisme antiinflamasi CS digambarkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Mekanisme Antiinflamasi Kondroitin Sulfat (du Souich et al., 2009)
2.7 Kaldu Instan
Kaldu ayam merupakan salah satu bentuk produk olahan daging ayam yang
sering digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pemberi rasa pada masakan.
Kaldu diperoleh dari daging dengan atau tanpa penambahan bumbu, lemak yang
dapat dimakan, natrium klorida, rempah-rempah dan sari-sari alami atau
destilatnya serta bahan makanan lain untuk meningkatkan rasa dengan
tambahan bahan lain yang diizinkan dan sesuai dengan petunjuk penggunaan.
Dewasa ini banyak industri makanan memproduksi kaldu dalam bentuk instan
dengan tujuan untuk kepraktisan penggunaannya (Swasono, 2008).
Di Indonesia, rempah dimanfaatkan sebagai bumbu masakan yang bertujuan
sebagai pengawet dan penambah citarasa. Bumbu instan memiliki daya simpan
yang lebih lama dibandingkan dengan rempah-rempah yang belum diolah
(Rahayu, 2000). Bumbu instan dapat mempermudah proses pemasakan untuk
menghasilkan makanan yang lezat dan sesuai selera. Berikut adalah bahan-
bahan yang digunakan dalam pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam:
17
2.7.1 Bawang Putih
Bawang putih termasuk familia Liliaceae yang memiliki nilai komersial tinggi
dan tersebar diseluruh dunia. Manfaat utama bawang putih adalah sebagai
bumbu penyedap masakan yang membuat masakan menjadi beraroma dan
mengundang selera. 100 gram umbi bawang putih mengandung mineral kalsium
(Ca) sebesar 26-28 mg, fosfat (P2O5) 79-109 mg, zat besi (Fe) 1,4-1,5 mg,
natrium (Na) 16-28 mg, kalium (K) 346-377 mg dan beberapa mineral lain dalam
jumlah yang tidak besar. Dalam umbi bawang putih juga terdapat beberapa
vitamin seperti thiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat (Milala, 2014).
Bawang putih mengandung minyak volatil yang berwarna kuning kecoklatan
dan berbau pedas. Komponen-komponen yang terdapat pada minyak volatil
tersebut adalah dialil sulfida (60%), dialil trisulfida (20%), alil propil disulfida (6%)
dan sedikit dietil disulfida, dialil polisulfida, allinin dan allisin. Allisin adalah
komponen utama yang berperan memberi aroma bawang putih dan merupakan
salah satu antibakteri karena dapat membunuh kuman-kuman penyakit. Sifat
antibakteri dari bawang putih dikarenakan adanya gugus asam amino pada
amino benzoat. Selain itu, pada bawang putih terdapat pula scordinin yang
merupakan enzim oksido-reduktase. Bawang putih berfungsi sebagai antibakteri,
antiinflamasi dan antioksidan (Bongiorn, 2008).
2.7.2 Bawang Merah
Bawang merah termasuk dalam keluarga Alliaceae dalam order Asparagales.
Bawang merah seringkali dimanfaatkan sebagai obat tradisional karena
mengandung efek antiseptik dan senyawa allin. Senyawa allin oleh enzim
allinase akan diubah menjadi asam piruvat, amonia dan allisin sebagai
antimikroba yang bersifat bakteriosida. Bawang merah juga mengandung kalsium
dan zat besi, serta hormon auksin dan giberelin. Bawang merah juga dapat
bersifat sebagai antiradang dan dapat mencegah kanker karena adanya
kandungan sulfur (Milala, 2014). Dini et al. (2008) menyatakan bahwa dalam
bawang merah terkandung 10,5% air, 20,4% lemak dan 24,8% protein.
2.7.3 Bawang Bombay
Bawang bombay mengandung beberapa komponen aktif diantaranya adalah
asam amino (kalsium, fosfor, kalsium, mangan, natrium, belerang, zat besi, seng,
tembaga dan selenium), vitamin (vitamin C, asam folat dan vitamin E), minyak
18
esensial (dipropil disulfida dan metil metantiosulfinat), quersetin dan allisin.
Bawang bombay memiliki manfaat untuk mencegah penggumpalan darah dan
penyakit diuretik, bersifat sebagai antibakteri dan antioksidan, serta berfungsi
sebagai desinfektan. Bawang bombay biasa digunakan untuk menambah rasa
sedap pada jenis masakan tertentu (Wuryanti dan Murnah, 2009). Hu et al.
(2006) menyatakan bahwa bawang bombay mengandung 7,8% kadar air, 2,4%
kadar abu, 15,8% kadar lemak, dan 12,3% kadar protein.
2.7.4 Garam
Garam dipergunakan manusia sebagai salah satu metode pengawetan
pangan yang pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan
berbagai macam bahan pangan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu
banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan atau salting out
dan rasa produk menjadi asin. Garam pada konsentrasi tertentu berfungsi
sebagai penambah citarasa pada bahan pangan. Garam mengandung yodium
yang berperan untuk perkembangan kecerdasan otak, mencegah penyakit
gondok, dan membentuk tirosin pada kelenjar tiroid. Garam juga mengandung
fosfor yang berfungsi untuk pembentukan tulang dan gigi, klor yang digunakan
untuk membentuk HCl pada lambung dan magnesium yang berfungsi sebagai
pembentuk sel darah merah berupa zat pengikat oksigen dan hemoglobin.
2.7.5 Gula
Gula adalah karbohidat ringkas yang membekalkan sumber tenaga yang
mudah diserap oleh tubuh. WHO (2003) menyarankan pengambilan gula
tambahan tidak melebihi 10% dari jumlah tenaga harian. Pemanfaatan gula pada
bumbu dilakukan hanya dalam jumlah yang sedikit karena tujuannya adalah
untuk memberikan rasa yang gurih ketika bercampur dengan garam.
2.7.6 Merica
Merica atau lada termasuk ke dalam familia Piperaceae. Komposisi kimia
setiap 100 gram berat terdiri dari 10,5 gram air, 11 gram protein, 3,3 gram lemak,
64,8 gram karbohidrat, 13,2 gram serat, 4,3 gram abu, mineral, niasin dan
vitamin A. Penyebab rasa segar pada minyak atsiri merica adalah manoterpen, α
dan β-pinen. Piperine merupakan suatu alkaloid penyebab utama rasa pedas
pada merica.
19
2.7.7 Dekstrin dan Maltodekstrin
Dekstrin merupakan produk degradasi pati sebagai hasil hidrolisis tidak
sempurna pati dengan katalis asam atau enzim pada kondisi yang dikontrol.
Dekstrin mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental, serta lebih
stabil daripada pati. Dekstrin juga memiliki fungsi sebagai bahan pengikat dan
enkapsulasi untuk melindungi senyawa volatil dan senyawa yang peka terhadap
oksidasi atau panas. Pemilihan dekstrin didasari oleh sifat kelarutan tinggi,
mampu mengikat air dan viskositas relatif rendah (Hustiany, 2006 dalam
Herawati, 2010). Menurut Nurdin (2012), daya larut dengan dekstrin lebih tinggi
bila dibandingkan dengan maltodekstrin karena dekstrin memiliki rumus molekul
(C6H10O5)n yang memiliki bobot molekul lebih rendah dan merupakan golongan
polisakarida yang memiliki struktur kimia lebih sederhana terdiri dari ikatan 1,6 α-
glukosidik dan 1,4 α-glukosidik dan lebih mudah menyerap air.
2.8 Penggandaan Skala (Scale Up)
Penggandaan skala adalah suatu tindakan pengembangan produk atau
tahapan proses yang diperoleh dari skala laboratorium menjadi skala semi
komersial. Tujuan utama dari penggandaan skala adalah menjaga kualitas
produk yang dapat diterima, yang berarti membuat produk pada unit yang lebih
besar sama persis seperti yang diproduksi pada unit skala laboratorium.
Berdasarkan proses dan tingkat produksi yang diinginkan, scale up
merupakan proses yang cukup sulit untuk diaplikasikan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan percobaan yang bersifat kontinyu. Percobaan tersebut dibutuhkan
untuk menentukan parameter optimum untuk skala yang lebih besar dan untuk
menentukan desain peralatan dan kondisi proses yang akan dimodifikasi,
dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik antara produk skala laboratorium
dengan produk scale up. Penggandaan skala mempertimbangkan proses yang
menyertakan tipe teknologi (mesin dan peralatan yang digunakan). Melalui
penggandaan skala akan diperoleh rancangan proses produksi dengan kapasitas
yang lebih besar untuk mutu atau kualitas produk yang sama dengan produksi
skala laboratorium. Produksi skala pilot plant atau industri dapat dilakukan
setelah diperoleh kondisi optimum proses pembuatan skala laboratorium.
Produk pangan yang digandakan skalanya tidak akan menghasilkan produk
yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan menghasilkan produk yang
20
menyerupai aslinya. Perbedaan karakteristik antara produk laboratorium dengan
produk scale up dapat dipengaruhi salah satunya oleh kondisi proses, sehingga
scale up memerlukan suatu perencanaan yang matang, fleksibel dan pendekatan
yang konsisten. Titik kritis produksi perlu dikaji dan dikontrol agar didapatkan
karakteristik produk yang serupa dengan skala laboratorium (Scott et al., 2007).
Penggandaan skala erat kaitannya dengan penerapan pilot plant. Proses
produksi pada skala pilot plant merupakan kunci penghubung proses pengolahan
produk dari skala laboratorium menuju skala industri. Pilot plant merupakan
langkah yang bertujuan untuk menghasilkan informasi yang cukup untuk
menentukan apakah proyek dapat dikembangkan ke skala komersial. Pada
prinsipnya, teknik skala pilot plant adalah perbesaran skala proses produksi dari
skala laboratorium ke skala dengan volume produksi yang lebih besar dengan
penilaian efisiensi yang lebih terperinci, sehigga diperoleh teknologi yang mampu
menghasilkan suatu produk yang layak secara ekonomis (Keynote, 2006).
2.9 Metode Permukaan Respon
Metode permukaan respon atau Response Surface Methodology (RSM)
merupakan kumpulan teknik statistik dan matematik yang berguna dalam
mengembangkan, memperbaiki dan mengoptimasi berbagai proses. RSM juga
memiliki aplikasi penting dalam desain, pengembangan dan formulasi produk
baru serta perbaikan produk yang sudah ada (Myers, 2002). RSM digunakan
oleh banyak industri karena kemampuannya menyajikan data dengan cepat.
Pada tahap awal, RSM menggunakan run percobaan paling sedikit untuk
menghemat sumber daya yang digunakan saat optimasi proses. Di saat kondisi
optimum suatu proses diketahui, penelitian lebih jauh dilakukan (Vining, 2006).
Metode permukaan respon merupakan salah satu metode yang dapat
digunakan untuk melakukan proses optimasi respon pada percobaan dengan
faktor perlakuan bersifat kuantitatif. Secara umum, metode permukaan respon
dapat digambarkan secara visual melalui plot permukaan respon dan plot kontur.
Melalui plot tersebut dapat diketahui bentuk hubungan antara respon dengan
variabel bebasnya (Bradley, 2007).
Menurut Nugroho (2011), strategi dasar dari metode ini terdiri dari empat
langkah yaitu:
1. Prosedur untuk berpindah ke daerah optimum
21
2. Perilaku respon pada daerah optimum
3. Estimasi kondisi-kondisi optimum
4. Verifikasi hasil optimum
2.10 Analisa Kelayakan Finansial
Analisa finansial adalah analisa yang ditujukan untuk meneliti suatu proyek
secara finansial layak atau tidak untuk dijalankan, dimana kelayakan dapat
dinyatakan apabila proyek tersebut menguntungkan bila dibandingkan resikonya.
Aspek finansial merupakan aspek kunci dari studi kelayakan, karena sekalipun
aspek lain tergolong layak, jika aspek finansial memberikan hasil yang tidak
layak, maka usulan akan ditolak karena tidak memberikan manfaat ekonomi.
Tujuan menganalisa aspek finansial adalah untuk menentukan rencana
investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan
membandingkan antar pengeluaran dan pendapatan, seperti ketersediaan dana,
biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam
waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang
terus. Penentuan layak atau tidaknya suatu proyek yang akan didirikan, terdapat
beberapa kriteria yang dapat digunakan antara lain:
2.10.1 Harga Pokok Produksi (HPP)
Harga pokok produksi adalah seluruh biaya baik secara langsung maupun
tidak langsung yang dikeluarkan untuk memproduksi barang atau jasa yang
merupakan operasi utama proyek dalam suatu periode tertentu (Sugiyono, 2011).
HPP merupakan akumulasi dari biaya-biaya yang dibebankan pada produk yang
dihasilkan oleh proyek. Unsur-unsur biaya pokok produksi mencakup biaya
bahan baku langsung (direct material cost), biaya tenaga kerja langsung (direct
labor cost) dan biaya overhead (Carter, 2006). Biaya overhead adalah biaya
selain bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung yang turut membantu
dalam merubah bahan menjadi produk jadi (Bustami et al., 2007). Idham et. al.
(2011) menyatakan bahwa HPP dapat diketahui menggunakan rumus berikut:
HPP =
22
2.10.2 Net Present Value (NPV)
Net present value adalah selisih antara total present value arus benefit
dengan total present value arus biaya atau jumlah present value bersih
tambahan selama umur proyek. Kriteria ini mengatakan bahwa proyek
dinyatakan layak apabila nlai NPV > 0 (Burhanuddin, 2007). Gray et al. (2007)
menyatakan bahwa NPV dapat diketahui melalui rumus berikut:
NPV =
Keterangan:
Bt = benefit pada tahun ke-t
Ct = biaya total yang dikeluarkan pada tahun ke-t
n = umur ekonomis usaha
i = tingkat suku bunga
t = tahun
2.10.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C ratio adalah suatu rasio yang membandingkan antara jumlah present
value (PV) yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah present value (PV)
yang negatif (sebagai penyebut). Suatu usaha dinyatakan layak jika nilai net B/C
rationya ≥1. Gray et al. (2005) menyatakan Net B/C dapat diketahui melalui:
(+)
(-)
2.10.4 Internal Rate of Return (IRR)
Internal rate of return merupakan metode yang digunakan untuk mencari
tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di
masa datang dengan mengeluarkan ivestasi awal. Proyek dinilai layak jika nilai
IRR lebih besar dari persentasi biaya modal atau sesuai dengan persentase
keuntungan yang ditetapkan investor (Sayuti, 2008). Suliyanto dalam Ginting
(2013) menyatakan bahwa IRR dapat diketahui menggunakan rumus berikut:
Net B/C =
23
IRR =
Keterangan:
i = Tingkat discount rate yang menghasilkan NPV
i = Tingkat discount rate yang menghasilkan NPV
2.10.5 Payback Period (PP)
Payback period merupakan suatu periode yang menunjukkan berapa lama
modal yang ditanamkan dalam proyek dapat kembali, oleh karena itu satuan
hasilnya bukan persentase melainkan satuan waktu (tahun, bulan dan hari).
Semakin cepat periode pengembalian biaya investasi, maka semakin baik suatu
proyek. Jika payback period ini lebih cepat daripada umur proyek yang
disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan (Pinesti, 2009). Umar
(2007) menyatakan bahwa payback period dapat diketahui melalui rumus berikut:
PP = t +
Keterangan:
t = tahun terakhir dimana kumulatif net cash belum mencapai initial investment
b = initial invesment (modal awal)
c = kumulatif net cash inflow pada tahun t
d = kumulatif net cash inflow pada tahun t+1
2.10.6 Break Event Point (BEP)
Break event point merupakan suatu keadaan atau penjualan usaha dimana
jumlah pendapatan sama besarnya dengan pengeluaran, dengan kata lain suatu
keadaan dimana proyek tidak mendapat keuntungan dan tidak menderita
kerugian. Analisa BEP secara umum dapat memberi informasi kepada pemimpin
bagaimana pola hubungan antara volume penjualan, biaya dan keuntungan yang
akan diperoleh pada penjualan tertentu. Proyek dinyatakan memperoleh
keuntungan apabila nilai penjualannya diatas nilai BEP (Burhanuddin, 2007).
Umar (2007) menyatakan bahwa BEP dapat diketahui melalui rumus berikut:
BEP unit =
24
BEP harga =
Keterangan:
FC = fixed cost (biaya tetap)
VC = variable cost (biaya variabel)
p = price (harga jual produk)
P = total pendapatan
25
III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian tahap I yaitu pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam yang
dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2016 dan penelitian tahap II
yaitu penggandaan skala serbuk kaldu instan ceker ayam yang dilakukan pada
bulan Februari hingga Juni 2017. Pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam
skala laboratorium dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Analisa Pangan serta
Laboratorium Rekayasa dan Teknologi Pengolahan Pangan, Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Sedangkan
penggandaan skala serbuk kaldu instan ceker ayam akan dilakukan di IFTC
Department dan QA&P Department di salah satu industri yang bergerak di
bidang jasa pembuatan produk bumbu penyedap makanan.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ceker ayam ras pedaging
yang diperoleh dari Hypermart Malang Plaza dan dari pabrik. Bahan pelengkap
serbuk kaldu yang digunakan pada skala laboratorium adalah dekstrin, gula,
bawang putih, bawang bombay dan air. Sedangkan bahan pelengkap yang
digunakan pada skala pilot plant adalah maltodekstrin, gula, garam, garlic
granule, shallot granule, fancy onion powder, merica, chicken fat dan air yang
diperoleh dari pabrik.
Bahan yang digunakan dalam pengujian serbuk kaldu instan ceker ayam
antara lain bahan dengan kemurnian p.a yaitu NaOH (Merck), H2SO4 pekat
(Merck), HCl 0,1 N, asam borat, indikator PP, methyl red, tablet kjeldahl,
petroleum eter, standar glucurunolactone (Sigma), sodium tetraborat (Sigma),
ethanol absolute, larutan carbazole (Sigma), glucosamine kit assay (Megazyme),
aquades, hydrobatt dan es batu yang diperoleh dari Krida Tama Persada,
Panadia dan Makmur Sejati.
26
3.2.2 Alat
1. Alat yang digunakan pada pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam pada
skala laboratorium adalah kompor, panci presto, pisau, loyang, solet, blender
kering (Maspion), pengering kabinet manual suhu ± 60˚C dan ayakan.
2. Alat yang digunakan dalam pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam pada
skala pilot plant adalah mesin autoklaf, chopper, reo kneader, tray oven,
crusher, speed kneader, fluidize, mesin packing, solet, loyang dan ayakan.
3. Alat yang digunakan untuk analisa serbuk kaldu instan ceker ayam adalah
timbangan analitik (Mettler AE 160), gelas arloji, labu ukur 10 ml dan 100 ml
merk Pyrex, erlenmeyer 100 ml merk Pyrex, tabung reaksi, rak tabung reaksi,
kuvet, pipet tetes, pipet volume, bulb, oven kering (Binder), lemari asam,
kompor listrik (Maspion), tanur, soxhlet, freezer, spektrofotometer UV-Vis
(Shimadzu) dan ice bath.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penelitian Tahap I (Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam
Skala Laboratorium)
Penelitian pada tahap pertama yaitu pembuatan serbuk kaldu instan ceker
ayam skala laboratorium menggunakan modifikasi formulasi perlakuan terbaik
dari pembuatan bumbu instan ceker ayam penelitian Milala (2014). Modifikasi
dilakukan pada bumbu-bumbu yang digunakan yang juga didasarkan pada hasil
uji organoleptik yang telah dilakukan dengan 30 orang panelis tidak terlatih.
Pada skala pilot plant, proses perebusan ceker ayam dilakukan dengan
menggunakan mesin autoklaf, sehingga pada skala laboratorium diperlukan
pengkondisian proses pengolahan agar produk yang dihasilkan dapat serupa.
Pengkondisian proses pengolahan dilakukan menggunakan metode pressure
cooking. Formulasi ancangan penelitian tahap I dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Formulasi Rancangan Penelitian Tahap I
Bahan Persentase (%)
Bubuk ceker ayam Bubuk bawang putih Bubuk bawang bombay Garam Dekstrin
60 10 10 18 2
27
3.3.2 Penelitian Tahap II (Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam
Skala Pilot Plant)
3.3.2.1 Formulasi Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam
Serbuk kaldu instan ceker ayam skala pilot plant memiliki perbedaan formulasi
dengan skala laboratorium. Reformulasi resep dilakukan untuk memperoleh
serbuk kaldu instan yang lebih baik dari segi citarasa dengan melakukan
penyesuaian terhadap bahan-bahan yang digunakan pada pabrik. Hal ini
didasarkan pada klaim serbuk kaldu instan yang merupakan produk fungsional,
dimana artinya produk dapat dikonsumsi dalam diet sehari-hari selayaknya
bahan makanan lainnya. Sehingga penerimaan konsumen dari sisi citarasa
merupakan hal yang penting. Dalam menentukan formulasi terpilih, dilakukan trial
error yang didasarkan pada formulasi skala laboratorium dan formulasi kaldu
instan komersil. Pengujian trial error ini hanya sebatas pada pengujian
organoleptik. Rancangan penelitian tahap II dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Formulasi Rancangan Penelitian Tahap II
Bahan Persentase (%)
Bubuk ceker ayam Garlic granule Bubuk bawang bombay Shallot granule Garam Gula Merica Chicken fat Air
60 3,2 1,5 3
22,5 8,5 2
0,8 0,6
Untuk filler yang digunakan pada skala pilot plant ini adalah maltodekstrin
yang dicampurkan sebanyak 20% pada saat pembuatan bahan baku bubuk
ceker ayam. Pada formulasi ini tidak ditambahkan bahan penguat rasa ataupun
flavor karena tujuan produk yang merupakan produk fungsional, sehingga hanya
digunakan bumbu-bumbu dasar tanpa penambahan MSG.
3.3.2.2 Optimasi Suhu dan Lama Waktu Pengeringan Serbuk Kaldu Instan
Ceker Ayam
Proses pengeringan dipilih sebagai proses yang dioptimasi karena pada
pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam, pengeringan merupakan kondisi
kritis dimana apabila proses tidak optimum maka akan memengaruhi karakteristik
28
fisik produk. Penentuan suhu dan lama waktu pengeringan didasarkan pada
penelitian sebelumnya dan melalui pertimbangan kondisi proses pada skala pilot
plant. Penelitian optimasi pengeringan serbuk kaldu instan ceker ayam disusun
dan dirancang dengan menggunakan Respon Surface Methodology-Central
Composite Design. Faktor yang dikaji adalah suhu dan lama waktu pengeringan.
Rancangan penelitian pada tahap kedua dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Rancangan Penelitian Tahap II
Std Run Factor 1 A: Suhu
(C)
Factor 2 B: Lama waktu
(menit)
Response 1 Kadar air (%)
Response 2 Kadar CS (%)
1 1 55.00 10.00 2 3 65.00 10.00 3 9 55.00 12.00 4 2 65.93 12.00 5 8 52.93 11.00 6 4 67.07 11.00 7 13 60.00 9.59 8 11 60.00 12.41 9 7 60.00 11.00 10 5 60.00 11.00 11 6 60.00 11.00 12 10 60.00 11.00 13 12 60.00 11.00
Keterangan: Hasil Rancangan Penelitian menggunakan program Design Expert 7.1.5
3.3.3 Verifikasi Hasil Optimum
Verifikasi merupakan tindakan pengecekan kesesuaian antara hasil analisa
dan respon. Suhu dan lama waktu pengeringan serbuk kaldu instan ceker ayam
yang optimum akan ditunjukkan dengan kadar air yang rendah dan kadar
kondroitin sulfat yang tinggi. Kondisi optimum didapatkan dari hasil analisa data
penelitian utama. Proses verifikasi dilakukan dengan membuat kembali serbuk
kaldu instan ceker ayam menggunakan suhu dan lama waktu pengeringan
optimum yang telah didapat. Sampel hasil verifikasi dilakukan analisa kadar air
dan kadar kondroitin sulfat, lalu dicocokkan dengan prediksi hasil optimasi.
Langkah terakhir yaitu analisa produk meliputi kadar air, protein, lemak, abu,
karbohidrat, glukosamin, kondroitin sulfat, warna, tingkat kelarutan, daya serap
uap air, FFA dan peroksida pada serbuk kaldu instan tersebut serta
dibandingkan dengan produk serbuk kaldu instan ceker ayam pada skala
laboratorium.
29
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Laboratorium
(modifikasi Milala, 2014)
1. Sortasi dan Pressure Cooking
Ceker ayam yang telah dipotong kukunya dibersihkan dari kotoran yang
menempel dengan menggunakan air mengalir agar diperoleh bahan baku yang
bersih dan baik. Ceker dimasak dengan metode pressure cooking selama 1 jam
± 2 menit agar tulang rawan dapat dengan mudah dipisahkan dari tulang utama.
2. Penggilingan basah dan Pemotongan Rempah-Rempah
Setelah dimasak, seluruh bagian ceker ayam yang dapat dimakan dipisahkan
dari tulang utamanya dan kemudian digiling. Penggilingan pada ceker yang
masih semi-basah bertujuan untuk memperluas permukaan dan meningkatkan
keseragaman ceker agar mempercepat proses pengeringan. Rempah-rempah
berupa bawang putih dan bawang bombay yang telah dibersihkan kemudian
dipotong menjadi ukuran yang sangat kecil.
3. Pengeringan
Pengeringan dilakukan menggunakan oven kabinet suhu 60±5oC selama 12
jam ± 5 menit dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air pada ceker ayam.
Sedangkan rempah-rempah yang telah dipotong juga dikeringkan dengan
menggunakan oven kabinet suhu 60±5oC selama 6 jam ± 5 menit. Pengurangan
kadar air bertujuan untuk mempermudah proses penggilingan dan pengayakan.
4. Penggilingan kering
Penggilingan kering menggunakan blender kering bertujuan untuk
memperoleh bubuk ceker yang seragam dan bertekstur halus. Hasil dari rempah-
rempah yang telah dikeringkan juga digiling sampai halus.
5. Pencampuran dan Pengeringan
Rempah-rempah yang telah digiling kemudian dicampurkan dengan garam,
dekstrin dan bubuk ceker ayam yang telah diperoleh. Pada proses pencampuran
ini juga ditambahkan sedikit air hingga campuran kalis karena bahan-bahan tidak
dapat tercampur sempurna tanpa penambahan air. Kemudian campuran
dikeringkan menggunakan oven kabinet 60±5oC selama 6 jam ± 5 menit.
30
6. Penghalusan dan Pengayakan
Tahap terakhir dari proses pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam adalah
penghalusan dan pengayakan dengan ayakan 40 mesh agar diperoleh serbuk
kaldu instan dengan tekstur dan tingkat keseragaman yang baik.
3.4.2 Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Pilot Plant
Terdapat perbedaan kondisi antara skala laboratorium dengan skala pilot
plant yang terletak pada kondisi proses, volume produksi, serta bahan dan
peralatan yang digunakan. Volume produksi maksimal serbuk kaldu instan ceker
ayam pada skala laboratorium sebanyak 100 gram, sedangkan pada skala pilot
plant diperbesar 5 kali lipat menjadi 500 gram. Penentuan volume produksi 500
gram disesuaikan dengan kapasitas alat dan kondisi proses yang ada pada skala
pilot plant, dimana volume produksi tersebut merupakan jumlah yang biasa
digunakan oleh pabrik saat melakukan development terhadap suatu produk.
Pada skala laboratorium, peralatan yang digunakan sangat sederhana dengan
kapasitas kecil seperti panci presto, blender kering, kompor gas dan solet. Pada
skala pilot plant, peralatan yang digunakan memiliki kapasitas yang lebih besar
dan cara pengoperasiannya tidak sepenuhnya dilakukan secara manual.
Peralatan yang digunakan pada skala pilot plant yaitu autoklaf, chopper, reo
kneader, tray oven, crusher, speed kneader dan fluidize. Masing-masing alat
memiliki kapasitas antara 3 hingga 5 kg. Perbedaan kondisi yang mencolok
adalah proses pemasakan dengan steam atau uap panas dan pengeringan
serbuk kaldu yang menggunakan sistem angin yang ditiupkan pada bahan yang
dikeringkan. Selain itu, penambahan filler dilakukan saat pembuatan bahan baku
dikarenakan rendahnya yield yang dihasilkan akibat banyak bahan yang hilang
selama proses yang disebabkan karakteristik ceker yang lengket. Proses
pembuatan serbuk kaldu ceker pada skala pilot plant adalah sebagai berikut:
1. Sortasi dan Perebusan
Ceker ayam dalam bentuk beku dibersihkan dengan air mengalir agar
diperoleh bahan baku yang bersih dan baik. Ceker kemudian dimasak
menggunakan autoklaf dengan temperatur dan tekanan uap tinggi. Proses
pemasakan menggunakan autoklaf juga berfungsi sebagai tahap sterilisasi untuk
membunuh mikroba yang merugikan kesehatan seperti Salmonella. Proses
pemasakan menggunakan autoklaf dilakukan selama 45 menit.
31
2. Pemisahan Daging dari Tulang dan Penggilingan
Proses pemisahan ceker dari tulang utama dilakukan secara manual dengan
tangan. Proses penggilingan bertujuan untuk mendapatkan ukuran bahan yang
lebih kecil dan seragam menggunakan chopper dengan screen kecil.
3. Pemasakan dengan Uap Panas/Steam dengan mesin Reo Kneader
Proses pemasakan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan, sehingga
waktu untuk pengeringan bahan baku dapat lebih diefisienkan. Proses
pemasakan dilakukan selama 45 menit ± 15 detik dengan tekanan 1 atm. Selama
proses pemasakan, tekanan dijaga agar stabil.
4. Pengeringan dan Penggilingan
Proses pengeringan pada skala pilot plant dipisahkan menjadi 2 tahap,
dimana diantara kedua proses pengeringan terdapat proses penggilingan yang
bertujuan untuk memperkecil luas permukaan sehingga air pada bahan dapat
diuapkan secara maksimal. Selain itu, penggilingan bertujuan untuk mengurangi
kandungan lemak pada bahan, dimana sebagian minyak akan keluar melalui
chopper. Pengeringan pertama dilakukan selama 10 jam ± 5 menit pada suhu
60oC, sedangkan pengeringan kedua dilakukan selama 4 jam ± 5 menit pada
suhu yang sama. Setelah proses pengeringan kedua ini, diperoleh ceker ayam
yang lebih kering yang kemudian digiling kembali untuk membentuk bubuk.
5. Pencampuran dengan Filler
Setelah diperoleh bubuk ceker ayam, 20% maltodekstrin ditambahkan
sebagai filler untuk melindungi senyawa pada bahan yang tidak tahan terhadap
panas, misalnya kondroitin sulfat. Selain itu, penambahan maltodekstrin juga
berfungsi untuk meningkatkan rendemen dan tingkat kecerahan.
6. Penghalusan
Dalam proses ini, 60% bubuk ceker ayam; 8,5% gula; 1,5% fancy onion
powder; 3,2% garlic granule; 3% shallot granule dan 0,5% merica dicampur
menjadi satu dan kemudian dihaluskan untuk membentuk butiran atau granula.
7. Pencampuran
Pertama-tama garam dimasukkan kedalam mesin speed kneader dan
ditambahkan air dengan suhu 60±5oC sebanyak 0,6% serbuk kaldu, lalu
32
dicampur selama 30 detik. Kemudian ditambahkan chicken fat dengan suhu
60±5oC sebanyak 0,8% dan dicampur hingga detik ke-90. Proporsi air dan
chicken fat yang digunakan adalah berat per berat, dimana penimbangan
dilakukan pada suatu wadah. Setelah 1 menit 30 detik, barulah ditambahkan
bahan-bahan yang sebelumnya telah dihaluskan dan dicampur hingga 4 menit.
8. Pengeringan
Proses pengeringan berfungsi untuk menurunkan kadar air dalam produk,
sehingga dapat menurunkan cemaran mikroba. Proses pengeringan skala pilot
plant dilakukan menggunakan fluidize dengan lama waktu pengeringan berkisar
antara 9,59 hingga 12,41 menit dan suhu pengeringan berkisar antara 52,93oC
hingga 67,07oC. Setelah proses pengeringan selesai, dilanjutkan dengan proses
cooling menggunakan alat yang sama dengan suhu 45oC selama 9 menit.
9. Pengayakan
Proses pengayakan dilakukan menggunakan ayakan 2 mm (10 mesh) yang
bertujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk kaldu instan ceker ayam. Pada
proses ini, bagian serbuk kaldu oversize dapat dipisahkan sehingga diperoleh
serbuk kaldu dengan tingkat keseragaman ukuran yang baik.
3.5 Pengamatan Penelitian
Pada penelitian ini, pengamatan dan analisa yang diamati meliputi:
a. Kadar air (AOAC, 2000)
b. Kadar protein (AOAC, 2000)
c. Kadar lemak (AOAC, 1999)
d. Kadar abu (AOAC, 2000)
e. Kadar karbohidrat (AOAC, 2000)
f. Kadar glukosamin (Tsai et al., 2013)
g. Kadar kondroitin sulfat (Bitter and Muir, 1962)
h. Daya serap uap air (Yuwono dan Susanto, 1998)
i. Tingkat kelarutan (Yuwono dan Susanto, 1998)
j. Kecerahan warna (Yuwono dan Susanto, 1998)
k. FFA (AOCS, 1998)
l. Bilangan peroksida (IDF, 2007)
33
Selain itu, dilakukan pula analisa kelayakan finansial untuk rencana usaha
pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam yang meliputi:
a. Harga Pokok Produksi (HPP) (Idham et al., 2011)
b. Net Present Value (NPV) (Gray et al., 2007)
c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) (Gray et al., 2007)
d. Internal Rate of Return (IRR) (Ibrahim, 2009)
e. Payback Period (PP) (Umar, 2007)
f. Break Event Point (BEP) (Umar, 2007)
3.6 Analisa Data
Data hasil pengamatan respon optimasi dianalisa menggunakan Respon
Surface Methodology-Central Composite Design dan diolah dengan program
Design Expert DX 7.1.5. Pengolahan data menggunakan program ini meliputi:
1. Analisa pemilihan model
2. Analisa ragam (ANOVA)
3. Penentuan kondisi optimum
Kemudian hasil analisa produk akhir dan data organoleptik penelitian
pendahuluan diolah menggunakan Microsoft Excel, sedangkan untuk
membandingkan karakteristik produk skala laboratorium dan skala pilot plant
menggunakan uji T (paired t-test) dengan program Minitab 16.2.1.
34
3.7 Diagram Alir Penelitian
3.7.1 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Ceker Ayam Skala Laboratorium
Gambar 3.1 Proses pembuatan bubuk ceker ayam skala laboratorium (modifikasi Milala,
2014)
Dikeringkan menggunakan oven kabinet pada suhu
60±5oC selama 12 jam ± 5 menit
Dihaluskan menggunakan blender kering
Bubuk Ceker Ayam 113,7 g
Ceker ayam 1 kg
Dibersihkan sampel dari bahan pengotor dengan air
mengalir
Direbus dengan pressure cooker selama 1 jam ± 2 menit
Dipisahkan seluruh bagian ceker ayam yang dapat
dimakan dari tulang utama
Dihaluskan
Seluruh bagian ceker yang dapat dimakan
Analisa:
Rendemen
Kimia: Kadar air
Kadar protein Kadar lemak Kadar abu
Kadar karbohidrat Kadar glukosamin
Kadar kondroitin sulfat
35
3.7.2 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam Skala Laboratorium
Gambar 3.2 Proses pembuatan serbuk kaldu instan ceker ayam skala laboratorium
(modifikasi Milala, 2014)
Rempah-rempah (bawang putih dan bawang bombay)
Dibersihkan dari bahan pengotor dengan air mengalir
Dipotong rempah-rempah menjadi bagian yang lebih kecil
Dikeringkan menggunakan oven kabinet pada suhu 60±5oC
selama 6 jam ± 5 menit
Digiling
Bubuk bumbu kaldu instan
Dihaluskan dan diayak 40 mesh
Bubuk ceker 60% Garam 18% Dekstrin 2%
Air hingga campuran kalis
Ditimbang dengan proporsi masing-masing 10%
Serbuk Kaldu Instan Ceker Ayam
Dikeringkan dengan oven kabinet pada
suhu 60±5oC selama 6 ja