Post on 11-Aug-2015
description
i
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... iii I.1.1 Identifikasi Tutupan Lahan ............................................................................................................ 5
I.2.1 Kawasan Mangrove .......................................................................................................................... 7
I.3.1 Konsep Neraca Sumberdaya Mangrove ............................................................................... 14
I.4.1 Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya .................................................................................. 16
I.5.1 Data Inderaja Sistem Pasif .......................................................................................................... 20
II PENDEKATAN TEKNIS DAN METODOLOGI .................................... 22 II.1 PENDEKATAN ....................................................................................................................................... 22
II.2 METODE .................................................................................................................................................. 23
II.1.2 Sumber Data dan Peta Kerja ..................................................................................................... 24
II.2.2 Peralatan yang Digunakan ......................................................................................................... 25
II.3.2 Pra-pengolahan Dijital ................................................................................................................. 25
II.4.2 Pengolahan Citra ............................................................................................................................ 29
II.5.2 Survei Lapangan ............................................................................................................................. 33
II.6.2 Pasca Survei ..................................................................................................................................... 36
II.7.2 Penyusunan Peta Neraca Ekosistem Mangrove ................................................................ 37
ii
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur Organisasi PT. KACINDO DANATYA ............ Error! Bookmark not defined. Gambar 2. Zonasi Mangrove di Indonesia (Bengen, 1999) ................................................................... 10 Gambar 3. Tipologi Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Alam (Barton, 1994) ................................... 17 Gambar 4. Bagan Alir Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Mangrove ................................................ 24 Gambar 5. Indeks Peta RBI dan LPI Kabupaten Bulungan ..................................................................... 25 Gambar 6. Proses Rektifikasi untuk Koreksi Geometri Citra ................................................................. 28 Gambar 7. Overlay Antara Peta Aktiva dan Peta Pasiva ......................................................................... 39
iii
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012
DAFTAR TABEL Tabel 1. Daftar Pengalaman Kerja 7 (Tujuh) Tahun Terakhir ..... Error! Bookmark not defined. Tabel 2. Uraian Pengalaman Kerja Sejenis 7 (Tujuh) Tahun Terakhir ........ Error! Bookmark not defined. Tabel 3. Uraian Pengalaman Kerja Sejenis 7 (Tujuh) Tahun Terakhir ........ Error! Bookmark not defined. Tabel 4. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove .................................................................................. 18 Tabel 5. Teknik Valuasi Ekonomi Total .......................................................................................................... 19 Tabel 6. Jadwal pelaksanaan pekerjaan Pemetaan Neraca mangrove Wilayah ..................... Error! Bookmark not defined. Tabel 7. Komposisi Tim dan Penugasan ............................................ Error! Bookmark not defined. Tabel 8. Jadwal Penugasan Tenaga Ahli ............................................ Error! Bookmark not defined.
5
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
I.1.1 Identifikasi Tutupan Lahan
Banyak konsep yang digunakan untuk menamakan penutup lahan. Pakar yang satu
dengan lainnya memberi nama berlainan, antara lain : (a) penutup lahan, (b)
penggunaan lahan, (c) penutup lahan, (d) bentuk penggunaan lahan, dan
sebagainya. Berbagai sebutan tersebut pada intinya bertujuan untuk
mengklasifikasikan kenampakan yang menutup permukaan bumi di suatu wilayah,
secara spasial/keruangan. Namun demikian, yang perlu pahami adalah istilah
penutup lahan sering diartikan sama dengan penutup lahan, dan dibedakan dengan
penggunaan lahan. Campbell (1983) dan Van Gils et al (1990) menjelaskan
perbedaan keduanya dalam dikotomi konkret‐abstrak, dimana penutup lahan
bersifat konkret, sedangkan penggunaan lahan lebih bersifat abstrak (Projo
Danoedoro. 2003).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa dalam konteks regional hingga nasional
visualisasi penutup permukaan bumi lebih diarahkan ke aspek penutup lahan atau
penutup lahan, sedangkan pada tingkat lokal lebih berorientasi pada penggunaan
lahan (Suroso.2000). Penutup lahan atau penutup lahan, merupakan salah satu
aspek penting dalam perencanaan suatu wilayah. Hal ini disebabkan karena
informasi penutup lahan dapat digunakan sebagai dasar analisis sistem penggunaan
lahan dalam konteks manajemen lahan berkelanjutan. Karena pentingnya informasi
penutup lahan tersebut, maka banyak ahli dan atau instansi yang
mengklasifikasikan penutup lahan sesuai dengan tujuan masing‐masing.
Bervariasinya sistem klasifikasi penutup lahan, sangat terasa di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena tingkat heterogenitas jenis penutup lahan di Indonesia cukup
tinggi, dan diperkuat lagi dengan banyaknya jenis penutup lahan yang bercampur
antara jenis satu dengan lainnya pada satu wilayah membuat batas klasifikasi yang
kabur (vague). Siklus penutup lahan yang bergantung dari musim menambah andil
sulitnya menentukan klasifikasi penutup lahan di Indonesia.
Peringatan harus menjangkau semua orang yang terancam bahaya. Pesan yang jelas
dan berisi informasi yang sederhana namun berguna sangatlah penting untuk
melakukan tanggapan yang tepat, yang akan membantu menyelamatkan jiwa dan
6
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
kehidupan. Sistem komunikasi tingkat regional, nasional, dan masyarakat harus
diidentifikasi dahulu, dan pemegang kewenangan yang sesuai harus terbentuk.
Penggunaan berbagai saluran komunikasi sangat perlu untuk memastikan agar
sebanyak mungkin orang yang diberi peringatan, guna menghindari terjadinya
kegagalan di suatu saluran, dan sekaligus untukmemperkuat pesan peringatan.
Klasifikasi dalam pembuatan peta penutup lahan ini menggunakan klasifikasi tingkat
provinsi, yaitu pada skala 1:250.000 (BAKOSURTANAL, 2004). Klasifikasi penutup
lahan beserta pengertiannya sebagai berikut:
1. Pemukiman: areal lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
dan penghidupan, serta merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar
kawasan lindung, baik yang merupakan pemukiman perkotaan maupun
pedesaan.
2. Sawah: areal/bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan
basah atau lahan kering, digenangi air secara periodik atau terus menerus
dengan vegetasi yang diusahakan antara lain berupa padi, tebu, tembakau,
rosella, sayur sauran.
3. Pertanian Lahan Kering: areal yang tidak pernah diairi, yang ditanami dengan
jenis tanaman umur pendek dan tanaman keras yang mungkin ada pada
pematang‐pematang.
4. Kebun: areal/bidang lahan yang diusahakan untuk budidaya berbagai jenis
tanaman keras atau kombinasi dengan tanaman semusim, dominasi dari
setiap jenis tanaman yang diusahakan kurang jelas terlihat.
5. Perkebunan: areal/bidang lahan yang ditanami jenis tanaman keras dengan
tanaman sejenis, dan cara pengambilan hasil bukan dengan menebang pohon.
6. Pertambangan: areal lahan untuk usaha pertambangan (eksploitasi bahan
galian atau mineral) yang dilakukan secara terbuka atau dapat diidentifikasi
dari permukaan bumi.
7. Industri dan Pariwisata.
8. Industri: areal lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses
pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi dan/atau
barang setengah jadi menjadi barang jadi.
9. Paraiwisata: areal lahan yang digunakan untuk memberikan jasa pelayanan
yang sifatnya rekreatif, baik in door maupun out door.
7
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Dalam rangka menanggulangi permasalahan interpretasi tutupan lahan yang
beragam, pada tahun 2010 telah terbit Standar Nasional Indonesia tentang
klasifikasi tutupan lahan (SNI 7645:2010) yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi
Nasional Indonesia (BSNI). SNI 7654:2010 merupakan hasil kolaborasi Bakosurtanal
bekerja sama dengan kementerian terkait.
SNI 7654:2010 berisi kumpulan klasifikasi dan deskripsi penutupan lahan di
Indonesia pada peta tematik penutup lahan skala 1:1.000.000, 1:250.000 dan
1:50.000 atau 1:25.000. Penetapan klasifikasi penutup lahan dalam standar ini
dimaksudkan untuk mengakomodir keberagaman kelas penutup lahan yang
pendetailan kelasnya bervariasi antar‐shareholders. Kelas‐kelas penutup lahan yang
dimuat dalam standar ini merupakan kelas‐kelas umum yang melibatkan berbagai
sektor. Dalam hubungannya dengan pemetaan neraca kawasan mangrove sesuai
dengan yang diamanatkan dalam Kerangka Acuan kerja (KAK), maka standar peta
yang akan digunakan dengan skala 150.000.
Kelas penutup lahan untuk hutan mangrove/hutan bakau (1.2.2.1.1) diatur dalam
kelas hutan lahan basah (1.2.2) tepatnya pada hutan lahan basah primer (1.2.2.1)
dengan pembagian berdasarkan kerapatannya, yakni: hutan bakau rapat (1) jika
kerapatannya >70%; hutan bakau sedang (2) jika kerapatannya 41% ‐ 70%; dan
hutan bakau jarang (3) jika kerapatannya 10% ‐ 40%.
I.2.1 Kawasan Mangrove
Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh. Letak geografi ekosistem mangrove
yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman
yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya. Efek perekaman tersebut
sangat erat kaitannya dengan karakteritik spektral ekosistem mangrove, hingga
dalam identifikasi memerlukan suatu transformasi tersendiri. Pada umumnya untuk
deteksi vegetasi digunakan transformasi indeks vegetasi (Danoedoro, 1996).
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut
atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari
8
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
ciri‐ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Hutan mangrove merupakan
bagian yang penting dari hutan pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta ha. Hutan
bakau terutama terdapat di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya dan kepulauan Aru,
dan sedikit di Sulawesi bagian Selatan serta Jawa bagian Utara. Rhizophora,
Avicenia, Sonneratia dan Ceriops adalah genera utamanya. Pada umumnya
mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjo yang disebut akar nafas
(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap
keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Hutan mangrove juga
merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang diantaranya terancam punah,
seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatranensis), bekantan (Nasalis
larvatus), wilwo (Mycteria cinerea), bubut hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau
tongtong (Leptoptilus javanicus), dan tempat persinggahan bagi burung‐burung
migran.
Saat ini, di seluruh dunia terjadi peningkatan berkurangnya luas hutan mangrove
yang disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan
peruntukan. Tidak terkecuali di Indonesia. Luas asal hutan mangrove di Indonesia
4,13 juta ha. Pada 5 – 9 tahun yang lalu, luas yang tersisa tinggal 2,49 juta ha
(60%). Dari sisa ini, 58% di antaranya terdapat di Irian Jaya (Papua) dan hanya 11%
di Jawa. Laju mengurangnya hutan mangrove sangat beragam antar propinsi. Dari
10% di Papua sampai hampir 100% di Jawa Timur. Luas hutan mangrove di
Indonesia sekarang, nampaknya belum ada data yang tepat yang dapat dicatat.
Angka yang menunjukkan luas hutan mangrove kita sebesar 4,25 juta ha masih
dipakai di berbagai forum. Menurut catatan dari sisa hutan mangrove yang 4,25 juta
ha tinggal sekitar 3,24 juta ha karena adanya konversi hutan ini untuk berbagai
kepentingan, terutama untuk tambak. (Romimohtarto, 2000).
Berdasarkan laporan deforestasi hutan Indonesia tahun 2008 dari Pusat
Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Kehutanan menyebutkan
bahwa angka deforestasi hutan mangrove di pulau kalimantan (di dalam dan di luar
kawasan hutan) selama periode 2003‐2006 tercatat 4,9 ribu hektar untuk hutan
mangrove primer dan 23,9 ribu hektar untuk hutan mangrove sekunder.
9
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (1999) mencatat kerusakan hutan
mangrove dipicu beberapa hal mendasar antara lain:
1. Pengelolaan hutan mangrove yang kurang terencana dengan baik sehingga
menimbulkan konflik kepentingan di dalamnya.
2. Tekanan kebutuhan ekonomi yang melebihi carrying capacity kawasan
mangrove.
3. Pembukaan areal pemukiman penduduk di kawasan pesisir yang
mengkonversi hutan mangrove secara berlebihan.
Rehabilitasi dan pengembangan kawasan hutan mangrove sangat penting
dilaksanakan mengingat fungsi yang dimiliki sangat penting antara lain:
1. Fungsi Fisik yang mengendalikan abrasi pantai, mengurangi tiupan angin
kencang dan terjangan ombak laut, menyerap dan mengurangi polutan dari
badan air, mempercepat laju sedimentasi dan mengendalikan intrusi air laut
ke daratan.
2. Fungsi biologis sebagai tempat habitat berbagai jenis flora dan fauna, tempat
asuhan, tempat memijah dan tempat mencari makan berbagai jenis biota
akuatik. Hutan mangrove merupakan daerah Perikanan yang subur
dibandingkan dataran lumpur sehingga merupakan daerah subur bagi
penyediaan bahan makanan bagi biota perairan seperti udang, ikan, kepiting
dan lainnya.
3. Fungsi ekonomis sebagai penghasil kayu, industri rumah tangga dan jasa
rekreasi.
Kegiatan rehabilitasi akan dapat memulihkan dan meningkatkan daya dukung,
produktifitas dan peranan kedua formasi hutan tersebut dalam mendukung
sistem penyangga kehidupan. Selain itu, rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai
sangat diperlukan dalam upaya pengendalian bencana tsunami yang sewaktu‐
waktu mungkin terjadi lagi. Berdasarkan hasil penelitian Mazda dan Wolanski
(1997) serta Mazda dan Magi (1997) terbukti bahwa vegetasi mangrove,
terutama perakarannya, dapat meredam energi gelombang dengan cara
menurunkan tinggi gelombang saat melaluinya.
10
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Dalam upaya untuk mendukung kegiatan rehabilitasi hutan tersebut, maka
diperlukan data potensi dan persebaran hutan mangrove, sehingga dapat diketahui
tingkat kerusakan/kekritisan hutan mangrove.
Secara sederhana zonasi ekosistem mangrove dapat dibagi ke dalam daerah‐
daerah sebagai berikut (Bengen, 1999):
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh api‐api (Avicennia sp). Pada zona ini biasa berasosiasi
bogem/perepat (Sonneratia sp) yang dominan tumbuh pada lumpur dalam
yang kaya akan bahan organik.
2. Lebih ke darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh bakau
(Rhizophora sp). Dijumpai juga tancang (Bruguiera sp) dan nyirih/siri
(Xylocarpus sp).
3. Zona berikutnya didominasi oleh tancang (Bruguiera sp).
4. Zona transisi antara ekosistem mangrove dengan hutan dataran rendah, biasa
ditumbuhi oleh nipah (Nypa fruticans), dan beberapa spesies palem lainnya.
Gambar 1. Zonasi Mangrove di Indonesia (Bengen, 1999)
Jenis‐jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona‐zona atau jalur‐jalur.
Berdasarkan hal tersebut, ekosistem mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa
mintakat (zona), yaitu Sonneratia, Avicennia (yang menjorok ke laut), Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari bagian
yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zone terdepan
yang digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner
(misalnya Sonneratia Sp.) dan ditanah lebih padat tumbuh Avicennia. Makin dekat
ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zone peralihan
akhirnya sampailah pada bentuk klimaks.
11
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Ekosistem mangrove telah menarik perhatian berbagai ahli biologi sejak abad 19
(misalnya Funghung 1853; Goebe, 1886, Haberlandt 1895, Karsten 1891;
Scbtwer 1898; Went 1892), terutama karena kekhasannya, yaitu kehadiran
berbagai macam bentuk akar, seperti akar papas, akar tunjang dan akar lutut.
Schiwer (1898) menganggap ekosistem mangrove ini sebagai vegetasi xerofil
yang secara fisiologi habitatnya kering karena kadar garam yang tinggi dalam air
rawa.
Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan adanya
"ecological preference" berbagai jenis mangrove adalah kombinasi faktor berikut :
1. Tipe tanah : keras atau lembek, kandungan pasir dan list dalam berbagai
perbandingan.
2. Salinitas : variasi harian dan nilai rata‐rata pertahun secara kasar sebanding
dengan frekuensi,kedalaman dan j angka waktu genangan.
3. Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak.
4. Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya
dengan amplitudo ekologi jenis‐jenis mangrove terhadap tiga faktor diatas.
Steenis (1958 sependapat dengan Gunning 1944), dan ditegaskan pula oleh
Soerianegara (1971) serta Kartawinata & Waluyo (1977), bahwa faktor utama
yang menyebabkan adanya zonasi ekosistem mangrove adalah sifat‐sifat
tanah (ke dalam mineralogi dan fisik) dan bukan hanya faktor salinitas. Pengaruh
faktor ini jelas pada penyebaran Rhizophora, R. mucronata tumbuh pada lumpur
yang dalam dan lembek, R. stylosa pada pantai pasir atau terumbu karang, R.
apiculata pada keadaan transisi atau "indiferent”.
Mengenai pengaruh salinitas, Steenis (1958) mengatakan bahwa faktor ini bukan
faktor utama dan berhubungan erat dengan faktor pasang surut. Meskipun demikian
pengaruh nyata dapat terlihat pula, misalnya bila salinitas berkurang karena estuaria
dan goba yang tertutup, hutan Rhizophora mati dan diganti oleh jenis yang
tumbuh di tempat yang kurang asin seperti Lumnitzera (Luytjes 1923). Hal yang
sama tentang Bruguiera cylindrica dilaporkan oleh Watson (1928) di Malaya.
12
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Pengaruh kecepatan arus dapat terlihat sepanjang sungai yang mengalami
pasang surut setiap hari. Pada tepian yang dipengaruhi oleh aliran yang deras,
misalnya pada belokan, biasanya tumbuh jenis‐jenis yang mempunyai sistem
perakaran yang tahan terhadap keadaan demikian, seperti Nypa fruticans yang
berakar serabut.
Manfaat dan nilai penting dapat lebih mudah dipahami dengan melakukan
penggolongan ekosistem mangrove ke dalam tiga fungsi utama (Japar et.al., 1998).
Tiga fungsi utama tersebut adalah fungsi fisik‐kimiawi, fungsi biologis dan fungsi
ekonomis:
1. Ekosistem mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta
tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, serta
mempercepat pembentukan lahan baru. Ekosistem mangrove juga
merupakan sumber zat hara, unsur‐unsur hara yang terkandung di dalamnya
adalah nitrogen, magnesium, natrium, kalsium, posfor dan sulfur.
2. Fungsi biologis dari ekosistem mangrove adalah tempat asuhan, tempat
mencari makan, tempat berkembang biak beberapa udang, ikan, burung,
biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit
seperti anggrek, paku pakis, dan berbagai hidupan lainnya.
3. Fungsi ekonomis dari ekosistem mangrove adalah ekosistem mangrove dapat
dijadikan tempat rekreasi, tambak udang dan ikan, kolam garam dan
dimanfaatkan produksi kayunya (Japar et. al., 1998).
Dalam rangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove agar tetap lestari,
terdapat dua konsep utama yaitu:
1. Perlindungan ekosistem mangrove dan
2. Rehabilitasi ekosistem mangrove.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap
keberadaan ekosistem mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan
mangrove menjadi hutan konservasi, dan sebagai sabuk hijau di sepanjang pantai
dan tepi sungai.
Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap ekosistem mangrove yang telah
gundul, merupakan salah satu kegiatan rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk
13
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama untuk mengembalikan
fungsi ekologis kawasan ekosistem mangrove tersebut.
Pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari adalah merupakan upaya
bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi ekosistem
mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar ekosistem
mangrove. Dengan demikian strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi
masalah sosial ekonomi masyarakat, selain tujuan konservasi ekosistem mangrove
tercapai.
Salah satu strategi pengelolaan sumber daya alam yang menjadi andalan saat ini
adalah pengelolaan sumber daya alam (termasuk ekosistem mangrove) berbasis
masyarakat (community based management). Raharjo, 1996 dalam Bengen, 2000
menyatakan pengelolaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan
langsung masyarakat dalam mengelola sumber daya alam di suatu kawasan.
Pengelolaan berbasis masyakat juga mengandung arti suatu pendekatan dari bawah
(bottom‐up approach). Dengan demikian diharapkan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat di sekitar hutan terakomodir dalam program pengelolaan SDA secara
lestari.
Berdasarkan hasil studi pemanfaatan dan pengembangan hutan mangrove di
Kabupaten Bulungan, bahwa secara umum kondisi hutan mangrove di kawasan
Kabupaten Bulungan cukup memprihatinkan. Kondisi ini merupakan pengelolaan
pemanfaatan kawasan hutan mangrove yang tidak ramah lingkungan dan apabila
tidak cepat diatasi akan berdampak pada daerah hulu sungai.
Kerusakan hutan mangrove yang terjadi pada umumnya akibat pembekuan lahan
besar‐besaran yang dijadikan sebagai lahan pertambakan. Berdasarkan interprestasi
Citra Landsat dari PUSPICS UGM tahun 2003, bahwa luas total kawasan pesisir
385.097,86 ha dengan garis pantai 381.756 Km. Dari luasan tersebut yang termasuk
hutan mangrove sebesar 198.544,52 ha serta kawasan pertambakan sebesar
126.331,2 ha dan pemukiman 500 ha, sedangkan luas tambak yang masih produktif
sebesar 49.826,21 ha. Kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Bulungan seluas
192.421,5 ha, dimana kerusakan hutan mangrove yang tertinggi di kecamatan
14
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Sesayap Hilir seluas 59.900,6 ha atau 31,13% dan yang paling terendah di
Kecamatan Tanjung Palas sebesar 8.905,3 ha atau 4,63%, sedangkan Kecamatan
Bunyu sebesar 13.414,5 ha atau 6,97%; Kecamatan Sekatak sebesar 30.120,1 ha
atau 15,65%; Kecamatan Tanjung Palas Tengah sebesar 5.726,80 ha atau 17,51%;
Kecamatan Tanjung Palas Timur sebesar 8.095,3 ha atau 4,21%; Kecamatan Tanjung
Palas Utara sebesar 12.457,3 ha atau 6,47% dan Kec. Tanjung Selor sebesar
29.004,9 ha atau 15,07%. Adapun faktor penyebab kerusakan hutan mangrove
sebagian besar diakibatkan oleh alih fungsi lahan menjadi tambak secara besar‐
besaran. Akibat dari kerusakan hutan mangrove yang bersifat ganda sangat
mempengaruhi pada eksistensi kondisi sosial ekonomi nelayan tradisional (RPJM
Kab. Bulungan 2005‐2010).
I.3.1 Konsep Neraca Sumberdaya Mangrove
Neraca ekosistem mangrove spasial merupakan suatu informasi yang dapat
menggambarkan sebaran cadangan ekosistem mangrove, pengurangan dan
penggunaan ekosistem mangrove, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui
kecenderungannya, apakah surplus atau defisit, jika dibandingkan dengan waktu
sebelumnya. Hal ini berguna sebagai salah satu alat monitoring kondisi ekosistem
mangrove, sehingga dalam upaya memanfaatkannya kita imbangi pula dengan
usaha perlindungan dan konservasi sehingga kelestarian lingkungan akan tetap
terjamin. Sedangkan dalam perencanaan tata ruang, neraca ekosistem mangrove
dapat dipakai sebagai salah satu masukan atas struktur tata ruang di kawasan
pesisir yang akan ditetapkan.
Mengingat pentingnya fungsi ekologis dan ekonomi dari ekosistem mangrove, maka
tantangan yang dihadapi oleh penentu kebijakan adalah bagaimana memberikan
nilai yang komprehensif terhadap ekosistem mangrove itu sendiri. Dalam hal ini
ekosistem mangrove dibedakan produknya menjadi produk atau manfaat yang
dapat diambil langsung (extractive) dan yang pemanfaatannya tidak perlu
mengambil barang sumberdaya secara langsung (non‐extractive), manfaat yang
bersifat pelayanan lingkungan (services) serta manfaat yang bersifat
keanekaragaman hayati (biodiversity).
15
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Konsep neraca sumberdaya alam pesisir dan laut hampir sama dengan neraca
keuangan secara umum. Dalam penyusunan neraca sumberdaya alam pesisir dan
laut yang dihitung adalah potensi sumberdaya alam yang ada pada suatu wilayah,
untuk satu periode tertentu. Potensi sumberdaya alam yang ada harus diketahui
jumlahnya, posisi serta sebarannya. Dengan demikian penghitungan besarnya
potensi didasarkan atas sumber peta (cetak atau digital), demikian juga dengan
neraca sumberdaya alam yang disusun disajikan dalam bentuk peta (cetak atau
digital). Jika disajikan dalam bentuk cetak (print‐out), peta harus dilengkapi dengan
simbol dan legenda yang jelas sedangkan jika disajikan dalam bentuk digital, atribut
peta disimpan dalam tabel (Suryadi, et al., 2003).
Dengan demikian, penyusunan neraca sumberdaya alam pesisir dan laut spasial
dilakukan dengan memanfaatkan data hasil kegiatan inventarisasi yang telah
dilakukan dalam satu periode, minimal pada dua waktu yang berbeda. Data hasil
inventarisasi yang bisa dimanfaatkan atau dianalisis untuk kegiatan penyusun
neraca sumberdaya alam adalah data inventarisasi dengan klasifikasi yang sama.
Data hasil inventarisasi yang dilakukan pada waktu yang lebih lama (yang
menggambarkan kondisi potensi cadangan awal sumberdaya alam) dianggap
sebagai aktiva. Sedangkan data hasil inventarisasi yang dilakukan pada waktu yang
lebih baru (yang menggambarkan kondisi akhir sumberdaya alam) dianggap sebagai
pasiva. Neraca sumberdaya alam menggambarkan perubahan kondisi dari aktiva ke
pasiva.
Neraca sumberdaya alam merupakan informasi yang dapat menggambarkan
cadangan sumberdaya alam, kehilangan dan penggunaan sumberdaya alam,
sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus
atau defisit, jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Dengan demikian neraca
sumberdaya alam dapat berfungsi sebagai salah satu alat evaluasi potensi alam dan
suatu sistem monitoring degradasi. Data atribut peta neraca sumberdaya alam ini
juga disajikan dalam bentuk tabel scontro. Tabel neraca ini merupakan rekapitulasi
dari data yang disajikan dalam bentuk tabel inventarisasi, yang mencatumkan data
cadangan (stok awal), pemanfaatan dan pengurangan sumberdaya alam,
penambahan sumberdaya alam serta perubahan‐perubahan yang terjadi.
16
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
I.4.1 Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya
Valuasi (penilaian) ekonomi adalah upaya untuk memberi nilai kuantitatif terhadap
barang (good) dan jasa (service) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan
lingkungan, baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non
market value). Adapun nilai ekonomi (economic value) secara umum didefinisikan
sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan
jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya (Anna, 2005). Penilaian ekonomi
sumberdaya alam merupakan alat ekonomi dengan menggunakan teknik atau
metode tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan
oleh sumberdaya alam.
Secara umum nilai ekonomi sumberdaya alam dibagi ke dalam nilai
kegunaan/pemanfaatan (use value) dan nilai non kegunaan (non use value/passive
value). Use value adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang
dan jasa (misalnya menangkap ikan, menebang kayu, dsb.). Barton (1994; dalam
Fauzi, 1999) membagi use value kedalam nilai kegunaan langsung (direct use value),
nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value).
Pengertian direct use value adalah output (barang dan jasa) terkandung dalam
suatu sumb erdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan. Indirect use value
adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak
secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut. Adapun option value
adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam
yang dapat dimanfaatkan diwaktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut
tidak mengalami kemusnahan ataukerusakan yang permanen.
Adapun non‐use value merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan
pemanfaatan aktual dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam.
Non‐use value bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada
preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail
kategori non use value dibagi lagi kedalam dua sub klas yakni nilai pewarisan
(bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Pengertian bequest value
adalah nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation)
suatu sumberdayaagar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga
17
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
mereka dapat mengambil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil
oleh generasi sebelumnya. Existence value adalah nilai keberadaan suatu
sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya.
Tipologi nilai ekonomi total sumberdaya alam dari Barton (1994) disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Tipologi Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Alam (Barton, 1994)
Mengacu pada tipologi nilai ekonomi total sumberdaya alam, ekosistem mangrove
mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung yang
dapat dinilai dari keberadaan eksosistem mangrove antara lain adalah produksi
kayu. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai jasa ekologis
(ecological service) seperti kemampuan menyerap karbon dan penahan gelombang.
Nilai ekonomi ekosistem mangrove secara total disajikan pada Tabel 1.
18
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Tabel 1. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna (Use Value) Nilai non Guna (Non use Value)
Langsung Tidak langsung
Nilai Pilihan Nilai Quasi Pilihan
Nilai Warisan
Nilai Keberadaan
Produk dikonsumsi secara langsung
Manfaat fungsional
Nilai guna langsung dan tidak langsung dimasa akan datang
Informasi baru hilang/ tersedianya sumberdaya
Nilai guna lagsung dan tak langsung sumberdaya
Keberlanjutan keberadaan sumberdaya tertentu
Makanan, biomas, rekreasi
Pengendali banjir, pelindung badai, perikanan, penelitian, siklus karbon, siklus nutrisi, pendidikan, studi arkeologi
Sumberdaya gen, perlindungan, biodiversitas, proses evolusi, keragaman ekosistem
Biodiversita, sumberdaya gen perlindungan spesies, proses evolusi, keragaman ekosistem
Konservasi habitat, upaya preventif pada perubahan yang tidak dapat diperbaharui
Konservasi habitat dan spesies, integrasi nilai sosial dan kultural
Sumber: Sisca Dewi, 2006
Metode atau teknik valuasi sumberdaya alam secara umum dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu cara langsung (direct method) dan cara tidak langsung (indirect
method). Setiap metode tersebut memiliki beberapa cara pendekatan, dimana
masing‐masing cara memiliki kelebihan dan terdapat kekurangan. Dalam teknik
penilaian secara langsung biasa digunakan Contingent Valuation Method (CVM),
sedangkan untuk teknik tidak langsung pendekatan yang biasa digunakan adalah
hedonic pricing method dan travel cost method (Fauzi, 1999). Selain itu, untuk
menilai sumberdaya alam secara ekonomi dapat dibagi pula kedalam dua kategori
yaitu valuasi yang menggunakan fungsi permintaan dan yang tidak menggunakan
fungsi permintaan.
Teknik pengukuran nilai ekonomi seringkali juga dibedakan menjadi tiga, yaitu:
pengukuran nilai ekonomi terhadap barang dan jasa yang diperdagangkan (traded),
yang tidak diperdagangkan (non market value), dan berdasarkan bukti (imputed
wilingness to pay).
19
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Tabel 2. Teknik Valuasi Ekonomi Total Actual market
based information
Indirect market
based information
Hypothetical based information
Actual behavior
o Change in production o Effect on human health o Preventive cost
o Travel cost o Wage differences o Property values
o Created or simulated market
Potential behavior
o Replacement cost o Shadow project
o Surrogate goods o Opportunity cost
o Contingent valuation
Perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan akan memberikan
dampak pada kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya berakibat pada
pendapatan dan biaya secara finansial. Perubahan pada pendapatan tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk valuasi sumberdaya alam dan lingkungan. Teknik
yang digunakan pada pendekatan ini adalah melihat pendapatan yang dihasilkan
dari sumberdaya alam dan lingkungan, maupun peningkatan atau penurunan
pendapatan yang diperoleh. Kegiatan tersebut yang secara langsung akan
berdampak pada kegiatan perekonomian yang dihitung dengan satuan nilai uang.
Pendekatan produktivitas (productivity approach) atau sering juga disebut net
factor income approach adalah pendekatan yang mengukur nilai ekonomi
ekosistem berdasarkan kontribusi produktifitas ekosistem tersebut terhadap barang
dan jasa yang diperdagangkan (good and service traded). Misalnya rusaknya suatu
ekosistem mangrove akan mempengaruhi terhadap produksi kayu. Dengan
demikian penurunan nilai manfaat ekosistem mangrove bisa diukur dari penurunan
pendapatan (revenue) dari pemamfaatan batangnya.
Untuk menggunakan teknik produktifitas dibutuhkan analisis mengenai hubungan
fungsional produktifitas antara ekosistem mangrove dengan produksi kayu. Dalam
hal ini perlu diidentifikasi faktor‐faktor input untuk produksi kayu yang menjadi
output bagi ekosistem mangrove. Demikian pula faktor‐faktor biofisik yang
mempengarui produktivitas ekosistem mangrove perlu diukur dan diidentifikasi
kaitannya dengan produksi kayu.
20
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
I.5.1 Data Inderaja Sistem Pasif
Berdasarkan jenis data penginderaan jauh (inderaja) yang tertuang dalam KAK
terlihat bahwa terdapat 2 (dua) jenis data inderaja atau citra satelit yang akan
digunakan, yaitu: citra SPOT dan citra ALOS. Keduanya merupakan data inderaja
dengan sensor perekaman jenis pasif. Detektor yang digunakan dalam sensor
inderaja adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik
yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah termal,
dan gelombang mikro.
Komponen dasar pengambilan data inderaja sistem pasif meliputi: sumber tenaga,
atmosfer, interaksi tenaga dengan obyek di permukaan bumi, sensor, sistem
pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sumber tenaga utama dari sistem
pasif adalah matahari.
Citra satelit SPOT merupakan program satelit Perancis yang telah berkembang di
seluruh dunia yang merupakan satelit inderaja pertama yang menggunakan 2 (dua)
sensor bentuk sapu (pushbroom) dengan teknik penyiaman (scanning), dan
dilengkapi telemetri untuk mengirimkan data ke stasiun penerima data di bumi.
Teknologi satelit SPOT telah berkembang mulai dari SPOT 1 sampai dengan SPOT 5
saat ini yang telah dilengkapi dengan sensor multispektral. Citra SPOT multispektral
direkam dengan resolusi tinggi High Resolution Visible (HRV) yang menggunakan 3
(tiga) julat atau range panjang gelombang, yaitu: HRV‐1 atau panjang gelombang
biru (0,43 – 0,47) µm, HRV‐2 atau panjang gelombang hijau (0,50 – 0,59) µm, dan
HRV‐3 atau panjang gelombang merah (0,61 – 0,73) µm. Selain itu, pada generasi
SPOT 4 dan SPOT 5 telah dilengkapi dengan HRV‐4 atau panjang gelombang
inframerah dekat (0,79 – 0,89) µm dan HRV‐5 atau panjang gelombang inframerah
pendek (1,58 – 1,75) µm.
Dibandingkan dengan pendahulunya, SPOT‐5 menawarkan kemampuan sangat
ditingkatkan, yang memberikan solusi pencitraan tambahan biaya yang efektif.
Berkat meter ditingkatkan SPOT‐5's 5‐dan resolusi 2,5 meter dan petak imaging
luas, yang meliputi 60 x 60 km atau 60 km x 120 km dalam mode kembar‐
21
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
instrumen, satelit SPOT‐5 menyediakan keseimbangan yang ideal antara resolusi
tinggi dan wide‐area cakupan. Cakupan yang ditawarkan oleh SPOT‐5 adalah aset
utama untuk aplikasi seperti pemetaan skala menengah (di 1:25 000 dan 1:10 000
lokal), perencanaan perkotaan dan pedesaan, minyak dan gas bumi, dan bencana
alam. Fitur penting lainnya SPOT‐5 adalah kemampuan akuisisi belum pernah terjadi
sebelumnya dari HRS on‐board instrumen melihat stereo, yang dapat meliputi area
yang luas dalam satu lulus. sepasang citra stereo sangat penting untuk aplikasi yang
panggilan untuk pemodelan 3D medan dan lingkungan komputer, seperti database
simulator penerbangan, koridor pipa, dan perencanaan jaringan telepon mobile.
Sementara, citra ALOS (Advanced Land Observation Satellite) yang diluncurkan oleh
Japan Aerospace Exploration Agency pada 24 Januari2006. Peluncuran ALOS menggunakan roket H‐II A di Tanegashima Space Center, Jepang. Jangka waktu misi
satelit ini adalah 3‐5 tahun. ALOS memiliki 3 (tiga) instrumen, yaitu: pankromatik
untuk Stereo Mapping , PRISM untuk digital elevation mapping (DEM) dengan
resolusi 2,5 meter (0,52 – 0,77) µm, dan Advanced Visible Near Infrared Radiometer
type 2 (AVNIR‐2) digunakan untuk observasi tutupan lahan (land coverage
observation) serta Phased Array type L‐band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)
untuk observasi lahan dan pembuatan peta hingga skala 1 : 25.000. AVNIR‐2 dengan
resolusi spasial 10 meter memiliki 4 kanal, yaitu: Kanal 1 atau panjang gelombang
biru (0,42 – 0,50) µm, Kanal 2 atau panjang gelombang hijau (0,52 – 0,60) µm, Kanal
3 atau panjang gelombang merah (0,61 – 0,69) µm, dan Kanal 4 atau panjang
gelombang inframerah dekat (0,76 – 0,89) µm. Penggunaan citra ini biasanya untuk
pembuatan peta, survey sumberdaya alam maupun pengamatan kebencanaan.
22
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
II PENDEKATAN TEKNIS DAN METODOLOGI II.1 PENDEKATAN
Pendekatan yang digunakan dalam pembuatan peta penutup lahan nasional ini
adalah dengan interpretasi citra satelit. Dalam teori penginderaan jauh, terdapat
dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk proses interpretasi citra satelit yaitu
interpretasi otomatis atau yang juga disebut dengan klasifikasi multispektral dan
interpretasi visual/manual. Interpretasi otomatis (klasifikasi multispektral) hanya
bisa dilakukan pada citra satelit format digital dengan bantuan sistem komputer.
Interpretasi otomatis ini semata‐mata hanya mengandalkan nilai kecerahan untuk
membedakan obyek‐obyek yang terekam pada citra. Garis besar proses interpretasi
otomatis ini adalah, interpreter harus memilih sekelompok nilai kecerahan yang
homogen sebagai daerah contoh (sampel area) dan dianggap mewakili obyek
tertentu. Diambil beberapa sampel untuk mewakili setiap kelas penutup lahan.
Berdasarkan sampel‐sampel ini komputer akan mencocokan nilai kecerahan sampel
(dengan aturan matematis tertentu) dengan nilai‐nilai kecerahan pada keseluruhan
citra dan menggolongkannya ke dalam kelas penutup lahan tertentu. Dalam
mengkelaskan nilai‐nilai spektral citra menggunakan banyak feature tersebut,
dikenal istilah klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak
terbimbing (unsupervised classification). Istilah 'klasifikasi terbimbing' digunakan,
karena metode ini mengelompokan nilai pixel berdasarkan informasi penutup lahan
aktual di pemukan bumi, sedangkan istilah 'klasifikasi tak terbimbing' digunakan,
karena proses pengkelasannya hanya mendasarkan pada infomasi gugus‐gugus
spektral yang tidak bertumpang susun, pada ambang jarak (threshold distance)
tertentu, dan saluran‐saluran yang digunakan.
Kelebihan dari teknik interpretasi otomatis ini adalah cepat, karena dilakukan
dengan bantuan komputer. Namun dalam pelaksanaannya teknik ini akan optimal
jika daerah kajian memiliki obyek‐obyek yang relatif homogen dengan cakupan yang
luas. Disamping itu karena teknik ini mengandalkan nilai kecerahan, maka gangguan
atmosfir seperti hamburan dan awan juga harus sekecil mungkin. Sayangnya kondisi
ini sulit ditemui di daerah tropis seperti Indonesia. Penutup lahan di Indonesia
23
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
sebagian besar adalah heterogen dan gangguan atmosfir seperti hamburan dan
awan juga cukup tinggi.
Disisi lain terdapat teknik interpretasi visual (manual) citra satelit yang merupakan
adaptasi dari teknik interpretasi foto udara. Citra satelit yang dimaksudkan disini
adalah citra satelit pada saluran tampak dan perluasannya. Adaptasi teknik ini bisa
dilakukan karena baik citra satelit dan foto udara, sama‐sama merupakan rekaman
nilai pantulan dari obyek. Namun karena perbedaan karakteristik spasial dan
spektralnya, maka tidak keseluruhan kunci interpretasi dalam teknik interpretasi
visual ini bisa digunakan. Kelebihan dari teknik interpretasi visual ini dibandingkan
dengan interpretasi otomatis adalah dasar interpretasi tidak semata‐mata kepada
nilai kecerahan, tetapi konteks keruangan pada daerah yang dikaji juga ikut
dipertimbangkan. Interpretasi manual ini peranan interpreter dalam mengontrol
hasil klasifikasi menjadi sangat dominan, sehingga hasil klasifikasi yang diperoleh
relatif lebih masuk akal.
Umumnya citra satelit yang digunakan untuk mendukung kegiatan pembuatan peta
neraca mangrove skala 1:50.000 adalah citra satelit SPOT/ ALOS. Pemilihan citra
SPOT sebagai aktiva dan citra ALOS sebagai pasiva dikarenakan resolusi spasial citra
kurang dari 20 meter sesuai untuk pemetaan pada skala 1:50.000 serta dapat
diperoleh langsung dari pemberi pekerjaan. Sedangkan peta tematik pendukung
sebagai data sekunder yaitu peta kawasan mangrove dari instansi terkait
(Kementerian Kehutanan, BPS, Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan) yang
digunakan sebagai batasan (boundary) untuk membedakan secara jelas dengan
jenis penutup lahan lainnya. Selain peta tematik, peta dasar yakni peta Rupabumi
Indonesia (RBI) dan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dari Bakourtanal juga
tetap dibutuhkan sebagai basemap.
II.2 METODE
Proses inventarisasi dan pemetaan mangrove dengan teknik inderaja secara umum
sama dengan pemetaan liputan lahan, penekanannya terdapat dalam ektraksi
informasi dan survei lapangan. Proses inventarisasi dan pemetaan mangrove dapat
digambarkan sebagai berikut:
24
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Gambar 3. Bagan Alir Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Mangrove
II.1.2 Sumber Data dan Peta Kerja
Secara umum bahan‐bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai
berikut:
1. Peta RBI dan LPI skala 1:50.000 sebanyak 17 NLP (Nomor Lembar Peta), baik dalam bentuk digital (soft copy) maupun cetak (hard copy). Peta digital sebagai sumber peta kerja, digunakan untuk menuangkan dan menyajikan tema‐tema yang diperlukan, serta berfungsi untuk membantu dalam analisis secara komputerisasi. Sedangkan peta cetak terutama dipakai sebagai petunjuk (guidance) pada waktu kegiatan survei lapangan. Nomor indeks peta tersebut adalah: 1918‐24, 1918‐51, 1918‐52, 1918‐53, 1918‐54, 1918‐44, 1919‐11, 1919‐12, 1919‐13, 1919‐14, 1919‐21, 1919‐23, 1919‐24, 1919‐41, 1919‐42, 1919‐51, 1919‐52, seperti disajikan pada Gambar 4.
2. Citra satelit SPOT sebagai data awal (aktiva) dan ALOS digunakan sebagai sumber data akhir (pasiva).
3. Data sosial ekonomi yang diperoleh dari responden langsung.
25
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Gambar 4. Indeks Peta RBI dan LPI Kabupaten Bulungan
II.2.2 Peralatan yang Digunakan
Peralatan dalam penelitian meliputi peralatan yang digunakan di laboratorium dan
peralatan yang digunakan untuk survei lapangan, adalah sebagai berikut:
1. Perangkat keras (hardware), terdiri dari: alat pengolah data (satu unit
komputer), alat pencetak laporan dan peta (printer dan ploter).
2. Perangkat lunak (software), meliputi: program pengolah citra satelit dalam
format raster (seperti: ER‐Mapper ver. 7.0), program untuk konversi dari
format raster ke format vektor (seperti: ENVI ver. 4,3), program‐program
Sistem Informasi Geografis untuk analisis spasial (seperti: ArcGIS 9.3),
program pengolah data dan penulisan laporan (Excel 2003, MSWord 2003).
3. Peralatan lapangan, terdiri dari: alat pemandu dan penentu lokasi (GPS), video
dan camera, voice recorder, daftar questionaire, dan alat tulis lainnya.
II.3.2 Pra-pengolahan Dijital
Pra‐pengolahan atau preprocessing data inderaja secara dijital merupakan tahap
pengolahan awal data inderaja yang berisikan koreksi atau restorasi terhadap
gangguan‐gangguan yang terjadi pada saat perekaman. Tahapan pra‐pengolahan
26
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
mencakup rektifikasi (pembetulan) dan restorasi (pemulihan) citra agar data
inderaja sesuai dengan bentuk aslinya.
Citra hasil rekaman sensor inderaja mengalami berbagai distrosi (gangguan) yang
disebabkan oleh gerakan sensor, faktor media antara, dan faktor obyeknya sendiri,
sehingga perlu dibetulkan atau dipulihkan kembali. Prosedur operasional pemulihan
meliputi berbagai koreksi yaitu: koreksi radiometrik, koreksi geometrik, dan koreksi
atmosferik.
1. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan perbaikan kesalahan radiometrik yang berupa
pergesera nilai atau derajat keabuan elemen gambar atau picture element
(pixel) pada citra, agar mendekati nilai yang seharusnya. Penyebab kesalahan
radiometrik dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
a. Kesalahan pada sistem optik.
Kesalahan ini dapat disebabkan oleh: (a) bagian optik pembentuk citra
buram, dan (b) perubahan kekuatan sinyal.
Adapun koreksi bising periodik dapat dihilangkan dengan menggunakan
bnd‐pass filter atau notch filter. Sementara koreksi bising sisir dapat
dilakukan dengan membuang elemen gambar dan menggantikannya
dengan nilai rata‐rata tetangganya, melalui Turkey Median flter.
b. Kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada
atmosfer
Disebabkan oleh: (a) pengaruh hamburan dan serapan, (b) tanggapan
(response) amplitudo yang tidak linier, dan (c) terjadinya bising (noise)
pada waktu transmisi data.
Koreksi gangguan ini dapat dilakukan dengan model linier dan model
kalibrasi bayangan awan.
c. Kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari
Menyebabkan (a) perubahan pencahayaan pada permukaan bumi,
karena sifat obyek dan kepekaan obyek menerima tenaga dari luar tidak
sama, (b) perubahan radiasi dari permukaan obyek karena perubahan
sudut pengamatan sensor.
27
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Koreksi gangguan ini bergantung pada data pantulan (reflektansi)
masing‐masing obyek. Pembentukan citra sangat bagus dengan sudut
elevasi matahari 30°.
2. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
seperti ERMapper atau ERDAS Imagine atau software sejenis lainnya dengan
referensi mengacu pada informasi geografis dari Peta RBI atau LPI skala 1 :
50.000. Hasil akurasi titik koreksi atau Root Means Square (RMS) yang
diperoleh dari koreksi geometrik berkisar antara 0,6 – 0,9, artinya kisaran
akurasi geometrik kurang dari 1 (satu) piksel (> 30 meter). Koreksi geometri
dimana path dan row data citra satelit mempunyai sistem koordinat UTM
(Universal Transverse Mercator) yang belum tentu sama dengan basemap
atau sistem proyeksi yang digunakan. Sehingga sebelum dilakukan pendugaan
maka terlebih dahulu dilakukan koreksi secara geometris berdasarkan Ground
Control Point (GCP) sebagai titik kontrol atau referensi. Setelah dilakukan
koreksi secara geometrik, maka perlu melakukan koreksi secara atmosferik
(radiometrik), untuk melihat sejauh mana citra tersebut layak untuk
digunakan dalam proses interpretasi citra satelit. Sehingga citra satelti dapat
dikatakan layak (clear) jika kondisi tutupan awan <20 % yang digunakan
sebagai acuan untuk penentuan histogram.
Hal ini penting untuk mempertajam luas cakupan penutupan lahan yang dapat
diidentifikasi termasuk waktu, jam dan tanggal pengambilan citra tersebut
untuk mengetahui pola‐pola penutupan lahan saat melakukan klasifikasi
dimana panduannya dapat diestimasi dari rekaman kejadian yang terjadi pada
saat citra diprogram. Pada saat pengambilan image kondisi masih dalam
sistem UTM, agar kondisinya sesuai dengan koordinat datum, maka untuk itu
dilakukan registrasi melalui koreksi geometri/radiometri.
28
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Gambar 5. Proses Rektifikasi untuk Koreksi Geometri Citra
Pada kenyataanya, untuk melakukan perbaikan dari 2 (dua) buah data
inderaja yang berbeda resolusi spasial (ukuran pixel) dapat dilakukan dengan
teknik Resampling. Teknik ini merupakan sutu proses transformasi citra
dengan memberikan nilai pixel citra terkoreksi. Proses resampling dimulai
dengan melakukan transformasi sistem koordinat, kemudian dilakukan proses
rekonstruksi yang mengubah (konvolusi) sunyal bentuk diskrit (titik‐tiitk)
menjadi diskrit kontinyu (titik‐titik yang saling berhubugan) yang beraturan.
Tahapan selanjutnya dilakukan penyesuaian nilai pixel pada transformasi
spasial dengan proses pembesaran dan pengecilan resolusi citra.
3. Citra Komposit Warna
Sehubungan dengan tema yang dikerjakan dalam survei dan pemetaan ini,
maka terlebih dahulu diketahui karekteristik band atau saluran dalam citra
yang digunakan untuk survei dan pemetaan tersebut. Secara umum, band
yang digunakan untuk indentifikasi ekosistem mangrove adalah band yang
bekerja pada panjang gelombang/spektrum infra merah dekat, merah, dan
hijau, yang tersusun dalam komposit warna RGB warna semu (false colour
composite). Karena ketiga band tersebut baik untuk membedakan vegetasi
dengan kenampakan air dan tanah.
4. Penajaman Citra
Penajaman citra bertujuan untuk peningkatan mutu citra, yaitu: menguatkan
kontras penampakan yang tergambar dalam citra dijital. Penajaman citra
dilakukan sebelum penampilan citra atau sebelum interpretasi dilakukan,
sudah terkoreksi
belum terkoreksi
29
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
dengan maksud menambah jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara
dijital. Beberapa terapan penajaman, seperti penajaman titik, penajaman lokal
(area), penajaman tepi serta penajaman tambahan dapat dilakukan dengan
cara filtering. Teknik penajaman kontras data inderaja dapat dilakukan dengan
grey‐level thresholding, level slicing, dan contrast streching (Purwadhi, 2001).
Secara umum teknik penajaman di dalam aplikasi inderaja dapat dikategorikan
kedalam 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Manipulasi kontras (contrast manipulation), merupakan proses pengolahan
citra yang menggunakan teknik pemetaan tingkat keabuan, yang bertujuan
untuk meningkatkan mutu citra melalui perbaikan kotras citra (modifikasi
histogram).
2. Manipulasi kenampakan spasial (spatial features manipulation), mencakup
penggunaan filter pasial (spatial fitering), penajaman tepi (edge
enhancement), dan penggunaan analisis Fourier (fourier analysis).
3. Manipulasi multi‐citra (multi‐image manipulation), mencakup multispketral
“band rasioing”, komponen utama (principal component), komponen baku
atau kanonik (canonical component), komponen vegetasi, transformasi warna
berdasarkan kontras intensitas saturasi (intensity hue saturation color space
transformation), dan perentangandekorelasi (decorelation streching).
II.4.2 Pengolahan Citra
1. Interpretasi Mangrove
Interpretasi dilakukan secara digital dengan citra komposit RGB. interpretasi
hanya untuk melihat kenampakan mangrove dan membedakannya dengan
kenampakan yang lain. Interpretasi mangrove menggunakan standar SNI
7654:2010. Acuan lain yang digunakan dalam menghitung luas da
pemanfaatan kawasan mangrove menggunakan peta kawasan ekosistem
mangrove yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan atau Dinas
Kehutanan Kabupaten Bulungan.
Pada tahap awal, informasi yang diperoleh dari berbagai sumber tentang
sebaran mangrove di daerah penelitian dijadikan dasar penetapan lokasi dan
di‐match‐kan dengan lokasi pada citra satelite. Berikutnya, kenampakan dari
kawasan mangrove pada citra satellite diamati dan dianalisis secara visual
melalui analisis RGB dengan berbagai kombinasi band. Lokasi yang
30
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
mempunyai kenampakan serupa dengan kawasan mangrove tersebut
diindikasikan potensial untuk ditemukan tegakan mangrove. Kepastian
mengenai lokasi ini selanjutkan diverifikasi melalui survei lapangan.
Selain analisis secara visual, beberapa metode klasifikasi baik unsupervised
maupun supervised klasifikasi juga dilakukan untuk memperoleh lokasi yang
potensial untuk mangrove. Daerah yang diketahui sebagai pusat mangrove
dijadikan training area untuk klasifikasi terbimbing (supervised classificatin)
maksimum likelihood. Akurasi dari klasifikasi ini diverifikasi dengan
membandingkan hasil klasifikasi pada daerah pusat mangrove. Pengecekan
lapangan juga dilakukan untuk verifikasi untuk daerah yang tidak diketahui
secara pasti menjadi pusat mangrove tetapi menunjukkan klas yang sama
dengan pusat mangrove. Dalam hal ini, hasil klasifikasi merupakan petunjuk
awal untuk menduga keberadaan hutan mangrove, dan pengecekan lapangan
merupakan upaya untuk memastikan kebenaran dari keberadaan mangrove.
Klasifikasi tak terbimbing dilakukan untuk dijadikan acuan pengkelasan dalam
proses pengklasifikasian selanjutnya. Klasifikasi tak terbimbing ini dilakukan
langsung menggunakan software dan dengan pendeteksian langsung
berdasarkan gradasi warna yang terdapat pada kombinasi band yang
digunakan. Tujuan utama dilakukannya klasifikasi ini yaitu untuk mengetahui
jumlah kelas maksimum yang dapat dideteksi oleh software sehingga dalam
proses pengklasifikasian selanjutnya hasil tersebut dapat dijadikan acuan
dalam penentuan jumlah kelas.
Setelah hasil klasifikasi tak terbimbing didapatkan, maka jumlah kelas untuk
pengklasifikasian terawasi dapat ditentukan. Klasifikasi terawasi dilakukan
dengan terlebih dahulu menentukan sampel untuk setiap kelas atau membuat
training site berupa poligon tertutup dalam bentuk vektor yang di‐overlay‐kan
kedalam citra yang ada. Setelah training sample (AOI) dibuat, maka proses
klasifikasi terbimbing dapat dilakukan.
2. Pemotongan
Langkah ini merupakan cara untuk memotong citra dengan hasil interpretasi
kenampakan mangrove sehingga kenampakan citra yang tersisa hanya
kenampakan mangrove. Pemotogan citra hasil interpretasi ini memanfaatkan
peta RBI dan LPI skala 1:50.000 serta peta kawasan mangrove.
31
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
3. Indeks Vegetasi
Identifikasi obyek dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh
dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antara lain; karakteristik spektral
citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik (Hartono, 1998), .
Khususnya pada sistem satelit (citra satelit) lebih banyak didasarkan atas
karakteristik spektral. Obyek yang berbeda akan memberikan pantulan
spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang sama dengan kondisi dan
kerapatan yang berbeda akan memberikan nilai spektral yang berbeda.
(swain, 1978).
Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra
satelit, untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang
berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI),
konsentrasi klorofil. Atau lebih praktis, indeks vegetasi adalah merupakan
suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus
untuk menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan
aspek‐aspek yang berkaitan dengan vegetasi (Danoedoro, 1996). Selanjutnya
dikatakan Jensen (1998) bahwa metode analisa indeks vegetasi ada beberapa
macam antara lain ; NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), GI (Green
Indeks) dan WI (Wetness Index).
Berdasarkan hasil beberapa penelitian, diantaranya dari Ahmad Faizal dan
Muhammad Anshar Amran (disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan
MAIN XIV) mengenai model transformasi index vegetasi yang efektif untuk
prediksi kerapatan mangrove Rhizophora mucronata. Pada kajian tersebut
melakukan pengkajian terhadap identifikasi jenis dan kerapatan ekosistem
mangrove dengan menggunakan transformasi indeks vegetasi serta menguji
beberapa indeks vegetasi (NDVI, GI dan WI) dalam hal efektifitas dalam
identifikasi jenis dan kerapatan mengrove jenis Rhizophora mucronata.
Adapun hasil klasifikasi citra Landsat komposit 453 daerah penelitian
didapatkan stratifikasi kelas yang terdiri dari 5 (lima) kelas mangrove masing‐
masing Rhizopora nucronota, Nypa fruticans, Avicenis alba, Ceriop decandra,
dan Acanthus ilicifolius, satu kelas tambak, dan satu kelas daratan untuk
vegetasi lain berupa kebun campuran atau sawah, dan satu kelas lahan
terbuka (Non Vegetasi Mangrove).
Hasil transformasi indeks vegetasi didapatkan nilai digital citra yang sangat
bervariasi. Transformasi NDVI menghasilkan citra dengan nilai digital ‐ 0,6 –
0,42, nilai tersebut berdasarkan kriteria kerapatan mangrove jenis Rhizophora
32
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
mucronata menyebar untuk semua kerapatan. Sedangkan hasil trasnformasi
indeks GI dan WI masing‐masing didapatkan nilai indeks vegetasi dengan
kisaran 0 ‐ 104 dan ‐96 – 79. Nilai negatif yang didapatkan indeks vegetasi
transformasi WI adalah nilai lahan yang tidak tertutupi oleh vegetasi yang
kemungkinan besar adalah perairan disekitar mangrove atau lahan kosong
yang tidak ditumbuhi oleh vegetasi. Khususnya untuk jenis Rhizophora
mucronata, hasil cross cek dengan hasil klasifikasi multispektral, maka
didapatkan nilai indeks masing‐masing untuk tiap transformasi. Nilai digital
jenis Rhizophora mucronata pada Indeks NDVI didapatkan range nilai 1,5 ‐
0,42; GI dengan nilai 0 ‐ 104; dan indeks WI 0 ‐ 79. Nilai‐nilai tersebut
dikelaskan berdasarkan kategori kerapatan; jarang, sedang dan lebat.
Hasil transformasi NDVI untuk Rhizophora mucronata diperoleh nilai digital
kelas kerapatan jarang dengan kisaran 0,04 – 0,18, kerapatan sedang
dengan kisaran 0,15 ‐ 0,2 dan kerapatan rapat dengan kisaran 0.27 ‐ 0,33.
Nilai digital tersebut ditentukan berdasarkan kriteria kerapatan mangrove.
Berdasarkan data yang ada dapat diasumsikan kondisi mangrove di lokasi
penelitian cukup baik dengan nilai rasio maksimum 0,33, karena rasio nilai
NDVI ‐1 sampai dengan 1, semakin tinggi nilai maksimal maka kondisi
mangrove semakin baik (Dewanti, 1999).
Greeness Index (GI) nilai Maksimun kelas mangrove jarang adalah 24,71
sedangkan nilai minimunnya adalah 8,12. Kelas mangrove sedang niali
maksimunnya adalah 33,57 dan niali minimunnya adalah 24. Kelas rapat nilai
maksimunnya 42,88 dan nilai minimunnya adalah 17,68.
Wetness Index (WI) nilai Maksimun kelas mangrove jarang adalah 34.42
sedangkan nilai minimunnya adalah 27,91. Kelas mangrove sedang nilai
maksimunnya adalah 33,24 dan niali minimunnya adalah 24,63 Kelas rapat
nilai maksimunnya 20,88 dan nilai minimunnya adalah 11,12.
Proses NDVI ini berfungsi untuk menentukan kelas kerapatan hutan mangrove
menjadi 3 kelas yaitu kelas kerapatan rendah, kelas kerapatan sedang dan
kelas keraptan tinggi. Proses NDVI memanfaatkan beberapa saluran dari citra
satelit antara lain ; band 3 (TM 3) yang lebih dikenal dengan saluran merah
dan band 4 yang lebih dikenal dengan saluran inframerah dekat. Kelebihan
kedua saluran ini untuk identifikasi vegetasi adalah obyek akan memberikan
tanggapan spektral yang tinggi (Swain, 1978). Transformasi NDVI mengikuti
persamaan berikut (Jensen, 1998)
33
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
(1)
4. Kerapatan Jenis
Jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area, yang perhitungannya menurut
oleh Bengen (2000):
(2)
Dimana, Di adalah kerapatan jenis i, ni adalah jumlah total tegakan dari jenis i
dan A adalah luas total area pengambilan sampel (kelas).
5. Evaluasi Kekritisan Mangrove
Evaluasi kekritisan mangrove dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis
jenis penggunaan lahan (Jpl) , kerapatan tajuk (Kt) dan tingkat abrasi (Kta)
dengan menghitung Total Nilai Skor (TNS) sebagai berikut :
TNS = (Jpl x 45) + (Kt x 35) + (Kta x 20)
Kriteria kekeritisan yang digunakan adalah :
a. TNS 100‐166 : rusak berat
b. TNS 167 – 233 : rusak
c. TNS 234 – 300 : tidak rusak
II.5.2 Survei Lapangan
Beberapa persiapan sebelum kerja lapang adalah penentuan titik sampel,
pembuatan rute perjalanan, penyiapan kendaraan yang akan dipakai dan penyiapan
peralatan survei serta pendukung untuk dokumentasi. Untuk kelengkapan survei
lapangan tiga bahan yang paling penting adalah :
1. Peta tentative yang akan dicek lapangan
2. Peta rupabumi untuk memandu perjalanan lapangan
3. Citra inderaja yang digunakan untuk interpretasi (hard‐copy)
34
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Kegiatan survei lapangan meliputi:
1. Pembuatan Titik Sampel Lapangan
Titik sampel ditentukan pada setiap lokasi pemetaan dengan prinsip
persebaran yang merata, keterwakilan dan dapat dijangkau. Tiap lokasi
ditentukan beberapa titik sampel tergantung dari luas lokasi, keseragaman
penutup lahan, keraguan atau belum tuntasnya pengenalan penutup lahan
dalam proses interpretasi.
Kegiatan survei lapangan ini meliputi berbagai kegiatan, baik penentuan posisi
lapangan di dalam peta. Titik lokasi tersebut digunakan sebagai titik kontrol
atau Ground Control Point (GCP). Pengecekan hasil analisis data satelit
maupun pengumpulan data lapangan seperti kerapatan, Diameter at Breast
Height (DBH), tinggi dan famili hutan mangrove. Secara garis besar kegiatan‐
kegiatan di lapangan tersebut, antara lain:
a. Pengukuran koordinat titik kontrol dengan menggunakan alat GPS guna
membuat citra terkoreksi maupun mengetahui posisi lokasi pembuatan
training area di lapangan.
b. Pengecekan kebenaran klasifikasi dan analisis indeks vegetasi dari
beberapa kelas sampel dan hasil analisis yang meragukan.
c. Pengamatan jenis vegetasi yang dominan ataupun komposisi jenis pada
tiap‐tiap kelas penggunaan/ penutupan lahan.
d. Penentuan rute perjalanan dibuat untuk kelancaran kerja di lapangan,
yaitu untuk penentuan base camp terdekat dari masing‐masing titik
sampel serta penentuan jenis kendaraan yang akan digunakan mencapai
lokasi sampel.
e. Untuk mangrove diperhatikan ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh
beserta cara meletakkan petak contoh tersebut, kriteria stadium
pertumbuhan dan ukuran petak contohnya serta parameter yang
diukur.
f. Kriteria stadium pertumbuhan pancang dan pohon sebagai berikut :
Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai
dengan DBH kurang dari 10 cm.
Pohon : Pohon dewasa DBH 10 cm dan lebih.
35
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Ukuran petak pengamatan untuk masing‐masing tingkat pertumbuhan adalah
:
Pancang : 5 m x 5 m
Pohon : 10 m x 10 m
2. Parameter yang Diukur
Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter vegetasi yang diukur secara
langsung di lapangan, yaitu :
a. Nama species (lokal dan ilmiah)
b. Penutupan tajuk (covering) untuk mengetahui prosentase penutupan
vegetasi terhadap lahan
c. Diameter batang, untuk mengetahui luas bidang dasar untuk menduga
volume pohon dan tegakan
d. Tinggi pohon, baik tinggi pohon bebas cabang maupun tinggi total
e. Pemetaan lokasi individu pohon.
3. Peralatan Survei
Alat dan bahan yang diperlukan dalam survei lapangan untuk pemetaan
ekosistem mangrove adalah :
a. GPS Handheld untuk mentukan koordinat pengambilan sampel
b. Kompas untuk menentukan arah transek garis.
c. Meteran dari bahan plastik atau fiberglass 50 m.
d. Tali untuk membuat transek garis dan petak contoh (plot).
e. Alat hitung atau band tally counter.
f. Gunting atau pisau pemotong ranting dan cabang tumbuh‐tumbuhan.
g. Kantong plastik yang porous dan kertas koran untuk pembuatan koleksi
vegetasi bagi keperluan analisis laboratorium.
h. Label dan alat‐alat tulis (pensil, spidol) yang tahan air untuk pencatatan
data.
i. Data sheets seperti yang seperti disajikan pada tabel isian ekosistem
mangrove.
36
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
j. Buku‐buku floristik untuk determinasi jenis mangrove.
k. Kamera untuk dokumentasi
II.6.2 Pasca Survei
1. Pengolahan Data Lapangan dan Re‐interpretasi Citra
Tahap pasca lapangan dalam pemetaan mangrove meliputi kegiatan
pengolahan dan analisis data setelah mendapatkan hasil sampel di lapangan.
Dilakukan pula interpretasi ulang untuk membenahi hasil interpretasi awal
sesuai dengan hasil cek lapangan.
2. Prosedur Analisis Data
Data‐data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon yang telah
dicatat pada tabel isian mangrove, diolah lebih lanjut untuk memperoleh
kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting jenis.
Kerapatan jenis (D) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area,
dihitung dengan persamaan berikut:
Di = ni / A (3)
Dimana,
Di : adalah kerapatan jenis i,
ni : adalah jumlah total tegakan dari jenis i dan
A : adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/
plot)
Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area,
dihitung dengan persamaan berikut:
Ci = Σ BA/ A (4)
Dimana,
BA = π dbh2/ 4 (cm2),
π = 3,1416 suatu konstanta dan
dbh = diameter pohon dari jenis i,
A = luas total area pengambilan contoh (luas total petak
contoh/plot)
37
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
II.7.2 Penyusunan Peta Neraca Ekosistem Mangrove
Studi tentang neraca sumberdaya alam secara umum ditujukan untuk melakukan
monitoring dan evaluasi dari suatu sumberdaya alam tersebut. Oleh karena itu,
pendekatan studi yang dilakukan adalah integrasi (integrated study) yang dimulai
dari penyiapan data (inventarisasi data), penyusunan neraca untuk mengetahui
perimbangannya, serta dilengkapi dengan kebutuhan informasi mengenai
basisdata. Selain itu untuk keperluan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan kajian
yang lebih mendalam yaitu menyangkut analisis degradasi dan perhitungan nilai
ekonomi (economic valuation/economic accounting) dari kondisi terakhir
sumberdaya alam tersebut.
Data yang diperlukan untuk menyusun neraca terdiri dari data statistik (data angka)
dan data spasial (data peta). Data statistik merupakan data kondisi dari berbagai
waktu (minimal dua periode waktu). Sedangkan data spasial merupakan peta dalam
kondisi yang dianggap terkini.
Untuk keperluan ini kedua jenis data tersebut diperoleh berdasarkan kompilasi dari
berbagai sumber, terutama dari instansi sektoral terkait yang berwenang dengan
masalah data tersebut. Penyusunan neraca sumberdaya alam, sedapat mungkin
menggunakan data dan peta yang sudah dihasilkan.
Kajian lapangan dilakukan pada lokasi‐lokasi yang diperlukan untuk mewakili
klasifikasi masing‐masing sumberdaya. Untuk mendapatkan peta neraca dilakukan
dengan cara overlay antara peta aktiva dan peta pasiva.
1. Penyajian neraca secara spasial (peta) menggunakan peta sesuai skala yang
diinginkan.
2. Penyajian neraca secara numerik (angka) menggunakan tabel discontro, yang
mencerminkan kolom‐kolom sebagai kondisi awal (aktiva), kondisi akhir
(pasiva), dan perubahannya. Neraca numerik diperoleh dari database data
spasial.
Peta neraca sumberdaya hutan menyajikan :
1. Data persebaran (luas) ekosistem mangrove yang tidak mengalami
perubahan.
38
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
2. Data persebaran (luas) ekosistem mangrove, yang terjadi perubahan
penutupan vegetasinya.
Peta aktiva diperoleh melalui interpretasi citra secara digital. Hasil interpretasi
dalam bentuk raster. Proses vektorisasi dilakukan secara digital. Peta Neraca
Ekosistem mangrove dihasilkan dari hasil tumpang‐susun (overlay) peta aktiva dan
peta pasiva. Luas masing‐masing poligon berdasarkan fungsi hutan dan penutupan
vegetasi diperoleh dari hasil perhitungan peta digital.
Hasil interpretasi citra berupa peta aktiva dan pasiva kemudian diubah kedalam
bentuk vektor dengan menggunakan perangkat lunak SIG. Selanjutnya peta aktiva
dan peta pasiva dioverlay untuk menghasilkan peta neraca sumberdaya hutan. Peta
neraca adalah peta hasil tumpang susun (overlay) peta aktiva dan pasiva, sehingga
memberikan gambaran keadaan awal, perubahan yang terjadi dan keadaan akhir.
Prosedur kerja ini mengacu pada Spesifikasi Teknis Neraca Sumberdaya Alam Pesisir
dan Laut (Nilwan, et al., 2003)..
Penyajian peta neraca ekosistem mangrove terdiri dari dua hal yaitu:
1. Penyajian neraca secara spasial (peta) menggunakan peta skala 1: 50.000
2. Penyajian neraca secara numerik menggunakan tabel, sehingga akan
mencerminkan kondisi awal ekosistem mangrove (aktiva), kondisi akhir
ekosistem mangrove (pasiva) dan perubahannya.
Beberapa informasi yang harus ada dalam penyajian peta neraca ekosistem
mangrove ini meliputi : a) periode waktu penyusunan neraca, yaitu periode waktu
antara pendataan awal dengan pendataan akhir, b) nama dan lokasi wilayah, c)
batas‐batas wilayah, yaitu batas‐batas yang digambarkan dalam peta, d) informasi
data aktiva, misalnya: kawasan hutan/non kawasan hutan, areal berhutan/non
berhutan, berdasarkan survei langsung di lapangan ataupun dari data sekunder, dan
d) informasi perubahannya, yaitu antara aktiva dan pasiva.
39
PEMETAAN NERACA MANGROVE WILAYAH 2012 PT. KACINDO DANATYA
Gambar 6. Overlay Antara Peta Aktiva dan Peta Pasiva
Penyajian peta dilakukan dengan menggunakan software ArcView yang dibuat
sesuai standar peta yang telah ada. Peta yang dihasilkan adalah neraca ekosistem
mangrove spasial skala 1 : 50.000. Informasi tersebut disajikan dalam bentuk cetak
(hardcopy) dan di dalam soft copy (dengan media CD‐ROM) serta deskripsi dan hasil
analisis yang dikemas dalam bentuk buku laporan.