Post on 22-Sep-2020
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM BUKU GELANDANGAN DI KAMPUNG SENDIRI
KARYA EMHA AINUN NADJIB
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
LUTFI ISNAN ROMDLONI
NIM. 23010150361
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
i
ii
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM BUKU GELANDANGAN DI KAMPUNG SENDIRI
KARYA EMHA AINUN NADJIB
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
LUTFI ISNAN ROMDLONI
NIM. 23010150361
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Hidup saya yang hanya satu kali ini dengan serius saya pergunakan untuk
memperbanyak sahabat, dari yang muda, anak-anak, orang tua, orang miskin,
orang pangkat, orang biasa, bahkan jin dan makhluk-makhluk lain, pokoknya
siapa saja. Itu saya pergunakan untuk meningkatkan kadar dan kualitas cinta
kasih kemanusiaan saya, sembari saya manfaatkan untuk mengikis rasa benci
dihati saya” (Emha, 2018: 30).
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan izin Allah Swt. skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah
membantu mewujudkan mimpiku:
1. Ayahanda Supomo dan Ibunda Warinah yang telah memberikan mahkota kasih
sayangnya kepadaku sejak diriku kecil tak mengerti apa-apa hingga kini aku
mengerti makna hidup.
2. Kakaku tercinta Septia Hidayah yang selalu mendukung dan memberikan
semangat.
3. Guru-guruku yang telah membagikan ilmunya kepadaku sehingga aku menjadi
manusia yang mengerti banyak hal.
4. Sahabat-sahabat manusia kontrakan yang senantiasa menemaniku selama
mengerjakan skripsi maupun memberi motivasi untuk segera
menyelesaikannya.
5. Sahabat-sahabat PAI angkatan 2015. Semoga dimanapun kalian berada, selalu
mengamalkan ilmunya dengan tulus dan ikhlas.
6. Sahabat-sabahat Gerakan Jum‟at Berbagi Salatiga maupun GJB FTIK IAIN
Salatiga, FKMB Salatiga, UKM LDK Fathir Ar-Rasyid, teman-teman maiyah
salatiga yang telah mengajari dan memberikan banyak pengalamannya dalam
berorganisasi sehingga aku tidak menjadi mahasiswa yang hanya aktif di
bidang akademik namun juga dapat aktif di organisasi.
7. Teman Fatamorganaku senantiasa menemani, memberikan semangat, dan
senyuman di setiap hari-hariku.
viii
KATA PENGANTAR
نٱللبسم ٱلرحيمٱلرحم
Alhamdulillahirabbil‟alamin penulis ucapkan sebagai rasa syukur ke
hadirat Allah Swt. atas segala nikmat yang tak terhitung dan rahmat-Nya yang
tiada henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan junjungan kita Nabi
Muhammad Saw. beliaulah suri tauladan bagi seluruh umat manusia,
penyempurna akhlak yang mulia, dan pemimpin yang bijaksana bagi seluruh alam
semesta.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
ada bantuan, dorongan, serta bimbingan dari pihak-pihak tertentu yang terkait,
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi-informasi yang
dibutuhkan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga harus penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga
2. Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK)
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si. selaku Ketua Program Pendidikan Agama Islam (PAI)
4. Bapak Drs. Bahroni, M.Pd, selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan arahan, bimbingan dan motivasi selama menyelesaikan skripsi.
ix
5. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen IAIN Salatiga yang tidak bisa saya sebutkan
satu-satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi
mahasiswanya.
6. Simbah Emha Ainun Nadjib dan tim redaksi@caknun.com yang telah
mengizinkan saya untuk meneliti buku Gelandangan di Kampung Sendiri
7. Keluarga tercinta yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih
sayang dan memberikan bantuan moril dan materil maupun spiritual.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga segala bantuan yang
diberikan mendapat balasan dan Ridho Allah Swt. serta tercatat dalam bentuk
amalan ibadah. amin.
Semoga jasa baik yang diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan
yang lebih berarti dari Allah Swt. penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karenanya kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
kalangan terutama bagi penulis sendiri. Aamiin Yaa Robbal „Alamiin.
Salatiga, 24 Juli 2019
Penulis
Lutfi Isnan Romdloni
NIM. 23010150361
x
ABSTRAK
Romdloni, Lutfi Isnan. 2019. 23010150361. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
dalam Buku Gelandangan di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib.
Skripsi. Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs.
Bahroni M.Pd.
Kata kunci: Nilai-Nilai Pendidikan Karakter, Buku Gelandangan di Kampung
Sendiri.
Pendidikan karakter mempunyai posisi yang strategis dan dibutuhkan
dalam membangun karkter seseorang agar terbentuknya karakter positif sesuai
agama, bangsa dan negara. Salah satunya cara membangun karakter adalah
dengan membaca buku ataupun karya sastra. Buku Gelandangan di Kampung
Sendiri adalah buku banyak memberikan inspirasi bagi kehidupan. Karena
didalamnya banyak terkandung nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat
memotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan
karakter dalam novel buku Gelandangan di Kampung Sendiri karya Emha Ainun
Nadjib relevansinya di era modern. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research), sumber data perimer yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah buku Gelandangan di Kampung Sendiri karya
Emha Ainun Nadjib dan sumber data sekunder yang peneliti gunakan diperoleh
dari pengumpulan informasi dan data dari buku-buku, karangan ilmiah, majalah
ataupun artikel yang relevan dalam penelitian ini. Pendekatan dalam penelitian
ini adalah pendekatan karya sastra, yaitu pendekatan pragmatik. Pengumpulan
datanya menggunakan metode dokumentasi, analisis data yang digunakan dalam
skripsi ini adalah analisis isi (content analysis).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan
karakter yang terkandung dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri karya
Emha Ainun Nadjib meliputi: religius, jujur, toleransi, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat dan komunikatif, cintai kedamaian, gemar
membaca, peduli lingkungan dan sosial, bertanggung jawab. (2) Relevansi nilai-
nilai pendidikan karakter dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri Karya
Emha Ainun Nadjib dalam kehidupan modern ini yaitu buku ini sangat relevan
dengan pendidikan karakter di Indonesia karena di dalam buku Gelandangan di
Kampung Sendiri karya Emha Ainun Nadjib terdapat nilai edukasi khususnya
nilai-nilai pendidikan karakter.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN BERLOGO ............................................................................... i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................. v
HALAMAN MOTTO ................................................................................... vi
KATA PERSEMBAHAN ............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB. I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 8
E. Kajian Pustaka ........................................................................... 9
F. Metode Penelitian ...................................................................... 13
G. Definisi Oprasional ..................................................................... 14
H. Sistematika Pembahasan ............................................................ 16
BAB. II. KAJIAN TEORI
A. Pengertian Nilai ......................................................................... 18
B. Pendidikan Karakter .................................................................. 20
xii
1. Pengertian Pendidikan Karakter .......................................... 20
2. Sejarah Pendidikan Karakter ............................................... 22
3. Prinsip Pendidikan Karakter ................................................ 24
4. Ciri Dasar Pendidikan Karakter ........................................... 24
5. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter .......................................... 25
6. Tujuan Pendidikan Karakter ................................................ 48
7. Landasan Pendidikan Karakter ............................................ 49
BAB. III. GAMBARAN UMUM BUKU GELANDANGAN DI
KAMPUNG SENDIRI
A. Biografi Emha Ainun Nadjib ..................................................... 55
1. Sejarah Hidup ......................................................................... 55
2. Karya Emha Ainun Nadjib ..................................................... 57
3. Prestasi Emha Ainun Nadjib .................................................. 58
4. Karakteristik Buku Karya Emha Ainun Nadjib ..................... 59
5. Pemikiran Emha Ainun Nadjib .............................................. 60
B. Buku Gelandangan di Kampung Sendiri ................................... 61
1. Profil Buku ............................................................................. 61
2. Gaya Bahasa ........................................................................... 62
3. Tema Pembahasan Buku Gelandangan di Kampung Sendiri. 62
4. Amanat ................................................................................... 76
5. Sinopsis .................................................................................. 78
xiii
BAB. IV. PEMBAHASAN
A. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Gelandnagan
di Kampung Sendiri ................................................................... 79
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Buku
Gelandangan di Kampung Sendiri di Kehidupan Modern ........ 99
BAB. V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 103
B. Saran-Saran ................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan.
Pendidikan adalah faktor utama dalam membentuk pribadi manusia. Karna
sampai kapanpun pendidikan masih menjadi sarana yang paling efektif dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Maju tidaknya suatu bangsa dapat dilihat
dari perkebangan pendidikan yang berlangsung dan mewarnai perjalanan
bangsanya. Pendidikan sering merupakan usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan kebudayaan.
Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia,
sebab pendidikan dapat mendorong peningkatan sumber daya manusia.
Manusia senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, baik yang dilakukan
terhadap orang lain maupun dirinya sendiri (Sukardjo dan Ukim, 2009: 1).
Menurut Hafidz dan Kastolani (2009: 6), pendidikan dan pengajaran
merupakan tema urgen dan aktual yang menjadi perhatian masyarakat
berbangsa secara umum. Dengan pendidikan dan pengajaran, peradaban akan
mengalami kemajuan, masyarakat akan berkembang, dan terbentuklah suatu
generasi. Maka dari itu pendidikan haruslah terus di bangun dan
dikembangkan agar dari proses pelaksanaanya menghasilkan generasi yang
diharapkan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah
2
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Helmawati, 2013: 13).
Dengan demikian maka pendidikan memegang peranan penting dalam
segala aspek kehidupan baik dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup
masyarakat luas. Dalam hal ini juga, pendidikan dapat dijadikan sebagai tolok
ukur kemajuan dan kualitas suatu bengsa, sehingga dapat dikatakan bahwa
salah satu cara memajukan suatu bangsa adalah dengan pembaharuan
terhadap sistem pendidikannya.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokraris dan bertanggung jawab
(Dharma, 2011:6).
Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu
desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sudah dimulai, dan era
globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut
merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh
bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan tersebut adalah
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya.
3
Oleh karena itu peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting
yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh.(Masnur. 2015: 35)
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena
kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Dan sekarang
pendidikan di Indonesia sedang berlangsung dan dikembangkan di pada
sekolah-sekolah di Indonesia saat ini adalah kurikulum 2013 yang
menekankan pada pendidikan karakter peserta didik. Hal ini bertujuan agar
generasi bangsa Indonesia memliliki karakter-karakter tangguh yang
kedepannya diharapkan menjadi tonggak bangsa dan ikut serta memjukan
bangsa.
Baru-baru ini terjadi kasus karakter yang memprihatinkan salah
satunya adalah kasus Audrey. Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman
Wisnu Widjanarko mengatakan, kasus pengeroyokan terhadap Audrey yang
masih SMP mengingatkan pentingnya pendidikan karakter pada generasi
muda. Kasus ini sebuah pekerjaan rumah bagi semua pihak agar kita semua
terlibat dan berperan aktif untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan
membudayakan pentingnya karakter sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dalam pendidikan, khususnya generasi muda. (https://www.liputan6.com
/regional/read/3938381/kasus-audrey-mengingatkan-pentingnya-pendidikan-
karakter-kepada-anak?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_refe
rrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F di akses pada 23 Mei 2019)
Salah satu alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan salah
satunya adalah dengan menanamkan pendidikan karakter dan penanaman
4
serta pengenalan terhadap nilai-nilai agama sejak dini. Upaya pembentukan
karakter yang sesuai dengan budaya bangsa ini seyogyanya bukan hanya teori
di dalam bangku sekolah saja, melainkan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari seperti halnya kerja keras, toleran, bertanggungjawab,
religius dan gemar membaca buku, karya sastra atau yang lainnya
Pendidikan karakter mempunyai posisi yang strategis dan dibutuhkan
dalam membangun karkter seseorang agar terbentuknya karakter positif
sesuai agama, bangsa dan negara. Implementasi pendidikan karakter dapat
dilakukan secara terintegrasi dalam pembelajaran. Artinya pengenalan dan
penginternalisasian nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam perilaku peserta
didik dapat diterapkan melalui peroses pembelajaran baik di dalam maupun di
luar kelas dan pada semua mata pelajaran. Oleh karena itu di dalam proses
pembelajaran selain memiliki tujuan untuk menguasai materi yang
ditargetkan juga dimaksudkan untuk mengenalkan, menyadarkan dan
menjadikan butir-butir nilai karakter terimplementasikan pada peserta didik
dalam kehidupan sehari-hari. Materi pendidikan karakter tidak lain dan tidak
bukan adalah nilai-nilai moral baik yang bersifat universal maupun lokal
kultural, baik moral kesusilaan maupun kesopanan. Selain itu dalam kitab
suci Al-Qur‟an Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 97:
5
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl:
97)
Ayat di atas dalam tafsir Quraish Shihab ditafsirkan bahwa siapa saja
yang berbuat kebajikan di dunia, baik laki-laki maupun wanita, didorong oleh
kekuatan iman dengan segala yang mesti diimani, maka tentu akan
memberikan kehidupan yang baik pada mereka di dunia, suatu kehidupan
yang tidak kenal kesengsaraan, penuh rasa lega, kerelaan, kesabaran dalam
menerima cobaan hidup dan dipenuhi oleh rasa syukur atas nikmat Allah.
Dan di akhirat nanti, akan memberikan balasan pada mereka berupa pahala
baik yang berlipat ganda atas perbuatan mereka di dunia. (https://tafsirq
.com/16-an-nahl/ayat-97#tafsir-quraish-shihab)
Dengan tafsir ini dapat diambil penalaran bahwa di dunia harus lah
berbuat baik ataupun berakhlak baik, atau dalam hal ini yaitu berkarakter baik
dan penuh rasa syukur terhadap Allah.
Dalam hal nilai-nilai pendidikan karakter tidak harus melalui lembaga
pendidikan formal seperti sekolah saja, akan tetapi dalam buku-buka
bacaanpun terdapat banyak sekali nilai-nilai pendidikan kerakter yang bisa
dipetik karna membaca atau gemar membaca sendiri juga termasuk dalam
pendidikan karakter, dan contoh salah satunya bukunya adalah dalam buku
Gelandangan di Kampung Sendiri karya Emha Ainun Nadjib.
Emha Ainun Nadjib atau sering disapa dengan panggilan Cak Nun ini
merupakan budayawan yang sudah sering terdengar namanya sejak dulu,
6
dengan ilmu dan pengalamannya malalui karyanya memberikan bimbingan
dan pengarahan terhadap mayarakat agar menjadi individu yang beriman,
bertakwa, bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, memiliki karakter yang
baik dan mengerti bagaimana seharusnya dia bersikap dalam menghadapi
segala peristiwa yang dialaminya, dialami masyarakatnya, serta peristiwa-
peristiwa yang terjadi peradaban peradaban di dunia. Salah satu karya beliau
yang patut dan menarik perhatian peneliti untuk diteliti karena memuat nilai-
nilai pendidikan karakter adalah bukunya yang berjudul Gelandangan di
Kampung Sendiri yang menceritakan mengenai karakter bangsa indonesia
terutama dari pengaduan-pengaduan orang pinggiran terhadap pemerintahan
di Indonesia Dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini berisi
mengenai beberapa pengalaman Emha Ainun Nadjib bertemu dengan
berbagai rakyat di Indonesia dan bagaimana beliau menanggapi keluhan
masyarakat kepada beliau.
Ada banyak pembahasan menarik dari dalam isi buku tersebut, salah
satunya dengan judul topik “Bayi, kok jdi DPR”. Topik ini menceritakan
warga yang sebal terhadap kasus pemberitaan yang menceritakan tentang
kasus suap menyuap dan suap di kalangan anggota DPR.
Kenapa bisa bayi kok disamakan dengan DPR sang wakil rakyat yg
terhormat itu, ya mungkin di atas kertas seperti itu. saya tertarik dengan judul
seperti ini, sudah menjadi rahasia publik mengenai permasalah yang sering
menyangkut di dalam lingkup DPR. “Bayi , kok jdi DPR” berisikan mengenai
suap menyuap di kalangan DPR yang sering di dengung dengungkan di kabar
7
berita, yang biasa disuapi kan hanya bayi. Lah kok bayi bisa menjadi anggota
DPR, sindiran yang lumayan tajam mendengarnya. (http://edisibelajarnulis.
blogspot.com/2015/11/contoh-resensi-gelandangan-di-kampung.html di akses
pada 23 Mei 2019)
Jadi penulis berpendapat bahwa buku ini bermuatan kritik karakter
yang ada didalam negeri ini atau kalau dalam buku ini di katakan sebagai
kampung sendiri ini, yaitu karakter yang tercermin dalam kehidupan kita
sehari-hari.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menggali nilai-
nilai pendidikan karakter dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri
karya Emha Ainun Nadjib. Maka dari itu penulis malakukan sebuah
penelitian dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
BUKU GELANDANGAN DI KAMPUNG SENDIRI KARYA EMHA AINUN
NADJIB”. Judul tersebut penulis ambil dengan harapan dapat memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat secara umum dan bagi umat islam khususnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka masalah yang akan
penulis teliti adalah sebagai berikut :
1. Nilai-nilai pendidikan karakter apa saja yang ada dalam buku
Gelandangan di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib?
2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan karakter dalam buku
Gelandangan di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib dalam
kehidupan modern ini?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsiakan nilai-nilai pendidikan karakter dalam buku
Gelandangan di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib.
2. Untuk mendeskripsikan relevansi nilai-nilai pendidikan karakter dalam
buku Gelandangan di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib dalam
kehidupan modern ini.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun secara praktis, antara lain:
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi dunia pendidikan pada umumnya dan khususnya bagi pengembangan
nilai-nilai pendidikan karekter serta menambah wawasan tentang
keberadaan karya-karya tulis yang mengandung pendidikan karakter.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
rujukan bagi para peneliti pendidikan untuk mengembangkan sebuah
konsep pendidikan karakter yang dapat diimplementasikan dalam ranah
pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Selain itu, penelitian ini
dapat dijadikan kontribusi ilmiah sehingga dapat dijadikan referensi untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.
9
E. Kajian Pustaka
Penulis mencoba menelaah penelitian terdahulu untuk dijadikan
sebagai perbandingan dan acuan. Beberapa penelitian yang penulis gunakan
sebagai kajian pustaka di antaranya sebagai berikut:
1. Diyah Idhawati (IAIN Salatiga, 2017)
Judul skripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter yang Terkandung
dalam Novel Anak Rantau Karya Ahmad Fuadi. Skripsi ini dilakukakan
untuk mengetahui pengaruhnya sastra terhadap pendidikan karakter,
bahwa sastra tak sebatas media hiburan saja akan tetapi juga bisa menjadi
media edukasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) Nilai-nilai
pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Anak Rantau antara
lain: Nilai-nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
Yang Maha Esa (religius), nilai-nilai pendidikan karakter dalam
hubungannya dengan diri sendiri (jujur, tanggung jawab, bekerja keras,
disiplin, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu dan gemar membaca), nilai-nilai
Pendidikan Karakter dalam hubungannya dengan sesama (menghargai
prestasi, demokratis, peduli sosial dan bersahabat/komunikaif), nilai-nilai
Pendidikan Karakter Dalam Hubungannya dengan Lingkungan (toleransi),
nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Hubungannya dengan Kebangsaan
(semangat kebangsaan dan cinta tanah air). (2) Relevansi nilai-nilai
pendidikan karakter pada novel anak rantau dengan pendidikan di
Indonesia yang penulis temukan adalah sangat relevan karena nilai-nilai
pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Anak Rantau sesuai
10
dengan Kebijakan Nasional Pembangun Karakter Bangsa tahun 2010-
2025. Skripsi ini sebagai reverensi tambahan untuk penulis. Adapun
persamaan skripsi tersebut dengan skripsi penulis adalah terletak pada
objek penelitian yaitu sama-sama mengkaji pendidikan karakter.
Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian, penulis mengkaji
buku Gelandangan di Kampung sendiri karya Emha Ainun Nadjib.
2. Ahmad Faisol (UIN Maulana Malik Ibrahin Malang, 2015)
Judul skripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel (Study
Tentang Pendidikan Karakter Pada Novel Laskar Pelangi Karya Andrea
Hirata). Skripsi ini meneliti mengenai unsur-unsur pendidikan karakter
yang berpedoman pada nilai agama, budaya, pancasila, dan tujuan
pendidikan nasional. Hasil penelitian menunjukkan metode pendidikan
karakter pada novel Laskar Pelangi adalah; sedikitnya pengajaran,
banyaknya peneladanan, banyak pembiasaan, banyak pemotivasian,
banyak pendekatan aturan. Dan terdapat 18 nilai krakter novel laskar
Pelangi karya Andrea Hirata, di antarnya, nilai religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestai,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial dan tanggung jawab. Skripsi ini sebagai reverensi tambahan
untuk penulis. Adapun persamaan skripsi tersebut dengan skripsi penulis
adalah terletak pada objek penelitian yaitu sama-sama mengkaji
pendidikan karakter. Sedangkan perbedaannya adalah skripsi Ahmad
11
Faisol menitik beratkan kepada unsur-unsur pendidikan karakter yang
berpedoman pada nilai agama, budaya, pancasila, dan tujuan pendidikan
nasional pada novel Laskar Pelangi, sedangkan penulis menitik beratkan
kepada apa saja nilai pendidikan karakter dalam buku Gelandangan di
Kampung sendiri karya Emha Ainun Nadjib.
3. Latifatul Fajriyah (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018)
Judul skripsi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kumpulan Esai
Istriku Seribu Karya Emha Ainun Nadjib. Skripsi ini menyimpulkan
bahwa nilai-nilai pendidikan Islam terkandung dalam esai tersebut adalah
aqidah, nilai, pendidikan akhlak, nilai pendidikan syariah, nilai pendidikan
akal, dan nilai pendidikan jasmani. Nilai pendidikan aqidah dalam
kumpulan esai yang berjudul Istriku Seribu mencakup iman kepada Allah
dan Rasulullah. Sementara itu nilai pendidikan akhlaknya melingkupi adab
terhadap Allah, adab terhadap Rasulullah, adab terhadap sesama manusia,
adab terhadap lingkungan, dan adab terhadap diri sendiri. Sedangkan nilai
pendidikan syariahnya adalah tentang ibadah sebagai ucapan cinta kepada
Allah, perkawinan, pekerjaan, dan tentang hubungan dengan masyarakat.
Adapun nilai pendidikan akalnya adalah terkait belajar sejarah, belajar
pada sorot mata, mengakali setiap peristiwa agar menjadi ilmu, konsep
manajemen, poligami, tafsir, dan paradoks akal. Dan nilai pendidikan
jasmaninya terkait dengan kesehatan mata. Skripsi ini sebagai reverensi
tambahan untuk penulis. Adapun persamaan skripsi tersebut dengan
skripsi penulis adalah sama-sama menggunakan subjek penelitian dari
12
karya Emha Ainun Nadjib. Sedangkan perbedaannya terletak pada objek
yang diteliti dalam skripsi tersebut meneliti mengenai pendidikan Islam
sedangkan penulis meneliti tentang pendidikan karakter.
4. Ida Risqi Afita (IAIN Salatiga, 2018)
Judul skripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Novel Ayahku
(Bukan) pembohong. Skripsi ini mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan
karakter yang terdapat pada novel Novel Ayahku (Bukan) pembohong
diantaranya: Disiplin, kerja keras, peduli, kemandirian, tanggung jawab,
penuh kasih, rasa ingin tahu, santun, kesederhanaan, keikhlasan, dan
kejujuran. Ida Risqi juga menjelaskan ini masih relevan untuk diajarkan
dalam pendidikan era globalisasi saat ini, mengingat kandungan nilai
pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya sejalan dengan pilar-pilar
pendidikan karakter nasional, diantaranya: Disiplin, kerja keras, peduli,
kemandirian, tanggung jawab, penuh kasih, rasa ingin tahu, santun,
kesederhanaan, keikhlasan, dan kejujuran. Skripsi ini sebagai reverensi
tambahan untuk penulis. Adapun persamaan skripsi tersebut dengan
skripsi penulis adalah terletak pada objek penelitian yaitu sama-sama
mengkaji pendidikan karakter. Sedangkan perbedaannya terletak pada
subjek penelitian, penulis mengkaji buku Gelandangan di Kampung
sendiri karya Emha Ainun Nadjib.
13
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian
library research karena dilakukan dengan mencari data atau informasi
riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-
bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan.
Riset Kepustakaan (Library Research) adalah penelitian yang
dilakukan di perpustakaan dimana objek penelitian digali lewat beragam
informasi kepustakaan berupa buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran,
majalah, dan dokumen (Zed, 2004: 89).
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat
diperoleh (Arikunto, 2014: 129). Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Data perimer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah buku Gelandangan di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun
Nadjib.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini adalah data-data yang diperoleh dari pengumpulan informasi dan
data dari buku-buku, karangan ilmiah, majalah ataupun artikel yang
relevan dalam penelitian ini.
14
3. Jenis Pendekatan
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pragmatik,
yaitu penelitian sastra yang berhubungan dengan presepsi pembaca
terhadap teks sastra (Endraswara, 2003: 9). Dimana penulis akan
membaca dan memprsepsikan karya yang diteliti, yaitu buku
Gelandangan di Kampung Sendiri karya Emha Ainun Nadjib.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan
metode dokumentasi. Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan
data dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan
sebagainya (Arikunto, 2014: 201).
5. Metode Analisis Data
Dalam menganalisi data penulis menggunkana metode content
analysis. Content analysis adalah suatu teknik untuk membuat inferensi-
inferensi yang dapat ditiru dan shahih data dengan memperhatikan
konteksnya (Hadi, 1981: 15). Menurut Endraswara (2003:160) analisis isi
(content analisis) yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk
mengungkapakan, memahami dan menangkap pesan karya sastra.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan dalam menafsirkan judul skripsi ini,
maka penulis perlu memberikan definisi atau pengertian pada istilah-istilah
yang penulis gunakan, antara lain sebagai berikut:
15
1. Nilai
Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas
suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna, dihargai
dan dapat menjadi objek kepentingan. Nilai dianggap sebagai “keharusan”
suatu cita yang menjadi dasar bagi keputusan yang diambil oleh
seseorang. Nilai-nilai itu yang menjadi dasar kenyataan yang tidak dapat
dipisahkan atau diabaikan (Sjarkawi, 2015: 29).
2. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-
nilai karakter pada peserta didik yang mengandung komponen
pengetahuan, kesadaran individu, tekad serta adanya kemauan dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, maupun bangsa, sehingga akan
terwujud Insan Kamil (Yulia, 2012: 238).
3. Buku Gelandangan Di Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib.
Buku ini Gelandangan Di Kampung Sendiri ini merupakan buku
karya Emha Ainun Nadjib. Buku ini memaparkan tentang kehidupan
rakyat rakyat kecil yang kurang dipedulikan oleh pemerintahnya. Pada
sinopsis dituliskan bahwa rakyatlah pemilik pembangunan. Tetapi pada
nyata hanya mempunyai kewajiban untuk menaati peraturan yang di buat
oleh pemerintah. Tidak hanya itu dalam buku juga banyak dibahas
16
mengenai keluhan dan curhatan orang-orang kepada Emha Ainun Nadjib
tentang kehidupannya.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh
maka diperlukan sebuah sistematika penulisan yang runtut dari satu bab ke
bab yang lain. Sistematika sendiri memiliki arti sebagai suatu tata urutan
yang saling berkaitan, saling berhubungan serta saling melengkapi. Penulisan
skripsi ini terbagi kedalam 5 bab, adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN memuat latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, definisi
operasional, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI pada bab ini akan diuraikan mengenai,
pengertian nilai, pendidikan karakter, prinsip pendidikan karakter, ciri-ciri
pendidikan karakter,nilai-nilai pendidikan karakter, tujuan pendidikan
karakter, serta landasan pendidikan karakter.
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU GELANDANGAN DI
KAMPUNG SENDIRI Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran
umum buku gelandangan dikampung sendiri, seperti biografi penulis, profil
buku, unsur buku dan sinopsis buku.
BAB IV PEMBAHASAN pada bab ini akan dipaparkan deskripsi
nilai-nilai pendidikan karakter dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri
17
karya Emha Ainun Nadjib, serta relevansin buku Gelandangan di Kampung
Sendiri karya Emha Ainun Nadjib khususnya dalam kehidupan modern ini.
BAB V PENUTUP merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini
yang akan dikemukakan kesimpulan, saran dan penutup.
18
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Nilai
Nilai berasal dari bahasa latin vale‟re yang artinya berguna, mampu
akan, berdaya, berlaku, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang
baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau
sekelompok orang (Adisusilo, 2013: 56). Hal yang sama dikemukakan oleh
Sjarkawi (2015: 29), menurutnya nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere
(bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai
adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan,
berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan. Nilai dianggap
sebagai “keharusan” suatu cita yang menjadi dasar bagi keputusan yang
diambil oleh seseorang. Nilai-nilai itu yang menjadi dasar kenyataan yang
tidak dapat dipisahkan atau diabaikan.
Sedangkan menurut Ghufron (2017: 107), nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu
itu bernilai bararti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
Adapun pengertian nilai menurut Steeman dalam Adisusilo (2013:
56), berpendapat nilai merupakan sesuatu yang memberi makna hidup, yang
memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang
dijunjung tinggi yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai
itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan
tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara niali dan etika.
19
Sementara itu menurut Kalven dalam Adisusilo (2013: 56), nilai
merupakan preferensi yang tercermin dari perilaku sesorang, sehingga
seseorang akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu tergantung pada
sistem nilai yang dipegangnya.
Muhajir (2016: 60), Nilai merupakan sifat yang melekat pada suatu
sistem kepercayaan yang berhubungan dengan subjek yang memberi arti.
Dalam hal ini, subjeknya adalah manusia yang mengartikan dan yang
menyakini.
Sedangkan jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia nilai
diartikan sebagai berikut: (a) Harga (dalam arti taksiran harga), (b) harga
uang (dibandingkan dengan harga uang yang lain), (c) angka kepandaian; biji;
ponten: rata-rata, (d) banyak sedikitnya isi; kadar; mutu, (e) sifat-sifat (hal-
hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, (f) sesuatu yang
menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. (https://kbbi.
kemdikbud.go.id/entri/nilai diakses diakses pada tanggal 10 Juli 2019)
Jadi dari beberapa pengertian nilai di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kegunaan
yang memberi makna hidup, acuan, serta tolok ukur dan tujuan hidup yang
dijunjung tinggi yang tercermin dari perilaku seseorang.
B. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Yulia (2012: 238), pendidikan karakter adalah sebuah
sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik yang
20
mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad serta
adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, maupun
bangsa, sehingga akan terwujud Insan Kamil.
Sedangkan menurut Samani dan Hariyanto berpendapat bahwa
pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta
didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi
hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2014: 45).
Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peseta didik untuk memberi keputusan baik atau buruk, memelihara yang
baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati.
Sementara itu menurut Winton dalam Samani dan Hariyanto (2014:
43), pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru
dan pengaruhnya pada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter
adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk
mengajarkan nilai-nilai kapada para siswanya.
Berbeda lagi dengan pendapat Lickona dalam Samani dan
Hariyanto (2014: 44), Thomas berpendapat pendidikan karakter adalah
upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami,
peduli, dan bertindak dengan landaan inti nilai-nilai etis. Secara sederhana
21
didefinisikan sebagai upaya yang dirancang secara sengaja untuk
memperbaiki karakter siswa.
Selain itu dari pendapat Megawangi dalam Dharma (2012: 5),
pendidikan karakter adalah sebuah usaha mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan kemudian mempraktikkannya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Kemudian menurut Gaffar dalam Dharma (2012: 5), pendidikan
karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk
ditumbuh kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi
satu dalam perilaku kehidupan orang itu.
Sedangkan jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain. (https://kbbi.kemdikbud.go.id/
entri/karakter diakses pada tanggal 10 Juli 2019)
Jadi dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa
pendidikan karakter adalah pendidikan dengan konsep dan sistem
menanamkan nilai-nilai karakter positif pada peserta didik menjadi peserta
didik dapat mengambil keputsan yang bijak sehingga berkarakter baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, maupun
bangsa, sehingga akan terwujud Insan Kamil.
Sedangkan dalam ayat al-Qur‟an yang terkait dengan pendidikan
karakter adalah sebagai berikut:
22
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kita
untuk berlaku atau berperilaku adil dan berbuat kebaikan kepada sesama
serta melarang kita untuk berbuat keji atau kemungkaran dan permusuhan.
2. Sejarah Pendidikan Karakter
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan
baru muncul pada akhir abad-18, dan untuk pertama kalinya dicetuskan
oleh pedadog Jerman F.W. Foester. Terminologi ini mengacu pada sebuah
pendekatan idealis spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan
teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai
transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi
individu maupun bagi sebuah perubahan sosial.
Namun, sebenarnya pendidikan karakter telah lama menjadi bagian
inti sejarah pendidikan itu sendiri. Misalnya dalam cita-cita Paideia
Yunani dan Humanitas Romawi. Pendekatan idealis dalam masyarakat
modern memuncak dalam ide tentang kesadaran Roh Hegelian.
23
Perkembangan ini pada gilirannya mengukuhkan dialektika sebagai sebuah
bagian integral dari pendekatan pendidikan karakter.
Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagia sebuah usaha
untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang
diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf prancis
Auguste Comte. Foster menolak gagasan yang meredusir pengalaman
manusia pada sekadar bentuk murni hidup alamiah (Masnur, 2015: 37).
Sebagian sejarawan yang lain jika di dunia Islam sudah memiliki
konsep mengenai pendidikan karakter, jauh sebelum dicetuskan oleh FW
Foster. Menurut agama Islam, pendidikan karakter bersumber dari wahyu
Allah dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter Islam ini, terbentuk atas dasar
prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan kedamain” sesuai dengan makna
dasar dari makna dasar kata Islam (Wibowo, 2012: 26).
3. Prinsip Pendidikan Karakter
Menurut Zubaedi (2013: 138), prinsip yang digunakan dalam
pengembangan pendidikan karakter adalah:
a. Berkelanjutan, mengandung makna bahwa proses pengembangan
nilai-nilai karakter merupakan proses yang tiada henti dimulai dari
awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan
bahkan sampai terjun ke masyarakat.
b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya
sekolah, serta muatan lokal.
24
c. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan dan dilaksanakan. Satu hal
yang selalu harus diingat bahwa suatu aktivitas belajar dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan ranah kognitif, efektif,
dan psikomotorik.
d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan
menyenangkan.
4. Ciri Dasar Pendidikan Karakter
Manurut Foester dalam Masnur (2015: 127-128) ada empat ciri
pendidikan karakter, yaitu:
a. Keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan
hirearki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
b. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang menjadi
teguh terhadap prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi
baru atau takut resiko. Koherensi merupakn dasar yang membangun
rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan
kredibilitas seseorang.
c. Otonomi, di sini seseorang menginternalisasikan aturan dari luar
sampai menjadi nilai-nilai pribadi.
d. Keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan seseorang
guna mengingini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan
dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
25
5. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter di Indonesia
a. Religius
Religius adalah sifat religi yang melekat pada diri seseorang.
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama yang
dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hudup rukun dengan pemeluk agama lain (Yaumi, 2014: 87). Jadi
karakter religi ini adalah untuk menjadikan sesorang menjalankan
keyakinan religinya secara utuh, dengan tetap menjaga toleransi
dengan pemeluk keyakinan lain.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap religius yang
terdapat pada surah Yunus ayat 84-85:
Artinya: “Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman
kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu
benar-benar orang yang berserah diri. Lalu mereka berkata:
"Kepada Allahlah kami berserah diri! Ya Tuhan kami;
janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum
yang´zalim.” (QS. Yunus: 84-85)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa seseorang haruslah
bertawakal kepada Allah atau beserahdiri, karena berserah diri kepada
Allah menandakan bahwa orang tersebut adalah orang yang beriman.
26
b. Jujur
Secara harfiah, jujur berarti lurus hati, tidak berbohong, tidak
curang (Naim, 2012: 132-133). Jujur adalah perilaku seseorang yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan (Yaumi,
2014: 87). Jujur menupakan nilai penting yang harus dimiliki
seseorang. Jujur tidak hanya diucapkan, tetapi juga harus tercermin
dalam perilaku sehari-hari. Nilai jujur penting untuk ditumbuh
kembangkan sebagai karakter karena kejujuran saat ini semakin
terkikis. Jika ketidak jujuran telah menjadi sistem, masa depan bangsa
ini akan suram.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap jujur yang terdapat
pada surah Al-Anfal ayat 58:
Artinya: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah
perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat” (QS. Al-Anfal: 58)
Pada potongan ayat di atas dijelaskan bahwa sesorang haruslah
berlaku jujur, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat.
27
c. Toleransi
Toleransi berarti sikap membiarkan ketidaksepakatan dan tidak
menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda. Sikap
toleran dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi
juga harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk aspek
ideologi dan politik yang berbeda (Naim, 2012: 132-133).
Toleransi lahir dari sikap menghargai diri yang tinggi. Kuncinya
adalah bagaimana semua pihak memerepsi dirinya dan orang lain. Jika
persepsi lebih mengedepankan dimensi negatif kemungkinan
toleransinya akan lemah atau bahkan tidak ada. Sedangkan, jika
persepsi diri dan orang lainnya positif, yang muncul adalah sikap yang
toleran dalam menghadapi keragaman.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang karakter toleransi yang
terdapat pada surah Al-Kafirun ayat 1-6 :
Artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku" (QS. Al-
Kafirun: 1-6)
28
Pada potongan ayat di atas dijelaskan bahwa Allah memberikan
pilihan bagi setiap orang untuk memilih jalannya sendiri, dan
seseorang agamanya masing-masing.
d. Disiplin
Kata disiplin berasal dari bahasa latin discere yang memiliki arti
belajar. Dari kata itu kemudian muncul kata disiplina yang berarti
pengajaran atau pelatihan. Seiring berjalannya waktu, kata disiplina
juga mengalami perkembangan makna. Kata disiplin sekarang ini
dimaknai secara beragam ada yang mengartikan disiplin sebagai
kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan dan
pengendalian. Ada juga yang mengartikan disiplin sebagai latihan yang
bertujuan mengembangkkan diri agar dapat berperilaku tertib (Naim,
2012: 142.
Menurut Fauzi dalam Naim (2012: 142-143) disiplin adalah
kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang
mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah, dan
peraturan yang berlaku. Dengan kata lain disiplin adalah sikap menaati
peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.
Dalam Al-Qur‟an terdapat ayat yang memerintahkan untuk kerja
keras. Yang terdapat dalam surah An-Nisa ayat 59:
29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa:59)
Pada ayat di atas sudah dijelaskan bahwa Allah telah
memerintahkan untuk orang-orang yang beriman menaati Allah dan
rosul serta ulil amri, yang bisa juga diartikan sebagai disiplin terhadap
apa yang diperintahkan oleh Allah.
e. Kerja Keras
Kerja keras yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya (Yaumi, 2014: 94).
Tidak ada keberhasilan yang dicapai tanpa kerja keras. Kerja
keras melambangkan kegigihan dan keseriusan mewujudkan cita-cita.
Sebab hidup yang dijalani dengan kerja keras akan memberi nikmat
yang semakin besar manakala mencapai kesuksesan (Naim, 2012:
148).
30
Jadi dengan adanya pendidikan karakter kerja keras ini agar
memicu sesorang untuk semangat kerja keras dalam untuk
mewujudkan cita-citanya.
Dalam Al-Qur‟an terdapat ayat yang memerintahkan untuk kerja
keras. Yang terdapat dalam surah At:Taubah ayat 105:
Artinya “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”
(QS. At-Taubah: 105).
Pada ayat di atas sudah dijelaskan bahwa Allah telah
memerintahkan umat manusia untuk bekerja keras, karena Allah pasti
akan melihatmu dan hasil dari kerja keras tidak akan pernah
menghianati hasilnya nanti. Dalam surah yusuf 87 Allah berfirman:
Artinya “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf: 87)
31
f. Kreatif
Kreatif secara intrinsik mengandung sifat dinamis. Orang kreatif
adalah orang yang tidak bisa diam, dalam arti selalu berusaha mencari
hal baru dari hal yang telah ada. (Naim, 2012: 152). Kreatif sebagai
salah satu nilai pendidikan karakter sangat tepat karena kreatif akan
menjadikan sesorang tidak pasif. Jiwanya selalu gelisah, pikirannya
terus berkembang, dan selalu melakukan kegiatan dalam rangka
mencari hal-hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan.
Berikut ini adalah ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan
karakter kreatif:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal” (QS. Ali-Imran: 190)
Pada ayat di atas akan merangsang akal untuk terus meraih ilmu
dan kreatif dalam memahami ciptaan-ciptaan Allah. Pikiran-pikiran
yang kreatif memilki imajinasi yang memungkinkan mereka untuk
melihat dengan mata pikiran, gambaran-gambaran tanda-tanda ciptaan
Allah yang ada didunia ini.
g. Mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung
kepada orang lain dalam menyelesaikan tugas (Yaumi, 2014: 98).
32
Kemandirian tidak otomantis tumbuh dalam diri seorang anak. Mandiri
pada dasarnya merupakan hasil dari proses pembelajaran yang
berlangsung lama. Mandiri tidak selalu berkaitan dengan usia. Bisa
saja seorang anak sudah memiliki sifat mandiri karena proses latihan
atau karena faktor kehidupan yang memaksanya untuk mandiri. Tetapi
tidak jarang seseorang yang sudah dewasa, tetapi tidak juga bisa hidup
mandiri. Ia selalu tergantung orang lain (Naim, 2012: 162).
Jadi karakter mandiri ini merupakan karakter sesorang yang
tidak mudah bergantung kepada orang lain, dan sesorang mampu
menjalani hidup tanpa terlalu bergantung terhadap orang lain.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang karakter mandiri yang
terdapat pada surah Al-Mukminun ayat 62:
Artinya: “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang
membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (QS.
Al-Mukminun: 62)
Pada ayat di atas dapat diambil hikmah bahwa seseorang
haruslah bersifat mandiri karena Allah tidak akan membebani
seseorang jika orang tersebut tidak mampu, melainkan Allah akan
memberinya sesuai kemampuannya.
33
h. Demokratis
Demokrasi merupakan gabungan dari kata demos yang berarti
rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau undang-undang.
Pengertian yang dimaksud demokrasi adalah kekuasaan atau undang-
undang yang berakar kepada rakyat. Dengan demikian rakyat
memegang kekuasaan tertinggi (Naim, 2012: 164).
Sedangkan menurut Yaumi (2014: 100), berpendapat bahwa
demokratis adalah cara berpikir, bersikap, serta bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain.
Jadi jika ditarik kedalam pendidikan karakter ini demokratis
dapat diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak sesorang
dalam menilai hak dan kewajiwan yang sama dengan orang lain dalam
kedudukannya didalam negara.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang karakter demokratis yang
terdapat pada surah Ali-Imran ayat 159:
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
34
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS.
Ali-imran: 159)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kita
untuk bermusyawarah dalam menghadapi persoalan secara demokratis
serta bertawakal kepada Allah.
i. Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang
selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar (Yaumi, 2014: 102).
Disebabkan rasa ingin tahu ini, manusia sejak dini cenderung
untuk terus menerus mempertanyakan berbagai hal yang memang
belum diketahui dan dipahami, baikyang dia amati maupun yang di
pikirkan. Dorongan ini menunjukkan bahwa manusia tidak akan puas
terhadap fenomena yang tampak pada permukaan. Selalu ada
keinginan untuk memahami secara lebih mendalam dan mendetail
(Naim, 2012: 171).
Oleh karena itu perlu pendidikan karakter untuk mengarahkan
rasa ingin tahu seseorang. Rasa ingin tahu harus
ditumbuhkembangakan, dirawat, dan diberi jawaban yang benar agar
tidak muncul perilaku destruktif generasi muda yang sebagian besar
berasal dari rasa ingin tahu yang tidak mendapatkan jawaban secara
memadai.
35
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang karakter rasa ingin tahu
yang terdapat pada surah Ali-Imran ayat 190-191:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali-Imran: 190-191)
Pada ayat di atas selain berkaitan dengan karakter kreatif
dijelaskan juga mengenai karakter rasa ingin tahu, bahwa dilangit dan
bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan manusia dibekali
dengan akal, agar digunakan untuk berfikir, sehingga manusia tahu
tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah dan meningkatkan
keimanannya.
j. Semangat Kebangsaan
Menurut Djohar dalam Naim (2012: 173), semangat kebangsaan
mengandung arti adanya rasa satu dalam suka, duka, dan dalam
kehendak mencapai kebahagiaan hidup lahir-batin seluruh bangsa.
36
Dalam semangat kebangsaan ini seseorang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k. Cinta Tanah Air
Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
tehadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa (Yaumi, 2014: 104).
Sekarang ini kebutuhan terhadap semangat mencintai tanah air
seharusnya semakin ditumbuhkembangkan ditengah gempuran
globalisasi yang semakin tidak terkendali. Cinta tanah air tidak hanya
merefleksikan kepemilikan, tetapi juga bagaimana mengangkat harkat
dan martabat bangsa ini dalam kompetisi global.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang karakter cinta tanah air
yang terdapat pada surah At-Taubah ayat 122:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah: 122)
37
Menurut Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-
Wadlih yang dikutip oleh nu.or.id ayat tersebut mengisyaratkan bahwa
belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara keseluruhan,
kewajiban yang tidak mengurangi kewajiban jihad, dan
mempertahankan tanah air juga merupakan kewajiban yang suci.
Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang
(senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan dalil.
Bahwasannya memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan
nasionalisme dan gemar berkorban, mencetak generasi yang
berwawasan cinta tanah air sebagian dari iman, serta
mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci.
Jadi dalam hal ini dapat diartikan bahwa karakter cinta tanah air
merupakan salah satu kewajiban setiap warganya, karna hal tersebut
sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan negara tetap utuh.
l. Menghargai Prestasi
Menghargai prestasi yaitu sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
serta mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain (Yaumi,
2014: 105).
Dalam iklim kehidupan sekarang ini, arus kompetisi semakin
ketat. Dalam konteks pengembangan karakter, penting untuk
menanamkan menghagai prestasi kepada anak-anak. Prestasi
menunjukkan adanya proses dalam meraihnya. Jangan sampai anak-
38
anak kita menjadi generasi yang hanya menyukai produk dan tidak
menghargai proses. Menghargai prestasi merupakan bagaian dari
mengahrgai proses.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap menghargai prestasi
yang terdapat pada surah An-Nahl ayat 97:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan” (QS. An-Nahl: 97)
Menurut Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut dalam
kitabnya Tafsir Al-Misbah sebagai berikut :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis
kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia
adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas
dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti
akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang
baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan
kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala
yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka
kerjakan“ (http://anggahardianto1994.blogspot.com/2017/12/
wawasan-al-quran-dan-hadits-tentang.html diakses pada tanggal
16 Juli 2019).
39
Jadi jika dilihat dari kacamata islam dari hal tersebut dapat kita
artikan bahwa Allah pun akan menghargai apa yang akan dilakukan
sesorang dimana amal saleh akan diberikan pahala yang lebih baik.
m. Bersahabat/Komunikatif
Bersahabat/komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan
rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain
(Yaumi, 2014: 106).
Dengan menjadi seseorang yang bersahabat dan komunikatif
akan mewujudkan kenyamanan bagi orang disekitarnya karena
tindakannya memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan
bekerja sama dengan orang lain.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap cinta damai yang
terdapat pada surah Al-Baqarah 195:
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah,
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah:
195)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah agar jangan
menjatuhkan diri ke binasaan dan selalu berbuat baik, dalam hal ini
adalah bersahabat dalam berlaku dan berbicara.
40
n. Cinta Damai
Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang serta aman atas kehadiran
dirinya (Yaumi, 2014: 107).
Budaya damai harus terus menerus ditumbuhkembangkan
dalam berbagai aspek kehidupan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya
sekarang ini semakin banyak ditemukan. Harus ada kemauan dari
berbagai pihak untuk memebangun secara sistematis cinta damai
menjadi budaya yang mengakar dalam kehidupan.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap cinta damai yang
terdapat pada surah An-Nahl ayat 90:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kita
untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan kapada kerabat dan melarang
kekejian, kemungkaran dan permusuhan, artinya yaitu untuk selalu
mencintai kedamain tidak membuat permusuhan antar sesama.
41
o. Gemar Membaca
Gemar membaca yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya
(Yaumi, 2014: 109). Menurut hernowo dalam Naim (2012: 191) ,
sebagaimana yang dikutip oleh Naim dalam bukunya, membaca
membuat kita berpikir dalam bentuk yang terbaik. Membaca kan
melatih kita untuk bertafakur. Tafakur disini berarti berpikir secara
sistematis, hati-hati, dan dalam. Membaca akan menghindarkan diri
kita dari kegiatan asal-asalan dan tidak bertanggung jawab. Membaca
akan menguji seberapa tinggi dan seberapa jauh kesungguhan kita
dalam memahami dan memecahkan sesuatu.
Dengan membaca kita mampu menyelami pikiran orang lain dan
menambahkan pemikiran serta pengalaman orang lain ke dalam
pemikiran dan pengalaman kita sendiri.
Jadi, dalam konteks pendidikan karakter, membangun tradisi
membaca harus dilakukan dengan membiasakan diri untuk membaca.
Setiap ada kesempatan bisa dimanafaatkan untuk membaca. Kalau hal
ini lakukan secara rutin, tentu akan banyak manfaat yang dapat dipetik,
karena membaca tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi jug
amengubah hidup.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap gemar membaca
yang terdapat pada surah Fathir ayat 29:
42
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi” (QS. Fatir: 29)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan sholat serta menafkahkan sebagian dari
rezekinya akan dianugrahi oleh Allah rezeki yang berkah.
p. Peduli Lingkungan
Peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, serta
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi (Yaumi, 2014: 111).
Manusia yang berkarakter adalah manusia yang memiliki
kepedulian terhadap lingkungannya. Kualitas lingkungan hidup
sekarang ini memang cenderung mengalami penurunan. Pencemaran
lingkungan terjadi dimana-mana, kerugian yang ditanggung sudah
tidak terhitung lagi. Padahal persolan tersbut disebabkan oleh tangan
jahil manusia. Oleh karena itu sangat perlu dibangun karakter peduli
lingkungan dalam diri seseorang.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap tanggung jawab
yang terdapat pada surah Al-A‟raf ayat 56:
43
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-
Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-A‟raf: 56).
Dari ayat di atas dapat diambil hikmah bahwa sebagai makhluk
Allah, janganlah kita membuat kerusakan di bumi ini atau lingkungan
alam sekitar, karena Allahlah yang sudah memperbaikinya, sungguh
rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.
q. Peduli Sosial
Peduli sosial dapat diartikan sebagai sikap serta tindakan yang
selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan (Yaumi, 2014: 112).
Manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak bisa hidup dan
menjadi bagian terpisah dari lingkungan sosialnya. Karena manusia
tidak bisa sepenuhnya egois dan beranggapan kalau dirinya bisa hidup
sendiri tanpa peran serta orang lain.
Dikehidupan modern ini masyarakat bergeser dari kebersamaan
dan saling tolong menolong dengan penuh ketulusan yang dahulu
merupakan ciri khas masyarakat Indonesia semakin menghilang
menjadi masyarakat yang lebih individualis. Konsentrasi kehidupan
masyarakat sekarang ini didominasi pada bagaimana mencapai mimpi-
44
mimpi materialis. Oleh karena itu perlu adanya pendidikan karakter
peduli sosial untuk mengembalikan budaya masyarakat yang peduli
sesama yang dulu menjadi ciri khas dalam negeri kita ini.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap peduli sosial dan
lingkungan yang terdapat pada surah Al-Maidah ayat 2:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari
Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah: 2)
45
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kita
untuk tolong menolong dalam kebaikan, artinya juga dalam bidang
kepedulian sosial serta peduli tehadap lingkungan sekitar.
r. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah suatu kewajiban untuk melakukan atau
menyelesaikan tugas (ditugaskan oleh seseorang, atau diciptakan oleh
janji sendiri atau keadaan) yang seseorang harus penuhi, dan yang
memiliki konsekuensi hukuman terhadap kegagalan (Yaumi, 2014:
114).
Karakter tanggung jawab sangat dibutuhkan di era sekarang ini
dimana seseorang sesungguhnya memiliki tanggung jawab masing-
masing terhadap dirinya maupun lingkungan sekitarnya.
Dalam Al-Qur‟an diterangkan tentang sikap tanggung jawab
yang terdapat pada surah Al-Muddatsir ayat 38:
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38)
Sedangkan dalam surah Az-Zalzalah Allah berfirman sebagai
berikut:
46
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia kan melihat (balsasan)nya pula.” (QS. Az-zalzalah:
7-8)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa setiap orang akan
bertanggung jawab atas apa yang telah dia perbuat baik itu sedikit
ataupun sebesar gunung.
6. Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang
(Masnur, 2015: 81).
Menurut Dharma (2012: 9) tujuan pendidikan karakter adalah
sebagai berikut:
a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap
penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta
didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.
b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-
nilai yang dikembangkan.
c. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat
dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara
bersama.
Sedangkan menurut Mulyasa (2014: 9), tujuan pendidikan karakter
adalah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang
47
mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik
secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai dengan standar kompetisi
lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui pendidikan karakter peserta
didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasikan serta
mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam prilaku sehari-hari.
Menurut pendapat Fooster dalam Wibowo (2012: 26), tujuan
pendidikan karakter adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud
dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya.
Jadi dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa tujuan inti dari pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan
mutu dan hasil pendidikan sehingga menghasilkan pembentukan karakter
peserta didik yang berakhlak mulia secara utuh, seimbang serta
membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam
memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.
7. Landasan Pendidikan Karakter
Untuk membentuk karakter, diperlukan landasan penyelenggara
pendidikan karakter yaitu sebagai berikut:
48
a. Landasan yuridis
Landasan pelaksanaan pendidikan karakter sangat jelas. Hal ini
tampak dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang menyatakan: “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang /bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi: beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia; sehat; berilmu; cakap;
kreatif; mandiri; dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab”.
Dalam pasal tersebut, secara tersirat dapat disimpulkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi dan bertujuan untuk membentuk
karakter(watak) pendidik menjadi insan kamil. Dengan demikian
landasan yuridis pelaksanaan pendidikan karakter adalah Undang-
Undang tersebut. (Novan, 2013: 32)
b. Landasan filsafat manusia
Agar dapat menjadi manusia yang sesungguhnya, dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya, anak-anak manusia memerlukan
bantuan. Upaya membantu manusia untuk menjadikan manusia
sesungguhnya itulah yang disebut pendidikan. Berbeda dengan hewan,
anak-anak hewan hanya memerlukan bantuan seperlunya saja untuk
hidup mandiri. Hewan adalah ciptaan yang sudah selesai, sudah jadi,
49
dan sudah terspesialisasi dan menjadi hewan sesungguhnya dan
berkarakter hewan.
Berbeda dengan hewan, manusia yang ketika kanak-kanak
terlihat berkarakter, dapat saja saat dewasa berkarakter buruk jika
dalam proses pendewasaan salah didik. Sifat-sifat kemanusiaan dapat
terkikis dan tidak pantas disebut manusia yang pantas dikaruniai akal,
makhluk mulia, bermartabat, dan beradab. Dalam proses
perkembangannya, karakter manusia bahkan dapat menjadi lebih buruk
dari pada hewan. Oleh sebab itu pendidikan karakter sangat diperlukan
bagi manusia sepanjang hidupnya, agar menjadi manusia yang
berkarakter baik. (Novan, 2013: 32-33)
c. Landasan filsafat Pancasila
Manusia Indonesia yang ideal adalah manusia Pancasilais, yaitu
menghargai nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Nilai-nilai Pancasila tersebut yang
menjadi inti nilai dalam pendidikan karakter di negeri ini. (Novan,
2013: 33)
d. Landasan filsafat pendidikan
Pendidikan pada dasarnya bertujuan mengembangkan
kepribadian untuh untuk menctak warga negara yang baik. Seseorang
yang berkepribadian utuh digambarkan dengan terinternalisasikannya
nilai-nilai dari berbagai nilai, yaitu simbolik, empirik, estetik, etik,
sinoptik, dan sinnoetik. Nilai-nilai tersebut menjadikan seseorang
50
berkarakter baik. Nilai simbolik ada dalam bahsa, ritual-ritual
keagamaan, dan matematika. Nilai empirik terdapat dalam berbagai
macam disiplin ilmu empirik, diantarnya Ilmu Pengetahuan Alamdan
Sosial. Nilai etik berupa pilihan-pilihan perilaku moral yang
dikembangkan melalui pendidikan moral, budi pekerti, adab, dan
akhlak. Nilai estetik terdapat pada kesenian . Sementara nilai sinnoetik
adalah nilai yang bersifat personal yang hadir dari pengalaman-
pengalaman personal yang hadir dari pengalaman-pengalaman
personal yang bersifat relasional antara pribadi dan Sang Pencipta.
Nilai sinoptik di dalamnya terangkum nilai-nilai simbolik, estetik, etik
dan sinnoetik. Nilai-nilai tersebut hadir dalam pendidikan agama,
sejarah, dan filsafat. Disebabkan pendidikan karakter pada dasarnya
merupakan proses internlaisasi nilai dari berbagi nilai di atas,
pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam berbagai macam mata
pelajaran yang diajarkan di satuan-satuan pendidikan. (Novan, 2013:
33-34)
e. Landasan religius
Manusia adalah ciptaan Tuhan. Dalam agama-agama dan sistem
kepercayaan yang berkembang di Indonesia, manusia baik adalah
manusia yang; (1) secara jasmani dan ruhani sehat dan dapat
melaksanakan berbagai aktivitas hidup yang dikaitkan dengan
peribadatannya kepada Tuhan; (2) bertakwa dengan menghambakan
diri kepada Tuhan dengan jalan patuh dan taat terhadap ajaran-ajaran-
51
Nya; (3) menjadi pemimpin diri, keluarga, dan masyrakatyang dapat
dipercaya atas dasar jujur, amanah, disiplin, kerja keras, ulet, dan
bertanggung jawab; (4) manusiawi dalam arti berkarakter sebagai
manusia yang mempunyai sifat-sifat cinta kasih terhadap sesama
manusia, dan bermartabat. Dengan demikian, pemdidikan karakter
perlu mengembangkan karakter manusia agar menjadi manusia yang
berpirilaku hidup sehat,patuh tehadap ajaran-ajaran Tuhan. (Novan,
2013: 34)
f. Landasan sosiologis
Secara sosiologis, manusia Indonesia hidup dalam masyrakat
heterogen yang terus berkembang. Kita berada di tengah-tengah
masyarakat dengan suku, etnis, agama, golongan, status sosial, dan
ekonomi yang berbeda-beda. Di samping itu, bangsa Indonesia juga
hidup berdampingan dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain. Oleh
sebab itu, upaya mengembangakan karakter saling menghargai dan
toleran pada aneka ragam perbedaan menjadi sangat mendasar.
(Novan, 2013: 35)
g. Landasan psikologis
Dari sisi psikologis, karakter dapat dideskripsikan dari dimensi-
dimensi intrapersonal, interpersonal, dan interaktif. Dimensi
intrapersonal terfokus pada kemampuan atau upaya manusia untuk
memahami diri sendiri. Dimensi interpersonal secara umum dibangun
atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, sedangkan secara
52
umum merupakan kemampuan mengenali perbedaan, sedangkan
secara khusus merupakan kemampuan mengenali perbedaan dalam
suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dimensi interaktif
adalah kemampuan manusia dalam berinteraksi sosial dengan sesama
secara bermakna. Kemampuan berinterkasi sosial secara bermakna
diperlukan karakter humor, toleransi, dan mengatasi konflik.
Dari segi psikologi perkembangan, terdapat tahapan-tahapan
dalam perkembangan manusia. Perkembangan manusia tercermin dari
karakteristik masing-masing dalam setiap tahap perkembangan. Usia
anak-anak berbeda karakteristiknya dengan usia remaja, pemuda, dan
usia tua. Di antara mereka perlu memahami dan menghargai
sesamanya yang tingkat perkembangannya berbeda-beda. Oleh karena
itu diperlukan pendidikan karakter yang terkait dengan kesopanan,
kesantunan, penghargaan, dan kepedulian. (Novan, 2013: 34-35)
Jadi, dilihat dari beberapa landasan pendidikan karakter di atas
pendidikan karakter bangsa menjadi sebuah keharusan bagi bangsa
Indonesia. Di samping untuk memperbaiki karakter bangsa yang semakin
terpuruk, juga mengembangkan karakter bangsa Indonesia untuk masa
depan yang lebih baik.
53
BAB III
GAMBARAN UMUM BUKU GELANDANGAN DI KAMPUNG SENDIRI
A. Biografi Emha Ainun Nadjib
1. Sejarah Hidup
Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang Jawa Timur pada 27 Mei
1953. Emha merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya,
Almarhum MA Lathif adalah seorang petani. Istrinya yang sekarang
bernama Novia Kolopaking. Anak-anaknya bernama Sabrang Mowo
Damar Panuluh, Ainayya Al-Fatihah, Aqiela Fadia Haya, Jembar
Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha (http://profilbiodata
ustadz.blogspot.com/2016/12/profil-biodata-dan-biografi-cak-nun.html
di akses pada 10 Juli 2019).
Emha mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP
Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sebelumnya dia pernah masuk
Pondok Modern Darrussalam Gontor tapi kemudian dikeluarkan
karena melakukan demo, dalam Wikipedia Indonesia dikatakan bahwa
beliau demo melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang
kurang baik pada pertengahan tagun ketiga studinya. Kemudian pindah
ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Pendidikan
formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada (UGM). Lalu ia berproses di PSK (Persada Stubi Klub),
sebuah komunitas sastrawan terkemuka di Yogya dekade 1970-an
asuhan penyair Umbu Landu Paranggi.
54
Emha Ainun Nadjib adalah seorang budayawan multitalenta:
penyair, esais, pegiat teater pemusik, dan lain-lain. Sebagi seorang
penulis, Emha sangat produktif karena telah menghasilkan puluhan
buku. Selain berkiprah didunia tulis menulis, Emha juga merupakan
motor penggerak dibalik kelompok musik kiai kanjeng dan komunitas
sinau bareng Maiyah yang tersebar diberbagai kota di Indonesia.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial atau yang sering disebut jamiyah
Maiyah itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-
nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan
cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Di maiyah beliau terjun langsung di masyarakat dan melakukan
aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika
kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna
menumbuhkan potensi rakyat. (https://id.wikipedia.org/wiki/Emha_
Ainun_Nadjib di akses pada 10 Juli 2019)
Untuk menjalin komunikasi dengan Emha Ainun Nadjib atau
melihat jadwal beliau, sekarang bisa dihubungi melalui rumah maiyah
progress (sekretariat Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng) di Jl.
Wates km. 2,5 Gg. Barokah No. 287 Kadipiro, Bantul, Yogyakarta
Indonesia, Indonesia kode pos 55182. Telp. (0274) 618810. Fax.
(0274) 618810 atau Email redaksi@caknun.com. Beliau juga
mempunyai web yaitu caknun.com, youtube caknun.com, fanpage
facebook caknun.com serta twitter caknun.com.
55
2. Karya Emha Ainun Nadjib
Emha memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama
Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di
Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan
drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang
pemerintahan „Raja‟ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang
pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat
oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya
lembaga kepemimpinan modern).
Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri
Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi
pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab
(1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar);
dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia
telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak
Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian
Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran
(1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990);
Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993);
Abacadabra (1994); dan Syair Asmaul Husna (1994)
(http://bio.or.id/biografi-emha-ainun-nadjib/ diakses pada tanggal 11
Juli 2019)
56
Selain itu Emha juga menulis beberapa buku essai, yaitu sebagai
berikut: (a) Arus Bawah (Bentang Pustaka: 2014), (b) Dari Pojok
Sejarah (1985), (b) Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), (c)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), (d) Markesot Bertutur (1993), (e)
Markesot Bertutur Lagi (1994), (f) 99 Untuk Tuhanku (Bentang
Pustaka: 2015), (g) Istriku Seribu (Bentang Pustaka: 2015), (h) Kagum
Kepada Orang Indonesia (2015), (i) Titik Nadir Demokrasi (Bentang
Pustaka: 2016), (j) Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (Bentang Pustaka:
2016), (k) Anak Asuh Bernama Indonesia (Bentang Pustaka: 2017), (l)
Iblis Tidak Butuh Pengikut (Bentang Pustaka: 2017), (m) Mencari
Buah Simalakama (Bentang Pustaka: 2017), (n) Anggukan Ritmis
Kaki Pak Kiai (Bentang Pustaka: 2019), (o) Sedang Tuhanpun
Cemburu (Bentanng Pustaka: 2018).
3. Prestasi Emha Ainun Nadjib
Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan
Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik,
penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima
memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu
melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya
berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Selain itu beliau juga pernah mengikuti lokakarya teater di
Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa,
57
Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam,
Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman
(1985). Emha juga pernah terlibat dalam produksi film Rayya, Cahaya
di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
(https://id. wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib diakses pada 10
Juli 2019)
4. Karakteristik Buku Karya Emha Ainun Nadjib
Emha memliki ciri khas dalam setiap karya-karyanya dengan
mengangkat tema-tema kritik sosial, serta kemanusiaan. Secara
keseluruhan, buku karyanya merupkan buku ataupun essai yang
sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kesaamaan hak dan
kewajiban setiap orang, sehingga mampu membius pembacanya
seperti merasa ikut dalam setiap kejadian dalam karyanya, serta
pembaca ikut serta berpikir.
Dari karya-karyanya Emha ingin membagi pemahaman bahwa
hidup ini digunakan untuk memperbanyak sahabat dan mencintai
sesama makhluk Allah. Emha berkata :
“Hidup saya yang hanya satu kali ini dengan serius saya
pergunakan untuk memperbanyak sahabat, dari yang muda,
anak-anak, orang tua, orang miskin, orang pangkat, orang
biasa, bahkan jin dan makhluk-makhluk lain, pokoknya siapa
saja. Itu saya pergunakan untuk meningkatkan kadar dan
kualitas cinta kasih kemanusiaan saya, sembari saya
manfaatkan untuk mengikis rasa benci dihati saya.” (Emha,
2018: 30).
Dalam karyanya Emha selalu menyelipkan pesan-pesan positif
serta seputar pengetahuan, moral dan agama Islam. Dengan
58
penyampaian yang unik serta membuat pembaca berpikir merupkan
nilai tambah di setiap karyanya.
5. Pemikiran Emha Ainun Nadjib
Sebagai seorang yang piawai dalam menorehkan kata-kata, ada
beberapa pemikiran Emha yang menonjol, di antaranya adalah ide
yang bernama “Beribu Pintu Berruang Satu” maksudnya adalah
ruangan besar diartikan keilmuan Islam dan ribuan pintu diartikan
berbagai disiplin ilmu keislaman seperti pintu pertama adalah ilmu
fiqih, pintu kedua adalah ilmu tauhid, pintu ketiga adalah ilmu sejarah,
pintu keempat adalah ilmu mantik, dan seterusnya. Dengan demikian
jika seseorang memasuki rumah dari pintu fiqih, orang itu tidak hanya
menemukan ilmu fiqih saja, akan tetapi orang tersebut akan
menemukan berbagai disiplin ilmu keislaman lainnya, yang bertujuan
untuk memahami Islam secara menyeluruh (Fajriyah, 2018: 55-56).
Dalam hal ilmu, Emha juga tidak membedakan antara ilmu
agama dan ilmu umum seperti kebanyakan orang, karena baginya ilmu
umum atau agama adalah ilmu Islam. Misalnya ilmu biologi yang
biasanya dianggap ilmu umum, bagi Emha biologi adalah ilmu agama
karena dengannya kita bisa mensyukuri makhluk hidup. Begitu juga
dengan matematika. Matematika adalah pelajaran yang sangat suci.
Misalnya penghitungan 4 x 4, hasilnya tidak bisa dirubah oleh
kekuasaan politik, uang, ataupun ketakutan. Hasilnya akan tetap 16
yang artinya matematika mengajarkan kita bahwa ketauhidan kita tidak
59
boleh dipengaruhi oleh kekuasaan politik, uang ataupun ketakutan.
Oleh karena itu Matematika adalah pelajaran agama nomor satu
(Fajriyah, 2018: 56).
B. Buku Gelandangan di Kampung Sendiri
Buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini merupakan kumpulan
esai yang dibukukan. Menurut Antilan Purba dalam Fajriyah (2018: 44),
esai adalah karangan yang ditulis berdasarkan sudut pandang pribadi yang
disusun sistematis berupa hasil pengamatan dan penyelidikan penulis yang
di dalamnya terdapat gagasan, sikap, gaya khas penulis yang bersifat
interpretatif yang ditulis dengan gaya ringan yang berisi soal kehidupan.
Esai dari buku ini pernah diterbitkan dengan judul yang sama pada tahun
1995. Namun penulis lebih memilih dan menjadikan sumber data
dalampenelitian ini adalah buku cetakan pertama dati penerbit PT Bentang
Pustaka pada tahun 2018.
1. Profil Buku
Judul : Gelandangan di Kampung Sendiri
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Tahun Terbit : 2018
Cetakan ke : 1 (Pertama)
Penertbit : PT Bentang Pustaka
Tebal Buku : 298 Halaman
60
2. Gaya Bahasa
Menurut Aminudidin dalam Diyah (2017: 49), istilah gaya
diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan
mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”, dalam karya sastra
istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Sedangkan menurut Gorys dalam Siswantoro (2010: 206), gaya bahasa
merujuk kepada cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau
pengguna bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya
bahasa merupakan cara seorang dalam mengungkapkan pikiran atau
gagasan melalui media bahasa khas pengarang.
Dalam buku ini Emha menggunakan gaya bahasa yang
mengajak pembaca untuk berpikir juga mengenai masalah-masalah
yang dialami berbagai orang dalam buku dan beberapa kali Emha
menggunakan gaya bahasa yang menyindir pemerintah. Di mana
beliau menggunakan kata-kata kiasan dan pengibaratan dalam
berpendapat mengenai masalah yang ada.
3. Tema Pembahasan Buku Gelandangan di Kampung Sendiri
Menurut Aminuddin dalam Diyah (2017: 38), menjelaskan
bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga
61
berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan
karya fiksi yang diciptakannya
Dalam buku ini memuat 4 garis besar tema di dalamnya, yaitu
pengaduan I, pangaduan II, ekpresi, dan visi. Kemudian dari 4 garis
besar tersebut memuat sub tema yang berbeda-beda.
a. Pengaduan I yang berisi sub tema sebagai berikut :
Pada tema-tema yang terdapt dalam pengaduan I ini berisi
pengenai keluhan-keluhan mayarakat terhadap situasi sosial yang
terjadi disekitarnya.
1) Lingsem
Pada tema ini berisi mengenai lingsem (jawa) adalah
keadaan psikologis ketika seseorang mempertahankan sesuatu
tidak lagi karena objektivitas suatu persoalan, karena fokus
permasalahannya sudah menjadi bagian dari privasi harga
dirinya. Dalam tema ini di dalamnya dibahas mengenai
pembelaan Emha atas keadilan dan demokrasi yang harus ada
di tangan rakyat. Emha mengkritik birokrasi pemerintahan
yang tidak memihak kepada rakyat.
2) Sunyi kopra dipulau kei
Pada tema ini Emha membahas mengenai petani kopra
atau kelapa yang menjadi tanaman perdagangan utama rakyat
di pulau kei yang mengalami penurunan produksi. Pada inti
62
tema ini adalah Emha ingin petani kopra untuk kerja keras agar
mereka bisa mandiri tanpa harus mengandalkan pemerintah.
3) Warga Molo “molo-molo”
Pada tema ini menceritakan mengenai warga mollo yang
mengalami masalah penggusuran hutan adat dan padang ternak
yang padahal masyaratat di sana menggantungkan penghasilan
pokoknya pada ternak sapi. Pihak Dinas Kehutanan tidak
dahulu bermusyawarah dengan masyarakat atau pemerintah
desa. Di sini Emha mengkritik mengenai adab zaman yang
berubah, dan warga Mollo kebetulan kena adab baru tersebut.
Adap yang dimaksud adalah dalam pemerintahan.
4) Buruh 1, Buruh 2 dan Buruh 3
Pada tiga tema ini memiliki bahasan yang sama, yaitu
mengenai lika-liku para buruh di negeri Indonesia. Dan di sini
Emha mencoba untuk memberikan solusi-solusi terbaik dalam
mengatasi masalah-masalah dalam keadaan buruh tersebut.
5) Kita semua buruh
Tema ini berisi mengenai dialog Emha dengan para
mahasiswa. Di sini Emha menceritakan tetang dirinya yang
bersahabat dengan semua orang dari berbagai kalangan, dari
kalangan orang kecil hingga orang-orang besar. Dan dalam
tema ini juga masih berkaitan erat dengan para buruh.
63
6) Awas! Pasar kalin terbakar
Pada tema ini membahas mengenai modus pembakaran
pasar oleh suatu oknum pada beberapa kota, di sini
dicontohkan yaitu pasar legi, dan rakyat merasa sangat
dirugikan.
7) Balada Faridah dan Mbah Jiwo
Pada tema ini Emha membahas mengenai kasus
kemanusiaan di mana seorang nenek yang bernama mbah Jiwo
membunuh seorang anak yang bernama Faridah, kemudian
badannya dimutilasi. Di sini Emha juga mengajak pembaca
berpikir lagi mengenai kasus ini.
8) Cerdas, terampil, dan jujur, tapi melarat
Pada tema ini disuguhkan curhatan seorang pemilik
bengkel motor tentang pekerjanya kepada Emha. Pekerja yang
diceritakan merupakan pekerja yang cerdas, terampil dan jujur,
namun karena sifatnya itu dia malah merugikan sang pemilik
bengkel. Pada bagian ini kemudian Emha menyerahkan
kembali keputusan kepada pemilik bengkel, jika dia mau jadi
kapitalis maka campakkan dia. Namun jika masih ingin
menjadi manusia, jadikan dia sahabat sejati yang menawarkan
penyelamatan kemanusiaan juga kemelaratan.
64
9) Darah dagingku riba
Pada bagian tema ini berisi mengenai curhatan
mahasiswa melalui surat kepada Emha. Mahasiswa itu curhat
mengenai bapaknya yang pedagang mencampurkan antara
barang bagus dengan yang jelek, sementara bapaknya memberi
harga seolah-olah semuanya adalah barang yang bagus, dan
pembeli tidak diberi tahu bahwa barang itu campuran. Si
mahasiswa resah akan hal itu, karena semua makan, minum,
dan biaya hidupnya berasal dari hal tersebut. Kemudian
dibagian akhir emha memberikan simpulan bahwa mahasiswa
tersebut tidak usah meratap, dia harus bersyukur karena dalam
dirinya mengalami perbaikan-perbaikan.
10) Kontraktor pembangunan
Tema ini menceritakan mengenai sesorang yang akan
dilantik menjadi wali kota, yang beberapa hari sebelum dilantik
dia berkunjung ke rumah kakanya yang bekerja sebagai penjual
barang kelontong di sebuah toko kecil, di sana sang kakak
menasehati banyak hal kepada adiknya tersbut mengenai
kedudukannya sebagai wali kota.
11) Leher kambing si miskin
Pada tema ini Emha bercerita mengenai kepemimpinan
Rasulullah yang mengedepankan Uswatun Khasanah, teladan
hidup yang bersih dan konsisten. Di tema ini banyak
65
disampaikan mengenai kesederhanaan Nabi, dan tetang
bagaimana ia menjadi sorang pemimpin yang baik.
12) Memasak nasi dengan doa dan asap dupa
Pada tema ini berisi mengenai seorang mahasiswa yang
bercurhat kepad Emha tentang perilaku ayahnya yang
cenderung mengaitkan segala sesuatu dengan perdukunan,
terutama di sini ayahnya resah tentang anaknya yang tak
kunjung lulus kuliah dikarenakan skripsinya yang tak jadi-jadi.
Kemudian sang ayah mengajak anak ke tempat dukun. Di sini
Emha memberikan pemikiran tentang sikap yang harus
dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Dan memberikat beberapa
nasihat untuk segera menyelesaikan skripsinya.
13) Memungut yang dibuang
Pada tema ini berisi tentang curahan hati Emha tentang
kehidupannya, pada saat beliau sakit tetapi masih banyak tamu
dari berbagai macam orang dengan sikap dan keunikannya
masing-masing, Emha selalu berusaha untuk menyambut tamu
itu dengan baik meskipun tubuhnya masih sakit. Di akhir tema
dia mendeskripsiakn mengenai dikap sosial dalam masyarat.
14) Matahari siap dijual
Pada tema ini Emha membahas mengenai surat yang
dikirim oleh seorang seniman atau sastrwan, sang seniman
66
tersebut menulis puisi kepada Emha yang kemudian dipaparkan
maknanya oleh beliau.
15) Gelandangan dikampung sendiri
Pada tema ini Emha menceritakan mengenai nasib
sebuah kelompok pemain film di Indonesia saat itu, di mana
mereka ditekan oleh penguasa dan diremehkan oleh sebagian
orang. Di sini Emha berpendapat ini memang titik sejarah yang
harus di lewati.
16) Orang kecil orang biasa
Pada tema ini dikemukakan rasa syukur Emha terhadap
Allah atas apa yang diterimanya sekarang. Emha bersyukur atas
nikmat yang Allah berikan terhadapnya, atas keadaannya yang
sekarang.
17) Bayi kok jadi DPR
Pada tema ini membahas mengenai intropeksi terhadap
diri sendiri di mana sesorang sering menyalahkan sikap orang
lain tapi membenarkan diri sendiri. Kemudian pada akhir tema
ini mengungkap tentang ketidak tahuan kita tentang apa yang
sebenernya terjadi di dalam pemerintahan.
18) Kiai ndableg jatuh cinta
Pada tema ini berisi mengenai sajak-sajak Emha
mengenai cintanya terhadap berbagai macam lini aktivitas
kemasyaraktan yang yang terjadi, sekaligus beliau sedikit
67
mengkritik orang-orang yang tahu akan akhirat tetapi mereka
tetap mementingkan dunianya.
19) Lalu lintas dunia ketiga.
Pada tema ini membahas mengenai akan
diberlakukannya Undang-Undang Lalu Lintas, dan menitik
beratkan kepada oknum pemerintah. Di sini Emha
mengibaratkannya dengan cerita pewayangan dan
membandingkannya dengan wanita tuna susila. Di akhir tema
beliau berpendapat bahwa jangan semena-mena dalam
membuat Undang-Undang.seolah Negeri ini sama dengan
Negeri lain.
b. Pengaduan II yang berisi subtema sebagai berikut :
Pengaduan II ini Emha menuliskan tentang banyak curhan
hati dari berbagai kalangan kepada Emha melalui surat-surat yang
diterimanya.
1) Para patriot 1
Pada tema ini dibahas mengenai seorang pemuda pekerja
keras, yang seorang mahasiswa yang ikut membantu
perekonomian orang tuanya. Di sini juga membahas mengenai
ibu-ibu yang bentrok dengan suaminya mengenai masalah
keyakinan agamanya serta problem rumah tangganya.
68
2) Para patriot 2,
Pada awal tema ini di bahas tentang curhatan seorang
pendeta kepada Emha mengenai penanganan bencara di Flores.
Di akhir tema dibahas mengenai seorang siswa yang kesulitan
ekonomi. Namun Emha menasehati untuk tidak meminta.
Masih ada solusi lain, yaitu dengan bekerja keras.
3) Para patriot 3
Pada tema ini di ceritakan mengenai seorang pelajar
SMA yang meminta mesin ketik untuk pengembangan bidang
tulis menulis baginya. Di sini Emha mengkritik dimana seorang
janganlah pasrah sebelum dia bekerja keras untuk mencapai
apa yang dia inginkan.
4) Para patriot 4
Pada awal tema ini juga masih membahas mengenai
kesulitan ekonomi dalam pendidikan. Di sini ditulis kenapa
lembaga pendidikan memproduksi banyak problem.
5) PRT
Pada tema ini membahas mengenai curahan hati seorang
pembantu rumah tangga kepad Emha. Pembantu itu dipandang
rendah orang-orang di sekitarnya, terutama adalah juragannya
yang meiliki ilmu pengetahuan. Namun ia menjadi bersyukur
ketika ia melihat anak yang cacat.
69
6) Bersalaman dengan gadis gila
Dalam tema ini berisi Emha yang mendapat surat
permintamaafan oleh segerombolan anak muda yang
berpenampilan jauh dari hedonisme. Di mana mereka tidak
mau bersalaman dengan seorang gadis gila. Hal itu membuat
Emha meledak-ledak, karena menurutnya hal tersebut tidak
memelihara bebrayan sosial.
7) Oknum
Pada tema ini mencoba untuk berkonsultasi dengan
pembaca mengenai curahan hati seorang ibu yang sedang
bermasalah dengan sang suami yang suka berselingkuh dengan
orang lain, yang padahal suaminya tersebut adalah orang yang
sering meminpin doa. Akan ada kabar bahwa suaminya terjerat
kasus korupsi. Emha berpendapat bahwa sang ibu harus tegas
menabrak dengan memperjuangkan hak pisah atau
menghimpun energi untuk menuntun suaminya menuju khusnul
khotimah.
8) Polsek dan Nabi Khidir
Pada tema ini Emha membahas lagi mengenai kasus
mbah Jiwo lagi, di mana beliau mengajak pembaca mengingat
mengenai kisah Nabi Ibrahim, Ismail dan Khidir. Kemudian
beliau membandingkannya dengan kisah mbah Jiwo di
Probolinggo tersebut.
70
9) Terhapus, terbuang
Pada tema ini Emha membahas mengenai import tenaga
asing dan masalah penembak misterius atau petrus. Di sini
dijabarkan mengenai mungkin pemerintah menganggap rakyat
sebagai anak kecil, rakyat belum cukup umur ataupun belum
siap mental untuk mengetahui realitas yang sebenarnya.
10) Kepada siapakah engkau mengeluh?
Pada tema ini dibahas mengenai keluhan-keluhan yang
terjadi di masyarakat, seperti hutang, di PHK, masalah
ekonomi. Di akhir kata Emha memberi nasehat untuk berkeluh
kesah hanyalah kepad Allah saja.
11) Independen.
Pada pembahasan ini di terangkan mengenai Emha yang
berafiliasi ke suatu partiai politik pada tahun 3 Juni 1992. Di
mana partai tersebut merupakan partai kecil masa itu. Walau
begitu Emha hanya membantu saja di partai tesebut, tidak ikut
di dalamnya secara langsung. Karena Emha tetap independent.
c. Ekspresi yang berisi subtema sebagai berikut :
Dibagian ini ditulis mengenai cerita beberapa tokoh-tokoh di
Indonesia serta beberapa kalangan pemuda serta mahasiswa.
1) Ai! Jijik, ai
Pada tema ini membahas mengenai penolakan Indonesia
terhadap bantuan yang akan diberikan oleh negara Belanda, di
71
sini banyak para tokoh berpendapat mengenai kebijakan
pemerintah yang menolak bantuan dari Belanda tersebut.
2) Ilmu penyakit dan ilmu sakit
Pada tema ini membahas mengenai salah satu tokoh
masyarakat ysng bernama pak kunto, selain itu juga dibahas
mengenai hakikatnya orang sakit dan penyakit itu sendiri.
3) Negara teater modern dan negara teater rakyat
Pada tema ini membahas mengenai sepak terjang Nirwan
dewanto dalam Kongres Kebudayaan Nasional.yang secara tak
sengaja mewakili wilayah pinggiran orde. Dan di sini dibahas
mengenai sesungguhnya rakyat memiliki kemandirian dan
kepribadian yang tak diharus di desain oleh penguasa.
4) Konvensionalisme gusdur
Pada tema ini tema ini Emha membahas mengenai Gus
Dur yang berulah lagi, Emha mencoba untuk menerangkan
tentang apa yang sedang Gus Dur lakukan serta ucapan-ucapan
dari Gus Dur yang berbeda dari orang lain.
5) Kepentingan oknum dan sindrom ketertindasan
Pada tema ini membahas mengenai dikotomi dalam cara
pandang, Emha berpendapat bahwa sebagai rakyat tidak boleh
berpikir secara subjektif. Dengan tujuan antara pemerintah dan
rakyat terjalin romantisme. Rakyat harus sadar akan politik ego
oleh sebagian oknum yang merugikan nama baik pemerintah.
72
6) ”Inzar” pak pandam
Pada tema ini membahas mengenai pak pangdam atau
pak Hartono dalam menghadapi demonstran. Dalam tema ini
pula Emha mengkaji mengenai kesalahan presepsi seseorang
dalam memandang posisi sesorang ketika di luar dari
pekerjaannya.
7) ”Sawang sinawang” politik
Pada tema ini dibahas mengenai saling pandang dalam
politik, di mana Emha membaginya dalam sisi positif yang
mengendalikan empati antar sesama manusia dalam pergaulan
dan sisi negatif yang membuat subjektivisme, egosentrisme,
atau kesepihakan seseorang yaitu seseorang hanya menerima
orang lain sejauh hasil dari pendangannya sendiri.
8) Budaya takut
Pada tema ini dibahas mengenai budaya takut, yaitu
budaya takut untuk berbeda, takut untuk melangkahkan kaki
kearah yang berbeda, takut akan hilangnya kekuasaan, karena
ketakutan ini merupakan turun temurun sejak kanak-kanak
dididik untuk takut dengan berbagai hal.
9) Mendemontrasikan demokrasi
Pada tema ini demontrasi oleh mahasiswa untuk menolak
adanya senat mahasiswa perguruan tinggi yang di curigai
merupaka rekayasa yang dilakukan oleh kalangan atas.
73
Uniknya demontrasi tersebut dilakukan dengan cara mogok
makan, dan demontrasi tersebut juga di demo oleh sebagian
mahaiswa yang lain. Di sini Emha menjelaskan mengenai
budaya demontrasi dan penting kritik untuk keseimbangan
demokrasi.
10) Kaum muda yang menggemaskan.
Pada tema ini membahas mengenai kaum-kaum pemuda
yang melakukan unjuk rasa memprotes suatu kasus. Di sini
Emha mencoba memberi pemahaman kepada kaum tua untuk
memberi empati kepada kaum muda di mana anak muda
memang belum mengerti asam garam kehidupan, sebagai kaum
tua seharusnya memberikan contoh yang baik kepada generasi
selanjutnya.
d. Visi yang berisi sebagai berikut :
Pada tema visi ini berisi mengenai kisah seorang guru
bernama Mataki yang sangat kritis dalam melihat kondisi dari
desanya. Guru ini memiliki sikap yang berbeda dari kebanyakan
orang lainnya, di mana pak guru Mataki tersebut tidak memandang
posisinya sebagai guru dalam menjalani hidupnya, yang menurut
masyarakat saat itu guru selalu berposisi tinggi, seorang priayi dan
lebih tinggi dari pekerja kasar. Di lain pihak juga ada yang
mendukung apa yang dilakukan oleh pak Mataki tersebut karena
mengarkan panutan yang baik bagi masyarakat sekitarnya.
74
Selain itu di sini diceritakan tentang desa pak Mataki yang
kedatangan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN), dimana pak
Mataki mengalami perasaan yang campur aduk atas kedatangan
mereka. Pertama pak Mataki bersimpati atas niat baik mereka,
kedua pak Mataki terharu karena bagaimanapun mahasiswa
tetaplah anak kecil di tengah usia tua peradaban masyarakat desa,
dan yang terakhir adalah menggelikan karena mahasiswa
membawa sejumlah ide dari yang disebut kemajuan yang sungguh-
sungguh tidak dibutuhkan oleh rakyat desa itu.
Kemudian yang paling menonjol diceritakan pada tema visi
ini adalah tentang pemikiran-pemikiran kritis dan sepak terjang pak
Mataki dalam menghadapi berbagai permasalahan didesanya
seperti masalah wanita karis, masalah lurah muda yang baru
menjabat, dalam masalah pertanian, UMKM desa.
4. Amanat
Menurut Wiyanto dalam Diyah (2017: 49), mendefinisikan
amanat adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan moral, yang
ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca lewat karya sastra
yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu saja tidak disampaikan
secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat mengetahui unsur
pendidikannya setelah membaca seluruhnya.
Amanat dari buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini adalah
sebagai berikut:
75
a. Menjadi seseorang haruslah independen dan mandiri terhadap
dirinya sendiri, jangan terlalu bergantung terhadap orang lain,
seperti dalam kutipan berikut:
“Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, menegerti kedua
orang tuanya memanggul beban terlampau berat sehingga
memutuskan ikut mengarungi beban itu. Setidaknya mungkin ia
malu: wong mahasiswa itu agent of social change, elite
intelektual dan calon pemimpin bangsa, kok, numpang makan
dan minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya
rendah dan melarat? Masak ujung tombak era instrialisasi dan
globalisasi nyusu pada orang agraris-tradisional?” (Emha,
2018: 114).
b. Menjadi wakil rakyat bukan berarti menjadi atasan rakyat, tapi
dengan menjadi wakil rakyat haruslah mengerti keinginan rakyat.,
sebagaimana dalam kutipan berikut ini:
“Kamu pikir rakyat itu siapa? Rakyat itu bosmu! Rakyat itu
juragan dan pemilik negara ini. Kamu sebagai wali kota hanya
berpartisipasi sebagai kontraktor pembangunan yang diupah
oleh rakyat. Wali kota itu buruhnya masyarakat. Wali kota dan
semua pejabat itu hamba sahaya. Wali kota dan keluarganya
bisa makan karena dibayar rakyat. Yang punya segala kekayaan
bumi negari ini rakyat. Yang punya uang pajak dan semua
devisa negara itu rakyat. Pokoknya, kalian para pejabat itu
jongosnya rakyat. Namun jangan khawatir, rakyat itu juragan
yang baik. Tidak pernah ada rakyat yang memperbudak jongos-
jongosnya. Malahan yang banyak adalah jongos-jongos yang
memperbudak rakyat, padahal rakyat sesungguhnya adalah
juragan mereka” (Emha, 2018: 62).
c. Bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah,
sebagaimana dalam kutipan berikut:
“Salah satu rahmat Allah yang amat saya syukuri tak habis-
habisnya adalah bahwa Ia senantiasa melapangkan jalan bagi
saya untuk tetap menjadi orang kecil, orang biasa” (Emha, 2018:
90).
5. Sinopsis
76
Buku ini berisi mengenai kritik-kritik sosial dan dikemas dalam
dialog-dialog unik oleh pengarang sebagian besar isi buku adalah
pengalaman pribadi dari pengarang buku, kemudian setelah dialog
dipaparkan pendapat-pendapat pengarang mengenai masalah-masalah
yang dijadikan dialog ataupun monolog
Dalam buku ini dipaparkan mengenai para pejabat yang salah
sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa
mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira bawahan.
Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka, mereka merasa sah
dan tidak berdosa kalau memaksakan kehendak mereka atas rakyat
karena mereka yang berhak membuat peraturan. Rakyat hanya punya
kewajiban untuk menaatinya. Seperti tatanan dunia yang dibalik.
Karena hak atas segala aturan seharusnya ada ditangan rakyat. Kalo
rakyat tidak setuju itu artinya bos tidak setuju. Rakyat adalah pemilik
pembangunan.
77
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Gelandangan di
Kampung Sendiri
Nilai Pendidikan Karakter pada buku Gelandangan di Kampung
Sendiri karya Emha Ainun Nadjib ini banyak disajikan dalam bentuk
dialog serta cerita yang dialami oleh Emha Ainun Nadjib secara langsung
dan respon Emha Ainun Nadjib dalam menyikapi suatu masalah dalam
dialog tersebut.
Kalimat yang digunakan oleh penulis buku mudah dipahami bagi
kalangan akademisi, dan pengarang buku juga berusaha untuk mengajak
pembaca untuk terlibat dan berpikir pada masalah yang ada di dalam buku.
Penulis akan menjabarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri, sebagai berikut:
1. Religius
Religius dalam bersikap sangat penting dalam kehidupan ini, di
mana karakter ini mencerminkan kepatuhan seseorang terhadap ajaran
agamanya. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini terdapat
kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu religius. Hal
tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Masyarakat tidak tahu harus membawa keluhan mereka kemana
dan kepada siapa lagi. Maka, harapan kami hendaklah keluhan
ini tidak didiamkan, melainkan disuarakan, sesuai kepengasuhan
dan kasih sayang Tuhan” (Emha, 2018: 14).
78
“Tuhan Allah pasti dengan gampang bisa menjawab soal-soal
“rutin seperti ini. Namun ia telah mendelegasikam
pengelolaannya kepada pengurus-pengurus dunia yang
diciptkan-Nya: lembaga-lembaga sosial, institusi keagamaan,
organisasi kemsyarakatan, dan sebagainya” (Emha, 2018: 16).
“Dan mestinya, demikianlah pula yang disebut dengan teater
pancasila, yang tidak hanya mengutamakan dan menggali
muatan dari sumber nilai keadilan dan kesejahteraan bersama,
tetapi melandasi seluruhnya pada nilai kemanusiaan dan
regiositas ketuhanan” (Emha, 2018: 26-27).
“Ilmu manusia, ilmu kita sangatla terbatas. Tiap hari kita
membaca dan mendengar tentang George Bush, tentang hari
bumi di Brazil atau tentang suara-suara di Surabaya dan Jakarta.
Namun sekedar mendengar dan membaca. Selebihnya kita tidak
mengerti persis. Hanya sunyi sembahyang kita, yang insha Allah
menunjukkan mana yang sejati mana yang palsu? ” (Emha, 2018:
46).
“Yang pertama mesti dilakukan oleh mahasiswa kita ini adalah
mensyukuri hidayah Allah, bahwa di tengah lingkungan yang
sekuler-abangan-klenik, malah lahir dalam dirinya dambaan-
dambaan serius untuk mengislamkan darah daging jiwa
raganya” (Emha, 2018: 71).
“Salah satu rahmat Allah yang amat saya syukuri tak habis-
habisnya adalah bahwa Ia senantiasa melapangkan jalan bagi
saya untuk tetap menjadi orang kecil, orang biasa” (Emha, 2018:
90).
“Aku jatuh cinta kepada-Mu, ya Allah sebab aku mencintai
mereka. Dan aku jatuh cinta kepada mereka, ya Kekasih, sebab
aku mencintai-Mu” (Emha, 2018: 103).
Pada kutipan-kutipan di atas menunjukkan karakter religius di
mana sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya. Di dalam kutipan tersebut terdapat karakter bersyukur,
pasrah dan semangat dalam menjalankan ajaran agamanya.
79
2. Jujur
Jujur merupakan karakter yang terpuji, tanpa kejujuran seseorang
akan menimbulkan kebohongan baik bagi dirnya sendiri maupun orang
lain. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini terdapat kutipan
yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu jujur. Hal tersebut
terdapat pada kutipan berikut:
“Sebagai putrinya, saya telah berusaha menasehati Bapak, juga
berdoa kepada Tuhan agar beliau menghentikan kecurangan itu.
Namun, Bapak terus saja,padahal makan minun, dan biaya hidup
saya berasal dari kecurangan ini. Saya jadi merasa bahwa diri
saya juga berdosa. Bahwa seluruh perbuatan baik saya, sholat,
puasa, dan amal-amal saya tidak ada gunanya. Darah daging
saya ini riba, haram” (Emha, 2018: 55-56).
“Logika dan moralitas Muhammad terbalik bagi kita. Sebelum
menjadi nabi dan pemimpin , Muhammad membuktikan dulu
perilaku yang terpercaya (al-amin), menjadi sales yang jujur dan
menjaga setiap ucapannya. Kemudian setelah jadi nabi malah
berhenti berdagang. Padahal mestinya menurut gaya hidup kita
yang maju dan modern sesudah tercapai menjadi pengusaha
itulah justru peluang amat luas untuk menggunungkan omzet
dagang” (Emha, 2018: 67-68).
“Ada rambu SARA, yang penafsiran atasnya selalu kabur dan
berdasarkan subjektivisme kekuasaan, dan sebagainya. Itu senua
membuat kita sering terpaksa menyembunyikan kejahatan,
melindungi kebobrokan, atau menutup-nutupi kekejaman. Kita
sungguh-sungguh belum lulus dalam hal menentukan strategi
aplikasi dari filosofi demokrasi, keterbukaan, atau yang dalam
agama disebut qulil haqqa walau kana nurran. Katakan yang
benar, meskipun pahit. Yang benar tentang kebenaran, maupun
yang benar tentang kejahatan” (Emha, 2018: 133).
Pada kutipan-kutipan di atas terdapat nilai karakter jujur yaitu
untuk senantiasa berbuat jujur, jujur dalam bersikap serta menjaga
setiap ucapannya, jangan pernah menutup-nutupi kekejaman ataupun
kebobrokan, dan katankan yang benar walaupun itu pahit.
80
3. Toleransi
Indonesia merupakan negara yang berdiri atas banyak suku,
bangsa, dan agama, dengan adanya toleransi maka akan tetap terjaga
persatuan yang berbeda-beda ini. Pada buku Gelandangan di Kampung
Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan
karakter yaitu toleransi. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Seorang pendeta di Tarus, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang
saya pernah senda gurau dengannya semalam-malaman,
menginginkan anggotanya dalam organisasi pengembangan
masyarakat agar pergi ke pulau Flores yang ditimpa bencana,
untuk melihat apa-apa yang mereka bantu” (Emha, 2018: 117).
“Ibarat kalau ada orang kejet-kejet ditabrak truk, segera saja
Anda menolongnya, tak usah dulu tanya korban apa agamanya,
apa maadzhabnya, apa alirannya, dan apa proposalnya” (Emha,
2018: 118).
“Ketika berhadapan dengan komunitas Kristiani, termasuk para
pendeta dan pastor, di sebuah kota Indonesia bagian timur
beberapa minggu lalu , saya diprotes tentang islamisasi di Timor
Timur. Saya hanya menjawab dengan kejujuran,bahwa
islamisasi, seperti juga kristenisasi, adalah resiko dan tanggung
jawab normal dari keimanan. Bagi Kristen, mengkristenkan
orang adalah menyelamatkan dari murka Allah. Kedua jenis
iman itu, meskipun berbenturan, sebaiknya tidak dilihat sebagai
konflik, tetapi sebagai dinamika, dialog, dan kompetisi yang
wajar. Persoalannya bagaimana me-menage aturan main
nasional dengan mekanisme saling kontrol yang seadil-adilnya”
(Emha, 2018: 174-175).
“Kata orang Jawa, hidup ini sawang-sinawang. Kata orang
Islam, tawashau bil-haq wa tawashau bi-shabr. Saling bercermin,
saling ingat mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran.
Bangsa, suku, dan agama lain pasti juga punya jargon filosofi
semacam itu, yang saya belum memperoleh informsinya. Namun,
jelas bahwa baik dalam pergaulan sehari-hari, bermasyarakat,
maupun dalam mekanisme kehidupan bernegara, filosofi itu
sangat diperlukan. Hanya saja penerjemahnya secara sistematik
berbeda-beda” (Emha, 2018: 200).
81
Pada kutipan-kutipan di atas terdapat nilai karakter toleransi yaitu
saling menghargai antar umat beragama kehidupan berbangsa dan
bernegara, dalam menolong sesorang tanpa janganlah memandang
perbedaan serta saling ingat mengingatkan dalam hal kebenaran.
4. Kerja keras
Kerja keras merupakan upaya sungguh-sungguh dalam mencapai
tujuannya, di mana seseorang akan berusaha mencapainya dengan
sebaik mungkin. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini
terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu
kerja keras. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Sejak pukul satu tengah malam, ibu-ibu di Srandakan, Bantul,
sudah menyiapkan dagangannya yang kemuudian mereka
panggul di punggung lalu jalan kaki dua puluh kilometer ke
Pasar Kota Yogyakarta, berjuang sampai siang untuk
memperoleh seribu-duaribu rupiah.” (Emha, 2018: 9).
“Sekarang juga mereka harus makan, beli sabun cuci, dan
membersihkan WC. Tak bisa menunggu hasil perjuangan
nasional. Maka, mereka harus kerja keras sekarang juga:
berangkat kerja ke ladang dari pukul enam pagi hingga senja
menjelang” (Emha, 2018: 11).
“Apa yang kita perjuangkan terutama adalah etos kerja,
kesediaan untuk bekerj keras dan kejam kepada diri sendiri,
bukan memimpikan fasilitas. Salah satu wujud kreativitas adalah
kesanggupan bekerja maksimal dalam kondisi dan fasilitas yang
minimal” (Emha, 2018: 122).
“Pak Guru Mataki mengajarkan mental kerja, bukan hanya
pandai menghafal isi pelajaran sekolah yang mereka belum tentu
paham. Pak Mataki memberi contoh jangan malu mengerjakan
apa saja, asal halal dan baik bagi masyarakat maupun dirinya
sendiri” (Emha, 2018: 213).
“Oh,Pak Dayik! Siapa gerangan Pak Dayik? Ia rakyat kecil yang
lugu. Juga lugu dalam segala macam obsesi dan mimpi-
82
mimpinya. Sejak masa mudanya ia adalah aktivis dusunyang
jasanya besar terhadap penduduk. Ia bagian disuruh-suruh oleh
siapa saja, baik Pak Lurah, para pamong, serta orang-orang
kaya dan terpandang, meski statusnya tidak jelas. Ia pekerja
keras. Disuruh mamanjat kelapa ya mau, disuruh beli obat di
pasar kecamatan juga mau, disuruh jaga rumah juga mau.
Pokokny apa saja, asal jangan diajak merampok atau
memperkosa (Emha, 2018: 241).
Pada kutipan-kutipan di atas terdapat nilai karakter kerja keras
sebagai sebagai contoh adalah seorang ibu-ibu yang bekerja keras untuk
mendapat beberapa rupiah untuk menghidupi keluarganya. Ibu-ibu itu
rela sejak pukul satu malam menyiapkan dagangannya, lalu
memanggulnya dengan jalan kaki dua puluh kilometer ke pasar
berjuang sampai siang, pak Mataki yang mengajarkan muridnya untuk
bekerja tanpa malu asal halal dan baik bagi masyarakat maupun dirinya
sendiri, dan Pak Dayik yang bekerja keras melakukan apa saja untuk
obsesi mimpi-mimpinya.
5. Kreatif
Kreatif untuk menghasilkan hal baru sangat dibutuhkan,
penemuan-penemuan yang sekarang kita nikmati sekarang ini adalah
salah satu hasil kreatifitas ilmuan pada masa lampau. Seiring
berjalannya waktu tentu saja ide kreatif akan selalu berpartisipasi aktif
dalam kehidupan. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini
terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu
kerja kreatif. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Maksud saya, dari pada kalau nganggur-nganggur hanya diisi
dengan joget dangdut atau ngramal buntutan, mungkin bisa
mendayagunakan proses teater untuk menatar diri mereka sendiri
83
mereka sendiri. Ini perlu karna proyek penataran pemerintah
tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi, kaum
buruh harus tahu cara menatar diri mereka sendiri” (Emha,
2018: 25-26).
“Ia autodidak penuh, mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilannya sejak kanak-kanak. Kalau terknisi lain sudah
angkat tangan dia selalu menjadi pamungkas penyelesaian
problemnya. Dia juga selalu sangat kritis, dan sesekali sambil
memperbaiki mesin mobil, dia menggerutu menyalahkan
pabriknya yang dia bilang keliru mengonsep sistem-sistem
tertentu. Akan tetapi, justru karena keahliannya, dia sering kali
merugikan usaha saya. Sampai tingkat tertentu ia bisa
memperbaiki suatu onderdil dengan cara dan akal yang tak
habis-habisnya sampai layak pakai kembali” (Emha, 2018: 52).
“Oleh karena itu, ketika bagian tertentu dari suratnya ia
menyatakan bahwa sebagai ikan ia telah melompat dari
akuarium, saya hanya bisa menyatakan optimisme dan
kegembiraan bahwa ia tergolong manusia kreatif dan sadar
kemandirian” (Emha, 2018: 85.
“Maka, teater rakyat memiliki mekanisme lebih demokratis. Para
pemainnya ditantang untuk kreatif, menguasai persoalan secara
autentik.pemain-pemain ketoprak jauh lebih menguasai bahasa
dan sastra Jawa dibanding penguasa teater modern atas bahasa
dan sastra Indonesia” Emha, 2018: 172)
“Pengembilan jarak itu penting, terutama bagi masyarakat yang
berada dalam keadaan mendem atau tenggelam dalam sesuatu
yang mereka tak bisa menilainya. Pengembilan jarak dengan
demikian bisa berarti aliensi, pergeseran untuk mengasingkan
diri, dan mungkin pada saat-saat tertentu dianggap gila dan naif.
Namun memang hanya orang yang berani gila dan naif saja yang
punya peluang untuk menilai zaman ini dan memperbaikinya”
(Emha, 2018: 191).
Pada kutipan-kutipan di atas mencerminkan bahwa seseorang
dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan keinginannya, pantang
menyerah dalam menggapai sesuatu, dan selalu mencari jalan keluar
yang kreatif dan berbeda dari orang lain.
84
6. Mandiri
Pribadi yang mandiri adalah pribadi yang tak bergantung pada
orang lain, di mana bisa menjalankan tugas yang diberikan kepadanya
tanpa harus merepotkan orang lain. Pada buku Gelandangan di
Kampung Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai
pendidikan karakter yaitu mandiri. Hal tersebut terdapat pada kutipan
berikut:
“Maksud saya, dari pada kalau nganggur-nganggur hanya diisi
dengan joget dangdut atau ngramal buntutan, mungkin bisa
mendayagunakan proses teater untuk menatar diri mereka sendiri
mereka sendiri. Ini perlu karna proyek penataran pemerintah
tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi, kaum
buruh harus tahu cara menatar diri mereka sendiri” (Emha,
2018: 25-26).
“Allah yang Maha Kasih masih tetap memperkenankan saya
untuk tidak terlalu terhalang oleh apa pun dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari sebagai orang kecil. Umpamannya mandi
sendiri, menggelar tikar tidur sendiri, mencuci pakaian sarung
bantal sendiri, memasak dan meracik minuman sendiri,
memotong kuku sendiri, menyapu lantai dan halaman rumah
sendiri, memperbaiki genteng sendiri,dan sebagainya, meskipun
saya tidak sanggup memotong rambut saya sendiri” (Emha,
2018: 90).
“Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, menegerti kedua
orang tuanya memanggul beban terlampau berat sehingga
memutuskan ikut mengarungi beban itu. Setidaknya mungkin ia
malu: wong mahasiswa itu agent of social change, elite
intelektual dan calon pemimpin bangsa, kok, numpang makan dan
minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya
rendah dan melarat? Masak ujung tombak era instrialisasi dan
globalisasi nyusu pada orang agraris-tradisional?” (Emha, 2018:
114).
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter mandiri yaitu
memberi nasihat kepada kaum buruh agar mereka bisa mandiri dengan
85
cara menatar diri mereka sendiri dan dengan karakter mandiri ini
seseorang bisa mengurangi beban orang lain walaupun mandiri sendiri
bukan berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain.
7. Demokratis
Karakter demokratis harus dibangun agar sesorang dapat saling
menghargai pendapat orang lain dan mengerti tentang kesamaan hak
dan kewajiban antar manusia. Pada buku Gelandangan di Kampung
Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan
karakter yaitu demokrasi. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab
tempat keududukan direktur dengan tempat tukang sapu memang
berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun,
setikdaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing” (Emha,
2018: 22).
“Memang betul bahwa pemerintah dan lembaga perwakilan
rakyat telah diberi mandat untuk membuat aturan-aturan. Namun
hak atas segala tatanan dan aturan tetaplah di tangan rakyat”
(Emha, 2018: 63).
“Adapun dalam lakon-lakon demokrai, apalagi demokrasi
Pancasila (semacam Wahyu Makutarama Modern), setiap
penonton dituntut untuk menjadi dalang, masing-masing atau
bersama. Setiap rakyat adalah subjek pembangunan,
sebagaimana tiap pejabat adalah pekerja pembangunan yang
mengabdi kepada rakyat. Aspirasi rakyat adalah dalang utama”
(Emha, 2018: 107).
“Kita bebas menentukan sikap, tetapi objektivitas dan keadilan
sejarah juga merdeka untuk melihat siapa yang adil dan objektif
serta siapa yang adil dan subjektif dalam ber-sawang sinawang”
(Emha, 2018: 193).
“Soal topik yang muluk-muluk dan suka pakai bahasa asing itu,
kan, bisa diatasi. Toh, dalam aturan diskusi setiap peserta berhak
ikut menentukan tema yang sebaliknya diperbincangkan. Siapa
saja boleh menolah dan usul” (Emha, 2018: 220).
86
“Tidak tahu apa istimewanya yang tepat. Namun, pokoknya
kedaulatan rakyat harus diterjemahkan secra objektif, jujur,
adil,dan sungguh-sungguh di segala bidang” (Emha, 2018: 276).
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter demokratis dimana
hak satu dengan yang lainnya sama, berat sama dipikul ringan sama
dijinjing, walaupun begitu tetap pada tempatnya masing-masing.
8. Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu akan mengantarkan seseorang untuk selalu
bertanya dan mengantarkan seseorang untuk kritis di lingkungan
sekitarnya, jika karakter ini diarahkan kearah yang positif maka tentu
saja akan terbentuk karakter positif apa diri. Pada buku Gelandangan di
Kampung Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai
pendidikan karakter yaitu rasa ingin tahu. Hal tersebut terdapat pada
kutipan berikut:
“Hakikat mogok itu sama dengan hakikat macetnyanya lalu
lintas. Apakah bisa dibuat undang-undang yang melarang
jalannya macet? Karena kecerdasan buruh meningkat, mungkin
akan ada yang membuka wawasan lain: “Bagaimana kalau jalan
yang ditempuh bukan pemogokan, melaikan suatu cara yang
lebih bijak?” (Emha, 2018: 23).
“Dalam pergaulan hidup ini, kita sebisa mungkin harus tahu
siapa kita, siapa orang didepan kita dan orang-orang lain di sini
dan di sana, serta harus tahu apa yang kita perbuat” (Emha,
2018: 29).
“Kita ingin tahu, kita ingin diberitahu oleh mereka yang memiliki
kemampuang dan ilmu untuk memberi tahu. Kita tidak bisa
membiarkan diri kita tidak tahu”(Emha, 2018: 40).
“Akan tetapi, bagaimana penjelasan yang melegakan tentang
mbah Jiwo? Siapa yang memerintahkan agar ia melakukan itu?
Struktur kejiwaanya yang tidak normal? Apa yang kita maksud
87
normal? Normalkah kita yang menghidupi sekian banyak jenis
ktidakadilan, pengisapan, dan penindasan?” (Emha, 2018: 140).
“Allah menuntun mulut kita agar mengucapkan, Innama
asykubatstsi wa huzni illah. Aku keluhkan derita dan kesedihanku
kepada Allah. Namun bukankah Ia telah mewakilkan diri-Nya
dan tugas-tugas itu kepada kita? Akankah kita perintahkan Allah
agar mengurusi soal kenaikan harga?” Emha, 2018: 149)
“Saya tidak mengatakan bahwa kualitas mental dan etika
manusia bengsa kita dewasa ini cukup tahu diri dan bisa diubah
oleh imbauan atau sindiran, tetapi manusia senantiasa butuh
berzikir atau mengingat-ingat, bahwa benere wong akeh pun
tidak selalu benar, apalagi benere dewa yang sering dilakukan
oleh mereka dumeh lan mumpung kuwoso. Sehingga betapa perlu
semua orang, institusi, serta setiap komponen kebangsaan kita
meluangkan waktu untuk mencari bener seng sejati” (Emha,
2018: 179).
“Sebelum-menentukan ilmu dan pilihan-pilihan anak muda
terpelajar dari kota justru harus dilihat dari gejala dinamika
kreatif. Anak-anak itu berada pada fase mencari sehingga
memang selayaknya kalau kepada penduduk dusun pun mereka
mau belajar” (Emha, 2018: 219).
“Tidak hanya untuk memberi contoh dan dorongan bagi kaum
muda desa, tetapi juga karena Pak Mataki inin memiliki gairah
mencari ilmu yang sangat besar. Ia sangat bersemanagt bertanya
dan membantah atau mempertanyakan sesuatu yang tidak cocok
dengan pandangannya” (Emha, 2018: 222).
“Mumpung masih ada mahasiswa yang ber-KKN di desa kita,
katanya setiap kali kepada guru-guru lain atau siapa saja yang
dijumpainya, kita serap ilmu dan informasi dari mereka
sebanyak-banyak” (Emha, 2018: 223).
“Kalian ini anak-anak muda yang terdidik dan menjadi jauh
lebih pandai dari kami. Jadi kenapa, kalian meremehkan kami?
Kenapa kalian meminta kami orang-orang bodoh ini
menyesuaikan diri pada taraf dan displin ilmu kalian? Apa tidak
terbalik? Bukankah seharusnya orang pandai yang menyesuaikan
diri kepada orang bodoh? Apa gunanya kepandaian kalau tidak
digunakan untuk menampung orang bodoh? Apa gunanya ilmu
kalau dengan itu kalian malah meminta kami yang tak berilmu ini
untuk mengabdi kepada kalian dan selalu menyesuaikan diri
kepada kalian?” (Emha, 2018: 225).
88
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter rasa ingin tahu di
mana rasa ingin tahu tersebut memberi dampak yang positif dan
membuat seseorang kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungannya.
9. Semangat Kebangsaan
Seseorang yang memiliki semangat kebangsaan yang tinggi akan
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi pula. Pada buku Gelandangan
di Kampung Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai
pendidikan karakter yaitu semangat kebangsaan. Hal tersebut terdapat
pada kutipan berikut:
“Sejak di taman kanak-kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita
yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita
dewasa, sekarang kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita
adalah bagaimana senantiasa menyumbangkan tenaga dan
pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa,
membahagikan mansyarakat, dan menciptakan ketentraman
sosial” (Emha, 2018: 17).
“Sebagai warga negara yang berusaha baik, saya selalu merasa
wajib mencegah segala sesuatu yang bisa meresahkan
masyarakat, meskipun yang bisa saya lakukan, ya, hanya sebatas
begini-begini saja.” (Emha, 2018: 19).
“Sejarah, peradaban, negara, dan masyarakat selalu terdiri atas
berbagai komponen yang seyogyanya saling bekerja sama. Para
negarawan, politisi, dan teknokratnya; para rohaniwan dan
ilmuan dengan segala tangan partisipasinya; juga siapapun saja
tidak hanya bisa bekerja sendirian. Pemerintah tidak bisa dan
tidak wajib bertanggung jawab seluruh persoalan manusia yang
diperintahnya sehingga ia perlu bersedia untuk dibantu, bukan
justru mencurigai setiap gerak partisipasi sosial yang kebetulan
mereka belum memahami dan tidak langsung berada dalam
kubunya. Juga komponen-komponen lainnya dalam kebersamaan
nasional ini” (Emha, 2018: 80-81).
“Padahal, yang Gus Dur, sebut formalisasi Islam pada hemat
saya sekedar penerapan hak biasa-biasa saja. Umat Islam,
sebagaimana umat Kristen, atau sebagaimana kelompok-
89
kelompok sosial dalam konteks non-teologi, memiliki hak untuk
memperoleh tempatnya sendiri dalam kehidupan bernegara. Dan
justru itulah makna bhineka. Kebinekaan, keberagaman kelompok
dan kepentingan tidak otomatis berarti sektarianisme sejauh
mereka mengorientasikan diri pada kesepakatan ika, untuk
persatuan dan kesatuan nasional” (Emha, 2018: 177).
“Payah! Pak Mataki Protes, Kalau di tingkat desa saja kalian tak
berani, bagaimana mau mengubah negara?” (Emha, 2018: 221).
Pada kutipan di atas terdapat karakter kebangsaan bahwa cita-cita
mulia adalah senantiasa menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk
menyejahterakan masyarakat dan sebagai warga negara yang baik wajib
mencegah segala sesuatu yang bisa meresahkan masyarakat.
10. Cinta Tanah Air
Dengan adanya karakter cinta tanah air ini maka akan membuat
seseorang untuk rela berkorban dan berjuang demi bangsa, serta selalu
memberi kontribusi positif bagi negara. Pada buku Gelandangan di
Kampung Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai
pendidikan karakter yaitu cinta tanah air. Hal tersebut terdapat pada
kutipan berikut:
“Padahal, rakyat negeri kita terkenal gampang diajak
bermusyawarah, lunak hatinya, luas dadanya, tinggi kesediannya
untuk berkorban demi kemajuan pembangunan” (Emha, 2018: 5)
“Mak kepad massa PPP di Surabaya itu saya kemukakan, yang
saya lihat bukan PPP kemarin dan sekarang, melainkan PPP
yang anda semua impikan dan aspirasikan. Dalam selebaran
juga saya sebutkan, saya ikut berdoa agar PPP mampu
mentransformasikan diri menjadi partai hari depan yang relevan
terhadap umat Islam dan berfungsi rahmatan lil alamin bagi
seluruh rakyat Indonesia” (Emha, 2018: 151)
“Itu juga menunjukkan bahwa tingkat nilai demokrasi kita tidak
sangat tinggi: ada yang lebih tinggi dan mulia yang dibutuhkan
90
oleh kehidupan. Mungkin itu sebabnya orang mencita-citakan
demokrasi Pancasila. Pada Pancasila itulah, tampaknya, termuat
nilai yang lebih tinggi” (Emha, 2018: 174-175).
“Dalam hal ini, saya sendiri sedang meletakkan diri sebagai
warga negara yang penuh syukur dan optimisme hidup. Meskipun
barangkali saya juga bisa mengambil posisi sebaliknya;
menganggap secara apatis dan skeptis bahwa pemilu ini bisa saja
tak usah ada sama sekali kalau, toh, tidak mengubah realitas”
(Emha, 2018: 195).
“Ia menghabiskan umurnya, tenaga, pikiran, dan cintanya untuk
kepentingan para tetangganya sedesa, kalau perlu melebar ke
desa-desa sebelah. Bu Limah adalah orang yang benar-benar
menerapkan slogan „berjuang demi bangsa dan negara‟,
sementara banyak wanita atau pria karier di dunia yang merasa
modern itu sebenarnya menggunkan segala fasilitas bangsa dan
negara ini demi kemajuan dan kepentingan pribadinya dan
keluargnya saja. Maaf juga” (Emha, 2018: 256).
Pada kutipan di atas mengandung karakter cinta tanah air yaitu
rela mengorbankan kepentingan pribadi demi tanah air dan bangga akan
Pancasila.
11. Menghargai Prestasi
Menghargai prestasi artinya juga menghargai proses karena
didalam proses terdapat kerja keras usaha yang akhirnya menghasilkan
prestasi yang diinginkan. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri
ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu
menghargai prestasi. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Saya katakan diketahui dan dipahami dalam arti, kita semua
sebagai bangsa yang ingin menjadi makin dewasa, ditantang
untuk memberikan empati dan apresiasi terhadap gejala situasi
anak-anak sendiri. Sebab, biasanya yang kita berikan kepada
gejolak kaum muda yang demikian adalah sisnisme, sikap apriori,
meremehkan, atau bahkan menuduh, menghakimi, dan
memfitnah” (Emha, 2018: 203).
91
“Biarkan saja dia bergaya seperti itu. Yang penting cara kita
mengukur pak dayik tidak melalui baju dan aksesoris lainnya,
melainkan lewat kerja dan prestasinya” (Emha, 2018: 243).
Pada kutipan di atas mengandung karakter menghargai prestasi
yaitu dengan mengapresiasi apa yang dilakukan oleh generasi muda dan
tidak malah meremehkan, sinis, atau bahkan memfitnah.
12. Bersahabat/Komunikatif
Bersahabat/komunikatif sangat diperlukan dalam berkomunikasi
antar manusia, karena hal tersebut akan membuat seorang lawan bicara
akan senang. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini terdapat
kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu
bersahabat/Komunikatif. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Saya hanya ingin membagi kebahagiaan saya kepada Anda
semua yang berasal dari pergaulan saya dengan bermaam-
macam manusia, terutama orang-orang kecil. Orang-orang yang
sakit jiwa, yang mengalami broken home atau menjadi campakan
dari global broken society, buruh-buruh kecil, karyawan-
karyawan rendahan, bapak-bapak terlilit utang, mahasiswa yang
kacau sistem otaknya karena ada konsleting antara kapasitas
informasi dan tingkat kecanggihan programnya, suami-suami
yang istrinya digondol, anak-anak yang pandai tetapi cita-citanya
tinggi tapi tak punya biaya kuliah, pejalan-pejalan yang terikat
tersesat karena tanpa mursyid, orang dengan jenis kesulitan
hidup yang tak bisa dijamin akan berubah siapa pun yang
menang dalam pemilu” (Emha, 2018: 78).
“Ketika ku sapa mereka yang kesakitan nasibnya dan karena itu
mereka tertawa-tawa, ketika kulambaikan tangan kepada mereka-
mereka yang memanggul beratnya mencari nafkah, dahsyatnya
mempertahankan kemanuisaan dan kewajaran hiup-kulihat
Engkau bersama bercengkrama dengan mereka” (Emha, 2018:
103).
“Pak Mataki tak bosan-bosannya mengingatkan siapa saja,
terutama kaum muda, agar jangan bersikap negatif dan apriori
kepada lurah baru itu. Betapapun Ia tidak peka terhadap tugas-
92
tugas kepemimpinannya, betapapun ia sering tinggi hati, bersikap
feodal, bahkan terkadang eksplosif, tetapi ia justru harus
ditemani agar berproses mengembangkan dirinya. Siapa tahu
kelak ia akan bisa menjadi pemimpin sebagaimana yang
didambakan oleh penduduknya” (Emha, 2018: 236).
Pada kutipan di atas terdapat karakter bersahabat dan komunikatif
yaitu berteman dengan siapapun tanpa harus memandang status dan
membawa kedamaian dan kenyamanan bagi orang disekitarnya.
13. Cinta Damai
Kedamain hidup adalah harapan setiap orang. Dengan kedamaian
akan berkurang rasa permusuhan dan kebencian serta akan
menyelesaikan suatu konflik. Pada buku Gelandangan di Kampung
Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan
karakter yaitu cinta damai. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Tentu saja saya yang bagian ngerem-ngerem hatinya” (Emha,
2018: 9).
“Hidup saya yang hanya satu kali ini dengan serius saya
pergunakan untuk memperbanyak sahabat, dari yang muda,
anak-anak, orang tua, orang miskin, orang pangkat, orang biasa,
bahkan jin dan makhluk-makhluk lain, pokoknya siapa saja. Itu
saya pergunakan untuk meningkatkan kadar dan kualitas cinta
kasih kemanusiaan saya, sembari saya manfaatkan untuk
mengikis rasa benci dihati saya” (Emha, 2018: 30).
“Ketika berhadapan dengan komunitas Kristiani, termasuk para
pendeta dan pastor, di sebuah kota Indonesia bagian timur
beberapa minggu lalu , saya diprotes tentang islamisasi di Timor
Timur. Saya hanya menjawab dengan kejujuran,bahwa
islamisasi, seperti juga kristenisasi, adalah resiko dan tanggung
jawab normal dari keimanan. Bagi Kristen, mengkristenkan
orang adalah menyelamatkan dari murka Allah. Kedua jenis
iman itu, meskipun berbenturan, sebaiknya tidak dilihat sebagai
konflik, tetapi sebagai dinamika, dialog, dan kompetisi yang
wajar. Persoalannya bagaimana me-menage aturan main
93
nasional dengan mekanisme saling kontrol yang seadil-adilnya”
(Emha, 2018: 174-175).
“Oleh karena itu, selalu ada baiknya dipelihara romantisme kita
untuk berempati terhadap penderitaan orang-orang yang menjadi
korban, serta jengkelan terhadap mereka yang mengorbankan.
Namun tulisan ini bermaksud melakukan suatu interlude untuk
mencoba berpikir jernih, serta menilai persoalan-persoalan
secara seimbang dan adil” (Emha, 2018: 179).
“Ketakutan adalah hak milik budaya kita yang bersifat
tradisional. Sejak kecil kita dididik untuk takut kepada orang tua,
bapak-ibu guru, pak lurah, hantu, dan tentara. Sedemikian rupa
sehingga mereka akhirnya selalu menakutkan. Alangkah
indahnya kala pola hubungan ketakutan itu ganti pelan-pelan
dengan pola hubungan cinta, sayang, saling memahami, dan
saling memberi ruang” (Emha, 2018: 197-198).
“Saya katakan diketahui dan dipahami dalam arti, kita semua
sebagia bangsa yang ingin menjadi makin dewasa, ditantang
untuk memberikan empati dan apresiasi terhadap gejala situasi
anak-anak sendiri. Sebab, biasanya yang kita berikan kepada
gejolak kaum muda yang demikian adalah sisnisme, sikap apriori,
meremehkan, atau bahkan menuduh, menghakimi, dan
memfitnah” (Emha, 2018: 203).
“Seperti saya katakan tadi, saya hanya takut, khawatir. Saya ini
ornag yang lemah hati. Tidak tegaan. Apalagi, melihat orang
menjadi renggang hanya karena sesuatu yang sebenarnya tidak
perlu membuat mereka renggang. Itulah sebabnya pada pemilu
lima tahun lalu saya selenggarakan terbangan massal agar
semua bisa kompak kembali dan bersatu dalam lingkaran
kemanusiaan serta landasan keagamaan. Ingat kamu?” (Emha,
2018: 268).
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter cinta damai yaitu
menenagkan hati orang yang berkonflik, hidup dengan serius di
pergunakan untuk memperbanyak sahabat untuk meningkatkan kadar
dan kualitas cinta kaih kemanusiaan dan untuk mengikis ras benci
dihati, memelihara romantisme dan empati terhadap penderitaan orang
lain.
94
14. Gemar Membaca
Dengan membaca akan meningkatkan kualitas dan kuantitas
pengetahuan seseorang, karna membaca akan meningkatkan rasa
keinignin tahuan lalu akan terus haus akan ilmu dan mencari tahu akan
keingin tahuannya itu. Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini
terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu
gemar membaca. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Ilmu manusia, ilmu kita, amatlah terbatas. Tiap hari kita
membaca dan mendengar tentang George Bush, tentang hari
bumi di Brazil atau tentang suara-suara di Surabaya dan Jakarta.
Namun, sekedar mendengar dan membaca . Selebihnya kita tidak
mengerti persis. Hanya sunyi sembahyang kita, yang insya Allah
menunjukkan mana yang sejati mana yang palsu” (Emha, 2018:
46)
“Dari koran kemarin, kita membaca dua masalah yang menarik
dan komentar yang jauh lebih menarik lagi Menko Polkam
Sudomo. Pertama maslah impor tenaga kerja asing di proyek PT
Sinar Mas Grup, yang ada kaitannya dengan persoalan
nasionalisme karena konteksnya semata-mata hanya
pertimbangan ekonomis” (Emha, 2018: 144)
“Pak Guru Mataki tahu bahwa dengan hidup di desa, pasti ia
akan berpotensi untuk kuper atau ketinggalan kereta dalam soal
ilmu dan informasinya, maka di samping selalu meningkatkan
daya analisis ketika nonton televisi, mendengarkan radia serta
membaca satu-dua koran yang kebetulan masuk desa, Pak Mataki
merasa memperoleh rezeki besar dengan datangnya para anak
pandai dari kota” (Emha, 2018: 222-223).
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter gemar membaca,
dengan membaca seseorang dapat mengetahui tentang apa yang belum
dia ketahui sebelumnya dan akan membuka wawasan baru.
95
15. Peduli Sosial
Rasa peduli sosial dan lingkungan merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan bermasyarakat karena sejatinya kita tidak bisa
hidup sendiri, tentu kita memerlukan orang lain dalam berbagai aspek
kehidupan. Sehingga meniptakan kehidupan masyarakat yang saling
peduli satu dengan yang lainnya. Pada buku Gelandangan di Kampung
Sendiri ini terdapat kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan
karakter yaitu peduli sosial. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
“Dalam segala jenis dan tingkat perundang-undangan negeri ini
tidak ada pasal yang melarang orang mengeluh, menangis, dan
meratap? Karena jawabannya tidak ada! Bahkan, yang ada
adalah kewajiban dari Allah untuk menjenguk orang sakit,
menolong orang susah, memberi makan orang lapar, sekurang-
kurangnya ikut merasakan hati orang yang teraniaya, dan
menyapa orang yang tengah kesepian” (Emha, 2018: 13).
“Dan mestinya, demikianlah pula yang disebut dengan teater
pancasila, yang tidak hanya mengutamakan dan menggali
muatan dari sumber nilai keadilan dan kesejahteraan bersama,
tetapi melandasi seluruhnya pada nilai kemanusiaan dan
regiositas ketuhanan” (Emha, 2018: 26-27).
“Menjadi manusia adalah pergulatan untuk menyeimbangkan
antara individualitas dan sosialitas” (Emha, 2018: 53).
“Akan tetapi, rupa-rupanya perniagaan Muhammad memang
lain. Ketika diberi seekor kambing, beliau lantas menyembelihnya
dan membagi-bagikannya keseluruh tetangganya” (Emha, 2018:
68).
“Tadi malam, sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta menyelenggarakan acara doa bersama untuk
kesembuhan ilmuan brilian yang dimiliki oleh universitas tersebut
dan Indonesia” (Emha, 2018: 162)
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter peduli sosial yaitu
menjenguk orang sakit, saling berbagi, menolong orang susah atau
96
sekurang-kurangnya ikut merasakan orang teraniaya dan
menyeimbangkan antara individualitas dan sosialitas.
16. Peduli Lingkungan
Alam semakin tua, kerusakan lingkungan semakin parah terjadi,
maka karakter peduli lingkungan perlu digalakkan lagi, apa yang
dilakukan sekarang akan mempengaruhi apa yang terjadi dimasa depan.
Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini terdapat kutipan yang
menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu peduli lingkungan. Hal
tersebut terdapat pada kutipan berikut:
”Pihak Dinas Kehutanan, kecamatan, dan kabupaten, tidak
dahulu bermusyawarah dengan masyarakat, pemuka-pemuka
masyarakat atau pemerintah desa. Terutama tentang penentuan
dan pengukuran batas-batas lokasi proyek, yang tidak disetujui
oleh penduduk karena telah merupakan hutan adat sejak nenek
moyang dahulu kala, yang secara tradisional diupacarai melalui
ritus sumpah taradisional, dalam konteks religi pergaulan antara
hamba Allah yang bernama masyarakat dan makhluk Allah yang
bernama sapi” (Emha, 2018: 14).
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter peduli lingkungan
yaitu tetap memperjuangkan kelestarian hutan adat yang merupakan
warisan dari nenek moyang,
17. Tangungg Jawab
Orang yang bertanggung jawab memiliki karakter berbuat sebaik
mungkin dan tidak menyalahkan orang lain ketika berbuat kesalahan.
Pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini terdapat kutipan yang
menunjukkan nilai pendidikan karakter yaitu tanggung jawab. Hal
tersebut terdapat pada kutipan berikut:
97
“Apakah para pelaku kejahatan dan sadisme yang teramat
istimewa itu akan kita suruh bercermin, ataukah mereka adalah
justru cermin terpampang di depan wajah kita?” (Emha, 2018:
40).
“Akan tetapi, jangankan Muhammad. Kepala suku Amatoa di
Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan dan kepala suku Boti, Soe,
Nusa Tenggara Timur pun tahu dan konsisten bagaimana
berperilaku sebagai pemimpin. Ia tak bersedia menerima sesuap
nasi pun dari rakyat. “Kalau saya menerima sesuatu dari rakyat
saya, mereka berhak meniru saya unutk meminta-minta.”
Katanya, “Saya harus mencontohkan bagaimana bertanggung
jawab kepada diri sendiri. Harus mencari makan sendiri, makan
dari piring yang saya buat sendiri dan minum dari gelas yang
juga saya buat sendiri” (Emha, 2018: 67).
“Namun, manusia suka jual mahal atau ogah-ogahan” ujar Pak
Guru Mataki lagi, “Manusia sudah dilantik jadi khilafah, tetapi
begitu banyak tugas dan tanggung jawabnya tak ia kerjakan.
Atau, malah ia kerjakan untuk monopoli kepentingan dirinya
sendiri” (Emha, 2018: 249).
Pada kutipan di atas menunjukkan karakter tanggung jawab
terhadap diri sendiri, serta agar bercermin kepada diri dan bertanggung
jawab atas apa yang telah diperbuat, bukan menyalahkan orang lain.
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Buku Gelandangan
di Kampung Sendiri di Kehidupan Modern
Pendidikan karakter merupakan salah satu komponen inti dalam
mewujudkan negara yang maju melalui generasi penerus bangsa yang
berkualitas. Dengan adanya pendidikan karakter, generasi penerus bangsa
akan memiliki kepribadian yang lebih baik dan berkualitas dalam
membangun bangsa dan negara. Sampai saat ini dunia pendidikan di
Indonesia dinilai belum mendorong pembangunan karakter bangsa.
Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal
98
pendidikan seharusnya memberikan pencerahan terhadap nilai-nilai luhur
itu sendiri.
Di era sekarang ini atau yang sering kita sebut sebagai era
globalisasi, masih banyak sekali orang tua yang kurang memperhatikan
moral anak-anaknya. Dengan berbagai alasan, seperti sibuk karena kerjaan
sehingga mereka lalai dalam memperhatikan anak-anaknya. Masa anak-
anak adalah masa dimana seorang anak belajar banyak hal, dari mulai
berperilaku, adap ataupun ilmu pengetahuan yang lain. Pada masa itu
anak-anak berada pada masa mencari jati diri dengan berbagai macam
cara, tingkah laku, serta seringkali penasaran dan dengan berbagai hal
kemudian mencoba melakukan hal-hal tersebut, yang terkadang perbuatan
tersebut adalah perbuatan yang negatif.
Di era sekarang ini terknologi informasi semakin maju dengan
sangat cepat, sehingga lebih memudahkan seseorang untuk mencari
informasi apa yang dia inginkan. Bahkan sudah seperti menjadi kebutuhan
bagi setiap orang. Perkembangan teknologi ini tentu saja sangat berguna
bagi setiap orang, namun dengan perkembangan ini tentu saja ada dampak
negatif yang diberikan. Contohnya adalah ketika sesorang salah
menggunakan smartphone yang sebenarnya smartphone sangat bermanfaat
bagi kehidupan sehari-hari, namun jika kita berlebihan tentu saja yang
datang adalah hal yang tidak baik, dari liputan6.com diberitakan bahwa
angka kematian pejalan kaki naik hingga 6.227 kecelakaan. Angka ini
tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Angka tersebut pun statistiknya menjadi
99
yang tercepat jika dibandingkan dengan kecelakaan terkait lalu-lintas
lainnya. Dalam kasus lain menyangkut dengan karakter yaitu kasus yang
sering terjadi yaitu tersebarnya hoax atau berita palsu yang disebarkan
dengan sangat cepat seperti kasus yang baru ini terjadi di Sulawesi
Tengah, sebagaimana yang diberitakan oleh detik.com. Anggota DPRD
Sulawesi Tengah, Yahdi Basma dilaporkan ke polisi oleh Gubernur
Sulawesi Tengah Longki Djanggola karena diduga menyebarkan kabar
bohong atau hoax. Yahdi menyebut dirinya hanya jadi korban orang yang
mengedit foto koran yang disebarnya.
Dengan seperti itu terbentuknya karakter negatif sudah sangat
terlihat dan sudah menjadi rahasia umum. Selain kemajaun terknologi
tentu saja masih banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, seperti
orangtua, lingkungan ataupun pemerintah yang sedang berdaulat saat itu.
Kemajuan teknologi juga berdampak pada faktor minat membaca
sesorang, karena sesorang sibuk bermain dengan mainan barunya yang
lebih menarik tersebut, minat membaca menjadi berkurang. Hal tersebut
berdampak buruk bagi diri. sering kali remajalah yang diserang oleh hal
tersebut, dan menyebabkan moral mereka semakin merosot, yang padahal
masa depan bangsa berada di tangan remaja. Jika karakter remaja saat ini
sudah dikatakan rusak, maka bagaimana dengan nasib bangsa ini di masa
depan.
Dalam buku ataupun karya sastra terdapat banyak sekali pelajaran
yang dapat diambil. Dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini
100
mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang relevan bagi kehidupan
era sekarang ini, di mana buku ini mengajarkan kita untuk bersifat religius
dengan berpasrah diri dan melaksanakan ajaran agama, jujur terhadap apa
yang dilakukan, menjunjung tinggi nilai toleransi antar sesama, kerja keras
dalam mencapai tujuan, kreatif dalam hidup, mandiri dan tidak bergantung
kepada orang lain, demokratis dalam kenegaraan, memiliki rasa ingin tahu
terhadap sesuatu yang belum diketahui, membangun semangat kebangsaan
dan cinta tanah air, menghargai prestasi orang lain, bersahabat dan
komunikatif dalam berperilaku, mencintai kedamaian, gemar membaca,
peduli terhadap lingkungan dan sosial, bertanggung jawab terhadap apa
yang dipebuatnya.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan pembahasan terhadap buku Gelandangan
di Kampung Sendiri karya Emha Ainun Nadjib berupa analisa nilai-nilai
pendidikan karakter, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam buku
Gelandangan di Kampung Sendiri karya Emha Ainun Nadjib
meliputi: religius, jujur dalam situasi apapun, menjunjung tinggi nilai
toleransi antar sesama, kerja keras, kreatif dalam hidup, mandiri dan
tidak bergantung kepada orang lain, demokratis hidup bernegara,
memiliki rasa ingin tahu terhadap sesuatu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat dan komunikatif dalam
berperilaku, mencintai kedamaian, gemar membaca, peduli terhadap
lingkungan dan sosial, bertanggung jawab terhadap apa yang
dipebuatnya.
2. Relevansi nilai-nilai pendidikan karakter dalam buku Gelandangan di
Kampung Sendiri Karya Emha Ainun Nadjib dalam kehidupan
modern ini yaitu buku ini sangat relevan dengan pendidikan karakter
di Indonesia karena di dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri
karya Emha Ainun Nadjib terdapat nilai edukasi khususnya nilai-nilai
pendidikan karakter. Di mana dengan membaca buku ini pembaca
102
juga sekaligus mendapatkan edukasi mengenai pendidikan karakter
yang terdapat dalam buku. Serta amanat yang disertakan di dalamya
menuntun kita menjadi insan yang lebih baik.
B. Saran
1. Bagi Orang Tua
Orang yang paling betanggung jawab dalam pendidikan anak
adalah orang tua. Perilaku seorang anak yang paling pertama
dipelajarinya adalah dari karakter orang tuanya dalam beraktivitas
sehari-hari. Orang tua harus selalu menjadi role model terbaik untuk
anak-anaknya, sehingga sang anak juga akan berperilaku baik juga.
2. Bagi Dunia Pendidikan
Pendidikan merupakan sentral pembelajaran karakter, budaya,
dan kemajuan bangsa, baik buruknya pendidikan maka akan selalu
berpengaruh besar dalam hal tersebut. Dengan era modern ini, yang
perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin cepat, seorang
pendidik harus kreatif serta inovatif dalam setiap pembelajaran
sehingga peserta didik dapat menjangkau dengan baik pelajaran yang
diajarkan.
3. Bagi Dunia Sastra
Dalam membuat karya sastra, sebaiknya diperbanyak nilai-nilai
yang mengajarkan kebaikan didalamnya agar menjadi manfaat bagi
banyak orang dan diri sendiri.
103
4. Bagi Peneliti
Penelitian yang menggunakan studi literatur dengan
pembahasan buku hendaknya pemilihan buku benar-benar diteliti
dengan seksama. Penelitian disesuaikan dengan apa yang akan diteliti.
Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam penelitian. Dalam
skripsi ini penulis mencoba untuk menghubungi penulis buku yaitu
Emha Ainun Nadjib melalu email redaksi@caknun.com dan direspon
dengan memberi izin penelitian. Saran bagi teman-teman yang ingin
meneliti suatu buku hendaknya untuk menghubungi pengarang jauh-
jauh hari, sehingga bisa bertemu pengarang secara langsung.
104
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 2013. Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Afita, Ida Risqi. 2018. Nilai-Nilai Materi Pendidikan Karakter pada Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye. Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Program Seudi Pendidikan Agama Islam
IAIN Salatiga.
Albertus, Doni Koesoema. 2012. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.
Yogyakarta: Kanisius.
Ansori, Raden Ahmad Muhajir. 2016. Strategi Penanaman Nilai-Nilai
Pendidikan Islam pada Peserta dalam Jurnal Pusaka LP3M IAI Al-
Qolam: 60.
Ardy, Novan Wiyani. 2013. Konsep, Praktik, dan Strategi Membumikan
Pendidikan Karakter di SD. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Arikunto, Suharsimi. 2014. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Citra, Yulia. 2012. Pelaksanaan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran
dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus Vol. 01. No. 01. 238.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama.
Faisol, Ahmad. 2015. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Pelangi
Karya Andrea Hirata. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Program
Studi Pendidikan Agama Islam UIN Maulana Malik Ibrahim.
Fajriyah, Latifatul. 2018. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kumpulan Esai
Istriku Seribu Karya Emha Ainun Nadjib. Skripsi ini tidak
diterbitkan. Surabaya: Program Studi Pendidikan Agama Islam
UIN Sunan Ampel.
Ghufron, Moh. 2017. Filsafat Pendidikan.Yogyakarta: Kalimedia.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
105
Hafidz, Muhammad dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam: Antara Tradisi
dan Modernitas. STAIN Salatiga Press.
Idhawati, Diyah. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter yang Terkandung
dalam Novel Anak Rantau Karya Ahmad Fuadi. Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN
Salatiga.
Kusuma, Dharma. 2012. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: PT. Remaja Posdakarya.
Mulyasa. 2014. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2015. Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nadjib, Emha Ainun. 2018. Gelandangan di Kampung Sendiri. Yogyakarta:
PT Bentang Pustaka.
Naim, Ngainun. 2012. Character Building. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Samini, Muchlas dan Hariyanto. 2014. Konsep dan Model Pendidikan
Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sjarkawi. 2015. Pembentukan Kepribadian Anak Pesan Moral, Intelektual,
Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati
Diri. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukardjo dan Ukim. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar,
dan Implementasi. Jakarta: Kencana Prenada media Group.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Zubaedi. 2013. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
http://angga-hardianto1994.blogspot.com/2017/12/wawasan-al-quran-dan-
hadits-tentang.html
http://bio.or.id/biografi-emha-ainun-nadjib/ diakses pada tanggal 11 Juli 2019
106
https://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nilai.
https://news.detik.com/berita/d-4613376/dipolisikan-karena-sebar-hoax-
anggota-dprd-sulteng-ngaku-hanya-
korban?_ga=2.178166049.565099309.1562575233-
908823869.1562575233
http://profilbiodata ustadz.blogspot.com/2016/12/profil-biodata-dan-biografi-
cak-nun.html
https://www.caknun.com/
https://www.liputan6.com/tekno/read/3909887/kematian-akibat-smartphone-
sentuh-angka-tertinggi-selama-30-tahun-
terakhir?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer
=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F
https://www.biografiku.com/biografi-emha-ainun-najib/ karya wink
https://www.nu.or.id/post/read/87932/dalil-dalil-cinta-tanah-air-dari-al-quran-
dan-hadits
1
LAMPIRAN
2
3
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama : Lutfi Isnan Romdloni
2. NIM : 23010150361
3. Fakultas/Progdi : FTIK/PAI
4. Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali/6 Februari 1997
5. Alamat : Kedokan RT.15 RW. 04, Kel. Klego Kec.
Klego, Kab. Boyolali
6. Nama Ayah : Supomo
7. Nama Ibu : Warinah
8. Agama : Islam
B. Pendidikan
1. TK BA Aisyiyah Kedokan lulus tahun 2003
2. MI Negeri Kedokan lulus tahun 2009
3. Mts Muhammadiyah 07 Klego lulus tahun 2012
4. MAN Karanggede lulus tahun 2015
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Boyolali, 23 Juli 2019
Penulis,
Lutfi Isnan Romdloni